Filsafat Kebebasan
Antara Determinasi, Otonomi, dan Tanggung Jawab Moral
Alihkan ke: Determinisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tema Filsafat
Kebebasan sebagai salah satu pilar utama dalam refleksi filsafat tentang
eksistensi, moralitas, dan tanggung jawab manusia. Kajian ini menelusuri
evolusi konseptual kebebasan dari tradisi Yunani Kuno—melalui pemikiran Plato
dan Aristoteles—hingga teologi skolastik Thomas Aquinas, kemudian ke
rasionalisme dan idealisme modern Kant dan Rousseau, serta menuju
eksistensialisme Sartre dan humanisme kontemporer. Pembahasan ini juga mencakup
dimensi ontologis (hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk bebas),
epistemologis (kesadaran reflektif dan pengetahuan tentang kebebasan),
etis-aksiologis (tanggung jawab moral dan nilai kebebasan), serta kritik dan
relevansinya di era digital dan global.
Secara ontologis, kebebasan dipahami sebagai dasar
eksistensi manusia yang melibatkan kesadaran dan keterarahan pada kebaikan.
Secara epistemologis, ia menjadi syarat bagi pengetahuan moral dan refleksi
diri. Dari sisi etika dan aksiologi, kebebasan berfungsi sebagai nilai
tertinggi yang memampukan manusia bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam
konteks kontemporer, filsafat kebebasan menghadapi tantangan baru: kontrol
algoritmik, krisis ekologis, dan degradasi makna dalam budaya konsumtif. Oleh
karena itu, artikel ini menegaskan bahwa kebebasan sejati bukanlah ketiadaan
batas, melainkan kemampuan untuk bertindak sadar dan bertanggung jawab di
tengah keterbatasan.
Sebagai sintesis, filsafat kebebasan mengajarkan
bahwa manusia adalah makhluk yang “dipanggil untuk menjadi bebas”—bukan
sekadar memiliki kebebasan, melainkan menghidupkannya melalui rasionalitas,
moralitas, dan solidaritas sosial. Dengan demikian, kebebasan merupakan fondasi
eksistensial dan etis yang menuntun manusia menuju kemanusiaan yang utuh dan
berorientasi pada kebaikan bersama.
Kata kunci: Filsafat
kebebasan, eksistensi, moralitas, tanggung jawab, humanisme, etika, otonomi,
kesadaran reflektif.
PEMBAHASAN
Hakikat Kebebasan dan Bagaimana Ia Dapat Dipahami secara
Filosofis
1.          
Pendahuluan
Kebebasan merupakan salah satu tema sentral dalam
sejarah filsafat, yang senantiasa menjadi medan perdebatan antara pandangan
deterministik dan pandangan yang menekankan otonomi manusia. Sejak zaman Yunani
Kuno hingga era kontemporer, pertanyaan mengenai hakikat kebebasan terus
bergema dalam upaya manusia memahami eksistensinya di dunia. Filsafat kebebasan
tidak hanya menyoal kemampuan manusia untuk memilih atau bertindak, melainkan
juga menyentuh inti dari apa artinya menjadi manusia yang sadar, bertanggung
jawab, dan memiliki tujuan moral. Dalam konteks ini, kebebasan bukan semata hak
atau kapasitas psikologis, tetapi sebuah dimensi ontologis yang menegaskan
eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan moral yang berorientasi pada
kebaikan dan makna hidup.¹
Secara historis, diskursus tentang kebebasan telah
berkembang melalui beragam paradigma. Dalam filsafat Yunani, Plato menempatkan
kebebasan sebagai hasil dari keteraturan jiwa yang tunduk pada rasio; kebebasan
sejati adalah kebebasan dari dorongan nafsu menuju tatanan akal yang harmonis.²
Aristoteles, melalui konsep prohairesis (kehendak rasional), menekankan
kebebasan sebagai kemampuan deliberatif untuk memilih yang baik dalam kerangka
etika kebajikan.³ Sementara dalam teologi Kristen, khususnya pada masa St.
Agustinus dan Thomas Aquinas, kebebasan dipahami sebagai kemampuan kehendak
manusia yang berakar pada akal budi dan diarahkan pada kebaikan tertinggi,
yaitu Tuhan.⁴
Pada masa modern, konsep kebebasan mengalami
transformasi radikal seiring munculnya individualisme dan rasionalisme. René
Descartes menegaskan otonomi subjek sebagai dasar pengetahuan dan eksistensi,
sementara Immanuel Kant memformulasikan kebebasan sebagai kondisi apriori bagi
moralitas.⁵ Menurut Kant, manusia hanya benar-benar bebas ketika ia bertindak
berdasarkan hukum moral yang ditetapkan oleh akal praktisnya sendiri, bukan oleh
dorongan empiris atau keinginan eksternal.⁶ Di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau
mengaitkan kebebasan dengan dimensi politik, yakni sebagai partisipasi individu
dalam pembentukan kehendak umum (volonté générale) yang menjamin
kesetaraan dan kedaulatan rakyat.⁷
Dalam perkembangan filsafat abad ke-20, kebebasan
menjadi sorotan utama dalam eksistensialisme. Jean-Paul Sartre, misalnya,
menegaskan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas” karena tidak ada kodrat
yang menentukan dirinya; manusia harus mencipta esensinya sendiri melalui
tindakan.⁸ Di sisi lain, Erich Fromm mengingatkan bahwa kebebasan yang tidak
disertai tanggung jawab moral dapat berubah menjadi alienasi, di mana manusia
kehilangan arah dalam menghadapi struktur sosial dan ekonomi modern.⁹ Isaiah Berlin
kemudian memperkenalkan dikotomi antara kebebasan negatif (bebas dari
paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk menentukan diri sendiri),
yang membuka dimensi politik dan sosial dalam pembahasan kebebasan.¹⁰
Di era kontemporer, konsep kebebasan semakin
kompleks karena harus berhadapan dengan realitas baru seperti teknologi
digital, globalisasi, dan biopolitik. Kebebasan kini bukan hanya persoalan
metafisik atau etis, tetapi juga persoalan struktural yang berkaitan dengan
kekuasaan, algoritma, dan konstruksi identitas.¹¹ Oleh karena itu, filsafat
kebebasan harus dikaji tidak hanya sebagai persoalan teoretis, tetapi juga
sebagai praksis sosial yang menentukan arah kehidupan manusia di tengah
kemajuan sains dan teknologi yang kian mendominasi ruang keputusan individu.
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebebasan
secara menyeluruh dari dimensi historis, ontologis, epistemologis, dan etis.
Dengan pendekatan filosofis yang sistematis, tulisan ini hendak menunjukkan
bahwa kebebasan bukanlah konsep mutlak yang berdiri sendiri, melainkan hasil
dialektika antara determinasi dan otonomi, antara struktur sosial dan kesadaran
reflektif manusia. Kajian ini juga akan menegaskan pentingnya kebebasan yang
bertanggung jawab, yakni kebebasan yang terarah pada kebaikan, martabat
manusia, dan solidaritas sosial sebagai pilar kehidupan etis dalam dunia
modern.¹²
Footnotes
[1]               
¹ Hannah Arendt, The Human Condition
(Chicago: University of Chicago Press, 1958), 21–22.
[2]               
² Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 441d–443e.
[3]               
³ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1112a–1113b.
[4]               
⁴ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II,
Q.13, a.6.
[5]               
⁵ René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), 61.
[6]               
⁶ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics
of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 53.
[7]               
⁷ Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract,
trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), 49–50.
[8]               
⁸ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.
[9]               
⁹ Erich Fromm, Escape from Freedom (New
York: Farrar & Rinehart, 1941), 103–107.
[10]            
¹⁰ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty
(Oxford: Clarendon Press, 1969), 121–122.
[11]            
¹¹ Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977),
201–202.
[12]            
¹² Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge: Harvard University Press, 1992), 82–83.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis Filsafat Kebebasan
Pemikiran tentang
kebebasan memiliki akar yang panjang dan kompleks dalam sejarah filsafat. Sejak
awal, kebebasan dipahami bukan hanya sebagai kondisi sosial atau politik,
melainkan sebagai prinsip metafisik dan etis yang mendasari eksistensi manusia.
Evolusi gagasan kebebasan mencerminkan perkembangan kesadaran manusia terhadap
dirinya sendiri, terhadap dunia, dan terhadap tatanan moral yang melingkupinya.
Kajian genealogis terhadap konsep ini memungkinkan kita memahami bagaimana
makna kebebasan berubah sesuai dengan konteks budaya, teologis, dan
rasionalitas zaman.¹
2.1.      
Kebebasan dalam
Filsafat Klasik
Dalam filsafat
Yunani Kuno, kebebasan (eleutheria) memiliki makna yang
erat dengan tatanan kosmos dan kehidupan politik polis. Bagi Plato, kebebasan sejati
bukanlah kebebasan untuk melakukan apa pun, melainkan kebebasan yang diperoleh
melalui keteraturan jiwa dan penguasaan diri oleh rasio. Dalam Republic,
ia menegaskan bahwa manusia hanya dapat disebut bebas ketika jiwanya diatur
oleh bagian rasional yang menuntun kehendak dan hasrat menuju kebaikan yang
tertinggi, yaitu to agathon (yang baik).² Dengan
demikian, kebebasan bagi Plato bersifat moral dan teleologis: kebebasan sejati
berarti tunduk pada tatanan rasional alam semesta.³
Aristoteles
melanjutkan gagasan ini dengan pendekatan yang lebih empiris dan etis. Melalui
konsep prohairesis
(pilihan rasional), ia melihat kebebasan sebagai hasil deliberasi moral di
antara berbagai kemungkinan tindakan.⁴ Kebebasan bukanlah kebetulan, melainkan
tindakan yang disadari dan bertujuan baik. Dalam konteks politik, Aristoteles
menegaskan bahwa manusia bebas karena memiliki logos, kemampuan rasional untuk
menentukan dirinya dalam polis.⁵ Dalam dunia klasik,
kebebasan memiliki makna kolektif—manusia bebas sejauh ia berpartisipasi dalam
kehidupan publik dan tunduk pada hukum yang adil.
2.2.      
Kebebasan dalam
Filsafat Abad Pertengahan
Pada Abad
Pertengahan, diskursus kebebasan bergeser ke dalam kerangka teologis. Santo
Agustinus mengembangkan konsep liberum arbitrium (kehendak bebas)
untuk menjelaskan hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak Tuhan.⁶ Bagi
Agustinus, kebebasan sejati tidak terletak pada kemampuan untuk memilih antara
baik dan buruk, tetapi pada kemampuan untuk memilih yang baik sesuai dengan
kehendak ilahi. Dosa asal menyebabkan kehendak manusia cenderung pada
keburukan, sehingga kebebasan hanya dapat dipulihkan melalui rahmat Tuhan.⁷
Thomas Aquinas
kemudian menafsirkan kembali kebebasan dalam kerangka rasional dan
naturalistik. Ia memandang kebebasan manusia sebagai ekspresi dari kehendak
yang diarahkan oleh akal budi kepada kebaikan universal.⁸ Dalam Summa
Theologica, Aquinas menjelaskan bahwa kehendak bebas tidak
meniadakan ketergantungan manusia pada Tuhan, tetapi justru menegaskan
partisipasi manusia dalam hukum kodrati (lex naturalis) yang berasal dari
hukum ilahi.⁹ Dengan demikian, dalam perspektif skolastik, kebebasan adalah
koheren dengan keteraturan kosmos dan tatanan moral Tuhan; manusia bebas justru
karena ia mampu mengenali dan memilih kebaikan yang benar.
2.3.      
Kebebasan dalam
Filsafat Modern
Memasuki zaman
modern, pemaknaan kebebasan mengalami perubahan mendasar seiring dengan
munculnya individualisme, rasionalisme, dan sekularisasi. René Descartes
menggeser titik tolak kebebasan dari kosmos ke dalam subjek. Ia menegaskan
bahwa kebebasan adalah atribut utama dari kehendak manusia, yang bersifat tak
terbatas dibandingkan dengan pengetahuan yang terbatas.¹⁰ Meskipun demikian,
kebebasan yang tidak diarahkan oleh pengetahuan dapat menjerumuskan manusia
pada kesalahan; karenanya, bagi Descartes, kebebasan sejati adalah kebebasan
yang selaras dengan rasio yang benar.¹¹
Immanuel Kant
kemudian memberikan dasar moral bagi kebebasan dalam filsafatnya. Dalam Groundwork
of the Metaphysics of Morals, ia menegaskan bahwa kebebasan bukan
sekadar kemampuan untuk bertindak sesuai kehendak, tetapi kemampuan untuk
menentukan diri menurut hukum moral yang diciptakan oleh akal praktis
sendiri.¹² Bagi Kant, kebebasan adalah otonomi moral—manusia bebas sejauh ia
tunduk pada hukum yang ia buat bagi dirinya sendiri dalam kerangka rasionalitas
universal.¹³
Jean-Jacques
Rousseau menambahkan dimensi sosial-politik dalam pembahasan kebebasan. Dalam Du
contrat social, ia mengemukakan bahwa manusia “lahir bebas,
tetapi di mana-mana ia dalam belenggu.”¹⁴ Kebebasan sejati hanya dapat
terwujud ketika individu menyerahkan kehendaknya kepada kehendak umum (volonté
générale) yang mencerminkan kepentingan kolektif. Kebebasan, bagi
Rousseau, bukanlah anarki, melainkan partisipasi aktif dalam penciptaan hukum
yang adil.¹⁵
2.4.      
Kebebasan dalam
Filsafat Kontemporer
Pada abad ke-20,
filsafat kebebasan memperoleh dimensi eksistensial dan politik yang lebih luas.
Jean-Paul Sartre memandang kebebasan sebagai hakikat eksistensi manusia: “manusia
dikutuk untuk bebas.”¹⁶ Tidak ada kodrat yang menentukan manusia; setiap
individu harus menciptakan esensinya melalui tindakan. Kebebasan, dalam hal
ini, membawa beban tanggung jawab yang besar karena setiap pilihan individu
menegaskan nilai bagi seluruh umat manusia.¹⁷
Sementara itu, Erich
Fromm mengkritik bentuk kebebasan modern yang hanya menekankan aspek
negatif—kebebasan dari paksaan—tanpa menyertakan arah moral dan sosial. Dalam Escape
from Freedom, Fromm menyatakan bahwa manusia modern melarikan diri
dari kebebasan karena takut pada tanggung jawab dan kesendirian eksistensial.¹⁸
Isaiah Berlin kemudian memperkenalkan distingsi antara kebebasan
negatif (bebas dari paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk
menentukan diri), yang menjadi pijakan penting bagi filsafat politik liberal
dan pluralisme modern.¹⁹
Michel Foucault dan
Jürgen Habermas memperluas diskusi ini dalam konteks kekuasaan dan komunikasi.
Foucault melihat kebebasan sebagai praktik resistensi terhadap mekanisme
kekuasaan yang mendisiplinkan tubuh dan subjek,²⁰ sedangkan Habermas memahami
kebebasan sebagai rasionalitas komunikatif yang memungkinkan partisipasi setara
dalam ruang publik.²¹ Dengan demikian, dalam filsafat kontemporer, kebebasan
tidak lagi dipahami semata-mata sebagai kondisi internal subjek, tetapi juga
sebagai hasil dari struktur sosial, bahasa, dan relasi kekuasaan.
Pengaruh Religius dan Timur
Selain tradisi
Barat, filsafat kebebasan juga memiliki padanan dalam pemikiran Timur. Dalam
Buddhisme, kebebasan (vimutti) berarti pembebasan dari
penderitaan dan keterikatan melalui pencerahan (nirvana), bukan kebebasan untuk
bertindak sesuka hati.²² Sementara dalam Hindu, konsep moksha
menggambarkan kebebasan tertinggi sebagai penyatuan dengan Brahman, setelah melepaskan
ilusi individualitas.²³ Dalam Islam, kebebasan manusia ditempatkan dalam
kerangka kehendak Tuhan (qadar); manusia bebas dalam ruang
tanggung jawab moral, tetapi tidak mutlak lepas dari ketentuan ilahi.²⁴
Perspektif ini menunjukkan bahwa kebebasan memiliki banyak wajah—teologis,
metafisik, moral, dan sosial—yang semuanya berakar pada pencarian manusia akan
makna dan otonomi sejati.
Footnotes
[1]               
¹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 25–27.
[2]               
² Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis:
Hackett, 1992), 441d–443e.
[3]               
³ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work (London: Methuen,
1960), 201–203.
[4]               
⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1112a–1113b.
[5]               
⁵ Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), 285.
[6]               
⁶ Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas Williams (Indianapolis:
Hackett, 1993), 1.12–13.
[7]               
⁷ John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 153–155.
[8]               
⁸ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.
[9]               
⁹ Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1966), 33–34.
[10]            
¹⁰ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans.
John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 61.
[11]            
¹¹ Stephen Voss, “Descartes on the Will and Freedom,” Philosophical
Review 98, no. 1 (1989): 67–86.
[12]            
¹² Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 53.
[13]            
¹³ Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 96.
[14]            
¹⁴ Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin, 1968), 49.
[15]            
¹⁵ Patrick Riley, The General Will before Rousseau (Princeton:
Princeton University Press, 1986), 78.
[16]            
¹⁶ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 568.
[17]            
¹⁷ Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 41–42.
[18]            
¹⁸ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar &
Rinehart, 1941), 103–107.
[19]            
¹⁹ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon
Press, 1969), 121–122.
[20]            
²⁰ Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 201–202.
[21]            
²¹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 287–288.
[22]            
²² Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove
Press, 1974), 55–56.
[23]            
²³ S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 2 (London: George
Allen & Unwin, 1927), 501–503.
[24]            
²⁴ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1980), 55–57.
3.          
Ontologi
Kebebasan
Ontologi kebebasan
berusaha menjawab pertanyaan fundamental tentang apa kebebasan itu pada hakikatnya,
bukan sekadar bagaimana ia dialami atau diaktualisasikan. Dalam ranah ini,
filsafat menelaah keberadaan kebebasan sebagai modus eksistensi manusia dan
struktur realitas yang memungkinkan tindakan bebas. Dengan demikian, pembahasan
ontologis tentang kebebasan tidak hanya menyinggung aspek psikologis atau
moral, tetapi juga menyentuh dimensi metafisik: apakah kebebasan merupakan
sifat esensial dari manusia, ataukah sekadar ilusi yang timbul dari
ketidaktahuan manusia terhadap kausalitas yang menentukannya?¹
3.1.      
Kebebasan sebagai
Modus Eksistensi Manusia
Dalam konteks
eksistensial, kebebasan bukan sekadar kemampuan untuk memilih, melainkan
kondisi ontologis yang melekat pada eksistensi manusia. Jean-Paul Sartre
menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi, sehingga manusia pada dasarnya “dikutuk
untuk bebas.”² Ungkapan ini menegaskan bahwa kebebasan bukanlah salah satu
sifat di antara yang lain, melainkan inti dari eksistensi itu sendiri. Manusia
tidak memiliki kodrat yang memaksanya menjadi sesuatu; ia menjadi apa yang
dipilihnya melalui tindakan.³ Dalam kerangka ini, kebebasan adalah beban
eksistensial: manusia bebas, tetapi kebebasan itu disertai tanggung jawab penuh
terhadap makna dari eksistensinya sendiri.
Martin Heidegger,
melalui konsep Dasein, juga memahami kebebasan
sebagai cara berada (Seinsweise) manusia yang terbuka
terhadap kemungkinan.⁴ Kebebasan bukanlah pelarian dari determinasi, tetapi
keterbukaan terhadap Sein—keterlemparan (Geworfenheit)
sekaligus proyek (Entwurf).⁵ Dengan demikian,
kebebasan manusia terletak dalam kemampuannya untuk menafsirkan dan melampaui
keadaan faktis yang membatasinya. Ontologi kebebasan, dalam pandangan
Heidegger, bukan tentang “bebas dari” sesuatu, melainkan tentang “bebas
untuk” mengada secara autentik di dunia.⁶
3.2.      
Kebebasan dan
Determinasi dalam Struktur Realitas
Pertanyaan besar
dalam ontologi kebebasan adalah apakah kebebasan dapat benar-benar ada dalam
dunia yang tunduk pada hukum kausalitas. Kaum determinis, seperti Baruch
Spinoza, menolak gagasan kehendak bebas dengan menyatakan bahwa segala sesuatu
di alam semesta, termasuk tindakan manusia, tunduk pada hukum sebab-akibat yang
niscaya.⁷ Dalam Ethica, Spinoza menulis bahwa
manusia merasa dirinya bebas karena tidak mengetahui sebab-sebab yang mendorong
tindakannya; kebebasan hanyalah kesadaran akan keinginan tanpa pengetahuan akan
determinasi yang menyertainya.⁸ Dengan demikian, bagi Spinoza, kebebasan sejati
hanya mungkin dicapai ketika manusia memahami dan menerima keteraturannya dalam
keseluruhan sistem alam yang ilahi.⁹
Sebaliknya, dalam
tradisi idealisme transendental, seperti pada Kant, kebebasan dipahami sebagai
syarat kemungkinan moralitas. Menurut Kant, dalam dunia fenomenal semua tunduk
pada hukum alam, tetapi dalam dunia noumenal—dunia akal praktis—manusia adalah
makhluk bebas.¹⁰ Dengan demikian, kebebasan tidak dapat dijelaskan secara
empiris, melainkan mesti dipahami sebagai postulat rasional yang memungkinkan
tanggung jawab moral.¹¹ Pendekatan Kant ini menempatkan kebebasan di antara dua
tatanan ontologis: alam (determinasi) dan moralitas (otonomi), yang saling
berlawanan namun tak terpisahkan.
3.3.      
Struktur Metafisik
Kehendak Bebas
Dalam tradisi
skolastik, terutama pada pemikiran Thomas Aquinas, kebebasan merupakan fungsi
dari kehendak yang diarahkan oleh rasio.¹² Manusia disebut bebas karena ia
memiliki kapasitas untuk menilai dan memilih berdasarkan pertimbangan akal
budi. Namun, kehendak tidak dapat diartikan sebagai kekuatan otonom yang
terlepas dari kebenaran objektif; kebebasan sejati adalah kebebasan untuk
memilih yang baik sesuai dengan tujuan akhir manusia, yakni bonum
universale (kebaikan universal).¹³ Aquinas menolak pandangan bahwa
kebebasan berarti kemampuan untuk berbuat sewenang-wenang; sebaliknya, ia menegaskan
bahwa semakin seseorang mengenal kebenaran, semakin bebas ia dalam bertindak.¹⁴
Dengan demikian, secara ontologis, kebebasan adalah pertemuan antara akal dan
kehendak dalam orientasi kepada kebaikan.
Pandangan ini
diperkuat oleh filsuf personalis seperti Jacques Maritain, yang menafsirkan
kebebasan sebagai bagian integral dari martabat manusia.¹⁵ Menurutnya,
kebebasan bukan hanya potensi untuk memilih, tetapi juga struktur batin yang
menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang berpartisipasi dalam tatanan moral
dan spiritual. Kebebasan manusia tidak absolut; ia berakar pada keterbatasan
ontologis dan keterarahan transendental kepada Sang Pencipta.¹⁶
3.4.      
Paradoks Ontologis:
Kebebasan sebagai Keterbatasan
Kebebasan, secara
paradoksal, mengandaikan adanya batas. Tanpa keterbatasan, tidak ada ruang bagi
tindakan bebas untuk memiliki makna.¹⁷ Dalam dunia empiris, setiap tindakan
manusia terjadi dalam kondisi tertentu yang mengekang sekaligus memungkinkan.
Karl Jaspers menyebut kondisi ini sebagai Grenzsituationen (situasi batas),
di mana manusia dihadapkan pada fakta eksistensial seperti kematian,
penderitaan, dan kebetulan.¹⁸ Justru melalui keterbatasan inilah kebebasan
menemukan bentuknya: manusia menjadi bebas karena ia sadar akan batas-batasnya
dan mampu melampauinya melalui refleksi eksistensial.¹⁹
Simone de Beauvoir
mengembangkan pemikiran ini dengan menekankan bahwa kebebasan manusia selalu
bersifat relasional.²⁰ Kebebasan tidak pernah mutlak, melainkan selalu berada
dalam konteks dunia sosial dan keberadaan orang lain.²¹ Dalam The
Ethics of Ambiguity, ia menulis bahwa menjadi bebas berarti
mengakui kebebasan orang lain dan berjuang untuk memperluas ruang kebebasan
bersama.²² Maka, secara ontologis, kebebasan bukanlah isolasi metafisik, tetapi
keterlibatan aktif dalam dunia yang sarat makna dan nilai.
Sintesis Ontologis: Kebebasan sebagai Koherensi Antara Keberadaan
dan Kesadaran
Dari seluruh uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan memiliki dua wajah ontologis yang
saling berkelindan: kebebasan sebagai dasar eksistensi (menjadi) dan kebebasan
sebagai refleksi kesadaran (mengetahui).²³ Kebebasan bukanlah entitas statis,
tetapi dinamika ontologis yang menghubungkan manusia dengan realitas secara
aktif. Dalam diri manusia, keberadaan dan kesadaran berjumpa dalam
tindakan—tindakan yang bebas namun bermakna, karena ia berakar pada kesadaran
reflektif dan tanggung jawab moral.²⁴
Dengan demikian,
ontologi kebebasan menegaskan bahwa kebebasan bukanlah ilusi ataupun
absolutisme subjek, melainkan struktur dasar dari eksistensi yang sadar.
Kebebasan selalu hadir dalam tegangan antara determinasi dan otonomi, antara
fakta dan nilai, antara keterbatasan dan transendensi.²⁵ Kebebasan, dalam arti
terdalamnya, bukanlah “kemampuan untuk memilih apa saja,” melainkan “kemampuan
untuk menjadi seseorang” — suatu ekspresi dari eksistensi yang sadar akan
dirinya dan dunia yang melingkupinya.²⁶
Footnotes
[1]               
¹ Robert C. Solomon, A Passion for Justice: Emotions and the
Origins of the Social Contract (Reading, MA: Addison-Wesley, 1990), 47.
[2]               
² Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 568.
[3]               
³ Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 54.
[4]               
⁴ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–185.
[5]               
⁵ Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 142–145.
[6]               
⁶ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45–47.
[7]               
⁷ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton:
Princeton University Press, 1985), I, Prop. 29.
[8]               
⁸ Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 232.
[9]               
⁹ Jonathan Bennett, “Freedom and Necessity in Spinoza,” Philosophical
Review 83, no. 1 (1974): 3–28.
[10]            
¹⁰ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28.
[11]            
¹¹ Allen Wood, Kant’s Moral Religion (Ithaca: Cornell
University Press, 1970), 102.
[12]            
¹² Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.
[13]            
¹³ Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1966), 33.
[14]            
¹⁴ Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 231.
[15]            
¹⁵ Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 28–30.
[16]            
¹⁶ Yves R. Simon, Freedom of Choice (New York: Fordham
University Press, 1969), 11–13.
[17]            
¹⁷ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 1 (Chicago:
Henry Regnery, 1950), 87–89.
[18]            
¹⁸ Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F.
Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 37–39.
[19]            
¹⁹ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 211.
[20]            
²⁰ Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 44.
[21]            
²¹ Margaret Simons, Beauvoir and The Second Sex: Feminism, Race,
and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman & Littlefield,
1999), 62–63.
[22]            
²² Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, 73–74.
[23]            
²³ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the
Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 5–6.
[24]            
²⁴ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 42–43.
[25]            
²⁵ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 520.
[26]            
²⁶ Emmanuel Mounier, Personalism (London: Routledge &
Kegan Paul, 1952), 94–95.
4.          
Epistemologi
Kebebasan
Epistemologi
kebebasan menelaah bagaimana manusia mengetahui dan menyadari
dirinya sebagai makhluk yang bebas. Jika ontologi kebebasan berfokus pada
hakikat keberadaan kebebasan itu sendiri, maka epistemologi kebebasan berurusan
dengan kesadaran, refleksi, dan pengetahuan tentang kebebasan sebagai
pengalaman yang dihayati. Dengan kata lain, persoalan epistemologis kebebasan
berpusat pada pertanyaan: bagaimana manusia dapat memahami dirinya sebagai
subjek yang memiliki kehendak bebas di tengah dunia yang tampak deterministik?¹
Epistemologi
kebebasan memiliki posisi yang unik karena ia tidak dapat dijelaskan sepenuhnya
melalui metode empiris maupun logika formal. Pengetahuan tentang kebebasan
bukan hasil observasi objektif, melainkan kesadaran reflektif yang bersifat
fenomenologis dan transendental.² Manusia tidak membuktikan kebebasan melalui data,
tetapi menyadarinya
melalui tindakan dan tanggung jawab. Di sinilah kebebasan menampakkan diri
sebagai pengalaman dasar kesadaran manusia yang tak dapat direduksi menjadi
sekadar gejala psikologis atau akibat biologis.³
4.1.      
Kesadaran Diri
sebagai Dasar Pengetahuan tentang Kebebasan
Kebebasan
pertama-tama diketahui melalui pengalaman kesadaran diri. Dalam tradisi
fenomenologi, Edmund Husserl menegaskan bahwa kesadaran selalu bersifat
intensional—ia selalu tentang sesuatu.⁴ Namun, dalam
refleksi diri, kesadaran menemukan dirinya bukan sekadar sebagai pengamat
dunia, tetapi sebagai pelaku yang memiliki kemampuan memilih dan bertindak.
Pengalaman “aku dapat” mendahului setiap refleksi teoritis dan menjadi
dasar bagi pengalaman kebebasan.⁵
Jean-Paul Sartre
mengembangkan gagasan ini dalam kerangka eksistensialisme. Menurutnya,
kesadaran adalah “kebebasan murni,” karena ia selalu melampaui dirinya
sendiri dalam proyek untuk menjadi.⁶ Dalam Being and Nothingness, Sartre
menunjukkan bahwa kesadaran tidak memiliki esensi tetap—ia adalah nihil,
ruang kosong yang membuka kemungkinan bagi tindakan bebas.⁷ Oleh karena itu, pengetahuan
tentang kebebasan tidak bersumber dari luar diri manusia, melainkan dari
pengalaman reflektif tentang kesadaran yang sadar akan kemampuannya untuk
menentukan makna eksistensinya sendiri.
Simone de Beauvoir
memperkuat argumen ini dengan menegaskan bahwa kesadaran akan kebebasan muncul
dalam relasi dengan orang lain.⁸ Manusia tidak menyadari kebebasannya dalam
isolasi, melainkan dalam konflik dan dialog dengan kebebasan orang lain. Dengan
demikian, kebebasan diketahui bukan sebagai entitas individual, tetapi sebagai
pengalaman intersubjektif yang menuntut pengakuan timbal balik.⁹
4.2.      
Ilusi Kebebasan dan
Konstruksi Sosial Pengetahuan
Namun, tidak semua
pengetahuan tentang kebebasan bersifat reflektif murni; sebagian besar
dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan ideologis. Michel Foucault berpendapat
bahwa apa yang kita pahami sebagai “kebebasan” sering kali merupakan
hasil dari relasi kekuasaan yang tersembunyi dalam wacana dan institusi
sosial.¹⁰ Dalam Discipline and Punish, ia
menjelaskan bahwa sistem modern membentuk individu melalui disiplin,
pengawasan, dan normalisasi sehingga individu merasa dirinya bebas padahal
perilakunya telah diarahkan oleh struktur sosial.¹¹
Pandangan serupa
dikemukakan oleh Louis Althusser melalui konsep interpelasi ideologis, di mana
subjek “dipanggil” oleh ideologi untuk mengenali dirinya sebagai agen
bebas, padahal sebenarnya tunduk pada mekanisme reproduksi sosial.¹² Dalam
konteks ini, kebebasan epistemologis menjadi paradoks: manusia “tahu”
dirinya bebas, tetapi pengetahuan itu sendiri telah dibentuk oleh sistem yang
membatasi kebebasan tersebut.¹³
Dari perspektif
psikoanalitik, Sigmund Freud juga meragukan kebebasan sadar manusia.
Menurutnya, banyak keputusan yang dianggap bebas sebenarnya berasal dari
dorongan bawah sadar (unconscious drives) yang tidak
disadari oleh ego.¹⁴ Karenanya, pengetahuan tentang kebebasan sering kali
tertipu oleh ilusi kesadaran diri yang dangkal. Meskipun demikian, Freud tidak
sepenuhnya menolak kebebasan; ia justru menempatkannya dalam konteks perjuangan
manusia untuk mengenali dorongan tak sadar dan menundukkannya melalui
pengetahuan diri yang lebih mendalam.¹⁵
4.3.      
Rasionalitas dan
Pengetahuan Moral tentang Kebebasan
Dalam filsafat
modern, hubungan antara rasionalitas dan kebebasan menjadi pusat perhatian
epistemologis. Immanuel Kant memandang kebebasan sebagai kondisi transendental
bagi moralitas: manusia hanya dapat mengetahui dirinya sebagai makhluk moral
sejauh ia menyadari dirinya sebagai makhluk bebas.¹⁶ Pengetahuan ini bukan
hasil empiris, melainkan bentuk kesadaran apriori dari akal praktis. Ketika
seseorang bertindak karena kewajiban moral, ia mengetahui dirinya bebas melalui
tindakan itu sendiri.¹⁷ Dengan kata lain, kesadaran moral adalah bentuk
epistemik tertinggi dari kebebasan—manusia tahu dirinya bebas karena ia merasakan
kewajiban untuk bertindak secara otonom.¹⁸
Hegel kemudian
mengembangkan konsep ini dalam kerangka dialektika kesadaran. Bagi Hegel,
kebebasan tidak dapat dipahami tanpa sejarah kesadaran. Dalam Phenomenology
of Spirit, ia menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kebebasan
tumbuh melalui proses dialektis, dari kesadaran diri yang teralienasi menuju
Roh Absolut yang mengenali dirinya dalam dunia.¹⁹ Kebebasan, dalam pengertian
ini, bukan fakta psikologis melainkan hasil evolusi kesadaran historis: manusia
mengetahui dirinya bebas ketika ia memahami dirinya sebagai bagian dari
rasionalitas universal.²⁰
4.4.      
Kebebasan Berpikir
dan Otonomi Pengetahuan
Aspek penting lain
dari epistemologi kebebasan adalah kebebasan berpikir. Baruch Spinoza, dalam Tractatus
Theologico-Politicus, menekankan bahwa kebebasan berpikir merupakan
fondasi semua bentuk kebebasan lainnya, karena tanpa otonomi akal, manusia
menjadi budak prasangka dan dogma.²¹ Pengetahuan sejati, menurut Spinoza,
adalah pengetahuan yang membebaskan manusia dari belenggu afek dan
ketidaktahuan.²²
John Stuart Mill
memperluas gagasan ini dalam konteks liberalisme modern. Dalam On
Liberty, ia berargumen bahwa kebebasan berpikir adalah syarat bagi
kemajuan pengetahuan dan kebenaran.²³ Pengetahuan manusia tidak dapat
berkembang tanpa ruang bagi perbedaan pendapat dan kebebasan untuk menguji
gagasan secara kritis.²⁴ Dengan demikian, epistemologi kebebasan menuntut
kondisi sosial-politik yang memungkinkan pencarian kebenaran secara bebas dan
rasional.
Dalam konteks
kontemporer, Jürgen Habermas menegaskan bahwa kebebasan pengetahuan hanya dapat
diwujudkan melalui rasionalitas komunikatif.²⁵ Pengetahuan yang bebas adalah
pengetahuan yang lahir dari dialog tanpa dominasi, di mana argumentasi
menggantikan paksaan.²⁶ Maka, epistemologi kebebasan berakar pada komunikasi
rasional dan kejujuran intersubjektif—suatu proses di mana kebenaran dan
kebebasan menjadi dua sisi dari satu gerak kesadaran manusia.
Sintesis Epistemologis: Mengetahui untuk Menjadi Bebas
Dari berbagai
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan memiliki dua dimensi
epistemologis: reflektif dan praksis. Reflektif karena kebebasan disadari dalam
kesadaran diri yang otonom; praksis karena pengetahuan itu diwujudkan dalam
tindakan moral dan sosial.²⁷ Pengetahuan tentang kebebasan bukanlah sesuatu
yang final, melainkan proses dinamis menuju pencerahan dan otonomi yang lebih
tinggi.
Dengan demikian,
epistemologi kebebasan menunjukkan bahwa mengetahui dan menjadi bebas adalah
dua gerak yang saling mengandaikan.²⁸ Manusia tidak dapat benar-benar
mengetahui dirinya tanpa mengalami kebebasan, dan tidak dapat sungguh-sungguh
bebas tanpa memahami hakikat kebebasan itu sendiri.²⁹ Pengetahuan, dalam arti
tertinggi, adalah tindakan pembebasan: to know is to be free.³⁰
Footnotes
[1]               
¹ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the
Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 12–13.
[2]               
² Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 425.
[3]               
³ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2 (Chicago: Henry
Regnery, 1951), 44.
[4]               
⁴ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Nijhoff, 1982),
82.
[5]               
⁵ Dan Zahavi, Self and Other: Exploring Subjectivity, Empathy, and
Shame (Oxford: Oxford University Press, 2014), 33.
[6]               
⁶ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 568.
[7]               
⁷ Thomas R. Flynn, Sartre, Foucault, and Historical Reason,
Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 112.
[8]               
⁸ Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 45.
[9]               
⁹ Margaret Simons, Beauvoir and The Second Sex: Feminism, Race, and
the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman & Littlefield, 1999),
64.
[10]            
¹⁰ Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 112.
[11]            
¹¹ Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 202–203.
[12]            
¹² Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses,” in Lenin
and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971),
173.
[13]            
¹³ Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso,
1991), 43–44.
[14]            
¹⁴ Sigmund Freud, The Ego and the Id, trans. Joan Riviere (New
York: Norton, 1960), 21.
[15]            
¹⁵ Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of
Ethics (New York: Holt, 1947), 93–95.
[16]            
¹⁶ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 53.
[17]            
¹⁷ Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 100.
[18]            
¹⁸ Henry Allison, Kant’s Theory of Freedom (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 26.
[19]            
¹⁹ Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 111–113.
[20]            
²⁰ Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge:
Cambridge University Press, 1979), 62–63.
[21]            
²¹ Baruch Spinoza, Tractatus Theologico-Politicus, trans.
Samuel Shirley (Leiden: Brill, 1989), 279.
[22]            
²² Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 243.
[23]            
²³ John Stuart Mill, On Liberty (London: Parker, 1859), 17–19.
[24]            
²⁴ Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1969), 118.
[25]            
²⁵ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 285.
[26]            
²⁶ Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the
Foundations of Critical Theory (New York: Columbia University Press,
1986), 104–106.
[27]            
²⁷ Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 64–65.
[28]            
²⁸ Hannah Arendt, The Life of the Mind, Vol. 2 (New York:
Harcourt, 1978), 177.
[29]            
²⁹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 91–92.
[30]            
³⁰ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra
Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81.
5.          
Etika
dan Aksiologi Kebebasan
Pembahasan mengenai
kebebasan tidak dapat dilepaskan dari ranah etika dan aksiologi, sebab
kebebasan pada dasarnya tidak hanya menyangkut kemampuan untuk bertindak,
tetapi juga arah, nilai, dan tanggung jawab dari tindakan tersebut. Etika
menanyakan bagaimana kebebasan digunakan secara benar, sedangkan aksiologi
menelaah nilai-nilai yang melandasi penggunaan kebebasan itu. Dengan demikian,
persoalan kebebasan tidak hanya berkaitan dengan “apakah manusia bebas,”
tetapi juga “bagaimana manusia harus menggunakan kebebasannya.”¹
Dalam sejarah
filsafat, kebebasan selalu dihubungkan dengan tanggung jawab moral. Kebebasan
tanpa orientasi etis berisiko melahirkan anarki, sedangkan etika tanpa
kebebasan menjelma menjadi moralitas yang dipaksakan. Oleh karena itu, filsafat
berupaya menyeimbangkan antara otonomi pribadi dan keterarahan pada kebaikan
bersama.²
5.1.      
Kebebasan dan
Tanggung Jawab Moral
Immanuel Kant
menempatkan kebebasan sebagai dasar bagi moralitas. Menurutnya, hanya tindakan
yang dilakukan dari kehendak bebas dan berdasarkan prinsip moral universal yang
memiliki nilai etis.³ Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals,
Kant menegaskan bahwa manusia tidak bertindak secara bermoral jika tindakannya
digerakkan oleh dorongan eksternal atau emosi, melainkan hanya jika ia
bertindak “dari kewajiban,” yaitu berdasarkan hukum moral yang
ditetapkan oleh akal praktisnya sendiri.⁴ Maka, kebebasan adalah otonomi
rasional: kemampuan untuk menundukkan diri pada hukum yang kita ciptakan secara
rasional.⁵
Sebaliknya, bagi
Aristoteles, kebebasan moral tidak terletak dalam penolakan terhadap dorongan
natural, tetapi pada kemampuan untuk menyeimbangkan antara rasio dan hasrat.⁶
Dalam Nicomachean
Ethics, ia menegaskan bahwa tindakan moral lahir dari kehendak
sadar (prohairesis),
yang menimbang baik dan buruk berdasarkan kebiasaan yang terbentuk melalui
kebajikan (virtue).⁷
Maka, kebebasan dalam pandangan Aristotelian bukanlah kebebasan absolut, melainkan
kebebasan yang terarah—yakni kebebasan yang tumbuh bersama keutamaan karakter.
Sementara itu,
Jean-Paul Sartre mengembangkan konsep kebebasan dalam konteks eksistensial.
Bagi Sartre, manusia sepenuhnya bebas, tetapi kebebasan itu selalu diiringi beban
tanggung jawab yang mutlak.⁸ Tidak ada Tuhan atau kodrat yang menentukan
tindakan manusia; karena itu, setiap pilihan manusia menjadi pencipta nilai
bagi seluruh umat manusia.⁹ Dalam pengertian ini, etika kebebasan Sartre
bersifat radikal: manusia tidak dapat menyalahkan siapa pun atas tindakannya,
sebab dengan memilih, ia menegaskan dirinya sebagai pembuat makna dunia.¹⁰
5.2.      
Nilai-nilai
Kebebasan: Martabat, Otonomi, dan Solidaritas
Kebebasan, dalam
kerangka aksiologis, terkait erat dengan nilai martabat manusia. Menurut
Jacques Maritain, martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk mengenal
kebenaran dan memilih kebaikan secara sadar.¹¹ Kebebasan bukanlah hak untuk
melakukan apa saja, melainkan kapasitas untuk bertindak sesuai dengan
nilai-nilai yang menjunjung kemanusiaan.¹² Dalam tradisi personalisme ini,
kebebasan dan nilai menjadi dua sisi dari satu hakikat: kebebasan tanpa nilai
kehilangan arah, sedangkan nilai tanpa kebebasan kehilangan makna.
Santo Thomas Aquinas
menegaskan hal serupa dengan menyatakan bahwa “kebebasan sejati adalah
kebebasan untuk melakukan yang baik.”¹³ Ia menolak pandangan yang
menyamakan kebebasan dengan kemampuan memilih secara sewenang-wenang (liberum
arbitrium indifferentiae). Bagi Aquinas, kehendak manusia secara
kodrati tertuju kepada kebaikan tertinggi (summum bonum), dan semakin
seseorang mengenal serta memilih kebaikan, semakin bebaslah ia.¹⁴ Maka, nilai
moral kebebasan terletak bukan pada pilihan yang tak terbatas, tetapi pada keselarasan
antara kehendak dan kebenaran moral.
Dari perspektif
eksistensial-humanistik, Erich Fromm melihat bahwa kebebasan harus dipahami
secara positif sebagai realisasi diri (self-actualization) dan solidaritas
kemanusiaan.¹⁵ Dalam Escape from Freedom, Fromm
mengkritik kebebasan modern yang cenderung negatif—kebebasan dari—yang
justru melahirkan keterasingan dan kecemasan.¹⁶ Ia mengusulkan kebebasan untuk,
yakni kebebasan yang aktif dan kreatif, yang berakar pada cinta dan tanggung
jawab terhadap sesama.¹⁷ Dengan demikian, kebebasan memperoleh nilai intrinsik
ketika digunakan untuk membangun relasi manusiawi yang autentik.
5.3.      
Kebebasan dalam
Konteks Sosial dan Politik
Dalam ranah politik,
Isaiah Berlin membedakan dua konsep kebebasan yang fundamental: kebebasan
negatif dan kebebasan positif.¹⁸ Kebebasan negatif berarti bebas dari campur
tangan orang lain, sedangkan kebebasan positif berarti kemampuan individu untuk
menentukan hidupnya sendiri.¹⁹ Keduanya memiliki nilai etis yang berbeda:
kebebasan negatif menekankan perlindungan individu dari paksaan, sementara
kebebasan positif menekankan partisipasi aktif dalam kehidupan politik.
Hannah Arendt
mengembangkan dimensi politik kebebasan dalam konteks tindakan kolektif. Dalam The
Human Condition, ia menegaskan bahwa kebebasan sejati bukan sekadar
otonomi pribadi, tetapi kemampuan untuk bertindak bersama orang lain di
ruang publik.²⁰ Kebebasan menjadi aktual ketika manusia berpartisipasi
dalam dunia bersama (vita activa), di mana tindakan dan
percakapan menciptakan makna dan tatanan baru.²¹ Oleh karena itu, nilai
kebebasan tidak hanya terletak pada privasi individu, tetapi juga pada
kemampuan untuk membentuk dunia bersama yang adil dan pluralistik.
Dalam perspektif
kontemporer, kebebasan sosial harus diimbangi dengan tanggung jawab etis
terhadap sesama. Martha Nussbaum dan Amartya Sen mengusulkan capabilities
approach—bahwa kebebasan sejati harus diukur bukan hanya dari
ketiadaan paksaan, tetapi dari sejauh mana individu memiliki kemampuan nyata untuk
hidup bermartabat.²² Nilai kebebasan, dengan demikian, menuntut keadilan
distributif dan solidaritas sosial.
5.4.      
Kebebasan di Era
Digital dan Teknologi
Etika kebebasan
menghadapi tantangan baru dalam dunia teknologi digital. Kebebasan individu
kini sering berhadapan dengan kekuatan algoritmik, pengawasan data, dan
manipulasi informasi.²³ Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance
capitalism, di mana kebebasan manusia direduksi menjadi komoditas
perilaku yang dapat diprediksi dan dijual.²⁴ Dalam konteks ini, kebebasan
kehilangan makna etisnya karena manusia tak lagi menjadi subjek otonom,
melainkan objek dari sistem teknologis yang mengekstraksi datanya.
Untuk mempertahankan
nilai kebebasan, etika digital menuntut kesadaran reflektif dan tanggung jawab
sosial dalam penggunaan teknologi.²⁵ Kebebasan epistemik—hak untuk mengetahui
dan memilih secara sadar—menjadi nilai moral yang harus dijaga di tengah
dominasi algoritma.²⁶ Dengan demikian, kebebasan di era digital tidak dapat
dipahami semata sebagai hak individu, melainkan sebagai praktik kolektif untuk
mempertahankan otonomi manusia di dunia yang semakin terdigitalisasi.
Sintesis Aksiologis: Kebebasan sebagai Nilai Tertinggi Moralitas
Secara aksiologis,
kebebasan dapat dipahami sebagai nilai yang memungkinkan terwujudnya semua
nilai moral lainnya.²⁷ Tanpa kebebasan, tidak ada kebaikan, tanggung jawab,
atau keutamaan yang bermakna. Namun, kebebasan tidak memiliki nilai intrinsik
jika dilepaskan dari orientasi etisnya. Dalam sintesis ini, kebebasan sejati
adalah kebebasan yang diarahkan oleh akal budi, diperkuat oleh kebajikan, dan
diwujudkan dalam solidaritas.²⁸
Dengan demikian,
filsafat kebebasan mengandung prinsip moral universal: manusia bebas karena ia
bermoral, dan ia bermoral karena ia bebas.²⁹ Etika dan aksiologi kebebasan
saling meneguhkan dalam suatu horizon humanistik, di mana kebebasan bukan hanya
milik individu, tetapi juga komitmen terhadap martabat dan kemaslahatan umat
manusia.³⁰
Footnotes
[1]               
¹ Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 67.
[2]               
² Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 176–177.
[3]               
³ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54.
[4]               
⁴ Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 98–100.
[5]               
⁵ Henry Allison, Kant’s Theory of Freedom (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 27.
[6]               
⁶ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1113a.
[7]               
⁷ Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness (Cambridge:
Cambridge University Press, 1986), 214.
[8]               
⁸ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 568.
[9]               
⁹ Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 41.
[10]            
¹⁰ Robert C. Solomon, Ethics and Excellence (New York: Oxford
University Press, 1992), 90.
[11]            
¹¹ Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 42.
[12]            
¹² Yves R. Simon, Freedom of Choice (New York: Fordham
University Press, 1969), 11.
[13]            
¹³ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.
[14]            
¹⁴ Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1966), 35.
[15]            
¹⁵ Erich Fromm, Man for Himself (New York: Holt, 1947), 93.
[16]            
¹⁶ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar &
Rinehart, 1941), 110.
[17]            
¹⁷ Rollo May, The Courage to Create (New York: Norton, 1975),
54–55.
[18]            
¹⁸ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon
Press, 1969), 121–122.
[19]            
¹⁹ John Gray, Liberalism (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1986), 45.
[20]            
²⁰ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 177–178.
[21]            
²¹ Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her
Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 220.
[22]            
²² Martha Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge: Harvard
University Press, 2011), 33–34.
[23]            
²³ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 125–126.
[24]            
²⁴ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 7–8.
[25]            
²⁵ Rafael Capurro, Ethics and Information Technology (Berlin:
Springer, 2006), 215.
[26]            
²⁶ Luciano Floridi, The Logic of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2019), 201–203.
[27]            
²⁷ Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values,
trans. Manfred Frings (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 45.
[28]            
²⁸ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 1959), 132.
[29]            
²⁹ Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper &
Row, 1963), 23–25.
[30]            
³⁰ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 44–45.
6.          
Kritik
terhadap Konsep Kebebasan
Konsep kebebasan,
meskipun menjadi landasan utama bagi filsafat moral, politik, dan eksistensial,
tidak luput dari kritik mendasar. Beragam tradisi filsafat mempertanyakan
validitas, batas, maupun realitas kebebasan itu sendiri—apakah kebebasan
sungguh ada, atau hanyalah ilusi yang menutupi keterikatan manusia pada
hukum-hukum alam, struktur sosial, dan determinasi psikis. Kritik terhadap
kebebasan muncul dari berbagai arah: metafisik, ilmiah, sosiologis,
eksistensial, dan teologis.¹ Melalui pembacaan kritis ini, filsafat kebebasan
diuji tidak hanya dalam ranah konsep, tetapi juga dalam realitas empiris dan
praksis manusia sehari-hari.
6.1.      
Kritik
Deterministik: Alam, Fisika, dan Neurokausalitas
Kaum determinis
klasik, seperti Baruch Spinoza dan Pierre-Simon Laplace, berpendapat bahwa
kebebasan manusia hanyalah ilusi yang lahir dari ketidaktahuan terhadap
sebab-sebab yang menentukannya.² Dalam Ethica, Spinoza menyatakan bahwa
manusia “merasa dirinya bebas” hanya karena ia tidak menyadari
hukum-hukum yang mengatur tindakannya.³ Kebebasan sejati, menurutnya, bukanlah
kebebasan untuk memilih, melainkan kebebasan untuk memahami dan menerima
keharusan alam semesta yang bersifat niscaya.⁴
Pandangan ini
diperkuat oleh determinisme ilmiah pada abad ke-18 dan ke-19, yang memandang
dunia sebagai sistem tertutup yang sepenuhnya dapat diprediksi. Laplace
menyatakan bahwa seandainya ada “kecerdasan yang mengetahui semua gaya yang
menggerakkan alam semesta,” maka tidak akan ada ruang bagi kebebasan;
segala sesuatu, termasuk tindakan manusia, dapat diramalkan secara pasti.⁵
Dalam konteks
kontemporer, determinisme muncul kembali dalam bentuk neurodeterminisme.
Eksperimen neurologis Benjamin Libet (1983) menunjukkan bahwa aktivitas otak
yang mendahului keputusan sadar (disebut readiness potential) terjadi
beberapa milidetik sebelum seseorang merasa membuat keputusan.⁶ Temuan ini
digunakan oleh sebagian ilmuwan untuk menyimpulkan bahwa “kehendak bebas”
hanyalah kesadaran pasca-faktual terhadap proses biologis yang telah ditentukan
sebelumnya.⁷ Namun, kritik terhadap eksperimen ini menyatakan bahwa kebebasan
tidak harus diidentikkan dengan momen neurologis, melainkan dengan refleksi dan
kontrol atas tindakan yang berlangsung dalam waktu lebih panjang.⁸
6.2.      
Kritik Sosial dan
Ideologis: Kebebasan sebagai Produk Kekuasaan
Michel Foucault
menawarkan kritik radikal terhadap konsep kebebasan liberal yang menekankan
otonomi individu. Dalam pandangannya, kebebasan bukanlah kondisi alami manusia,
melainkan hasil dari konstruksi sosial yang dibentuk oleh wacana dan mekanisme
kekuasaan.⁹ Dalam Discipline and Punish, ia
menunjukkan bahwa sistem modern—melalui pendidikan, rumah sakit, penjara, dan
media—menginternalisasi kontrol yang membuat individu merasa “bebas,” padahal
perilakunya dikendalikan oleh norma-norma sosial.¹⁰ Dengan demikian, kebebasan
beroperasi sebagai teknologi kekuasaan yang mengatur tubuh dan pikiran secara
halus.¹¹
Louis Althusser
melengkapi kritik ini dengan teori interpelasi ideologis: subjek tidak
lahir sebagai agen bebas, melainkan “dipanggil” oleh ideologi untuk
mengenali dirinya sebagai individu yang otonom.¹² Artinya, kesadaran akan
kebebasan itu sendiri merupakan hasil dari struktur yang menundukkan manusia.
Dalam masyarakat kapitalistik, ide kebebasan sering kali berfungsi untuk
menutupi ketimpangan sosial—manusia dianggap bebas, tetapi kebebasannya
dibatasi oleh mekanisme ekonomi dan ideologi konsumsi.¹³
Karl Marx juga
memberikan kritik tajam terhadap kebebasan dalam sistem ekonomi liberal. Dalam Economic
and Philosophic Manuscripts, ia menyebut bahwa kebebasan dalam
kapitalisme hanyalah “kebebasan formal,” sebab manusia tidak sungguh
bebas dari kebutuhan material dan eksploitasi tenaga kerja.¹⁴ Bagi Marx,
kebebasan sejati hanya dapat diwujudkan ketika manusia terbebas dari kondisi
alienasi dan memiliki kendali atas sarana produksinya sendiri.¹⁵
6.3.      
Kritik Eksistensial
dan Nihilistik: Beban Kebebasan dan Absurditas
Jean-Paul Sartre
menegaskan kebebasan mutlak manusia—namun justru pandangan ini membuka jalan
bagi kritik dari kalangan eksistensialis sendiri. Søren Kierkegaard, misalnya,
menilai bahwa kebebasan tanpa dasar transendental hanya akan menimbulkan kecemasan
eksistensial (angst).¹⁶ Kebebasan adalah “penderitaan”
karena membuka kemungkinan tak terbatas yang menuntut manusia memilih tanpa
pegangan pasti.¹⁷
Albert Camus
melanjutkan kritik ini dalam kerangka absurdisme. Dalam dunia yang tanpa
makna objektif, kebebasan kehilangan orientasi moral dan metafisik.¹⁸ Dalam The Myth
of Sisyphus, Camus menggambarkan manusia bebas sebagai “makhluk
yang sadar akan absurditas hidup, tetapi tetap memilih untuk hidup.”¹⁹
Kebebasan, dalam pengertian ini, bukan rahmat melainkan beban: manusia harus
menciptakan maknanya sendiri di dunia yang diam dan tak peduli.²⁰
Nietzsche juga
mengkritik konsep kebebasan moral modern yang dianggapnya sebagai warisan
moralitas budak (Sklavenmoral).²¹ Menurut Nietzsche,
kebebasan yang sesungguhnya adalah will to power—kehendak untuk
menegaskan diri secara kreatif di luar batas-batas moralitas tradisional.²²
Namun, kritik terhadap Nietzsche menunjukkan bahwa kebebasan yang absolut tanpa
norma dapat mengarah pada nihilisme, di mana kehendak menjadi sumber nilai
tanpa batas, dan tindakan kehilangan orientasi etisnya.²³
6.4.      
Kritik Teologis:
Ketegangan antara Kehendak Ilahi dan Kebebasan Manusia
Dalam teologi,
persoalan kebebasan manusia berhadapan langsung dengan konsep kehendak Tuhan (divine
will). St. Agustinus menegaskan bahwa setelah kejatuhan manusia ke
dalam dosa, kehendak bebas menjadi lemah dan cenderung pada kejahatan.²⁴
Manusia tetap memiliki liberum arbitrium, tetapi tidak
memiliki libertas
vera (kebebasan sejati), yang hanya dapat dipulihkan melalui rahmat
Tuhan.²⁵ Pandangan ini menimbulkan ketegangan antara kebebasan manusia dan
kemahakuasaan ilahi.
John Calvin kemudian
mengembangkan doktrin predestinasi, bahwa segala sesuatu
telah ditentukan oleh Tuhan, termasuk keselamatan manusia.²⁶ Konsep ini menolak
kehendak bebas mutlak karena keselamatan tidak dapat diperoleh melalui tindakan
manusia, melainkan semata-mata oleh kehendak Tuhan. Sebaliknya, dalam teologi
Islam, para pemikir seperti Al-Ash‘ari dan Al-Maturidi berdebat mengenai sejauh
mana manusia memiliki kebebasan untuk berbuat.²⁷ Al-Ash‘ari menekankan bahwa
Tuhan menciptakan perbuatan manusia (kasb), sedangkan Al-Maturidi
memberikan ruang bagi kehendak manusia dalam kerangka takdir ilahi.²⁸
Dengan demikian,
kritik teologis menunjukkan bahwa kebebasan manusia tidak dapat dipahami tanpa
memperhitungkan hubungan ontologisnya dengan Yang Ilahi. Dalam konteks ini,
kebebasan bukan otonomi mutlak, tetapi partisipasi dalam kehendak Tuhan yang
lebih tinggi.²⁹
6.5.      
Kritik Posthuman dan
Teknologis: Kebebasan di Bawah Algoritma
Kritik mutakhir
terhadap konsep kebebasan muncul dalam konteks teknologi digital dan kecerdasan
buatan. Menurut Shoshana Zuboff, kapitalisme pengawasan (surveillance
capitalism) telah mengubah kebebasan manusia menjadi data perilaku
yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi dan politik.³⁰ Dalam ruang
digital, pilihan individu sering kali diarahkan oleh algoritma yang tidak
transparan, sehingga “kebebasan” menjadi hasil rekayasa informasi.³¹
Yuval Noah Harari
menambahkan bahwa perkembangan neuroteknologi dan dataism dapat menggantikan
kebebasan dengan prediksi algoritmik: manusia tidak lagi memilih secara bebas,
tetapi dipandu oleh mesin yang lebih memahami dirinya daripada ia sendiri.³²
Kritik ini menyoroti bahwa dalam masyarakat yang didorong oleh teknologi,
kebebasan menjadi paradoks—manusia semakin memiliki pilihan, namun kehilangan
kendali atas dasar pilihannya.³³
Sintesis Kritis: Kebebasan antara Ilusi dan Kemungkinan
Berbagai kritik di
atas menunjukkan bahwa kebebasan bukanlah entitas absolut yang dapat diterima
tanpa pertanyaan. Ia selalu bersifat relatif terhadap kondisi biologis, sosial,
dan metafisik manusia. Namun demikian, kritik terhadap kebebasan tidak
serta-merta meniadakan nilainya. Sebaliknya, ia memperkaya pemahaman kita bahwa
kebebasan harus dilihat sebagai proses reflektif, bukan kondisi
tetap.³⁴
Kebebasan sejati,
jika demikian, bukan berarti ketiadaan sebab atau paksaan, tetapi kemampuan
untuk mengenali, memahami, dan memberi makna terhadap kondisi determinatif yang
melingkupi manusia.³⁵ Dalam batas-batas itu, kebebasan tetap menjadi inti
eksistensi manusia—sebuah ruang transendensi yang tidak dapat dihapus bahkan
oleh sains, ideologi, atau teknologi.³⁶
Footnotes
[1]               
¹ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the
Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 10–11.
[2]               
² Pierre-Simon Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities,
trans. Frederick Truscott and Frederick Emory (New York: Dover, 1951), 4.
[3]               
³ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton:
Princeton University Press, 1985), I, Prop. 32.
[4]               
⁴ Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 232.
[5]               
⁵ Laplace, A Philosophical Essay on Probabilities, 5.
[6]               
⁶ Benjamin Libet, “Unconscious Cerebral Initiative and the Role of
Conscious Will in Voluntary Action,” Behavioral and Brain Sciences 8,
no. 4 (1985): 529–566.
[7]               
⁷ Patrick Haggard, “Human Volition: Towards a Neuroscience of Will,” Nature
Reviews Neuroscience 9, no. 12 (2008): 934–946.
[8]               
⁸ Alfred Mele, Free Will and Luck (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 61–62.
[9]               
⁹ Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 200–201.
[10]            
¹⁰ Ibid., 202–203.
[11]            
¹¹ Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An
Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978),
92–93.
[12]            
¹² Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses,” in Lenin
and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971),
174–175.
[13]            
¹³ Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (London: Verso,
1991), 43–44.
[14]            
¹⁴ Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 112.
[15]            
¹⁵ Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx
(Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 74–75.
[16]            
¹⁶ Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar
Thomte (Princeton: Princeton University Press, 1980), 49.
[17]            
¹⁷ Ibid., 53.
[18]            
¹⁸ Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien
(New York: Vintage, 1955), 22.
[19]            
¹⁹ Ibid., 91–92.
[20]            
²⁰ Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest
for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 121.
[21]            
²¹ Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), II, §18.
[22]            
²² Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin, 1961), 137.
[23]            
²³ Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature
(Cambridge: Harvard University Press, 1985), 103–104.
[24]            
²⁴ Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas Williams (Indianapolis:
Hackett, 1993), I.13.
[25]            
²⁵ John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 155.
[26]            
²⁶ John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans.
Henry Beveridge (Peabody: Hendrickson, 2008), III.xxi.5.
[27]            
²⁷ Al-Ash‘ari, Kitab al-Luma‘ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaygh wa
al-Bida‘ (Beirut: Dar al-Mashriq, 1953), 87–88.
[28]            
²⁸ Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathullah Khalif (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), 132.
[29]            
²⁹ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1980), 55.
[30]            
³⁰ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 8.
[31]            
³¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 127–128.
[32]            
³² Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow
(London: Harvill Secker, 2016), 347–349.
[33]            
³³ Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and New
Technologies of Power (London: Verso, 2017), 22–23.
[34]            
³⁴ Paul Ricoeur, Fallible Man (Chicago: Regnery, 1965), 91.
[35]            
³⁵ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 95.
[36]            
³⁶ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45.
7.          
Relevansi
Kontemporer Filsafat Kebebasan
Filsafat kebebasan
memiliki relevansi mendalam dalam konteks kontemporer, di mana manusia
dihadapkan pada kompleksitas sosial, teknologi, politik, dan ekologis yang
menantang makna klasik tentang kebebasan. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi
dan saling bergantung, kebebasan tidak lagi dapat dimaknai semata sebagai
otonomi individual, melainkan harus ditafsirkan ulang dalam kerangka
interdependensi global, kesadaran etis, dan tanggung jawab kolektif.¹ Kebebasan
masa kini bukan hanya persoalan “hak untuk memilih,” tetapi juga tentang
bagaimana pilihan-pilihan manusia berdampak pada keberlanjutan sosial,
ekologis, dan moral dunia bersama.
7.1.      
Kebebasan dalam
Konteks Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Sejak deklarasi Universal
Declaration of Human Rights (1948), kebebasan menjadi salah satu
pilar utama tatanan global modern.² Namun, realitas politik kontemporer
menunjukkan paradoks: di satu sisi, kebebasan individu dijunjung tinggi; di
sisi lain, meningkatnya populisme, sensor, dan otoritarianisme digital
mengekang kebebasan berpikir dan berpendapat.³
Hannah Arendt
menegaskan bahwa kebebasan politik sejati hanya dapat diwujudkan melalui
partisipasi aktif dalam ruang publik.⁴ Kebebasan bukanlah sekadar perlindungan
dari kekuasaan, tetapi kapasitas untuk bertindak bersama (acting in
concert) dalam membangun dunia yang plural dan rasional.⁵ Dalam konteks
demokrasi digital, tantangan baru muncul ketika ruang publik dimediasi oleh
algoritma dan kepemilikan platform swasta.⁶ Arendtian vita
activa kini menuntut reinterpretasi—bagaimana manusia dapat tetap
menjadi agen yang bebas dalam ruang komunikasi yang dikendalikan oleh korporasi
global dan informasi yang tersaring secara selektif.⁷
7.2.      
Kebebasan dan
Ekonomi Global
Kebebasan ekonomi
sering dipahami sebagai kemampuan individu atau korporasi untuk berinovasi dan
bersaing di pasar bebas. Namun, seperti dikritik oleh Amartya Sen, kebebasan
sejati dalam konteks ekonomi tidak dapat diukur semata oleh kebebasan pasar,
melainkan oleh kemampuan nyata seseorang untuk menjalani kehidupan yang
bernilai.⁸ Dalam Development as Freedom, Sen
menyatakan bahwa kebebasan harus dipahami sebagai capability—yakni kapasitas manusia
untuk mewujudkan fungsi-fungsi kehidupan yang mereka pilih secara rasional dan
bermakna.⁹
Sementara itu,
neoliberalisme global telah menimbulkan paradoks kebebasan: manusia tampak
bebas memilih, tetapi pilihan itu dibentuk oleh logika konsumsi dan
ketergantungan struktural pada sistem ekonomi yang menindas.¹⁰ Pierre Bourdieu
menyebut fenomena ini sebagai “dominasi simbolik,” di mana kebebasan
pasar menutupi relasi kuasa yang mereproduksi ketimpangan sosial.¹¹ Dengan
demikian, relevansi filsafat kebebasan di era ekonomi global menuntut pembacaan
kritis terhadap hubungan antara kebebasan formal dan realisasi material dari
martabat manusia.
7.3.      
Kebebasan di Era
Digital dan Kecerdasan Buatan
Teknologi digital
telah mengubah secara mendasar cara manusia memahami kebebasan. Di satu sisi,
internet dan media sosial memperluas ruang ekspresi dan pengetahuan; di sisi
lain, algoritma dan sistem pengawasan menimbulkan bentuk baru dari kontrol
sosial yang tidak kasatmata.¹² Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai surveillance
capitalism—suatu sistem ekonomi yang mengekstraksi perilaku manusia
untuk dijadikan komoditas prediktif.¹³ Dalam konteks ini, kebebasan manusia
direduksi menjadi data, dan pilihan-pilihannya dimanipulasi oleh sistem yang
memprediksi kehendaknya bahkan sebelum ia sadar akan pilihan itu.¹⁴
Selain itu, kemajuan
kecerdasan buatan (AI) menghadirkan pertanyaan baru: apakah manusia masih
memiliki otonomi ketika keputusan sosial, hukum, dan ekonomi diambil oleh
sistem otomatis? Luciano Floridi menegaskan bahwa etika informasi menuntut
redefinisi kebebasan dalam era digital—yakni kebebasan sebagai informational
self-determination, kemampuan untuk mengontrol representasi digital
diri sendiri dan partisipasi dalam ekosistem informasi secara sadar.¹⁵ Maka,
kebebasan kontemporer menuntut bukan hanya privasi, tetapi juga transparansi
algoritmik dan literasi digital yang tinggi agar manusia tetap menjadi subjek
etis dalam ruang virtual.¹⁶
7.4.      
Kebebasan dan
Tanggung Jawab Ekologis
Krisis iklim dan
kerusakan lingkungan global memperluas makna kebebasan dari ranah manusia ke
ranah ekologis. Kebebasan manusia untuk mengeksploitasi alam kini harus
dikritisi dalam bingkai tanggung jawab terhadap planet sebagai rumah bersama.¹⁷
Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility,
menyatakan bahwa kebebasan teknologi modern harus diimbangi oleh prinsip etika
tanggung jawab terhadap generasi mendatang.¹⁸ Kebebasan untuk bertindak tidak
boleh dipisahkan dari kewajiban moral untuk menjaga keberlanjutan kehidupan.
Dari perspektif
ekofilsafat, kebebasan sejati bukan berarti dominasi atas alam, tetapi
kemampuan untuk hidup selaras dengannya.¹⁹ Arne Naess melalui deep
ecology menegaskan bahwa kebebasan ekologis adalah kesadaran akan
keterhubungan eksistensial manusia dengan seluruh makhluk hidup.²⁰ Maka,
relevansi kontemporer filsafat kebebasan terletak pada upaya untuk
menyeimbangkan kebebasan eksploitatif dengan kebebasan ekologis yang
berlandaskan pada solidaritas planet.
7.5.      
Kebebasan dan Krisis
Eksistensial Manusia Modern
Di tengah kemajuan
sains dan teknologi, manusia modern justru mengalami paradoks kebebasan:
semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin kehilangan makna dalam memilih.²¹
Erich Fromm menyebut fenomena ini sebagai “pelarian dari kebebasan” (escape
from freedom), di mana individu modern merasa terasing dalam sistem
yang memaksanya memilih tanpa arah moral.²² Dalam konteks eksistensial,
Jean-Paul Sartre dan Viktor Frankl menegaskan bahwa kebebasan manusia hanya
bermakna jika diiringi kesadaran akan tanggung jawab dan pencarian makna.²³
Kebebasan tanpa orientasi eksistensial akan menjerumuskan manusia ke dalam
nihilisme dan absurditas.²⁴
Dalam dunia yang
dipenuhi ketidakpastian—krisis ekonomi, politik, dan lingkungan—filsafat
kebebasan menjadi relevan kembali sebagai fondasi bagi humanisme reflektif.²⁵
Kebebasan bukan lagi sekadar hak, melainkan tugas etis untuk menemukan makna,
solidaritas, dan arah dalam situasi yang semakin plural dan kompleks.²⁶
Sintesis Relevansi: Kebebasan sebagai Kesadaran Global dan Etis
Kebebasan dalam
konteks kontemporer menuntut redefinisi dari paradigma individualistik menuju
paradigma relasional dan ekologis.²⁷ Manusia tidak lagi dapat mengklaim
kebebasan mutlak tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap orang lain, terhadap
komunitas, dan terhadap bumi.²⁸ Filsafat kebebasan, jika dipahami secara
dinamis, dapat menjadi dasar bagi etika global yang menuntun manusia menuju
bentuk kebebasan yang berkelanjutan—yakni kebebasan yang sadar, reflektif, dan
bertanggung jawab.²⁹
Dalam dunia yang
ditandai oleh krisis makna dan dominasi sistem, filsafat kebebasan menegaskan
kembali harkat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya “dapat memilih,”
tetapi juga “dapat memahami dan memaknai pilihannya.”³⁰ Di sinilah
kebebasan memperoleh relevansinya yang abadi: sebagai ruang bagi kesadaran
untuk menjadi manusia yang otentik, rasional, dan berbelas kasih di tengah
perubahan zaman.³¹
Footnotes
[1]               
¹ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge:
Harvard University Press, 1992), 12–13.
[2]               
² United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New
York: UN, 1948), Article 1–3.
[3]               
³ Fareed Zakaria, The Future of Freedom (New York: W. W.
Norton, 2003), 88.
[4]               
⁴ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 175–176.
[5]               
⁵ Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her
Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 220.
[6]               
⁶ Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects (Cambridge:
MIT Press, 2017), 44.
[7]               
⁷ Jodi Dean, Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of
Drive (Cambridge: Polity Press, 2010), 52.
[8]               
⁸ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999),
36–38.
[9]               
⁹ Martha Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge: Harvard
University Press, 2011), 20.
[10]            
¹⁰ David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 63.
[11]            
¹¹ Pierre Bourdieu, Acts of Resistance: Against the Tyranny of the
Market (New York: New Press, 1998), 12.
[12]            
¹² Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas (New Haven: Yale
University Press, 2017), 76–77.
[13]            
¹³ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 8.
[14]            
¹⁴ Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction (New York: Crown,
2016), 22.
[15]            
¹⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 125–126.
[16]            
¹⁶ Rafael Capurro, Digital Ethics (Berlin: Springer, 2006),
210.
[17]            
¹⁷ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §67.
[18]            
¹⁸ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 121–122.
[19]            
¹⁹ Holmes Rolston III, Environmental Ethics (Philadelphia:
Temple University Press, 1988), 98.
[20]            
²⁰ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 145.
[21]            
²¹ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar &
Rinehart, 1941), 110.
[22]            
²² Ibid., 124.
[23]            
²³ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 1959), 132–133.
[24]            
²⁴ Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans.
Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–29.
[25]            
²⁵ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 56.
[26]            
²⁶ Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 64.
[27]            
²⁷ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 45.
[28]            
²⁸ Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience (Maryknoll:
Orbis Books, 1993), 89.
[29]            
²⁹ Seyla Benhabib, Situating the Self (Cambridge: Polity
Press, 1992), 47.
[30]            
³⁰ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 103.
[31]            
³¹ Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 289.
8.          
Sintesis
Filosofis
Filsafat kebebasan,
setelah melalui pembahasan ontologis, epistemologis, etis, dan kritis,
memperlihatkan bahwa kebebasan bukanlah entitas tunggal yang berdiri sendiri,
melainkan suatu struktur eksistensial yang kompleks dan dinamis. Ia mencakup
dimensi metafisik (sebagai hakikat keberadaan), epistemologis (sebagai
kesadaran reflektif), etis (sebagai tanggung jawab moral), serta aksiologis
(sebagai nilai tertinggi yang menegaskan martabat manusia). Sintesis filosofis
ini berupaya meneguhkan pemahaman integral bahwa kebebasan bukan hanya “kemampuan
untuk bertindak,” tetapi “kemampuan untuk menjadi” — suatu proses aktif
dalam pembentukan diri dan dunia yang berlandaskan rasionalitas, kesadaran, dan
nilai.¹
8.1.      
Dialektika antara
Determinasi dan Otonomi
Filsafat kebebasan
modern menegaskan bahwa manusia hidup di antara dua kutub: determinasi dan
otonomi. Sejak Spinoza hingga Sartre, muncul kesadaran bahwa kebebasan tidak
mungkin tanpa kondisi; kebebasan selalu diwujudkan dalam dunia yang terikat
oleh hukum sebab-akibat, struktur sosial, dan keterbatasan biologis.² Namun,
justru dalam keterikatan itulah ruang kebebasan terbuka. Martin Heidegger
menyebut bahwa manusia adalah Dasein — makhluk yang “terlempar
ke dunia” (Geworfenheit) namun tetap memiliki
kapasitas untuk menafsirkan keberadaannya melalui proyek eksistensial.³
Dalam perspektif
Kantian, dialektika ini menemukan bentuk rasionalnya: manusia tunduk pada hukum
alam dalam dunia fenomenal, tetapi sebagai makhluk noumenal ia bebas menuruti
hukum moral yang ia berikan bagi dirinya sendiri.⁴ Kebebasan dengan demikian
bukanlah negasi terhadap determinasi, tetapi penemuan makna di dalamnya.
Seperti ditegaskan oleh Paul Ricoeur, kebebasan bukan penolakan terhadap batas,
melainkan “kemampuan untuk bertindak di dalam keterbatasan.”⁵
8.2.      
Integrasi antara
Kebebasan Ontologis dan Moralitas
Ontologi kebebasan
menemukan kelanjutannya dalam etika: kebebasan menjadi bermakna hanya bila
diarahkan kepada kebaikan. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa kehendak bebas
manusia selalu tertuju pada bonum universale—kebaikan yang
tertinggi—dan semakin manusia memilih yang benar, semakin bebaslah ia.⁶ Dalam
hal ini, kebebasan bukan kebalikan dari hukum moral, melainkan realisasi hukum
moral dalam tindakan konkret.
Immanuel Kant
menegaskan prinsip serupa dalam bentuk rasional: “kebebasan dan hukum moral
adalah satu dan sama.”⁷ Dengan kata lain, manusia hanya sungguh bebas
ketika bertindak berdasarkan hukum moral yang ia tetapkan secara otonom, bukan
karena dorongan eksternal. Pandangan ini menandai sintesis antara kebebasan
sebagai kondisi metafisik dan kebebasan sebagai tanggung jawab moral—suatu
perpaduan antara eksistensi dan norma.
Eksistensialisme
kemudian memberikan nuansa personal pada sintesis tersebut. Bagi Jean-Paul
Sartre, kebebasan adalah proyek eksistensial yang menuntut tanggung jawab penuh
atas makna hidup.⁸ Sementara Viktor Frankl menambahkan bahwa kebebasan tidak
memiliki arti tanpa arah moral yang transenden; manusia memerlukan meaning
untuk membimbing tindakannya di tengah kekacauan pilihan.⁹ Maka, sintesis etis
dari filsafat kebebasan adalah kesadaran bahwa kebebasan menuntut arah, dan
arah itu hanya dapat ditemukan melalui tanggung jawab terhadap diri, sesama,
dan nilai yang lebih tinggi.
8.3.      
Kebebasan sebagai
Relasi Intersubjektif dan Solidaritas
Kebebasan bukan
hanya milik individu; ia menemukan maknanya dalam perjumpaan dengan yang lain.
Emmanuel Levinas mengingatkan bahwa kebebasan tanpa etika terhadap orang lain
akan jatuh dalam egoisme ontologis.¹⁰ Manusia baru sungguh bebas ketika ia
mengakui wajah yang lain sebagai panggilan tanggung jawab. Dalam Totality
and Infinity, Levinas menyatakan bahwa kebebasan yang otentik tidak
terletak dalam dominasi, tetapi dalam keterbukaan dan pelayanan terhadap
alteritas.¹¹
Hannah Arendt juga
menegaskan bahwa kebebasan tidak hidup dalam kesendirian, melainkan dalam ruang
publik di mana manusia bertindak bersama.¹² Dalam tindakan politik dan
komunikasi, kebebasan menjadi aktual karena manusia tidak hanya berpikir,
tetapi juga “berbuat” bersama orang lain.¹³ Maka, sintesis sosial dari
kebebasan menegaskan bahwa otonomi pribadi dan solidaritas sosial bukanlah dua
hal yang berlawanan, melainkan dua bentuk dari satu gerak eksistensi yang
saling melengkapi.
Dalam konteks ini,
kebebasan menjadi basis bagi etika demokrasi dan pluralisme. Charles Taylor
menekankan bahwa kebebasan harus dipahami secara “relasional” — manusia
bebas bukan karena ia terlepas dari yang lain, melainkan karena ia diakui oleh
yang lain.¹⁴ Kesadaran intersubjektif inilah yang menjaga kebebasan dari bahaya
individualisme ekstrem dan menjadikannya fondasi bagi keadilan sosial.
8.4.      
Kebebasan sebagai
Transendensi dan Kesadaran Reflektif
Filsafat kebebasan
juga menegaskan dimensi transendental dari eksistensi manusia. Kebebasan,
sebagaimana dirumuskan oleh Gabriel Marcel, adalah misteri partisipatif: manusia tidak
menciptakan kebebasan dari ketiadaan, melainkan berpartisipasi di dalamnya
sebagai anugerah eksistensial.¹⁵ Ia adalah kebebasan yang “ditemukan,”
bukan “diciptakan,” dan karenanya mengandung unsur spiritual yang
menuntun manusia melampaui ego dan dunia material.
Di sisi lain,
fenomenologi eksistensial menyoroti bahwa kebebasan selalu memerlukan kesadaran
reflektif. Maurice Merleau-Ponty menunjukkan bahwa kebebasan bukan sekadar
keputusan intelektual, tetapi pengalaman embodied yang menubuh dalam dunia.¹⁶
Setiap tindakan bebas selalu terikat pada situasi, tetapi dalam keterikatan itu
kesadaran menemukan kemampuannya untuk melampaui. Oleh karena itu, kebebasan
memiliki struktur ganda: ia terikat pada fakta, namun juga melampaui fakta
melalui refleksi dan kesadaran.¹⁷
8.5.      
Arah Humanistik:
Kebebasan sebagai Praxis Kemanusiaan
Pada akhirnya,
filsafat kebebasan menemukan orientasinya dalam humanisme reflektif. Kebebasan
bukanlah sekadar hak individual atau kategori metafisik, melainkan praxis
kemanusiaan—yakni tindakan sadar yang memanusiakan manusia. Paulo
Freire menegaskan bahwa kebebasan adalah hasil dari proses pembebasan diri dari
struktur penindasan, baik yang bersifat sosial maupun epistemik.¹⁸ Dalam
konteks ini, kebebasan tidak hanya menjadi hak, tetapi juga perjuangan.
Viktor Frankl
memperdalam dimensi eksistensial dari pandangan ini dengan mengatakan bahwa “kebebasan
selalu membutuhkan tanggung jawab.”¹⁹ Kebebasan sejati bukanlah kebebasan
tanpa arah, melainkan kebebasan yang menemukan maknanya dalam pelayanan, kasih,
dan pencarian nilai-nilai universal. Dengan demikian, humanisme kebebasan
berlandaskan pada kesadaran bahwa menjadi bebas berarti menjadi manusia yang
sadar, bertanggung jawab, dan mampu menciptakan dunia yang lebih adil dan
bermakna.
Kesimpulan Sintesis: Kebebasan sebagai Harmoni antara Rasio, Etika, dan
Transendensi
Sintesis filosofis
dari seluruh pembahasan ini mengarah pada pemahaman integral tentang kebebasan
sebagai harmoni antara tiga dimensi utama: rasio, etika, dan transendensi.
Rasio memberikan arah dan dasar bagi kebebasan; etika memberi nilai dan
tanggung jawab; sedangkan transendensi memberi makna dan tujuan akhir.²⁰
Kebebasan tidak lagi dipahami sebagai kebalikan dari determinasi, melainkan
sebagai kesadaran reflektif untuk hidup secara bermakna dalam keterbatasan.
Dalam perspektif
ini, kebebasan menjadi dasar dari seluruh filsafat manusia: ia adalah inti dari
kesadaran, fondasi moralitas, dan sumber nilai-nilai kemanusiaan.²¹ Sebagaimana
ditegaskan oleh Paul Ricoeur, kebebasan bukan hanya diberikan kepada manusia, tetapi
juga diperjuangkan
melalui refleksi, tindakan, dan komitmen terhadap kebaikan.²² Maka, sintesis
filosofis kebebasan menutup lingkaran refleksi filsafat dengan penegasan bahwa
manusia bukan hanya makhluk yang bebas, tetapi makhluk
yang dipanggil untuk menjadi bebas secara bijak.²³
Footnotes
[1]               
¹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 41.
[2]               
² Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton:
Princeton University Press, 1985), I, Prop. 29.
[3]               
³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183.
[4]               
⁴ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28.
[5]               
⁵ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the
Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 87.
[6]               
⁶ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.
[7]               
⁷ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54.
[8]               
⁸ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 568.
[9]               
⁹ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 1959), 133.
[10]            
¹⁰ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 44.
[11]            
¹¹ Ibid., 45.
[12]            
¹² Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago
Press, 1958), 175.
[13]            
¹³ Margaret Canovan, Hannah Arendt: A Reinterpretation of Her
Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 218.
[14]            
¹⁴ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge:
Harvard University Press, 1992), 25.
[15]            
¹⁵ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2 (Chicago:
Henry Regnery, 1951), 73.
[16]            
¹⁶ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 518.
[17]            
¹⁷ Ibid., 520.
[18]            
¹⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra
Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81.
[19]            
¹⁹ Viktor E. Frankl, The Doctor and the Soul (New York:
Vintage, 1986), 121.
[20]            
²⁰ Hans Jonas, The Imperative of Responsibility (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 122.
[21]            
²¹ Emmanuel Mounier, Personalism (London: Routledge &
Kegan Paul, 1952), 91.
[22]            
²² Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 289.
[23]            
²³ Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1947), 43.
9.          
Kesimpulan
Filsafat kebebasan,
setelah melalui berbagai lapisan kajian — ontologis, epistemologis, etis,
aksiologis, dan kritis — menyingkap bahwa kebebasan bukanlah suatu kategori
yang sederhana, melainkan suatu struktur eksistensial yang menyeluruh, dinamis,
dan multidimensional. Ia merupakan inti dari kemanusiaan yang memadukan
kemampuan untuk berpikir, bertindak, dan bertanggung jawab secara rasional.
Kebebasan tidak dapat direduksi menjadi sekadar kemampuan untuk memilih di
antara alternatif tindakan; ia adalah modus eksistensi yang memungkinkan
manusia membentuk dirinya sekaligus dunianya.¹ Dengan demikian, kebebasan
adalah dasar ontologis sekaligus tujuan teleologis dari eksistensi manusia: ia
bukan hanya kondisi untuk bertindak, tetapi juga horizon nilai yang memberi
arah dan makna bagi kehidupan.²
9.1.      
Kebebasan sebagai
Hakikat Eksistensi Manusia
Dari segi ontologi,
manusia dipahami sebagai makhluk yang “terbuka terhadap kemungkinan.”³
Kebebasan bukan sesuatu yang ditambahkan pada manusia dari luar, melainkan
bagian dari hakikat keberadaannya sebagai Dasein (Heidegger), sebagai makhluk
yang selalu berada dalam proses menjadi.⁴ Oleh karena itu,
kebebasan tidak bersifat absolut, tetapi terbatas oleh kondisi faktis
dunia—ruang, waktu, tubuh, dan relasi sosial. Justru di dalam keterbatasan itu
kebebasan memperoleh maknanya, sebab manusia bebas bukan meskipun
terbatas, melainkan karena ia terbatas dan mampu
melampaui batas itu melalui kesadaran reflektif.⁵
Kebebasan dengan
demikian bukan ilusi, sebagaimana diklaim para determinis, melainkan realitas
eksistensial yang dihayati melalui tindakan, refleksi, dan tanggung jawab.⁶
Sebagaimana ditegaskan oleh Jean-Paul Sartre, kebebasan adalah beban dan
anugerah sekaligus: manusia dikutuk untuk bebas, tetapi dalam kebebasan itulah
ia menemukan martabatnya sebagai pencipta makna.⁷
9.2.      
Dimensi
Epistemologis: Kesadaran sebagai Ruang Pembebasan
Epistemologi
kebebasan menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kebebasan bersumber bukan dari
observasi empiris, melainkan dari kesadaran reflektif. Edmund Husserl dan
Sartre sama-sama melihat bahwa manusia menyadari kebebasannya melalui intentionality—kesadaran
yang selalu tertuju pada sesuatu dan selalu melampaui dirinya sendiri.⁸ Dalam
refleksi diri, manusia menemukan bahwa ia bukan sekadar makhluk yang ditentukan
oleh sebab, melainkan subjek yang dapat menilai, memilih, dan bertanggung jawab
atas pilihannya.⁹
Kebebasan dalam arti
ini bersifat transendental: ia menjadi dasar bagi setiap bentuk rasionalitas
dan moralitas. Kant menegaskan bahwa manusia hanya dapat mengetahui dirinya
sebagai makhluk moral karena ia sadar akan kebebasan yang memungkinkan tindakan
berdasarkan hukum moral yang ia ciptakan sendiri.¹⁰ Maka, kebebasan
epistemologis adalah kebebasan kesadaran yang memungkinkan manusia menjadi
penentu makna dan nilai dalam dunia yang tampak deterministik.
9.3.      
Dimensi Etis dan
Aksiologis: Kebebasan sebagai Tanggung Jawab Moral
Etika kebebasan
menegaskan bahwa kebebasan tidak memiliki nilai moral tanpa arah. Aristoteles
memandang kebebasan sebagai kemampuan deliberatif untuk memilih yang baik,
sementara Aquinas menegaskan bahwa kehendak bebas hanya bermakna sejauh ia
diarahkan kepada kebaikan tertinggi (bonum universale).¹¹ Immanuel Kant
memperkuat dasar ini secara rasional dengan menegaskan bahwa kebebasan dan
hukum moral adalah satu dan sama: manusia bebas justru ketika ia menundukkan
diri pada hukum moral yang ia tetapkan secara otonom.¹²
Dalam kerangka
eksistensial, Erich Fromm dan Viktor Frankl mengingatkan bahwa kebebasan yang
tidak disertai tanggung jawab akan berujung pada kehampaan dan alienasi.¹³
Kebebasan tanpa nilai adalah nihilisme, sedangkan kebebasan yang disertai tanggung
jawab menjadi kekuatan kreatif yang menumbuhkan solidaritas, kasih, dan
keutuhan diri.¹⁴ Maka, dalam ranah aksiologi, kebebasan adalah nilai tertinggi
yang mengandaikan keterarahan kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
9.4.      
Dimensi Sosial dan
Politik: Kebebasan sebagai Keadilan dan Solidaritas
Filsafat kebebasan
juga memiliki dimensi sosial yang menekankan pentingnya pengakuan dan keadilan.
Isaiah Berlin membedakan antara kebebasan negatif (bebas dari
paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk
menentukan diri), tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam praksis politik
modern.¹⁵ Hannah Arendt menegaskan bahwa kebebasan menjadi nyata hanya dalam
tindakan publik—dalam ruang politik di mana manusia bertemu, berdialog, dan
bertindak bersama.¹⁶
Dalam konteks
kontemporer, kebebasan menghadapi tantangan baru dari globalisasi, teknologi
digital, dan krisis ekologis. Shoshana Zuboff mengingatkan bahwa “kapitalisme
pengawasan” (surveillance capitalism) mengancam
otonomi manusia dengan mengubah perilaku menjadi komoditas.¹⁷ Oleh karena itu,
kebebasan modern harus dibela tidak hanya sebagai hak politik, tetapi juga
sebagai kesadaran etis dan kemampuan reflektif untuk melawan dominasi sistem
yang tidak manusiawi.¹⁸ Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang berakar
pada kesetaraan, solidaritas, dan tanggung jawab sosial.
9.5.      
Dimensi
Transendental: Kebebasan dan Panggilan Spiritual Manusia
Di balik seluruh
dimensi empiris dan sosialnya, kebebasan memiliki aspek transendental yang
menghubungkan manusia dengan yang Ilahi. Santo Agustinus dan Thomas Aquinas
menempatkan kebebasan dalam konteks kehendak Tuhan: manusia bebas karena ia
diciptakan menurut citra Allah, tetapi kebebasan itu menemukan puncaknya ketika
diarahkan kepada kebaikan ilahi.¹⁹ Gabriel Marcel melanjutkan gagasan ini
dengan menyebut kebebasan sebagai partisipasi dalam keberadaan yang lebih tinggi—suatu
misteri yang menuntut keterbukaan dan iman.²⁰
Maka, kebebasan yang
sejati bukanlah pemberontakan terhadap Tuhan, melainkan partisipasi sadar dalam
kehendak ilahi yang menuntun manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual.²¹
Di sinilah filsafat kebebasan bertemu dengan teologi: kebebasan menjadi
anugerah yang menuntut tanggung jawab, bukan kemandirian tanpa arah.
Kesimpulan Sintetis: Kebebasan sebagai Jalan Menuju Kemanusiaan yang
Utuh
Dari keseluruhan
kajian, dapat disimpulkan bahwa kebebasan adalah fondasi eksistensi manusia
yang bersifat dialektis: ia lahir dari keterbatasan, tetapi berusaha melampaui
keterbatasan itu melalui refleksi, pengetahuan, dan tanggung jawab.²² Kebebasan
menuntut keseimbangan antara individualitas dan solidaritas, antara otonomi dan
etika, antara rasionalitas dan transendensi.²³
Filsafat kebebasan
mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti menjadi bebas — namun kebebasan
sejati bukanlah pelarian dari tanggung jawab, melainkan kesediaan untuk
bertindak demi kebaikan, kebenaran, dan keadilan.²⁴ Dalam dunia yang sarat
krisis moral, teknologi, dan ekologis, filsafat kebebasan tetap relevan sebagai
landasan bagi humanisme reflektif: manusia dipanggil bukan hanya untuk memiliki
kebebasan, tetapi untuk menghidupkan kebebasan dengan penuh
kesadaran, kasih, dan tanggung jawab.²⁵
Dengan demikian,
filsafat kebebasan bukanlah doktrin tentang ketiadaan batas, melainkan etos
tentang bagaimana manusia, dalam batas-batasnya, mampu menjadi makhluk yang
otonom, berakal, dan berbelas kasih — makhluk yang tidak hanya bebas untuk
memilih, tetapi bebas untuk berbuat baik.²⁶
Footnotes
[1]               
¹ Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the
Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 11.
[2]               
² Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard
University Press, 1992), 12.
[3]               
³ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 517.
[4]               
⁴ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183.
[5]               
⁵ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, Vol. 2 (Chicago: Henry
Regnery, 1951), 74.
[6]               
⁶ Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (Princeton:
Princeton University Press, 1985), I, Prop. 32.
[7]               
⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 568.
[8]               
⁸ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Nijhoff, 1982),
82.
[9]               
⁹ Dan Zahavi, Self and Other: Exploring Subjectivity, Empathy, and Shame
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 34.
[10]            
¹⁰ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 28.
[11]            
¹¹ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, Q.13, a.6.
[12]            
¹² Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54.
[13]            
¹³ Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar &
Rinehart, 1941), 110.
[14]            
¹⁴ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 1959), 132.
[15]            
¹⁵ Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon
Press, 1969), 121.
[16]            
¹⁶ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 175.
[17]            
¹⁷ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 8.
[18]            
¹⁸ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 127.
[19]            
¹⁹ Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas Williams
(Indianapolis: Hackett, 1993), I.13.
[20]            
²⁰ Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope
(London: SCM Press, 1951), 93.
[21]            
²¹ Emmanuel Mounier, Personalism (London: Routledge &
Kegan Paul, 1952), 91.
[22]            
²² Paul Ricoeur, Fallible Man (Chicago: Regnery, 1965), 88.
[23]            
²³ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, trans. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 44.
[24]            
²⁴ Viktor E. Frankl, The Doctor and the Soul (New York:
Vintage, 1986), 120.
[25]            
²⁵ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 56.
[26]            
²⁶ Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper &
Row, 1963), 25.
Daftar Pustaka 
Arendt, H. (1958). The human condition.
University of Chicago Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett.
Augustine. (1993). De libero arbitrio (T.
Williams, Trans.). Hackett.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity
Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender,
community, and postmodernism in contemporary ethics. Polity Press.
Berlin, I. (1969). Two concepts of liberty.
Clarendon Press.
Bourdieu, P. (1998). Acts of resistance: Against
the tyranny of the market. New Press.
Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage.
Canovan, M. (1992). Hannah Arendt: A
reinterpretation of her political thought. Cambridge University Press.
Calvin, J. (2008). Institutes of the Christian
religion (H. Beveridge, Trans.). Hendrickson.
Dean, J. (2010). Blog theory: Feedback and
capture in the circuits of drive. Polity Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction.
Verso.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Floridi, L. (2019). The logic of information: A
theory of philosophy as conceptual design. Oxford University Press.
Flynn, T. (1984). Sartre and Marxist
existentialism: The test case of collective responsibility. University of
Chicago Press.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality,
volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.
Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Frankl, V. E. (1986). The doctor and the soul.
Vintage.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Fromm, E. (1941). Escape from freedom.
Farrar & Rinehart.
Fromm, E. (1947). Man for himself: An inquiry
into the psychology of ethics. Holt.
Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. Random House.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1). Beacon Press.
Haggard, P. (2008). Human volition: Towards a
neuroscience of will. Nature Reviews Neuroscience, 9(12), 934–946.
Han, B.-C. (2017). In the swarm: Digital
prospects. MIT Press.
Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism
and new technologies of power. Verso.
Harari, Y. N. (2016). Homo deus: A brief history
of tomorrow. Harvill Secker.
Harvey, D. (2005). A brief history of
neoliberalism. Oxford University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Nijhoff.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of
morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety
(R. Thomte, Trans.). Princeton University Press.
Laplace, P.-S. (1951). A philosophical essay on
probabilities (F. Truscott & F. Emory, Trans.). Dover.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity
(A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative
and the role of conscious will in voluntary action. Behavioral and Brain
Sciences, 8(4), 529–566.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
Marcel, G. (1951). Homo viator: Introduction to
a metaphysic of hope. SCM Press.
Marcel, G. (1951). The mystery of being
(Vol. 2). Henry Regnery.
Maritain, J. (1947). The person and the common
good. University of Notre Dame Press.
Marx, K. (1959). Economic and philosophic
manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Progress Publishers.
Mele, A. (2006). Free will and luck. Oxford
University Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Mill, J. S. (1859). On liberty. Parker.
Mounier, E. (1952). Personalism. Routledge
& Kegan Paul.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle. Cambridge University Press.
Nadler, S. (1999). Spinoza: A life.
Cambridge University Press.
Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as
literature. Harvard University Press.
Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.
Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of
goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities.
Harvard University Press.
O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction.
Crown.
Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues.
University of Notre Dame Press.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett.
Ricoeur, P. (1965). Fallible man. Regnery.
Ricoeur, P. (1966). Freedom and nature: The voluntary
and the involuntary. Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another.
University of Chicago Press.
Riley, P. (1986). The general will before
Rousseau. Princeton University Press.
Rolston, H. (1988). Environmental ethics: Duties
to and values in the natural world. Temple University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Knopf.
Simons, M. (1999). Beauvoir and the second sex:
Feminism, race, and the origins of existentialism. Rowman & Littlefield.
Simon, Y. R. (1969). Freedom of choice.
Fordham University Press.
Solomon, R. C. (1990). A passion for justice:
Emotions and the origins of the social contract. Addison-Wesley.
Spinoza, B. (1985). Ethics (E. Curley,
Trans.). Princeton University Press.
Spinoza, B. (1989). Tractatus
theologico-politicus (S. Shirley, Trans.). Brill.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity.
Harvard University Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Tillich, P. (1963). Morality and beyond.
Harper & Row.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The
power and fragility of networked protest. Yale University Press.
Wood, A. (1999). Kant’s ethical thought.
Cambridge University Press.
Zahavi, D. (2014). Self and other: Exploring
subjectivity, empathy, and shame. Oxford University Press.
Zakaria, F. (2003). The future of freedom:
Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar