Rabu, 29 Oktober 2025

Teori Pemangku Kepentingan: Tanggung Jawab Moral terhadap Semua Pihak

Teori Pemangku Kepentingan

Tanggung Jawab Moral terhadap Semua Pihak


Alihkan ke: Etika Lingkungan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) sebagai paradigma etika bisnis yang berupaya menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan tanggung jawab moral terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas korporasi. Kajian ini menegaskan bahwa bisnis tidak dapat dipahami semata-mata sebagai entitas ekonomi yang berorientasi laba, tetapi sebagai organisme sosial dan moral yang eksistensinya bergantung pada jaringan relasional dengan manusia, masyarakat, dan lingkungan. Melalui pendekatan filosofis yang meliputi dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, serta dimensi sosial-politik, artikel ini menunjukkan bahwa Stakeholder Theory memberikan landasan etis bagi praktik bisnis yang berkeadilan, transparan, dan berkelanjutan.

Dari perspektif ontologis, teori ini memandang perusahaan sebagai entitas yang being-with-others—yakni eksis dalam relasi dengan para pemangku kepentingan. Secara epistemologis, ia mengandalkan rasionalitas praktis dan dialogis yang menekankan phronesis (kebijaksanaan moral) dalam pengambilan keputusan bisnis. Dari segi aksiologis, teori ini menegaskan nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, solidaritas, dan keberlanjutan sebagai prinsip moral utama. Sementara dalam dimensi sosial-politik, teori ini memperluas tanggung jawab etis bisnis menuju ranah keadilan distributif, partisipasi demokratis, dan kepedulian ekologis.

Melalui sintesis filosofis, Stakeholder Theory diinterpretasikan sebagai upaya mengintegrasikan etika, ekonomi, dan kemanusiaan dalam kerangka common good. Dalam konteks globalisasi, digitalisasi, dan krisis ekologis, teori ini semakin relevan sebagai fondasi bagi paradigma bisnis humanistik yang menempatkan manusia dan kehidupan sebagai pusat orientasi moral. Dengan demikian, Stakeholder Theory bukan hanya model manajerial, tetapi juga filsafat praksis yang menuntun dunia bisnis menuju keseimbangan antara efisiensi dan kemanusiaan, antara keuntungan dan tanggung jawab moral.

Kata Kunci: Etika Bisnis; Teori Pemangku Kepentingan; Tanggung Jawab Sosial; Keberlanjutan; Keadilan; Humanisme; Common Good.


PEMBAHASAN

Etika Bisnis dalam Perspektif Teori Pemangku Kepentingan


1.           Pendahuluan

Dalam dinamika bisnis modern yang semakin kompleks, persoalan etika tidak lagi dapat dipandang sebagai pelengkap administratif atau sekadar instrumen pelatihan korporat. Etika bisnis merupakan jantung dari legitimasi moral perusahaan di tengah masyarakat yang menuntut transparansi, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Krisis-krisis korporasi besar seperti skandal akuntansi Enron (2001), kehancuran sistem keuangan global (2008), hingga kasus pencemaran lingkungan oleh BP Oil Spill (2010) menunjukkan bagaimana absennya kesadaran etis dalam pengambilan keputusan dapat meruntuhkan kepercayaan publik dan menghancurkan nilai perusahaan secara sistemik.¹

Dalam konteks tersebut, muncul kesadaran baru bahwa bisnis tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham (shareholders), tetapi juga terhadap pihak-pihak lain yang terdampak oleh aktivitasnya—para karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat lokal, hingga lingkungan hidup.² Kesadaran ini melahirkan paradigma etika bisnis yang dikenal sebagai Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory), yang pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh R. Edward Freeman pada tahun 1984 dalam karyanya Strategic Management: A Stakeholder Approach

Berbeda dari pandangan klasik ekonomi yang menempatkan perusahaan sebagai alat untuk memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham semata, Stakeholder Theory memandang organisasi bisnis sebagai entitas moral yang memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan semua pihak yang memiliki kepentingan (interests) dalam operasi dan keberlanjutan perusahaan.⁴ Dengan demikian, teori ini tidak hanya menawarkan pendekatan strategis terhadap manajemen, melainkan juga memberikan kerangka normatif bagi etika bisnis kontemporer.

Teori ini menggeser paradigma dari profit-centered ethics menuju responsibility-centered ethics, di mana ukuran keberhasilan bisnis tidak hanya diukur dari laba finansial, melainkan juga dari kontribusinya terhadap kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan.⁵ Dalam kerangka ini, etika menjadi bukan sekadar instrumen reputasional, tetapi fondasi ontologis bagi keberadaan perusahaan itu sendiri.

Tujuan utama pembahasan ini adalah untuk menganalisis Teori Pemangku Kepentingan dari perspektif filosofis dan etis—meliputi landasan historis, ontologi, epistemologi, dan aksiologinya—serta relevansinya dalam praktik bisnis modern. Dengan pendekatan yang sistematis, tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa Stakeholder Theory merupakan salah satu teori etika bisnis yang paling komprehensif dan aplikatif bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.⁶


Footnotes

[1]                Daniel A. Wren dan Arthur G. Bedeian, The Evolution of Management Thought, 6th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2009), 527–531.

[2]                Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 67–69.

[3]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 25–26.

[4]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 14–15.

[5]                John Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 56.

[6]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 89–92.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) lahir sebagai respons terhadap perubahan mendasar dalam lanskap ekonomi dan sosial pada paruh akhir abad ke-20. Pergeseran paradigma dari ekonomi industri menuju ekonomi informasi, globalisasi pasar, serta meningkatnya kesadaran publik terhadap dampak sosial dan ekologis bisnis menuntut model baru dalam memahami peran etika dalam manajemen korporasi.¹

Secara historis, akar Stakeholder Theory dapat ditelusuri hingga pemikiran manajemen strategis pada dekade 1960-an dan 1970-an, yang mulai mempertanyakan pandangan reduksionistik tentang perusahaan sebagai instrumen pencipta laba semata.² Namun, tonggak pentingnya muncul pada tahun 1984 ketika R. Edward Freeman menerbitkan karya monumental Strategic Management: A Stakeholder Approach, yang memformulasikan konsep bahwa keberhasilan jangka panjang perusahaan tergantung pada kemampuannya membangun hubungan saling menguntungkan dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan.³

Freeman mengkritik teori ekonomi neoklasik yang dipopulerkan oleh Milton Friedman, yang menegaskan bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial bisnis adalah memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham.⁴ Dalam esainya yang terkenal “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profits” (1970), Friedman menolak ide bahwa perusahaan memiliki kewajiban moral di luar kepentingan pemegang saham, karena menurutnya tanggung jawab sosial berada pada individu, bukan entitas korporasi.⁵ Kritik ini menjadi titik berangkat bagi Freeman untuk menegaskan bahwa perusahaan modern merupakan nexus of relationships, yakni jaringan relasional yang menuntut tanggung jawab moral kepada semua pihak yang terlibat atau terdampak oleh aktivitas bisnis.⁶

Selain konteks ekonomi dan manajerial, secara filosofis teori ini juga berakar pada tradisi etika normatif, khususnya etika Kantian dan utilitarianisme. Etika Immanuel Kant dengan prinsip categorical imperative menekankan penghormatan terhadap martabat manusia dan larangan memperlakukan individu semata sebagai alat, melainkan juga sebagai tujuan.⁷ Prinsip ini menjadi dasar bagi pengakuan moral terhadap para pemangku kepentingan sebagai subjek etis yang memiliki hak untuk didengar dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan bisnis. Sementara itu, pengaruh utilitarianisme—yang menekankan pencapaian “kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbanyak”—memberikan fondasi pragmatis bagi tujuan perusahaan dalam menyeimbangkan berbagai kepentingan untuk mencapai kesejahteraan bersama.⁸

Dalam perkembangan selanjutnya, Stakeholder Theory mengalami diversifikasi konseptual. Thomas Donaldson dan Lee E. Preston (1995) menguraikan tiga dimensi teori ini: deskriptif, instrumental, dan normatif.⁹ Dimensi deskriptif menjelaskan kenyataan bahwa perusahaan memang berinteraksi dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan; dimensi instrumental menunjukkan bahwa memperhatikan kepentingan mereka berdampak positif terhadap kinerja organisasi; sedangkan dimensi normatif memberikan legitimasi moral bagi teori ini sebagai kerangka etika bisnis.¹⁰

Dengan demikian, secara genealogis, Stakeholder Theory merepresentasikan transformasi epistemologis dalam filsafat bisnis: dari paradigma mekanistik yang menekankan kepemilikan dan efisiensi ekonomi, menuju paradigma relasional yang menekankan tanggung jawab sosial dan moralitas korporatif.¹¹ Teori ini muncul bukan semata-mata sebagai strategi manajemen, tetapi sebagai refleksi filosofis atas pertanyaan mendasar: Untuk siapa bisnis dijalankan, dan kepada siapa bisnis bertanggung jawab?


Footnotes

[1]                John Hendry, Ethics and Finance: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 41–43.

[2]                Daniel A. Wren dan Arthur G. Bedeian, The Evolution of Management Thought, 6th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2009), 493–498.

[3]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 25–30.

[4]                Thomas Clarke, International Corporate Governance: A Comparative Approach (London: Routledge, 2007), 19–21.

[5]                Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profits,” The New York Times Magazine, September 13, 1970.

[6]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 14–16.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. and ed. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 37–39.

[8]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 12–14.

[9]                Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 65–91.

[10]             Ibid., 70–74.

[11]             Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 89–92.


3.           Ontologi Teori Pemangku Kepentingan

Ontologi Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) berangkat dari pertanyaan mendasar mengenai hakikat keberadaan perusahaan: apakah organisasi bisnis hanya merupakan entitas ekonomi yang berorientasi pada laba, ataukah ia juga merupakan entitas moral dan sosial yang memiliki eksistensi dalam jaringan kehidupan masyarakat?¹ Dalam kerangka ontologis ini, perusahaan tidak dapat dipahami sekadar sebagai mesin produksi nilai ekonomi, melainkan sebagai organisme sosial yang hidup dalam relasi interdependen dengan para pemangku kepentingan yang membentuk dan menopangnya.²

Menurut R. Edward Freeman, organisasi bisnis memiliki eksistensi yang ditentukan oleh jaringan relasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap keberlangsungannya—baik secara langsung maupun tidak langsung.³ Para pemangku kepentingan (stakeholders) tidak hanya terdiri dari pemegang saham (shareholders), tetapi juga mencakup karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas lokal, pemerintah, media, bahkan lingkungan alam.⁴ Dengan demikian, perusahaan bukan entitas yang berdiri sendiri (self-contained entity), melainkan nexus of relationships, yaitu simpul relasional yang secara ontologis bergantung pada struktur sosial-ekologis yang lebih luas.⁵

Ontologi ini menolak pandangan atomistik yang mendominasi teori ekonomi klasik, di mana individu dan organisasi dianggap memiliki eksistensi otonom dan terlepas dari sistem sosialnya.⁶ Sebaliknya, Stakeholder Theory menegaskan prinsip relasionalitas sebagai dasar ontologis keberadaan perusahaan. Prinsip ini memandang bahwa eksistensi moral perusahaan baru bermakna ketika diakui dalam jejaring timbal balik yang saling memengaruhi antara pelaku bisnis dan masyarakat.⁷ Dalam pengertian ini, being dari perusahaan adalah being-with-others—keberadaan yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan pihak lain.

Dari sudut pandang etika normatif, pemahaman ontologis ini memiliki implikasi moral yang kuat. Jika perusahaan eksis dalam dan melalui relasinya dengan para pemangku kepentingan, maka tanggung jawab etis bukanlah pilihan, melainkan konsekuensi ontologis dari eksistensinya.⁸ Artinya, relasi dengan pemangku kepentingan bukan sekadar instrumen strategis untuk mencapai keuntungan, tetapi merupakan fondasi ontologis yang menuntut pengakuan moral terhadap setiap pihak yang memiliki kepentingan.⁹

Selain itu, dalam kerangka metafisika sosial, teori ini juga merefleksikan pandangan communitarianism, yakni gagasan bahwa identitas moral individu maupun korporasi terbentuk dalam konteks komunitas.¹⁰ Perusahaan memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk beroperasi secara efisien, tetapi juga untuk berkontribusi terhadap kebaikan bersama (common good).¹¹ Dengan demikian, etika pemangku kepentingan memiliki basis ontologis dalam prinsip keberadaan yang berakar pada hubungan—bukan dalam isolasi, melainkan dalam partisipasi aktif terhadap kehidupan bersama.

Akhirnya, ontologi Stakeholder Theory menempatkan perusahaan sebagai subjek moral kolektif (collective moral agent), yang tidak hanya memiliki tujuan ekonomi, tetapi juga kewajiban etis terhadap komunitasnya.¹² Pandangan ini membuka ruang bagi pemahaman baru tentang bisnis sebagai bagian integral dari ekosistem moral global, di mana setiap tindakan korporasi memiliki dampak ontologis terhadap struktur sosial, keseimbangan ekologis, dan kemanusiaan itu sendiri.¹³


Footnotes

[1]                John Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 54–56.

[2]                Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 67–70.

[3]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–47.

[4]                Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 10–12.

[5]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 22–23.

[6]                Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profits,” The New York Times Magazine, September 13, 1970.

[7]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 91–93.

[8]                Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 35–37.

[9]                Ronald E. Mitchell, Bradley R. Agle, dan Donna J. Wood, “Toward a Theory of Stakeholder Identification and Salience,” Academy of Management Review 22, no. 4 (1997): 853–856.

[10]             Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 115–118.

[11]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 149–151.

[12]             Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984), 38–42.

[13]             Bryan Husted dan David Allen, Corporate Social Strategy: Stakeholder Engagement and Competitive Advantage (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 66–68.


4.           Epistemologi dan Rasionalitas Etika Bisnis

Epistemologi dalam Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) berhubungan dengan cara manusia memahami, menilai, dan membenarkan tindakan moral dalam konteks bisnis. Ia menanyakan: bagaimana pengetahuan etis dalam pengambilan keputusan bisnis diperoleh, diuji, dan dijustifikasi?¹ Dalam perspektif ini, Stakeholder Theory menolak pandangan positivistik yang melihat keputusan bisnis semata sebagai hasil kalkulasi rasional-ekonomis; sebaliknya, teori ini menegaskan bahwa rasionalitas etika melibatkan dimensi moral, dialogis, dan kontekstual.²

Freeman berangkat dari asumsi bahwa manajemen tidak dapat dipisahkan dari nilai (management is a moral practice).³ Artinya, setiap keputusan bisnis mengandung dimensi normatif yang harus dipahami bukan hanya melalui analisis data empiris, tetapi juga melalui refleksi moral terhadap konsekuensi bagi semua pihak terkait. Dengan demikian, epistemologi etika bisnis berakar pada kemampuan phronesis—kebijaksanaan praktis Aristotelian—yang menuntun pelaku bisnis untuk menimbang dan memilih tindakan terbaik secara moral dalam situasi konkret.⁴

4.1.       Rasionalitas Praktis dan Moralitas dalam Pengambilan Keputusan

Konsep rasionalitas dalam Stakeholder Theory tidak identik dengan rasionalitas instrumental (berorientasi tujuan), melainkan dengan rasionalitas komunikatif dan praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas.⁵ Rasionalitas komunikatif menekankan pentingnya dialog etis antara perusahaan dan pemangku kepentingan, di mana legitimasi tindakan diperoleh melalui komunikasi yang terbuka, jujur, dan bebas dominasi.⁶ Dalam konteks ini, keputusan etis dianggap sah bila mampu diterima oleh semua pihak yang terdampak melalui proses dialog rasional.

Dengan demikian, epistemologi Stakeholder Theory berakar pada inter-subjektivitas—pengetahuan moral dibangun melalui interaksi sosial, bukan ditentukan secara unilateral oleh pihak manajemen atau pemegang saham.⁷ Proses deliberatif ini memulihkan dimensi etis dari keputusan bisnis yang selama ini direduksi menjadi sekadar analisis risiko dan laba.

4.2.       Transparansi, Partisipasi, dan Pengetahuan Moral

Etika pemangku kepentingan menekankan bahwa pengetahuan etis dalam bisnis harus lahir dari partisipasi semua pihak yang memiliki kepentingan.⁸ Transparansi informasi menjadi syarat epistemologis utama bagi lahirnya kepercayaan dan tanggung jawab bersama. Tanpa keterbukaan, proses rasionalisasi etis akan tereduksi menjadi manipulasi strategis.⁹ Karena itu, perusahaan dituntut untuk mengembangkan epistemic virtue—keutamaan dalam berpikir, seperti kejujuran, kehati-hatian, dan kesediaan untuk mendengar.¹⁰

Epistemologi ini juga menolak relativisme moral ekstrem. Ia menegaskan bahwa meskipun konteks bisnis beragam, terdapat nilai-nilai universal seperti keadilan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap martabat manusia yang menjadi acuan normatif bagi rasionalitas etis.¹¹ Dalam hal ini, Stakeholder Theory berupaya menggabungkan pengetahuan praktis (practical knowledge) dengan prinsip etika universal, menjadikan etika bisnis bersifat kontekstual sekaligus normatif.

4.3.       Integrasi Etika dan Strategi: Rasionalitas Ganda

Secara epistemologis, Stakeholder Theory mengusulkan model rasionalitas ganda: antara dimensi strategis dan moral.¹² Rasionalitas strategis berfokus pada efektivitas dan keberlanjutan bisnis, sedangkan rasionalitas moral menekankan legitimasi etis dan tanggung jawab sosial. Integrasi keduanya memungkinkan keputusan yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga benar secara moral.¹³

Freeman menyebut pendekatan ini sebagai stakeholder thinking, yakni cara berpikir yang menyatukan kepentingan ekonomi dan nilai moral dalam kerangka keputusan bisnis.¹⁴ Rasionalitas ini bersifat kooperatif, bukan kompetitif; berorientasi pada harmoni sosial dan keberlanjutan, bukan sekadar efisiensi.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi Stakeholder Theory menawarkan paradigma baru dalam filsafat bisnis: bahwa pengetahuan moral tidak hanya memberi arah bagi tindakan, tetapi juga memperkuat legitimasi dan keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang.¹⁶


Footnotes

[1]                John R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 60–62.

[2]                Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 29–31.

[3]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 56–58.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 113–115.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[6]                Ibid., 289–291.

[7]                Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 74–75.

[8]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 45–47.

[9]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 97–100.

[10]             Linda Treviño dan Katherine A. Nelson, Managing Business Ethics, 8th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2021), 68–70.

[11]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 54–55.

[12]             Edward Freeman dan David L. Reed, “Stockholders and Stakeholders: A New Perspective on Corporate Governance,” California Management Review 25, no. 3 (1983): 88–90.

[13]             Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 65–66.

[14]             R. Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (New Haven: Yale University Press, 2007), 52–54.

[15]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics: The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave Macmillan, 2016), 117–119.

[16]             Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California Management Review 56, no. 2 (2014): 130–135.


5.           Aksiologi dan Prinsip Moral Teori Pemangku Kepentingan

Aksiologi dalam Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) membahas nilai-nilai moral yang menjadi dasar tindakan dan orientasi etika bisnis. Jika ontologi teori ini menyoroti hakikat relasional perusahaan, dan epistemologinya menelaah cara mengetahui serta menilai tindakan etis, maka aksiologinya menekankan apa yang bernilai dan baik bagi semua pihak yang terlibat dalam kehidupan bisnis.¹ Dengan demikian, Stakeholder Theory menggeser paradigma nilai bisnis dari yang bersifat monodimensional—yakni keuntungan finansial—menjadi multidimensional, yang mencakup keadilan, tanggung jawab, solidaritas, dan keberlanjutan.²

5.1.       Nilai-Nilai Dasar: Keadilan, Tanggung Jawab, dan Kejujuran

Nilai keadilan (justice) menempati posisi sentral dalam kerangka aksiologis Stakeholder Theory.³ Perusahaan dituntut untuk memperlakukan setiap pemangku kepentingan secara adil, bukan sekadar berdasarkan kontribusi ekonomi mereka, tetapi juga berdasarkan hak moral mereka sebagai individu dan kelompok sosial. Prinsip ini memiliki akar kuat dalam teori keadilan John Rawls, terutama pada ide fairness dan equal moral consideration, di mana setiap pihak berhak memperoleh perlakuan etis yang seimbang.⁴

Selain keadilan, nilai tanggung jawab (responsibility) juga menjadi prinsip moral utama. Perusahaan tidak dapat memisahkan diri dari konsekuensi sosial dan ekologis tindakannya.⁵ Tanggung jawab moral menuntut perusahaan untuk melampaui kepatuhan hukum (legal compliance) menuju komitmen etis yang reflektif dan proaktif terhadap kesejahteraan bersama.⁶ Kejujuran (honesty) melengkapi kedua nilai tersebut sebagai dasar integritas korporatif, karena kepercayaan sosial hanya dapat dibangun melalui komunikasi yang transparan dan niat yang tulus.⁷

5.2.       Prinsip Keseimbangan Kepentingan dan Kewargaan Korporatif

Freeman menegaskan bahwa etika bisnis yang baik bukanlah etika yang memihak pada satu kelompok kepentingan, melainkan etika yang mampu menyeimbangkan beragam kepentingan dengan prinsip balance of interests.⁸ Prinsip ini menuntut kemampuan deliberatif untuk menimbang antara kepentingan ekonomi jangka pendek dengan kesejahteraan sosial jangka panjang. Dalam praktiknya, hal ini dapat diwujudkan melalui kebijakan yang memperhatikan hak pekerja, keamanan produk, perlindungan lingkungan, dan kontribusi sosial terhadap komunitas lokal.⁹

Dari prinsip ini berkembang konsep corporate citizenship atau kewargaan korporatif, yang menempatkan perusahaan sebagai warga moral dalam masyarakat global.¹⁰ Sebagai corporate citizen, perusahaan memiliki kewajiban etis untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan sosial, pendidikan, pelestarian lingkungan, dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan.¹¹ Dengan demikian, perusahaan bukan sekadar entitas ekonomi, tetapi juga agen moral yang berperan dalam memperkuat jaringan kehidupan bersama.

5.3.       Tanggung Jawab Moral terhadap Komunitas dan Lingkungan

Aksiologi Stakeholder Theory menegaskan bahwa tanggung jawab moral tidak berhenti pada relasi antar-manusia, tetapi meluas ke dimensi ekologis.¹² Etika lingkungan (environmental ethics) menjadi bagian integral dari nilai pemangku kepentingan, karena keberlanjutan kehidupan ekonomi bergantung pada keseimbangan ekologis.¹³ Dalam konteks ini, prinsip keberlanjutan (sustainability) bukan hanya strategi bisnis, tetapi nilai moral yang mengikat seluruh aktivitas korporasi.¹⁴

Konsep ini berkaitan erat dengan gagasan corporate social responsibility (CSR), yang menegaskan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan manfaat sosial dan meminimalisasi dampak negatif aktivitasnya.¹⁵ CSR dalam perspektif Stakeholder Theory bukanlah aktivitas filantropi yang bersifat opsional, melainkan konsekuensi etis dari eksistensi perusahaan sebagai bagian dari jaringan kehidupan sosial.¹⁶

5.4.       Orientasi Aksiologis: Dari Profit Menuju Kebaikan Bersama

Aksiologi Stakeholder Theory pada akhirnya bertujuan membangun orientasi baru bagi dunia bisnis: dari profit sebagai tujuan tunggal menuju common good sebagai horizon etis.¹⁷ Keuntungan tetap penting, tetapi ia tidak dapat dijadikan ukuran moral tertinggi.¹⁸ Keberhasilan sejati suatu perusahaan diukur dari kemampuannya menghasilkan nilai ekonomi yang selaras dengan nilai kemanusiaan dan keberlanjutan.¹⁹

Dengan demikian, aksiologi teori ini menegaskan bahwa kebaikan dalam bisnis tidak dapat dipisahkan dari kebaikan moral.²⁰ Etika pemangku kepentingan bukanlah antitesis dari efisiensi, melainkan fondasi bagi efisiensi yang bermakna; bukan hambatan bagi pertumbuhan, melainkan jalan menuju pertumbuhan yang manusiawi.²¹


Footnotes

[1]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 64–66.

[2]                Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 71–72.

[3]                Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 75–77.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 53–54.

[5]                Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 43–45.

[6]                John R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 85–87.

[7]                Linda K. Treviño dan Katherine A. Nelson, Managing Business Ethics, 8th ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2021), 69–70.

[8]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–48.

[9]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 99–101.

[10]             Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0 and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011), 33–35.

[11]             Klaus Schwab, “The Global Corporate Citizen,” Foreign Affairs 87, no. 1 (2008): 107–108.

[12]             Peter Pruzan, Rational, Ethical, and Spiritual Perspectives on Leadership: The Quest for Integrity (London: Routledge, 2011), 58–59.

[13]             Andrew Light dan Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 312–314.

[14]             Bryan Husted dan David Allen, Corporate Social Strategy: Stakeholder Engagement and Competitive Advantage (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 70–72.

[15]             Archie B. Carroll dan Kareem M. Shabana, “The Business Case for Corporate Social Responsibility,” International Journal of Management Reviews 12, no. 1 (2010): 85–88.

[16]             Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (New Haven: Yale University Press, 2007), 62–64.

[17]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 223–225.

[18]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics: The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave Macmillan, 2016), 125–127.

[19]             John Hendry, Ethics and Finance: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 68–70.

[20]             Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California Management Review 56, no. 2 (2014): 135–137.

[21]             Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 45–48.


6.           Dimensi Sosial dan Politik Etika Bisnis

Dimensi sosial dan politik Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) menegaskan bahwa bisnis bukanlah institusi yang netral secara moral dan politik, melainkan aktor sosial yang memiliki pengaruh signifikan terhadap struktur masyarakat, keadilan distributif, dan keseimbangan kekuasaan.¹ Dalam konteks ini, etika bisnis tidak hanya berbicara tentang perilaku individual atau hubungan antar perusahaan dan konsumen, tetapi juga tentang tata moral masyarakat dan tanggung jawab politik perusahaan dalam membentuk dunia sosial yang adil dan berkelanjutan.²

6.1.       Bisnis sebagai Aktor Sosial dan Agen Moral

Perusahaan modern beroperasi dalam sistem sosial yang kompleks, di mana setiap keputusan strategis—mulai dari kebijakan produksi hingga distribusi keuntungan—memiliki dampak sosial yang luas.³ Karena itu, perusahaan tidak dapat dianggap semata sebagai entitas ekonomi yang mencari laba, melainkan juga sebagai agen moral kolektif yang turut menentukan arah kehidupan masyarakat.⁴ R. Edward Freeman menegaskan bahwa perusahaan merupakan “institusi moral yang berinteraksi dengan berbagai komunitas etis,” dan karenanya harus tunduk pada prinsip-prinsip tanggung jawab sosial serta keadilan.⁵

Perusahaan yang bertanggung jawab sosial tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam pembangunan sosial: menciptakan lapangan kerja yang layak, memastikan kesetaraan gender, menghormati hak asasi manusia, dan berkontribusi terhadap kesejahteraan komunitas lokal.⁶ Dalam pandangan ini, tanggung jawab sosial bukanlah tambahan dari bisnis, tetapi konstituen dari legitimasi sosial perusahaan itu sendiri.⁷

6.2.       Keadilan Distributif dan Partisipatif dalam Relasi Bisnis

Etika pemangku kepentingan mengandaikan model keadilan yang bersifat distributif dan partisipatif.⁸ Keadilan distributif berfokus pada pembagian sumber daya dan manfaat ekonomi secara adil di antara seluruh pemangku kepentingan. Ini sejalan dengan teori keadilan John Rawls yang menekankan bahwa ketimpangan ekonomi hanya dapat dibenarkan bila memberi keuntungan bagi pihak yang paling lemah (difference principle).⁹ Dalam konteks bisnis, hal ini berarti kebijakan upah yang adil, perlakuan layak terhadap pekerja, dan kontribusi terhadap kesejahteraan publik.¹⁰

Sementara itu, keadilan partisipatif menuntut agar para pemangku kepentingan memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.¹¹ Prinsip ini mengarah pada model governance yang inklusif, di mana perusahaan membuka ruang dialog dan partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan etis, lingkungan, dan sosial.¹² Dengan demikian, demokratisasi dalam bisnis menjadi bagian dari aktualisasi keadilan sosial dalam ruang ekonomi.

6.3.       Kekuasaan, Regulasi, dan Peran Negara

Dalam dimensi politik, Stakeholder Theory menyadari adanya asimetri kekuasaan antara perusahaan besar dan masyarakat.¹³ Karena itu, etika bisnis tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan kerangka hukum dan regulasi publik yang adil. Negara memiliki tanggung jawab politik untuk memastikan bahwa aktivitas bisnis berjalan sesuai dengan nilai moral universal, melalui kebijakan pajak progresif, regulasi lingkungan, serta perlindungan terhadap pekerja dan konsumen.¹⁴

Namun, tanggung jawab etika tidak berhenti pada negara. Perusahaan juga memiliki kewajiban untuk menginternalisasi prinsip-prinsip keadilan dalam kebijakan internalnya, bahkan ketika regulasi eksternal tidak memaksanya.¹⁵ Etika pemangku kepentingan mendorong lahirnya konsep corporate political responsibility, yakni kesadaran bahwa kekuasaan ekonomi membawa tanggung jawab politik terhadap tatanan sosial yang lebih luas.¹⁶

Dalam konteks globalisasi, perusahaan multinasional memiliki pengaruh yang melampaui batas negara, sehingga mereka seringkali memiliki kekuasaan setara atau bahkan melebihi negara.¹⁷ Kondisi ini menimbulkan kebutuhan akan tata kelola global (global governance) yang menempatkan bisnis dalam kerangka moral lintas budaya dan transnasional, seperti yang diupayakan oleh inisiatif UN Global Compact dan standar ESG (Environmental, Social, and Governance).¹⁸

6.4.       Bisnis dan Masyarakat Demokratis

Stakeholder Theory beroperasi dengan asumsi bahwa etika bisnis hanya dapat berkembang dalam konteks masyarakat demokratis—masyarakat yang menghargai partisipasi, transparansi, dan penghormatan terhadap hak individu.¹⁹ Demokrasi ekonomi berarti memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk turut menentukan arah pembangunan ekonomi dan sosial.²⁰

Perusahaan yang beretika dalam kerangka demokrasi bukan hanya mengejar keuntungan, tetapi juga berperan sebagai wadah pendidikan moral publik, di mana nilai-nilai seperti tanggung jawab, kerja sama, dan keadilan sosial diwujudkan dalam praktik organisasi.²¹ Dengan demikian, etika bisnis tidak hanya melayani kepentingan ekonomi, tetapi berfungsi sebagai pilar moral bagi tatanan demokratis.²²


Footnotes

[1]                Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 71–73.

[2]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 105–107.

[3]                John R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 95–96.

[4]                Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984), 45–47.

[5]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 54–55.

[6]                Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0 and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011), 38–40.

[7]                Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 89–90.

[8]                John Hendry, Ethics and Finance: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 65–67.

[9]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 54–55.

[10]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics: The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave Macmillan, 2016), 132–134.

[11]             Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 83–85.

[12]             Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 72–73.

[13]             Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California Management Review 56, no. 2 (2014): 130–132.

[14]             David Vogel, The Market for Virtue: The Potential and Limits of Corporate Social Responsibility (Washington, DC: Brookings Institution Press, 2005), 61–63.

[15]             Thomas Clarke, International Corporate Governance: A Comparative Approach (London: Routledge, 2007), 97–99.

[16]             Andreas Georg Scherer dan Guido Palazzo, “The New Political Role of Business in a Globalized World,” Journal of Management Studies 48, no. 4 (2011): 900–905.

[17]             Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 23–25.

[18]             United Nations Global Compact, Corporate Sustainability in the World Economy (New York: United Nations, 2015), 12–14.

[19]             Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 251–253.

[20]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 36–38.

[21]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 223–224.

[22]             Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 52–55.


7.           Kritik terhadap Teori Pemangku Kepentingan

Meskipun Stakeholder Theory telah menjadi salah satu fondasi utama dalam kajian etika bisnis modern, teori ini tidak luput dari kritik baik dari sisi filosofis, ekonomi, maupun praktis. Kritik tersebut terutama diarahkan pada ambiguitas konseptual, kesulitan penerapan, serta potensi konflik dengan prinsip efisiensi pasar dan kepemilikan.¹ Kritik-kritik ini penting dipahami bukan untuk menolak teori, melainkan untuk memperkuat validitasnya melalui refleksi dan reformulasi etis yang lebih matang.

7.1.       Kritik dari Perspektif Shareholder Primacy

Salah satu kritik paling berpengaruh datang dari paradigma shareholder primacy yang dipelopori oleh Milton Friedman. Dalam artikelnya yang terkenal, “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profits” (1970), Friedman menegaskan bahwa tanggung jawab utama manajer adalah terhadap pemegang saham, bukan terhadap masyarakat luas.² Menurutnya, ketika perusahaan mengalihkan sumber daya untuk kepentingan sosial, mereka pada dasarnya melanggar kontrak moral dengan pemegang saham yang mempercayakan modal untuk tujuan ekonomi, bukan politik atau filantropis.³

Dari sudut pandang ini, Stakeholder Theory dianggap berbahaya karena mengaburkan batas tanggung jawab manajemen dan membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan korporasi.⁴ Kritik ini menegaskan bahwa jika setiap kepentingan dianggap sama penting, maka orientasi strategis perusahaan menjadi kabur, dan efisiensi ekonomi dapat menurun secara drastis.⁵

7.2.       Ambiguitas Konseptual: Siapa Pemangku Kepentingan?

Kritik lain yang sering diajukan terhadap teori ini adalah ketidakjelasan konseptual tentang siapa yang termasuk “pemangku kepentingan.”⁶ Freeman mendefinisikannya secara luas sebagai siapa pun yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi.⁷ Namun, definisi ini menimbulkan problem praktis: sejauh mana batasan “kepentingan” itu berlaku, dan bagaimana menimbang kepentingan yang saling bertentangan?

Beberapa peneliti seperti Jensen (2002) menyebut teori ini “terlalu inklusif” dan tidak menyediakan kriteria normatif yang jelas untuk memprioritaskan kepentingan tertentu.⁸ Dalam praktiknya, perusahaan sulit menentukan keputusan yang benar-benar adil bagi semua pihak tanpa pedoman etis yang hierarkis.⁹ Kritik ini menunjukkan bahwa tanpa kejelasan epistemologis, Stakeholder Theory berisiko berubah menjadi slogan moral yang tidak dapat dioperasionalkan.¹⁰

7.3.       Kritik dari Perspektif Deontologis dan Utilitarian

Dari perspektif etika normatif, Stakeholder Theory dikritik karena berupaya menggabungkan prinsip-prinsip yang berbeda tanpa dasar moral yang tunggal.¹¹ Para pendukung deontologi menilai teori ini terlalu pragmatis, karena menyeimbangkan kepentingan tanpa acuan kewajiban moral universal.¹² Sementara itu, kaum utilitarian berpendapat bahwa teori ini tidak cukup menekankan pada konsekuensi total dari tindakan bisnis bagi kesejahteraan umum.¹³

Kritik ini memperlihatkan dilema antara idealisme moral dan realisme manajerial. Dengan menolak absolutisme moral, teori pemangku kepentingan justru dituduh kehilangan kompas etika yang konsisten.¹⁴ Namun demikian, banyak filsuf bisnis seperti Donaldson dan Preston membela posisi Freeman dengan menyatakan bahwa pluralitas nilai adalah ciri khas masyarakat demokratis, dan karenanya teori ini sejalan dengan etika pluralistik yang menghormati perbedaan kepentingan moral.¹⁵

7.4.       Tantangan Implementasi Praktis

Secara praktis, Stakeholder Theory menghadapi kesulitan dalam penerapannya di dunia bisnis yang kompetitif dan berorientasi pasar.¹⁶ Implementasi nilai-nilai etika seringkali berbenturan dengan tekanan finansial, tuntutan pemegang saham, serta logika efisiensi jangka pendek.¹⁷ Beberapa studi menunjukkan bahwa meskipun perusahaan mengadopsi pendekatan stakeholder engagement, motivasi yang mendasarinya tidak selalu etis, melainkan instrumental—yakni untuk menjaga reputasi atau menghindari risiko hukum.¹⁸

Selain itu, penerapan teori ini membutuhkan mekanisme institusional yang kuat seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang nyata dari masyarakat sipil.¹⁹ Tanpa dukungan struktur sosial dan politik yang memadai, teori ini mudah tereduksi menjadi formalitas administratif atau strategi pemasaran etis (ethical branding).²⁰

7.5.       Kritik terhadap Dimensi Politik dan Kekuasaan

Beberapa pemikir kritis seperti Scherer dan Palazzo menyoroti bahwa Stakeholder Theory cenderung bersifat normatif-idealistik dan mengabaikan realitas kekuasaan ekonomi global.²¹ Dalam konteks kapitalisme neoliberal, hubungan antara perusahaan dan pemangku kepentingan sering kali tidak setara; perusahaan besar memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar daripada komunitas lokal atau pekerja.²² Karena itu, teori ini dinilai kurang memberikan perangkat analisis kritis terhadap struktur dominasi dan eksploitasi yang inheren dalam sistem ekonomi global.²³

Kritik ini mengarah pada tuntutan reformulasi Stakeholder Theory agar lebih politis dan transformatif—yakni tidak hanya menuntut dialog dan tanggung jawab, tetapi juga perubahan struktural terhadap sistem ekonomi yang timpang.²⁴

7.6.       Respons dan Reinterpretasi

Sebagai respons terhadap kritik tersebut, generasi baru pemikir stakeholder seperti Freeman, Harrison, dan Wicks berupaya memperkuat landasan teorinya dengan menekankan pendekatan humanistik dan pragmatis.²⁵ Mereka menolak dikotomi antara efisiensi ekonomi dan moralitas sosial, dengan menunjukkan bahwa keberlanjutan dan kepercayaan publik justru menjadi faktor strategis bagi keberhasilan bisnis jangka panjang.²⁶

Dengan demikian, Stakeholder Theory tetap memiliki relevansi normatif, meskipun harus terus diperbarui agar mampu menjawab tantangan globalisasi, ketimpangan ekonomi, dan kompleksitas etika kontemporer.²⁷


Footnotes

[1]                Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 115–117.

[2]                Milton Friedman, “The Social Responsibility of Business Is to Increase Its Profits,” The New York Times Magazine, September 13, 1970.

[3]                Ibid.

[4]                R. Edward Freeman dan David L. Reed, “Stockholders and Stakeholders: A New Perspective on Corporate Governance,” California Management Review 25, no. 3 (1983): 89–91.

[5]                Michael C. Jensen, “Value Maximization, Stakeholder Theory, and the Corporate Objective Function,” Journal of Applied Corporate Finance 14, no. 3 (2002): 9–10.

[6]                Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 66–68.

[7]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–47.

[8]                Michael C. Jensen, “Value Maximization,” 11–12.

[9]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 93–94.

[10]             Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 84–85.

[11]             Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 117–118.

[12]             John R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 105–106.

[13]             Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 14–16.

[14]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics: The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave Macmillan, 2016), 121–122.

[15]             Donaldson dan Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation,” 74–75.

[16]             Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California Management Review 56, no. 2 (2014): 130–132.

[17]             David Vogel, The Market for Virtue: The Potential and Limits of Corporate Social Responsibility (Washington, DC: Brookings Institution Press, 2005), 60–61.

[18]             Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0 and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011), 52–54.

[19]             Andreas Georg Scherer dan Guido Palazzo, “The New Political Role of Business in a Globalized World,” Journal of Management Studies 48, no. 4 (2011): 900–902.

[20]             Thomas Clarke, International Corporate Governance: A Comparative Approach (London: Routledge, 2007), 104–106.

[21]             Scherer dan Palazzo, “The New Political Role of Business,” 905–907.

[22]             Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 24–25.

[23]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (Cambridge: Polity Press, 2008), 43–45.

[24]             Peter Bloom dan Carl Rhodes, CEO Society: The Corporate Takeover of Everyday Life (London: Zed Books, 2018), 97–99.

[25]             R. Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (New Haven: Yale University Press, 2007), 82–84.

[26]             Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics, 120–122.

[27]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics, 130–133.


8.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks abad ke-21 yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, dan krisis ekologis, Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) memperoleh relevansi baru yang semakin luas.¹ Paradigma ini tidak hanya menjadi kerangka etika bisnis, tetapi juga menjadi fondasi konseptual bagi gerakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), keberlanjutan (sustainability), dan tata kelola lingkungan, sosial, serta korporasi (Environmental, Social, and Governance – ESG).² Dalam era di mana bisnis memiliki pengaruh yang melampaui batas geografis dan politik, teori ini menawarkan orientasi moral yang diperlukan untuk mengembalikan dimensi kemanusiaan dan sosial dalam dunia ekonomi yang cenderung tereduksi oleh logika pasar.³

8.1.       Globalisasi dan Tantangan Etika Transnasional

Globalisasi memperluas jangkauan perusahaan multinasional dan menghubungkan pasar dunia dalam sistem yang saling bergantung. Namun, globalisasi juga memunculkan dilema etis baru—eksploitasi tenaga kerja murah, degradasi lingkungan, dan ketimpangan ekonomi antarnegara.⁴ Dalam situasi ini, Stakeholder Theory memberikan kerangka normatif untuk memahami tanggung jawab perusahaan di tingkat global, bukan hanya terhadap pemegang saham domestik, tetapi juga terhadap pekerja di negara berkembang, komunitas lokal, dan lingkungan alam.⁵

Prinsip moral dalam teori ini mendorong kesetaraan global dan corporate global citizenship, di mana perusahaan berperan sebagai warga dunia yang memiliki tanggung jawab universal terhadap kesejahteraan manusia.⁶ Inisiatif seperti United Nations Global Compact dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises merepresentasikan upaya konkret untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Stakeholder Theory dalam tata kelola global.⁷

8.2.       Era Digital dan Etika Teknologi

Perkembangan teknologi digital membawa dimensi baru dalam penerapan Stakeholder Theory. Perusahaan digital seperti Google, Meta, dan Amazon tidak hanya mengelola data dan layanan, tetapi juga mengontrol infrastruktur sosial dan informasi publik.⁸ Dalam konteks ini, pemangku kepentingan tidak lagi terbatas pada pelanggan dan karyawan, tetapi juga mencakup pengguna data, masyarakat daring (online communities), serta sistem demokrasi digital itu sendiri.⁹

Etika pemangku kepentingan menuntut perusahaan teknologi untuk bertindak secara transparan, menjunjung privasi, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan digital.¹⁰ Konsep seperti data ethics, AI accountability, dan algorithmic justice menjadi perwujudan baru dari tanggung jawab etis terhadap pemangku kepentingan dalam era teknologi informasi.¹¹

Selain itu, paradigma ini relevan dalam konteks ekonomi digital karena menolak pandangan deterministik bahwa teknologi netral. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa setiap inovasi teknologi membawa konsekuensi moral yang harus dipertanggungjawabkan secara sosial.¹²

8.3.       Krisis Iklim dan Tanggung Jawab Ekologis

Krisis iklim global menuntut reinterpretasi peran bisnis dalam relasinya dengan lingkungan hidup. Stakeholder Theory memperluas cakupan moralnya dengan memasukkan alam dan generasi mendatang sebagai pemangku kepentingan yang sah.¹³ Pandangan ini selaras dengan etika lingkungan kontemporer yang melihat bumi bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai komunitas ekologis yang memiliki nilai intrinsik.¹⁴

Dalam praktik bisnis, gagasan ini mendorong munculnya strategi sustainable management dan green governance yang menempatkan keberlanjutan sebagai pusat pengambilan keputusan.¹⁵ Perusahaan yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan tidak hanya menjaga kelangsungan hidup ekologis, tetapi juga memperkuat legitimasi moralnya di mata publik.¹⁶

8.4.       Keadilan Sosial dan Inklusi dalam Dunia Bisnis

Isu-isu kontemporer seperti kesetaraan gender, keragaman, dan keadilan rasial menempatkan kembali etika pemangku kepentingan dalam perdebatan publik.¹⁷ Perusahaan yang beretika tidak cukup hanya tidak merugikan, tetapi juga harus aktif menciptakan struktur sosial yang inklusif dan adil.¹⁸ Pendekatan stakeholder membuka ruang bagi partisipasi kelompok marjinal dalam menentukan arah kebijakan bisnis, sehingga praktik ekonomi menjadi lebih demokratis dan representatif.¹⁹

Dalam konteks ini, teori ini berkontribusi pada munculnya paradigma baru, yaitu inclusive capitalism—sebuah upaya untuk menggabungkan efisiensi pasar dengan keadilan sosial dan partisipasi moral.²⁰ Etika pemangku kepentingan menjadi instrumen reflektif untuk menyeimbangkan nilai-nilai ekonomi dan kemanusiaan dalam sistem kapitalisme global.²¹

8.5.       Bisnis Humanistik dan Ekonomi Moral

Relevansi kontemporer Stakeholder Theory juga tampak dalam kebangkitan paradigma humanistik dalam ekonomi dan manajemen.²² Pendekatan ini menggeser fokus bisnis dari shareholder value menuju human value—yakni penempatan manusia sebagai pusat dari seluruh aktivitas ekonomi.²³ Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Humanistic Management yang dikembangkan oleh Claus Dierksmeier dan Michael Pirson, yang menekankan martabat manusia (human dignity) sebagai prinsip dasar etika ekonomi.²⁴

Dengan demikian, Stakeholder Theory bukan hanya model manajerial, tetapi juga kerangka moral untuk membangun peradaban ekonomi yang lebih manusiawi.²⁵ Dalam era disrupsi teknologi, krisis ekologi, dan ketimpangan sosial, teori ini menjadi panduan reflektif untuk mengembalikan orientasi etika bisnis pada tujuan utamanya: melayani manusia dan kehidupan.²⁶


Footnotes

[1]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 135–137.

[2]                Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0 and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011), 41–43.

[3]                John R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 112–113.

[4]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 62–63.

[5]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 101–103.

[6]                Klaus Schwab, “The Global Corporate Citizen,” Foreign Affairs 87, no. 1 (2008): 107–109.

[7]                United Nations Global Compact, Corporate Sustainability in the World Economy (New York: United Nations, 2015), 8–10.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 41–43.

[9]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 118–120.

[10]             Andrew P. Sage dan William B. Rouse, Handbook of Systems Engineering and Management, 3rd ed. (Hoboken, NJ: Wiley, 2015), 623–625.

[11]             Brent Daniel Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–12.

[12]             Luciano Floridi, “Soft Ethics and the Governance of the Digital,” Philosophy & Technology 31, no. 1 (2018): 1–8.

[13]             Andrew Light dan Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Malden, MA: Blackwell, 2003), 299–302.

[14]             Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 33–35.

[15]             Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 52–54.

[16]             Bryan Husted dan David Allen, Corporate Social Strategy: Stakeholder Engagement and Competitive Advantage (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 72–74.

[17]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (Cambridge: Polity Press, 2008), 85–87.

[18]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 39–41.

[19]             Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 104–106.

[20]             Colin Mayer, Prosperity: Better Business Makes the Greater Good (Oxford: Oxford University Press, 2018), 58–60.

[21]             Thomas Donaldson dan Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999), 73–75.

[22]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics: The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave Macmillan, 2016), 147–149.

[23]             Michael Pirson, Humanistic Management: Protecting Dignity and Promoting Well-Being (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 33–35.

[24]             Claus Dierksmeier dan Michael Pirson, “Oikonomia versus Chrematistike: Learning from Aristotle about the Future Orientation of Business Management,” Journal of Business Ethics 145, no. 4 (2017): 687–700.

[25]             Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 121–123.

[26]             R. Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (New Haven: Yale University Press, 2007), 96–98.


9.           Sintesis Filosofis

Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) dalam dimensi filosofisnya tidak hanya menghadirkan paradigma baru bagi praktik bisnis, tetapi juga merepresentasikan pergeseran ontologis dan aksiologis dalam cara manusia memahami relasi antara ekonomi, etika, dan kemanusiaan.¹ Sintesis filosofis teori ini terletak pada upaya mengintegrasikan rasionalitas ekonomi dengan tanggung jawab moral, mengatasi dikotomi antara kepentingan individu dan kebaikan bersama, serta menegaskan kembali peran bisnis sebagai bagian dari tatanan moral yang lebih luas.²

9.1.       Integrasi Etika, Ekonomi, dan Ontologi Relasional

Secara ontologis, Stakeholder Theory menolak pandangan atomistik yang mengisolasi entitas bisnis dari masyarakat.³ Ia menegaskan bahwa perusahaan ada karena relasi, bukan di luar relasi.⁴ Keberadaan korporasi tidak dapat dilepaskan dari jaringan sosial, ekologis, dan moral yang menopangnya. Dengan demikian, teori ini menegaskan paradigma being-with-others sebagai dasar ontologis dari etika bisnis.⁵

Sintesis ini mengandung semangat humanisme relasional yang mengingatkan pada pandangan Aristoteles tentang zoon politikon—bahwa manusia (dan dengan analogi, institusi sosial) hanya dapat bermakna dalam kehidupan bersama.⁶ Dengan menempatkan keberadaan bisnis dalam konteks komunitas moral, teori ini mengembalikan aktivitas ekonomi kepada tujuannya yang hakiki: melayani kehidupan, bukan sekadar menumpuk kekayaan.⁷

9.2.       Epistemologi Praktis: Kebijaksanaan Moral dalam Tindakan Bisnis

Dari segi epistemologi, Stakeholder Theory membangun model pengetahuan etis yang pragmatis dan dialogis.⁸ Ia tidak berlandaskan pada prinsip moral absolut yang terpisah dari realitas, tetapi pada phronesis—kebijaksanaan praktis dalam menimbang kepentingan berbagai pihak.⁹ Pengetahuan etis di sini bersifat kontekstual, partisipatif, dan komunikatif, di mana kebenaran moral tidak ditentukan oleh satu aktor, melainkan dibangun melalui dialog antarpemangku kepentingan.¹⁰

Paradigma ini menunjukkan bahwa etika dalam bisnis bukan sekadar perangkat normatif, tetapi juga bentuk rasionalitas yang memampukan manusia bertindak bijaksana dalam menghadapi kompleksitas kehidupan ekonomi.¹¹ Dengan kata lain, teori ini memulihkan dimensi moral dari rasionalitas ekonomi yang selama ini terfragmentasi oleh logika efisiensi instrumental.¹²

9.3.       Aksiologi Humanistik: Menuju Kebaikan Bersama (Bonum Commune)

Secara aksiologis, Stakeholder Theory menegaskan bahwa nilai tertinggi dalam etika bisnis bukanlah keuntungan (profit), melainkan bonum commune—kebaikan bersama.¹³ Pandangan ini selaras dengan etika klasik Aristotelian-Thomistik yang menempatkan virtue dan common good sebagai tujuan akhir kehidupan sosial.¹⁴

Dalam konteks bisnis modern, common good diterjemahkan sebagai penciptaan nilai yang seimbang antara dimensi ekonomi, sosial, dan ekologis.¹⁵ Nilai moral seperti keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab tidak lagi menjadi beban eksternal bagi bisnis, tetapi bagian integral dari strategi keberlanjutan dan legitimasi moralnya.¹⁶ Dengan demikian, teori ini membangun jembatan antara etika normatif dan kepentingan praktis: kebaikan bersama tidak meniadakan keuntungan, tetapi menuntun bagaimana keuntungan itu harus diperoleh dan didistribusikan secara etis.¹⁷

9.4.       Transformasi Paradigma: Dari Kapitalisme Instrumental menuju Etika Relasional

Secara filosofis, Stakeholder Theory juga merupakan kritik terhadap reduksionisme kapitalisme instrumental yang menempatkan manusia dan alam hanya sebagai sarana produksi.¹⁸ Paradigma baru yang ditawarkan adalah kapitalisme relasional dan bertanggung jawab, di mana keberhasilan bisnis diukur berdasarkan kontribusinya terhadap kesejahteraan manusia dan kelestarian bumi.¹⁹

Pendekatan ini menegaskan bahwa rasionalitas ekonomi harus tunduk pada rasionalitas moral.²⁰ Dalam kerangka ini, ekonomi dipahami sebagai oikonomia—pengelolaan rumah tangga bersama—bukan chrematistike (penumpukan kekayaan), sebagaimana dibedakan oleh Aristoteles.²¹ Oleh karena itu, Stakeholder Theory merevitalisasi moralitas klasik dalam konteks ekonomi global dengan menawarkan etika bisnis yang bersifat partisipatif, berkeadilan, dan berorientasi ekologis.²²

9.5.       Menuju Filsafat Bisnis yang Humanistik dan Transformatif

Sintesis filosofis dari Stakeholder Theory bermuara pada visi filsafat bisnis humanistik, di mana manusia tidak lagi dipandang sebagai alat produksi, melainkan sebagai tujuan dan pusat makna dalam seluruh aktivitas ekonomi.²³ Teori ini menyerukan transformasi moral dari paradigma efisiensi menuju paradigma kebermaknaan.²⁴ Dalam hal ini, bisnis tidak hanya menjadi mekanisme ekonomi, tetapi juga arena moral di mana nilai-nilai kemanusiaan diuji, dipelihara, dan dikembangkan.²⁵

Dengan menggabungkan ontologi relasional, epistemologi praktis, dan aksiologi humanistik, Stakeholder Theory melampaui batas-batas teori manajemen konvensional.²⁶ Ia menjadi filsafat praksis, yakni filsafat yang menggabungkan refleksi etis dengan tindakan nyata untuk membangun tatanan ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan bermartabat.²⁷ Dengan demikian, teori ini bukan sekadar alat analisis bisnis, melainkan proyek filosofis untuk menata kembali hubungan antara manusia, moralitas, dan dunia ekonomi dalam horizon tanggung jawab bersama.²⁸


Footnotes

[1]                Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics: The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave Macmillan, 2016), 143–145.

[2]                John R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 126–128.

[3]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 54–56.

[4]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 23–24.

[5]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 130–132.

[6]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 12–14.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 223–225.

[8]                Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 105–106.

[9]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 113–115.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[11]             Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 75–77.

[12]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics, 147–149.

[13]             Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 50–52.

[14]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 47, art. 10.

[15]             Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 120–122.

[16]             Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0 and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011), 66–68.

[17]             Edward Freeman, Jeffrey S. Harrison, dan Andrew C. Wicks, Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (New Haven: Yale University Press, 2007), 84–86.

[18]             Michael Pirson, Humanistic Management: Protecting Dignity and Promoting Well-Being (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 37–39.

[19]             Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California Management Review 56, no. 2 (2014): 130–133.

[20]             Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 249–251.

[21]             Aristotle, Politics, 18–19.

[22]             Dierksmeier, Reframing Economic Ethics, 153–155.

[23]             Michael Pirson dan Claus Dierksmeier, “Reorienting Management Education: From the Homo Economicus to Human Dignity,” Journal of Business Ethics 153, no. 1 (2018): 159–161.

[24]             Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders, 123–124.

[25]             Patricia H. Werhane, Moral Imagination, 110–112.

[26]             Thomas Donaldson dan Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999), 78–80.

[27]             Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics, 138–140.

[28]             Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics, 160–162.


10.       Kesimpulan

Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) menghadirkan paradigma baru dalam etika bisnis modern dengan menggeser orientasi moral perusahaan dari kepentingan tunggal pemegang saham menuju tanggung jawab kolektif terhadap seluruh pihak yang terlibat dan terdampak oleh aktivitas bisnis.¹ Teori ini menegaskan bahwa bisnis bukanlah sistem tertutup yang hanya beroperasi berdasarkan rasionalitas ekonomi, melainkan entitas moral dan sosial yang eksistensinya melekat pada jaringan relasional antar manusia, komunitas, dan lingkungan hidup.²

Dari perspektif ontologis, Stakeholder Theory memperlihatkan bahwa perusahaan tidak berdiri secara otonom, melainkan bergantung pada ekosistem sosial dan ekologis yang lebih luas.³ Keberadaan perusahaan adalah “being-with-others,” yakni keberadaan yang bermakna karena keterlibatan dan tanggung jawab terhadap pihak lain.⁴ Dalam hal ini, teori ini memulihkan kembali makna moral bisnis sebagai bagian integral dari kehidupan bersama.

Dari segi epistemologis, teori ini menolak pendekatan positivistik dan instrumentalis yang memisahkan fakta dari nilai.⁵ Pengetahuan etis dalam bisnis tidak bersifat netral, tetapi lahir dari dialog, refleksi, dan kebijaksanaan praktis (phronesis).⁶ Rasionalitas bisnis, karenanya, tidak dapat dipisahkan dari rasionalitas moral yang memampukan manusia membuat keputusan etis di tengah kompleksitas kepentingan.⁷

Sementara dalam dimensi aksiologis, Stakeholder Theory menegaskan nilai-nilai fundamental seperti keadilan, tanggung jawab, kejujuran, solidaritas, dan keberlanjutan sebagai prinsip moral bagi kehidupan ekonomi.⁸ Nilai-nilai ini bukan sekadar instrumen reputasi, melainkan dasar keberlanjutan moral perusahaan dan legitimasi sosialnya.⁹ Prinsip common good menjadi horizon etis dari seluruh aktivitas bisnis—suatu orientasi menuju kebaikan bersama yang melampaui kepentingan individual atau korporatif.¹⁰

Dalam tataran sosial dan politik, teori ini memperluas cakupan etika bisnis ke ranah keadilan distributif, partisipatif, dan tanggung jawab ekologis.¹¹ Perusahaan dihadapkan pada peran baru sebagai corporate citizen yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat demokratis dan lingkungan global.¹² Etika bisnis tidak lagi dipahami hanya sebagai regulasi perilaku internal, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap dunia yang saling terhubung.¹³

Namun, di balik kekuatan filosofisnya, teori ini juga menghadapi tantangan: ketidakjelasan batas pemangku kepentingan, potensi konflik kepentingan, dan dilema implementasi praktis di tengah tekanan ekonomi pasar.¹⁴ Meskipun demikian, justru dalam ketegangan inilah Stakeholder Theory menemukan daya reflektifnya—bahwa etika bisnis bukanlah sistem yang selesai, tetapi proyek moral yang terus berkembang seiring perubahan sosial dan teknologi.¹⁵

Pada akhirnya, Stakeholder Theory merupakan filsafat praksis bisnis yang menyatukan pemikiran etis dengan tindakan strategis.¹⁶ Ia bukan sekadar teori manajemen, tetapi suatu paradigma moral yang menempatkan manusia dan komunitas di pusat aktivitas ekonomi.¹⁷ Dengan menekankan tanggung jawab, keberlanjutan, dan keadilan, teori ini mengajak dunia bisnis untuk bergerak dari logika dominasi menuju logika dialog, solidaritas, dan kesejahteraan bersama.¹⁸ Dalam kerangka ini, etika bukan lagi beban bagi bisnis, melainkan sumber makna dan kekuatan moral bagi keberlanjutan peradaban ekonomi yang lebih manusiawi.¹⁹


Footnotes

[1]                R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach (Boston: Pitman, 1984), 46–48.

[2]                Robert A. Phillips, Stakeholder Theory and Organizational Ethics (San Francisco: Berrett-Koehler, 2003), 22–23.

[3]                Andrew Crane dan Dirk Matten, Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2019), 130–132.

[4]                Claus Dierksmeier, Reframing Economic Ethics: The Philosophical Foundations of Humanistic Management (London: Palgrave Macmillan, 2016), 145–146.

[5]                Patricia H. Werhane, Moral Imagination and Management Decision-Making (New York: Oxford University Press, 1999), 43–45.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 114–115.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 287–289.

[8]                John R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 85–87.

[9]                Wayne Visser, The Age of Responsibility: CSR 2.0 and the New DNA of Business (Chichester: John Wiley & Sons, 2011), 33–35.

[10]             Herman E. Daly dan John B. Cobb Jr., For the Common Good: Redirecting the Economy toward Community, the Environment, and a Sustainable Future (Boston: Beacon Press, 1994), 52–54.

[11]             Thomas Donaldson dan Lee E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications,” Academy of Management Review 20, no. 1 (1995): 70–74.

[12]             Klaus Schwab, “The Global Corporate Citizen,” Foreign Affairs 87, no. 1 (2008): 108–109.

[13]             Andreas Georg Scherer dan Guido Palazzo, “The New Political Role of Business in a Globalized World,” Journal of Management Studies 48, no. 4 (2011): 902–904.

[14]             Michael C. Jensen, “Value Maximization, Stakeholder Theory, and the Corporate Objective Function,” Journal of Applied Corporate Finance 14, no. 3 (2002): 9–11.

[15]             Andrew L. Friedman dan Samantha Miles, Stakeholders: Theory and Practice (Oxford: Oxford University Press, 2006), 118–120.

[16]             Thomas Donaldson dan Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999), 79–80.

[17]             Michael Pirson, Humanistic Management: Protecting Dignity and Promoting Well-Being (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 37–39.

[18]             Claus Dierksmeier dan Michael Pirson, “Oikonomia versus Chrematistike: Learning from Aristotle about the Future Orientation of Business Management,” Journal of Business Ethics 145, no. 4 (2017): 687–700.

[19]             Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, dan Dirk Matten, “Contesting the Value of ‘Creating Shared Value,’” California Management Review 56, no. 2 (2014): 135–137.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1985). Politics (B. Jowett, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and legislation. Oxford: Clarendon Press.

Boatright, J. R. (2017). Ethics and the conduct of business (8th ed.). Boston, MA: Pearson.

Bloom, P., & Rhodes, C. (2018). CEO society: The corporate takeover of everyday life. London: Zed Books.

Carroll, A. B., & Shabana, K. M. (2010). The business case for corporate social responsibility: A review of concepts, research and practice. International Journal of Management Reviews, 12(1), 85–105.

Clarke, T. (2007). International corporate governance: A comparative approach. London: Routledge.

Crane, A., Matten, D., Palazzo, G., & Spence, L. J. (2014). Contesting the value of “creating shared value.” California Management Review, 56(2), 130–137.

Crane, A., & Matten, D. (2019). Business ethics: Managing corporate citizenship and sustainability in the age of globalization (5th ed.). Oxford: Oxford University Press.

Daly, H. E., & Cobb, J. B., Jr. (1994). For the common good: Redirecting the economy toward community, the environment, and a sustainable future. Boston, MA: Beacon Press.

Dierksmeier, C. (2016). Reframing economic ethics: The philosophical foundations of humanistic management. London: Palgrave Macmillan.

Dierksmeier, C., & Pirson, M. (2017). Oikonomia versus chrematistike: Learning from Aristotle about the future orientation of business management. Journal of Business Ethics, 145(4), 687–700.

Donaldson, T., & Dunfee, T. W. (1999). Ties that bind: A social contracts approach to business ethics. Boston, MA: Harvard Business School Press.

Donaldson, T., & Preston, L. E. (1995). The stakeholder theory of the corporation: Concepts, evidence, and implications. Academy of Management Review, 20(1), 65–91.

Etzioni, A. (1993). The spirit of community: Rights, responsibilities, and the communitarian agenda. New York, NY: Crown Publishers.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Floridi, L. (2018). Soft ethics and the governance of the digital. Philosophy & Technology, 31(1), 1–8.

Freeman, R. E. (1984). Strategic management: A stakeholder approach. Boston, MA: Pitman.

Freeman, R. E., Harrison, J. S., & Wicks, A. C. (2007). Managing for stakeholders: Survival, reputation, and success. New Haven, CT: Yale University Press.

Freeman, R. E., & Reed, D. L. (1983). Stockholders and stakeholders: A new perspective on corporate governance. California Management Review, 25(3), 88–106.

Friedman, M. (1970, September 13). The social responsibility of business is to increase its profits. The New York Times Magazine.

Friedman, A. L., & Miles, S. (2006). Stakeholders: Theory and practice. Oxford: Oxford University Press.

Fraser, N. (2008). Scales of justice: Reimagining political space in a globalizing world. Cambridge: Polity Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Boston, MA: Beacon Press.

Habermas, J. (1998). The inclusion of the other: Studies in political theory. Cambridge, MA: MIT Press.

Hendry, J. (2013). Ethics and finance: An introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Husted, B., & Allen, D. (2010). Corporate social strategy: Stakeholder engagement and competitive advantage. Cambridge: Cambridge University Press.

Jensen, M. C. (2002). Value maximization, stakeholder theory, and the corporate objective function. Journal of Applied Corporate Finance, 14(3), 8–21.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans. & Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Malden, MA: Blackwell.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Mayer, C. (2018). Prosperity: Better business makes the greater good. Oxford: Oxford University Press.

Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter, S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping the debate. Big Data & Society, 3(2), 1–12.

Mitchell, R. K., Agle, B. R., & Wood, D. J. (1997). Toward a theory of stakeholder identification and salience. Academy of Management Review, 22(4), 853–886.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Phillips, R. A. (2003). Stakeholder theory and organizational ethics. San Francisco, CA: Berrett-Koehler.

Pirson, M. (2017). Humanistic management: Protecting dignity and promoting well-being. Cambridge: Cambridge University Press.

Pirson, M., & Dierksmeier, C. (2018). Reorienting management education: From the Homo economicus to human dignity. Journal of Business Ethics, 153(1), 159–171.

Pruzan, P. (2011). Rational, ethical, and spiritual perspectives on leadership: The quest for integrity. London: Routledge.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sage, A. P., & Rouse, W. B. (2015). Handbook of systems engineering and management (3rd ed.). Hoboken, NJ: Wiley.

Sassen, S. (1996). Losing control? Sovereignty in an age of globalization. New York, NY: Columbia University Press.

Scherer, A. G., & Palazzo, G. (2011). The new political role of business in a globalized world. Journal of Management Studies, 48(4), 899–931.

Schwab, K. (2008). The global corporate citizen. Foreign Affairs, 87(1), 107–109.

Sen, A. (1999). Development as freedom. New York, NY: Anchor Books.

Treviño, L. K., & Nelson, K. A. (2021). Managing business ethics (8th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.

United Nations Global Compact. (2015). Corporate sustainability in the world economy. New York, NY: United Nations.

Visser, W. (2011). The age of responsibility: CSR 2.0 and the new DNA of business. Chichester: John Wiley & Sons.

Vogel, D. (2005). The market for virtue: The potential and limits of corporate social responsibility. Washington, DC: Brookings Institution Press.

Werhane, P. H. (1999). Moral imagination and management decision-making. New York, NY: Oxford University Press.

Wren, D. A., & Bedeian, A. G. (2009). The evolution of management thought (6th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New York, NY: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar