Pemikiran Mulla Sadra
Transformasi Ontologis dalam Filsafat Islam
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem
pemikiran Mulla Sadra (Ṣadr al-Dīn Muḥammad Shīrāzī), filsuf besar Islam abad
ke-17, yang dikenal sebagai pelopor al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat
hikmah transendental). Pemikiran Sadra menandai revolusi besar dalam ontologi
Islam melalui doktrin asālat al-wujūd (primasi eksistensi), yang
menggantikan dominasi pendekatan esensialis klasik. Ia memperkenalkan konsep tashkīk
al-wujūd (gradasi eksistensi) dan al-ḥarakah al-jawhariyyah (gerak
substansial) untuk menunjukkan bahwa realitas bersifat dinamis, bertingkat, dan
bergerak menuju kesempurnaan wujud.
Artikel ini juga mengulas filsafat jiwa Sadra yang
berpijak pada transformasi eksistensial dari bentuk material ke bentuk
spiritual, serta eskatologi yang tidak dipahami secara literal, tetapi sebagai
aktualisasi kondisi jiwa. Di samping itu, dibahas pula sintesis epistemologis
Sadra yang memadukan wahyu (naql), akal (‘aql), dan intuisi
mistik (irfan) dalam kerangka ontologis yang integral. Melalui
pendekatan tersebut, Mulla Sadra tidak hanya membangun sistem filsafat Islam
yang rasional dan spiritual, tetapi juga mewariskan warisan intelektual yang
hidup hingga saat ini, terutama dalam tradisi keilmuan Islam kontemporer.
Kata Kunci: Mulla Sadra; Ontologi Islam; Asālat al-Wujūd;
Gradasi Eksistensi; Gerak Substansial; Filsafat Jiwa; Eskatologi; Wahyu dan
Akal; Irfan; Filsafat Islam Transendental.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif terhadap Pemikiran Mulla Sadra
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat Islam, terdapat berbagai gelombang pemikiran yang merepresentasikan
dinamika dan kompleksitas cara berpikir umat Islam dalam memahami realitas.
Sejak masa klasik yang ditandai dengan pemikiran Ibn Sina (Avicenna), filsafat
Islam telah mengalami dialektika antara akal dan wahyu, antara rasionalisme dan
iluminasi, serta antara filsafat dan tasawuf. Salah satu tokoh yang berhasil
mensintesakan unsur-unsur ini secara integratif adalah Mulla
Sadra (Ṣadr al-Dīn Muḥammad Shīrāzī), filsuf Persia abad
ke-17 yang dikenal sebagai pelopor al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah
(Filsafat Hikmah Transendental). Filsafatnya menghadirkan transformasi radikal
dalam ontologi Islam melalui doktrin asālat al-wujūd (primasi
eksistensi) yang menggantikan dominasi pandangan asālat al-māhiyyah (primasi esensi)
dari para pendahulunya seperti Suhrawardi dan Ibn Sina1.
Transformasi ini
tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga metodologis. Mulla Sadra
menggabungkan tiga pendekatan utama dalam khazanah pemikiran Islam: filsafat peripatetik
(mashā’ī), iluminasi (isyraqī),
dan irfan (gnosis). Sintesis
ini menandai munculnya paradigma baru yang lebih menyeluruh dan spiritual dalam
menjelaskan hakikat wujud. Menurut Mulla Sadra, filsafat tidak semata-mata
aktivitas intelektual, tetapi juga jalan eksistensial menuju pemahaman yang
mendalam tentang hakikat keberadaan, manusia, dan Tuhan2. Dengan
demikian, filsafat baginya bukan sekadar ilmu diskursif, tetapi juga sarana
untuk mencapai ketersingkapan eksistensial (kashf wujūdī).
Pemikiran Mulla
Sadra menjadi tonggak penting dalam filsafat Islam karena memperluas
batas-batas epistemologi dan ontologi dengan mengintegrasikan intuisi spiritual
(dzawq), argumentasi rasional (‘aql), dan petunjuk wahyu (naql). Dalam karya
monumentalnya, al-Asfār al-Arba‘ah (Empat
Perjalanan Intelektual), Sadra menyusun suatu sistem filsafat yang menyeluruh,
mulai dari pembahasan wujud, jiwa, alam semesta, hingga eskatologi.
Gagasan-gagasannya kemudian sangat berpengaruh dalam pemikiran kontemporer,
terutama di Iran pasca-revolusi, dan menjadi fondasi kurikulum utama dalam
seminar-seminar keislaman (ḥawzah) di Qom dan Isfahan3.
Dengan latar
belakang ini, artikel ini bertujuan untuk menyajikan sebuah telaah sistematis
terhadap pokok-pokok pemikiran Mulla Sadra, khususnya dalam bidang ontologi.
Fokus utama akan diarahkan pada bagaimana ia memahami dan memformulasikan wujud
sebagai entitas yang dinamis dan bertingkat (tashkīk al-wujūd), serta bagaimana
hal itu berdampak pada pemikiran metafisika dan spiritual dalam Islam. Selain
itu, artikel ini juga akan mengulas posisi Sadra dalam lintasan sejarah
pemikiran Islam dan pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat keislaman di
dunia modern.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 22–24.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 4–6.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 9–10.
2.
Biografi
Singkat Mulla Sadra
Mulla Sadra, yang
memiliki nama lengkap Ṣadr al-Dīn Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Qawwām
al-Shīrāzī, lahir pada tahun 1571 M (979 H) di Shiraz,
Persia, pada masa Dinasti Safawiyah. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang
terpandang dan religius, yang memungkinkan dirinya memperoleh pendidikan tinggi
sejak dini1. Pada masa mudanya, Sadra hijrah ke Isfahan,
pusat intelektual Safawi pada waktu itu, untuk mendalami filsafat, teologi,
logika, dan tafsir di bawah bimbingan para ulama besar, seperti Mir
Damad, tokoh utama mazhab Isyraq, dan Shaykh
Baha’ al-Din al-‘Amili, ahli fiqh dan ilmu rasional2.
Mir Damad, gurunya
yang paling berpengaruh, merupakan pencetus doktrin “hudūth dahrī” (terjadinya
alam secara supratemporal), yang kelak menjadi bagian penting dari kerangka
metafisika Mulla Sadra. Melalui interaksi dengan pemikiran gurunya dan
diskursus keilmuan di Isfahan, Sadra mulai mengembangkan pendekatan filosofis
baru yang berupaya menyintesakan berbagai aliran dalam filsafat Islam: filsafat
peripatetik (mashā’ī) dari Ibn Sina, filsafat
iluminasi (isyraqī) dari Suhrawardi, serta gnosis
(‘irfān) dari tradisi Ibn ‘Arabi. Sintesis inilah yang kelak
dikenal sebagai al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah, atau
Filsafat Hikmah Transendental3.
Namun, pemikiran
Sadra yang revolusioner tidak langsung diterima oleh masyarakat ilmiah dan
keagamaan pada zamannya. Ia sempat mengalami penolakan dan pengasingan intelektual,
yang mendorongnya meninggalkan Isfahan dan menyepi ke Kuhak,
sebuah desa kecil dekat Shiraz. Di sana, ia mengabdikan diri dalam ibadah,
kontemplasi, dan penulisan. Masa pengasingan ini justru menjadi periode paling
produktif dalam hidupnya, karena Sadra menulis sebagian besar karya pentingnya,
termasuk magnum opus-nya, al-Asfār al-Arba‘ah (Empat
Perjalanan Intelektual)4.
Setelah beberapa
tahun di pengasingan, Sadra akhirnya diundang kembali ke Shiraz oleh penguasa
setempat untuk mengajar dan memimpin madrasah. Di penghujung hidupnya, Sadra memperoleh
pengakuan luas atas karyanya, baik di kalangan intelektual maupun sufistik. Ia
wafat dalam perjalanan haji pada tahun 1640 M (1050 H) dan dimakamkan
di kota Basra, Irak5.
Warisan intelektual
Mulla Sadra sangat signifikan dalam sejarah filsafat Islam. Ia tidak hanya
mewariskan sistem filsafat yang orisinal dan menyeluruh, tetapi juga menjadi
jembatan antara pemikiran filsafat Islam klasik dan tantangan
spiritual-ontologis dalam masyarakat Islam modern. Pengaruhnya terus hidup,
khususnya dalam tradisi intelektual di Iran kontemporer dan di berbagai pusat
studi Islam tinggi seperti di Qom dan Mashhad.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 1–2.
[2]
S. H. Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 96.
[3]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 17–18.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 10–12.
[5]
Mohammad Fanaei Eshkevari, “Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy,” Transcendent
Philosophy 2 (2001): 19.
3.
Dasar-Dasar
Epistemologis Mulla Sadra
Salah satu aspek
paling penting dalam pemikiran Mulla Sadra adalah epistemologi,
yakni teori pengetahuannya yang melandasi seluruh bangunan ontologi dan
metafisikanya. Dalam kerangka filsafat Sadra, epistemologi tidak hanya
berfungsi sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sebagai
jalan eksistensial yang mengantarkan subjek menuju pencerahan dan kesatuan
dengan realitas wujud. Dengan demikian, pengetahuan dalam pandangan Sadra
memiliki dimensi ontologis dan spiritual, tidak
sekadar logis dan diskursif.
Sadra mengkritik
dualisme epistemologis yang berkembang dalam dua tradisi besar sebelumnya: rasionalisme
peripatetik (Avicennian) dan iluminasi isyraqī
(Suhrawardian). Para peripatetikus, seperti Ibn Sina, menekankan peran akal dan
pembentukan representasi mental (ṣurah ma‘qūlah) sebagai inti dari
pengetahuan. Sebaliknya, Suhrawardi mengedepankan intuisi langsung (kashf
atau dzawq)
sebagai sarana memperoleh pengetahuan esensial. Mulla Sadra tidak menolak
keduanya, namun mengkritik keterbatasan keduanya dalam menjangkau realitas
wujud yang terus-menerus berubah dan bertingkat1.
Sebagai sintesis
dari dua pendekatan tersebut, Mulla Sadra menawarkan konsep ilmu ḥuḍūrī
(knowledge by presence) sebagai bentuk pengetahuan yang paling
fundamental. Menurutnya, bentuk pengetahuan yang sejati adalah penyatuan
antara subjek dan objek, di mana pengetahuan bukan hasil dari
representasi mental terhadap realitas, melainkan kehadiran
langsung objek dalam jiwa subjek dalam bentuk eksistensial2.
Hal ini sangat kontras dengan teori Ibn Sina yang menganggap bahwa objek
diketahui melalui bentuk yang ditangkap oleh akal aktif (‘aql
fa‘‘āl).
Dalam kerangka ilmu ḥuḍūrī,
Sadra menekankan bahwa jiwa bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi
menjadi sesuatu dalam tingkat eksistensial tertentu. Dengan
kata lain, pengetahuan bukan sekadar aktivitas kognitif, tetapi juga
transformasi eksistensial. Dalam hal ini, Sadra juga terinspirasi oleh ajaran
mistik Ibn ‘Arabi, yang melihat pengalaman pengetahuan sebagai proses
pencerahan batin dan penyatuan spiritual3.
Selain ilmu ḥuḍūrī,
Sadra juga mengembangkan konsepsi ilmu ḥuṣūlī (knowledge by
acquisition), namun menganggapnya sebagai bentuk pengetahuan sekunder. Ia
menjelaskan bahwa ilmu ḥuṣūlī hanya valid pada tataran konseptual, sedangkan
untuk menjangkau realitas sejati dari wujud, manusia harus melewati pengalaman
langsung dan kehadiran eksistensial. Di sinilah Sadra menyatukan epistemologi,
ontologi, dan spiritualitas dalam satu kerangka filosofis yang
utuh4.
Epistemologi Mulla
Sadra juga terikat erat dengan teori gerak substansial (al-ḥarakah
al-jawhariyyah) yang menegaskan bahwa eksistensi manusia selalu
berada dalam keadaan menjadi (ṣīrah al-ṣayrūrah). Artinya,
pengetahuan manusia bukan hanya akumulasi proposisi, tetapi merupakan hasil
transformasi jiwa yang terus berkembang menuju kesempurnaan ontologis5.
Oleh karena itu, epistemologi Sadra bersifat dinamis dan teleologis, yakni
bergerak menuju kesempurnaan eksistensial, bukan hanya validitas logis.
Secara keseluruhan,
dasar epistemologis Mulla Sadra menjadi fondasi dari pendekatan transendental
yang menyatukan akal, intuisi, dan wahyu. Ia membuka jalan bagi model
pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan “apa itu kebenaran,” tetapi juga bagaimana
subjek dapat menjadi bagian dari kebenaran itu sendiri.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 53–55.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 39–42.
[3]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabi’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 117–118.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 55–58.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 93–95.
4.
Doktrin
Ontologis: Prinsip Wujud (Asālat al-Wujūd)
Salah satu
kontribusi paling fundamental Mulla Sadra dalam sejarah filsafat Islam adalah
konsep asālat
al-wujūd (primasi eksistensi), yaitu sebuah
doktrin ontologis yang menyatakan bahwa wujud (eksistensi) adalah realitas
yang paling fundamental, sedangkan māhiyyah (esensi) hanyalah suatu
konstruksi intelektual yang tidak memiliki realitas eksternal independen1.
Doktrin ini lahir
dari kritik Sadra terhadap kecenderungan sebelumnya dalam filsafat
Islam—terutama dalam filsafat Ibn Sina dan Suhrawardi—yang memposisikan māhiyyah
sebagai entitas utama dalam pembahasan ontologis. Menurut Ibn Sina, eksistensi
merupakan sesuatu yang ditambahkan (‘āriḍ) pada esensi, dan dengan
demikian tidak inheren dalam hakikat sesuatu2. Sementara itu,
Suhrawardi, dalam tradisi iluminatifnya, lebih condong kepada primasi esensi
dalam memahami hakikat realitas melalui cahaya sebagai metafor utama. Sadra
menolak pandangan ini dan membalik orientasi ontologis dengan menegaskan bahwa realitas
eksternal sesungguhnya hanyalah eksistensi itu sendiri, dan
segala bentuk esensi hanyalah modifikasi konseptual dalam akal3.
Bagi Mulla Sadra, wujud
bukanlah sesuatu yang bersifat seragam atau statis. Ia adalah realitas
yang tunggal namun bergradasi (tashkīk), yang memiliki
intensitas berbeda-beda dari yang paling rendah hingga paling tinggi. Konsep
ini kelak menjadi dasar dari teori tashkīk al-wujūd (gradasi
eksistensi), yang dibahas dalam bagian terpisah. Namun dalam konteks asālat
al-wujūd, penekanan utama adalah bahwa hanya
wujud yang memiliki realitas objektif, sedangkan esensi adalah
produk akal untuk membedakan antar entitas dalam ranah kognitif4.
Pandangan ini
memiliki implikasi metafisik dan teologis yang sangat mendalam. Pertama, dalam
ranah metafisika, Sadra membuka jalan bagi pemahaman realitas sebagai sesuatu
yang berproses,
dinamis, dan aktual, bukan sekadar struktur esensial yang
tetap. Wujud tidak dapat direduksi pada kategori-kategori logis Aristotelian,
melainkan merupakan suatu entitas eksistensial yang mengalami intensifikasi (ishtidād)
dan transformasi. Kedua, dalam ranah teologi, pandangan ini mengokohkan doktrin
Tuhan
sebagai wujud murni (al-wujūd al-maḥḍ), sumber segala
eksistensi yang lain dan tidak memiliki esensi yang membatasinya5.
Implikasi penting
dari asālat
al-wujūd juga tercermin dalam pendekatan Sadra terhadap filsafat
jiwa, kosmologi, dan bahkan etika. Dalam semua dimensi ini, eksistensi menjadi
poros utama penjelasan, bukan semata-mata kategori abstrak. Hal ini menunjukkan
bahwa filsafat Sadra bersifat ontologis sejak akar, dan tidak dapat direduksi
pada semata-mata epistemologi atau logika. Eksistensi dalam filsafat Sadra
adalah realitas hidup yang bersifat transenden, berjenjang, dan terbuka menuju
penyempurnaan spiritual6.
Dengan demikian,
doktrin asālat
al-wujūd bukan hanya merupakan pembaruan atas tradisi metafisika
Islam, tetapi juga fondasi bagi seluruh sistem filsafat Sadra yang bersifat
sintetik dan spiritual. Sebagaimana ditegaskan oleh Rizvi, pandangan Sadra
tentang eksistensi “meruntuhkan dikotomi-dikotomi klasik antara rasio dan
intuisi, antara filsafat dan mistisisme, serta antara keberadaan dan pemahaman”7.
Footnotes
[1]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 33–35.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 35–36.
[3]
S. H. Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (Chicago:
World Wisdom, 2006), 85–87.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 61–63.
[5]
Mehdi Aminrazavi, “The Notion of Existence in the Philosophy of Mulla
Sadra,” The Muslim World 94, no. 1 (2004): 65–66.
[6]
William C. Chittick, The Elixir of the Gnostics (Provo:
Brigham Young University Press, 2003), 42.
[7]
Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics, 37.
5.
Teori
Gradasi Eksistensi (Tashkīk al-Wujūd)
Salah satu konsep
paling khas dalam sistem filsafat Mulla Sadra adalah teori gradasi
eksistensi (tashkīk al-wujūd), yang merupakan
pengembangan dari doktrin asālat al-wujūd (primasi
eksistensi). Dalam kerangka ini, Mulla Sadra berpendapat bahwa eksistensi
adalah satu realitas yang bersifat gradasional (mutasyakkik),
yakni memiliki tingkatan-tingkatan keberadaan yang berbeda
dalam intensitas dan kesempurnaan, tanpa menghapus kesatuannya
secara substansial1.
Secara filosofis,
Sadra menolak dua pandangan sebelumnya. Pertama, pandangan yang menyamakan
eksistensi sebagai kategori logis yang bersifat analogis (tasybīhī),
yang mengakibatkan pemahaman eksistensi menjadi hanya berbeda secara
konseptual. Kedua, Sadra menolak pemisahan esensialis yang menempatkan
entitas-entitas sebagai substansi terpisah. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa eksistensi
bersifat satu secara esensial (bi al-dzāt), namun beragam secara intensitas (bi
al-tashkīk). Dalam istilahnya, semua wujud memiliki hubungan tashkīkī
satu sama lain, yakni hubungan hierarkis dalam satu spektrum realitas2.
Contohnya dapat
dilihat dalam struktur kosmologis Islam: Tuhan sebagai wujud tertinggi dan mutlak,
diikuti oleh malaikat, manusia, hewan, tumbuhan, dan benda mati—semuanya
merupakan wujud, namun berbeda dalam tingkat kedekatan dan kesempurnaan
eksistensial. Hal ini memungkinkan Sadra untuk membangun metafisika yang
dinamis, karena realitas tidak bersifat statis atau dikotomis, melainkan bertahap,
kontinyu, dan terbuka terhadap transendensi3.
Implikasi dari
konsep tashkīk
al-wujūd ini sangat luas. Dalam teologi, doktrin ini memberikan
jalan untuk memahami bagaimana Tuhan, yang adalah al-Wujūd al-Mutlaq, dapat
menciptakan dan berinteraksi dengan dunia tanpa mengurangi keesaan-Nya. Dalam antropologi
filosofis, manusia dipahami sebagai entitas eksistensial yang
potensial untuk bergerak naik dalam spektrum wujud, melalui pengembangan
intelektual dan spiritual4.
Sadra juga
memanfaatkan gradasi eksistensi ini untuk menjelaskan hubungan
antara akal, jiwa, dan tubuh, di mana ketiganya bukan entitas
terpisah secara substansial, tetapi berada pada tingkat eksistensi yang
berbeda. Jiwa, dalam hal ini, berkembang dari potensi material menuju bentuk
eksistensial yang lebih tinggi melalui proses spiritual, yang dalam filsafat
Sadra disebut sebagai ḥarakat jawhariyyah (gerak
substansial)5.
Yang menarik, tashkīk
al-wujūd bukan hanya konsep metafisik, tetapi juga memiliki dimensi
spiritual dan eksistensial. Dalam kerangka ini, seseorang dapat “naik” dalam
tangga eksistensi melalui ibadah, penyucian diri, dan pencapaian
intelektual-mistik. Oleh karena itu, teori ini menjadi jembatan antara
filsafat, teologi, dan tasawuf dalam sistem Sadra yang transendental6.
Konsep ini juga
menegaskan keunikan filsafat Sadra dibanding pemikir-pemikir sebelumnya. Jika
dalam Avicennian metaphysics perbedaan antar entitas bersifat substansial dan
kategoris, maka dalam pemikiran Sadra, semua realitas terhubung dalam satu
kontinum ontologis. Kesatuan eksistensi dalam keragaman tingkatan inilah yang
menjadikan tashkīk
al-wujūd sebagai pilar utama dalam reformulasi metafisika Islam
oleh Mulla Sadra.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 61–62.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 46–49.
[3]
Mehdi Aminrazavi, “The Notion of Existence in the Philosophy of Mulla
Sadra,” The Muslim World 94, no. 1 (2004): 68–70.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 65–67.
[5]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Burlington, VT: Ashgate, 2006), 40–41.
[6]
S. H. Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 102–103.
6.
Konsep
Gerak Substansial (al-Ḥarakah al-Jawhariyyah)
Salah satu gagasan
paling orisinal dan revolusioner dalam filsafat Mulla Sadra adalah konsep gerak
substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah), yaitu
pandangan bahwa perubahan tidak hanya terjadi pada aksiden
(sifat-sifat luar) sebagaimana diajarkan dalam filsafat
Aristoteles dan Avicennian, melainkan juga terjadi dalam substansi
itu sendiri. Dalam pandangan Sadra, segala sesuatu di alam ini tidak hanya
mengalami perubahan, tetapi terus-menerus berada dalam kondisi
"menjadi" (ṣīrah al-ṣayrūrah), yakni proses eksistensial
yang berlangsung dalam dimensi terdalam realitas1.
Sadra mengkritik
pandangan tradisional yang menganggap substansi sebagai sesuatu yang tetap,
sedangkan perubahan hanya terjadi pada kategori aksiden seperti kuantitas,
kualitas, tempat, dan posisi. Ia menegaskan bahwa perubahan ini tidak cukup
untuk menjelaskan transformasi mendalam yang terjadi pada makhluk hidup,
khususnya manusia. Melalui pendekatan ontologis yang berlandaskan pada asālat
al-wujūd dan tashkīk al-wujūd, Sadra menunjukkan
bahwa substansi
itu sendiri mengalami perubahan eksistensial secara bertahap
menuju tingkatan wujud yang lebih tinggi2.
Dalam kerangka al-ḥarakah
al-jawhariyyah, perubahan bukanlah sesuatu yang bersifat sporadis
atau eksternal, tetapi merupakan esensi dari eksistensi itu sendiri.
Setiap makhluk memiliki gerak esensial ke arah kesempurnaan,
dan eksistensi dipahami sebagai proses berkelanjutan menuju intensifikasi
wujud. Hal ini mengubah secara radikal struktur metafisika klasik yang
cenderung statis. Eksistensi, dalam pandangan Sadra, bersifat dinamis,
kreatif, dan berorientasi pada tujuan (teleologis)3.
Konsep ini juga
memiliki dampak besar terhadap filsafat jiwa. Sadra memahami
bahwa jiwa manusia tidak diciptakan sebagai entitas spiritual yang sempurna
sejak awal, melainkan berkembang secara bertahap dari
potensi material melalui gerak substansial hingga mencapai bentuk intelektual
dan spiritual yang sempurna. Jiwa “dilahirkan” bersama tubuh, lalu melalui
proses pendidikan, ibadah, dan penyucian diri, ia menjadi
eksistensi rasional dan ilahiah4.
Sadra juga
mengaitkan al-ḥarakah
al-jawhariyyah dengan teori waktu dan perubahan kosmik. Menurutnya,
waktu bukan sekadar pengukuran terhadap gerak aksidental, melainkan dimensi
yang melekat pada struktur eksistensial dari makhluk-makhluk yang terus
bergerak menuju penyempurnaan. Dengan kata lain, waktu itu
sendiri merupakan bentuk dari gerak substansial5.
Pandangan ini juga
mendekatkan filsafat Sadra dengan prinsip-prinsip irfan (gnosis), karena gerak
substansial menyiratkan bahwa setiap manusia memiliki potensi spiritual untuk
naik ke derajat eksistensial yang lebih tinggi. Dalam aspek
ini, filsafat Sadra menjadi tidak hanya sistem logis, tetapi juga jalan
spiritual (suluk falsafi) bagi transformasi jiwa menuju Tuhan.
Gerak eksistensial dari wujud yang rendah menuju wujud yang tinggi mencerminkan
struktur kosmis dan spiritual dari ciptaan6.
Dengan demikian, al-ḥarakah
al-jawhariyyah menjadi pilar utama dalam sistem Sadra yang
transformatif—ia menjembatani metafisika, kosmologi, antropologi filosofis, dan
spiritualitas Islam dalam satu kesatuan yang utuh.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State University
of New York Press, 1975), 98–99.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 62–64.
[3]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Burlington, VT: Ashgate, 2006), 48–49.
[4]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 103–105.
[5]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 71–73.
[6]
William C. Chittick, “The Perfect Man as the Prototype of the Self in
Islamic Mysticism,” Studia Islamica 49 (1979): 135–137.
7.
Filsafat
Jiwa dan Eskatologi
Dalam sistem
filsafat transendental Mulla Sadra, filsafat jiwa (nafs) memainkan
peran sentral sebagai bagian dari arsitektur ontologis dan spiritual. Sadra
tidak hanya melanjutkan pemikiran filsuf sebelumnya seperti Ibn Sina, tetapi
juga mereformulasikannya secara mendalam melalui konsep gerak
substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) dan asālat
al-wujūd (primasi eksistensi). Jiwa manusia, menurut Sadra,
bukanlah entitas tetap yang sudah sempurna sejak awal, melainkan entitas yang
berkembang secara bertahap dalam spektrum eksistensial sejak
penciptaannya bersama tubuh1.
Sadra memandang bahwa
jiwa
diciptakan secara jasmani tetapi mencapai eksistensinya secara ruhani
(al-nafs
tajaddud bi al-jism wa taqawwā bi al-rūḥ). Ini berarti jiwa manusia
bermula dari bentuk material yang paling rendah dan kemudian berkembang melalui
proses transendensi eksistensial menuju bentuk spiritual dan intelektual yang
lebih tinggi. Jiwa tidak “turun” dari dunia immaterial sebagaimana diasumsikan
oleh filsafat Neoplatonis, melainkan “naik” dari dunia material melalui gradasi
eksistensi, sesuai dengan prinsip tashkīk al-wujūd2.
Perjalanan jiwa ini
memiliki implikasi besar dalam dimensi eskatologis (al-maʿād).
Sadra berpendapat bahwa kebangkitan (maʿād) bukan
sekadar peristiwa fisikal seperti dipahami secara literal dalam tradisi
teologis populer, melainkan sebuah transformasi eksistensial
yang sesuai dengan kondisi jiwa. Ia menolak dikotomi kaku antara kebangkitan
spiritual dan jasmani, dan memformulasikan pendekatan sintetik di mana kebangkitan
adalah hasil dari perkembangan spiritual jiwa itu sendiri3.
Dalam karyanya al-Asfār
al-Arba‘ah, Sadra menyatakan bahwa setiap jiwa menciptakan bentuk eksistensialnya
di akhirat sesuai dengan kualitas moral dan spiritual yang telah diperolehnya
di dunia. Dengan kata lain, realitas akhirat merupakan manifestasi dari
potensi-potensi jiwa yang telah diaktualkan selama hidup di dunia.
Jiwa yang telah menyucikan diri dan mencapai kedekatan dengan Tuhan akan meraih
kebahagiaan eksistensial (sa‘ādah), sedangkan jiwa yang tetap
dalam kebodohan dan keduniawian akan mengalami penderitaan yang bersifat
eksistensial, bukan sekadar hukuman lahiriah4.
Pandangan ini
menunjukkan bahwa dalam kerangka eskatologi Sadra, surga
dan neraka adalah kondisi ontologis yang berkaitan langsung
dengan status eksistensial jiwa, bukan sekadar tempat fisik. Bahkan, bentuk
tubuh akhirat yang diterima seseorang bukan tubuh materi biologis, melainkan
bentuk eksistensial yang sesuai dengan maqām (tingkatan) spiritualnya. Dengan
demikian, Sadra berhasil menjembatani antara pemahaman
filosofis, spiritual, dan teologis dalam isu kebangkitan dan
kehidupan setelah mati5.
Filsafat jiwa Mulla
Sadra juga memberikan tempat sentral bagi pengalaman mistik dan intuisi batin (kashf),
yang tidak hanya menjadi sarana epistemologis tetapi juga cara
aktualisasi potensi tertinggi jiwa. Dalam kerangka ini,
filsafat bukan sekadar diskursus teoritis, tetapi merupakan bagian dari perjalanan
jiwa menuju realitas mutlak, suatu proses yang disebutnya
sebagai safar
ruhani (perjalanan spiritual)6.
Dengan demikian,
sistem filsafat jiwa dan eskatologi dalam pemikiran Mulla Sadra memperlihatkan
bahwa manusia tidak hanya sebagai entitas rasional, tetapi makhluk
eksistensial yang memiliki arah dan tujuan ontologis, yakni
menuju kesempurnaan wujud yang absolut, yaitu Tuhan.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 112–115.
[2]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 73–75.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 82–84.
[4]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Burlington, VT: Ashgate, 2006), 60–63.
[5]
Mehdi Aminrazavi, “Mulla Sadra’s Theory of the Soul and Its
Eschatological Implications,” Islamic Studies 42, no. 2 (2003):
195–198.
[6]
S. H. Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi
(Cambridge: Harvard University Press, 1964), 106–107.
8.
Integrasi
antara Wahyu, Akal, dan Irfan
Salah satu
pencapaian paling signifikan dari Mulla Sadra dalam sejarah pemikiran Islam
adalah kemampuannya untuk menyusun kerangka filsafat transendental yang
mengintegrasikan tiga sumber utama pengetahuan dalam Islam: wahyu
(naql), akal (‘aql), dan irfan (pengalaman spiritual/mistik).
Pendekatan ini tidak hanya merepresentasikan kejeniusan sintesis intelektual,
tetapi juga memperlihatkan sebuah paradigma baru dalam epistemologi Islam yang
bersifat komprehensif, hierarkis, dan teleologis1.
Dalam tradisi
filsafat Islam sebelum Sadra, ketiga sumber tersebut sering diperlakukan secara
terpisah atau bahkan saling berseberangan. Para filsuf peripatetik seperti Ibn
Sina menekankan rasionalisme, sementara tokoh
iluminatif seperti Suhrawardi menekankan intuisi spiritual sebagai
sumber utama pengetahuan. Adapun kalangan mutakallimīn dan ahli tafsir lebih
mendasarkan pengetahuan pada wahyu literal. Mulla Sadra
menolak dikotomi ini dan mengajukan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diraih melalui
keterpaduan ketiganya, dengan eksistensi sebagai fondasi epistemik utama2.
Dalam sistem
epistemologi Sadra, akal (‘aql) memiliki peran
penting dalam membangun argumen rasional dan menyusun struktur filosofis. Akal
digunakan untuk memahami realitas wujud secara sistematis, namun batas-batasnya
diakui, terutama dalam menjangkau hakikat-hakikat terdalam
realitas metafisis. Dalam kondisi ini, irfan (gnosis) hadir sebagai
perluasan epistemik, yakni pengalaman intuitif langsung
terhadap kebenaran, yang tidak dapat diraih hanya melalui diskursus logis3.
Adapun wahyu
(naql), bagi Sadra, bukanlah oposisi terhadap filsafat dan
irfan, melainkan puncak dari sumber pengetahuan,
yang memberikan arah dan validasi terhadap pemahaman akal dan pengalaman
spiritual. Wahyu adalah cahaya ilahi yang membimbing
manusia dalam proses epistemik dan eksistensialnya. Sadra membaca ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis tidak secara literal semata, tetapi melalui pendekatan
tafsir filosofis dan ontologis yang mendalam, sebagaimana tampak dalam karya-karyanya
seperti Tafsīr
al-Qur’ān al-Karīm dan Sharḥ Uṣūl al-Kāfī4.
Integrasi ini
menjadi mungkin karena Mulla Sadra memandang bahwa ketiganya—wahyu, akal, dan
irfan—berasal
dari sumber yang sama, yaitu Wujud Mutlak (Tuhan). Maka,
tidak ada pertentangan esensial di antara ketiganya. Ketika tampak ada
pertentangan, hal itu lebih disebabkan oleh keterbatasan persepsi manusia dalam
membaca simbolisme wahyu atau kekeliruan akal dalam menyusun argumen. Dalam al-Asfār
al-Arba‘ah, Sadra menyusun tahapan perjalanan intelektual-spiritual
manusia yang mencakup dimensi rasional, spiritual, dan kenabian sebagai bagian
dari perjalanan
eksistensial menuju kesempurnaan5.
Sadra juga
menegaskan bahwa kenabian adalah puncak dari sintesis epistemik
ini. Seorang nabi bukan hanya menerima wahyu secara pasif,
tetapi juga mencapainya melalui kesempurnaan eksistensial yang
memungkinkan penyatuan total antara akal, intuisi, dan iluminasi. Dalam
kerangka ini, kenabian dan filsafat tidak bertentangan,
melainkan bertemu pada puncak spiritualitas dan kebenaran ontologis6.
Dengan demikian,
integrasi antara wahyu, akal, dan irfan dalam pemikiran Mulla Sadra bukanlah
kompromi antara tiga pendekatan, melainkan sebuah kesatuan
epistemologis yang saling melengkapi dan saling menuntun, dengan
eksistensi sebagai titik temu dan orientasi akhirnya adalah Tuhan (al-Ḥaqq).
Pendekatan ini menjadikan filsafat Sadra sebagai sistem yang tidak hanya
bersifat rasional dan metafisik, tetapi juga eksistensial dan spiritual,
mencerminkan ḥikmah muta‘āliyyah sebagai jalan
menuju realitas mutlak secara menyeluruh.
Footnotes
[1]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 93–96.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 121–124.
[3]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 201–203.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on
Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 88–91.
[5]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Burlington, VT: Ashgate, 2006), 70–72.
[6]
S. H. Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism,
Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 153–154.
9.
Warisan
Intelektual dan Pengaruhnya
Pemikiran Mulla
Sadra (w. 1640 M) telah menorehkan pengaruh yang mendalam dan berkelanjutan
dalam sejarah intelektual Islam, khususnya dalam tradisi filsafat
Islam pasca-klasik, teologi, tasawuf,
dan bahkan pendidikan Islam kontemporer,
terutama di wilayah dunia Islam berbahasa Persia. Melalui sistem filsafat
transendentalnya (al-ḥikmah al-muta‘āliyyah), Sadra
tidak hanya menyempurnakan sintesis dari berbagai aliran pemikiran
sebelumnya—seperti peripatetisme, iluminasi, dan gnosis—tetapi juga meletakkan
dasar bagi metafisika Islam yang bersifat dinamis,
spiritual, dan multidimensional1.
Warisan intelektual
Sadra paling nyata terlihat dalam karya utamanya, al-Asfār al-Arba‘ah (Empat
Perjalanan Intelektual), yang menjadi kurikulum inti di banyak ḥawzah
ilmiyyah (pusat-pusat pendidikan keislaman tingkat tinggi) di
Qom, Isfahan, dan Mashhad sejak abad ke-18 hingga sekarang. Filsafat Sadra
bahkan dianggap sebagai puncak pencapaian filsafat Islam setelah Ibn Sina, dan
dijadikan sebagai referensi utama oleh para pemikir Syiah kontemporer, termasuk
Allāmah Ṭabāṭabā’ī,
Murtaḍā
Muṭahharī, dan Sayyid Ḥusayn Naṣr2.
Di tangan Allāmah Ṭabāṭabā’ī
(w. 1981), pemikiran Sadra dihidupkan kembali melalui pendekatan tafsir
filosofis dan pengembangan al-Asfār dalam bentuk pengajaran
dan penulisan kontemporer, termasuk karyanya Nihāyat al-Ḥikmah. Tabataba’i
memperkuat posisi Sadra sebagai pemikir yang mampu menjembatani antara filsafat
dan spiritualitas Qur’ani dalam menjawab tantangan zaman modern3.
Sementara itu, Murtaḍā Muṭahharī banyak memanfaatkan kerangka filsafat Sadra
untuk membangun etika Islam dan menjelaskan relasi antara akal dan syariah
dalam sistem hukum Islam kontemporer4.
Secara
internasional, pemikiran Mulla Sadra diperkenalkan ke dunia akademik Barat
terutama oleh Seyyed Hossein Nasr, yang
menempatkannya sebagai representasi puncak dari tradisi filsafat Islam yang
tetap berakar pada wahyu dan spiritualitas. Nasr menunjukkan bahwa pemikiran
Sadra sangat relevan dalam menjembatani krisis modernitas yang cenderung
terjebak pada rasionalisme kering dan materialisme semata. Dalam karyanya, Nasr
menegaskan bahwa filsafat Sadra adalah filsafat yang “menyembuhkan” karena
menawarkan jalan spiritual yang dibimbing oleh akal dan cahaya wahyu5.
Lebih jauh, Mulla
Sadra juga memberi pengaruh terhadap pengembangan studi filsafat Islam di kalangan
Sunni, terutama dalam konteks akademik modern yang lebih
terbuka terhadap warisan intelektual lintas mazhab. Studi-studi kontemporer
dalam filsafat Islam kini banyak merujuk pada Sadra sebagai titik temu antara
pemikiran metafisika dan tasawuf falsafi, yang menawarkan model integratif
antara filsafat, teologi, dan irfan6.
Selain pengaruh
substantif terhadap pemikiran dan pendidikan Islam, Sadra juga berperan dalam membentuk
paradigma baru dalam pendekatan tafsir, melalui hermeneutika
spiritual-filosofis yang mendalam. Ia tidak membaca al-Qur’an sekadar sebagai
teks hukum atau narasi sejarah, melainkan sebagai realitas
eksistensial yang terbuka untuk ditafsirkan melalui perjalanan
spiritual akal dan jiwa. Ini membuka cakrawala baru bagi tafsir
tematik ontologis yang kini dikembangkan dalam banyak kajian
tafsir filosofis modern7.
Keseluruhan warisan
intelektual Mulla Sadra menjadikannya sebagai mata rantai penting dalam sejarah peradaban
Islam, yang berhasil mempertemukan secara harmonis antara
tradisi intelektual dan spiritual Islam. Ia membuktikan bahwa filsafat dalam
Islam tidak hanya hidup, tetapi juga berkembang secara kreatif dan relevan
dalam setiap zaman, selama tetap berpijak pada prinsip-prinsip eksistensial dan
keilahian yang transenden.
Footnotes
[1]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 99–101.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 131–133.
[3]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 102–104.
[4]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Burlington, VT: Ashgate, 2006), 80–82.
[5]
S. H. Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNY Press,
1981), 112–115.
[6]
Mehdi Aminrazavi, “Islamic Philosophy and Occidental Phenomenology:
Mulla Sadra’s Ontology Reconsidered,” Islamic Studies 44, no. 1
(2005): 61–63.
[7]
William C. Chittick, “The Quranic Roots of Mulla Sadra’s Esoteric
Hermeneutics,” Islamic Studies 43, no. 2 (2004): 149–152.
10. Kesimpulan
Pemikiran Mulla
Sadra merupakan titik kulminasi dari perkembangan panjang filsafat Islam yang
melampaui batas-batas sektarian, metodologis, dan epistemologis. Melalui
filsafat transendentalnya (al-ḥikmah al-muta‘āliyyah), Sadra
berhasil menyusun sistem filsafat yang integratif antara rasionalitas
peripatetik, iluminasi Suhrawardian, dan mistisisme Ibn ‘Arabian, serta
menyinergikannya dengan ajaran Qur’ani dan prinsip-prinsip teologi Islam.
Sistem ini bukan sekadar sintesis, melainkan reformulasi total terhadap ontologi Islam
yang berpusat pada eksistensi (wujūd) sebagai realitas utama dan
dinamis1.
Doktrin asālat
al-wujūd (primasi eksistensi) telah menggeser paradigma esensialis
dalam metafisika klasik, dan membuka jalan bagi pemahaman realitas yang
bertingkat (tashkīk al-wujūd), bergerak (al-ḥarakah
al-jawhariyyah), serta teleologis. Dalam kerangka ini, seluruh
realitas dipahami sebagai spektrum eksistensial yang terus-menerus berkembang
menuju wujud mutlak. Hal ini tidak hanya menawarkan perspektif metafisik baru,
tetapi juga menyusun landasan spiritual dan etis
bagi manusia dalam perjalanan eksistensialnya2.
Filsafat jiwa Mulla
Sadra memperlihatkan dimensi transformasional dari eksistensi manusia. Jiwa
tidak lahir sebagai entitas spiritual sempurna, melainkan berkembang dari
bentuk material menuju kesempurnaan ruhani melalui gerak substansial. Proses
ini juga menjadi dasar bagi pemahaman Sadra terhadap eskatologi,
di mana kebangkitan bukan sekadar peristiwa fisikal, tetapi aktualisasi
eksistensial dari kualitas jiwa yang telah dibentuk selama
kehidupan dunia3.
Lebih jauh,
integrasi antara wahyu, akal, dan irfan dalam
sistem epistemologi Sadra menciptakan model pengetahuan yang komprehensif dan
spiritual. Ketiga sumber tersebut tidak dikotomikan, melainkan dipandang
sebagai saluran berbeda dari satu sumber kebenaran, yaitu Tuhan. Pandangan ini
memungkinkan filsafat untuk tidak hanya rasional dan argumentatif, tetapi juga
spiritual dan intuitif—sehingga menjadikan filsafat Sadra sebagai hikmah
dalam makna Qur’ani dan ilahiah4.
Pengaruh pemikiran
Sadra tidak berhenti pada masa hidupnya. Ia menjadi fondasi pemikiran filsafat
Islam di dunia Syiah, terutama dalam pendidikan ḥawzah di Iran, dan memengaruhi
banyak pemikir besar seperti Allāmah Ṭabāṭabā’ī dan Murtaḍā Muṭahharī. Bahkan
dalam diskursus akademik modern, pemikirannya diapresiasi sebagai alternatif
epistemologis dan ontologis terhadap krisis modernitas,
sekaligus sebagai representasi dari kekayaan warisan filsafat Islam yang masih
relevan hingga hari ini5.
Sebagai penutup,
dapat ditegaskan bahwa kontribusi Mulla Sadra bukan sekadar pada
tataran teoritis, tetapi pada dimensi eksistensial yang
menjadikan filsafat sebagai jalan untuk menjadi, bukan hanya untuk mengetahui.
Filsafat transendental Sadra merupakan upaya penyatuan antara berpikir dan menjadi,
antara logika dan spiritualitas, antara rasio dan wahyu—sebuah
visi filsafat Islam yang transformatif, holistik, dan abadi.
Footnotes
[1]
Sajjad H. Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics: Modulation of Being
(London: Routledge, 2009), 101–104.
[2]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: State
University of New York Press, 1975), 127–129.
[3]
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy
(Burlington, VT: Ashgate, 2006), 84–86.
[4]
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra
on Existence, Intellect, and Intuition (New York: Oxford University Press,
2010), 106–108.
[5]
S. H. Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (Chicago:
World Wisdom, 2006), 90–92.
Daftar Pustaka
Aminrazavi, M. (2004). The notion of existence in
the philosophy of Mulla Sadra. The Muslim World, 94(1), 63–80.
Aminrazavi, M. (2005). Islamic philosophy and
occidental phenomenology: Mulla Sadra’s ontology reconsidered. Islamic
Studies, 44(1), 53–71.
Aminrazavi, M. (2003). Mulla Sadra’s theory of the
soul and its eschatological implications. Islamic Studies, 42(2),
183–202.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-‘Arabi’s cosmology. Albany, NY: State University
of New York Press.
Chittick, W. C. (2003). The elixir of the
gnostics. Provo, UT: Brigham Young University Press.
Chittick, W. C. (2004). The Quranic roots of Mulla
Sadra’s esoteric hermeneutics. Islamic Studies, 43(2), 137–156.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of
epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. Albany, NY:
State University of New York Press.
Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic
philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. New York,
NY: Oxford University Press.
Kamal, M. (2006). Mulla Sadra’s transcendent
philosophy. Burlington, VT: Ashgate.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim sages:
Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought.
Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic science: An illustrated
study. Chicago, IL: World Wisdom.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York, NY:
HarperOne.
Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra.
Albany, NY: State University of New York Press.
Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and
metaphysics: Modulation of being. London, UK: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar