Kamis, 23 Oktober 2025

Filsafat Kebebasan: Antara Determinasi, Otonomi, dan Tanggung Jawab Moral

Filsafat Kebebasan

Antara Determinasi, Otonomi, dan Tanggung Jawab Moral


Alihkan ke: Determinisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tema Filsafat Kebebasan sebagai salah satu pilar utama dalam refleksi filsafat tentang eksistensi, moralitas, dan tanggung jawab manusia. Kajian ini menelusuri evolusi konseptual kebebasan dari tradisi Yunani Kuno—melalui pemikiran Plato dan Aristoteles—hingga teologi skolastik Thomas Aquinas, kemudian ke rasionalisme dan idealisme modern Kant dan Rousseau, serta menuju eksistensialisme Sartre dan humanisme kontemporer. Pembahasan ini juga mencakup dimensi ontologis (hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk bebas), epistemologis (kesadaran reflektif dan pengetahuan tentang kebebasan), etis-aksiologis (tanggung jawab moral dan nilai kebebasan), serta kritik dan relevansinya di era digital dan global.

Secara ontologis, kebebasan dipahami sebagai dasar eksistensi manusia yang melibatkan kesadaran dan keterarahan pada kebaikan. Secara epistemologis, ia menjadi syarat bagi pengetahuan moral dan refleksi diri. Dari sisi etika dan aksiologi, kebebasan berfungsi sebagai nilai tertinggi yang memampukan manusia bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam konteks kontemporer, filsafat kebebasan menghadapi tantangan baru: kontrol algoritmik, krisis ekologis, dan degradasi makna dalam budaya konsumtif. Oleh karena itu, artikel ini menegaskan bahwa kebebasan sejati bukanlah ketiadaan batas, melainkan kemampuan untuk bertindak sadar dan bertanggung jawab di tengah keterbatasan.

Sebagai sintesis, filsafat kebebasan mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang “dipanggil untuk menjadi bebas”—bukan sekadar memiliki kebebasan, melainkan menghidupkannya melalui rasionalitas, moralitas, dan solidaritas sosial. Dengan demikian, kebebasan merupakan fondasi eksistensial dan etis yang menuntun manusia menuju kemanusiaan yang utuh dan berorientasi pada kebaikan bersama.

Kata kunci: Filsafat kebebasan, eksistensi, moralitas, tanggung jawab, humanisme, etika, otonomi, kesadaran reflektif.


PEMBAHASAN

Hakikat Kebebasan dan Bagaimana Ia Dapat Dipahami secara Filosofis


1.           Pendahuluan

Kebebasan merupakan salah satu tema sentral dalam sejarah filsafat, yang senantiasa menjadi medan perdebatan antara pandangan deterministik dan pandangan yang menekankan otonomi manusia. Sejak zaman Yunani Kuno hingga era kontemporer, pertanyaan mengenai hakikat kebebasan terus bergema dalam upaya manusia memahami eksistensinya di dunia. Filsafat kebebasan tidak hanya menyoal kemampuan manusia untuk memilih atau bertindak, melainkan juga menyentuh inti dari apa artinya menjadi manusia yang sadar, bertanggung jawab, dan memiliki tujuan moral. Dalam konteks ini, kebebasan bukan semata hak atau kapasitas psikologis, tetapi sebuah dimensi ontologis yang menegaskan eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan moral yang berorientasi pada kebaikan dan makna hidup.¹

Secara historis, diskursus tentang kebebasan telah berkembang melalui beragam paradigma. Dalam filsafat Yunani, Plato menempatkan kebebasan sebagai hasil dari keteraturan jiwa yang tunduk pada rasio; kebebasan sejati adalah kebebasan dari dorongan nafsu menuju tatanan akal yang harmonis.² Aristoteles, melalui konsep prohairesis (kehendak rasional), menekankan kebebasan sebagai kemampuan deliberatif untuk memilih yang baik dalam kerangka etika kebajikan.³ Sementara dalam teologi Kristen, khususnya pada masa St. Agustinus dan Thomas Aquinas, kebebasan dipahami sebagai kemampuan kehendak manusia yang berakar pada akal budi dan diarahkan pada kebaikan tertinggi, yaitu Tuhan.⁴

Pada masa modern, konsep kebebasan mengalami transformasi radikal seiring munculnya individualisme dan rasionalisme. René Descartes menegaskan otonomi subjek sebagai dasar pengetahuan dan eksistensi, sementara Immanuel Kant memformulasikan kebebasan sebagai kondisi apriori bagi moralitas.⁵ Menurut Kant, manusia hanya benar-benar bebas ketika ia bertindak berdasarkan hukum moral yang ditetapkan oleh akal praktisnya sendiri, bukan oleh dorongan empiris atau keinginan eksternal.⁶ Di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau mengaitkan kebebasan dengan dimensi politik, yakni sebagai partisipasi individu dalam pembentukan kehendak umum (volonté générale) yang menjamin kesetaraan dan kedaulatan rakyat.⁷

Dalam perkembangan filsafat abad ke-20, kebebasan menjadi sorotan utama dalam eksistensialisme. Jean-Paul Sartre, misalnya, menegaskan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas” karena tidak ada kodrat yang menentukan dirinya; manusia harus mencipta esensinya sendiri melalui tindakan.⁸ Di sisi lain, Erich Fromm mengingatkan bahwa kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab moral dapat berubah menjadi alienasi, di mana manusia kehilangan arah dalam menghadapi struktur sosial dan ekonomi modern.⁹ Isaiah Berlin kemudian memperkenalkan dikotomi antara kebebasan negatif (bebas dari paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk menentukan diri sendiri), yang membuka dimensi politik dan sosial dalam pembahasan kebebasan.¹⁰

Di era kontemporer, konsep kebebasan semakin kompleks karena harus berhadapan dengan realitas baru seperti teknologi digital, globalisasi, dan biopolitik. Kebebasan kini bukan hanya persoalan metafisik atau etis, tetapi juga persoalan struktural yang berkaitan dengan kekuasaan, algoritma, dan konstruksi identitas.¹¹ Oleh karena itu, filsafat kebebasan harus dikaji tidak hanya sebagai persoalan teoretis, tetapi juga sebagai praksis sosial yang menentukan arah kehidupan manusia di tengah kemajuan sains dan teknologi yang kian mendominasi ruang keputusan individu.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebebasan secara menyeluruh dari dimensi historis, ontologis, epistemologis, dan etis. Dengan pendekatan filosofis yang sistematis, tulisan ini hendak menunjukkan bahwa kebebasan bukanlah konsep mutlak yang berdiri sendiri, melainkan hasil dialektika antara determinasi dan otonomi, antara struktur sosial dan kesadaran reflektif manusia. Kajian ini juga akan menegaskan pentingnya kebebasan yang bertanggung jawab, yakni kebebasan yang terarah pada kebaikan, martabat manusia, dan solidaritas sosial sebagai pilar kehidupan etis dalam dunia modern.¹²


Footnotes

[1]                ¹ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 21–22.

[2]                ² Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 441d–443e.

[3]                ³ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1112a–1113b.

[4]                ⁴ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.

[5]                ⁵ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 61.

[6]                ⁶ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 53.

[7]                ⁷ Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), 49–50.

[8]                ⁸ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.

[9]                ⁹ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar & Rinehart, 1941), 103–107.

[10]             ¹⁰ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 121–122.

[11]             ¹¹ Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 201–202.

[12]             ¹² Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 82–83.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Filsafat Kebebasan

Pemikiran tentang kebebasan memiliki akar yang panjang dan kompleks dalam sejarah filsafat. Sejak awal, kebebasan dipahami bukan hanya sebagai kondisi sosial atau politik, melainkan sebagai prinsip metafisik dan etis yang mendasari eksistensi manusia. Evolusi gagasan kebebasan mencerminkan perkembangan kesadaran manusia terhadap dirinya sendiri, terhadap dunia, dan terhadap tatanan moral yang melingkupinya. Kajian genealogis terhadap konsep ini memungkinkan kita memahami bagaimana makna kebebasan berubah sesuai dengan konteks budaya, teologis, dan rasionalitas zaman.¹

2.1.       Kebebasan dalam Filsafat Klasik

Dalam filsafat Yunani Kuno, kebebasan (eleutheria) memiliki makna yang erat dengan tatanan kosmos dan kehidupan politik polis. Bagi Plato, kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk melakukan apa pun, melainkan kebebasan yang diperoleh melalui keteraturan jiwa dan penguasaan diri oleh rasio. Dalam Republic, ia menegaskan bahwa manusia hanya dapat disebut bebas ketika jiwanya diatur oleh bagian rasional yang menuntun kehendak dan hasrat menuju kebaikan yang tertinggi, yaitu to agathon (yang baik).² Dengan demikian, kebebasan bagi Plato bersifat moral dan teleologis: kebebasan sejati berarti tunduk pada tatanan rasional alam semesta.³

Aristoteles melanjutkan gagasan ini dengan pendekatan yang lebih empiris dan etis. Melalui konsep prohairesis (pilihan rasional), ia melihat kebebasan sebagai hasil deliberasi moral di antara berbagai kemungkinan tindakan.⁴ Kebebasan bukanlah kebetulan, melainkan tindakan yang disadari dan bertujuan baik. Dalam konteks politik, Aristoteles menegaskan bahwa manusia bebas karena memiliki logos, kemampuan rasional untuk menentukan dirinya dalam polis.⁵ Dalam dunia klasik, kebebasan memiliki makna kolektif—manusia bebas sejauh ia berpartisipasi dalam kehidupan publik dan tunduk pada hukum yang adil.

2.2.       Kebebasan dalam Filsafat Abad Pertengahan

Pada Abad Pertengahan, diskursus kebebasan bergeser ke dalam kerangka teologis. Santo Agustinus mengembangkan konsep liberum arbitrium (kehendak bebas) untuk menjelaskan hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak Tuhan.⁶ Bagi Agustinus, kebebasan sejati tidak terletak pada kemampuan untuk memilih antara baik dan buruk, tetapi pada kemampuan untuk memilih yang baik sesuai dengan kehendak ilahi. Dosa asal menyebabkan kehendak manusia cenderung pada keburukan, sehingga kebebasan hanya dapat dipulihkan melalui rahmat Tuhan.⁷

Thomas Aquinas kemudian menafsirkan kembali kebebasan dalam kerangka rasional dan naturalistik. Ia memandang kebebasan manusia sebagai ekspresi dari kehendak yang diarahkan oleh akal budi kepada kebaikan universal.⁸ Dalam Summa Theologica, Aquinas menjelaskan bahwa kehendak bebas tidak meniadakan ketergantungan manusia pada Tuhan, tetapi justru menegaskan partisipasi manusia dalam hukum kodrati (lex naturalis) yang berasal dari hukum ilahi.⁹ Dengan demikian, dalam perspektif skolastik, kebebasan adalah koheren dengan keteraturan kosmos dan tatanan moral Tuhan; manusia bebas justru karena ia mampu mengenali dan memilih kebaikan yang benar.

2.3.       Kebebasan dalam Filsafat Modern

Memasuki zaman modern, pemaknaan kebebasan mengalami perubahan mendasar seiring dengan munculnya individualisme, rasionalisme, dan sekularisasi. René Descartes menggeser titik tolak kebebasan dari kosmos ke dalam subjek. Ia menegaskan bahwa kebebasan adalah atribut utama dari kehendak manusia, yang bersifat tak terbatas dibandingkan dengan pengetahuan yang terbatas.¹⁰ Meskipun demikian, kebebasan yang tidak diarahkan oleh pengetahuan dapat menjerumuskan manusia pada kesalahan; karenanya, bagi Descartes, kebebasan sejati adalah kebebasan yang selaras dengan rasio yang benar.¹¹

Immanuel Kant kemudian memberikan dasar moral bagi kebebasan dalam filsafatnya. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, ia menegaskan bahwa kebebasan bukan sekadar kemampuan untuk bertindak sesuai kehendak, tetapi kemampuan untuk menentukan diri menurut hukum moral yang diciptakan oleh akal praktis sendiri.¹² Bagi Kant, kebebasan adalah otonomi moral—manusia bebas sejauh ia tunduk pada hukum yang ia buat bagi dirinya sendiri dalam kerangka rasionalitas universal.¹³

Jean-Jacques Rousseau menambahkan dimensi sosial-politik dalam pembahasan kebebasan. Dalam Du contrat social, ia mengemukakan bahwa manusia “lahir bebas, tetapi di mana-mana ia dalam belenggu.”¹⁴ Kebebasan sejati hanya dapat terwujud ketika individu menyerahkan kehendaknya kepada kehendak umum (volonté générale) yang mencerminkan kepentingan kolektif. Kebebasan, bagi Rousseau, bukanlah anarki, melainkan partisipasi aktif dalam penciptaan hukum yang adil.¹⁵

2.4.       Kebebasan dalam Filsafat Kontemporer

Pada abad ke-20, filsafat kebebasan memperoleh dimensi eksistensial dan politik yang lebih luas. Jean-Paul Sartre memandang kebebasan sebagai hakikat eksistensi manusia: “manusia dikutuk untuk bebas.”¹⁶ Tidak ada kodrat yang menentukan manusia; setiap individu harus menciptakan esensinya melalui tindakan. Kebebasan, dalam hal ini, membawa beban tanggung jawab yang besar karena setiap pilihan individu menegaskan nilai bagi seluruh umat manusia.¹⁷

Sementara itu, Erich Fromm mengkritik bentuk kebebasan modern yang hanya menekankan aspek negatif—kebebasan dari paksaan—tanpa menyertakan arah moral dan sosial. Dalam Escape from Freedom, Fromm menyatakan bahwa manusia modern melarikan diri dari kebebasan karena takut pada tanggung jawab dan kesendirian eksistensial.¹⁸ Isaiah Berlin kemudian memperkenalkan distingsi antara kebebasan negatif (bebas dari paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk menentukan diri), yang menjadi pijakan penting bagi filsafat politik liberal dan pluralisme modern.¹⁹

Michel Foucault dan Jürgen Habermas memperluas diskusi ini dalam konteks kekuasaan dan komunikasi. Foucault melihat kebebasan sebagai praktik resistensi terhadap mekanisme kekuasaan yang mendisiplinkan tubuh dan subjek,²⁰ sedangkan Habermas memahami kebebasan sebagai rasionalitas komunikatif yang memungkinkan partisipasi setara dalam ruang publik.²¹ Dengan demikian, dalam filsafat kontemporer, kebebasan tidak lagi dipahami semata-mata sebagai kondisi internal subjek, tetapi juga sebagai hasil dari struktur sosial, bahasa, dan relasi kekuasaan.


Pengaruh Religius dan Timur

Selain tradisi Barat, filsafat kebebasan juga memiliki padanan dalam pemikiran Timur. Dalam Buddhisme, kebebasan (vimutti) berarti pembebasan dari penderitaan dan keterikatan melalui pencerahan (nirvana), bukan kebebasan untuk bertindak sesuka hati.²² Sementara dalam Hindu, konsep moksha menggambarkan kebebasan tertinggi sebagai penyatuan dengan Brahman, setelah melepaskan ilusi individualitas.²³ Dalam Islam, kebebasan manusia ditempatkan dalam kerangka kehendak Tuhan (qadar); manusia bebas dalam ruang tanggung jawab moral, tetapi tidak mutlak lepas dari ketentuan ilahi.²⁴ Perspektif ini menunjukkan bahwa kebebasan memiliki banyak wajah—teologis, metafisik, moral, dan sosial—yang semuanya berakar pada pencarian manusia akan makna dan otonomi sejati.


Footnotes

[1]                ¹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 25–27.

[2]                ² Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 441d–443e.

[3]                ³ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work (London: Methuen, 1960), 201–203.

[4]                ⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1112a–1113b.

[5]                ⁵ Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 285.

[6]                ⁶ Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1993), 1.12–13.

[7]                ⁷ John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 153–155.

[8]                ⁸ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.

[9]                ⁹ Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 33–34.

[10]             ¹⁰ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 61.

[11]             ¹¹ Stephen Voss, “Descartes on the Will and Freedom,” Philosophical Review 98, no. 1 (1989): 67–86.

[12]             ¹² Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 53.

[13]             ¹³ Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 96.

[14]             ¹⁴ Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), 49.

[15]             ¹⁵ Patrick Riley, The General Will before Rousseau (Princeton: Princeton University Press, 1986), 78.

[16]             ¹⁶ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.

[17]             ¹⁷ Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 41–42.

[18]             ¹⁸ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar & Rinehart, 1941), 103–107.

[19]             ¹⁹ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 121–122.

[20]             ²⁰ Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 201–202.

[21]             ²¹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 287–288.

[22]             ²² Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 55–56.

[23]             ²³ S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 2 (London: George Allen & Unwin, 1927), 501–503.

[24]             ²⁴ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 55–57.


3.           Ontologi Kebebasan

Ontologi kebebasan berusaha menjawab pertanyaan fundamental tentang apa kebebasan itu pada hakikatnya, bukan sekadar bagaimana ia dialami atau diaktualisasikan. Dalam ranah ini, filsafat menelaah keberadaan kebebasan sebagai modus eksistensi manusia dan struktur realitas yang memungkinkan tindakan bebas. Dengan demikian, pembahasan ontologis tentang kebebasan tidak hanya menyinggung aspek psikologis atau moral, tetapi juga menyentuh dimensi metafisik: apakah kebebasan merupakan sifat esensial dari manusia, ataukah sekadar ilusi yang timbul dari ketidaktahuan manusia terhadap kausalitas yang menentukannya?¹

3.1.       Kebebasan sebagai Modus Eksistensi Manusia

Dalam konteks eksistensial, kebebasan bukan sekadar kemampuan untuk memilih, melainkan kondisi ontologis yang melekat pada eksistensi manusia. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi, sehingga manusia pada dasarnya “dikutuk untuk bebas.”² Ungkapan ini menegaskan bahwa kebebasan bukanlah salah satu sifat di antara yang lain, melainkan inti dari eksistensi itu sendiri. Manusia tidak memiliki kodrat yang memaksanya menjadi sesuatu; ia menjadi apa yang dipilihnya melalui tindakan.³ Dalam kerangka ini, kebebasan adalah beban eksistensial: manusia bebas, tetapi kebebasan itu disertai tanggung jawab penuh terhadap makna dari eksistensinya sendiri.

Martin Heidegger, melalui konsep Dasein, juga memahami kebebasan sebagai cara berada (Seinsweise) manusia yang terbuka terhadap kemungkinan.⁴ Kebebasan bukanlah pelarian dari determinasi, tetapi keterbukaan terhadap Sein—keterlemparan (Geworfenheit) sekaligus proyek (Entwurf).⁵ Dengan demikian, kebebasan manusia terletak dalam kemampuannya untuk menafsirkan dan melampaui keadaan faktis yang membatasinya. Ontologi kebebasan, dalam pandangan Heidegger, bukan tentang “bebas dari” sesuatu, melainkan tentang “bebas untuk” mengada secara autentik di dunia.⁶

3.2.       Kebebasan dan Determinasi dalam Struktur Realitas

Pertanyaan besar dalam ontologi kebebasan adalah apakah kebebasan dapat benar-benar ada dalam dunia yang tunduk pada hukum kausalitas. Kaum determinis, seperti Baruch Spinoza, menolak gagasan kehendak bebas dengan menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk tindakan manusia, tunduk pada hukum sebab-akibat yang niscaya.⁷ Dalam Ethica, Spinoza menulis bahwa manusia merasa dirinya bebas karena tidak mengetahui sebab-sebab yang mendorong tindakannya; kebebasan hanyalah kesadaran akan keinginan tanpa pengetahuan akan determinasi yang menyertainya.⁸ Dengan demikian, bagi Spinoza, kebebasan sejati hanya mungkin dicapai ketika manusia memahami dan menerima keteraturannya dalam keseluruhan sistem alam yang ilahi.⁹

Sebaliknya, dalam tradisi idealisme transendental, seperti pada Kant, kebebasan dipahami sebagai syarat kemungkinan moralitas. Menurut Kant, dalam dunia fenomenal semua tunduk pada hukum alam, tetapi dalam dunia noumenal—dunia akal praktis—manusia adalah makhluk bebas.¹⁰ Dengan demikian, kebebasan tidak dapat dijelaskan secara empiris, melainkan mesti dipahami sebagai postulat rasional yang memungkinkan tanggung jawab moral.¹¹ Pendekatan Kant ini menempatkan kebebasan di antara dua tatanan ontologis: alam (determinasi) dan moralitas (otonomi), yang saling berlawanan namun tak terpisahkan.

3.3.       Struktur Metafisik Kehendak Bebas

Dalam tradisi skolastik, terutama pada pemikiran Thomas Aquinas, kebebasan merupakan fungsi dari kehendak yang diarahkan oleh rasio.¹² Manusia disebut bebas karena ia memiliki kapasitas untuk menilai dan memilih berdasarkan pertimbangan akal budi. Namun, kehendak tidak dapat diartikan sebagai kekuatan otonom yang terlepas dari kebenaran objektif; kebebasan sejati adalah kebebasan untuk memilih yang baik sesuai dengan tujuan akhir manusia, yakni bonum universale (kebaikan universal).¹³ Aquinas menolak pandangan bahwa kebebasan berarti kemampuan untuk berbuat sewenang-wenang; sebaliknya, ia menegaskan bahwa semakin seseorang mengenal kebenaran, semakin bebas ia dalam bertindak.¹⁴ Dengan demikian, secara ontologis, kebebasan adalah pertemuan antara akal dan kehendak dalam orientasi kepada kebaikan.

Pandangan ini diperkuat oleh filsuf personalis seperti Jacques Maritain, yang menafsirkan kebebasan sebagai bagian integral dari martabat manusia.¹⁵ Menurutnya, kebebasan bukan hanya potensi untuk memilih, tetapi juga struktur batin yang menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang berpartisipasi dalam tatanan moral dan spiritual. Kebebasan manusia tidak absolut; ia berakar pada keterbatasan ontologis dan keterarahan transendental kepada Sang Pencipta.¹⁶

3.4.       Paradoks Ontologis: Kebebasan sebagai Keterbatasan

Kebebasan, secara paradoksal, mengandaikan adanya batas. Tanpa keterbatasan, tidak ada ruang bagi tindakan bebas untuk memiliki makna.¹⁷ Dalam dunia empiris, setiap tindakan manusia terjadi dalam kondisi tertentu yang mengekang sekaligus memungkinkan. Karl Jaspers menyebut kondisi ini sebagai Grenzsituationen (situasi batas), di mana manusia dihadapkan pada fakta eksistensial seperti kematian, penderitaan, dan kebetulan.¹⁸ Justru melalui keterbatasan inilah kebebasan menemukan bentuknya: manusia menjadi bebas karena ia sadar akan batas-batasnya dan mampu melampauinya melalui refleksi eksistensial.¹⁹

Simone de Beauvoir mengembangkan pemikiran ini dengan menekankan bahwa kebebasan manusia selalu bersifat relasional.²⁰ Kebebasan tidak pernah mutlak, melainkan selalu berada dalam konteks dunia sosial dan keberadaan orang lain.²¹ Dalam The Ethics of Ambiguity, ia menulis bahwa menjadi bebas berarti mengakui kebebasan orang lain dan berjuang untuk memperluas ruang kebebasan bersama.²² Maka, secara ontologis, kebebasan bukanlah isolasi metafisik, tetapi keterlibatan aktif dalam dunia yang sarat makna dan nilai.


Sintesis Ontologis: Kebebasan sebagai Koherensi Antara Keberadaan dan Kesadaran

Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan memiliki dua wajah ontologis yang saling berkelindan: kebebasan sebagai dasar eksistensi (menjadi) dan kebebasan sebagai refleksi kesadaran (mengetahui).²³ Kebebasan bukanlah entitas statis, tetapi dinamika ontologis yang menghubungkan manusia dengan realitas secara aktif. Dalam diri manusia, keberadaan dan kesadaran berjumpa dalam tindakan—tindakan yang bebas namun bermakna, karena ia berakar pada kesadaran reflektif dan tanggung jawab moral.²⁴

Dengan demikian, ontologi kebebasan menegaskan bahwa kebebasan bukanlah ilusi ataupun absolutisme subjek, melainkan struktur dasar dari eksistensi yang sadar. Kebebasan selalu hadir dalam tegangan antara determinasi dan otonomi, antara fakta dan nilai, antara keterbatasan dan transendensi.²⁵ Kebebasan, dalam arti terdalamnya, bukanlah “kemampuan untuk memilih apa saja,” melainkan “kemampuan untuk menjadi seseorang” — suatu ekspresi dari eksistensi yang sadar akan dirinya dan dunia yang melingkupinya.²⁶


Footnotes

[1]                ¹ Robert C. Solomon, A Passion for Justice: Emotions and the Origins of the Social Contract (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 47.

[2]                ² Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.

[3]                ³ Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 54.

[4]                ⁴ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–185.

[5]                ⁵ Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 142–145.

[6]                ⁶ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45–47.

[7]                ⁷ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University Press, 1985), I, Prop. 29.

[8]                ⁸ Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 232.

[9]                ⁹ Jonathan Bennett, “Freedom and Necessity in Spinoza,” Philosophical Review 83, no. 1 (1974): 3–28.

[10]             ¹⁰ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28.

[11]             ¹¹ Allen Wood, Kant’s Moral Religion (Ithaca: Cornell University Press, 1970), 102.

[12]             ¹² Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.

[13]             ¹³ Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 33.

[14]             ¹⁴ Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 231.

[15]             ¹⁵ Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 28–30.

[16]             ¹⁶ Yves R. Simon, Freedom of Choice (New York: Fordham University Press, 1969), 11–13.

[17]             ¹⁷ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1 (Chicago: Henry Regnery, 1950), 87–89.

[18]             ¹⁸ Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 37–39.

[19]             ¹⁹ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 211.

[20]             ²⁰ Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 44.

[21]             ²¹ Margaret Simons, Beauvoir and The Second Sex: Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman & Littlefield, 1999), 62–63.

[22]             ²² Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, 73–74.

[23]             ²³ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 5–6.

[24]             ²⁴ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 42–43.

[25]             ²⁵ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 520.

[26]             ²⁶ Emmanuel Mounier, Personalism (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 94–95.


4.           Epistemologi Kebebasan

Epistemologi kebebasan menelaah bagaimana manusia mengetahui dan menyadari dirinya sebagai makhluk yang bebas. Jika ontologi kebebasan berfokus pada hakikat keberadaan kebebasan itu sendiri, maka epistemologi kebebasan berurusan dengan kesadaran, refleksi, dan pengetahuan tentang kebebasan sebagai pengalaman yang dihayati. Dengan kata lain, persoalan epistemologis kebebasan berpusat pada pertanyaan: bagaimana manusia dapat memahami dirinya sebagai subjek yang memiliki kehendak bebas di tengah dunia yang tampak deterministik?¹

Epistemologi kebebasan memiliki posisi yang unik karena ia tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui metode empiris maupun logika formal. Pengetahuan tentang kebebasan bukan hasil observasi objektif, melainkan kesadaran reflektif yang bersifat fenomenologis dan transendental.² Manusia tidak membuktikan kebebasan melalui data, tetapi menyadarinya melalui tindakan dan tanggung jawab. Di sinilah kebebasan menampakkan diri sebagai pengalaman dasar kesadaran manusia yang tak dapat direduksi menjadi sekadar gejala psikologis atau akibat biologis.³

4.1.       Kesadaran Diri sebagai Dasar Pengetahuan tentang Kebebasan

Kebebasan pertama-tama diketahui melalui pengalaman kesadaran diri. Dalam tradisi fenomenologi, Edmund Husserl menegaskan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional—ia selalu tentang sesuatu.⁴ Namun, dalam refleksi diri, kesadaran menemukan dirinya bukan sekadar sebagai pengamat dunia, tetapi sebagai pelaku yang memiliki kemampuan memilih dan bertindak. Pengalaman “aku dapat” mendahului setiap refleksi teoritis dan menjadi dasar bagi pengalaman kebebasan.⁵

Jean-Paul Sartre mengembangkan gagasan ini dalam kerangka eksistensialisme. Menurutnya, kesadaran adalah “kebebasan murni,” karena ia selalu melampaui dirinya sendiri dalam proyek untuk menjadi.⁶ Dalam Being and Nothingness, Sartre menunjukkan bahwa kesadaran tidak memiliki esensi tetap—ia adalah nihil, ruang kosong yang membuka kemungkinan bagi tindakan bebas.⁷ Oleh karena itu, pengetahuan tentang kebebasan tidak bersumber dari luar diri manusia, melainkan dari pengalaman reflektif tentang kesadaran yang sadar akan kemampuannya untuk menentukan makna eksistensinya sendiri.

Simone de Beauvoir memperkuat argumen ini dengan menegaskan bahwa kesadaran akan kebebasan muncul dalam relasi dengan orang lain.⁸ Manusia tidak menyadari kebebasannya dalam isolasi, melainkan dalam konflik dan dialog dengan kebebasan orang lain. Dengan demikian, kebebasan diketahui bukan sebagai entitas individual, tetapi sebagai pengalaman intersubjektif yang menuntut pengakuan timbal balik.⁹

4.2.       Ilusi Kebebasan dan Konstruksi Sosial Pengetahuan

Namun, tidak semua pengetahuan tentang kebebasan bersifat reflektif murni; sebagian besar dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan ideologis. Michel Foucault berpendapat bahwa apa yang kita pahami sebagai “kebebasan” sering kali merupakan hasil dari relasi kekuasaan yang tersembunyi dalam wacana dan institusi sosial.¹⁰ Dalam Discipline and Punish, ia menjelaskan bahwa sistem modern membentuk individu melalui disiplin, pengawasan, dan normalisasi sehingga individu merasa dirinya bebas padahal perilakunya telah diarahkan oleh struktur sosial.¹¹

Pandangan serupa dikemukakan oleh Louis Althusser melalui konsep interpelasi ideologis, di mana subjek “dipanggil” oleh ideologi untuk mengenali dirinya sebagai agen bebas, padahal sebenarnya tunduk pada mekanisme reproduksi sosial.¹² Dalam konteks ini, kebebasan epistemologis menjadi paradoks: manusia “tahu” dirinya bebas, tetapi pengetahuan itu sendiri telah dibentuk oleh sistem yang membatasi kebebasan tersebut.¹³

Dari perspektif psikoanalitik, Sigmund Freud juga meragukan kebebasan sadar manusia. Menurutnya, banyak keputusan yang dianggap bebas sebenarnya berasal dari dorongan bawah sadar (unconscious drives) yang tidak disadari oleh ego.¹⁴ Karenanya, pengetahuan tentang kebebasan sering kali tertipu oleh ilusi kesadaran diri yang dangkal. Meskipun demikian, Freud tidak sepenuhnya menolak kebebasan; ia justru menempatkannya dalam konteks perjuangan manusia untuk mengenali dorongan tak sadar dan menundukkannya melalui pengetahuan diri yang lebih mendalam.¹⁵

4.3.       Rasionalitas dan Pengetahuan Moral tentang Kebebasan

Dalam filsafat modern, hubungan antara rasionalitas dan kebebasan menjadi pusat perhatian epistemologis. Immanuel Kant memandang kebebasan sebagai kondisi transendental bagi moralitas: manusia hanya dapat mengetahui dirinya sebagai makhluk moral sejauh ia menyadari dirinya sebagai makhluk bebas.¹⁶ Pengetahuan ini bukan hasil empiris, melainkan bentuk kesadaran apriori dari akal praktis. Ketika seseorang bertindak karena kewajiban moral, ia mengetahui dirinya bebas melalui tindakan itu sendiri.¹⁷ Dengan kata lain, kesadaran moral adalah bentuk epistemik tertinggi dari kebebasan—manusia tahu dirinya bebas karena ia merasakan kewajiban untuk bertindak secara otonom.¹⁸

Hegel kemudian mengembangkan konsep ini dalam kerangka dialektika kesadaran. Bagi Hegel, kebebasan tidak dapat dipahami tanpa sejarah kesadaran. Dalam Phenomenology of Spirit, ia menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kebebasan tumbuh melalui proses dialektis, dari kesadaran diri yang teralienasi menuju Roh Absolut yang mengenali dirinya dalam dunia.¹⁹ Kebebasan, dalam pengertian ini, bukan fakta psikologis melainkan hasil evolusi kesadaran historis: manusia mengetahui dirinya bebas ketika ia memahami dirinya sebagai bagian dari rasionalitas universal.²⁰

4.4.       Kebebasan Berpikir dan Otonomi Pengetahuan

Aspek penting lain dari epistemologi kebebasan adalah kebebasan berpikir. Baruch Spinoza, dalam Tractatus Theologico-Politicus, menekankan bahwa kebebasan berpikir merupakan fondasi semua bentuk kebebasan lainnya, karena tanpa otonomi akal, manusia menjadi budak prasangka dan dogma.²¹ Pengetahuan sejati, menurut Spinoza, adalah pengetahuan yang membebaskan manusia dari belenggu afek dan ketidaktahuan.²²

John Stuart Mill memperluas gagasan ini dalam konteks liberalisme modern. Dalam On Liberty, ia berargumen bahwa kebebasan berpikir adalah syarat bagi kemajuan pengetahuan dan kebenaran.²³ Pengetahuan manusia tidak dapat berkembang tanpa ruang bagi perbedaan pendapat dan kebebasan untuk menguji gagasan secara kritis.²⁴ Dengan demikian, epistemologi kebebasan menuntut kondisi sosial-politik yang memungkinkan pencarian kebenaran secara bebas dan rasional.

Dalam konteks kontemporer, Jürgen Habermas menegaskan bahwa kebebasan pengetahuan hanya dapat diwujudkan melalui rasionalitas komunikatif.²⁵ Pengetahuan yang bebas adalah pengetahuan yang lahir dari dialog tanpa dominasi, di mana argumentasi menggantikan paksaan.²⁶ Maka, epistemologi kebebasan berakar pada komunikasi rasional dan kejujuran intersubjektif—suatu proses di mana kebenaran dan kebebasan menjadi dua sisi dari satu gerak kesadaran manusia.


Sintesis Epistemologis: Mengetahui untuk Menjadi Bebas

Dari berbagai pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan memiliki dua dimensi epistemologis: reflektif dan praksis. Reflektif karena kebebasan disadari dalam kesadaran diri yang otonom; praksis karena pengetahuan itu diwujudkan dalam tindakan moral dan sosial.²⁷ Pengetahuan tentang kebebasan bukanlah sesuatu yang final, melainkan proses dinamis menuju pencerahan dan otonomi yang lebih tinggi.

Dengan demikian, epistemologi kebebasan menunjukkan bahwa mengetahui dan menjadi bebas adalah dua gerak yang saling mengandaikan.²⁸ Manusia tidak dapat benar-benar mengetahui dirinya tanpa mengalami kebebasan, dan tidak dapat sungguh-sungguh bebas tanpa memahami hakikat kebebasan itu sendiri.²⁹ Pengetahuan, dalam arti tertinggi, adalah tindakan pembebasan: to know is to be free.³⁰


Footnotes

[1]                ¹ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 12–13.

[2]                ² Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 425.

[3]                ³ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2 (Chicago: Henry Regnery, 1951), 44.

[4]                ⁴ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Nijhoff, 1982), 82.

[5]                ⁵ Dan Zahavi, Self and Other: Exploring Subjectivity, Empathy, and Shame (Oxford: Oxford University Press, 2014), 33.

[6]                ⁶ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.

[7]                ⁷ Thomas R. Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 112.

[8]                ⁸ Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 45.

[9]                ⁹ Margaret Simons, Beauvoir and The Second Sex: Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman & Littlefield, 1999), 64.

[10]             ¹⁰ Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 112.

[11]             ¹¹ Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 202–203.

[12]             ¹² Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses,” in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 173.

[13]             ¹³ Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso, 1991), 43–44.

[14]             ¹⁴ Sigmund Freud, The Ego and the Id, trans. Joan Riviere (New York: Norton, 1960), 21.

[15]             ¹⁵ Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics (New York: Holt, 1947), 93–95.

[16]             ¹⁶ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 53.

[17]             ¹⁷ Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 100.

[18]             ¹⁸ Henry Allison, Kant’s Theory of Freedom (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 26.

[19]             ¹⁹ Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 111–113.

[20]             ²⁰ Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 62–63.

[21]             ²¹ Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans. Samuel Shirley (Leiden: Brill, 1989), 279.

[22]             ²² Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 243.

[23]             ²³ John Stuart Mill, On Liberty (London: Parker, 1859), 17–19.

[24]             ²⁴ Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118.

[25]             ²⁵ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285.

[26]             ²⁶ Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 104–106.

[27]             ²⁷ Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 64–65.

[28]             ²⁸ Hannah Arendt, The Life of the Mind, Vol. 2 (New York: Harcourt, 1978), 177.

[29]             ²⁹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 91–92.

[30]             ³⁰ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81.


5.           Etika dan Aksiologi Kebebasan

Pembahasan mengenai kebebasan tidak dapat dilepaskan dari ranah etika dan aksiologi, sebab kebebasan pada dasarnya tidak hanya menyangkut kemampuan untuk bertindak, tetapi juga arah, nilai, dan tanggung jawab dari tindakan tersebut. Etika menanyakan bagaimana kebebasan digunakan secara benar, sedangkan aksiologi menelaah nilai-nilai yang melandasi penggunaan kebebasan itu. Dengan demikian, persoalan kebebasan tidak hanya berkaitan dengan “apakah manusia bebas,” tetapi juga “bagaimana manusia harus menggunakan kebebasannya.”¹

Dalam sejarah filsafat, kebebasan selalu dihubungkan dengan tanggung jawab moral. Kebebasan tanpa orientasi etis berisiko melahirkan anarki, sedangkan etika tanpa kebebasan menjelma menjadi moralitas yang dipaksakan. Oleh karena itu, filsafat berupaya menyeimbangkan antara otonomi pribadi dan keterarahan pada kebaikan bersama.²

5.1.       Kebebasan dan Tanggung Jawab Moral

Immanuel Kant menempatkan kebebasan sebagai dasar bagi moralitas. Menurutnya, hanya tindakan yang dilakukan dari kehendak bebas dan berdasarkan prinsip moral universal yang memiliki nilai etis.³ Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant menegaskan bahwa manusia tidak bertindak secara bermoral jika tindakannya digerakkan oleh dorongan eksternal atau emosi, melainkan hanya jika ia bertindak “dari kewajiban,” yaitu berdasarkan hukum moral yang ditetapkan oleh akal praktisnya sendiri.⁴ Maka, kebebasan adalah otonomi rasional: kemampuan untuk menundukkan diri pada hukum yang kita ciptakan secara rasional.⁵

Sebaliknya, bagi Aristoteles, kebebasan moral tidak terletak dalam penolakan terhadap dorongan natural, tetapi pada kemampuan untuk menyeimbangkan antara rasio dan hasrat.⁶ Dalam Nicomachean Ethics, ia menegaskan bahwa tindakan moral lahir dari kehendak sadar (prohairesis), yang menimbang baik dan buruk berdasarkan kebiasaan yang terbentuk melalui kebajikan (virtue).⁷ Maka, kebebasan dalam pandangan Aristotelian bukanlah kebebasan absolut, melainkan kebebasan yang terarah—yakni kebebasan yang tumbuh bersama keutamaan karakter.

Sementara itu, Jean-Paul Sartre mengembangkan konsep kebebasan dalam konteks eksistensial. Bagi Sartre, manusia sepenuhnya bebas, tetapi kebebasan itu selalu diiringi beban tanggung jawab yang mutlak.⁸ Tidak ada Tuhan atau kodrat yang menentukan tindakan manusia; karena itu, setiap pilihan manusia menjadi pencipta nilai bagi seluruh umat manusia.⁹ Dalam pengertian ini, etika kebebasan Sartre bersifat radikal: manusia tidak dapat menyalahkan siapa pun atas tindakannya, sebab dengan memilih, ia menegaskan dirinya sebagai pembuat makna dunia.¹⁰

5.2.       Nilai-nilai Kebebasan: Martabat, Otonomi, dan Solidaritas

Kebebasan, dalam kerangka aksiologis, terkait erat dengan nilai martabat manusia. Menurut Jacques Maritain, martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk mengenal kebenaran dan memilih kebaikan secara sadar.¹¹ Kebebasan bukanlah hak untuk melakukan apa saja, melainkan kapasitas untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang menjunjung kemanusiaan.¹² Dalam tradisi personalisme ini, kebebasan dan nilai menjadi dua sisi dari satu hakikat: kebebasan tanpa nilai kehilangan arah, sedangkan nilai tanpa kebebasan kehilangan makna.

Santo Thomas Aquinas menegaskan hal serupa dengan menyatakan bahwa “kebebasan sejati adalah kebebasan untuk melakukan yang baik.”¹³ Ia menolak pandangan yang menyamakan kebebasan dengan kemampuan memilih secara sewenang-wenang (liberum arbitrium indifferentiae). Bagi Aquinas, kehendak manusia secara kodrati tertuju kepada kebaikan tertinggi (summum bonum), dan semakin seseorang mengenal serta memilih kebaikan, semakin bebaslah ia.¹⁴ Maka, nilai moral kebebasan terletak bukan pada pilihan yang tak terbatas, tetapi pada keselarasan antara kehendak dan kebenaran moral.

Dari perspektif eksistensial-humanistik, Erich Fromm melihat bahwa kebebasan harus dipahami secara positif sebagai realisasi diri (self-actualization) dan solidaritas kemanusiaan.¹⁵ Dalam Escape from Freedom, Fromm mengkritik kebebasan modern yang cenderung negatif—kebebasan dari—yang justru melahirkan keterasingan dan kecemasan.¹⁶ Ia mengusulkan kebebasan untuk, yakni kebebasan yang aktif dan kreatif, yang berakar pada cinta dan tanggung jawab terhadap sesama.¹⁷ Dengan demikian, kebebasan memperoleh nilai intrinsik ketika digunakan untuk membangun relasi manusiawi yang autentik.

5.3.       Kebebasan dalam Konteks Sosial dan Politik

Dalam ranah politik, Isaiah Berlin membedakan dua konsep kebebasan yang fundamental: kebebasan negatif dan kebebasan positif.¹⁸ Kebebasan negatif berarti bebas dari campur tangan orang lain, sedangkan kebebasan positif berarti kemampuan individu untuk menentukan hidupnya sendiri.¹⁹ Keduanya memiliki nilai etis yang berbeda: kebebasan negatif menekankan perlindungan individu dari paksaan, sementara kebebasan positif menekankan partisipasi aktif dalam kehidupan politik.

Hannah Arendt mengembangkan dimensi politik kebebasan dalam konteks tindakan kolektif. Dalam The Human Condition, ia menegaskan bahwa kebebasan sejati bukan sekadar otonomi pribadi, tetapi kemampuan untuk bertindak bersama orang lain di ruang publik.²⁰ Kebebasan menjadi aktual ketika manusia berpartisipasi dalam dunia bersama (vita activa), di mana tindakan dan percakapan menciptakan makna dan tatanan baru.²¹ Oleh karena itu, nilai kebebasan tidak hanya terletak pada privasi individu, tetapi juga pada kemampuan untuk membentuk dunia bersama yang adil dan pluralistik.

Dalam perspektif kontemporer, kebebasan sosial harus diimbangi dengan tanggung jawab etis terhadap sesama. Martha Nussbaum dan Amartya Sen mengusulkan capabilities approach—bahwa kebebasan sejati harus diukur bukan hanya dari ketiadaan paksaan, tetapi dari sejauh mana individu memiliki kemampuan nyata untuk hidup bermartabat.²² Nilai kebebasan, dengan demikian, menuntut keadilan distributif dan solidaritas sosial.

5.4.       Kebebasan di Era Digital dan Teknologi

Etika kebebasan menghadapi tantangan baru dalam dunia teknologi digital. Kebebasan individu kini sering berhadapan dengan kekuatan algoritmik, pengawasan data, dan manipulasi informasi.²³ Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance capitalism, di mana kebebasan manusia direduksi menjadi komoditas perilaku yang dapat diprediksi dan dijual.²⁴ Dalam konteks ini, kebebasan kehilangan makna etisnya karena manusia tak lagi menjadi subjek otonom, melainkan objek dari sistem teknologis yang mengekstraksi datanya.

Untuk mempertahankan nilai kebebasan, etika digital menuntut kesadaran reflektif dan tanggung jawab sosial dalam penggunaan teknologi.²⁵ Kebebasan epistemik—hak untuk mengetahui dan memilih secara sadar—menjadi nilai moral yang harus dijaga di tengah dominasi algoritma.²⁶ Dengan demikian, kebebasan di era digital tidak dapat dipahami semata sebagai hak individu, melainkan sebagai praktik kolektif untuk mempertahankan otonomi manusia di dunia yang semakin terdigitalisasi.


Sintesis Aksiologis: Kebebasan sebagai Nilai Tertinggi Moralitas

Secara aksiologis, kebebasan dapat dipahami sebagai nilai yang memungkinkan terwujudnya semua nilai moral lainnya.²⁷ Tanpa kebebasan, tidak ada kebaikan, tanggung jawab, atau keutamaan yang bermakna. Namun, kebebasan tidak memiliki nilai intrinsik jika dilepaskan dari orientasi etisnya. Dalam sintesis ini, kebebasan sejati adalah kebebasan yang diarahkan oleh akal budi, diperkuat oleh kebajikan, dan diwujudkan dalam solidaritas.²⁸

Dengan demikian, filsafat kebebasan mengandung prinsip moral universal: manusia bebas karena ia bermoral, dan ia bermoral karena ia bebas.²⁹ Etika dan aksiologi kebebasan saling meneguhkan dalam suatu horizon humanistik, di mana kebebasan bukan hanya milik individu, tetapi juga komitmen terhadap martabat dan kemaslahatan umat manusia.³⁰


Footnotes

[1]                ¹ Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 67.

[2]                ² Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 176–177.

[3]                ³ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54.

[4]                ⁴ Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 98–100.

[5]                ⁵ Henry Allison, Kant’s Theory of Freedom (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 27.

[6]                ⁶ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1113a.

[7]                ⁷ Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 214.

[8]                ⁸ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.

[9]                ⁹ Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 41.

[10]             ¹⁰ Robert C. Solomon, Ethics and Excellence (New York: Oxford University Press, 1992), 90.

[11]             ¹¹ Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 42.

[12]             ¹² Yves R. Simon, Freedom of Choice (New York: Fordham University Press, 1969), 11.

[13]             ¹³ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.

[14]             ¹⁴ Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 35.

[15]             ¹⁵ Erich Fromm, Man for Himself (New York: Holt, 1947), 93.

[16]             ¹⁶ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar & Rinehart, 1941), 110.

[17]             ¹⁷ Rollo May, The Courage to Create (New York: Norton, 1975), 54–55.

[18]             ¹⁸ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 121–122.

[19]             ¹⁹ John Gray, Liberalism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), 45.

[20]             ²⁰ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 177–178.

[21]             ²¹ Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 220.

[22]             ²² Martha Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33–34.

[23]             ²³ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–126.

[24]             ²⁴ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 7–8.

[25]             ²⁵ Rafael Capurro, Ethics and Information Technology (Berlin: Springer, 2006), 215.

[26]             ²⁶ Luciano Floridi, The Logic of Information (Oxford: Oxford University Press, 2019), 201–203.

[27]             ²⁷ Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred Frings (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 45.

[28]             ²⁸ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 132.

[29]             ²⁹ Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 23–25.

[30]             ³⁰ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 44–45.


6.           Kritik terhadap Konsep Kebebasan

Konsep kebebasan, meskipun menjadi landasan utama bagi filsafat moral, politik, dan eksistensial, tidak luput dari kritik mendasar. Beragam tradisi filsafat mempertanyakan validitas, batas, maupun realitas kebebasan itu sendiri—apakah kebebasan sungguh ada, atau hanyalah ilusi yang menutupi keterikatan manusia pada hukum-hukum alam, struktur sosial, dan determinasi psikis. Kritik terhadap kebebasan muncul dari berbagai arah: metafisik, ilmiah, sosiologis, eksistensial, dan teologis.¹ Melalui pembacaan kritis ini, filsafat kebebasan diuji tidak hanya dalam ranah konsep, tetapi juga dalam realitas empiris dan praksis manusia sehari-hari.

6.1.       Kritik Deterministik: Alam, Fisika, dan Neurokausalitas

Kaum determinis klasik, seperti Baruch Spinoza dan Pierre-Simon Laplace, berpendapat bahwa kebebasan manusia hanyalah ilusi yang lahir dari ketidaktahuan terhadap sebab-sebab yang menentukannya.² Dalam Ethica, Spinoza menyatakan bahwa manusia “merasa dirinya bebas” hanya karena ia tidak menyadari hukum-hukum yang mengatur tindakannya.³ Kebebasan sejati, menurutnya, bukanlah kebebasan untuk memilih, melainkan kebebasan untuk memahami dan menerima keharusan alam semesta yang bersifat niscaya.⁴

Pandangan ini diperkuat oleh determinisme ilmiah pada abad ke-18 dan ke-19, yang memandang dunia sebagai sistem tertutup yang sepenuhnya dapat diprediksi. Laplace menyatakan bahwa seandainya ada “kecerdasan yang mengetahui semua gaya yang menggerakkan alam semesta,” maka tidak akan ada ruang bagi kebebasan; segala sesuatu, termasuk tindakan manusia, dapat diramalkan secara pasti.⁵

Dalam konteks kontemporer, determinisme muncul kembali dalam bentuk neurodeterminisme. Eksperimen neurologis Benjamin Libet (1983) menunjukkan bahwa aktivitas otak yang mendahului keputusan sadar (disebut readiness potential) terjadi beberapa milidetik sebelum seseorang merasa membuat keputusan.⁶ Temuan ini digunakan oleh sebagian ilmuwan untuk menyimpulkan bahwa “kehendak bebas” hanyalah kesadaran pasca-faktual terhadap proses biologis yang telah ditentukan sebelumnya.⁷ Namun, kritik terhadap eksperimen ini menyatakan bahwa kebebasan tidak harus diidentikkan dengan momen neurologis, melainkan dengan refleksi dan kontrol atas tindakan yang berlangsung dalam waktu lebih panjang.⁸

6.2.       Kritik Sosial dan Ideologis: Kebebasan sebagai Produk Kekuasaan

Michel Foucault menawarkan kritik radikal terhadap konsep kebebasan liberal yang menekankan otonomi individu. Dalam pandangannya, kebebasan bukanlah kondisi alami manusia, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang dibentuk oleh wacana dan mekanisme kekuasaan.⁹ Dalam Discipline and Punish, ia menunjukkan bahwa sistem modern—melalui pendidikan, rumah sakit, penjara, dan media—menginternalisasi kontrol yang membuat individu merasa “bebas,” padahal perilakunya dikendalikan oleh norma-norma sosial.¹⁰ Dengan demikian, kebebasan beroperasi sebagai teknologi kekuasaan yang mengatur tubuh dan pikiran secara halus.¹¹

Louis Althusser melengkapi kritik ini dengan teori interpelasi ideologis: subjek tidak lahir sebagai agen bebas, melainkan “dipanggil” oleh ideologi untuk mengenali dirinya sebagai individu yang otonom.¹² Artinya, kesadaran akan kebebasan itu sendiri merupakan hasil dari struktur yang menundukkan manusia. Dalam masyarakat kapitalistik, ide kebebasan sering kali berfungsi untuk menutupi ketimpangan sosial—manusia dianggap bebas, tetapi kebebasannya dibatasi oleh mekanisme ekonomi dan ideologi konsumsi.¹³

Karl Marx juga memberikan kritik tajam terhadap kebebasan dalam sistem ekonomi liberal. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts, ia menyebut bahwa kebebasan dalam kapitalisme hanyalah “kebebasan formal,” sebab manusia tidak sungguh bebas dari kebutuhan material dan eksploitasi tenaga kerja.¹⁴ Bagi Marx, kebebasan sejati hanya dapat diwujudkan ketika manusia terbebas dari kondisi alienasi dan memiliki kendali atas sarana produksinya sendiri.¹⁵

6.3.       Kritik Eksistensial dan Nihilistik: Beban Kebebasan dan Absurditas

Jean-Paul Sartre menegaskan kebebasan mutlak manusia—namun justru pandangan ini membuka jalan bagi kritik dari kalangan eksistensialis sendiri. Søren Kierkegaard, misalnya, menilai bahwa kebebasan tanpa dasar transendental hanya akan menimbulkan kecemasan eksistensial (angst).¹⁶ Kebebasan adalah “penderitaan” karena membuka kemungkinan tak terbatas yang menuntut manusia memilih tanpa pegangan pasti.¹⁷

Albert Camus melanjutkan kritik ini dalam kerangka absurdisme. Dalam dunia yang tanpa makna objektif, kebebasan kehilangan orientasi moral dan metafisik.¹⁸ Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menggambarkan manusia bebas sebagai “makhluk yang sadar akan absurditas hidup, tetapi tetap memilih untuk hidup.”¹⁹ Kebebasan, dalam pengertian ini, bukan rahmat melainkan beban: manusia harus menciptakan maknanya sendiri di dunia yang diam dan tak peduli.²⁰

Nietzsche juga mengkritik konsep kebebasan moral modern yang dianggapnya sebagai warisan moralitas budak (Sklavenmoral).²¹ Menurut Nietzsche, kebebasan yang sesungguhnya adalah will to power—kehendak untuk menegaskan diri secara kreatif di luar batas-batas moralitas tradisional.²² Namun, kritik terhadap Nietzsche menunjukkan bahwa kebebasan yang absolut tanpa norma dapat mengarah pada nihilisme, di mana kehendak menjadi sumber nilai tanpa batas, dan tindakan kehilangan orientasi etisnya.²³

6.4.       Kritik Teologis: Ketegangan antara Kehendak Ilahi dan Kebebasan Manusia

Dalam teologi, persoalan kebebasan manusia berhadapan langsung dengan konsep kehendak Tuhan (divine will). St. Agustinus menegaskan bahwa setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, kehendak bebas menjadi lemah dan cenderung pada kejahatan.²⁴ Manusia tetap memiliki liberum arbitrium, tetapi tidak memiliki libertas vera (kebebasan sejati), yang hanya dapat dipulihkan melalui rahmat Tuhan.²⁵ Pandangan ini menimbulkan ketegangan antara kebebasan manusia dan kemahakuasaan ilahi.

John Calvin kemudian mengembangkan doktrin predestinasi, bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Tuhan, termasuk keselamatan manusia.²⁶ Konsep ini menolak kehendak bebas mutlak karena keselamatan tidak dapat diperoleh melalui tindakan manusia, melainkan semata-mata oleh kehendak Tuhan. Sebaliknya, dalam teologi Islam, para pemikir seperti Al-Ash‘ari dan Al-Maturidi berdebat mengenai sejauh mana manusia memiliki kebebasan untuk berbuat.²⁷ Al-Ash‘ari menekankan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia (kasb), sedangkan Al-Maturidi memberikan ruang bagi kehendak manusia dalam kerangka takdir ilahi.²⁸

Dengan demikian, kritik teologis menunjukkan bahwa kebebasan manusia tidak dapat dipahami tanpa memperhitungkan hubungan ontologisnya dengan Yang Ilahi. Dalam konteks ini, kebebasan bukan otonomi mutlak, tetapi partisipasi dalam kehendak Tuhan yang lebih tinggi.²⁹

6.5.       Kritik Posthuman dan Teknologis: Kebebasan di Bawah Algoritma

Kritik mutakhir terhadap konsep kebebasan muncul dalam konteks teknologi digital dan kecerdasan buatan. Menurut Shoshana Zuboff, kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) telah mengubah kebebasan manusia menjadi data perilaku yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi dan politik.³⁰ Dalam ruang digital, pilihan individu sering kali diarahkan oleh algoritma yang tidak transparan, sehingga “kebebasan” menjadi hasil rekayasa informasi.³¹

Yuval Noah Harari menambahkan bahwa perkembangan neuroteknologi dan dataism dapat menggantikan kebebasan dengan prediksi algoritmik: manusia tidak lagi memilih secara bebas, tetapi dipandu oleh mesin yang lebih memahami dirinya daripada ia sendiri.³² Kritik ini menyoroti bahwa dalam masyarakat yang didorong oleh teknologi, kebebasan menjadi paradoks—manusia semakin memiliki pilihan, namun kehilangan kendali atas dasar pilihannya.³³


Sintesis Kritis: Kebebasan antara Ilusi dan Kemungkinan

Berbagai kritik di atas menunjukkan bahwa kebebasan bukanlah entitas absolut yang dapat diterima tanpa pertanyaan. Ia selalu bersifat relatif terhadap kondisi biologis, sosial, dan metafisik manusia. Namun demikian, kritik terhadap kebebasan tidak serta-merta meniadakan nilainya. Sebaliknya, ia memperkaya pemahaman kita bahwa kebebasan harus dilihat sebagai proses reflektif, bukan kondisi tetap.³⁴

Kebebasan sejati, jika demikian, bukan berarti ketiadaan sebab atau paksaan, tetapi kemampuan untuk mengenali, memahami, dan memberi makna terhadap kondisi determinatif yang melingkupi manusia.³⁵ Dalam batas-batas itu, kebebasan tetap menjadi inti eksistensi manusia—sebuah ruang transendensi yang tidak dapat dihapus bahkan oleh sains, ideologi, atau teknologi.³⁶


Footnotes

[1]                ¹ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 10–11.

[2]                ² Pierre-Simon Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities, trans. Frederick Truscott and Frederick Emory (New York: Dover, 1951), 4.

[3]                ³ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University Press, 1985), I, Prop. 32.

[4]                ⁴ Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 232.

[5]                ⁵ Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities, 5.

[6]                ⁶ Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8, no. 4 (1985): 529–566.

[7]                ⁷ Patrick Haggard, “Human Volition: Towards a Neuroscience of Will,” Nature Reviews Neuroscience 9, no. 12 (2008): 934–946.

[8]                ⁸ Alfred Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University Press, 2006), 61–62.

[9]                ⁹ Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 200–201.

[10]             ¹⁰ Ibid., 202–203.

[11]             ¹¹ Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978), 92–93.

[12]             ¹² Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses,” in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 174–175.

[13]             ¹³ Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso, 1991), 43–44.

[14]             ¹⁴ Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 112.

[15]             ¹⁵ Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 74–75.

[16]             ¹⁶ Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 49.

[17]             ¹⁷ Ibid., 53.

[18]             ¹⁸ Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 22.

[19]             ¹⁹ Ibid., 91–92.

[20]             ²⁰ Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 121.

[21]             ²¹ Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), II, §18.

[22]             ²² Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin, 1961), 137.

[23]             ²³ Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 103–104.

[24]             ²⁴ Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1993), I.13.

[25]             ²⁵ John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 155.

[26]             ²⁶ John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Henry Beveridge (Peabody: Hendrickson, 2008), III.xxi.5.

[27]             ²⁷ Al-Ash‘ari, Kitab al-Luma‘ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida‘ (Beirut: Dar al-Mashriq, 1953), 87–88.

[28]             ²⁸ Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathullah Khalif (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), 132.

[29]             ²⁹ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 55.

[30]             ³⁰ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8.

[31]             ³¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 127–128.

[32]             ³² Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 347–349.

[33]             ³³ Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power (London: Verso, 2017), 22–23.

[34]             ³⁴ Paul Ricoeur, Fallible Man (Chicago: Regnery, 1965), 91.

[35]             ³⁵ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 95.

[36]             ³⁶ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45.


7.           Relevansi Kontemporer Filsafat Kebebasan

Filsafat kebebasan memiliki relevansi mendalam dalam konteks kontemporer, di mana manusia dihadapkan pada kompleksitas sosial, teknologi, politik, dan ekologis yang menantang makna klasik tentang kebebasan. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan saling bergantung, kebebasan tidak lagi dapat dimaknai semata sebagai otonomi individual, melainkan harus ditafsirkan ulang dalam kerangka interdependensi global, kesadaran etis, dan tanggung jawab kolektif.¹ Kebebasan masa kini bukan hanya persoalan “hak untuk memilih,” tetapi juga tentang bagaimana pilihan-pilihan manusia berdampak pada keberlanjutan sosial, ekologis, dan moral dunia bersama.

7.1.       Kebebasan dalam Konteks Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Sejak deklarasi Universal Declaration of Human Rights (1948), kebebasan menjadi salah satu pilar utama tatanan global modern.² Namun, realitas politik kontemporer menunjukkan paradoks: di satu sisi, kebebasan individu dijunjung tinggi; di sisi lain, meningkatnya populisme, sensor, dan otoritarianisme digital mengekang kebebasan berpikir dan berpendapat.³

Hannah Arendt menegaskan bahwa kebebasan politik sejati hanya dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif dalam ruang publik.⁴ Kebebasan bukanlah sekadar perlindungan dari kekuasaan, tetapi kapasitas untuk bertindak bersama (acting in concert) dalam membangun dunia yang plural dan rasional.⁵ Dalam konteks demokrasi digital, tantangan baru muncul ketika ruang publik dimediasi oleh algoritma dan kepemilikan platform swasta.⁶ Arendtian vita activa kini menuntut reinterpretasi—bagaimana manusia dapat tetap menjadi agen yang bebas dalam ruang komunikasi yang dikendalikan oleh korporasi global dan informasi yang tersaring secara selektif.⁷

7.2.       Kebebasan dan Ekonomi Global

Kebebasan ekonomi sering dipahami sebagai kemampuan individu atau korporasi untuk berinovasi dan bersaing di pasar bebas. Namun, seperti dikritik oleh Amartya Sen, kebebasan sejati dalam konteks ekonomi tidak dapat diukur semata oleh kebebasan pasar, melainkan oleh kemampuan nyata seseorang untuk menjalani kehidupan yang bernilai.⁸ Dalam Development as Freedom, Sen menyatakan bahwa kebebasan harus dipahami sebagai capability—yakni kapasitas manusia untuk mewujudkan fungsi-fungsi kehidupan yang mereka pilih secara rasional dan bermakna.⁹

Sementara itu, neoliberalisme global telah menimbulkan paradoks kebebasan: manusia tampak bebas memilih, tetapi pilihan itu dibentuk oleh logika konsumsi dan ketergantungan struktural pada sistem ekonomi yang menindas.¹⁰ Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai “dominasi simbolik,” di mana kebebasan pasar menutupi relasi kuasa yang mereproduksi ketimpangan sosial.¹¹ Dengan demikian, relevansi filsafat kebebasan di era ekonomi global menuntut pembacaan kritis terhadap hubungan antara kebebasan formal dan realisasi material dari martabat manusia.

7.3.       Kebebasan di Era Digital dan Kecerdasan Buatan

Teknologi digital telah mengubah secara mendasar cara manusia memahami kebebasan. Di satu sisi, internet dan media sosial memperluas ruang ekspresi dan pengetahuan; di sisi lain, algoritma dan sistem pengawasan menimbulkan bentuk baru dari kontrol sosial yang tidak kasatmata.¹² Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance capitalism—suatu sistem ekonomi yang mengekstraksi perilaku manusia untuk dijadikan komoditas prediktif.¹³ Dalam konteks ini, kebebasan manusia direduksi menjadi data, dan pilihan-pilihannya dimanipulasi oleh sistem yang memprediksi kehendaknya bahkan sebelum ia sadar akan pilihan itu.¹⁴

Selain itu, kemajuan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan pertanyaan baru: apakah manusia masih memiliki otonomi ketika keputusan sosial, hukum, dan ekonomi diambil oleh sistem otomatis? Luciano Floridi menegaskan bahwa etika informasi menuntut redefinisi kebebasan dalam era digital—yakni kebebasan sebagai informational self-determination, kemampuan untuk mengontrol representasi digital diri sendiri dan partisipasi dalam ekosistem informasi secara sadar.¹⁵ Maka, kebebasan kontemporer menuntut bukan hanya privasi, tetapi juga transparansi algoritmik dan literasi digital yang tinggi agar manusia tetap menjadi subjek etis dalam ruang virtual.¹⁶

7.4.       Kebebasan dan Tanggung Jawab Ekologis

Krisis iklim dan kerusakan lingkungan global memperluas makna kebebasan dari ranah manusia ke ranah ekologis. Kebebasan manusia untuk mengeksploitasi alam kini harus dikritisi dalam bingkai tanggung jawab terhadap planet sebagai rumah bersama.¹⁷ Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menyatakan bahwa kebebasan teknologi modern harus diimbangi oleh prinsip etika tanggung jawab terhadap generasi mendatang.¹⁸ Kebebasan untuk bertindak tidak boleh dipisahkan dari kewajiban moral untuk menjaga keberlanjutan kehidupan.

Dari perspektif ekofilsafat, kebebasan sejati bukan berarti dominasi atas alam, tetapi kemampuan untuk hidup selaras dengannya.¹⁹ Arne Naess melalui deep ecology menegaskan bahwa kebebasan ekologis adalah kesadaran akan keterhubungan eksistensial manusia dengan seluruh makhluk hidup.²⁰ Maka, relevansi kontemporer filsafat kebebasan terletak pada upaya untuk menyeimbangkan kebebasan eksploitatif dengan kebebasan ekologis yang berlandaskan pada solidaritas planet.

7.5.       Kebebasan dan Krisis Eksistensial Manusia Modern

Di tengah kemajuan sains dan teknologi, manusia modern justru mengalami paradoks kebebasan: semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin kehilangan makna dalam memilih.²¹ Erich Fromm menyebut fenomena ini sebagai “pelarian dari kebebasan” (escape from freedom), di mana individu modern merasa terasing dalam sistem yang memaksanya memilih tanpa arah moral.²² Dalam konteks eksistensial, Jean-Paul Sartre dan Viktor Frankl menegaskan bahwa kebebasan manusia hanya bermakna jika diiringi kesadaran akan tanggung jawab dan pencarian makna.²³ Kebebasan tanpa orientasi eksistensial akan menjerumuskan manusia ke dalam nihilisme dan absurditas.²⁴

Dalam dunia yang dipenuhi ketidakpastian—krisis ekonomi, politik, dan lingkungan—filsafat kebebasan menjadi relevan kembali sebagai fondasi bagi humanisme reflektif.²⁵ Kebebasan bukan lagi sekadar hak, melainkan tugas etis untuk menemukan makna, solidaritas, dan arah dalam situasi yang semakin plural dan kompleks.²⁶


Sintesis Relevansi: Kebebasan sebagai Kesadaran Global dan Etis

Kebebasan dalam konteks kontemporer menuntut redefinisi dari paradigma individualistik menuju paradigma relasional dan ekologis.²⁷ Manusia tidak lagi dapat mengklaim kebebasan mutlak tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap orang lain, terhadap komunitas, dan terhadap bumi.²⁸ Filsafat kebebasan, jika dipahami secara dinamis, dapat menjadi dasar bagi etika global yang menuntun manusia menuju bentuk kebebasan yang berkelanjutan—yakni kebebasan yang sadar, reflektif, dan bertanggung jawab.²⁹

Dalam dunia yang ditandai oleh krisis makna dan dominasi sistem, filsafat kebebasan menegaskan kembali harkat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya “dapat memilih,” tetapi juga “dapat memahami dan memaknai pilihannya.”³⁰ Di sinilah kebebasan memperoleh relevansinya yang abadi: sebagai ruang bagi kesadaran untuk menjadi manusia yang otentik, rasional, dan berbelas kasih di tengah perubahan zaman.³¹


Footnotes

[1]                ¹ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 12–13.

[2]                ² United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: UN, 1948), Article 1–3.

[3]                ³ Fareed Zakaria, The Future of Freedom (New York: W. W. Norton, 2003), 88.

[4]                ⁴ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–176.

[5]                ⁵ Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 220.

[6]                ⁶ Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects (Cambridge: MIT Press, 2017), 44.

[7]                ⁷ Jodi Dean, Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive (Cambridge: Polity Press, 2010), 52.

[8]                ⁸ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 36–38.

[9]                ⁹ Martha Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 20.

[10]             ¹⁰ David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 63.

[11]             ¹¹ Pierre Bourdieu, Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market (New York: New Press, 1998), 12.

[12]             ¹² Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas (New Haven: Yale University Press, 2017), 76–77.

[13]             ¹³ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8.

[14]             ¹⁴ Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction (New York: Crown, 2016), 22.

[15]             ¹⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–126.

[16]             ¹⁶ Rafael Capurro, Digital Ethics (Berlin: Springer, 2006), 210.

[17]             ¹⁷ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §67.

[18]             ¹⁸ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–122.

[19]             ¹⁹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 98.

[20]             ²⁰ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 145.

[21]             ²¹ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar & Rinehart, 1941), 110.

[22]             ²² Ibid., 124.

[23]             ²³ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 132–133.

[24]             ²⁴ Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–29.

[25]             ²⁵ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 56.

[26]             ²⁶ Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 64.

[27]             ²⁷ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45.

[28]             ²⁸ Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 89.

[29]             ²⁹ Seyla Benhabib, Situating the Self (Cambridge: Polity Press, 1992), 47.

[30]             ³⁰ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 103.

[31]             ³¹ Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 289.


8.           Sintesis Filosofis

Filsafat kebebasan, setelah melalui pembahasan ontologis, epistemologis, etis, dan kritis, memperlihatkan bahwa kebebasan bukanlah entitas tunggal yang berdiri sendiri, melainkan suatu struktur eksistensial yang kompleks dan dinamis. Ia mencakup dimensi metafisik (sebagai hakikat keberadaan), epistemologis (sebagai kesadaran reflektif), etis (sebagai tanggung jawab moral), serta aksiologis (sebagai nilai tertinggi yang menegaskan martabat manusia). Sintesis filosofis ini berupaya meneguhkan pemahaman integral bahwa kebebasan bukan hanya “kemampuan untuk bertindak,” tetapi “kemampuan untuk menjadi” — suatu proses aktif dalam pembentukan diri dan dunia yang berlandaskan rasionalitas, kesadaran, dan nilai.¹

8.1.       Dialektika antara Determinasi dan Otonomi

Filsafat kebebasan modern menegaskan bahwa manusia hidup di antara dua kutub: determinasi dan otonomi. Sejak Spinoza hingga Sartre, muncul kesadaran bahwa kebebasan tidak mungkin tanpa kondisi; kebebasan selalu diwujudkan dalam dunia yang terikat oleh hukum sebab-akibat, struktur sosial, dan keterbatasan biologis.² Namun, justru dalam keterikatan itulah ruang kebebasan terbuka. Martin Heidegger menyebut bahwa manusia adalah Dasein — makhluk yang “terlempar ke dunia” (Geworfenheit) namun tetap memiliki kapasitas untuk menafsirkan keberadaannya melalui proyek eksistensial.³

Dalam perspektif Kantian, dialektika ini menemukan bentuk rasionalnya: manusia tunduk pada hukum alam dalam dunia fenomenal, tetapi sebagai makhluk noumenal ia bebas menuruti hukum moral yang ia berikan bagi dirinya sendiri.⁴ Kebebasan dengan demikian bukanlah negasi terhadap determinasi, tetapi penemuan makna di dalamnya. Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, kebebasan bukan penolakan terhadap batas, melainkan “kemampuan untuk bertindak di dalam keterbatasan.”⁵

8.2.       Integrasi antara Kebebasan Ontologis dan Moralitas

Ontologi kebebasan menemukan kelanjutannya dalam etika: kebebasan menjadi bermakna hanya bila diarahkan kepada kebaikan. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa kehendak bebas manusia selalu tertuju pada bonum universale—kebaikan yang tertinggi—dan semakin manusia memilih yang benar, semakin bebaslah ia.⁶ Dalam hal ini, kebebasan bukan kebalikan dari hukum moral, melainkan realisasi hukum moral dalam tindakan konkret.

Immanuel Kant menegaskan prinsip serupa dalam bentuk rasional: “kebebasan dan hukum moral adalah satu dan sama.”⁷ Dengan kata lain, manusia hanya sungguh bebas ketika bertindak berdasarkan hukum moral yang ia tetapkan secara otonom, bukan karena dorongan eksternal. Pandangan ini menandai sintesis antara kebebasan sebagai kondisi metafisik dan kebebasan sebagai tanggung jawab moral—suatu perpaduan antara eksistensi dan norma.

Eksistensialisme kemudian memberikan nuansa personal pada sintesis tersebut. Bagi Jean-Paul Sartre, kebebasan adalah proyek eksistensial yang menuntut tanggung jawab penuh atas makna hidup.⁸ Sementara Viktor Frankl menambahkan bahwa kebebasan tidak memiliki arti tanpa arah moral yang transenden; manusia memerlukan meaning untuk membimbing tindakannya di tengah kekacauan pilihan.⁹ Maka, sintesis etis dari filsafat kebebasan adalah kesadaran bahwa kebebasan menuntut arah, dan arah itu hanya dapat ditemukan melalui tanggung jawab terhadap diri, sesama, dan nilai yang lebih tinggi.

8.3.       Kebebasan sebagai Relasi Intersubjektif dan Solidaritas

Kebebasan bukan hanya milik individu; ia menemukan maknanya dalam perjumpaan dengan yang lain. Emmanuel Levinas mengingatkan bahwa kebebasan tanpa etika terhadap orang lain akan jatuh dalam egoisme ontologis.¹⁰ Manusia baru sungguh bebas ketika ia mengakui wajah yang lain sebagai panggilan tanggung jawab. Dalam Totality and Infinity, Levinas menyatakan bahwa kebebasan yang otentik tidak terletak dalam dominasi, tetapi dalam keterbukaan dan pelayanan terhadap alteritas.¹¹

Hannah Arendt juga menegaskan bahwa kebebasan tidak hidup dalam kesendirian, melainkan dalam ruang publik di mana manusia bertindak bersama.¹² Dalam tindakan politik dan komunikasi, kebebasan menjadi aktual karena manusia tidak hanya berpikir, tetapi juga “berbuat” bersama orang lain.¹³ Maka, sintesis sosial dari kebebasan menegaskan bahwa otonomi pribadi dan solidaritas sosial bukanlah dua hal yang berlawanan, melainkan dua bentuk dari satu gerak eksistensi yang saling melengkapi.

Dalam konteks ini, kebebasan menjadi basis bagi etika demokrasi dan pluralisme. Charles Taylor menekankan bahwa kebebasan harus dipahami secara “relasional” — manusia bebas bukan karena ia terlepas dari yang lain, melainkan karena ia diakui oleh yang lain.¹⁴ Kesadaran intersubjektif inilah yang menjaga kebebasan dari bahaya individualisme ekstrem dan menjadikannya fondasi bagi keadilan sosial.

8.4.       Kebebasan sebagai Transendensi dan Kesadaran Reflektif

Filsafat kebebasan juga menegaskan dimensi transendental dari eksistensi manusia. Kebebasan, sebagaimana dirumuskan oleh Gabriel Marcel, adalah misteri partisipatif: manusia tidak menciptakan kebebasan dari ketiadaan, melainkan berpartisipasi di dalamnya sebagai anugerah eksistensial.¹⁵ Ia adalah kebebasan yang “ditemukan,” bukan “diciptakan,” dan karenanya mengandung unsur spiritual yang menuntun manusia melampaui ego dan dunia material.

Di sisi lain, fenomenologi eksistensial menyoroti bahwa kebebasan selalu memerlukan kesadaran reflektif. Maurice Merleau-Ponty menunjukkan bahwa kebebasan bukan sekadar keputusan intelektual, tetapi pengalaman embodied yang menubuh dalam dunia.¹⁶ Setiap tindakan bebas selalu terikat pada situasi, tetapi dalam keterikatan itu kesadaran menemukan kemampuannya untuk melampaui. Oleh karena itu, kebebasan memiliki struktur ganda: ia terikat pada fakta, namun juga melampaui fakta melalui refleksi dan kesadaran.¹⁷

8.5.       Arah Humanistik: Kebebasan sebagai Praxis Kemanusiaan

Pada akhirnya, filsafat kebebasan menemukan orientasinya dalam humanisme reflektif. Kebebasan bukanlah sekadar hak individual atau kategori metafisik, melainkan praxis kemanusiaan—yakni tindakan sadar yang memanusiakan manusia. Paulo Freire menegaskan bahwa kebebasan adalah hasil dari proses pembebasan diri dari struktur penindasan, baik yang bersifat sosial maupun epistemik.¹⁸ Dalam konteks ini, kebebasan tidak hanya menjadi hak, tetapi juga perjuangan.

Viktor Frankl memperdalam dimensi eksistensial dari pandangan ini dengan mengatakan bahwa “kebebasan selalu membutuhkan tanggung jawab.”¹⁹ Kebebasan sejati bukanlah kebebasan tanpa arah, melainkan kebebasan yang menemukan maknanya dalam pelayanan, kasih, dan pencarian nilai-nilai universal. Dengan demikian, humanisme kebebasan berlandaskan pada kesadaran bahwa menjadi bebas berarti menjadi manusia yang sadar, bertanggung jawab, dan mampu menciptakan dunia yang lebih adil dan bermakna.


Kesimpulan Sintesis: Kebebasan sebagai Harmoni antara Rasio, Etika, dan Transendensi

Sintesis filosofis dari seluruh pembahasan ini mengarah pada pemahaman integral tentang kebebasan sebagai harmoni antara tiga dimensi utama: rasio, etika, dan transendensi. Rasio memberikan arah dan dasar bagi kebebasan; etika memberi nilai dan tanggung jawab; sedangkan transendensi memberi makna dan tujuan akhir.²⁰ Kebebasan tidak lagi dipahami sebagai kebalikan dari determinasi, melainkan sebagai kesadaran reflektif untuk hidup secara bermakna dalam keterbatasan.

Dalam perspektif ini, kebebasan menjadi dasar dari seluruh filsafat manusia: ia adalah inti dari kesadaran, fondasi moralitas, dan sumber nilai-nilai kemanusiaan.²¹ Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Ricoeur, kebebasan bukan hanya diberikan kepada manusia, tetapi juga diperjuangkan melalui refleksi, tindakan, dan komitmen terhadap kebaikan.²² Maka, sintesis filosofis kebebasan menutup lingkaran refleksi filsafat dengan penegasan bahwa manusia bukan hanya makhluk yang bebas, tetapi makhluk yang dipanggil untuk menjadi bebas secara bijak.²³


Footnotes

[1]                ¹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 41.

[2]                ² Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University Press, 1985), I, Prop. 29.

[3]                ³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183.

[4]                ⁴ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28.

[5]                ⁵ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 87.

[6]                ⁶ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.

[7]                ⁷ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54.

[8]                ⁸ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.

[9]                ⁹ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 133.

[10]             ¹⁰ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 44.

[11]             ¹¹ Ibid., 45.

[12]             ¹² Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175.

[13]             ¹³ Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 218.

[14]             ¹⁴ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 25.

[15]             ¹⁵ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2 (Chicago: Henry Regnery, 1951), 73.

[16]             ¹⁶ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 518.

[17]             ¹⁷ Ibid., 520.

[18]             ¹⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81.

[19]             ¹⁹ Viktor E. Frankl, The Doctor and the Soul (New York: Vintage, 1986), 121.

[20]             ²⁰ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 122.

[21]             ²¹ Emmanuel Mounier, Personalism (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 91.

[22]             ²² Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 289.

[23]             ²³ Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 43.


9.           Kesimpulan

Filsafat kebebasan, setelah melalui berbagai lapisan kajian — ontologis, epistemologis, etis, aksiologis, dan kritis — menyingkap bahwa kebebasan bukanlah suatu kategori yang sederhana, melainkan suatu struktur eksistensial yang menyeluruh, dinamis, dan multidimensional. Ia merupakan inti dari kemanusiaan yang memadukan kemampuan untuk berpikir, bertindak, dan bertanggung jawab secara rasional. Kebebasan tidak dapat direduksi menjadi sekadar kemampuan untuk memilih di antara alternatif tindakan; ia adalah modus eksistensi yang memungkinkan manusia membentuk dirinya sekaligus dunianya.¹ Dengan demikian, kebebasan adalah dasar ontologis sekaligus tujuan teleologis dari eksistensi manusia: ia bukan hanya kondisi untuk bertindak, tetapi juga horizon nilai yang memberi arah dan makna bagi kehidupan.²

9.1.       Kebebasan sebagai Hakikat Eksistensi Manusia

Dari segi ontologi, manusia dipahami sebagai makhluk yang “terbuka terhadap kemungkinan.”³ Kebebasan bukan sesuatu yang ditambahkan pada manusia dari luar, melainkan bagian dari hakikat keberadaannya sebagai Dasein (Heidegger), sebagai makhluk yang selalu berada dalam proses menjadi.⁴ Oleh karena itu, kebebasan tidak bersifat absolut, tetapi terbatas oleh kondisi faktis dunia—ruang, waktu, tubuh, dan relasi sosial. Justru di dalam keterbatasan itu kebebasan memperoleh maknanya, sebab manusia bebas bukan meskipun terbatas, melainkan karena ia terbatas dan mampu melampaui batas itu melalui kesadaran reflektif.⁵

Kebebasan dengan demikian bukan ilusi, sebagaimana diklaim para determinis, melainkan realitas eksistensial yang dihayati melalui tindakan, refleksi, dan tanggung jawab.⁶ Sebagaimana ditegaskan oleh Jean-Paul Sartre, kebebasan adalah beban dan anugerah sekaligus: manusia dikutuk untuk bebas, tetapi dalam kebebasan itulah ia menemukan martabatnya sebagai pencipta makna.⁷

9.2.       Dimensi Epistemologis: Kesadaran sebagai Ruang Pembebasan

Epistemologi kebebasan menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kebebasan bersumber bukan dari observasi empiris, melainkan dari kesadaran reflektif. Edmund Husserl dan Sartre sama-sama melihat bahwa manusia menyadari kebebasannya melalui intentionality—kesadaran yang selalu tertuju pada sesuatu dan selalu melampaui dirinya sendiri.⁸ Dalam refleksi diri, manusia menemukan bahwa ia bukan sekadar makhluk yang ditentukan oleh sebab, melainkan subjek yang dapat menilai, memilih, dan bertanggung jawab atas pilihannya.⁹

Kebebasan dalam arti ini bersifat transendental: ia menjadi dasar bagi setiap bentuk rasionalitas dan moralitas. Kant menegaskan bahwa manusia hanya dapat mengetahui dirinya sebagai makhluk moral karena ia sadar akan kebebasan yang memungkinkan tindakan berdasarkan hukum moral yang ia ciptakan sendiri.¹⁰ Maka, kebebasan epistemologis adalah kebebasan kesadaran yang memungkinkan manusia menjadi penentu makna dan nilai dalam dunia yang tampak deterministik.

9.3.       Dimensi Etis dan Aksiologis: Kebebasan sebagai Tanggung Jawab Moral

Etika kebebasan menegaskan bahwa kebebasan tidak memiliki nilai moral tanpa arah. Aristoteles memandang kebebasan sebagai kemampuan deliberatif untuk memilih yang baik, sementara Aquinas menegaskan bahwa kehendak bebas hanya bermakna sejauh ia diarahkan kepada kebaikan tertinggi (bonum universale).¹¹ Immanuel Kant memperkuat dasar ini secara rasional dengan menegaskan bahwa kebebasan dan hukum moral adalah satu dan sama: manusia bebas justru ketika ia menundukkan diri pada hukum moral yang ia tetapkan secara otonom.¹²

Dalam kerangka eksistensial, Erich Fromm dan Viktor Frankl mengingatkan bahwa kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab akan berujung pada kehampaan dan alienasi.¹³ Kebebasan tanpa nilai adalah nihilisme, sedangkan kebebasan yang disertai tanggung jawab menjadi kekuatan kreatif yang menumbuhkan solidaritas, kasih, dan keutuhan diri.¹⁴ Maka, dalam ranah aksiologi, kebebasan adalah nilai tertinggi yang mengandaikan keterarahan kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

9.4.       Dimensi Sosial dan Politik: Kebebasan sebagai Keadilan dan Solidaritas

Filsafat kebebasan juga memiliki dimensi sosial yang menekankan pentingnya pengakuan dan keadilan. Isaiah Berlin membedakan antara kebebasan negatif (bebas dari paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk menentukan diri), tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam praksis politik modern.¹⁵ Hannah Arendt menegaskan bahwa kebebasan menjadi nyata hanya dalam tindakan publik—dalam ruang politik di mana manusia bertemu, berdialog, dan bertindak bersama.¹⁶

Dalam konteks kontemporer, kebebasan menghadapi tantangan baru dari globalisasi, teknologi digital, dan krisis ekologis. Shoshana Zuboff mengingatkan bahwa “kapitalisme pengawasan” (surveillance capitalism) mengancam otonomi manusia dengan mengubah perilaku menjadi komoditas.¹⁷ Oleh karena itu, kebebasan modern harus dibela tidak hanya sebagai hak politik, tetapi juga sebagai kesadaran etis dan kemampuan reflektif untuk melawan dominasi sistem yang tidak manusiawi.¹⁸ Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang berakar pada kesetaraan, solidaritas, dan tanggung jawab sosial.

9.5.       Dimensi Transendental: Kebebasan dan Panggilan Spiritual Manusia

Di balik seluruh dimensi empiris dan sosialnya, kebebasan memiliki aspek transendental yang menghubungkan manusia dengan yang Ilahi. Santo Agustinus dan Thomas Aquinas menempatkan kebebasan dalam konteks kehendak Tuhan: manusia bebas karena ia diciptakan menurut citra Allah, tetapi kebebasan itu menemukan puncaknya ketika diarahkan kepada kebaikan ilahi.¹⁹ Gabriel Marcel melanjutkan gagasan ini dengan menyebut kebebasan sebagai partisipasi dalam keberadaan yang lebih tinggi—suatu misteri yang menuntut keterbukaan dan iman.²⁰

Maka, kebebasan yang sejati bukanlah pemberontakan terhadap Tuhan, melainkan partisipasi sadar dalam kehendak ilahi yang menuntun manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual.²¹ Di sinilah filsafat kebebasan bertemu dengan teologi: kebebasan menjadi anugerah yang menuntut tanggung jawab, bukan kemandirian tanpa arah.


Kesimpulan Sintetis: Kebebasan sebagai Jalan Menuju Kemanusiaan yang Utuh

Dari keseluruhan kajian, dapat disimpulkan bahwa kebebasan adalah fondasi eksistensi manusia yang bersifat dialektis: ia lahir dari keterbatasan, tetapi berusaha melampaui keterbatasan itu melalui refleksi, pengetahuan, dan tanggung jawab.²² Kebebasan menuntut keseimbangan antara individualitas dan solidaritas, antara otonomi dan etika, antara rasionalitas dan transendensi.²³

Filsafat kebebasan mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti menjadi bebas — namun kebebasan sejati bukanlah pelarian dari tanggung jawab, melainkan kesediaan untuk bertindak demi kebaikan, kebenaran, dan keadilan.²⁴ Dalam dunia yang sarat krisis moral, teknologi, dan ekologis, filsafat kebebasan tetap relevan sebagai landasan bagi humanisme reflektif: manusia dipanggil bukan hanya untuk memiliki kebebasan, tetapi untuk menghidupkan kebebasan dengan penuh kesadaran, kasih, dan tanggung jawab.²⁵

Dengan demikian, filsafat kebebasan bukanlah doktrin tentang ketiadaan batas, melainkan etos tentang bagaimana manusia, dalam batas-batasnya, mampu menjadi makhluk yang otonom, berakal, dan berbelas kasih — makhluk yang tidak hanya bebas untuk memilih, tetapi bebas untuk berbuat baik.²⁶


Footnotes

[1]                ¹ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 11.

[2]                ² Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 12.

[3]                ³ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 517.

[4]                ⁴ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183.

[5]                ⁵ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2 (Chicago: Henry Regnery, 1951), 74.

[6]                ⁶ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton: Princeton University Press, 1985), I, Prop. 32.

[7]                ⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.

[8]                ⁸ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Nijhoff, 1982), 82.

[9]                ⁹ Dan Zahavi, Self and Other: Exploring Subjectivity, Empathy, and Shame (Oxford: Oxford University Press, 2014), 34.

[10]             ¹⁰ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28.

[11]             ¹¹ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.

[12]             ¹² Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54.

[13]             ¹³ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar & Rinehart, 1941), 110.

[14]             ¹⁴ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 132.

[15]             ¹⁵ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1969), 121.

[16]             ¹⁶ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175.

[17]             ¹⁷ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8.

[18]             ¹⁸ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 127.

[19]             ¹⁹ Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1993), I.13.

[20]             ²⁰ Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope (London: SCM Press, 1951), 93.

[21]             ²¹ Emmanuel Mounier, Personalism (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 91.

[22]             ²² Paul Ricoeur, Fallible Man (Chicago: Regnery, 1965), 88.

[23]             ²³ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 44.

[24]             ²⁴ Viktor E. Frankl, The Doctor and the Soul (New York: Vintage, 1986), 120.

[25]             ²⁵ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 56.

[26]             ²⁶ Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 25.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Augustine. (1993). De libero arbitrio (T. Williams, Trans.). Hackett.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. Polity Press.

Berlin, I. (1969). Two concepts of liberty. Clarendon Press.

Bourdieu, P. (1998). Acts of resistance: Against the tyranny of the market. New Press.

Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage.

Canovan, M. (1992). Hannah Arendt: A reinterpretation of her political thought. Cambridge University Press.

Calvin, J. (2008). Institutes of the Christian religion (H. Beveridge, Trans.). Hendrickson.

Dean, J. (2010). Blog theory: Feedback and capture in the circuits of drive. Polity Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction. Verso.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2019). The logic of information: A theory of philosophy as conceptual design. Oxford University Press.

Flynn, T. (1984). Sartre and Marxist existentialism: The test case of collective responsibility. University of Chicago Press.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1978). The history of sexuality, volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.

Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Frankl, V. E. (1986). The doctor and the soul. Vintage.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Fromm, E. (1941). Escape from freedom. Farrar & Rinehart.

Fromm, E. (1947). Man for himself: An inquiry into the psychology of ethics. Holt.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Random House.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Haggard, P. (2008). Human volition: Towards a neuroscience of will. Nature Reviews Neuroscience, 9(12), 934–946.

Han, B.-C. (2017). In the swarm: Digital prospects. MIT Press.

Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and new technologies of power. Verso.

Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history of tomorrow. Harvill Secker.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Nijhoff.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.

Laplace, P.-S. (1951). A philosophical essay on probabilities (F. Truscott & F. Emory, Trans.). Dover.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain Sciences, 8(4), 529–566.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Marcel, G. (1951). Homo viator: Introduction to a metaphysic of hope. SCM Press.

Marcel, G. (1951). The mystery of being (Vol. 2). Henry Regnery.

Maritain, J. (1947). The person and the common good. University of Notre Dame Press.

Marx, K. (1959). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Progress Publishers.

Mele, A. (2006). Free will and luck. Oxford University Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Mill, J. S. (1859). On liberty. Parker.

Mounier, E. (1952). Personalism. Routledge & Kegan Paul.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle. Cambridge University Press.

Nadler, S. (1999). Spinoza: A life. Cambridge University Press.

Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as literature. Harvard University Press.

Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities. Harvard University Press.

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction. Crown.

Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. University of Notre Dame Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.

Ricoeur, P. (1965). Fallible man. Regnery.

Ricoeur, P. (1966). Freedom and nature: The voluntary and the involuntary. Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another. University of Chicago Press.

Riley, P. (1986). The general will before Rousseau. Princeton University Press.

Rolston, H. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Knopf.

Simons, M. (1999). Beauvoir and the second sex: Feminism, race, and the origins of existentialism. Rowman & Littlefield.

Simon, Y. R. (1969). Freedom of choice. Fordham University Press.

Solomon, R. C. (1990). A passion for justice: Emotions and the origins of the social contract. Addison-Wesley.

Spinoza, B. (1985). Ethics (E. Curley, Trans.). Princeton University Press.

Spinoza, B. (1989). Tractatus theologico-politicus (S. Shirley, Trans.). Brill.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Tillich, P. (1963). Morality and beyond. Harper & Row.

Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.

Wood, A. (1999). Kant’s ethical thought. Cambridge University Press.

Zahavi, D. (2014). Self and other: Exploring subjectivity, empathy, and shame. Oxford University Press.

Zakaria, F. (2003). The future of freedom: Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar