Teori Pemangku Kepentingan
Tanggung Jawab Moral terhadap Semua Pihak
Alihkan ke: Etika Lingkungan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji Teori Pemangku Kepentingan
(Stakeholder Theory) sebagai paradigma etika bisnis yang berupaya
menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan tanggung jawab moral terhadap seluruh
pihak yang terlibat dalam aktivitas korporasi. Kajian ini menegaskan bahwa
bisnis tidak dapat dipahami semata-mata sebagai entitas ekonomi yang
berorientasi laba, tetapi sebagai organisme sosial dan moral yang eksistensinya
bergantung pada jaringan relasional dengan manusia, masyarakat, dan lingkungan.
Melalui pendekatan filosofis yang meliputi dimensi ontologis, epistemologis,
aksiologis, serta dimensi sosial-politik, artikel ini menunjukkan bahwa Stakeholder
Theory memberikan landasan etis bagi praktik bisnis yang berkeadilan,
transparan, dan berkelanjutan.
Dari perspektif ontologis, teori ini memandang
perusahaan sebagai entitas yang being-with-others—yakni eksis dalam
relasi dengan para pemangku kepentingan. Secara epistemologis, ia mengandalkan
rasionalitas praktis dan dialogis yang menekankan phronesis
(kebijaksanaan moral) dalam pengambilan keputusan bisnis. Dari segi aksiologis,
teori ini menegaskan nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, solidaritas, dan
keberlanjutan sebagai prinsip moral utama. Sementara dalam dimensi
sosial-politik, teori ini memperluas tanggung jawab etis bisnis menuju ranah
keadilan distributif, partisipasi demokratis, dan kepedulian ekologis.
Melalui sintesis filosofis, Stakeholder Theory
diinterpretasikan sebagai upaya mengintegrasikan etika, ekonomi, dan
kemanusiaan dalam kerangka common good. Dalam konteks globalisasi,
digitalisasi, dan krisis ekologis, teori ini semakin relevan sebagai fondasi
bagi paradigma bisnis humanistik yang menempatkan manusia dan kehidupan sebagai
pusat orientasi moral. Dengan demikian, Stakeholder Theory bukan hanya
model manajerial, tetapi juga filsafat praksis yang menuntun dunia bisnis
menuju keseimbangan antara efisiensi dan kemanusiaan, antara keuntungan dan
tanggung jawab moral.
Kata Kunci: Etika Bisnis; Teori Pemangku Kepentingan; Tanggung
Jawab Sosial; Keberlanjutan; Keadilan; Humanisme; Common Good.
PEMBAHASAN
Etika Bisnis dalam Perspektif Teori Pemangku
Kepentingan
1.          
Pendahuluan
Dalam dinamika bisnis modern yang semakin kompleks,
persoalan etika tidak lagi dapat dipandang sebagai pelengkap administratif atau
sekadar instrumen pelatihan korporat. Etika bisnis merupakan jantung dari
legitimasi moral perusahaan di tengah masyarakat yang menuntut transparansi,
keadilan, dan tanggung jawab sosial. Krisis-krisis korporasi besar seperti
skandal akuntansi Enron (2001), kehancuran sistem keuangan global
(2008), hingga kasus pencemaran lingkungan oleh BP Oil Spill (2010)
menunjukkan bagaimana absennya kesadaran etis dalam pengambilan keputusan dapat
meruntuhkan kepercayaan publik dan menghancurkan nilai perusahaan secara
sistemik.¹
Dalam konteks tersebut, muncul kesadaran baru bahwa
bisnis tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham (shareholders),
tetapi juga terhadap pihak-pihak lain yang terdampak oleh aktivitasnya—para
karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat lokal, hingga lingkungan hidup.²
Kesadaran ini melahirkan paradigma etika bisnis yang dikenal sebagai Teori
Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory), yang pertama kali
dirumuskan secara sistematis oleh R. Edward Freeman pada tahun 1984 dalam
karyanya Strategic Management: A Stakeholder Approach.³
Berbeda dari pandangan klasik ekonomi yang
menempatkan perusahaan sebagai alat untuk memaksimalkan keuntungan bagi
pemegang saham semata, Stakeholder Theory memandang organisasi bisnis
sebagai entitas moral yang memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan semua
pihak yang memiliki kepentingan (interests) dalam operasi dan
keberlanjutan perusahaan.⁴ Dengan demikian, teori ini tidak hanya menawarkan
pendekatan strategis terhadap manajemen, melainkan juga memberikan kerangka
normatif bagi etika bisnis kontemporer.
Teori ini menggeser paradigma dari profit-centered
ethics menuju responsibility-centered ethics, di mana ukuran
keberhasilan bisnis tidak hanya diukur dari laba finansial, melainkan juga dari
kontribusinya terhadap kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan.⁵ Dalam
kerangka ini, etika menjadi bukan sekadar instrumen reputasional, tetapi
fondasi ontologis bagi keberadaan perusahaan itu sendiri.
Tujuan utama pembahasan ini adalah untuk
menganalisis Teori Pemangku Kepentingan dari perspektif filosofis dan
etis—meliputi landasan historis, ontologi, epistemologi, dan aksiologinya—serta
relevansinya dalam praktik bisnis modern. Dengan pendekatan yang sistematis,
tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa Stakeholder Theory merupakan
salah satu teori etika bisnis yang paling komprehensif dan aplikatif bagi
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.⁶
Footnotes
[1]               
Daniel A. Wren dan Arthur G. Bedeian, The
Evolution of Management Thought, 6th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2009),
527–531.
[2]               
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 67–69.
[3]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 25–26.
[4]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 14–15.
[5]               
John Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 56.
[6]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 89–92.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)
lahir sebagai respons terhadap perubahan mendasar dalam lanskap ekonomi dan
sosial pada paruh akhir abad ke-20. Pergeseran paradigma dari ekonomi industri
menuju ekonomi informasi, globalisasi pasar, serta meningkatnya kesadaran
publik terhadap dampak sosial dan ekologis bisnis menuntut model baru dalam
memahami peran etika dalam manajemen korporasi.¹
Secara historis, akar Stakeholder Theory
dapat ditelusuri hingga pemikiran manajemen strategis pada dekade 1960-an dan
1970-an, yang mulai mempertanyakan pandangan reduksionistik tentang perusahaan
sebagai instrumen pencipta laba semata.² Namun, tonggak pentingnya muncul pada
tahun 1984 ketika R. Edward Freeman menerbitkan karya monumental Strategic
Management: A Stakeholder Approach, yang memformulasikan konsep bahwa
keberhasilan jangka panjang perusahaan tergantung pada kemampuannya membangun
hubungan saling menguntungkan dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan.³
Freeman mengkritik teori ekonomi neoklasik yang
dipopulerkan oleh Milton Friedman, yang menegaskan bahwa satu-satunya
tanggung jawab sosial bisnis adalah memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham.⁴
Dalam esainya yang terkenal “The Social Responsibility of Business Is to
Increase Its Profits” (1970), Friedman menolak ide bahwa perusahaan
memiliki kewajiban moral di luar kepentingan pemegang saham, karena menurutnya
tanggung jawab sosial berada pada individu, bukan entitas korporasi.⁵ Kritik
ini menjadi titik berangkat bagi Freeman untuk menegaskan bahwa perusahaan
modern merupakan nexus of relationships, yakni jaringan relasional yang
menuntut tanggung jawab moral kepada semua pihak yang terlibat atau terdampak
oleh aktivitas bisnis.⁶
Selain konteks ekonomi dan manajerial, secara
filosofis teori ini juga berakar pada tradisi etika normatif, khususnya etika
Kantian dan utilitarianisme. Etika Immanuel Kant dengan prinsip categorical
imperative menekankan penghormatan terhadap martabat manusia dan larangan
memperlakukan individu semata sebagai alat, melainkan juga sebagai tujuan.⁷
Prinsip ini menjadi dasar bagi pengakuan moral terhadap para pemangku
kepentingan sebagai subjek etis yang memiliki hak untuk didengar dan
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan bisnis. Sementara itu, pengaruh
utilitarianisme—yang menekankan pencapaian “kebaikan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak”—memberikan fondasi pragmatis bagi tujuan perusahaan dalam menyeimbangkan
berbagai kepentingan untuk mencapai kesejahteraan bersama.⁸
Dalam perkembangan selanjutnya, Stakeholder
Theory mengalami diversifikasi konseptual. Thomas Donaldson dan Lee E.
Preston (1995) menguraikan tiga dimensi teori ini: deskriptif, instrumental, dan
normatif.⁹ Dimensi deskriptif menjelaskan kenyataan bahwa perusahaan memang
berinteraksi dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan; dimensi
instrumental menunjukkan bahwa memperhatikan kepentingan mereka berdampak
positif terhadap kinerja organisasi; sedangkan dimensi normatif memberikan
legitimasi moral bagi teori ini sebagai kerangka etika bisnis.¹⁰
Dengan demikian, secara genealogis, Stakeholder
Theory merepresentasikan transformasi epistemologis dalam filsafat bisnis:
dari paradigma mekanistik yang menekankan kepemilikan dan efisiensi ekonomi,
menuju paradigma relasional yang menekankan tanggung jawab sosial dan moralitas
korporatif.¹¹ Teori ini muncul bukan semata-mata sebagai strategi manajemen,
tetapi sebagai refleksi filosofis atas pertanyaan mendasar: Untuk siapa
bisnis dijalankan, dan kepada siapa bisnis bertanggung jawab?
Footnotes
[1]               
John Hendry, Ethics and Finance: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 41–43.
[2]               
Daniel A. Wren dan Arthur G. Bedeian, The
Evolution of Management Thought, 6th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2009),
493–498.
[3]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 25–30.
[4]               
Thomas Clarke, International Corporate Governance:
A Comparative Approach (London: Routledge, 2007), 19–21.
[5]               
Milton Friedman, “The Social Responsibility of
Business Is to Increase Its Profits,” The New York Times Magazine,
September 13, 1970.
[6]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 14–16.
[7]               
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. and ed. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 37–39.
[8]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907),
12–14.
[9]               
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 65–91.
[10]            
Ibid., 70–74.
[11]            
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 89–92.
3.          
Ontologi
Teori Pemangku Kepentingan
Ontologi Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder
Theory) berangkat dari pertanyaan mendasar mengenai hakikat keberadaan
perusahaan: apakah organisasi bisnis hanya merupakan entitas ekonomi yang
berorientasi pada laba, ataukah ia juga merupakan entitas moral dan sosial yang
memiliki eksistensi dalam jaringan kehidupan masyarakat?¹ Dalam kerangka
ontologis ini, perusahaan tidak dapat dipahami sekadar sebagai mesin produksi
nilai ekonomi, melainkan sebagai organisme sosial yang hidup dalam
relasi interdependen dengan para pemangku kepentingan yang membentuk dan
menopangnya.²
Menurut R. Edward Freeman, organisasi bisnis
memiliki eksistensi yang ditentukan oleh jaringan relasi dengan berbagai pihak
yang berkepentingan terhadap keberlangsungannya—baik secara langsung maupun
tidak langsung.³ Para pemangku kepentingan (stakeholders) tidak hanya
terdiri dari pemegang saham (shareholders), tetapi juga mencakup
karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas lokal, pemerintah, media, bahkan
lingkungan alam.⁴ Dengan demikian, perusahaan bukan entitas yang berdiri sendiri
(self-contained entity), melainkan nexus of relationships, yaitu
simpul relasional yang secara ontologis bergantung pada struktur
sosial-ekologis yang lebih luas.⁵
Ontologi ini menolak pandangan atomistik yang
mendominasi teori ekonomi klasik, di mana individu dan organisasi dianggap
memiliki eksistensi otonom dan terlepas dari sistem sosialnya.⁶ Sebaliknya, Stakeholder
Theory menegaskan prinsip relasionalitas sebagai dasar ontologis
keberadaan perusahaan. Prinsip ini memandang bahwa eksistensi moral perusahaan
baru bermakna ketika diakui dalam jejaring timbal balik yang saling memengaruhi
antara pelaku bisnis dan masyarakat.⁷ Dalam pengertian ini, being dari
perusahaan adalah being-with-others—keberadaan yang tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan pihak lain.
Dari sudut pandang etika normatif, pemahaman
ontologis ini memiliki implikasi moral yang kuat. Jika perusahaan eksis dalam
dan melalui relasinya dengan para pemangku kepentingan, maka tanggung jawab
etis bukanlah pilihan, melainkan konsekuensi ontologis dari eksistensinya.⁸
Artinya, relasi dengan pemangku kepentingan bukan sekadar instrumen strategis
untuk mencapai keuntungan, tetapi merupakan fondasi ontologis yang menuntut
pengakuan moral terhadap setiap pihak yang memiliki kepentingan.⁹
Selain itu, dalam kerangka metafisika sosial, teori
ini juga merefleksikan pandangan communitarianism, yakni gagasan bahwa
identitas moral individu maupun korporasi terbentuk dalam konteks komunitas.¹⁰
Perusahaan memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk beroperasi secara efisien,
tetapi juga untuk berkontribusi terhadap kebaikan bersama (common good).¹¹
Dengan demikian, etika pemangku kepentingan memiliki basis ontologis dalam
prinsip keberadaan yang berakar pada hubungan—bukan dalam isolasi, melainkan
dalam partisipasi aktif terhadap kehidupan bersama.
Akhirnya, ontologi Stakeholder Theory
menempatkan perusahaan sebagai subjek moral kolektif (collective
moral agent), yang tidak hanya memiliki tujuan ekonomi, tetapi juga
kewajiban etis terhadap komunitasnya.¹² Pandangan ini membuka ruang bagi
pemahaman baru tentang bisnis sebagai bagian integral dari ekosistem moral
global, di mana setiap tindakan korporasi memiliki dampak ontologis terhadap
struktur sosial, keseimbangan ekologis, dan kemanusiaan itu sendiri.¹³
Footnotes
[1]               
John Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 54–56.
[2]               
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 67–70.
[3]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–47.
[4]               
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 10–12.
[5]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 22–23.
[6]               
Milton Friedman, “The Social Responsibility of
Business Is to Increase Its Profits,” The New York Times Magazine,
September 13, 1970.
[7]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 91–93.
[8]               
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
35–37.
[9]               
Ronald E. Mitchell, Bradley R. Agle, dan Donna J.
Wood, “Toward a Theory of Stakeholder Identification and Salience,” Academy
of Management Review 22, no. 4 (1997): 853–856.
[10]            
Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights,
Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers,
1993), 115–118.
[11]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007),
149–151.
[12]            
Peter A. French, Collective and Corporate
Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984), 38–42.
[13]            
Bryan Husted dan David Allen, Corporate Social
Strategy: Stakeholder Engagement and Competitive Advantage (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 66–68.
4.          
Epistemologi
dan Rasionalitas Etika Bisnis
Epistemologi dalam Teori Pemangku Kepentingan
(Stakeholder Theory) berhubungan dengan cara manusia memahami, menilai,
dan membenarkan tindakan moral dalam konteks bisnis. Ia menanyakan: bagaimana
pengetahuan etis dalam pengambilan keputusan bisnis diperoleh, diuji, dan
dijustifikasi?¹ Dalam perspektif ini, Stakeholder Theory menolak
pandangan positivistik yang melihat keputusan bisnis semata sebagai hasil
kalkulasi rasional-ekonomis; sebaliknya, teori ini menegaskan bahwa rasionalitas
etika melibatkan dimensi moral, dialogis, dan kontekstual.²
Freeman berangkat dari asumsi bahwa manajemen tidak
dapat dipisahkan dari nilai (management is a moral practice).³ Artinya,
setiap keputusan bisnis mengandung dimensi normatif yang harus dipahami bukan
hanya melalui analisis data empiris, tetapi juga melalui refleksi moral
terhadap konsekuensi bagi semua pihak terkait. Dengan demikian, epistemologi
etika bisnis berakar pada kemampuan phronesis—kebijaksanaan praktis
Aristotelian—yang menuntun pelaku bisnis untuk menimbang dan memilih tindakan
terbaik secara moral dalam situasi konkret.⁴
4.1.      
Rasionalitas Praktis dan Moralitas
dalam Pengambilan Keputusan
Konsep rasionalitas dalam Stakeholder Theory
tidak identik dengan rasionalitas instrumental (berorientasi tujuan), melainkan
dengan rasionalitas komunikatif dan praktis, sebagaimana dikemukakan
oleh Jürgen Habermas.⁵ Rasionalitas komunikatif menekankan pentingnya dialog
etis antara perusahaan dan pemangku kepentingan, di mana legitimasi
tindakan diperoleh melalui komunikasi yang terbuka, jujur, dan bebas dominasi.⁶
Dalam konteks ini, keputusan etis dianggap sah bila mampu diterima oleh semua
pihak yang terdampak melalui proses dialog rasional.
Dengan demikian, epistemologi Stakeholder Theory
berakar pada inter-subjektivitas—pengetahuan moral dibangun melalui
interaksi sosial, bukan ditentukan secara unilateral oleh pihak manajemen atau
pemegang saham.⁷ Proses deliberatif ini memulihkan dimensi etis dari keputusan
bisnis yang selama ini direduksi menjadi sekadar analisis risiko dan laba.
4.2.      
Transparansi, Partisipasi, dan
Pengetahuan Moral
Etika pemangku kepentingan menekankan bahwa
pengetahuan etis dalam bisnis harus lahir dari partisipasi semua pihak
yang memiliki kepentingan.⁸ Transparansi informasi menjadi syarat epistemologis
utama bagi lahirnya kepercayaan dan tanggung jawab bersama. Tanpa keterbukaan,
proses rasionalisasi etis akan tereduksi menjadi manipulasi strategis.⁹ Karena
itu, perusahaan dituntut untuk mengembangkan epistemic virtue—keutamaan
dalam berpikir, seperti kejujuran, kehati-hatian, dan kesediaan untuk
mendengar.¹⁰
Epistemologi ini juga menolak relativisme moral
ekstrem. Ia menegaskan bahwa meskipun konteks bisnis beragam, terdapat
nilai-nilai universal seperti keadilan, tanggung jawab, dan penghormatan
terhadap martabat manusia yang menjadi acuan normatif bagi rasionalitas etis.¹¹
Dalam hal ini, Stakeholder Theory berupaya menggabungkan pengetahuan
praktis (practical knowledge) dengan prinsip etika universal, menjadikan
etika bisnis bersifat kontekstual sekaligus normatif.
4.3.      
Integrasi Etika dan Strategi:
Rasionalitas Ganda
Secara epistemologis, Stakeholder Theory
mengusulkan model rasionalitas ganda: antara dimensi strategis dan
moral.¹² Rasionalitas strategis berfokus pada efektivitas dan keberlanjutan
bisnis, sedangkan rasionalitas moral menekankan legitimasi etis dan tanggung
jawab sosial. Integrasi keduanya memungkinkan keputusan yang tidak hanya
menguntungkan, tetapi juga benar secara moral.¹³
Freeman menyebut pendekatan ini sebagai stakeholder
thinking, yakni cara berpikir yang menyatukan kepentingan ekonomi dan nilai
moral dalam kerangka keputusan bisnis.¹⁴ Rasionalitas ini bersifat kooperatif,
bukan kompetitif; berorientasi pada harmoni sosial dan keberlanjutan, bukan sekadar
efisiensi.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi Stakeholder Theory menawarkan
paradigma baru dalam filsafat bisnis: bahwa pengetahuan moral tidak hanya
memberi arah bagi tindakan, tetapi juga memperkuat legitimasi dan keberlanjutan
organisasi dalam jangka panjang.¹⁶
Footnotes
[1]               
John R. Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 60–62.
[2]               
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
29–31.
[3]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 56–58.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 113–115.
[5]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[6]               
Ibid., 289–291.
[7]               
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 74–75.
[8]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 45–47.
[9]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 97–100.
[10]            
Linda Treviño dan Katherine A. Nelson, Managing
Business Ethics, 8th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2021), 68–70.
[11]            
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 54–55.
[12]            
Edward Freeman dan David L. Reed, “Stockholders and
Stakeholders: A New Perspective on Corporate Governance,” California
Management Review 25, no. 3 (1983): 88–90.
[13]            
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 65–66.
[14]            
R. Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew
C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success
(New Haven: Yale University Press, 2007), 52–54.
[15]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics:
The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave
Macmillan, 2016), 117–119.
[16]            
Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan
Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California
Management Review 56, no. 2 (2014): 130–135.
5.          
Aksiologi
dan Prinsip Moral Teori Pemangku Kepentingan
Aksiologi dalam Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder
Theory) membahas nilai-nilai moral yang menjadi dasar tindakan dan
orientasi etika bisnis. Jika ontologi teori ini menyoroti hakikat relasional
perusahaan, dan epistemologinya menelaah cara mengetahui serta menilai tindakan
etis, maka aksiologinya menekankan apa yang bernilai dan baik bagi semua
pihak yang terlibat dalam kehidupan bisnis.¹ Dengan demikian, Stakeholder
Theory menggeser paradigma nilai bisnis dari yang bersifat
monodimensional—yakni keuntungan finansial—menjadi multidimensional, yang
mencakup keadilan, tanggung jawab, solidaritas, dan keberlanjutan.²
5.1.      
Nilai-Nilai Dasar: Keadilan,
Tanggung Jawab, dan Kejujuran
Nilai keadilan (justice) menempati posisi
sentral dalam kerangka aksiologis Stakeholder Theory.³ Perusahaan
dituntut untuk memperlakukan setiap pemangku kepentingan secara adil, bukan
sekadar berdasarkan kontribusi ekonomi mereka, tetapi juga berdasarkan hak
moral mereka sebagai individu dan kelompok sosial. Prinsip ini memiliki akar
kuat dalam teori keadilan John Rawls, terutama pada ide fairness dan equal
moral consideration, di mana setiap pihak berhak memperoleh perlakuan etis
yang seimbang.⁴
Selain keadilan, nilai tanggung jawab (responsibility)
juga menjadi prinsip moral utama. Perusahaan tidak dapat memisahkan diri dari
konsekuensi sosial dan ekologis tindakannya.⁵ Tanggung jawab moral menuntut
perusahaan untuk melampaui kepatuhan hukum (legal compliance) menuju
komitmen etis yang reflektif dan proaktif terhadap kesejahteraan bersama.⁶
Kejujuran (honesty) melengkapi kedua nilai tersebut sebagai dasar
integritas korporatif, karena kepercayaan sosial hanya dapat dibangun melalui
komunikasi yang transparan dan niat yang tulus.⁷
5.2.      
Prinsip Keseimbangan Kepentingan dan
Kewargaan Korporatif
Freeman menegaskan bahwa etika bisnis yang baik
bukanlah etika yang memihak pada satu kelompok kepentingan, melainkan etika
yang mampu menyeimbangkan beragam kepentingan dengan prinsip balance of
interests.⁸ Prinsip ini menuntut kemampuan deliberatif untuk menimbang
antara kepentingan ekonomi jangka pendek dengan kesejahteraan sosial jangka
panjang. Dalam praktiknya, hal ini dapat diwujudkan melalui kebijakan yang
memperhatikan hak pekerja, keamanan produk, perlindungan lingkungan, dan
kontribusi sosial terhadap komunitas lokal.⁹
Dari prinsip ini berkembang konsep corporate
citizenship atau kewargaan korporatif, yang menempatkan perusahaan sebagai
warga moral dalam masyarakat global.¹⁰ Sebagai corporate citizen,
perusahaan memiliki kewajiban etis untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan
sosial, pendidikan, pelestarian lingkungan, dan penguatan nilai-nilai
kemanusiaan.¹¹ Dengan demikian, perusahaan bukan sekadar entitas ekonomi,
tetapi juga agen moral yang berperan dalam memperkuat jaringan kehidupan
bersama.
5.3.      
Tanggung Jawab Moral terhadap
Komunitas dan Lingkungan
Aksiologi Stakeholder Theory menegaskan
bahwa tanggung jawab moral tidak berhenti pada relasi antar-manusia, tetapi
meluas ke dimensi ekologis.¹² Etika lingkungan (environmental ethics)
menjadi bagian integral dari nilai pemangku kepentingan, karena keberlanjutan
kehidupan ekonomi bergantung pada keseimbangan ekologis.¹³ Dalam konteks ini,
prinsip keberlanjutan (sustainability) bukan hanya strategi bisnis,
tetapi nilai moral yang mengikat seluruh aktivitas korporasi.¹⁴
Konsep ini berkaitan erat dengan gagasan corporate
social responsibility (CSR), yang menegaskan bahwa perusahaan memiliki
kewajiban untuk memberikan manfaat sosial dan meminimalisasi dampak negatif
aktivitasnya.¹⁵ CSR dalam perspektif Stakeholder Theory bukanlah
aktivitas filantropi yang bersifat opsional, melainkan konsekuensi etis dari
eksistensi perusahaan sebagai bagian dari jaringan kehidupan sosial.¹⁶
5.4.      
Orientasi Aksiologis: Dari Profit
Menuju Kebaikan Bersama
Aksiologi Stakeholder Theory pada akhirnya
bertujuan membangun orientasi baru bagi dunia bisnis: dari profit sebagai
tujuan tunggal menuju common good sebagai horizon etis.¹⁷ Keuntungan
tetap penting, tetapi ia tidak dapat dijadikan ukuran moral tertinggi.¹⁸
Keberhasilan sejati suatu perusahaan diukur dari kemampuannya menghasilkan
nilai ekonomi yang selaras dengan nilai kemanusiaan dan keberlanjutan.¹⁹
Dengan demikian, aksiologi teori ini menegaskan
bahwa kebaikan dalam bisnis tidak dapat dipisahkan dari kebaikan moral.²⁰
Etika pemangku kepentingan bukanlah antitesis dari efisiensi, melainkan fondasi
bagi efisiensi yang bermakna; bukan hambatan bagi pertumbuhan, melainkan jalan
menuju pertumbuhan yang manusiawi.²¹
Footnotes
[1]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 64–66.
[2]               
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 71–72.
[3]               
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 75–77.
[4]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 53–54.
[5]               
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
43–45.
[6]               
John R. Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 85–87.
[7]               
Linda K. Treviño dan Katherine A. Nelson, Managing
Business Ethics, 8th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2021), 69–70.
[8]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–48.
[9]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 99–101.
[10]            
Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0
and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011),
33–35.
[11]            
Klaus Schwab, “The Global Corporate Citizen,” Foreign
Affairs 87, no. 1 (2008): 107–108.
[12]            
Peter Pruzan, Rational, Ethical, and Spiritual
Perspectives on Leadership: The Quest for Integrity (London: Routledge,
2011), 58–59.
[13]            
Andrew Light dan Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 312–314.
[14]            
Bryan Husted dan David Allen, Corporate Social
Strategy: Stakeholder Engagement and Competitive Advantage (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 70–72.
[15]            
Archie B. Carroll dan Kareem M. Shabana, “The
Business Case for Corporate Social Responsibility,” International Journal of
Management Reviews 12, no. 1 (2010): 85–88.
[16]            
Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew C.
Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (New
Haven: Yale University Press, 2007), 62–64.
[17]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007),
223–225.
[18]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics:
The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave
Macmillan, 2016), 125–127.
[19]            
John Hendry, Ethics and Finance: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 68–70.
[20]            
Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan
Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California
Management Review 56, no. 2 (2014): 135–137.
[21]            
Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the
Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 45–48.
6.          
Dimensi
Sosial dan Politik Etika Bisnis
Dimensi sosial dan politik Teori Pemangku
Kepentingan (Stakeholder Theory) menegaskan bahwa bisnis bukanlah
institusi yang netral secara moral dan politik, melainkan aktor sosial
yang memiliki pengaruh signifikan terhadap struktur masyarakat, keadilan distributif,
dan keseimbangan kekuasaan.¹ Dalam konteks ini, etika bisnis tidak hanya
berbicara tentang perilaku individual atau hubungan antar perusahaan dan
konsumen, tetapi juga tentang tata moral masyarakat dan tanggung
jawab politik perusahaan dalam membentuk dunia sosial yang adil dan
berkelanjutan.²
6.1.      
Bisnis sebagai Aktor Sosial dan Agen
Moral
Perusahaan modern beroperasi dalam sistem sosial
yang kompleks, di mana setiap keputusan strategis—mulai dari kebijakan produksi
hingga distribusi keuntungan—memiliki dampak sosial yang luas.³ Karena itu,
perusahaan tidak dapat dianggap semata sebagai entitas ekonomi yang mencari
laba, melainkan juga sebagai agen moral kolektif yang turut menentukan
arah kehidupan masyarakat.⁴ R. Edward Freeman menegaskan bahwa perusahaan
merupakan “institusi moral yang berinteraksi dengan berbagai komunitas etis,”
dan karenanya harus tunduk pada prinsip-prinsip tanggung jawab sosial serta
keadilan.⁵
Perusahaan yang bertanggung jawab sosial tidak
hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam
pembangunan sosial: menciptakan lapangan kerja yang layak, memastikan
kesetaraan gender, menghormati hak asasi manusia, dan berkontribusi terhadap
kesejahteraan komunitas lokal.⁶ Dalam pandangan ini, tanggung jawab sosial
bukanlah tambahan dari bisnis, tetapi konstituen dari legitimasi sosial
perusahaan itu sendiri.⁷
6.2.      
Keadilan Distributif dan
Partisipatif dalam Relasi Bisnis
Etika pemangku kepentingan mengandaikan model
keadilan yang bersifat distributif dan partisipatif.⁸ Keadilan distributif
berfokus pada pembagian sumber daya dan manfaat ekonomi secara adil di antara
seluruh pemangku kepentingan. Ini sejalan dengan teori keadilan John Rawls yang
menekankan bahwa ketimpangan ekonomi hanya dapat dibenarkan bila memberi
keuntungan bagi pihak yang paling lemah (difference principle).⁹ Dalam
konteks bisnis, hal ini berarti kebijakan upah yang adil, perlakuan layak
terhadap pekerja, dan kontribusi terhadap kesejahteraan publik.¹⁰
Sementara itu, keadilan partisipatif menuntut agar
para pemangku kepentingan memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan
yang memengaruhi kehidupan mereka.¹¹ Prinsip ini mengarah pada model governance
yang inklusif, di mana perusahaan membuka ruang dialog dan partisipasi
masyarakat dalam menentukan kebijakan etis, lingkungan, dan sosial.¹² Dengan
demikian, demokratisasi dalam bisnis menjadi bagian dari aktualisasi keadilan
sosial dalam ruang ekonomi.
6.3.      
Kekuasaan, Regulasi, dan Peran
Negara
Dalam dimensi politik, Stakeholder Theory
menyadari adanya asimetri kekuasaan antara perusahaan besar dan
masyarakat.¹³ Karena itu, etika bisnis tidak dapat berdiri sendiri tanpa
dukungan kerangka hukum dan regulasi publik yang adil. Negara memiliki tanggung
jawab politik untuk memastikan bahwa aktivitas bisnis berjalan sesuai dengan
nilai moral universal, melalui kebijakan pajak progresif, regulasi lingkungan,
serta perlindungan terhadap pekerja dan konsumen.¹⁴
Namun, tanggung jawab etika tidak berhenti pada
negara. Perusahaan juga memiliki kewajiban untuk menginternalisasi
prinsip-prinsip keadilan dalam kebijakan internalnya, bahkan ketika regulasi
eksternal tidak memaksanya.¹⁵ Etika pemangku kepentingan mendorong lahirnya
konsep corporate political responsibility, yakni kesadaran bahwa
kekuasaan ekonomi membawa tanggung jawab politik terhadap tatanan sosial yang
lebih luas.¹⁶
Dalam konteks globalisasi, perusahaan multinasional
memiliki pengaruh yang melampaui batas negara, sehingga mereka seringkali
memiliki kekuasaan setara atau bahkan melebihi negara.¹⁷ Kondisi ini
menimbulkan kebutuhan akan tata kelola global (global governance) yang
menempatkan bisnis dalam kerangka moral lintas budaya dan transnasional,
seperti yang diupayakan oleh inisiatif UN Global Compact dan standar ESG
(Environmental, Social, and Governance).¹⁸
6.4.      
Bisnis dan Masyarakat Demokratis
Stakeholder Theory beroperasi dengan asumsi bahwa etika bisnis hanya
dapat berkembang dalam konteks masyarakat demokratis—masyarakat yang menghargai
partisipasi, transparansi, dan penghormatan terhadap hak individu.¹⁹ Demokrasi
ekonomi berarti memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk turut menentukan
arah pembangunan ekonomi dan sosial.²⁰
Perusahaan yang beretika dalam kerangka demokrasi
bukan hanya mengejar keuntungan, tetapi juga berperan sebagai wadah pendidikan
moral publik, di mana nilai-nilai seperti tanggung jawab, kerja sama, dan
keadilan sosial diwujudkan dalam praktik organisasi.²¹ Dengan demikian, etika
bisnis tidak hanya melayani kepentingan ekonomi, tetapi berfungsi sebagai pilar
moral bagi tatanan demokratis.²²
Footnotes
[1]               
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 71–73.
[2]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 105–107.
[3]               
John R. Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 95–96.
[4]               
Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility
(New York: Columbia University Press, 1984), 45–47.
[5]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 54–55.
[6]               
Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0
and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011),
38–40.
[7]               
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 89–90.
[8]               
John Hendry, Ethics and Finance: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 65–67.
[9]               
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 54–55.
[10]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics:
The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave
Macmillan, 2016), 132–134.
[11]            
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 83–85.
[12]            
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
72–73.
[13]            
Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan
Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California
Management Review 56, no. 2 (2014): 130–132.
[14]            
David Vogel, The Market for Virtue: The
Potential and Limits of Corporate Social Responsibility (Washington, DC:
Brookings Institution Press, 2005), 61–63.
[15]            
Thomas Clarke, International Corporate
Governance: A Comparative Approach (London: Routledge, 2007), 97–99.
[16]            
Andreas Georg Scherer dan Guido Palazzo, “The New
Political Role of Business in a Globalized World,” Journal of Management
Studies 48, no. 4 (2011): 900–905.
[17]            
Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an
Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 23–25.
[18]            
United Nations Global Compact, Corporate
Sustainability in the World Economy (New York: United Nations, 2015),
12–14.
[19]            
Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other:
Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 251–253.
[20]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Anchor Books, 1999), 36–38.
[21]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007),
223–224.
[22]            
Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the
Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 52–55.
7.          
Kritik
terhadap Teori Pemangku Kepentingan
Meskipun Stakeholder Theory telah menjadi
salah satu fondasi utama dalam kajian etika bisnis modern, teori ini tidak
luput dari kritik baik dari sisi filosofis, ekonomi, maupun praktis. Kritik
tersebut terutama diarahkan pada ambiguitas konseptual, kesulitan penerapan,
serta potensi konflik dengan prinsip efisiensi pasar dan kepemilikan.¹
Kritik-kritik ini penting dipahami bukan untuk menolak teori, melainkan untuk
memperkuat validitasnya melalui refleksi dan reformulasi etis yang lebih
matang.
7.1.      
Kritik dari Perspektif Shareholder
Primacy
Salah satu kritik paling berpengaruh datang dari
paradigma shareholder primacy yang dipelopori oleh Milton Friedman.
Dalam artikelnya yang terkenal, “The Social Responsibility of Business Is to
Increase Its Profits” (1970), Friedman menegaskan bahwa tanggung jawab
utama manajer adalah terhadap pemegang saham, bukan terhadap masyarakat luas.²
Menurutnya, ketika perusahaan mengalihkan sumber daya untuk kepentingan sosial,
mereka pada dasarnya melanggar kontrak moral dengan pemegang saham yang
mempercayakan modal untuk tujuan ekonomi, bukan politik atau filantropis.³
Dari sudut pandang ini, Stakeholder Theory
dianggap berbahaya karena mengaburkan batas tanggung jawab manajemen dan
membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan korporasi.⁴ Kritik ini menegaskan
bahwa jika setiap kepentingan dianggap sama penting, maka orientasi strategis
perusahaan menjadi kabur, dan efisiensi ekonomi dapat menurun secara drastis.⁵
7.2.      
Ambiguitas Konseptual: Siapa
Pemangku Kepentingan?
Kritik lain yang sering diajukan terhadap teori ini
adalah ketidakjelasan konseptual tentang siapa yang termasuk “pemangku
kepentingan.”⁶ Freeman mendefinisikannya secara luas sebagai siapa pun yang
dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi.⁷ Namun, definisi ini
menimbulkan problem praktis: sejauh mana batasan “kepentingan” itu
berlaku, dan bagaimana menimbang kepentingan yang saling bertentangan?
Beberapa peneliti seperti Jensen (2002) menyebut
teori ini “terlalu inklusif” dan tidak menyediakan kriteria normatif
yang jelas untuk memprioritaskan kepentingan tertentu.⁸ Dalam praktiknya,
perusahaan sulit menentukan keputusan yang benar-benar adil bagi semua pihak
tanpa pedoman etis yang hierarkis.⁹ Kritik ini menunjukkan bahwa tanpa
kejelasan epistemologis, Stakeholder Theory berisiko berubah menjadi
slogan moral yang tidak dapat dioperasionalkan.¹⁰
7.3.      
Kritik dari Perspektif Deontologis
dan Utilitarian
Dari perspektif etika normatif, Stakeholder
Theory dikritik karena berupaya menggabungkan prinsip-prinsip yang berbeda
tanpa dasar moral yang tunggal.¹¹ Para pendukung deontologi menilai teori ini
terlalu pragmatis, karena menyeimbangkan kepentingan tanpa acuan kewajiban
moral universal.¹² Sementara itu, kaum utilitarian berpendapat bahwa teori ini
tidak cukup menekankan pada konsekuensi total dari tindakan bisnis bagi
kesejahteraan umum.¹³
Kritik ini memperlihatkan dilema antara idealisme
moral dan realisme manajerial. Dengan menolak absolutisme moral, teori pemangku
kepentingan justru dituduh kehilangan kompas etika yang konsisten.¹⁴ Namun
demikian, banyak filsuf bisnis seperti Donaldson dan Preston membela posisi
Freeman dengan menyatakan bahwa pluralitas nilai adalah ciri khas masyarakat
demokratis, dan karenanya teori ini sejalan dengan etika pluralistik yang
menghormati perbedaan kepentingan moral.¹⁵
7.4.      
Tantangan Implementasi Praktis
Secara praktis, Stakeholder Theory
menghadapi kesulitan dalam penerapannya di dunia bisnis yang kompetitif dan
berorientasi pasar.¹⁶ Implementasi nilai-nilai etika seringkali berbenturan
dengan tekanan finansial, tuntutan pemegang saham, serta logika efisiensi
jangka pendek.¹⁷ Beberapa studi menunjukkan bahwa meskipun perusahaan
mengadopsi pendekatan stakeholder engagement, motivasi yang mendasarinya
tidak selalu etis, melainkan instrumental—yakni untuk menjaga reputasi atau
menghindari risiko hukum.¹⁸
Selain itu, penerapan teori ini membutuhkan
mekanisme institusional yang kuat seperti transparansi, akuntabilitas, dan
partisipasi yang nyata dari masyarakat sipil.¹⁹ Tanpa dukungan struktur sosial
dan politik yang memadai, teori ini mudah tereduksi menjadi formalitas
administratif atau strategi pemasaran etis (ethical branding).²⁰
7.5.      
Kritik terhadap Dimensi Politik dan
Kekuasaan
Beberapa pemikir kritis seperti Scherer dan
Palazzo menyoroti bahwa Stakeholder Theory cenderung bersifat
normatif-idealistik dan mengabaikan realitas kekuasaan ekonomi global.²¹ Dalam
konteks kapitalisme neoliberal, hubungan antara perusahaan dan pemangku
kepentingan sering kali tidak setara; perusahaan besar memiliki kekuasaan yang
jauh lebih besar daripada komunitas lokal atau pekerja.²² Karena itu, teori ini
dinilai kurang memberikan perangkat analisis kritis terhadap struktur dominasi
dan eksploitasi yang inheren dalam sistem ekonomi global.²³
Kritik ini mengarah pada tuntutan reformulasi Stakeholder
Theory agar lebih politis dan transformatif—yakni tidak hanya menuntut
dialog dan tanggung jawab, tetapi juga perubahan struktural terhadap sistem
ekonomi yang timpang.²⁴
7.6.      
Respons dan Reinterpretasi
Sebagai respons terhadap kritik tersebut, generasi
baru pemikir stakeholder seperti Freeman, Harrison, dan Wicks
berupaya memperkuat landasan teorinya dengan menekankan pendekatan humanistik
dan pragmatis.²⁵ Mereka menolak dikotomi antara efisiensi ekonomi dan
moralitas sosial, dengan menunjukkan bahwa keberlanjutan dan kepercayaan publik
justru menjadi faktor strategis bagi keberhasilan bisnis jangka panjang.²⁶
Dengan demikian, Stakeholder Theory tetap
memiliki relevansi normatif, meskipun harus terus diperbarui agar mampu
menjawab tantangan globalisasi, ketimpangan ekonomi, dan kompleksitas etika
kontemporer.²⁷
Footnotes
[1]               
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 115–117.
[2]               
Milton Friedman, “The Social Responsibility of
Business Is to Increase Its Profits,” The New York Times Magazine,
September 13, 1970.
[3]               
Ibid.
[4]               
R. Edward Freeman dan David L. Reed, “Stockholders
and Stakeholders: A New Perspective on Corporate Governance,” California
Management Review 25, no. 3 (1983): 89–91.
[5]               
Michael C. Jensen, “Value Maximization, Stakeholder
Theory, and the Corporate Objective Function,” Journal of Applied Corporate
Finance 14, no. 3 (2002): 9–10.
[6]               
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder
Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of
Management Review 20, no. 1 (1995): 66–68.
[7]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–47.
[8]               
Michael C. Jensen, “Value Maximization,” 11–12.
[9]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 93–94.
[10]            
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
84–85.
[11]            
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 117–118.
[12]            
John R. Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 105–106.
[13]            
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907),
14–16.
[14]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics:
The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave
Macmillan, 2016), 121–122.
[15]            
Donaldson dan Preston, “The Stakeholder Theory of
the Corporation,” 74–75.
[16]            
Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan
Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California
Management Review 56, no. 2 (2014): 130–132.
[17]            
David Vogel, The Market for Virtue: The
Potential and Limits of Corporate Social Responsibility (Washington, DC:
Brookings Institution Press, 2005), 60–61.
[18]            
Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0
and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011),
52–54.
[19]            
Andreas Georg Scherer dan Guido Palazzo, “The New
Political Role of Business in a Globalized World,” Journal of Management
Studies 48, no. 4 (2011): 900–902.
[20]            
Thomas Clarke, International Corporate
Governance: A Comparative Approach (London: Routledge, 2007), 104–106.
[21]            
Scherer dan Palazzo, “The New Political Role of
Business,” 905–907.
[22]            
Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an
Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 24–25.
[23]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (Cambridge: Polity Press, 2008),
43–45.
[24]            
Peter Bloom dan Carl Rhodes, CEO Society: The
Corporate Takeover of Everyday Life (London: Zed Books, 2018), 97–99.
[25]            
R. Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew
C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success
(New Haven: Yale University Press, 2007), 82–84.
[26]            
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics,
120–122.
[27]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics,
130–133.
8.          
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks abad ke-21 yang ditandai oleh
globalisasi, digitalisasi, dan krisis ekologis, Teori Pemangku Kepentingan
(Stakeholder Theory) memperoleh relevansi baru yang semakin luas.¹
Paradigma ini tidak hanya menjadi kerangka etika bisnis, tetapi juga menjadi
fondasi konseptual bagi gerakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility), keberlanjutan (sustainability), dan tata
kelola lingkungan, sosial, serta korporasi (Environmental, Social, and
Governance – ESG).² Dalam era di mana bisnis memiliki pengaruh yang
melampaui batas geografis dan politik, teori ini menawarkan orientasi moral
yang diperlukan untuk mengembalikan dimensi kemanusiaan dan sosial dalam dunia
ekonomi yang cenderung tereduksi oleh logika pasar.³
8.1.      
Globalisasi dan Tantangan Etika
Transnasional
Globalisasi memperluas jangkauan perusahaan
multinasional dan menghubungkan pasar dunia dalam sistem yang saling
bergantung. Namun, globalisasi juga memunculkan dilema etis baru—eksploitasi
tenaga kerja murah, degradasi lingkungan, dan ketimpangan ekonomi antarnegara.⁴
Dalam situasi ini, Stakeholder Theory memberikan kerangka normatif untuk
memahami tanggung jawab perusahaan di tingkat global, bukan hanya terhadap pemegang
saham domestik, tetapi juga terhadap pekerja di negara berkembang, komunitas
lokal, dan lingkungan alam.⁵
Prinsip moral dalam teori ini mendorong kesetaraan
global dan corporate global citizenship, di mana perusahaan berperan
sebagai warga dunia yang memiliki tanggung jawab universal terhadap
kesejahteraan manusia.⁶ Inisiatif seperti United Nations Global Compact
dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises merepresentasikan
upaya konkret untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Stakeholder Theory
dalam tata kelola global.⁷
8.2.      
Era Digital dan Etika Teknologi
Perkembangan teknologi digital membawa dimensi baru
dalam penerapan Stakeholder Theory. Perusahaan digital seperti Google,
Meta, dan Amazon tidak hanya mengelola data dan layanan, tetapi juga mengontrol
infrastruktur sosial dan informasi publik.⁸ Dalam konteks ini, pemangku
kepentingan tidak lagi terbatas pada pelanggan dan karyawan, tetapi juga
mencakup pengguna data, masyarakat daring (online communities), serta
sistem demokrasi digital itu sendiri.⁹
Etika pemangku kepentingan menuntut perusahaan
teknologi untuk bertindak secara transparan, menjunjung privasi, dan mencegah
penyalahgunaan kekuasaan digital.¹⁰ Konsep seperti data ethics, AI
accountability, dan algorithmic justice menjadi perwujudan baru dari
tanggung jawab etis terhadap pemangku kepentingan dalam era teknologi
informasi.¹¹
Selain itu, paradigma ini relevan dalam konteks
ekonomi digital karena menolak pandangan deterministik bahwa teknologi netral.
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa setiap inovasi teknologi membawa konsekuensi
moral yang harus dipertanggungjawabkan secara sosial.¹²
8.3.      
Krisis Iklim dan Tanggung Jawab
Ekologis
Krisis iklim global menuntut reinterpretasi peran
bisnis dalam relasinya dengan lingkungan hidup. Stakeholder Theory memperluas
cakupan moralnya dengan memasukkan alam dan generasi mendatang sebagai
pemangku kepentingan yang sah.¹³ Pandangan ini selaras dengan etika lingkungan
kontemporer yang melihat bumi bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga
sebagai komunitas ekologis yang memiliki nilai intrinsik.¹⁴
Dalam praktik bisnis, gagasan ini mendorong
munculnya strategi sustainable management dan green governance
yang menempatkan keberlanjutan sebagai pusat pengambilan keputusan.¹⁵
Perusahaan yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan tidak hanya menjaga
kelangsungan hidup ekologis, tetapi juga memperkuat legitimasi moralnya di mata
publik.¹⁶
8.4.      
Keadilan Sosial dan Inklusi dalam
Dunia Bisnis
Isu-isu kontemporer seperti kesetaraan gender,
keragaman, dan keadilan rasial menempatkan kembali etika pemangku kepentingan
dalam perdebatan publik.¹⁷ Perusahaan yang beretika tidak cukup hanya tidak
merugikan, tetapi juga harus aktif menciptakan struktur sosial yang inklusif
dan adil.¹⁸ Pendekatan stakeholder membuka ruang bagi partisipasi
kelompok marjinal dalam menentukan arah kebijakan bisnis, sehingga praktik
ekonomi menjadi lebih demokratis dan representatif.¹⁹
Dalam konteks ini, teori ini berkontribusi pada
munculnya paradigma baru, yaitu inclusive capitalism—sebuah upaya untuk menggabungkan
efisiensi pasar dengan keadilan sosial dan partisipasi moral.²⁰ Etika pemangku
kepentingan menjadi instrumen reflektif untuk menyeimbangkan nilai-nilai
ekonomi dan kemanusiaan dalam sistem kapitalisme global.²¹
8.5.      
Bisnis Humanistik dan Ekonomi Moral
Relevansi kontemporer Stakeholder Theory
juga tampak dalam kebangkitan paradigma humanistik dalam ekonomi dan
manajemen.²² Pendekatan ini menggeser fokus bisnis dari shareholder value
menuju human value—yakni penempatan manusia sebagai pusat dari seluruh
aktivitas ekonomi.²³ Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Humanistic
Management yang dikembangkan oleh Claus Dierksmeier dan Michael Pirson,
yang menekankan martabat manusia (human dignity) sebagai prinsip dasar
etika ekonomi.²⁴
Dengan demikian, Stakeholder Theory bukan
hanya model manajerial, tetapi juga kerangka moral untuk membangun peradaban
ekonomi yang lebih manusiawi.²⁵ Dalam era disrupsi teknologi, krisis ekologi,
dan ketimpangan sosial, teori ini menjadi panduan reflektif untuk mengembalikan
orientasi etika bisnis pada tujuan utamanya: melayani manusia dan kehidupan.²⁶
Footnotes
[1]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 135–137.
[2]               
Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0
and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011),
41–43.
[3]               
John R. Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 112–113.
[4]               
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Anchor Books, 1999), 62–63.
[5]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 101–103.
[6]               
Klaus Schwab, “The Global Corporate Citizen,” Foreign
Affairs 87, no. 1 (2008): 107–109.
[7]               
United Nations Global Compact, Corporate
Sustainability in the World Economy (New York: United Nations, 2015), 8–10.
[8]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 41–43.
[9]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 118–120.
[10]            
Andrew P. Sage dan William B. Rouse, Handbook of
Systems Engineering and Management, 3rd ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2015),
623–625.
[11]            
Brent Daniel Mittelstadt et al., “The Ethics of
Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016):
1–12.
[12]            
Luciano Floridi, “Soft Ethics and the Governance of
the Digital,” Philosophy & Technology 31, no. 1 (2018): 1–8.
[13]            
Andrew Light dan Holmes Rolston III, eds., Environmental
Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 299–302.
[14]            
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
33–35.
[15]            
Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the
Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 52–54.
[16]            
Bryan Husted dan David Allen, Corporate Social
Strategy: Stakeholder Engagement and Competitive Advantage (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 72–74.
[17]            
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining
Political Space in a Globalizing World (Cambridge: Polity Press, 2008),
85–87.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
39–41.
[19]            
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
104–106.
[20]            
Colin Mayer, Prosperity: Better Business Makes
the Greater Good (Oxford: Oxford University Press, 2018), 58–60.
[21]            
Thomas Donaldson dan Thomas W. Dunfee, Ties That
Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard
Business School Press, 1999), 73–75.
[22]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics:
The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave
Macmillan, 2016), 147–149.
[23]            
Michael Pirson, Humanistic Management:
Protecting Dignity and Promoting Well-Being (Cambridge: Cambridge
University Press, 2017), 33–35.
[24]            
Claus Dierksmeier dan Michael Pirson, “Oikonomia
versus Chrematistike: Learning from Aristotle about the Future Orientation of
Business Management,” Journal of Business Ethics 145, no. 4 (2017):
687–700.
[25]            
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 121–123.
[26]            
R. Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew
C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success
(New Haven: Yale University Press, 2007), 96–98.
9.          
Sintesis
Filosofis
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) dalam dimensi
filosofisnya tidak hanya menghadirkan paradigma baru bagi praktik bisnis,
tetapi juga merepresentasikan pergeseran ontologis dan aksiologis dalam
cara manusia memahami relasi antara ekonomi, etika, dan kemanusiaan.¹ Sintesis
filosofis teori ini terletak pada upaya mengintegrasikan rasionalitas ekonomi
dengan tanggung jawab moral, mengatasi dikotomi antara kepentingan individu dan
kebaikan bersama, serta menegaskan kembali peran bisnis sebagai bagian dari
tatanan moral yang lebih luas.²
9.1.      
Integrasi Etika, Ekonomi, dan
Ontologi Relasional
Secara ontologis, Stakeholder Theory menolak
pandangan atomistik yang mengisolasi entitas bisnis dari masyarakat.³ Ia
menegaskan bahwa perusahaan ada karena relasi, bukan di luar relasi.⁴
Keberadaan korporasi tidak dapat dilepaskan dari jaringan sosial, ekologis, dan
moral yang menopangnya. Dengan demikian, teori ini menegaskan paradigma being-with-others
sebagai dasar ontologis dari etika bisnis.⁵
Sintesis ini mengandung semangat humanisme
relasional yang mengingatkan pada pandangan Aristoteles tentang zoon
politikon—bahwa manusia (dan dengan analogi, institusi sosial) hanya dapat
bermakna dalam kehidupan bersama.⁶ Dengan menempatkan keberadaan bisnis dalam
konteks komunitas moral, teori ini mengembalikan aktivitas ekonomi kepada
tujuannya yang hakiki: melayani kehidupan, bukan sekadar menumpuk kekayaan.⁷
9.2.      
Epistemologi Praktis: Kebijaksanaan
Moral dalam Tindakan Bisnis
Dari segi epistemologi, Stakeholder Theory
membangun model pengetahuan etis yang pragmatis dan dialogis.⁸ Ia tidak
berlandaskan pada prinsip moral absolut yang terpisah dari realitas, tetapi
pada phronesis—kebijaksanaan praktis dalam menimbang kepentingan
berbagai pihak.⁹ Pengetahuan etis di sini bersifat kontekstual, partisipatif,
dan komunikatif, di mana kebenaran moral tidak ditentukan oleh satu aktor,
melainkan dibangun melalui dialog antarpemangku kepentingan.¹⁰
Paradigma ini menunjukkan bahwa etika dalam bisnis
bukan sekadar perangkat normatif, tetapi juga bentuk rasionalitas yang
memampukan manusia bertindak bijaksana dalam menghadapi kompleksitas kehidupan
ekonomi.¹¹ Dengan kata lain, teori ini memulihkan dimensi moral dari
rasionalitas ekonomi yang selama ini terfragmentasi oleh logika efisiensi
instrumental.¹²
9.3.      
Aksiologi Humanistik: Menuju
Kebaikan Bersama (Bonum Commune)
Secara aksiologis, Stakeholder Theory
menegaskan bahwa nilai tertinggi dalam etika bisnis bukanlah keuntungan (profit),
melainkan bonum commune—kebaikan bersama.¹³ Pandangan ini selaras dengan
etika klasik Aristotelian-Thomistik yang menempatkan virtue dan common
good sebagai tujuan akhir kehidupan sosial.¹⁴
Dalam konteks bisnis modern, common good
diterjemahkan sebagai penciptaan nilai yang seimbang antara dimensi ekonomi,
sosial, dan ekologis.¹⁵ Nilai moral seperti keadilan, solidaritas, dan tanggung
jawab tidak lagi menjadi beban eksternal bagi bisnis, tetapi bagian integral
dari strategi keberlanjutan dan legitimasi moralnya.¹⁶ Dengan demikian, teori
ini membangun jembatan antara etika normatif dan kepentingan praktis: kebaikan
bersama tidak meniadakan keuntungan, tetapi menuntun bagaimana keuntungan itu harus
diperoleh dan didistribusikan secara etis.¹⁷
9.4.      
Transformasi Paradigma: Dari
Kapitalisme Instrumental menuju Etika Relasional
Secara filosofis, Stakeholder Theory juga
merupakan kritik terhadap reduksionisme kapitalisme instrumental yang
menempatkan manusia dan alam hanya sebagai sarana produksi.¹⁸ Paradigma baru
yang ditawarkan adalah kapitalisme relasional dan bertanggung jawab, di
mana keberhasilan bisnis diukur berdasarkan kontribusinya terhadap
kesejahteraan manusia dan kelestarian bumi.¹⁹
Pendekatan ini menegaskan bahwa rasionalitas
ekonomi harus tunduk pada rasionalitas moral.²⁰ Dalam kerangka ini, ekonomi
dipahami sebagai oikonomia—pengelolaan rumah tangga bersama—bukan chrematistike
(penumpukan kekayaan), sebagaimana dibedakan oleh Aristoteles.²¹ Oleh karena
itu, Stakeholder Theory merevitalisasi moralitas klasik dalam konteks
ekonomi global dengan menawarkan etika bisnis yang bersifat partisipatif,
berkeadilan, dan berorientasi ekologis.²²
9.5.      
Menuju Filsafat Bisnis yang
Humanistik dan Transformatif
Sintesis filosofis dari Stakeholder Theory
bermuara pada visi filsafat bisnis humanistik, di mana manusia tidak
lagi dipandang sebagai alat produksi, melainkan sebagai tujuan dan pusat makna
dalam seluruh aktivitas ekonomi.²³ Teori ini menyerukan transformasi moral dari
paradigma efisiensi menuju paradigma kebermaknaan.²⁴ Dalam hal ini, bisnis
tidak hanya menjadi mekanisme ekonomi, tetapi juga arena moral di mana
nilai-nilai kemanusiaan diuji, dipelihara, dan dikembangkan.²⁵
Dengan menggabungkan ontologi relasional,
epistemologi praktis, dan aksiologi humanistik, Stakeholder Theory
melampaui batas-batas teori manajemen konvensional.²⁶ Ia menjadi filsafat
praksis, yakni filsafat yang menggabungkan refleksi etis dengan tindakan
nyata untuk membangun tatanan ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan
bermartabat.²⁷ Dengan demikian, teori ini bukan sekadar alat analisis bisnis,
melainkan proyek filosofis untuk menata kembali hubungan antara manusia,
moralitas, dan dunia ekonomi dalam horizon tanggung jawab bersama.²⁸
Footnotes
[1]               
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics:
The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave
Macmillan, 2016), 143–145.
[2]               
John R. Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 126–128.
[3]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 54–56.
[4]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 23–24.
[5]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 130–132.
[6]               
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), 12–14.
[7]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007),
223–225.
[8]               
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
105–106.
[9]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 113–115.
[10]            
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[11]            
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 75–77.
[12]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics,
147–149.
[13]            
Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the
Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 50–52.
[14]            
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q.
47, art. 10.
[15]            
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 120–122.
[16]            
Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0
and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011),
66–68.
[17]            
Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew C.
Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (New
Haven: Yale University Press, 2007), 84–86.
[18]            
Michael Pirson, Humanistic Management:
Protecting Dignity and Promoting Well-Being (Cambridge: Cambridge
University Press, 2017), 37–39.
[19]            
Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan
Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California
Management Review 56, no. 2 (2014): 130–133.
[20]            
Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other:
Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 249–251.
[21]            
Aristotle, Politics, 18–19.
[22]            
Dierksmeier, Reframing Economic Ethics,
153–155.
[23]            
Michael Pirson dan Claus Dierksmeier, “Reorienting
Management Education: From the Homo Economicus to Human Dignity,” Journal of
Business Ethics 153, no. 1 (2018): 159–161.
[24]            
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders,
123–124.
[25]            
Patricia H. Werhane, Moral Imagination,
110–112.
[26]            
Thomas Donaldson dan Thomas W. Dunfee, Ties That
Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard
Business School Press, 1999), 78–80.
[27]            
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics,
138–140.
[28]            
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics,
160–162.
10.       Kesimpulan
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) menghadirkan paradigma
baru dalam etika bisnis modern dengan menggeser orientasi moral perusahaan dari
kepentingan tunggal pemegang saham menuju tanggung jawab kolektif terhadap
seluruh pihak yang terlibat dan terdampak oleh aktivitas bisnis.¹ Teori ini
menegaskan bahwa bisnis bukanlah sistem tertutup yang hanya beroperasi
berdasarkan rasionalitas ekonomi, melainkan entitas moral dan sosial
yang eksistensinya melekat pada jaringan relasional antar manusia, komunitas,
dan lingkungan hidup.²
Dari perspektif ontologis, Stakeholder
Theory memperlihatkan bahwa perusahaan tidak berdiri secara otonom,
melainkan bergantung pada ekosistem sosial dan ekologis yang lebih luas.³
Keberadaan perusahaan adalah “being-with-others,” yakni keberadaan yang
bermakna karena keterlibatan dan tanggung jawab terhadap pihak lain.⁴ Dalam hal
ini, teori ini memulihkan kembali makna moral bisnis sebagai bagian integral
dari kehidupan bersama.
Dari segi epistemologis, teori ini menolak
pendekatan positivistik dan instrumentalis yang memisahkan fakta dari nilai.⁵
Pengetahuan etis dalam bisnis tidak bersifat netral, tetapi lahir dari dialog,
refleksi, dan kebijaksanaan praktis (phronesis).⁶ Rasionalitas bisnis,
karenanya, tidak dapat dipisahkan dari rasionalitas moral yang memampukan manusia
membuat keputusan etis di tengah kompleksitas kepentingan.⁷
Sementara dalam dimensi aksiologis, Stakeholder
Theory menegaskan nilai-nilai fundamental seperti keadilan, tanggung jawab,
kejujuran, solidaritas, dan keberlanjutan sebagai prinsip moral bagi kehidupan
ekonomi.⁸ Nilai-nilai ini bukan sekadar instrumen reputasi, melainkan dasar
keberlanjutan moral perusahaan dan legitimasi sosialnya.⁹ Prinsip common
good menjadi horizon etis dari seluruh aktivitas bisnis—suatu orientasi
menuju kebaikan bersama yang melampaui kepentingan individual atau
korporatif.¹⁰
Dalam tataran sosial dan politik, teori ini
memperluas cakupan etika bisnis ke ranah keadilan distributif, partisipatif,
dan tanggung jawab ekologis.¹¹ Perusahaan dihadapkan pada peran baru sebagai corporate
citizen yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat demokratis dan
lingkungan global.¹² Etika bisnis tidak lagi dipahami hanya sebagai regulasi
perilaku internal, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap dunia
yang saling terhubung.¹³
Namun, di balik kekuatan filosofisnya, teori ini
juga menghadapi tantangan: ketidakjelasan batas pemangku kepentingan, potensi
konflik kepentingan, dan dilema implementasi praktis di tengah tekanan ekonomi
pasar.¹⁴ Meskipun demikian, justru dalam ketegangan inilah Stakeholder
Theory menemukan daya reflektifnya—bahwa etika bisnis bukanlah sistem yang
selesai, tetapi proyek moral yang terus berkembang seiring perubahan
sosial dan teknologi.¹⁵
Pada akhirnya, Stakeholder Theory merupakan filsafat
praksis bisnis yang menyatukan pemikiran etis dengan tindakan strategis.¹⁶
Ia bukan sekadar teori manajemen, tetapi suatu paradigma moral yang menempatkan
manusia dan komunitas di pusat aktivitas ekonomi.¹⁷ Dengan menekankan tanggung
jawab, keberlanjutan, dan keadilan, teori ini mengajak dunia bisnis untuk
bergerak dari logika dominasi menuju logika dialog, solidaritas, dan
kesejahteraan bersama.¹⁸ Dalam kerangka ini, etika bukan lagi beban bagi
bisnis, melainkan sumber makna dan kekuatan moral bagi keberlanjutan peradaban
ekonomi yang lebih manusiawi.¹⁹
Footnotes
[1]               
R. Edward Freeman, Strategic Management: A
Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–48.
[2]               
Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and
Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 22–23.
[3]               
Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics:
Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization,
5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 130–132.
[4]               
Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics:
The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave
Macmillan, 2016), 145–146.
[5]               
Patricia H. Werhane, Moral Imagination and
Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999),
43–45.
[6]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 114–115.
[7]               
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 287–289.
[8]               
John R. Boatright, Ethics and the Conduct of
Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 85–87.
[9]               
Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0
and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011),
33–35.
[10]            
Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the
Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a
Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 52–54.
[11]            
Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The
Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy
of Management Review 20, no. 1 (1995): 70–74.
[12]            
Klaus Schwab, “The Global Corporate Citizen,” Foreign
Affairs 87, no. 1 (2008): 108–109.
[13]            
Andreas Georg Scherer dan Guido Palazzo, “The New
Political Role of Business in a Globalized World,” Journal of Management
Studies 48, no. 4 (2011): 902–904.
[14]            
Michael C. Jensen, “Value Maximization, Stakeholder
Theory, and the Corporate Objective Function,” Journal of Applied Corporate
Finance 14, no. 3 (2002): 9–11.
[15]            
Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders:
Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 118–120.
[16]            
Thomas Donaldson dan Thomas W. Dunfee, Ties That
Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard
Business School Press, 1999), 79–80.
[17]            
Michael Pirson, Humanistic Management:
Protecting Dignity and Promoting Well-Being (Cambridge: Cambridge
University Press, 2017), 37–39.
[18]            
Claus Dierksmeier dan Michael Pirson, “Oikonomia
versus Chrematistike: Learning from Aristotle about the Future Orientation of
Business Management,” Journal of Business Ethics 145, no. 4 (2017):
687–700.
[19]            
Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan
Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California
Management Review 56, no. 2 (2014): 135–137.
Daftar Pustaka 
Aristotle. (1985). Politics (B. Jowett,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Bentham, J. (1907). An introduction to the
principles of morals and legislation. Oxford: Clarendon Press.
Boatright, J. R. (2017). Ethics and the conduct
of business (8th ed.). Boston, MA: Pearson.
Bloom, P., & Rhodes, C. (2018). CEO society:
The corporate takeover of everyday life. London: Zed Books.
Carroll, A. B., & Shabana, K. M. (2010). The
business case for corporate social responsibility: A review of concepts,
research and practice. International Journal of Management Reviews, 12(1),
85–105.
Clarke, T. (2007). International corporate
governance: A comparative approach. London: Routledge.
Crane, A., Matten, D., Palazzo, G., & Spence,
L. J. (2014). Contesting the value of “creating shared value.” California
Management Review, 56(2), 130–137.
Crane, A., & Matten, D. (2019). Business
ethics: Managing corporate citizenship and sustainability in the age of
globalization (5th ed.). Oxford: Oxford University Press.
Daly, H. E., & Cobb, J. B., Jr. (1994). For
the common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and
a sustainable future. Boston, MA: Beacon Press.
Dierksmeier, C. (2016). Reframing economic
ethics: The philosophical foundations of humanistic management. London:
Palgrave Macmillan.
Dierksmeier, C., & Pirson, M. (2017). Oikonomia
versus chrematistike: Learning from Aristotle about the future orientation of
business management. Journal of Business Ethics, 145(4), 687–700.
Donaldson, T., & Dunfee, T. W. (1999). Ties
that bind: A social contracts approach to business ethics. Boston, MA:
Harvard Business School Press.
Donaldson, T., & Preston, L. E. (1995). The
stakeholder theory of the corporation: Concepts, evidence, and implications. Academy
of Management Review, 20(1), 65–91.
Etzioni, A. (1993). The spirit of community:
Rights, responsibilities, and the communitarian agenda. New York, NY: Crown
Publishers.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Floridi, L. (2018). Soft ethics and the governance
of the digital. Philosophy & Technology, 31(1), 1–8.
Freeman, R. E. (1984). Strategic management: A
stakeholder approach. Boston, MA: Pitman.
Freeman, R. E., Harrison, J. S., & Wicks, A. C.
(2007). Managing for stakeholders: Survival, reputation, and success.
New Haven, CT: Yale University Press.
Freeman, R. E., & Reed, D. L. (1983).
Stockholders and stakeholders: A new perspective on corporate governance. California
Management Review, 25(3), 88–106.
Friedman, M. (1970, September 13). The social
responsibility of business is to increase its profits. The New York Times
Magazine.
Friedman, A. L., & Miles, S. (2006). Stakeholders:
Theory and practice. Oxford: Oxford University Press.
Fraser, N. (2008). Scales of justice:
Reimagining political space in a globalizing world. Cambridge: Polity
Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1). Boston, MA: Beacon Press.
Habermas, J. (1998). The inclusion of the other:
Studies in political theory. Cambridge, MA: MIT Press.
Hendry, J. (2013). Ethics and finance: An
introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
Husted, B., & Allen, D. (2010). Corporate
social strategy: Stakeholder engagement and competitive advantage.
Cambridge: Cambridge University Press.
Jensen, M. C. (2002). Value maximization,
stakeholder theory, and the corporate objective function. Journal of Applied
Corporate Finance, 14(3), 8–21.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans. & Ed.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental
ethics: An anthology. Malden, MA: Blackwell.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Mayer, C. (2018). Prosperity: Better business
makes the greater good. Oxford: Oxford University Press.
Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter,
S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping the debate. Big
Data & Society, 3(2), 1–12.
Mitchell, R. K., Agle, B. R., & Wood, D. J.
(1997). Toward a theory of stakeholder identification and salience. Academy
of Management Review, 22(4), 853–886.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A
philosophy of adaptive ecosystem management. Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Phillips, R. A. (2003). Stakeholder theory and
organizational ethics. San Francisco, CA: Berrett-Koehler.
Pirson, M. (2017). Humanistic management:
Protecting dignity and promoting well-being. Cambridge: Cambridge
University Press.
Pirson, M., & Dierksmeier, C. (2018).
Reorienting management education: From the Homo economicus to human dignity. Journal
of Business Ethics, 153(1), 159–171.
Pruzan, P. (2011). Rational, ethical, and
spiritual perspectives on leadership: The quest for integrity. London:
Routledge.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Sage, A. P., & Rouse, W. B. (2015). Handbook
of systems engineering and management (3rd ed.). Hoboken, NJ: Wiley.
Sassen, S. (1996). Losing control? Sovereignty
in an age of globalization. New York, NY: Columbia University Press.
Scherer, A. G., & Palazzo, G. (2011). The new
political role of business in a globalized world. Journal of Management
Studies, 48(4), 899–931.
Schwab, K. (2008). The global corporate citizen. Foreign
Affairs, 87(1), 107–109.
Sen, A. (1999). Development as freedom. New
York, NY: Anchor Books.
Treviño, L. K., & Nelson, K. A. (2021). Managing
business ethics (8th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.
United Nations Global Compact. (2015). Corporate
sustainability in the world economy. New York, NY: United Nations.
Visser, W. (2011). The age of responsibility:
CSR 2.0 and the new DNA of business. Chichester: John Wiley & Sons.
Vogel, D. (2005). The market for virtue: The
potential and limits of corporate social responsibility. Washington, DC:
Brookings Institution Press.
Werhane, P. H. (1999). Moral imagination and
management decision-making. New York, NY: Oxford University Press.
Wren, D. A., & Bedeian, A. G. (2009). The
evolution of management thought (6th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New
York, NY: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar