Selasa, 15 April 2025

Pemikiran Mulla Sadra: Transformasi Ontologis dalam Filsafat Islam

Pemikiran Mulla Sadra

Transformasi Ontologis dalam Filsafat Islam


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem pemikiran Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn Muḥammad Shīrāzī), filsuf besar Islam abad ke-17, yang dikenal sebagai pelopor al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat hikmah transendental). Pemikiran Sadra menandai revolusi besar dalam ontologi Islam melalui doktrin asālat al-wujūd (primasi eksistensi), yang menggantikan dominasi pendekatan esensialis klasik. Ia memperkenalkan konsep tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi) dan al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak substansial) untuk menunjukkan bahwa realitas bersifat dinamis, bertingkat, dan bergerak menuju kesempurnaan wujud.

Artikel ini juga mengulas filsafat jiwa Sadra yang berpijak pada transformasi eksistensial dari bentuk material ke bentuk spiritual, serta eskatologi yang tidak dipahami secara literal, tetapi sebagai aktualisasi kondisi jiwa. Di samping itu, dibahas pula sintesis epistemologis Sadra yang memadukan wahyu (naql), akal (‘aql), dan intuisi mistik (irfan) dalam kerangka ontologis yang integral. Melalui pendekatan tersebut, Mulla Sadra tidak hanya membangun sistem filsafat Islam yang rasional dan spiritual, tetapi juga mewariskan warisan intelektual yang hidup hingga saat ini, terutama dalam tradisi keilmuan Islam kontemporer.

Kata Kunci: Mulla Sadra; Ontologi Islam; Asālat al-Wujūd; Gradasi Eksistensi; Gerak Substansial; Filsafat Jiwa; Eskatologi; Wahyu dan Akal; Irfan; Filsafat Islam Transendental.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif terhadap Pemikiran Mulla Sadra


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat Islam, terdapat berbagai gelombang pemikiran yang merepresentasikan dinamika dan kompleksitas cara berpikir umat Islam dalam memahami realitas. Sejak masa klasik yang ditandai dengan pemikiran Ibn Sina (Avicenna), filsafat Islam telah mengalami dialektika antara akal dan wahyu, antara rasionalisme dan iluminasi, serta antara filsafat dan tasawuf. Salah satu tokoh yang berhasil mensintesakan unsur-unsur ini secara integratif adalah Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn Muḥammad Shīrāzī), filsuf Persia abad ke-17 yang dikenal sebagai pelopor al-ikmah al-Muta‘āliyah (Filsafat Hikmah Transendental). Filsafatnya menghadirkan transformasi radikal dalam ontologi Islam melalui doktrin asālat al-wujūd (primasi eksistensi) yang menggantikan dominasi pandangan asālat al-māhiyyah (primasi esensi) dari para pendahulunya seperti Suhrawardi dan Ibn Sina1.

Transformasi ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga metodologis. Mulla Sadra menggabungkan tiga pendekatan utama dalam khazanah pemikiran Islam: filsafat peripatetik (mashā’ī), iluminasi (isyraqī), dan irfan (gnosis). Sintesis ini menandai munculnya paradigma baru yang lebih menyeluruh dan spiritual dalam menjelaskan hakikat wujud. Menurut Mulla Sadra, filsafat tidak semata-mata aktivitas intelektual, tetapi juga jalan eksistensial menuju pemahaman yang mendalam tentang hakikat keberadaan, manusia, dan Tuhan2. Dengan demikian, filsafat baginya bukan sekadar ilmu diskursif, tetapi juga sarana untuk mencapai ketersingkapan eksistensial (kashf wujūdī).

Pemikiran Mulla Sadra menjadi tonggak penting dalam filsafat Islam karena memperluas batas-batas epistemologi dan ontologi dengan mengintegrasikan intuisi spiritual (dzawq), argumentasi rasional (‘aql), dan petunjuk wahyu (naql). Dalam karya monumentalnya, al-Asfār al-Arba‘ah (Empat Perjalanan Intelektual), Sadra menyusun suatu sistem filsafat yang menyeluruh, mulai dari pembahasan wujud, jiwa, alam semesta, hingga eskatologi. Gagasan-gagasannya kemudian sangat berpengaruh dalam pemikiran kontemporer, terutama di Iran pasca-revolusi, dan menjadi fondasi kurikulum utama dalam seminar-seminar keislaman (ḥawzah) di Qom dan Isfahan3.

Dengan latar belakang ini, artikel ini bertujuan untuk menyajikan sebuah telaah sistematis terhadap pokok-pokok pemikiran Mulla Sadra, khususnya dalam bidang ontologi. Fokus utama akan diarahkan pada bagaimana ia memahami dan memformulasikan wujud sebagai entitas yang dinamis dan bertingkat (tashkīk al-wujūd), serta bagaimana hal itu berdampak pada pemikiran metafisika dan spiritual dalam Islam. Selain itu, artikel ini juga akan mengulas posisi Sadra dalam lintasan sejarah pemikiran Islam dan pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat keislaman di dunia modern.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 22–24.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 4–6.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 9–10.


2.           Biografi Singkat Mulla Sadra

Mulla Sadra, yang memiliki nama lengkap Ṣadr al-Dīn Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Qawwām al-Shīrāzī, lahir pada tahun 1571 M (979 H) di Shiraz, Persia, pada masa Dinasti Safawiyah. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terpandang dan religius, yang memungkinkan dirinya memperoleh pendidikan tinggi sejak dini1. Pada masa mudanya, Sadra hijrah ke Isfahan, pusat intelektual Safawi pada waktu itu, untuk mendalami filsafat, teologi, logika, dan tafsir di bawah bimbingan para ulama besar, seperti Mir Damad, tokoh utama mazhab Isyraq, dan Shaykh Baha’ al-Din al-‘Amili, ahli fiqh dan ilmu rasional2.

Mir Damad, gurunya yang paling berpengaruh, merupakan pencetus doktrin “hudūth dahrī” (terjadinya alam secara supratemporal), yang kelak menjadi bagian penting dari kerangka metafisika Mulla Sadra. Melalui interaksi dengan pemikiran gurunya dan diskursus keilmuan di Isfahan, Sadra mulai mengembangkan pendekatan filosofis baru yang berupaya menyintesakan berbagai aliran dalam filsafat Islam: filsafat peripatetik (mashā’ī) dari Ibn Sina, filsafat iluminasi (isyraqī) dari Suhrawardi, serta gnosis (‘irfān) dari tradisi Ibn ‘Arabi. Sintesis inilah yang kelak dikenal sebagai al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah, atau Filsafat Hikmah Transendental3.

Namun, pemikiran Sadra yang revolusioner tidak langsung diterima oleh masyarakat ilmiah dan keagamaan pada zamannya. Ia sempat mengalami penolakan dan pengasingan intelektual, yang mendorongnya meninggalkan Isfahan dan menyepi ke Kuhak, sebuah desa kecil dekat Shiraz. Di sana, ia mengabdikan diri dalam ibadah, kontemplasi, dan penulisan. Masa pengasingan ini justru menjadi periode paling produktif dalam hidupnya, karena Sadra menulis sebagian besar karya pentingnya, termasuk magnum opus-nya, al-Asfār al-Arba‘ah (Empat Perjalanan Intelektual)4.

Setelah beberapa tahun di pengasingan, Sadra akhirnya diundang kembali ke Shiraz oleh penguasa setempat untuk mengajar dan memimpin madrasah. Di penghujung hidupnya, Sadra memperoleh pengakuan luas atas karyanya, baik di kalangan intelektual maupun sufistik. Ia wafat dalam perjalanan haji pada tahun 1640 M (1050 H) dan dimakamkan di kota Basra, Irak5.

Warisan intelektual Mulla Sadra sangat signifikan dalam sejarah filsafat Islam. Ia tidak hanya mewariskan sistem filsafat yang orisinal dan menyeluruh, tetapi juga menjadi jembatan antara pemikiran filsafat Islam klasik dan tantangan spiritual-ontologis dalam masyarakat Islam modern. Pengaruhnya terus hidup, khususnya dalam tradisi intelektual di Iran kontemporer dan di berbagai pusat studi Islam tinggi seperti di Qom dan Mashhad.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 1–2.

[2]                S. H. Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 96.

[3]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 17–18.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 10–12.

[5]                Mohammad Fanaei Eshkevari, “Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy,” Transcendent Philosophy 2 (2001): 19.


3.           Dasar-Dasar Epistemologis Mulla Sadra

Salah satu aspek paling penting dalam pemikiran Mulla Sadra adalah epistemologi, yakni teori pengetahuannya yang melandasi seluruh bangunan ontologi dan metafisikanya. Dalam kerangka filsafat Sadra, epistemologi tidak hanya berfungsi sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai jalan eksistensial yang mengantarkan subjek menuju pencerahan dan kesatuan dengan realitas wujud. Dengan demikian, pengetahuan dalam pandangan Sadra memiliki dimensi ontologis dan spiritual, tidak sekadar logis dan diskursif.

Sadra mengkritik dualisme epistemologis yang berkembang dalam dua tradisi besar sebelumnya: rasionalisme peripatetik (Avicennian) dan iluminasi isyraqī (Suhrawardian). Para peripatetikus, seperti Ibn Sina, menekankan peran akal dan pembentukan representasi mental (ṣurah ma‘qūlah) sebagai inti dari pengetahuan. Sebaliknya, Suhrawardi mengedepankan intuisi langsung (kashf atau dzawq) sebagai sarana memperoleh pengetahuan esensial. Mulla Sadra tidak menolak keduanya, namun mengkritik keterbatasan keduanya dalam menjangkau realitas wujud yang terus-menerus berubah dan bertingkat1.

Sebagai sintesis dari dua pendekatan tersebut, Mulla Sadra menawarkan konsep ilmu ḥuḍūrī (knowledge by presence) sebagai bentuk pengetahuan yang paling fundamental. Menurutnya, bentuk pengetahuan yang sejati adalah penyatuan antara subjek dan objek, di mana pengetahuan bukan hasil dari representasi mental terhadap realitas, melainkan kehadiran langsung objek dalam jiwa subjek dalam bentuk eksistensial2. Hal ini sangat kontras dengan teori Ibn Sina yang menganggap bahwa objek diketahui melalui bentuk yang ditangkap oleh akal aktif (‘aql fa‘‘āl).

Dalam kerangka ilmu ḥuḍūrī, Sadra menekankan bahwa jiwa bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi menjadi sesuatu dalam tingkat eksistensial tertentu. Dengan kata lain, pengetahuan bukan sekadar aktivitas kognitif, tetapi juga transformasi eksistensial. Dalam hal ini, Sadra juga terinspirasi oleh ajaran mistik Ibn ‘Arabi, yang melihat pengalaman pengetahuan sebagai proses pencerahan batin dan penyatuan spiritual3.

Selain ilmu ḥuḍūrī, Sadra juga mengembangkan konsepsi ilmu ḥuṣūlī (knowledge by acquisition), namun menganggapnya sebagai bentuk pengetahuan sekunder. Ia menjelaskan bahwa ilmu ḥuṣūlī hanya valid pada tataran konseptual, sedangkan untuk menjangkau realitas sejati dari wujud, manusia harus melewati pengalaman langsung dan kehadiran eksistensial. Di sinilah Sadra menyatukan epistemologi, ontologi, dan spiritualitas dalam satu kerangka filosofis yang utuh4.

Epistemologi Mulla Sadra juga terikat erat dengan teori gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang menegaskan bahwa eksistensi manusia selalu berada dalam keadaan menjadi (ṣīrah al-ṣayrūrah). Artinya, pengetahuan manusia bukan hanya akumulasi proposisi, tetapi merupakan hasil transformasi jiwa yang terus berkembang menuju kesempurnaan ontologis5. Oleh karena itu, epistemologi Sadra bersifat dinamis dan teleologis, yakni bergerak menuju kesempurnaan eksistensial, bukan hanya validitas logis.

Secara keseluruhan, dasar epistemologis Mulla Sadra menjadi fondasi dari pendekatan transendental yang menyatukan akal, intuisi, dan wahyu. Ia membuka jalan bagi model pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan “apa itu kebenaran,” tetapi juga bagaimana subjek dapat menjadi bagian dari kebenaran itu sendiri.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 53–55.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 39–42.

[3]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 117–118.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 55–58.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 93–95.


4.           Doktrin Ontologis: Prinsip Wujud (Asālat al-Wujūd)

Salah satu kontribusi paling fundamental Mulla Sadra dalam sejarah filsafat Islam adalah konsep asālat al-wujūd (primasi eksistensi), yaitu sebuah doktrin ontologis yang menyatakan bahwa wujud (eksistensi) adalah realitas yang paling fundamental, sedangkan māhiyyah (esensi) hanyalah suatu konstruksi intelektual yang tidak memiliki realitas eksternal independen1.

Doktrin ini lahir dari kritik Sadra terhadap kecenderungan sebelumnya dalam filsafat Islam—terutama dalam filsafat Ibn Sina dan Suhrawardi—yang memposisikan māhiyyah sebagai entitas utama dalam pembahasan ontologis. Menurut Ibn Sina, eksistensi merupakan sesuatu yang ditambahkan (‘āriḍ) pada esensi, dan dengan demikian tidak inheren dalam hakikat sesuatu2. Sementara itu, Suhrawardi, dalam tradisi iluminatifnya, lebih condong kepada primasi esensi dalam memahami hakikat realitas melalui cahaya sebagai metafor utama. Sadra menolak pandangan ini dan membalik orientasi ontologis dengan menegaskan bahwa realitas eksternal sesungguhnya hanyalah eksistensi itu sendiri, dan segala bentuk esensi hanyalah modifikasi konseptual dalam akal3.

Bagi Mulla Sadra, wujud bukanlah sesuatu yang bersifat seragam atau statis. Ia adalah realitas yang tunggal namun bergradasi (tashkīk), yang memiliki intensitas berbeda-beda dari yang paling rendah hingga paling tinggi. Konsep ini kelak menjadi dasar dari teori tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), yang dibahas dalam bagian terpisah. Namun dalam konteks asālat al-wujūd, penekanan utama adalah bahwa hanya wujud yang memiliki realitas objektif, sedangkan esensi adalah produk akal untuk membedakan antar entitas dalam ranah kognitif4.

Pandangan ini memiliki implikasi metafisik dan teologis yang sangat mendalam. Pertama, dalam ranah metafisika, Sadra membuka jalan bagi pemahaman realitas sebagai sesuatu yang berproses, dinamis, dan aktual, bukan sekadar struktur esensial yang tetap. Wujud tidak dapat direduksi pada kategori-kategori logis Aristotelian, melainkan merupakan suatu entitas eksistensial yang mengalami intensifikasi (ishtidād) dan transformasi. Kedua, dalam ranah teologi, pandangan ini mengokohkan doktrin Tuhan sebagai wujud murni (al-wujūd al-maḥḍ), sumber segala eksistensi yang lain dan tidak memiliki esensi yang membatasinya5.

Implikasi penting dari asālat al-wujūd juga tercermin dalam pendekatan Sadra terhadap filsafat jiwa, kosmologi, dan bahkan etika. Dalam semua dimensi ini, eksistensi menjadi poros utama penjelasan, bukan semata-mata kategori abstrak. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat Sadra bersifat ontologis sejak akar, dan tidak dapat direduksi pada semata-mata epistemologi atau logika. Eksistensi dalam filsafat Sadra adalah realitas hidup yang bersifat transenden, berjenjang, dan terbuka menuju penyempurnaan spiritual6.

Dengan demikian, doktrin asālat al-wujūd bukan hanya merupakan pembaruan atas tradisi metafisika Islam, tetapi juga fondasi bagi seluruh sistem filsafat Sadra yang bersifat sintetik dan spiritual. Sebagaimana ditegaskan oleh Rizvi, pandangan Sadra tentang eksistensi “meruntuhkan dikotomi-dikotomi klasik antara rasio dan intuisi, antara filsafat dan mistisisme, serta antara keberadaan dan pemahaman”7.


Footnotes

[1]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 33–35.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 35–36.

[3]                S. H. Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (Chicago: World Wisdom, 2006), 85–87.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 61–63.

[5]                Mehdi Aminrazavi, “The Notion of Existence in the Philosophy of Mulla Sadra,” The Muslim World 94, no. 1 (2004): 65–66.

[6]                William C. Chittick, The Elixir of the Gnostics (Provo: Brigham Young University Press, 2003), 42.

[7]                Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics, 37.


5.           Teori Gradasi Eksistensi (Tashkīk al-Wujūd)

Salah satu konsep paling khas dalam sistem filsafat Mulla Sadra adalah teori gradasi eksistensi (tashkīk al-wujūd), yang merupakan pengembangan dari doktrin asālat al-wujūd (primasi eksistensi). Dalam kerangka ini, Mulla Sadra berpendapat bahwa eksistensi adalah satu realitas yang bersifat gradasional (mutasyakkik), yakni memiliki tingkatan-tingkatan keberadaan yang berbeda dalam intensitas dan kesempurnaan, tanpa menghapus kesatuannya secara substansial1.

Secara filosofis, Sadra menolak dua pandangan sebelumnya. Pertama, pandangan yang menyamakan eksistensi sebagai kategori logis yang bersifat analogis (tasybīhī), yang mengakibatkan pemahaman eksistensi menjadi hanya berbeda secara konseptual. Kedua, Sadra menolak pemisahan esensialis yang menempatkan entitas-entitas sebagai substansi terpisah. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa eksistensi bersifat satu secara esensial (bi al-dzāt), namun beragam secara intensitas (bi al-tashkīk). Dalam istilahnya, semua wujud memiliki hubungan tashkīkī satu sama lain, yakni hubungan hierarkis dalam satu spektrum realitas2.

Contohnya dapat dilihat dalam struktur kosmologis Islam: Tuhan sebagai wujud tertinggi dan mutlak, diikuti oleh malaikat, manusia, hewan, tumbuhan, dan benda mati—semuanya merupakan wujud, namun berbeda dalam tingkat kedekatan dan kesempurnaan eksistensial. Hal ini memungkinkan Sadra untuk membangun metafisika yang dinamis, karena realitas tidak bersifat statis atau dikotomis, melainkan bertahap, kontinyu, dan terbuka terhadap transendensi3.

Implikasi dari konsep tashkīk al-wujūd ini sangat luas. Dalam teologi, doktrin ini memberikan jalan untuk memahami bagaimana Tuhan, yang adalah al-Wujūd al-Mutlaq, dapat menciptakan dan berinteraksi dengan dunia tanpa mengurangi keesaan-Nya. Dalam antropologi filosofis, manusia dipahami sebagai entitas eksistensial yang potensial untuk bergerak naik dalam spektrum wujud, melalui pengembangan intelektual dan spiritual4.

Sadra juga memanfaatkan gradasi eksistensi ini untuk menjelaskan hubungan antara akal, jiwa, dan tubuh, di mana ketiganya bukan entitas terpisah secara substansial, tetapi berada pada tingkat eksistensi yang berbeda. Jiwa, dalam hal ini, berkembang dari potensi material menuju bentuk eksistensial yang lebih tinggi melalui proses spiritual, yang dalam filsafat Sadra disebut sebagai ḥarakat jawhariyyah (gerak substansial)5.

Yang menarik, tashkīk al-wujūd bukan hanya konsep metafisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan eksistensial. Dalam kerangka ini, seseorang dapat “naik” dalam tangga eksistensi melalui ibadah, penyucian diri, dan pencapaian intelektual-mistik. Oleh karena itu, teori ini menjadi jembatan antara filsafat, teologi, dan tasawuf dalam sistem Sadra yang transendental6.

Konsep ini juga menegaskan keunikan filsafat Sadra dibanding pemikir-pemikir sebelumnya. Jika dalam Avicennian metaphysics perbedaan antar entitas bersifat substansial dan kategoris, maka dalam pemikiran Sadra, semua realitas terhubung dalam satu kontinum ontologis. Kesatuan eksistensi dalam keragaman tingkatan inilah yang menjadikan tashkīk al-wujūd sebagai pilar utama dalam reformulasi metafisika Islam oleh Mulla Sadra.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 61–62.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 46–49.

[3]                Mehdi Aminrazavi, “The Notion of Existence in the Philosophy of Mulla Sadra,” The Muslim World 94, no. 1 (2004): 68–70.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 65–67.

[5]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 40–41.

[6]                S. H. Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 102–103.


6.           Konsep Gerak Substansial (al-Ḥarakah al-Jawhariyyah)

Salah satu gagasan paling orisinal dan revolusioner dalam filsafat Mulla Sadra adalah konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah), yaitu pandangan bahwa perubahan tidak hanya terjadi pada aksiden (sifat-sifat luar) sebagaimana diajarkan dalam filsafat Aristoteles dan Avicennian, melainkan juga terjadi dalam substansi itu sendiri. Dalam pandangan Sadra, segala sesuatu di alam ini tidak hanya mengalami perubahan, tetapi terus-menerus berada dalam kondisi "menjadi" (ṣīrah al-ṣayrūrah), yakni proses eksistensial yang berlangsung dalam dimensi terdalam realitas1.

Sadra mengkritik pandangan tradisional yang menganggap substansi sebagai sesuatu yang tetap, sedangkan perubahan hanya terjadi pada kategori aksiden seperti kuantitas, kualitas, tempat, dan posisi. Ia menegaskan bahwa perubahan ini tidak cukup untuk menjelaskan transformasi mendalam yang terjadi pada makhluk hidup, khususnya manusia. Melalui pendekatan ontologis yang berlandaskan pada asālat al-wujūd dan tashkīk al-wujūd, Sadra menunjukkan bahwa substansi itu sendiri mengalami perubahan eksistensial secara bertahap menuju tingkatan wujud yang lebih tinggi2.

Dalam kerangka al-ḥarakah al-jawhariyyah, perubahan bukanlah sesuatu yang bersifat sporadis atau eksternal, tetapi merupakan esensi dari eksistensi itu sendiri. Setiap makhluk memiliki gerak esensial ke arah kesempurnaan, dan eksistensi dipahami sebagai proses berkelanjutan menuju intensifikasi wujud. Hal ini mengubah secara radikal struktur metafisika klasik yang cenderung statis. Eksistensi, dalam pandangan Sadra, bersifat dinamis, kreatif, dan berorientasi pada tujuan (teleologis)3.

Konsep ini juga memiliki dampak besar terhadap filsafat jiwa. Sadra memahami bahwa jiwa manusia tidak diciptakan sebagai entitas spiritual yang sempurna sejak awal, melainkan berkembang secara bertahap dari potensi material melalui gerak substansial hingga mencapai bentuk intelektual dan spiritual yang sempurna. Jiwa “dilahirkan” bersama tubuh, lalu melalui proses pendidikan, ibadah, dan penyucian diri, ia menjadi eksistensi rasional dan ilahiah4.

Sadra juga mengaitkan al-ḥarakah al-jawhariyyah dengan teori waktu dan perubahan kosmik. Menurutnya, waktu bukan sekadar pengukuran terhadap gerak aksidental, melainkan dimensi yang melekat pada struktur eksistensial dari makhluk-makhluk yang terus bergerak menuju penyempurnaan. Dengan kata lain, waktu itu sendiri merupakan bentuk dari gerak substansial5.

Pandangan ini juga mendekatkan filsafat Sadra dengan prinsip-prinsip irfan (gnosis), karena gerak substansial menyiratkan bahwa setiap manusia memiliki potensi spiritual untuk naik ke derajat eksistensial yang lebih tinggi. Dalam aspek ini, filsafat Sadra menjadi tidak hanya sistem logis, tetapi juga jalan spiritual (suluk falsafi) bagi transformasi jiwa menuju Tuhan. Gerak eksistensial dari wujud yang rendah menuju wujud yang tinggi mencerminkan struktur kosmis dan spiritual dari ciptaan6.

Dengan demikian, al-ḥarakah al-jawhariyyah menjadi pilar utama dalam sistem Sadra yang transformatif—ia menjembatani metafisika, kosmologi, antropologi filosofis, dan spiritualitas Islam dalam satu kesatuan yang utuh.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 98–99.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 62–64.

[3]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 48–49.

[4]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 103–105.

[5]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 71–73.

[6]                William C. Chittick, “The Perfect Man as the Prototype of the Self in Islamic Mysticism,” Studia Islamica 49 (1979): 135–137.


7.           Filsafat Jiwa dan Eskatologi

Dalam sistem filsafat transendental Mulla Sadra, filsafat jiwa (nafs) memainkan peran sentral sebagai bagian dari arsitektur ontologis dan spiritual. Sadra tidak hanya melanjutkan pemikiran filsuf sebelumnya seperti Ibn Sina, tetapi juga mereformulasikannya secara mendalam melalui konsep gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) dan asālat al-wujūd (primasi eksistensi). Jiwa manusia, menurut Sadra, bukanlah entitas tetap yang sudah sempurna sejak awal, melainkan entitas yang berkembang secara bertahap dalam spektrum eksistensial sejak penciptaannya bersama tubuh1.

Sadra memandang bahwa jiwa diciptakan secara jasmani tetapi mencapai eksistensinya secara ruhani (al-nafs tajaddud bi al-jism wa taqawwā bi al-rūḥ). Ini berarti jiwa manusia bermula dari bentuk material yang paling rendah dan kemudian berkembang melalui proses transendensi eksistensial menuju bentuk spiritual dan intelektual yang lebih tinggi. Jiwa tidak “turun” dari dunia immaterial sebagaimana diasumsikan oleh filsafat Neoplatonis, melainkan “naik” dari dunia material melalui gradasi eksistensi, sesuai dengan prinsip tashkīk al-wujūd2.

Perjalanan jiwa ini memiliki implikasi besar dalam dimensi eskatologis (al-maʿād). Sadra berpendapat bahwa kebangkitan (maʿād) bukan sekadar peristiwa fisikal seperti dipahami secara literal dalam tradisi teologis populer, melainkan sebuah transformasi eksistensial yang sesuai dengan kondisi jiwa. Ia menolak dikotomi kaku antara kebangkitan spiritual dan jasmani, dan memformulasikan pendekatan sintetik di mana kebangkitan adalah hasil dari perkembangan spiritual jiwa itu sendiri3.

Dalam karyanya al-Asfār al-Arba‘ah, Sadra menyatakan bahwa setiap jiwa menciptakan bentuk eksistensialnya di akhirat sesuai dengan kualitas moral dan spiritual yang telah diperolehnya di dunia. Dengan kata lain, realitas akhirat merupakan manifestasi dari potensi-potensi jiwa yang telah diaktualkan selama hidup di dunia. Jiwa yang telah menyucikan diri dan mencapai kedekatan dengan Tuhan akan meraih kebahagiaan eksistensial (sa‘ādah), sedangkan jiwa yang tetap dalam kebodohan dan keduniawian akan mengalami penderitaan yang bersifat eksistensial, bukan sekadar hukuman lahiriah4.

Pandangan ini menunjukkan bahwa dalam kerangka eskatologi Sadra, surga dan neraka adalah kondisi ontologis yang berkaitan langsung dengan status eksistensial jiwa, bukan sekadar tempat fisik. Bahkan, bentuk tubuh akhirat yang diterima seseorang bukan tubuh materi biologis, melainkan bentuk eksistensial yang sesuai dengan maqām (tingkatan) spiritualnya. Dengan demikian, Sadra berhasil menjembatani antara pemahaman filosofis, spiritual, dan teologis dalam isu kebangkitan dan kehidupan setelah mati5.

Filsafat jiwa Mulla Sadra juga memberikan tempat sentral bagi pengalaman mistik dan intuisi batin (kashf), yang tidak hanya menjadi sarana epistemologis tetapi juga cara aktualisasi potensi tertinggi jiwa. Dalam kerangka ini, filsafat bukan sekadar diskursus teoritis, tetapi merupakan bagian dari perjalanan jiwa menuju realitas mutlak, suatu proses yang disebutnya sebagai safar ruhani (perjalanan spiritual)6.

Dengan demikian, sistem filsafat jiwa dan eskatologi dalam pemikiran Mulla Sadra memperlihatkan bahwa manusia tidak hanya sebagai entitas rasional, tetapi makhluk eksistensial yang memiliki arah dan tujuan ontologis, yakni menuju kesempurnaan wujud yang absolut, yaitu Tuhan.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 112–115.

[2]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 73–75.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 82–84.

[4]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 60–63.

[5]                Mehdi Aminrazavi, “Mulla Sadra’s Theory of the Soul and Its Eschatological Implications,” Islamic Studies 42, no. 2 (2003): 195–198.

[6]                S. H. Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge: Harvard University Press, 1964), 106–107.


8.           Integrasi antara Wahyu, Akal, dan Irfan

Salah satu pencapaian paling signifikan dari Mulla Sadra dalam sejarah pemikiran Islam adalah kemampuannya untuk menyusun kerangka filsafat transendental yang mengintegrasikan tiga sumber utama pengetahuan dalam Islam: wahyu (naql), akal (‘aql), dan irfan (pengalaman spiritual/mistik). Pendekatan ini tidak hanya merepresentasikan kejeniusan sintesis intelektual, tetapi juga memperlihatkan sebuah paradigma baru dalam epistemologi Islam yang bersifat komprehensif, hierarkis, dan teleologis1.

Dalam tradisi filsafat Islam sebelum Sadra, ketiga sumber tersebut sering diperlakukan secara terpisah atau bahkan saling berseberangan. Para filsuf peripatetik seperti Ibn Sina menekankan rasionalisme, sementara tokoh iluminatif seperti Suhrawardi menekankan intuisi spiritual sebagai sumber utama pengetahuan. Adapun kalangan mutakallimīn dan ahli tafsir lebih mendasarkan pengetahuan pada wahyu literal. Mulla Sadra menolak dikotomi ini dan mengajukan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diraih melalui keterpaduan ketiganya, dengan eksistensi sebagai fondasi epistemik utama2.

Dalam sistem epistemologi Sadra, akal (‘aql) memiliki peran penting dalam membangun argumen rasional dan menyusun struktur filosofis. Akal digunakan untuk memahami realitas wujud secara sistematis, namun batas-batasnya diakui, terutama dalam menjangkau hakikat-hakikat terdalam realitas metafisis. Dalam kondisi ini, irfan (gnosis) hadir sebagai perluasan epistemik, yakni pengalaman intuitif langsung terhadap kebenaran, yang tidak dapat diraih hanya melalui diskursus logis3.

Adapun wahyu (naql), bagi Sadra, bukanlah oposisi terhadap filsafat dan irfan, melainkan puncak dari sumber pengetahuan, yang memberikan arah dan validasi terhadap pemahaman akal dan pengalaman spiritual. Wahyu adalah cahaya ilahi yang membimbing manusia dalam proses epistemik dan eksistensialnya. Sadra membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tidak secara literal semata, tetapi melalui pendekatan tafsir filosofis dan ontologis yang mendalam, sebagaimana tampak dalam karya-karyanya seperti Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm dan Sharḥ Uṣūl al-Kāfī4.

Integrasi ini menjadi mungkin karena Mulla Sadra memandang bahwa ketiganya—wahyu, akal, dan irfan—berasal dari sumber yang sama, yaitu Wujud Mutlak (Tuhan). Maka, tidak ada pertentangan esensial di antara ketiganya. Ketika tampak ada pertentangan, hal itu lebih disebabkan oleh keterbatasan persepsi manusia dalam membaca simbolisme wahyu atau kekeliruan akal dalam menyusun argumen. Dalam al-Asfār al-Arba‘ah, Sadra menyusun tahapan perjalanan intelektual-spiritual manusia yang mencakup dimensi rasional, spiritual, dan kenabian sebagai bagian dari perjalanan eksistensial menuju kesempurnaan5.

Sadra juga menegaskan bahwa kenabian adalah puncak dari sintesis epistemik ini. Seorang nabi bukan hanya menerima wahyu secara pasif, tetapi juga mencapainya melalui kesempurnaan eksistensial yang memungkinkan penyatuan total antara akal, intuisi, dan iluminasi. Dalam kerangka ini, kenabian dan filsafat tidak bertentangan, melainkan bertemu pada puncak spiritualitas dan kebenaran ontologis6.

Dengan demikian, integrasi antara wahyu, akal, dan irfan dalam pemikiran Mulla Sadra bukanlah kompromi antara tiga pendekatan, melainkan sebuah kesatuan epistemologis yang saling melengkapi dan saling menuntun, dengan eksistensi sebagai titik temu dan orientasi akhirnya adalah Tuhan (al-Ḥaqq). Pendekatan ini menjadikan filsafat Sadra sebagai sistem yang tidak hanya bersifat rasional dan metafisik, tetapi juga eksistensial dan spiritual, mencerminkan ḥikmah muta‘āliyyah sebagai jalan menuju realitas mutlak secara menyeluruh.


Footnotes

[1]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 93–96.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 121–124.

[3]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 201–203.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 88–91.

[5]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 70–72.

[6]                S. H. Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 153–154.


9.           Warisan Intelektual dan Pengaruhnya

Pemikiran Mulla Sadra (w. 1640 M) telah menorehkan pengaruh yang mendalam dan berkelanjutan dalam sejarah intelektual Islam, khususnya dalam tradisi filsafat Islam pasca-klasik, teologi, tasawuf, dan bahkan pendidikan Islam kontemporer, terutama di wilayah dunia Islam berbahasa Persia. Melalui sistem filsafat transendentalnya (al-ḥikmah al-muta‘āliyyah), Sadra tidak hanya menyempurnakan sintesis dari berbagai aliran pemikiran sebelumnya—seperti peripatetisme, iluminasi, dan gnosis—tetapi juga meletakkan dasar bagi metafisika Islam yang bersifat dinamis, spiritual, dan multidimensional1.

Warisan intelektual Sadra paling nyata terlihat dalam karya utamanya, al-Asfār al-Arba‘ah (Empat Perjalanan Intelektual), yang menjadi kurikulum inti di banyak ḥawzah ilmiyyah (pusat-pusat pendidikan keislaman tingkat tinggi) di Qom, Isfahan, dan Mashhad sejak abad ke-18 hingga sekarang. Filsafat Sadra bahkan dianggap sebagai puncak pencapaian filsafat Islam setelah Ibn Sina, dan dijadikan sebagai referensi utama oleh para pemikir Syiah kontemporer, termasuk Allāmah Ṭabāṭabā’ī, Murtaḍā Muṭahharī, dan Sayyid Ḥusayn Naṣr2.

Di tangan Allāmah Ṭabāṭabā’ī (w. 1981), pemikiran Sadra dihidupkan kembali melalui pendekatan tafsir filosofis dan pengembangan al-Asfār dalam bentuk pengajaran dan penulisan kontemporer, termasuk karyanya Nihāyat al-Ḥikmah. Tabataba’i memperkuat posisi Sadra sebagai pemikir yang mampu menjembatani antara filsafat dan spiritualitas Qur’ani dalam menjawab tantangan zaman modern3. Sementara itu, Murtaḍā Muṭahharī banyak memanfaatkan kerangka filsafat Sadra untuk membangun etika Islam dan menjelaskan relasi antara akal dan syariah dalam sistem hukum Islam kontemporer4.

Secara internasional, pemikiran Mulla Sadra diperkenalkan ke dunia akademik Barat terutama oleh Seyyed Hossein Nasr, yang menempatkannya sebagai representasi puncak dari tradisi filsafat Islam yang tetap berakar pada wahyu dan spiritualitas. Nasr menunjukkan bahwa pemikiran Sadra sangat relevan dalam menjembatani krisis modernitas yang cenderung terjebak pada rasionalisme kering dan materialisme semata. Dalam karyanya, Nasr menegaskan bahwa filsafat Sadra adalah filsafat yang “menyembuhkan” karena menawarkan jalan spiritual yang dibimbing oleh akal dan cahaya wahyu5.

Lebih jauh, Mulla Sadra juga memberi pengaruh terhadap pengembangan studi filsafat Islam di kalangan Sunni, terutama dalam konteks akademik modern yang lebih terbuka terhadap warisan intelektual lintas mazhab. Studi-studi kontemporer dalam filsafat Islam kini banyak merujuk pada Sadra sebagai titik temu antara pemikiran metafisika dan tasawuf falsafi, yang menawarkan model integratif antara filsafat, teologi, dan irfan6.

Selain pengaruh substantif terhadap pemikiran dan pendidikan Islam, Sadra juga berperan dalam membentuk paradigma baru dalam pendekatan tafsir, melalui hermeneutika spiritual-filosofis yang mendalam. Ia tidak membaca al-Qur’an sekadar sebagai teks hukum atau narasi sejarah, melainkan sebagai realitas eksistensial yang terbuka untuk ditafsirkan melalui perjalanan spiritual akal dan jiwa. Ini membuka cakrawala baru bagi tafsir tematik ontologis yang kini dikembangkan dalam banyak kajian tafsir filosofis modern7.

Keseluruhan warisan intelektual Mulla Sadra menjadikannya sebagai mata rantai penting dalam sejarah peradaban Islam, yang berhasil mempertemukan secara harmonis antara tradisi intelektual dan spiritual Islam. Ia membuktikan bahwa filsafat dalam Islam tidak hanya hidup, tetapi juga berkembang secara kreatif dan relevan dalam setiap zaman, selama tetap berpijak pada prinsip-prinsip eksistensial dan keilahian yang transenden.


Footnotes

[1]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 99–101.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 131–133.

[3]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 102–104.

[4]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 80–82.

[5]                S. H. Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNY Press, 1981), 112–115.

[6]                Mehdi Aminrazavi, “Islamic Philosophy and Occidental Phenomenology: Mulla Sadra’s Ontology Reconsidered,” Islamic Studies 44, no. 1 (2005): 61–63.

[7]                William C. Chittick, “The Quranic Roots of Mulla Sadra’s Esoteric Hermeneutics,” Islamic Studies 43, no. 2 (2004): 149–152.


10.       Kesimpulan

Pemikiran Mulla Sadra merupakan titik kulminasi dari perkembangan panjang filsafat Islam yang melampaui batas-batas sektarian, metodologis, dan epistemologis. Melalui filsafat transendentalnya (al-ḥikmah al-muta‘āliyyah), Sadra berhasil menyusun sistem filsafat yang integratif antara rasionalitas peripatetik, iluminasi Suhrawardian, dan mistisisme Ibn ‘Arabian, serta menyinergikannya dengan ajaran Qur’ani dan prinsip-prinsip teologi Islam. Sistem ini bukan sekadar sintesis, melainkan reformulasi total terhadap ontologi Islam yang berpusat pada eksistensi (wujūd) sebagai realitas utama dan dinamis1.

Doktrin asālat al-wujūd (primasi eksistensi) telah menggeser paradigma esensialis dalam metafisika klasik, dan membuka jalan bagi pemahaman realitas yang bertingkat (tashkīk al-wujūd), bergerak (al-ḥarakah al-jawhariyyah), serta teleologis. Dalam kerangka ini, seluruh realitas dipahami sebagai spektrum eksistensial yang terus-menerus berkembang menuju wujud mutlak. Hal ini tidak hanya menawarkan perspektif metafisik baru, tetapi juga menyusun landasan spiritual dan etis bagi manusia dalam perjalanan eksistensialnya2.

Filsafat jiwa Mulla Sadra memperlihatkan dimensi transformasional dari eksistensi manusia. Jiwa tidak lahir sebagai entitas spiritual sempurna, melainkan berkembang dari bentuk material menuju kesempurnaan ruhani melalui gerak substansial. Proses ini juga menjadi dasar bagi pemahaman Sadra terhadap eskatologi, di mana kebangkitan bukan sekadar peristiwa fisikal, tetapi aktualisasi eksistensial dari kualitas jiwa yang telah dibentuk selama kehidupan dunia3.

Lebih jauh, integrasi antara wahyu, akal, dan irfan dalam sistem epistemologi Sadra menciptakan model pengetahuan yang komprehensif dan spiritual. Ketiga sumber tersebut tidak dikotomikan, melainkan dipandang sebagai saluran berbeda dari satu sumber kebenaran, yaitu Tuhan. Pandangan ini memungkinkan filsafat untuk tidak hanya rasional dan argumentatif, tetapi juga spiritual dan intuitif—sehingga menjadikan filsafat Sadra sebagai hikmah dalam makna Qur’ani dan ilahiah4.

Pengaruh pemikiran Sadra tidak berhenti pada masa hidupnya. Ia menjadi fondasi pemikiran filsafat Islam di dunia Syiah, terutama dalam pendidikan ḥawzah di Iran, dan memengaruhi banyak pemikir besar seperti Allāmah Ṭabāṭabā’ī dan Murtaḍā Muṭahharī. Bahkan dalam diskursus akademik modern, pemikirannya diapresiasi sebagai alternatif epistemologis dan ontologis terhadap krisis modernitas, sekaligus sebagai representasi dari kekayaan warisan filsafat Islam yang masih relevan hingga hari ini5.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa kontribusi Mulla Sadra bukan sekadar pada tataran teoritis, tetapi pada dimensi eksistensial yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk menjadi, bukan hanya untuk mengetahui. Filsafat transendental Sadra merupakan upaya penyatuan antara berpikir dan menjadi, antara logika dan spiritualitas, antara rasio dan wahyu—sebuah visi filsafat Islam yang transformatif, holistik, dan abadi.


Footnotes

[1]                Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 101–104.

[2]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University of New York Press, 1975), 127–129.

[3]                Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Burlington, VT: Ashgate, 2006), 84–86.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press, 2010), 106–108.

[5]                S. H. Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (Chicago: World Wisdom, 2006), 90–92.


Daftar Pustaka

Aminrazavi, M. (2004). The notion of existence in the philosophy of Mulla Sadra. The Muslim World, 94(1), 63–80.

Aminrazavi, M. (2005). Islamic philosophy and occidental phenomenology: Mulla Sadra’s ontology reconsidered. Islamic Studies, 44(1), 53–71.

Aminrazavi, M. (2003). Mulla Sadra’s theory of the soul and its eschatological implications. Islamic Studies, 42(2), 183–202.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. Albany, NY: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (2003). The elixir of the gnostics. Provo, UT: Brigham Young University Press.

Chittick, W. C. (2004). The Quranic roots of Mulla Sadra’s esoteric hermeneutics. Islamic Studies, 43(2), 137–156.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. Albany, NY: State University of New York Press.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. New York, NY: Oxford University Press.

Kamal, M. (2006). Mulla Sadra’s transcendent philosophy. Burlington, VT: Ashgate.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic science: An illustrated study. Chicago, IL: World Wisdom.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York, NY: HarperOne.

Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra. Albany, NY: State University of New York Press.

Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and metaphysics: Modulation of being. London, UK: Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar