Filsafat Postmodern
Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi
Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas filsafat postmodern sebagai salah satu paradigma
penting dalam pemikiran kontemporer yang lahir sebagai respons kritis terhadap
proyek modernitas. Postmodernisme menolak klaim universalitas, objektivitas,
dan fondasionalisme yang menjadi ciri utama modernisme, dengan menekankan
pluralitas, relativitas, dan dekonstruksi. Kajian ini menguraikan konsep dasar
postmodernisme, sejarah kemunculannya dari Nietzsche dan Heidegger hingga
berkembang menjadi gerakan intelektual mapan di Eropa dan Amerika, serta
menampilkan tokoh-tokoh kunci seperti Jean-François Lyotard, Jacques Derrida,
Michel Foucault, Jean Baudrillard, dan Richard Rorty. Artikel ini juga mengulas
isu-isu sentral seperti relativisme epistemologis, identitas, politik, agama,
budaya, serta krisis etika, disertai dengan kritik dari modernis, positivis,
filsuf kritis (Habermas, Apel), maupun kalangan agama. Selain itu, relevansi
postmodernisme dalam dunia kontemporer dibahas melalui pengaruhnya terhadap
ilmu pengetahuan, politik identitas, media digital, globalisasi, dan krisis
ekologi. Pada bagian sintesis dan refleksi filosofis, artikel ini menekankan
perlunya memadukan rasionalitas modern dengan sensitivitas postmodern demi
menghadirkan filsafat yang lebih pluralis, kritis, dan etis. Dengan demikian,
postmodernisme dipahami bukan sekadar penolakan terhadap modernitas, melainkan
sebagai upaya membuka ruang dialog yang lebih inklusif dalam menghadapi
kompleksitas dunia abad ke-21.
Kata Kunci: Filsafat
Postmodern; Modernitas; Relativisme; Dekonstruksi; Identitas; Kuasa; Simulasi;
Etika; Globalisasi; Kontemporer.
PEMBAHASAN
Konsep, Sejarah, Tokoh, Kritik, dan Relevansi Filsafat
Postmodern
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Masalah
Filsafat postmodern muncul sebagai
respons kritis terhadap proyek modernitas yang dianggap gagal dalam menjanjikan
emansipasi manusia melalui rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Modernitas dengan keyakinannya pada “kemajuan” telah menghasilkan
perubahan besar dalam ilmu pengetahuan, politik, dan budaya, tetapi juga
menghadirkan krisis: perang dunia, kolonialisme, kerusakan lingkungan, hingga
dehumanisasi akibat industrialisasi. Jean-François Lyotard menandai lahirnya
era postmodern dengan runtuhnya grand narratives atau narasi besar yang
selama ini menopang legitimasi pengetahuan modern, seperti kemajuan,
emansipasi, atau universalitas kebenaran.¹
Postmodernisme menolak klaim kebenaran
absolut dan menawarkan pluralitas perspektif. Jacques Derrida, misalnya,
melalui gagasan dekonstruksi, memperlihatkan bahwa makna teks tidak pernah
final, melainkan selalu terbuka bagi interpretasi baru.² Michel Foucault
menambahkan dimensi kritis dengan mengungkap relasi kuasa yang tersembunyi
dalam produksi pengetahuan.³ Sementara Jean Baudrillard mengkritik budaya
kontemporer dengan konsep hiperrealitas, di mana realitas tidak lagi asli,
melainkan hasil simulasi media dan tanda.⁴
Dengan demikian, postmodernisme bukan
hanya aliran filsafat, melainkan juga paradigma budaya yang menandai pergeseran
cara pandang manusia terhadap kebenaran, pengetahuan, dan identitas. Dalam
konteks globalisasi, digitalisasi, dan krisis ekologi, pemikiran postmodern
menawarkan lensa kritis untuk membaca kompleksitas dunia kontemporer.
1.2.      
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok:
1)                 
Apa yang dimaksud dengan
filsafat postmodern?
2)                 
Bagaimana sejarah
kemunculannya?
3)                 
Siapa saja tokoh-tokoh
kunci beserta gagasan mereka?
4)                 
Apa saja kritik yang
dialamatkan kepada postmodernisme?
5)                 
Bagaimana relevansi
filsafat postmodern dalam konteks kontemporer?
1.3.      
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)                 
Mendeskripsikan
konsep-konsep utama dalam filsafat postmodern.
2)                 
Menelusuri sejarah
perkembangan postmodernisme serta tokoh-tokoh utamanya.
3)                 
Mengkritisi kelemahan dan
tantangan yang melekat pada postmodernisme.
4)                 
Menilai relevansi filsafat
postmodern dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan kehidupan sosial dewasa ini.
1.4.      
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif-filosofis dengan metode analisis hermeneutika dan dekonstruksi terhadap
teks-teks filosofis. Kajian literatur dilakukan dengan menelaah karya-karya
primer tokoh postmodern seperti Lyotard, Derrida, Foucault, dan Baudrillard,
serta literatur sekunder berupa interpretasi akademik dari para filsuf dan
peneliti kontemporer. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat memberikan
gambaran yang utuh, kritis, dan kontekstual mengenai filsafat postmodern.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[2]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158–159.
[3]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–27.
[4]               
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6.
2.          
Konsep Dasar
Filsafat Postmodern
2.1.      
Definisi dan Makna
Postmodern
Istilah postmodern berasal dari
kata Latin post yang berarti “sesudah” dan modernus yang
berarti “modern.” Dengan demikian, secara etimologis, postmodern
menunjuk pada fase atau kondisi setelah modern. Namun, dalam wacana filsafat,
postmodern tidak hanya berarti periode kronologis setelah modernitas, melainkan
suatu paradigma yang bersifat kritis terhadap prinsip-prinsip dasar modernisme,
khususnya klaim universalitas, objektivitas, dan rasionalitas tunggal.
Jean-François Lyotard mendefinisikan postmodern sebagai “ketidakpercayaan
terhadap metanarasi” (incredulity toward metanarratives), yakni
penolakan terhadap cerita besar yang berpretensi menjelaskan dan melegitimasi
seluruh aspek kehidupan manusia.¹
Postmodernisme menekankan bahwa
pengetahuan selalu bersifat parsial, terikat pada konteks, dan tidak pernah
dapat direduksi ke dalam satu kerangka universal. Dengan demikian, filsafat
postmodern menawarkan cara pandang alternatif yang lebih pluralistik,
relativistik, dan anti-esensialis.²
2.2.      
Ciri-Ciri Utama
Filsafat Postmodern
Beberapa ciri mendasar dari filsafat
postmodern dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)                 
Penolakan terhadap
Metanarasi
Modernitas bertumpu pada narasi besar tentang kemajuan,
rasionalitas, dan emansipasi universal. Postmodernisme, sebagaimana ditegaskan
Lyotard, menolak legitimasi narasi tersebut karena dianggap menyingkirkan
keragaman pengalaman manusia.³
2)                 
Dekonstruksi
Jacques Derrida mengembangkan metode dekonstruksi untuk
menunjukkan bahwa makna teks tidak pernah final. Teks selalu terbuka bagi
interpretasi tanpa batas, sehingga setiap klaim kebenaran menjadi relatif dan
dapat dipertanyakan kembali.⁴
3)                 
Relativisme
Epistemologis
Postmodernisme berangkat dari pandangan bahwa tidak ada
kebenaran tunggal yang absolut. Pengetahuan dipahami sebagai konstruksi
sosial-budaya yang lahir dari interaksi bahasa, kuasa, dan konteks historis.⁵
4)                 
Pluralitas dan
Fragmentasi
Postmodern menolak esensialisme identitas. Subjek dipahami
sebagai entitas yang terfragmentasi, cair, dan selalu berada dalam proses
menjadi, bukan sebagai inti yang stabil.⁶
5)                 
Kritik terhadap
Rasionalitas dan Ilmu Pengetahuan
Jika modernisme mengidealkan rasionalitas sebagai sarana
mencapai kebenaran universal, postmodernisme justru membongkar bahwa ilmu
pengetahuan sarat dengan kepentingan ideologis dan relasi kuasa.⁷
6)                 
Dominasi Simulasi dan
Tanda
Dalam budaya kontemporer, Jean Baudrillard mengajukan
gagasan simulacra dan simulation, yakni bahwa realitas kini
digantikan oleh tanda-tanda yang tidak lagi merujuk pada kenyataan objektif,
melainkan menciptakan hiperrealitas.⁸
2.3.      
Postmodernisme dan
Kritik terhadap Modernisme
Modernisme meletakkan kepercayaan besar
pada rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan proyek emansipasi manusia. Akan
tetapi, pengalaman sejarah abad ke-20—perang dunia, totalitarianisme,
kolonialisme, hingga krisis ekologi—menunjukkan bahwa klaim kemajuan justru
sering melahirkan kehancuran. Postmodernisme lahir dari kesadaran kritis bahwa
klaim universal modernitas gagal dalam memberikan jawaban bagi kompleksitas
manusia.
Lyotard menyoroti bahwa ilmu
pengetahuan modern, yang seharusnya netral, sesungguhnya berfungsi untuk
melegitimasi kekuasaan tertentu.⁹ Foucault menguatkan hal ini dengan analisis
genealogisnya, yang menunjukkan bahwa kebenaran tidak berdiri di luar kuasa,
melainkan diproduksi melalui relasi kuasa-pengetahuan.¹⁰ Sementara itu, Derrida
dan Baudrillard mengungkap bagaimana bahasa, teks, dan tanda membentuk realitas
yang kita pahami, bukan sebaliknya.
2.4.      
Postmodernisme dalam
Ranah Filsafat, Seni, dan Budaya
Selain dalam filsafat, paradigma
postmodern juga memengaruhi seni, arsitektur, dan budaya populer. Dalam seni,
postmodernisme menolak prinsip orisinalitas modernis dan mengedepankan praktik pastiche,
ironi, serta hibriditas.¹¹ Dalam arsitektur, gaya postmodern menolak
keseragaman dan fungsionalitas modernisme, menggantinya dengan estetika plural
dan permainan simbolik, sebagaimana terlihat dalam karya-karya arsitek seperti
Robert Venturi dan Michael Graves.¹²
Dalam budaya populer, postmodernisme
terejawantah dalam fenomena globalisasi media, konsumerisme, dan digitalisasi.
Identitas manusia semakin plural, cair, dan terfragmentasi; realitas
sehari-hari dibanjiri oleh citra-citra dan simbol yang sulit dibedakan antara
nyata dan simulasi.¹³
Makna Filosofis Postmodernisme
Secara filosofis, postmodernisme
menandai pergeseran dari paradigma esensialis menuju paradigma relasional.
Alih-alih mencari fondasi kebenaran yang stabil, filsafat postmodern berusaha
membongkar asumsi-asumsi tersembunyi yang menopang klaim kebenaran. Dengan
demikian, postmodernisme bukan sekadar penolakan, melainkan tawaran untuk
membaca realitas secara lebih plural, inklusif, dan kritis terhadap segala
bentuk dominasi.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
[2]               
Hans Bertens, The Idea of the Postmodern: A History
(London: Routledge, 1995), 11–12.
[3]               
Lyotard, The Postmodern Condition, xxiv–xxv.
[4]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158–159.
[5]               
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 171–173.
[6]               
Stuart Hall, Questions of Cultural Identity
(London: Sage, 1996), 2–3.
[7]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 19–21.
[8]               
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6.
[9]               
Lyotard, The Postmodern Condition, 37–41.
[10]            
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 131–132.
[11]            
Linda Hutcheon, A Poetics of Postmodernism:
History, Theory, Fiction (New York: Routledge, 1988), 6–7.
[12]            
Charles Jencks, The Language of Post-Modern
Architecture (London: Academy Editions, 1977), 23–24.
[13]            
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural
Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 17–18.
3.          
Sejarah Perkembangan
Postmodernisme
3.1.      
Akar Intelektual dan
Pra-Postmodernisme
Postmodernisme tidak muncul secara
tiba-tiba, melainkan memiliki akar intelektual yang dalam, khususnya dalam
kritik terhadap rasionalitas modern. Friedrich Nietzsche menjadi salah satu
peletak fondasi awal dengan kritiknya terhadap konsep kebenaran objektif.
Nietzsche menyatakan bahwa “kebenaran” hanyalah sekumpulan metafora yang
telah dipadatkan dan dilupakan asal-usul retorisnya.¹ Kritik Nietzsche terhadap
moralitas, agama, dan metafisika Barat membuka jalan bagi pandangan
relativistik yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para pemikir
postmodern.
Selain Nietzsche, Martin Heidegger juga
berperan besar dalam membongkar dasar-dasar filsafat modern. Melalui Being
and Time (1927), ia mengkritik metafisika Barat yang terjebak dalam
pemahaman ontologis tradisional tentang keberadaan, dan mengajukan suatu
analisis eksistensial tentang Dasein.² Pemikiran Heidegger tentang
bahasa sebagai “rumah keberadaan” menjadi inspirasi bagi filsuf
post-strukturalis seperti Derrida.³
3.2.      
Transisi dari
Modernisme ke Postmodernisme
Masa transisi menuju postmodernisme
terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Kengerian perang, Holocaust, bom
atom, dan pengalaman totalitarianisme menimbulkan keraguan besar terhadap klaim
modernitas bahwa rasionalitas dan teknologi akan membawa kemajuan.⁴ Di sinilah
muncul kesadaran bahwa “proyek modernitas” sebagaimana dipahami oleh
para filsuf Pencerahan tidak sepenuhnya berhasil, melainkan justru menghasilkan
krisis kemanusiaan.
Di bidang seni dan arsitektur, istilah postmodern
mulai digunakan pada pertengahan abad ke-20 untuk menandai perlawanan terhadap
gaya modernis yang dianggap terlalu kaku, fungsional, dan universal.⁵ Robert
Venturi, misalnya, melalui karyanya Complexity and Contradiction in
Architecture (1966), menolak kesederhanaan modernisme dan justru merayakan
kompleksitas serta kontradiksi.⁶ Pergeseran dalam seni dan arsitektur ini
secara paralel terjadi pula dalam filsafat.
3.3.      
Perkembangan di
Eropa: Post-Strukturalisme dan Dekonstruksi
Perancis menjadi pusat perkembangan
awal postmodernisme, terutama melalui lahirnya gerakan post-strukturalisme pada
1960–1970-an. Post-strukturalisme muncul sebagai kritik terhadap strukturalisme
yang berusaha menjelaskan fenomena sosial dan budaya dengan pola-pola
universal.
Jacques Derrida, tokoh utama
post-strukturalisme, menolak gagasan bahwa bahasa memiliki makna tetap. Ia
mengajukan metode dekonstruksi yang menyingkap kontradiksi internal dalam
teks.⁷ Michel Foucault mengembangkan analisis genealogis terhadap pengetahuan
dan kuasa, memperlihatkan bahwa “kebenaran” tidak pernah netral,
melainkan selalu terkait dengan rezim kuasa tertentu.⁸ Sementara Jean-François
Lyotard, dalam The Postmodern Condition (1979), secara eksplisit
mempopulerkan istilah “postmodern” dalam filsafat, dengan menegaskan
bahwa legitimasi pengetahuan tidak lagi bertumpu pada metanarasi, melainkan
pada “narasi-narasi kecil” (petits récits).⁹
3.4.      
Perkembangan di
Amerika: Pragmatism dan Cultural Studies
Di Amerika, postmodernisme berkembang
dalam arah yang berbeda, dipengaruhi oleh tradisi pragmatisme dan cultural
studies. Richard Rorty, melalui Philosophy and the Mirror of Nature
(1979), menolak klaim filsafat sebagai pencari kebenaran objektif. Baginya,
filsafat hanyalah bagian dari percakapan budaya, tanpa posisi istimewa
dibandingkan dengan disiplin lain.¹⁰
Dalam ranah budaya dan sastra,
postmodernisme berkembang melalui karya-karya seperti Thomas Pynchon, Don
DeLillo, dan David Foster Wallace yang menampilkan gaya narasi fragmentaris,
ironi, serta kritik terhadap konsumerisme dan media massa.¹¹ Dalam ranah teori
budaya, tokoh seperti Fredric Jameson melihat postmodernisme sebagai “logika
budaya kapitalisme lanjut,” yakni kondisi di mana estetika postmodern
mencerminkan dinamika ekonomi global kapitalisme.¹²
Konsolidasi sebagai Gerakan Filosofis
Pada 1980-an hingga 1990-an,
postmodernisme berkembang menjadi sebuah wacana filsafat yang mapan. Perdebatan
dengan pemikir modernis dan kritis—misalnya Jürgen Habermas yang menolak
relativisme postmodern dan menegaskan “proyek modernitas yang belum selesai”—menunjukkan
bahwa postmodernisme telah menjadi arus pemikiran penting yang menantang
dominasi modernisme.¹³
Meski tidak homogen, pemikiran
postmodern memperlihatkan benang merah: penolakan terhadap fondasionalisme,
pembongkaran klaim universal, dan penekanan pada pluralitas, relativitas, serta
konstruksi sosial pengetahuan. Hingga kini, warisan postmodernisme masih
berpengaruh luas dalam filsafat, ilmu sosial, seni, budaya, bahkan politik
identitas.
Footnotes
[1]               
Friedrich Nietzsche, On Truth and Lies in a
Nonmoral Sense, trans. Daniel Breazeale (New York: Vintage, 1979), 46.
[2]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 19–21.
[3]               
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans.
Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 11.
[4]               
Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust
(Ithaca: Cornell University Press, 1989), 6–8.
[5]               
Charles Jencks, The Language of Post-Modern
Architecture (London: Academy Editions, 1977), 23.
[6]               
Robert Venturi, Complexity and Contradiction in
Architecture (New York: Museum of Modern Art, 1966), 16–18.
[7]               
Derrida, Of Grammatology, 158–159.
[8]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–27.
[9]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[10]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 171.
[11]            
Linda Hutcheon, A Poetics of Postmodernism:
History, Theory, Fiction (New York: Routledge, 1988), 6–8.
[12]            
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural
Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 17–18.
[13]            
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity: Twelve Lectures, trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT
Press, 1987), 94–96.
4.          
Tokoh-Tokoh Kunci
Filsafat Postmodern
4.1.      
Jean-François
Lyotard (1924–1998)
Jean-François Lyotard dianggap sebagai
salah satu figur paling berpengaruh dalam memformulasikan postmodernisme,
khususnya melalui karyanya The Postmodern Condition (1979). Dalam karya
tersebut, Lyotard mendefinisikan kondisi postmodern sebagai “ketidakpercayaan
terhadap metanarasi” (incredulity toward metanarratives).¹
Menurutnya, narasi besar seperti rasionalitas Pencerahan, emansipasi umat
manusia, atau kemajuan ilmu pengetahuan tidak lagi dapat dipercaya karena gagal
memberikan legitimasi universal. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya
narasi-narasi kecil (petits récits) yang bersifat lokal, plural, dan
kontekstual.²
Lyotard juga menyoroti bagaimana ilmu
pengetahuan dalam era postmodern tidak lagi bisa dilepaskan dari logika
kapitalisme dan teknologi, di mana pengetahuan diproduksi bukan demi kebenaran
semata, melainkan demi performativitas dan efisiensi.³ Gagasan Lyotard sangat
berpengaruh dalam membuka ruang bagi pluralitas epistemologis dan kritik
terhadap klaim universal modernitas.
4.2.      
Jacques Derrida
(1930–2004)
Jacques Derrida dikenal dengan gagasan
dekonstruksi, sebuah metode filsafat yang bertujuan membongkar asumsi
tersembunyi dalam teks. Dalam Of Grammatology (1967), Derrida mengkritik
tradisi filsafat Barat yang terjebak dalam logocentrism—yakni anggapan
bahwa makna dapat hadir secara langsung dan transparan melalui bahasa.⁴ Menurut
Derrida, makna selalu ditunda dan berbeda (différance), sehingga tidak
pernah hadir secara final.⁵
Dekonstruksi Derrida bukan sekadar
metode interpretasi teks, tetapi juga kritik mendalam terhadap metafisika
kehadiran yang mendominasi filsafat Barat. Dengan demikian, filsafat Derrida
mendorong kesadaran bahwa bahasa, teks, dan interpretasi bersifat terbuka,
plural, dan tidak stabil.⁶
4.3.      
Michel Foucault
(1926–1984)
Michel Foucault memberikan kontribusi
besar melalui analisis mengenai kuasa dan pengetahuan. Dalam karya Discipline
and Punish (1975), ia memperlihatkan bagaimana institusi modern seperti
sekolah, rumah sakit, dan penjara membentuk subjek melalui mekanisme pengawasan
dan disiplin.⁷ Foucault menolak pandangan bahwa pengetahuan itu netral;
sebaliknya, ia mengemukakan bahwa setiap rezim pengetahuan selalu terikat
dengan relasi kuasa.⁸
Melalui konsep genealogi, Foucault
menelusuri asal-usul praktik sosial dan diskursif untuk menunjukkan bahwa apa
yang kita anggap “benar” sesungguhnya merupakan hasil konstruksi historis.⁹
Karya-karyanya membuka perspektif baru dalam studi tentang identitas,
seksualitas, serta hubungan antara kuasa dan tubuh.
4.4.      
Jean Baudrillard
(1929–2007)
Jean Baudrillard dikenal dengan teori
simulasi dan hiperrealitas. Dalam Simulacra and Simulation (1981), ia
mengemukakan bahwa dalam masyarakat kontemporer, tanda dan citra tidak lagi
merepresentasikan realitas, melainkan menciptakan realitas baru yang disebut
hiperrealitas.¹⁰ Contohnya dapat dilihat dalam budaya konsumsi, di mana produk
tidak hanya dikonsumsi karena fungsinya, tetapi juga karena nilai simbolik yang
melekat padanya.¹¹
Menurut Baudrillard, media massa modern
tidak merefleksikan kenyataan, tetapi justru menghasilkan “realitas”
yang lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.¹² Pandangan ini menantang
konsep representasi tradisional dan memberikan kritik tajam terhadap budaya
populer, iklan, dan televisi.
4.5.      
Richard Rorty
(1931–2007)
Richard Rorty, filsuf Amerika yang
dipengaruhi pragmatisme, menolak pandangan filsafat sebagai pencari fondasi
kebenaran universal. Dalam Philosophy and the Mirror of Nature (1979),
ia mengkritik tradisi epistemologi Barat yang menempatkan filsafat sebagai “cermin
alam.”¹³ Bagi Rorty, filsafat seharusnya tidak berpretensi menemukan
kebenaran objektif, melainkan menjadi bagian dari percakapan budaya yang bebas
dan demokratis.¹⁴
Rorty menekankan solidaritas ketimbang
objektivitas, serta menolak adanya bahasa atau teori yang final.¹⁵ Pemikirannya
menegaskan wajah khas postmodernisme di Amerika yang lebih pragmatis,
pluralistik, dan humanis.
Tokoh-Tokoh Lain
Selain lima tokoh di atas, terdapat
sejumlah pemikir lain yang berpengaruh dalam diskursus postmodern:
·                    
Gilles Deleuze
(1925–1995) dan Félix Guattari (1930–1992) dengan karya A
Thousand Plateaus (1980), memperkenalkan konsep “rizoma” sebagai
metafora pengetahuan dan masyarakat yang non-hierarkis, multipel, dan selalu
bergerak.¹⁶
·                    
Paul Feyerabend
(1924–1994) melalui Against Method (1975) mengajukan epistemologi
anarkis, menolak adanya metode ilmiah universal, dan menegaskan bahwa “anything
goes” dalam perkembangan ilmu pengetahuan.¹⁷
·                    
Fredric Jameson (1934–)
menghubungkan postmodernisme dengan kapitalisme lanjut, menyatakan bahwa
kondisi postmodern merupakan manifestasi budaya dari sistem ekonomi global
kontemporer.¹⁸
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
[2]               
Ibid., 60–67.
[3]               
Ibid., 41–45.
[4]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
12–14.
[5]               
Ibid., 158–159.
[6]               
Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan
Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 10–12.
[7]               
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–30.
[8]               
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 131.
[9]               
Foucault, Discipline and Punish, 194–200.
[10]            
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6.
[11]            
Ibid., 79–82.
[12]            
Ibid., 11–14.
[13]            
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 171.
[14]            
Ibid., 377–380.
[15]            
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 8–10.
[16]            
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand
Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1987), 3–7.
[17]            
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 19–21.
[18]            
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural
Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 17–20.
5.          
Isu-Isu Filsafat
Postmodern
5.1.      
Relativisme Epistemologis
dan Krisis Kebenaran Objektif
Salah satu isu sentral dalam filsafat
postmodern adalah klaim bahwa kebenaran bersifat relatif dan kontekstual.
Jean-François Lyotard menolak legitimasi metanarasi yang selama ini
menopang klaim kebenaran modern, dengan menyatakan bahwa pengetahuan postmodern
lebih menekankan narasi-narasi kecil (petits récits) yang lokal dan
partikular.¹ Dengan demikian, postmodernisme menolak adanya satu standar
universal bagi kebenaran.
Namun, pandangan ini menimbulkan
konsekuensi berupa “krisis kebenaran objektif.” Jika semua klaim
dianggap relatif, bagaimana kita membedakan antara pengetahuan yang valid dan
sekadar opini?² Isu ini telah menjadi bahan kritik dari para pemikir modernis
dan kritis yang menilai postmodernisme berisiko jatuh pada nihilisme
epistemologis.
5.2.      
Kritik terhadap Ilmu
Pengetahuan dan Universalisme
Ilmu pengetahuan modern, khususnya yang
dipengaruhi positivisme, berasumsi bahwa ada metode universal yang dapat
mengantarkan manusia pada kebenaran objektif. Postmodernisme justru membongkar
asumsi tersebut. Paul Feyerabend, misalnya, dalam Against Method menolak
adanya metode ilmiah tunggal dan menegaskan prinsip “anything goes”
dalam perkembangan ilmu pengetahuan.³
Michel Foucault juga menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan sarat dengan relasi kuasa. Pengetahuan
diproduksi dan dilegitimasi oleh institusi tertentu yang memiliki kepentingan
politis dan sosial.⁴ Dengan demikian, postmodernisme menyingkap keterkaitan
erat antara epistemologi dan struktur kuasa yang tersembunyi.
5.3.      
Masalah
Subjektivitas dan Identitas
Postmodernisme menolak pandangan modern
tentang subjek sebagai entitas yang otonom, stabil, dan rasional. Foucault,
misalnya, menegaskan bahwa subjek dibentuk oleh jaringan diskursif dan praktik
kuasa, sehingga identitas tidak bersifat esensial melainkan konstruktif.⁵
Stuart Hall dalam kajian budaya juga
menekankan bahwa identitas dalam dunia postmodern bersifat fragmentaris,
multipel, dan cair.⁶ Hal ini membuka ruang bagi perayaan pluralitas identitas,
tetapi juga menimbulkan krisis tentang siapa sebenarnya “subjek” dalam
filsafat, politik, maupun etika.
5.4.      
Politik, Budaya, dan
Multikulturalisme
Dalam ranah politik dan budaya,
postmodernisme memberikan pengaruh besar pada lahirnya diskursus
multikulturalisme, gender, dan politik identitas. Dengan menolak klaim
universal modernitas, postmodernisme membuka ruang bagi pengakuan terhadap
kelompok-kelompok marjinal yang sebelumnya diabaikan oleh narasi dominan.⁷
Jean Baudrillard menambahkan bahwa
budaya kontemporer telah didominasi oleh citra dan tanda, sehingga realitas
sosial seringkali digantikan oleh simulasi.⁸ Fenomena ini memperlihatkan
bagaimana media, iklan, dan budaya konsumsi menciptakan “hiperrealitas”
yang membentuk cara kita memahami politik dan budaya.
5.5.      
Postmodernisme dan
Agama
Salah satu isu penting dalam filsafat
postmodern adalah hubungannya dengan agama. Dengan menolak metanarasi,
postmodernisme pada dasarnya juga menantang klaim universalitas agama. Namun,
sebagian pemikir melihat postmodernisme justru membuka ruang baru bagi
pluralisme religius dan dialog antariman.⁹
John D. Caputo, misalnya, mengembangkan
hermeneutika radikal yang memandang iman bukan sebagai kepastian
dogmatis, melainkan keterbukaan terhadap ketidakpastian dan misteri.¹⁰ Dalam
konteks ini, postmodernisme menghadirkan tantangan sekaligus peluang: di satu
sisi ia mengikis klaim absolutisme teologis, di sisi lain ia memberi ruang bagi
religiositas yang lebih cair dan inklusif.
Krisis Makna dan Tantangan Etika
Isu lain yang penting adalah krisis
makna dalam kehidupan postmodern. Dengan hilangnya fondasi universal, individu
dihadapkan pada kebingungan eksistensial: jika tidak ada kebenaran absolut,
maka atas dasar apa etika dapat ditegakkan?¹¹ Fredric Jameson menegaskan bahwa
kondisi postmodern cenderung melahirkan “kedangkalan budaya” di mana
estetika dan etika tereduksi menjadi permainan tanda dalam kapitalisme
lanjut.¹²
Krisis ini menimbulkan tantangan besar
bagi filsafat moral: bagaimana menyusun etika yang relevan tanpa kembali pada
fondasionalisme yang ditolak postmodernisme? Pertanyaan ini terus menjadi
perdebatan hingga saat ini.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[2]               
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and
Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1983), 8–10.
[3]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 19–21.
[4]               
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 131–132.
[5]               
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1:
An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990),
92–94.
[6]               
Stuart Hall, Questions of Cultural Identity
(London: Sage, 1996), 2–3.
[7]               
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity
Press, 1992), 16–18.
[8]               
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6.
[9]               
Graham Ward, Theology and Contemporary Critical
Theory (New York: St. Martin’s Press, 1996), 14–15.
[10]            
John D. Caputo, The Prayers and Tears of Jacques
Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press,
1997), 7–9.
[11]            
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford:
Blackwell, 1993), 2–4.
[12]            
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural
Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 17–18.
6.          
Kritik terhadap
Postmodernisme
6.1.      
Tuduhan Relativisme
Ekstrem dan Nihilisme
Salah satu kritik paling tajam terhadap
postmodernisme adalah kecenderungannya pada relativisme ekstrem. Dengan menolak
metanarasi dan klaim universal, postmodernisme sering dituduh mengikis
kemungkinan adanya standar kebenaran dan etika yang kokoh.¹ Kritikus menyatakan
bahwa jika semua kebenaran bersifat relatif dan tidak ada fondasi universal,
maka tidak ada perbedaan mendasar antara klaim ilmiah yang telah teruji dengan
opini spekulatif atau bahkan hoaks.²
Akibatnya, postmodernisme sering
dianggap berbahaya karena membuka jalan menuju nihilisme epistemologis dan
moral.³ Dalam konteks ini, Zygmunt Bauman menilai bahwa postmodernisme berpotensi
mengikis tanggung jawab etis karena tidak menyediakan pedoman universal bagi
tindakan manusia.⁴
6.2.      
Kritik dari Modernis
dan Ilmuwan Positivis
Kaum modernis, khususnya ilmuwan yang
berpegang pada positivisme, menolak pandangan postmodern yang merelatifkan ilmu
pengetahuan. Menurut mereka, sains tetap memiliki metode rasional yang
memungkinkan verifikasi objektif, terlepas dari bias sosial atau politik.⁵ Karl
Popper, misalnya, menegaskan pentingnya falsifikasi sebagai prinsip ilmiah yang
dapat membedakan sains dari pseudosains.⁶ Pandangan ini jelas berlawanan dengan
epistemologi anarkis Paul Feyerabend yang menyatakan bahwa “apa saja boleh.”⁷
Dengan demikian, dari perspektif
positivis, postmodernisme dipandang sebagai ancaman terhadap kredibilitas dan
otoritas sains, yang seharusnya menjadi landasan rasionalitas modern.
6.3.      
Kritik dari Filsuf
Kritis: Habermas dan Apel
Filsafat postmodern juga mendapat
kritik keras dari pemikir aliran Teori Kritis, terutama Jürgen Habermas. Dalam The
Philosophical Discourse of Modernity (1985), Habermas menuduh
postmodernisme sebagai bentuk “neo-konservatisme” yang menolak
rasionalitas emansipatoris Pencerahan.⁸ Ia berpendapat bahwa modernitas adalah
“proyek yang belum selesai,” sehingga masih memiliki potensi kritis
untuk memperbaiki masyarakat.⁹
Menurut Habermas, penolakan
postmodernisme terhadap metanarasi justru melemahkan kemampuan manusia untuk
melakukan kritik sosial.¹⁰ Jika semua narasi dianggap setara, maka sulit
menentukan posisi normatif untuk menentang ketidakadilan. Dalam konteks ini,
Habermas menekankan pentingnya “rasionalitas komunikatif” sebagai jalan
tengah antara universalisme modern dan relativisme postmodern.¹¹
Karl-Otto Apel, pemikir lain dari
lingkaran Teori Kritis, juga mengkritik postmodernisme karena gagal memberikan
dasar etika universal. Ia menawarkan “etika diskursus” sebagai
alternatif, yakni sebuah kerangka normatif yang berakar pada praktik komunikasi
rasional.¹²
6.4.      
Kritik dari
Perspektif Agama dan Etika Normatif
Postmodernisme sering dikritik dari
perspektif agama karena dianggap merelatifkan kebenaran transendental. Bagi
tradisi agama-agama besar, klaim kebenaran wahyu bersifat absolut dan
universal. Dengan menolak klaim universal, postmodernisme seolah menegasikan
fondasi iman.¹³
Namun, sebagian pemikir agama tetap
memanfaatkan wacana postmodern untuk membangun teologi baru yang lebih
pluralis. Kendati demikian, kalangan ortodoks tetap menilai bahwa relativisme
postmodern merusak otoritas normatif agama dan berbahaya bagi kehidupan etis.¹⁴
6.5.      
Kritik terhadap
Praktik Budaya Postmodern
Kritik lain datang dari pengamat budaya
seperti Fredric Jameson, yang melihat postmodernisme bukan sekadar aliran
filsafat, tetapi juga logika budaya kapitalisme lanjut.¹⁵ Jameson menilai bahwa
estetika postmodern menandai pergeseran dari kedalaman makna ke permukaan
tanda, sehingga budaya kehilangan kemampuan kritisnya.¹⁶ Postmodernisme dalam
seni dan media massa dianggap melahirkan budaya populer yang dangkal,
konsumtif, dan terjebak dalam permainan simulasi.¹⁷
Kesimpulan Sementara
Dari berbagai kritik tersebut, jelas
bahwa postmodernisme menimbulkan kontroversi yang luas. Di satu sisi, ia
membuka ruang bagi pluralitas, dekonstruksi, dan pembebasan dari narasi
dominan. Namun, di sisi lain, ia menghadapi tuduhan serius terkait relativisme,
nihilisme, dan ketiadaan fondasi etis. Perdebatan antara modernis,
postmodernis, dan pemikir kritis menunjukkan bahwa postmodernisme bukan sekadar
aliran filsafat biasa, melainkan sebuah paradigma yang memicu refleksi mendalam
tentang batas-batas pengetahuan, etika, dan kebudayaan kontemporer.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[2]               
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and
Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1983), 10–12.
[3]               
Christopher Norris, What’s Wrong with
Postmodernism: Critical Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1990), 23–25.
[4]               
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford:
Blackwell, 1993), 2–5.
[5]               
Alan Sokal and Jean Bricmont, Fashionable Nonsense:
Postmodern Intellectuals’ Abuse of Science (New York: Picador, 1998), 3–5.
[6]               
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33–35.
[7]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 19–21.
[8]               
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity: Twelve Lectures, trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT
Press, 1987), 94–96.
[9]               
Ibid., 100–102.
[10]            
Ibid., 110–113.
[11]            
Jürgen Habermas, Theory of Communicative Action,
Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.
[12]            
Karl-Otto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das
Problem des Übergangs zur postkonventionellen Moral (Frankfurt am Main:
Suhrkamp, 1990), 15–17.
[13]            
Graham Ward, Theology and Contemporary Critical
Theory (New York: St. Martin’s Press, 1996), 14–15.
[14]            
John Milbank, Theology and Social Theory: Beyond
Secular Reason (Oxford: Blackwell, 1990), 9–11.
[15]            
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural
Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 17–18.
[16]            
Ibid., 20–24.
[17]            
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
11–14.
7.          
Relevansi Filsafat
Postmodern dalam Dunia Kontemporer
7.1.      
Pengaruh dalam Ilmu
Pengetahuan dan Humaniora
Dalam dunia kontemporer, filsafat
postmodern berperan penting dalam merombak cara pandang terhadap ilmu
pengetahuan. Jika modernitas menekankan objektivitas, universalisme, dan
rasionalitas metodologis, postmodernisme justru menyoroti relativitas,
pluralitas, dan konstruksi sosial pengetahuan.¹ Dalam studi humaniora,
pendekatan postmodern mendorong metode interdisipliner seperti dekonstruksi,
analisis wacana, dan genealogis untuk membongkar struktur kuasa yang
tersembunyi di balik teks dan institusi.²
Di bidang ilmu sosial, postmodernisme
memperkaya studi tentang identitas, gender, ras, dan budaya dengan membuka
ruang bagi perspektif kelompok marjinal yang sebelumnya diabaikan oleh
paradigma dominan.³ Hal ini melahirkan gelombang baru dalam teori feminis,
kajian poskolonial, serta studi budaya, yang semuanya berupaya memperlihatkan
bahwa pengetahuan tidak pernah bebas nilai.
7.2.      
Dampak pada Politik
Identitas dan Wacana Sosial
Postmodernisme juga sangat relevan
dalam diskursus politik identitas. Dengan menolak klaim universal tentang
subjek yang homogen, postmodernisme menegaskan bahwa identitas bersifat plural,
cair, dan terfragmentasi.⁴ Hal ini memperkuat gerakan feminisme, queer studies,
dan multikulturalisme, yang menuntut pengakuan terhadap keragaman pengalaman
manusia.
Michel Foucault memberikan pengaruh
besar melalui analisis tentang kuasa dan tubuh, yang membantu memahami
bagaimana institusi sosial dan politik membentuk identitas individu.⁵ Di era
kontemporer, hal ini sangat relevan dalam membongkar relasi kuasa yang
beroperasi melalui media, hukum, pendidikan, maupun teknologi digital.
7.3.      
Era Digital, Media,
dan Simulasi
Jean Baudrillard mengemukakan bahwa
masyarakat kontemporer tidak lagi hidup dalam realitas, melainkan dalam
hiperrealitas, di mana tanda dan citra lebih nyata daripada realitas itu
sendiri.⁶ Konsep ini semakin relevan dalam era digital dan media sosial, di
mana identitas, informasi, dan interaksi lebih banyak dibentuk oleh algoritma,
simulasi, dan representasi simbolik.
Fenomena fake news, realitas
virtual, dan deepfake memperlihatkan betapa tipisnya batas antara yang
nyata dan yang artifisial.⁷ Postmodernisme, dengan kritiknya terhadap klaim
kebenaran tunggal, menyediakan lensa kritis untuk memahami bagaimana realitas
digital dibentuk, dimediasi, dan dimanipulasi.
7.4.      
Globalisasi dan
Kapitalisme Lanjut
Fredric Jameson melihat postmodernisme
sebagai “logika budaya kapitalisme lanjut,” di mana globalisasi ekonomi
dan budaya membentuk struktur kehidupan manusia.⁸ Dalam konteks ini, estetika
postmodern seperti pluralitas gaya, fragmentasi, dan pastiche dianggap
sebagai refleksi dari dinamika kapitalisme global.
Relevansi pemikiran ini dapat dilihat
dalam fenomena budaya populer, konsumsi massal, dan industri hiburan global.
Produk budaya tidak lagi dipandang hanya sebagai karya seni, melainkan juga
sebagai komoditas yang merefleksikan logika pasar.⁹ Dengan demikian,
postmodernisme membantu memahami keterkaitan erat antara ekonomi, budaya, dan
identitas global.
7.5.      
Krisis Ekologi dan
Etika Postmodern
Dalam menghadapi krisis ekologi global,
postmodernisme menawarkan sudut pandang baru. Penolakan terhadap
antroposentrisme dan klaim universal modern dapat membuka jalan bagi etika
lingkungan yang lebih plural dan kontekstual.¹⁰ Zygmunt Bauman, melalui Postmodern
Ethics, menekankan pentingnya tanggung jawab moral yang tidak bersandar
pada aturan universal, melainkan pada kepekaan etis terhadap “yang lain.”¹¹
Dalam konteks krisis iklim, perspektif
ini mendorong kita untuk mengakui pluralitas relasi manusia dengan alam, serta
mengembangkan etika ekologis yang inklusif dan responsif terhadap keragaman
konteks lokal.
Kesimpulan Sementara
Filsafat postmodern tetap memiliki
relevansi kuat dalam membaca dinamika kontemporer: dari krisis kebenaran dan
media digital, politik identitas dan globalisasi, hingga tantangan etika dan
ekologi. Walaupun sering dipandang problematis karena relativisme dan
nihilisme, postmodernisme juga membuka ruang bagi pemikiran kritis yang lebih
peka terhadap keragaman, kuasa, dan kompleksitas dunia modern. Dengan demikian,
ia menjadi salah satu paradigma penting untuk memahami transformasi budaya,
sosial, dan intelektual abad ke-21.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
[2]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158–159.
[3]               
Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora
(London: Lawrence and Wishart, 1990), 222–225.
[4]               
Hall, Questions of Cultural Identity (London:
Sage, 1996), 2–4.
[5]               
Michel Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1:
An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990),
92–94.
[6]               
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6.
[7]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 154–157.
[8]               
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural
Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 17–20.
[9]               
Ibid., 35–37.
[10]            
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 41–44.
[11]            
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford:
Blackwell, 1993), 2–5.
8.          
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
8.1.      
Posisi Filsafat
Postmodern dalam Lanskap Pemikiran
Filsafat postmodern hadir sebagai
reaksi terhadap dominasi modernisme yang menjunjung tinggi rasionalitas,
universalisme, dan kemajuan. Postmodernisme tidak menolak modernitas
sepenuhnya, tetapi membongkar klaim absolut yang melekat padanya. Jean-François
Lyotard menegaskan bahwa kondisi postmodern ditandai oleh runtuhnya legitimasi
narasi besar yang selama ini menopang wacana kebenaran.¹ Pandangan ini
memposisikan postmodernisme sebagai kritik internal terhadap proyek modernitas,
bukan semata-mata sebagai penolakan eksternal.
Dengan demikian, postmodernisme tidak
dapat dipandang hanya sebagai mode intelektual sementara, melainkan sebagai
paradigma kritis yang mewarnai filsafat kontemporer. Jacques Derrida, Michel
Foucault, dan Jean Baudrillard memberikan kontribusi yang memperluas cakrawala
filsafat, khususnya dalam menelaah bahasa, kuasa, identitas, dan media.²
8.2.      
Keterbatasan
Postmodernisme
Walaupun memberikan sumbangan besar,
filsafat postmodern memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, kecenderungan
relativisme epistemologis memunculkan tantangan serius: jika semua kebenaran
bersifat relatif, bagaimana mungkin membedakan antara pengetahuan yang valid
dengan klaim yang keliru atau manipulatif?³ Kritik ini terutama datang dari
kalangan modernis dan teoritikus kritis seperti Jürgen Habermas, yang menilai
postmodernisme gagal menyediakan landasan normatif untuk kritik sosial.⁴
Kedua, penekanan pada dekonstruksi dan
fragmentasi kadang menimbulkan nihilisme budaya, di mana makna dianggap tidak
pernah stabil.⁵ Hal ini berisiko mengikis kemampuan filsafat untuk menawarkan
visi etis atau politik yang koheren.
8.3.      
Potensi Konstruktif
Postmodernisme
Meski demikian, postmodernisme tetap
memiliki potensi konstruktif. Pertama, ia mengajarkan sikap kritis terhadap
narasi dominan dan membuka ruang bagi suara-suara marjinal yang selama ini
tersisih.⁶ Dalam ranah sosial-politik, postmodernisme berkontribusi terhadap
berkembangnya wacana multikulturalisme, feminisme, queer studies, dan kajian poskolonial.⁷
Kedua, dalam ranah ilmu pengetahuan,
postmodernisme membantu mengungkap bahwa ilmu bukanlah ruang netral, melainkan
medan pertempuran ide, kepentingan, dan kuasa.⁸ Kesadaran ini penting untuk
menghindari absolutisasi sains serta membuka ruang dialog antara berbagai
tradisi pengetahuan, termasuk pengetahuan lokal dan indigenous.
Ketiga, dalam ranah etika, pemikiran
Zygmunt Bauman menekankan bahwa tanggung jawab moral justru lahir dari
pengakuan akan keterbatasan universalitas.⁹ Dengan menolak fondasi tunggal,
postmodernisme memacu etika yang lebih responsif, plural, dan peka terhadap
keragaman konteks.
8.4.      
Menuju Sintesis:
Rasionalitas Modern dan Sensitivitas Postmodern
Refleksi filosofis menunjukkan bahwa
antagonisme total antara modernisme dan postmodernisme tidak produktif.
Alih-alih menempatkan keduanya dalam posisi dikotomis, perlu ada upaya sintesis
yang menggabungkan kelebihan masing-masing.
Habermas, misalnya, mengajukan konsep “rasionalitas
komunikatif” yang menggabungkan ideal modernitas dengan kesadaran
postmodern akan pluralitas.¹⁰ Di sisi lain, Richard Rorty menekankan
solidaritas dalam ruang percakapan budaya tanpa mengklaim fondasi objektif yang
absolut.¹¹
Sintesis ini memungkinkan filsafat
untuk tetap kritis terhadap klaim universalis yang menindas, sekaligus menjaga
orientasi normatif agar kritik sosial tidak terjerumus ke dalam nihilisme.
Dengan demikian, rasionalitas modern dapat dilengkapi oleh sensitivitas
postmodern terhadap perbedaan, keragaman, dan kompleksitas dunia kontemporer.
Refleksi Filosofis
Filsafat postmodern mengajarkan bahwa
kebenaran, makna, dan identitas bukanlah entitas tetap, melainkan konstruksi
yang selalu terbuka untuk direvisi. Kesadaran ini dapat dipahami bukan sebagai
kelemahan, melainkan sebagai peluang untuk menjaga filsafat tetap dinamis,
reflektif, dan demokratis.
Pada akhirnya, relevansi postmodernisme
terletak pada kemampuannya untuk menggugah kesadaran kritis, menolak dominasi
narasi tunggal, dan mengakui pluralitas sebagai kenyataan fundamental kehidupan
manusia. Namun, agar tidak terjebak dalam relativisme ekstrem, filsafat
postmodern perlu dipadukan dengan semangat pencarian rasionalitas dan etika
yang tetap memberi orientasi bagi kehidupan bersama.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
[2]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158–159; Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–27; Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1994), 1–6.
[3]               
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and
Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1983), 8–10.
[4]               
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity: Twelve Lectures, trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT
Press, 1987), 94–96.
[5]               
Christopher Norris, What’s Wrong with
Postmodernism: Critical Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1990), 23–25.
[6]               
Linda Hutcheon, A Poetics of Postmodernism:
History, Theory, Fiction (New York: Routledge, 1988), 6–7.
[7]               
Stuart Hall, Questions of Cultural Identity
(London: Sage, 1996), 2–4.
[8]               
Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and
Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books,
1980), 131–132.
[9]               
Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics (Oxford:
Blackwell, 1993), 2–4.
[10]            
Jürgen Habermas, Theory of Communicative Action,
Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 285–289.
[11]            
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 8–10.
9.          
Penutup
9.1.      
Kesimpulan Umum
Filsafat postmodern lahir sebagai
respon kritis terhadap modernitas, khususnya terhadap klaim-klaim universal
yang melekat pada proyek Pencerahan. Jean-François Lyotard menandai kondisi
postmodern dengan runtuhnya legitimasi metanarasi, yaitu cerita-cerita besar
yang mengklaim sebagai landasan tunggal bagi kebenaran dan pengetahuan.¹
Jacques Derrida, melalui dekonstruksi, memperlihatkan ketidakstabilan makna
teks; Michel Foucault mengungkap keterkaitan erat antara pengetahuan dan kuasa;
sementara Jean Baudrillard menyingkap fenomena hiperrealitas dalam budaya
kontemporer.² Bersama dengan tokoh-tokoh lain, mereka membentuk fondasi filosofis
yang menandai pergeseran paradigma dari modernisme ke postmodernisme.
Postmodernisme menegaskan pluralitas,
relativitas, dan anti-esensialisme sebagai ciri khasnya. Paradigma ini menolak
klaim objektivitas dan universalisme yang dikedepankan modernisme, sekaligus
membuka ruang bagi suara-suara marjinal yang sebelumnya disisihkan.³ Namun,
pandangan ini juga mengundang kritik, terutama karena berisiko terjebak dalam
relativisme ekstrem, nihilisme epistemologis, serta kehilangan fondasi etis
yang kokoh.⁴
9.2.      
Implikasi terhadap
Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Dalam ranah filsafat, postmodernisme
telah menantang filsafat tradisional untuk lebih reflektif terhadap
batas-batasnya. Ia menunjukkan bahwa filsafat bukanlah pencarian fondasi yang
tak tergoyahkan, melainkan sebuah arena dialog terbuka yang selalu dapat
ditafsir ulang.⁵
Dalam ilmu pengetahuan, postmodernisme
menyingkap bahwa sains tidak netral, melainkan sarat dengan konteks sosial,
budaya, dan politik. Hal ini membantu menumbuhkan kesadaran kritis tentang bias
dalam produksi pengetahuan dan membuka jalan bagi pendekatan interdisipliner,
multikultural, dan inklusif.⁶ Namun, keterbukaan ini tetap harus diseimbangkan
dengan standar rasionalitas dan validitas, agar kritik tidak meruntuhkan
kredibilitas ilmu pengetahuan itu sendiri.
9.3.      
Implikasi terhadap
Kehidupan Sosial dan Budaya
Dalam kehidupan sosial-budaya,
relevansi postmodernisme terlihat pada perayaan identitas yang plural dan
terfragmentasi. Paradigma ini memperkuat gerakan feminis, queer studies, poskolonial,
dan multikulturalisme dengan menegaskan bahwa tidak ada identitas tunggal yang
dominan.⁷ Di sisi lain, kritik Baudrillard tentang hiperrealitas semakin nyata
dalam era digital, di mana batas antara realitas dan simulasi kian kabur akibat
teknologi, media sosial, dan algoritma.⁸
Postmodernisme juga relevan dalam
menghadapi tantangan globalisasi, kapitalisme lanjut, dan krisis ekologi.
Perspektif pluralistik dan dekonstruktif dapat digunakan untuk menolak dominasi
narasi tunggal yang merugikan lingkungan serta mengupayakan bentuk etika
ekologis yang lebih responsif.⁹
9.4.      
Rekomendasi Kajian
dan Refleksi Lanjutan
Sebagai penutup, penting ditegaskan
bahwa postmodernisme bukanlah akhir dari filsafat, melainkan salah satu bab
penting dalam sejarah intelektual. Paradigma ini mengajarkan kewaspadaan
terhadap absolutisasi kebenaran, tetapi juga mengingatkan kita akan risiko
relativisme. Oleh karena itu, perlu ada upaya sintesis antara rasionalitas
modern dan sensitivitas postmodern, sebagaimana ditunjukkan oleh Jürgen
Habermas dengan konsep rasionalitas komunikatif dan Richard Rorty dengan
gagasan solidaritas tanpa fondasi absolut.¹⁰
Ke depan, kajian filsafat postmodern
masih relevan untuk dikembangkan, terutama dalam menjawab persoalan dunia
kontemporer: krisis ekologi, ketidaksetaraan global, dampak teknologi digital,
serta pluralitas budaya dan agama. Refleksi filosofis yang lahir dari
postmodernisme dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun wacana etis,
sosial, dan politik yang lebih inklusif, kritis, dan humanis.
Footnotes
[1]               
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
[2]               
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158–159; Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–27; Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1994), 1–6.
[3]               
Stuart Hall, Questions of Cultural Identity
(London: Sage, 1996), 2–4.
[4]               
Christopher Norris, What’s Wrong with
Postmodernism: Critical Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1990), 23–25.
[5]               
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and
Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1983), 8–10.
[6]               
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso,
1975), 19–21.
[7]               
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity
Press, 1992), 16–18.
[8]               
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
11–14.
[9]               
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature
(London: Routledge, 1993), 41–44.
[10]            
Jürgen Habermas, Theory of Communicative Action,
Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 285–289; Richard Rorty, Contingency, Irony,
and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 8–10.
Daftar Pustaka
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
(Original work published 1981)
Bauman, Z. (1989). Modernity and
the Holocaust. Cornell University Press.
Bauman, Z. (1993). Postmodern
ethics. Blackwell.
Benhabib, S. (1992). Situating the
self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Polity
Press.
Bernstein, R. J. (1983). Beyond
objectivism and relativism: Science, hermeneutics, and praxis. University
of Pennsylvania Press.
Caputo, J. D. (1997). The prayers
and tears of Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana University
Press.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
(Original work published 1967)
Derrida, J. (1982). Margins of
philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Deleuze, G., & Guattari, F.
(1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (B. Massumi,
Trans.). University of Minnesota Press. (Original work published 1980)
Feyerabend, P. (1975). Against
method. Verso.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon Books.
Foucault, M. (1990). The history
of sexuality, Vol. 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1976)
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1975)
Habermas, J. (1984). The theory of
communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T.
McCarthy, Trans.). Beacon Press. (Original work published 1981)
Habermas, J. (1987). The
philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence,
Trans.). MIT Press. (Original work published 1985)
Hall, S. (1990). Cultural identity
and diaspora. In J. Rutherford (Ed.), Identity: Community, culture,
difference (pp. 222–237). Lawrence and Wishart.
Hall, S. (1996). Questions of
cultural identity. Sage.
Heidegger, M. (1962). Being and
time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original
work published 1927)
Hutcheon, L. (1988). A poetics of
postmodernism: History, theory, fiction. Routledge.
Jameson, F. (1991). Postmodernism,
or, the cultural logic of late capitalism. Duke University Press.
Jencks, C. (1977). The language of
post-modern architecture. Academy Editions.
Lyotard, J.-F. (1984). The
postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B.
Massumi, Trans.). University of Minnesota Press. (Original work published 1979)
Milbank, J. (1990). Theology and
social theory: Beyond secular reason. Blackwell.
Nietzsche, F. (1979). On truth and
lies in a nonmoral sense (D. Breazeale, Trans.). Vintage. (Original work
published 1873)
Norris, C. (1990). What’s wrong
with postmodernism: Critical theory and the ends of philosophy. Johns
Hopkins University Press.
Plumwood, V. (1993). Feminism and
the mastery of nature. Routledge.
Popper, K. (1963). Conjectures and
refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.
Rorty, R. (1979). Philosophy and
the mirror of nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency,
irony, and solidarity. Cambridge University Press.
Sokal, A., & Bricmont, J. (1998).
Fashionable nonsense: Postmodern intellectuals’ abuse of science.
Picador.
Venturi, R. (1966). Complexity and
contradiction in architecture. Museum of Modern Art.
Ward, G. (1996). Theology and
contemporary critical theory. St. Martin’s Press.
Zuboff, S. (2019). The age of
surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of
power. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar