Filsafat Kristen
Sejarah, Konsep, Tokoh, dan Relevansi
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif tradisi
filsafat Kristen sebagai salah satu arus utama dalam sejarah pemikiran Barat.
Kajian dimulai dengan menelusuri akar historisnya sejak interaksi awal gereja
perdana dengan filsafat Yunani, dilanjutkan dengan sintesis Patristik, puncak
skolastisisme pada Abad Pertengahan, kritik dan pembaruan pada masa Reformasi,
hingga perkembangan modern dan kontemporer. Pembahasan mencakup konsep-konsep
dasar seperti relasi iman dan akal, penciptaan, etika kasih, epistemologi
wahyu, serta antropologi manusia sebagai imago Dei. Artikel ini juga
menyoroti kontribusi tokoh-tokoh penting, antara lain Agustinus, Anselmus,
Thomas Aquinas, Luther, Calvin, Kierkegaard, hingga Plantinga.
Selain menelaah warisan intelektual, artikel ini
mengulas kritik dari filsafat sekuler (Feuerbach, Marx, Nietzsche), ilmu
pengetahuan modern (Darwin, positivisme), dan kritik internal dalam tradisi
Kristen (Barth, teologi pembebasan). Selanjutnya, artikel ini menekankan
reinterpretasi dan relevansi filsafat Kristen dalam konteks kontemporer,
khususnya dalam dialog antaragama, percakapan dengan sains, etika global, serta
respons terhadap postmodernisme.
Refleksi filosofis yang ditawarkan menegaskan bahwa
filsafat Kristen bukanlah sistem statis, melainkan tradisi reflektif yang
senantiasa berdialektika antara iman dan akal, tradisi dan pembaruan. Dengan
demikian, filsafat Kristen tetap relevan sebagai mitra dialog kritis dalam
pencarian kebenaran, keadilan, dan makna hidup manusia di era global.
Kata kunci: Filsafat Kristen, iman dan akal, skolastisisme, Reformasi,
eksistensialisme, epistemologi, etika global, postmodernisme.
PEMBAHASAN
Sejarah, Konsep, Tokoh, dan Relevansi Filsafat Kristen
1.          
Pendahuluan
1.1.      
Latar Belakang
Kajian
Filsafat dan agama
sejak lama memiliki hubungan yang kompleks, sering kali ditandai oleh
ketegangan sekaligus sintesis. Filsafat Kristen lahir dari pertemuan antara
tradisi intelektual
Yunani-Romawi dengan iman Kristen yang berkembang sejak abad pertama Masehi.
Bagi sebagian pemikir, filsafat Kristen merupakan usaha untuk mengintegrasikan
prinsip-prinsip rasional dengan ajaran iman yang bersumber dari Kitab Suci dan
tradisi gereja.¹
Kelahiran filsafat
Kristen tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan apologetika gereja awal dalam
menghadapi tantangan filsafat Helenistik. Tokoh seperti Justin Martyr berusaha
menunjukkan bahwa Logos Kristus adalah pemenuhan tertinggi dari benih-benih
kebenaran yang sudah hadir dalam filsafat Yunani.² Kemudian, pemikiran
Agustinus dari Hippo menjadi tonggak penting karena ia berhasil menggabungkan Platonisme
dengan teologi Kristen, menghasilkan kerangka metafisik dan etis yang bertahan
hingga berabad-abad berikutnya.³
Seiring waktu,
filsafat Kristen berkembang dalam berbagai fase: periode Patristik, Abad Pertengahan (scholastisisme),
Reformasi, hingga modernitas. Setiap periode menghadirkan perdebatan baru
tentang hubungan iman dan akal, epistemologi wahyu, serta peran filsafat dalam
mendukung atau menantang teologi.⁴ Dalam konteks kontemporer, filsafat Kristen
tidak hanya membahas soal metafisika dan epistemologi, tetapi juga turut serta
dalam percakapan etika global, dialog antaragama, dan respons terhadap
tantangan sains modern.⁵
1.2.      
Rumusan Masalah
Artikel ini berusaha
menjawab beberapa
pertanyaan pokok:
1)                 
Apa hakikat filsafat Kristen dan
bagaimana ia dipahami dalam tradisi intelektual Barat?
2)                 
Bagaimana sejarah perkembangan
filsafat Kristen dari masa gereja awal hingga era modern?
3)                 
Siapa tokoh-tokoh utama dalam
filsafat Kristen dan apa kontribusi mereka?
4)                 
Apa relevansi filsafat Kristen
dalam konteks kontemporer, baik dalam dunia akademik maupun sosial?
1.3.      
Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan
untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai filsafat Kristen dari perspektif historis dan filosofis.
Secara akademis, artikel ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa, dosen,
maupun peneliti yang tertarik pada studi filsafat agama. Secara praktis,
pemahaman tentang filsafat Kristen dapat membantu memperkaya dialog lintas
tradisi dan memperluas wawasan tentang dinamika pemikiran dalam sejarah
peradaban.
1.4.      
Metode Kajian
Pendekatan yang
digunakan dalam kajian ini adalah historis-filosofis. Secara historis, artikel
ini menelusuri perkembangan filsafat Kristen dalam periode-periode utama.
Secara filosofis, pembahasan dilakukan melalui analisis gagasan tokoh-tokoh
utama, mulai dari Agustinus, Thomas Aquinas, Kierkegaard, hingga pemikir
kontemporer seperti Alvin Plantinga. Analisis literatur primer dan sekunder
digunakan untuk membangun pemahaman yang menyeluruh serta menempatkan filsafat
Kristen dalam konteks intelektual yang lebih luas.
Footnotes
[1]               
Alister E. McGrath, Christian
Theology: An Introduction, 6th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 89.
[2]               
Henry Chadwick, The Early Church (London: Penguin Books, 1993), 44–46.
[3]               
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 2008), bk. VII.
[4]               
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1991), 12–14.
[5]               
Alvin Plantinga, Warranted Christian
Belief (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 3–5.
2.          
Konsep Dasar Filsafat
Kristen
2.1.      
Definisi dan
Karakteristik Umum
Pertanyaan mendasar
yang sering muncul ialah: apakah filsafat Kristen itu mungkin? Sebagian pemikir
berpendapat bahwa filsafat, sebagai pencarian rasional yang netral, tidak dapat secara langsung dikaitkan
dengan agama tertentu. Namun, yang lain menegaskan bahwa filsafat Kristen
merupakan filsafat yang dijalankan dalam terang iman Kristen, di mana
prinsip-prinsip teologis berfungsi sebagai horizon atau kerangka interpretasi.¹
Karakteristik
filsafat Kristen dapat dirumuskan sebagai upaya reflektif untuk menjawab
pertanyaan metafisis, epistemologis, etis, dan antropologis dengan berlandaskan iman Kristen.²
Dengan demikian, filsafat Kristen bukan sekadar pengulangan doktrin, tetapi
juga usaha rasional untuk memahami dan mengartikulasikan realitas berdasarkan
wahyu ilahi.
2.2.      
Hubungan Iman dan
Akal (Fides et Ratio)
Salah satu tema
sentral dalam filsafat Kristen adalah relasi antara iman (fides)
dan akal (ratio).
Agustinus menekankan prinsip credo ut intelligam (aku beriman
agar dapat mengerti), yang menegaskan prioritas iman sebagai dasar untuk pemahaman.³ Sebaliknya, Anselmus
menambahkan fides quaerens intellectum (iman
yang mencari pengertian), yang menempatkan akal sebagai sarana untuk
memperdalam iman.⁴
Thomas Aquinas
menekankan harmoni antara iman dan akal, dengan menegaskan bahwa keduanya
berasal dari Tuhan yang sama. Baginya, filsafat berperan sebagai pelayan (ancilla
theologiae) bagi teologi, namun tetap memiliki otonomi metodologis.⁵ Pemikiran ini kemudian
menjadi kerangka dominan dalam tradisi skolastik dan Katolik.
2.3.      
Prinsip-Prinsip
Dasar Filsafat Kristen
Filsafat Kristen
berakar pada sejumlah prinsip fundamental yang membedakannya dari filsafat sekuler:
1)                 
Penciptaan (Creatio ex
nihilo): 
Realitas dunia dipahami sebagai ciptaan Allah
dari ketiadaan, bukan sebagai entitas abadi.⁶
2)                 
Dosa Asal:
Pandangan antropologis Kristen menekankan kondisi
manusia yang jatuh dalam dosa, sehingga akal budi manusia pun dipengaruhi
keterbatasan moral dan spiritual.⁷
3)                 
Penebusan dan
Keselamatan: 
Realitas sejarah dipandang dalam kerangka
Kristologis, di mana Yesus Kristus menjadi pusat pemulihan manusia dan kosmos.⁸
4)                 
Teleologi Ilahi:
Sejarah manusia dan dunia dipandang memiliki
tujuan akhir dalam penyelenggaraan Allah, bukan sekadar proses acak tanpa
arah.⁹
Prinsip-prinsip ini
menjadikan filsafat Kristen berbeda dari sistem filsafat murni sekuler yang cenderung
mencari jawaban metafisis tanpa horizon
wahyu.
2.4.      
Perbedaan dengan
Filsafat Sekuler
Filsafat Kristen berbeda
dari filsafat sekuler bukan dalam metode logis-rasional, melainkan dalam
horizon epistemologisnya. Jika filsafat sekuler mengandalkan rasio otonom,
filsafat Kristen memandang bahwa akal hanya dapat mencapai pemahaman penuh bila
dibimbing oleh iman dan wahyu.¹⁰ Alvin Plantinga menekankan bahwa filsafat
Kristen bersifat “terikat komitmen,” yakni dijalankan dari perspektif
keyakinan akan realitas Allah, tanpa harus menafikan otonomi intelektual.¹¹
Dengan demikian,
filsafat Kristen bukanlah bentuk subordinasi total filsafat pada teologi,
melainkan dialog dinamis antara iman dan akal. Ia hadir sebagai tradisi
intelektual yang unik, yang sekaligus rasional dan imanistis.
Footnotes
[1]               
Merold Westphal, Philosophy and
Theology: The Relationship between Faith and Reason (Grand Rapids: Baker Academic, 2009), 5–6.
[2]               
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 22.
[3]               
Augustine, Sermons, trans. Edmund Hill (New York: New City Press, 1991),
43.
[4]               
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett,
2001), 87.
[5]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 1.
[6]               
Gerhard May, Creatio Ex Nihilo: The
Doctrine of “Creation out of Nothing” in Early Christian Thought (Edinburgh: T&T Clark, 1994), 15–17.
[7]               
Augustine, On the Merits and
Forgiveness of Sins, trans. Peter
Holmes (Edinburgh: T&T Clark, 1874), 23.
[8]               
Alister E. McGrath, Christian
Theology: An Introduction, 6th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 312.
[9]               
Wolfhart Pannenberg, Systematic
Theology, vol. 1 (Grand Rapids:
Eerdmans, 1991), 63.
[10]            
Nicholas Wolterstorff, Reason
within the Bounds of Religion, 2nd
ed. (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 13.
[11]            
Alvin Plantinga, Advice to Christian
Philosophers (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1984), 2–3.
3.          
Akar Sejarah dan
Konteks Awal
3.1.      
Pengaruh Filsafat
Yunani
Filsafat Kristen sejak awal tidak lahir dalam
ruang hampa. Kekristenan tumbuh dalam dunia Mediterania yang sudah dipenuhi
oleh warisan filsafat Yunani. Pemikiran Plato, Aristoteles, dan Stoa menjadi
kerangka intelektual yang tidak dapat diabaikan oleh para pemikir Kristen
awal.¹ Misalnya, konsep logos dalam filsafat Stoa dan
Platonisme kemudian diinterpretasikan oleh apologet Kristen sebagai menunjuk
kepada Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia.²
Platonisme
berpengaruh besar dalam membentuk kerangka metafisika awal filsafat Kristen.
Ide tentang dunia transenden, keabadian jiwa, dan kebenaran sebagai realitas
tertinggi memberi bahasa filosofis bagi para teolog Kristen untuk menjelaskan iman mereka.³
Aristotelianisme baru mendapat tempat yang lebih sistematis pada Abad
Pertengahan, namun benih-benihnya sudah dikenal sejak era Patristik.⁴
3.2.      
Apologetika Kristen
Awal
Dalam konteks dunia
Helenistik-Romawi, para pemikir Kristen awal menghadapi tantangan intelektual
sekaligus politis. Justin Martyr, salah satu apologet penting abad ke-2,
berusaha menunjukkan bahwa kekristenan bukanlah musuh filsafat, melainkan
penyempurnaan dari pencarian kebenaran yang telah dimulai para filsuf. Ia
menegaskan bahwa Kristus adalah Logos spermatikos (benih kebenaran)
yang sejak awal bekerja dalam pikiran para filsuf Yunani.⁵
Tertullian,
sebaliknya, lebih kritis terhadap pengaruh filsafat Yunani. Ungkapannya yang
terkenal, “Apa
urusan Athena dengan Yerusalem?” mencerminkan sikap curiga terhadap
filsafat, meskipun ia sendiri tetap menggunakan perangkat konseptual filosofis
dalam argumennya.⁶ Origenes dari Aleksandria menempuh jalan berbeda dengan menyusun sistem teologi
yang sarat dengan elemen Platonisme, menunjukkan bagaimana filsafat dapat
menjadi alat interpretasi Kitab Suci.⁷
3.3.      
Gereja Perdana dan
Filsafat Helenistik
Konteks gereja
perdana menunjukkan bahwa filsafat Kristen bukan sekadar adaptasi, tetapi juga
transformasi. Kekristenan menolak pandangan kosmologi Yunani yang menekankan siklus abadi, dan menggantinya
dengan pandangan linear tentang sejarah: penciptaan, kejatuhan, penebusan, dan
penggenapan.⁸ Hal ini menjadi salah satu perbedaan mendasar antara pandangan
Kristen dan filsafat Helenistik.
Lebih jauh,
perjumpaan dengan filsafat Helenistik mendorong gereja untuk merumuskan
doktrin-doktrin fundamental, seperti Trinitas dan Kristologi. Perdebatan
teologis abad-abad awal, khususnya Konsili Nicea (325) dan Konsili Konstantinopel
(381), tidak dapat dilepaskan dari penggunaan istilah dan konsep filosofis
Yunani.⁹ Dengan demikian, filsafat Kristen pada tahap awal berkembang sebagai
hasil dialog kritis antara iman Kristen dan filsafat Helenistik.
Footnotes
[1]               
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Volume I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 12–15.
[2]               
Henry Chadwick, The Early Church (London: Penguin Books, 1993), 18–20.
[3]               
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 7–9.
[4]               
Lloyd P. Gerson, Aristotle and Other
Platonists (Ithaca: Cornell
University Press, 2005), 22.
[5]               
Justin Martyr, First Apology, trans. Thomas B. Falls (Washington, DC: Catholic
University of America Press, 2008), ch. 46.
[6]               
Tertullian, Prescription against
Heretics, trans. Peter Holmes
(Edinburgh: T&T Clark, 1885), ch. 7.
[7]               
Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (New York: Harper &
Row, 1966), 35–37.
[8]               
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 24.
[9]               
J. N. D. Kelly, Early Christian
Doctrines (London: A&C Black,
1977), 130–135.
4.          
Periode Patristik
4.1.      
Konteks Historis
Periode Patristik
(abad ke-2 hingga abad ke-5 M) merupakan masa pembentukan teologi Kristen
sekaligus usaha intelektual untuk menanggapi tantangan filsafat dan agama-agama
pada zaman itu.¹ Para Bapa Gereja (Patres Ecclesiae) berperan penting
dalam merumuskan doktrin Kristen sekaligus menyusun kerangka filosofis yang dapat menopang iman.
Masa ini ditandai oleh pencarian sintesis antara warisan Yunani-Romawi dengan
wahyu Kristen, dengan tokoh puncaknya Agustinus dari Hippo.²
4.2.      
Agustinus dari Hippo
Agustinus (354–430)
sering disebut sebagai Bapa Gereja terbesar dalam tradisi Barat. Pemikirannya
sangat dipengaruhi
oleh Platonisme, khususnya melalui bacaan atas Plotinus, tetapi kemudian diolah
dalam kerangka iman Kristen.³ Baginya, kebenaran tertinggi hanya dapat
ditemukan dalam Allah yang transenden, dan filsafat berfungsi sebagai jalan menuju
kebenaran itu.
4.2.1.   
Konsep Waktu dan
Kekekalan
Dalam Confessions,
Agustinus mengembangkan refleksi filosofis tentang waktu. Ia menegaskan bahwa
waktu bukanlah realitas objektif yang abadi, melainkan dimensi yang bergantung pada
ciptaan.⁴ Pandangannya ini sekaligus menolak kosmologi Yunani yang bersifat
siklikal, menggantinya dengan pemahaman linear tentang sejarah: penciptaan,
kejatuhan, dan keselamatan.
4.2.2.   
Jiwa dan Pengetahuan
Agustinus juga
mengajarkan bahwa manusia mengenal kebenaran melalui iluminasi ilahi (divine
illumination), yaitu bahwa pengetahuan sejati datang dari
pencerahan Allah dalam akal budi manusia.⁵ Dengan demikian, epistemologinya
bersifat teosentris, berbeda dengan rasionalisme Yunani yang menekankan pada
kemampuan akal secara otonom.
4.2.3.   
Kehendak Bebas dan
Dosa
Dalam polemik
melawan Pelagius, Agustinus menegaskan bahwa kehendak manusia telah rusak oleh
dosa asal, sehingga manusia tidak mampu mencapai keselamatan tanpa rahmat Allah.⁶ Ia menggabungkan konsep
kehendak bebas dengan doktrin anugerah, yang kemudian sangat memengaruhi
teologi Barat hingga Reformasi.
4.3.      
Perdebatan
Intelektual
Selain Agustinus,
tokoh Patristik lain
turut berkontribusi:
·                    
Tertullian
(155–240) yang menekankan ketegasan iman melawan filsafat Yunani, tetapi tetap
menggunakan kategori filosofis dalam apologetikanya.⁷
·                    
Origenes
(185–254) yang mengembangkan sistem teologi filosofis dengan pengaruh kuat
Platonisme, meskipun beberapa ajarannya kemudian dianggap problematis.⁸
·                    
Gregorius
dari Nyssa (335–395) yang menekankan dimensi mistik dalam
pencarian Allah, dengan filsafat sebagai jalan kontemplasi.⁹
Debat dengan
aliran-aliran seperti Gnostisisme, Manikheisme, dan Arianisme juga memaksa
Gereja untuk memformulasikan doktrin Trinitas dan Kristologi, menggunakan
istilah filosofis seperti ousia (hakikat) dan hypostasis
(pribadi).¹⁰ Dengan demikian, filsafat Kristen Patristik bukan sekadar
reproduksi pemikiran Yunani, melainkan transformasi dalam terang wahyu.
Signifikansi Periode Patristik
Periode Patristik
membentuk fondasi filsafat Kristen dengan tiga ciri utama. Pertama, adanya
upaya apologetika untuk mempertahankan iman Kristen di tengah tantangan
intelektual dunia Helenistik. Kedua, munculnya sintesis kreatif antara filsafat
Yunani (khususnya Platonisme) dengan doktrin Kristen. Ketiga, penguatan
struktur teologis-filosofis yang kemudian diwarisi oleh Abad Pertengahan.¹¹
Dengan demikian, filsafat Kristen pada periode ini merupakan tahap awal yang
menentukan arah perkembangannya di era berikutnya.
Footnotes
[1]               
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 21.
[2]               
Henry Chadwick, Augustine of Hippo: A
Life (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 3–5.
[3]               
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 41–43.
[4]               
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 2008), bk. XI.
[5]               
Etienne Gilson, The Christian
Philosophy of Saint Augustine (New
York: Random House, 1960), 45–47.
[6]               
Augustine, On the Grace of Christ
and on Original Sin, trans. Peter
Holmes and Robert Ernest Wallis (Edinburgh: T&T Clark, 1874), 12–15.
[7]               
Tertullian, Prescription against Heretics, trans. Peter Holmes (Edinburgh: T&T Clark,
1885), ch. 7.
[8]               
Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (New York: Harper &
Row, 1966), 37–40.
[9]               
Gregory of Nyssa, The Life of Moses, trans. Abraham J. Malherbe and Everett Ferguson (New
York: Paulist Press, 1978), 78–80.
[10]            
J. N. D. Kelly, Early Christian
Doctrines (London: A&C Black,
1977), 115–118.
[11]            
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 22.
5.          
Abad Pertengahan
(Scholastisisme)
5.1.      
Konteks Intelektual
Abad Pertengahan
Abad Pertengahan
(sekitar abad ke-9 hingga abad ke-15) menandai fase kematangan filsafat
Kristen. Masa ini ditandai oleh lahirnya tradisi scholastisisme,
yakni metode berpikir
yang menekankan sistematisasi, logika, dan sintesis antara iman serta akal.¹
Universitas-universitas Eropa seperti Paris, Bologna, dan Oxford menjadi pusat
pengembangan teologi-filosofis, di mana karya-karya Aristoteles yang sebelumnya
hampir hilang masuk kembali ke Barat melalui penerjemahan dari dunia Islam dan
Yahudi.²
5.2.      
Boethius dan
Transisi dari Dunia Klasik
Boethius (480–524)
sering disebut sebagai “penghubung terakhir” antara dunia klasik dan
Kristen awal menuju Abad Pertengahan.³ Dalam karyanya The
Consolation of Philosophy, ia menggabungkan pemikiran Stoik dan
Neoplatonik dengan iman Kristen, menekankan Providensia ilahi sebagai jawaban
atas penderitaan
manusia.⁴ Ia juga berjasa dalam mentransmisikan logika Aristoteles ke dunia
Latin, yang kemudian menjadi fondasi skolastisisme.⁵
5.3.      
Anselmus dari Canterbury
Anselmus (1033–1109)
dikenal sebagai “Bapak Skolastisisme” karena keberaniannya menggunakan akal
untuk memperdalam iman.⁶ Moto terkenalnya fides quaerens intellectum (iman
yang mencari pengertian) merangkum semangat skolastik. Dalam Proslogion,
ia mengemukakan ontological argument, yakni
pembuktian keberadaan Tuhan melalui konsep bahwa Tuhan adalah “yang terbesar
yang dapat dipikirkan.”⁷ Meskipun argumen ini dikritik oleh Gaunilo dan
kemudian oleh filsuf modern seperti Kant, ia tetap menjadi salah satu tonggak
dalam sejarah filsafat agama.⁸
5.4.      
Thomas Aquinas dan
Sintesis Aristotelianisme
Puncak skolastisisme
terjadi pada abad ke-13 dengan Thomas Aquinas (1225–1274). Melalui Summa
Theologiae, Aquinas menyusun sintesis besar antara Aristotelianisme
dan teologi Kristen.⁹
5.4.1.   
Teori Hukum Alam
Aquinas
mengembangkan doktrin hukum alam (lex naturalis), yakni bahwa hukum
moral bersumber
dari rasio manusia sebagai partisipasi dalam hukum ilahi.¹⁰ Konsep ini
berpengaruh besar dalam teori etika, politik, hingga hukum modern.
5.4.2.   
Argumen tentang
Keberadaan Tuhan
Aquinas mengajukan lima
jalan (quinque viae) untuk membuktikan
keberadaan Tuhan: argumen dari gerak, sebab, kontingensi, derajat kesempurnaan,
dan teleologi.¹¹ Argumen ini menggabungkan logika Aristotelian dengan visi
teologis Kristen.
5.4.3.   
Harmoni Iman dan
Akal
Bagi Aquinas, iman
dan akal tidak bertentangan. Wahyu menyempurnakan apa yang dapat dicapai akal,
sementara filsafat membantu menjelaskan kebenaran iman.¹² Pandangan ini menjadikan Aquinas sebagai
rujukan utama dalam teologi Katolik, khususnya dalam tradisi neo-Thomisme.
5.5.      
Duns Scotus dan
William Ockham
Meskipun Aquinas
menjadi puncak
skolastisisme, muncul pula pemikir-pemikir yang memberikan kritik.
·                    
John
Duns Scotus (1266–1308) menekankan kehendak bebas Allah yang
absolut, sehingga metafisika dan etika harus dipahami dari perspektif
voluntarisme.¹³ Ia juga mengembangkan argumen eksistensi Tuhan yang berbeda
dari Aquinas.
·                    
William
Ockham (1287–1347) terkenal dengan prinsip “Ockham’s Razor,”
yakni penolakan terhadap multiplikasi entitas tanpa kebutuhan.¹⁴ Ockham
mengkritik sistem skolastik yang terlalu spekulatif, dan menekankan
epistemologi empiris.
Kedua tokoh ini
menandai pergeseran dari sistem skolastik klasik menuju pemikiran yang lebih kritis, yang akhirnya
membuka jalan bagi filsafat modern.
5.6.      
Signifikansi
Skolastisisme
Scholastisisme
memberikan warisan penting bagi sejarah filsafat Kristen. Pertama, ia
memperlihatkan kemungkinan sintesis kreatif antara iman dan akal. Kedua, ia
meletakkan dasar bagi tradisi universitas dan metode berpikir sistematis.
Ketiga, ia menyiapkan jalan bagi lahirnya filsafat modern dengan kritik dari
tokoh-tokoh akhir skolastik.¹⁵ Dengan demikian, Abad Pertengahan dapat
dipandang sebagai puncak sekaligus titik transisi dalam sejarah filsafat
Kristen.
Footnotes
[1]               
Etienne Gilson, History of Christian
Philosophy in the Middle Ages (New
York: Random House, 1955), 7–9.
[2]               
David C. Lindberg, The Beginnings of
Western Science (Chicago: University
of Chicago Press, 1992), 243.
[3]               
Henry Chadwick, Boethius: The
Consolations of Music, Logic, Theology, and Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1981), 11.
[4]               
Boethius, The Consolation of
Philosophy, trans. Victor Watts (London:
Penguin Books, 1999), bk. V.
[5]               
John Marenbon, Boethius (Oxford: Oxford University Press, 2003), 27–30.
[6]               
R. W. Southern, Saint Anselm: A
Portrait in a Landscape (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 45.
[7]               
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett,
2001), ch. 2.
[8]               
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), A592/B620.
[9]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 1.
[10]            
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Oxford University
Press, 1980), 23–25.
[11]            
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 2, a. 3.
[12]            
Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 102.
[13]            
Allan B. Wolter, The Transcendentals and
Their Function in the Metaphysics of Duns Scotus (St. Bonaventure: Franciscan Institute, 1946), 18.
[14]            
Marilyn McCord Adams, William
Ockham (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1987), 55.
[15]            
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 45–47.
6.          
Reformasi dan
Pascareformasi
6.1.      
Konteks Historis
Reformasi
Abad ke-16 ditandai
oleh Reformasi Protestan, sebuah gerakan religius yang dipelopori oleh Martin
Luther dan John Calvin. Gerakan ini bukan hanya transformasi teologis, tetapi
juga memiliki implikasi filosofis yang signifikan. Reformasi menolak beberapa elemen skolastisisme yang
dianggap terlalu spekulatif, dan menekankan kembali otoritas Kitab Suci serta
peran iman dalam keselamatan.¹
Konteks
pascareformasi kemudian memunculkan perkembangan filsafat Kristen yang lebih
beragam. Tradisi Katolik meneguhkan kembali ajaran melalui Konsili Trente
(1545–1563), sementara tradisi Protestan mengembangkan pendekatan teologi dan
filsafat yang berbeda, termasuk pengaruh pada etika, politik, dan epistemologi
modern.²
6.2.      
Martin Luther dan
Kritik terhadap Skolastisisme
Martin Luther
(1483–1546) menolak apa yang ia anggap sebagai “teologi kemuliaan”
skolastik, yang terlalu mengandalkan akal budi. Ia menggagas “teologi salib”
(theologia
crucis), yang menempatkan penderitaan Kristus sebagai pusat iman.³
Bagi Luther, manusia tidak dapat mengenal Allah melalui spekulasi filosofis,
melainkan melalui salib yang tampak hina di mata dunia.
Luther juga
menekankan doktrin sola fide (hanya oleh iman) dan sola
scriptura (hanya Kitab Suci), yang menolak otonomi akal dalam
urusan keselamatan.⁴ Dengan demikian, filsafat Kristen dalam Reformasi
cenderung mengkritisi peran rasio dan menekankan prioritas wahyu serta iman.
6.3.      
John Calvin dan
Rasionalitas Teologi
John Calvin
(1509–1564) melanjutkan semangat Reformasi dengan pendekatan yang lebih sistematis. Dalam Institutes
of the Christian Religion, ia menyusun teologi yang sangat
terstruktur, di mana konsep tentang kedaulatan Allah (sovereignty
of God) menjadi pusat pemikiran.⁵
Calvin menekankan
doktrin predestinasi, yakni bahwa keselamatan sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah, bukan
pada usaha manusia.⁶ Namun, berbeda dengan Luther, Calvin tetap memberikan
tempat bagi rasio sebagai sarana memahami dunia ciptaan, meski dalam
keterbatasannya. Hal ini membuka jalan bagi etika Protestan yang menekankan
kerja keras, disiplin, dan rasionalitas dalam kehidupan sosial.⁷
6.4.      
Pascareformasi dan
Rasionalisme Kristen
Pascareformasi
menandai berkembangnya filsafat Kristen dalam berbagai arah. Di lingkungan Katolik, muncul
aliran neo-skolastik
yang mencoba mempertahankan sintesis Thomistik, seperti ditunjukkan oleh
Francisco Suárez (1548–1617).⁸ Suárez memberikan kontribusi besar dalam
metafisika dan hukum alam, yang kemudian memengaruhi filsafat modern, termasuk
Grotius dalam teori hukum internasional.⁹
Di pihak Protestan,
rasionalisme Kristen berkembang melalui pemikir-pemikir seperti René Descartes yang, meskipun
tidak secara langsung terkait dengan Reformasi, bekerja dalam konteks
pascareformasi dan warisan Kristen.¹⁰ Selain itu, etika Protestan sebagaimana
dianalisis oleh Max Weber menjadi fondasi bagi lahirnya semangat kapitalisme
modern.¹¹
Signifikansi Filsafat Kristen Reformasi dan Pascareformasi
Reformasi dan
Pascareformasi membawa filsafat Kristen pada dua arah besar. Pertama, penegasan
prioritas iman atas akal dalam memahami keselamatan. Kedua, lahirnya pendekatan
baru terhadap filsafat dan teologi yang lebih plural, baik dalam tradisi
Katolik maupun Protestan. Dengan demikian, periode ini menjadi jembatan antara
skolastisisme Abad Pertengahan dan filsafat modern yang lebih kritis dan
rasional.¹²
Footnotes
[1]               
Diarmaid MacCulloch, The
Reformation: A History (New York:
Viking, 2003), 98–100.
[2]               
Alister E. McGrath, Reformation
Thought: An Introduction, 4th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 56.
[3]               
Martin Luther, Heidelberg Disputation, trans. Harold J. Grimm (Philadelphia: Fortress
Press, 1957), thesis 19–21.
[4]               
Martin Luther, Three Treatises, trans. Charles M. Jacobs and James Atkinson
(Philadelphia: Fortress Press, 1970), 116.
[5]               
John Calvin, Institutes of the
Christian Religion, trans. Ford
Lewis Battles (Louisville: Westminster John Knox Press, 1960), I.1.1.
[6]               
Ibid., III.21.5.
[7]               
Max Weber, The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism, trans.
Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 43–45.
[8]               
Francisco Suárez, Metaphysical
Disputation I, trans. Cyril Vollert
(Milwaukee: Marquette University Press, 1961), 12–15.
[9]               
Hugo Grotius, The Rights of War and
Peace, ed. Richard Tuck
(Indianapolis: Liberty Fund, 2005), Prolegomena.
[10]            
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 15–17.
[11]            
Weber, The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism, 60–65.
[12]            
Heiko A. Oberman, The Dawn of the
Reformation (Grand Rapids: Eerdmans,
1986), 212.
7.          
Filsafat Kristen
Modern
7.1.      
Konteks Pencerahan
dan Tantangan Baru
Memasuki abad ke-17
dan 18, filsafat Kristen menghadapi tantangan besar dari gerakan Pencerahan (Enlightenment),
yang menekankan rasionalitas otonom, sains empiris, dan kritik terhadap otoritas tradisional.¹ Pencerahan
memunculkan filsafat sekuler yang lebih kritis terhadap agama, seperti dalam
pemikiran Voltaire, Hume, dan Kant.² Di tengah konteks ini, filsafat Kristen
berusaha merefleksikan kembali relasi iman dan akal serta posisi agama dalam
masyarakat modern.
7.2.      
Blaise Pascal dan
Kritik terhadap Rasionalisme
Blaise Pascal
(1623–1662) menempati posisi unik dalam tradisi filsafat Kristen modern.
Melalui karyanya Pensées, ia mengkritik rasionalisme
Cartesian yang terlalu mengagungkan akal.³ Pascal menekankan keterbatasan
manusia dan pentingnya hati (le cœur) sebagai sarana untuk
mengenal Allah. “Hati
memiliki alasan yang tidak dikenal akal,” tulisnya, yang menunjukkan
dimensi eksistensial dan personal dalam iman Kristen.⁴ Selain itu, “Taruhan
Pascal” (Pascal’s Wager) menjadi argumen
praktis tentang iman, yakni bahwa lebih masuk akal bagi manusia untuk percaya
kepada Allah daripada menolak-Nya.⁵
7.3.      
Søren Kierkegaard
dan Eksistensialisme Kristen
Pada abad ke-19,
Søren Kierkegaard (1813–1855) dikenal sebagai “bapak eksistensialisme
Kristen.” Ia menentang kekristenan institusional yang formalistis di Denmark, dan menekankan
pengalaman iman sebagai lompatan eksistensial.⁶ Dalam Fear and
Trembling, ia merefleksikan kisah Abraham untuk menunjukkan bahwa
iman adalah paradoks: sekaligus melampaui etika universal, tetapi juga menjadi
ketaatan mutlak kepada Allah.⁷
Kierkegaard
menekankan pentingnya subjektivitas dan eksistensi individual. Bagi dia, iman
tidak dapat direduksi menjadi argumen rasional, melainkan keterlibatan diri yang total.⁸ Pemikirannya
sangat berpengaruh pada filsafat abad ke-20, khususnya eksistensialisme
religius dan teologi dialektis Karl Barth.
7.4.      
Neo-Thomisme dan
Filsafat Katolik Modern
Dalam tradisi
Katolik, abad ke-19 hingga 20 ditandai oleh kebangkitan kembali filsafat Thomas
Aquinas, yang dikenal sebagai neo-Thomisme. Gerakan ini
dipelopori oleh filsuf seperti Jacques Maritain dan Étienne Gilson, serta
didukung oleh ensiklik Aeterni Patris (1879) dari Paus Leo
XIII.⁹ Neo-Thomisme berupaya
menghidupkan kembali sintesis iman dan akal ala Aquinas, serta menyesuaikannya
dengan tantangan modernitas.
Maritain, misalnya,
mengembangkan konsep humanisme integral, yang menegaskan
bahwa iman Kristen mampu memberikan dasar bagi kehidupan sosial dan politik
yang adil.¹⁰ Gilson menekankan bahwa filsafat Kristen tidak sekadar pengulangan
dogma, tetapi pencarian rasional yang diilhami iman.¹¹
7.5.      
Alvin Plantinga dan
Filsafat Analitik Kristen
Pada abad ke-20,
muncul arus baru filsafat Kristen dalam tradisi analitik, terutama melalui pemikir seperti Alvin
Plantinga, Nicholas Wolterstorff, dan William Alston. Plantinga menegaskan
bahwa iman kepada Allah adalah properly basic belief, yakni
keyakinan dasar yang tidak memerlukan pembuktian rasional formal tetapi tetap
rasional secara epistemis.¹² Dalam Warranted Christian Belief,
Plantinga mengembangkan epistemologi Reformasi, yang menekankan bahwa iman
Kristen memiliki legitimasi intelektual dalam kerangka filsafat analitik.¹³
Filsafat analitik
Kristen ini menjadi tonggak penting karena berhasil mengembalikan filsafat Kristen ke pusat percakapan
akademis modern, setelah sekian lama dianggap terpinggirkan dalam dunia filsafat
pasca-Pencerahan.
Signifikansi Filsafat Kristen Modern
Filsafat Kristen
modern menunjukkan kemampuan adaptasi terhadap konteks baru. Pascal menawarkan
kritik atas rasionalisme, Kierkegaard membuka horizon eksistensialisme
religius, neo-Thomisme menyusun kembali sintesis iman dan akal, sementara filsafat analitik Kristen
membawa iman kembali ke arena filsafat kontemporer.¹⁴ Dengan demikian, periode
modern bukan hanya fase defensif, tetapi juga kreatif dalam memperluas wacana
filsafat Kristen.
Footnotes
[1]               
Ernst Cassirer, The Philosophy of the
Enlightenment, trans. Fritz C. A.
Koelln and James P. Pettegrove (Princeton: Princeton University Press, 1951),
3–5.
[2]               
Peter Gay, The Enlightenment: An
Interpretation (New York: Knopf,
1966), 12–14.
[3]               
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin, 1995),
fragment 131.
[4]               
Ibid., fragment 277.
[5]               
Ibid., fragment 418.
[6]               
Alastair Hannay, Kierkegaard: A
Biography (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 213.
[7]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985),
54–57.
[8]               
Merold Westphal, Kierkegaard’s Critique
of Reason and Society (University
Park: Penn State University Press, 1987), 33.
[9]               
Leo XIII, Aeterni Patris (Rome: Vatican Press, 1879), sec. 17.
[10]            
Jacques Maritain, Integral Humanism (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1973),
45.
[11]            
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 18.
[12]            
Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 46.
[13]            
Alvin Plantinga, Warranted Christian
Belief (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 3–5.
[14]            
Charles Taliaferro, Contemporary
Philosophy of Religion (Oxford:
Blackwell, 1998), 27–30.
8.          
Tema-Tema Utama dalam
Filsafat Kristen
8.1.      
Iman dan Akal:
Harmoni atau Ketegangan?
Pertanyaan tentang
relasi iman dan akal merupakan tema sentral dalam seluruh sejarah filsafat
Kristen. Agustinus menekankan prioritas iman dengan ungkapan credo ut
intelligam (“aku beriman agar dapat mengerti”), sementara Anselmus
mempertegas bahwa iman itu sendiri mendorong pencarian rasional (fides
quaerens intellectum).¹ Thomas Aquinas kemudian menawarkan model
harmonis di mana iman dan akal saling melengkapi, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu
Allah.² Namun, Reformasi membawa kritik dengan menegaskan bahwa akal manusia
telah rusak oleh dosa, sehingga keselamatan hanya bergantung pada anugerah
Allah.³ Dengan demikian, filsafat Kristen terus bergulat dengan pertanyaan:
sejauh mana akal mampu mendukung iman, dan sejauh mana iman melampaui akal?
8.2.      
Ontologi Kristen:
Penciptaan dan Eksistensi Tuhan
Dalam ontologi
Kristen, Allah dipahami sebagai ens perfectissimum (ada yang paling
sempurna) dan sumber segala keberadaan.⁴ Berbeda dengan pandangan Yunani kuno
yang melihat kosmos sebagai kekal, filsafat Kristen menegaskan konsep creatio
ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan).⁵ Hal ini memiliki implikasi
metafisis yang luas: realitas dunia bersifat kontingen, sementara keberadaan
Allah bersifat niscaya. Argumen-argumen tentang eksistensi Tuhan, baik dalam
bentuk ontologis (Anselmus), kosmologis (Aquinas), maupun eksistensial
(Kierkegaard), memperlihatkan bahwa tema tentang Allah sebagai pencipta dan
penyelenggara dunia tetap menjadi pusat refleksi filsafat Kristen.⁶
8.3.      
Etika Kristen:
Kasih, Hukum Alam, dan Moralitas
Etika Kristen
berakar pada perintah kasih (agape) yang diajarkan oleh Kristus:
kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.⁷ Thomas Aquinas mengembangkan
doktrin hukum alam (lex naturalis) sebagai partisipasi
akal manusia dalam hukum ilahi.⁸ Dalam tradisi Protestan, etika kemudian
dikaitkan dengan panggilan kerja dan disiplin hidup, sebagaimana dianalisis Max
Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism.⁹ Sementara itu, filsafat Kristen kontemporer menekankan
dimensi etika global—seperti keadilan, hak asasi manusia, dan ekologi—sebagai
manifestasi tanggung jawab moral yang bersumber dari iman.¹⁰
8.4.      
Epistemologi
Kristen: Wahyu dan Akal Budi
Dalam epistemologi
Kristen, wahyu menjadi dasar utama pengetahuan religius. Namun, pertanyaan yang
muncul adalah bagaimana akal budi manusia memahami wahyu tersebut. Augustine
mengajarkan konsep divine illumination, bahwa
kebenaran hanya dapat dipahami jika akal manusia diterangi oleh Allah.¹¹ Pada
abad ke-20, Alvin Plantinga mengembangkan epistemologi Reformasi yang
menekankan bahwa iman kepada Allah dapat menjadi properly basic belief, yaitu
keyakinan dasar yang sah tanpa memerlukan bukti eksternal.¹² Dengan demikian,
epistemologi Kristen menegaskan keterbatasan akal tetapi sekaligus membuka
jalan bagi legitimasi intelektual iman.
8.5.      
Antropologi Kristen:
Manusia sebagai Imago Dei
Konsep manusia
sebagai imago
Dei (gambar Allah) merupakan tema antropologis yang sangat penting
dalam filsafat Kristen. Hal ini berarti manusia memiliki martabat,
rasionalitas, dan kebebasan yang mencerminkan sifat ilahi.¹³ Namun, doktrin
dosa asal menegaskan bahwa natur manusia telah tercemar, sehingga diperlukan
anugerah dan penebusan.¹⁴ Dalam filsafat modern, refleksi tentang imago
Dei berhubungan dengan persoalan etika, hak asasi manusia, dan
tanggung jawab ekologis.¹⁵ Dengan demikian, antropologi Kristen tidak hanya
bersifat teologis, tetapi juga menjadi dasar refleksi filosofis tentang
identitas dan martabat manusia.
Kesimpulan Sementara
Tema-tema utama
filsafat Kristen—iman dan akal, ontologi, etika, epistemologi, dan
antropologi—menunjukkan bagaimana tradisi ini berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar filsafat dalam terang iman Kristen. Melalui interaksi dengan konteks
historis yang berbeda-beda, filsafat Kristen memperlihatkan dinamika antara
tradisi teologis dan refleksi rasional yang terus relevan hingga kini.¹⁶
Footnotes
[1]               
Augustine, Sermons, trans. Edmund Hill (New York: New City Press, 1991),
43.
[2]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 1.
[3]               
Martin Luther, Heidelberg Disputation, trans. Harold J. Grimm (Philadelphia: Fortress
Press, 1957), thesis 19–21.
[4]               
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett,
2001), ch. 2.
[5]               
Gerhard May, Creatio Ex Nihilo: The
Doctrine of “Creation out of Nothing” in Early Christian Thought (Edinburgh: T&T Clark, 1994), 15–17.
[6]               
Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 102–104.
[7]               
The Holy Bible, New Testament, Matthew 22:37–40.
[8]               
John Finnis, Natural Law and Natural
Rights (Oxford: Oxford University
Press, 1980), 23–25.
[9]               
Max Weber, The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism, trans.
Talcott Parsons (London: Routledge, 2005), 60–65.
[10]            
David Fergusson, Faith and Its Critics:
A Conversation (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 92–95.
[11]            
Augustine, On the Teacher, trans. Robert P. Russell (Washington, DC: Catholic
University of America Press, 1995), 38.
[12]            
Alvin Plantinga, Warranted Christian
Belief (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 168–170.
[13]            
John Zizioulas, Being as Communion (Crestwood: St. Vladimir’s Seminary Press, 1985), 27.
[14]            
Augustine, On the Merits and
Forgiveness of Sins, trans. Peter
Holmes (Edinburgh: T&T Clark, 1874), 23.
[15]            
Jürgen Moltmann, God in Creation: An
Ecological Doctrine of Creation (San
Francisco: Harper & Row, 1985), 191–193.
[16]            
Alister E. McGrath, Christian
Theology: An Introduction, 6th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 112–115.
9.          
Kritik terhadap
Filsafat Kristen
9.1.      
Kritik dari Filsafat
Sekuler
Sejak abad ke-19,
filsafat Kristen mendapat tantangan keras dari para pemikir sekuler yang
menolak klaim-klaim metafisis dan teologisnya. Ludwig Feuerbach, dalam The
Essence of Christianity, berpendapat bahwa teologi Kristen hanyalah
proyeksi sifat-sifat manusia yang diidealkan.¹ Menurutnya, berbicara tentang Allah sebenarnya adalah
berbicara tentang hakikat manusia itu sendiri, yang diangkat ke tingkat
transendental. Kritik ini membuka jalan bagi pendekatan humanistik dan
antropologis dalam memahami agama.
Karl Marx kemudian
melanjutkan kritik tersebut dengan menafsirkan agama, termasuk filsafat
Kristen, sebagai “candu bagi rakyat.”² Bagi Marx, filsafat Kristen
cenderung mempertahankan status quo sosial dengan menjanjikan keselamatan
eskatologis, sehingga mengabaikan realitas material dan perjuangan kelas.
Pandangan ini menempatkan filsafat Kristen sebagai ideologi yang harus
dikritisi dalam rangka emansipasi sosial.
Nietzsche mengambil
sikap yang lebih radikal. Dalam The Antichrist, ia menyebut Kekristenan
sebagai “moralitas budak” yang melemahkan vitalitas manusia.³ Nietzsche menolak pandangan Kristen
tentang kasih, kerendahan hati, dan pengorbanan, karena dianggap mengekang
potensi kreatif dan kekuatan manusia. Kritik Nietzsche ini menantang dasar etika
filsafat Kristen dan memunculkan alternatif nihilistik maupun eksistensialis.
9.2.      
Kritik dari Ilmu
Pengetahuan Modern
Selain dari para
filsuf sekuler, filsafat Kristen juga mendapat kritik dari perkembangan ilmu
pengetahuan modern. Sejak Copernicus dan Galileo, pandangan kosmologis Alkitab
harus direvisi untuk menyesuaikan dengan penemuan astronomi.⁴ Darwinisme
kemudian memperumit persoalan dengan teori evolusi, yang menantang konsep
penciptaan langsung sebagaimana dipahami dalam tradisi Kristen.⁵
Dalam konteks
epistemologi, positivisme logis pada abad ke-20 menolak klaim-klaim metafisis
dan teologis karena dianggap tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁶ Hal ini
mendorong filsafat Kristen untuk merumuskan kembali dasar-dasar epistemologisnya, seperti yang
dilakukan oleh Plantinga dengan epistemologi Reformasi.
9.3.      
Kritik Internal dari
Tradisi Kristen
Filsafat Kristen
juga menghadapi kritik dari dalam tradisinya sendiri. Beberapa teolog
Protestan, misalnya Karl Barth, menolak upaya rasionalisasi iman Kristen yang
dilakukan filsafat skolastik maupun neo-skolastik. Barth menegaskan bahwa Allah
hanya dapat dikenal melalui wahyu, bukan melalui argumen filosofis.⁷
Selain itu, dalam
tradisi kontemporer, teologi pembebasan menuduh filsafat Kristen klasik terlalu
fokus pada spekulasi metafisis dan kurang memberi perhatian pada realitas
sosial-politik, khususnya penindasan dan ketidakadilan.⁸ Kritik ini memperlihatkan bahwa filsafat
Kristen harus terus-menerus dikoreksi
agar tetap relevan dengan konteks sejarah dan sosial.
Signifikansi Kritik
Meskipun keras,
kritik terhadap
filsafat Kristen memiliki peran konstruktif. Pertama, kritik tersebut memaksa
filsafat Kristen untuk merefleksikan batas-batasnya dan menghindari klaim yang
berlebihan. Kedua, kritik dari filsafat sekuler dan sains modern mendorong
pembaruan dalam epistemologi Kristen.
Ketiga, kritik internal menunjukkan dinamika tradisi Kristen sendiri dalam
menjaga relevansi iman dan rasio.⁹ Dengan demikian, kritik tidak hanya
melemahkan filsafat Kristen, tetapi juga memperkaya dan menstimulasi
perkembangan lebih lanjut.
Footnotes
[1]               
Ludwig Feuerbach, The Essence of
Christianity, trans. George Eliot
(New York: Harper & Row, 1957), 12–15.
[2]               
Karl Marx, Contribution to the
Critique of Hegel’s Philosophy of Right,
trans. Joseph O’Malley (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 131.
[3]               
Friedrich Nietzsche, The
Antichrist, trans. R. J. Hollingdale
(London: Penguin, 1990), sec. 5–7.
[4]               
Thomas S. Kuhn, The Copernican
Revolution (Cambridge: Harvard
University Press, 1957), 181.
[5]               
Charles Darwin, On the Origin of
Species (London: John Murray, 1859),
459–461.
[6]               
A. J. Ayer, Language, Truth and
Logic (London: Gollancz, 1936),
33–35.
[7]               
Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark,
1975), 3–5.
[8]               
Gustavo Gutiérrez, A Theology of
Liberation (Maryknoll: Orbis Books,
1973), 25–27.
[9]               
Alister E. McGrath, Christian
Theology: An Introduction, 6th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 189–192.
10.      
Reinterpretasi dan
Relevansi Kontemporer
10.1.   
Konteks Dunia
Kontemporer
Filsafat Kristen
pada era kontemporer menghadapi tantangan baru yang berbeda dari periode klasik
dan modern. Globalisasi, pluralisme agama, perkembangan ilmu pengetahuan, serta
krisis etika global memunculkan pertanyaan baru mengenai posisi iman dan akal
dalam dunia modern.¹ Filsafat Kristen tidak lagi hanya berfokus pada pembelaan
iman, tetapi juga harus tampil sebagai dialogis, kritis, dan relevan terhadap
isu-isu kemanusiaan universal.
10.2.   
Filsafat Kristen dan
Dialog Antaragama
Salah satu
reinterpretasi penting filsafat Kristen kontemporer adalah keterlibatannya
dalam dialog antaragama. Dalam dunia yang semakin plural, filsafat Kristen dituntut untuk membangun
jembatan dengan tradisi filsafat agama lain, seperti Islam, Hindu, dan
Buddhisme.² John Hick, misalnya, mengembangkan paradigma pluralisme religius
yang menekankan bahwa realitas transenden diakses melalui berbagai tradisi
iman.³ Meskipun gagasan Hick menuai kritik, ia menunjukkan bahwa filsafat
Kristen tidak dapat lagi eksklusif, melainkan harus terbuka terhadap percakapan
lintas iman.
10.3.   
Filsafat Kristen dan
Ilmu Pengetahuan Modern
Relevansi lain
filsafat Kristen kontemporer terletak pada dialognya dengan ilmu pengetahuan
modern. Isu-isu seperti teori evolusi, bioetika, kecerdasan buatan, dan krisis
ekologi menuntut refleksi filosofis yang berakar pada iman Kristen.⁴ Pemikir
seperti Teilhard de Chardin mencoba mengintegrasikan teori evolusi dengan
pandangan teologis tentang Kristus sebagai titik Omega sejarah kosmik.⁵ Sementara
itu, dalam konteks epistemologi, Alvin Plantinga menantang naturalisme
evolusioner dengan argumen bahwa kepercayaan pada akal budi hanya masuk akal
dalam kerangka teistik.⁶
10.4.   
Etika Global dan Isu
Kemanusiaan
Filsafat Kristen
kontemporer juga memainkan peran dalam percakapan mengenai etika global. Hans
Küng memelopori Global Ethic Project, yang
menekankan nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan tanggung
jawab ekologis.⁷ Dalam isu lingkungan, Jürgen Moltmann menekankan teologi penciptaan yang bersifat
ekologis, bahwa manusia sebagai imago Dei memiliki tanggung jawab
menjaga bumi sebagai rumah bersama.⁸ Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat
Kristen dapat berkontribusi pada penyelesaian krisis global yang bersifat
lintas agama dan budaya.
10.5.   
Reinterpretasi dalam
Konteks Postmodernisme
Era postmodern
menantang klaim-klaim universal filsafat klasik, termasuk filsafat Kristen.
Jean-François Lyotard menggambarkan postmodernitas sebagai “ketidakpercayaan
terhadap metanarasi,” yang memaksa filsafat Kristen untuk merefleksikan
ulang statusnya sebagai sistem kebenaran universal.⁹ Beberapa pemikir Kristen
seperti Merold Westphal menekankan pentingnya kerendahan hermeneutik, yakni sikap mengakui
keterbatasan dalam menafsirkan iman.¹⁰ Dengan demikian, filsafat Kristen dapat
tetap relevan tanpa harus terjebak pada absolutisme.
Signifikansi Kontemporer
Reinterpretasi
filsafat Kristen menunjukkan bahwa tradisi ini bukan warisan statis, melainkan
dinamika yang selalu diperbarui. Dalam dialog antaragama, filsafat Kristen
memperluas cakrawala kemanusiaan. Dalam interaksi dengan sains, ia menunjukkan
bahwa iman dan rasio dapat saling melengkapi. Dalam etika global, ia menegaskan
peran agama dalam membangun tatanan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dan dalam era postmodern, filsafat Kristen belajar menghidupi kebenaran dengan
rendah hati.¹¹ Dengan demikian, relevansi filsafat Kristen terletak pada
kemampuannya untuk terus bertransformasi sambil tetap berakar pada tradisi
iman.
Footnotes
[1]               
Alister E. McGrath, Theology:
The Basics, 4th ed. (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2018), 112–114.
[2]               
Gavin D’Costa, Christianity and World
Religions: Disputed Questions in the Theology of Religions (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 5–7.
[3]               
John Hick, An Interpretation of
Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 233–235.
[4]               
Philip Clayton, Religion and Science:
The Basics (London: Routledge,
2011), 65–70.
[5]               
Pierre Teilhard de Chardin, The
Phenomenon of Man, trans. Bernard
Wall (New York: Harper & Row, 1959), 258–260.
[6]               
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 344–346.
[7]               
Hans Küng, Global Responsibility:
In Search of a New World Ethic (New
York: Crossroad, 1991), 24–27.
[8]               
Jürgen Moltmann, God in Creation: An
Ecological Doctrine of Creation (San
Francisco: Harper & Row, 1985), 191–193.
[9]               
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), xxiv.
[10]            
Merold Westphal, Overcoming
Onto-Theology: Toward a Postmodern Christian Faith (New York: Fordham University Press, 2001), 13–15.
[11]            
Charles Taliaferro, Philosophy
of Religion: A Beginner’s Guide
(Oxford: Oneworld, 2009), 178–180.
11.      
Sintesis dan Refleksi
Filosofis
11.1.   
Warisan Intelektual
Filsafat Kristen,
sejak masa Patristik hingga kontemporer, memperlihatkan kesinambungan tradisi
intelektual yang kaya. Dari Agustinus hingga Plantinga, terdapat benang merah berupa
usaha untuk mengintegrasikan iman dengan rasio.¹ Meski mengalami perubahan
paradigma—dari sintesis Platonisme,
dominasi skolastisisme Aristotelian, kritik Reformasi, hingga keterbukaan pada
postmodernisme—filsafat Kristen tetap mempertahankan orientasi teosentris:
Allah sebagai pusat kebenaran dan makna.² Warisan ini menunjukkan bahwa
filsafat Kristen bukanlah sistem tertutup, melainkan dinamika refleksi yang
terus diperbarui sesuai konteks zaman.
11.2.   
Integrasi Iman,
Akal, dan Kehidupan
Salah satu kekuatan
filsafat Kristen adalah kemampuannya mengintegrasikan iman, akal, dan kehidupan praktis. Filsafat ini
menolak dikotomi tajam antara religiositas dan rasionalitas.³ Thomas Aquinas
menegaskan bahwa akal mampu menemukan kebenaran melalui hukum alam, namun wahyu
tetap menjadi pelengkap yang membawa manusia pada keselamatan.⁴ Kierkegaard
menambahkan dimensi eksistensial, bahwa iman bukan sekadar argumen, melainkan
keterlibatan personal yang mengubah hidup.⁵ Dengan demikian, filsafat Kristen
berfungsi sebagai jembatan antara refleksi spekulatif dan praksis kehidupan.
11.3.   
Tantangan dan
Peluang Kontemporer
Di era globalisasi,
filsafat Kristen menghadapi tantangan serius: pluralisme agama, sekularisasi,
perkembangan ilmu pengetahuan, dan krisis ekologi.⁶ Namun, tantangan ini juga
membuka peluang bagi filsafat Kristen untuk menawarkan kontribusi baru. Dalam
etika global, misalnya, prinsip kasih dan martabat manusia sebagai imago
Dei dapat memperkuat komitmen pada keadilan dan solidaritas.⁷ Dalam
sains dan teknologi, filsafat Kristen dapat menjadi mitra dialog kritis
sekaligus etis.⁸
Refleksi Filosofis
Refleksi filosofis
atas sejarah filsafat Kristen menunjukkan bahwa tradisi ini selalu berada dalam
dialektika: antara iman dan akal, universalitas dan partikularitas, ortodoksi
dan reinterpretasi. Dialektika ini bukan kelemahan, melainkan justru kekuatan, karena memungkinkan
filsafat Kristen tetap relevan sepanjang sejarah.⁹
Pada titik ini,
dapat disimpulkan bahwa filsafat Kristen adalah usaha berkelanjutan untuk memahami realitas
dari perspektif iman, tanpa menafikan peran akal.¹⁰ Ia berfungsi tidak hanya
sebagai pembela iman, tetapi juga sebagai mitra dialog dalam percakapan
intelektual global. Oleh karena itu, filsafat Kristen tetap penting sebagai
ruang refleksi kritis dan konstruktif tentang makna hidup, manusia, dan Allah.
Footnotes
[1]               
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 211–213.
[2]               
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1991), 45.
[3]               
Merold Westphal, Philosophy and
Theology: The Relationship between Faith and Reason (Grand Rapids: Baker Academic, 2009), 19.
[4]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 2, a. 3.
[5]               
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985),
73–75.
[6]               
Gavin D’Costa, Christianity and World
Religions: Disputed Questions in the Theology of Religions (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 115–118.
[7]               
Hans Küng, Global Responsibility:
In Search of a New World Ethic (New
York: Crossroad, 1991), 56.
[8]               
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 342.
[9]               
Charles Taliaferro, Philosophy
of Religion: A Beginner’s Guide
(Oxford: Oneworld, 2009), 177–179.
[10]            
Alister E. McGrath, Christian
Theology: An Introduction, 6th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 198–200.
12.      
Penutup
12.1.   
Kesimpulan Umum
Filsafat Kristen
merupakan salah satu tradisi intelektual paling berpengaruh dalam sejarah
pemikiran Barat. Sejak masa Patristik, Abad Pertengahan, Reformasi, hingga era
modern dan kontemporer, filsafat Kristen terus berupaya meneguhkan relasi
antara iman dan akal, wahyu dan rasio, metafisika dan praksis.¹ Dari Agustinus hingga Plantinga, tradisi
ini memperlihatkan dinamika refleksi yang tidak hanya bersifat apologetis,
tetapi juga konstruktif dan kritis.²
12.2.   
Kontribusi Filsafat
Kristen
Kontribusi utama
filsafat Kristen dapat dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, ia berhasil
mengintegrasikan warisan filsafat Yunani-Romawi dengan teologi Kristen,
menghasilkan kerangka metafisik yang bertahan hingga berabad-abad.³ Kedua,
melalui skolastisisme, filsafat Kristen mengembangkan metodologi sistematis yang menjadi
fondasi universitas dan pendidikan tinggi di Barat.⁴ Ketiga, filsafat Kristen
modern memperkaya horizon pemikiran dengan dimensi eksistensial, humanistik,
dan analitik, yang memperlihatkan relevansinya di tengah dunia yang semakin
kompleks.⁵
Selain itu, filsafat
Kristen juga memberi kontribusi pada etika global, khususnya dengan penekanan
pada kasih, keadilan, dan martabat manusia sebagai imago Dei.⁶ Hal ini memperlihatkan
bahwa tradisi ini tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan iman, tetapi juga
untuk memperluas cakrawala kemanusiaan
universal.
12.3.   
Prospek Kajian
Selanjutnya
Meskipun memiliki
warisan intelektual yang kuat, filsafat Kristen tetap menghadapi tantangan
besar. Sekularisasi, pluralisme agama, krisis lingkungan, serta kemajuan sains dan teknologi menuntut
reinterpretasi terus-menerus.⁷ Relevansi filsafat Kristen di era kontemporer
bergantung pada kemampuannya untuk berdialog secara kritis dan terbuka, tanpa
kehilangan akar teologisnya.
Dengan demikian,
filsafat Kristen harus dilihat sebagai tradisi reflektif yang hidup, yang
senantiasa bergerak
antara kontinuitas dan pembaruan. Ia tidak hanya menyajikan warisan sejarah,
tetapi juga membuka horizon baru bagi pencarian kebenaran, makna, dan arah
hidup manusia di tengah dunia global.⁸
Footnotes
[1]               
Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition:
A History of the Development of Doctrine, Volume 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 19–21.
[2]               
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 210–213.
[3]               
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1991), 33–35.
[4]               
David C. Lindberg, The Beginnings of
Western Science (Chicago: University
of Chicago Press, 1992), 243–245.
[5]               
Alvin Plantinga, Warranted Christian
Belief (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 167–170.
[6]               
Hans Küng, Global Responsibility:
In Search of a New World Ethic (New
York: Crossroad, 1991), 56–58.
[7]               
Gavin D’Costa, Christianity and World
Religions: Disputed Questions in the Theology of Religions (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 118–120.
[8]               
Alister E. McGrath, Christian
Theology: An Introduction, 6th ed.
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2017), 200–202.
Daftar
Pustaka
Adams, M. M. (1987). William Ockham. University
of Notre Dame Press.
Anselm of Canterbury. (2001). Proslogion (T.
Williams, Trans.). Hackett.
Augustine. (1874). On the Grace of Christ and on
Original Sin (P. Holmes & R. E. Wallis, Trans.). T&T Clark.
Augustine. (1874). On the Merits and Forgiveness of
Sins (P. Holmes, Trans.). T&T Clark.
Augustine. (1991). Sermons (E. Hill, Trans.).
New City Press.
Augustine. (1995). On the Teacher (R. P.
Russell, Trans.). Catholic University of America Press.
Augustine. (2008). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford University Press.
Barth, K. (1975). Church Dogmatics I/1 (G. W.
Bromiley, Trans.). T&T Clark.
Boethius. (1999). The Consolation of Philosophy
(V. Watts, Trans.). Penguin Books.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy,
volume I: Greece and Rome. Image Books.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy,
volume II: Medieval philosophy. Image Books.
Darwin, C. (1859). On the origin of species.
John Murray.
D’Costa, G. (2009). Christianity and world
religions: Disputed questions in the theology of religions.
Wiley-Blackwell.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity
(G. Eliot, Trans.). Harper & Row.
Fergusson, D. (2009). Faith and its critics: A
conversation. Oxford University Press.
Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights.
Oxford University Press.
Gerson, L. P. (2005). Aristotle and other
Platonists. Cornell University Press.
Gilson, E. (1955). History of Christian philosophy in
the Middle Ages. Random House.
Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St.
Thomas Aquinas. Random House.
Gilson, E. (1960). The Christian philosophy of
Saint Augustine. Random House.
Gilson, E. (1991). The spirit of medieval
philosophy. University of Notre Dame Press.
Gregory of Nyssa. (1978). The life of Moses (A.
J. Malherbe & E. Ferguson, Trans.). Paulist Press.
Grotius, H. (2005). The rights of war and peace
(R. Tuck, Ed.). Liberty Fund.
Gutiérrez, G. (1973). A theology of liberation.
Orbis Books.
Hannay, A. (2001). Kierkegaard: A biography.
Cambridge University Press.
Hick, J. (1989). An interpretation of religion:
Human responses to the transcendent. Yale University Press.
Kelly, J. N. D. (1977). Early Christian doctrines.
A&C Black.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A.
Hannay, Trans.). Penguin.
Kuhn, T. S. (1957). The Copernican revolution.
Harvard University Press.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In search
of a new world ethic. Crossroad.
Leo XIII. (1879). Aeterni Patris. Vatican
Press.
Lindberg, D. C. (1992). The beginnings of Western
science. University of Chicago Press.
Luther, M. (1957). Heidelberg disputation (H.
J. Grimm, Trans.). Fortress Press.
Luther, M. (1970). Three treatises (C. M.
Jacobs & J. Atkinson, Trans.). Fortress Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A
report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of
Minnesota Press.
Maritain, J. (1973). Integral humanism.
University of Notre Dame Press.
Marenbon, J. (2003). Boethius. Oxford
University Press.
Marx, K. (1970). Contribution to the critique of
Hegel’s philosophy of right (J. O’Malley, Trans.). Cambridge University
Press.
May, G. (1994). Creatio ex nihilo: The doctrine of
“creation out of nothing” in early Christian thought. T&T Clark.
McGrath, A. E. (2012). Reformation thought: An
introduction (4th ed.). Wiley-Blackwell.
McGrath, A. E. (2017). Christian theology: An
introduction (6th ed.). Wiley-Blackwell.
McGrath, A. E. (2018). Theology: The basics
(4th ed.). Wiley-Blackwell.
Moltmann, J. (1985). God in creation: An ecological
doctrine of creation. Harper & Row.
Nietzsche, F. (1990). The antichrist (R. J.
Hollingdale, Trans.). Penguin.
Origen. (1966). On first principles (G. W.
Butterworth, Trans.). Harper & Row.
Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer,
Trans.). Penguin.
Pelikan, J. (1971). The Christian tradition: A
history of the development of doctrine, volume 1. University of Chicago Press.
Plantinga, A. (1967). God and other minds.
Cornell University Press.
Plantinga, A. (1984). Advice to Christian
philosophers. University of Notre Dame Press.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Plantinga, A. (2011). Where the conflict really
lies: Science, religion, and naturalism. Oxford University Press.
Rist, J. (1994). Augustine: Ancient thought
baptized. Cambridge University Press.
Southern, R. W. (1990). Saint Anselm: A portrait in
a landscape. Cambridge University Press.
Stump, E. (2003). Aquinas. Routledge.
Suárez, F. (1961). Metaphysical disputation I
(C. Vollert, Trans.). Marquette University Press.
Taliaferro, C. (1998). Contemporary philosophy of
religion. Blackwell.
Taliaferro, C. (2009). Philosophy of religion: A
beginner’s guide. Oneworld.
Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon of
man (B. Wall, Trans.). Harper & Row.
Tertullian. (1885). Prescription against heretics
(P. Holmes, Trans.). T&T Clark.
Weber, M. (2005). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Routledge.
Westphal, M. (1987). Kierkegaard’s critique of
reason and society. Penn State University Press.
Westphal, M. (2001). Overcoming onto-theology:
Toward a postmodern Christian faith. Fordham University Press.
Westphal, M. (2009). Philosophy and theology: The
relationship between faith and reason. Baker Academic.
Zizioulas, J. (1985). Being as communion. St.
Vladimir’s Seminary Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar