Sejarah Perkembangan Subjek Hukum
Dari Personifikasi Hukum Klasik Menuju Kepribadian
Hukum Modern
Alihkan ke: Subjek
Hukum.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif sejarah
perkembangan subjek hukum dari perspektif historis, ontologis,
epistemologis, aksiologis, serta melalui analisis sosial, politik, dan ilmiah
yang interdisipliner. Dalam konteks historis, pembahasan menelusuri
transformasi konsep persona dari tradisi hukum Romawi, teologi abad
pertengahan, hingga rasionalisme modern yang menempatkan individu sebagai pusat
sistem hukum. Secara ontologis, subjek hukum dipahami bukan sebagai entitas
statis, melainkan sebagai konstruksi relasional yang terbentuk melalui
interaksi sosial dan struktur normatif. Dari segi epistemologis, artikel ini
menyoroti pergeseran paradigma pengetahuan hukum dari positivisme normatif
menuju pendekatan hermeneutik dan kritis yang memandang hukum sebagai produk
komunikasi dan pengakuan timbal balik.
Dimensi aksiologis menegaskan bahwa konsep subjek
hukum mengandung nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, dan kemanusiaan yang
menjadi dasar moral bagi sistem hukum. Sementara itu, dimensi sosial, politik,
dan ekonomi menunjukkan bahwa hukum bukanlah sistem netral, melainkan arena
perjuangan sosial dan legitimasi kekuasaan yang menentukan siapa yang diakui
sebagai subjek hukum. Dalam konteks ilmiah dan interdisipliner, artikel ini
mengintegrasikan perspektif filsafat, sosiologi, antropologi, bioetika, dan
ilmu teknologi untuk memahami tantangan baru yang dihadapi konsep hukum di era
digital dan post-human.
Melalui kritik feminis, postkolonial, dan teori
kritis, artikel ini membongkar bias dalam paradigma klasik yang menempatkan
subjek hukum sebagai individu otonom dan rasional, sambil mengusulkan kerangka
baru berupa ontologi relasional subjek hukum. Dalam kerangka ini, manusia
dipahami sebagai makhluk yang eksistensinya dibentuk melalui hubungan sosial,
moral, ekologis, dan teknologi. Pada akhirnya, artikel ini menyimpulkan bahwa
hukum yang berkeadilan dan humanistik harus berakar pada paradigma integral—di
mana hukum tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pengaturan, tetapi juga
sebagai ruang etis untuk pengakuan dan tanggung jawab antar-subjek dalam dunia
yang semakin saling terhubung.
Kata Kunci: Subjek
hukum, ontologi relasional, humanisme hukum, tanggung jawab sosial,
post-humanisme, hukum digital, etika komunikasi, keadilan integral.
PEMBAHASAN
Bagaimana Konsep Subjek Hukum Berkembang secara Historis
dari Dunia Klasik hingga Modern?
1.
Pendahuluan
Konsep subjek hukum merupakan salah satu
pilar utama dalam filsafat hukum dan teori hukum modern, karena ia menentukan
siapa atau apa yang dapat menjadi pemegang hak dan kewajiban dalam sistem
hukum. Sejarah panjang peradaban manusia menunjukkan bahwa pengertian tentang
“siapa yang dapat menjadi subjek hukum” bukanlah sesuatu yang tetap dan
universal, melainkan hasil dari konstruksi sosial, politik, dan filosofis yang
berubah sesuai dengan konteks zamannya. Dalam hukum Romawi klasik, misalnya,
hanya warga negara tertentu yang diakui sebagai persona atau subjek
hukum penuh, sementara budak, perempuan, dan kelompok asing dikecualikan dari
status tersebut.¹ Evolusi konsep ini mencerminkan dinamika nilai dan kekuasaan
dalam masyarakat manusia—yakni bagaimana hukum berfungsi tidak hanya sebagai
mekanisme normatif, tetapi juga sebagai representasi dari struktur moral dan
ideologis suatu masa.
Secara historis, istilah persona dalam
bahasa Latin memiliki makna ganda: di satu sisi ia menunjuk pada topeng yang
dikenakan aktor di panggung teater, dan di sisi lain ia melambangkan peran
sosial dan identitas hukum seseorang.² Dengan demikian, sejak awal hukum telah
berurusan dengan persoalan representasi—bagaimana individu atau entitas “diperankan”
di hadapan hukum. Dalam konteks ini, subjek hukum bukan sekadar individu yang
bernafas, tetapi sebuah konstruksi simbolik yang menghubungkan eksistensi
manusia dengan tatanan normatif masyarakat.³ Perkembangan selanjutnya di abad
pertengahan memperlihatkan integrasi antara konsep hukum dan teologi: manusia
dipahami sebagai makhluk moral yang tunduk pada hukum Tuhan (lex divina),
sementara hukum positif hanyalah refleksi terbatas dari hukum moral yang lebih
tinggi.⁴
Pencerahan Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 membawa
pergeseran radikal terhadap pengertian subjek hukum. Rasionalisme dan
individualisme filosofis, sebagaimana terlihat dalam pemikiran René Descartes
dan Immanuel Kant, menegaskan otonomi manusia sebagai makhluk rasional yang
memiliki kebebasan moral dan hukum.⁵ Dengan demikian, subjek hukum bergeser
dari entitas yang ditentukan oleh status sosial menjadi individu yang
ditentukan oleh kapasitas rasional dan kehendak bebasnya. Di sinilah muncul
dasar bagi gagasan universal personhood, yaitu pengakuan terhadap semua
manusia sebagai subjek hukum yang setara di hadapan hukum. Namun, ideal ini
tidak terlepas dari kontradiksi: dalam praktik kolonial dan kapitalistik,
banyak kelompok manusia yang tetap dikecualikan dari perlakuan sebagai subjek
hukum sejati.⁶
Pada abad ke-19 hingga ke-20, industrialisasi dan
munculnya korporasi memunculkan bentuk baru subjek hukum: persona juridica
atau badan hukum. Entitas kolektif seperti perusahaan, lembaga, dan negara
diberi status hukum yang hampir setara dengan manusia.⁷ Fenomena ini
menimbulkan persoalan ontologis dan etis yang mendalam: apakah entitas
non-manusia dapat memiliki tanggung jawab moral? Apakah hukum dapat menisbatkan
kehendak dan kesadaran kepada sesuatu yang tidak hidup? Pertanyaan-pertanyaan
ini menjadi pusat perdebatan dalam filsafat hukum kontemporer, terutama ketika
konsep subjek hukum kini diperluas untuk mencakup kecerdasan buatan, algoritma,
dan bahkan ekosistem dalam hukum lingkungan.⁸
Dalam konteks globalisasi dan era digital,
relevansi kajian tentang sejarah perkembangan subjek hukum semakin signifikan.
Hukum kini dihadapkan pada tantangan baru: kehadiran aktor non-manusia yang
berperan dalam kehidupan sosial dan ekonomi, serta munculnya persoalan
identitas, privasi, dan tanggung jawab yang melampaui batas individu.⁹ Oleh
karena itu, studi tentang sejarah dan filsafat subjek hukum tidak hanya
bersifat retrospektif, tetapi juga prospektif—membuka ruang refleksi bagi
rekonstruksi paradigma hukum yang lebih humanistik, inklusif, dan relasional.
Kajian ini bertujuan menelusuri genealogi konsep subjek hukum dari masa klasik
hingga kontemporer, menguraikan dasar ontologis dan epistemologisnya, serta
meninjau nilai-nilai aksiologis yang mendasari pembentukannya. Melalui
pendekatan historis-filosofis dan interdisipliner, diharapkan pemahaman yang lebih
integral mengenai evolusi subjek hukum dapat dicapai, sehingga hukum tidak lagi
semata-mata menjadi mekanisme pengaturan, tetapi juga cermin dari martabat dan
tanggung jawab manusia di dalam masyarakat yang terus berubah.¹⁰
Footnotes
[1]
Alan Watson, The Spirit of Roman Law
(Athens, GA: University of Georgia Press, 1995), 27–29.
[2]
Harold J. Berman, Law and Revolution: The
Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1983), 92.
[3]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 33.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–I, Q.
90–94.
[5]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 45–47.
[6]
Antony Anghie, Imperialism, Sovereignty and the
Making of International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005),
59–63.
[7]
John Dewey, “The Historic Background of Corporate
Legal Personality,” Yale Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.
[8]
Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the
End(s) of Law: Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham:
Edward Elgar, 2015), 84–88.
[9]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the
Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press,
2014), 102–108.
[10]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 18–21.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Kajian historis tentang
konsep subjek
hukum memperlihatkan bahwa gagasan mengenai siapa yang diakui
sebagai entitas hukum tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui proses
evolusi panjang yang melibatkan perubahan sosial, politik, religius, dan
filosofis. Dalam konteks ini, genealogi subjek hukum dapat dipahami sebagai
perjalanan intelektual yang merefleksikan transformasi pandangan manusia
tentang dirinya sendiri dan relasinya dengan tatanan normatif masyarakat.¹
Sejak hukum Romawi dan Yunani Kuno hingga zaman modern, konsep persona
selalu berhubungan dengan struktur kekuasaan dan sistem nilai yang berlaku.
Dengan demikian, sejarah perkembangan subjek hukum bukan hanya sejarah norma,
tetapi juga sejarah ide dan kekuasaan yang membentuknya.
2.1.
Akar
Konseptual dalam Hukum Romawi dan Yunani Kuno
Dalam hukum Romawi,
istilah persona
menjadi dasar ontologis bagi penentuan siapa yang dapat menjadi subjek hukum.
Hanya individu yang memiliki status civis romanus yang diakui memiliki
hak dan kewajiban hukum penuh.² Kategori seperti servus (budak), peregrinus
(orang asing), dan infamia (orang tanpa kehormatan
hukum) dikecualikan dari status ini.³ Dalam konteks tersebut, hukum Romawi
tidak bersifat universal, melainkan berlapis sesuai kedudukan sosial. Di sisi
lain, filsafat Yunani melalui Aristoteles menempatkan manusia sebagai zoon
politikon, makhluk sosial yang hanya memperoleh aktualitas moral
dan hukum dalam polis.⁴ Dengan demikian, status hukum menjadi bagian dari
struktur politik dan etika komunitas, bukan hak yang melekat pada eksistensi
manusia secara individual.
Pemikiran Stoik kemudian
membawa perubahan penting: semua manusia dianggap memiliki logos
dan karenanya sederajat dalam hukum alam (lex naturalis).⁵ Gagasan ini kelak
menjadi benih bagi universalisasi konsep subjek hukum dalam tradisi hukum alam
dan hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, hukum Romawi tetap
mempertahankan hierarki sosial dan membatasi status hukum berdasarkan kelas dan
kewarganegaraan.⁶ Dualitas antara ideal rasional universal dan realitas
eksklusif ini menjadi pola dasar yang terus berulang dalam sejarah hukum Barat.
2.2.
Abad
Pertengahan dan Teologi Hukum
Pada abad
pertengahan, konsep subjek hukum mengalami teologisasi seiring dominasi ajaran
Kristen dalam kehidupan sosial dan politik Eropa. Gereja Katolik memandang
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki martabat moral, namun
tunduk pada tatanan hukum ilahi. Thomas Aquinas, dalam Summa
Theologica, menegaskan bahwa hukum manusia (lex
humana) hanya sah sejauh ia sejalan dengan hukum abadi (lex
aeterna).⁷ Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak berdiri otonom,
melainkan terikat secara moral dan spiritual pada kehendak ilahi.
Pada saat yang sama,
lembaga Gereja memperkenalkan konsep badan hukum (persona ficta) untuk mengatur
keberadaan komunitas religius seperti biara dan ordo.⁸ Konsep ini menjadi inovasi
besar dalam sejarah hukum karena memperluas pengertian subjek hukum dari
individu ke entitas kolektif.⁹ Dengan demikian, Abad Pertengahan menjadi masa
transisi dari personalisme hukum menuju formasi awal konsep legal
personhood yang lebih abstrak.
2.3.
Zaman
Modern Awal dan Rasionalisasi Hukum
Revolusi intelektual
pada masa Renaisans dan Pencerahan menandai lahirnya paradigma baru tentang
subjek hukum. René Descartes dengan cogito ergo sum-nya menegaskan
manusia sebagai pusat kesadaran dan rasionalitas.¹⁰ Hal ini menjadi dasar bagi
pengakuan terhadap individu sebagai subjek otonom yang berhak menentukan
nasibnya. Pemikiran John Locke tentang hak kodrati (natural rights)—hidup, kebebasan,
dan kepemilikan—mengubah hukum menjadi instrumen perlindungan terhadap
individu, bukan sekadar alat kekuasaan negara.¹¹
Perkembangan ini
menghasilkan dua konsekuensi besar. Pertama, hukum mulai diasosiasikan dengan
prinsip universalitas dan kesetaraan. Kedua, muncul individualisme hukum yang
menempatkan kebebasan pribadi sebagai nilai tertinggi.¹² Namun, dalam praktik
kolonialisme, prinsip-prinsip ini sering kali bersifat eksklusif: hanya
individu tertentu yang diakui sebagai subjek hukum universal, sementara
masyarakat kolonial ditempatkan sebagai objek hukum.¹³
2.4.
Kodifikasi
dan Institusionalisasi Konsep Subjek Hukum (Abad XIX–XX)
Abad ke-19 membawa
era kodifikasi besar seperti Code Civil Napoleon (1804) yang
memformalkan konsep subjek hukum dalam sistem hukum nasional.¹⁴ Subjek hukum
kini ditentukan secara positif melalui status hukum (usia, kewarganegaraan, dan
kapasitas hukum). Bersamaan dengan itu, munculnya badan hukum (juridical
person) memperluas entitas yang diakui oleh hukum menjadi meliputi
perusahaan, lembaga sosial, bahkan negara.¹⁵
Pemikiran Georg
Jellinek dan Hans Kelsen kemudian memperkuat pendekatan positivistik: subjek
hukum dipahami bukan berdasarkan moralitas, melainkan berdasarkan norma hukum
yang berlaku.¹⁶ Namun, pada abad ke-20, dengan munculnya perang dunia dan
pelanggaran hak asasi manusia yang masif, kembali muncul kritik terhadap
reduksi legalistik tersebut. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948
menandai kebangkitan kembali gagasan bahwa setiap manusia, tanpa diskriminasi,
merupakan subjek hukum internasional.¹⁷
Dengan demikian,
genealoginya memperlihatkan suatu gerak spiral: dari partikularisme Romawi
menuju universalisme moral, lalu kembali ke positivisme negara, dan kini menuju
paradigma baru yang lebih relasional dan global. Pemahaman historis ini
penting, karena ia mengungkap bahwa konsep subjek hukum selalu berada dalam
ketegangan antara kekuasaan dan martabat manusia, antara norma dan nilai, serta
antara struktur sosial dan kebebasan personal.¹⁸
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Society Must Be Defended, trans. David Macey
(New York: Picador, 2003), 89–91.
[2]
Alan Watson, The Spirit of Roman Law (Athens, GA: University
of Georgia Press, 1995), 27–30.
[3]
Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law (Oxford:
Clarendon Press, 1962), 54.
[4]
Aristotle, Politics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1932), 1253a.
[5]
Cicero, De Legibus, trans. Clinton Keyes (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1928), II.8–10.
[6]
Andrew Lewis, “The Roman Citizenship,” Past & Present 6,
no. 1 (1954): 3–7.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–I, Q. 93, a.1–2.
[8]
Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western
Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 214–217.
[9]
Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval
Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 243–247.
[10]
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress
(Indianapolis: Hackett, 1998), 32–34.
[11]
John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), 287–291.
[12]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne, 1789), 125.
[13]
Antony Anghie, Imperialism, Sovereignty and the Making of
International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 83–88.
[14]
Jean-Louis Halpérin, The French Civil Code (London: Routledge,
2012), 56–60.
[15]
John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale
Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.
[16]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 107–111.
[17]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New
York: UN, 1948), art. 6.
[18]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 38–41.
3.
Ontologi
Subjek Hukum
Pertanyaan ontologis
mengenai apa yang
dimaksud dengan subjek hukum menyentuh inti terdalam dari filsafat
hukum, karena ia berhubungan langsung dengan hakikat keberadaan manusia sebagai
entitas normatif dalam tatanan sosial. Ontologi subjek hukum tidak hanya
berbicara tentang siapa yang secara formal diakui oleh hukum,
melainkan juga bagaimana keberadaan seseorang atau sesuatu dipahami sebagai ada
di dalam dunia hukum.¹ Dengan demikian, pembahasan ini menuntut analisis
mengenai hakikat entitas hukum, relasinya dengan eksistensi manusia, serta
batas antara dimensi legal dan moral dari kepribadian hukum.
Dalam perspektif
klasik, subjek hukum dianggap identik dengan manusia sebagai individu rasional
yang memiliki kehendak bebas. Pandangan ini berakar pada tradisi filsafat
Yunani dan Romawi, diperkuat oleh teologi skolastik dan kemudian
dirasionalisasi oleh filsafat modern.² Namun, perkembangan sejarah
memperlihatkan bahwa pengertian ini mengalami ekspansi: hukum tidak lagi hanya
mengakui individu sebagai subjek, tetapi juga entitas kolektif seperti
korporasi, lembaga sosial, dan bahkan negara.³ Perluasan ini menimbulkan
pertanyaan ontologis mendalam: apakah entitas non-manusia benar-benar ada
sebagai subjek hukum, ataukah sekadar fiksi yuridis yang berguna bagi
kepentingan praktis hukum?
3.1.
Hakikat
Subjek Hukum: Antara Personifikasi dan Entitas Sosial
Secara ontologis,
subjek hukum adalah entitas yang diakui oleh sistem hukum sebagai pembawa
hak dan kewajiban.⁴ Dalam tradisi hukum kontinental, pengakuan ini
bersifat deklaratif, bukan konstitutif: hukum tidak menciptakan keberadaan
subjek, melainkan hanya menegaskan eksistensinya dalam ranah normatif.
Pandangan ini berpijak pada asumsi bahwa manusia telah memiliki martabat dan
kapasitas moral sebelum diakui oleh hukum.⁵ Sebaliknya, dalam positivisme
hukum, subjek hukum adalah hasil konstruksi sistem normatif; ia ada sejauh
ditetapkan oleh norma hukum yang berlaku.⁶
Di antara kedua
posisi ini muncul teori personifikasi, yang menyatakan bahwa subjek hukum
merupakan fiksi
rasional yang memungkinkan hukum berfungsi secara sistematis.⁷ Otto
von Gierke dan Georg Jellinek, misalnya, menekankan bahwa hukum membutuhkan
konsep “persona” untuk mengatur hubungan antara individu dan komunitas.⁸
Personifikasi ini bukan berarti penyamaran realitas, tetapi cara hukum
memberikan bentuk pada relasi sosial. Dalam kerangka ini, subjek hukum tidak
selalu identik dengan individu, melainkan setiap entitas yang diakui memiliki agensi
normatif dalam struktur hukum.
3.2.
Relasi
antara Eksistensi Manusia dan Status Hukum
Dari perspektif
fenomenologis, eksistensi manusia mendahului status hukumnya; manusia ada
terlebih dahulu sebagai makhluk yang hidup, berinteraksi, dan bermakna sebelum
memperoleh pengakuan formal.⁹ Namun, dalam konteks sosial, keberadaan seseorang
sebagai “subjek hukum” baru diaktualisasikan melalui sistem simbolik dan
institusional hukum.¹⁰ Hal ini menunjukkan adanya dialektika antara being
dan recognition:
manusia sebagai makhluk eksistensial tidak otomatis menjadi subjek hukum tanpa
pengakuan sosial yang dilembagakan.¹¹
Hannah Arendt
menggambarkan hal ini melalui konsep the right to have rights—hak untuk
diakui sebagai pembawa hak.¹² Tanpa pengakuan hukum, eksistensi manusia
kehilangan makna publiknya, sebagaimana terjadi pada para pengungsi dan
kelompok marjinal yang “tidak memiliki tempat di dunia.”¹³ Dengan
demikian, ontologi subjek hukum mengandung aspek intersubjektif: keberadaan
hukum tidak hanya menegaskan “ada”-nya individu, tetapi juga
mengandaikan adanya pengakuan timbal balik antar manusia dalam komunitas hukum.
3.3.
Evolusi
dari Persona Fisik ke Persona Yuridik
Perkembangan
selanjutnya menunjukkan pergeseran dari konsep persona fisik ke persona
yuridik.¹⁴ Dalam hukum Romawi, hanya manusia yang dapat menjadi persona,
sedangkan entitas lain dianggap tidak memiliki kapasitas hukum. Namun, sejak
Abad Pertengahan, Gereja dan korporasi mulai diakui sebagai “orang hukum”
(personae
morales) yang memiliki hak dan tanggung jawab terpisah dari
anggota-anggotanya.¹⁵ Konsep ini kemudian diadopsi dalam sistem hukum modern
untuk memungkinkan keberlangsungan entitas sosial secara mandiri.
Hans Kelsen menolak
pandangan realistis terhadap badan hukum dan menegaskan bahwa persona
yuridik hanyalah pusat imputasi tanggung jawab dalam sistem
norma.¹⁶ Artinya, keberadaan badan hukum bukan entitas faktual, melainkan
posisi normatif yang ditetapkan oleh hukum untuk mengaitkan perbuatan dengan
konsekuensi hukum tertentu. Pandangan ini, meskipun konsisten secara logis,
menimbulkan pertanyaan moral: dapatkah hukum memisahkan sepenuhnya tanggung
jawab moral individu dari entitas kolektif yang mereka bentuk?¹⁷
3.4.
Kritik
terhadap Esensialisme dan Munculnya Paradigma Relasional
Ontologi klasik yang
menekankan kesatuan antara subjek dan kesadaran individu kini banyak dikritik
sebagai bentuk esensialisme yang gagal menangkap kompleksitas sosial
kontemporer. Pemikir seperti Michel Foucault dan Judith Butler menolak gagasan
bahwa subjek adalah entitas otonom yang telah ada sebelumnya; sebaliknya,
subjek terbentuk melalui jaringan relasi kekuasaan, bahasa, dan norma.¹⁸ Dalam
kerangka ini, subjek hukum dipahami bukan sebagai entity, tetapi sebagai position
within discourse—sebuah posisi dalam tatanan simbolik yang
memungkinkan seseorang berbicara dan bertindak di hadapan hukum.¹⁹
Pendekatan
relasional ini memiliki implikasi penting: subjek hukum tidak lagi dipandang
sebagai individu yang terisolasi, melainkan sebagai hasil interaksi sosial yang
dinamis.²⁰ Konsep relational personhood yang
berkembang dalam etika feminis dan hukum lingkungan, misalnya, menekankan
keterhubungan manusia dengan komunitas dan ekosistemnya.²¹ Dengan demikian,
ontologi subjek hukum tidak bersifat statis atau tertutup, melainkan terbuka
terhadap kemungkinan redefinisi sesuai perubahan moral dan sosial.²²
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 117–119.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford:
Clarendon Press, 1925), 1111a–1113b.
[3]
Otto von Gierke, Political Theories of the Middle Age, trans.
F.W. Maitland (Cambridge: Cambridge University Press, 1900), 35–38.
[4]
H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press,
1961), 79–83.
[5]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 41–44.
[6]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 7–9.
[7]
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London:
John Murray, 1832), 99–101.
[8]
Georg Jellinek, System der subjektiven öffentlichen Rechte
(Freiburg: Mohr, 1892), 14–17.
[9]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–71.
[10]
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of
Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995),
110–112.
[11]
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 29–31.
[12]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt, 1951), 296.
[13]
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and
Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 25–28.
[14]
Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law (Oxford:
Clarendon Press, 1962), 79.
[15]
Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval
Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 243–247.
[16]
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, trans. Anders
Wedberg (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945), 92.
[17]
Peter French, Collective and Corporate Responsibility (New
York: Columbia University Press, 1984), 11–14.
[18]
Michel Foucault, The Subject and Power, in Michel
Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, ed. Hubert Dreyfus and
Paul Rabinow (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 208–210.
[19]
Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection
(Stanford: Stanford University Press, 1997), 10–12.
[20]
Margaret Jane Radin, “Property and Personhood,” Stanford Law Review
34, no. 5 (1982): 957–959.
[21]
Robin West, “Jurisprudence and Gender,” University of Chicago Law
Review 55, no. 1 (1988): 1–6.
[22]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 35–38.
4.
Epistemologi
Subjek Hukum
Pertanyaan
epistemologis tentang bagaimana kita mengetahui dan memahami subjek
hukum menyoroti dimensi reflektif dari hukum sebagai ilmu dan
praktik sosial. Epistemologi subjek hukum berkaitan dengan cara pengetahuan
hukum dibentuk, disahkan, dan diterapkan dalam menentukan siapa yang diakui
sebagai pembawa hak dan kewajiban.¹ Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya
menyangkut sumber dan metode pengetahuan hukum, tetapi juga relasi antara
pengetahuan, kekuasaan, dan pengakuan. Sejarah hukum menunjukkan bahwa
pemahaman tentang subjek hukum selalu merupakan hasil dari konfigurasi
epistemik tertentu—yakni cara berpikir dan menalar yang didukung oleh struktur
sosial dan ideologis suatu masa.²
Dalam perspektif
filsafat hukum, epistemologi subjek hukum beroperasi di antara dua kutub:
positivisme legal yang menekankan otonomi hukum sebagai sistem rasional, dan
pendekatan interpretatif yang melihat hukum sebagai konstruksi sosial yang
dinamis.³ Dari perdebatan ini muncul persoalan mendasar: apakah subjek hukum
dapat diketahui secara objektif sebagai entitas tetap, ataukah ia merupakan
hasil konstruksi diskursif yang terus berubah sesuai konteks sosial dan
historis?
4.1.
Pengetahuan
Hukum dalam Tradisi Positivistik
Dalam tradisi
positivisme hukum yang dirintis oleh John Austin dan diperkokoh oleh Hans
Kelsen, pengetahuan tentang subjek hukum bersifat deduktif dan formalistik.⁴
Hukum dipandang sebagai sistem norma yang otonom dan tertutup terhadap pengaruh
moral atau politik. Subjek hukum, dalam kerangka ini, adalah entitas yang
ditetapkan oleh norma tertinggi (Grundnorm) dan tidak memerlukan
dasar metafisik di luar sistem hukum itu sendiri.⁵
Epistemologi semacam
ini menekankan kepastian (certainty) dan rasionalitas logis
dalam mendefinisikan status hukum individu maupun badan hukum.⁶ Dengan
mengandaikan netralitas pengetahuan hukum, positivisme berupaya menjadikan
hukum sebagai science of law yang bebas nilai.⁷
Namun, klaim netralitas tersebut dikritik karena mengabaikan fakta bahwa setiap
sistem hukum beroperasi dalam konteks sosial dan ideologis tertentu.⁸ Dalam
praktiknya, positivisme sering kali justru memperkuat status quo dengan
menormalkan ketimpangan kekuasaan yang mendasari pembentukan hukum itu sendiri.⁹
4.2.
Pergeseran
ke Pendekatan Hermeneutis dan Konstruktivis
Kritik terhadap
positivisme hukum memunculkan paradigma baru yang berakar pada hermeneutika
filosofis dan konstruktivisme sosial. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa
pemahaman hukum selalu bersifat interpretatif, bergantung pada pra-pemahaman
(Vorverständnis) dan konteks historis penafsir.¹⁰ Dalam kerangka ini, subjek
hukum bukanlah entitas yang diketahui secara objektif, melainkan hasil
interpretasi yang terjadi di antara teks hukum, pelaku hukum, dan masyarakat.¹¹
Epistemologi
hermeneutis membuka ruang bagi dialog antara norma dan pengalaman hidup,
sehingga makna subjek hukum dapat direkonstruksi secara kontekstual.¹²
Pendekatan ini juga diadopsi oleh teori kritis (Habermas, Ricoeur) yang
menempatkan komunikasi dan rasionalitas intersubjektif sebagai dasar
pembentukan pengetahuan hukum.¹³ Hukum tidak lagi dipahami hanya sebagai sistem
norma, melainkan sebagai proses diskursif yang bergantung pada partisipasi dan
pengakuan bersama.¹⁴ Dengan demikian, pengetahuan tentang subjek hukum bersifat
dinamis—selalu dapat dikoreksi melalui dialog rasional dan praksis sosial.
4.3.
Rasionalitas,
Kekuasaan, dan Pembentukan Pengetahuan Hukum
Michel Foucault
memperluas epistemologi hukum dengan mengungkap keterkaitan antara pengetahuan
(savoir)
dan kekuasaan (pouvoir).¹⁵ Dalam perspektifnya,
hukum tidak sekadar mencerminkan pengetahuan yang netral, melainkan juga
menjadi mekanisme produksi subjek melalui praktik diskursif.¹⁶ Subjek hukum
dalam hal ini adalah hasil dari regime of truth—yaitu seperangkat
wacana, institusi, dan praktik yang menentukan siapa yang diakui sebagai
“subjek sah” dan siapa yang tidak.¹⁷
Epistemologi hukum
modern, menurut Foucault, bekerja melalui disciplinary power yang
menormalisasi perilaku dan mengontrol tubuh sosial.¹⁸ Contohnya, sistem
peradilan pidana tidak hanya mengatur pelanggaran hukum, tetapi juga membentuk
kategori seperti “pelaku,” “korban,” atau “warga negara baik.”¹⁹
Dalam konteks ini, pengetahuan hukum berfungsi ganda: sebagai sarana
rasionalisasi sosial sekaligus instrumen pengendalian normatif.
Dengan demikian,
epistemologi subjek hukum tidak dapat dilepaskan dari analisis kekuasaan.
Hukum, sebagaimana pengetahuan ilmiah lainnya, memiliki struktur ideologis yang
menentukan apa yang dianggap sah, benar, dan rasional.²⁰ Oleh sebab itu, setiap
upaya memahami subjek hukum memerlukan refleksi kritis terhadap basis epistemik
yang menopang legitimasi hukum itu sendiri.
4.4.
Kritik
terhadap Reduksionisme Legalistik dan Positivisme Epistemik
Pendekatan
positivistik terhadap subjek hukum sering dikritik karena mereduksi
kompleksitas manusia menjadi sekadar objek pengaturan normatif.²¹ Pandangan ini
cenderung mengabaikan dimensi moral, eksistensial, dan relasional dari
keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan tanggung
jawab.²²
Epistemologi kritis,
sebagaimana dikembangkan oleh Jürgen Habermas, menawarkan jalan tengah antara
rasionalitas formal dan praksis sosial.²³ Ia menegaskan bahwa pengetahuan hukum
harus dibangun di atas rasionalitas komunikatif—yakni kemampuan aktor sosial
untuk mencapai kesepahaman melalui diskursus bebas dominasi.²⁴ Dalam kerangka
ini, subjek hukum tidak lagi sekadar objek hukum, melainkan peserta aktif dalam
pembentukan makna dan legitimasi hukum.²⁵
Pendekatan ini
memungkinkan pembentukan epistemologi hukum yang lebih humanistik: hukum tidak
lagi hanya mengenali subjek sebagai entitas normatif, tetapi juga sebagai
pribadi yang hidup dalam konteks sosial dan moral tertentu.²⁶ Dengan demikian,
epistemologi subjek hukum yang terbuka, reflektif, dan dialogis menjadi
prasyarat bagi terwujudnya tatanan hukum yang adil, inklusif, dan demokratis.²⁷
Footnotes
[1]
Alf Ross, On Law and Justice (London: Stevens & Sons,
1958), 18–20.
[2]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 131–133.
[3]
Norberto Bobbio, Teoria della Scienza Giuridica (Turin:
Giappichelli, 1950), 45–48.
[4]
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (London:
John Murray, 1832), 99–102.
[5]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 4–8.
[6]
H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press,
1961), 84–88.
[7]
Herbert L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy
(Oxford: Clarendon Press, 1983), 21–25.
[8]
Duncan Kennedy, “Form and Substance in Private Law Adjudication,” Harvard
Law Review 89, no. 8 (1976): 1685–1688.
[9]
Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society (New York:
Free Press, 1976), 102–104.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–272.
[11]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II,
trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University
Press, 1991), 73–76.
[12]
Josef Esser, Vorverständnis und Methodenwahl in der Rechtsfindung
(Frankfurt am Main: Athenäum, 1970), 58–61.
[13]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 100–104.
[14]
Robert Alexy, A Theory of Legal Argumentation, trans. Ruth
Adler and Neil MacCormick (Oxford: Clarendon Press, 1989), 31–33.
[15]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
97–99.
[16]
Ibid., 104–107.
[17]
Ibid., 115–118.
[18]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1977), 135–140.
[19]
Ibid., 202–205.
[20]
Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the
Juridical Field, trans. Richard Terdiman (Hastings Law Journal 38, no. 5
[1987]): 838–841.
[21]
Joseph Raz, The Authority of Law (Oxford: Clarendon Press,
1979), 14–17.
[22]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–21.
[23]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.
[24]
Ibid., 293–297.
[25]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and
Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 89–91.
[26]
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 15–18.
[27]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 118–121.
5.
Aksiologi:
Nilai dan Tujuan dari Konsep Subjek Hukum
Kajian aksiologis terhadap
konsep subjek
hukum berfokus pada nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan sosial yang
mendasari pengakuan terhadap seseorang atau sesuatu sebagai entitas hukum. Jika
ontologi menelaah apa itu subjek hukum, dan
epistemologi membahas bagaimana ia diketahui, maka
aksiologi mempertanyakan untuk apa pengakuan itu
diberikan—yakni nilai dan tujuan yang hendak dicapai oleh sistem hukum dalam
memperlakukan entitas tertentu sebagai subjek hukum.¹ Dengan kata lain, dimensi
aksiologis membuka ruang untuk menilai bukan hanya keberadaan subjek hukum
secara deskriptif, tetapi juga secara normatif: apakah hukum telah mewujudkan
nilai-nilai keadilan, kebebasan, tanggung jawab, dan kemanusiaan melalui konsep
tersebut.²
Secara historis,
nilai-nilai yang terkandung dalam konsep subjek hukum merefleksikan pandangan
masyarakat tentang martabat manusia (dignitas humana) dan relasi sosial
yang diinginkan.³ Dalam tradisi hukum Barat modern, misalnya, pengakuan
terhadap individu sebagai subjek hukum sering dikaitkan dengan prinsip kebebasan
dan otonomi rasional yang diwarisi dari filsafat Pencerahan.⁴ Namun, dalam
konteks kontemporer, muncul kesadaran bahwa pengakuan hukum tidak boleh
berhenti pada individu otonom semata, melainkan juga harus mencakup entitas
sosial, ekologis, dan teknologi yang turut membentuk kehidupan manusia.⁵ Dengan
demikian, aksiologi subjek hukum harus dipahami secara dinamis—tidak hanya
mengafirmasi hak, tetapi juga menuntut tanggung jawab moral dan solidaritas
sosial.⁶
5.1.
Nilai-Nilai
Keadilan, Tanggung Jawab, dan Kebebasan
Nilai keadilan
merupakan inti dari aksiologi hukum dan menjadi dasar pengakuan terhadap subjek
hukum. Dalam tradisi Aristotelian, keadilan dipahami sebagai memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (suum
cuique tribuere).⁷ Dengan demikian, konsep subjek hukum muncul
sebagai mekanisme normatif untuk memastikan distribusi hak dan kewajiban secara
proporsional. Keadilan tidak dapat diwujudkan tanpa adanya entitas yang diakui
sebagai pemegang hak dan tanggung jawab hukum.
Kebebasan juga
menjadi unsur aksiologis yang penting. Dalam pandangan Immanuel Kant, kebebasan
adalah prasyarat moralitas; manusia diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya
sendiri, bukan alat bagi tujuan lain.⁸ Oleh karena itu, pengakuan terhadap
individu sebagai subjek hukum menandakan pengakuan terhadap otonomi moralnya.
Namun, kebebasan tanpa tanggung jawab dapat melahirkan ketimpangan sosial.
Karena itu, aksiologi subjek hukum harus menyeimbangkan antara hak untuk
bertindak bebas dan kewajiban untuk tidak merugikan orang lain.⁹ John Rawls
menegaskan bahwa keadilan menuntut prinsip fair equality of opportunity, yang
hanya dapat terwujud jika subjek hukum diperlakukan secara setara dalam
kerangka kelembagaan yang adil.¹⁰
5.2.
Etika
Relasional: Dari Hak Menuju Tanggung Jawab Sosial
Paradigma aksiologis
yang lebih mutakhir menekankan dimensi relasional subjek hukum. Emmanuel
Levinas mengajukan kritik terhadap etika otonomi dan menggantikannya dengan
etika tanggung jawab terhadap yang Lain (autrui).¹¹
Dalam kerangka ini, pengakuan hukum terhadap seseorang sebagai subjek tidak
hanya berarti pemberian hak, tetapi juga peneguhan tanggung jawabnya terhadap
orang lain. Hukum, dengan demikian, bukan sekadar sistem pengaturan formal, melainkan
medium etis untuk menjamin koeksistensi manusia secara adil dan damai.¹²
Konsep tanggung
jawab sosial juga mengubah orientasi hukum dari individualistik menjadi
solidaristik. Karl Marx dan Émile Durkheim, meskipun berbeda secara ideologis,
sama-sama melihat bahwa relasi sosial memiliki nilai etis yang melekat dalam
struktur hukum.¹³ Dalam konteks kontemporer, gagasan ini berkembang menjadi
konsep corporate
social responsibility dan human rights due diligence, di mana
subjek hukum korporasi tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memikul
tanggung jawab etis terhadap masyarakat dan lingkungan.¹⁴ Dengan demikian,
nilai-nilai aksiologis subjek hukum meluas dari moralitas individual ke etika
sosial yang integral.¹⁵
5.3.
Dimensi
Moral dan Kemanusiaan dalam Personifikasi Hukum
Sejak Abad
Pertengahan, konsep persona dalam hukum tidak hanya
bersifat teknis, tetapi juga memiliki dimensi moral dan teologis. Gereja,
melalui gagasan persona ficta, mengakui bahwa
komunitas religius memiliki nilai moral yang melekat, sekalipun tidak memiliki
eksistensi fisik.¹⁶ Dalam perkembangan modern, pandangan ini mengilhami konsep
badan hukum (juridical person) yang dapat
bertindak secara moral dalam konteks hukum. Namun, persoalannya adalah sejauh
mana entitas non-manusia dapat dimaknai sebagai subjek moral.¹⁷
Aksiologi hukum di
sini menuntut pembacaan yang lebih luas terhadap “kemanusiaan” itu
sendiri. Jacques Maritain, tokoh personalisme modern, menegaskan bahwa hukum
harus berpijak pada penghormatan terhadap martabat manusia sebagai makhluk
spiritual dan sosial.¹⁸ Personifikasi hukum, dengan demikian, bukan sekadar
fiksi yuridis, tetapi ekspresi dari pengakuan terhadap nilai intrinsik
kehidupan manusia dan entitas sosial yang menopangnya.¹⁹ Dalam konteks ini,
nilai kemanusiaan menjadi dasar moral yang mengarahkan hukum agar tidak sekadar
beroperasi secara formal, tetapi juga secara etis.²⁰
5.4.
Relevansi
Nilai Humanistik dalam Reformasi Hukum Kontemporer
Dalam masyarakat
global yang diwarnai kemajuan teknologi dan kompleksitas sosial, nilai-nilai
humanistik dalam konsep subjek hukum memperoleh relevansi baru. Fenomena
seperti kecerdasan buatan, hak digital, dan bioetika memunculkan pertanyaan
mengenai batas-batas subjek hukum: apakah robot, sistem algoritmik, atau bahkan
lingkungan alam dapat diakui sebagai subjek hukum?²¹ Pertanyaan ini bukan
semata teknis, melainkan aksiologis—menyangkut nilai-nilai apa yang hendak
dijaga oleh hukum di tengah perubahan paradigma eksistensial manusia.
Humanisme hukum
menuntut agar setiap perluasan atau redefinisi subjek hukum berakar pada
prinsip martabat dan tanggung jawab.²² Martha Nussbaum mengusulkan pendekatan capability
approach, yaitu bahwa pengakuan hukum harus menjamin kemampuan
dasar setiap individu untuk hidup bermartabat.²³ Dalam kerangka ini, hukum
menjadi sarana aktualisasi nilai kemanusiaan, bukan sekadar sistem pengendalian
sosial.²⁴ Dengan demikian, tujuan akhir dari konsep subjek hukum bukan hanya
untuk menentukan siapa yang “memiliki hak,” tetapi juga untuk memastikan
bahwa hukum benar-benar memelihara kehidupan yang adil, bermoral, dan
manusiawi.²⁵
Footnotes
[1]
Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (Leipzig: Quelle &
Meyer, 1932), 104–107.
[2]
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University
Press, 1969), 33–36.
[3]
Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western
Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 215.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 45–47.
[5]
Mireille Hildebrandt, Law for Computer Scientists and Other Folk
(Oxford: Oxford University Press, 2020), 16–18.
[6]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 106–109.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W.D. Ross (Oxford:
Clarendon Press, 1925), 1130a–1131b.
[8]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 65.
[9]
Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon
Press, 1969), 118–120.
[10]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 53–55.
[11]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 201–203.
[12]
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 47–49.
[13]
Émile Durkheim, The Division of Labour in Society, trans. W.D.
Halls (New York: Free Press, 1984), 55–57.
[14]
Andreas Georg Scherer and Guido Palazzo, “The New Political Role of
Business in a Globalized World,” Journal of Management Studies 48, no.
4 (2011): 899–901.
[15]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 114–117.
[16]
Ernst H. Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval
Political Theology (Princeton: Princeton University Press, 1957), 243–246.
[17]
Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New
York: Columbia University Press, 1984), 20–22.
[18]
Jacques Maritain, The Person and the Common Good, trans. John
J. Fitzgerald (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1947), 12–15.
[19]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 321–324.
[20]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–22.
[21]
David J. Gunkel, Robot Rights (Cambridge, MA: MIT Press,
2018), 3–6.
[22]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 45–48.
[23]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 24–26.
[24]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 52–54.
[25]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 30–32.
6.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Ekonomi
Konsep subjek
hukum tidak dapat dipahami hanya dalam ranah normatif atau
filosofis yang abstrak; ia selalu beroperasi dalam konteks sosial, politik, dan
ekonomi yang konkret. Keberadaan seseorang atau sesuatu sebagai subjek hukum
senantiasa dipengaruhi oleh struktur kekuasaan, distribusi sumber daya, dan
tatanan sosial yang berlaku dalam masyarakat.¹ Oleh karena itu, dimensi ini
mengungkap bahwa hukum bukan sekadar sistem rasional yang netral, melainkan
juga arena kontestasi sosial yang merefleksikan relasi dominasi dan perjuangan
untuk pengakuan.²
Dari perspektif
sosiologis, konsep subjek hukum merupakan refleksi dari bagaimana masyarakat
mengorganisasi dan melegitimasi status individu dalam sistem sosial.³ Dalam
masyarakat tradisional, pengakuan terhadap subjek hukum biasanya bergantung
pada status sosial, agama, atau hierarki kekuasaan, sedangkan dalam masyarakat
modern, pengakuan itu didasarkan pada prinsip kesetaraan formal.⁴ Namun,
kesetaraan hukum sering kali bersifat simbolik, karena akses terhadap keadilan
tetap ditentukan oleh faktor ekonomi, politik, dan kultural.⁵
6.1.
Subjek
Hukum dalam Struktur Kekuasaan dan Kepemilikan
Hubungan antara
hukum dan kekuasaan merupakan titik sentral dalam memahami pembentukan subjek
hukum. Michel Foucault berpendapat bahwa hukum adalah bagian dari mekanisme disciplinary
power—ia tidak hanya menata perilaku, tetapi juga memproduksi
bentuk-bentuk subjek yang sesuai dengan norma sosial dominan.⁶ Dalam kerangka
ini, subjek hukum bukanlah entitas bebas, melainkan hasil internalisasi
kekuasaan melalui wacana hukum, pendidikan, dan praktik administrasi.⁷
Dalam masyarakat
kapitalistik modern, relasi hukum juga berkaitan erat dengan kepemilikan (property).
Sejak John Locke mengaitkan hak milik dengan kerja dan rasionalitas individu,
hukum mulai berfungsi sebagai sarana legitimasi kepemilikan pribadi.⁸
Akibatnya, subjek hukum diidentifikasi dengan pemilik: mereka yang memiliki
properti, modal, atau kapasitas ekonomi memperoleh status hukum yang lebih kuat
dibandingkan kelompok tanpa kepemilikan.⁹ Karl Marx kemudian menyoroti hal ini
sebagai bentuk alienasi hukum, di mana hukum formal hanya memperkuat relasi
produksi kapitalis dan meneguhkan dominasi kelas borjuis atas proletariat.¹⁰
6.2.
Peran
Hukum dalam Melindungi Individu dan Kelompok Lemah
Meskipun hukum dapat
menjadi instrumen kekuasaan, ia juga memiliki potensi emansipatoris.
Epistemologi kritis dan teori keadilan sosial menekankan peran hukum dalam
melindungi individu dan kelompok marjinal.¹¹ Sejak munculnya rule of
law modern, hukum diharapkan berfungsi sebagai mekanisme korektif
terhadap ketimpangan sosial dan politik.¹²
Dalam kerangka ini,
subjek hukum tidak lagi dipahami semata sebagai pemegang hak, tetapi juga
sebagai pihak yang berhak atas perlindungan aktif dari negara.¹³ Contohnya
adalah pengakuan terhadap hak-hak minoritas, pekerja, penyandang disabilitas,
dan kelompok adat yang sebelumnya tidak diakui dalam sistem hukum formal.¹⁴
Upaya ini menunjukkan bahwa dimensi sosial dari subjek hukum tidak dapat
dilepaskan dari perjuangan untuk legal empowerment—yakni proses
pemberdayaan hukum bagi kelompok yang terpinggirkan.¹⁵
Pemikiran Amartya
Sen memperkuat gagasan ini dengan menekankan bahwa keadilan hukum tidak hanya
diukur dari norma yang tertulis, tetapi dari kemampuan nyata individu untuk
menikmati hak-haknya.¹⁶ Maka, aksi hukum yang sejati menuntut transformasi
sosial yang menjadikan hukum sebagai sarana keberdayaan manusia, bukan sekadar
perangkat administratif.¹⁷
6.3.
Subjek
Hukum Korporasi: Antara Alat Ekonomi dan Entitas Moral
Perkembangan
kapitalisme global pada abad ke-19 hingga ke-21 memperluas cakupan konsep
subjek hukum melalui pengakuan terhadap korporasi sebagai persona
juridica.¹⁸ Di satu sisi, hal ini memungkinkan kegiatan ekonomi
berskala besar dan keberlanjutan institusional; di sisi lain, ia menimbulkan
persoalan etis dan politik yang kompleks.¹⁹ Sebagai subjek hukum, korporasi
memiliki hak untuk memiliki aset, membuat kontrak, dan menggugat di pengadilan—namun
pertanyaannya adalah, sejauh mana entitas tersebut memiliki tanggung jawab
moral sebagaimana manusia?²⁰
Peter French
berpendapat bahwa korporasi dapat dianggap sebagai agen moral kolektif karena
memiliki struktur pengambilan keputusan yang otonom dan kapasitas untuk
bertindak.²¹ Namun, kritik terhadap konsep ini muncul karena korporasi sering
kali menggunakan status hukum mereka untuk menghindari tanggung jawab etis dan
sosial.²² Dalam konteks globalisasi ekonomi, korporasi multinasional bahkan
mampu mempengaruhi kebijakan negara, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan
antara subjek hukum individu dan subjek hukum institusional.²³
Oleh karena itu,
reformasi hukum kontemporer menuntut redefinisi subjek hukum korporasi agar
selaras dengan nilai keadilan sosial.²⁴ Pendekatan seperti corporate
social responsibility (CSR) dan business and human rights
menunjukkan upaya untuk mengembalikan fungsi etis hukum dalam mengatur
kekuasaan ekonomi.²⁵ Dengan demikian, pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek
hukum tidak boleh dilepaskan dari kewajiban moralnya terhadap masyarakat dan
lingkungan.²⁶
6.4.
Pengaruh
Globalisasi dan Kapitalisme terhadap Konsep Tanggung Jawab Hukum
Globalisasi ekonomi
telah mengubah lanskap hukum internasional dan memunculkan bentuk-bentuk baru
subjek hukum lintas negara, seperti organisasi internasional, perusahaan
multinasional, dan bahkan individu global.²⁷ Dalam sistem hukum global ini,
relasi antara hak, kewajiban, dan tanggung jawab mengalami rekonfigurasi. Hukum
tidak lagi hanya menjadi urusan negara, tetapi menjadi arena transnasional yang
mempertemukan kepentingan publik dan privat.²⁸
Saskia Sassen
menegaskan bahwa globalisasi menciptakan denationalized legal orders, di
mana subjek hukum tidak lagi ditentukan oleh kedaulatan negara, tetapi oleh
kekuatan pasar global dan jaringan teknologi.²⁹ Akibatnya, muncul kesenjangan
tanggung jawab: entitas ekonomi raksasa dapat memanfaatkan status hukum
internasional untuk menghindari kewajiban sosial, sementara individu tetap
tunduk pada kontrol hukum nasional.³⁰
Fenomena ini
menuntut pembentukan etika hukum global yang berorientasi pada keadilan
distributif dan tanggung jawab ekologis.³¹ Anthony Giddens menyebut hal ini
sebagai reflexive
modernity—suatu kondisi di mana masyarakat hukum harus mampu
menilai kembali dampak sosial dari sistem yang diciptakannya sendiri.³² Dalam
konteks ini, subjek hukum yang bertanggung jawab tidak hanya harus tunduk pada
norma hukum positif, tetapi juga memiliki kesadaran moral terhadap konsekuensi
global dari tindakannya.³³
Footnotes
[1]
Émile Durkheim, The Division of Labour in Society, trans. W.D.
Halls (New York: Free Press, 1984), 55–58.
[2]
Pierre Bourdieu, The Force of Law: Toward a Sociology of the
Juridical Field, trans. Richard Terdiman, Hastings Law Journal
38, no. 5 (1987): 838–841.
[3]
Max Weber, Economy and Society, trans. Guenther Roth and Claus
Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 311–314.
[4]
Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western
Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1983), 217–219.
[5]
Duncan Kennedy, “Legal Education and the Reproduction of Hierarchy,” Journal
of Legal Education 32, no. 4 (1982): 591–595.
[6]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1977), 135–140.
[7]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–100.
[8]
John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), 287–291.
[9]
C.B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Clarendon Press, 1962), 197–201.
[10]
Karl Marx, Capital: Volume I, trans. Ben Fowkes (London:
Penguin, 1976), 873–875.
[11]
Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society (New York:
Free Press, 1976), 104–106.
[12]
Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law: History, Politics, Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 102–105.
[13]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1986), 98–101.
[14]
Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science
and Politics in the Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995),
212–215.
[15]
Stephen Golub, “Beyond Rule of Law Orthodoxy: The Legal Empowerment
Alternative,” Carnegie Endowment for International Peace Working Paper
no. 41 (2003): 3–5.
[16]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 36–39.
[17]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 42–45.
[18]
John Dewey, “The Historic Background of Corporate Legal Personality,” Yale
Law Journal 35, no. 6 (1926): 655–673.
[19]
Joel Bakan, The Corporation: The Pathological Pursuit of Profit and
Power (New York: Free Press, 2004), 60–64.
[20]
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, trans. Anders
Wedberg (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945), 94.
[21]
Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New
York: Columbia University Press, 1984), 9–11.
[22]
John Ruggie, “Business and Human Rights: The Evolving International
Agenda,” American Journal of International Law 101, no. 4 (2007):
831–834.
[23]
Saskia Sassen, Losing Control? Sovereignty in an Age of
Globalization (New York: Columbia University Press, 1996), 56–60.
[24]
Andreas G. Scherer and Guido Palazzo, “Toward a Political Conception of
Corporate Responsibility,” Business Ethics Quarterly 13, no. 4 (2007):
110–113.
[25]
Surya Deva and David Bilchitz, eds., Human Rights Obligations of
Business: Beyond the Corporate Responsibility to Respect? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2013), 27–30.
[26]
Iris Marion Young, Responsibility for Justice (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 87–90.
[27]
David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization:
Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 71–74.
[28]
Nico Krisch, Beyond Constitutionalism: The Pluralist Structure of
Postnational Law (Oxford: Oxford University Press, 2010), 45–48.
[29]
Saskia Sassen, Territory, Authority, Rights: From Medieval to
Global Assemblages (Princeton: Princeton University Press, 2006), 402–406.
[30]
Susan Strange, The Retreat of the State: The Diffusion of Power in
the World Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 87–91.
[31]
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, trans.
Mark Ritter (London: Sage, 1992), 111–113.
[32]
Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in
the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 158–162.
[33]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 248–252.
7.
Dimensi
Ilmiah dan Interdisipliner
Kajian tentang subjek
hukum tidak dapat dibatasi dalam kerangka ilmu hukum yang normatif
semata, sebab konsep ini bersinggungan langsung dengan berbagai disiplin
pengetahuan lain—filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik,
bahkan ilmu komputer dan bioetika.¹ Dimensi ilmiah dan interdisipliner dari
konsep subjek hukum menegaskan bahwa hukum merupakan fenomena kompleks yang
tidak hanya diatur oleh norma, tetapi juga dibentuk oleh faktor sosial,
kognitif, biologis, dan teknologi.² Oleh karena itu, memahami subjek hukum secara
utuh memerlukan pendekatan lintas disiplin yang menggabungkan analisis
rasional, empiris, dan humanistik.³
Pendekatan
interdisipliner tidak sekadar memperkaya teori hukum, tetapi juga menggeser
cara pandang tentang hakikat subjek hukum.⁴ Dalam kerangka ini, manusia tidak
lagi dipandang sebagai entitas abstrak yang berdiri sendiri di hadapan hukum,
melainkan sebagai makhluk relasional yang hidup dalam jaringan sosial,
historis, dan ekologis yang kompleks.⁵ Dengan demikian, penelitian ilmiah
tentang subjek hukum perlu melibatkan kolaborasi metodologis yang memungkinkan
integrasi antara dimensi normatif, empiris, dan etis.
7.1.
Hubungan
Konsep Subjek Hukum dengan Sosiologi, Filsafat, Antropologi, dan Psikologi
Hukum
Sosiologi hukum
memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana subjek hukum berfungsi
dalam masyarakat.⁶ Émile Durkheim menegaskan bahwa hukum mencerminkan
solidaritas sosial: dalam masyarakat modern, hukum berperan sebagai mekanisme
yang mengikat individu dalam sistem normatif yang kompleks.⁷ Dalam perspektif
ini, subjek hukum bukan sekadar pelaku individu, tetapi elemen yang berperan
dalam mempertahankan keteraturan sosial.
Antropologi hukum
menyoroti keragaman budaya dalam mendefinisikan subjek hukum.⁸ Dalam banyak
masyarakat adat, pengakuan terhadap entitas non-manusia—seperti leluhur, roh,
atau alam—sebagai subjek hukum merupakan hal yang lazim, karena mereka dianggap
bagian dari struktur moral komunitas.⁹ Hal ini berbeda dari hukum Barat modern
yang cenderung antroposentris. Oleh karena itu, pendekatan antropologis
menantang universalisme hukum dan membuka kemungkinan bagi pluralisme ontologis
dalam konsep subjek hukum.¹⁰
Sementara itu,
psikologi hukum menelaah bagaimana individu memaknai peran dan tanggung jawab
hukumnya.¹¹ Perspektif ini menyoroti bahwa kesadaran hukum tidak semata hasil
rasionalitas normatif, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor afektif dan
sosial.¹² Pemahaman terhadap subjek hukum dalam ranah ini membantu menjelaskan
perilaku kepatuhan, penyimpangan, dan tanggung jawab moral individu dalam
sistem hukum.
7.2.
Perspektif
Interdisipliner: Dari Legal Personhood ke Moral Agency
Perkembangan kajian
hukum kontemporer menunjukkan adanya pergeseran dari konsep legal
personhood yang formal ke moral agency yang substansial.¹³ Legal
personhood menekankan pengakuan formal terhadap status hukum,
sedangkan moral
agency menuntut kemampuan etis untuk bertindak secara bertanggung
jawab.¹⁴ Perdebatan mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan
hak-hak hewan, misalnya, memperlihatkan ketegangan antara pengakuan hukum dan
kapasitas moral.¹⁵
Bioetika dan
teknologi informasi menjadi bidang penting dalam diskursus ini.¹⁶ Ilmu
bioteknologi menantang batas antara manusia dan non-manusia, terutama dalam
kasus seperti embrio, kloning, dan rekayasa genetika.¹⁷ Sementara itu, hukum
digital dan etika algoritmik menimbulkan pertanyaan apakah sistem otonom atau AI
dapat memiliki status hukum dan tanggung jawab etis.¹⁸ Kajian interdisipliner
ini memaksa kita meninjau ulang ontologi subjek hukum, bukan lagi berdasarkan
pada bentuk biologis, tetapi pada kemampuan untuk bertindak, berinteraksi, dan
bertanggung jawab dalam konteks sosial dan teknologi.¹⁹
7.3.
Integrasi
Kajian Hukum dengan Teknologi dan Bioetika
Perkembangan
teknologi digital, kecerdasan buatan, dan bioteknologi telah menciptakan bentuk
baru dari entitas hukum yang tidak pernah dibayangkan dalam tradisi hukum
klasik.²⁰ Subjek hukum kini tidak lagi terbatas pada manusia dan badan hukum,
tetapi mencakup entitas digital dan ekologis.²¹ Misalnya, dalam kasus kendaraan
otonom atau sistem machine learning, muncul perdebatan
apakah tanggung jawab hukum harus dibebankan pada pengembang, pengguna, atau
sistem itu sendiri.²²
Bioetika menambahkan
lapisan baru dalam diskursus ini dengan mempertanyakan dasar moral pengakuan
hukum terhadap makhluk hidup.²³ Isu seperti hak hewan, status hukum embrio, dan
hak lingkungan menunjukkan bahwa hukum harus menyesuaikan diri dengan pandangan
moral dan ilmiah yang terus berkembang.²⁴ Dengan demikian, kolaborasi antara
ilmu hukum, bioetika, dan teknologi menjadi prasyarat bagi pengembangan konsep
subjek hukum yang relevan dengan zaman.²⁵
7.4.
Metodologi
Studi Subjek Hukum di Era Pengetahuan Multidisipliner
Pendekatan ilmiah
terhadap subjek hukum menuntut metode penelitian yang lintas batas antara doctrinal
research (normatif) dan empirical legal studies
(empiris).²⁶ Kajian hukum modern bergerak ke arah interdisipliner dengan
mengintegrasikan metode kualitatif (hermeneutika, fenomenologi, studi kasus)
dan kuantitatif (analisis data sosial, hukum komparatif).²⁷ Selain itu, teori
sistem sosial Niklas Luhmann memberikan kerangka konseptual untuk memahami
hukum sebagai sistem komunikasi yang mengonstruksi subjek melalui kode legal (lawful/ unlawful).²⁸
Dalam konteks
global, kolaborasi antarilmu juga mencakup ekonomi dan politik internasional.²⁹
Teori law and
economics menyoroti bahwa keputusan hukum tidak terlepas dari
perhitungan rasional biaya dan manfaat, sedangkan pendekatan critical
legal studies mengingatkan bahwa hukum juga merupakan produk
ideologi yang mencerminkan kepentingan sosial tertentu.³⁰ Oleh karena itu,
memahami subjek hukum secara ilmiah berarti memahami relasi kompleks antara
norma, rasionalitas, dan kekuasaan yang membentuknya.³¹
Pendekatan
interdisipliner yang matang akhirnya menegaskan bahwa hukum bukan sistem
tertutup, melainkan praktik sosial reflektif yang selalu dapat dikoreksi dan
dikembangkan.³² Melalui integrasi antara rasionalitas hukum, ilmu sosial, dan
etika, konsep subjek hukum dapat diperluas menuju paradigma humanistik dan
relasional yang sesuai dengan tantangan era digital dan post-human.³³
Footnotes
[1]
Brian Z. Tamanaha, A Realistic Theory of Law (Cambridge:
Cambridge University Press, 2017), 41–43.
[2]
H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Clarendon Press,
1961), 83–85.
[3]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 309–311.
[4]
Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus A.
Ziegert (Oxford: Oxford University Press, 2004), 9–11.
[5]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago:
University of Chicago Press, 1992), 117–119.
[6]
Roger Cotterrell, The Sociology of Law: An Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 1992), 55–57.
[7]
Émile Durkheim, The Division of Labour in Society, trans. W.D.
Halls (New York: Free Press, 1984), 55–58.
[8]
Sally Engle Merry, Human Rights and Gender Violence: Translating
International Law into Local Justice (Chicago: University of Chicago
Press, 2006), 34–37.
[9]
Philippe Descola, Beyond Nature and Culture, trans. Janet
Lloyd (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 89–92.
[10]
Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense
(London: Butterworths, 2002), 117–120.
[11]
Tom R. Tyler, Why People Obey the Law (Princeton: Princeton
University Press, 1990), 44–47.
[12]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. I: The
Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981),
165–168.
[13]
Peter A. French, Collective and Corporate Responsibility (New
York: Columbia University Press, 1984), 12–15.
[14]
Christine M. Korsgaard, Self-Constitution: Agency, Identity, and
Integrity (Oxford: Oxford University Press, 2009), 7–10.
[15]
David J. Gunkel, Robot Rights (Cambridge, MA: MIT Press,
2018), 3–6.
[16]
Sheila Jasanoff, The Ethics of Invention: Technology and the Human
Future (New York: W.W. Norton, 2016), 52–55.
[17]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006),
124–128.
[18]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 48–51.
[19]
Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law:
Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham: Edward Elgar,
2015), 95–98.
[20]
Frank Pasquale, The Black Box Society: The Secret Algorithms That
Control Money and Information (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2015), 35–38.
[21]
Gunther Teubner, “Rights of Non-Humans? Electronic Agents and Animals
as New Actors in Politics and Law,” Journal of Law and Society 33, no.
4 (2006): 497–521.
[22]
Floridi, The Ethics of Information, 53–55.
[23]
Julian Savulescu and Ruud ter Meulen, Ethics and the Law in the
Biotechnological Age (Oxford: Oxford University Press, 2010), 44–47.
[24]
Raffaele Rodogno, The Moral Brain: A Multidisciplinary Perspective
(Oxford: Oxford University Press, 2017), 17–20.
[25]
Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law,
100–104.
[26]
Reza Banakar and Max Travers, eds., Theory and Method in
Socio-Legal Research (Oxford: Hart Publishing, 2005), 11–15.
[27]
Terry Hutchinson and Nigel Duncan, Defining and Describing What We
Do: Doctrinal Legal Research (Deakin Law Review 17, no. 1 [2012]): 87–89.
[28]
Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. and
Dirk Baecker (Stanford: Stanford University Press, 1995), 215–219.
[29]
Richard Posner, Economic Analysis of Law (Boston: Little,
Brown, 1973), 12–15.
[30]
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 45–48.
[31]
Habermas, Knowledge and Human Interests, 312–315.
[32]
Ulrich Beck, Reflexive Modernization: Politics, Tradition and Aesthetics
in the Modern Social Order (Stanford: Stanford University Press, 1994),
21–23.
[33]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 251–254.
8.
Kritik
terhadap Konsep Klasik Subjek Hukum
Konsep klasik subjek
hukum yang berakar pada tradisi liberal dan rasionalistik modern
sering dipuji karena menegaskan prinsip kebebasan individu dan kesetaraan
formal di hadapan hukum. Namun, dari perspektif kritis dan kontemporer,
paradigma tersebut dianggap menyembunyikan bias struktural yang mengabaikan
kompleksitas sosial, politik, dan kultural manusia.¹ Kritik terhadap konsep
klasik ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praksis—bertujuan membongkar
cara hukum mereproduksi relasi kekuasaan dan ketidakadilan melalui klaim
universalisme dan netralitasnya.²
Dalam sejarahnya,
konsep subjek hukum klasik didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu adalah
agen rasional dan otonom, pemilik kehendak bebas, serta mampu memahami dan
mengatur dirinya sendiri.³ Asumsi ini berakar pada filsafat Pencerahan Eropa
(Kant, Locke, Rousseau) yang menjadikan subjek manusia sebagai pusat moral dan
hukum.⁴ Akan tetapi, pandangan ini segera dikritik karena hanya merepresentasikan
sebagian kecil dari pengalaman manusia—khususnya laki-laki, kulit putih,
berpendidikan, dan memiliki status ekonomi tinggi—sementara kelompok lain
(perempuan, budak, masyarakat adat, minoritas) dieksklusi dari pengakuan hukum
yang setara.⁵ Dengan demikian, kritik terhadap konsep klasik subjek hukum pada
dasarnya adalah upaya untuk mendekonstruksi klaim universalitas yang ternyata
bersifat partikular.⁶
8.1.
Kritik
Feminisme terhadap Netralitas Hukum
Teori feminis memberikan
kritik paling tajam terhadap konsep klasik subjek hukum. Menurut Carole
Pateman, kontrak sosial yang melandasi negara modern sesungguhnya adalah sexual
contract—sebuah struktur patriarkal yang menempatkan perempuan di
luar ruang publik dan hukum formal.⁷ Dengan mengidealkan subjek hukum sebagai
individu otonom dan bebas dari relasi ketergantungan, hukum modern mengabaikan
kenyataan bahwa kehidupan sosial manusia didasarkan pada relasi perawatan,
kasih sayang, dan tanggung jawab timbal balik.⁸
Catharine MacKinnon
menegaskan bahwa klaim netralitas hukum justru berfungsi untuk mempertahankan
dominasi laki-laki.⁹ Hukum yang tampak universal sebenarnya mengkodifikasi
nilai-nilai maskulin seperti rasionalitas, kompetisi, dan kepemilikan,
sementara pengalaman perempuan—terutama dalam ranah domestik dan
emosional—tidak dianggap relevan secara hukum.¹⁰ Kritik feminis ini menuntut
rekonstruksi konsep subjek hukum yang lebih relasional, empatik, dan sensitif
terhadap konteks pengalaman manusia yang beragam.¹¹
8.2.
Kritik
Postkolonial terhadap Universalisme Hukum Barat
Pendekatan
postkolonial mengungkapkan bahwa konsep subjek hukum modern merupakan produk
kolonialisme Eropa yang meneguhkan hierarki global antara dunia Barat dan non-Barat.¹²
Antony Anghie menunjukkan bahwa hukum internasional modern dibentuk melalui
logika imperial, di mana subjek hukum internasional awalnya hanya mencakup
negara-negara Eropa, sedangkan masyarakat kolonial diposisikan sebagai objek
peradaban.¹³
Dalam perspektif
ini, universalisme hukum Barat adalah bentuk hegemoni epistemik yang menghapus
pluralitas hukum lokal dan adat.¹⁴ Boaventura de Sousa Santos menyebut fenomena
ini sebagai “epistemicide”—pemusnahan cara-cara
pengetahuan non-Barat melalui kolonisasi hukum dan budaya.¹⁵ Kritik
postkolonial menegaskan bahwa hukum modern tidak pernah benar-benar netral; ia
dibangun di atas epistemologi kekuasaan yang mendefinisikan siapa yang layak
disebut “manusia hukum” (legal person) dan siapa yang
tidak.¹⁶ Oleh karena itu, dekolonisasi hukum menjadi agenda penting untuk
mengembalikan keberagaman epistemik dan keadilan historis dalam pembentukan
subjek hukum.¹⁷
8.3.
Kritik
Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis terhadap Rasionalisme Hukum
Mazhab Frankfurt
mengkritik rasionalisme hukum modern karena menjadikan hukum sebagai instrumen
rasionalitas instrumental (instrumentelle Vernunft), yang
lebih menekankan efisiensi dan kontrol daripada emansipasi manusia.¹⁸ Max
Horkheimer dan Theodor Adorno berpendapat bahwa rasionalitas modern telah
berubah menjadi alat dominasi sosial yang mengobjektifikasi manusia, termasuk
melalui mekanisme hukum.¹⁹
Jürgen Habermas
kemudian melanjutkan kritik ini dengan mengajukan paradigma komunikatif.²⁰
Ia menolak pandangan positivistik yang menempatkan hukum sebagai sistem
normatif tertutup, dan menegaskan bahwa legitimasi hukum hanya dapat lahir
melalui diskursus rasional dan partisipatif antarwarga.²¹ Dengan demikian,
subjek hukum harus dipahami bukan sebagai individu atomistik, melainkan sebagai
partisipan dalam proses komunikasi sosial yang membentuk norma.²² Kritik ini
membuka jalan bagi konsep hukum yang dialogis, demokratis, dan berorientasi
pada keadilan prosedural, bukan sekadar legal-formal.²³
8.4.
Kritik
Post-Strukturalis dan Dekonstruktif terhadap Esensialisme Subjek
Michel Foucault,
Jacques Derrida, dan Judith Butler memperluas kritik terhadap konsep klasik
subjek hukum dengan menunjukkan bahwa subjek bukan entitas tetap, melainkan
produk dari relasi diskursif dan kekuasaan.²⁴ Foucault menegaskan bahwa hukum
dan institusi sosial memproduksi subjek melalui praktik normalisasi dan
disiplin.²⁵ Subjek hukum, dalam kerangka ini, bukanlah agen bebas yang
menciptakan hukum, tetapi hasil dari “teknologi diri” (technologies
of the self) yang menundukkan individu pada norma-norma sosial
tertentu.²⁶
Derrida, melalui
pendekatan dekonstruksi, menunjukkan bahwa hukum tidak pernah memiliki fondasi
rasional yang sepenuhnya stabil; keadilan selalu “tertunda” karena hukum
bekerja melalui bahasa yang ambigu.²⁷ Subjek hukum karenanya tidak dapat
dipahami secara esensial, melainkan melalui proses penundaan makna (différance).²⁸
Judith Butler kemudian menambahkan dimensi performatif: identitas subjek,
termasuk status hukumnya, selalu dihasilkan dan diulang melalui tindakan sosial
dan wacana.²⁹ Kritik post-strukturalis ini menolak pandangan tentang subjek
hukum sebagai esensi universal dan menggantinya dengan pemahaman bahwa hukum
selalu terlibat dalam produksi identitas sosial yang cair dan politis.³⁰
8.5.
Menuju
Rekonstruksi Humanistik dan Relasional
Kritik-kritik
tersebut tidak dimaksudkan untuk meniadakan konsep subjek hukum, melainkan
untuk membukanya terhadap kemungkinan reinterpretasi.³¹ Rekonstruksi humanistik
menuntut agar hukum diorientasikan kembali pada martabat manusia, bukan pada
abstraksi rasional yang eksklusif.³² Perspektif relasional yang dikembangkan
oleh Martha Nussbaum, Seyla Benhabib, dan Axel Honneth mengusulkan bahwa subjek
hukum harus dipahami dalam konteks pengakuan timbal balik, solidaritas sosial,
dan keterkaitan eksistensial antarindividu.³³
Dengan demikian,
kritik terhadap konsep klasik bukanlah akhir dari filsafat hukum, melainkan langkah
menuju paradigma baru yang lebih inklusif dan reflektif—di mana hukum menjadi
ruang dialog antar-subjek yang setara, dan pengakuan hukum menjadi bentuk
penghormatan terhadap keberagaman manusia.³⁴
Footnotes
[1]
Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society (New York:
Free Press, 1976), 101–104.
[2]
Duncan Kennedy, “The Critique of Rights in Critical Legal Studies,” in Left
Legalism/Left Critique, ed. Wendy Brown and Janet Halley (Durham: Duke
University Press, 2002), 179–182.
[3]
John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), 287–291.
[4]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 35–37.
[5]
Charles W. Mills, The Racial Contract (Ithaca: Cornell
University Press, 1997), 17–20.
[6]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 48–51.
[7]
Carole Pateman, The Sexual Contract (Stanford: Stanford
University Press, 1988), 3–7.
[8]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 45–49.
[9]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 237–240.
[10]
Anne Phillips, Gender and Culture (Cambridge: Polity Press,
2010), 27–29.
[11]
Robin West, “Jurisprudence and Gender,” University of Chicago Law
Review 55, no. 1 (1988): 1–5.
[12]
Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage,
1993), 56–60.
[13]
Antony Anghie, Imperialism, Sovereignty and the Making of
International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 13–18.
[14]
Makau Mutua, “Savages, Victims, and Saviors: The Metaphor of Human
Rights,” Harvard International Law Journal 42, no. 1 (2001): 201–205.
[15]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (Boulder, CO: Paradigm, 2014), 118–122.
[16]
Ibid., 131–134.
[17]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 55–58.
[18]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. John Cumming (New York: Herder and Herder, 1972), 25–28.
[19]
Ibid., 35–39.
[20]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[21]
Ibid., 293–296.
[22]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 106–109.
[23]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and
Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 89–92.
[24]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 98–101.
[25]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1977), 202–205.
[26]
Michel Foucault, Technologies of the Self, in Ethics:
Subjectivity and Truth, ed. Paul Rabinow (New York: New Press, 1997),
223–226.
[27]
Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of
Authority”, trans. Mary Quaintance, Cardozo Law Review 11, no. 5
(1990): 919–921.
[28]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago:
University of Chicago Press, 1982), 17–19.
[29]
Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection
(Stanford: Stanford University Press, 1997), 12–15.
[30]
Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of Sex
(New York: Routledge, 1993), 22–26.
[31]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–23.
[32]
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 47–50.
[33]
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of
Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995),
111–115.
[34]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 67–70.
9.
Relevansi
Kontemporer: Subjek Hukum di Era Digital dan Post-Human
Perkembangan
teknologi digital dan kemajuan bioteknologi pada abad ke-21 telah mengubah
secara radikal cara manusia memahami dirinya, masyarakat, dan hukum. Dalam
konteks ini, konsep subjek hukum menghadapi tantangan
ontologis dan epistemologis baru. Jika pada masa klasik subjek hukum dipahami
sebagai manusia rasional yang otonom dan berkehendak bebas, maka di era digital
dan post-human batas antara manusia, mesin, dan jaringan sosial menjadi semakin
kabur.¹ Kecerdasan buatan (artificial intelligence), entitas
algoritmik, sistem siber, serta eksperimen bioteknologi telah memperluas ruang
moral dan hukum ke wilayah yang sebelumnya tidak pernah dipertimbangkan oleh
hukum konvensional.²
Era digital bukan
hanya memperkenalkan subjek baru ke dalam sistem hukum, tetapi juga mengubah
struktur relasi sosial, epistemologi hukum, dan pengertian tentang tanggung
jawab.³ Subjek hukum kini tidak lagi semata entitas yang bertindak secara
langsung, melainkan juga sistem-sistem yang beroperasi secara otomatis,
kolektif, dan terdistribusi.⁴ Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah
hukum masih mampu mempertahankan prinsip-prinsip keadilan dan tanggung jawab
moral dalam dunia yang diatur oleh algoritma dan data?⁵
9.1.
Subjek
Hukum dalam Konteks Digital: AI, Robot, dan Data Rights
Kemunculan
kecerdasan buatan dan sistem otonom menghadirkan dilema hukum yang kompleks:
apakah entitas non-manusia yang dapat mengambil keputusan secara mandiri layak
diakui sebagai subjek hukum?⁶ Beberapa ahli,
seperti David J. Gunkel dan Mireille Hildebrandt, berargumen bahwa AI memiliki
kapasitas untuk bertindak dan memengaruhi dunia sosial, sehingga perlu
diberikan bentuk pengakuan hukum tertentu.⁷ Namun, para kritikus menegaskan
bahwa pengakuan semacam itu dapat mengaburkan tanggung jawab moral manusia di
balik sistem.⁸
Dalam hukum digital,
perdebatan juga mencakup hak atas data pribadi (data rights) dan status identitas
digital individu.⁹ Konsep klasik subjek hukum sebagai entitas tunggal dan tetap
kini digantikan oleh subjek digital yang tersebar di berbagai platform dan
basis data.¹⁰ Hal ini menimbulkan persoalan baru tentang privasi, kepemilikan
data, dan otonomi diri di ruang siber.¹¹ Luciano Floridi menyebut fenomena ini
sebagai munculnya infosfer, yaitu ekosistem realitas
informasi di mana manusia dan mesin hidup berdampingan sebagai “agen
informasi” (informational agents).¹² Dalam
konteks ini, subjek hukum perlu dipahami tidak hanya sebagai tubuh biologis,
tetapi juga sebagai entitas data yang memiliki hak eksistensial dalam ruang
digital.¹³
9.2.
Problematika
Identitas, Privasi, dan Tanggung Jawab Algoritmik
Teknologi algoritmik
mengubah cara hukum beroperasi dalam pengambilan keputusan, mulai dari sistem
peradilan berbasis AI hingga algoritma prediktif dalam penegakan hukum.¹⁴
Namun, penggunaan teknologi ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang
transparansi, akuntabilitas, dan bias sistemik.¹⁵ Subjek hukum manusia sering
kali menjadi korban ketidakjelasan keputusan algoritmik yang bersifat opaque
dan sulit dipertanggungjawabkan.¹⁶
Dalam konteks ini,
muncul konsep algorithmic accountability—upaya
untuk menegaskan kembali prinsip tanggung jawab dalam sistem otomatis.¹⁷ Namun,
tanggung jawab hukum dalam ekosistem digital tidak dapat lagi ditelusuri secara
linear seperti pada sistem hukum klasik, karena tindakan hukum kini bersifat
terdistribusi di antara manusia, mesin, dan lembaga.¹⁸ Hal ini menuntut
pendekatan aksiologis baru yang menggabungkan nilai transparansi, keadilan
sosial, dan etika teknologi.¹⁹ Dengan demikian, tantangan utama hukum di era
digital bukan sekadar menentukan siapa yang bertanggung jawab, tetapi bagaimana
menciptakan sistem yang memastikan bahwa tindakan algoritmik tetap tunduk pada
prinsip moral dan hak asasi manusia.²⁰
9.3.
Tantangan
Bioetik: Subjek Hukum dalam Bioteknologi dan Transhumanisme
Kemajuan bioteknologi
menimbulkan perdebatan etis dan hukum tentang batas-batas kemanusiaan.²¹ Dengan
adanya teknologi kloning, modifikasi genetik, dan integrasi manusia-mesin (cyborgization),
muncul pertanyaan apakah makhluk hasil rekayasa atau entitas hibrid dapat diakui
sebagai subjek hukum.²² Transhumanisme, yang berupaya meningkatkan kapasitas
manusia melalui teknologi, menantang definisi tradisional tentang manusia
sebagai dasar moral hukum.²³
Dalam bioetika
kontemporer, dua kecenderungan dapat diamati: pertama, pandangan human
exceptionalism yang mempertahankan supremasi manusia sebagai
satu-satunya subjek moral dan hukum; kedua, pendekatan post-human
ethics yang membuka kemungkinan pengakuan terhadap entitas
non-manusia yang memiliki kesadaran atau kapasitas relasional.²⁴ Rosi Braidotti
menegaskan bahwa post-humanisme bukan berarti meniadakan kemanusiaan, tetapi
memperluasnya untuk mencakup bentuk-bentuk eksistensi baru yang muncul dari
kemajuan teknologi dan biologi.²⁵ Dalam konteks ini, hukum ditantang untuk menafsirkan
kembali asas dignitas humana secara inklusif,
agar dapat merespons perubahan ontologis dalam kondisi manusia kontemporer.²⁶
9.4.
Menuju
Konsep “Subjek Hukum Integral” dalam Masyarakat Jaringan Global
Globalisasi dan
digitalisasi telah menciptakan masyarakat jaringan (network society) di mana batas
antara individu, institusi, dan teknologi semakin kabur.²⁷ Dalam tatanan ini,
hukum perlu mengembangkan konsep subjek hukum integral—yaitu subjek
yang diakui tidak hanya sebagai individu rasional, tetapi sebagai bagian dari
ekosistem sosial-teknologis yang saling terkait.²⁸ Manuel Castells menekankan
bahwa identitas dalam masyarakat jaringan bersifat dinamis, terbentuk melalui
interaksi simultan antara ruang fisik dan digital.²⁹ Dengan demikian, hukum
yang relevan dengan era post-human harus mampu mengakomodasi pluralitas bentuk
eksistensi dan tanggung jawab yang melampaui kategori manusia semata.³⁰
Subjek hukum
integral ini tidak menghapus keunikan manusia, tetapi menempatkannya dalam
jaringan moral dan ekologis yang lebih luas.³¹ Ia menuntut pendekatan
interdisipliner yang menggabungkan etika komunikasi (Habermas), ekologi
integral (Pope Francis), dan teori sistem sosial (Luhmann) untuk membangun
hukum yang mampu menyeimbangkan rasionalitas, teknologi, dan kemanusiaan.³²
Dalam kerangka ini, hukum di era digital dan post-human harus menjadi medan
refleksi bagi transformasi nilai, bukan sekadar adaptasi terhadap perubahan
teknologis.³³
Footnotes
[1]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 2–4.
[2]
Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law:
Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham: Edward Elgar,
2015), 7–9.
[3]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 16–19.
[4]
Antoinette Rouvroy, “The End(s) of Critique: Data-Behaviourism vs.
Due-Process,” in Privacy, Due Process and the Computational Turn, ed.
Mireille Hildebrandt and Katja de Vries (Abingdon: Routledge, 2013), 147–150.
[5]
Roger Brownsword, Law, Technology and Society: Re-Imagining the
Regulatory Environment (Abingdon: Routledge, 2019), 25–27.
[6]
David J. Gunkel, Robot Rights (Cambridge, MA: MIT Press,
2018), 3–5.
[7]
Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law, 82–85.
[8]
Joanna J. Bryson, Mihailis E. Diamantis, and Thomas D. Grant, “Of, For,
and By the People: The Legal Lacuna of Synthetic Persons,” Artificial
Intelligence and Law 25, no. 3 (2017): 273–275.
[9]
Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big Data: A Revolution
That Will Transform How We Live, Work, and Think (Boston: Houghton Mifflin
Harcourt, 2013), 123–126.
[10]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 75–78.
[11]
Daniel J. Solove, Understanding Privacy (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2008), 99–103.
[12]
Floridi, The Fourth Revolution, 42–45.
[13]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 53–56.
[14]
Frank Pasquale, The Black Box Society: The Secret Algorithms That
Control Money and Information (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2015), 7–9.
[15]
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases
Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown, 2016), 25–28.
[16]
Jenna Burrell, “How the Machine ‘Thinks’: Understanding Opacity in
Machine Learning Algorithms,” Big Data & Society 3, no. 1 (2016):
1–4.
[17]
Karen Yeung, “Algorithmic Regulation: A Critical Interrogation,” Regulation
& Governance 12, no. 4 (2018): 505–509.
[18]
Hildebrandt, Smart Technologies and the End(s) of Law,
101–103.
[19]
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools
Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018),
145–149.
[20]
Floridi, The Ethics of Information, 58–60.
[21]
Julian Savulescu and Nick Bostrom, eds., Human Enhancement
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 1–3.
[22]
Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of Uncertainty
(Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 37–40.
[23]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 22–25.
[24]
Cary Wolfe, What Is Posthumanism? (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2010), xii–xiv.
[25]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
1–4.
[26]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 38–42.
[27]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford:
Blackwell, 1996), 469–472.
[28]
Gunther Teubner, “Digital Personhood? The Emergence of Autonomous
Actors in Law,” Zeitschrift für Rechtssoziologie 35, no. 1 (2015):
9–12.
[29]
Castells, The Rise of the Network Society, 473–475.
[30]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford:
Stanford University Press, 1990), 145–148.
[31]
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 102–105.
[32]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §§65–69.
[33]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 254–258.
10. Sintesis Filosofis: Menuju Ontologi Relasional
Subjek Hukum
Setelah menelusuri
dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, serta kritik terhadap
konsep klasik subjek hukum, kini muncul kebutuhan
untuk membangun suatu kerangka sintesis yang mampu menampung kompleksitas
manusia modern dan dunia yang terus berubah. Sintesis filosofis ini tidak
dimaksudkan untuk menggantikan paradigma sebelumnya secara total, tetapi untuk
mengintegrasikan unsur-unsur kunci dari berbagai pendekatan menuju suatu ontologi
relasional subjek hukum—yakni pemahaman bahwa subjek hukum tidak
berdiri secara terisolasi, melainkan eksis melalui jejaring relasi sosial,
moral, ekologis, dan teknologi yang saling memengaruhi.¹
Ontologi relasional
ini berangkat dari kesadaran bahwa manusia, sebagai subjek hukum, tidak hanya “memiliki
hak” tetapi juga “menjadi melalui hubungan.”² Dalam tradisi filsafat
Barat, pandangan ini dapat ditelusuri sejak Aristoteles yang memandang manusia
sebagai zoon
politikon—makhluk yang hanya mencapai aktualitasnya dalam kehidupan
bersama.³ Dalam konteks modern, Emmanuel Levinas, Paul Ricoeur, dan Jürgen
Habermas memperdalam gagasan ini dengan menegaskan bahwa identitas manusia
terbentuk melalui pengakuan dan komunikasi dengan yang Lain.⁴ Maka, hukum tidak lagi
dapat dilihat sekadar sebagai sistem peraturan eksternal, melainkan sebagai
ruang dialog di mana subjek-subjek saling membentuk dan saling mengafirmasi.
10.1. Integrasi antara Humanisme, Tanggung Jawab Sosial,
dan Rasionalitas Hukum
Ontologi relasional
menuntut integrasi antara humanisme (penghormatan terhadap martabat manusia),
tanggung jawab sosial, dan rasionalitas hukum.⁵ Humanisme memberikan fondasi
normatif bahwa hukum harus berorientasi pada penghormatan terhadap manusia
sebagai tujuan, bukan alat.⁶ Sementara tanggung jawab sosial menegaskan bahwa
subjek hukum tidak dapat didefinisikan tanpa mempertimbangkan keterikatannya
dengan komunitas dan lingkungan.⁷
Rasionalitas hukum
tetap penting sebagai sarana menjaga konsistensi dan kepastian dalam relasi
sosial.⁸ Namun, rasionalitas tersebut tidak boleh bersifat instrumental seperti
dalam positivisme klasik, melainkan rasionalitas komunikatif
sebagaimana dikemukakan oleh Habermas—yakni rasionalitas yang menghubungkan
hukum dengan praksis sosial dan moral.⁹ Dalam kerangka ini, hukum berfungsi
sebagai medium yang menyeimbangkan kebebasan individu dan solidaritas sosial.¹⁰
Integrasi ini menegaskan bahwa relasionalitas bukanlah antitesis hukum, tetapi
justru fondasinya yang paling manusiawi.
10.2. Ontologi Relasional: Subjek sebagai Jaringan
Eksistensi
Dalam kerangka
relasional, subjek hukum dipahami bukan sebagai atom normatif, tetapi sebagai
simpul dalam jaringan eksistensi yang lebih luas.¹¹ Ontologi ini menolak
dualisme klasik antara individu dan masyarakat, antara hukum dan moral, serta
antara manusia dan alam.¹² Subjek hukum, dalam pandangan ini, memiliki
keberadaan yang co-constitutive: ia diciptakan oleh
hukum sekaligus menciptakan hukum melalui tindakan dan relasinya.¹³
Pemikiran Paul
Ricoeur tentang soi-même comme un autre menekankan
bahwa identitas diri tidak dapat dipahami tanpa mediasi dari orang lain dan
institusi sosial.¹⁴ Demikian pula, dalam etika Levinas, tanggung jawab terhadap
yang
Lain mendahului eksistensi hukum formal.¹⁵ Sementara itu, teori
sistem sosial Niklas Luhmann membantu menjelaskan bagaimana hukum
mengoperasionalisasikan relasi ini dalam bentuk komunikasi normatif yang
memungkinkan masyarakat tetap berfungsi tanpa kehilangan kompleksitasnya.¹⁶
Dengan demikian, subjek hukum dalam ontologi relasional adalah entitas yang
hidup dalam dialektika antara keunikan personal dan keterhubungan sosial.
10.3. Perspektif Humanistik dalam Pembaruan Teori Hukum
Modern
Paradigma hukum
modern yang berlandaskan individualisme rasional kini dihadapkan pada krisis
legitimasi di tengah meningkatnya ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan
tantangan teknologi.¹⁷ Dalam situasi ini, pendekatan humanistik menawarkan arah
baru bagi pembaruan hukum. Menurut Jacques Maritain, hukum sejati lahir dari
pengakuan terhadap manusia sebagai makhluk personal dan sosial yang memiliki
martabat intrinsik.¹⁸ Humanisme hukum dengan demikian tidak hanya berorientasi
pada hak, tetapi juga pada relasi etis yang mendasarinya.
Humanisme ini dapat
diperkuat melalui pendekatan capability approach yang
dikembangkan oleh Martha Nussbaum dan Amartya Sen, yang menekankan bahwa
pengakuan hukum harus memungkinkan setiap individu mengembangkan potensinya
secara bermartabat.¹⁹ Di sini, nilai-nilai keadilan, empati, dan solidaritas
bukan sekadar tambahan moral bagi hukum, melainkan inti dari keberadaannya.²⁰
Dengan menempatkan subjek hukum dalam horizon relasional, hukum tidak lagi
sekadar menegakkan norma, tetapi menjadi sarana aktualisasi kemanusiaan
kolektif.²¹
10.4. Menuju Paradigma Hukum Integral dan Berkeadilan
Manusiawi
Paradigma hukum
integral berupaya menggabungkan aspek rasional, moral, sosial, dan
ekologis dari kehidupan hukum ke dalam satu kerangka koheren.²² Hukum integral
berangkat dari kesadaran bahwa keadilan tidak dapat dicapai hanya melalui
penerapan prosedur formal, melainkan melalui keterlibatan reflektif antara
semua pihak yang terlibat dalam proses hukum.²³ Dalam pengertian ini, hukum
menjadi proses dialog yang berkelanjutan, bukan sistem tertutup yang mengatur
dari atas.
Konsep ontologi
relasional subjek hukum memungkinkan lahirnya tatanan hukum yang
berkeadilan manusiawi (human-centered justice), di mana
hukum tidak lagi menjadi instrumen kekuasaan, tetapi ruang etis bagi pengakuan
dan tanggung jawab timbal balik.²⁴ Paradigma ini selaras dengan visi integral
ecology yang diajukan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato
Si’, yang memandang manusia, masyarakat, dan alam sebagai satu
kesatuan moral.²⁵ Dengan demikian, masa depan hukum bergantung pada
kemampuannya untuk membangun relasi, bukan hanya menetapkan batas.²⁶
Akhirnya, ontologi
relasional mengarahkan kita menuju pemahaman bahwa subjek hukum adalah makhluk
interdependen yang keberadaannya bergantung pada jaringan pengakuan dan
tanggung jawab bersama.²⁷ Hukum yang sejati adalah hukum yang
memanusiakan—yakni hukum yang menyadari bahwa di balik setiap norma terdapat
wajah manusia lain yang menuntut penghormatan dan keadilan.²⁸
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.
[2]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 245–248.
[3]
Aristotle, Politics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1932), 1253a–1255a.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 286–290.
[5]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 8–10.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 62–65.
[7]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 35–38.
[8]
H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy (Oxford:
Clarendon Press, 1983), 37–40.
[9]
Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse
Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT
Press, 1996), 110–113.
[10]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 48–51.
[11]
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of
Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995),
92–94.
[12]
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 96–99.
[13]
Niklas Luhmann, Law as a Social System, trans. Klaus A.
Ziegert (Oxford: Oxford University Press, 2004), 41–43.
[14]
Ricoeur, Oneself as Another, 128–130.
[15]
Levinas, Totality and Infinity, 250–253.
[16]
Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. and
Dirk Baecker (Stanford: Stanford University Press, 1995), 213–216.
[17]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–22.
[18]
Jacques Maritain, The Person and the Common Good, trans. John
J. Fitzgerald (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1947), 18–20.
[19]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 36–39.
[20]
Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species
Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 28–32.
[21]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in
the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 87–89.
[22]
Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law: History, Politics, Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 105–108.
[23]
Habermas, Between Facts and Norms, 214–217.
[24]
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 51–53.
[25]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §§67–70.
[26]
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, trans.
Mark Ritter (London: Sage, 1992), 110–113.
[27]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 318–321.
[28]
Levinas, Totality and Infinity, 256–258.
11. Kesimpulan
Kajian mengenai sejarah perkembangan subjek
hukum menunjukkan bahwa konsep ini bukanlah konstruksi yang statis,
melainkan hasil evolusi panjang dari pergulatan antara ide, kekuasaan, dan
nilai kemanusiaan. Sejak masa hukum Romawi dan filsafat Yunani kuno hingga era
digital dan post-human, pengertian tentang siapa yang dapat disebut subjek
hukum terus berubah seiring dengan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi.¹
Dari persona fisik menuju persona yuridik, dari individu menuju entitas
kolektif, dari manusia menuju agen algoritmik—perjalanan ini memperlihatkan
bahwa hukum senantiasa merefleksikan transformasi ontologis manusia dan dunia
yang mengitarinya.²
Secara ontologis, subjek hukum adalah entitas yang
“ada” dalam jaringan relasi sosial dan simbolik; keberadaannya tidak
berdiri sendiri, melainkan dikonstitusikan melalui pengakuan, interaksi, dan
tanggung jawab timbal balik.³ Epistemologinya memperlihatkan bahwa pengetahuan
hukum tentang subjek selalu bersifat konstruktif dan kontekstual, bukan netral
atau universal sebagaimana diklaim positivisme klasik.⁴ Sedangkan secara
aksiologis, pengakuan terhadap subjek hukum mengandung nilai-nilai keadilan,
kebebasan, dan kemanusiaan yang menjadi landasan moral dari sistem hukum yang
hidup.⁵ Dengan demikian, hukum yang baik bukan hanya menegakkan norma, tetapi
juga menegaskan martabat manusia sebagai pusat dari tatanan sosial.
Kritik dari perspektif feminis, postkolonial, dan
teori kritis menyingkap bias struktural dalam paradigma klasik yang
mengidealkan subjek hukum sebagai individu rasional yang otonom, tetapi
menyingkirkan dimensi relasional, emosional, dan historis dari pengalaman
manusia.⁶ Sebagai respons, paradigma baru dalam filsafat hukum mengusulkan
kerangka ontologi relasional, yang menekankan bahwa subjek hukum
terbentuk melalui hubungan sosial, komunikasi, dan keterlibatan etis.⁷ Konsep
ini menjadi jembatan antara humanisme dan realitas kontemporer—antara
rasionalitas hukum dan kebutuhan akan empati, solidaritas, serta tanggung jawab
global.
Dalam konteks abad ke-21, relevansi konsep subjek
hukum diperluas hingga mencakup entitas digital, ekologis, dan post-human.⁸
Tantangan baru seperti kecerdasan buatan, hak digital, dan bioteknologi
menuntut perluasan horizon etis dan hukum. Hukum tidak lagi hanya mengatur
manusia sebagai makhluk biologis, tetapi juga sebagai aktor informasi dalam
jaringan digital yang kompleks.⁹ Di sinilah konsep subjek hukum integral
menemukan maknanya: subjek yang menggabungkan dimensi biologis, sosial, moral,
dan teknologi dalam satu kesatuan eksistensial.¹⁰
Akhirnya, sintesis filosofis menuju ontologi
relasional subjek hukum mengajak kita untuk memahami hukum bukan sekadar
sebagai instrumen pengaturan, tetapi sebagai ruang moral di mana hubungan antar
manusia dan entitas lain dipahami dalam kerangka tanggung jawab bersama.¹¹
Dengan menempatkan relasionalitas, keadilan, dan kemanusiaan sebagai pusatnya,
hukum dapat kembali kepada esensinya sebagai tatanan yang menyeimbangkan
kebebasan dengan solidaritas, serta rasionalitas dengan kasih.¹² Paradigma ini
membuka arah baru bagi pembentukan sistem hukum yang integral, humanistik, dan
berkeadilan manusiawi—sebuah hukum yang tidak hanya mengatur kehidupan,
tetapi juga memanusiakan eksistensi.¹³
Footnotes
[1]
Harold J. Berman, Law and Revolution: The
Formation of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1983), 215–219.
[2]
Barry Nicholas, An Introduction to Roman Law
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 79–81.
[3]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 118–120.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 273–275.
[5]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 104–107.
[6]
Carole Pateman, The Sexual Contract
(Stanford: Stanford University Press, 1988), 5–7.
[7]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 247–250.
[8]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the
Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press,
2014), 42–45.
[9]
Mireille Hildebrandt, Smart Technologies and the
End(s) of Law: Novel Entanglements of Law and Technology (Cheltenham:
Edward Elgar, 2015), 95–98.
[10]
Gunther Teubner, “Digital Personhood? The Emergence
of Autonomous Actors in Law,” Zeitschrift für Rechtssoziologie 35, no. 1
(2015): 9–12.
[11]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 254–257.
[12]
Jacques Maritain, The Person and the Common Good,
trans. John J. Fitzgerald (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
1947), 21–24.
[13]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §§66–69.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., &
Horkheimer, M. (1972). Dialectic of enlightenment (J. Cumming,
Trans.). Herder and Herder.
Alexy, R. (1989). A
theory of legal argumentation (R. Adler & N. MacCormick, Trans.).
Clarendon Press.
Anghie, A. (2005). Imperialism,
sovereignty and the making of international law. Cambridge University
Press.
Arendt, H. (1951). The
origins of totalitarianism. Harcourt.
Aristotle. (1925). Nicomachean
ethics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1932). Politics
(H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.
Austin, J. (1832). The
province of jurisprudence determined. John Murray.
Bakan, J. (2004). The
corporation: The pathological pursuit of profit and power. Free Press.
Banakar, R., & Travers,
M. (Eds.). (2005). Theory and method in socio-legal research. Hart
Publishing.
Beck, U. (1992). Risk
society: Towards a new modernity (M. Ritter, Trans.). Sage.
Beck, U. (1994). Reflexive
modernization: Politics, tradition and aesthetics in the modern social order.
Stanford University Press.
Benhabib, S. (1992). Situating
the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics.
Routledge.
Benhabib, S. (2002). The
claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton
University Press.
Berman, H. J. (1983). Law
and revolution: The formation of the Western legal tradition. Harvard
University Press.
Berlin, I. (1969). Two
concepts of liberty. Clarendon Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence:
Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.
Bourdieu, P. (1987). The
force of law: Toward a sociology of the juridical field (R. Terdiman, Trans.). Hastings
Law Journal, 38(5), 838–841.
Braidotti, R. (2013). The
posthuman. Polity Press.
Brownsword, R. (2019). Law,
technology and society: Re-imagining the regulatory environment.
Routledge.
Bryson, J. J., Diamantis,
M. E., & Grant, T. D. (2017). Of, for, and by the people: The legal lacuna
of synthetic persons. Artificial Intelligence and Law, 25(3), 273–275.
Burrell, J. (2016). How the
machine “thinks”: Understanding opacity in machine learning algorithms. Big
Data & Society, 3(1), 1–4.
Butler, J. (1993). Bodies
that matter: On the discursive limits of sex. Routledge.
Butler, J. (1997). The
psychic life of power: Theories in subjection. Stanford University Press.
Castells, M. (1996). The
rise of the network society. Blackwell.
Cicero. (1928). De
legibus (C. Keyes, Trans.). Harvard University Press.
Cotterrell, R. (1992). The
sociology of law: An introduction. Oxford University Press.
De Sousa Santos, B. (1995).
Toward a new common sense: Law, science and politics in the paradigmatic
transition. Routledge.
De Sousa Santos, B. (2002).
Toward a new legal common sense. Butterworths.
De Sousa Santos, B. (2014).
Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm.
Descartes, R. (1998). Discourse
on method (D. A. Cress, Trans.). Hackett.
Descola, P. (2013). Beyond
nature and culture (J. Lloyd, Trans.). University of Chicago Press.
Dewey, J. (1926). The
historic background of corporate legal personality. Yale Law Journal, 35(6),
655–673.
Dworkin, R. (1986). Law’s
empire. Harvard University Press.
Durkheim, É. (1984). The
division of labour in society (W. D. Halls, Trans.). Free Press.
Eubanks, V. (2018). Automating
inequality: How high-tech tools profile, police, and punish the poor. St.
Martin’s Press.
Finnis, J. (1980). Natural
law and natural rights. Clarendon Press.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2014). The
fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford
University Press.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1977). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon.
Foucault, M. (1997).
Technologies of the self. In P. Rabinow (Ed.), Ethics: Subjectivity and
truth (pp. 223–226). New Press.
French, P. A. (1984). Collective
and corporate responsibility. Columbia University Press.
Francis, Pope. (2015). Laudato
Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Fuller, L. L. (1969). The
morality of law. Yale University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Giddens, A. (1990). The
consequences of modernity. Stanford University Press.
Giddens, A. (1991). Modernity
and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford
University Press.
Gierke, O. von. (1900). Political
theories of the Middle Age (F. W. Maitland, Trans.). Cambridge University
Press.
Golub, S. (2003). Beyond
rule of law orthodoxy: The legal empowerment alternative (Working Paper
No. 41). Carnegie Endowment for International Peace.
Gunkel, D. J. (2018). Robot
rights. MIT Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral
consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen,
Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between
facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy
(W. Rehg, Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (1971). Knowledge
and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Hart, H. L. A. (1961). The
concept of law. Clarendon Press.
Hart, H. L. A. (1983). Essays
in jurisprudence and philosophy. Clarendon Press.
Hayles, N. K. (1999). How
we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics.
University of Chicago Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Hildebrandt, M. (2015). Smart
technologies and the end(s) of law: Novel entanglements of law and technology.
Edward Elgar.
Hildebrandt, M. (2020). Law
for computer scientists and other folk. Oxford University Press.
Honneth, A. (1995). The
struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts (J.
Anderson, Trans.). MIT Press.
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1991). The
metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kantorowicz, E. H. (1957). The
king’s two bodies: A study in mediaeval political theology. Princeton
University Press.
Kelsen, H. (1945). General
theory of law and state (A. Wedberg, Trans.). Harvard University Press.
Kelsen, H. (1967). Pure
theory of law (M. Knight, Trans.). University of California Press.
Kennedy, D. (1976). Form
and substance in private law adjudication. Harvard Law Review, 89(8),
1685–1688.
Kennedy, D. (2002). The
critique of rights in critical legal studies. In W. Brown & J. Halley
(Eds.), Left legalism/left critique (pp. 178–182). Duke University
Press.
Luhmann, N. (1995). Social
systems (J. Bednarz Jr. & D. Baecker, Trans.). Stanford University
Press.
Luhmann, N. (2004). Law
as a social system (K. A. Ziegert, Trans.). Oxford University Press.
MacKinnon, C. A. (1989). Toward
a feminist theory of the state. Harvard University Press.
Macpherson, C. B. (1962). The
political theory of possessive individualism: Hobbes to Locke. Clarendon
Press.
Maritain, J. (1947). The
person and the common good (J. J. Fitzgerald, Trans.). University of Notre
Dame Press.
Marx, K. (1976). Capital:
Volume I (B. Fowkes, Trans.). Penguin.
Mayer-Schönberger, V.,
& Cukier, K. (2013). Big data: A revolution that will transform how we
live, work, and think. Houghton Mifflin Harcourt.
Mignolo, W. D. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke
University Press.
Mutua, M. (2001). Savages,
victims, and saviors: The metaphor of human rights. Harvard International
Law Journal, 42(1), 201–205.
Nicholas, B. (1962). An
introduction to Roman law. Clarendon Press.
Noddings, N. (1984). Caring:
A feminine approach to ethics and moral education. University of
California Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
O’Neil, C. (2016). Weapons
of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy.
Crown.
Pateman, C. (1988). The
sexual contract. Stanford University Press.
Pasquale, F. (2015). The
black box society: The secret algorithms that control money and information.
Harvard University Press.
Phillips, A. (2010). Gender
and culture. Polity Press.
Posner, R. (1973). Economic
analysis of law. Little, Brown.
Radbruch, G. (1932). Rechtsphilosophie.
Quelle & Meyer.
Radin, M. J. (1982).
Property and personhood. Stanford Law Review, 34(5), 957–959.
Rawls, J. (1971). A
theory of justice. Harvard University Press.
Rawls, J. (1993). Political
liberalism. Columbia University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself
as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2000). The
just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Ross, A. (1958). On law
and justice. Stevens & Sons.
Rouvroy, A. (2013). The
end(s) of critique: Data-behaviourism vs. due-process. In M. Hildebrandt &
K. de Vries (Eds.), Privacy, due process and the computational turn
(pp. 147–150). Routledge.
Ruggie, J. (2007). Business
and human rights: The evolving international agenda. American Journal of
International Law, 101(4), 831–834.
Said, E. W. (1993). Culture
and imperialism. Vintage.
Sassen, S. (1996). Losing
control? Sovereignty in an age of globalization. Columbia University
Press.
Sassen, S. (2006). Territory,
authority, rights: From medieval to global assemblages. Princeton University
Press.
Savulescu, J., &
Bostrom, N. (Eds.). (2009). Human enhancement. Oxford University
Press.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2009). The
idea of justice. Harvard University Press.
Solove, D. J. (2008). Understanding
privacy. Harvard University Press.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1991). The
ethics of authenticity. Harvard University Press.
Teubner, G. (2006). Rights
of non-humans? Electronic agents and animals as new actors in politics and law.
Journal of Law and Society, 33(4), 497–521.
Teubner, G. (2015). Digital
personhood? The emergence of autonomous actors in law. Zeitschrift für
Rechtssoziologie, 35(1), 9–12.
Tamanaha, B. Z. (2004). On
the rule of law: History, politics, theory. Cambridge University Press.
Tyler, T. R. (1990). Why
people obey the law. Princeton University Press.
Unger, R. M. (1976). Law
in modern society. Free Press.
Unger, R. M. (1986). The
critical legal studies movement. Harvard University Press.
Watson, A. (1995). The
spirit of Roman law. University of Georgia Press.
Weber, M. (1978). Economy
and society (G. Roth & C. Wittich, Trans.). University of California
Press.
West, R. (1988). Jurisprudence
and gender. University of Chicago Law Review, 55(1), 1–6.
Wolfe, C. (2010). What
is posthumanism? University of Minnesota Press.
Yeung, K. (2018).
Algorithmic regulation: A critical interrogation. Regulation &
Governance, 12(4), 505–509.
Young, I. M. (1990). Justice
and the politics of difference. Princeton University Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar