Principle of Parsimony
Kajian Epistemologis, Metodologis, dan Ontologis atas
Principle of Parsimony
Alihkan ke: Logika
dalam Filsafat.
Logical
Fallacies, Penalaran,
Teori
Argumen dalam Logika, Hidup
Logis dan Etis.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif prinsip
kesederhanaan atau Principle of Parsimony—yang dikenal luas sebagai Occam’s
Razor—dalam konteks filsafat dan ilmu pengetahuan. Kajian ini berangkat
dari pertanyaan mendasar: apakah kesederhanaan merupakan sifat ontologis
realitas, kriteria epistemik kebenaran, atau sekadar strategi metodologis dalam
penyusunan teori ilmiah? Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis,
metodologis, dan linguistik, artikel ini menelusuri asal-usul prinsip tersebut
sejak William of Ockham dan transformasinya dalam tradisi empirisme,
rasionalisme, dan sains modern hingga aplikasinya dalam filsafat kontemporer.
Pembahasan menunjukkan bahwa prinsip kesederhanaan
memiliki tiga dimensi yang saling terkait: (1) ontologis, yang berakar
pada gagasan ekonomi entitas dan nominalisme Ockham; (2) epistemologis,
sebagai nilai pengetahuan yang menyeimbangkan antara kejelasan dan kompleksitas
dalam inferensi ilmiah; serta (3) metodologis, sebagai pedoman dalam
pemilihan teori dan model dalam sains modern, termasuk dalam biologi
evolusioner, kosmologi, dan kecerdasan buatan. Selain itu, prinsip ini juga
memiliki implikasi dalam logika dan filsafat bahasa, di mana kesederhanaan
dipandang sebagai kriteria formalisasi dan kejelasan semantik.
Namun, artikel ini juga menyoroti berbagai kritik
terhadap prinsip kesederhanaan—mulai dari relativitas definisional, tantangan
pluralisme ilmiah, hingga penolakan dari teori kompleksitas dan filsafat
postmodern. Dari perspektif sintesis filosofis, kesederhanaan tidak dipahami
sebagai dogma absolut, melainkan sebagai bentuk rasionalitas reflektif
yang mengatur hubungan manusia dengan kompleksitas realitas. Dalam konteks
kontemporer, prinsip ini tetap relevan sebagai paradigma etis, epistemik, dan
ekologis yang menuntun manusia berpikir efisien, terbuka, dan bertanggung jawab
di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas dunia modern.
Kata Kunci: Principle
of Parsimony, Occam’s Razor, kesederhanaan, epistemologi, ontologi,
metodologi ilmiah, rasionalitas reflektif, pluralisme ilmiah, filsafat
kontemporer.
PEMBAHASAN
Prinsip Kesederhanaan dalam Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan
1.          
Pendahuluan
Prinsip kesederhanaan, yang dalam tradisi filsafat
sering disebut Principle of Parsimony atau Occam’s Razor,
merupakan salah satu asas paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran ilmiah dan
filosofis. Secara umum, prinsip ini menyatakan bahwa di antara dua atau lebih
penjelasan yang sama-sama memadai terhadap suatu fenomena, penjelasan yang
paling sederhana sebaiknya dipilih. William of Ockham (1287–1347), teolog dan
filsuf skolastik Inggris, merumuskannya dalam bentuk adagium yang terkenal: “Entia
non sunt multiplicanda praeter necessitatem”—“Entitas tidak boleh
digandakan tanpa kebutuhan.”¹ Prinsip ini, yang awalnya lahir dari upaya
teologis untuk mempertahankan kesederhanaan dalam konsepsi realitas dan Tuhan,
berkembang menjadi fondasi epistemologis dan metodologis dalam sains modern.
Dalam konteks filsafat ilmu, prinsip kesederhanaan
berfungsi sebagai pedoman dalam menilai keunggulan suatu teori. Karl Popper
menegaskan bahwa teori yang lebih sederhana, apabila memiliki daya jelaskan dan
daya prediksi yang sama dengan teori yang lebih kompleks, sebaiknya diutamakan
karena lebih falsifiabel dan ekonomis secara epistemik.² Begitu pula dalam
pandangan Elliott Sober, kesederhanaan bukan hanya preferensi estetis,
melainkan instrumen rasional untuk menghindari overfitting dalam inferensi
ilmiah.³ Namun demikian, problem mendasar muncul ketika prinsip ini
dikonfrontasikan dengan kerumitan realitas: apakah alam semesta memang
sederhana, ataukah kesederhanaan hanyalah refleksi dari keterbatasan
rasionalitas manusia?
Pertanyaan tersebut membuka ruang perdebatan
filosofis antara dimensi ontologis dan epistemologis dari prinsip
kesederhanaan. Secara ontologis, prinsip ini berimplikasi pada pandangan bahwa realitas
memiliki struktur minimalis—bahwa entitas atau postulat metafisik tidak perlu
diperbanyak tanpa alasan kuat.⁴ Sebaliknya, secara epistemologis, prinsip ini
berfungsi sebagai alat heuristik untuk memilih teori yang lebih ekonomis,
meskipun mungkin tidak selalu merepresentasikan realitas secara penuh.⁵ Di
sinilah muncul ketegangan antara truth dan simplicity: apakah
kesederhanaan menjamin kebenaran, atau sekadar efisiensi kognitif?
Dalam perkembangan mutakhir, Principle of
Parsimony juga menjadi topik lintas disiplin—dari biologi evolusioner (phylogenetic
parsimony), teori probabilitas (Bayesian Occam’s Razor), hingga
kecerdasan buatan dan machine learning.⁶ Kompleksitas epistemik abad
ke-21 menuntut reinterpretasi prinsip ini: kesederhanaan tidak lagi sekadar
pengurangan, melainkan juga kemampuan untuk mengekspresikan kompleksitas dengan
struktur minimal. Dengan demikian, prinsip kesederhanaan bukan sekadar alat
metodologis, tetapi juga cermin dari etos rasionalitas manusia yang terus
berusaha menemukan keteraturan di balik kerumitan dunia.
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis Principle
of Parsimony secara menyeluruh dari tiga dimensi utama: ontologis,
epistemologis, dan metodologis. Dengan pendekatan filosofis-kritis, pembahasan
akan menelusuri akar historisnya sejak abad pertengahan hingga implikasinya
dalam filsafat dan sains kontemporer. Kajian ini diharapkan dapat
memperlihatkan bahwa kesederhanaan bukanlah prinsip absolut, melainkan sikap
epistemik yang harus selalu dikaji ulang dalam konteks perubahan paradigma
pengetahuan.
Footnotes
[1]               
¹ William of Ockham, Summa Logicae, ed.
Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1951), 12.
[2]               
² Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 142–145.
[3]               
³ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford
University Press, 2015), 3–7.
[4]               
⁴ Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary
Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2017), 57–59.
[5]               
⁵ Peter Lipton, Inference to the Best
Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 118–122.
[6]               
⁶ John Burnham dan Kenneth Anderson, Model
Selection and Multimodel Inference: A Practical Information-Theoretic Approach,
2nd ed. (New York: Springer, 2002), 8–11.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogi Gagasan
Asal-usul Principle of Parsimony tidak dapat
dilepaskan dari konteks intelektual abad pertengahan, khususnya dalam tradisi
skolastik yang berusaha memadukan iman dan rasio. Prinsip ini pertama kali
diformulasikan secara eksplisit oleh William of Ockham (1287–1347),
seorang filsuf dan teolog Fransiskan yang berupaya membatasi proliferasi
entitas metafisik dalam teologi dan logika.¹ Ockham menolak universalia sebagai
entitas yang benar-benar eksis di luar pikiran, dan karenanya menegaskan bahwa
“tidak seharusnya entitas digandakan tanpa alasan yang perlu” (entia
non sunt multiplicanda praeter necessitatem).² Dengan demikian, prinsip
kesederhanaan awalnya bersifat ontologis, yakni berfungsi untuk menolak
posulat metafisik yang berlebihan dalam menjelaskan realitas.
Namun, akar intelektual prinsip ini dapat ditelusuri
lebih jauh ke Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam Posterior
Analytics, Aristoteles menekankan bahwa penjelasan yang baik adalah
penjelasan yang tidak menambah kompleksitas tanpa alasan yang sah; setiap
penjelasan harus bersifat proporsional dengan fenomena yang dijelaskan.³ Thomas
Aquinas, sementara itu, menafsirkan kesederhanaan dalam konteks teologis:
kesederhanaan adalah sifat ilahi—Tuhan sebagai actus purus tidak
memiliki komposisi, karena segala sesuatu yang kompleks mengandaikan potensi
dan kekurangan.⁴ Dengan demikian, sebelum menjadi prinsip metodologis sains,
kesederhanaan telah memiliki status metafisik dalam teologi Kristen sebagai
lambang kesempurnaan dan kebenaran.
Pada masa Renaisans dan awal modernitas,
prinsip kesederhanaan mulai mengalami transformasi dari asas metafisik menjadi
asas metodologis. Dalam karya Isaac Newton, Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica (1687), terdapat ungkapan: “Nature does nothing in
vain, and more is in vain when less will serve; for Nature is pleased with
simplicity.”⁵ Prinsip ini, dalam kerangka Newtonian, menjadi dasar untuk
menolak hipotesis yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sementara René
Descartes menekankan bahwa metode ilmiah harus berangkat dari ide-ide yang
jelas dan sederhana sebagai landasan deduksi yang pasti.⁶ Kesederhanaan, dengan
demikian, beralih fungsi menjadi prinsip epistemologis—bukan lagi untuk
menyatakan apa yang ada (what is), melainkan bagaimana kita sebaiknya
mengetahui (how we know).
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20,
prinsip ini semakin mengakar dalam metodologi ilmiah. Dalam logika empirisme
dan positivisme logis, prinsip kesederhanaan berperan sebagai kriteria
keunggulan teoretis. Ernst Mach dan Pierre Duhem menekankan
pentingnya ekonomi pemikiran (economy of thought)—yakni bahwa teori
ilmiah yang baik adalah teori yang paling efisien dalam menjelaskan fakta
dengan postulat minimal.⁷ Dalam tradisi Vienna Circle, tokoh seperti Rudolf
Carnap dan Hans Reichenbach menganggap kesederhanaan sebagai faktor
penting dalam pembentukan bahasa ilmiah dan konfirmasi empiris.⁸
Memasuki abad ke-20 akhir, perdebatan
mengenai status prinsip kesederhanaan semakin kompleks. Karl Popper
melihat kesederhanaan sebagai ekspresi dari falsifiabilitas: teori yang lebih
sederhana lebih mudah diuji dan karena itu lebih ilmiah.⁹ Namun, Thomas Kuhn
dan Imre Lakatos mengkritik pandangan ini, dengan menekankan bahwa
kesederhanaan tidak dapat dipisahkan dari konteks paradigma dan program riset
yang berlaku.¹⁰ Kesederhanaan menjadi relatif terhadap kerangka konseptual,
bukan prinsip universal. Dalam pandangan ini, prinsip kesederhanaan berubah
dari norma universal rasionalitas menjadi instrumen heuristik
kontekstual.
Dalam filsafat kontemporer, prinsip ini
telah menembus berbagai disiplin: dari biologi evolusioner dengan
pendekatan phylogenetic parsimony, hingga kosmologi teoretis yang
mempertimbangkan apakah hipotesis multisemesta melanggar prinsip
kesederhanaan.¹¹ Dalam ranah informatika dan kecerdasan buatan, Occam’s
Razor direinterpretasikan secara matematis melalui teori Minimum
Description Length (MDL) dan prinsip Bayesian Occam’s Razor, yang
menyatakan bahwa model terbaik adalah yang memberikan keseimbangan optimal
antara kompleksitas dan akurasi.¹²
Dari perjalanan historis ini tampak bahwa Principle
of Parsimony bukanlah doktrin tunggal yang statis, melainkan prinsip yang
berevolusi mengikuti perubahan paradigma rasionalitas manusia. Ia bermula
sebagai dogma metafisik dalam teologi skolastik, lalu menjadi prinsip metodologis
dalam ilmu modern, dan kini tampil sebagai heuristik formal dalam sains
kontemporer. Genealogi ini menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan sekadar
estetika pemikiran, melainkan ekspresi dari dinamika epistemik manusia dalam
memahami keteraturan dunia.
Footnotes
[1]               
¹ Marilyn McCord Adams, William Ockham
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 34–38.
[2]               
² William of Ockham, Summa Logicae, ed.
Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1951), 14.
[3]               
³ Aristotle, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes (Oxford: Oxford University Press, 1994), 71b16–72a5.
[4]               
⁴ Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3,
a.7 (New York: Benziger Bros., 1947).
[5]               
⁵ Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), Book III, General Scholium.
[6]               
⁶ René Descartes, Rules for the Direction of the
Mind, trans. Elizabeth Anscombe and Peter Geach (Cambridge: Cambridge
University Press, 1976), Rule V.
[7]               
⁷ Ernst Mach, The Science of Mechanics,
trans. Thomas McCormack (Chicago: Open Court, 1919), 490–495.
[8]               
⁸ Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Berkeley: University of California Press, 1967), 57–60.
[9]               
⁹ Karl R. Popper, Conjectures and Refutations:
The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 145–149.
[10]            
¹⁰ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 167–169;
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 32–36.
[11]            
¹¹ Elliott Sober, Reconstructing the Past: Parsimony,
Evolution, and Inference (Cambridge: MIT Press, 1988), 23–25.
[12]            
¹² Jorma Rissanen, Information and Complexity in
Statistical Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.
3.          
Formulasi
Filosofis Principle of Parsimony
Prinsip
kesederhanaan (Principle of Parsimony) memiliki
berbagai formulasi yang berkembang seiring evolusi pemikiran filosofis dan
ilmiah. Meskipun sering disederhanakan menjadi adagium “pilihlah penjelasan
paling sederhana”, makna filosofis di baliknya jauh lebih kompleks. Prinsip
ini dapat diformulasikan dalam tiga dimensi utama: ontologis,
epistemologis,
dan metodologis.
Ketiganya saling berkaitan, namun beroperasi pada aras konseptual yang
berbeda—yakni mengenai apa yang ada, bagaimana
kita mengetahui, dan bagaimana kita menalar serta menjelaskan.
3.1.      
Formulasi Ontologis:
Kesederhanaan dalam Struktur Realitas
Secara ontologis, Principle
of Parsimony berakar pada pandangan bahwa realitas bersifat
ekonomis dan tidak mengandung entitas yang tidak perlu. William of Ockham
sendiri tidak hanya berbicara tentang kesederhanaan dalam berpikir, melainkan
juga menolak keberadaan universalia di luar pikiran.¹ Dalam konteks ini,
prinsip kesederhanaan adalah ekspresi nominalisme ontologis, yang
berupaya meniadakan entitas metafisik yang tidak memiliki justifikasi empiris
atau logis.²
Dalam
perkembangannya, prinsip ini mendapat dukungan dari para filsuf empiris seperti
John
Locke dan David Hume, yang menolak
entitas metafisik di luar pengalaman inderawi.³ Bagi mereka, kesederhanaan
ontologis berarti menahan diri untuk tidak menambahkan “penyebab tersembunyi”
(occult
causes) atau esensi-esensi yang tidak dapat diverifikasi. Dalam
filsafat kontemporer, gagasan ini diteruskan oleh Quine
melalui konsep “ontological commitment,” yakni bahwa eksistensi suatu
entitas hanya dibenarkan sejauh ia diperlukan oleh teori terbaik kita tentang
dunia.⁴ Dengan demikian, Principle of Parsimony secara
ontologis menjadi panduan untuk meminimalkan entitas yang diasumsikan tanpa
mengorbankan daya jelaskan teori.
3.2.      
Formulasi
Epistemologis: Kesederhanaan sebagai Nilai Pengetahuan
Secara
epistemologis, prinsip ini menempati posisi sebagai nilai
epistemik—yakni kriteria untuk menilai keunggulan suatu teori.
Elliott Sober menekankan bahwa kesederhanaan memiliki dua bentuk: simplicity
of theory (jumlah hipotesis atau parameter yang lebih sedikit) dan simplicity
of explanation (struktur penjelasan yang lebih efisien).⁵ Namun,
tidak semua bentuk kesederhanaan bersifat epistemik; kadang ia juga berfungsi
estetis—teori sederhana sering dianggap lebih “indah” dan karenanya lebih
meyakinkan, meskipun belum tentu lebih benar.⁶
Karl Popper
memandang kesederhanaan sebagai konsekuensi logis dari prinsip falsifiabilitas:
teori yang lebih sederhana lebih mudah diuji karena menghasilkan lebih banyak
konsekuensi empiris yang dapat disangkal.⁷ Sementara itu, Peter Lipton dalam Inference
to the Best Explanation menegaskan bahwa kesederhanaan bekerja
secara abduktif—penjelasan
yang sederhana lebih mungkin benar karena lebih ekonomis dalam mengasumsikan
sebab-sebab.⁸ Namun, perdebatan muncul: apakah kesederhanaan benar-benar
berkontribusi pada kebenaran, atau sekadar memudahkan manusia dalam menavigasi
kompleksitas pengetahuan? Para epistemolog kontemporer seperti Merrilee
Salmon dan Michael Friedman mengingatkan
bahwa kesederhanaan tidak boleh diperlakukan sebagai bukti kebenaran, tetapi
sebagai heuristik rasional dalam konteks ketidakpastian.⁹
3.3.      
Formulasi
Metodologis: Kesederhanaan dalam Praktik Ilmiah
Dimensi ketiga,
yakni metodologis, menempatkan prinsip kesederhanaan sebagai pedoman dalam
penyusunan dan pemilihan teori. Dalam sains modern, prinsip ini sering
dirumuskan dalam bentuk perbandingan model: di antara model-model yang memiliki
daya jelaskan setara, model dengan asumsi paling sedikit dan struktur paling
sederhana dianggap lebih unggul.¹⁰ Pendekatan ini dapat ditemukan dalam
kerangka Bayesian Occam’s Razor, yang
menyeimbangkan antara kompleksitas model dan kekuatan prediktif.¹¹
Dalam ilmu biologi
evolusioner, prinsip ini diwujudkan dalam metode parsimony
analysis, yakni memilih pohon filogenetik yang memerlukan
jumlah perubahan evolusioner paling sedikit untuk menjelaskan data yang ada.¹²
Sedangkan dalam fisika dan kosmologi, prinsip ini menjadi dasar bagi penolakan
terhadap hipotesis tambahan seperti “multiverse” atau “hidden
variables” kecuali jika dibutuhkan oleh bukti empiris.¹³ Di sisi lain, para
kritikus seperti Nancy Cartwright berargumen
bahwa dunia ilmiah mungkin tidak sesederhana yang kita harapkan, dan bahwa
kesederhanaan metodologis sering kali mengabaikan kompleksitas fenomena
aktual.¹⁴
3.4.      
Relasi Antardimensi
dan Problematika Filosofis
Ketiga dimensi di
atas menunjukkan bahwa Principle of Parsimony bukanlah
prinsip tunggal, melainkan suatu kerangka nilai rasionalitas ilmiah.
Kesederhanaan ontologis membatasi jumlah entitas, kesederhanaan epistemologis
mengatur cara kita menilai teori, dan kesederhanaan metodologis memandu cara
kita memilih model penjelasan. Namun, antara ketiganya terdapat ketegangan
inheren: teori yang sederhana secara ontologis belum tentu sederhana secara
metodologis, dan sebaliknya.¹⁵
Dilema ini
menimbulkan perdebatan filosofis yang masih terbuka: apakah kesederhanaan
merupakan prinsip normatif (ought to be simple) atau sekadar
prinsip pragmatis (it works better if simple)? Dalam
konteks filsafat sains kontemporer, banyak yang berpendapat bahwa Principle
of Parsimony bersifat defeasible—artinya, prinsip ini
berlaku sejauh tidak bertentangan dengan bukti empiris yang kuat.¹⁶ Maka,
kesederhanaan bukanlah kebenaran, melainkan strategi epistemik yang
merefleksikan keterbatasan dan kreativitas rasio manusia dalam memahami dunia
yang kompleks.
Footnotes
[1]               
¹ William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner
(New York: Franciscan Institute, 1951), 10–15.
[2]               
² Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1987), 42–45.
[3]               
³ David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1977), 58–60.
[4]               
⁴ W. V. O. Quine, “On What There Is,” Review of Metaphysics 2,
no. 5 (1948): 21–38.
[5]               
⁵ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press,
2015), 8–12.
[6]               
⁶ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape,
2004), 295–299.
[7]               
⁷ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 139–142.
[8]               
⁸ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed.
(London: Routledge, 2004), 118–120.
[9]               
⁹ Merrilee H. Salmon, Introduction to the Philosophy of Science
(Indianapolis: Hackett, 1999), 72–74; Michael Friedman, Dynamics of Reason
(Stanford: CSLI Publications, 2001), 52–55.
[10]            
¹⁰ Kenneth Burnham dan David Anderson, Model Selection and
Multimodel Inference: A Practical Information-Theoretic Approach, 2nd ed.
(New York: Springer, 2002), 20–23.
[11]            
¹¹ Jorma Rissanen, Information and Complexity in Statistical
Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.
[12]            
¹² Elliott Sober, Reconstructing the Past: Parsimony, Evolution,
and Inference (Cambridge: MIT Press, 1988), 23–27.
[13]            
¹³ Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning,
and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 201–203.
[14]            
¹⁴ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford:
Oxford University Press, 1983), 12–17.
[15]            
¹⁵ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy
of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.
[16]            
¹⁶ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 221–224.
4.          
Dasar
Ontologis dan Metafisik
Pembahasan mengenai Principle
of Parsimony tidak akan lengkap tanpa menelusuri dasar ontologis dan
metafisik yang menopangnya. Meskipun prinsip ini kerap dianggap sebagai panduan
metodologis atau kriteria epistemik, akar terdalamnya sesungguhnya berakar pada
asumsi ontologis tentang sifat realitas itu sendiri—yakni
bahwa realitas bersifat sederhana, teratur, dan tidak mengandung entitas yang
berlebihan. Dalam kerangka metafisika, parsimony bukan sekadar strategi
berpikir, melainkan klaim implisit tentang struktur ontologis dunia.¹
4.1.      
Ockham dan
Nominalisme Ontologis
Bagi William
of Ockham, prinsip kesederhanaan muncul sebagai konsekuensi
dari nominalisme metafisiknya. Dalam Summa Logicae, Ockham menolak
gagasan bahwa universalia memiliki eksistensi mandiri di luar pikiran; bagi
Ockham, hanya individu yang benar-benar ada (res singularis est ens verum).²
Dengan demikian, universalia hanyalah nama (nomina) atau konsep mental yang
digunakan untuk mengelompokkan individu yang serupa.³ Dari sinilah muncul
adagium entia
non sunt multiplicanda praeter necessitatem, yang tidak hanya
bermakna metodologis tetapi juga ontologis: kita tidak boleh mengakui
keberadaan sesuatu kecuali bila ada kebutuhan logis atau empiris yang
menuntutnya.⁴
Nominalisme Ockham
memotong realitas dari entitas-entitas metafisik yang tidak dapat dibuktikan,
dan karena itu prinsip kesederhanaan menjadi wujud dari ontological
economy—yakni penghematan dalam komitmen ontologis. Prinsip ini
berimplikasi bahwa dunia pada dasarnya terdiri atas individu konkret, dan bahwa
setiap upaya untuk menambahkan entitas abstrak tanpa dasar empiris adalah bentuk
spekulasi metafisik yang tidak sah.⁵ Dalam konteks ini, prinsip kesederhanaan
menandai pergeseran radikal dari realisme skolastik menuju empirisme awal.
4.2.      
Ontologi
Kesederhanaan: Antara Realisme dan Instrumentalisme
Secara historis,
prinsip kesederhanaan memunculkan dua interpretasi metafisik utama: realisme
parsimonis dan instrumentalisme epistemik.
Dalam interpretasi realis, kesederhanaan dianggap sebagai cerminan dari
struktur dunia itu sendiri—yakni bahwa alam semesta secara ontologis sederhana
dan elegan.⁶ Pendekatan ini dapat ditemukan dalam pandangan Isaac
Newton, Albert Einstein, dan Roger
Penrose, yang meyakini bahwa hukum-hukum alam bersifat indah
dan ekonomis, bukan karena preferensi manusia, melainkan karena demikianlah
realitas itu terstruktur.⁷
Sebaliknya, dalam
interpretasi instrumentalis, kesederhanaan tidak mengacu pada realitas
eksternal, tetapi hanya pada efisiensi kognitif manusia. Kesederhanaan adalah
cara berpikir yang memungkinkan kita untuk menjelaskan fenomena tanpa
kehilangan kendali atas kompleksitas empirisnya.⁸ Dengan demikian, parsimony
bukanlah sifat dunia, melainkan fungsi rasionalitas—sebuah
konstruksi epistemik yang membantu manusia menavigasi keterbatasan pengetahuan.
Dalam kerangka ini, kesederhanaan tidak menjamin kebenaran, tetapi efisiensi
dalam berpikir.⁹
Debat antara dua
posisi ini menyingkap persoalan mendasar dalam metafisika: apakah dunia
sederhana karena ia memang demikian (ontological simplicity), atau
karena kita memilih untuk memahaminya demikian (epistemic preference for simplicity)?
Para filsuf seperti Elliott Sober dan David
Lewis berpendapat bahwa kesederhanaan memiliki makna ganda:
secara metafisik, ia mengatur bagaimana entitas harus dipostulatkan; secara
epistemik, ia membatasi cara teori diorganisir.¹⁰
4.3.      
Kesederhanaan,
Keberadaan, dan Nilai Ontologis
Dalam filsafat
kontemporer, diskursus mengenai ontological parsimony sering
dikaitkan dengan konsep ontological commitment yang
diperkenalkan oleh W. V. O. Quine.¹¹ Quine
menegaskan bahwa komitmen ontologis kita ditentukan oleh apa yang diperlukan
untuk membuat teori kita benar. Karena itu, prinsip kesederhanaan berfungsi
sebagai panduan untuk meminimalkan entitas yang diandaikan, sejauh entitas
tersebut tidak berkontribusi terhadap kebenaran empiris teori.¹² Dalam kerangka
Quinean ini, kesederhanaan tidak sekadar moralitas berpikir, melainkan logika
eksistensial yang membatasi isi dunia teoritis kita.
Sementara itu, dalam
ontologi analitik modern, muncul pendekatan metafisika minimalis, yang
berargumen bahwa struktur dasar realitas cukup dijelaskan oleh entitas paling
sederhana yang tidak dapat direduksi lebih jauh—misalnya partikel dasar atau
fakta fundamental.¹³ Pandangan ini berbeda dari reduksionisme mekanistik klasik
karena menekankan parsimony of postulates ketimbang
eliminasi total kompleksitas. Kesederhanaan, dalam pengertian ini, bersifat struktural,
bukan kuantitatif semata.¹⁴
Namun, tidak semua
filsuf menerima klaim bahwa realitas itu sederhana. Dalam tradisi proses
metafisika (Whitehead, Bergson) dan realisme
spekulatif (Meillassoux, Harman), kesederhanaan dianggap
sebagai ilusi metodologis yang menutupi kedalaman ontologis dunia.¹⁵ Bagi
mereka, realitas tidak sederhana, melainkan penuh lipatan, relasi, dan
emergensi. Prinsip kesederhanaan, dalam pandangan ini, hanyalah refleksi dari
kecenderungan kognitif manusia untuk menundukkan yang kompleks menjadi yang
dapat dipahami.¹⁶
4.4.      
Kritik dan Sintesis
Ontometafisik
Perdebatan metafisik
seputar Principle
of Parsimony menegaskan bahwa prinsip ini tidak bisa dipisahkan
dari asumsi ontologis yang lebih luas tentang hakikat eksistensi. Jika prinsip
ini diterima secara mutlak, maka segala bentuk pluralitas metafisik (seperti
esensi, sebab final, atau multisemesta) akan ditolak sebagai spekulatif. Namun,
jika prinsip ini diperlunak, ia menjadi sekadar panduan heuristik untuk
mengatur kompleksitas ontologis.¹⁷
Beberapa filsuf
kontemporer berupaya merumuskan posisi sintesis: bahwa kesederhanaan bukan
kualitas metafisik realitas, melainkan struktur emergen rasionalitas manusia dalam
menghadapi dunia.¹⁸ Dalam pandangan ini, kesederhanaan
berfungsi seperti “bahasa ontologis”—ia tidak menggambarkan dunia secara
langsung, tetapi menyediakan pola keteraturan yang memungkinkan dunia untuk
dapat dipahami. Dengan demikian, dasar ontologis dan metafisik dari Principle
of Parsimony tidak bersifat absolut, melainkan dialogis: ia
menghubungkan antara apa yang ada dan cara kita memahaminya.
Footnotes
[1]               
¹ Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th
ed. (New York: Routledge, 2017), 55–57.
[2]               
² William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner
(New York: Franciscan Institute, 1951), 10–14.
[3]               
³ Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1987), 41–43.
[4]               
⁴ Jorge Gracia, Individuation in Scholasticism (Albany: SUNY
Press, 1984), 178–182.
[5]               
⁵ Paul Vincent Spade, “Ockham’s Nominalism,” The Cambridge
Companion to Ockham, ed. Paul Vincent Spade (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 100–105.
[6]               
⁶ David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 3–5.
[7]               
⁷ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape,
2004), 295–299.
[8]               
⁸ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 155–158.
[9]               
⁹ Wesley C. Salmon, Scientific Explanation and the Causal Structure
of the World (Princeton: Princeton University Press, 1984), 243–247.
[10]            
¹⁰ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 12–16.
[11]            
¹¹ W. V. O. Quine, “On What There Is,” Review of Metaphysics
2, no. 5 (1948): 21–38.
[12]            
¹² Peter van Inwagen, Ontology, Identity, and Modality: Essays in
Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 48–51.
[13]            
¹³ Jonathan Schaffer, “On What Grounds What,” in Metametaphysics:
New Essays on the Foundations of Ontology, ed. David Chalmers et al.
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 347–383.
[14]            
¹⁴ Kit Fine, The Structure of Reality (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 14–17.
[15]            
¹⁵ Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 23–25; Quentin Meillassoux, After Finitude (London:
Continuum, 2008), 39–42.
[16]            
¹⁶ Graham Harman, The Quadruple Object (Winchester: Zero
Books, 2011), 21–24.
[17]            
¹⁷ Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 79–83.
[18]            
¹⁸ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 201–205.
5.          
Dimensi
Epistemologis
Dimensi
epistemologis dari Principle of Parsimony berkaitan
erat dengan pertanyaan tentang bagaimana manusia memperoleh, membenarkan, dan
menilai pengetahuan. Jika pada dimensi ontologis prinsip ini berbicara mengenai
struktur realitas yang minimal dan teratur, maka secara epistemologis ia
berfungsi sebagai kriteria rasionalitas dan validitas teori.
Dalam epistemologi modern dan kontemporer, kesederhanaan (simplicity)
dipandang bukan hanya sebagai preferensi estetika, melainkan sebagai nilai
epistemik (epistemic virtue) yang membantu
kita menentukan teori mana yang lebih dapat dipercaya.¹
5.1.      
Kesederhanaan
sebagai Nilai Epistemik
Sejak masa Francis
Bacon dan Isaac Newton, kesederhanaan
telah dianggap sebagai tanda kematangan intelektual dan keandalan pengetahuan.
Bacon menegaskan bahwa teori yang baik harus memadatkan keragaman fenomena
menjadi prinsip-prinsip yang umum dan jelas, tanpa mengada-adakan hipotesis
yang tidak perlu.² Dalam pandangan ini, kesederhanaan bukan sekadar keindahan
logis, melainkan bentuk ekonomi intelektual yang
mencerminkan disiplin rasionalitas ilmiah.
Dalam epistemologi
kontemporer, Elliott Sober menegaskan bahwa
kesederhanaan memiliki peran ganda: pertama, sebagai kriteria pemilihan teori (theory
choice), dan kedua, sebagai bentuk prior epistemic probability—yakni
keyakinan awal bahwa teori sederhana lebih mungkin benar.³ Sementara Peter
Lipton berargumen bahwa dalam inferensi ke penjelasan terbaik (inference
to the best explanation), teori sederhana lebih unggul karena
meminimalkan entitas dan asumsi tanpa kehilangan daya jelaskan.⁴ Dengan
demikian, kesederhanaan epistemik dapat dipahami sebagai bentuk kepercayaan
rasional terhadap keteraturan dunia: semakin sedikit asumsi yang diperlukan
untuk menjelaskan suatu fenomena, semakin tinggi kemungkinan penjelasan itu
benar.⁵
Namun, prinsip ini
menghadapi persoalan mendasar: mengapa kesederhanaan harus diutamakan?
Tidak ada argumen logis yang menunjukkan bahwa dunia niscaya sederhana. Karena
itu, banyak filsuf sains menganggap kesederhanaan bukan sebagai jaminan
kebenaran, melainkan sebagai aturan praktis (heuristic
rule) yang terbukti efektif dalam sejarah ilmu pengetahuan.⁶
5.2.      
Kesederhanaan dan
Rasionalitas Ilmiah
Dalam konteks
metodologi ilmiah, kesederhanaan berfungsi sebagai virtue of theory choice yang
berdampingan dengan nilai-nilai epistemik lain seperti koherensi, akurasi, dan
jangkauan eksplanatoris. Thomas Kuhn menegaskan bahwa
komunitas ilmiah sering kali memilih teori yang lebih sederhana karena lebih
mudah diajarkan, diterapkan, dan dikembangkan dalam kerangka paradigma.⁷ Namun,
menurut Imre Lakatos, kesederhanaan
tidak bisa berdiri sendiri; ia hanya memiliki makna dalam konteks research
programme yang berhasil menghasilkan prediksi baru dan menghindari ad hoc
hypotheses.⁸
Kesederhanaan juga
memiliki implikasi logis terhadap struktur inferensi ilmiah.
Dalam kerangka Bayesian epistemology, prinsip
kesederhanaan muncul dalam bentuk Bayesian Occam’s Razor: teori yang
lebih kompleks secara probabilistik memiliki prior yang lebih kecil, kecuali
jika didukung oleh bukti yang signifikan.⁹ Dengan kata lain, epistemologi
probabilistik menempatkan kesederhanaan sebagai bentuk preferensi rasional
terhadap teori yang memuat lebih sedikit parameter bebas.¹⁰ Prinsip ini
mencerminkan bahwa kesederhanaan bukan hanya norma estetika, melainkan
mekanisme formal untuk menyeimbangkan antara kompleksitas model dan kekuatan penjelasan.¹¹
5.3.      
Problem Induksi dan
Justifikasi Rasional Kesederhanaan
Meski kesederhanaan
telah terbukti bermanfaat secara pragmatis, justifikasi epistemologisnya tetap
menjadi masalah filosofis yang belum terselesaikan. Apakah kesederhanaan dapat
dijustifikasi secara rasional, ataukah ia hanya tradisi kebiasaan yang diwarisi
dari sejarah sains? Pertanyaan ini berkaitan erat dengan problem
induksi sebagaimana dirumuskan oleh David
Hume.¹² Menurut Hume, tidak ada dasar rasional untuk meyakini
bahwa pola yang sederhana di masa lalu akan berlanjut di masa depan. Maka, jika
kesederhanaan diambil sebagai pedoman pengetahuan, hal itu lebih merupakan
bentuk kepercayaan pragmatis daripada kepastian logis.¹³
Karl
Popper mencoba memecahkan dilema ini melalui konsep falsifiabilitas.
Ia berpendapat bahwa teori yang sederhana lebih baik karena menghasilkan lebih
banyak konsekuensi yang dapat diuji; dengan demikian, ia lebih terbuka terhadap
penyangkalan empiris.¹⁴ Popper tidak mengatakan bahwa kesederhanaan menjamin
kebenaran, melainkan bahwa teori sederhana lebih ilmiah karena lebih
berisiko untuk salah. Dalam konteks ini, kesederhanaan menjadi kriteria rasionalitas
kritis, bukan kebenaran ontologis.
Namun, para
epistemolog pasca-positivis seperti Bas van Fraassen mengingatkan
bahwa kesederhanaan hanyalah salah satu dari sekian banyak nilai yang
memengaruhi pemilihan teori.¹⁵ Dalam pandangannya, kebenaran ilmiah tidak dapat
direduksi pada kesederhanaan karena dunia bisa saja lebih kompleks daripada
teori kita. Prinsip kesederhanaan, karenanya, lebih tepat dipahami sebagai
ekspresi dari pragmatic virtue—yakni alat yang
memandu kita menuju pemahaman yang lebih efisien, bukan sebagai jaminan
korespondensi terhadap realitas.¹⁶
5.4.      
Kesederhanaan,
Kebenaran, dan Rasionalitas Terbuka
Kesimpulan
epistemologis dari perdebatan ini adalah bahwa Principle of Parsimony berfungsi
sebagai bentuk rasionalitas terbuka (open
rationality). Ia tidak mengklaim kepastian, tetapi menawarkan arah
berpikir yang efisien dan produktif. Kesederhanaan, dalam pengertian ini,
menjadi nilai reflektif: ia mengatur
hubungan antara keterbatasan kognitif manusia dan kompleksitas dunia yang
dihadapinya.¹⁷
Dalam kerangka ini,
prinsip kesederhanaan tidak lagi dipahami sebagai dogma epistemik, melainkan
sebagai mekanisme penyeimbang antara
tuntutan kognitif dan realitas empiris. Ia membantu ilmu pengetahuan
menghindari inflasi teori tanpa menutup diri terhadap kompleksitas yang sesungguhnya ada.¹⁸ Dengan demikian,
dimensi epistemologis Principle of Parsimony memperlihatkan
bahwa kesederhanaan adalah ekspresi dari keterbatasan manusia yang
rasional—sebuah kebijaksanaan ilmiah yang lahir dari kesadaran bahwa
pengetahuan selalu merupakan reduksi yang sementara terhadap kenyataan.
Footnotes
[1]               
¹ Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in
Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.
[2]               
² Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine dan Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 23–27.
[3]               
³ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press,
2015), 9–11.
[4]               
⁴ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed.
(London: Routledge, 2004), 118–120.
[5]               
⁵ Wesley C. Salmon, Four Decades of Scientific Explanation
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989), 245–248.
[6]               
⁶ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI
Publications, 2001), 58–60.
[7]               
⁷ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–169.
[8]               
⁸ Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 32–36.
[9]               
⁹ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.
[10]            
¹⁰ Jorma Rissanen, Information and Complexity in Statistical
Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.
[11]            
¹¹ Kenneth P. Burnham dan David R. Anderson, Model Selection and
Multimodel Inference, 2nd ed. (New York: Springer, 2002), 21–23.
[12]            
¹² David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed.
Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1977), 58–60.
[13]            
¹³ Nelson Goodman, Fact, Fiction, and Forecast, 4th ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1983), 73–77.
[14]            
¹⁴ Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 145–147.
[15]            
¹⁵ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford:
Clarendon Press, 1980), 156–160.
[16]            
¹⁶ James W. McAllister, Beauty and Revolution in Science
(Ithaca: Cornell University Press, 1996), 42–46.
[17]            
¹⁷ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press,
2001), 122–124.
[18]            
¹⁸ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 222–225.
6.          
Fungsi
Metodologis dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam ranah filsafat
ilmu, Principle
of Parsimony berfungsi sebagai salah satu instrumen
metodologis paling berpengaruh dalam pembentukan, evaluasi, dan
pemilihan teori ilmiah. Prinsip ini memberikan pedoman normatif bagi ilmuwan
untuk memilih teori, model, atau hipotesis yang paling efisien dalam
menjelaskan fenomena dengan asumsi paling sedikit.¹ Secara metodologis,
kesederhanaan berperan sebagai jembatan antara teori dan praktik ilmiah,
karena ia mengatur bagaimana teori dibangun, diuji, dan direvisi.
6.1.      
Parsimoni sebagai
Prinsip Heuristik dalam Penalaran Ilmiah
Dalam tradisi
metodologi ilmiah modern, kesederhanaan berfungsi sebagai prinsip
heuristik—yakni pedoman kerja yang membantu ilmuwan menemukan
teori yang efektif.² Heuristik ini bukan hukum logis, tetapi rule of
thumb yang membimbing pencarian penjelasan terbaik. Sebagaimana
diungkapkan oleh Karl Popper, teori yang
sederhana lebih baik karena lebih mudah difalsifikasi, sehingga lebih dekat
dengan semangat ilmiah yang terbuka terhadap koreksi.³
Namun, kesederhanaan
tidak berarti reduksionisme naif. Dalam banyak kasus, model ilmiah yang baik
bukanlah yang paling sederhana secara numerik, melainkan yang memiliki kompleksitas
yang diperlukan (necessary complexity) untuk
menjelaskan fenomena tanpa postulat berlebih.⁴ Dengan kata lain, kesederhanaan
metodologis bukan sekadar pengurangan, tetapi juga penyusunan ulang konsep agar
teori menjadi lebih terstruktur dan elegan secara fungsional.
6.2.      
2. Kesederhanaan
dalam Pemilihan dan Evaluasi Model
Dalam praktik ilmiah
kontemporer, Principle of Parsimony menjadi
prinsip utama dalam pemilihan model (model selection).⁵ Dalam statistik
dan ilmu informasi, pendekatan seperti Akaike Information Criterion (AIC)
dan Bayesian
Information Criterion (BIC) didasarkan pada ide bahwa model
terbaik bukanlah yang paling kompleks, tetapi yang mencapai keseimbangan
optimal antara akurasi dan ekonomi asumsi.⁶
Kesederhanaan di sini diukur secara kuantitatif melalui penalti terhadap jumlah
parameter yang tidak diperlukan—sebuah penerapan matematis dari Occam’s
Razor.⁷
Pendekatan serupa
muncul dalam epistemologi Bayesian. Dalam kerangka Bayesian
Occam’s Razor, teori yang lebih kompleks memiliki probabilitas
awal (prior
probability) lebih rendah, kecuali jika bukti empiris yang kuat
mendukungnya.⁸ Ini mencerminkan prinsip bahwa kompleksitas hanya dibenarkan
bila dibutuhkan oleh data, bukan oleh keinginan teoritis. Prinsip tersebut
sejalan dengan kaidah klasik Ockham bahwa “entitas tidak boleh digandakan
tanpa kebutuhan.”
6.3.      
Aplikasi Empiris
dalam Sains: Biologi, Kosmologi, dan Psikologi
Salah satu penerapan
paling menonjol dari prinsip kesederhanaan adalah dalam biologi
evolusioner. Dalam metode phylogenetic parsimony, ilmuwan
memilih pohon evolusi yang memerlukan jumlah perubahan genetik paling sedikit
untuk menjelaskan distribusi sifat-sifat tertentu di antara spesies.⁹
Pendekatan ini bukan hanya efisien secara komputasional, tetapi juga
menghindari inferensi berlebihan tentang jalur evolusi yang tidak perlu
diasumsikan. Namun, kritik terhadap pendekatan ini muncul dari Elliott
Sober, yang menegaskan bahwa parsimoni bukan selalu indikator
kebenaran evolusioner, melainkan alat inferensial yang bergantung pada asumsi
model tertentu.¹⁰
Dalam kosmologi
teoretis, prinsip kesederhanaan digunakan untuk menilai
kelayakan hipotesis seperti multiverse theory atau fine-tuning
hypothesis.¹¹ Kosmolog seperti Sean Carroll dan Roger
Penrose berpendapat bahwa meskipun alam semesta tampak
kompleks, penjelasan yang mengandaikan entitas tambahan (misalnya semesta
paralel) sebaiknya dihindari kecuali benar-benar diperlukan.¹² Prinsip
kesederhanaan di sini berfungsi sebagai mekanisme epistemologis untuk menahan
spekulasi metafisik yang tidak teruji secara empiris.
Sementara itu, dalam
psikologi
kognitif, Principle of Parsimony sering
muncul dalam bentuk Lloyd Morgan’s Canon—yang
menyatakan bahwa perilaku hewan tidak boleh dijelaskan melalui proses mental
yang kompleks apabila dapat dijelaskan melalui mekanisme yang lebih
sederhana.¹³ Prinsip ini menjadi dasar pendekatan behavioristik pada abad ke-20
dan kemudian diadaptasi dalam teori kognitif modern sebagai minimal
cognitive load hypothesis, yakni gagasan bahwa sistem kognitif
cenderung memilih jalur pemrosesan yang paling efisien.¹⁴
6.4.      
Kritik terhadap
Fungsi Metodologis Kesederhanaan
Meskipun prinsip
kesederhanaan telah terbukti efektif dalam sejarah ilmu pengetahuan, banyak
kritik menyoroti kecenderungan untuk menyederhanakan secara berlebihan
(oversimplification).¹⁵
Dalam bidang seperti ekologi, ekonomi, dan teori sistem kompleks, model
sederhana sering kali gagal menangkap interaksi non-linear dan dinamika emergen
yang penting bagi pemahaman fenomena.¹⁶ Dalam konteks ini, Nancy
Cartwright menegaskan bahwa “hukum-hukum sederhana” sains
sering kali merupakan idealisasi yang tidak benar-benar berlaku dalam dunia
nyata.¹⁷
Kritik lain datang
dari perspektif pluralisme ilmiah, yang menolak
gagasan tunggal tentang kesederhanaan. Bagi Helen Longino, nilai-nilai
epistemik seperti kesederhanaan tidak bersifat universal, melainkan dipengaruhi
oleh konteks sosial, historis, dan disipliner.¹⁸ Dengan demikian, kesederhanaan
harus dipahami secara relatif terhadap tujuan dan praktik ilmiah tertentu—ia
bukan dogma universal, tetapi norma fungsional yang dapat berubah.
6.5.      
Kesederhanaan
sebagai Etos Metodologis Ilmu Pengetahuan
Meskipun dikritik,
fungsi metodologis Principle of Parsimony tetap
memiliki peran penting sebagai etos rasionalitas ilmiah. Ia
mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya berurusan dengan akumulasi
fakta, tetapi juga dengan struktur argumentatif yang ekonomis
dan transparan.¹⁹ Dalam arti ini, prinsip kesederhanaan berfungsi seperti
moralitas intelektual: ia menuntut agar teori tidak melebihi apa yang dapat
dibenarkan oleh bukti.
Kesederhanaan juga
memungkinkan komunikasi ilmiah yang lebih efektif. Teori yang sederhana lebih
mudah diuji, dibandingkan, dan diajarkan.²⁰ Oleh karena itu, Principle
of Parsimony bukan sekadar alat teknis, tetapi juga simbol komitmen
epistemik terhadap keterbukaan dan kejujuran dalam proses ilmiah. Kesederhanaan
menegaskan bahwa kebenaran ilmiah bukanlah hasil dari kompleksitas berlebihan,
melainkan dari kejelasan yang diperoleh melalui disiplin rasionalitas yang
ketat.²¹
Footnotes
[1]               
¹ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 139–142.
[2]               
² Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed.
(London: Routledge, 2004), 115–119.
[3]               
³ Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 145–147.
[4]               
⁴ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI Publications,
2001), 58–60.
[5]               
⁵ Kenneth P. Burnham dan David R. Anderson, Model Selection and
Multimodel Inference, 2nd ed. (New York: Springer, 2002), 21–25.
[6]               
⁶ Hirotugu Akaike, “A New Look at the Statistical Model
Identification,” IEEE Transactions on Automatic Control 19, no. 6
(1974): 716–723.
[7]               
⁷ Gideon Schwarz, “Estimating the Dimension of a Model,” Annals of
Statistics 6, no. 2 (1978): 461–464.
[8]               
⁸ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.
[9]               
⁹ Elliott Sober, Reconstructing the Past: Parsimony, Evolution, and
Inference (Cambridge: MIT Press, 1988), 23–27.
[10]            
¹⁰ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 131–133.
[11]            
¹¹ Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning,
and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 201–203.
[12]            
¹² Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape,
2004), 295–299.
[13]            
¹³ C. Lloyd Morgan, An Introduction to Comparative Psychology
(London: W. Scott, 1894), 53–55.
[14]            
¹⁴ George A. Miller, The Psychology of Communication (New
York: Basic Books, 1967), 121–124.
[15]            
¹⁵ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford:
Oxford University Press, 1983), 12–17.
[16]            
¹⁶ Stuart Kauffman, The Origins of Order: Self-Organization and
Selection in Evolution (New York: Oxford University Press, 1993), 67–70.
[17]            
¹⁷ Nancy Cartwright, “The Vanity of Rigour in Economics,” Post-Autistic
Economics Review 25 (2004): 33–37.
[18]            
¹⁸ Helen E. Longino, Science as Social Knowledge (Princeton:
Princeton University Press, 1990), 65–69.
[19]            
¹⁹ Wesley C. Salmon, Scientific Explanation and the Causal
Structure of the World (Princeton: Princeton University Press, 1984),
243–247.
[20]            
²⁰ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–168.
[21]            
²¹ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press,
2015), 205–208.
7.          
Perspektif
Logika dan Filosofi Bahasa
Prinsip
kesederhanaan tidak hanya memiliki implikasi metodologis dan epistemologis,
tetapi juga memainkan peranan penting dalam logika formal dan filsafat
bahasa. Dalam kedua bidang ini, kesederhanaan berfungsi sebagai
prinsip rasionalitas simbolik—yakni panduan dalam membangun sistem inferensial,
struktur bahasa, dan representasi makna yang efisien. Principle
of Parsimony membantu memurnikan struktur berpikir dan bahasa agar
tidak mengandung redundansi konseptual, ambiguitas semantik, atau inferensi
yang tidak diperlukan. Dengan demikian, kesederhanaan berfungsi bukan hanya
sebagai norma ilmiah, melainkan juga sebagai aturan sintaksis dan semantik
dalam proses penalaran dan komunikasi ilmiah.¹
7.1.      
Kesederhanaan dalam
Logika Deduktif dan Induktif
Dalam konteks logika
deduktif, prinsip kesederhanaan tercermin dalam pencarian
bentuk argumen yang paling ekonomis dan bebas dari premis berlebih. Logika
klasik Aristotelian menuntut bahwa setiap silogisme yang sah harus disusun dari
proposisi yang cukup untuk menghasilkan kesimpulan yang valid—tidak lebih dan
tidak kurang.² Dalam tradisi logika simbolik modern, kesederhanaan terwujud
dalam upaya reduksi sintaksis terhadap
formula logika yang kompleks menjadi bentuk normal seperti conjunctive
atau disjunctive
normal form.³
Sementara itu, dalam
logika
induktif dan abduktif, kesederhanaan memiliki fungsi berbeda:
ia menjadi kriteria untuk memilih inferensi yang paling efisien dari sekumpulan
data empiris. Charles S. Peirce, dalam konsepsinya tentang abduction,
menegaskan bahwa penjelasan terbaik adalah yang “paling sederhana dan paling
alami” dalam menjelaskan data.⁴ Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh
ilmuwan kontemporer seperti Peter Lipton dalam konsep Inference
to the Best Explanation (IBE), di mana teori yang paling sederhana
dianggap lebih unggul sejauh ia menjelaskan lebih banyak dengan lebih sedikit
asumsi.⁵
Namun, dalam konteks
probabilistik modern, kesederhanaan juga memiliki makna formal. Dalam kerangka Bayesian
reasoning, teori sederhana memiliki probabilitas awal (prior
probability) yang lebih tinggi dibanding teori kompleks, kecuali
jika data empiris menuntut sebaliknya.⁶ Dengan demikian, prinsip kesederhanaan
bekerja sebagai penyeimbang logis antara
inferensi yang ekonomis dan kekayaan eksplanatoris yang diperlukan.
7.2.      
Prinsip Ekonomi
dalam Bahasa dan Representasi Makna
Dalam filsafat
bahasa, prinsip kesederhanaan mengambil bentuk sebagai prinsip
ekonomi linguistik. Ferdinand de Saussure telah menekankan
bahwa struktur bahasa cenderung berkembang menuju bentuk yang efisien dan
minimal, yakni sistem tanda yang cukup untuk menyampaikan makna tanpa
redundansi.⁷ Dalam analisis pragmatik modern, Paul Grice merumuskan Cooperative
Principle yang salah satu maksimnya adalah maksim kuantitas—“berikan
informasi secukupnya, tidak lebih dari yang diperlukan.”⁸ Maksim ini
sejajar dengan prinsip parsimoni: ucapan yang efektif adalah ucapan yang
sederhana dan relevan, tanpa penambahan informasi yang tidak mendukung maksud
komunikasi.
Dari sudut pandang
semantik, kesederhanaan juga berfungsi sebagai prinsip dalam membangun teori
makna. Rudolf Carnap dan Alfred Tarski menekankan bahwa bahasa ilmiah harus
dibentuk dengan struktur sintaksis minimal yang
cukup untuk mengekspresikan semua proposisi yang diinginkan.⁹ Sistem bahasa
yang terlalu kompleks atau tidak terstandar akan menimbulkan ambiguitas
semantik dan memperbesar ruang interpretasi yang salah. Karena itu, prinsip
kesederhanaan berfungsi sebagai kriteria formalisasi ilmiah,
menegaskan bahwa kebenaran linguistik bergantung pada efisiensi dan kejelasan
struktur formal.¹⁰
Selain itu, dalam filsafat
analitik abad ke-20, para tokoh seperti Ludwig
Wittgenstein dan Willard Van Orman Quine
menekankan hubungan antara kesederhanaan bahasa dan realitas. Wittgenstein
dalam Tractatus
Logico-Philosophicus menegaskan bahwa struktur logika bahasa mencerminkan
struktur realitas—semakin sederhana bahasa, semakin dekat ia dengan
representasi dunia yang faktual.¹¹ Quine kemudian memperluas gagasan ini dengan
menolak pemisahan tajam antara analitik dan sintetis, menekankan bahwa teori
yang sederhana secara linguistik memiliki keunggulan pragmatis dalam
mengorganisir pengetahuan.¹²
7.3.      
Kesederhanaan,
Makna, dan Inferensi Logis
Kesederhanaan tidak
hanya berfungsi dalam struktur formal, tetapi juga dalam dinamika makna dan
inferensi. Dalam teori semantik modern, kesederhanaan memungkinkan pembentukan model
semantik minimal (minimal model theory)—yakni model
yang cukup untuk memuaskan formula logika tanpa memperkenalkan entitas
tambahan.¹³ Prinsip ini sering diterapkan dalam logika deskriptif, teori model,
dan computational
semantics, di mana sistem representasi dioptimalkan agar tidak
menimbulkan inferensi yang berlebihan.
Dalam konteks filsafat
bahasa kontemporer, Principle of Parsimony juga
digunakan untuk menilai teori makna seperti truth-conditional semantics dan inferential
role semantics. Donald Davidson menegaskan bahwa teori makna yang
baik adalah teori yang dapat menjelaskan bagaimana kalimat memperoleh makna
dari bagian-bagiannya, dengan aturan paling sedikit dan konsisten secara
logis.¹⁴ Kesederhanaan di sini berfungsi sebagai kriteria
kohesi semantik, memastikan bahwa sistem bahasa tidak menjadi
terlalu kompleks untuk direkonstruksi secara rasional.
Lebih jauh lagi,
dalam semantik naturalis seperti yang dikembangkan oleh Jerry Fodor dan Ernest
Lepore, kesederhanaan menjadi dasar argumentasi melawan teori makna kontekstual
yang berlebihan.¹⁵ Bagi mereka, teori makna yang terlalu kompleks cenderung
kehilangan kekuatan prediktif dan menimbulkan semantic overgeneration. Dengan
demikian, kesederhanaan di bidang ini menuntut keseimbangan antara presisi
logis dan efisiensi pragmatis.
7.4.      
Implikasi Filosofis:
Logika, Bahasa, dan Rasionalitas Minimal
Dari perspektif
logika dan bahasa, prinsip kesederhanaan menunjukkan bahwa rasionalitas manusia
bekerja dalam kerangka minimalisme konseptual—suatu
upaya untuk mengekspresikan dunia dengan sarana formal dan linguistik yang
paling efisien. Dalam logika, kesederhanaan menjamin validitas inferensi tanpa
redundansi; dalam bahasa, kesederhanaan menjamin kejelasan komunikasi tanpa
kehilangan makna. Keduanya memperlihatkan bahwa rasionalitas tidak terletak
pada kompleksitas penalaran, melainkan pada kemampuan untuk menemukan struktur
minimal yang cukup menjelaskan realitas.¹⁶
Dengan demikian, Principle
of Parsimony dalam konteks logika dan filsafat bahasa bukan hanya
pedoman teknis, melainkan prinsip epistemik yang mengatur batas antara ekspresi
dan makna, antara simbol dan kenyataan. Ia menegaskan bahwa berpikir dan
berbicara secara sederhana bukan berarti berpikir dangkal, melainkan berpikir
dengan ketelitian yang menghindari inflasi konseptual. Kesederhanaan, dalam
arti ini, merupakan bentuk etika intelektual dalam logika
dan bahasa—disiplin untuk tidak mengatakan lebih dari yang dapat dibenarkan
oleh rasio.
Footnotes
[1]               
¹ Michael Dummett, Truth and Other Enigmas (Cambridge: Harvard
University Press, 1978), 201–203.
[2]               
² Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith
(Indianapolis: Hackett, 1989), I.1–I.4.
[3]               
³ Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of
Deductive Sciences (New York: Dover, 1995), 59–63.
[4]               
⁴ Charles S. Peirce, “Abduction and Induction,” in Philosophical
Writings of Peirce, ed. Justus Buchler (New York: Dover, 1955), 150–156.
[5]               
⁵ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed.
(London: Routledge, 2004), 118–120.
[6]               
⁶ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.
[7]               
⁷ Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (Chicago: Open Court, 1986), 67–70.
[8]               
⁸ Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of
Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 26–28.
[9]               
⁹ Rudolf Carnap, Logical Syntax of Language (London: Routledge
& Kegan Paul, 1937), 7–9.
[10]            
¹⁰ Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, trans. J.
H. Woodger (Oxford: Clarendon Press, 1956), 153–157.
[11]            
¹¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 2.1–2.2.
[12]            
¹² W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press,
1960), 13–16.
[13]            
¹³ Wilfrid Hodges, Model Theory (Cambridge: Cambridge
University Press, 1993), 85–89.
[14]            
¹⁴ Donald Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation
(Oxford: Oxford University Press, 1984), 15–17.
[15]            
¹⁵ Jerry Fodor dan Ernest Lepore, Holism: A Shopper’s Guide
(Oxford: Blackwell, 1992), 31–34.
[16]            
¹⁶ Timothy Williamson, The Philosophy of Philosophy (Oxford:
Blackwell, 2007), 42–46.
8.          
Kritik
dan Perdebatan Kontemporer
Meskipun Principle
of Parsimony telah menjadi salah satu prinsip rasionalitas yang
paling berpengaruh dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan, penerapannya
tidak pernah lepas dari kontroversi. Dalam konteks epistemologi dan metodologi
ilmiah kontemporer, prinsip ini diperdebatkan baik dari segi status
normatifnya (apakah ia bersifat wajib secara rasional), maupun daya
gunanya (apakah kesederhanaan benar-benar mengarah pada
kebenaran). Kritik terhadap prinsip kesederhanaan mencerminkan ketegangan
antara ideal rasionalitas dan realitas kompleks dunia empiris.
8.1.      
Relativitas
Kesederhanaan dan Problem Definisi
Salah satu kritik
utama terhadap Principle of Parsimony adalah ketidakjelasan
definisional mengenai apa yang dimaksud dengan “kesederhanaan.”
Apakah kesederhanaan diukur dari jumlah asumsi, variabel, postulat, atau bentuk
formal teori?¹ Elliott Sober menunjukkan bahwa tidak ada metrik universal untuk
mengukur kesederhanaan: sebuah teori bisa sederhana dalam struktur logisnya
tetapi kompleks dalam implikasi empirisnya, dan sebaliknya.² Dengan demikian,
kesederhanaan bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan teoretis,
bukan prinsip mutlak.
Kritik serupa
dikemukakan oleh Michael Strevens, yang
menyatakan bahwa kesederhanaan hanya bermakna dalam hubungannya dengan sistem
penjelasan tertentu.³ Dalam banyak kasus, ilmuwan memilih teori yang lebih
kompleks karena teori sederhana tidak mampu menjelaskan anomali empiris.
Contohnya dapat ditemukan dalam mekanika kuantum atau biologi evolusioner, di
mana penambahan parameter atau entitas baru justru diperlukan agar teori tetap
akurat.⁴ Oleh karena itu, prinsip kesederhanaan tidak dapat diperlakukan
sebagai hukum rasionalitas universal, melainkan sebagai preferensi
metodologis yang bersifat tentatif.
8.2.      
Kritik dari
Pluralisme dan Kompleksitas
Dalam filsafat ilmu
kontemporer, muncul gelombang kritik dari perspektif pluralisme
ilmiah. Tokoh seperti Helen Longino dan Philip
Kitcher menolak pandangan tunggal tentang kesederhanaan, dengan
alasan bahwa ilmu pengetahuan bersifat heterogen dan beragam dalam metodologi
maupun tujuannya.⁵ Dalam kerangka pluralisme ini, kesederhanaan mungkin berguna
dalam fisika teoretis, tetapi tidak relevan dalam ekologi, ekonomi, atau ilmu
sosial yang memerlukan model dengan kompleksitas tinggi.⁶
Lebih jauh lagi,
muncul kritik dari teori kompleksitas dan ilmu
sistem non-linear, yang menolak asumsi bahwa dunia dapat
direduksi pada struktur sederhana.⁷ Menurut Stuart Kauffman, alam bersifat
“orderly but not simple” — teratur tetapi tidak sederhana.⁸ Fenomena
seperti emergence
dan self-organization
menunjukkan bahwa penjelasan ilmiah sering kali memerlukan model kompleks untuk
menggambarkan keteraturan yang muncul secara spontan dari interaksi dinamis.
Dalam konteks ini, kesederhanaan justru dapat mengaburkan pemahaman terhadap
kompleksitas realitas.
Kritik serupa datang
dari Nancy
Cartwright, yang berargumen bahwa hukum-hukum sederhana dalam
fisika tidak selalu benar di dunia nyata, melainkan hanya idealisasi yang
berlaku dalam kondisi eksperimental tertentu.⁹ Menurutnya, kesederhanaan sering
kali menjadi “mitos epistemik” yang mengabaikan keragaman kausal di
dunia empiris.¹⁰ Prinsip kesederhanaan, dengan demikian, bukan ukuran
kebenaran, tetapi strategi representasi yang terbatas.
8.3.      
Kritik dari
Perspektif Postmodern dan Hermeneutik
Dari perspektif filsafat
postmodern, prinsip kesederhanaan dianggap sebagai manifestasi
dari rasionalitas
modern yang terlalu menekankan keteraturan dan kesatuan
makna.¹¹ Filsuf seperti Jean-François Lyotard dan Paul
Feyerabend menolak klaim universalitas prinsip ini, dengan alasan
bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui keragaman metode dan narasi yang
tidak selalu dapat direduksi menjadi bentuk sederhana.¹² Feyerabend secara
provokatif menyatakan, “Against method!” — menolak setiap bentuk
rasionalitas tunggal yang mencoba mengatur kreativitas ilmiah.¹³ Dalam konteks
ini, Principle
of Parsimony dipandang bukan sebagai kebenaran filosofis, melainkan
strategi
kekuasaan epistemik yang membatasi kemungkinan berpikir
alternatif.
Selain itu, dari
perspektif hermeneutika filosofis,
kesederhanaan dipertanyakan karena setiap pemahaman terhadap dunia selalu
bersifat kontekstual dan historis. Menurut Hans-Georg Gadamer, penafsiran
terhadap realitas tidak bisa disederhanakan menjadi formula tunggal karena
selalu bergantung pada horizon pemahaman penafsir.¹⁴ Dalam pengertian ini,
prinsip kesederhanaan dianggap gagal menangkap dimensi dialektis dari makna dan
kebenaran yang terbuka terhadap tafsir.
8.4.      
Kesederhanaan,
Estetika, dan Rasionalitas Ilmiah
Kritik lain
menyoroti bahwa kesederhanaan sering kali berfungsi lebih sebagai nilai
estetis daripada kriteria epistemik.¹⁵ Sejak Einstein hingga
Dirac, banyak ilmuwan yang percaya bahwa teori yang indah dan elegan biasanya
benar, tetapi keindahan tidak dapat dijadikan ukuran objektif dalam epistemologi.¹⁶
Dalam beberapa kasus, seperti teori string atau model multiverse,
kesederhanaan formal tidak selalu berbanding lurus dengan kesederhanaan
ontologis.¹⁷ Artinya, teori dapat tampak elegan secara matematis tetapi justru
memperbanyak entitas metafisik.
Sebaliknya, para
pembela prinsip kesederhanaan seperti Elliott Sober dan Sean
Carroll berargumen bahwa meskipun tidak sempurna, kesederhanaan
tetap merupakan virtue epistemik yang tak
tergantikan.¹⁸ Kesederhanaan membantu menjaga integritas ilmiah dengan menolak
spekulasi yang tidak berdasar dan menuntut bahwa setiap postulat harus memiliki
justifikasi empiris.¹⁹ Dalam pandangan ini, kesederhanaan bukan dogma, tetapi disiplin
intelektual yang menjaga keseimbangan antara imajinasi teoretis
dan tanggung jawab empiris.
8.5.      
Menuju Paradigma
Parsimoni yang Kontekstual
Dari berbagai kritik
tersebut, muncul pendekatan baru yang menafsirkan Principle of Parsimony secara kontekstual
dan pluralistik. Pendekatan ini tidak menolak kesederhanaan,
tetapi mengakui bahwa makna dan penerapannya tergantung pada disiplin, tujuan,
dan fase perkembangan ilmu.²⁰ Dalam model ini, prinsip kesederhanaan tidak lagi
dipahami sebagai aturan universal, melainkan sebagai metanorma
heuristik yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan epistemik.²¹
Dengan demikian,
perdebatan kontemporer menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan prinsip statis,
melainkan konsep dinamis yang terus direvisi. Dalam era kompleksitas dan
kecerdasan buatan, kesederhanaan memperoleh makna baru: bukan lagi reduksi,
tetapi optimisasi
penjelasan—kemampuan untuk mengekspresikan kompleksitas dengan
struktur yang minimal namun memadai.²² Dengan demikian, prinsip ini tetap
relevan sebagai panduan rasionalitas, asalkan dipahami dalam kerangka pluralisme
metodologis dan epistemik yang terbuka.²³
Footnotes
[1]               
¹ J. Albert, “On the Quantification of Simplicity,” Philosophy of
Science 56, no. 3 (1989): 444–457.
[2]               
² Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press,
2015), 6–9.
[3]               
³ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy
of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.
[4]               
⁴ Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 111–113.
[5]               
⁵ Helen E. Longino, Science as Social Knowledge (Princeton:
Princeton University Press, 1990), 65–69.
[6]               
⁶ Philip Kitcher, The Advancement of Science: Science without
Legend, Objectivity without Illusions (New York: Oxford University Press,
1993), 130–134.
[7]               
⁷ Melanie Mitchell, Complexity: A Guided Tour (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 23–28.
[8]               
⁸ Stuart A. Kauffman, The Origins of Order: Self-Organization and
Selection in Evolution (New York: Oxford University Press, 1993), 47–50.
[9]               
⁹ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford:
Oxford University Press, 1983), 12–17.
[10]            
¹⁰ Nancy Cartwright, Hunting Causes and Using Them (Cambridge:
Cambridge University Press, 2007), 55–57.
[11]            
¹¹ Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 9–11.
[12]            
¹² Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975),
23–26.
[13]            
¹³ Paul Feyerabend, Science in a Free Society (London: NLB,
1978), 118–120.
[14]            
¹⁴ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New
York: Continuum, 2004), 269–272.
[15]            
¹⁵ James W. McAllister, Beauty and Revolution in Science (Ithaca:
Cornell University Press, 1996), 35–39.
[16]            
¹⁶ Sabine Hossenfelder, Lost in Math: How Beauty Leads Physics
Astray (New York: Basic Books, 2018), 41–45.
[17]            
¹⁷ Max Tegmark, Our Mathematical Universe (New York: Knopf,
2014), 212–216.
[18]            
¹⁸ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 224–228.
[19]            
¹⁹ Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning,
and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 199–201.
[20]            
²⁰ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press,
2001), 122–125.
[21]            
²¹ Hasok Chang, Is Water H₂O? Evidence, Realism and Pluralism
(Dordrecht: Springer, 2012), 311–315.
[22]            
²² Judea Pearl, The Book of Why: The New Science of Cause and
Effect (New York: Basic Books, 2018), 342–345.
[23]            
²³ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 203–205.
9.          
Sintesis
Filosofis
Setelah menelusuri
dimensi ontologis, epistemologis, metodologis, dan linguistik dari Principle
of Parsimony, menjadi jelas bahwa prinsip ini tidak dapat direduksi
pada satu ranah filsafat tertentu. Ia merupakan prinsip lintas-dimensi yang
menghubungkan antara realitas, pengetahuan, dan metode melalui satu ide
sentral: keteraturan yang efisien. Dalam konteks ini, Principle
of Parsimony dapat dipahami sebagai etos rasionalitas integral,
yang menggabungkan disiplin berpikir dengan kesadaran akan keterbatasan manusia
dalam memahami kompleksitas dunia.¹
9.1.      
Sintesis antara
Ontologi dan Epistemologi: Realitas yang Dapat Disederhanakan
Secara ontologis,
prinsip kesederhanaan mengasumsikan bahwa dunia memiliki struktur yang tidak
berlebihan—bahwa realitas pada dasarnya dapat direpresentasikan melalui hukum
atau entitas minimal.² Namun secara epistemologis, kesederhanaan tidak hanya
mencerminkan realitas, tetapi juga cara manusia menata pengetahuan
tentang realitas itu.³ Dengan demikian, hubungan antara kesederhanaan dan
kebenaran bersifat dialektis: kita tidak memilih teori sederhana karena dunia
pasti sederhana, melainkan karena cara berpikir sederhana lebih mungkin
mengungkap struktur dunia yang tersembunyi di balik kompleksitas fenomenal.⁴
Posisi ini
mencerminkan apa yang dapat disebut sebagai realisme parsimonis reflektif—yakni
keyakinan bahwa kesederhanaan adalah ciri dunia sejauh dunia itu dapat diketahui.
Dalam pandangan ini, kesederhanaan tidak lagi merupakan dogma metafisik, tetapi
modus
epistemik yang menghubungkan antara “yang ada” (being)
dan “yang dapat dipahami” (intelligible).⁵ Prinsip ini
menunjukkan bahwa epistemologi dan ontologi tidak dapat dipisahkan: setiap
bentuk pengetahuan mengandaikan pandangan tentang struktur realitas, dan setiap
konsepsi realitas terbentuk dalam horizon rasionalitas manusia.
9.2.      
Sintesis antara
Metodologi dan Logika: Ekonomi Rasionalitas
Dari segi
metodologi, prinsip kesederhanaan memberikan arah bagi praktik ilmiah untuk
mencapai ekonomi dalam berpikir tanpa
mengorbankan ketepatan.⁶ Ia memadukan dua kekuatan rasionalitas: penjelasan
yang efisien (metodologis) dan inferensi yang valid (logis). Dengan demikian,
prinsip ini berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang antara kompleksitas
empiris dan struktur inferensial. Dalam
bahasa Karl Popper, teori sederhana lebih baik karena ia “lebih terbuka
terhadap koreksi,” sedangkan dalam kerangka Bayesian, teori sederhana lebih
mungkin benar karena ia menghindari inflasi probabilitas.⁷
Kesederhanaan dalam
logika dan metode, dengan demikian, bukan sekadar preferensi pragmatis,
melainkan strategi epistemik untuk menjaga koherensi sistem pengetahuan.⁸
Ia menegaskan bahwa rasionalitas sejati bukanlah kemampuan untuk memperbanyak
teori, tetapi kemampuan untuk menata teori secara efisien agar tetap terbuka
terhadap revisi dan pengujian. Dalam arti ini, prinsip kesederhanaan berperan
sebagai logic of
restraint—logika yang tidak berambisi menguasai realitas, tetapi
mengorganisirnya dalam batas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.⁹
9.3.      
Kesederhanaan
sebagai Etos Rasionalitas Terbuka
Dari perspektif
aksiologis, prinsip kesederhanaan menegaskan etos keterbukaan epistemik. Ia
mengajarkan bahwa berpikir sederhana bukan berarti berpikir sempit, tetapi
berpikir secara disiplin dalam menghadapi kerumitan dunia.¹⁰ Dalam tradisi
filsafat ilmu, hal ini sejalan dengan gagasan fallibilisme epistemik: bahwa
semua teori bersifat sementara, dan kesederhanaan membantu kita menahan godaan
absolutisme pengetahuan.¹¹
Prinsip ini dapat
pula dibaca dalam kerangka hermeneutika rasionalitas, di
mana kesederhanaan tidak lagi dipahami sebagai reduksi makna, tetapi sebagai modus
interpretatif—cara berpikir yang menyaring makna-makna esensial
tanpa menyingkirkan kompleksitasnya.¹² Dalam hal ini, kesederhanaan menjadi
bentuk claritas
mentis, yakni kejernihan intelektual yang tidak meniadakan
kompleksitas, melainkan mengaturnya secara proporsional.
Etos ini juga
memiliki dimensi etis dan ekologis: kesederhanaan mengajarkan keseimbangan
antara kebutuhan penjelasan dan tanggung jawab terhadap realitas.¹³ Dalam era
ilmu data dan kecerdasan buatan, prinsip ini semakin relevan karena tantangan
epistemik terbesar bukan lagi kekurangan informasi, melainkan kelebihan
informasi. Kesederhanaan menjadi alat moral-rasional untuk
memilah antara yang penting dan yang remeh, antara pengetahuan yang menuntun
dan data yang menyesatkan.¹⁴
9.4.      
Menuju Paradigma
Parsimoni Integral
Sintesis filosofis
terhadap Principle
of Parsimony menuntun pada pemahaman baru bahwa kesederhanaan bukan
sekadar prinsip metodologis, tetapi paradigma epistemik-integratif.
Paradigma ini mengakui bahwa rasionalitas manusia adalah sistem terbuka yang
beroperasi antara dua ekstrem: keinginan untuk menjelaskan segalanya dan
kesadaran akan batas pengetahuan.¹⁵ Kesederhanaan memungkinkan sains dan
filsafat berjalan di antara dua kutub ini, menjaga keseimbangan antara
penjelasan dan kerendahan hati epistemik.
Dengan demikian,
prinsip kesederhanaan dapat ditafsirkan sebagai modus eksistensial dari berpikir rasional:
cara manusia untuk memahami dunia tanpa menindas kerumitannya. Ia menuntun kita
menuju bentuk pengetahuan yang tidak totaliter, melainkan dialogis—pengetahuan
yang terus-menerus terbuka terhadap koreksi, pembaruan, dan interpretasi
baru.¹⁶
Sebagai sintesis
akhir, Principle
of Parsimony dapat disebut sebagai rasionalitas reflektif—rasionalitas
yang menyadari keterbatasannya sendiri. Ia bukan hanya pisau epistemik untuk
memotong berlebihnya entitas, tetapi juga cermin yang memantulkan kesadaran
manusia akan perlunya keseimbangan antara kejelasan dan kompleksitas, antara
reduksi dan pemahaman, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.¹⁷
Footnotes
[1]               
¹ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI
Publications, 2001), 89–92.
[2]               
² David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 3–5.
[3]               
³ Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in
Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.
[4]               
⁴ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press,
2015), 209–213.
[5]               
⁵ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 202–204.
[6]               
⁶ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London:
Routledge, 2004), 117–120.
[7]               
⁷ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 139–142.
[8]               
⁸ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy
of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.
[9]               
⁹ W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” Philosophical Review
60, no. 1 (1951): 20–43.
[10]            
¹⁰ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–168.
[11]            
¹¹ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford:
Clarendon Press, 1980), 156–160.
[12]            
¹² Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New
York: Continuum, 2004), 273–276.
[13]            
¹³ Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 111–113.
[14]            
¹⁴ Judea Pearl, The Book of Why: The New Science of Cause and
Effect (New York: Basic Books, 2018), 341–344.
[15]            
¹⁵ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 224–227.
[16]            
¹⁶ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press,
2001), 123–126.
[17]            
¹⁷ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape,
2004), 295–299.
10.       Relevansi Kontemporer dan Aplikasinya
Prinsip
kesederhanaan atau Principle of Parsimony tetap
menjadi tema yang sangat relevan dalam wacana filsafat dan sains kontemporer.
Dalam abad ke-21—yang ditandai oleh ledakan data, kemajuan teknologi kecerdasan
buatan (AI), serta meningkatnya kompleksitas sosial dan ekologis—prinsip ini
memperoleh makna baru. Ia tidak lagi hanya menjadi alat metodologis dalam
filsafat sains, tetapi juga menjadi paradigma epistemik dan etis
yang memandu cara manusia mengelola pengetahuan, teknologi, dan kebijakan.¹
10.1.   
Dalam Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi: Antara Kompleksitas dan Efisiensi
Dalam ilmu
pengetahuan modern, terutama dalam era big data dan machine
learning, prinsip kesederhanaan memainkan peran penting dalam
mengatasi masalah kompleksitas model.²
Model yang terlalu kompleks sering kali memiliki daya jelaskan tinggi terhadap
data pelatihan (training data), tetapi gagal melakukan
prediksi yang baik terhadap data baru—a fenomena yang dikenal sebagai overfitting.³
Dalam konteks ini, Occam’s Razor diterjemahkan secara
formal dalam bentuk Regularization Principle, yang
menambahkan penalti terhadap model dengan terlalu banyak parameter, agar sistem
pembelajaran mesin memilih solusi yang lebih sederhana dan generalis.⁴
Selain itu, dalam ilmu
komputer teoretis, kesederhanaan juga menjadi inti dari Minimum
Description Length (MDL) Principle, yang menyatakan bahwa
penjelasan terbaik terhadap data adalah yang menghasilkan deskripsi terpendek
dari data tersebut.⁵ Prinsip ini mencerminkan semangat epistemik Ockham: bahwa
kebenaran bukan terletak pada kelimpahan postulat, tetapi pada kemampuan untuk
menyusun realitas secara ekonomis. Dengan demikian, prinsip kesederhanaan
menemukan bentuk matematisnya dalam teori algoritma dan kompresi
informasi—suatu bukti bahwa konsep yang lahir dari abad ke-14 dapat menemukan
relevansi baru dalam era digital.
10.2.   
Dalam Filsafat Sains
Kontemporer: Rasionalitas di Tengah Kompleksitas
Dalam filsafat sains
kontemporer, prinsip kesederhanaan tetap berfungsi sebagai nilai
epistemik fundamental di tengah tantangan pluralisme
metodologis dan relativisme postmodern. Para filsuf seperti Elliott
Sober dan Michael Strevens mempertahankan
bahwa kesederhanaan masih diperlukan untuk membedakan teori ilmiah dari teori
ad hoc.⁶ Meskipun pluralisme mengakui keberagaman model dan perspektif, tanpa
kesederhanaan tidak akan ada batas yang jelas antara penjelasan ilmiah dan
spekulasi bebas.⁷
Namun, fungsi
kesederhanaan kini dipahami secara lebih kontekstual dan dinamis. Dalam
kerangka model
pluralism, ilmuwan tidak lagi berusaha mencari teori tunggal yang
paling sederhana, melainkan berupaya mengoptimalkan kesederhanaan pada setiap
konteks lokal.⁸ Dengan demikian, kesederhanaan menjadi prinsip local
rationality: sebuah nilai yang disesuaikan dengan domain fenomena
tertentu, bukan norma universal yang mengikat seluruh ilmu.
Selain itu, dalam
epistemologi Bayesian dan ilmu inferensi, kesederhanaan memperoleh status
probabilistik: teori sederhana memiliki prior probability lebih besar,
tetapi dapat dikalahkan oleh bukti kuat yang mendukung teori kompleks.⁹ Prinsip
ini menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan kebenaran mutlak, tetapi rasionalitas
terbuka—suatu sikap ilmiah yang siap direvisi.
10.3.   
Dalam Etika
Pengetahuan dan Ekologi Kognitif
Relevansi prinsip
kesederhanaan juga meluas ke ranah etika pengetahuan, khususnya
dalam menghadapi krisis informasi di era digital. Dalam masyarakat yang dibanjiri
data, teori konspirasi, dan hiperkompleksitas wacana publik, prinsip
kesederhanaan berfungsi sebagai alat untuk menyaring informasi yang bermakna dari
kebisingan epistemik.¹⁰ Kesederhanaan menjadi bentuk
kebijaksanaan rasional yang menolak inflasi argumentasi tanpa dasar empiris. Ia
mengingatkan bahwa pengetahuan yang baik tidak diukur dari jumlah klaim, tetapi
dari kejelasan justifikasi dan konsistensi logisnya.¹¹
Lebih jauh, dalam
konteks ekologi pengetahuan, prinsip
kesederhanaan berperan dalam menjaga keberlanjutan epistemik (epistemic
sustainability).¹² Sama seperti ekosistem alam yang menuntut
keseimbangan antara keberagaman dan stabilitas, sistem pengetahuan juga
membutuhkan keseimbangan antara kompleksitas teoritis dan kesederhanaan metodologis.
Tanpa kesederhanaan, ilmu pengetahuan dapat terjebak dalam inflasi model yang
tidak efisien, kehilangan daya prediktif, dan menguras sumber daya kognitif
manusia.¹³
10.4.   
Dalam Etika dan
Filsafat Lingkungan
Prinsip
kesederhanaan juga memiliki resonansi etis yang kuat dalam filsafat
lingkungan dan etika keberlanjutan. Dalam
konteks krisis ekologis global, kesederhanaan tidak lagi dipahami hanya sebagai
nilai intelektual, tetapi juga sebagai prinsip moral hidup selaras dengan keterbatasan
dunia.¹⁴ Pemikiran ini sejalan dengan tradisi etika Stoik dan
Buddhis yang menekankan simplicitas vitae—kesederhanaan
hidup sebagai ekspresi harmoni antara manusia dan alam.
Sebagai prinsip
ekologis, kesederhanaan mengajarkan bahwa kompleksitas sistem alam tidak harus
dihadapi dengan eksploitasi teknologi yang semakin rumit, melainkan dengan
kebijaksanaan untuk menghargai keteraturan yang sudah ada.¹⁵ Dengan demikian, Principle
of Parsimony dapat diinterpretasikan sebagai bentuk ekologi
rasionalitas—gagasan bahwa berpikir sederhana juga berarti
berpikir berkelanjutan.¹⁶
10.5.   
Dalam Ranah
Interdisipliner: Kesederhanaan sebagai Jembatan Pengetahuan
Dalam era
pengetahuan interdisipliner, prinsip kesederhanaan berfungsi sebagai bahasa
bersama yang menghubungkan sains alam, humaniora, dan ilmu
sosial.¹⁷ Dalam ilmu sistem, misalnya, kesederhanaan menjadi dasar bagi model
reduction—upaya mencari struktur inti dari sistem kompleks tanpa
menghilangkan perilaku emergen. Sementara dalam filsafat bahasa, kesederhanaan
menjadi prinsip pragmatik yang memastikan bahwa makna tidak hilang dalam
kompleksitas simbolik.¹⁸
Prinsip ini juga
berfungsi dalam pengembangan kecerdasan buatan etis:
algoritma dan model AI yang dirancang dengan parsimoni lebih mudah diaudit,
dipahami, dan dikendalikan, sehingga mengurangi risiko bias tersembunyi.¹⁹
Kesederhanaan, dalam konteks ini, bukan hanya efisiensi komputasional, tetapi
juga transparansi
moral—kemampuan untuk menjelaskan mengapa sistem berpikir
seperti yang ia lakukan.
10.6.   
Kesederhanaan
sebagai Rasionalitas Abad ke-21
Akhirnya, relevansi
kontemporer Principle of Parsimony terletak
pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan tantangan epistemik dan moral abad ke-21.
Di tengah dunia yang semakin kompleks dan tumpang tindih antara data, ide, dan
nilai, prinsip kesederhanaan menjadi panduan untuk menjaga rasionalitas tetap jelas,
jujur, dan bertanggung jawab.²⁰ Ia memanggil kita untuk
berpikir efisien tanpa menyederhanakan secara dangkal, untuk menjelaskan secara
minimal tanpa kehilangan kedalaman makna.
Kesederhanaan bukan
lagi sekadar prinsip logika atau metodologi, tetapi ciri
karakter intelektual manusia modern—sebuah bentuk kebijaksanaan
rasional yang memadukan klaritas dengan kerendahan hati. Dalam arti ini, Principle
of Parsimony bukan hanya alat analisis, tetapi etos
berpikir: pedoman bagi sains, filsafat, dan kehidupan
intelektual yang berusaha memahami dunia tanpa menindas keajaibannya.²¹
Footnotes
[1]               
¹ Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in
Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.
[2]               
² Pedro Domingos, The Master Algorithm: How the Quest for the
Ultimate Learning Machine Will Remake Our World (New York: Basic Books,
2015), 121–125.
[3]               
³ Christopher M. Bishop, Pattern Recognition and Machine Learning
(New York: Springer, 2006), 143–146.
[4]               
⁴ Trevor Hastie, Robert Tibshirani, dan Jerome Friedman, The
Elements of Statistical Learning, 2nd ed. (New York: Springer, 2009),
69–72.
[5]               
⁵ Jorma Rissanen, Information and Complexity in Statistical
Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.
[6]               
⁶ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 220–224.
[7]               
⁷ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy
of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.
[8]               
⁸ Hasok Chang, Is Water H₂O? Evidence, Realism and Pluralism
(Dordrecht: Springer, 2012), 311–315.
[9]               
⁹ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.
[10]            
¹⁰ Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2011), 112–115.
[11]            
¹¹ Daniel Dennett, Intuition Pumps and Other Tools for Thinking
(New York: W. W. Norton, 2013), 67–69.
[12]            
¹² Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University
of Chicago Press, 1966), 24–26.
[13]            
¹³ Sabina Leonelli, Data-Centric Biology (Chicago: University
of Chicago Press, 2016), 203–206.
[14]            
¹⁴ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 33–35.
[15]            
¹⁵ Fritjof Capra dan Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life
(Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 243–246.
[16]            
¹⁶ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 58–61.
[17]            
¹⁷ Bas C. van Fraassen, The Empirical Stance (New Haven: Yale
University Press, 2002), 77–80.
[18]            
¹⁸ Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of
Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 26–28.
[19]            
¹⁹ Tim Miller, “Explanation in Artificial Intelligence: Insights from
the Social Sciences,” Artificial Intelligence 267 (2019): 1–38.
[20]            
²⁰ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press,
2001), 122–124.
[21]            
²¹ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape,
2004), 298–301.
11.       Kesimpulan
Prinsip
kesederhanaan (Principle of Parsimony), yang
berakar pada adagium skolastik entia non sunt multiplicanda praeter
necessitatem, telah menempuh perjalanan panjang dari doktrin
teologis abad pertengahan hingga menjadi pilar epistemologis dan metodologis
dalam sains modern. Dalam perjalanannya, prinsip ini mengalami transformasi
konseptual: dari nominalisme ontologis William
of Ockham menuju rasionalitas ilmiah abad
modern, hingga kini menjadi bagian dari epistemologi kompleksitas di
era digital.¹ Sepanjang sejarahnya, prinsip ini tidak hanya berfungsi sebagai
alat pemangkasan entitas metafisik, tetapi juga sebagai refleksi mendalam
tentang batas rasionalitas manusia dalam memahami dunia.
11.1.   
Kesederhanaan
sebagai Inti Rasionalitas Ilmiah
Dari perspektif
epistemologis dan metodologis, kesederhanaan telah terbukti menjadi salah satu
kriteria rasionalitas yang paling stabil dan universal dalam praktik ilmiah.²
Ia berperan sebagai pedoman dalam pemilihan teori, penyusunan model, dan
evaluasi penjelasan ilmiah.³ Sebagaimana ditegaskan oleh Karl Popper, teori
yang sederhana lebih ilmiah bukan karena ia pasti benar, tetapi karena ia lebih
terbuka terhadap penyangkalan empiris dan memungkinkan kemajuan pengetahuan.⁴
Dalam konteks ini, prinsip kesederhanaan menjadi kebajikan
intelektual (intellectual virtue): bentuk
disiplin berpikir yang menolak kompleksitas yang tidak perlu tanpa mengorbankan
kedalaman pemahaman.
Kesederhanaan juga
memiliki fungsi pragmatis dan komunikatif. Teori yang sederhana lebih mudah
diuji, dijelaskan, dan diajarkan.⁵ Oleh karena itu, dalam ranah epistemologi ilmiah,
kesederhanaan dapat dianggap sebagai ekonomi kognitif: ia membantu
manusia menata pengetahuan secara efisien, menjaga koherensi antar teori, dan
menghindari inflasi penjelasan.⁶ Namun demikian, kesederhanaan bukanlah tujuan
akhir dari pengetahuan, melainkan sarana untuk menghindari kerumitan yang tidak
produktif dalam pencarian kebenaran.
11.2.   
Antara Kesederhanaan
dan Kompleksitas: Dialektika Rasionalitas
Filsafat kontemporer
menunjukkan bahwa kesederhanaan tidak dapat dipisahkan dari kompleksitas. Dunia
tidak selalu sederhana, dan upaya untuk memahaminya memerlukan keseimbangan
antara reduksi
dan rekonstruksi.⁷
Kritik dari pluralisme ilmiah, teori sistem, dan filsafat postmodern
mengingatkan bahwa prinsip kesederhanaan, bila diterapkan secara dogmatis,
dapat berujung pada penyederhanaan berlebihan (oversimplification) yang justru
menutup kompleksitas realitas.⁸ Namun, tanpa prinsip kesederhanaan, sains
kehilangan arah dan kriteria evaluatif. Maka, kesederhanaan harus dipahami
secara relasional
dan kontekstual: ia relevan sejauh berfungsi dalam kerangka
metodologis tertentu, bukan sebagai norma absolut.⁹
Kesederhanaan,
dengan demikian, berada dalam dialektika epistemik antara
keteraturan dan keragaman. Ia berfungsi sebagai pengingat bahwa setiap teori
hanyalah representasi terbatas dari dunia yang jauh lebih luas.¹⁰ Dalam
pengertian ini, prinsip kesederhanaan bukan upaya untuk menyingkirkan
kompleksitas, melainkan untuk menata kompleksitas secara rasional agar tetap
dapat dipahami dan dikomunikasikan.¹¹
11.3.   
Kesederhanaan
sebagai Etos Intelektual dan Moral
Lebih dari sekadar
prinsip logika atau metode ilmiah, kesederhanaan memiliki dimensi etis yang
mendalam. Ia mencerminkan sikap epistemik rendah hati (epistemic
humility): kesadaran bahwa pengetahuan manusia selalu bersifat
sementara, terbatas, dan terbuka untuk koreksi.¹² Dalam dunia yang semakin
didominasi oleh teknologi dan data, kesederhanaan menjadi bentuk tanggung jawab
intelektual—menuntut agar teori dan sistem tidak dibuat lebih rumit daripada
yang dibutuhkan untuk menjelaskan kenyataan.¹³
Etos ini sejalan
dengan semangat ekologis dan humanistik: kesederhanaan bukan hanya cara
berpikir, tetapi juga cara hidup yang menghargai keterbatasan sumber daya, baik
kognitif maupun alamiah.¹⁴ Dengan demikian, prinsip kesederhanaan dapat dilihat
sebagai bentuk kearifan rasional—upaya menjaga
keseimbangan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara penjelasan dan
pengertian.
11.4.   
Penutup:
Kesederhanaan sebagai Rasionalitas Reflektif
Sebagai simpulan
filosofis, Principle
of Parsimony menempati posisi unik sebagai rasionalitas
reflektif: ia bukan hanya alat metodologis, tetapi juga cermin
bagi kesadaran manusia tentang batas dan potensi akalnya.¹⁵ Prinsip ini tidak
menjamin kebenaran, tetapi membantu manusia mendekati kebenaran melalui cara
berpikir yang efisien, terbuka, dan jujur. Dalam filsafat kontemporer,
kesederhanaan menjadi simbol integrasi antara kejelasan dan kompleksitas,
antara logos dan ethos.¹⁶
Dengan demikian, Principle
of Parsimony tetap relevan bukan karena ia menjanjikan jawaban yang
mudah, tetapi karena ia menuntun kita untuk bertanya dengan lebih cerdas.
Dalam dunia yang semakin kompleks, kesederhanaan bukanlah kemunduran
intelektual, melainkan bentuk tertinggi dari kebijaksanaan rasional: seni untuk
mengatakan yang cukup—tidak lebih, tidak kurang.¹⁷
Footnotes
[1]               
¹ Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University
of Notre Dame Press, 1987), 34–38.
[2]               
² Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press,
2015), 8–12.
[3]               
³ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed.
(London: Routledge, 2004), 118–120.
[4]               
⁴ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 139–142.
[5]               
⁵ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–169.
[6]               
⁶ Wesley C. Salmon, Scientific Explanation and the Causal Structure
of the World (Princeton: Princeton University Press, 1984), 243–247.
[7]               
⁷ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy
of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.
[8]               
⁸ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford:
Oxford University Press, 1983), 12–17.
[9]               
⁹ Hasok Chang, Is Water H₂O? Evidence, Realism and Pluralism
(Dordrecht: Springer, 2012), 311–315.
[10]            
¹⁰ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 203–205.
[11]            
¹¹ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI
Publications, 2001), 89–92.
[12]            
¹² Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in
Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.
[13]            
¹³ Daniel Dennett, Intuition Pumps and Other Tools for Thinking
(New York: W. W. Norton, 2013), 67–69.
[14]            
¹⁴ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 33–35.
[15]            
¹⁵ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford:
Clarendon Press, 1980), 156–160.
[16]            
¹⁶ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape,
2004), 295–299.
[17]            
¹⁷ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), 224–227.
Daftar Pustaka
Adams, M. M. (1987). William Ockham.
University of Notre Dame Press.
Albert, J. (1989). On the quantification of
simplicity. Philosophy of Science, 56(3), 444–457.
Akaike, H. (1974). A new look at the statistical
model identification. IEEE Transactions on Automatic Control, 19(6),
716–723.
Aristotle. (1989). Prior analytics (R.
Smith, Trans.). Hackett.
Aristotle. (1994). Posterior analytics (J.
Barnes, Trans.). Oxford University Press.
Bacon, F. (2000). Novum organum (L. Jardine
& M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.
Bishop, C. M. (2006). Pattern recognition and
machine learning. Springer.
Burnham, K. P., & Anderson, D. R. (2002). Model
selection and multimodel inference: A practical information-theoretic approach
(2nd ed.). Springer.
Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The
systems view of life. Cambridge University Press.
Carnap, R. (1937). Logical syntax of language.
Routledge & Kegan Paul.
Carnap, R. (1967). The logical structure of the
world. University of California Press.
Carroll, S. (2016). The big picture: On the
origins of life, meaning, and the universe itself. Dutton.
Cartwright, N. (1983). How the laws of physics
lie. Oxford University Press.
Cartwright, N. (1989). Nature’s capacities and
their measurement. Clarendon Press.
Cartwright, N. (2004). The vanity of rigour in
economics. Post-Autistic Economics Review, 25, 33–37.
Cartwright, N. (2007). Hunting causes and using
them. Cambridge University Press.
Chang, H. (2012). Is water H₂O? Evidence,
realism and pluralism. Springer.
Davidson, D. (1984). Inquiries into truth and
interpretation. Oxford University Press.
Dennett, D. C. (2013). Intuition pumps and other
tools for thinking. W. W. Norton.
Descartes, R. (1976). Rules for the direction of
the mind (E. Anscombe & P. Geach, Trans.). Cambridge University Press.
Domingos, P. (2015). The master algorithm: How
the quest for the ultimate learning machine will remake our world. Basic Books.
Dummett, M. (1978). Truth and other enigmas.
Harvard University Press.
Feyerabend, P. (1975). Against method.
Verso.
Feyerabend, P. (1978). Science in a free society.
NLB.
Fine, K. (2012). The structure of reality.
Oxford University Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Fodor, J., & Lepore, E. (1992). Holism: A
shopper’s guide. Blackwell.
Friedman, M. (2001). Dynamics of reason.
CSLI Publications.
Gabriel, M. (2015). Fields of sense: A new
realist ontology. Edinburgh University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
rev. ed.). Continuum.
Goodman, N. (1983). Fact, fiction, and forecast
(4th ed.). Harvard University Press.
Gracia, J. (1984). Individuation in
scholasticism. SUNY Press.
Grice, P. (1989). Logic and conversation. In Studies
in the way of words (pp. 22–40). Harvard University Press.
Haack, S. (1993). Evidence and inquiry: Towards
reconstruction in epistemology. Blackwell.
Hastie, T., Tibshirani, R., & Friedman, J.
(2009). The elements of statistical learning (2nd ed.). Springer.
Hodges, W. (1993). Model theory. Cambridge
University Press.
Hossenfelder, S. (2018). Lost in math: How
beauty leads physics astray. Basic Books.
Hume, D. (1977). An enquiry concerning human understanding
(E. Steinberg, Ed.). Hackett.
Jaynes, E. T. (2003). Probability theory: The
logic of science. Cambridge University Press.
Kauffman, S. A. (1993). The origins of order:
Self-organization and selection in evolution. Oxford University Press.
Kitcher, P. (1993). The advancement of science:
Science without legend, objectivity without illusions. Oxford University
Press.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1978). The methodology of
scientific research programmes. Cambridge University Press.
Leonelli, S. (2016). Data-centric biology.
University of Chicago Press.
Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds.
Blackwell.
Lipton, P. (2004). Inference to the best
explanation (2nd ed.). Routledge.
Longino, H. E. (1990). Science as social
knowledge. Princeton University Press.
Loux, M. J. (2017). Metaphysics: A contemporary
introduction (4th ed.). Routledge.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge. University of Minnesota Press.
Mach, E. (1919). The science of mechanics
(T. McCormack, Trans.). Open Court.
McAllister, J. W. (1996). Beauty and revolution
in science. Cornell University Press.
Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay
on the necessity of contingency. Continuum.
Miller, G. A. (1967). The psychology of
communication. Basic Books.
Miller, T. (2019). Explanation in artificial
intelligence: Insights from the social sciences. Artificial Intelligence,
267, 1–38.
Mitchell, M. (2009). Complexity: A guided tour.
Oxford University Press.
Morgan, C. L. (1894). An introduction to
comparative psychology. W. Scott.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle. Cambridge University Press.
Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis
principia mathematica. Royal Society.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A
philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.
Ockham, W. of. (1951). Summa logicae (P.
Boehner, Ed.). Franciscan Institute.
Pearl, J. (2018). The book of why: The new
science of cause and effect. Basic Books.
Penrose, R. (2004). The road to reality.
Jonathan Cape.
Peirce, C. S. (1955). Abduction and induction. In
J. Buchler (Ed.), Philosophical writings of Peirce (pp. 150–156). Dover.
Polanyi, M. (1966). The tacit dimension.
University of Chicago Press.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Popper, K. R. (1963). Conjectures and
refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.
Quine, W. V. O. (1948). On what there is. Review
of Metaphysics, 2(5), 21–38.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. Philosophical
Review, 60(1), 20–43.
Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT
Press.
Rissanen, J. (2007). Information and complexity
in statistical modeling. Springer.
Salmon, M. H. (1999). Introduction to the
philosophy of science. Hackett.
Salmon, W. C. (1984). Scientific explanation and
the causal structure of the world. Princeton University Press.
Saussure, F. de. (1986). Course in general
linguistics (R. Harris, Trans.). Open Court.
Schaffer, J. (2009). On what grounds what. In D.
Chalmers, D. Manley, & R. Wasserman (Eds.), Metametaphysics: New essays
on the foundations of ontology (pp. 347–383). Oxford University Press.
Schwarz, G. (1978). Estimating the dimension of a
model. Annals of Statistics, 6(2), 461–464.
Sober, E. (1988). Reconstructing the past:
Parsimony, evolution, and inference. MIT Press.
Sober, E. (2015). Simplicity. Oxford
University Press.
Sober, E. (2015). Ockham’s razors: A user’s
manual. Cambridge University Press.
Solomon, M. (2001). Social empiricism. MIT
Press.
Spade, P. V. (1999). Ockham’s nominalism. In P. V.
Spade (Ed.), The Cambridge companion to Ockham (pp. 100–105). Cambridge
University Press.
Strevens, M. (2009). The role of parsimony in
explanation. Philosophy of Science, 76(4), 488–506.
Tarski, A. (1956). Logic, semantics,
metamathematics (J. H. Woodger, Trans.). Clarendon Press.
Tarski, A. (1995). Introduction to logic and to
the methodology of deductive sciences. Dover.
Tegmark, M. (2014). Our mathematical universe.
Knopf.
Thomas Aquinas. (1947). Summa theologiae.
Benziger Bros.
Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Clarendon Press.
Van Fraassen, B. C. (2002). The empirical stance.
Yale University Press.
Van Inwagen, P. (2001). Ontology, identity, and
modality: Essays in metaphysics. Cambridge University Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality.
Free Press.
Williamson, T. (2007). The philosophy of
philosophy. Blackwell.
Williamson, T. (2013). Modal logic as
metaphysics. Oxford University Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar