Pemikiran Plotinus
Ontologi, Jiwa, dan Perenungan Menuju Yang Esa
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem
filsafat Plotinus, seorang tokoh sentral dalam tradisi Neoplatonisme, yang
menandai fase penting dalam transisi filsafat Yunani-Romawi menuju
spiritualitas metafisik yang mendalam. Melalui struktur ontologis yang terdiri
dari tiga hipostasis—Yang Esa (to Hen), Nous (Akal Ilahi),
dan Psyche (Jiwa)—Plotinus membangun suatu sistem emanatif yang
menekankan bahwa seluruh realitas berasal dari sumber ilahi yang absolut.
Pengetahuan, dalam pandangan Plotinus, tidak dicapai melalui proses rasional
diskursif, melainkan melalui kontemplasi dan henosis (penyatuan mistik) yang
melampaui batas-batas dualitas subjek-objek.
Artikel ini juga menguraikan pemahaman Plotinus
tentang kejahatan sebagai ketiadaan kebaikan (privatio boni), menolak
dualisme metafisik, serta menempatkan jiwa manusia sebagai entitas spiritual
yang mampu kembali ke asal ilahinya melalui disiplin moral dan intelektual.
Warisan intelektual Plotinus dibahas dalam pengaruhnya terhadap pemikir Kristen
seperti Augustinus, filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina, mistikus
Yahudi, serta kebangkitan Neoplatonisme dalam Renaisans Eropa. Selain mengulas
kritik terhadap Neoplatonisme dari perspektif modern, artikel ini menegaskan
relevansi kontemporer pemikiran Plotinus dalam spiritualitas transpersonal,
ekofilsafat, dan dialog lintas agama. Keseluruhan kajian ini menunjukkan bahwa
filsafat Plotinus tetap hidup sebagai suatu model metafisik dan etis yang
memadukan nalar dan kontemplasi dalam pencarian manusia menuju Yang Absolut.
Kata Kunci: Plotinus; Neoplatonisme; Ontologi; Jiwa; Henosis;
Emanasi; Metafisika; Spiritualitas; Filsafat Klasik; Privatio Boni; Augustinus;
Filsafat Islam; Mistisisme; Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Plotinus dan Filsafat Neoplatonisme
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat Barat, periode Helenistik dan Romawi merupakan masa transisi yang
krusial antara pemikiran klasik Yunani dan perkembangan metafisika serta
mistisisme yang akan mengakar kuat dalam filsafat keagamaan baik di Barat
maupun Timur. Salah satu tokoh paling berpengaruh pada masa ini adalah Plotinus
(ca. 204/5–270 M), seorang filsuf yang dikenal sebagai pendiri aliran Neoplatonisme,
sebuah bentuk interpretasi baru atas filsafat Plato yang sarat dengan unsur
spiritual dan metafisik. Plotinus hidup pada masa ketika filsafat Yunani tengah
mengalami transformasi: dari sistem-sistem rasionalistik menuju pendekatan yang
lebih religius dan kontemplatif sebagai respons terhadap krisis identitas dan
perubahan sosial di Kekaisaran Romawi yang multikultural dan pluralistik.1
Neoplatonisme yang
digagas oleh Plotinus tidak hanya merupakan lanjutan dari tradisi Platonik,
tetapi juga suatu bentuk refleksi yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan
eksistensial, ontologis, dan mistis. Pemikiran Plotinus mencoba menjawab
persoalan-persoalan mendasar tentang hakikat realitas, asal-usul segala
sesuatu, struktur jiwa manusia, dan jalan penyatuan kembali dengan sumber
segala eksistensi, yakni Yang Esa (To Hen).
Dalam hal ini, Plotinus tidak hanya tampil sebagai seorang filsuf rasional,
tetapi juga sebagai seorang mistikus yang menempatkan kontemplasi sebagai jalan
utama menuju kebenaran yang tertinggi.2
Signifikansi
pemikiran Plotinus tidak dapat dilepaskan dari konteks perkembangan
spiritualitas dan teologi dalam tiga tradisi besar: filsafat
Kristen awal, filsafat Islam, dan mistisisme
Yahudi. Gagasan-gagasannya tentang tatanan realitas yang
emanatif, struktur hierarkis alam semesta, dan tujuan tertinggi jiwa manusia telah
memberikan pengaruh besar terhadap para pemikir seperti Augustinus
dalam Kristen Latin,3 al-Farabi dan Ibnu
Sina dalam filsafat Islam,4 serta pemikir-pemikir
dalam tradisi Hermetisisme dan Kabbalah. Bahkan hingga era Renaisans,
Neoplatonisme masih menjadi fondasi penting bagi kebangkitan filsafat metafisik
dan humanisme spiritual di Eropa.5
Artikel ini
bertujuan untuk menguraikan secara sistematis inti pemikiran Plotinus, dengan
fokus pada tiga tema utama: ontologi, struktur
dan dinamika jiwa, serta jalur mistik menuju Yang Esa.
Dengan pendekatan historis-filosofis dan analitis, artikel ini akan menelusuri
gagasan Plotinus melalui pembacaan karya utamanya, Enneads, yang disusun oleh
muridnya, Porphyry, dan akan
memperbandingkannya dengan pemikiran filsafat sebelumnya dan sesudahnya. Dengan
demikian, pembahasan ini diharapkan dapat menggambarkan kedalaman serta
relevansi pemikiran Plotinus bagi kajian filsafat, spiritualitas, dan
mistisisme dalam lintas tradisi dan zaman.
Footnotes
[1]
John M. Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220
(Ithaca: Cornell University Press, 1996), 382–384.
[2]
Dominic J. O'Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 17–20.
[3]
Phillip Cary, Augustine's Invention of the Inner Self: The Legacy
of a Christian Platonist (Oxford: Oxford University Press, 2000), 41–43.
[4]
Peter Adamson, The Arabic Plotinus: A Philosophical Study of the
"Theology of Aristotle” (London: Duckworth, 2002), 92–95.
[5]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and the Arts: Collected
Essays (Princeton: Princeton University Press, 1990), 35–36.
2.
Biografi Intelektual Plotinus
Kehidupan Plotinus
(ca. 204/5–270 M) merupakan suatu teladan khas dari perpaduan antara pencarian
intelektual dan perjalanan spiritual dalam dunia filsafat akhir klasik.
Informasi utama mengenai kehidupannya berasal dari Porphyry,
murid sekaligus editor karya-karyanya, dalam karya berjudul Vita
Plotini (Kehidupan Plotinus) yang ditulis
sebagai pengantar terhadap kompilasi Enneads—kumpulan catatan ajaran
Plotinus yang disusun secara sistematis oleh Porphyry sendiri.1
2.1.
Kehidupan dan
Pendidikan
Plotinus dilahirkan
di wilayah Mesir, kemungkinan besar di kota Lycopolis (kini Asyut),
meskipun tidak ada kepastian absolut mengenai tempat kelahirannya. Ia mulai
serius mendalami filsafat pada usia tiga puluh tahun. Ketika menetap di
Aleksandria, ia belajar kepada Ammonius Saccas, seorang filsuf
yang sangat berpengaruh, tetapi tidak meninggalkan karya tulis. Ammonius
dianggap sebagai tokoh yang menjembatani transisi dari Middle Platonism ke
Neoplatonisme dan sangat menekankan pentingnya henosis (penyatuan spiritual).2
Plotinus berguru kepada Ammonius selama sebelas tahun, menunjukkan betapa
mendalam dan serius pencariannya akan kebijaksanaan metafisik.
Pada tahun 242 M,
dengan keinginan untuk mempelajari kebijaksanaan dari bangsa-bangsa Timur,
Plotinus bergabung dalam ekspedisi militer Kaisar Gordianus III ke Persia,
namun upaya ini gagal akibat kekalahan tentara Romawi. Ia kemudian menetap di Roma,
di mana ia mengajar filsafat secara lisan dan mendapatkan banyak murid dari
berbagai latar belakang, termasuk kalangan elite, dokter, dan filsuf muda.3
2.2.
Gaya Ajaran dan
Aktivitas Intelektual
Plotinus tidak
mendirikan sekolah filsafat formal seperti Akademi Plato atau Lyceum
Aristoteles. Sebaliknya, ia mengembangkan komunitas pemikiran yang lebih
bersifat internalist
dan kontemplatif. Menurut Porphyry, ia hidup secara asketik dan mempraktikkan
prinsip-prinsip moral yang diajarkannya, termasuk pengendalian diri,
kesederhanaan, dan kehidupan yang menghindari keduniawian.4 Ia juga
menolak untuk mengungkapkan banyak hal tentang identitas pribadi dan
keluarganya, karena ingin hidup "sebagai jiwa" dan bukan
"sebagai tubuh".
Karya-karya
filsafatnya tidak ditulis dengan sistematika seperti Aristoteles, melainkan
berupa serangkaian pemikiran filosofis dalam bentuk risalah yang mencerminkan
kedalaman kontemplatifnya. Plotinus menulis sekitar 54
risalah, yang kemudian disusun oleh Porphyry menjadi enam
kelompok berisi sembilan risalah, yang kemudian dikenal sebagai
Enneads.
Dalam menyusun urutan risalah tersebut, Porphyry mengikuti logika sistematik:
dari etika, psikologi, kosmologi, epistemologi, metafisika, hingga mistisisme
tertinggi.5
2.3.
Kematian dan Warisan
Plotinus wafat pada
usia sekitar 66 tahun di Campania, Italia Selatan, pada tahun 270 M, di rumah
salah seorang muridnya. Ia meninggal dengan tenang sambil mengucapkan kalimat
yang melambangkan semangat filsafatnya: "Saya berusaha mengembalikan Yang Ilahi dalam
diri saya kepada Yang Ilahi dalam Semesta" (ἀναγαγεῖν τὸ θεῖον
ἐν ἡμῖν πρὸς τὸ θεῖον ἐν τῷ παντί).6 Kalimat ini mencerminkan
inti seluruh sistem filsafat Plotinus—pencarian henosis, penyatuan jiwa individu
dengan realitas tertinggi.
Warisan intelektual
Plotinus bertahan kuat di dunia filsafat dan teologi. Melalui Porphyry dan
murid-murid Neoplatonis berikutnya seperti Iamblichus dan Proclus,
ajaran Plotinus menjadi tulang punggung utama metafisika spiritual di akhir
dunia klasik dan menjadi dasar bagi filsafat Kristen awal, pemikiran Islam,
serta tradisi mistik Barat.7
Footnotes
[1]
Porphyry, The Life of Plotinus, in The Enneads,
trans. Stephen MacKenna, ed. John Dillon (London: Penguin Books, 1991), 1–4.
[2]
John M. Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220
(Ithaca: Cornell University Press, 1996), 383.
[3]
Dominic J. O’Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 7–10.
[4]
Eyjólfur K. Emilsson, “Plotinus,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/plotinus/.
[5]
Lloyd P. Gerson, Plotinus (London: Routledge, 1994), 12–15.
[6]
Porphyry, The Life of Plotinus, 3.
[7]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and the Arts: Collected
Essays (Princeton: Princeton University Press, 1990), 36.
3.
Dasar-Dasar Pemikiran Filsafat Neoplatonisme
3.1.
Neoplatonisme:
Kelanjutan atau Transendensi Platonisme?
Neoplatonisme adalah
sebuah bentuk evolusi dari filsafat Plato, yang mengalami sistematisasi,
spiritualisasi, dan transformasi dalam konteks religius dan mistik pada akhir
zaman klasik. Plotinus, sebagai tokoh sentral Neoplatonisme, tidak melihat
dirinya sebagai pencetus filsafat baru, melainkan sebagai penafsir
sejati ajaran Plato. Namun, melalui pendekatan metafisik dan
mistik yang lebih dalam, ia memberikan struktur ontologis baru atas
dunia ide dan realitas yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam karya-karya
Plato.1
Plotinus secara
tegas menolak interpretasi rasionalistik yang kaku terhadap pemikiran Plato. Ia
memperkenalkan pemahaman tentang realitas dalam tiga tingkatan hirarkis: Yang Esa
(to Hen),
Nous
(Akal Ilahi), dan Psyche (Jiwa), yang membentuk
kerangka metafisika Neoplatonis. Ketiga realitas ini tidak saling terpisah,
tetapi terhubung melalui proses emanasi (prohodos), yakni pancaran yang
mengalir dari sumber tertinggi secara terus-menerus dan alami, bukan penciptaan
dalam pengertian waktu atau kehendak personal seperti dalam agama Abrahamik.2
3.2.
Perbedaan dari
Gnostisisme dan Aristotelianisme
Meskipun
Neoplatonisme muncul sejajar dengan berbagai bentuk Gnostisisme, Plotinus
secara eksplisit menolak ajaran-ajaran gnostik. Dalam Enneads
II.9 (“Against the Gnostics”), ia mengkritik pandangan
gnostik yang merendahkan dunia material dan menganggapnya sebagai hasil ciptaan
jahat. Plotinus menekankan bahwa dunia ini bukanlah ilusi atau penjara, tetapi
refleksi terakhir dari Yang Esa, dan karena itu memiliki
nilai ontologis meskipun berada pada tingkatan yang paling rendah.3
Selain itu,
Neoplatonisme juga berbeda dari Aristotelianisme yang menekankan kategorisasi
logis dan substansi individual. Bagi Plotinus, realitas sejati tidak terletak pada individu
dan materi, tetapi pada prinsip spiritual dan universal yang
hanya dapat didekati melalui kontemplasi dan pengalaman mistik.4
Jika Aristoteles menekankan penggerak tak bergerak sebagai
sebab pertama, Plotinus memperkenalkan Yang Esa yang melampaui kategori
eksistensi itu sendiri—bukan sekadar penyebab, tetapi sumber non-dual dari
segala sesuatu.
3.3.
Prinsip Hierarkis dan
Realitas Berjenjang
Salah satu sumbangan
terbesar Plotinus terhadap filsafat metafisika adalah konsep
realitas yang berjenjang secara hirarkis. Dalam sistem ini, terdapat
tiga entitas utama yang membentuk tatanan kosmik:
1)
Yang Esa (to
Hen):
Realitas tertinggi dan mutlak, di luar segala
kategori, bahkan “ada” itu sendiri. Ia adalah prinsip kesatuan absolut
yang tidak dapat dikonsepsi secara diskursif. Semua yang ada memancar darinya
bukan melalui kehendak, tetapi karena kelimpahan kodrat-Nya.5
2)
Nous (Akal Ilahi):
Emanasi pertama dari Yang Esa, tempat ide-ide
Plato (eidos) bersemayam. Nous adalah bentuk kesadaran yang merefleksikan dan
mengetahui dirinya sendiri, sekaligus mengenali asal-usulnya dalam Yang Esa. Ia
adalah dunia intelek, tempat kebenaran sejati berdiam.
3)
Psyche (Jiwa Universal dan
Jiwa Individual):
Emanasi kedua dari Nous, merupakan perantara
antara dunia akal dan dunia materi. Jiwa dapat berpaling ke atas (menuju Nous)
atau ke bawah (menuju dunia materi), tergantung pada kesadaran dan
kemurniannya. Jiwa individual adalah partisipasi dari Jiwa Universal dan tetap
memiliki potensi untuk kembali bersatu dengan sumbernya melalui kontemplasi.6
Struktur hierarkis
ini memiliki implikasi teologis dan antropologis yang mendalam: manusia,
melalui jiwanya, tidak hanya bagian dari dunia material, tetapi juga memiliki
panggilan ontologis untuk kembali ke sumber ilahinya melalui proses penyucian
dan kontemplasi.
3.4.
Kesatuan Sebagai
Tujuan Ontologis dan Etis
Dalam Neoplatonisme,
kesatuan bukan hanya dasar segala eksistensi, tetapi juga merupakan tujuan
akhir dari kehidupan spiritual manusia. Proses pengembalian (epistrophe)
kepada Yang Esa merupakan jalan mistik yang ditempuh jiwa untuk mengatasi
keterpecahan dan keterjeratan pada dunia materi. Plotinus mengajarkan bahwa
melalui kehidupan yang etis, asketik, dan kontemplatif, jiwa dapat mengalami henosis
(penyatuan) dengan sumber segala yang ada.7
Dengan demikian,
dasar-dasar filsafat Neoplatonisme yang dirumuskan oleh Plotinus mencakup
struktur ontologis yang emanatif, penolakan terhadap dualisme radikal, serta
orientasi spiritual terhadap kebaikan mutlak yang melampaui nalar. Sistem ini
bukan hanya sebuah filsafat, tetapi juga suatu jalan hidup kontemplatif yang
menempatkan penyatuan mistik sebagai puncak dari pencarian filosofis.
Footnotes
[1]
Lloyd P. Gerson, Plotinus (London: Routledge, 1994), 16–18.
[2]
Dominic J. O'Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 24–27.
[3]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna, ed. John
Dillon (London: Penguin Books, 1991), II.9.
[4]
John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220
(Ithaca: Cornell University Press, 1996), 386–388.
[5]
Eyjólfur K. Emilsson, “Plotinus,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/plotinus/.
[6]
Gerson, Plotinus, 41–45.
[7]
Kevin Corrigan, Reading Plotinus: A Practical Introduction to
Neoplatonism (West Lafayette: Purdue University Press, 2005), 88–91.
4.
Ontologi Plotinus: Tiga Hipostasis
Ontologi dalam
filsafat Plotinus dibangun atas dasar prinsip emanasi, di mana seluruh kenyataan
berasal dari satu sumber absolut yang disebut Yang Esa (to Hen).
Ontologi ini tidak bersifat linear atau dualistik seperti dalam beberapa
filsafat lain, melainkan hirarkis dan emanatif: setiap tingkat realitas
memancar dari tingkat yang lebih tinggi tanpa kehilangan keutuhan sumbernya.
Plotinus menyusun skema ontologisnya ke dalam tiga hipostasis (realitas
utama), yaitu: Yang Esa, Nous
(Akal Ilahi), dan Psyche (Jiwa). Ketiganya membentuk
tatanan ontologis yang dinamis, saling berkaitan, namun tidak setara dalam
derajat kedekatan dengan sumber utama segala eksistensi.
4.1.
Yang Esa (to Hen)
Yang Esa
merupakan puncak tertinggi dalam hierarki realitas dan prinsip mutlak dari
segala sesuatu. Ia melampaui keberadaan (beyond
being) dan tak terlukiskan oleh akal atau
bahasa. Tidak seperti Tuhan dalam tradisi teistik yang personal dan aktif
mencipta, Yang Esa
bersifat transenden sepenuhnya, bahkan
melampaui kategori ada, satu, atau baik,
sebab semua kategori tersebut hanyalah turunan dari-Nya.1
Konsepsi ini berakar
dari Parmenides
dan Plato,
tetapi ditafsirkan oleh Plotinus dalam kerangka mistik dan metafisik yang lebih
radikal. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu "mengalir" dari Yang Esa
karena sifatnya yang melimpah (plērōma), bukan
karena kehendak atau tujuan. Yang Esa adalah sumber kebaikan
tertinggi (agathon)
dan kesempurnaan mutlak yang tidak memiliki kekurangan sehingga tidak
membutuhkan apapun selain diri-Nya sendiri.2
Emanasi dari Yang Esa
bukanlah proses temporal, melainkan konsekuensi logis dari keagungan dan
kesempurnaan-Nya. Seperti cahaya yang memancar dari matahari tanpa mengurangi
intensitas sumbernya, demikian pula segala sesuatu berasal dari Yang Esa
tanpa mencemari atau memengaruhinya.3
4.2.
Nous (Akal Ilahi)
Nous
adalah emanasi
pertama dari Yang Esa, dan merupakan dunia intelek murni yang
mengandung seluruh bentuk ideal (eidos) Plato. Ia adalah realitas
pertama yang sadar akan dirinya sendiri dan juga
sadar akan sumbernya, yakni Yang Esa. Dalam Nous,
eksistensi dan pikiran menjadi satu; di sinilah prinsip identitas dan
intelektualitas kosmik muncul sebagai struktur dari realitas yang teratur dan
dapat dipahami.4
Berbeda dengan Yang Esa
yang mutlak transenden, Nous adalah entitas yang rasional
dan dapat dikenali, meskipun tetap berada di luar jangkauan
inderawi. Semua ide—baik matematis, moral, maupun ontologis—berasal dari Nous.
Ia menjadi semacam “logos kosmik”, prinsip
penataan semesta dan sumber segala keindahan serta keteraturan dalam dunia yang
tampak.5
Sebagai entitas yang
berdiri di antara Yang Esa dan Jiwa, Nous
juga merupakan model atau pola (paradeigma) bagi seluruh ciptaan.
Kesadaran intelektual di dalam Nous bukan hasil proses diskursif,
melainkan intuisi menyeluruh dan simultan atas bentuk-bentuk ideal.
4.3.
Psyche (Jiwa Semesta
dan Jiwa Individual)
Psyche
atau jiwa adalah emanasi kedua, berasal dari Nous,
dan berperan sebagai penghubung antara dunia ide dengan dunia materi. Jiwa
bersifat ganda: di satu sisi ia mengarah
ke atas, mengingat sumbernya di dunia akal; di sisi lain ia mengarah ke bawah,
kepada dunia indrawi dan tubuh.6
Plotinus membedakan
antara Jiwa
Semesta (anima mundi), yang mengatur
keteraturan kosmos, dan jiwa individual, yang
berinkarnasi dalam tubuh manusia. Kedua jenis jiwa ini pada dasarnya satu,
hanya berbeda dalam tingkat partisipasi dan orientasi spiritual. Jiwa, menurut
Plotinus, tetap murni pada hakikatnya, namun mengalami "lupa" ketika
terlalu tenggelam dalam dunia materi. Oleh karena itu, kehidupan manusia yang
baik adalah proses pengingatan kembali (anamnēsis) dan perjalanan pulang menuju
Nous,
bahkan kepada Yang Esa sendiri.7
Peran jiwa dalam
tatanan ontologis sangat vital: ia adalah prinsip hidup, kesadaran, dan
pergerakan. Jiwa juga mengandung kehendak bebas untuk menentukan arah: menuju
kedalaman dunia atau kembali pada ketinggian asalnya. Dalam sistem Plotinus, etika,
psikologi, dan metafisika saling terhubung secara erat melalui
struktur jiwa.
4.4.
Kesatuan Emanatif dan
Bukan Dualisme
Plotinus secara
tegas menolak
dualisme radikal antara roh dan materi sebagaimana yang lazim
ditemukan dalam Gnostisisme atau dalam interpretasi Cartesian modern. Ia
menganggap dunia sebagai realitas yang bertahap (graded
reality), bukan sebagai pertentangan antara yang spiritual dan yang
jasmani. Dunia materi bukanlah hasil dari kejahatan atau entitas yang buruk,
tetapi pancaran terakhir dari Yang Esa, dan karenanya tetap
memiliki keteraturan dan kebaikan dalam derajatnya yang paling rendah.8
Struktur ontologi
emanatif ini memungkinkan manusia untuk memahami realitas sebagai satu kesatuan
hierarkis yang dapat dijalani secara spiritual melalui proses kontemplasi,
asketisme, dan pengalaman mistik. Jiwa manusia memiliki kemampuan untuk mendaki
kembali dari dunia fisik, melalui Nous, hingga menyatu dengan Yang Esa,
dalam suatu peristiwa yang disebut henosis (penyatuan mistik).
Footnotes
[1]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna, ed. John
Dillon (London: Penguin Books, 1991), V.1.10.
[2]
Dominic J. O'Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 31–34.
[3]
Lloyd P. Gerson, Plotinus (London: Routledge, 1994), 52–54.
[4]
Kevin Corrigan, Reading Plotinus: A Practical Introduction to
Neoplatonism (West Lafayette: Purdue University Press, 2005), 75–78.
[5]
John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality (Cambridge:
Cambridge University Press, 1967), 89–91.
[6]
Eyjólfur K. Emilsson, “Plotinus,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/plotinus/.
[7]
Sara Rappe, Reading Neoplatonism: Non-Discursive Thinking in the
Texts of Plotinus, Proclus, and Damascius (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 60–63.
[8]
John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220
(Ithaca: Cornell University Press, 1996), 386–388.
5.
Epistemologi dan Perenungan Mistis
5.1.
Pengetahuan dalam
Kerangka Ontologi Hirarkis
Bagi Plotinus,
epistemologi tidak dapat dipisahkan dari struktur ontologis yang ia bangun.
Pengetahuan tertinggi bukanlah hasil dari diskursus logis atau akumulasi
empiris, melainkan suatu penyatuan intelektual dan spiritual
antara subjek (jiwa) dan objek (realitas ilahi). Karena itu, model
pengetahuan dalam Neoplatonisme bersifat kontemplatif dan partisipatoris,
bukan representasional atau empiris seperti dalam epistemologi modern.1
Plotinus membagi
pengetahuan ke dalam tiga tingkatan, yang paralel
dengan tiga hipostasis ontologis:
1)
Pengetahuan Indrawi
(Aisthēsis), terkait dengan dunia materi dan perubahan. Ini merupakan
tingkat pengetahuan paling rendah, bersifat sementara dan tidak stabil.
2)
Pengetahuan Rasional
(Dianoia), berkaitan dengan pemahaman bentuk-bentuk melalui proses
intelektual—seperti matematika dan logika. Ini adalah wilayah dari akal
diskursif.
3)
Pengetahuan Intuitif
(Noēsis), pengetahuan tertinggi yang langsung dan tanpa perantara,
terjadi di ranah Nous. Di sinilah jiwa menyentuh kebenaran secara
menyeluruh dalam kesatuan dan keheningan batin.2
Namun, puncak dari
semua bentuk pengetahuan dalam sistem Plotinus adalah henosis,
yaitu penyatuan
mistik jiwa dengan Yang Esa, yang melampaui bahkan pengetahuan
intelektual itu sendiri.
5.2.
Jalan Menuju Henosis:
Dari Etika ke Mistisisme
Plotinus memandang
filsafat sebagai latihan spiritual (askēsis),
bukan sekadar aktivitas teoretis. Jiwa manusia secara kodrati berasal dari Yang Esa,
tetapi karena keterlibatan dalam dunia materi, ia mengalami semacam
keterputusan atau "kelupaan" terhadap asal-usulnya. Maka,
jalan menuju henosis adalah jalan kepulangan ontologis dan spiritual,
yang harus ditempuh melalui disiplin moral, kontemplasi, dan pembersihan diri
(katharsis).3
Proses ini mencakup
tiga tahap utama:
1)
Pengendalian Diri dan
Etika:
Tahap awal melibatkan penundukan nafsu dan
penataan jiwa melalui kebajikan. Jiwa dilatih untuk melepaskan ketergantungan
pada dunia inderawi.
2)
Kontemplasi Intelektual:
Jiwa naik menuju Nous, berusaha
mengenali bentuk-bentuk ideal. Di tahap ini, jiwa mulai melihat keteraturan dan
keindahan ilahiah.
3)
Henosis:
Puncak pengalaman mistik, di mana jiwa—melalui
cinta dan keheningan batin—menyatu dengan Yang Esa, bukan melalui representasi
kognitif, tetapi dalam keadaan ekstasis (ekstasis) atau pemusnahan ego
(self-effacement).4
Plotinus
menggambarkan henosis sebagai pengalaman singkat, langka, dan tidak dapat dipaksakan,
namun sangat nyata dan mengubah seluruh orientasi spiritual manusia. Dalam Enneads
VI.9, ia mengatakan bahwa dalam pengalaman tertinggi itu, "pengetahuan
dan objek pengetahuan menjadi satu", dan jiwa tidak lagi “melihat
Yang Esa”, tetapi “menjadi Yang Esa.”_5
5.3.
Peran Intuisi
Spiritual dan Anti-Diskursivitas
Berbeda dari
epistemologi Aristotelian yang bersifat analitik dan logis, epistemologi
Plotinus didasarkan pada intuisi langsung, yang bersifat
non-diskursif
(alogos
gnōsis). Pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui proses
argumentatif, tetapi melalui keheningan, penarikan diri, dan pengamatan batin
yang mendalam.6
Hal ini menjadikan
Plotinus sebagai perintis epistemologi mistik dalam filsafat Barat. Model ini
tidak mengabaikan rasionalitas, tetapi menyadari keterbatasannya dalam
menjangkau kebenaran transenden. Bagi Plotinus, nalar (logos)
hanya bisa membawa sampai ke pintu gerbang realitas tertinggi; selebihnya hanya
bisa dijangkau melalui penglihatan batin dan transformasi eksistensial.
5.4.
Komparasi dengan
Tradisi Mistik Lain
Menariknya, konsep henosis
dalam Neoplatonisme memiliki kemiripan yang substansial dengan pengalaman
mistik dalam tradisi lain. Dalam mistisisme Islam, fana’ (peleburan diri dalam Tuhan) sebagaimana
diajarkan oleh al-Hallāj atau Ibn ‘Arabī, juga mengandung gagasan penyatuan
non-dual antara jiwa dan Yang Absolut.7 Dalam mistisisme Kristen,
pengalaman serupa digambarkan oleh Meister Eckhart dan Yohanes dari Salib
sebagai penyatuan “tanpa medium” antara roh manusia dan Tuhan. Plotinus
memberikan fondasi filosofis bagi pengalaman-pengalaman tersebut, menunjukkan
bahwa filsafat dan mistik tidak perlu bertentangan, melainkan saling
memperkaya.
Kesimpulan
Sementara
Plotinus membangun
sebuah model epistemologi yang melampaui batas-batas pengetahuan diskursif. Ia
menempatkan pengalaman mistik sebagai bentuk tertinggi
pengetahuan, di mana realitas dan subjek tidak lagi terpisah.
Dalam sistem Neoplatonis ini, epistemologi menjadi bagian integral dari
spiritualitas, dan kontemplasi menjadi sarana utama untuk mengakses dimensi
terdalam dari realitas. Jalan menuju pengetahuan sejati tidak dimulai dengan
observasi, tetapi dengan transformasi jiwa.
Footnotes
[1]
Lloyd P. Gerson, Plotinus (London: Routledge, 1994), 108–110.
[2]
Kevin Corrigan, Reading Plotinus: A Practical Introduction to
Neoplatonism (West Lafayette: Purdue University Press, 2005), 101–105.
[3]
Dominic J. O'Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 51–54.
[4]
Sara Rappe, Reading Neoplatonism: Non-Discursive Thinking in the
Texts of Plotinus, Proclus, and Damascius (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 72–75.
[5]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna, ed. John
Dillon (London: Penguin Books, 1991), VI.9.11.
[6]
Eyjólfur K. Emilsson, “Plotinus,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/plotinus/.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 154–157.
6.
Plotinus dan Konsepsi Kejahatan
6.1.
Kejahatan sebagai
Ketiadaan Kebaikan (Privatio Boni)
Plotinus
mengembangkan pemahaman tentang kejahatan yang sangat khas dalam kerangka
ontologi emanatifnya. Berbeda dari tradisi Gnostik yang memandang dunia
material sebagai hasil dari prinsip jahat yang berdiri sendiri, Plotinus
menolak segala bentuk dualitas metafisik antara
kebaikan dan kejahatan. Baginya, kejahatan tidak memiliki substansi atau
eksistensi otonom; kejahatan hanyalah ketiadaan kebaikan (ἀπουσία τοῦ ἀγαθοῦ / privatio
boni).1
Dalam Enneads
I.8, Plotinus menegaskan bahwa hanya kebaikan yang benar-benar
eksis, sementara kejahatan timbul karena kekurangan bentuk,
ketidaksempurnaan, atau keterpisahan dari sumber kebaikan yang sempurna, yaitu Yang Esa.
Karena itu, kejahatan tidak diciptakan oleh Yang Esa, tetapi merupakan konsekuensi
dari keterjauhan ontologis dalam tatanan realitas yang
berjenjang.2
Gagasan ini akan
memberi pengaruh besar terhadap pemikiran filsuf Kristen seperti Agustinus,
yang kemudian mengadopsi model privatio boni dalam Confessiones
dan De
Civitate Dei, serta menjadikannya pilar penting dalam teologi
Kristen Ortodoks Barat.3
6.2.
Kejahatan Fisik dan
Kejahatan Moral
Plotinus membedakan
antara dua bentuk kejahatan:
1)
Kejahatan Fisik (Physical
Evil), seperti penderitaan, penyakit, atau ketidaksempurnaan material.
Jenis kejahatan ini dianggap sebagai akibat alami dari keberadaan di tingkat
ontologis paling rendah, yakni dunia fisik. Materi, dalam sistem Plotinus,
merupakan bentuk realitas yang paling jauh dari Yang Esa, dan
karenanya paling minim partisipasinya dalam kebaikan.4
Namun, materi bukanlah jahat secara substansial; ia hanya “buruk” sejauh tidak
sepenuhnya mencerminkan bentuk yang lebih tinggi.
2)
Kejahatan Moral (Moral
Evil) muncul ketika jiwa manusia, yang seharusnya
bergerak naik menuju Nous dan Yang Esa, justru tertarik ke bawah
oleh nafsu dan ketergantungan pada dunia materi. Dalam pengertian ini,
kejahatan moral adalah akibat dari pilihan bebas jiwa yang keliru,
dan bukan hasil dari ciptaan atau struktur kosmis itu sendiri.5
Dengan demikian,
etika Neoplatonis menjadi sangat erat kaitannya dengan metafisika. Kebaikan
bukan hanya tujuan moral, tetapi juga tujuan ontologis, yaitu
penyatuan kembali jiwa dengan sumbernya.
6.3.
Materi: Antara
Keperluan Kosmis dan Potensi Kejahatan
Dalam Enneads
I.8 dan II.4, Plotinus menyatakan bahwa materi
(hulē) merupakan prinsip ontologis yang “tidak berbentuk” dan
“tidak aktif”. Ia adalah penerima dari bentuk (eidos)
tetapi tidak memberikan apa pun dengan sendirinya. Karena tidak memiliki
bentuk, tujuan, dan kejelasan, materi cenderung menjadi tempat bagi ketidaksempurnaan,
ilusi, dan gangguan spiritual.6
Namun, penting untuk
dicatat bahwa Plotinus tidak mengutuk materi seperti
dalam Gnostisisme. Materi tetap merupakan emanasi terakhir dari Yang Esa,
meskipun lemah dan jauh dari sumber asalnya. Keberadaannya diperlukan untuk
memungkinkan keberagaman dan dinamika dalam alam semesta. Oleh sebab itu,
kejahatan bukan sesuatu yang bisa dihapuskan secara total, tetapi merupakan konsekuensi
tak terelakkan dari sistem emanatif yang berjenjang.7
6.4.
Kejahatan sebagai
Jalan Bagi Kembali ke Yang Esa
Paradoks dalam
filsafat Plotinus adalah bahwa meskipun kejahatan merupakan kekurangan atau
keterpisahan dari kebaikan, ia juga menjadi pemicu bagi jiwa untuk mencari kesempurnaan
sejati. Dalam penderitaan atau kegelapan moral, jiwa terdorong
untuk berpaling dari dunia dan naik kembali ke sumber ilahi.
Kejahatan, dalam
konteks ini, berfungsi sebagai alat pedagogis dan eksistensial:
ia menyadarkan manusia akan keterbatasan dunia indrawi dan pentingnya pencarian
spiritual. Dalam proses anabasis (pendakian jiwa),
pengalaman terhadap penderitaan atau kesalahan moral membuka jalan bagi metanoia
(pertobatan) dan kontemplasi.8
Kesimpulan
Sementara
Konsepsi kejahatan
dalam sistem Neoplatonis Plotinus menunjukkan sintesis antara metafisika dan
etika yang mendalam. Ia menolak adanya dua prinsip ontologis yang saling
bertentangan (baik dan jahat), dan menggantinya dengan pemahaman bahwa
kejahatan hanyalah bayangan dari ketidaksempurnaan atau ketiadaan. Materi, penderitaan,
dan kesalahan moral hanyalah ekspresi dari jarak ontologis terhadap kebaikan
absolut. Namun dalam sistem ini, bahkan kejahatan memiliki fungsi
teleologis—mengembalikan jiwa kepada kesatuan dengan Yang Esa,
puncak segala kebaikan.
Footnotes
[1]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna, ed. John
Dillon (London: Penguin Books, 1991), I.8.3.
[2]
Kevin Corrigan, Reading Plotinus: A Practical Introduction to
Neoplatonism (West Lafayette: Purdue University Press, 2005), 113–115.
[3]
Phillip Cary, Augustine’s Invention of the Inner Self: The Legacy
of a Christian Platonist (Oxford: Oxford University Press, 2000), 58–62.
[4]
Dominic J. O'Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 66–68.
[5]
Eyjólfur K. Emilsson, “Plotinus,” The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/plotinus/.
[6]
John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality (Cambridge:
Cambridge University Press, 1967), 139–142.
[7]
Lloyd P. Gerson, Plotinus (London: Routledge, 1994), 77–79.
[8]
Sara Rappe, Reading Neoplatonism: Non-Discursive Thinking in the
Texts of Plotinus, Proclus, and Damascius (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 84–86.
7.
Warisan Intelektual Plotinus
Pemikiran Plotinus
tidak berhenti sebagai doktrin filsafat kontemplatif dalam lingkup Romawi abad
ketiga. Sebaliknya, sistem Neoplatonisme yang ia bangun memberikan pengaruh
transhistoris dan transkultural yang luar biasa terhadap
perkembangan pemikiran keagamaan, metafisika, dan mistisisme dalam tiga tradisi
besar: Kristen,
Islam,
dan Yahudi,
serta menginspirasi berbagai renaisans filsafat sepanjang abad pertengahan
hingga modern awal.
7.1.
Porphyry dan
Penyebaran Awal Neoplatonisme
Warisan Plotinus
pertama-tama dilestarikan dan dikembangkan oleh Porphyry (ca. 234–ca. 305 M),
murid sekaligus penyunting risalah-risalah Plotinus yang disusun menjadi Enneads.
Porphyry bukan hanya editor, tetapi juga penafsir awal yang memperkenalkan
Neoplatonisme kepada dunia yang lebih luas, serta memberikan struktur
sistematik yang lebih eksplisit pada pemikiran gurunya.1
Melalui Porphyry,
ajaran Plotinus menyebar ke dalam aliran-aliran Neoplatonisme berikutnya,
seperti dalam karya Iamblichus dan Proclus,
yang menambahkan unsur teurgi dan elaborasi kosmologis yang lebih kompleks ke
dalam sistem. Meskipun beberapa dari elaborasi ini tidak selaras dengan
kesederhanaan kontemplatif Plotinus, mereka tetap mengukuhkan pengaruh
Neoplatonisme sebagai sistem filsafat spiritual paling berpengaruh
dalam dunia Romawi akhir.2
7.2.
Pengaruh terhadap
Filsafat Kristen: Augustinus dan Mistisisme Barat
Dalam tradisi
Kristen, pengaruh Plotinus sangat menonjol melalui Augustinus
dari Hippo (354–430 M). Sebelum memeluk Kristen secara penuh,
Augustinus telah mempelajari Neoplatonisme dan menyatakan bahwa karya-karya
Plotinus membantunya memahami spiritualitas Kristen dalam dimensi intelektual
yang lebih mendalam.3 Dalam Confessiones dan De
Trinitate, ia mengadopsi kerangka emanasi untuk memahami hubungan
antara Allah, Logos, dan Roh Kudus, serta mengintegrasikan gagasan privatio
boni sebagai dasar ontologis kejahatan.
Di kemudian hari,
mistikus-mistikus Kristen seperti Meister Eckhart, Yohanes
dari Salib, dan Pseudo-Dionysius Areopagita
juga memanfaatkan paradigma henosis (penyatuan mistik) yang dikembangkan
Plotinus. Pengalaman batin sebagai jalan menuju realitas transenden menjadi
pusat spiritualitas Kristen abad pertengahan, sebagian besar karena pengaruh
struktur pemikiran Neoplatonis.4
7.3.
Neoplatonisme dalam
Filsafat Islam: al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina
Pemikiran Plotinus
juga memasuki dunia Islam melalui terjemahan Arab atas karya-karya yang dikenal
sebagai Theology of Aristotle (Uthūlūjiyā
Arisṭūṭālīs), yang sebenarnya merupakan pengadaptasian dari Enneads
IV–VI. Meskipun awalnya disandarkan kepada Aristoteles, karya ini
secara substansial mencerminkan pemikiran Plotinus dan menjadi sangat
berpengaruh dalam dunia filsafat Islam.5
Al-Kindi
adalah salah satu tokoh awal yang mengadopsi unsur Neoplatonis dalam kerangka
teologi Islam rasional. Al-Farabi dan Ibn Sina
(Avicenna) lebih jauh mengembangkan struktur ontologis emanatif
mirip Plotinus dalam membahas relasi antara Tuhan, akal-akal kosmis, dan jiwa.
Meskipun keduanya memodifikasi konsep tersebut agar sesuai dengan monoteisme
Islam dan logika Aristotelian, jejak Neoplatonisme tetap kuat, terutama dalam
gagasan tentang Tuhan sebagai prinsip wujud murni (wājib al-wujūd) dan sistem intelek
aktif.6
7.4.
Pengaruh terhadap
Mistisisme Islam dan Yahudi
Dalam ranah tasawuf,
Neoplatonisme menemukan resonansi dalam ajaran Ibn ‘Arabī, terutama dalam
konsep wahdat
al-wujūd (kesatuan wujud), yang memiliki kemiripan ontologis dengan
gagasan emanasi
dan henosis.
Meskipun Ibn ‘Arabī menempatkan konsepnya dalam kerangka wahyu dan kenabian,
struktur spiritualnya tetap menunjukkan kemiripan dengan sistem Neoplatonis
dalam hal hirarki realitas, kesatuan esensial, dan jalan mistik menuju Tuhan.7
Sementara itu, dalam
mistisisme Yahudi, terutama Kabbalah Lurianik, gagasan
tentang emanasi (sefirot) dan kembalinya jiwa kepada
sumber ilahi memiliki kesamaan struktur dengan pemikiran Plotinus. Meskipun
berkembang dalam ranah religius yang berbeda, struktur hierarkis dan dinamis dari realitas
tetap menunjukkan pola metafisika Neoplatonis.8
7.5.
Neoplatonisme dan
Renaisans Eropa
Pada masa Renaisans,
Neoplatonisme mengalami kebangkitan besar berkat tokoh seperti Marsilio
Ficino (1433–1499), yang menerjemahkan karya-karya Plato dan
Plotinus ke dalam bahasa Latin dan membentuk Florentine Academy. Ficino
melihat Neoplatonisme sebagai jembatan antara filsafat Yunani dan teologi
Kristen, serta sebagai dasar bagi humanisme spiritual
Renaisans. Ia menekankan pentingnya kontemplasi dan cinta sebagai jalan menuju
Tuhan, gagasan yang berakar kuat dalam ajaran Plotinus.9
7.6.
Relevansi Filsafat
Plotinus di Dunia Kontemporer
Meskipun konteks
metafisik Plotinus sangat berbeda dari dunia filsafat modern yang dominan
analitik dan sekuler, gagasan-gagasannya tetap relevan dalam beberapa bidang:
·
Ekofilsafat
dan spiritualitas ekologi kontemporer menyerap gagasan tentang kesatuan kosmis
dan hirarki keberadaan sebagai dasar harmoni alam.
·
Filsafat
transpersonal dalam psikologi modern, yang menekankan pengalaman
mistik dan transformasi diri, seringkali menengok kembali ke warisan
Neoplatonis.
·
Dialog lintas agama
dan filsafat perennialisme (misalnya pada Frithjof Schuon dan Huston
Smith) sering menjadikan Plotinus sebagai representasi filsafat metafisik
universal.10
Footnotes
[1]
Porphyry, The Life of Plotinus, in The Enneads,
trans. Stephen MacKenna, ed. John Dillon (London: Penguin Books, 1991), 5–7.
[2]
Dominic J. O’Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 78–81.
[3]
Phillip Cary, Augustine’s Invention of the Inner Self: The Legacy
of a Christian Platonist (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45–48.
[4]
Bernard McGinn, The Foundations of Mysticism (New York:
Crossroad, 1991), 138–142.
[5]
Peter Adamson, The Arabic Plotinus: A Philosophical Study of the
“Theology of Aristotle” (London: Duckworth, 2002), 55–60.
[6]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition:
Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill,
2001), 121–125.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 102–106.
[8]
Moshe Idel, Kabbalah: New Perspectives (New Haven: Yale
University Press, 1988), 204–208.
[9]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and the Arts: Collected
Essays (Princeton: Princeton University Press, 1990), 42–46.
[10]
Huston Smith, Forgotten Truth: The Common Vision of the World's
Religions (New York: HarperOne, 1992), 75–78.
8.
Kritik dan Relevansi Kontemporer
8.1.
Kritik Filosofis
terhadap Sistem Plotinus
Meski pemikiran
Plotinus membentuk salah satu sistem metafisika paling berpengaruh sepanjang
sejarah filsafat, banyak kritik telah diajukan terhadap beberapa aspek
fundamental dari Neoplatonisme, terutama dari perspektif filsafat modern dan
sains kontemporer.
8.1.1.
Kritik Rasionalistik dan Empiris
Salah satu kritik
utama berasal dari para rasionalis dan empiris modern
yang menolak pendekatan metafisik dan mistik yang digunakan Plotinus. Mereka
memandang sistem emanatifnya sebagai spekulatif dan tidak dapat diuji secara
rasional atau empiris. Bertrand Russell, misalnya,
menganggap Neoplatonisme sebagai kemunduran dalam filsafat karena lebih
menekankan keabstrakan religius daripada analisis logis.1
Begitu pula dalam
konteks filsafat analitik, gagasan
seperti Yang Esa
yang melampaui keberadaan dinilai problematis karena melampaui kategori logika
dan bahasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Anthony Kenny, konsep semacam
itu gagal memenuhi prinsip verifikasi, yakni tidak dapat dibuktikan
kebenarannya secara logis ataupun empiris.2
8.1.2.
Kritik Teologis
Dari sudut pandang teologi
Abrahamik, konsep Plotinus tentang Yang Esa yang impersonal dan
transenden secara mutlak sering dianggap tidak sesuai dengan gagasan Tuhan yang
personal dan imanen. Teolog Kristen seperti Karl Barth
menolak sistem Plotinus karena terlalu mengandalkan upaya manusia untuk “naik”
kepada Tuhan, tanpa cukup menekankan inisiatif ilahi dalam wahyu dan kasih
karunia.3
8.2.
Penilaian Kritis atas
Aspek Ontologi dan Jiwa
Sejumlah pemikir
modern juga mengkritik aspek ontologi Plotinus yang bersifat hirarkis
dan esensialis. Filsafat kontemporer yang lebih egaliter dalam
memandang entitas eksistensial menganggap skema realitas bertingkat sebagai
bentuk hierarki
metafisik yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip kesetaraan
ontologis dalam pandangan ekologis atau fenomenologis.4
Begitu pula dalam
konteks psikologi kontemporer, gagasan
tentang jiwa sebagai entitas yang turun ke dunia materi dan harus kembali ke
sumber spiritualnya kadang-kadang dianggap meremehkan nilai pengalaman manusiawi dan dunia
nyata, serta memperkuat dikotomi antara tubuh dan jiwa yang
kini mulai dipertanyakan dalam studi-studi interdisipliner tentang kesadaran.5
8.3.
Relevansi Kontemporer:
Dari Spiritualitas hingga Ekofilsafat
Meskipun menghadapi
kritik, pemikiran Plotinus tetap memiliki relevansi signifikan dalam diskursus filsafat
dan spiritualitas kontemporer, terutama dalam tiga bidang
berikut:
8.3.1. Spiritualitas Transpersonal
dan Psikologi Kontemplatif
Dalam psikologi
transpersonal, pemikiran Plotinus dipandang sebagai pionir
gagasan tentang transformasi kesadaran dan perkembangan
spiritual. Peneliti seperti Ken Wilber dan Stanislav
Grof menunjukkan bagaimana pengalaman henosis dalam
Neoplatonisme dapat dipahami sebagai struktur puncak dari perkembangan
kesadaran manusia.6 Dalam praktik meditasi, kontemplasi, dan
psikoterapi spiritual, model Neoplatonis masih dijadikan rujukan kerangka
transendensi ego dan penyatuan diri dengan realitas ilahi.
8.3.2.
Ekofilsafat dan
Kosmologi Spiritual
Relevansi lain
muncul dalam konteks ekofilsafat, di mana struktur
emanatif Neoplatonis dibaca ulang sebagai model kesatuan kosmos yang tidak
memisahkan antara manusia dan alam. Gagasan bahwa semua realitas berasal dari
satu sumber dan memiliki orientasi spiritual yang sama memberi dasar metafisik
bagi prinsip interkoneksi ekologis dan sakralitas
alam.7 Ini sejalan dengan pendekatan kosmologi
spiritual dalam filsafat Whiteheadian dan Teologi Proses.
8.3.3.
Dialog Lintas Agama
dan Filsafat Perennial
Neoplatonisme juga
menjadi jembatan dalam dialog lintas agama, terutama
karena kemiripan struktur ontologisnya dengan tradisi Hindu (Vedanta), Sufi
Islam, dan mistisisme Kristen. Filsuf perennialis seperti Frithjof
Schuon, Seyyed Hossein Nasr, dan Aldous
Huxley sering mengutip Plotinus sebagai contoh dari kebijaksanaan
metafisik universal yang melampaui batas-batas sektarian dan
historis.8
Kesimpulan
Sementara
Meski sistem
Plotinus menghadapi kritik dari kalangan rasionalis, empiris, dan teologis
tertentu, warisan filosofinya tetap hidup dalam banyak bentuk refleksi
kontemporer: baik dalam spiritualitas pribadi, pengembangan psikologi
kesadaran, maupun gerakan filsafat lingkungan. Nilai abadi dari pemikirannya terletak
pada kemampuan
untuk menyatukan metafisika, etika, dan kontemplasi dalam satu sistem koheren,
yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga mengarahkan manusia menuju
puncak eksistensialnya—penyatuan dengan Yang Esa.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York:
Simon and Schuster, 1945), 283–285.
[2]
Anthony Kenny, The God of the Philosophers (Oxford: Clarendon
Press, 1979), 38–40.
[3]
Karl Barth, Church Dogmatics, trans. G. W. Bromiley
(Edinburgh: T&T Clark, 1956), I/2, 321–324.
[4]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 127–130.
[5]
Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the
Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 98–102.
[6]
Ken Wilber, The Atman Project: A Transpersonal View of Human
Development (Wheaton: Quest Books, 1996), 113–119.
[7]
Mary Evelyn Tucker and John Grim, “Integrating Ecology and Justice: The
Papal Encyclical,” The Quarterly Review of Biology 91, no. 3 (2016):
261–270.
[8]
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, trans.
Peter Townsend (Wheaton: Quest Books, 1993), 55–57.
9.
Kesimpulan
Pemikiran Plotinus
menandai sebuah puncak dan titik balik dalam
sejarah filsafat klasik. Ia tidak hanya mewarisi dan mengembangkan gagasan
Platonis, tetapi juga memberikan dimensi baru yang lebih spiritual,
kontemplatif, dan metafisik. Melalui sistem tiga hipostasis—Yang Esa,
Nous,
dan Psyche—Plotinus
merumuskan ontologi yang mendalam, di mana seluruh realitas dipahami sebagai
emanasi dari sumber ilahi yang mutlak dan tak terbatas. Dalam sistem ini, pengetahuan
sejati bukan sekadar pemahaman logis, tetapi pengalaman
penyatuan eksistensial yang disebut henosis, di mana jiwa manusia
kembali ke asalnya yang transenden.1
Plotinus menawarkan
suatu sintesis
agung antara filsafat dan spiritualitas, antara metafisika dan
etika, yang menjadikannya tidak hanya sebagai filsuf spekulatif, tetapi juga
sebagai pemikir keagamaan dalam pengertian
yang luas. Konsepsi kejahatan sebagai privatio boni memperlihatkan
kedalaman logika moralnya: bahwa kejahatan tidak memiliki substansi sendiri,
melainkan merupakan ketiadaan kebaikan, sebuah ide yang memberikan pengaruh
mendalam pada pemikiran teologis Barat, khususnya dalam karya-karya Augustinus.2
Warisan Plotinus
menjangkau lintas zaman dan lintas tradisi. Ia menjadi penghubung
antara filsafat Yunani dan teologi Kristen, memengaruhi para
filsuf Islam seperti Ibn Sina dan al-Farabi, serta memberi resonansi kuat dalam
mistisisme Yahudi dan Kristen. Melalui Porphyry dan penerusnya di
sekolah-sekolah Neoplatonis, serta penerjemahannya ke dalam bahasa Arab dan
Latin, Plotinus menjadi bagian integral dari pembentukan pemikiran metafisik
dan spiritual di dunia Timur maupun Barat.3
Dalam konteks
kontemporer, meskipun filsafat Plotinus dikritik oleh filsuf rasionalis modern
karena sifatnya yang spekulatif dan non-empiris, sistemnya tetap hidup dalam psikologi
transpersonal, ekofilsafat, dan filsafat perennial. Kesadaran
akan keterhubungan seluruh eksistensi dan pentingnya perjalanan spiritual
manusia menuju kesatuan dengan Yang Transenden memberikan jawaban filosofis
atas krisis makna di era modern yang cenderung terfragmentasi dan
materialistik.4
Maka, warisan
Plotinus bukan sekadar sistem spekulatif dari masa lalu, melainkan sebuah model
alternatif keberadaan dan pengetahuan yang berpusat pada
kontemplasi, integrasi, dan kesatuan spiritual. Dalam dunia yang sering
memisahkan antara sains dan makna, antara akal dan iman, antara dunia dan
transendensi, filsafat Plotinus menawarkan kemungkinan untuk membangun
jembatan antara kedalaman metafisik dan praksis kehidupan.
Footnotes
[1]
Dominic J. O’Meara, Plotinus: An Introduction to the Enneads
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 35–37.
[2]
Phillip Cary, Augustine’s Invention of the Inner Self: The Legacy
of a Christian Platonist (Oxford: Oxford University Press, 2000), 57–60.
[3]
Peter Adamson, The Arabic Plotinus: A Philosophical Study of the
“Theology of Aristotle” (London: Duckworth, 2002), 93–95.
[4]
Ken Wilber, The Atman Project: A Transpersonal View of Human
Development (Wheaton: Quest Books, 1996), 117–119.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2002). The
Arabic Plotinus: A philosophical study of the "Theology of Aristotle".
London: Duckworth.
Barth, K. (1956). Church
dogmatics: The doctrine of the Word of God, Volume I/2 (G. W. Bromiley,
Trans.). Edinburgh: T&T Clark.
Cary, P. (2000). Augustine’s
invention of the inner self: The legacy of a Christian Platonist. Oxford:
Oxford University Press.
Chittick, W. C. (1989). The
Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination.
Albany: SUNY Press.
Corrigan, K. (2005). Reading
Plotinus: A practical introduction to Neoplatonism. West Lafayette, IN:
Purdue University Press.
Dillon, J. M. (1996). The
Middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Emilsson, E. K. (2020).
Plotinus. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2020 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/plotinus/
Gerson, L. P. (1994). Plotinus.
London: Routledge.
Gutas, D. (2001). Avicenna
and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna's philosophical
works (2nd ed.). Leiden: Brill.
Idel, M. (1988). Kabbalah:
New perspectives. New Haven, CT: Yale University Press.
Kenny, A. (1979). The
God of the philosophers. Oxford: Clarendon Press.
Kristeller, P. O. (1990). Renaissance
thought and the arts: Collected essays. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
McGinn, B. (1991). The
foundations of mysticism: Origins to the fifth century. New York:
Crossroad.
Metzinger, T. (2009). The
ego tunnel: The science of the mind and the myth of the self. New York:
Basic Books.
O’Meara, D. J. (1993). Plotinus:
An introduction to the Enneads. Oxford: Clarendon Press.
Plotinus. (1991). The
Enneads (S. MacKenna, Trans.; J. Dillon, Ed.). London: Penguin Books.
Porphyry. (1991). The
life of Plotinus. In S. MacKenna (Trans.) & J. Dillon (Ed.), The
Enneads (pp. 1–20). London: Penguin Books.
Rappe, S. (2000). Reading
Neoplatonism: Non-discursive thinking in the texts of Plotinus, Proclus, and
Damascius. Cambridge: Cambridge University Press.
Rist, J. M. (1967). Plotinus:
The road to reality. Cambridge: Cambridge University Press.
Russell, B. (1945). A
history of Western philosophy. New York: Simon and Schuster.
Schuon, F. (1993). The
transcendent unity of religions (P. Townsend, Trans.). Wheaton, IL: Quest
Books.
Smith, H. (1992). Forgotten
truth: The common vision of the world’s religions. New York: HarperOne.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Tucker, M. E., & Grim,
J. (2016). Integrating ecology and justice: The papal encyclical. The
Quarterly Review of Biology, 91(3), 261–270. https://doi.org/10.1086/688095
Wilber, K. (1996). The
Atman project: A transpersonal view of human development (2nd ed.).
Wheaton, IL: Quest Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar