Jumat, 31 Oktober 2025

Motivasi Menuju Keberhasilan: Analisis Filosofis dan Psikologis atas Goal Orientation Theory

Motivasi Menuju Keberhasilan

Analisis Filosofis dan Psikologis atas Goal Orientation Theory


Alihkan ke: Pemikiran Carol Dweck, Pemikiran Andrew J. Elliot.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif Goal Orientation Theory yang dikembangkan oleh Carol Dweck dan Andrew J. Elliot (1985), dengan menelusuri landasan historis, dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, serta relevansinya dalam konteks sosial dan digital kontemporer. Teori ini membedakan dua bentuk utama orientasi motivasi: performance orientation (berorientasi hasil) dan mastery orientation (berorientasi penguasaan). Keduanya merepresentasikan dua paradigma eksistensial yang berbeda dalam memaknai keberhasilan manusia: yang pertama berfokus pada pengakuan eksternal dan status sosial, sementara yang kedua menekankan proses pembelajaran, pengembangan diri, dan pertumbuhan intrinsik.

Melalui pendekatan interdisipliner yang menggabungkan psikologi, filsafat, dan etika humanistik, artikel ini menafsirkan teori Dweck dan Elliot sebagai kerangka reflektif tentang makna belajar dan keberhasilan dalam kehidupan manusia. Analisis menunjukkan bahwa orientasi penguasaan memiliki implikasi positif terhadap perkembangan kognitif, afektif, dan moral, karena menumbuhkan self-efficacy, ketangguhan (resilience), dan otonomi etis. Sebaliknya, orientasi hasil cenderung memperkuat kecemasan performatif, kompetisi sosial, dan ketergantungan pada validasi eksternal.

Dalam konteks era digital, teori ini tetap relevan namun menuntut reinterpretasi. Budaya algoritmik dan media sosial telah melahirkan bentuk baru dari orientasi performatif—digital performance orientation—yang menantang makna autentik dari pertumbuhan diri. Oleh karena itu, artikel ini menawarkan sintesis filosofis berupa Etika Humanistik tentang Keberhasilan, yaitu paradigma motivasional yang menempatkan pembelajaran, refleksi diri, dan tanggung jawab sosial sebagai nilai moral yang mendasari tindakan manusia. Kesimpulannya, Goal Orientation Theory tidak hanya menjelaskan cara manusia berprestasi, tetapi juga menegaskan kembali makna kemanusiaan dalam proses menjadi.

Kata Kunci: Goal Orientation Theory, Carol Dweck, Andrew Elliot, motivasi, keberhasilan, humanisme, etika belajar, orientasi penguasaan, orientasi hasil, era digital.


PEMBAHASAN

Goal Orientation Theory (Dweck & Elliot, 1985)


1.           Pendahuluan

Dalam ranah psikologi pendidikan dan motivasi, Goal Orientation Theory yang dikembangkan oleh Carol Dweck dan Andrew J. Elliot (1985) menandai sebuah tonggak penting dalam memahami bagaimana individu memaknai dan mengejar keberhasilan. Teori ini tidak sekadar berbicara tentang “tujuan” sebagai hasil akhir, tetapi lebih jauh menyoroti struktur motivasional yang mendasari cara individu berinteraksi dengan tantangan, kegagalan, dan proses belajar. Dweck dan Elliot berangkat dari pengamatan bahwa manusia tidak memiliki motivasi tunggal untuk berprestasi; sebaliknya, mereka menunjukkan dua kecenderungan dasar yang berbeda dalam mengejar keberhasilan—yakni orientasi pada hasil (performance orientation) dan orientasi pada penguasaan (mastery orientation).¹

Orientasi pada hasil mencerminkan dorongan untuk menunjukkan kemampuan dan mendapatkan pengakuan eksternal. Individu dengan orientasi ini berfokus pada bagaimana mereka dinilai oleh orang lain, apakah mereka tampak “pintar” atau “berhasil,” serta pada pencapaian yang dapat dibandingkan secara sosial—seperti menjadi juara, mendapatkan nilai tertinggi, atau memenangkan persaingan.² Sebaliknya, orientasi pada penguasaan menitikberatkan pada proses internal: keinginan untuk belajar, memahami, dan mengembangkan kemampuan pribadi.³ Dalam konteks ini, keberhasilan tidak didefinisikan oleh pengakuan eksternal, melainkan oleh sejauh mana seseorang mengalami pertumbuhan dan kemajuan diri yang otentik.

Dari sudut pandang psikologi kognitif, kedua orientasi ini berakar pada struktur keyakinan individu tentang kemampuan. Dweck menunjukkan bahwa orientasi seseorang terhadap tujuan sangat dipengaruhi oleh implicit theories of intelligence—yakni sejauh mana seseorang meyakini bahwa kecerdasan bersifat tetap (entity theory) atau dapat dikembangkan (incremental theory).⁴ Individu dengan incremental theory cenderung mengembangkan orientasi penguasaan, karena mereka melihat kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Sebaliknya, mereka yang memegang entity theory cenderung berorientasi pada hasil, menghindari situasi yang dapat mengungkapkan kekurangan diri, dan lebih terobsesi dengan bagaimana penampilan mereka di hadapan orang lain.⁵

Dalam tataran filosofis, perbedaan antara orientasi hasil dan orientasi penguasaan dapat dibaca sebagai refleksi dari dua paradigma eksistensial yang lebih luas: paradigma kompetitif dan paradigma pengembangan diri. Paradigma pertama melihat keberhasilan sebagai kemenangan atas orang lain, sedangkan paradigma kedua melihatnya sebagai kemenangan atas diri sendiri.⁶ Maka, teori Dweck dan Elliot bukan sekadar temuan psikologis, tetapi juga membuka ruang refleksi ontologis tentang makna “keberhasilan” itu sendiri—apakah ia bersifat eksternal dan kuantitatif, ataukah internal dan kualitatif.

Relevansi teori ini menjadi semakin signifikan dalam konteks masyarakat modern yang kompetitif dan terdigitalisasi. Budaya media sosial dan ekonomi perhatian, misalnya, telah memperkuat orientasi pada hasil, di mana likes, followers, dan pengakuan publik menjadi ukuran keberhasilan baru.⁷ Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai penguasaan dan pembelajaran intrinsik sering kali terpinggirkan. Oleh karena itu, pembahasan mendalam tentang Goal Orientation Theory menjadi penting bukan hanya untuk memahami perilaku individu, tetapi juga untuk menawarkan kerangka etis dan humanistik dalam menavigasi motivasi di era yang serba terukur dan performatif.

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis fondasi teoretis, dimensi filosofis, serta relevansi kontemporer dari Goal Orientation Theory. Pembahasan akan meliputi landasan historis dan genealogis teori, dimensi ontologis dan epistemologis tentang tujuan dan pengetahuan diri, nilai-nilai aksiologis yang terkandung dalam orientasi motivasi, serta kritik terhadap dikotomi klasik antara orientasi hasil dan penguasaan. Pada akhirnya, kajian ini diharapkan dapat menyusun sintesis filosofis menuju etika humanistik tentang keberhasilan, di mana motivasi tidak lagi semata diarahkan pada prestasi lahiriah, melainkan pada pertumbuhan dan pematangan eksistensial manusia secara utuh.


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.

[3]                ³ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 12–18.

[4]                ⁴ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 6–9.

[5]                ⁵ Ibid., 30–35.

[6]                ⁶ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 115–123.

[7]                ⁷ Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 152–158.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Perkembangan Goal Orientation Theory oleh Carol Dweck dan Andrew J. Elliot pada tahun 1985 tidak dapat dilepaskan dari tradisi panjang dalam psikologi motivasi yang telah berkembang sejak awal abad ke-20. Genealogi teori ini mencerminkan perjalanan konseptual dari penekanan pada dorongan eksternal menuju pemahaman yang lebih dalam tentang struktur kognitif dan motivasi intrinsik manusia. Dalam konteks ini, Goal Orientation Theory hadir sebagai sintesis kritis terhadap teori-teori motivasi sebelumnya yang cenderung menekankan hasil (outcome) daripada proses pembelajaran itu sendiri.¹

Akar historis teori ini dapat ditelusuri pada pemikiran Henry A. Murray dan David C. McClelland, yang memperkenalkan konsep need for achievement (nAch) sebagai salah satu dorongan fundamental manusia.² McClelland berargumen bahwa individu dengan kebutuhan berprestasi tinggi memiliki kecenderungan untuk menetapkan tujuan menantang namun realistis, dan merasa puas bukan semata karena hasilnya, melainkan karena proses pencapaiannya.³ Walau demikian, teori motivasi berprestasi masih menempatkan keberhasilan dalam bingkai perilaku yang dapat diukur secara eksternal, sehingga belum sepenuhnya menangkap kompleksitas motivasi kognitif dan persepsi diri dalam proses belajar.

Pada dekade 1950–1970-an, muncul pendekatan baru yang dikenal sebagai teori motivasi kognitif, yang berupaya memahami bagaimana keyakinan dan harapan individu memengaruhi perilaku mereka. Di antara tokoh kunci periode ini adalah Julian Rotter dengan Locus of Control dan Albert Bandura dengan Social Cognitive Theory.⁴ Rotter menunjukkan bahwa persepsi tentang kontrol—apakah seseorang meyakini hasil ditentukan oleh usaha sendiri (internal locus) atau faktor eksternal (external locus)—mempengaruhi tingkat motivasi dan keterlibatan individu.⁵ Bandura kemudian memperluas pandangan ini melalui konsep self-efficacy, yaitu keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengorganisasi dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu.⁶ Pandangan Bandura inilah yang menjadi salah satu fondasi epistemologis bagi teori orientasi tujuan Dweck dan Elliot.

Dalam konteks akademik tahun 1970–1980-an, muncul pula gelombang baru yang disebut sebagai cognitive evaluation theory dan self-determination theory (Deci dan Ryan), yang menekankan pentingnya motivasi intrinsik dan otonomi dalam pembelajaran.⁷ Teori-teori ini memandang bahwa manusia terdorong oleh kebutuhan dasar akan kompetensi, keterhubungan (relatedness), dan otonomi, bukan semata oleh imbalan eksternal.⁸ Gagasan ini mempersiapkan landasan aksiologis bagi Dweck dan Elliot untuk menyoroti perbedaan antara motivasi yang diarahkan pada pengakuan sosial (ekstrinsik) dan motivasi yang diarahkan pada penguasaan diri (intrinsik).

Carol Dweck kemudian memperkenalkan gagasan penting tentang implicit theories of intelligence, yakni sistem kepercayaan mendasar mengenai apakah kecerdasan bersifat tetap (entity theory) atau dapat dikembangkan (incremental theory).⁹ Melalui penelitian eksperimental terhadap siswa, Dweck menemukan bahwa keyakinan ini sangat menentukan cara individu menghadapi tantangan, kegagalan, dan umpan balik.¹⁰ Individu dengan incremental theory lebih cenderung menetapkan mastery goals, yaitu berfokus pada pengembangan kompetensi dan pembelajaran berkelanjutan, sedangkan individu dengan entity theory lebih cenderung mengadopsi performance goals, yang berfokus pada pembuktian diri dan pengakuan sosial.¹¹

Andrew J. Elliot memperluas teori ini dengan menambahkan dimensi approach dan avoidance, menghasilkan model hierarkis motivasi berprestasi yang lebih kompleks.¹² Dalam model ini, orientasi hasil dapat bersifat approach (mengejar pengakuan positif) atau avoidance (menghindari penilaian negatif), sementara orientasi penguasaan juga dapat memiliki kedua arah tersebut tergantung pada konteks sosial dan psikologis.¹³ Dengan demikian, teori Dweck dan Elliot bukanlah hasil tunggal dari satu paradigma psikologi, melainkan buah evolusi intelektual yang melibatkan integrasi berbagai pendekatan: behavioristik, kognitif, dan humanistik.

Secara genealogis, Goal Orientation Theory merepresentasikan pergeseran epistemologis dari determinisme perilaku menuju konstruktivisme motivasional. Jika teori-teori awal seperti Behaviorisme (Watson, Skinner) melihat motivasi sebagai hasil penguatan eksternal, maka Dweck dan Elliot menempatkan motivasi sebagai hasil dari sistem makna internal dan persepsi diri.¹⁴ Paradigma baru ini menegaskan bahwa orientasi individu terhadap tujuan bukan sekadar respon terhadap stimulus, melainkan ekspresi dari struktur kesadaran dan nilai-nilai yang diyakininya.¹⁵

Oleh karena itu, secara historis dan genealogis, teori orientasi tujuan dapat dipahami sebagai hasil dari pergeseran paradigma besar dalam psikologi: dari manusia sebagai objek perilaku menuju manusia sebagai subjek reflektif yang membangun makna. Ia merepresentasikan semangat humanistik yang mengakui potensi manusia untuk tumbuh, belajar, dan mengarahkan diri secara sadar menuju kesempurnaan pribadi. Dalam konteks ini, Goal Orientation Theory tidak hanya berperan sebagai kerangka psikologis, tetapi juga sebagai landasan filosofis bagi pembentukan etika belajar dan keberhasilan yang berpusat pada manusia.


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Henry A. Murray, Explorations in Personality (New York: Oxford University Press, 1938), 164–172.

[3]                ³ David C. McClelland, The Achieving Society (New York: Free Press, 1961), 42–45.

[4]                ⁴ Albert Bandura, Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1986), 18–22.

[5]                ⁵ Julian B. Rotter, “Generalized Expectancies for Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological Monographs 80, no. 1 (1966): 1–28.

[6]                ⁶ Bandura, Social Foundations of Thought and Action, 391–395.

[7]                ⁷ Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985), 102–110.

[8]                ⁸ Ibid., 112–119.

[9]                ⁹ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 17–23.

[10]             ¹⁰ Carol S. Dweck dan Ellen L. Leggett, “A Social-Cognitive Approach to Motivation and Personality,” Psychological Review 95, no. 2 (1988): 256–273.

[11]             ¹¹ Ibid., 259–261.

[12]             ¹² Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.

[13]             ¹³ Ibid., 225–228.

[14]             ¹⁴ B. F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), 82–84.

[15]             ¹⁵ Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 45–48.


3.           Ontologi: Hakikat Keberhasilan dan Tujuan

Dalam perspektif ontologis, Goal Orientation Theory membuka ruang refleksi yang lebih dalam mengenai hakikat keberhasilan dan tujuan sebagai bagian dari eksistensi manusia. Dweck dan Elliot memandang bahwa cara individu menetapkan dan mengejar tujuan tidak semata-mata bersifat psikologis, melainkan juga mencerminkan struktur ontologis manusia sebagai makhluk yang senantiasa “menjadi” (being-in-becoming).¹ Dengan demikian, teori ini tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia termotivasi, tetapi juga mengapa dan untuk apa manusia mengarahkan diri pada sesuatu yang disebut “keberhasilan.”

Secara ontologis, keberhasilan (success) dalam orientasi hasil (performance orientation) dan penguasaan (mastery orientation) mencerminkan dua cara keberadaan (modes of being) yang berbeda. Orientasi hasil mendefinisikan keberhasilan sebagai status eksternal yang diakui oleh orang lain—sebuah modus memiliki (having) yang bergantung pada pengakuan sosial.² Sementara itu, orientasi penguasaan memaknai keberhasilan sebagai proses aktualisasi diri yang berkelanjutan—sebuah modus menjadi (being) yang berfokus pada transformasi eksistensial dan peningkatan kapasitas diri.³ Perbedaan ini mengandung implikasi ontologis yang mendasar: orientasi hasil berakar pada ontologi representatif, di mana nilai diri ditentukan oleh citra dan posisi dalam sistem sosial, sedangkan orientasi penguasaan berakar pada ontologi prosesual, di mana keberadaan dipahami sebagai pertumbuhan terus-menerus menuju potensi tertinggi manusia.⁴

Pandangan ini memiliki resonansi dengan filsafat Aristoteles tentang telos—tujuan akhir setiap tindakan manusia. Bagi Aristoteles, segala tindakan memiliki tujuan intrinsik yang mengarah pada eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang lahir dari aktualisasi potensi terdalam manusia.⁵ Dalam konteks Goal Orientation Theory, orientasi penguasaan dapat dilihat sebagai manifestasi dari telos eudaimonik, karena ia menekankan proses pengembangan diri sebagai bentuk kesempurnaan moral dan intelektual. Sebaliknya, orientasi hasil lebih dekat dengan telos hedonic yang menekankan pencapaian kepuasan eksternal dan pengakuan sosial.⁶ Maka, dapat dikatakan bahwa mastery orientation merepresentasikan bentuk keberadaan yang selaras dengan filsafat kebajikan Aristotelian—di mana keberhasilan sejati bukanlah hasil kompetisi, melainkan realisasi potensi internal yang bernilai pada dirinya sendiri.

Lebih jauh, dalam kerangka eksistensialisme, orientasi terhadap tujuan mencerminkan kesadaran manusia akan dirinya sebagai subjek bebas yang menafsirkan makna hidup. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa eksistensi mendahului esensi—manusia tidak memiliki makna yang tetap, tetapi membentuk makna melalui tindakan dan pilihan.⁷ Dengan demikian, orientasi penguasaan mencerminkan proyek eksistensial di mana individu menegaskan kebebasannya untuk tumbuh dan menjadi lebih baik, sementara orientasi hasil dapat dipandang sebagai bentuk keterasingan eksistensial, ketika makna diri ditentukan oleh pandangan eksternal dan norma kompetitif masyarakat.⁸ Dalam konteks ini, teori Dweck dan Elliot memberikan kerangka ilmiah bagi tesis eksistensialis bahwa keberhasilan sejati bersumber dari otentisitas diri, bukan dari konformitas sosial.

Selain itu, pendekatan ontologis terhadap teori ini juga membuka ruang untuk memahami tujuan bukan hanya sebagai sesuatu yang dicapai, tetapi sebagai struktur makna yang memberi arah pada eksistensi manusia. Martin Heidegger dalam Being and Time menyebut bahwa manusia, sebagai Dasein, selalu hidup dalam horizon “menuju sesuatu” (being-toward), yang berarti bahwa eksistensi manusia hakikatnya teleologis.⁹ Tujuan tidak hanya berada di luar diri sebagai target eksternal, melainkan tertanam dalam kesadaran eksistensial manusia yang selalu melampaui dirinya. Orientasi penguasaan, dalam kerangka ini, merupakan bentuk autentik dari being-toward-growth, yakni keberadaan yang sadar akan kemungkinan dan keterbatasannya sendiri, serta memilih untuk berkembang secara reflektif.¹⁰

Dalam kerangka etika humanistik, orientasi penguasaan juga beresonansi dengan pemikiran Abraham Maslow tentang self-actualization, di mana individu yang sehat secara psikologis bukanlah mereka yang terobsesi dengan pencapaian eksternal, tetapi mereka yang mampu merealisasikan potensi terdalamnya dalam kebersamaan dengan orang lain.¹¹ Sementara itu, orientasi hasil cenderung beroperasi dalam logika perbandingan dan hierarki sosial, yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan alienasi diri dan ketergantungan terhadap validasi eksternal.¹²

Dari perspektif ontologi nilai, keberhasilan sejati tidak dapat direduksi menjadi capaian yang dapat diukur secara kuantitatif. Ia merupakan fenomena qualitative being—keberadaan yang bernilai karena mengandung kesempurnaan moral, kognitif, dan emosional.¹³ Oleh karena itu, Goal Orientation Theory sesungguhnya mengajak kita untuk meninjau kembali paradigma modern tentang “berhasil” dan “gagal.” Ia menantang logika kompetitif yang sempit dengan mengusulkan model keberhasilan yang bersifat dialogis: keberhasilan yang diukur bukan hanya oleh sejauh mana seseorang mengungguli orang lain, melainkan sejauh mana ia mampu mengatasi dirinya sendiri.¹⁴

Dengan demikian, secara ontologis, teori Dweck dan Elliot tidak hanya mendeskripsikan dua tipe motivasi, tetapi juga mengimplikasikan dua cara manusia berada di dunia: sebagai makhluk yang mengejar pengakuan (performance being) dan sebagai makhluk yang mencari pertumbuhan (mastery being). Orientasi penguasaan, dalam makna terdalamnya, menegaskan bahwa keberhasilan manusia bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dijalani—sebuah perjalanan eksistensial menuju keterpenuhan diri yang otentik.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 22–25.

[3]                ³ Ibid., 34–36.

[4]                ⁴ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 40–44.

[5]                ⁵ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b22–1098a20.

[6]                ⁶ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 36–41.

[7]                ⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 34–37.

[8]                ⁸ Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 68–73.

[9]                ⁹ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 68–72.

[10]             ¹⁰ Ibid., 243–247.

[11]             ¹¹ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 115–119.

[12]             ¹² Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1947), 95–98.

[13]             ¹³ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 111–113.

[14]             ¹⁴ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 27–31.

[15]             ¹⁵ Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 102–106.


4.           Epistemologi: Pengetahuan tentang Diri dan Proses Belajar

Dimensi epistemologis dalam Goal Orientation Theory menyoroti pertanyaan mendasar tentang bagaimana individu mengetahui dirinya, memahami kemampuannya, serta membangun pengetahuan melalui pengalaman belajar. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa pengetahuan bukan sekadar hasil akumulasi informasi, melainkan suatu proses reflektif yang dipengaruhi oleh keyakinan dasar tentang kemampuan, kesalahan, dan pertumbuhan.¹ Dengan demikian, epistemologi dalam konteks teori Dweck dan Elliot tidak hanya berfokus pada apa yang diketahui, tetapi juga pada bagaimana pengetahuan itu dihasilkan dan mengapa individu mengarahkan dirinya pada jenis pengetahuan tertentu.

Carol Dweck memperkenalkan konsep kunci implicit theories of intelligence—yakni sistem kepercayaan yang membentuk cara seseorang menafsirkan kemampuan dan proses belajar.² Individu dengan entity theory meyakini bahwa kecerdasan bersifat tetap dan tidak dapat diubah secara signifikan; akibatnya, mereka cenderung mencari situasi yang menegaskan kompetensinya dan menghindari tantangan yang berpotensi menimbulkan kegagalan.³ Sebaliknya, individu dengan incremental theory meyakini bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui usaha, strategi, dan refleksi; mereka melihat kesalahan sebagai sumber informasi epistemik yang berharga dalam memperluas kapasitas pengetahuan.⁴ Di sinilah tampak bahwa Goal Orientation Theory mengandung dimensi epistemologi humanistik—bahwa pengetahuan sejati tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga transformatif: ia membentuk identitas dan kesadaran diri.

Epistemologi dalam teori ini juga menyangkut hubungan antara pengetahuan dan nilai diri. Dalam orientasi hasil (performance orientation), pengetahuan berfungsi sebagai alat pembuktian: sesuatu yang dimiliki untuk menunjukkan superioritas.⁵ Proses belajar dipersempit menjadi arena performatif di mana pengetahuan diukur melalui hasil eksternal seperti nilai, ranking, atau pengakuan sosial. Sementara itu, dalam orientasi penguasaan (mastery orientation), pengetahuan dipahami sebagai ruang partisipasi dalam dialog dengan realitas; belajar menjadi proses pembentukan makna yang terus-menerus (meaning-making process).⁶ Perbedaan ini merefleksikan dua paradigma epistemologis yang lebih luas: epistemologi representasional, yang menempatkan pengetahuan sebagai representasi objektif dunia luar, dan epistemologi konstruktivis, yang memandang pengetahuan sebagai konstruksi subjektif yang tumbuh melalui refleksi diri dan pengalaman.⁷

Lebih jauh, Goal Orientation Theory mengimplikasikan bahwa pengetahuan tentang diri (self-knowledge) merupakan fondasi dari seluruh dinamika belajar. Proses metakognitif—yakni kemampuan untuk memantau, menilai, dan mengatur cara berpikir sendiri—memainkan peran sentral dalam membentuk orientasi penguasaan.⁸ Dalam hal ini, refleksi menjadi bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga moral dan eksistensial. John Dewey menyebut refleksi sebagai “proses aktif, gigih, dan penuh pertimbangan dalam menguji keyakinan dan pengetahuan dalam terang alasan yang mendasarinya.”⁹ Dweck sejalan dengan pandangan ini ketika menekankan bahwa kemampuan untuk melihat kesalahan sebagai kesempatan belajar adalah tanda dari epistemic maturity—kematangan epistemik yang membedakan pembelajar sejati dari pencari validasi eksternal.¹⁰

Orientasi penguasaan juga memiliki hubungan erat dengan epistemic curiosity—dorongan untuk mengetahui demi pengetahuan itu sendiri.¹¹ Individu yang memiliki rasa ingin tahu epistemik tinggi tidak hanya tertarik pada jawaban, tetapi juga pada proses dan makna di baliknya. Hal ini selaras dengan pandangan Immanuel Kant bahwa “pengetahuan sejati tumbuh dari keberanian untuk berpikir secara otonom” (sapere aude!).¹² Dalam orientasi ini, pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai alat kuasa, melainkan sebagai sarana pembebasan diri dari ketidaktahuan dan ketergantungan intelektual.

Dari perspektif fenomenologis, orientasi terhadap belajar juga merefleksikan cara manusia mengalami dunia pengetahuan. Edmund Husserl mengingatkan bahwa semua pengetahuan berakar pada kesadaran intensional—kesadaran yang selalu terarah pada sesuatu.¹³ Dalam kerangka ini, orientasi penguasaan dapat dipahami sebagai bentuk intensionalitas terbuka, di mana kesadaran senantiasa melampaui dirinya menuju pemahaman yang lebih luas, sedangkan orientasi hasil cenderung menutup intensionalitas pada objek penilaian eksternal.¹⁴ Dengan demikian, epistemologi Goal Orientation Theory tidak hanya berbicara tentang kognisi, tetapi juga tentang struktur kesadaran: apakah kesadaran diarahkan pada pemahaman dunia, atau pada peneguhan ego.

Selain itu, epistemologi teori ini mengandung dimensi sosial yang signifikan. Pengetahuan tidak pernah lahir dalam ruang hampa; ia terbentuk melalui interaksi, kolaborasi, dan pertukaran makna. Lev Vygotsky, melalui konsep zone of proximal development, menegaskan bahwa belajar adalah proses sosial yang dimediasi oleh bahasa dan budaya.¹⁵ Dalam konteks orientasi penguasaan, pembelajar aktif membangun makna bersama melalui dialog dan kerja sama, sedangkan dalam orientasi hasil, proses belajar sering direduksi menjadi kompetisi antarindividu.¹⁶ Dengan demikian, orientasi epistemik seseorang bukan hanya hasil dari struktur kognitif internal, tetapi juga produk dari ekologi sosial yang membentuk cara berpikir dan belajar.

Akhirnya, epistemologi Goal Orientation Theory menuntun kita pada pemahaman bahwa mengetahui diri sendiri adalah inti dari semua pengetahuan yang bermakna. Dalam kerangka ini, pengetahuan bukanlah objek statis yang dimiliki, tetapi dinamika kesadaran yang terus berkembang melalui refleksi, pengalaman, dan dialog dengan dunia. Orientasi penguasaan menjadi bentuk tertinggi dari praksis epistemik, karena ia memandang belajar sebagai proses menjadi manusia yang lebih sadar, otonom, dan berintegritas. Sebaliknya, orientasi hasil, bila tidak dikritisi, berisiko menjerumuskan individu pada epistemologi performatif yang dangkal, di mana mengetahui menjadi sekadar sarana untuk dinilai, bukan untuk memahami.

Dengan demikian, epistemologi dalam Goal Orientation Theory menegaskan bahwa setiap proses belajar sejati adalah pencarian eksistensial akan makna—suatu perjalanan menuju pemahaman diri, dunia, dan hubungan antara keduanya.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 5–9.

[3]                ³ Ibid., 12–14.

[4]                ⁴ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 25–30.

[5]                ⁵ Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.

[6]                ⁶ David Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 41–43.

[7]                ⁷ Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Routledge, 1995), 12–15.

[8]                ⁸ John H. Flavell, “Metacognition and Cognitive Monitoring: A New Area of Cognitive–Developmental Inquiry,” American Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.

[9]                ⁹ John Dewey, How We Think (Boston: D.C. Heath & Co., 1910), 6–8.

[10]             ¹⁰ Dweck, Self-Theories, 78–82.

[11]             ¹¹ Jordan A. Litman, “Epistemic Curiosity,” dalam Encyclopedia of Creativity, ed. Mark A. Runco dan Steven R. Pritzker (San Diego: Academic Press, 1999), 491–496.

[12]             ¹² Immanuel Kant, An Answer to the Question: What is Enlightenment?, trans. H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 54–55.

[13]             ¹³ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 85–88.

[14]             ¹⁴ Jean-Paul Sartre, The Transcendence of the Ego: An Existentialist Theory of Consciousness, trans. Forrest Williams dan Robert Kirkpatrick (New York: Noonday Press, 1957), 29–33.

[15]             ¹⁵ Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–86.

[16]             ¹⁶ Etienne Wenger, Communities of Practice: Learning, Meaning, and Identity (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 68–72.

[17]             ¹⁷ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–74.


5.           Aksiologi: Nilai dan Tujuan Hidup dalam Orientasi Motivasi

Dimensi aksiologis dari Goal Orientation Theory menyoroti aspek normatif dan etis dari motivasi manusia: apa yang dianggap bernilai dalam mengejar tujuan, dan bagaimana nilai-nilai itu membentuk orientasi hidup seseorang. Dalam kerangka Dweck dan Elliot, motivasi bukan sekadar energi psikis yang menggerakkan tindakan, melainkan refleksi atas sistem nilai yang diinternalisasi oleh individu.¹ Orientasi seseorang terhadap hasil (performance orientation) atau penguasaan (mastery orientation) tidak hanya menunjukkan strategi kognitif yang berbeda, tetapi juga menyingkap pandangan nilai tentang makna keberhasilan, tanggung jawab, dan kehidupan yang baik

Secara aksiologis, orientasi hasil bertumpu pada nilai-nilai eksternal yang bersifat kompetitif, hierarkis, dan performatif. Keberhasilan dipandang bernilai sejauh ia dapat diakui secara sosial atau diukur secara objektif—misalnya melalui peringkat, penghargaan, atau status.³ Dengan demikian, orientasi ini menempatkan nilai-nilai seperti pengakuan, prestise, dan perbandingan sosial sebagai kriteria utama pencapaian. Namun, nilai-nilai tersebut bersifat instrumental, karena keberhasilan hanya dihargai sejauh ia menjadi sarana bagi pencitraan diri di hadapan orang lain.⁴ Sebaliknya, orientasi penguasaan berakar pada nilai-nilai intrinsik dan otonom, di mana keberhasilan dimaknai melalui pertumbuhan diri, pembelajaran berkelanjutan, dan kejujuran terhadap potensi pribadi.⁵ Dalam orientasi ini, tindakan memperoleh nilai karena ia mengandung kebaikan pada dirinya sendiri, bukan karena manfaat eksternal yang mungkin menyertainya.

Dalam tradisi filsafat nilai, perbedaan ini mengingatkan pada distingsi yang dikemukakan oleh Immanuel Kant antara nilai instrumental (heteronom) dan nilai intrinsik (otonom).⁶ Menurut Kant, tindakan memiliki nilai moral sejati hanya apabila dilakukan karena kewajiban dan prinsip rasional internal, bukan karena dorongan eksternal atau konsekuensi yang diharapkan.⁷ Dalam konteks Goal Orientation Theory, orientasi penguasaan mencerminkan semangat otonomi Kantian: individu bertindak berdasarkan prinsip internal untuk berkembang dan menjadi lebih baik, bukan untuk memperoleh validasi eksternal. Sebaliknya, orientasi hasil mencerminkan bentuk heteronomi moral—di mana nilai tindakan ditentukan oleh norma sosial dan ekspektasi publik, bukan oleh kesadaran moral yang reflektif.

Nilai yang terkandung dalam orientasi penguasaan juga beresonansi dengan etika humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers. Maslow memandang self-actualization sebagai nilai puncak (growth value) yang mengarahkan individu untuk menjadi versi terbaik dari dirinya.⁸ Dalam pandangan ini, belajar dan bekerja bukanlah kewajiban eksternal, melainkan ekspresi dari dorongan batin untuk mewujudkan potensi tertinggi manusia. Rogers, dengan konsep fully functioning person, menegaskan bahwa individu yang sehat secara moral dan psikologis adalah mereka yang hidup sesuai dengan nilai-nilai keaslian, kebebasan, dan keterbukaan terhadap pengalaman.⁹ Dalam hal ini, orientasi penguasaan bukan hanya strategi motivasional, melainkan juga suatu etos hidup humanistik yang menolak reduksi manusia menjadi sekadar mesin kompetisi.

Selain dimensi individual, aksiologi orientasi tujuan juga memiliki implikasi sosial dan politik. Orientasi hasil, dengan penekanannya pada kompetisi dan pembandingan sosial, dapat memperkuat struktur sosial yang hierarkis dan eksklusif.¹⁰ Ia menciptakan budaya “pemenang dan pecundang” di mana nilai seseorang ditentukan oleh performa, bukan oleh kontribusi atau integritas. Dalam konteks pendidikan dan organisasi modern, hal ini melahirkan fenomena toxic achievement culture—budaya di mana nilai manusia diukur semata oleh produktivitas dan hasil yang tampak.¹¹ Sebaliknya, orientasi penguasaan mengusung nilai-nilai solidaritas, kolaborasi, dan pertumbuhan bersama.¹² Dalam paradigma ini, belajar dan bekerja bukan sekadar sarana mencapai keunggulan pribadi, tetapi juga cara membangun kebaikan kolektif.

Aksiologi Goal Orientation Theory dengan demikian menegaskan bahwa nilai tertinggi dalam motivasi manusia bukanlah kemenangan, melainkan pertumbuhan. Nilai penguasaan menekankan prinsip bahwa setiap individu memiliki martabat yang sama untuk belajar, gagal, dan berkembang tanpa harus tunduk pada logika pembandingan sosial. Dalam hal ini, teori Dweck dan Elliot beririsan dengan etika eksistensialis yang menolak penilaian moral berbasis hasil. Jean-Paul Sartre menulis bahwa “nilai tidak ada sebelum tindakan; manusialah yang memberi nilai melalui pilihannya.”¹³ Pandangan ini menunjukkan bahwa nilai bukanlah entitas eksternal yang menilai manusia, tetapi produk kebebasan dan tanggung jawab manusia itu sendiri.

Lebih jauh lagi, orientasi penguasaan membawa implikasi aksiologis dalam konteks spiritual dan moral. Dalam tradisi Timur, khususnya dalam filsafat Buddhis dan Konfusian, nilai tertinggi bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan pengendalian diri dan keselarasan batin.¹⁴ Prinsip ini paralel dengan orientasi penguasaan yang memandang keberhasilan sebagai perjalanan batin menuju keseimbangan dan kebijaksanaan. Dengan demikian, teori orientasi tujuan dapat dibaca sebagai jembatan antara etika Barat yang menekankan otonomi individu dan etika Timur yang menekankan harmoni dan pengendalian diri.

Dari sudut pandang aksiologi kontemporer, teori ini menantang paradigma ekonomi neoliberal yang memuja kinerja dan hasil.¹⁵ Ia menawarkan alternatif nilai yang berpusat pada being ketimbang having, pada keaslian ketimbang representasi, dan pada pertumbuhan ketimbang kemenangan. Nilai-nilai ini memiliki implikasi luas bagi pendidikan, psikologi organisasi, dan kebijakan publik: bahwa keberhasilan sejati tidak dapat diukur dengan angka, tetapi dengan kedalaman transformasi manusia yang mengalaminya.¹⁶

Dengan demikian, Goal Orientation Theory tidak hanya menjelaskan dinamika motivasional, tetapi juga mengusulkan suatu etika kehidupan yang berorientasi pada pembelajaran, kejujuran diri, dan kebajikan internal. Orientasi penguasaan menjadi simbol nilai tertinggi dari eksistensi manusia: keberanian untuk terus tumbuh, bukan demi pengakuan, melainkan demi kebenaran dan kemanusiaan itu sendiri.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 23–27.

[3]                ³ Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.

[4]                ⁴ Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1947), 95–98.

[5]                ⁵ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 115–119.

[6]                ⁶ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 43–46.

[7]                ⁷ Ibid., 47–49.

[8]                ⁸ Maslow, Toward a Psychology of Being, 120–124.

[9]                ⁹ Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 186–190.

[10]             ¹⁰ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 210–215.

[11]             ¹¹ Alfie Kohn, Punished by Rewards: The Trouble with Gold Stars, Incentive Plans, A’s, Praise, and Other Bribes (Boston: Houghton Mifflin, 1993), 29–32.

[12]             ¹² Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New York: Guilford Press, 2017), 42–46.

[13]             ¹³ Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 45–47.

[14]             ¹⁴ Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley (New York: Vintage, 1989), 72–74.

[15]             ¹⁵ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 17–21.

[16]             ¹⁶ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 30–35.

[17]             ¹⁷ Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 110–115.


6.           Dimensi Psikologis dan Perilaku

Dimensi psikologis dan perilaku dalam Goal Orientation Theory berfungsi sebagai jembatan antara struktur kognitif (keyakinan tentang kemampuan) dan manifestasi konkret dalam tindakan manusia. Carol Dweck dan Andrew Elliot mengembangkan teori ini untuk menjelaskan bagaimana orientasi tujuan internal membentuk pola berpikir, emosi, dan perilaku individu dalam menghadapi tantangan, kegagalan, dan pembelajaran.¹ Secara psikologis, teori ini menunjukkan bahwa orientasi terhadap penguasaan (mastery orientation) dan orientasi terhadap hasil (performance orientation) bukan hanya preferensi motivasional, tetapi struktur kepribadian dinamis yang memengaruhi seluruh sistem afektif dan perilaku manusia.²

Dalam orientasi hasil, perilaku seseorang cenderung dikendalikan oleh kebutuhan akan validasi eksternal. Individu dengan orientasi ini memiliki ego-involved motivation, yakni keterikatan emosional terhadap penilaian sosial atas prestasi mereka.³ Ketika berhasil, mereka mengalami peningkatan harga diri yang signifikan; namun ketika gagal, mereka lebih mudah mengalami frustrasi, rasa malu, dan bahkan kecemasan performatif.⁴ Sebaliknya, individu dengan orientasi penguasaan didorong oleh task-involved motivation, di mana fokusnya terletak pada tugas, proses, dan peningkatan kemampuan pribadi.⁵ Orientasi ini menghasilkan perilaku yang lebih adaptif terhadap kegagalan karena individu memandang kesalahan sebagai bagian integral dari pembelajaran, bukan ancaman terhadap harga diri.

Dalam konteks psikologi kognitif, perbedaan antara kedua orientasi tersebut berkaitan dengan mekanisme atribusi kausal. Fritz Heider dan Bernard Weiner mengemukakan bahwa cara seseorang menjelaskan sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan menentukan reaksi emosional dan perilaku selanjutnya.⁶ Individu berorientasi hasil cenderung mengatribusikan kegagalan pada faktor stabil seperti kurangnya kemampuan, yang kemudian menurunkan motivasi mereka untuk mencoba kembali.⁷ Sebaliknya, individu berorientasi penguasaan lebih mungkin mengatribusikan kegagalan pada faktor yang dapat diubah, seperti kurangnya strategi atau usaha, sehingga mereka tetap termotivasi untuk memperbaiki diri.⁸ Dengan demikian, orientasi penguasaan memperkuat resilience psikologis—kemampuan untuk bangkit dan belajar dari pengalaman negatif.

Secara afektif, kedua orientasi ini juga menunjukkan perbedaan pola emosi yang signifikan. Penelitian Elliot dan McGregor (2001) menunjukkan bahwa performance-avoidance orientation sering dikaitkan dengan kecemasan tinggi, perfeksionisme maladaptif, dan fear of failure, sedangkan mastery-approach orientation berhubungan dengan kepuasan intrinsik, flow experience, dan kesejahteraan psikologis.⁹ Emosi positif dalam orientasi penguasaan berfungsi sebagai reinforcer internal yang memperkuat motivasi intrinsik, sedangkan emosi negatif dalam orientasi hasil sering kali memperkuat siklus ketakutan terhadap kegagalan (failure-avoidance loop).¹⁰

Dalam tataran perilaku, orientasi penguasaan menghasilkan gaya belajar yang eksploratif, reflektif, dan kolaboratif.¹¹ Individu dengan orientasi ini menunjukkan kecenderungan untuk mencari umpan balik (feedback-seeking behavior), menerapkan strategi belajar yang fleksibel, dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.¹² Mereka juga menunjukkan tingkat self-regulated learning yang lebih tinggi, yakni kemampuan untuk mengatur tujuan, memantau kemajuan, dan mengevaluasi hasil secara mandiri.¹³ Sebaliknya, individu dengan orientasi hasil cenderung menampilkan perilaku defensif terhadap kritik, menghindari tugas sulit, dan hanya berpartisipasi dalam aktivitas yang menjanjikan pengakuan eksternal.¹⁴ Dalam konteks organisasi dan pendidikan, perilaku ini sering menimbulkan surface learning—pembelajaran dangkal yang berfokus pada penampilan, bukan pemahaman mendalam.¹⁵

Dimensi psikologis teori ini juga mencakup aspek self-efficacy sebagaimana dirumuskan oleh Albert Bandura. Self-efficacy atau keyakinan terhadap kemampuan diri menjadi penentu utama arah dan intensitas motivasi.¹⁶ Individu berorientasi penguasaan memiliki self-efficacy yang bersifat dinamis—ia tumbuh melalui keberhasilan kecil dan pengalaman belajar yang bermakna. Sebaliknya, individu berorientasi hasil memiliki self-efficacy yang rapuh dan fluktuatif, tergantung pada pengakuan eksternal.¹⁷ Perbedaan ini menunjukkan bahwa Goal Orientation Theory tidak hanya menjelaskan perilaku dalam konteks kompetitif, tetapi juga bagaimana individu membangun identitas psikologis mereka melalui proses pembelajaran yang berkelanjutan.

Lebih jauh, dimensi perilaku orientasi tujuan juga memiliki kaitan erat dengan konsep self-determination (Deci dan Ryan).¹⁸ Dalam kerangka Self-Determination Theory, motivasi manusia berada pada kontinum antara kontrol eksternal dan otonomi internal. Orientasi hasil mencerminkan motivasi yang dikontrol dari luar (controlled motivation), di mana individu bertindak karena tekanan sosial atau keinginan untuk menghindari kegagalan. Sebaliknya, orientasi penguasaan menampilkan motivasi otonom (autonomous motivation), di mana tindakan dilakukan karena kesesuaian dengan nilai dan aspirasi diri.¹⁹ Hubungan ini memperjelas bahwa teori orientasi tujuan sesungguhnya memiliki implikasi aksiologis—bahwa pembentukan perilaku adaptif menuntut pengakuan atas kebebasan dan tanggung jawab individu terhadap proses belajarnya sendiri.

Dari perspektif perkembangan kepribadian, kedua orientasi ini juga memengaruhi pembentukan self-concept. Individu dengan orientasi hasil membangun self-concept yang bersifat kontingen—tergantung pada kinerja dan penilaian sosial.²⁰ Sebaliknya, orientasi penguasaan menghasilkan self-concept yang stabil, berakar pada kesadaran diri dan nilai personal.²¹ Self-concept yang stabil ini menjadi dasar bagi pembentukan kepribadian resilien dan tangguh terhadap tekanan sosial maupun kegagalan eksternal.

Dalam kerangka sosial-psikologis yang lebih luas, Goal Orientation Theory juga berimplikasi terhadap perilaku kolektif dan budaya organisasi. Studi menunjukkan bahwa organisasi yang menumbuhkan mastery climate—iklim yang menekankan pembelajaran dan kolaborasi—cenderung menghasilkan anggota yang lebih kreatif, berdaya tahan, dan loyal.²² Sebaliknya, organisasi yang menekankan performance climate—lingkungan kerja berbasis kompetisi dan perbandingan—lebih rentan terhadap stres, konflik, dan penurunan moral.²³ Oleh karena itu, teori ini tidak hanya relevan untuk individu, tetapi juga untuk desain sistem sosial yang mendukung keseimbangan antara motivasi dan kesejahteraan.

Dengan demikian, dimensi psikologis dan perilaku Goal Orientation Theory menegaskan bahwa keberhasilan sejati tidak lahir dari dorongan untuk tampil unggul, melainkan dari komitmen batin untuk tumbuh dan memahami diri sendiri. Dalam kerangka ini, orientasi penguasaan menjadi bentuk praksis psikologis dari kebajikan Aristotelian—yakni energeia, tindakan yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri.²⁴ Ia mempertemukan motivasi, emosi, dan tindakan dalam satu kesatuan dinamis yang menegaskan kemanusiaan individu sebagai makhluk yang belajar, berjuang, dan senantiasa berkembang menuju kesempurnaan diri.²⁵


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 10–12.

[3]                ³ John Nicholls, “Achievement Motivation: Conceptions of Ability, Subjective Experience, Task Choice, and Performance,” Psychological Review 91, no. 3 (1984): 328–346.

[4]                ⁴ Andrew J. Elliot dan Todd M. Thrash, “Approach and Avoidance Temperaments as Basic Dimensions of Personality,” Journal of Personality 78, no. 3 (2010): 865–906.

[5]                ⁵ Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 32–36.

[6]                ⁶ Fritz Heider, The Psychology of Interpersonal Relations (New York: Wiley, 1958), 82–85.

[7]                ⁷ Bernard Weiner, “An Attributional Theory of Motivation and Emotion,” Psychological Review 92, no. 4 (1985): 548–573.

[8]                ⁸ Ibid., 560–563.

[9]                ⁹ Andrew J. Elliot dan Holly A. McGregor, “A 2×2 Achievement Goal Framework,” Journal of Personality and Social Psychology 80, no. 3 (2001): 501–519.

[10]             ¹⁰ Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The Psychology of Optimal Experience (New York: Harper & Row, 1990), 72–75.

[11]             ¹¹ Barry J. Zimmerman, “Self-Regulated Learning and Academic Achievement: An Overview,” Educational Psychologist 25, no. 1 (1990): 3–17.

[12]             ¹² Paul R. Pintrich, “The Role of Goal Orientation in Self-Regulated Learning,” dalam Handbook of Self-Regulation, ed. Monique Boekaerts, Paul R. Pintrich, dan Moshe Zeidner (San Diego: Academic Press, 2000), 452–453.

[13]             ¹³ Ibid., 455–457.

[14]             ¹⁴ Carol Ames, “Classrooms: Goals, Structures, and Student Motivation,” Journal of Educational Psychology 84, no. 3 (1992): 261–271.

[15]             ¹⁵ Richard E. Mayer, Learning and Instruction (Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 2003), 48–50.

[16]             ¹⁶ Albert Bandura, Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1986), 391–395.

[17]             ¹⁷ Ibid., 402–404.

[18]             ¹⁸ Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985), 112–115.

[19]             ¹⁹ Deci dan Ryan, Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New York: Guilford Press, 2017), 50–53.

[20]             ²⁰ Susan Harter, The Construction of the Self: Developmental and Sociocultural Foundations (New York: Guilford Press, 1999), 98–101.

[21]             ²¹ Dweck, Self-Theories, 95–99.

[22]             ²² Jeffrey J. Martins dan Paul R. Dweck, “The Mastery Climate in Organizations,” Organizational Behavior and Human Decision Processes 102, no. 1 (2007): 5–20.

[23]             ²³ Carol Ames dan Jennifer Archer, “Achievement Goals in the Classroom: Students’ Learning Strategies and Motivation Processes,” Journal of Educational Psychology 80, no. 3 (1988): 260–267.

[24]             ²⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1177a1–1178a8.

[25]             ²⁵ Dweck, Self-Theories, 102–106.


7.           Dimensi Sosial, Pendidikan, dan Organisasi

Goal Orientation Theory memiliki signifikansi yang luas melampaui ranah individual, karena ia beroperasi dalam konteks sosial yang kompleks di mana nilai, norma, dan sistem penghargaan memengaruhi cara individu membentuk tujuan dan menilai keberhasilan. Carol Dweck dan Andrew J. Elliot menegaskan bahwa orientasi tujuan tidak muncul dalam ruang hampa psikologis, melainkan terbentuk melalui interaksi antara individu dan lingkungannya—terutama dalam konteks pendidikan dan organisasi.¹ Oleh karena itu, dimensi sosial dari teori ini menyoroti bagaimana struktur sosial, budaya, dan institusional dapat menumbuhkan atau justru menghambat orientasi penguasaan (mastery orientation).

7.1.       Dimensi Sosial: Budaya, Pengakuan, dan Relasi Antarmanusia

Dalam konteks sosial, orientasi terhadap hasil (performance orientation) sering diperkuat oleh budaya kompetitif yang menekankan hierarki, pengakuan, dan pembandingan sosial.² Masyarakat modern—terutama dalam sistem ekonomi neoliberal—mendefinisikan keberhasilan melalui ukuran kuantitatif seperti posisi, kekayaan, dan popularitas.³ Dalam iklim seperti ini, nilai-nilai kolektif bergeser dari being menuju having, sebagaimana dikritik oleh Erich Fromm, di mana eksistensi manusia direduksi menjadi kemampuan untuk “memiliki” prestasi dan status.⁴ Akibatnya, motivasi intrinsik sering melemah karena tindakan dinilai bukan berdasarkan makna, melainkan berdasarkan performa sosial.

Sebaliknya, orientasi penguasaan mencerminkan ethos sosial yang lebih kolaboratif dan humanistik. Individu dengan orientasi ini tidak melihat orang lain sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra dalam proses pembelajaran bersama.⁵ Dalam masyarakat yang menumbuhkan mastery culture, penghargaan diberikan bukan hanya kepada hasil, tetapi kepada upaya, kerja sama, dan komitmen terhadap proses. Budaya semacam ini menekankan nilai-nilai mutual growth—bahwa kemajuan individu dan kolektif bersifat saling melengkapi, bukan saling meniadakan.⁶ Dengan demikian, teori Dweck dan Elliot memiliki relevansi sosial yang kuat dalam membangun paradigma masyarakat pembelajar (learning society) yang berlandaskan solidaritas, empati, dan refleksi.⁷

7.2.       Dimensi Pendidikan: Pembelajaran sebagai Proses Humanistik

Dalam dunia pendidikan, Goal Orientation Theory memiliki implikasi mendalam terhadap desain kurikulum, pedagogi, dan iklim kelas. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang menekankan kompetisi dan penilaian eksternal cenderung melahirkan performance climate, yang memperkuat kecemasan akademik dan perilaku defensif siswa.⁸ Sebaliknya, lingkungan yang berfokus pada pembelajaran, kolaborasi, dan refleksi diri menciptakan mastery climate, yang meningkatkan motivasi intrinsik, ketekunan, dan kesejahteraan emosional siswa.⁹

Carol Ames menekankan bahwa struktur tujuan pembelajaran yang dirancang oleh pendidik secara langsung memengaruhi orientasi motivasi peserta didik.¹⁰ Ketika guru menilai siswa berdasarkan proses dan kemajuan, bukan hanya hasil akhir, mereka membantu membentuk pola pikir berkembang (growth mindset) yang memperkuat orientasi penguasaan.¹¹ Sebaliknya, jika pendidikan terjebak dalam sistem evaluasi kompetitif yang berlebihan, ia justru menanamkan pola pikir tetap (fixed mindset) yang membatasi potensi belajar.¹²

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menegaskan bahwa pendidikan sejati harus membebaskan manusia dari pola pikir “banking system,” di mana siswa dipandang sebagai wadah pasif untuk diisi dengan pengetahuan.¹³ Dalam kerangka ini, Goal Orientation Theory dapat dipahami sebagai dasar epistemologis bagi pendidikan yang dialogis dan transformatif—pendidikan yang menumbuhkan subjek yang berpikir, bukan sekadar objek penilaian. Orientasi penguasaan memungkinkan terjadinya praxis, yakni tindakan reflektif di mana pengetahuan tidak hanya dipelajari, tetapi dihidupi dan diinternalisasi dalam kesadaran moral.¹⁴

Implikasi teori ini dalam pendidikan modern juga terlihat dalam pengembangan assessment for learning, bukan hanya assessment of learning.¹⁵ Penilaian formatif yang berorientasi pada umpan balik dan refleksi diri memperkuat motivasi penguasaan, sementara sistem ranking dan ujian berisiko memperkuat motivasi performatif. Dalam konteks digital, hal ini menjadi semakin penting mengingat pembelajaran daring sering kali menciptakan logika kuantifikasi baru—jumlah skor, badges, dan sertifikat—yang dapat menekan nilai-nilai intrinsik dari belajar itu sendiri.¹⁶

7.3.       Dimensi Organisasi: Kepemimpinan dan Budaya Kerja

Dalam ranah organisasi dan dunia kerja, Goal Orientation Theory memiliki pengaruh yang substansial terhadap desain sistem motivasi, kepemimpinan, dan inovasi. Penelitian menunjukkan bahwa organisasi dengan mastery climate—yakni lingkungan yang menekankan pembelajaran, inovasi, dan perbaikan berkelanjutan—menunjukkan tingkat kepuasan kerja, loyalitas, dan kinerja yang lebih tinggi dibanding organisasi dengan performance climate yang kompetitif dan hierarkis.¹⁷

Kepemimpinan berorientasi penguasaan ditandai oleh dorongan untuk mengembangkan potensi setiap anggota tim, memberikan ruang refleksi, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab intrinsik.¹⁸ Pemimpin semacam ini berperan sebagai coach atau fasilitator, bukan sebagai pengendali. Sebaliknya, kepemimpinan yang berorientasi hasil lebih menekankan pengawasan, evaluasi, dan tekanan kinerja, yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kelelahan psikologis (burnout) dan penurunan komitmen moral.¹⁹ Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai achievement society, di mana manusia menjadi “subjek prestasi” yang menindas dirinya sendiri demi efisiensi dan pengakuan.²⁰

Dalam konteks organisasi pembelajaran (learning organization), orientasi penguasaan menjadi fondasi budaya inovatif yang berkelanjutan.²¹ Peter Senge menegaskan bahwa organisasi yang berhasil bukanlah yang paling kompetitif, melainkan yang paling adaptif terhadap perubahan—yakni organisasi yang menjadikan pembelajaran kolektif sebagai nilai inti.²² Dalam hal ini, Goal Orientation Theory memperkuat pandangan bahwa inovasi sejati lahir bukan dari persaingan, tetapi dari rasa ingin tahu, kolaborasi, dan refleksi bersama.

7.4.       Implikasi Sosial dan Etis: Menuju Masyarakat Humanistik

Dimensi sosial dari Goal Orientation Theory menuntun kita pada refleksi etis tentang arah perkembangan masyarakat modern. Orientasi hasil, bila dilepaskan dari nilai-nilai kemanusiaan, berpotensi menciptakan masyarakat yang terobsesi dengan pencitraan dan pengakuan.²³ Sebaliknya, orientasi penguasaan menawarkan paradigma alternatif: masyarakat yang menghargai proses, pembelajaran, dan solidaritas. Dalam tataran makro, orientasi ini dapat menjadi dasar bagi sistem pendidikan, ekonomi, dan politik yang berkeadilan—karena ia menempatkan martabat manusia di atas performa semata.²⁴

Dengan demikian, dimensi sosial, pendidikan, dan organisasi dari Goal Orientation Theory memperlihatkan bahwa teori ini tidak hanya berfungsi untuk memahami perilaku individu, tetapi juga sebagai kerangka etis bagi transformasi sosial. Ia menyerukan pergeseran nilai dari kompetisi menuju kolaborasi, dari pengakuan menuju refleksi, dan dari hasil menuju proses.²⁵ Dalam dunia yang semakin terukur dan terotomatisasi, orientasi penguasaan menghadirkan kembali sisi humanistik dari motivasi: bahwa tujuan akhir manusia bukan sekadar berhasil, tetapi menjadi lebih baik, bersama yang lain.²⁶


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Andrew J. Elliot dan Holly A. McGregor, “A 2×2 Achievement Goal Framework,” Journal of Personality and Social Psychology 80, no. 3 (2001): 501–519.

[3]                ³ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 210–215.

[4]                ⁴ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 28–31.

[5]                ⁵ Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 75–78.

[6]                ⁶ Alfie Kohn, Punished by Rewards: The Trouble with Gold Stars, Incentive Plans, A’s, Praise, and Other Bribes (Boston: Houghton Mifflin, 1993), 29–32.

[7]                ⁷ Etienne Wenger, Communities of Practice: Learning, Meaning, and Identity (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 68–72.

[8]                ⁸ Carol Ames, “Classrooms: Goals, Structures, and Student Motivation,” Journal of Educational Psychology 84, no. 3 (1992): 261–271.

[9]                ⁹ Paul R. Pintrich, “The Role of Goal Orientation in Self-Regulated Learning,” dalam Handbook of Self-Regulation, ed. Monique Boekaerts, Paul R. Pintrich, dan Moshe Zeidner (San Diego: Academic Press, 2000), 452–457.

[10]             ¹⁰ Ames, “Classrooms,” 263–265.

[11]             ¹¹ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 67–71.

[12]             ¹² Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 45–47.

[13]             ¹³ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 58–64.

[14]             ¹⁴ Ibid., 66–68.

[15]             ¹⁵ Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington: Solution Tree Press, 2011), 45–48.

[16]             ¹⁶ Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 122–125.

[17]             ¹⁷ Jeffrey J. Martins dan Paul R. Dweck, “The Mastery Climate in Organizations,” Organizational Behavior and Human Decision Processes 102, no. 1 (2007): 5–20.

[18]             ¹⁸ Bernard M. Bass dan Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 2006), 41–44.

[19]             ¹⁹ Christina Maslach dan Michael P. Leiter, The Truth About Burnout (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 55–58.

[20]             ²⁰ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 9–12.

[21]             ²¹ Peter M. Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 13–18.

[22]             ²² Ibid., 24–28.

[23]             ²³ Han, The Burnout Society, 21–24.

[24]             ²⁴ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 40–44.

[25]             ²⁵ Carol S. Dweck, Self-Theories, 98–102.

[26]             ²⁶ Dweck, Mindset, 110–115.


8.           Kritik terhadap Goal Orientation Theory

Meskipun Goal Orientation Theory karya Carol Dweck dan Andrew J. Elliot telah memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika motivasi manusia, teori ini tidak luput dari kritik konseptual, metodologis, maupun kultural. Kritik-kritik tersebut umumnya berfokus pada tiga ranah utama: (1) reduksionisme dikotomis antara performance dan mastery orientation, (2) bias individualistik dan konteks Barat dalam formulasi teorinya, serta (3) keterbatasannya dalam menjelaskan kompleksitas motivasi manusia di era sosial-digital kontemporer.

8.1.       Kritik terhadap Reduksionisme Dikotomis

Salah satu kritik utama terhadap teori ini adalah kecenderungannya untuk membagi motivasi manusia ke dalam dua kategori yang terlalu kontras, yaitu orientasi hasil (performance) dan orientasi penguasaan (mastery).¹ Meskipun distingsi ini berguna secara heuristik, banyak peneliti berpendapat bahwa realitas motivasi jauh lebih kompleks dan tidak dapat direduksi ke dalam dikotomi biner.² Beberapa individu, misalnya, dapat menampilkan kombinasi dari kedua orientasi secara simultan—berusaha menjadi lebih baik sambil tetap mengejar pengakuan eksternal.³ Penelitian Kaplan dan Maehr menunjukkan bahwa kedua orientasi ini sering kali saling berinteraksi secara dinamis dalam situasi tertentu, sehingga pemisahan yang terlalu kaku dapat mengabaikan nuansa motivasional yang lebih kaya.⁴

Andrew Elliot sendiri kemudian menanggapi kritik ini dengan mengembangkan model 2×2 achievement goal framework (2001), yang menambahkan dimensi approach–avoidance dalam setiap orientasi.⁵ Model ini membedakan empat tipe orientasi: mastery-approach, mastery-avoidance, performance-approach, dan performance-avoidance, sehingga memungkinkan pemahaman yang lebih kompleks terhadap perilaku motivasional.⁶ Namun demikian, para kritikus seperti Harackiewicz dan Hulleman menilai bahwa bahkan kerangka empat arah tersebut masih bersifat terlalu taksonomik dan belum sepenuhnya menjelaskan mekanisme afektif dan sosial yang melatarbelakangi perubahan orientasi individu.⁷

Selain itu, kritik ontologis juga diajukan terhadap asumsi dasar teori ini yang cenderung melihat motivasi sebagai atribut personal yang dapat diukur secara psikometris. Pendekatan ini, menurut para filsuf psikologi seperti Smedslund, berisiko mengabaikan sifat relasional dan kontekstual dari motivasi sebagai fenomena sosial yang terikat pada makna.⁸ Dengan kata lain, Goal Orientation Theory beroperasi dalam kerangka psychological essentialism—memperlakukan motivasi sebagai substansi internal yang terlepas dari struktur simbolik dan budaya yang melingkupinya.⁹

8.2.       Kritik terhadap Bias Individualistik dan Konteks Barat

Kritik kedua yang cukup menonjol adalah adanya bias individualistik dan etnosentris dalam asumsi dasar teori ini. Goal Orientation Theory dikembangkan dalam konteks budaya Barat yang menekankan nilai-nilai otonomi, kompetisi, dan pencapaian individual.¹⁰ Dalam konteks masyarakat kolektivistik—seperti di Asia Timur atau Asia Tenggara—tujuan pribadi sering kali tidak dapat dipisahkan dari tujuan sosial dan komunal.¹¹ Studi lintas budaya oleh King dan McInerney menemukan bahwa dalam budaya kolektivistik, orientasi terhadap hasil tidak selalu bersifat negatif, karena pengakuan sosial dapat berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keharmonisan kelompok, bukan sekadar simbol status pribadi.¹² Dengan demikian, makna “performance” dalam teori Dweck dan Elliot perlu direinterpretasi dalam konteks sosial yang lebih luas.

Selain itu, Goal Orientation Theory cenderung mengasumsikan adanya rational self-regulated agent—individu yang mampu secara sadar mengatur dan mengarahkan tujuannya.¹³ Namun, kritik dari perspektif psikologi eksistensial dan psikoanalisis menyoroti bahwa motivasi manusia tidak selalu bersumber dari kesadaran rasional, melainkan sering kali dipengaruhi oleh dorongan bawah sadar, dinamika afektif, dan relasi kekuasaan sosial.¹⁴ Karen Horney dan Erich Fromm, misalnya, mengingatkan bahwa dorongan untuk “berhasil” dapat berasal dari kebutuhan neurotik akan penerimaan sosial, bukan dari keinginan autentik untuk berkembang.¹⁵ Dalam hal ini, teori Dweck dan Elliot mungkin terlalu menekankan aspek kognitif dari motivasi, sementara dimensi emosional dan eksistensialnya belum sepenuhnya terakomodasi.

8.3.       Kritik terhadap Relevansi di Era Digital dan Sosial Media

Kritik kontemporer terhadap Goal Orientation Theory juga berkaitan dengan transformasi sosial yang diakibatkan oleh teknologi digital. Di era media sosial, batas antara orientasi hasil dan orientasi penguasaan menjadi semakin kabur.¹⁶ Platform digital seperti Instagram, TikTok, atau LinkedIn memunculkan bentuk baru dari performance orientation yang sangat subtil: individu berupaya “tumbuh” atau “berkembang” tetapi dalam kerangka performatif—menunjukkan self-improvement sebagai citra publik.¹⁷ Fenomena ini, sebagaimana dijelaskan oleh Byung-Chul Han dalam The Burnout Society, menciptakan bentuk baru dari self-exploitation, di mana orientasi penguasaan dimanipulasi menjadi alat legitimasi bagi budaya performa.¹⁸

Selain itu, algoritme digital juga memperkuat sistem penghargaan eksternal yang berbasis angka (likes, views, followers), sehingga memperlemah motivasi intrinsik.¹⁹ Hal ini membuat teori Dweck dan Elliot tampak kurang memadai dalam menjelaskan dinamika motivasi di era informasi, di mana self menjadi komoditas simbolik yang terus dievaluasi secara publik.²⁰ Beberapa sarjana seperti Sherry Turkle dan Zygmunt Bauman berpendapat bahwa dalam masyarakat digital, orientasi tujuan individu tidak lagi stabil, melainkan cair dan temporer, mengikuti arus validasi sosial yang cepat berubah.²¹ Oleh karena itu, Goal Orientation Theory perlu diperluas agar mampu mengakomodasi kondisi epistemik baru manusia modern: subjek yang termotivasi bukan hanya oleh nilai dan pengetahuan, tetapi juga oleh citra dan eksposur.²²

8.4.       Kritik terhadap Aspek Moral dan Etis

Dari perspektif etika, sebagian filsuf humanistik berpendapat bahwa Goal Orientation Theory belum cukup menyoroti dimensi moral dari motivasi.²³ Dweck dan Elliot memusatkan analisisnya pada efektivitas pembelajaran dan pencapaian, namun kurang membahas orientasi tujuan dalam kaitannya dengan kebajikan (virtue) dan tanggung jawab sosial.²⁴ Dalam konteks pendidikan dan organisasi, orientasi penguasaan memang tampak lebih etis karena menekankan pertumbuhan diri, tetapi tanpa kerangka moral yang jelas, orientasi ini masih berisiko jatuh ke dalam bentuk narcissistic self-actualization—keinginan untuk “berkembang” tanpa keterikatan pada nilai-nilai keadilan dan kepedulian sosial.²⁵

Sebagai tanggapan atas hal tersebut, beberapa peneliti seperti Kristján Kristjánsson dan Howard Gardner mengusulkan pendekatan integratif antara teori motivasi dan etika kebajikan.²⁶ Mereka menegaskan bahwa orientasi penguasaan yang sejati harus disertai dengan moral purpose—yakni kesadaran bahwa pembelajaran dan pertumbuhan diri memiliki dimensi tanggung jawab terhadap orang lain.²⁷ Dengan demikian, nilai-nilai humanistik seperti empati, solidaritas, dan kejujuran perlu dimasukkan ke dalam kerangka aksiologis teori motivasi agar ia tidak hanya menjelaskan perilaku manusia, tetapi juga mengarahkannya menuju kebaikan.

8.5.       Menuju Model Integratif

Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa Goal Orientation Theory perlu diperluas menjadi model integratif yang memadukan dimensi personal, sosial, moral, dan digital.²⁸ Beberapa psikolog kontemporer, seperti Susan Harter dan Carol Sansone, mengusulkan pendekatan dual-goal integration model, di mana orientasi hasil dan orientasi penguasaan dapat saling melengkapi secara adaptif.²⁹ Dalam model ini, pengakuan eksternal tidak selalu bertentangan dengan pertumbuhan internal, melainkan dapat berfungsi sebagai social reinforcement bagi pembelajaran yang bermakna.³⁰

Dengan pendekatan integratif ini, motivasi manusia tidak lagi dipahami sebagai dikotomi antara “belajar untuk berkembang” dan “belajar untuk diakui,” melainkan sebagai dialektika yang saling memperkaya antara keduanya.³¹ Tujuan akhirnya bukan lagi pemisahan antara orientasi hasil dan penguasaan, melainkan pembentukan subjek reflektif yang mampu menyeimbangkan keduanya dalam bingkai nilai-nilai etis dan kemanusiaan.³²


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Bernard Weiner, “An Attributional Theory of Motivation and Emotion,” Psychological Review 92, no. 4 (1985): 548–573.

[3]                ³ John Nicholls, “Achievement Motivation: Conceptions of Ability, Subjective Experience, Task Choice, and Performance,” Psychological Review 91, no. 3 (1984): 328–346.

[4]                ⁴ Avi Kaplan dan Martin L. Maehr, “The Contributions and Prospects of Goal Orientation Theory,” Educational Psychology Review 19, no. 2 (2007): 141–184.

[5]                ⁵ Andrew J. Elliot dan Holly A. McGregor, “A 2×2 Achievement Goal Framework,” Journal of Personality and Social Psychology 80, no. 3 (2001): 501–519.

[6]                ⁶ Ibid., 504–508.

[7]                ⁷ Judith M. Harackiewicz dan Chris S. Hulleman, “The Importance of Interest: The Role of Achievement Goals and Task Values in Promoting the Development of Interest,” Social and Personality Psychology Compass 4, no. 1 (2010): 42–52.

[8]                ⁸ Jan Smedslund, Why Psychology Cannot Be an Empirical Science (Charlotte, NC: Information Age Publishing, 2016), 74–76.

[9]                ⁹ Ibid., 82–83.

[10]             ¹⁰ Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985), 112–115.

[11]             ¹¹ Hazel R. Markus dan Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–253.

[12]             ¹² Ronnel B. King dan Dennis M. McInerney, “Culture and Goal Orientation: The Role of Motivation in East Asian Contexts,” Contemporary Educational Psychology 39, no. 4 (2014): 276–286.

[13]             ¹³ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 102–104.

[14]             ¹⁴ Rollo May, Love and Will (New York: W. W. Norton, 1969), 158–161.

[15]             ¹⁵ Karen Horney, Neurosis and Human Growth (New York: Norton, 1950), 62–64.

[16]             ¹⁶ Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 148–150.

[17]             ¹⁷ Alice E. Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013), 23–26.

[18]             ¹⁸ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 21–25.

[19]             ¹⁹ Han, The Burnout Society, 31–33.

[20]             ²⁰ Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 123–127.

[21]             ²¹ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 118–121.

[22]             ²² Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 41–44.

[23]             ²³ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 117–120.

[24]             ²⁴ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 110–115.

[25]             ²⁵ Christopher Lasch, The Culture of Narcissism (New York: Norton, 1979), 33–37.

[26]             ²⁶ Kristján Kristjánsson, Virtuous Emotions (Oxford: Oxford University Press, 2018), 96–100.

[27]             ²⁷ Howard Gardner, Five Minds for the Future (Cambridge, MA: Harvard Business School Press, 2007), 129–132.

[28]             ²⁸ Susan Harter, “The Construction of the Self: Developmental and Sociocultural Foundations,” Journal of Personality 70, no. 3 (2002): 255–277.

[29]             ²⁹ Carol Sansone dan Judith M. Harackiewicz, Intrinsic and Extrinsic Motivation: The Search for Optimal Motivation and Performance (San Diego: Academic Press, 2000), 45–49.

[30]             ³⁰ Ibid., 51–53.

[31]             ³¹ Kaplan dan Maehr, “The Contributions and Prospects of Goal Orientation Theory,” 178–180.

[32]             ³² Dweck, Self-Theories, 104–107.


9.           Relevansi Kontemporer: Goal Orientation di Era Digital

Dalam era digital yang ditandai oleh percepatan informasi, kuantifikasi sosial, dan visibilitas publik yang masif, Goal Orientation Theory menghadapi tantangan sekaligus peluang baru. Transformasi teknologi telah mengubah cara manusia belajar, bekerja, berinteraksi, dan bahkan membangun identitas diri.¹ Orientasi terhadap tujuan kini tidak hanya berlangsung di ruang pribadi atau institusional (seperti sekolah dan organisasi), tetapi juga di ruang digital yang bersifat terbuka, interaktif, dan performatif.² Dalam konteks ini, pertanyaan filosofis yang diajukan oleh Carol Dweck dan Andrew Elliot—yakni tentang bagaimana manusia memaknai “keberhasilan” dan “perkembangan diri”—menjadi semakin relevan.

9.1.       Digitalisasi dan Pergeseran Paradigma Motivasi

Era digital telah menciptakan bentuk baru dari orientasi hasil (performance orientation) yang lebih subtil namun lebih meluas, yakni orientasi performatif digital.³ Melalui media sosial, manusia kini tidak hanya mengejar keberhasilan dalam arti konvensional (nilai, jabatan, status), tetapi juga pengakuan digital—dalam bentuk likes, views, followers, dan algoritme keterlihatan.⁴ Fenomena ini menciptakan quantified self, di mana identitas dan nilai diri diukur melalui metrik numerik yang disediakan oleh platform digital.⁵ Akibatnya, batas antara orientasi penguasaan dan orientasi hasil menjadi kabur: proses belajar dan pengembangan diri kerap dilakukan demi penampilan publik, bukan demi pertumbuhan intrinsik.

Dalam istilah Byung-Chul Han, masyarakat digital modern adalah achievement society, di mana manusia menjadi “subjek kinerja” yang menindas dirinya sendiri melalui tuntutan untuk terus berprestasi, tampak produktif, dan disukai.⁶ Di sinilah paradoks kontemporer muncul: orientasi penguasaan (mastery orientation) yang semula dimaknai sebagai proses otonom menuju pertumbuhan diri, kini mudah terperangkap dalam logika kapitalisme digital yang menuntut performa tanpa henti.⁷ Motivasi intrinsik berubah menjadi performative authenticity—otentisitas yang dipertunjukkan untuk memperoleh pengakuan.⁸

Namun, di sisi lain, digitalisasi juga membuka peluang besar bagi perkembangan mastery orientation yang lebih luas dan egaliter. Platform pembelajaran daring (online learning) seperti Coursera, edX, atau Khan Academy memungkinkan siapa pun untuk belajar dengan motivasi intrinsik, tanpa tekanan kompetisi langsung.⁹ Ekosistem digital ini memperkuat prinsip self-paced mastery learning yang menekankan proses individual, refleksi, dan keberlanjutan.¹⁰ Dengan demikian, teknologi digital dapat menjadi instrumen pembebasan epistemik, sejauh digunakan untuk memperluas otonomi belajar, bukan sekadar menambah tekanan performatif.

9.2.       Budaya Algoritmik dan Krisis Makna Belajar

Budaya digital juga memperkenalkan epistemologi algoritmik—yakni sistem pengetahuan yang diatur oleh logika data dan kecepatan konsumsi informasi.¹¹ Algoritme menentukan apa yang terlihat dan apa yang tidak, siapa yang dianggap “berhasil” dan siapa yang tidak. Dalam konteks ini, performance orientation mengalami amplifikasi struktural: pengakuan bukan lagi datang dari komunitas manusia, melainkan dari sistem non-manusia yang menilai berdasarkan pola interaksi digital.¹²

Fenomena ini menimbulkan krisis dalam makna pembelajaran. Belajar tidak lagi dilihat sebagai proses reflektif yang mendalam, melainkan sebagai aktivitas efisien yang harus segera “menghasilkan” sesuatu yang dapat diunggah, ditonton, dan diukur.¹³ Sherry Turkle menggambarkan kondisi ini sebagai “kesepian dalam konektivitas”—manusia tampak terhubung secara digital, tetapi terputus secara epistemologis dari pengalaman belajar yang autentik.¹⁴ Dengan demikian, Goal Orientation Theory harus diperluas untuk mempertimbangkan bagaimana teknologi membentuk struktur motivasi, persepsi diri, dan pengalaman kognitif individu.

9.3.       Orientasi Penguasaan dalam Ekonomi Kreatif dan Pembelajaran Sepanjang Hayat

Di sisi positif, orientasi penguasaan menemukan relevansi baru dalam ekonomi kreatif dan budaya pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning).¹⁵ Dunia kerja digital menuntut adaptabilitas, inovasi, dan kemampuan belajar terus-menerus—semua elemen yang menjadi inti dari mastery orientation.¹⁶ Dalam industri kreatif, individu yang berorientasi penguasaan tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan karya, tetapi juga untuk memperdalam keahlian, memperluas wawasan, dan menemukan makna personal dalam proses penciptaan.¹⁷

Lebih jauh, transformasi digital telah memunculkan fenomena microlearning dan peer learning, di mana individu belajar melalui komunitas daring, kolaborasi lintas disiplin, dan refleksi bersama.¹⁸ Bentuk-bentuk pembelajaran ini memperkuat nilai-nilai kolaboratif, menumbuhkan communities of practice sebagaimana dikemukakan oleh Etienne Wenger, di mana pembelajaran bukan lagi aktivitas individualistik, tetapi sosial dan partisipatif.¹⁹ Dalam kerangka ini, mastery orientation tidak hanya menjadi orientasi kognitif, tetapi juga nilai sosial yang menumbuhkan semangat berbagi, saling mengajar, dan berkembang bersama.

9.4.       Tantangan Etis: Antara Autentisitas dan Simulakrum Diri

Namun, di tengah perluasan ruang digital, muncul persoalan etis yang mendalam: bagaimana menjaga keotentikan motivasi dalam lingkungan yang didominasi oleh citra dan algoritme? Jean Baudrillard menyebut dunia digital sebagai simulacrum—realitas tiruan di mana representasi menggantikan kenyataan itu sendiri.²⁰ Dalam ruang ini, individu berisiko kehilangan orientasi penguasaan sejati karena motivasi intrinsik diserap oleh sistem simulasi yang memberi ilusi pertumbuhan diri.²¹

Tantangan terbesar bagi teori orientasi tujuan di era ini bukan lagi sekadar membedakan antara hasil dan penguasaan, melainkan mengembalikan motivasi manusia kepada kejujuran eksistensialnya: belajar karena ingin menjadi, bukan karena ingin tampak menjadi.²² Dalam hal ini, orientasi penguasaan perlu diperkuat dengan kerangka etika digital yang menekankan nilai-nilai refleksi, keseimbangan, dan kebijaksanaan dalam penggunaan teknologi.²³

9.5.       Reinterpretasi Humanistik di Era Digital

Dalam horizon yang lebih luas, relevansi Goal Orientation Theory di era digital dapat dipahami sebagai upaya mempertahankan humanisme dalam ekologi teknologi.²⁴ Di tengah dunia yang semakin diotomatisasi, orientasi penguasaan menegaskan martabat manusia sebagai makhluk yang mampu belajar, beradaptasi, dan menciptakan makna.²⁵ Ia menolak reduksi manusia menjadi sekadar pengguna algoritme, dan menempatkan kembali kesadaran reflektif sebagai pusat dari keberhasilan sejati.

Dengan demikian, teori Dweck dan Elliot memiliki peran penting dalam membentuk paradigma motivasi baru yang seimbang antara efisiensi dan refleksi, antara inovasi dan kebijaksanaan.²⁶ Orientasi penguasaan, dalam bentuk digitalnya, harus dipahami bukan hanya sebagai strategi untuk sukses, tetapi sebagai etos eksistensial—suatu cara berada di dunia yang menolak ketergantungan pada pengakuan eksternal dan berkomitmen pada pertumbuhan diri yang otentik, kolaboratif, dan bermakna.²⁷


Footnotes

[1]                ¹ Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2010), 21–24.

[2]                ² Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 115–118.

[3]                ³ Alice E. Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013), 23–27.

[4]                ⁴ José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 31–34.

[5]                ⁵ Deborah Lupton, The Quantified Self: A Sociology of Self-Tracking (Cambridge: Polity Press, 2016), 52–55.

[6]                ⁶ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 8–12.

[7]                ⁷ Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 40–42.

[8]                ⁸ Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York: Anchor Books, 1959), 208–211.

[9]                ⁹ John Seely Brown dan Richard P. Adler, “Minds on Fire: Open Education, the Long Tail, and Learning 2.0,” EDUCAUSE Review 43, no. 1 (2008): 16–32.

[10]             ¹⁰ Benjamin S. Bloom, Mastery Learning (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1971), 3–5.

[11]             ¹¹ Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The Folly of Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 78–82.

[12]             ¹² Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 23–26.

[13]             ¹³ Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 59–62.

[14]             ¹⁴ Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 153–156.

[15]             ¹⁵ Peter Jarvis, Globalization, Lifelong Learning and the Learning Society (London: Routledge, 2007), 41–44.

[16]             ¹⁶ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 117–121.

[17]             ¹⁷ Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002), 85–88.

[18]             ¹⁸ Etienne Wenger, Communities of Practice: Learning, Meaning, and Identity (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 71–73.

[19]             ¹⁹ Ibid., 82–84.

[20]             ²⁰ Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–5.

[21]             ²¹ Han, The Burnout Society, 18–20.

[22]             ²² Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 36–40.

[23]             ²³ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 56–60.

[24]             ²⁴ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 46–48.

[25]             ²⁵ Albert Bandura, Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1986), 412–415.

[26]             ²⁶ Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 103–106.

[27]             ²⁷ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 27–30.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Humanistik tentang Keberhasilan

Pada tataran konseptual tertinggi, Goal Orientation Theory dapat dibaca tidak sekadar sebagai teori psikologi motivasi, melainkan sebagai kerangka filosofis tentang makna keberhasilan manusia. Ia menyatukan dimensi ontologis (hakikat menjadi manusia yang bertujuan), epistemologis (bagaimana manusia mengetahui dan memahami dirinya melalui proses belajar), serta aksiologis (nilai-nilai yang mengarahkan tindakan manusia).¹ Dalam konteks ini, teori yang awalnya berakar pada psikologi kognitif Dweck dan Elliot dapat direinterpretasi sebagai fondasi bagi suatu etika humanistik—yakni pandangan bahwa keberhasilan sejati tidak terletak pada hasil eksternal, tetapi pada proses aktualisasi diri yang berakar pada nilai, kesadaran, dan pertumbuhan moral.²

10.1.    Integrasi Ontologis: Keberhasilan sebagai Proses Menjadi

Secara ontologis, Goal Orientation Theory mengimplikasikan pandangan bahwa keberadaan manusia bersifat teleologis—ia selalu berada dalam proses “menjadi” (being-in-becoming).³ Orientasi penguasaan (mastery orientation) mengekspresikan dinamika eksistensial manusia yang senantiasa melampaui dirinya untuk mencapai potensi tertinggi.⁴ Dalam hal ini, keberhasilan bukanlah kondisi statis yang “dimiliki,” melainkan suatu proses eksistensial yang terus berlangsung. Hal ini beresonansi dengan pandangan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics bahwa eudaimonia—kebahagiaan sejati—terletak dalam aktivitas (energeia) yang sesuai dengan kebajikan.⁵

Sebaliknya, orientasi hasil (performance orientation) menggambarkan kecenderungan manusia untuk mengobjektifikasi keberhasilan dan dirinya sendiri—menjadikan nilai diri tergantung pada pengakuan eksternal.⁶ Dalam kerangka eksistensialisme Sartre, hal ini merupakan bentuk keterasingan (bad faith), karena manusia menyerahkan kebebasannya pada penilaian orang lain.⁷ Maka, Goal Orientation Theory, bila dibaca secara filosofis, bukan hanya analisis tentang motivasi, tetapi juga kritik terhadap alienasi modern yang mengubah keberhasilan menjadi komoditas sosial.

10.2.    Integrasi Epistemologis: Pengetahuan Diri sebagai Jalan Kebijaksanaan

Dari sisi epistemologis, orientasi penguasaan mencerminkan bentuk pengetahuan yang dialogis dan reflektif. Manusia tidak hanya “mengumpulkan” pengetahuan, tetapi membangun pemahaman tentang dirinya melalui proses belajar.⁸ Dweck menegaskan bahwa pola pikir berkembang (growth mindset) adalah bentuk kesadaran epistemik yang menempatkan kegagalan sebagai bagian dari pembentukan pengetahuan diri.⁹ Dalam perspektif Socratic, hal ini identik dengan gnothi seauton—“kenalilah dirimu sendiri”—sebagai dasar kebijaksanaan.¹⁰

Pengetahuan tentang diri yang dihasilkan oleh orientasi penguasaan bersifat transformative knowing—ia tidak berhenti pada penguasaan kognitif, melainkan menuntun individu menuju pembentukan makna hidup.¹¹ Sebaliknya, orientasi hasil cenderung menghasilkan instrumental knowing, yakni pengetahuan yang diarahkan untuk mencapai keuntungan eksternal tanpa refleksi moral.¹² Dengan demikian, epistemologi Goal Orientation Theory dapat ditafsirkan sebagai kritik terhadap rasionalitas teknologis modern (Habermas) yang mengutamakan efisiensi di atas pemahaman diri.¹³

10.3.    Integrasi Aksiologis: Nilai Humanistik dan Kebajikan Pertumbuhan Diri

Dari segi aksiologi, orientasi penguasaan berakar pada nilai-nilai humanistik seperti otonomi, integritas, dan aktualisasi diri.¹⁴ Nilai-nilai ini sejalan dengan etika eksistensial-humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers, yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki dorongan moral untuk tumbuh menuju kebaikan dan keseimbangan batin.¹⁵ Dalam konteks ini, keberhasilan tidak lagi dimaknai sebagai kemenangan, melainkan sebagai virtue of becoming—kebajikan untuk terus berproses menjadi manusia yang lebih baik.

Etika humanistik semacam ini menuntut reinterpretasi terhadap konsep “kompetisi” yang mendominasi sistem sosial modern. Dalam kerangka humanistik, kompetisi hanya bermakna jika diarahkan untuk memperluas kapasitas moral dan sosial manusia, bukan sekadar untuk memenangkan pengakuan.¹⁶ Oleh karena itu, Goal Orientation Theory perlu dipahami bukan sekadar sebagai teori motivasi personal, tetapi sebagai etika sosial tentang pertumbuhan manusia yang kooperatif dan bermakna.

10.4.    Integrasi Sosial dan Teknologis: Keberhasilan di Tengah Algoritme dan Kecepatan

Dalam era digital, di mana algoritme menentukan makna sukses, Goal Orientation Theory menghadirkan fondasi etis untuk menolak logika kuantifikasi diri.¹⁷ Orientasi penguasaan mengingatkan bahwa keberhasilan sejati tidak dapat diukur dengan metrik digital, karena pertumbuhan batin bersifat kualitatif, reflektif, dan tidak dapat direduksi menjadi angka.¹⁸ Etika humanistik yang berakar pada orientasi penguasaan berfungsi sebagai koreksi terhadap “nihilisme algoritmik” (Han), yang mengubah motivasi manusia menjadi fungsi dari visibilitas dan efisiensi.¹⁹

Dalam konteks sosial yang lebih luas, etika ini juga menjadi landasan bagi pendidikan dan organisasi humanistik—ruang-ruang yang menilai manusia bukan berdasarkan performa, tetapi berdasarkan komitmen terhadap pembelajaran dan tanggung jawab kolektif.²⁰ Etika ini mengembalikan fungsi motivasi sebagai sarana untuk self-transcendence, bukan sekadar self-promotion.²¹

10.5.    5. Menuju Etika Humanistik tentang Keberhasilan

Etika humanistik yang dapat disintesiskan dari Goal Orientation Theory menegaskan bahwa keberhasilan sejati bersifat intersubjektif, reflektif, dan moral.²² Ia menolak pandangan mekanistik tentang manusia sebagai entitas rasional yang hanya didorong oleh imbalan, dan menegaskan manusia sebagai makhluk yang tumbuh melalui dialog dengan dirinya, orang lain, dan dunia.²³ Dalam konteks ini, orientasi penguasaan dapat dipahami sebagai virtue ethic of learning—sebuah etika kebajikan yang menjadikan belajar dan berkembang sebagai tujuan moral itu sendiri.²⁴

Etika ini mengandung tiga prinsip utama. Pertama, autentisitas, yakni keberanian untuk mengarahkan diri berdasarkan nilai-nilai batin, bukan tekanan sosial.²⁵ Kedua, refleksi, yakni kesadaran bahwa pertumbuhan diri menuntut pengenalan terhadap keterbatasan dan potensi diri.²⁶ Ketiga, solidaritas, yakni pengakuan bahwa keberhasilan personal hanya bermakna ketika berkontribusi pada kebaikan bersama.²⁷ Ketiga prinsip ini merepresentasikan orientasi penguasaan bukan hanya sebagai pola motivasi, tetapi sebagai modus etikus yang memulihkan martabat manusia dalam dunia yang terfragmentasi.

Dengan demikian, sintesis filosofis dari Goal Orientation Theory mengarah pada etika humanistik tentang keberhasilan, di mana motivasi untuk belajar dan berkembang dipahami sebagai tindakan moral yang mengandung nilai pada dirinya sendiri.²⁸ Dalam etika ini, keberhasilan bukan lagi milik mereka yang memenangkan persaingan, melainkan milik mereka yang tetap belajar dengan kesadaran, kejujuran, dan kemanusiaan.²⁹


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 102–106.

[3]                ³ Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 120–122.

[4]                ⁴ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 30–34.

[5]                ⁵ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b20–1098a20.

[6]                ⁶ Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.

[7]                ⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 90–93.

[8]                ⁸ John Dewey, How We Think (Boston: D.C. Heath, 1910), 6–8.

[9]                ⁹ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 35–39.

[10]             ¹⁰ Plato, Apology, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2002), 38a–39b.

[11]             ¹¹ Jack Mezirow, Transformative Dimensions of Adult Learning (San Francisco: Jossey-Bass, 1991), 94–98.

[12]             ¹² Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 70–74.

[13]             ¹³ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–305.

[14]             ¹⁴ Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 184–190.

[15]             ¹⁵ Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 117–120.

[16]             ¹⁶ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 45–48.

[17]             ¹⁷ Byung-Chul Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 40–43.

[18]             ¹⁸ Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 59–62.

[19]             ¹⁹ Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 21–25.

[20]             ²⁰ Peter M. Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 17–20.

[21]             ²¹ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 112–116.

[22]             ²² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 46–48.

[23]             ²³ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 103–106.

[24]             ²⁴ Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 219–223.

[25]             ²⁵ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 27–31.

[26]             ²⁶ John H. Flavell, “Metacognition and Cognitive Monitoring,” American Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.

[27]             ²⁷ Dweck, Self-Theories, 98–102.

[28]             ²⁸ Kristján Kristjánsson, Virtuous Emotions (Oxford: Oxford University Press, 2018), 100–104.

[29]             ²⁹ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 66–70.


11.       Kesimpulan

Goal Orientation Theory yang dikembangkan oleh Carol Dweck dan Andrew J. Elliot pada pertengahan 1980-an merepresentasikan salah satu tonggak penting dalam kajian motivasi modern.¹ Teori ini tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengejar keberhasilan, tetapi juga mengungkap struktur nilai dan kesadaran yang mendasari tindakan belajar dan berprestasi. Dalam pembacaan filosofis, teori ini melampaui batas psikologi eksperimental dan mengarah pada refleksi etis tentang makna keberhasilan, pengetahuan diri, serta tanggung jawab moral manusia terhadap dirinya dan lingkungannya.

Secara sintesis, dapat disimpulkan bahwa Goal Orientation Theory mengandung tiga inti konseptual yang saling terkait: (1) aspek ontologis, yang memandang manusia sebagai makhluk yang senantiasa “menjadi” (being-in-becoming); (2) aspek epistemologis, yang menempatkan pengetahuan dan refleksi diri sebagai sarana untuk memahami keberhasilan; dan (3) aspek aksiologis, yang menjadikan pembelajaran dan pertumbuhan sebagai nilai moral itu sendiri.² Dalam orientasi penguasaan (mastery orientation), keberhasilan dipahami sebagai proses eksistensial yang berakar pada pembelajaran, ketekunan, dan aktualisasi diri; sedangkan dalam orientasi hasil (performance orientation), keberhasilan direduksi menjadi pencapaian eksternal yang bergantung pada pengakuan sosial.³

Implikasi utama teori ini adalah bahwa cara seseorang memahami tujuan hidupnya akan menentukan cara ia mengalami dunia. Individu dengan orientasi penguasaan memperlakukan setiap tantangan sebagai kesempatan untuk belajar, sedangkan mereka yang berorientasi hasil cenderung melihat tantangan sebagai ancaman terhadap harga diri.⁴ Dari sini, Dweck menegaskan bahwa struktur motivasi manusia bersumber dari cara berpikir tentang kemampuan: apakah kemampuan dianggap tetap (entity theory) atau dapat dikembangkan (incremental theory).⁵ Pandangan yang kedua inilah yang membentuk fondasi psikologis bagi orientasi penguasaan dan menjadi dasar dari growth mindset.

Namun, teori ini juga menghadapi kritik yang signifikan, terutama terkait reduksionisme dikotomis, bias individualistik, serta keterbatasannya dalam menjelaskan dinamika motivasi di era digital.⁶ Masyarakat kontemporer telah mengubah lanskap motivasi manusia—dari ruang kelas menuju ruang algoritmik, dari kompetisi nyata menuju performative self-presentation.⁷ Dalam konteks ini, teori Dweck dan Elliot tetap relevan sejauh ia dikembangkan menjadi model integratif yang mempertimbangkan dimensi sosial, kultural, moral, dan digital dari motivasi manusia.⁸

Lebih jauh, pembacaan filosofis terhadap teori ini mengarah pada gagasan etika humanistik tentang keberhasilan. Dalam etika ini, keberhasilan tidak lagi dipahami sebagai hasil akhir yang terukur, tetapi sebagai perjalanan reflektif menuju keutuhan diri.⁹ Orientasi penguasaan menjadi model bagi praksis moral baru: keberanian untuk terus tumbuh, belajar, dan memperbaiki diri tanpa kehilangan keotentikan.¹⁰ Dengan demikian, Goal Orientation Theory dapat ditafsirkan sebagai dasar etis bagi pendidikan, organisasi, dan kehidupan sosial yang lebih manusiawi—sebuah paradigma yang menempatkan pembelajaran sebagai inti dari eksistensi manusia.¹¹

Dalam kesimpulan yang lebih luas, teori ini mengingatkan kita bahwa keberhasilan sejati bersifat ontologis, bukan hanya empiris—ia berakar pada kesadaran diri yang terus berkembang, bukan pada hasil yang bersifat final.¹² Dalam dunia yang semakin diukur oleh angka, peringkat, dan algoritme, semangat mastery orientation menjadi bentuk perlawanan filosofis terhadap dehumanisasi modern.¹³ Ia mengajak manusia untuk menumbuhkan etos belajar yang reflektif, kebajikan pertumbuhan diri, dan keberanian eksistensial untuk menjadi.¹⁴

Dengan demikian, Goal Orientation Theory bukan sekadar teori motivasi psikologis, melainkan manifestasi dari filsafat humanistik yang menempatkan proses pembelajaran sebagai jalan menuju kebebasan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.

[2]                ² Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 115–120.

[3]                ³ Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 10–12.

[4]                ⁴ John Nicholls, “Achievement Motivation: Conceptions of Ability, Subjective Experience, Task Choice, and Performance,” Psychological Review 91, no. 3 (1984): 328–346.

[5]                ⁵ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 25–30.

[6]                ⁶ Avi Kaplan dan Martin L. Maehr, “The Contributions and Prospects of Goal Orientation Theory,” Educational Psychology Review 19, no. 2 (2007): 141–184.

[7]                ⁷ Alice E. Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013), 24–27.

[8]                ⁸ Judith M. Harackiewicz dan Chris S. Hulleman, “The Importance of Interest: The Role of Achievement Goals and Task Values in Promoting the Development of Interest,” Social and Personality Psychology Compass 4, no. 1 (2010): 42–52.

[9]                ⁹ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 31–34.

[10]             ¹⁰ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 45–48.

[11]             ¹¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 46–50.

[12]             ¹² Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 111–113.

[13]             ¹³ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 8–12.

[14]             ¹⁴ Carol S. Dweck, Self-Theories, 98–102.

[15]             ¹⁵ Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 187–190.


Daftar Pustaka

Ames, C. (1992). Classrooms: Goals, structures, and student motivation. Journal of Educational Psychology, 84(3), 261–271.

Ames, C., & Archer, J. (1988). Achievement goals in the classroom: Students’ learning strategies and motivation processes. Journal of Educational Psychology, 80(3), 260–267.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. Prentice Hall.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Bloom, B. S. (1971). Mastery learning. Holt, Rinehart and Winston.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgment of taste (R. Nice, Trans.). Harvard University Press.

Brown, J. S., & Adler, R. P. (2008). Minds on fire: Open education, the long tail, and Learning 2.0. EDUCAUSE Review, 43(1), 16–32.

Carr, N. (2010). The shallows: What the Internet is doing to our brains. W. W. Norton.

Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The psychology of optimal experience. Harper & Row.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Plenum Press.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2017). Self-determination theory: Basic psychological needs in motivation, development, and wellness. Guilford Press.

Dewey, J. (1910). How we think. D.C. Heath.

Dweck, C. S. (1999). Self-theories: Their role in motivation, personality, and development. Psychology Press.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Dweck, C. S., & Elliot, A. J. (1986). Achievement motivation. In R. M. Sorrentino & E. T. Higgins (Eds.), Handbook of motivation and cognition: Foundations of social behavior (pp. 199–235). Guilford Press.

Dweck, C. S., & Leggett, E. L. (1988). A social-cognitive approach to motivation and personality. Psychological Review, 95(2), 256–273.

Elliot, A. J., & Church, M. A. (1997). A hierarchical model of approach and avoidance achievement motivation. Journal of Personality and Social Psychology, 72(1), 218–232.

Elliot, A. J., & McGregor, H. A. (2001). A 2×2 achievement goal framework. Journal of Personality and Social Psychology, 80(3), 501–519.

Elliot, A. J., & Thrash, T. M. (2010). Approach and avoidance temperaments as basic dimensions of personality. Journal of Personality, 78(3), 865–906.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Florida, R. (2002). The rise of the creative class. Basic Books.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage (P. Clarke, Trans.). Rowman & Littlefield.

Fromm, E. (1976). To have or to be? Harper & Row.

Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Han, B.-C. (2015). The burnout society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Han, B.-C. (2015). The transparency society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Harter, S. (1999). The construction of the self: Developmental and sociocultural foundations. Guilford Press.

Harackiewicz, J. M., & Hulleman, C. S. (2010). The importance of interest: The role of achievement goals and task values in promoting the development of interest. Social and Personality Psychology Compass, 4(1), 42–52.

Heider, F. (1958). The psychology of interpersonal relations. Wiley.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Horney, K. (1950). Neurosis and human growth. Norton.

Jarvis, P. (2007). Globalization, lifelong learning and the learning society. Routledge.

Kaplan, A., & Maehr, M. L. (2007). The contributions and prospects of goal orientation theory. Educational Psychology Review, 19(2), 141–184.

King, R. B., & McInerney, D. M. (2014). Culture and goal orientation: The role of motivation in East Asian contexts. Contemporary Educational Psychology, 39(4), 276–286.

Kristjánsson, K. (2018). Virtuous emotions. Oxford University Press.

Lasch, C. (1979). The culture of narcissism. Norton.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Lupton, D. (2016). The quantified self: A sociology of self-tracking. Polity Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224–253.

Marwick, A. E. (2013). Status update: Celebrity, publicity, and branding in the social media age. Yale University Press.

Maslach, C., & Leiter, M. P. (1997). The truth about burnout. Jossey-Bass.

Maslow, A. H. (1968). Toward a psychology of being (2nd ed.). Van Nostrand.

Maslow, A. H. (1987). Motivation and personality (3rd ed.). Harper & Row.

Mayer, R. E. (2003). Learning and instruction. Merrill/Prentice Hall.

May, R. (1969). Love and will. W. W. Norton.

McClelland, D. C. (1961). The achieving society. Free Press.

Mezirow, J. (1991). Transformative dimensions of adult learning. Jossey-Bass.

Morozov, E. (2013). To save everything, click here: The folly of technological solutionism. PublicAffairs.

Murray, H. A. (1938). Explorations in personality. Oxford University Press.

Nicholls, J. (1984). Achievement motivation: Conceptions of ability, subjective experience, task choice, and performance. Psychological Review, 91(3), 328–346.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Pintrich, P. R. (2000). The role of goal orientation in self-regulated learning. In M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of self-regulation (pp. 451–502). Academic Press.

Plato. (2002). Apology (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.

Rogers, C. R. (1961). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.

Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs, 80(1), 1–28.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Senge, P. M. (1990). The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. Doubleday.

Smedslund, J. (2016). Why psychology cannot be an empirical science. Information Age Publishing.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Press.

Van Dijck, J. (2013). The culture of connectivity: A critical history of social media. Oxford University Press.

Weiner, B. (1985). An attributional theory of motivation and emotion. Psychological Review, 92(4), 548–573.

Wenger, E. (1998). Communities of practice: Learning, meaning, and identity. Cambridge University Press.

Wiliam, D. (2011). Embedded formative assessment. Solution Tree Press.

Zimmerman, B. J. (1990). Self-regulated learning and academic achievement: An overview. Educational Psychologist, 25(1), 3–17.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar