Jumat, 17 Oktober 2025

Principle of Parsimony: Kajian Epistemologis, Metodologis, dan Ontologis atas Principle of Parsimony

Principle of Parsimony

Kajian Epistemologis, Metodologis, dan Ontologis atas Principle of Parsimony


Alihkan ke: Logika dalam Filsafat.

Logical Fallacies, Penalaran, Teori Argumen dalam Logika, Hidup Logis dan Etis.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif prinsip kesederhanaan atau Principle of Parsimony—yang dikenal luas sebagai Occam’s Razor—dalam konteks filsafat dan ilmu pengetahuan. Kajian ini berangkat dari pertanyaan mendasar: apakah kesederhanaan merupakan sifat ontologis realitas, kriteria epistemik kebenaran, atau sekadar strategi metodologis dalam penyusunan teori ilmiah? Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, metodologis, dan linguistik, artikel ini menelusuri asal-usul prinsip tersebut sejak William of Ockham dan transformasinya dalam tradisi empirisme, rasionalisme, dan sains modern hingga aplikasinya dalam filsafat kontemporer.

Pembahasan menunjukkan bahwa prinsip kesederhanaan memiliki tiga dimensi yang saling terkait: (1) ontologis, yang berakar pada gagasan ekonomi entitas dan nominalisme Ockham; (2) epistemologis, sebagai nilai pengetahuan yang menyeimbangkan antara kejelasan dan kompleksitas dalam inferensi ilmiah; serta (3) metodologis, sebagai pedoman dalam pemilihan teori dan model dalam sains modern, termasuk dalam biologi evolusioner, kosmologi, dan kecerdasan buatan. Selain itu, prinsip ini juga memiliki implikasi dalam logika dan filsafat bahasa, di mana kesederhanaan dipandang sebagai kriteria formalisasi dan kejelasan semantik.

Namun, artikel ini juga menyoroti berbagai kritik terhadap prinsip kesederhanaan—mulai dari relativitas definisional, tantangan pluralisme ilmiah, hingga penolakan dari teori kompleksitas dan filsafat postmodern. Dari perspektif sintesis filosofis, kesederhanaan tidak dipahami sebagai dogma absolut, melainkan sebagai bentuk rasionalitas reflektif yang mengatur hubungan manusia dengan kompleksitas realitas. Dalam konteks kontemporer, prinsip ini tetap relevan sebagai paradigma etis, epistemik, dan ekologis yang menuntun manusia berpikir efisien, terbuka, dan bertanggung jawab di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas dunia modern.

Kata Kunci: Principle of Parsimony, Occam’s Razor, kesederhanaan, epistemologi, ontologi, metodologi ilmiah, rasionalitas reflektif, pluralisme ilmiah, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Prinsip Kesederhanaan dalam Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


1.           Pendahuluan

Prinsip kesederhanaan, yang dalam tradisi filsafat sering disebut Principle of Parsimony atau Occam’s Razor, merupakan salah satu asas paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran ilmiah dan filosofis. Secara umum, prinsip ini menyatakan bahwa di antara dua atau lebih penjelasan yang sama-sama memadai terhadap suatu fenomena, penjelasan yang paling sederhana sebaiknya dipilih. William of Ockham (1287–1347), teolog dan filsuf skolastik Inggris, merumuskannya dalam bentuk adagium yang terkenal: Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem—“Entitas tidak boleh digandakan tanpa kebutuhan.”¹ Prinsip ini, yang awalnya lahir dari upaya teologis untuk mempertahankan kesederhanaan dalam konsepsi realitas dan Tuhan, berkembang menjadi fondasi epistemologis dan metodologis dalam sains modern.

Dalam konteks filsafat ilmu, prinsip kesederhanaan berfungsi sebagai pedoman dalam menilai keunggulan suatu teori. Karl Popper menegaskan bahwa teori yang lebih sederhana, apabila memiliki daya jelaskan dan daya prediksi yang sama dengan teori yang lebih kompleks, sebaiknya diutamakan karena lebih falsifiabel dan ekonomis secara epistemik.² Begitu pula dalam pandangan Elliott Sober, kesederhanaan bukan hanya preferensi estetis, melainkan instrumen rasional untuk menghindari overfitting dalam inferensi ilmiah.³ Namun demikian, problem mendasar muncul ketika prinsip ini dikonfrontasikan dengan kerumitan realitas: apakah alam semesta memang sederhana, ataukah kesederhanaan hanyalah refleksi dari keterbatasan rasionalitas manusia?

Pertanyaan tersebut membuka ruang perdebatan filosofis antara dimensi ontologis dan epistemologis dari prinsip kesederhanaan. Secara ontologis, prinsip ini berimplikasi pada pandangan bahwa realitas memiliki struktur minimalis—bahwa entitas atau postulat metafisik tidak perlu diperbanyak tanpa alasan kuat.⁴ Sebaliknya, secara epistemologis, prinsip ini berfungsi sebagai alat heuristik untuk memilih teori yang lebih ekonomis, meskipun mungkin tidak selalu merepresentasikan realitas secara penuh.⁵ Di sinilah muncul ketegangan antara truth dan simplicity: apakah kesederhanaan menjamin kebenaran, atau sekadar efisiensi kognitif?

Dalam perkembangan mutakhir, Principle of Parsimony juga menjadi topik lintas disiplin—dari biologi evolusioner (phylogenetic parsimony), teori probabilitas (Bayesian Occam’s Razor), hingga kecerdasan buatan dan machine learning.⁶ Kompleksitas epistemik abad ke-21 menuntut reinterpretasi prinsip ini: kesederhanaan tidak lagi sekadar pengurangan, melainkan juga kemampuan untuk mengekspresikan kompleksitas dengan struktur minimal. Dengan demikian, prinsip kesederhanaan bukan sekadar alat metodologis, tetapi juga cermin dari etos rasionalitas manusia yang terus berusaha menemukan keteraturan di balik kerumitan dunia.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis Principle of Parsimony secara menyeluruh dari tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis, dan metodologis. Dengan pendekatan filosofis-kritis, pembahasan akan menelusuri akar historisnya sejak abad pertengahan hingga implikasinya dalam filsafat dan sains kontemporer. Kajian ini diharapkan dapat memperlihatkan bahwa kesederhanaan bukanlah prinsip absolut, melainkan sikap epistemik yang harus selalu dikaji ulang dalam konteks perubahan paradigma pengetahuan.


Footnotes

[1]                ¹ William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1951), 12.

[2]                ² Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 142–145.

[3]                ³ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 3–7.

[4]                ⁴ Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2017), 57–59.

[5]                ⁵ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 118–122.

[6]                ⁶ John Burnham dan Kenneth Anderson, Model Selection and Multimodel Inference: A Practical Information-Theoretic Approach, 2nd ed. (New York: Springer, 2002), 8–11.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Gagasan

Asal-usul Principle of Parsimony tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual abad pertengahan, khususnya dalam tradisi skolastik yang berusaha memadukan iman dan rasio. Prinsip ini pertama kali diformulasikan secara eksplisit oleh William of Ockham (1287–1347), seorang filsuf dan teolog Fransiskan yang berupaya membatasi proliferasi entitas metafisik dalam teologi dan logika.¹ Ockham menolak universalia sebagai entitas yang benar-benar eksis di luar pikiran, dan karenanya menegaskan bahwa “tidak seharusnya entitas digandakan tanpa alasan yang perlu” (entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem).² Dengan demikian, prinsip kesederhanaan awalnya bersifat ontologis, yakni berfungsi untuk menolak posulat metafisik yang berlebihan dalam menjelaskan realitas.

Namun, akar intelektual prinsip ini dapat ditelusuri lebih jauh ke Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam Posterior Analytics, Aristoteles menekankan bahwa penjelasan yang baik adalah penjelasan yang tidak menambah kompleksitas tanpa alasan yang sah; setiap penjelasan harus bersifat proporsional dengan fenomena yang dijelaskan.³ Thomas Aquinas, sementara itu, menafsirkan kesederhanaan dalam konteks teologis: kesederhanaan adalah sifat ilahi—Tuhan sebagai actus purus tidak memiliki komposisi, karena segala sesuatu yang kompleks mengandaikan potensi dan kekurangan.⁴ Dengan demikian, sebelum menjadi prinsip metodologis sains, kesederhanaan telah memiliki status metafisik dalam teologi Kristen sebagai lambang kesempurnaan dan kebenaran.

Pada masa Renaisans dan awal modernitas, prinsip kesederhanaan mulai mengalami transformasi dari asas metafisik menjadi asas metodologis. Dalam karya Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1687), terdapat ungkapan: “Nature does nothing in vain, and more is in vain when less will serve; for Nature is pleased with simplicity.”⁵ Prinsip ini, dalam kerangka Newtonian, menjadi dasar untuk menolak hipotesis yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sementara René Descartes menekankan bahwa metode ilmiah harus berangkat dari ide-ide yang jelas dan sederhana sebagai landasan deduksi yang pasti.⁶ Kesederhanaan, dengan demikian, beralih fungsi menjadi prinsip epistemologis—bukan lagi untuk menyatakan apa yang ada (what is), melainkan bagaimana kita sebaiknya mengetahui (how we know).

Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, prinsip ini semakin mengakar dalam metodologi ilmiah. Dalam logika empirisme dan positivisme logis, prinsip kesederhanaan berperan sebagai kriteria keunggulan teoretis. Ernst Mach dan Pierre Duhem menekankan pentingnya ekonomi pemikiran (economy of thought)—yakni bahwa teori ilmiah yang baik adalah teori yang paling efisien dalam menjelaskan fakta dengan postulat minimal.⁷ Dalam tradisi Vienna Circle, tokoh seperti Rudolf Carnap dan Hans Reichenbach menganggap kesederhanaan sebagai faktor penting dalam pembentukan bahasa ilmiah dan konfirmasi empiris.⁸

Memasuki abad ke-20 akhir, perdebatan mengenai status prinsip kesederhanaan semakin kompleks. Karl Popper melihat kesederhanaan sebagai ekspresi dari falsifiabilitas: teori yang lebih sederhana lebih mudah diuji dan karena itu lebih ilmiah.⁹ Namun, Thomas Kuhn dan Imre Lakatos mengkritik pandangan ini, dengan menekankan bahwa kesederhanaan tidak dapat dipisahkan dari konteks paradigma dan program riset yang berlaku.¹⁰ Kesederhanaan menjadi relatif terhadap kerangka konseptual, bukan prinsip universal. Dalam pandangan ini, prinsip kesederhanaan berubah dari norma universal rasionalitas menjadi instrumen heuristik kontekstual.

Dalam filsafat kontemporer, prinsip ini telah menembus berbagai disiplin: dari biologi evolusioner dengan pendekatan phylogenetic parsimony, hingga kosmologi teoretis yang mempertimbangkan apakah hipotesis multisemesta melanggar prinsip kesederhanaan.¹¹ Dalam ranah informatika dan kecerdasan buatan, Occam’s Razor direinterpretasikan secara matematis melalui teori Minimum Description Length (MDL) dan prinsip Bayesian Occam’s Razor, yang menyatakan bahwa model terbaik adalah yang memberikan keseimbangan optimal antara kompleksitas dan akurasi.¹²

Dari perjalanan historis ini tampak bahwa Principle of Parsimony bukanlah doktrin tunggal yang statis, melainkan prinsip yang berevolusi mengikuti perubahan paradigma rasionalitas manusia. Ia bermula sebagai dogma metafisik dalam teologi skolastik, lalu menjadi prinsip metodologis dalam ilmu modern, dan kini tampil sebagai heuristik formal dalam sains kontemporer. Genealogi ini menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan sekadar estetika pemikiran, melainkan ekspresi dari dinamika epistemik manusia dalam memahami keteraturan dunia.


Footnotes

[1]                ¹ Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 34–38.

[2]                ² William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1951), 14.

[3]                ³ Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Oxford University Press, 1994), 71b16–72a5.

[4]                ⁴ Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3, a.7 (New York: Benziger Bros., 1947).

[5]                ⁵ Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (London: Royal Society, 1687), Book III, General Scholium.

[6]                ⁶ René Descartes, Rules for the Direction of the Mind, trans. Elizabeth Anscombe and Peter Geach (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), Rule V.

[7]                ⁷ Ernst Mach, The Science of Mechanics, trans. Thomas McCormack (Chicago: Open Court, 1919), 490–495.

[8]                ⁸ Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 57–60.

[9]                ⁹ Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 145–149.

[10]             ¹⁰ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 167–169; Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 32–36.

[11]             ¹¹ Elliott Sober, Reconstructing the Past: Parsimony, Evolution, and Inference (Cambridge: MIT Press, 1988), 23–25.

[12]             ¹² Jorma Rissanen, Information and Complexity in Statistical Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.


3.           Formulasi Filosofis Principle of Parsimony

Prinsip kesederhanaan (Principle of Parsimony) memiliki berbagai formulasi yang berkembang seiring evolusi pemikiran filosofis dan ilmiah. Meskipun sering disederhanakan menjadi adagium “pilihlah penjelasan paling sederhana”, makna filosofis di baliknya jauh lebih kompleks. Prinsip ini dapat diformulasikan dalam tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis, dan metodologis. Ketiganya saling berkaitan, namun beroperasi pada aras konseptual yang berbeda—yakni mengenai apa yang ada, bagaimana kita mengetahui, dan bagaimana kita menalar serta menjelaskan.

3.1.       Formulasi Ontologis: Kesederhanaan dalam Struktur Realitas

Secara ontologis, Principle of Parsimony berakar pada pandangan bahwa realitas bersifat ekonomis dan tidak mengandung entitas yang tidak perlu. William of Ockham sendiri tidak hanya berbicara tentang kesederhanaan dalam berpikir, melainkan juga menolak keberadaan universalia di luar pikiran.¹ Dalam konteks ini, prinsip kesederhanaan adalah ekspresi nominalisme ontologis, yang berupaya meniadakan entitas metafisik yang tidak memiliki justifikasi empiris atau logis.²

Dalam perkembangannya, prinsip ini mendapat dukungan dari para filsuf empiris seperti John Locke dan David Hume, yang menolak entitas metafisik di luar pengalaman inderawi.³ Bagi mereka, kesederhanaan ontologis berarti menahan diri untuk tidak menambahkan “penyebab tersembunyi” (occult causes) atau esensi-esensi yang tidak dapat diverifikasi. Dalam filsafat kontemporer, gagasan ini diteruskan oleh Quine melalui konsep “ontological commitment,” yakni bahwa eksistensi suatu entitas hanya dibenarkan sejauh ia diperlukan oleh teori terbaik kita tentang dunia.⁴ Dengan demikian, Principle of Parsimony secara ontologis menjadi panduan untuk meminimalkan entitas yang diasumsikan tanpa mengorbankan daya jelaskan teori.

3.2.       Formulasi Epistemologis: Kesederhanaan sebagai Nilai Pengetahuan

Secara epistemologis, prinsip ini menempati posisi sebagai nilai epistemik—yakni kriteria untuk menilai keunggulan suatu teori. Elliott Sober menekankan bahwa kesederhanaan memiliki dua bentuk: simplicity of theory (jumlah hipotesis atau parameter yang lebih sedikit) dan simplicity of explanation (struktur penjelasan yang lebih efisien).⁵ Namun, tidak semua bentuk kesederhanaan bersifat epistemik; kadang ia juga berfungsi estetis—teori sederhana sering dianggap lebih “indah” dan karenanya lebih meyakinkan, meskipun belum tentu lebih benar.⁶

Karl Popper memandang kesederhanaan sebagai konsekuensi logis dari prinsip falsifiabilitas: teori yang lebih sederhana lebih mudah diuji karena menghasilkan lebih banyak konsekuensi empiris yang dapat disangkal.⁷ Sementara itu, Peter Lipton dalam Inference to the Best Explanation menegaskan bahwa kesederhanaan bekerja secara abduktif—penjelasan yang sederhana lebih mungkin benar karena lebih ekonomis dalam mengasumsikan sebab-sebab.⁸ Namun, perdebatan muncul: apakah kesederhanaan benar-benar berkontribusi pada kebenaran, atau sekadar memudahkan manusia dalam menavigasi kompleksitas pengetahuan? Para epistemolog kontemporer seperti Merrilee Salmon dan Michael Friedman mengingatkan bahwa kesederhanaan tidak boleh diperlakukan sebagai bukti kebenaran, tetapi sebagai heuristik rasional dalam konteks ketidakpastian.⁹

3.3.       Formulasi Metodologis: Kesederhanaan dalam Praktik Ilmiah

Dimensi ketiga, yakni metodologis, menempatkan prinsip kesederhanaan sebagai pedoman dalam penyusunan dan pemilihan teori. Dalam sains modern, prinsip ini sering dirumuskan dalam bentuk perbandingan model: di antara model-model yang memiliki daya jelaskan setara, model dengan asumsi paling sedikit dan struktur paling sederhana dianggap lebih unggul.¹⁰ Pendekatan ini dapat ditemukan dalam kerangka Bayesian Occam’s Razor, yang menyeimbangkan antara kompleksitas model dan kekuatan prediktif.¹¹

Dalam ilmu biologi evolusioner, prinsip ini diwujudkan dalam metode parsimony analysis, yakni memilih pohon filogenetik yang memerlukan jumlah perubahan evolusioner paling sedikit untuk menjelaskan data yang ada.¹² Sedangkan dalam fisika dan kosmologi, prinsip ini menjadi dasar bagi penolakan terhadap hipotesis tambahan seperti “multiverse” atau “hidden variables” kecuali jika dibutuhkan oleh bukti empiris.¹³ Di sisi lain, para kritikus seperti Nancy Cartwright berargumen bahwa dunia ilmiah mungkin tidak sesederhana yang kita harapkan, dan bahwa kesederhanaan metodologis sering kali mengabaikan kompleksitas fenomena aktual.¹⁴

3.4.       Relasi Antardimensi dan Problematika Filosofis

Ketiga dimensi di atas menunjukkan bahwa Principle of Parsimony bukanlah prinsip tunggal, melainkan suatu kerangka nilai rasionalitas ilmiah. Kesederhanaan ontologis membatasi jumlah entitas, kesederhanaan epistemologis mengatur cara kita menilai teori, dan kesederhanaan metodologis memandu cara kita memilih model penjelasan. Namun, antara ketiganya terdapat ketegangan inheren: teori yang sederhana secara ontologis belum tentu sederhana secara metodologis, dan sebaliknya.¹⁵

Dilema ini menimbulkan perdebatan filosofis yang masih terbuka: apakah kesederhanaan merupakan prinsip normatif (ought to be simple) atau sekadar prinsip pragmatis (it works better if simple)? Dalam konteks filsafat sains kontemporer, banyak yang berpendapat bahwa Principle of Parsimony bersifat defeasible—artinya, prinsip ini berlaku sejauh tidak bertentangan dengan bukti empiris yang kuat.¹⁶ Maka, kesederhanaan bukanlah kebenaran, melainkan strategi epistemik yang merefleksikan keterbatasan dan kreativitas rasio manusia dalam memahami dunia yang kompleks.


Footnotes

[1]                ¹ William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1951), 10–15.

[2]                ² Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 42–45.

[3]                ³ David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1977), 58–60.

[4]                ⁴ W. V. O. Quine, “On What There Is,” Review of Metaphysics 2, no. 5 (1948): 21–38.

[5]                ⁵ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 8–12.

[6]                ⁶ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape, 2004), 295–299.

[7]                ⁷ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 139–142.

[8]                ⁸ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 118–120.

[9]                ⁹ Merrilee H. Salmon, Introduction to the Philosophy of Science (Indianapolis: Hackett, 1999), 72–74; Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI Publications, 2001), 52–55.

[10]             ¹⁰ Kenneth Burnham dan David Anderson, Model Selection and Multimodel Inference: A Practical Information-Theoretic Approach, 2nd ed. (New York: Springer, 2002), 20–23.

[11]             ¹¹ Jorma Rissanen, Information and Complexity in Statistical Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.

[12]             ¹² Elliott Sober, Reconstructing the Past: Parsimony, Evolution, and Inference (Cambridge: MIT Press, 1988), 23–27.

[13]             ¹³ Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 201–203.

[14]             ¹⁴ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Oxford University Press, 1983), 12–17.

[15]             ¹⁵ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.

[16]             ¹⁶ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 221–224.


4.           Dasar Ontologis dan Metafisik

Pembahasan mengenai Principle of Parsimony tidak akan lengkap tanpa menelusuri dasar ontologis dan metafisik yang menopangnya. Meskipun prinsip ini kerap dianggap sebagai panduan metodologis atau kriteria epistemik, akar terdalamnya sesungguhnya berakar pada asumsi ontologis tentang sifat realitas itu sendiri—yakni bahwa realitas bersifat sederhana, teratur, dan tidak mengandung entitas yang berlebihan. Dalam kerangka metafisika, parsimony bukan sekadar strategi berpikir, melainkan klaim implisit tentang struktur ontologis dunia.¹

4.1.       Ockham dan Nominalisme Ontologis

Bagi William of Ockham, prinsip kesederhanaan muncul sebagai konsekuensi dari nominalisme metafisiknya. Dalam Summa Logicae, Ockham menolak gagasan bahwa universalia memiliki eksistensi mandiri di luar pikiran; bagi Ockham, hanya individu yang benar-benar ada (res singularis est ens verum).² Dengan demikian, universalia hanyalah nama (nomina) atau konsep mental yang digunakan untuk mengelompokkan individu yang serupa.³ Dari sinilah muncul adagium entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem, yang tidak hanya bermakna metodologis tetapi juga ontologis: kita tidak boleh mengakui keberadaan sesuatu kecuali bila ada kebutuhan logis atau empiris yang menuntutnya.⁴

Nominalisme Ockham memotong realitas dari entitas-entitas metafisik yang tidak dapat dibuktikan, dan karena itu prinsip kesederhanaan menjadi wujud dari ontological economy—yakni penghematan dalam komitmen ontologis. Prinsip ini berimplikasi bahwa dunia pada dasarnya terdiri atas individu konkret, dan bahwa setiap upaya untuk menambahkan entitas abstrak tanpa dasar empiris adalah bentuk spekulasi metafisik yang tidak sah.⁵ Dalam konteks ini, prinsip kesederhanaan menandai pergeseran radikal dari realisme skolastik menuju empirisme awal.

4.2.       Ontologi Kesederhanaan: Antara Realisme dan Instrumentalisme

Secara historis, prinsip kesederhanaan memunculkan dua interpretasi metafisik utama: realisme parsimonis dan instrumentalisme epistemik. Dalam interpretasi realis, kesederhanaan dianggap sebagai cerminan dari struktur dunia itu sendiri—yakni bahwa alam semesta secara ontologis sederhana dan elegan.⁶ Pendekatan ini dapat ditemukan dalam pandangan Isaac Newton, Albert Einstein, dan Roger Penrose, yang meyakini bahwa hukum-hukum alam bersifat indah dan ekonomis, bukan karena preferensi manusia, melainkan karena demikianlah realitas itu terstruktur.⁷

Sebaliknya, dalam interpretasi instrumentalis, kesederhanaan tidak mengacu pada realitas eksternal, tetapi hanya pada efisiensi kognitif manusia. Kesederhanaan adalah cara berpikir yang memungkinkan kita untuk menjelaskan fenomena tanpa kehilangan kendali atas kompleksitas empirisnya.⁸ Dengan demikian, parsimony bukanlah sifat dunia, melainkan fungsi rasionalitas—sebuah konstruksi epistemik yang membantu manusia menavigasi keterbatasan pengetahuan. Dalam kerangka ini, kesederhanaan tidak menjamin kebenaran, tetapi efisiensi dalam berpikir.⁹

Debat antara dua posisi ini menyingkap persoalan mendasar dalam metafisika: apakah dunia sederhana karena ia memang demikian (ontological simplicity), atau karena kita memilih untuk memahaminya demikian (epistemic preference for simplicity)? Para filsuf seperti Elliott Sober dan David Lewis berpendapat bahwa kesederhanaan memiliki makna ganda: secara metafisik, ia mengatur bagaimana entitas harus dipostulatkan; secara epistemik, ia membatasi cara teori diorganisir.¹⁰

4.3.       Kesederhanaan, Keberadaan, dan Nilai Ontologis

Dalam filsafat kontemporer, diskursus mengenai ontological parsimony sering dikaitkan dengan konsep ontological commitment yang diperkenalkan oleh W. V. O. Quine.¹¹ Quine menegaskan bahwa komitmen ontologis kita ditentukan oleh apa yang diperlukan untuk membuat teori kita benar. Karena itu, prinsip kesederhanaan berfungsi sebagai panduan untuk meminimalkan entitas yang diandaikan, sejauh entitas tersebut tidak berkontribusi terhadap kebenaran empiris teori.¹² Dalam kerangka Quinean ini, kesederhanaan tidak sekadar moralitas berpikir, melainkan logika eksistensial yang membatasi isi dunia teoritis kita.

Sementara itu, dalam ontologi analitik modern, muncul pendekatan metafisika minimalis, yang berargumen bahwa struktur dasar realitas cukup dijelaskan oleh entitas paling sederhana yang tidak dapat direduksi lebih jauh—misalnya partikel dasar atau fakta fundamental.¹³ Pandangan ini berbeda dari reduksionisme mekanistik klasik karena menekankan parsimony of postulates ketimbang eliminasi total kompleksitas. Kesederhanaan, dalam pengertian ini, bersifat struktural, bukan kuantitatif semata.¹⁴

Namun, tidak semua filsuf menerima klaim bahwa realitas itu sederhana. Dalam tradisi proses metafisika (Whitehead, Bergson) dan realisme spekulatif (Meillassoux, Harman), kesederhanaan dianggap sebagai ilusi metodologis yang menutupi kedalaman ontologis dunia.¹⁵ Bagi mereka, realitas tidak sederhana, melainkan penuh lipatan, relasi, dan emergensi. Prinsip kesederhanaan, dalam pandangan ini, hanyalah refleksi dari kecenderungan kognitif manusia untuk menundukkan yang kompleks menjadi yang dapat dipahami.¹⁶

4.4.       Kritik dan Sintesis Ontometafisik

Perdebatan metafisik seputar Principle of Parsimony menegaskan bahwa prinsip ini tidak bisa dipisahkan dari asumsi ontologis yang lebih luas tentang hakikat eksistensi. Jika prinsip ini diterima secara mutlak, maka segala bentuk pluralitas metafisik (seperti esensi, sebab final, atau multisemesta) akan ditolak sebagai spekulatif. Namun, jika prinsip ini diperlunak, ia menjadi sekadar panduan heuristik untuk mengatur kompleksitas ontologis.¹⁷

Beberapa filsuf kontemporer berupaya merumuskan posisi sintesis: bahwa kesederhanaan bukan kualitas metafisik realitas, melainkan struktur emergen rasionalitas manusia dalam menghadapi dunia.¹⁸ Dalam pandangan ini, kesederhanaan berfungsi seperti “bahasa ontologis”—ia tidak menggambarkan dunia secara langsung, tetapi menyediakan pola keteraturan yang memungkinkan dunia untuk dapat dipahami. Dengan demikian, dasar ontologis dan metafisik dari Principle of Parsimony tidak bersifat absolut, melainkan dialogis: ia menghubungkan antara apa yang ada dan cara kita memahaminya.


Footnotes

[1]                ¹ Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2017), 55–57.

[2]                ² William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1951), 10–14.

[3]                ³ Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 41–43.

[4]                ⁴ Jorge Gracia, Individuation in Scholasticism (Albany: SUNY Press, 1984), 178–182.

[5]                ⁵ Paul Vincent Spade, “Ockham’s Nominalism,” The Cambridge Companion to Ockham, ed. Paul Vincent Spade (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 100–105.

[6]                ⁶ David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 3–5.

[7]                ⁷ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape, 2004), 295–299.

[8]                ⁸ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 155–158.

[9]                ⁹ Wesley C. Salmon, Scientific Explanation and the Causal Structure of the World (Princeton: Princeton University Press, 1984), 243–247.

[10]             ¹⁰ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 12–16.

[11]             ¹¹ W. V. O. Quine, “On What There Is,” Review of Metaphysics 2, no. 5 (1948): 21–38.

[12]             ¹² Peter van Inwagen, Ontology, Identity, and Modality: Essays in Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 48–51.

[13]             ¹³ Jonathan Schaffer, “On What Grounds What,” in Metametaphysics: New Essays on the Foundations of Ontology, ed. David Chalmers et al. (Oxford: Oxford University Press, 2009), 347–383.

[14]             ¹⁴ Kit Fine, The Structure of Reality (Oxford: Oxford University Press, 2012), 14–17.

[15]             ¹⁵ Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 23–25; Quentin Meillassoux, After Finitude (London: Continuum, 2008), 39–42.

[16]             ¹⁶ Graham Harman, The Quadruple Object (Winchester: Zero Books, 2011), 21–24.

[17]             ¹⁷ Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 79–83.

[18]             ¹⁸ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 201–205.


5.           Dimensi Epistemologis

Dimensi epistemologis dari Principle of Parsimony berkaitan erat dengan pertanyaan tentang bagaimana manusia memperoleh, membenarkan, dan menilai pengetahuan. Jika pada dimensi ontologis prinsip ini berbicara mengenai struktur realitas yang minimal dan teratur, maka secara epistemologis ia berfungsi sebagai kriteria rasionalitas dan validitas teori. Dalam epistemologi modern dan kontemporer, kesederhanaan (simplicity) dipandang bukan hanya sebagai preferensi estetika, melainkan sebagai nilai epistemik (epistemic virtue) yang membantu kita menentukan teori mana yang lebih dapat dipercaya.¹

5.1.       Kesederhanaan sebagai Nilai Epistemik

Sejak masa Francis Bacon dan Isaac Newton, kesederhanaan telah dianggap sebagai tanda kematangan intelektual dan keandalan pengetahuan. Bacon menegaskan bahwa teori yang baik harus memadatkan keragaman fenomena menjadi prinsip-prinsip yang umum dan jelas, tanpa mengada-adakan hipotesis yang tidak perlu.² Dalam pandangan ini, kesederhanaan bukan sekadar keindahan logis, melainkan bentuk ekonomi intelektual yang mencerminkan disiplin rasionalitas ilmiah.

Dalam epistemologi kontemporer, Elliott Sober menegaskan bahwa kesederhanaan memiliki peran ganda: pertama, sebagai kriteria pemilihan teori (theory choice), dan kedua, sebagai bentuk prior epistemic probability—yakni keyakinan awal bahwa teori sederhana lebih mungkin benar.³ Sementara Peter Lipton berargumen bahwa dalam inferensi ke penjelasan terbaik (inference to the best explanation), teori sederhana lebih unggul karena meminimalkan entitas dan asumsi tanpa kehilangan daya jelaskan.⁴ Dengan demikian, kesederhanaan epistemik dapat dipahami sebagai bentuk kepercayaan rasional terhadap keteraturan dunia: semakin sedikit asumsi yang diperlukan untuk menjelaskan suatu fenomena, semakin tinggi kemungkinan penjelasan itu benar.⁵

Namun, prinsip ini menghadapi persoalan mendasar: mengapa kesederhanaan harus diutamakan? Tidak ada argumen logis yang menunjukkan bahwa dunia niscaya sederhana. Karena itu, banyak filsuf sains menganggap kesederhanaan bukan sebagai jaminan kebenaran, melainkan sebagai aturan praktis (heuristic rule) yang terbukti efektif dalam sejarah ilmu pengetahuan.⁶

5.2.       Kesederhanaan dan Rasionalitas Ilmiah

Dalam konteks metodologi ilmiah, kesederhanaan berfungsi sebagai virtue of theory choice yang berdampingan dengan nilai-nilai epistemik lain seperti koherensi, akurasi, dan jangkauan eksplanatoris. Thomas Kuhn menegaskan bahwa komunitas ilmiah sering kali memilih teori yang lebih sederhana karena lebih mudah diajarkan, diterapkan, dan dikembangkan dalam kerangka paradigma.⁷ Namun, menurut Imre Lakatos, kesederhanaan tidak bisa berdiri sendiri; ia hanya memiliki makna dalam konteks research programme yang berhasil menghasilkan prediksi baru dan menghindari ad hoc hypotheses.⁸

Kesederhanaan juga memiliki implikasi logis terhadap struktur inferensi ilmiah. Dalam kerangka Bayesian epistemology, prinsip kesederhanaan muncul dalam bentuk Bayesian Occam’s Razor: teori yang lebih kompleks secara probabilistik memiliki prior yang lebih kecil, kecuali jika didukung oleh bukti yang signifikan.⁹ Dengan kata lain, epistemologi probabilistik menempatkan kesederhanaan sebagai bentuk preferensi rasional terhadap teori yang memuat lebih sedikit parameter bebas.¹⁰ Prinsip ini mencerminkan bahwa kesederhanaan bukan hanya norma estetika, melainkan mekanisme formal untuk menyeimbangkan antara kompleksitas model dan kekuatan penjelasan.¹¹

5.3.       Problem Induksi dan Justifikasi Rasional Kesederhanaan

Meski kesederhanaan telah terbukti bermanfaat secara pragmatis, justifikasi epistemologisnya tetap menjadi masalah filosofis yang belum terselesaikan. Apakah kesederhanaan dapat dijustifikasi secara rasional, ataukah ia hanya tradisi kebiasaan yang diwarisi dari sejarah sains? Pertanyaan ini berkaitan erat dengan problem induksi sebagaimana dirumuskan oleh David Hume.¹² Menurut Hume, tidak ada dasar rasional untuk meyakini bahwa pola yang sederhana di masa lalu akan berlanjut di masa depan. Maka, jika kesederhanaan diambil sebagai pedoman pengetahuan, hal itu lebih merupakan bentuk kepercayaan pragmatis daripada kepastian logis.¹³

Karl Popper mencoba memecahkan dilema ini melalui konsep falsifiabilitas. Ia berpendapat bahwa teori yang sederhana lebih baik karena menghasilkan lebih banyak konsekuensi yang dapat diuji; dengan demikian, ia lebih terbuka terhadap penyangkalan empiris.¹⁴ Popper tidak mengatakan bahwa kesederhanaan menjamin kebenaran, melainkan bahwa teori sederhana lebih ilmiah karena lebih berisiko untuk salah. Dalam konteks ini, kesederhanaan menjadi kriteria rasionalitas kritis, bukan kebenaran ontologis.

Namun, para epistemolog pasca-positivis seperti Bas van Fraassen mengingatkan bahwa kesederhanaan hanyalah salah satu dari sekian banyak nilai yang memengaruhi pemilihan teori.¹⁵ Dalam pandangannya, kebenaran ilmiah tidak dapat direduksi pada kesederhanaan karena dunia bisa saja lebih kompleks daripada teori kita. Prinsip kesederhanaan, karenanya, lebih tepat dipahami sebagai ekspresi dari pragmatic virtue—yakni alat yang memandu kita menuju pemahaman yang lebih efisien, bukan sebagai jaminan korespondensi terhadap realitas.¹⁶

5.4.       Kesederhanaan, Kebenaran, dan Rasionalitas Terbuka

Kesimpulan epistemologis dari perdebatan ini adalah bahwa Principle of Parsimony berfungsi sebagai bentuk rasionalitas terbuka (open rationality). Ia tidak mengklaim kepastian, tetapi menawarkan arah berpikir yang efisien dan produktif. Kesederhanaan, dalam pengertian ini, menjadi nilai reflektif: ia mengatur hubungan antara keterbatasan kognitif manusia dan kompleksitas dunia yang dihadapinya.¹⁷

Dalam kerangka ini, prinsip kesederhanaan tidak lagi dipahami sebagai dogma epistemik, melainkan sebagai mekanisme penyeimbang antara tuntutan kognitif dan realitas empiris. Ia membantu ilmu pengetahuan menghindari inflasi teori tanpa menutup diri terhadap kompleksitas yang sesungguhnya ada.¹⁸ Dengan demikian, dimensi epistemologis Principle of Parsimony memperlihatkan bahwa kesederhanaan adalah ekspresi dari keterbatasan manusia yang rasional—sebuah kebijaksanaan ilmiah yang lahir dari kesadaran bahwa pengetahuan selalu merupakan reduksi yang sementara terhadap kenyataan.


Footnotes

[1]                ¹ Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.

[2]                ² Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine dan Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 23–27.

[3]                ³ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 9–11.

[4]                ⁴ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 118–120.

[5]                ⁵ Wesley C. Salmon, Four Decades of Scientific Explanation (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1989), 245–248.

[6]                ⁶ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI Publications, 2001), 58–60.

[7]                ⁷ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–169.

[8]                ⁸ Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 32–36.

[9]                ⁹ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.

[10]             ¹⁰ Jorma Rissanen, Information and Complexity in Statistical Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.

[11]             ¹¹ Kenneth P. Burnham dan David R. Anderson, Model Selection and Multimodel Inference, 2nd ed. (New York: Springer, 2002), 21–23.

[12]             ¹² David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Eric Steinberg (Indianapolis: Hackett, 1977), 58–60.

[13]             ¹³ Nelson Goodman, Fact, Fiction, and Forecast, 4th ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1983), 73–77.

[14]             ¹⁴ Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 145–147.

[15]             ¹⁵ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 156–160.

[16]             ¹⁶ James W. McAllister, Beauty and Revolution in Science (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 42–46.

[17]             ¹⁷ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press, 2001), 122–124.

[18]             ¹⁸ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 222–225.


6.           Fungsi Metodologis dalam Ilmu Pengetahuan

Dalam ranah filsafat ilmu, Principle of Parsimony berfungsi sebagai salah satu instrumen metodologis paling berpengaruh dalam pembentukan, evaluasi, dan pemilihan teori ilmiah. Prinsip ini memberikan pedoman normatif bagi ilmuwan untuk memilih teori, model, atau hipotesis yang paling efisien dalam menjelaskan fenomena dengan asumsi paling sedikit.¹ Secara metodologis, kesederhanaan berperan sebagai jembatan antara teori dan praktik ilmiah, karena ia mengatur bagaimana teori dibangun, diuji, dan direvisi.

6.1.       Parsimoni sebagai Prinsip Heuristik dalam Penalaran Ilmiah

Dalam tradisi metodologi ilmiah modern, kesederhanaan berfungsi sebagai prinsip heuristik—yakni pedoman kerja yang membantu ilmuwan menemukan teori yang efektif.² Heuristik ini bukan hukum logis, tetapi rule of thumb yang membimbing pencarian penjelasan terbaik. Sebagaimana diungkapkan oleh Karl Popper, teori yang sederhana lebih baik karena lebih mudah difalsifikasi, sehingga lebih dekat dengan semangat ilmiah yang terbuka terhadap koreksi.³

Namun, kesederhanaan tidak berarti reduksionisme naif. Dalam banyak kasus, model ilmiah yang baik bukanlah yang paling sederhana secara numerik, melainkan yang memiliki kompleksitas yang diperlukan (necessary complexity) untuk menjelaskan fenomena tanpa postulat berlebih.⁴ Dengan kata lain, kesederhanaan metodologis bukan sekadar pengurangan, tetapi juga penyusunan ulang konsep agar teori menjadi lebih terstruktur dan elegan secara fungsional.

6.2.       2. Kesederhanaan dalam Pemilihan dan Evaluasi Model

Dalam praktik ilmiah kontemporer, Principle of Parsimony menjadi prinsip utama dalam pemilihan model (model selection).⁵ Dalam statistik dan ilmu informasi, pendekatan seperti Akaike Information Criterion (AIC) dan Bayesian Information Criterion (BIC) didasarkan pada ide bahwa model terbaik bukanlah yang paling kompleks, tetapi yang mencapai keseimbangan optimal antara akurasi dan ekonomi asumsi.⁶ Kesederhanaan di sini diukur secara kuantitatif melalui penalti terhadap jumlah parameter yang tidak diperlukan—sebuah penerapan matematis dari Occam’s Razor.⁷

Pendekatan serupa muncul dalam epistemologi Bayesian. Dalam kerangka Bayesian Occam’s Razor, teori yang lebih kompleks memiliki probabilitas awal (prior probability) lebih rendah, kecuali jika bukti empiris yang kuat mendukungnya.⁸ Ini mencerminkan prinsip bahwa kompleksitas hanya dibenarkan bila dibutuhkan oleh data, bukan oleh keinginan teoritis. Prinsip tersebut sejalan dengan kaidah klasik Ockham bahwa “entitas tidak boleh digandakan tanpa kebutuhan.”

6.3.       Aplikasi Empiris dalam Sains: Biologi, Kosmologi, dan Psikologi

Salah satu penerapan paling menonjol dari prinsip kesederhanaan adalah dalam biologi evolusioner. Dalam metode phylogenetic parsimony, ilmuwan memilih pohon evolusi yang memerlukan jumlah perubahan genetik paling sedikit untuk menjelaskan distribusi sifat-sifat tertentu di antara spesies.⁹ Pendekatan ini bukan hanya efisien secara komputasional, tetapi juga menghindari inferensi berlebihan tentang jalur evolusi yang tidak perlu diasumsikan. Namun, kritik terhadap pendekatan ini muncul dari Elliott Sober, yang menegaskan bahwa parsimoni bukan selalu indikator kebenaran evolusioner, melainkan alat inferensial yang bergantung pada asumsi model tertentu.¹⁰

Dalam kosmologi teoretis, prinsip kesederhanaan digunakan untuk menilai kelayakan hipotesis seperti multiverse theory atau fine-tuning hypothesis.¹¹ Kosmolog seperti Sean Carroll dan Roger Penrose berpendapat bahwa meskipun alam semesta tampak kompleks, penjelasan yang mengandaikan entitas tambahan (misalnya semesta paralel) sebaiknya dihindari kecuali benar-benar diperlukan.¹² Prinsip kesederhanaan di sini berfungsi sebagai mekanisme epistemologis untuk menahan spekulasi metafisik yang tidak teruji secara empiris.

Sementara itu, dalam psikologi kognitif, Principle of Parsimony sering muncul dalam bentuk Lloyd Morgan’s Canon—yang menyatakan bahwa perilaku hewan tidak boleh dijelaskan melalui proses mental yang kompleks apabila dapat dijelaskan melalui mekanisme yang lebih sederhana.¹³ Prinsip ini menjadi dasar pendekatan behavioristik pada abad ke-20 dan kemudian diadaptasi dalam teori kognitif modern sebagai minimal cognitive load hypothesis, yakni gagasan bahwa sistem kognitif cenderung memilih jalur pemrosesan yang paling efisien.¹⁴

6.4.       Kritik terhadap Fungsi Metodologis Kesederhanaan

Meskipun prinsip kesederhanaan telah terbukti efektif dalam sejarah ilmu pengetahuan, banyak kritik menyoroti kecenderungan untuk menyederhanakan secara berlebihan (oversimplification).¹⁵ Dalam bidang seperti ekologi, ekonomi, dan teori sistem kompleks, model sederhana sering kali gagal menangkap interaksi non-linear dan dinamika emergen yang penting bagi pemahaman fenomena.¹⁶ Dalam konteks ini, Nancy Cartwright menegaskan bahwa “hukum-hukum sederhana” sains sering kali merupakan idealisasi yang tidak benar-benar berlaku dalam dunia nyata.¹⁷

Kritik lain datang dari perspektif pluralisme ilmiah, yang menolak gagasan tunggal tentang kesederhanaan. Bagi Helen Longino, nilai-nilai epistemik seperti kesederhanaan tidak bersifat universal, melainkan dipengaruhi oleh konteks sosial, historis, dan disipliner.¹⁸ Dengan demikian, kesederhanaan harus dipahami secara relatif terhadap tujuan dan praktik ilmiah tertentu—ia bukan dogma universal, tetapi norma fungsional yang dapat berubah.

6.5.       Kesederhanaan sebagai Etos Metodologis Ilmu Pengetahuan

Meskipun dikritik, fungsi metodologis Principle of Parsimony tetap memiliki peran penting sebagai etos rasionalitas ilmiah. Ia mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya berurusan dengan akumulasi fakta, tetapi juga dengan struktur argumentatif yang ekonomis dan transparan.¹⁹ Dalam arti ini, prinsip kesederhanaan berfungsi seperti moralitas intelektual: ia menuntut agar teori tidak melebihi apa yang dapat dibenarkan oleh bukti.

Kesederhanaan juga memungkinkan komunikasi ilmiah yang lebih efektif. Teori yang sederhana lebih mudah diuji, dibandingkan, dan diajarkan.²⁰ Oleh karena itu, Principle of Parsimony bukan sekadar alat teknis, tetapi juga simbol komitmen epistemik terhadap keterbukaan dan kejujuran dalam proses ilmiah. Kesederhanaan menegaskan bahwa kebenaran ilmiah bukanlah hasil dari kompleksitas berlebihan, melainkan dari kejelasan yang diperoleh melalui disiplin rasionalitas yang ketat.²¹


Footnotes

[1]                ¹ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 139–142.

[2]                ² Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 115–119.

[3]                ³ Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 145–147.

[4]                ⁴ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI Publications, 2001), 58–60.

[5]                ⁵ Kenneth P. Burnham dan David R. Anderson, Model Selection and Multimodel Inference, 2nd ed. (New York: Springer, 2002), 21–25.

[6]                ⁶ Hirotugu Akaike, “A New Look at the Statistical Model Identification,” IEEE Transactions on Automatic Control 19, no. 6 (1974): 716–723.

[7]                ⁷ Gideon Schwarz, “Estimating the Dimension of a Model,” Annals of Statistics 6, no. 2 (1978): 461–464.

[8]                ⁸ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.

[9]                ⁹ Elliott Sober, Reconstructing the Past: Parsimony, Evolution, and Inference (Cambridge: MIT Press, 1988), 23–27.

[10]             ¹⁰ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 131–133.

[11]             ¹¹ Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 201–203.

[12]             ¹² Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape, 2004), 295–299.

[13]             ¹³ C. Lloyd Morgan, An Introduction to Comparative Psychology (London: W. Scott, 1894), 53–55.

[14]             ¹⁴ George A. Miller, The Psychology of Communication (New York: Basic Books, 1967), 121–124.

[15]             ¹⁵ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Oxford University Press, 1983), 12–17.

[16]             ¹⁶ Stuart Kauffman, The Origins of Order: Self-Organization and Selection in Evolution (New York: Oxford University Press, 1993), 67–70.

[17]             ¹⁷ Nancy Cartwright, “The Vanity of Rigour in Economics,” Post-Autistic Economics Review 25 (2004): 33–37.

[18]             ¹⁸ Helen E. Longino, Science as Social Knowledge (Princeton: Princeton University Press, 1990), 65–69.

[19]             ¹⁹ Wesley C. Salmon, Scientific Explanation and the Causal Structure of the World (Princeton: Princeton University Press, 1984), 243–247.

[20]             ²⁰ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–168.

[21]             ²¹ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 205–208.


7.           Perspektif Logika dan Filosofi Bahasa

Prinsip kesederhanaan tidak hanya memiliki implikasi metodologis dan epistemologis, tetapi juga memainkan peranan penting dalam logika formal dan filsafat bahasa. Dalam kedua bidang ini, kesederhanaan berfungsi sebagai prinsip rasionalitas simbolik—yakni panduan dalam membangun sistem inferensial, struktur bahasa, dan representasi makna yang efisien. Principle of Parsimony membantu memurnikan struktur berpikir dan bahasa agar tidak mengandung redundansi konseptual, ambiguitas semantik, atau inferensi yang tidak diperlukan. Dengan demikian, kesederhanaan berfungsi bukan hanya sebagai norma ilmiah, melainkan juga sebagai aturan sintaksis dan semantik dalam proses penalaran dan komunikasi ilmiah.¹

7.1.       Kesederhanaan dalam Logika Deduktif dan Induktif

Dalam konteks logika deduktif, prinsip kesederhanaan tercermin dalam pencarian bentuk argumen yang paling ekonomis dan bebas dari premis berlebih. Logika klasik Aristotelian menuntut bahwa setiap silogisme yang sah harus disusun dari proposisi yang cukup untuk menghasilkan kesimpulan yang valid—tidak lebih dan tidak kurang.² Dalam tradisi logika simbolik modern, kesederhanaan terwujud dalam upaya reduksi sintaksis terhadap formula logika yang kompleks menjadi bentuk normal seperti conjunctive atau disjunctive normal form

Sementara itu, dalam logika induktif dan abduktif, kesederhanaan memiliki fungsi berbeda: ia menjadi kriteria untuk memilih inferensi yang paling efisien dari sekumpulan data empiris. Charles S. Peirce, dalam konsepsinya tentang abduction, menegaskan bahwa penjelasan terbaik adalah yang “paling sederhana dan paling alami” dalam menjelaskan data.⁴ Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh ilmuwan kontemporer seperti Peter Lipton dalam konsep Inference to the Best Explanation (IBE), di mana teori yang paling sederhana dianggap lebih unggul sejauh ia menjelaskan lebih banyak dengan lebih sedikit asumsi.⁵

Namun, dalam konteks probabilistik modern, kesederhanaan juga memiliki makna formal. Dalam kerangka Bayesian reasoning, teori sederhana memiliki probabilitas awal (prior probability) yang lebih tinggi dibanding teori kompleks, kecuali jika data empiris menuntut sebaliknya.⁶ Dengan demikian, prinsip kesederhanaan bekerja sebagai penyeimbang logis antara inferensi yang ekonomis dan kekayaan eksplanatoris yang diperlukan.

7.2.       Prinsip Ekonomi dalam Bahasa dan Representasi Makna

Dalam filsafat bahasa, prinsip kesederhanaan mengambil bentuk sebagai prinsip ekonomi linguistik. Ferdinand de Saussure telah menekankan bahwa struktur bahasa cenderung berkembang menuju bentuk yang efisien dan minimal, yakni sistem tanda yang cukup untuk menyampaikan makna tanpa redundansi.⁷ Dalam analisis pragmatik modern, Paul Grice merumuskan Cooperative Principle yang salah satu maksimnya adalah maksim kuantitas—“berikan informasi secukupnya, tidak lebih dari yang diperlukan.”⁸ Maksim ini sejajar dengan prinsip parsimoni: ucapan yang efektif adalah ucapan yang sederhana dan relevan, tanpa penambahan informasi yang tidak mendukung maksud komunikasi.

Dari sudut pandang semantik, kesederhanaan juga berfungsi sebagai prinsip dalam membangun teori makna. Rudolf Carnap dan Alfred Tarski menekankan bahwa bahasa ilmiah harus dibentuk dengan struktur sintaksis minimal yang cukup untuk mengekspresikan semua proposisi yang diinginkan.⁹ Sistem bahasa yang terlalu kompleks atau tidak terstandar akan menimbulkan ambiguitas semantik dan memperbesar ruang interpretasi yang salah. Karena itu, prinsip kesederhanaan berfungsi sebagai kriteria formalisasi ilmiah, menegaskan bahwa kebenaran linguistik bergantung pada efisiensi dan kejelasan struktur formal.¹⁰

Selain itu, dalam filsafat analitik abad ke-20, para tokoh seperti Ludwig Wittgenstein dan Willard Van Orman Quine menekankan hubungan antara kesederhanaan bahasa dan realitas. Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus menegaskan bahwa struktur logika bahasa mencerminkan struktur realitas—semakin sederhana bahasa, semakin dekat ia dengan representasi dunia yang faktual.¹¹ Quine kemudian memperluas gagasan ini dengan menolak pemisahan tajam antara analitik dan sintetis, menekankan bahwa teori yang sederhana secara linguistik memiliki keunggulan pragmatis dalam mengorganisir pengetahuan.¹²

7.3.       Kesederhanaan, Makna, dan Inferensi Logis

Kesederhanaan tidak hanya berfungsi dalam struktur formal, tetapi juga dalam dinamika makna dan inferensi. Dalam teori semantik modern, kesederhanaan memungkinkan pembentukan model semantik minimal (minimal model theory)—yakni model yang cukup untuk memuaskan formula logika tanpa memperkenalkan entitas tambahan.¹³ Prinsip ini sering diterapkan dalam logika deskriptif, teori model, dan computational semantics, di mana sistem representasi dioptimalkan agar tidak menimbulkan inferensi yang berlebihan.

Dalam konteks filsafat bahasa kontemporer, Principle of Parsimony juga digunakan untuk menilai teori makna seperti truth-conditional semantics dan inferential role semantics. Donald Davidson menegaskan bahwa teori makna yang baik adalah teori yang dapat menjelaskan bagaimana kalimat memperoleh makna dari bagian-bagiannya, dengan aturan paling sedikit dan konsisten secara logis.¹⁴ Kesederhanaan di sini berfungsi sebagai kriteria kohesi semantik, memastikan bahwa sistem bahasa tidak menjadi terlalu kompleks untuk direkonstruksi secara rasional.

Lebih jauh lagi, dalam semantik naturalis seperti yang dikembangkan oleh Jerry Fodor dan Ernest Lepore, kesederhanaan menjadi dasar argumentasi melawan teori makna kontekstual yang berlebihan.¹⁵ Bagi mereka, teori makna yang terlalu kompleks cenderung kehilangan kekuatan prediktif dan menimbulkan semantic overgeneration. Dengan demikian, kesederhanaan di bidang ini menuntut keseimbangan antara presisi logis dan efisiensi pragmatis.

7.4.       Implikasi Filosofis: Logika, Bahasa, dan Rasionalitas Minimal

Dari perspektif logika dan bahasa, prinsip kesederhanaan menunjukkan bahwa rasionalitas manusia bekerja dalam kerangka minimalisme konseptual—suatu upaya untuk mengekspresikan dunia dengan sarana formal dan linguistik yang paling efisien. Dalam logika, kesederhanaan menjamin validitas inferensi tanpa redundansi; dalam bahasa, kesederhanaan menjamin kejelasan komunikasi tanpa kehilangan makna. Keduanya memperlihatkan bahwa rasionalitas tidak terletak pada kompleksitas penalaran, melainkan pada kemampuan untuk menemukan struktur minimal yang cukup menjelaskan realitas.¹⁶

Dengan demikian, Principle of Parsimony dalam konteks logika dan filsafat bahasa bukan hanya pedoman teknis, melainkan prinsip epistemik yang mengatur batas antara ekspresi dan makna, antara simbol dan kenyataan. Ia menegaskan bahwa berpikir dan berbicara secara sederhana bukan berarti berpikir dangkal, melainkan berpikir dengan ketelitian yang menghindari inflasi konseptual. Kesederhanaan, dalam arti ini, merupakan bentuk etika intelektual dalam logika dan bahasa—disiplin untuk tidak mengatakan lebih dari yang dapat dibenarkan oleh rasio.


Footnotes

[1]                ¹ Michael Dummett, Truth and Other Enigmas (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 201–203.

[2]                ² Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith (Indianapolis: Hackett, 1989), I.1–I.4.

[3]                ³ Alfred Tarski, Introduction to Logic and to the Methodology of Deductive Sciences (New York: Dover, 1995), 59–63.

[4]                ⁴ Charles S. Peirce, “Abduction and Induction,” in Philosophical Writings of Peirce, ed. Justus Buchler (New York: Dover, 1955), 150–156.

[5]                ⁵ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 118–120.

[6]                ⁶ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.

[7]                ⁷ Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1986), 67–70.

[8]                ⁸ Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 26–28.

[9]                ⁹ Rudolf Carnap, Logical Syntax of Language (London: Routledge & Kegan Paul, 1937), 7–9.

[10]             ¹⁰ Alfred Tarski, Logic, Semantics, Metamathematics, trans. J. H. Woodger (Oxford: Clarendon Press, 1956), 153–157.

[11]             ¹¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 2.1–2.2.

[12]             ¹² W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 13–16.

[13]             ¹³ Wilfrid Hodges, Model Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 85–89.

[14]             ¹⁴ Donald Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1984), 15–17.

[15]             ¹⁵ Jerry Fodor dan Ernest Lepore, Holism: A Shopper’s Guide (Oxford: Blackwell, 1992), 31–34.

[16]             ¹⁶ Timothy Williamson, The Philosophy of Philosophy (Oxford: Blackwell, 2007), 42–46.


8.           Kritik dan Perdebatan Kontemporer

Meskipun Principle of Parsimony telah menjadi salah satu prinsip rasionalitas yang paling berpengaruh dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan, penerapannya tidak pernah lepas dari kontroversi. Dalam konteks epistemologi dan metodologi ilmiah kontemporer, prinsip ini diperdebatkan baik dari segi status normatifnya (apakah ia bersifat wajib secara rasional), maupun daya gunanya (apakah kesederhanaan benar-benar mengarah pada kebenaran). Kritik terhadap prinsip kesederhanaan mencerminkan ketegangan antara ideal rasionalitas dan realitas kompleks dunia empiris.

8.1.       Relativitas Kesederhanaan dan Problem Definisi

Salah satu kritik utama terhadap Principle of Parsimony adalah ketidakjelasan definisional mengenai apa yang dimaksud dengan “kesederhanaan.” Apakah kesederhanaan diukur dari jumlah asumsi, variabel, postulat, atau bentuk formal teori?¹ Elliott Sober menunjukkan bahwa tidak ada metrik universal untuk mengukur kesederhanaan: sebuah teori bisa sederhana dalam struktur logisnya tetapi kompleks dalam implikasi empirisnya, dan sebaliknya.² Dengan demikian, kesederhanaan bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan teoretis, bukan prinsip mutlak.

Kritik serupa dikemukakan oleh Michael Strevens, yang menyatakan bahwa kesederhanaan hanya bermakna dalam hubungannya dengan sistem penjelasan tertentu.³ Dalam banyak kasus, ilmuwan memilih teori yang lebih kompleks karena teori sederhana tidak mampu menjelaskan anomali empiris. Contohnya dapat ditemukan dalam mekanika kuantum atau biologi evolusioner, di mana penambahan parameter atau entitas baru justru diperlukan agar teori tetap akurat.⁴ Oleh karena itu, prinsip kesederhanaan tidak dapat diperlakukan sebagai hukum rasionalitas universal, melainkan sebagai preferensi metodologis yang bersifat tentatif.

8.2.       Kritik dari Pluralisme dan Kompleksitas

Dalam filsafat ilmu kontemporer, muncul gelombang kritik dari perspektif pluralisme ilmiah. Tokoh seperti Helen Longino dan Philip Kitcher menolak pandangan tunggal tentang kesederhanaan, dengan alasan bahwa ilmu pengetahuan bersifat heterogen dan beragam dalam metodologi maupun tujuannya.⁵ Dalam kerangka pluralisme ini, kesederhanaan mungkin berguna dalam fisika teoretis, tetapi tidak relevan dalam ekologi, ekonomi, atau ilmu sosial yang memerlukan model dengan kompleksitas tinggi.⁶

Lebih jauh lagi, muncul kritik dari teori kompleksitas dan ilmu sistem non-linear, yang menolak asumsi bahwa dunia dapat direduksi pada struktur sederhana.⁷ Menurut Stuart Kauffman, alam bersifat “orderly but not simple” — teratur tetapi tidak sederhana.⁸ Fenomena seperti emergence dan self-organization menunjukkan bahwa penjelasan ilmiah sering kali memerlukan model kompleks untuk menggambarkan keteraturan yang muncul secara spontan dari interaksi dinamis. Dalam konteks ini, kesederhanaan justru dapat mengaburkan pemahaman terhadap kompleksitas realitas.

Kritik serupa datang dari Nancy Cartwright, yang berargumen bahwa hukum-hukum sederhana dalam fisika tidak selalu benar di dunia nyata, melainkan hanya idealisasi yang berlaku dalam kondisi eksperimental tertentu.⁹ Menurutnya, kesederhanaan sering kali menjadi “mitos epistemik” yang mengabaikan keragaman kausal di dunia empiris.¹⁰ Prinsip kesederhanaan, dengan demikian, bukan ukuran kebenaran, tetapi strategi representasi yang terbatas.

8.3.       Kritik dari Perspektif Postmodern dan Hermeneutik

Dari perspektif filsafat postmodern, prinsip kesederhanaan dianggap sebagai manifestasi dari rasionalitas modern yang terlalu menekankan keteraturan dan kesatuan makna.¹¹ Filsuf seperti Jean-François Lyotard dan Paul Feyerabend menolak klaim universalitas prinsip ini, dengan alasan bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui keragaman metode dan narasi yang tidak selalu dapat direduksi menjadi bentuk sederhana.¹² Feyerabend secara provokatif menyatakan, “Against method!” — menolak setiap bentuk rasionalitas tunggal yang mencoba mengatur kreativitas ilmiah.¹³ Dalam konteks ini, Principle of Parsimony dipandang bukan sebagai kebenaran filosofis, melainkan strategi kekuasaan epistemik yang membatasi kemungkinan berpikir alternatif.

Selain itu, dari perspektif hermeneutika filosofis, kesederhanaan dipertanyakan karena setiap pemahaman terhadap dunia selalu bersifat kontekstual dan historis. Menurut Hans-Georg Gadamer, penafsiran terhadap realitas tidak bisa disederhanakan menjadi formula tunggal karena selalu bergantung pada horizon pemahaman penafsir.¹⁴ Dalam pengertian ini, prinsip kesederhanaan dianggap gagal menangkap dimensi dialektis dari makna dan kebenaran yang terbuka terhadap tafsir.

8.4.       Kesederhanaan, Estetika, dan Rasionalitas Ilmiah

Kritik lain menyoroti bahwa kesederhanaan sering kali berfungsi lebih sebagai nilai estetis daripada kriteria epistemik.¹⁵ Sejak Einstein hingga Dirac, banyak ilmuwan yang percaya bahwa teori yang indah dan elegan biasanya benar, tetapi keindahan tidak dapat dijadikan ukuran objektif dalam epistemologi.¹⁶ Dalam beberapa kasus, seperti teori string atau model multiverse, kesederhanaan formal tidak selalu berbanding lurus dengan kesederhanaan ontologis.¹⁷ Artinya, teori dapat tampak elegan secara matematis tetapi justru memperbanyak entitas metafisik.

Sebaliknya, para pembela prinsip kesederhanaan seperti Elliott Sober dan Sean Carroll berargumen bahwa meskipun tidak sempurna, kesederhanaan tetap merupakan virtue epistemik yang tak tergantikan.¹⁸ Kesederhanaan membantu menjaga integritas ilmiah dengan menolak spekulasi yang tidak berdasar dan menuntut bahwa setiap postulat harus memiliki justifikasi empiris.¹⁹ Dalam pandangan ini, kesederhanaan bukan dogma, tetapi disiplin intelektual yang menjaga keseimbangan antara imajinasi teoretis dan tanggung jawab empiris.

8.5.       Menuju Paradigma Parsimoni yang Kontekstual

Dari berbagai kritik tersebut, muncul pendekatan baru yang menafsirkan Principle of Parsimony secara kontekstual dan pluralistik. Pendekatan ini tidak menolak kesederhanaan, tetapi mengakui bahwa makna dan penerapannya tergantung pada disiplin, tujuan, dan fase perkembangan ilmu.²⁰ Dalam model ini, prinsip kesederhanaan tidak lagi dipahami sebagai aturan universal, melainkan sebagai metanorma heuristik yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan epistemik.²¹

Dengan demikian, perdebatan kontemporer menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan prinsip statis, melainkan konsep dinamis yang terus direvisi. Dalam era kompleksitas dan kecerdasan buatan, kesederhanaan memperoleh makna baru: bukan lagi reduksi, tetapi optimisasi penjelasan—kemampuan untuk mengekspresikan kompleksitas dengan struktur yang minimal namun memadai.²² Dengan demikian, prinsip ini tetap relevan sebagai panduan rasionalitas, asalkan dipahami dalam kerangka pluralisme metodologis dan epistemik yang terbuka.²³


Footnotes

[1]                ¹ J. Albert, “On the Quantification of Simplicity,” Philosophy of Science 56, no. 3 (1989): 444–457.

[2]                ² Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 6–9.

[3]                ³ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.

[4]                ⁴ Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement (Oxford: Clarendon Press, 1989), 111–113.

[5]                ⁵ Helen E. Longino, Science as Social Knowledge (Princeton: Princeton University Press, 1990), 65–69.

[6]                ⁶ Philip Kitcher, The Advancement of Science: Science without Legend, Objectivity without Illusions (New York: Oxford University Press, 1993), 130–134.

[7]                ⁷ Melanie Mitchell, Complexity: A Guided Tour (Oxford: Oxford University Press, 2009), 23–28.

[8]                ⁸ Stuart A. Kauffman, The Origins of Order: Self-Organization and Selection in Evolution (New York: Oxford University Press, 1993), 47–50.

[9]                ⁹ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Oxford University Press, 1983), 12–17.

[10]             ¹⁰ Nancy Cartwright, Hunting Causes and Using Them (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 55–57.

[11]             ¹¹ Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 9–11.

[12]             ¹² Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 23–26.

[13]             ¹³ Paul Feyerabend, Science in a Free Society (London: NLB, 1978), 118–120.

[14]             ¹⁴ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 269–272.

[15]             ¹⁵ James W. McAllister, Beauty and Revolution in Science (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 35–39.

[16]             ¹⁶ Sabine Hossenfelder, Lost in Math: How Beauty Leads Physics Astray (New York: Basic Books, 2018), 41–45.

[17]             ¹⁷ Max Tegmark, Our Mathematical Universe (New York: Knopf, 2014), 212–216.

[18]             ¹⁸ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 224–228.

[19]             ¹⁹ Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 199–201.

[20]             ²⁰ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press, 2001), 122–125.

[21]             ²¹ Hasok Chang, Is Water H₂O? Evidence, Realism and Pluralism (Dordrecht: Springer, 2012), 311–315.

[22]             ²² Judea Pearl, The Book of Why: The New Science of Cause and Effect (New York: Basic Books, 2018), 342–345.

[23]             ²³ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 203–205.


9.           Sintesis Filosofis

Setelah menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, metodologis, dan linguistik dari Principle of Parsimony, menjadi jelas bahwa prinsip ini tidak dapat direduksi pada satu ranah filsafat tertentu. Ia merupakan prinsip lintas-dimensi yang menghubungkan antara realitas, pengetahuan, dan metode melalui satu ide sentral: keteraturan yang efisien. Dalam konteks ini, Principle of Parsimony dapat dipahami sebagai etos rasionalitas integral, yang menggabungkan disiplin berpikir dengan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami kompleksitas dunia.¹

9.1.       Sintesis antara Ontologi dan Epistemologi: Realitas yang Dapat Disederhanakan

Secara ontologis, prinsip kesederhanaan mengasumsikan bahwa dunia memiliki struktur yang tidak berlebihan—bahwa realitas pada dasarnya dapat direpresentasikan melalui hukum atau entitas minimal.² Namun secara epistemologis, kesederhanaan tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga cara manusia menata pengetahuan tentang realitas itu.³ Dengan demikian, hubungan antara kesederhanaan dan kebenaran bersifat dialektis: kita tidak memilih teori sederhana karena dunia pasti sederhana, melainkan karena cara berpikir sederhana lebih mungkin mengungkap struktur dunia yang tersembunyi di balik kompleksitas fenomenal.⁴

Posisi ini mencerminkan apa yang dapat disebut sebagai realisme parsimonis reflektif—yakni keyakinan bahwa kesederhanaan adalah ciri dunia sejauh dunia itu dapat diketahui. Dalam pandangan ini, kesederhanaan tidak lagi merupakan dogma metafisik, tetapi modus epistemik yang menghubungkan antara “yang ada” (being) dan “yang dapat dipahami” (intelligible).⁵ Prinsip ini menunjukkan bahwa epistemologi dan ontologi tidak dapat dipisahkan: setiap bentuk pengetahuan mengandaikan pandangan tentang struktur realitas, dan setiap konsepsi realitas terbentuk dalam horizon rasionalitas manusia.

9.2.       Sintesis antara Metodologi dan Logika: Ekonomi Rasionalitas

Dari segi metodologi, prinsip kesederhanaan memberikan arah bagi praktik ilmiah untuk mencapai ekonomi dalam berpikir tanpa mengorbankan ketepatan.⁶ Ia memadukan dua kekuatan rasionalitas: penjelasan yang efisien (metodologis) dan inferensi yang valid (logis). Dengan demikian, prinsip ini berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang antara kompleksitas empiris dan struktur inferensial. Dalam bahasa Karl Popper, teori sederhana lebih baik karena ia “lebih terbuka terhadap koreksi,” sedangkan dalam kerangka Bayesian, teori sederhana lebih mungkin benar karena ia menghindari inflasi probabilitas.⁷

Kesederhanaan dalam logika dan metode, dengan demikian, bukan sekadar preferensi pragmatis, melainkan strategi epistemik untuk menjaga koherensi sistem pengetahuan.⁸ Ia menegaskan bahwa rasionalitas sejati bukanlah kemampuan untuk memperbanyak teori, tetapi kemampuan untuk menata teori secara efisien agar tetap terbuka terhadap revisi dan pengujian. Dalam arti ini, prinsip kesederhanaan berperan sebagai logic of restraint—logika yang tidak berambisi menguasai realitas, tetapi mengorganisirnya dalam batas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.⁹

9.3.       Kesederhanaan sebagai Etos Rasionalitas Terbuka

Dari perspektif aksiologis, prinsip kesederhanaan menegaskan etos keterbukaan epistemik. Ia mengajarkan bahwa berpikir sederhana bukan berarti berpikir sempit, tetapi berpikir secara disiplin dalam menghadapi kerumitan dunia.¹⁰ Dalam tradisi filsafat ilmu, hal ini sejalan dengan gagasan fallibilisme epistemik: bahwa semua teori bersifat sementara, dan kesederhanaan membantu kita menahan godaan absolutisme pengetahuan.¹¹

Prinsip ini dapat pula dibaca dalam kerangka hermeneutika rasionalitas, di mana kesederhanaan tidak lagi dipahami sebagai reduksi makna, tetapi sebagai modus interpretatif—cara berpikir yang menyaring makna-makna esensial tanpa menyingkirkan kompleksitasnya.¹² Dalam hal ini, kesederhanaan menjadi bentuk claritas mentis, yakni kejernihan intelektual yang tidak meniadakan kompleksitas, melainkan mengaturnya secara proporsional.

Etos ini juga memiliki dimensi etis dan ekologis: kesederhanaan mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan penjelasan dan tanggung jawab terhadap realitas.¹³ Dalam era ilmu data dan kecerdasan buatan, prinsip ini semakin relevan karena tantangan epistemik terbesar bukan lagi kekurangan informasi, melainkan kelebihan informasi. Kesederhanaan menjadi alat moral-rasional untuk memilah antara yang penting dan yang remeh, antara pengetahuan yang menuntun dan data yang menyesatkan.¹⁴

9.4.       Menuju Paradigma Parsimoni Integral

Sintesis filosofis terhadap Principle of Parsimony menuntun pada pemahaman baru bahwa kesederhanaan bukan sekadar prinsip metodologis, tetapi paradigma epistemik-integratif. Paradigma ini mengakui bahwa rasionalitas manusia adalah sistem terbuka yang beroperasi antara dua ekstrem: keinginan untuk menjelaskan segalanya dan kesadaran akan batas pengetahuan.¹⁵ Kesederhanaan memungkinkan sains dan filsafat berjalan di antara dua kutub ini, menjaga keseimbangan antara penjelasan dan kerendahan hati epistemik.

Dengan demikian, prinsip kesederhanaan dapat ditafsirkan sebagai modus eksistensial dari berpikir rasional: cara manusia untuk memahami dunia tanpa menindas kerumitannya. Ia menuntun kita menuju bentuk pengetahuan yang tidak totaliter, melainkan dialogis—pengetahuan yang terus-menerus terbuka terhadap koreksi, pembaruan, dan interpretasi baru.¹⁶

Sebagai sintesis akhir, Principle of Parsimony dapat disebut sebagai rasionalitas reflektif—rasionalitas yang menyadari keterbatasannya sendiri. Ia bukan hanya pisau epistemik untuk memotong berlebihnya entitas, tetapi juga cermin yang memantulkan kesadaran manusia akan perlunya keseimbangan antara kejelasan dan kompleksitas, antara reduksi dan pemahaman, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI Publications, 2001), 89–92.

[2]                ² David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 3–5.

[3]                ³ Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.

[4]                ⁴ Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 209–213.

[5]                ⁵ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 202–204.

[6]                ⁶ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 117–120.

[7]                ⁷ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 139–142.

[8]                ⁸ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.

[9]                ⁹ W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[10]             ¹⁰ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–168.

[11]             ¹¹ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 156–160.

[12]             ¹² Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 273–276.

[13]             ¹³ Nancy Cartwright, Nature’s Capacities and Their Measurement (Oxford: Clarendon Press, 1989), 111–113.

[14]             ¹⁴ Judea Pearl, The Book of Why: The New Science of Cause and Effect (New York: Basic Books, 2018), 341–344.

[15]             ¹⁵ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 224–227.

[16]             ¹⁶ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press, 2001), 123–126.

[17]             ¹⁷ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape, 2004), 295–299.


10.       Relevansi Kontemporer dan Aplikasinya

Prinsip kesederhanaan atau Principle of Parsimony tetap menjadi tema yang sangat relevan dalam wacana filsafat dan sains kontemporer. Dalam abad ke-21—yang ditandai oleh ledakan data, kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI), serta meningkatnya kompleksitas sosial dan ekologis—prinsip ini memperoleh makna baru. Ia tidak lagi hanya menjadi alat metodologis dalam filsafat sains, tetapi juga menjadi paradigma epistemik dan etis yang memandu cara manusia mengelola pengetahuan, teknologi, dan kebijakan.¹

10.1.    Dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Antara Kompleksitas dan Efisiensi

Dalam ilmu pengetahuan modern, terutama dalam era big data dan machine learning, prinsip kesederhanaan memainkan peran penting dalam mengatasi masalah kompleksitas model.² Model yang terlalu kompleks sering kali memiliki daya jelaskan tinggi terhadap data pelatihan (training data), tetapi gagal melakukan prediksi yang baik terhadap data baru—a fenomena yang dikenal sebagai overfitting.³ Dalam konteks ini, Occam’s Razor diterjemahkan secara formal dalam bentuk Regularization Principle, yang menambahkan penalti terhadap model dengan terlalu banyak parameter, agar sistem pembelajaran mesin memilih solusi yang lebih sederhana dan generalis.⁴

Selain itu, dalam ilmu komputer teoretis, kesederhanaan juga menjadi inti dari Minimum Description Length (MDL) Principle, yang menyatakan bahwa penjelasan terbaik terhadap data adalah yang menghasilkan deskripsi terpendek dari data tersebut.⁵ Prinsip ini mencerminkan semangat epistemik Ockham: bahwa kebenaran bukan terletak pada kelimpahan postulat, tetapi pada kemampuan untuk menyusun realitas secara ekonomis. Dengan demikian, prinsip kesederhanaan menemukan bentuk matematisnya dalam teori algoritma dan kompresi informasi—suatu bukti bahwa konsep yang lahir dari abad ke-14 dapat menemukan relevansi baru dalam era digital.

10.2.    Dalam Filsafat Sains Kontemporer: Rasionalitas di Tengah Kompleksitas

Dalam filsafat sains kontemporer, prinsip kesederhanaan tetap berfungsi sebagai nilai epistemik fundamental di tengah tantangan pluralisme metodologis dan relativisme postmodern. Para filsuf seperti Elliott Sober dan Michael Strevens mempertahankan bahwa kesederhanaan masih diperlukan untuk membedakan teori ilmiah dari teori ad hoc.⁶ Meskipun pluralisme mengakui keberagaman model dan perspektif, tanpa kesederhanaan tidak akan ada batas yang jelas antara penjelasan ilmiah dan spekulasi bebas.⁷

Namun, fungsi kesederhanaan kini dipahami secara lebih kontekstual dan dinamis. Dalam kerangka model pluralism, ilmuwan tidak lagi berusaha mencari teori tunggal yang paling sederhana, melainkan berupaya mengoptimalkan kesederhanaan pada setiap konteks lokal.⁸ Dengan demikian, kesederhanaan menjadi prinsip local rationality: sebuah nilai yang disesuaikan dengan domain fenomena tertentu, bukan norma universal yang mengikat seluruh ilmu.

Selain itu, dalam epistemologi Bayesian dan ilmu inferensi, kesederhanaan memperoleh status probabilistik: teori sederhana memiliki prior probability lebih besar, tetapi dapat dikalahkan oleh bukti kuat yang mendukung teori kompleks.⁹ Prinsip ini menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan kebenaran mutlak, tetapi rasionalitas terbuka—suatu sikap ilmiah yang siap direvisi.

10.3.    Dalam Etika Pengetahuan dan Ekologi Kognitif

Relevansi prinsip kesederhanaan juga meluas ke ranah etika pengetahuan, khususnya dalam menghadapi krisis informasi di era digital. Dalam masyarakat yang dibanjiri data, teori konspirasi, dan hiperkompleksitas wacana publik, prinsip kesederhanaan berfungsi sebagai alat untuk menyaring informasi yang bermakna dari kebisingan epistemik.¹⁰ Kesederhanaan menjadi bentuk kebijaksanaan rasional yang menolak inflasi argumentasi tanpa dasar empiris. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan yang baik tidak diukur dari jumlah klaim, tetapi dari kejelasan justifikasi dan konsistensi logisnya.¹¹

Lebih jauh, dalam konteks ekologi pengetahuan, prinsip kesederhanaan berperan dalam menjaga keberlanjutan epistemik (epistemic sustainability).¹² Sama seperti ekosistem alam yang menuntut keseimbangan antara keberagaman dan stabilitas, sistem pengetahuan juga membutuhkan keseimbangan antara kompleksitas teoritis dan kesederhanaan metodologis. Tanpa kesederhanaan, ilmu pengetahuan dapat terjebak dalam inflasi model yang tidak efisien, kehilangan daya prediktif, dan menguras sumber daya kognitif manusia.¹³

10.4.    Dalam Etika dan Filsafat Lingkungan

Prinsip kesederhanaan juga memiliki resonansi etis yang kuat dalam filsafat lingkungan dan etika keberlanjutan. Dalam konteks krisis ekologis global, kesederhanaan tidak lagi dipahami hanya sebagai nilai intelektual, tetapi juga sebagai prinsip moral hidup selaras dengan keterbatasan dunia.¹⁴ Pemikiran ini sejalan dengan tradisi etika Stoik dan Buddhis yang menekankan simplicitas vitae—kesederhanaan hidup sebagai ekspresi harmoni antara manusia dan alam.

Sebagai prinsip ekologis, kesederhanaan mengajarkan bahwa kompleksitas sistem alam tidak harus dihadapi dengan eksploitasi teknologi yang semakin rumit, melainkan dengan kebijaksanaan untuk menghargai keteraturan yang sudah ada.¹⁵ Dengan demikian, Principle of Parsimony dapat diinterpretasikan sebagai bentuk ekologi rasionalitas—gagasan bahwa berpikir sederhana juga berarti berpikir berkelanjutan.¹⁶

10.5.    Dalam Ranah Interdisipliner: Kesederhanaan sebagai Jembatan Pengetahuan

Dalam era pengetahuan interdisipliner, prinsip kesederhanaan berfungsi sebagai bahasa bersama yang menghubungkan sains alam, humaniora, dan ilmu sosial.¹⁷ Dalam ilmu sistem, misalnya, kesederhanaan menjadi dasar bagi model reduction—upaya mencari struktur inti dari sistem kompleks tanpa menghilangkan perilaku emergen. Sementara dalam filsafat bahasa, kesederhanaan menjadi prinsip pragmatik yang memastikan bahwa makna tidak hilang dalam kompleksitas simbolik.¹⁸

Prinsip ini juga berfungsi dalam pengembangan kecerdasan buatan etis: algoritma dan model AI yang dirancang dengan parsimoni lebih mudah diaudit, dipahami, dan dikendalikan, sehingga mengurangi risiko bias tersembunyi.¹⁹ Kesederhanaan, dalam konteks ini, bukan hanya efisiensi komputasional, tetapi juga transparansi moral—kemampuan untuk menjelaskan mengapa sistem berpikir seperti yang ia lakukan.

10.6.    Kesederhanaan sebagai Rasionalitas Abad ke-21

Akhirnya, relevansi kontemporer Principle of Parsimony terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan tantangan epistemik dan moral abad ke-21. Di tengah dunia yang semakin kompleks dan tumpang tindih antara data, ide, dan nilai, prinsip kesederhanaan menjadi panduan untuk menjaga rasionalitas tetap jelas, jujur, dan bertanggung jawab.²⁰ Ia memanggil kita untuk berpikir efisien tanpa menyederhanakan secara dangkal, untuk menjelaskan secara minimal tanpa kehilangan kedalaman makna.

Kesederhanaan bukan lagi sekadar prinsip logika atau metodologi, tetapi ciri karakter intelektual manusia modern—sebuah bentuk kebijaksanaan rasional yang memadukan klaritas dengan kerendahan hati. Dalam arti ini, Principle of Parsimony bukan hanya alat analisis, tetapi etos berpikir: pedoman bagi sains, filsafat, dan kehidupan intelektual yang berusaha memahami dunia tanpa menindas keajaibannya.²¹


Footnotes

[1]                ¹ Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.

[2]                ² Pedro Domingos, The Master Algorithm: How the Quest for the Ultimate Learning Machine Will Remake Our World (New York: Basic Books, 2015), 121–125.

[3]                ³ Christopher M. Bishop, Pattern Recognition and Machine Learning (New York: Springer, 2006), 143–146.

[4]                ⁴ Trevor Hastie, Robert Tibshirani, dan Jerome Friedman, The Elements of Statistical Learning, 2nd ed. (New York: Springer, 2009), 69–72.

[5]                ⁵ Jorma Rissanen, Information and Complexity in Statistical Modeling (New York: Springer, 2007), 15–19.

[6]                ⁶ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 220–224.

[7]                ⁷ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.

[8]                ⁸ Hasok Chang, Is Water H₂O? Evidence, Realism and Pluralism (Dordrecht: Springer, 2012), 311–315.

[9]                ⁹ Edwin T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 340–345.

[10]             ¹⁰ Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 112–115.

[11]             ¹¹ Daniel Dennett, Intuition Pumps and Other Tools for Thinking (New York: W. W. Norton, 2013), 67–69.

[12]             ¹² Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 24–26.

[13]             ¹³ Sabina Leonelli, Data-Centric Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2016), 203–206.

[14]             ¹⁴ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 33–35.

[15]             ¹⁵ Fritjof Capra dan Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 243–246.

[16]             ¹⁶ Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 58–61.

[17]             ¹⁷ Bas C. van Fraassen, The Empirical Stance (New Haven: Yale University Press, 2002), 77–80.

[18]             ¹⁸ Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 26–28.

[19]             ¹⁹ Tim Miller, “Explanation in Artificial Intelligence: Insights from the Social Sciences,” Artificial Intelligence 267 (2019): 1–38.

[20]             ²⁰ Miriam Solomon, Social Empiricism (Cambridge: MIT Press, 2001), 122–124.

[21]             ²¹ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape, 2004), 298–301.


11.       Kesimpulan

Prinsip kesederhanaan (Principle of Parsimony), yang berakar pada adagium skolastik entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem, telah menempuh perjalanan panjang dari doktrin teologis abad pertengahan hingga menjadi pilar epistemologis dan metodologis dalam sains modern. Dalam perjalanannya, prinsip ini mengalami transformasi konseptual: dari nominalisme ontologis William of Ockham menuju rasionalitas ilmiah abad modern, hingga kini menjadi bagian dari epistemologi kompleksitas di era digital.¹ Sepanjang sejarahnya, prinsip ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemangkasan entitas metafisik, tetapi juga sebagai refleksi mendalam tentang batas rasionalitas manusia dalam memahami dunia.

11.1.    Kesederhanaan sebagai Inti Rasionalitas Ilmiah

Dari perspektif epistemologis dan metodologis, kesederhanaan telah terbukti menjadi salah satu kriteria rasionalitas yang paling stabil dan universal dalam praktik ilmiah.² Ia berperan sebagai pedoman dalam pemilihan teori, penyusunan model, dan evaluasi penjelasan ilmiah.³ Sebagaimana ditegaskan oleh Karl Popper, teori yang sederhana lebih ilmiah bukan karena ia pasti benar, tetapi karena ia lebih terbuka terhadap penyangkalan empiris dan memungkinkan kemajuan pengetahuan.⁴ Dalam konteks ini, prinsip kesederhanaan menjadi kebajikan intelektual (intellectual virtue): bentuk disiplin berpikir yang menolak kompleksitas yang tidak perlu tanpa mengorbankan kedalaman pemahaman.

Kesederhanaan juga memiliki fungsi pragmatis dan komunikatif. Teori yang sederhana lebih mudah diuji, dijelaskan, dan diajarkan.⁵ Oleh karena itu, dalam ranah epistemologi ilmiah, kesederhanaan dapat dianggap sebagai ekonomi kognitif: ia membantu manusia menata pengetahuan secara efisien, menjaga koherensi antar teori, dan menghindari inflasi penjelasan.⁶ Namun demikian, kesederhanaan bukanlah tujuan akhir dari pengetahuan, melainkan sarana untuk menghindari kerumitan yang tidak produktif dalam pencarian kebenaran.

11.2.    Antara Kesederhanaan dan Kompleksitas: Dialektika Rasionalitas

Filsafat kontemporer menunjukkan bahwa kesederhanaan tidak dapat dipisahkan dari kompleksitas. Dunia tidak selalu sederhana, dan upaya untuk memahaminya memerlukan keseimbangan antara reduksi dan rekonstruksi.⁷ Kritik dari pluralisme ilmiah, teori sistem, dan filsafat postmodern mengingatkan bahwa prinsip kesederhanaan, bila diterapkan secara dogmatis, dapat berujung pada penyederhanaan berlebihan (oversimplification) yang justru menutup kompleksitas realitas.⁸ Namun, tanpa prinsip kesederhanaan, sains kehilangan arah dan kriteria evaluatif. Maka, kesederhanaan harus dipahami secara relasional dan kontekstual: ia relevan sejauh berfungsi dalam kerangka metodologis tertentu, bukan sebagai norma absolut.⁹

Kesederhanaan, dengan demikian, berada dalam dialektika epistemik antara keteraturan dan keragaman. Ia berfungsi sebagai pengingat bahwa setiap teori hanyalah representasi terbatas dari dunia yang jauh lebih luas.¹⁰ Dalam pengertian ini, prinsip kesederhanaan bukan upaya untuk menyingkirkan kompleksitas, melainkan untuk menata kompleksitas secara rasional agar tetap dapat dipahami dan dikomunikasikan.¹¹

11.3.    Kesederhanaan sebagai Etos Intelektual dan Moral

Lebih dari sekadar prinsip logika atau metode ilmiah, kesederhanaan memiliki dimensi etis yang mendalam. Ia mencerminkan sikap epistemik rendah hati (epistemic humility): kesadaran bahwa pengetahuan manusia selalu bersifat sementara, terbatas, dan terbuka untuk koreksi.¹² Dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi dan data, kesederhanaan menjadi bentuk tanggung jawab intelektual—menuntut agar teori dan sistem tidak dibuat lebih rumit daripada yang dibutuhkan untuk menjelaskan kenyataan.¹³

Etos ini sejalan dengan semangat ekologis dan humanistik: kesederhanaan bukan hanya cara berpikir, tetapi juga cara hidup yang menghargai keterbatasan sumber daya, baik kognitif maupun alamiah.¹⁴ Dengan demikian, prinsip kesederhanaan dapat dilihat sebagai bentuk kearifan rasional—upaya menjaga keseimbangan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara penjelasan dan pengertian.

11.4.    Penutup: Kesederhanaan sebagai Rasionalitas Reflektif

Sebagai simpulan filosofis, Principle of Parsimony menempati posisi unik sebagai rasionalitas reflektif: ia bukan hanya alat metodologis, tetapi juga cermin bagi kesadaran manusia tentang batas dan potensi akalnya.¹⁵ Prinsip ini tidak menjamin kebenaran, tetapi membantu manusia mendekati kebenaran melalui cara berpikir yang efisien, terbuka, dan jujur. Dalam filsafat kontemporer, kesederhanaan menjadi simbol integrasi antara kejelasan dan kompleksitas, antara logos dan ethos.¹⁶

Dengan demikian, Principle of Parsimony tetap relevan bukan karena ia menjanjikan jawaban yang mudah, tetapi karena ia menuntun kita untuk bertanya dengan lebih cerdas. Dalam dunia yang semakin kompleks, kesederhanaan bukanlah kemunduran intelektual, melainkan bentuk tertinggi dari kebijaksanaan rasional: seni untuk mengatakan yang cukup—tidak lebih, tidak kurang.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1987), 34–38.

[2]                ² Elliott Sober, Simplicity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 8–12.

[3]                ³ Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 118–120.

[4]                ⁴ Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 139–142.

[5]                ⁵ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 166–169.

[6]                ⁶ Wesley C. Salmon, Scientific Explanation and the Causal Structure of the World (Princeton: Princeton University Press, 1984), 243–247.

[7]                ⁷ Michael Strevens, “The Role of Parsimony in Explanation,” Philosophy of Science 76, no. 4 (2009): 488–506.

[8]                ⁸ Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Oxford University Press, 1983), 12–17.

[9]                ⁹ Hasok Chang, Is Water H₂O? Evidence, Realism and Pluralism (Dordrecht: Springer, 2012), 311–315.

[10]             ¹⁰ Markus Gabriel, Fields of Sense: A New Realist Ontology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 203–205.

[11]             ¹¹ Michael Friedman, Dynamics of Reason (Stanford: CSLI Publications, 2001), 89–92.

[12]             ¹² Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 84–87.

[13]             ¹³ Daniel Dennett, Intuition Pumps and Other Tools for Thinking (New York: W. W. Norton, 2013), 67–69.

[14]             ¹⁴ Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 33–35.

[15]             ¹⁵ Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 156–160.

[16]             ¹⁶ Roger Penrose, The Road to Reality (London: Jonathan Cape, 2004), 295–299.

[17]             ¹⁷ Elliott Sober, Ockham’s Razors: A User’s Manual (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 224–227.


Daftar Pustaka

Adams, M. M. (1987). William Ockham. University of Notre Dame Press.

Albert, J. (1989). On the quantification of simplicity. Philosophy of Science, 56(3), 444–457.

Akaike, H. (1974). A new look at the statistical model identification. IEEE Transactions on Automatic Control, 19(6), 716–723.

Aristotle. (1989). Prior analytics (R. Smith, Trans.). Hackett.

Aristotle. (1994). Posterior analytics (J. Barnes, Trans.). Oxford University Press.

Bacon, F. (2000). Novum organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.

Bishop, C. M. (2006). Pattern recognition and machine learning. Springer.

Burnham, K. P., & Anderson, D. R. (2002). Model selection and multimodel inference: A practical information-theoretic approach (2nd ed.). Springer.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life. Cambridge University Press.

Carnap, R. (1937). Logical syntax of language. Routledge & Kegan Paul.

Carnap, R. (1967). The logical structure of the world. University of California Press.

Carroll, S. (2016). The big picture: On the origins of life, meaning, and the universe itself. Dutton.

Cartwright, N. (1983). How the laws of physics lie. Oxford University Press.

Cartwright, N. (1989). Nature’s capacities and their measurement. Clarendon Press.

Cartwright, N. (2004). The vanity of rigour in economics. Post-Autistic Economics Review, 25, 33–37.

Cartwright, N. (2007). Hunting causes and using them. Cambridge University Press.

Chang, H. (2012). Is water H₂O? Evidence, realism and pluralism. Springer.

Davidson, D. (1984). Inquiries into truth and interpretation. Oxford University Press.

Dennett, D. C. (2013). Intuition pumps and other tools for thinking. W. W. Norton.

Descartes, R. (1976). Rules for the direction of the mind (E. Anscombe & P. Geach, Trans.). Cambridge University Press.

Domingos, P. (2015). The master algorithm: How the quest for the ultimate learning machine will remake our world. Basic Books.

Dummett, M. (1978). Truth and other enigmas. Harvard University Press.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Feyerabend, P. (1978). Science in a free society. NLB.

Fine, K. (2012). The structure of reality. Oxford University Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Fodor, J., & Lepore, E. (1992). Holism: A shopper’s guide. Blackwell.

Friedman, M. (2001). Dynamics of reason. CSLI Publications.

Gabriel, M. (2015). Fields of sense: A new realist ontology. Edinburgh University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd rev. ed.). Continuum.

Goodman, N. (1983). Fact, fiction, and forecast (4th ed.). Harvard University Press.

Gracia, J. (1984). Individuation in scholasticism. SUNY Press.

Grice, P. (1989). Logic and conversation. In Studies in the way of words (pp. 22–40). Harvard University Press.

Haack, S. (1993). Evidence and inquiry: Towards reconstruction in epistemology. Blackwell.

Hastie, T., Tibshirani, R., & Friedman, J. (2009). The elements of statistical learning (2nd ed.). Springer.

Hodges, W. (1993). Model theory. Cambridge University Press.

Hossenfelder, S. (2018). Lost in math: How beauty leads physics astray. Basic Books.

Hume, D. (1977). An enquiry concerning human understanding (E. Steinberg, Ed.). Hackett.

Jaynes, E. T. (2003). Probability theory: The logic of science. Cambridge University Press.

Kauffman, S. A. (1993). The origins of order: Self-organization and selection in evolution. Oxford University Press.

Kitcher, P. (1993). The advancement of science: Science without legend, objectivity without illusions. Oxford University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1978). The methodology of scientific research programmes. Cambridge University Press.

Leonelli, S. (2016). Data-centric biology. University of Chicago Press.

Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds. Blackwell.

Lipton, P. (2004). Inference to the best explanation (2nd ed.). Routledge.

Longino, H. E. (1990). Science as social knowledge. Princeton University Press.

Loux, M. J. (2017). Metaphysics: A contemporary introduction (4th ed.). Routledge.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge. University of Minnesota Press.

Mach, E. (1919). The science of mechanics (T. McCormack, Trans.). Open Court.

McAllister, J. W. (1996). Beauty and revolution in science. Cornell University Press.

Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay on the necessity of contingency. Continuum.

Miller, G. A. (1967). The psychology of communication. Basic Books.

Miller, T. (2019). Explanation in artificial intelligence: Insights from the social sciences. Artificial Intelligence, 267, 1–38.

Mitchell, M. (2009). Complexity: A guided tour. Oxford University Press.

Morgan, C. L. (1894). An introduction to comparative psychology. W. Scott.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle. Cambridge University Press.

Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis principia mathematica. Royal Society.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. University of Chicago Press.

Ockham, W. of. (1951). Summa logicae (P. Boehner, Ed.). Franciscan Institute.

Pearl, J. (2018). The book of why: The new science of cause and effect. Basic Books.

Penrose, R. (2004). The road to reality. Jonathan Cape.

Peirce, C. S. (1955). Abduction and induction. In J. Buchler (Ed.), Philosophical writings of Peirce (pp. 150–156). Dover.

Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. University of Chicago Press.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Routledge.

Popper, K. R. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Quine, W. V. O. (1948). On what there is. Review of Metaphysics, 2(5), 21–38.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. MIT Press.

Rissanen, J. (2007). Information and complexity in statistical modeling. Springer.

Salmon, M. H. (1999). Introduction to the philosophy of science. Hackett.

Salmon, W. C. (1984). Scientific explanation and the causal structure of the world. Princeton University Press.

Saussure, F. de. (1986). Course in general linguistics (R. Harris, Trans.). Open Court.

Schaffer, J. (2009). On what grounds what. In D. Chalmers, D. Manley, & R. Wasserman (Eds.), Metametaphysics: New essays on the foundations of ontology (pp. 347–383). Oxford University Press.

Schwarz, G. (1978). Estimating the dimension of a model. Annals of Statistics, 6(2), 461–464.

Sober, E. (1988). Reconstructing the past: Parsimony, evolution, and inference. MIT Press.

Sober, E. (2015). Simplicity. Oxford University Press.

Sober, E. (2015). Ockham’s razors: A user’s manual. Cambridge University Press.

Solomon, M. (2001). Social empiricism. MIT Press.

Spade, P. V. (1999). Ockham’s nominalism. In P. V. Spade (Ed.), The Cambridge companion to Ockham (pp. 100–105). Cambridge University Press.

Strevens, M. (2009). The role of parsimony in explanation. Philosophy of Science, 76(4), 488–506.

Tarski, A. (1956). Logic, semantics, metamathematics (J. H. Woodger, Trans.). Clarendon Press.

Tarski, A. (1995). Introduction to logic and to the methodology of deductive sciences. Dover.

Tegmark, M. (2014). Our mathematical universe. Knopf.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologiae. Benziger Bros.

Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Van Fraassen, B. C. (2002). The empirical stance. Yale University Press.

Van Inwagen, P. (2001). Ontology, identity, and modality: Essays in metaphysics. Cambridge University Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality. Free Press.

Williamson, T. (2007). The philosophy of philosophy. Blackwell.

Williamson, T. (2013). Modal logic as metaphysics. Oxford University Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar