Sabtu, 11 Oktober 2025

Filsafat Kristen: Sejarah, Konsep, Tokoh, dan Relevansi

Filsafat Kristen

Sejarah, Konsep, Tokoh, dan Relevansi


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif tradisi filsafat Kristen sebagai salah satu arus utama dalam sejarah pemikiran Barat. Kajian dimulai dengan menelusuri akar historisnya sejak interaksi awal gereja perdana dengan filsafat Yunani, dilanjutkan dengan sintesis Patristik, puncak skolastisisme pada Abad Pertengahan, kritik dan pembaruan pada masa Reformasi, hingga perkembangan modern dan kontemporer. Pembahasan mencakup konsep-konsep dasar seperti relasi iman dan akal, penciptaan, etika kasih, epistemologi wahyu, serta antropologi manusia sebagai imago Dei. Artikel ini juga menyoroti kontribusi tokoh-tokoh penting, antara lain Agustinus, Anselmus, Thomas Aquinas, Luther, Calvin, Kierkegaard, hingga Plantinga.

Selain menelaah warisan intelektual, artikel ini mengulas kritik dari filsafat sekuler (Feuerbach, Marx, Nietzsche), ilmu pengetahuan modern (Darwin, positivisme), dan kritik internal dalam tradisi Kristen (Barth, teologi pembebasan). Selanjutnya, artikel ini menekankan reinterpretasi dan relevansi filsafat Kristen dalam konteks kontemporer, khususnya dalam dialog antaragama, percakapan dengan sains, etika global, serta respons terhadap postmodernisme.

Refleksi filosofis yang ditawarkan menegaskan bahwa filsafat Kristen bukanlah sistem statis, melainkan tradisi reflektif yang senantiasa berdialektika antara iman dan akal, tradisi dan pembaruan. Dengan demikian, filsafat Kristen tetap relevan sebagai mitra dialog kritis dalam pencarian kebenaran, keadilan, dan makna hidup manusia di era global.

Kata kunci: Filsafat Kristen, iman dan akal, skolastisisme, Reformasi, eksistensialisme, epistemologi, etika global, postmodernisme.


PEMBAHASAN

Sejarah, Konsep, Tokoh, dan Relevansi Filsafat Kristen


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Kajian

Filsafat dan agama sejak lama memiliki hubungan yang kompleks, sering kali ditandai oleh ketegangan sekaligus sintesis. Filsafat Kristen lahir dari pertemuan antara tradisi intelektual Yunani-Romawi dengan iman Kristen yang berkembang sejak abad pertama Masehi. Bagi sebagian pemikir, filsafat Kristen merupakan usaha untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip rasional dengan ajaran iman yang bersumber dari Kitab Suci dan tradisi gereja.¹

Kelahiran filsafat Kristen tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan apologetika gereja awal dalam menghadapi tantangan filsafat Helenistik. Tokoh seperti Justin Martyr berusaha menunjukkan bahwa Logos Kristus adalah pemenuhan tertinggi dari benih-benih kebenaran yang sudah hadir dalam filsafat Yunani.² Kemudian, pemikiran Agustinus dari Hippo menjadi tonggak penting karena ia berhasil menggabungkan Platonisme dengan teologi Kristen, menghasilkan kerangka metafisik dan etis yang bertahan hingga berabad-abad berikutnya.³

Seiring waktu, filsafat Kristen berkembang dalam berbagai fase: periode Patristik, Abad Pertengahan (scholastisisme), Reformasi, hingga modernitas. Setiap periode menghadirkan perdebatan baru tentang hubungan iman dan akal, epistemologi wahyu, serta peran filsafat dalam mendukung atau menantang teologi.⁴ Dalam konteks kontemporer, filsafat Kristen tidak hanya membahas soal metafisika dan epistemologi, tetapi juga turut serta dalam percakapan etika global, dialog antaragama, dan respons terhadap tantangan sains modern.⁵

1.2.       Rumusan Masalah

Artikel ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan pokok:

1)                  Apa hakikat filsafat Kristen dan bagaimana ia dipahami dalam tradisi intelektual Barat?

2)                  Bagaimana sejarah perkembangan filsafat Kristen dari masa gereja awal hingga era modern?

3)                  Siapa tokoh-tokoh utama dalam filsafat Kristen dan apa kontribusi mereka?

4)                  Apa relevansi filsafat Kristen dalam konteks kontemporer, baik dalam dunia akademik maupun sosial?

1.3.       Tujuan dan Manfaat

Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai filsafat Kristen dari perspektif historis dan filosofis. Secara akademis, artikel ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa, dosen, maupun peneliti yang tertarik pada studi filsafat agama. Secara praktis, pemahaman tentang filsafat Kristen dapat membantu memperkaya dialog lintas tradisi dan memperluas wawasan tentang dinamika pemikiran dalam sejarah peradaban.

1.4.       Metode Kajian

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah historis-filosofis. Secara historis, artikel ini menelusuri perkembangan filsafat Kristen dalam periode-periode utama. Secara filosofis, pembahasan dilakukan melalui analisis gagasan tokoh-tokoh utama, mulai dari Agustinus, Thomas Aquinas, Kierkegaard, hingga pemikir kontemporer seperti Alvin Plantinga. Analisis literatur primer dan sekunder digunakan untuk membangun pemahaman yang menyeluruh serta menempatkan filsafat Kristen dalam konteks intelektual yang lebih luas.


Footnotes

[1]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 89.

[2]                Henry Chadwick, The Early Church (London: Penguin Books, 1993), 44–46.

[3]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 2008), bk. VII.

[4]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 12–14.

[5]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 3–5.


2.           Konsep Dasar Filsafat Kristen

2.1.       Definisi dan Karakteristik Umum

Pertanyaan mendasar yang sering muncul ialah: apakah filsafat Kristen itu mungkin? Sebagian pemikir berpendapat bahwa filsafat, sebagai pencarian rasional yang netral, tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan agama tertentu. Namun, yang lain menegaskan bahwa filsafat Kristen merupakan filsafat yang dijalankan dalam terang iman Kristen, di mana prinsip-prinsip teologis berfungsi sebagai horizon atau kerangka interpretasi.¹

Karakteristik filsafat Kristen dapat dirumuskan sebagai upaya reflektif untuk menjawab pertanyaan metafisis, epistemologis, etis, dan antropologis dengan berlandaskan iman Kristen.² Dengan demikian, filsafat Kristen bukan sekadar pengulangan doktrin, tetapi juga usaha rasional untuk memahami dan mengartikulasikan realitas berdasarkan wahyu ilahi.

2.2.       Hubungan Iman dan Akal (Fides et Ratio)

Salah satu tema sentral dalam filsafat Kristen adalah relasi antara iman (fides) dan akal (ratio). Agustinus menekankan prinsip credo ut intelligam (aku beriman agar dapat mengerti), yang menegaskan prioritas iman sebagai dasar untuk pemahaman.³ Sebaliknya, Anselmus menambahkan fides quaerens intellectum (iman yang mencari pengertian), yang menempatkan akal sebagai sarana untuk memperdalam iman.⁴

Thomas Aquinas menekankan harmoni antara iman dan akal, dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari Tuhan yang sama. Baginya, filsafat berperan sebagai pelayan (ancilla theologiae) bagi teologi, namun tetap memiliki otonomi metodologis.⁵ Pemikiran ini kemudian menjadi kerangka dominan dalam tradisi skolastik dan Katolik.

2.3.       Prinsip-Prinsip Dasar Filsafat Kristen

Filsafat Kristen berakar pada sejumlah prinsip fundamental yang membedakannya dari filsafat sekuler:

1)                  Penciptaan (Creatio ex nihilo):

Realitas dunia dipahami sebagai ciptaan Allah dari ketiadaan, bukan sebagai entitas abadi.⁶

2)                  Dosa Asal:

Pandangan antropologis Kristen menekankan kondisi manusia yang jatuh dalam dosa, sehingga akal budi manusia pun dipengaruhi keterbatasan moral dan spiritual.⁷

3)                  Penebusan dan Keselamatan:

Realitas sejarah dipandang dalam kerangka Kristologis, di mana Yesus Kristus menjadi pusat pemulihan manusia dan kosmos.⁸

4)                  Teleologi Ilahi:

Sejarah manusia dan dunia dipandang memiliki tujuan akhir dalam penyelenggaraan Allah, bukan sekadar proses acak tanpa arah.⁹

Prinsip-prinsip ini menjadikan filsafat Kristen berbeda dari sistem filsafat murni sekuler yang cenderung mencari jawaban metafisis tanpa horizon wahyu.


2.4.       Perbedaan dengan Filsafat Sekuler

Filsafat Kristen berbeda dari filsafat sekuler bukan dalam metode logis-rasional, melainkan dalam horizon epistemologisnya. Jika filsafat sekuler mengandalkan rasio otonom, filsafat Kristen memandang bahwa akal hanya dapat mencapai pemahaman penuh bila dibimbing oleh iman dan wahyu.¹⁰ Alvin Plantinga menekankan bahwa filsafat Kristen bersifat “terikat komitmen,” yakni dijalankan dari perspektif keyakinan akan realitas Allah, tanpa harus menafikan otonomi intelektual.¹¹

Dengan demikian, filsafat Kristen bukanlah bentuk subordinasi total filsafat pada teologi, melainkan dialog dinamis antara iman dan akal. Ia hadir sebagai tradisi intelektual yang unik, yang sekaligus rasional dan imanistis.


Footnotes

[1]                Merold Westphal, Philosophy and Theology: The Relationship between Faith and Reason (Grand Rapids: Baker Academic, 2009), 5–6.

[2]                John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 22.

[3]                Augustine, Sermons, trans. Edmund Hill (New York: New City Press, 1991), 43.

[4]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), 87.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 1.

[6]                Gerhard May, Creatio Ex Nihilo: The Doctrine of “Creation out of Nothing” in Early Christian Thought (Edinburgh: T&T Clark, 1994), 15–17.

[7]                Augustine, On the Merits and Forgiveness of Sins, trans. Peter Holmes (Edinburgh: T&T Clark, 1874), 23.

[8]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 312.

[9]                Wolfhart Pannenberg, Systematic Theology, vol. 1 (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 63.

[10]             Nicholas Wolterstorff, Reason within the Bounds of Religion, 2nd ed. (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 13.

[11]             Alvin Plantinga, Advice to Christian Philosophers (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 2–3.


3.           Akar Sejarah dan Konteks Awal

3.1.       Pengaruh Filsafat Yunani

Filsafat Kristen sejak awal tidak lahir dalam ruang hampa. Kekristenan tumbuh dalam dunia Mediterania yang sudah dipenuhi oleh warisan filsafat Yunani. Pemikiran Plato, Aristoteles, dan Stoa menjadi kerangka intelektual yang tidak dapat diabaikan oleh para pemikir Kristen awal.¹ Misalnya, konsep logos dalam filsafat Stoa dan Platonisme kemudian diinterpretasikan oleh apologet Kristen sebagai menunjuk kepada Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia.²

Platonisme berpengaruh besar dalam membentuk kerangka metafisika awal filsafat Kristen. Ide tentang dunia transenden, keabadian jiwa, dan kebenaran sebagai realitas tertinggi memberi bahasa filosofis bagi para teolog Kristen untuk menjelaskan iman mereka.³ Aristotelianisme baru mendapat tempat yang lebih sistematis pada Abad Pertengahan, namun benih-benihnya sudah dikenal sejak era Patristik.⁴

3.2.       Apologetika Kristen Awal

Dalam konteks dunia Helenistik-Romawi, para pemikir Kristen awal menghadapi tantangan intelektual sekaligus politis. Justin Martyr, salah satu apologet penting abad ke-2, berusaha menunjukkan bahwa kekristenan bukanlah musuh filsafat, melainkan penyempurnaan dari pencarian kebenaran yang telah dimulai para filsuf. Ia menegaskan bahwa Kristus adalah Logos spermatikos (benih kebenaran) yang sejak awal bekerja dalam pikiran para filsuf Yunani.⁵

Tertullian, sebaliknya, lebih kritis terhadap pengaruh filsafat Yunani. Ungkapannya yang terkenal, “Apa urusan Athena dengan Yerusalem?” mencerminkan sikap curiga terhadap filsafat, meskipun ia sendiri tetap menggunakan perangkat konseptual filosofis dalam argumennya.⁶ Origenes dari Aleksandria menempuh jalan berbeda dengan menyusun sistem teologi yang sarat dengan elemen Platonisme, menunjukkan bagaimana filsafat dapat menjadi alat interpretasi Kitab Suci.⁷

3.3.       Gereja Perdana dan Filsafat Helenistik

Konteks gereja perdana menunjukkan bahwa filsafat Kristen bukan sekadar adaptasi, tetapi juga transformasi. Kekristenan menolak pandangan kosmologi Yunani yang menekankan siklus abadi, dan menggantinya dengan pandangan linear tentang sejarah: penciptaan, kejatuhan, penebusan, dan penggenapan.⁸ Hal ini menjadi salah satu perbedaan mendasar antara pandangan Kristen dan filsafat Helenistik.

Lebih jauh, perjumpaan dengan filsafat Helenistik mendorong gereja untuk merumuskan doktrin-doktrin fundamental, seperti Trinitas dan Kristologi. Perdebatan teologis abad-abad awal, khususnya Konsili Nicea (325) dan Konsili Konstantinopel (381), tidak dapat dilepaskan dari penggunaan istilah dan konsep filosofis Yunani.⁹ Dengan demikian, filsafat Kristen pada tahap awal berkembang sebagai hasil dialog kritis antara iman Kristen dan filsafat Helenistik.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 12–15.

[2]                Henry Chadwick, The Early Church (London: Penguin Books, 1993), 18–20.

[3]                John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 7–9.

[4]                Lloyd P. Gerson, Aristotle and Other Platonists (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 22.

[5]                Justin Martyr, First Apology, trans. Thomas B. Falls (Washington, DC: Catholic University of America Press, 2008), ch. 46.

[6]                Tertullian, Prescription against Heretics, trans. Peter Holmes (Edinburgh: T&T Clark, 1885), ch. 7.

[7]                Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (New York: Harper & Row, 1966), 35–37.

[8]                Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 24.

[9]                J. N. D. Kelly, Early Christian Doctrines (London: A&C Black, 1977), 130–135.


4.           Periode Patristik

4.1.       Konteks Historis

Periode Patristik (abad ke-2 hingga abad ke-5 M) merupakan masa pembentukan teologi Kristen sekaligus usaha intelektual untuk menanggapi tantangan filsafat dan agama-agama pada zaman itu.¹ Para Bapa Gereja (Patres Ecclesiae) berperan penting dalam merumuskan doktrin Kristen sekaligus menyusun kerangka filosofis yang dapat menopang iman. Masa ini ditandai oleh pencarian sintesis antara warisan Yunani-Romawi dengan wahyu Kristen, dengan tokoh puncaknya Agustinus dari Hippo.²

4.2.       Agustinus dari Hippo

Agustinus (354–430) sering disebut sebagai Bapa Gereja terbesar dalam tradisi Barat. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Platonisme, khususnya melalui bacaan atas Plotinus, tetapi kemudian diolah dalam kerangka iman Kristen.³ Baginya, kebenaran tertinggi hanya dapat ditemukan dalam Allah yang transenden, dan filsafat berfungsi sebagai jalan menuju kebenaran itu.

4.2.1.    Konsep Waktu dan Kekekalan

Dalam Confessions, Agustinus mengembangkan refleksi filosofis tentang waktu. Ia menegaskan bahwa waktu bukanlah realitas objektif yang abadi, melainkan dimensi yang bergantung pada ciptaan.⁴ Pandangannya ini sekaligus menolak kosmologi Yunani yang bersifat siklikal, menggantinya dengan pemahaman linear tentang sejarah: penciptaan, kejatuhan, dan keselamatan.

4.2.2.    Jiwa dan Pengetahuan

Agustinus juga mengajarkan bahwa manusia mengenal kebenaran melalui iluminasi ilahi (divine illumination), yaitu bahwa pengetahuan sejati datang dari pencerahan Allah dalam akal budi manusia.⁵ Dengan demikian, epistemologinya bersifat teosentris, berbeda dengan rasionalisme Yunani yang menekankan pada kemampuan akal secara otonom.

4.2.3.    Kehendak Bebas dan Dosa

Dalam polemik melawan Pelagius, Agustinus menegaskan bahwa kehendak manusia telah rusak oleh dosa asal, sehingga manusia tidak mampu mencapai keselamatan tanpa rahmat Allah.⁶ Ia menggabungkan konsep kehendak bebas dengan doktrin anugerah, yang kemudian sangat memengaruhi teologi Barat hingga Reformasi.

4.3.       Perdebatan Intelektual

Selain Agustinus, tokoh Patristik lain turut berkontribusi:

·                     Tertullian (155–240) yang menekankan ketegasan iman melawan filsafat Yunani, tetapi tetap menggunakan kategori filosofis dalam apologetikanya.⁷

·                     Origenes (185–254) yang mengembangkan sistem teologi filosofis dengan pengaruh kuat Platonisme, meskipun beberapa ajarannya kemudian dianggap problematis.⁸

·                     Gregorius dari Nyssa (335–395) yang menekankan dimensi mistik dalam pencarian Allah, dengan filsafat sebagai jalan kontemplasi.⁹

Debat dengan aliran-aliran seperti Gnostisisme, Manikheisme, dan Arianisme juga memaksa Gereja untuk memformulasikan doktrin Trinitas dan Kristologi, menggunakan istilah filosofis seperti ousia (hakikat) dan hypostasis (pribadi).¹⁰ Dengan demikian, filsafat Kristen Patristik bukan sekadar reproduksi pemikiran Yunani, melainkan transformasi dalam terang wahyu.


Signifikansi Periode Patristik

Periode Patristik membentuk fondasi filsafat Kristen dengan tiga ciri utama. Pertama, adanya upaya apologetika untuk mempertahankan iman Kristen di tengah tantangan intelektual dunia Helenistik. Kedua, munculnya sintesis kreatif antara filsafat Yunani (khususnya Platonisme) dengan doktrin Kristen. Ketiga, penguatan struktur teologis-filosofis yang kemudian diwarisi oleh Abad Pertengahan.¹¹ Dengan demikian, filsafat Kristen pada periode ini merupakan tahap awal yang menentukan arah perkembangannya di era berikutnya.


Footnotes

[1]                Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 21.

[2]                Henry Chadwick, Augustine of Hippo: A Life (Oxford: Oxford University Press, 1986), 3–5.

[3]                John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 41–43.

[4]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 2008), bk. XI.

[5]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine (New York: Random House, 1960), 45–47.

[6]                Augustine, On the Grace of Christ and on Original Sin, trans. Peter Holmes and Robert Ernest Wallis (Edinburgh: T&T Clark, 1874), 12–15.

[7]                Tertullian, Prescription against Heretics, trans. Peter Holmes (Edinburgh: T&T Clark, 1885), ch. 7.

[8]                Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (New York: Harper & Row, 1966), 37–40.

[9]                Gregory of Nyssa, The Life of Moses, trans. Abraham J. Malherbe and Everett Ferguson (New York: Paulist Press, 1978), 78–80.

[10]             J. N. D. Kelly, Early Christian Doctrines (London: A&C Black, 1977), 115–118.

[11]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 22.


5.           Abad Pertengahan (Scholastisisme)

5.1.       Konteks Intelektual Abad Pertengahan

Abad Pertengahan (sekitar abad ke-9 hingga abad ke-15) menandai fase kematangan filsafat Kristen. Masa ini ditandai oleh lahirnya tradisi scholastisisme, yakni metode berpikir yang menekankan sistematisasi, logika, dan sintesis antara iman serta akal.¹ Universitas-universitas Eropa seperti Paris, Bologna, dan Oxford menjadi pusat pengembangan teologi-filosofis, di mana karya-karya Aristoteles yang sebelumnya hampir hilang masuk kembali ke Barat melalui penerjemahan dari dunia Islam dan Yahudi.²

5.2.       Boethius dan Transisi dari Dunia Klasik

Boethius (480–524) sering disebut sebagai “penghubung terakhir” antara dunia klasik dan Kristen awal menuju Abad Pertengahan.³ Dalam karyanya The Consolation of Philosophy, ia menggabungkan pemikiran Stoik dan Neoplatonik dengan iman Kristen, menekankan Providensia ilahi sebagai jawaban atas penderitaan manusia.⁴ Ia juga berjasa dalam mentransmisikan logika Aristoteles ke dunia Latin, yang kemudian menjadi fondasi skolastisisme.⁵

5.3.       Anselmus dari Canterbury

Anselmus (1033–1109) dikenal sebagai “Bapak Skolastisisme” karena keberaniannya menggunakan akal untuk memperdalam iman.⁶ Moto terkenalnya fides quaerens intellectum (iman yang mencari pengertian) merangkum semangat skolastik. Dalam Proslogion, ia mengemukakan ontological argument, yakni pembuktian keberadaan Tuhan melalui konsep bahwa Tuhan adalah “yang terbesar yang dapat dipikirkan.”⁷ Meskipun argumen ini dikritik oleh Gaunilo dan kemudian oleh filsuf modern seperti Kant, ia tetap menjadi salah satu tonggak dalam sejarah filsafat agama.⁸

5.4.       Thomas Aquinas dan Sintesis Aristotelianisme

Puncak skolastisisme terjadi pada abad ke-13 dengan Thomas Aquinas (1225–1274). Melalui Summa Theologiae, Aquinas menyusun sintesis besar antara Aristotelianisme dan teologi Kristen.⁹

5.4.1.    Teori Hukum Alam

Aquinas mengembangkan doktrin hukum alam (lex naturalis), yakni bahwa hukum moral bersumber dari rasio manusia sebagai partisipasi dalam hukum ilahi.¹⁰ Konsep ini berpengaruh besar dalam teori etika, politik, hingga hukum modern.

5.4.2.    Argumen tentang Keberadaan Tuhan

Aquinas mengajukan lima jalan (quinque viae) untuk membuktikan keberadaan Tuhan: argumen dari gerak, sebab, kontingensi, derajat kesempurnaan, dan teleologi.¹¹ Argumen ini menggabungkan logika Aristotelian dengan visi teologis Kristen.

5.4.3.    Harmoni Iman dan Akal

Bagi Aquinas, iman dan akal tidak bertentangan. Wahyu menyempurnakan apa yang dapat dicapai akal, sementara filsafat membantu menjelaskan kebenaran iman.¹² Pandangan ini menjadikan Aquinas sebagai rujukan utama dalam teologi Katolik, khususnya dalam tradisi neo-Thomisme.

5.5.       Duns Scotus dan William Ockham

Meskipun Aquinas menjadi puncak skolastisisme, muncul pula pemikir-pemikir yang memberikan kritik.

·                     John Duns Scotus (1266–1308) menekankan kehendak bebas Allah yang absolut, sehingga metafisika dan etika harus dipahami dari perspektif voluntarisme.¹³ Ia juga mengembangkan argumen eksistensi Tuhan yang berbeda dari Aquinas.

·                     William Ockham (1287–1347) terkenal dengan prinsip “Ockham’s Razor,” yakni penolakan terhadap multiplikasi entitas tanpa kebutuhan.¹⁴ Ockham mengkritik sistem skolastik yang terlalu spekulatif, dan menekankan epistemologi empiris.

Kedua tokoh ini menandai pergeseran dari sistem skolastik klasik menuju pemikiran yang lebih kritis, yang akhirnya membuka jalan bagi filsafat modern.

5.6.       Signifikansi Skolastisisme

Scholastisisme memberikan warisan penting bagi sejarah filsafat Kristen. Pertama, ia memperlihatkan kemungkinan sintesis kreatif antara iman dan akal. Kedua, ia meletakkan dasar bagi tradisi universitas dan metode berpikir sistematis. Ketiga, ia menyiapkan jalan bagi lahirnya filsafat modern dengan kritik dari tokoh-tokoh akhir skolastik.¹⁵ Dengan demikian, Abad Pertengahan dapat dipandang sebagai puncak sekaligus titik transisi dalam sejarah filsafat Kristen.


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 7–9.

[2]                David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 243.

[3]                Henry Chadwick, Boethius: The Consolations of Music, Logic, Theology, and Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1981), 11.

[4]                Boethius, The Consolation of Philosophy, trans. Victor Watts (London: Penguin Books, 1999), bk. V.

[5]                John Marenbon, Boethius (Oxford: Oxford University Press, 2003), 27–30.

[6]                R. W. Southern, Saint Anselm: A Portrait in a Landscape (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 45.

[7]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), ch. 2.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 1.

[10]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Oxford University Press, 1980), 23–25.

[11]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 2, a. 3.

[12]             Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 102.

[13]             Allan B. Wolter, The Transcendentals and Their Function in the Metaphysics of Duns Scotus (St. Bonaventure: Franciscan Institute, 1946), 18.

[14]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 55.

[15]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 45–47.


6.           Reformasi dan Pascareformasi

6.1.       Konteks Historis Reformasi

Abad ke-16 ditandai oleh Reformasi Protestan, sebuah gerakan religius yang dipelopori oleh Martin Luther dan John Calvin. Gerakan ini bukan hanya transformasi teologis, tetapi juga memiliki implikasi filosofis yang signifikan. Reformasi menolak beberapa elemen skolastisisme yang dianggap terlalu spekulatif, dan menekankan kembali otoritas Kitab Suci serta peran iman dalam keselamatan.¹

Konteks pascareformasi kemudian memunculkan perkembangan filsafat Kristen yang lebih beragam. Tradisi Katolik meneguhkan kembali ajaran melalui Konsili Trente (1545–1563), sementara tradisi Protestan mengembangkan pendekatan teologi dan filsafat yang berbeda, termasuk pengaruh pada etika, politik, dan epistemologi modern.²

6.2.       Martin Luther dan Kritik terhadap Skolastisisme

Martin Luther (1483–1546) menolak apa yang ia anggap sebagai “teologi kemuliaan” skolastik, yang terlalu mengandalkan akal budi. Ia menggagas “teologi salib” (theologia crucis), yang menempatkan penderitaan Kristus sebagai pusat iman.³ Bagi Luther, manusia tidak dapat mengenal Allah melalui spekulasi filosofis, melainkan melalui salib yang tampak hina di mata dunia.

Luther juga menekankan doktrin sola fide (hanya oleh iman) dan sola scriptura (hanya Kitab Suci), yang menolak otonomi akal dalam urusan keselamatan.⁴ Dengan demikian, filsafat Kristen dalam Reformasi cenderung mengkritisi peran rasio dan menekankan prioritas wahyu serta iman.

6.3.       John Calvin dan Rasionalitas Teologi

John Calvin (1509–1564) melanjutkan semangat Reformasi dengan pendekatan yang lebih sistematis. Dalam Institutes of the Christian Religion, ia menyusun teologi yang sangat terstruktur, di mana konsep tentang kedaulatan Allah (sovereignty of God) menjadi pusat pemikiran.⁵

Calvin menekankan doktrin predestinasi, yakni bahwa keselamatan sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah, bukan pada usaha manusia.⁶ Namun, berbeda dengan Luther, Calvin tetap memberikan tempat bagi rasio sebagai sarana memahami dunia ciptaan, meski dalam keterbatasannya. Hal ini membuka jalan bagi etika Protestan yang menekankan kerja keras, disiplin, dan rasionalitas dalam kehidupan sosial.⁷

6.4.       Pascareformasi dan Rasionalisme Kristen

Pascareformasi menandai berkembangnya filsafat Kristen dalam berbagai arah. Di lingkungan Katolik, muncul aliran neo-skolastik yang mencoba mempertahankan sintesis Thomistik, seperti ditunjukkan oleh Francisco Suárez (1548–1617).⁸ Suárez memberikan kontribusi besar dalam metafisika dan hukum alam, yang kemudian memengaruhi filsafat modern, termasuk Grotius dalam teori hukum internasional.⁹

Di pihak Protestan, rasionalisme Kristen berkembang melalui pemikir-pemikir seperti René Descartes yang, meskipun tidak secara langsung terkait dengan Reformasi, bekerja dalam konteks pascareformasi dan warisan Kristen.¹⁰ Selain itu, etika Protestan sebagaimana dianalisis oleh Max Weber menjadi fondasi bagi lahirnya semangat kapitalisme modern.¹¹


Signifikansi Filsafat Kristen Reformasi dan Pascareformasi

Reformasi dan Pascareformasi membawa filsafat Kristen pada dua arah besar. Pertama, penegasan prioritas iman atas akal dalam memahami keselamatan. Kedua, lahirnya pendekatan baru terhadap filsafat dan teologi yang lebih plural, baik dalam tradisi Katolik maupun Protestan. Dengan demikian, periode ini menjadi jembatan antara skolastisisme Abad Pertengahan dan filsafat modern yang lebih kritis dan rasional.¹²


Footnotes

[1]                Diarmaid MacCulloch, The Reformation: A History (New York: Viking, 2003), 98–100.

[2]                Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 4th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 56.

[3]                Martin Luther, Heidelberg Disputation, trans. Harold J. Grimm (Philadelphia: Fortress Press, 1957), thesis 19–21.

[4]                Martin Luther, Three Treatises, trans. Charles M. Jacobs and James Atkinson (Philadelphia: Fortress Press, 1970), 116.

[5]                John Calvin, Institutes of the Christian Religion, trans. Ford Lewis Battles (Louisville: Westminster John Knox Press, 1960), I.1.1.

[6]                Ibid., III.21.5.

[7]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 43–45.

[8]                Francisco Suárez, Metaphysical Disputation I, trans. Cyril Vollert (Milwaukee: Marquette University Press, 1961), 12–15.

[9]                Hugo Grotius, The Rights of War and Peace, ed. Richard Tuck (Indianapolis: Liberty Fund, 2005), Prolegomena.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 15–17.

[11]             Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, 60–65.

[12]             Heiko A. Oberman, The Dawn of the Reformation (Grand Rapids: Eerdmans, 1986), 212.


7.           Filsafat Kristen Modern

7.1.       Konteks Pencerahan dan Tantangan Baru

Memasuki abad ke-17 dan 18, filsafat Kristen menghadapi tantangan besar dari gerakan Pencerahan (Enlightenment), yang menekankan rasionalitas otonom, sains empiris, dan kritik terhadap otoritas tradisional.¹ Pencerahan memunculkan filsafat sekuler yang lebih kritis terhadap agama, seperti dalam pemikiran Voltaire, Hume, dan Kant.² Di tengah konteks ini, filsafat Kristen berusaha merefleksikan kembali relasi iman dan akal serta posisi agama dalam masyarakat modern.

7.2.       Blaise Pascal dan Kritik terhadap Rasionalisme

Blaise Pascal (1623–1662) menempati posisi unik dalam tradisi filsafat Kristen modern. Melalui karyanya Pensées, ia mengkritik rasionalisme Cartesian yang terlalu mengagungkan akal.³ Pascal menekankan keterbatasan manusia dan pentingnya hati (le cœur) sebagai sarana untuk mengenal Allah. “Hati memiliki alasan yang tidak dikenal akal,” tulisnya, yang menunjukkan dimensi eksistensial dan personal dalam iman Kristen.⁴ Selain itu, “Taruhan Pascal” (Pascal’s Wager) menjadi argumen praktis tentang iman, yakni bahwa lebih masuk akal bagi manusia untuk percaya kepada Allah daripada menolak-Nya.⁵

7.3.       Søren Kierkegaard dan Eksistensialisme Kristen

Pada abad ke-19, Søren Kierkegaard (1813–1855) dikenal sebagai “bapak eksistensialisme Kristen.” Ia menentang kekristenan institusional yang formalistis di Denmark, dan menekankan pengalaman iman sebagai lompatan eksistensial.⁶ Dalam Fear and Trembling, ia merefleksikan kisah Abraham untuk menunjukkan bahwa iman adalah paradoks: sekaligus melampaui etika universal, tetapi juga menjadi ketaatan mutlak kepada Allah.⁷

Kierkegaard menekankan pentingnya subjektivitas dan eksistensi individual. Bagi dia, iman tidak dapat direduksi menjadi argumen rasional, melainkan keterlibatan diri yang total.⁸ Pemikirannya sangat berpengaruh pada filsafat abad ke-20, khususnya eksistensialisme religius dan teologi dialektis Karl Barth.

7.4.       Neo-Thomisme dan Filsafat Katolik Modern

Dalam tradisi Katolik, abad ke-19 hingga 20 ditandai oleh kebangkitan kembali filsafat Thomas Aquinas, yang dikenal sebagai neo-Thomisme. Gerakan ini dipelopori oleh filsuf seperti Jacques Maritain dan Étienne Gilson, serta didukung oleh ensiklik Aeterni Patris (1879) dari Paus Leo XIII.⁹ Neo-Thomisme berupaya menghidupkan kembali sintesis iman dan akal ala Aquinas, serta menyesuaikannya dengan tantangan modernitas.

Maritain, misalnya, mengembangkan konsep humanisme integral, yang menegaskan bahwa iman Kristen mampu memberikan dasar bagi kehidupan sosial dan politik yang adil.¹⁰ Gilson menekankan bahwa filsafat Kristen tidak sekadar pengulangan dogma, tetapi pencarian rasional yang diilhami iman.¹¹

7.5.       Alvin Plantinga dan Filsafat Analitik Kristen

Pada abad ke-20, muncul arus baru filsafat Kristen dalam tradisi analitik, terutama melalui pemikir seperti Alvin Plantinga, Nicholas Wolterstorff, dan William Alston. Plantinga menegaskan bahwa iman kepada Allah adalah properly basic belief, yakni keyakinan dasar yang tidak memerlukan pembuktian rasional formal tetapi tetap rasional secara epistemis.¹² Dalam Warranted Christian Belief, Plantinga mengembangkan epistemologi Reformasi, yang menekankan bahwa iman Kristen memiliki legitimasi intelektual dalam kerangka filsafat analitik.¹³

Filsafat analitik Kristen ini menjadi tonggak penting karena berhasil mengembalikan filsafat Kristen ke pusat percakapan akademis modern, setelah sekian lama dianggap terpinggirkan dalam dunia filsafat pasca-Pencerahan.


Signifikansi Filsafat Kristen Modern

Filsafat Kristen modern menunjukkan kemampuan adaptasi terhadap konteks baru. Pascal menawarkan kritik atas rasionalisme, Kierkegaard membuka horizon eksistensialisme religius, neo-Thomisme menyusun kembali sintesis iman dan akal, sementara filsafat analitik Kristen membawa iman kembali ke arena filsafat kontemporer.¹⁴ Dengan demikian, periode modern bukan hanya fase defensif, tetapi juga kreatif dalam memperluas wacana filsafat Kristen.


Footnotes

[1]                Ernst Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove (Princeton: Princeton University Press, 1951), 3–5.

[2]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: Knopf, 1966), 12–14.

[3]                Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin, 1995), fragment 131.

[4]                Ibid., fragment 277.

[5]                Ibid., fragment 418.

[6]                Alastair Hannay, Kierkegaard: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 213.

[7]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 54–57.

[8]                Merold Westphal, Kierkegaard’s Critique of Reason and Society (University Park: Penn State University Press, 1987), 33.

[9]                Leo XIII, Aeterni Patris (Rome: Vatican Press, 1879), sec. 17.

[10]             Jacques Maritain, Integral Humanism (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1973), 45.

[11]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 18.

[12]             Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 46.

[13]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 3–5.

[14]             Charles Taliaferro, Contemporary Philosophy of Religion (Oxford: Blackwell, 1998), 27–30.


8.           Tema-Tema Utama dalam Filsafat Kristen

8.1.       Iman dan Akal: Harmoni atau Ketegangan?

Pertanyaan tentang relasi iman dan akal merupakan tema sentral dalam seluruh sejarah filsafat Kristen. Agustinus menekankan prioritas iman dengan ungkapan credo ut intelligam (“aku beriman agar dapat mengerti”), sementara Anselmus mempertegas bahwa iman itu sendiri mendorong pencarian rasional (fides quaerens intellectum).¹ Thomas Aquinas kemudian menawarkan model harmonis di mana iman dan akal saling melengkapi, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah.² Namun, Reformasi membawa kritik dengan menegaskan bahwa akal manusia telah rusak oleh dosa, sehingga keselamatan hanya bergantung pada anugerah Allah.³ Dengan demikian, filsafat Kristen terus bergulat dengan pertanyaan: sejauh mana akal mampu mendukung iman, dan sejauh mana iman melampaui akal?

8.2.       Ontologi Kristen: Penciptaan dan Eksistensi Tuhan

Dalam ontologi Kristen, Allah dipahami sebagai ens perfectissimum (ada yang paling sempurna) dan sumber segala keberadaan.⁴ Berbeda dengan pandangan Yunani kuno yang melihat kosmos sebagai kekal, filsafat Kristen menegaskan konsep creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan).⁵ Hal ini memiliki implikasi metafisis yang luas: realitas dunia bersifat kontingen, sementara keberadaan Allah bersifat niscaya. Argumen-argumen tentang eksistensi Tuhan, baik dalam bentuk ontologis (Anselmus), kosmologis (Aquinas), maupun eksistensial (Kierkegaard), memperlihatkan bahwa tema tentang Allah sebagai pencipta dan penyelenggara dunia tetap menjadi pusat refleksi filsafat Kristen.⁶

8.3.       Etika Kristen: Kasih, Hukum Alam, dan Moralitas

Etika Kristen berakar pada perintah kasih (agape) yang diajarkan oleh Kristus: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.⁷ Thomas Aquinas mengembangkan doktrin hukum alam (lex naturalis) sebagai partisipasi akal manusia dalam hukum ilahi.⁸ Dalam tradisi Protestan, etika kemudian dikaitkan dengan panggilan kerja dan disiplin hidup, sebagaimana dianalisis Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.⁹ Sementara itu, filsafat Kristen kontemporer menekankan dimensi etika global—seperti keadilan, hak asasi manusia, dan ekologi—sebagai manifestasi tanggung jawab moral yang bersumber dari iman.¹⁰

8.4.       Epistemologi Kristen: Wahyu dan Akal Budi

Dalam epistemologi Kristen, wahyu menjadi dasar utama pengetahuan religius. Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana akal budi manusia memahami wahyu tersebut. Augustine mengajarkan konsep divine illumination, bahwa kebenaran hanya dapat dipahami jika akal manusia diterangi oleh Allah.¹¹ Pada abad ke-20, Alvin Plantinga mengembangkan epistemologi Reformasi yang menekankan bahwa iman kepada Allah dapat menjadi properly basic belief, yaitu keyakinan dasar yang sah tanpa memerlukan bukti eksternal.¹² Dengan demikian, epistemologi Kristen menegaskan keterbatasan akal tetapi sekaligus membuka jalan bagi legitimasi intelektual iman.

8.5.       Antropologi Kristen: Manusia sebagai Imago Dei

Konsep manusia sebagai imago Dei (gambar Allah) merupakan tema antropologis yang sangat penting dalam filsafat Kristen. Hal ini berarti manusia memiliki martabat, rasionalitas, dan kebebasan yang mencerminkan sifat ilahi.¹³ Namun, doktrin dosa asal menegaskan bahwa natur manusia telah tercemar, sehingga diperlukan anugerah dan penebusan.¹⁴ Dalam filsafat modern, refleksi tentang imago Dei berhubungan dengan persoalan etika, hak asasi manusia, dan tanggung jawab ekologis.¹⁵ Dengan demikian, antropologi Kristen tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga menjadi dasar refleksi filosofis tentang identitas dan martabat manusia.


Kesimpulan Sementara

Tema-tema utama filsafat Kristen—iman dan akal, ontologi, etika, epistemologi, dan antropologi—menunjukkan bagaimana tradisi ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar filsafat dalam terang iman Kristen. Melalui interaksi dengan konteks historis yang berbeda-beda, filsafat Kristen memperlihatkan dinamika antara tradisi teologis dan refleksi rasional yang terus relevan hingga kini.¹⁶


Footnotes

[1]                Augustine, Sermons, trans. Edmund Hill (New York: New City Press, 1991), 43.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 1.

[3]                Martin Luther, Heidelberg Disputation, trans. Harold J. Grimm (Philadelphia: Fortress Press, 1957), thesis 19–21.

[4]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), ch. 2.

[5]                Gerhard May, Creatio Ex Nihilo: The Doctrine of “Creation out of Nothing” in Early Christian Thought (Edinburgh: T&T Clark, 1994), 15–17.

[6]                Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 102–104.

[7]                The Holy Bible, New Testament, Matthew 22:37–40.

[8]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Oxford University Press, 1980), 23–25.

[9]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 60–65.

[10]             David Fergusson, Faith and Its Critics: A Conversation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 92–95.

[11]             Augustine, On the Teacher, trans. Robert P. Russell (Washington, DC: Catholic University of America Press, 1995), 38.

[12]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 168–170.

[13]             John Zizioulas, Being as Communion (Crestwood: St. Vladimir’s Seminary Press, 1985), 27.

[14]             Augustine, On the Merits and Forgiveness of Sins, trans. Peter Holmes (Edinburgh: T&T Clark, 1874), 23.

[15]             Jürgen Moltmann, God in Creation: An Ecological Doctrine of Creation (San Francisco: Harper & Row, 1985), 191–193.

[16]             Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 112–115.


9.           Kritik terhadap Filsafat Kristen

9.1.       Kritik dari Filsafat Sekuler

Sejak abad ke-19, filsafat Kristen mendapat tantangan keras dari para pemikir sekuler yang menolak klaim-klaim metafisis dan teologisnya. Ludwig Feuerbach, dalam The Essence of Christianity, berpendapat bahwa teologi Kristen hanyalah proyeksi sifat-sifat manusia yang diidealkan.¹ Menurutnya, berbicara tentang Allah sebenarnya adalah berbicara tentang hakikat manusia itu sendiri, yang diangkat ke tingkat transendental. Kritik ini membuka jalan bagi pendekatan humanistik dan antropologis dalam memahami agama.

Karl Marx kemudian melanjutkan kritik tersebut dengan menafsirkan agama, termasuk filsafat Kristen, sebagai “candu bagi rakyat.”² Bagi Marx, filsafat Kristen cenderung mempertahankan status quo sosial dengan menjanjikan keselamatan eskatologis, sehingga mengabaikan realitas material dan perjuangan kelas. Pandangan ini menempatkan filsafat Kristen sebagai ideologi yang harus dikritisi dalam rangka emansipasi sosial.

Nietzsche mengambil sikap yang lebih radikal. Dalam The Antichrist, ia menyebut Kekristenan sebagai “moralitas budak” yang melemahkan vitalitas manusia.³ Nietzsche menolak pandangan Kristen tentang kasih, kerendahan hati, dan pengorbanan, karena dianggap mengekang potensi kreatif dan kekuatan manusia. Kritik Nietzsche ini menantang dasar etika filsafat Kristen dan memunculkan alternatif nihilistik maupun eksistensialis.

9.2.       Kritik dari Ilmu Pengetahuan Modern

Selain dari para filsuf sekuler, filsafat Kristen juga mendapat kritik dari perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sejak Copernicus dan Galileo, pandangan kosmologis Alkitab harus direvisi untuk menyesuaikan dengan penemuan astronomi.⁴ Darwinisme kemudian memperumit persoalan dengan teori evolusi, yang menantang konsep penciptaan langsung sebagaimana dipahami dalam tradisi Kristen.⁵

Dalam konteks epistemologi, positivisme logis pada abad ke-20 menolak klaim-klaim metafisis dan teologis karena dianggap tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁶ Hal ini mendorong filsafat Kristen untuk merumuskan kembali dasar-dasar epistemologisnya, seperti yang dilakukan oleh Plantinga dengan epistemologi Reformasi.

9.3.       Kritik Internal dari Tradisi Kristen

Filsafat Kristen juga menghadapi kritik dari dalam tradisinya sendiri. Beberapa teolog Protestan, misalnya Karl Barth, menolak upaya rasionalisasi iman Kristen yang dilakukan filsafat skolastik maupun neo-skolastik. Barth menegaskan bahwa Allah hanya dapat dikenal melalui wahyu, bukan melalui argumen filosofis.⁷

Selain itu, dalam tradisi kontemporer, teologi pembebasan menuduh filsafat Kristen klasik terlalu fokus pada spekulasi metafisis dan kurang memberi perhatian pada realitas sosial-politik, khususnya penindasan dan ketidakadilan.⁸ Kritik ini memperlihatkan bahwa filsafat Kristen harus terus-menerus dikoreksi agar tetap relevan dengan konteks sejarah dan sosial.


Signifikansi Kritik

Meskipun keras, kritik terhadap filsafat Kristen memiliki peran konstruktif. Pertama, kritik tersebut memaksa filsafat Kristen untuk merefleksikan batas-batasnya dan menghindari klaim yang berlebihan. Kedua, kritik dari filsafat sekuler dan sains modern mendorong pembaruan dalam epistemologi Kristen. Ketiga, kritik internal menunjukkan dinamika tradisi Kristen sendiri dalam menjaga relevansi iman dan rasio.⁹ Dengan demikian, kritik tidak hanya melemahkan filsafat Kristen, tetapi juga memperkaya dan menstimulasi perkembangan lebih lanjut.


Footnotes

[1]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12–15.

[2]                Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, trans. Joseph O’Malley (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 131.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Antichrist, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), sec. 5–7.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Copernican Revolution (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 181.

[5]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 459–461.

[6]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 33–35.

[7]                Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1975), 3–5.

[8]                Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation (Maryknoll: Orbis Books, 1973), 25–27.

[9]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 189–192.


10.       Reinterpretasi dan Relevansi Kontemporer

10.1.    Konteks Dunia Kontemporer

Filsafat Kristen pada era kontemporer menghadapi tantangan baru yang berbeda dari periode klasik dan modern. Globalisasi, pluralisme agama, perkembangan ilmu pengetahuan, serta krisis etika global memunculkan pertanyaan baru mengenai posisi iman dan akal dalam dunia modern.¹ Filsafat Kristen tidak lagi hanya berfokus pada pembelaan iman, tetapi juga harus tampil sebagai dialogis, kritis, dan relevan terhadap isu-isu kemanusiaan universal.

10.2.    Filsafat Kristen dan Dialog Antaragama

Salah satu reinterpretasi penting filsafat Kristen kontemporer adalah keterlibatannya dalam dialog antaragama. Dalam dunia yang semakin plural, filsafat Kristen dituntut untuk membangun jembatan dengan tradisi filsafat agama lain, seperti Islam, Hindu, dan Buddhisme.² John Hick, misalnya, mengembangkan paradigma pluralisme religius yang menekankan bahwa realitas transenden diakses melalui berbagai tradisi iman.³ Meskipun gagasan Hick menuai kritik, ia menunjukkan bahwa filsafat Kristen tidak dapat lagi eksklusif, melainkan harus terbuka terhadap percakapan lintas iman.

10.3.    Filsafat Kristen dan Ilmu Pengetahuan Modern

Relevansi lain filsafat Kristen kontemporer terletak pada dialognya dengan ilmu pengetahuan modern. Isu-isu seperti teori evolusi, bioetika, kecerdasan buatan, dan krisis ekologi menuntut refleksi filosofis yang berakar pada iman Kristen.⁴ Pemikir seperti Teilhard de Chardin mencoba mengintegrasikan teori evolusi dengan pandangan teologis tentang Kristus sebagai titik Omega sejarah kosmik.⁵ Sementara itu, dalam konteks epistemologi, Alvin Plantinga menantang naturalisme evolusioner dengan argumen bahwa kepercayaan pada akal budi hanya masuk akal dalam kerangka teistik.⁶

10.4.    Etika Global dan Isu Kemanusiaan

Filsafat Kristen kontemporer juga memainkan peran dalam percakapan mengenai etika global. Hans Küng memelopori Global Ethic Project, yang menekankan nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab ekologis.⁷ Dalam isu lingkungan, Jürgen Moltmann menekankan teologi penciptaan yang bersifat ekologis, bahwa manusia sebagai imago Dei memiliki tanggung jawab menjaga bumi sebagai rumah bersama.⁸ Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat Kristen dapat berkontribusi pada penyelesaian krisis global yang bersifat lintas agama dan budaya.

10.5.    Reinterpretasi dalam Konteks Postmodernisme

Era postmodern menantang klaim-klaim universal filsafat klasik, termasuk filsafat Kristen. Jean-François Lyotard menggambarkan postmodernitas sebagai “ketidakpercayaan terhadap metanarasi,” yang memaksa filsafat Kristen untuk merefleksikan ulang statusnya sebagai sistem kebenaran universal.⁹ Beberapa pemikir Kristen seperti Merold Westphal menekankan pentingnya kerendahan hermeneutik, yakni sikap mengakui keterbatasan dalam menafsirkan iman.¹⁰ Dengan demikian, filsafat Kristen dapat tetap relevan tanpa harus terjebak pada absolutisme.


Signifikansi Kontemporer

Reinterpretasi filsafat Kristen menunjukkan bahwa tradisi ini bukan warisan statis, melainkan dinamika yang selalu diperbarui. Dalam dialog antaragama, filsafat Kristen memperluas cakrawala kemanusiaan. Dalam interaksi dengan sains, ia menunjukkan bahwa iman dan rasio dapat saling melengkapi. Dalam etika global, ia menegaskan peran agama dalam membangun tatanan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. Dan dalam era postmodern, filsafat Kristen belajar menghidupi kebenaran dengan rendah hati.¹¹ Dengan demikian, relevansi filsafat Kristen terletak pada kemampuannya untuk terus bertransformasi sambil tetap berakar pada tradisi iman.


Footnotes

[1]                Alister E. McGrath, Theology: The Basics, 4th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2018), 112–114.

[2]                Gavin D’Costa, Christianity and World Religions: Disputed Questions in the Theology of Religions (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 5–7.

[3]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 233–235.

[4]                Philip Clayton, Religion and Science: The Basics (London: Routledge, 2011), 65–70.

[5]                Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, trans. Bernard Wall (New York: Harper & Row, 1959), 258–260.

[6]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 344–346.

[7]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 24–27.

[8]                Jürgen Moltmann, God in Creation: An Ecological Doctrine of Creation (San Francisco: Harper & Row, 1985), 191–193.

[9]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[10]             Merold Westphal, Overcoming Onto-Theology: Toward a Postmodern Christian Faith (New York: Fordham University Press, 2001), 13–15.

[11]             Charles Taliaferro, Philosophy of Religion: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld, 2009), 178–180.


11.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

11.1.    Warisan Intelektual

Filsafat Kristen, sejak masa Patristik hingga kontemporer, memperlihatkan kesinambungan tradisi intelektual yang kaya. Dari Agustinus hingga Plantinga, terdapat benang merah berupa usaha untuk mengintegrasikan iman dengan rasio.¹ Meski mengalami perubahan paradigma—dari sintesis Platonisme, dominasi skolastisisme Aristotelian, kritik Reformasi, hingga keterbukaan pada postmodernisme—filsafat Kristen tetap mempertahankan orientasi teosentris: Allah sebagai pusat kebenaran dan makna.² Warisan ini menunjukkan bahwa filsafat Kristen bukanlah sistem tertutup, melainkan dinamika refleksi yang terus diperbarui sesuai konteks zaman.

11.2.    Integrasi Iman, Akal, dan Kehidupan

Salah satu kekuatan filsafat Kristen adalah kemampuannya mengintegrasikan iman, akal, dan kehidupan praktis. Filsafat ini menolak dikotomi tajam antara religiositas dan rasionalitas.³ Thomas Aquinas menegaskan bahwa akal mampu menemukan kebenaran melalui hukum alam, namun wahyu tetap menjadi pelengkap yang membawa manusia pada keselamatan.⁴ Kierkegaard menambahkan dimensi eksistensial, bahwa iman bukan sekadar argumen, melainkan keterlibatan personal yang mengubah hidup.⁵ Dengan demikian, filsafat Kristen berfungsi sebagai jembatan antara refleksi spekulatif dan praksis kehidupan.

11.3.    Tantangan dan Peluang Kontemporer

Di era globalisasi, filsafat Kristen menghadapi tantangan serius: pluralisme agama, sekularisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan krisis ekologi.⁶ Namun, tantangan ini juga membuka peluang bagi filsafat Kristen untuk menawarkan kontribusi baru. Dalam etika global, misalnya, prinsip kasih dan martabat manusia sebagai imago Dei dapat memperkuat komitmen pada keadilan dan solidaritas.⁷ Dalam sains dan teknologi, filsafat Kristen dapat menjadi mitra dialog kritis sekaligus etis.⁸


Refleksi Filosofis

Refleksi filosofis atas sejarah filsafat Kristen menunjukkan bahwa tradisi ini selalu berada dalam dialektika: antara iman dan akal, universalitas dan partikularitas, ortodoksi dan reinterpretasi. Dialektika ini bukan kelemahan, melainkan justru kekuatan, karena memungkinkan filsafat Kristen tetap relevan sepanjang sejarah.⁹

Pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa filsafat Kristen adalah usaha berkelanjutan untuk memahami realitas dari perspektif iman, tanpa menafikan peran akal.¹⁰ Ia berfungsi tidak hanya sebagai pembela iman, tetapi juga sebagai mitra dialog dalam percakapan intelektual global. Oleh karena itu, filsafat Kristen tetap penting sebagai ruang refleksi kritis dan konstruktif tentang makna hidup, manusia, dan Allah.


Footnotes

[1]                John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 211–213.

[2]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 45.

[3]                Merold Westphal, Philosophy and Theology: The Relationship between Faith and Reason (Grand Rapids: Baker Academic, 2009), 19.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 2, a. 3.

[5]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 73–75.

[6]                Gavin D’Costa, Christianity and World Religions: Disputed Questions in the Theology of Religions (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 115–118.

[7]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 56.

[8]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 342.

[9]                Charles Taliaferro, Philosophy of Religion: A Beginner’s Guide (Oxford: Oneworld, 2009), 177–179.

[10]             Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 198–200.


12.       Penutup

12.1.    Kesimpulan Umum

Filsafat Kristen merupakan salah satu tradisi intelektual paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat. Sejak masa Patristik, Abad Pertengahan, Reformasi, hingga era modern dan kontemporer, filsafat Kristen terus berupaya meneguhkan relasi antara iman dan akal, wahyu dan rasio, metafisika dan praksis.¹ Dari Agustinus hingga Plantinga, tradisi ini memperlihatkan dinamika refleksi yang tidak hanya bersifat apologetis, tetapi juga konstruktif dan kritis.²

12.2.    Kontribusi Filsafat Kristen

Kontribusi utama filsafat Kristen dapat dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, ia berhasil mengintegrasikan warisan filsafat Yunani-Romawi dengan teologi Kristen, menghasilkan kerangka metafisik yang bertahan hingga berabad-abad.³ Kedua, melalui skolastisisme, filsafat Kristen mengembangkan metodologi sistematis yang menjadi fondasi universitas dan pendidikan tinggi di Barat.⁴ Ketiga, filsafat Kristen modern memperkaya horizon pemikiran dengan dimensi eksistensial, humanistik, dan analitik, yang memperlihatkan relevansinya di tengah dunia yang semakin kompleks.⁵

Selain itu, filsafat Kristen juga memberi kontribusi pada etika global, khususnya dengan penekanan pada kasih, keadilan, dan martabat manusia sebagai imago Dei.⁶ Hal ini memperlihatkan bahwa tradisi ini tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan iman, tetapi juga untuk memperluas cakrawala kemanusiaan universal.

12.3.    Prospek Kajian Selanjutnya

Meskipun memiliki warisan intelektual yang kuat, filsafat Kristen tetap menghadapi tantangan besar. Sekularisasi, pluralisme agama, krisis lingkungan, serta kemajuan sains dan teknologi menuntut reinterpretasi terus-menerus.⁷ Relevansi filsafat Kristen di era kontemporer bergantung pada kemampuannya untuk berdialog secara kritis dan terbuka, tanpa kehilangan akar teologisnya.

Dengan demikian, filsafat Kristen harus dilihat sebagai tradisi reflektif yang hidup, yang senantiasa bergerak antara kontinuitas dan pembaruan. Ia tidak hanya menyajikan warisan sejarah, tetapi juga membuka horizon baru bagi pencarian kebenaran, makna, dan arah hidup manusia di tengah dunia global.⁸


Footnotes

[1]                Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 19–21.

[2]                John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 210–213.

[3]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 33–35.

[4]                David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 243–245.

[5]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 167–170.

[6]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 56–58.

[7]                Gavin D’Costa, Christianity and World Religions: Disputed Questions in the Theology of Religions (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 118–120.

[8]                Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6th ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 200–202.


Daftar Pustaka

Adams, M. M. (1987). William Ockham. University of Notre Dame Press.

Anselm of Canterbury. (2001). Proslogion (T. Williams, Trans.). Hackett.

Augustine. (1874). On the Grace of Christ and on Original Sin (P. Holmes & R. E. Wallis, Trans.). T&T Clark.

Augustine. (1874). On the Merits and Forgiveness of Sins (P. Holmes, Trans.). T&T Clark.

Augustine. (1991). Sermons (E. Hill, Trans.). New City Press.

Augustine. (1995). On the Teacher (R. P. Russell, Trans.). Catholic University of America Press.

Augustine. (2008). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Barth, K. (1975). Church Dogmatics I/1 (G. W. Bromiley, Trans.). T&T Clark.

Boethius. (1999). The Consolation of Philosophy (V. Watts, Trans.). Penguin Books.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, volume I: Greece and Rome. Image Books.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, volume II: Medieval philosophy. Image Books.

Darwin, C. (1859). On the origin of species. John Murray.

D’Costa, G. (2009). Christianity and world religions: Disputed questions in the theology of religions. Wiley-Blackwell.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper & Row.

Fergusson, D. (2009). Faith and its critics: A conversation. Oxford University Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Oxford University Press.

Gerson, L. P. (2005). Aristotle and other Platonists. Cornell University Press.

Gilson, E. (1955). History of Christian philosophy in the Middle Ages. Random House.

Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Random House.

Gilson, E. (1960). The Christian philosophy of Saint Augustine. Random House.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy. University of Notre Dame Press.

Gregory of Nyssa. (1978). The life of Moses (A. J. Malherbe & E. Ferguson, Trans.). Paulist Press.

Grotius, H. (2005). The rights of war and peace (R. Tuck, Ed.). Liberty Fund.

Gutiérrez, G. (1973). A theology of liberation. Orbis Books.

Hannay, A. (2001). Kierkegaard: A biography. Cambridge University Press.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent. Yale University Press.

Kelly, J. N. D. (1977). Early Christian doctrines. A&C Black.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.

Kuhn, T. S. (1957). The Copernican revolution. Harvard University Press.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. Crossroad.

Leo XIII. (1879). Aeterni Patris. Vatican Press.

Lindberg, D. C. (1992). The beginnings of Western science. University of Chicago Press.

Luther, M. (1957). Heidelberg disputation (H. J. Grimm, Trans.). Fortress Press.

Luther, M. (1970). Three treatises (C. M. Jacobs & J. Atkinson, Trans.). Fortress Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Maritain, J. (1973). Integral humanism. University of Notre Dame Press.

Marenbon, J. (2003). Boethius. Oxford University Press.

Marx, K. (1970). Contribution to the critique of Hegel’s philosophy of right (J. O’Malley, Trans.). Cambridge University Press.

May, G. (1994). Creatio ex nihilo: The doctrine of “creation out of nothing” in early Christian thought. T&T Clark.

McGrath, A. E. (2012). Reformation thought: An introduction (4th ed.). Wiley-Blackwell.

McGrath, A. E. (2017). Christian theology: An introduction (6th ed.). Wiley-Blackwell.

McGrath, A. E. (2018). Theology: The basics (4th ed.). Wiley-Blackwell.

Moltmann, J. (1985). God in creation: An ecological doctrine of creation. Harper & Row.

Nietzsche, F. (1990). The antichrist (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.

Origen. (1966). On first principles (G. W. Butterworth, Trans.). Harper & Row.

Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). Penguin.

Pelikan, J. (1971). The Christian tradition: A history of the development of doctrine, volume 1. University of Chicago Press.

Plantinga, A. (1967). God and other minds. Cornell University Press.

Plantinga, A. (1984). Advice to Christian philosophers. University of Notre Dame Press.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Plantinga, A. (2011). Where the conflict really lies: Science, religion, and naturalism. Oxford University Press.

Rist, J. (1994). Augustine: Ancient thought baptized. Cambridge University Press.

Southern, R. W. (1990). Saint Anselm: A portrait in a landscape. Cambridge University Press.

Stump, E. (2003). Aquinas. Routledge.

Suárez, F. (1961). Metaphysical disputation I (C. Vollert, Trans.). Marquette University Press.

Taliaferro, C. (1998). Contemporary philosophy of religion. Blackwell.

Taliaferro, C. (2009). Philosophy of religion: A beginner’s guide. Oneworld.

Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon of man (B. Wall, Trans.). Harper & Row.

Tertullian. (1885). Prescription against heretics (P. Holmes, Trans.). T&T Clark.

Weber, M. (2005). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Routledge.

Westphal, M. (1987). Kierkegaard’s critique of reason and society. Penn State University Press.

Westphal, M. (2001). Overcoming onto-theology: Toward a postmodern Christian faith. Fordham University Press.

Westphal, M. (2009). Philosophy and theology: The relationship between faith and reason. Baker Academic.

Zizioulas, J. (1985). Being as communion. St. Vladimir’s Seminary Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar