Jumat, 31 Oktober 2025

Sejarah Perkembangan Subjek Hukum: Dari Personifikasi Hukum Klasik Menuju Kepribadian Hukum Modern

Sejarah Perkembangan Subjek Hukum

Dari Personifikasi Hukum Klasik Menuju Kepribadian Hukum Modern


Alihkan ke: Subjek Hukum.

Hak Hukum bagi Alam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif sejarah perkembangan subjek hukum dari perspektif historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, serta melalui analisis sosial, politik, dan ilmiah yang interdisipliner. Dalam konteks historis, pembahasan menelusuri transformasi konsep persona dari tradisi hukum Romawi, teologi abad pertengahan, hingga rasionalisme modern yang menempatkan individu sebagai pusat sistem hukum. Secara ontologis, subjek hukum dipahami bukan sebagai entitas statis, melainkan sebagai konstruksi relasional yang terbentuk melalui interaksi sosial dan struktur normatif. Dari segi epistemologis, artikel ini menyoroti pergeseran paradigma pengetahuan hukum dari positivisme normatif menuju pendekatan hermeneutik dan kritis yang memandang hukum sebagai produk komunikasi dan pengakuan timbal balik.

Dimensi aksiologis menegaskan bahwa konsep subjek hukum mengandung nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, dan kemanusiaan yang menjadi dasar moral bagi sistem hukum. Sementara itu, dimensi sosial, politik, dan ekonomi menunjukkan bahwa hukum bukanlah sistem netral, melainkan arena perjuangan sosial dan legitimasi kekuasaan yang menentukan siapa yang diakui sebagai subjek hukum. Dalam konteks ilmiah dan interdisipliner, artikel ini mengintegrasikan perspektif filsafat, sosiologi, antropologi, bioetika, dan ilmu teknologi untuk memahami tantangan baru yang dihadapi konsep hukum di era digital dan post-human.

Melalui kritik feminis, postkolonial, dan teori kritis, artikel ini membongkar bias dalam paradigma klasik yang menempatkan subjek hukum sebagai individu otonom dan rasional, sambil mengusulkan kerangka baru berupa ontologi relasional subjek hukum. Dalam kerangka ini, manusia dipahami sebagai makhluk yang eksistensinya dibentuk melalui hubungan sosial, moral, ekologis, dan teknologi. Pada akhirnya, artikel ini menyimpulkan bahwa hukum yang berkeadilan dan humanistik harus berakar pada paradigma integral—di mana hukum tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pengaturan, tetapi juga sebagai ruang etis untuk pengakuan dan tanggung jawab antar-subjek dalam dunia yang semakin saling terhubung.

Kata Kunci: Subjek hukum, ontologi relasional, humanisme hukum, tanggung jawab sosial, post-humanisme, hukum digital, etika komunikasi, keadilan integral.


PEMBAHASAN

Bagaimana Konsep Subjek Hukum Berkembang secara Historis dari Dunia Klasik hingga Modern?


1.           Pendahuluan

Konsep subjek hukum merupakan salah satu pilar utama dalam filsafat hukum dan teori hukum modern, karena ia menentukan siapa atau apa yang dapat menjadi pemegang hak dan kewajiban dalam sistem hukum. Sejarah panjang peradaban manusia menunjukkan bahwa pengertian tentang “siapa yang dapat menjadi subjek hukum” bukanlah sesuatu yang tetap dan universal, melainkan hasil dari konstruksi sosial, politik, dan filosofis yang berubah sesuai dengan konteks zamannya. Dalam hukum Romawi klasik, misalnya, hanya warga negara tertentu yang diakui sebagai persona atau subjek hukum penuh, sementara budak, perempuan, dan kelompok asing dikecualikan dari status tersebut.¹ Evolusi konsep ini mencerminkan dinamika nilai dan kekuasaan dalam masyarakat manusia—yakni bagaimana hukum berfungsi tidak hanya sebagai mekanisme normatif, tetapi juga sebagai representasi dari struktur moral dan ideologis suatu masa.

Secara historis, istilah persona dalam bahasa Latin memiliki makna ganda: di satu sisi ia menunjuk pada topeng yang dikenakan aktor di panggung teater, dan di sisi lain ia melambangkan peran sosial dan identitas hukum seseorang.² Dengan demikian, sejak awal hukum telah berurusan dengan persoalan representasi—bagaimana individu atau entitas “diperankan” di hadapan hukum. Dalam konteks ini, subjek hukum bukan sekadar individu yang bernafas, tetapi sebuah konstruksi simbolik yang menghubungkan eksistensi manusia dengan tatanan normatif masyarakat.³ Perkembangan selanjutnya di abad pertengahan memperlihatkan integrasi antara konsep hukum dan teologi: manusia dipahami sebagai makhluk moral yang tunduk pada hukum Tuhan (lex divina), sementara hukum positif hanyalah refleksi terbatas dari hukum moral yang lebih tinggi.⁴

Pencerahan Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 membawa pergeseran radikal terhadap pengertian subjek hukum. Rasionalisme dan individualisme filosofis, sebagaimana terlihat dalam pemikiran René Descartes dan Immanuel Kant, menegaskan otonomi manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kebebasan moral dan hukum.⁵ Dengan demikian, subjek hukum bergeser dari entitas yang ditentukan oleh status sosial menjadi individu yang ditentukan oleh kapasitas rasional dan kehendak bebasnya. Di sinilah muncul dasar bagi gagasan universal personhood, yaitu pengakuan terhadap semua manusia sebagai subjek hukum yang setara di hadapan hukum. Namun, ideal ini tidak terlepas dari kontradiksi: dalam praktik kolonial dan kapitalistik, banyak kelompok manusia yang tetap dikecualikan dari perlakuan sebagai subjek hukum sejati.⁶

Pada abad ke-19 hingga ke-20, industrialisasi dan munculnya korporasi memunculkan bentuk baru subjek hukum: persona juridica atau badan hukum. Entitas kolektif seperti perusahaan, lembaga, dan negara diberi status hukum yang hampir setara dengan manusia.⁷ Fenomena ini menimbulkan persoalan ontologis dan etis yang mendalam: apakah entitas non-manusia dapat memiliki tanggung jawab moral? Apakah hukum dapat menisbatkan kehendak dan kesadaran kepada sesuatu yang tidak hidup? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pusat perdebatan dalam filsafat hukum kontemporer, terutama ketika konsep subjek hukum kini diperluas untuk mencakup kecerdasan buatan, algoritma, dan bahkan ekosistem dalam hukum lingkungan.⁸

Dalam konteks globalisasi dan era digital, relevansi kajian tentang sejarah perkembangan subjek hukum semakin signifikan. Hukum kini dihadapkan pada tantangan baru: kehadiran aktor non-manusia yang berperan dalam kehidupan sosial dan ekonomi, serta munculnya persoalan identitas, privasi, dan tanggung jawab yang melampaui batas individu.⁹ Oleh karena itu, studi tentang sejarah dan filsafat subjek hukum tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga prospektif—membuka ruang refleksi bagi rekonstruksi paradigma hukum yang lebih humanistik, inklusif, dan relasional. Kajian ini bertujuan menelusuri genealogi konsep subjek hukum dari masa klasik hingga kontemporer, menguraikan dasar ontologis dan epistemologisnya, serta meninjau nilai-nilai aksiologis yang mendasari pembentukannya. Melalui pendekatan historis-filosofis dan interdisipliner, diharapkan pemahaman yang lebih integral mengenai evolusi subjek hukum dapat dicapai, sehingga hukum tidak lagi semata-mata menjadi mekanisme pengaturan, tetapi juga cermin dari martabat dan tanggung jawab manusia di dalam masyarakat yang terus berubah.¹⁰


Footnotes

[1]                Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens, GA: University of Georgia Press, 1995), 27–29.

[2]                Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 92.

[3]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 33.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–I, Q. 90–94.

[5]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 45–47.

[6]                Antony Anghie, Imperialism, Sovereignty and the Making of International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 59–63.

[7]                John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.

[8]                Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law: Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 84–88.

[9]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 102–108.

[10]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 18–21.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Kajian historis tentang konsep subjek hukum memperlihatkan bahwa gagasan mengenai siapa yang diakui sebagai entitas hukum tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui proses evolusi panjang yang melibatkan perubahan sosial, politik, religius, dan filosofis. Dalam konteks ini, genealogi subjek hukum dapat dipahami sebagai perjalanan intelektual yang merefleksikan transformasi pandangan manusia tentang dirinya sendiri dan relasinya dengan tatanan normatif masyarakat.¹ Sejak hukum Romawi dan Yunani Kuno hingga zaman modern, konsep persona selalu berhubungan dengan struktur kekuasaan dan sistem nilai yang berlaku. Dengan demikian, sejarah perkembangan subjek hukum bukan hanya sejarah norma, tetapi juga sejarah ide dan kekuasaan yang membentuknya.

2.1.        Akar Konseptual dalam Hukum Romawi dan Yunani Kuno

Dalam hukum Romawi, istilah persona menjadi dasar ontologis bagi penentuan siapa yang dapat menjadi subjek hukum. Hanya individu yang memiliki status civis romanus yang diakui memiliki hak dan kewajiban hukum penuh.² Kategori seperti servus (budak), peregrinus (orang asing), dan infamia (orang tanpa kehormatan hukum) dikecualikan dari status ini.³ Dalam konteks tersebut, hukum Romawi tidak bersifat universal, melainkan berlapis sesuai kedudukan sosial. Di sisi lain, filsafat Yunani melalui Aristoteles menempatkan manusia sebagai zoon politikon, makhluk sosial yang hanya memperoleh aktualitas moral dan hukum dalam polis.⁴ Dengan demikian, status hukum menjadi bagian dari struktur politik dan etika komunitas, bukan hak yang melekat pada eksistensi manusia secara individual.

Pemikiran Stoik kemudian membawa perubahan penting: semua manusia dianggap memiliki logos dan karenanya sederajat dalam hukum alam (lex naturalis).⁵ Gagasan ini kelak menjadi benih bagi universalisasi konsep subjek hukum dalam tradisi hukum alam dan hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, hukum Romawi tetap mempertahankan hierarki sosial dan membatasi status hukum berdasarkan kelas dan kewarganegaraan.⁶ Dualitas antara ideal rasional universal dan realitas eksklusif ini menjadi pola dasar yang terus berulang dalam sejarah hukum Barat.

2.2.        Abad Pertengahan dan Teologi Hukum

Pada abad pertengahan, konsep subjek hukum mengalami teologisasi seiring dominasi ajaran Kristen dalam kehidupan sosial dan politik Eropa. Gereja Katolik memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki martabat moral, namun tunduk pada tatanan hukum ilahi. Thomas Aquinas, dalam Summa Theologica, menegaskan bahwa hukum manusia (lex humana) hanya sah sejauh ia sejalan dengan hukum abadi (lex aeterna).⁷ Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak berdiri otonom, melainkan terikat secara moral dan spiritual pada kehendak ilahi.

Pada saat yang sama, lembaga Gereja memperkenalkan konsep badan hukum (persona ficta) untuk mengatur keberadaan komunitas religius seperti biara dan ordo.⁸ Konsep ini menjadi inovasi besar dalam sejarah hukum karena memperluas pengertian subjek hukum dari individu ke entitas kolektif.⁹ Dengan demikian, Abad Pertengahan menjadi masa transisi dari personalisme hukum menuju formasi awal konsep legal personhood yang lebih abstrak.

2.3.        Zaman Modern Awal dan Rasionalisasi Hukum

Revolusi intelektual pada masa Renaisans dan Pencerahan menandai lahirnya paradigma baru tentang subjek hukum. René Descartes dengan cogito ergo sum-nya menegaskan manusia sebagai pusat kesadaran dan rasionalitas.¹⁰ Hal ini menjadi dasar bagi pengakuan terhadap individu sebagai subjek otonom yang berhak menentukan nasibnya. Pemikiran John Locke tentang hak kodrati (natural rights)—hidup, kebebasan, dan kepemilikan—mengubah hukum menjadi instrumen perlindungan terhadap individu, bukan sekadar alat kekuasaan negara.¹¹

Perkembangan ini menghasilkan dua konsekuensi besar. Pertama, hukum mulai diasosiasikan dengan prinsip universalitas dan kesetaraan. Kedua, muncul individualisme hukum yang menempatkan kebebasan pribadi sebagai nilai tertinggi.¹² Namun, dalam praktik kolonialisme, prinsip-prinsip ini sering kali bersifat eksklusif: hanya individu tertentu yang diakui sebagai subjek hukum universal, sementara masyarakat kolonial ditempatkan sebagai objek hukum.¹³

2.4.        Kodifikasi dan Institusionalisasi Konsep Subjek Hukum (Abad XIX–XX)

Abad ke-19 membawa era kodifikasi besar seperti Code Civil Napoleon (1804) yang memformalkan konsep subjek hukum dalam sistem hukum nasional.¹⁴ Subjek hukum kini ditentukan secara positif melalui status hukum (usia, kewarganegaraan, dan kapasitas hukum). Bersamaan dengan itu, munculnya badan hukum (juridical person) memperluas entitas yang diakui oleh hukum menjadi meliputi perusahaan, lembaga sosial, bahkan negara.¹⁵

Pemikiran Georg Jellinek dan Hans Kelsen kemudian memperkuat pendekatan positivistik: subjek hukum dipahami bukan berdasarkan moralitas, melainkan berdasarkan norma hukum yang berlaku.¹⁶ Namun, pada abad ke-20, dengan munculnya perang dunia dan pelanggaran hak asasi manusia yang masif, kembali muncul kritik terhadap reduksi legalistik tersebut. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menandai kebangkitan kembali gagasan bahwa setiap manusia, tanpa diskriminasi, merupakan subjek hukum internasional.¹⁷

Dengan demikian, genealoginya memperlihatkan suatu gerak spiral: dari partikularisme Romawi menuju universalisme moral, lalu kembali ke positivisme negara, dan kini menuju paradigma baru yang lebih relasional dan global. Pemahaman historis ini penting, karena ia mengungkap bahwa konsep subjek hukum selalu berada dalam ketegangan antara kekuasaan dan martabat manusia, antara norma dan nilai, serta antara struktur sosial dan kebebasan personal.¹⁸


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Society Must Be Defended, trans. David Macey (New York: Picador, 2003), 89–91.

[2]                Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens, GA: University of Georgia Press, 1995), 27–30.

[3]                Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law (Oxford: Clarendon Press, 1962), 54.

[4]                Aristotle, Politics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), 1253a.

[5]                Cicero, De Legibus, trans. Clinton Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), II.8–10.

[6]                Andrew Lewis, “The Roman Citizenship,” Past & Present 6, no. 1 (1954): 3–7.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–I, Q. 93, a.1–2.

[8]                Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 214–217.

[9]                Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 243–247.

[10]             René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 32–34.

[11]             John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–291.

[12]             Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), 125.

[13]             Antony Anghie, Imperialism, Sovereignty and the Making of International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 83–88.

[14]             Jean-Louis Halpérin, The French Civil Code (London: Routledge, 2012), 56–60.

[15]             John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.

[16]             Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 107–111.

[17]             United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: UN, 1948), art. 6.

[18]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 38–41.


3.           Ontologi Subjek Hukum

Pertanyaan ontologis mengenai apa yang dimaksud dengan subjek hukum menyentuh inti terdalam dari filsafat hukum, karena ia berhubungan langsung dengan hakikat keberadaan manusia sebagai entitas normatif dalam tatanan sosial. Ontologi subjek hukum tidak hanya berbicara tentang siapa yang secara formal diakui oleh hukum, melainkan juga bagaimana keberadaan seseorang atau sesuatu dipahami sebagai ada di dalam dunia hukum.¹ Dengan demikian, pembahasan ini menuntut analisis mengenai hakikat entitas hukum, relasinya dengan eksistensi manusia, serta batas antara dimensi legal dan moral dari kepribadian hukum.

Dalam perspektif klasik, subjek hukum dianggap identik dengan manusia sebagai individu rasional yang memiliki kehendak bebas. Pandangan ini berakar pada tradisi filsafat Yunani dan Romawi, diperkuat oleh teologi skolastik dan kemudian dirasionalisasi oleh filsafat modern.² Namun, perkembangan sejarah memperlihatkan bahwa pengertian ini mengalami ekspansi: hukum tidak lagi hanya mengakui individu sebagai subjek, tetapi juga entitas kolektif seperti korporasi, lembaga sosial, dan bahkan negara.³ Perluasan ini menimbulkan pertanyaan ontologis mendalam: apakah entitas non-manusia benar-benar ada sebagai subjek hukum, ataukah sekadar fiksi yuridis yang berguna bagi kepentingan praktis hukum?

3.1.        Hakikat Subjek Hukum: Antara Personifikasi dan Entitas Sosial

Secara ontologis, subjek hukum adalah entitas yang diakui oleh sistem hukum sebagai pembawa hak dan kewajiban.⁴ Dalam tradisi hukum kontinental, pengakuan ini bersifat deklaratif, bukan konstitutif: hukum tidak menciptakan keberadaan subjek, melainkan hanya menegaskan eksistensinya dalam ranah normatif. Pandangan ini berpijak pada asumsi bahwa manusia telah memiliki martabat dan kapasitas moral sebelum diakui oleh hukum.⁵ Sebaliknya, dalam positivisme hukum, subjek hukum adalah hasil konstruksi sistem normatif; ia ada sejauh ditetapkan oleh norma hukum yang berlaku.⁶

Di antara kedua posisi ini muncul teori personifikasi, yang menyatakan bahwa subjek hukum merupakan fiksi rasional yang memungkinkan hukum berfungsi secara sistematis.⁷ Otto von Gierke dan Georg Jellinek, misalnya, menekankan bahwa hukum membutuhkan konsep “persona” untuk mengatur hubungan antara individu dan komunitas.⁸ Personifikasi ini bukan berarti penyamaran realitas, tetapi cara hukum memberikan bentuk pada relasi sosial. Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak selalu identik dengan individu, melainkan setiap entitas yang diakui memiliki agensi normatif dalam struktur hukum.

3.2.        Relasi antara Eksistensi Manusia dan Status Hukum

Dari perspektif fenomenologis, eksistensi manusia mendahului status hukumnya; manusia ada terlebih dahulu sebagai makhluk yang hidup, berinteraksi, dan bermakna sebelum memperoleh pengakuan formal.⁹ Namun, dalam konteks sosial, keberadaan seseorang sebagai “subjek hukum” baru diaktualisasikan melalui sistem simbolik dan institusional hukum.¹⁰ Hal ini menunjukkan adanya dialektika antara being dan recognition: manusia sebagai makhluk eksistensial tidak otomatis menjadi subjek hukum tanpa pengakuan sosial yang dilembagakan.¹¹

Hannah Arendt menggambarkan hal ini melalui konsep the right to have rights—hak untuk diakui sebagai pembawa hak.¹² Tanpa pengakuan hukum, eksistensi manusia kehilangan makna publiknya, sebagaimana terjadi pada para pengungsi dan kelompok marjinal yang “tidak memiliki tempat di dunia.”¹³ Dengan demikian, ontologi subjek hukum mengandung aspek intersubjektif: keberadaan hukum tidak hanya menegaskan “ada”-nya individu, tetapi juga mengandaikan adanya pengakuan timbal balik antar manusia dalam komunitas hukum.

3.3.        Evolusi dari Persona Fisik ke Persona Yuridik

Perkembangan selanjutnya menunjukkan pergeseran dari konsep persona fisik ke persona yuridik.¹⁴ Dalam hukum Romawi, hanya manusia yang dapat menjadi persona, sedangkan entitas lain dianggap tidak memiliki kapasitas hukum. Namun, sejak Abad Pertengahan, Gereja dan korporasi mulai diakui sebagai “orang hukum” (personae morales) yang memiliki hak dan tanggung jawab terpisah dari anggota-anggotanya.¹⁵ Konsep ini kemudian diadopsi dalam sistem hukum modern untuk memungkinkan keberlangsungan entitas sosial secara mandiri.

Hans Kelsen menolak pandangan realistis terhadap badan hukum dan menegaskan bahwa persona yuridik hanyalah pusat imputasi tanggung jawab dalam sistem norma.¹⁶ Artinya, keberadaan badan hukum bukan entitas faktual, melainkan posisi normatif yang ditetapkan oleh hukum untuk mengaitkan perbuatan dengan konsekuensi hukum tertentu. Pandangan ini, meskipun konsisten secara logis, menimbulkan pertanyaan moral: dapatkah hukum memisahkan sepenuhnya tanggung jawab moral individu dari entitas kolektif yang mereka bentuk?¹⁷

3.4.        Kritik terhadap Esensialisme dan Munculnya Paradigma Relasional

Ontologi klasik yang menekankan kesatuan antara subjek dan kesadaran individu kini banyak dikritik sebagai bentuk esensialisme yang gagal menangkap kompleksitas sosial kontemporer. Pemikir seperti Michel Foucault dan Judith Butler menolak gagasan bahwa subjek adalah entitas otonom yang telah ada sebelumnya; sebaliknya, subjek terbentuk melalui jaringan relasi kekuasaan, bahasa, dan norma.¹⁸ Dalam kerangka ini, subjek hukum dipahami bukan sebagai entity, tetapi sebagai position within discourse—sebuah posisi dalam tatanan simbolik yang memungkinkan seseorang berbicara dan bertindak di hadapan hukum.¹⁹

Pendekatan relasional ini memiliki implikasi penting: subjek hukum tidak lagi dipandang sebagai individu yang terisolasi, melainkan sebagai hasil interaksi sosial yang dinamis.²⁰ Konsep relational personhood yang berkembang dalam etika feminis dan hukum lingkungan, misalnya, menekankan keterhubungan manusia dengan komunitas dan ekosistemnya.²¹ Dengan demikian, ontologi subjek hukum tidak bersifat statis atau tertutup, melainkan terbuka terhadap kemungkinan redefinisi sesuai perubahan moral dan sosial.²²


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 117–119.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1925), 1111a–1113b.

[3]                Otto von Gierke, Political Theories of the Middle Age, trans. F.W. Maitland (Cambridge: Cambridge University Press, 1900), 35–38.

[4]                H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), 79–83.

[5]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 41–44.

[6]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 7–9.

[7]                John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: John Murray, 1832), 99–101.

[8]                Georg Jellinek, System der subjektiven öffentlichen Rechte (Freiburg: Mohr, 1892), 14–17.

[9]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–71.

[10]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 110–112.

[11]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 29–31.

[12]             Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, 1951), 296.

[13]             Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 25–28.

[14]             Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law (Oxford: Clarendon Press, 1962), 79.

[15]             Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 243–247.

[16]             Hans Kelsen, General Theory of Law and State, trans. Anders Wedberg (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945), 92.

[17]             Peter French, Collective and Corporate Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984), 11–14.

[18]             Michel Foucault, The Subject and Power, in Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, ed. Hubert Dreyfus and Paul Rabinow (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 208–210.

[19]             Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford University Press, 1997), 10–12.

[20]             Margaret Jane Radin, “Property and Personhood,” Stanford Law Review 34, no. 5 (1982): 957–959.

[21]             Robin West, “Jurisprudence and Gender,” University of Chicago Law Review 55, no. 1 (1988): 1–6.

[22]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 35–38.


4.           Epistemologi Subjek Hukum

Pertanyaan epistemologis tentang bagaimana kita mengetahui dan memahami subjek hukum menyoroti dimensi reflektif dari hukum sebagai ilmu dan praktik sosial. Epistemologi subjek hukum berkaitan dengan cara pengetahuan hukum dibentuk, disahkan, dan diterapkan dalam menentukan siapa yang diakui sebagai pembawa hak dan kewajiban.¹ Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya menyangkut sumber dan metode pengetahuan hukum, tetapi juga relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan pengakuan. Sejarah hukum menunjukkan bahwa pemahaman tentang subjek hukum selalu merupakan hasil dari konfigurasi epistemik tertentu—yakni cara berpikir dan menalar yang didukung oleh struktur sosial dan ideologis suatu masa.²

Dalam perspektif filsafat hukum, epistemologi subjek hukum beroperasi di antara dua kutub: positivisme legal yang menekankan otonomi hukum sebagai sistem rasional, dan pendekatan interpretatif yang melihat hukum sebagai konstruksi sosial yang dinamis.³ Dari perdebatan ini muncul persoalan mendasar: apakah subjek hukum dapat diketahui secara objektif sebagai entitas tetap, ataukah ia merupakan hasil konstruksi diskursif yang terus berubah sesuai konteks sosial dan historis?

4.1.        Pengetahuan Hukum dalam Tradisi Positivistik

Dalam tradisi positivisme hukum yang dirintis oleh John Austin dan diperkokoh oleh Hans Kelsen, pengetahuan tentang subjek hukum bersifat deduktif dan formalistik.⁴ Hukum dipandang sebagai sistem norma yang otonom dan tertutup terhadap pengaruh moral atau politik. Subjek hukum, dalam kerangka ini, adalah entitas yang ditetapkan oleh norma tertinggi (Grundnorm) dan tidak memerlukan dasar metafisik di luar sistem hukum itu sendiri.⁵

Epistemologi semacam ini menekankan kepastian (certainty) dan rasionalitas logis dalam mendefinisikan status hukum individu maupun badan hukum.⁶ Dengan mengandaikan netralitas pengetahuan hukum, positivisme berupaya menjadikan hukum sebagai science of law yang bebas nilai.⁷ Namun, klaim netralitas tersebut dikritik karena mengabaikan fakta bahwa setiap sistem hukum beroperasi dalam konteks sosial dan ideologis tertentu.⁸ Dalam praktiknya, positivisme sering kali justru memperkuat status quo dengan menormalkan ketimpangan kekuasaan yang mendasari pembentukan hukum itu sendiri.⁹

4.2.        Pergeseran ke Pendekatan Hermeneutis dan Konstruktivis

Kritik terhadap positivisme hukum memunculkan paradigma baru yang berakar pada hermeneutika filosofis dan konstruktivisme sosial. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa pemahaman hukum selalu bersifat interpretatif, bergantung pada pra-pemahaman (Vorverständnis) dan konteks historis penafsir.¹⁰ Dalam kerangka ini, subjek hukum bukanlah entitas yang diketahui secara objektif, melainkan hasil interpretasi yang terjadi di antara teks hukum, pelaku hukum, dan masyarakat.¹¹

Epistemologi hermeneutis membuka ruang bagi dialog antara norma dan pengalaman hidup, sehingga makna subjek hukum dapat direkonstruksi secara kontekstual.¹² Pendekatan ini juga diadopsi oleh teori kritis (Habermas, Ricoeur) yang menempatkan komunikasi dan rasionalitas intersubjektif sebagai dasar pembentukan pengetahuan hukum.¹³ Hukum tidak lagi dipahami hanya sebagai sistem norma, melainkan sebagai proses diskursif yang bergantung pada partisipasi dan pengakuan bersama.¹⁴ Dengan demikian, pengetahuan tentang subjek hukum bersifat dinamis—selalu dapat dikoreksi melalui dialog rasional dan praksis sosial.

4.3.        Rasionalitas, Kekuasaan, dan Pembentukan Pengetahuan Hukum

Michel Foucault memperluas epistemologi hukum dengan mengungkap keterkaitan antara pengetahuan (savoir) dan kekuasaan (pouvoir).¹⁵ Dalam perspektifnya, hukum tidak sekadar mencerminkan pengetahuan yang netral, melainkan juga menjadi mekanisme produksi subjek melalui praktik diskursif.¹⁶ Subjek hukum dalam hal ini adalah hasil dari regime of truth—yaitu seperangkat wacana, institusi, dan praktik yang menentukan siapa yang diakui sebagai “subjek sah” dan siapa yang tidak.¹⁷

Epistemologi hukum modern, menurut Foucault, bekerja melalui disciplinary power yang menormalisasi perilaku dan mengontrol tubuh sosial.¹⁸ Contohnya, sistem peradilan pidana tidak hanya mengatur pelanggaran hukum, tetapi juga membentuk kategori seperti “pelaku,” “korban,” atau “warga negara baik.”¹⁹ Dalam konteks ini, pengetahuan hukum berfungsi ganda: sebagai sarana rasionalisasi sosial sekaligus instrumen pengendalian normatif.

Dengan demikian, epistemologi subjek hukum tidak dapat dilepaskan dari analisis kekuasaan. Hukum, sebagaimana pengetahuan ilmiah lainnya, memiliki struktur ideologis yang menentukan apa yang dianggap sah, benar, dan rasional.²⁰ Oleh sebab itu, setiap upaya memahami subjek hukum memerlukan refleksi kritis terhadap basis epistemik yang menopang legitimasi hukum itu sendiri.

4.4.        Kritik terhadap Reduksionisme Legalistik dan Positivisme Epistemik

Pendekatan positivistik terhadap subjek hukum sering dikritik karena mereduksi kompleksitas manusia menjadi sekadar objek pengaturan normatif.²¹ Pandangan ini cenderung mengabaikan dimensi moral, eksistensial, dan relasional dari keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab.²²

Epistemologi kritis, sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas, menawarkan jalan tengah antara rasionalitas formal dan praksis sosial.²³ Ia menegaskan bahwa pengetahuan hukum harus dibangun di atas rasionalitas komunikatif—yakni kemampuan aktor sosial untuk mencapai kesepahaman melalui diskursus bebas dominasi.²⁴ Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak lagi sekadar objek hukum, melainkan peserta aktif dalam pembentukan makna dan legitimasi hukum.²⁵

Pendekatan ini memungkinkan pembentukan epistemologi hukum yang lebih humanistik: hukum tidak lagi hanya mengenali subjek sebagai entitas normatif, tetapi juga sebagai pribadi yang hidup dalam konteks sosial dan moral tertentu.²⁶ Dengan demikian, epistemologi subjek hukum yang terbuka, reflektif, dan dialogis menjadi prasyarat bagi terwujudnya tatanan hukum yang adil, inklusif, dan demokratis.²⁷


Footnotes

[1]                Alf Ross, On Law and Justice (London: Stevens & Sons, 1958), 18–20.

[2]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–133.

[3]                Norberto Bobbio, Teoria della Scienza Giuridica (Turin: Giappichelli, 1950), 45–48.

[4]                John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London: John Murray, 1832), 99–102.

[5]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 4–8.

[6]                H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), 84–88.

[7]                Herbert L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1983), 21–25.

[8]                Duncan Kennedy, “Form and Substance in Private Law Adjudication,” Harvard Law Review 89, no. 8 (1976): 1685–1688.

[9]                Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society (New York: Free Press, 1976), 102–104.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–272.

[11]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 73–76.

[12]             Josef Esser, Vorverständnis und Methodenwahl in der Rechtsfindung (Frankfurt am Main: Athenäum, 1970), 58–61.

[13]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 100–104.

[14]             Robert Alexy, A Theory of Legal Argumentation, trans. Ruth Adler and Neil MacCormick (Oxford: Clarendon Press, 1989), 31–33.

[15]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 97–99.

[16]             Ibid., 104–107.

[17]             Ibid., 115–118.

[18]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1977), 135–140.

[19]             Ibid., 202–205.

[20]             Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field, trans. Richard Terdiman (Hastings Law Journal 38, no. 5 [1987]): 838–841.

[21]             Joseph Raz, The Authority of Law (Oxford: Clarendon Press, 1979), 14–17.

[22]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–21.

[23]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.

[24]             Ibid., 293–297.

[25]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 89–91.

[26]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 15–18.

[27]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 118–121.


5.           Aksiologi: Nilai dan Tujuan dari Konsep Subjek Hukum

Kajian aksiologis terhadap konsep subjek hukum berfokus pada nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan sosial yang mendasari pengakuan terhadap seseorang atau sesuatu sebagai entitas hukum. Jika ontologi menelaah apa itu subjek hukum, dan epistemologi membahas bagaimana ia diketahui, maka aksiologi mempertanyakan untuk apa pengakuan itu diberikan—yakni nilai dan tujuan yang hendak dicapai oleh sistem hukum dalam memperlakukan entitas tertentu sebagai subjek hukum.¹ Dengan kata lain, dimensi aksiologis membuka ruang untuk menilai bukan hanya keberadaan subjek hukum secara deskriptif, tetapi juga secara normatif: apakah hukum telah mewujudkan nilai-nilai keadilan, kebebasan, tanggung jawab, dan kemanusiaan melalui konsep tersebut.²

Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam konsep subjek hukum merefleksikan pandangan masyarakat tentang martabat manusia (dignitas humana) dan relasi sosial yang diinginkan.³ Dalam tradisi hukum Barat modern, misalnya, pengakuan terhadap individu sebagai subjek hukum sering dikaitkan dengan prinsip kebebasan dan otonomi rasional yang diwarisi dari filsafat Pencerahan.⁴ Namun, dalam konteks kontemporer, muncul kesadaran bahwa pengakuan hukum tidak boleh berhenti pada individu otonom semata, melainkan juga harus mencakup entitas sosial, ekologis, dan teknologi yang turut membentuk kehidupan manusia.⁵ Dengan demikian, aksiologi subjek hukum harus dipahami secara dinamis—tidak hanya mengafirmasi hak, tetapi juga menuntut tanggung jawab moral dan solidaritas sosial.⁶

5.1.        Nilai-Nilai Keadilan, Tanggung Jawab, dan Kebebasan

Nilai keadilan merupakan inti dari aksiologi hukum dan menjadi dasar pengakuan terhadap subjek hukum. Dalam tradisi Aristotelian, keadilan dipahami sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (suum cuique tribuere).⁷ Dengan demikian, konsep subjek hukum muncul sebagai mekanisme normatif untuk memastikan distribusi hak dan kewajiban secara proporsional. Keadilan tidak dapat diwujudkan tanpa adanya entitas yang diakui sebagai pemegang hak dan tanggung jawab hukum.

Kebebasan juga menjadi unsur aksiologis yang penting. Dalam pandangan Immanuel Kant, kebebasan adalah prasyarat moralitas; manusia diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan alat bagi tujuan lain.⁸ Oleh karena itu, pengakuan terhadap individu sebagai subjek hukum menandakan pengakuan terhadap otonomi moralnya. Namun, kebebasan tanpa tanggung jawab dapat melahirkan ketimpangan sosial. Karena itu, aksiologi subjek hukum harus menyeimbangkan antara hak untuk bertindak bebas dan kewajiban untuk tidak merugikan orang lain.⁹ John Rawls menegaskan bahwa keadilan menuntut prinsip fair equality of opportunity, yang hanya dapat terwujud jika subjek hukum diperlakukan secara setara dalam kerangka kelembagaan yang adil.¹⁰

5.2.        Etika Relasional: Dari Hak Menuju Tanggung Jawab Sosial

Paradigma aksiologis yang lebih mutakhir menekankan dimensi relasional subjek hukum. Emmanuel Levinas mengajukan kritik terhadap etika otonomi dan menggantikannya dengan etika tanggung jawab terhadap yang Lain (autrui).¹¹ Dalam kerangka ini, pengakuan hukum terhadap seseorang sebagai subjek tidak hanya berarti pemberian hak, tetapi juga peneguhan tanggung jawabnya terhadap orang lain. Hukum, dengan demikian, bukan sekadar sistem pengaturan formal, melainkan medium etis untuk menjamin koeksistensi manusia secara adil dan damai.¹²

Konsep tanggung jawab sosial juga mengubah orientasi hukum dari individualistik menjadi solidaristik. Karl Marx dan Émile Durkheim, meskipun berbeda secara ideologis, sama-sama melihat bahwa relasi sosial memiliki nilai etis yang melekat dalam struktur hukum.¹³ Dalam konteks kontemporer, gagasan ini berkembang menjadi konsep corporate social responsibility dan human rights due diligence, di mana subjek hukum korporasi tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memikul tanggung jawab etis terhadap masyarakat dan lingkungan.¹⁴ Dengan demikian, nilai-nilai aksiologis subjek hukum meluas dari moralitas individual ke etika sosial yang integral.¹⁵

5.3.        Dimensi Moral dan Kemanusiaan dalam Personifikasi Hukum

Sejak Abad Pertengahan, konsep persona dalam hukum tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga memiliki dimensi moral dan teologis. Gereja, melalui gagasan persona ficta, mengakui bahwa komunitas religius memiliki nilai moral yang melekat, sekalipun tidak memiliki eksistensi fisik.¹⁶ Dalam perkembangan modern, pandangan ini mengilhami konsep badan hukum (juridical person) yang dapat bertindak secara moral dalam konteks hukum. Namun, persoalannya adalah sejauh mana entitas non-manusia dapat dimaknai sebagai subjek moral.¹⁷

Aksiologi hukum di sini menuntut pembacaan yang lebih luas terhadap “kemanusiaan” itu sendiri. Jacques Maritain, tokoh personalisme modern, menegaskan bahwa hukum harus berpijak pada penghormatan terhadap martabat manusia sebagai makhluk spiritual dan sosial.¹⁸ Personifikasi hukum, dengan demikian, bukan sekadar fiksi yuridis, tetapi ekspresi dari pengakuan terhadap nilai intrinsik kehidupan manusia dan entitas sosial yang menopangnya.¹⁹ Dalam konteks ini, nilai kemanusiaan menjadi dasar moral yang mengarahkan hukum agar tidak sekadar beroperasi secara formal, tetapi juga secara etis.²⁰

5.4.        Relevansi Nilai Humanistik dalam Reformasi Hukum Kontemporer

Dalam masyarakat global yang diwarnai kemajuan teknologi dan kompleksitas sosial, nilai-nilai humanistik dalam konsep subjek hukum memperoleh relevansi baru. Fenomena seperti kecerdasan buatan, hak digital, dan bioetika memunculkan pertanyaan mengenai batas-batas subjek hukum: apakah robot, sistem algoritmik, atau bahkan lingkungan alam dapat diakui sebagai subjek hukum?²¹ Pertanyaan ini bukan semata teknis, melainkan aksiologis—menyangkut nilai-nilai apa yang hendak dijaga oleh hukum di tengah perubahan paradigma eksistensial manusia.

Humanisme hukum menuntut agar setiap perluasan atau redefinisi subjek hukum berakar pada prinsip martabat dan tanggung jawab.²² Martha Nussbaum mengusulkan pendekatan capability approach, yaitu bahwa pengakuan hukum harus menjamin kemampuan dasar setiap individu untuk hidup bermartabat.²³ Dalam kerangka ini, hukum menjadi sarana aktualisasi nilai kemanusiaan, bukan sekadar sistem pengendalian sosial.²⁴ Dengan demikian, tujuan akhir dari konsep subjek hukum bukan hanya untuk menentukan siapa yang “memiliki hak,” tetapi juga untuk memastikan bahwa hukum benar-benar memelihara kehidupan yang adil, bermoral, dan manusiawi.²⁵


Footnotes

[1]                Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (Leipzig: Quelle & Meyer, 1932), 104–107.

[2]                Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–36.

[3]                Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 215.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 45–47.

[5]                Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk (Oxford: Oxford University Press, 2020), 16–18.

[6]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 106–109.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1925), 1130a–1131b.

[8]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 65.

[9]                Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 118–120.

[10]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 53–55.

[11]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 201–203.

[12]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 47–49.

[13]             Émile Durkheim, The Division of Labour in Society, trans. W.D. Halls (New York: Free Press, 1984), 55–57.

[14]             Andreas Georg Scherer and Guido Palazzo, “The New Political Role of Business in a Globalized World,” Journal of Management Studies 48, no. 4 (2011): 899–901.

[15]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 114–117.

[16]             Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 243–246.

[17]             Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984), 20–22.

[18]             Jacques Maritain, The Person and the Common Good, trans. John J. Fitzgerald (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1947), 12–15.

[19]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 321–324.

[20]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–22.

[21]             David J. Gunkel, Robot Rights (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 3–6.

[22]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–48.

[23]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 24–26.

[24]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 52–54.

[25]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 30–32.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Ekonomi

Konsep subjek hukum tidak dapat dipahami hanya dalam ranah normatif atau filosofis yang abstrak; ia selalu beroperasi dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi yang konkret. Keberadaan seseorang atau sesuatu sebagai subjek hukum senantiasa dipengaruhi oleh struktur kekuasaan, distribusi sumber daya, dan tatanan sosial yang berlaku dalam masyarakat.¹ Oleh karena itu, dimensi ini mengungkap bahwa hukum bukan sekadar sistem rasional yang netral, melainkan juga arena kontestasi sosial yang merefleksikan relasi dominasi dan perjuangan untuk pengakuan.²

Dari perspektif sosiologis, konsep subjek hukum merupakan refleksi dari bagaimana masyarakat mengorganisasi dan melegitimasi status individu dalam sistem sosial.³ Dalam masyarakat tradisional, pengakuan terhadap subjek hukum biasanya bergantung pada status sosial, agama, atau hierarki kekuasaan, sedangkan dalam masyarakat modern, pengakuan itu didasarkan pada prinsip kesetaraan formal.⁴ Namun, kesetaraan hukum sering kali bersifat simbolik, karena akses terhadap keadilan tetap ditentukan oleh faktor ekonomi, politik, dan kultural.⁵

6.1.        Subjek Hukum dalam Struktur Kekuasaan dan Kepemilikan

Hubungan antara hukum dan kekuasaan merupakan titik sentral dalam memahami pembentukan subjek hukum. Michel Foucault berpendapat bahwa hukum adalah bagian dari mekanisme disciplinary power—ia tidak hanya menata perilaku, tetapi juga memproduksi bentuk-bentuk subjek yang sesuai dengan norma sosial dominan.⁶ Dalam kerangka ini, subjek hukum bukanlah entitas bebas, melainkan hasil internalisasi kekuasaan melalui wacana hukum, pendidikan, dan praktik administrasi.⁷

Dalam masyarakat kapitalistik modern, relasi hukum juga berkaitan erat dengan kepemilikan (property). Sejak John Locke mengaitkan hak milik dengan kerja dan rasionalitas individu, hukum mulai berfungsi sebagai sarana legitimasi kepemilikan pribadi.⁸ Akibatnya, subjek hukum diidentifikasi dengan pemilik: mereka yang memiliki properti, modal, atau kapasitas ekonomi memperoleh status hukum yang lebih kuat dibandingkan kelompok tanpa kepemilikan.⁹ Karl Marx kemudian menyoroti hal ini sebagai bentuk alienasi hukum, di mana hukum formal hanya memperkuat relasi produksi kapitalis dan meneguhkan dominasi kelas borjuis atas proletariat.¹⁰

6.2.        Peran Hukum dalam Melindungi Individu dan Kelompok Lemah

Meskipun hukum dapat menjadi instrumen kekuasaan, ia juga memiliki potensi emansipatoris. Epistemologi kritis dan teori keadilan sosial menekankan peran hukum dalam melindungi individu dan kelompok marjinal.¹¹ Sejak munculnya rule of law modern, hukum diharapkan berfungsi sebagai mekanisme korektif terhadap ketimpangan sosial dan politik.¹²

Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak lagi dipahami semata sebagai pemegang hak, tetapi juga sebagai pihak yang berhak atas perlindungan aktif dari negara.¹³ Contohnya adalah pengakuan terhadap hak-hak minoritas, pekerja, penyandang disabilitas, dan kelompok adat yang sebelumnya tidak diakui dalam sistem hukum formal.¹⁴ Upaya ini menunjukkan bahwa dimensi sosial dari subjek hukum tidak dapat dilepaskan dari perjuangan untuk legal empowerment—yakni proses pemberdayaan hukum bagi kelompok yang terpinggirkan.¹⁵

Pemikiran Amartya Sen memperkuat gagasan ini dengan menekankan bahwa keadilan hukum tidak hanya diukur dari norma yang tertulis, tetapi dari kemampuan nyata individu untuk menikmati hak-haknya.¹⁶ Maka, aksi hukum yang sejati menuntut transformasi sosial yang menjadikan hukum sebagai sarana keberdayaan manusia, bukan sekadar perangkat administratif.¹⁷

6.3.        Subjek Hukum Korporasi: Antara Alat Ekonomi dan Entitas Moral

Perkembangan kapitalisme global pada abad ke-19 hingga ke-21 memperluas cakupan konsep subjek hukum melalui pengakuan terhadap korporasi sebagai persona juridica.¹⁸ Di satu sisi, hal ini memungkinkan kegiatan ekonomi berskala besar dan keberlanjutan institusional; di sisi lain, ia menimbulkan persoalan etis dan politik yang kompleks.¹⁹ Sebagai subjek hukum, korporasi memiliki hak untuk memiliki aset, membuat kontrak, dan menggugat di pengadilan—namun pertanyaannya adalah, sejauh mana entitas tersebut memiliki tanggung jawab moral sebagaimana manusia?²⁰

Peter French berpendapat bahwa korporasi dapat dianggap sebagai agen moral kolektif karena memiliki struktur pengambilan keputusan yang otonom dan kapasitas untuk bertindak.²¹ Namun, kritik terhadap konsep ini muncul karena korporasi sering kali menggunakan status hukum mereka untuk menghindari tanggung jawab etis dan sosial.²² Dalam konteks globalisasi ekonomi, korporasi multinasional bahkan mampu mempengaruhi kebijakan negara, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara subjek hukum individu dan subjek hukum institusional.²³

Oleh karena itu, reformasi hukum kontemporer menuntut redefinisi subjek hukum korporasi agar selaras dengan nilai keadilan sosial.²⁴ Pendekatan seperti corporate social responsibility (CSR) dan business and human rights menunjukkan upaya untuk mengembalikan fungsi etis hukum dalam mengatur kekuasaan ekonomi.²⁵ Dengan demikian, pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum tidak boleh dilepaskan dari kewajiban moralnya terhadap masyarakat dan lingkungan.²⁶

6.4.        Pengaruh Globalisasi dan Kapitalisme terhadap Konsep Tanggung Jawab Hukum

Globalisasi ekonomi telah mengubah lanskap hukum internasional dan memunculkan bentuk-bentuk baru subjek hukum lintas negara, seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, dan bahkan individu global.²⁷ Dalam sistem hukum global ini, relasi antara hak, kewajiban, dan tanggung jawab mengalami rekonfigurasi. Hukum tidak lagi hanya menjadi urusan negara, tetapi menjadi arena transnasional yang mempertemukan kepentingan publik dan privat.²⁸

Saskia Sassen menegaskan bahwa globalisasi menciptakan denationalized legal orders, di mana subjek hukum tidak lagi ditentukan oleh kedaulatan negara, tetapi oleh kekuatan pasar global dan jaringan teknologi.²⁹ Akibatnya, muncul kesenjangan tanggung jawab: entitas ekonomi raksasa dapat memanfaatkan status hukum internasional untuk menghindari kewajiban sosial, sementara individu tetap tunduk pada kontrol hukum nasional.³⁰

Fenomena ini menuntut pembentukan etika hukum global yang berorientasi pada keadilan distributif dan tanggung jawab ekologis.³¹ Anthony Giddens menyebut hal ini sebagai reflexive modernity—suatu kondisi di mana masyarakat hukum harus mampu menilai kembali dampak sosial dari sistem yang diciptakannya sendiri.³² Dalam konteks ini, subjek hukum yang bertanggung jawab tidak hanya harus tunduk pada norma hukum positif, tetapi juga memiliki kesadaran moral terhadap konsekuensi global dari tindakannya.³³


Footnotes

[1]                Émile Durkheim, The Division of Labour in Society, trans. W.D. Halls (New York: Free Press, 1984), 55–58.

[2]                Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal 38, no. 5 (1987): 838–841.

[3]                Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 311–314.

[4]                Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 217–219.

[5]                Duncan Kennedy, “Legal Education and the Reproduction of Hierarchy,” Journal of Legal Education 32, no. 4 (1982): 591–595.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1977), 135–140.

[7]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–100.

[8]                John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–291.

[9]                C.B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Clarendon Press, 1962), 197–201.

[10]             Karl Marx, Capital: Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin, 1976), 873–875.

[11]             Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society (New York: Free Press, 1976), 104–106.

[12]             Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law: History, Politics, Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 102–105.

[13]             Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 98–101.

[14]             Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in the Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995), 212–215.

[15]             Stephen Golub, “Beyond Rule of Law Orthodoxy: The Legal Empowerment Alternative,” Carnegie Endowment for International Peace Working Paper no. 41 (2003): 3–5.

[16]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–39.

[17]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 42–45.

[18]             John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.

[19]             Joel Bakan, The Corporation: The Pathological Pursuit of Profit and Power (New York: Free Press, 2004), 60–64.

[20]             Hans Kelsen, General Theory of Law and State, trans. Anders Wedberg (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945), 94.

[21]             Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984), 9–11.

[22]             John Ruggie, “Business and Human Rights: The Evolving International Agenda,” American Journal of International Law 101, no. 4 (2007): 831–834.

[23]             Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 56–60.

[24]             Andreas G. Scherer and Guido Palazzo, “Toward a Political Conception of Corporate Responsibility,” Business Ethics Quarterly 13, no. 4 (2007): 110–113.

[25]             Surya Deva and David Bilchitz, eds., Human Rights Obligations of Business: Beyond the Corporate Responsibility to Respect? (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 27–30.

[26]             Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford University Press, 2011), 87–90.

[27]             David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization: Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 71–74.

[28]             Nico Krisch, Beyond Constitutionalism: The Pluralist Structure of Postnational Law (Oxford: Oxford University Press, 2010), 45–48.

[29]             Saskia Sassen, Territory, Authority, Rights: From Medieval to Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 402–406.

[30]             Susan Strange, The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 87–91.

[31]             Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, trans. Mark Ritter (London: Sage, 1992), 111–113.

[32]             Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 158–162.

[33]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 248–252.


7.           Dimensi Ilmiah dan Interdisipliner

Kajian tentang subjek hukum tidak dapat dibatasi dalam kerangka ilmu hukum yang normatif semata, sebab konsep ini bersinggungan langsung dengan berbagai disiplin pengetahuan lain—filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik, bahkan ilmu komputer dan bioetika.¹ Dimensi ilmiah dan interdisipliner dari konsep subjek hukum menegaskan bahwa hukum merupakan fenomena kompleks yang tidak hanya diatur oleh norma, tetapi juga dibentuk oleh faktor sosial, kognitif, biologis, dan teknologi.² Oleh karena itu, memahami subjek hukum secara utuh memerlukan pendekatan lintas disiplin yang menggabungkan analisis rasional, empiris, dan humanistik.³

Pendekatan interdisipliner tidak sekadar memperkaya teori hukum, tetapi juga menggeser cara pandang tentang hakikat subjek hukum.⁴ Dalam kerangka ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai entitas abstrak yang berdiri sendiri di hadapan hukum, melainkan sebagai makhluk relasional yang hidup dalam jaringan sosial, historis, dan ekologis yang kompleks.⁵ Dengan demikian, penelitian ilmiah tentang subjek hukum perlu melibatkan kolaborasi metodologis yang memungkinkan integrasi antara dimensi normatif, empiris, dan etis.

7.1.        Hubungan Konsep Subjek Hukum dengan Sosiologi, Filsafat, Antropologi, dan Psikologi Hukum

Sosiologi hukum memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana subjek hukum berfungsi dalam masyarakat.⁶ Émile Durkheim menegaskan bahwa hukum mencerminkan solidaritas sosial: dalam masyarakat modern, hukum berperan sebagai mekanisme yang mengikat individu dalam sistem normatif yang kompleks.⁷ Dalam perspektif ini, subjek hukum bukan sekadar pelaku individu, tetapi elemen yang berperan dalam mempertahankan keteraturan sosial.

Antropologi hukum menyoroti keragaman budaya dalam mendefinisikan subjek hukum.⁸ Dalam banyak masyarakat adat, pengakuan terhadap entitas non-manusia—seperti leluhur, roh, atau alam—sebagai subjek hukum merupakan hal yang lazim, karena mereka dianggap bagian dari struktur moral komunitas.⁹ Hal ini berbeda dari hukum Barat modern yang cenderung antroposentris. Oleh karena itu, pendekatan antropologis menantang universalisme hukum dan membuka kemungkinan bagi pluralisme ontologis dalam konsep subjek hukum.¹⁰

Sementara itu, psikologi hukum menelaah bagaimana individu memaknai peran dan tanggung jawab hukumnya.¹¹ Perspektif ini menyoroti bahwa kesadaran hukum tidak semata hasil rasionalitas normatif, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor afektif dan sosial.¹² Pemahaman terhadap subjek hukum dalam ranah ini membantu menjelaskan perilaku kepatuhan, penyimpangan, dan tanggung jawab moral individu dalam sistem hukum.

7.2.        Perspektif Interdisipliner: Dari Legal Personhood ke Moral Agency

Perkembangan kajian hukum kontemporer menunjukkan adanya pergeseran dari konsep legal personhood yang formal ke moral agency yang substansial.¹³ Legal personhood menekankan pengakuan formal terhadap status hukum, sedangkan moral agency menuntut kemampuan etis untuk bertindak secara bertanggung jawab.¹⁴ Perdebatan mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan hak-hak hewan, misalnya, memperlihatkan ketegangan antara pengakuan hukum dan kapasitas moral.¹⁵

Bioetika dan teknologi informasi menjadi bidang penting dalam diskursus ini.¹⁶ Ilmu bioteknologi menantang batas antara manusia dan non-manusia, terutama dalam kasus seperti embrio, kloning, dan rekayasa genetika.¹⁷ Sementara itu, hukum digital dan etika algoritmik menimbulkan pertanyaan apakah sistem otonom atau AI dapat memiliki status hukum dan tanggung jawab etis.¹⁸ Kajian interdisipliner ini memaksa kita meninjau ulang ontologi subjek hukum, bukan lagi berdasarkan pada bentuk biologis, tetapi pada kemampuan untuk bertindak, berinteraksi, dan bertanggung jawab dalam konteks sosial dan teknologi.¹⁹

7.3.        Integrasi Kajian Hukum dengan Teknologi dan Bioetika

Perkembangan teknologi digital, kecerdasan buatan, dan bioteknologi telah menciptakan bentuk baru dari entitas hukum yang tidak pernah dibayangkan dalam tradisi hukum klasik.²⁰ Subjek hukum kini tidak lagi terbatas pada manusia dan badan hukum, tetapi mencakup entitas digital dan ekologis.²¹ Misalnya, dalam kasus kendaraan otonom atau sistem machine learning, muncul perdebatan apakah tanggung jawab hukum harus dibebankan pada pengembang, pengguna, atau sistem itu sendiri.²²

Bioetika menambahkan lapisan baru dalam diskursus ini dengan mempertanyakan dasar moral pengakuan hukum terhadap makhluk hidup.²³ Isu seperti hak hewan, status hukum embrio, dan hak lingkungan menunjukkan bahwa hukum harus menyesuaikan diri dengan pandangan moral dan ilmiah yang terus berkembang.²⁴ Dengan demikian, kolaborasi antara ilmu hukum, bioetika, dan teknologi menjadi prasyarat bagi pengembangan konsep subjek hukum yang relevan dengan zaman.²⁵

7.4.        Metodologi Studi Subjek Hukum di Era Pengetahuan Multidisipliner

Pendekatan ilmiah terhadap subjek hukum menuntut metode penelitian yang lintas batas antara doctrinal research (normatif) dan empirical legal studies (empiris).²⁶ Kajian hukum modern bergerak ke arah interdisipliner dengan mengintegrasikan metode kualitatif (hermeneutika, fenomenologi, studi kasus) dan kuantitatif (analisis data sosial, hukum komparatif).²⁷ Selain itu, teori sistem sosial Niklas Luhmann memberikan kerangka konseptual untuk memahami hukum sebagai sistem komunikasi yang mengonstruksi subjek melalui kode legal (lawful/ unlawful).²⁸

Dalam konteks global, kolaborasi antarilmu juga mencakup ekonomi dan politik internasional.²⁹ Teori law and economics menyoroti bahwa keputusan hukum tidak terlepas dari perhitungan rasional biaya dan manfaat, sedangkan pendekatan critical legal studies mengingatkan bahwa hukum juga merupakan produk ideologi yang mencerminkan kepentingan sosial tertentu.³⁰ Oleh karena itu, memahami subjek hukum secara ilmiah berarti memahami relasi kompleks antara norma, rasionalitas, dan kekuasaan yang membentuknya.³¹

Pendekatan interdisipliner yang matang akhirnya menegaskan bahwa hukum bukan sistem tertutup, melainkan praktik sosial reflektif yang selalu dapat dikoreksi dan dikembangkan.³² Melalui integrasi antara rasionalitas hukum, ilmu sosial, dan etika, konsep subjek hukum dapat diperluas menuju paradigma humanistik dan relasional yang sesuai dengan tantangan era digital dan post-human.³³


Footnotes

[1]                Brian Z. Tamanaha, A Realistic Theory of Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 41–43.

[2]                H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press, 1961), 83–85.

[3]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 309–311.

[4]                Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus A. Ziegert (Oxford: Oxford University Press, 2004), 9–11.

[5]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 117–119.

[6]                Roger Cotterrell, The Sociology of Law: An Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1992), 55–57.

[7]                Émile Durkheim, The Division of Labour in Society, trans. W.D. Halls (New York: Free Press, 1984), 55–58.

[8]                Sally Engle Merry, Human Rights and Gender Violence: Translating International Law into Local Justice (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 34–37.

[9]                Philippe Descola, Beyond Nature and Culture, trans. Janet Lloyd (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 89–92.

[10]             Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense (London: Butterworths, 2002), 117–120.

[11]             Tom R. Tyler, Why People Obey the Law (Princeton: Princeton University Press, 1990), 44–47.

[12]             Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 165–168.

[13]             Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984), 12–15.

[14]             Christine M. Korsgaard, Self-Constitution: Agency, Identity, and Integrity (Oxford: Oxford University Press, 2009), 7–10.

[15]             David J. Gunkel, Robot Rights (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 3–6.

[16]             Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention: Technology and the Human Future (New York: W.W. Norton, 2016), 52–55.

[17]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 124–128.

[18]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 48–51.

[19]             Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law: Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 95–98.

[20]             Frank Pasquale, The Black Box Society: The Secret Algorithms That Control Money and Information (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 35–38.

[21]             Gunther Teubner, “Rights of Non-Humans? Electronic Agents and Animals as New Actors in Politics and Law,” Journal of Law and Society 33, no. 4 (2006): 497–521.

[22]             Floridi, The Ethics of Information, 53–55.

[23]             Julian Savulescu and Ruud ter Meulen, Ethics and the Law in the Biotechnological Age (Oxford: Oxford University Press, 2010), 44–47.

[24]             Raffaele Rodogno, The Moral Brain: A Multidisciplinary Perspective (Oxford: Oxford University Press, 2017), 17–20.

[25]             Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law, 100–104.

[26]             Reza Banakar and Max Travers, eds., Theory and Method in Socio-Legal Research (Oxford: Hart Publishing, 2005), 11–15.

[27]             Terry Hutchinson and Nigel Duncan, Defining and Describing What We Do: Doctrinal Legal Research (Deakin Law Review 17, no. 1 [2012]): 87–89.

[28]             Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. and Dirk Baecker (Stanford: Stanford University Press, 1995), 215–219.

[29]             Richard Posner, Economic Analysis of Law (Boston: Little, Brown, 1973), 12–15.

[30]             Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 45–48.

[31]             Habermas, Knowledge and Human Interests, 312–315.

[32]             Ulrich Beck, Reflexive Modernization: Politics, Tradition and Aesthetics in the Modern Social Order (Stanford: Stanford University Press, 1994), 21–23.

[33]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 251–254.


8.           Kritik terhadap Konsep Klasik Subjek Hukum

Konsep klasik subjek hukum yang berakar pada tradisi liberal dan rasionalistik modern sering dipuji karena menegaskan prinsip kebebasan individu dan kesetaraan formal di hadapan hukum. Namun, dari perspektif kritis dan kontemporer, paradigma tersebut dianggap menyembunyikan bias struktural yang mengabaikan kompleksitas sosial, politik, dan kultural manusia.¹ Kritik terhadap konsep klasik ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praksis—bertujuan membongkar cara hukum mereproduksi relasi kekuasaan dan ketidakadilan melalui klaim universalisme dan netralitasnya.²

Dalam sejarahnya, konsep subjek hukum klasik didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu adalah agen rasional dan otonom, pemilik kehendak bebas, serta mampu memahami dan mengatur dirinya sendiri.³ Asumsi ini berakar pada filsafat Pencerahan Eropa (Kant, Locke, Rousseau) yang menjadikan subjek manusia sebagai pusat moral dan hukum.⁴ Akan tetapi, pandangan ini segera dikritik karena hanya merepresentasikan sebagian kecil dari pengalaman manusia—khususnya laki-laki, kulit putih, berpendidikan, dan memiliki status ekonomi tinggi—sementara kelompok lain (perempuan, budak, masyarakat adat, minoritas) dieksklusi dari pengakuan hukum yang setara.⁵ Dengan demikian, kritik terhadap konsep klasik subjek hukum pada dasarnya adalah upaya untuk mendekonstruksi klaim universalitas yang ternyata bersifat partikular.⁶

8.1.        Kritik Feminisme terhadap Netralitas Hukum

Teori feminis memberikan kritik paling tajam terhadap konsep klasik subjek hukum. Menurut Carole Pateman, kontrak sosial yang melandasi negara modern sesungguhnya adalah sexual contract—sebuah struktur patriarkal yang menempatkan perempuan di luar ruang publik dan hukum formal.⁷ Dengan mengidealkan subjek hukum sebagai individu otonom dan bebas dari relasi ketergantungan, hukum modern mengabaikan kenyataan bahwa kehidupan sosial manusia didasarkan pada relasi perawatan, kasih sayang, dan tanggung jawab timbal balik.⁸

Catharine MacKinnon menegaskan bahwa klaim netralitas hukum justru berfungsi untuk mempertahankan dominasi laki-laki.⁹ Hukum yang tampak universal sebenarnya mengkodifikasi nilai-nilai maskulin seperti rasionalitas, kompetisi, dan kepemilikan, sementara pengalaman perempuan—terutama dalam ranah domestik dan emosional—tidak dianggap relevan secara hukum.¹⁰ Kritik feminis ini menuntut rekonstruksi konsep subjek hukum yang lebih relasional, empatik, dan sensitif terhadap konteks pengalaman manusia yang beragam.¹¹

8.2.        Kritik Postkolonial terhadap Universalisme Hukum Barat

Pendekatan postkolonial mengungkapkan bahwa konsep subjek hukum modern merupakan produk kolonialisme Eropa yang meneguhkan hierarki global antara dunia Barat dan non-Barat.¹² Antony Anghie menunjukkan bahwa hukum internasional modern dibentuk melalui logika imperial, di mana subjek hukum internasional awalnya hanya mencakup negara-negara Eropa, sedangkan masyarakat kolonial diposisikan sebagai objek peradaban.¹³

Dalam perspektif ini, universalisme hukum Barat adalah bentuk hegemoni epistemik yang menghapus pluralitas hukum lokal dan adat.¹⁴ Boaventura de Sousa Santos menyebut fenomena ini sebagai “epistemicide”—pemusnahan cara-cara pengetahuan non-Barat melalui kolonisasi hukum dan budaya.¹⁵ Kritik postkolonial menegaskan bahwa hukum modern tidak pernah benar-benar netral; ia dibangun di atas epistemologi kekuasaan yang mendefinisikan siapa yang layak disebut “manusia hukum” (legal person) dan siapa yang tidak.¹⁶ Oleh karena itu, dekolonisasi hukum menjadi agenda penting untuk mengembalikan keberagaman epistemik dan keadilan historis dalam pembentukan subjek hukum.¹⁷

8.3.        Kritik Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis terhadap Rasionalisme Hukum

Mazhab Frankfurt mengkritik rasionalisme hukum modern karena menjadikan hukum sebagai instrumen rasionalitas instrumental (instrumentelle Vernunft), yang lebih menekankan efisiensi dan kontrol daripada emansipasi manusia.¹⁸ Max Horkheimer dan Theodor Adorno berpendapat bahwa rasionalitas modern telah berubah menjadi alat dominasi sosial yang mengobjektifikasi manusia, termasuk melalui mekanisme hukum.¹⁹

Jürgen Habermas kemudian melanjutkan kritik ini dengan mengajukan paradigma komunikatif.²⁰ Ia menolak pandangan positivistik yang menempatkan hukum sebagai sistem normatif tertutup, dan menegaskan bahwa legitimasi hukum hanya dapat lahir melalui diskursus rasional dan partisipatif antarwarga.²¹ Dengan demikian, subjek hukum harus dipahami bukan sebagai individu atomistik, melainkan sebagai partisipan dalam proses komunikasi sosial yang membentuk norma.²² Kritik ini membuka jalan bagi konsep hukum yang dialogis, demokratis, dan berorientasi pada keadilan prosedural, bukan sekadar legal-formal.²³

8.4.        Kritik Post-Strukturalis dan Dekonstruktif terhadap Esensialisme Subjek

Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Judith Butler memperluas kritik terhadap konsep klasik subjek hukum dengan menunjukkan bahwa subjek bukan entitas tetap, melainkan produk dari relasi diskursif dan kekuasaan.²⁴ Foucault menegaskan bahwa hukum dan institusi sosial memproduksi subjek melalui praktik normalisasi dan disiplin.²⁵ Subjek hukum, dalam kerangka ini, bukanlah agen bebas yang menciptakan hukum, tetapi hasil dari “teknologi diri” (technologies of the self) yang menundukkan individu pada norma-norma sosial tertentu.²⁶

Derrida, melalui pendekatan dekonstruksi, menunjukkan bahwa hukum tidak pernah memiliki fondasi rasional yang sepenuhnya stabil; keadilan selalu “tertunda” karena hukum bekerja melalui bahasa yang ambigu.²⁷ Subjek hukum karenanya tidak dapat dipahami secara esensial, melainkan melalui proses penundaan makna (différance).²⁸ Judith Butler kemudian menambahkan dimensi performatif: identitas subjek, termasuk status hukumnya, selalu dihasilkan dan diulang melalui tindakan sosial dan wacana.²⁹ Kritik post-strukturalis ini menolak pandangan tentang subjek hukum sebagai esensi universal dan menggantinya dengan pemahaman bahwa hukum selalu terlibat dalam produksi identitas sosial yang cair dan politis.³⁰

8.5.        Menuju Rekonstruksi Humanistik dan Relasional

Kritik-kritik tersebut tidak dimaksudkan untuk meniadakan konsep subjek hukum, melainkan untuk membukanya terhadap kemungkinan reinterpretasi.³¹ Rekonstruksi humanistik menuntut agar hukum diorientasikan kembali pada martabat manusia, bukan pada abstraksi rasional yang eksklusif.³² Perspektif relasional yang dikembangkan oleh Martha Nussbaum, Seyla Benhabib, dan Axel Honneth mengusulkan bahwa subjek hukum harus dipahami dalam konteks pengakuan timbal balik, solidaritas sosial, dan keterkaitan eksistensial antarindividu.³³

Dengan demikian, kritik terhadap konsep klasik bukanlah akhir dari filsafat hukum, melainkan langkah menuju paradigma baru yang lebih inklusif dan reflektif—di mana hukum menjadi ruang dialog antar-subjek yang setara, dan pengakuan hukum menjadi bentuk penghormatan terhadap keberagaman manusia.³⁴


Footnotes

[1]                Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society (New York: Free Press, 1976), 101–104.

[2]                Duncan Kennedy, “The Critique of Rights in Critical Legal Studies,” in Left Legalism/Left Critique, ed. Wendy Brown and Janet Halley (Durham: Duke University Press, 2002), 179–182.

[3]                John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–291.

[4]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 35–37.

[5]                Charles W. Mills, The Racial Contract (Ithaca: Cornell University Press, 1997), 17–20.

[6]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 48–51.

[7]                Carole Pateman, The Sexual Contract (Stanford: Stanford University Press, 1988), 3–7.

[8]                Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 45–49.

[9]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 237–240.

[10]             Anne Phillips, Gender and Culture (Cambridge: Polity Press, 2010), 27–29.

[11]             Robin West, “Jurisprudence and Gender,” University of Chicago Law Review 55, no. 1 (1988): 1–5.

[12]             Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage, 1993), 56–60.

[13]             Antony Anghie, Imperialism, Sovereignty and the Making of International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 13–18.

[14]             Makau Mutua, “Savages, Victims, and Saviors: The Metaphor of Human Rights,” Harvard International Law Journal 42, no. 1 (2001): 201–205.

[15]             Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm, 2014), 118–122.

[16]             Ibid., 131–134.

[17]             Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 55–58.

[18]             Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. John Cumming (New York: Herder and Herder, 1972), 25–28.

[19]             Ibid., 35–39.

[20]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[21]             Ibid., 293–296.

[22]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 106–109.

[23]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 89–92.

[24]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–101.

[25]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1977), 202–205.

[26]             Michel Foucault, Technologies of the Self, in Ethics: Subjectivity and Truth, ed. Paul Rabinow (New York: New Press, 1997), 223–226.

[27]             Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”, trans. Mary Quaintance, Cardozo Law Review 11, no. 5 (1990): 919–921.

[28]             Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–19.

[29]             Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford University Press, 1997), 12–15.

[30]             Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of Sex (New York: Routledge, 1993), 22–26.

[31]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.

[32]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 47–50.

[33]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 111–115.

[34]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 67–70.


9.           Relevansi Kontemporer: Subjek Hukum di Era Digital dan Post-Human

Perkembangan teknologi digital dan kemajuan bioteknologi pada abad ke-21 telah mengubah secara radikal cara manusia memahami dirinya, masyarakat, dan hukum. Dalam konteks ini, konsep subjek hukum menghadapi tantangan ontologis dan epistemologis baru. Jika pada masa klasik subjek hukum dipahami sebagai manusia rasional yang otonom dan berkehendak bebas, maka di era digital dan post-human batas antara manusia, mesin, dan jaringan sosial menjadi semakin kabur.¹ Kecerdasan buatan (artificial intelligence), entitas algoritmik, sistem siber, serta eksperimen bioteknologi telah memperluas ruang moral dan hukum ke wilayah yang sebelumnya tidak pernah dipertimbangkan oleh hukum konvensional.²

Era digital bukan hanya memperkenalkan subjek baru ke dalam sistem hukum, tetapi juga mengubah struktur relasi sosial, epistemologi hukum, dan pengertian tentang tanggung jawab.³ Subjek hukum kini tidak lagi semata entitas yang bertindak secara langsung, melainkan juga sistem-sistem yang beroperasi secara otomatis, kolektif, dan terdistribusi.⁴ Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hukum masih mampu mempertahankan prinsip-prinsip keadilan dan tanggung jawab moral dalam dunia yang diatur oleh algoritma dan data?⁵

9.1.        Subjek Hukum dalam Konteks Digital: AI, Robot, dan Data Rights

Kemunculan kecerdasan buatan dan sistem otonom menghadirkan dilema hukum yang kompleks: apakah entitas non-manusia yang dapat mengambil keputusan secara mandiri layak diakui sebagai subjek hukum?⁶ Beberapa ahli, seperti David J. Gunkel dan Mireille Hildebrandt, berargumen bahwa AI memiliki kapasitas untuk bertindak dan memengaruhi dunia sosial, sehingga perlu diberikan bentuk pengakuan hukum tertentu.⁷ Namun, para kritikus menegaskan bahwa pengakuan semacam itu dapat mengaburkan tanggung jawab moral manusia di balik sistem.⁸

Dalam hukum digital, perdebatan juga mencakup hak atas data pribadi (data rights) dan status identitas digital individu.⁹ Konsep klasik subjek hukum sebagai entitas tunggal dan tetap kini digantikan oleh subjek digital yang tersebar di berbagai platform dan basis data.¹⁰ Hal ini menimbulkan persoalan baru tentang privasi, kepemilikan data, dan otonomi diri di ruang siber.¹¹ Luciano Floridi menyebut fenomena ini sebagai munculnya infosfer, yaitu ekosistem realitas informasi di mana manusia dan mesin hidup berdampingan sebagai “agen informasi” (informational agents).¹² Dalam konteks ini, subjek hukum perlu dipahami tidak hanya sebagai tubuh biologis, tetapi juga sebagai entitas data yang memiliki hak eksistensial dalam ruang digital.¹³

9.2.        Problematika Identitas, Privasi, dan Tanggung Jawab Algoritmik

Teknologi algoritmik mengubah cara hukum beroperasi dalam pengambilan keputusan, mulai dari sistem peradilan berbasis AI hingga algoritma prediktif dalam penegakan hukum.¹⁴ Namun, penggunaan teknologi ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang transparansi, akuntabilitas, dan bias sistemik.¹⁵ Subjek hukum manusia sering kali menjadi korban ketidakjelasan keputusan algoritmik yang bersifat opaque dan sulit dipertanggungjawabkan.¹⁶

Dalam konteks ini, muncul konsep algorithmic accountability—upaya untuk menegaskan kembali prinsip tanggung jawab dalam sistem otomatis.¹⁷ Namun, tanggung jawab hukum dalam ekosistem digital tidak dapat lagi ditelusuri secara linear seperti pada sistem hukum klasik, karena tindakan hukum kini bersifat terdistribusi di antara manusia, mesin, dan lembaga.¹⁸ Hal ini menuntut pendekatan aksiologis baru yang menggabungkan nilai transparansi, keadilan sosial, dan etika teknologi.¹⁹ Dengan demikian, tantangan utama hukum di era digital bukan sekadar menentukan siapa yang bertanggung jawab, tetapi bagaimana menciptakan sistem yang memastikan bahwa tindakan algoritmik tetap tunduk pada prinsip moral dan hak asasi manusia.²⁰

9.3.        Tantangan Bioetik: Subjek Hukum dalam Bioteknologi dan Transhumanisme

Kemajuan bioteknologi menimbulkan perdebatan etis dan hukum tentang batas-batas kemanusiaan.²¹ Dengan adanya teknologi kloning, modifikasi genetik, dan integrasi manusia-mesin (cyborgization), muncul pertanyaan apakah makhluk hasil rekayasa atau entitas hibrid dapat diakui sebagai subjek hukum.²² Transhumanisme, yang berupaya meningkatkan kapasitas manusia melalui teknologi, menantang definisi tradisional tentang manusia sebagai dasar moral hukum.²³

Dalam bioetika kontemporer, dua kecenderungan dapat diamati: pertama, pandangan human exceptionalism yang mempertahankan supremasi manusia sebagai satu-satunya subjek moral dan hukum; kedua, pendekatan post-human ethics yang membuka kemungkinan pengakuan terhadap entitas non-manusia yang memiliki kesadaran atau kapasitas relasional.²⁴ Rosi Braidotti menegaskan bahwa post-humanisme bukan berarti meniadakan kemanusiaan, tetapi memperluasnya untuk mencakup bentuk-bentuk eksistensi baru yang muncul dari kemajuan teknologi dan biologi.²⁵ Dalam konteks ini, hukum ditantang untuk menafsirkan kembali asas dignitas humana secara inklusif, agar dapat merespons perubahan ontologis dalam kondisi manusia kontemporer.²⁶

9.4.        Menuju Konsep “Subjek Hukum Integral” dalam Masyarakat Jaringan Global

Globalisasi dan digitalisasi telah menciptakan masyarakat jaringan (network society) di mana batas antara individu, institusi, dan teknologi semakin kabur.²⁷ Dalam tatanan ini, hukum perlu mengembangkan konsep subjek hukum integral—yaitu subjek yang diakui tidak hanya sebagai individu rasional, tetapi sebagai bagian dari ekosistem sosial-teknologis yang saling terkait.²⁸ Manuel Castells menekankan bahwa identitas dalam masyarakat jaringan bersifat dinamis, terbentuk melalui interaksi simultan antara ruang fisik dan digital.²⁹ Dengan demikian, hukum yang relevan dengan era post-human harus mampu mengakomodasi pluralitas bentuk eksistensi dan tanggung jawab yang melampaui kategori manusia semata.³⁰

Subjek hukum integral ini tidak menghapus keunikan manusia, tetapi menempatkannya dalam jaringan moral dan ekologis yang lebih luas.³¹ Ia menuntut pendekatan interdisipliner yang menggabungkan etika komunikasi (Habermas), ekologi integral (Pope Francis), dan teori sistem sosial (Luhmann) untuk membangun hukum yang mampu menyeimbangkan rasionalitas, teknologi, dan kemanusiaan.³² Dalam kerangka ini, hukum di era digital dan post-human harus menjadi medan refleksi bagi transformasi nilai, bukan sekadar adaptasi terhadap perubahan teknologis.³³


Footnotes

[1]                N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 2–4.

[2]                Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law: Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 7–9.

[3]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 16–19.

[4]                Antoinette Rouvroy, “The End(s) of Critique: Data-Behaviourism vs. Due-Process,” in Privacy, Due Process and the Computational Turn, ed. Mireille Hildebrandt and Katja de Vries (Abingdon: Routledge, 2013), 147–150.

[5]                Roger Brownsword, Law, Technology and Society: Re-Imagining the Regulatory Environment (Abingdon: Routledge, 2019), 25–27.

[6]                David J. Gunkel, Robot Rights (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 3–5.

[7]                Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law, 82–85.

[8]                Joanna J. Bryson, Mihailis E. Diamantis, and Thomas D. Grant, “Of, For, and By the People: The Legal Lacuna of Synthetic Persons,” Artificial Intelligence and Law 25, no. 3 (2017): 273–275.

[9]                Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think (Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 123–126.

[10]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 75–78.

[11]             Daniel J. Solove, Understanding Privacy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 99–103.

[12]             Floridi, The Fourth Revolution, 42–45.

[13]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 53–56.

[14]             Frank Pasquale, The Black Box Society: The Secret Algorithms That Control Money and Information (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 7–9.

[15]             Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 25–28.

[16]             Jenna Burrell, “How the Machine ‘Thinks’: Understanding Opacity in Machine Learning Algorithms,” Big Data & Society 3, no. 1 (2016): 1–4.

[17]             Karen Yeung, “Algorithmic Regulation: A Critical Interrogation,” Regulation & Governance 12, no. 4 (2018): 505–509.

[18]             Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law, 101–103.

[19]             Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 145–149.

[20]             Floridi, The Ethics of Information, 58–60.

[21]             Julian Savulescu and Nick Bostrom, eds., Human Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 1–3.

[22]             Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of Uncertainty (Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 37–40.

[23]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 22–25.

[24]             Cary Wolfe, What Is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), xii–xiv.

[25]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 1–4.

[26]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 38–42.

[27]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 469–472.

[28]             Gunther Teubner, “Digital Personhood? The Emergence of Autonomous Actors in Law,” Zeitschrift für Rechtssoziologie 35, no. 1 (2015): 9–12.

[29]             Castells, The Rise of the Network Society, 473–475.

[30]             Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 145–148.

[31]             Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 102–105.

[32]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §§65–69.

[33]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 254–258.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Ontologi Relasional Subjek Hukum

Setelah menelusuri dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, serta kritik terhadap konsep klasik subjek hukum, kini muncul kebutuhan untuk membangun suatu kerangka sintesis yang mampu menampung kompleksitas manusia modern dan dunia yang terus berubah. Sintesis filosofis ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan paradigma sebelumnya secara total, tetapi untuk mengintegrasikan unsur-unsur kunci dari berbagai pendekatan menuju suatu ontologi relasional subjek hukum—yakni pemahaman bahwa subjek hukum tidak berdiri secara terisolasi, melainkan eksis melalui jejaring relasi sosial, moral, ekologis, dan teknologi yang saling memengaruhi.¹

Ontologi relasional ini berangkat dari kesadaran bahwa manusia, sebagai subjek hukum, tidak hanya “memiliki hak” tetapi juga “menjadi melalui hubungan.”² Dalam tradisi filsafat Barat, pandangan ini dapat ditelusuri sejak Aristoteles yang memandang manusia sebagai zoon politikon—makhluk yang hanya mencapai aktualitasnya dalam kehidupan bersama.³ Dalam konteks modern, Emmanuel Levinas, Paul Ricoeur, dan Jürgen Habermas memperdalam gagasan ini dengan menegaskan bahwa identitas manusia terbentuk melalui pengakuan dan komunikasi dengan yang Lain.⁴ Maka, hukum tidak lagi dapat dilihat sekadar sebagai sistem peraturan eksternal, melainkan sebagai ruang dialog di mana subjek-subjek saling membentuk dan saling mengafirmasi.

10.1.     Integrasi antara Humanisme, Tanggung Jawab Sosial, dan Rasionalitas Hukum

Ontologi relasional menuntut integrasi antara humanisme (penghormatan terhadap martabat manusia), tanggung jawab sosial, dan rasionalitas hukum.⁵ Humanisme memberikan fondasi normatif bahwa hukum harus berorientasi pada penghormatan terhadap manusia sebagai tujuan, bukan alat.⁶ Sementara tanggung jawab sosial menegaskan bahwa subjek hukum tidak dapat didefinisikan tanpa mempertimbangkan keterikatannya dengan komunitas dan lingkungan.⁷

Rasionalitas hukum tetap penting sebagai sarana menjaga konsistensi dan kepastian dalam relasi sosial.⁸ Namun, rasionalitas tersebut tidak boleh bersifat instrumental seperti dalam positivisme klasik, melainkan rasionalitas komunikatif sebagaimana dikemukakan oleh Habermas—yakni rasionalitas yang menghubungkan hukum dengan praksis sosial dan moral.⁹ Dalam kerangka ini, hukum berfungsi sebagai medium yang menyeimbangkan kebebasan individu dan solidaritas sosial.¹⁰ Integrasi ini menegaskan bahwa relasionalitas bukanlah antitesis hukum, tetapi justru fondasinya yang paling manusiawi.

10.2.     Ontologi Relasional: Subjek sebagai Jaringan Eksistensi

Dalam kerangka relasional, subjek hukum dipahami bukan sebagai atom normatif, tetapi sebagai simpul dalam jaringan eksistensi yang lebih luas.¹¹ Ontologi ini menolak dualisme klasik antara individu dan masyarakat, antara hukum dan moral, serta antara manusia dan alam.¹² Subjek hukum, dalam pandangan ini, memiliki keberadaan yang co-constitutive: ia diciptakan oleh hukum sekaligus menciptakan hukum melalui tindakan dan relasinya.¹³

Pemikiran Paul Ricoeur tentang soi-même comme un autre menekankan bahwa identitas diri tidak dapat dipahami tanpa mediasi dari orang lain dan institusi sosial.¹⁴ Demikian pula, dalam etika Levinas, tanggung jawab terhadap yang Lain mendahului eksistensi hukum formal.¹⁵ Sementara itu, teori sistem sosial Niklas Luhmann membantu menjelaskan bagaimana hukum mengoperasionalisasikan relasi ini dalam bentuk komunikasi normatif yang memungkinkan masyarakat tetap berfungsi tanpa kehilangan kompleksitasnya.¹⁶ Dengan demikian, subjek hukum dalam ontologi relasional adalah entitas yang hidup dalam dialektika antara keunikan personal dan keterhubungan sosial.

10.3.     Perspektif Humanistik dalam Pembaruan Teori Hukum Modern

Paradigma hukum modern yang berlandaskan individualisme rasional kini dihadapkan pada krisis legitimasi di tengah meningkatnya ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan tantangan teknologi.¹⁷ Dalam situasi ini, pendekatan humanistik menawarkan arah baru bagi pembaruan hukum. Menurut Jacques Maritain, hukum sejati lahir dari pengakuan terhadap manusia sebagai makhluk personal dan sosial yang memiliki martabat intrinsik.¹⁸ Humanisme hukum dengan demikian tidak hanya berorientasi pada hak, tetapi juga pada relasi etis yang mendasarinya.

Humanisme ini dapat diperkuat melalui pendekatan capability approach yang dikembangkan oleh Martha Nussbaum dan Amartya Sen, yang menekankan bahwa pengakuan hukum harus memungkinkan setiap individu mengembangkan potensinya secara bermartabat.¹⁹ Di sini, nilai-nilai keadilan, empati, dan solidaritas bukan sekadar tambahan moral bagi hukum, melainkan inti dari keberadaannya.²⁰ Dengan menempatkan subjek hukum dalam horizon relasional, hukum tidak lagi sekadar menegakkan norma, tetapi menjadi sarana aktualisasi kemanusiaan kolektif.²¹

10.4.     Menuju Paradigma Hukum Integral dan Berkeadilan Manusiawi

Paradigma hukum integral berupaya menggabungkan aspek rasional, moral, sosial, dan ekologis dari kehidupan hukum ke dalam satu kerangka koheren.²² Hukum integral berangkat dari kesadaran bahwa keadilan tidak dapat dicapai hanya melalui penerapan prosedur formal, melainkan melalui keterlibatan reflektif antara semua pihak yang terlibat dalam proses hukum.²³ Dalam pengertian ini, hukum menjadi proses dialog yang berkelanjutan, bukan sistem tertutup yang mengatur dari atas.

Konsep ontologi relasional subjek hukum memungkinkan lahirnya tatanan hukum yang berkeadilan manusiawi (human-centered justice), di mana hukum tidak lagi menjadi instrumen kekuasaan, tetapi ruang etis bagi pengakuan dan tanggung jawab timbal balik.²⁴ Paradigma ini selaras dengan visi integral ecology yang diajukan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, yang memandang manusia, masyarakat, dan alam sebagai satu kesatuan moral.²⁵ Dengan demikian, masa depan hukum bergantung pada kemampuannya untuk membangun relasi, bukan hanya menetapkan batas.²⁶

Akhirnya, ontologi relasional mengarahkan kita menuju pemahaman bahwa subjek hukum adalah makhluk interdependen yang keberadaannya bergantung pada jaringan pengakuan dan tanggung jawab bersama.²⁷ Hukum yang sejati adalah hukum yang memanusiakan—yakni hukum yang menyadari bahwa di balik setiap norma terdapat wajah manusia lain yang menuntut penghormatan dan keadilan.²⁸


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.

[2]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 245–248.

[3]                Aristotle, Politics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), 1253a–1255a.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 286–290.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–10.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 62–65.

[7]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 35–38.

[8]                H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1983), 37–40.

[9]                Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 110–113.

[10]             John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 48–51.

[11]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 92–94.

[12]             Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 96–99.

[13]             Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus A. Ziegert (Oxford: Oxford University Press, 2004), 41–43.

[14]             Ricoeur, Oneself as Another, 128–130.

[15]             Levinas, Totality and Infinity, 250–253.

[16]             Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. and Dirk Baecker (Stanford: Stanford University Press, 1995), 213–216.

[17]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–22.

[18]             Jacques Maritain, The Person and the Common Good, trans. John J. Fitzgerald (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1947), 18–20.

[19]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–39.

[20]             Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 28–32.

[21]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 87–89.

[22]             Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law: History, Politics, Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 105–108.

[23]             Habermas, Between Facts and Norms, 214–217.

[24]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 51–53.

[25]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §§67–70.

[26]             Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, trans. Mark Ritter (London: Sage, 1992), 110–113.

[27]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 318–321.

[28]             Levinas, Totality and Infinity, 256–258.


11.       Kesimpulan

Kajian mengenai sejarah perkembangan subjek hukum menunjukkan bahwa konsep ini bukanlah konstruksi yang statis, melainkan hasil evolusi panjang dari pergulatan antara ide, kekuasaan, dan nilai kemanusiaan. Sejak masa hukum Romawi dan filsafat Yunani kuno hingga era digital dan post-human, pengertian tentang siapa yang dapat disebut subjek hukum terus berubah seiring dengan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi.¹ Dari persona fisik menuju persona yuridik, dari individu menuju entitas kolektif, dari manusia menuju agen algoritmik—perjalanan ini memperlihatkan bahwa hukum senantiasa merefleksikan transformasi ontologis manusia dan dunia yang mengitarinya.²

Secara ontologis, subjek hukum adalah entitas yang “ada” dalam jaringan relasi sosial dan simbolik; keberadaannya tidak berdiri sendiri, melainkan dikonstitusikan melalui pengakuan, interaksi, dan tanggung jawab timbal balik.³ Epistemologinya memperlihatkan bahwa pengetahuan hukum tentang subjek selalu bersifat konstruktif dan kontekstual, bukan netral atau universal sebagaimana diklaim positivisme klasik.⁴ Sedangkan secara aksiologis, pengakuan terhadap subjek hukum mengandung nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan yang menjadi landasan moral dari sistem hukum yang hidup.⁵ Dengan demikian, hukum yang baik bukan hanya menegakkan norma, tetapi juga menegaskan martabat manusia sebagai pusat dari tatanan sosial.

Kritik dari perspektif feminis, postkolonial, dan teori kritis menyingkap bias struktural dalam paradigma klasik yang mengidealkan subjek hukum sebagai individu rasional yang otonom, tetapi menyingkirkan dimensi relasional, emosional, dan historis dari pengalaman manusia.⁶ Sebagai respons, paradigma baru dalam filsafat hukum mengusulkan kerangka ontologi relasional, yang menekankan bahwa subjek hukum terbentuk melalui hubungan sosial, komunikasi, dan keterlibatan etis.⁷ Konsep ini menjadi jembatan antara humanisme dan realitas kontemporer—antara rasionalitas hukum dan kebutuhan akan empati, solidaritas, serta tanggung jawab global.

Dalam konteks abad ke-21, relevansi konsep subjek hukum diperluas hingga mencakup entitas digital, ekologis, dan post-human.⁸ Tantangan baru seperti kecerdasan buatan, hak digital, dan bioteknologi menuntut perluasan horizon etis dan hukum. Hukum tidak lagi hanya mengatur manusia sebagai makhluk biologis, tetapi juga sebagai aktor informasi dalam jaringan digital yang kompleks.⁹ Di sinilah konsep subjek hukum integral menemukan maknanya: subjek yang menggabungkan dimensi biologis, sosial, moral, dan teknologi dalam satu kesatuan eksistensial.¹⁰

Akhirnya, sintesis filosofis menuju ontologi relasional subjek hukum mengajak kita untuk memahami hukum bukan sekadar sebagai instrumen pengaturan, tetapi sebagai ruang moral di mana hubungan antar manusia dan entitas lain dipahami dalam kerangka tanggung jawab bersama.¹¹ Dengan menempatkan relasionalitas, keadilan, dan kemanusiaan sebagai pusatnya, hukum dapat kembali kepada esensinya sebagai tatanan yang menyeimbangkan kebebasan dengan solidaritas, serta rasionalitas dengan kasih.¹² Paradigma ini membuka arah baru bagi pembentukan sistem hukum yang integral, humanistik, dan berkeadilan manusiawi—sebuah hukum yang tidak hanya mengatur kehidupan, tetapi juga memanusiakan eksistensi.¹³


Footnotes

[1]                Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 215–219.

[2]                Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law (Oxford: Clarendon Press, 1962), 79–81.

[3]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 118–120.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–275.

[5]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 104–107.

[6]                Carole Pateman, The Sexual Contract (Stanford: Stanford University Press, 1988), 5–7.

[7]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 247–250.

[8]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 42–45.

[9]                Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law: Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham: Edward Elgar, 2015), 95–98.

[10]             Gunther Teubner, “Digital Personhood? The Emergence of Autonomous Actors in Law,” Zeitschrift für Rechtssoziologie 35, no. 1 (2015): 9–12.

[11]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 254–257.

[12]             Jacques Maritain, The Person and the Common Good, trans. John J. Fitzgerald (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1947), 21–24.

[13]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §§66–69.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1972). Dialectic of enlightenment (J. Cumming, Trans.). Herder and Herder.

Alexy, R. (1989). A theory of legal argumentation (R. Adler & N. MacCormick, Trans.). Clarendon Press.

Anghie, A. (2005). Imperialism, sovereignty and the making of international law. Cambridge University Press.

Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. Harcourt.

Aristotle. (1925). Nicomachean ethics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1932). Politics (H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.

Austin, J. (1832). The province of jurisprudence determined. John Murray.

Bakan, J. (2004). The corporation: The pathological pursuit of profit and power. Free Press.

Banakar, R., & Travers, M. (Eds.). (2005). Theory and method in socio-legal research. Hart Publishing.

Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity (M. Ritter, Trans.). Sage.

Beck, U. (1994). Reflexive modernization: Politics, tradition and aesthetics in the modern social order. Stanford University Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.

Berman, H. J. (1983). Law and revolution: The formation of the Western legal tradition. Harvard University Press.

Berlin, I. (1969). Two concepts of liberty. Clarendon Press.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Bourdieu, P. (1987). The force of law: Toward a sociology of the juridical field (R. Terdiman, Trans.). Hastings Law Journal, 38(5), 838–841.

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Brownsword, R. (2019). Law, technology and society: Re-imagining the regulatory environment. Routledge.

Bryson, J. J., Diamantis, M. E., & Grant, T. D. (2017). Of, for, and by the people: The legal lacuna of synthetic persons. Artificial Intelligence and Law, 25(3), 273–275.

Burrell, J. (2016). How the machine “thinks”: Understanding opacity in machine learning algorithms. Big Data & Society, 3(1), 1–4.

Butler, J. (1993). Bodies that matter: On the discursive limits of sex. Routledge.

Butler, J. (1997). The psychic life of power: Theories in subjection. Stanford University Press.

Castells, M. (1996). The rise of the network society. Blackwell.

Cicero. (1928). De legibus (C. Keyes, Trans.). Harvard University Press.

Cotterrell, R. (1992). The sociology of law: An introduction. Oxford University Press.

De Sousa Santos, B. (1995). Toward a new common sense: Law, science and politics in the paradigmatic transition. Routledge.

De Sousa Santos, B. (2002). Toward a new legal common sense. Butterworths.

De Sousa Santos, B. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Hackett.

Descola, P. (2013). Beyond nature and culture (J. Lloyd, Trans.). University of Chicago Press.

Dewey, J. (1926). The historic background of corporate legal personality. Yale Law Journal, 35(6), 655–673.

Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Harvard University Press.

Durkheim, É. (1984). The division of labour in society (W. D. Halls, Trans.). Free Press.

Eubanks, V. (2018). Automating inequality: How high-tech tools profile, police, and punish the poor. St. Martin’s Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Clarendon Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.

Foucault, M. (1997). Technologies of the self. In P. Rabinow (Ed.), Ethics: Subjectivity and truth (pp. 223–226). New Press.

French, P. A. (1984). Collective and corporate responsibility. Columbia University Press.

Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Fuller, L. L. (1969). The morality of law. Yale University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Stanford University Press.

Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford University Press.

Gierke, O. von. (1900). Political theories of the Middle Age (F. W. Maitland, Trans.). Cambridge University Press.

Golub, S. (2003). Beyond rule of law orthodoxy: The legal empowerment alternative (Working Paper No. 41). Carnegie Endowment for International Peace.

Gunkel, D. J. (2018). Robot rights. MIT Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Hart, H. L. A. (1961). The concept of law. Clarendon Press.

Hart, H. L. A. (1983). Essays in jurisprudence and philosophy. Clarendon Press.

Hayles, N. K. (1999). How we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of Chicago Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hildebrandt, M. (2015). Smart technologies and the end(s) of law: Novel entanglements of law and technology. Edward Elgar.

Hildebrandt, M. (2020). Law for computer scientists and other folk. Oxford University Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.). MIT Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1991). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kantorowicz, E. H. (1957). The king’s two bodies: A study in mediaeval political theology. Princeton University Press.

Kelsen, H. (1945). General theory of law and state (A. Wedberg, Trans.). Harvard University Press.

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). University of California Press.

Kennedy, D. (1976). Form and substance in private law adjudication. Harvard Law Review, 89(8), 1685–1688.

Kennedy, D. (2002). The critique of rights in critical legal studies. In W. Brown & J. Halley (Eds.), Left legalism/left critique (pp. 178–182). Duke University Press.

Luhmann, N. (1995). Social systems (J. Bednarz Jr. & D. Baecker, Trans.). Stanford University Press.

Luhmann, N. (2004). Law as a social system (K. A. Ziegert, Trans.). Oxford University Press.

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist theory of the state. Harvard University Press.

Macpherson, C. B. (1962). The political theory of possessive individualism: Hobbes to Locke. Clarendon Press.

Maritain, J. (1947). The person and the common good (J. J. Fitzgerald, Trans.). University of Notre Dame Press.

Marx, K. (1976). Capital: Volume I (B. Fowkes, Trans.). Penguin.

Mayer-Schönberger, V., & Cukier, K. (2013). Big data: A revolution that will transform how we live, work, and think. Houghton Mifflin Harcourt.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Mutua, M. (2001). Savages, victims, and saviors: The metaphor of human rights. Harvard International Law Journal, 42(1), 201–205.

Nicholas, B. (1962). An introduction to Roman law. Clarendon Press.

Noddings, N. (1984). Caring: A feminine approach to ethics and moral education. University of California Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. Crown.

Pateman, C. (1988). The sexual contract. Stanford University Press.

Pasquale, F. (2015). The black box society: The secret algorithms that control money and information. Harvard University Press.

Phillips, A. (2010). Gender and culture. Polity Press.

Posner, R. (1973). Economic analysis of law. Little, Brown.

Radbruch, G. (1932). Rechtsphilosophie. Quelle & Meyer.

Radin, M. J. (1982). Property and personhood. Stanford Law Review, 34(5), 957–959.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ross, A. (1958). On law and justice. Stevens & Sons.

Rouvroy, A. (2013). The end(s) of critique: Data-behaviourism vs. due-process. In M. Hildebrandt & K. de Vries (Eds.), Privacy, due process and the computational turn (pp. 147–150). Routledge.

Ruggie, J. (2007). Business and human rights: The evolving international agenda. American Journal of International Law, 101(4), 831–834.

Said, E. W. (1993). Culture and imperialism. Vintage.

Sassen, S. (1996). Losing control? Sovereignty in an age of globalization. Columbia University Press.

Sassen, S. (2006). Territory, authority, rights: From medieval to global assemblages. Princeton University Press.

Savulescu, J., & Bostrom, N. (Eds.). (2009). Human enhancement. Oxford University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Solove, D. J. (2008). Understanding privacy. Harvard University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Teubner, G. (2006). Rights of non-humans? Electronic agents and animals as new actors in politics and law. Journal of Law and Society, 33(4), 497–521.

Teubner, G. (2015). Digital personhood? The emergence of autonomous actors in law. Zeitschrift für Rechtssoziologie, 35(1), 9–12.

Tamanaha, B. Z. (2004). On the rule of law: History, politics, theory. Cambridge University Press.

Tyler, T. R. (1990). Why people obey the law. Princeton University Press.

Unger, R. M. (1976). Law in modern society. Free Press.

Unger, R. M. (1986). The critical legal studies movement. Harvard University Press.

Watson, A. (1995). The spirit of Roman law. University of Georgia Press.

Weber, M. (1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Trans.). University of California Press.

West, R. (1988). Jurisprudence and gender. University of Chicago Law Review, 55(1), 1–6.

Wolfe, C. (2010). What is posthumanism? University of Minnesota Press.

Yeung, K. (2018). Algorithmic regulation: A critical interrogation. Regulation & Governance, 12(4), 505–509.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar