Selasa, 14 Oktober 2025

Ethics of Rights (Etika Hak): Fondasi Moral dan Rasionalitas Hak dalam Filsafat dan Kehidupan Sosial Kontemporer

Ethics of Rights (Etika Hak)

Fondasi Moral dan Rasionalitas Hak dalam Filsafat dan Kehidupan Sosial Kontemporer


Alihkan ke: Filsafat Moral.

Moral Rights, Legal Rights, Human Rights.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Ethics of Rights (Etika Hak) sebagai fondasi moral, filosofis, dan sosial bagi pemahaman tentang hak manusia dalam konteks historis dan kontemporer. Kajian ini menelusuri perkembangan genealogi hak dari gagasan natural right dalam filsafat klasik menuju human rights modern yang menekankan martabat dan kebebasan individu. Secara metodologis, artikel ini menggunakan pendekatan filsafat normatif dan analitis dengan meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan normatif dari hak sebagai prinsip moral universal.

Pembahasan menunjukkan bahwa etika hak berakar pada rasionalitas manusia, kewajiban moral, dan penghormatan terhadap martabat individu, sebagaimana dikembangkan dalam teori deontologis, utilitarian, kontraktualis, komunitarian, dan feminis. Dalam konteks sosial-politik, hak berfungsi sebagai prinsip keadilan dan legitimasi kekuasaan, sedangkan dalam konteks kontemporer, etika hak berkembang untuk menanggapi isu-isu global seperti privasi digital, bioetika, hak lingkungan, dan keadilan antar-generasi.

Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap konsep hak—termasuk relativisme budaya, Marxisme, postmodernisme, dan feminisme—yang menantang asumsi universalisme moral. Sebagai respons, penulis menawarkan sintesis filosofis antara otonomi, keadilan, dan solidaritas, yang dikembangkan dalam kerangka etika global berbasis dialog interkultural dan rasionalitas komunikatif. Dengan demikian, ethics of rights dipahami bukan hanya sebagai teori moral abstrak, tetapi sebagai praxis kemanusiaan global yang menegaskan tanggung jawab moral universal untuk mewujudkan dunia yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.

Kata Kunci: Etika hak; filsafat moral; keadilan; hak asasi manusia; rasionalitas komunikatif; otonomi; solidaritas; etika global; teknologi; kosmopolitanisme.


PEMBAHASAN

Gagasan Etika Hak dalam Kerangka Keadilan Global dan Kosmopolitanisme


1.           Pendahuluan

Konsep ethics of rights atau etika hak merupakan salah satu fondasi paling penting dalam filsafat moral dan politik modern. Ia berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang mengapa manusia memiliki hak dan bagaimana hak tersebut dapat dibenarkan secara moral. Dalam konteks sejarah pemikiran Barat, ide tentang hak muncul dari keyakinan bahwa setiap individu memiliki martabat dan nilai yang melekat sebagai makhluk rasional dan otonom, yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, termasuk negara atau masyarakat.¹ Pandangan ini menandai pergeseran besar dari etika klasik yang berpusat pada kebajikan (virtue ethics) menuju paradigma moral yang menekankan kewajiban dan hak sebagai dasar normatif tindakan manusia.²

Secara konseptual, etika hak tidak dapat dipisahkan dari dua bidang utama filsafat moral: deontologi dan liberalisme moral. Dalam tradisi deontologis, khususnya pada pemikiran Immanuel Kant, hak manusia didasarkan pada rasionalitas dan prinsip penghormatan terhadap martabat manusia.³ Setiap individu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar sarana bagi kepentingan orang lain.⁴ Sementara dalam tradisi liberalisme, seperti yang dikemukakan oleh John Locke, hak muncul dari law of nature yang menjamin kebebasan, kehidupan, dan kepemilikan sebagai bagian dari hak alamiah manusia.⁵ Pandangan inilah yang kemudian menjadi landasan bagi teori kontrak sosial dan pembentukan hak-hak sipil modern.⁶

Dalam perkembangan selanjutnya, etika hak tidak hanya menjadi wacana filsafat normatif, tetapi juga menjadi dasar moral bagi tatanan sosial dan hukum internasional. Setelah Perang Dunia II, lahirlah Universal Declaration of Human Rights (1948) yang menegaskan prinsip universal mengenai kesetaraan dan kebebasan setiap manusia.⁷ Namun demikian, muncul pula perdebatan baru: apakah hak bersifat universal dan objektif, ataukah merupakan produk budaya dan politik tertentu?⁸ Pertanyaan ini membuka ruang refleksi kritis terhadap etika hak dalam konteks pluralisme, globalisasi, dan tantangan teknologi kontemporer seperti privasi digital dan bioetika.⁹

Kajian ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis dasar moral, rasional, dan sosial dari konsep hak, serta menjelaskan hubungan antara hak, kebebasan, dan tanggung jawab moral manusia. Pendekatan yang digunakan bersifat filsafati-analitis dengan menelaah dimensi ontologis (hakikat hak), epistemologis (cara kita memahami dan membenarkan hak), serta normatif (bagaimana hak menjadi pedoman tindakan etis). Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan wacana etika hak sebagai fondasi moral yang dinamis dan relevan dalam kehidupan sosial kontemporer.¹⁰


Footnotes

[1]                Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 4–6.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 50–52.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42.

[4]                Ibid., 46.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287.

[6]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (London: Penguin Classics, 2004), 12–15.

[7]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: United Nations, 1948), preamble.

[8]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 10–12.

[9]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–30.

[10]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 97–102.


2.           Landasan Konseptual: Pengertian dan Ruang Lingkup Etika Hak

Etika hak (ethics of rights) merupakan cabang dari filsafat moral yang memusatkan perhatian pada dasar normatif hak-hak manusia serta hubungan antara hak, kewajiban, dan keadilan.¹ Dalam pengertian umum, hak (rights) adalah klaim moral atau hukum yang dimiliki individu terhadap orang lain atau lembaga sosial, yang menuntut pengakuan dan perlindungan terhadap nilai-nilai tertentu seperti kebebasan, martabat, atau kesejahteraan.² Sedangkan etika (ethics) merupakan refleksi rasional atas prinsip-prinsip moral yang mengatur tindakan manusia dan menentukan apa yang dianggap benar atau salah.³ Dengan demikian, etika hak menggabungkan dua dimensi: (1) legitimasi moral dari klaim atas hak, dan (2) tanggung jawab moral dalam menggunakan hak tersebut.

Secara terminologis, konsep hak dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: hak moral (moral rights), hak hukum (legal rights), dan hak asasi manusia (human rights).⁴ Hak moral bersumber dari nilai-nilai etis yang melekat pada kodrat manusia, misalnya hak untuk dihormati atau hak untuk hidup bermartabat, tanpa harus bergantung pada pengakuan hukum positif.⁵ Sementara hak hukum muncul dari sistem norma yang ditetapkan secara institusional melalui perundang-undangan dan memiliki kekuatan yuridis.⁶ Adapun hak asasi manusia berfungsi sebagai jembatan antara keduanya—ia berakar pada moralitas universal, tetapi juga diartikulasikan dalam bentuk hukum internasional untuk menjamin perlindungan hak setiap individu.⁷

Dalam kerangka filsafat, terdapat dua pendekatan utama dalam memahami hak, yakni pendekatan naturalistik dan pendekatan konstruktivistik. Pendekatan naturalistik, yang berakar pada pemikiran Locke dan Grotius, menganggap hak sebagai bagian dari hukum alam (natural law) yang melekat pada manusia sejak lahir.⁸ Sebaliknya, pendekatan konstruktivistik—seperti yang dikembangkan oleh Kant dan Habermas—memahami hak sebagai hasil rasionalisasi dan kesepakatan intersubjektif yang muncul dari proses komunikasi moral dalam masyarakat.⁹ Dengan demikian, hak tidak semata-mata sesuatu yang “ditemukan” dalam alam moral, tetapi juga “dibentuk” melalui praktik diskursif dan rasionalitas komunikatif.¹⁰

Ruang lingkup etika hak meliputi beberapa dimensi penting. Pertama, dimensi individual, yang menekankan hak sebagai ekspresi kebebasan dan otonomi personal.¹¹ Kedua, dimensi sosial, yang memandang hak selalu berada dalam jaringan relasi timbal balik dan tanggung jawab terhadap orang lain.¹² Ketiga, dimensi institusional, yang berkaitan dengan bagaimana lembaga hukum dan politik menjamin serta menyeimbangkan hak individu dengan kepentingan kolektif.¹³ Dalam konteks ini, hak tidak dapat dipahami secara atomistik atau terpisah dari komunitas sosialnya, melainkan harus dikaitkan dengan prinsip keadilan distributif dan solidaritas manusia.¹⁴

Selain itu, etika hak juga menuntut adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban moral. Menurut John Rawls, sistem sosial yang adil adalah yang mengatur distribusi hak dan kebebasan dasar sedemikian rupa sehingga setiap orang memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati hak-hak tersebut tanpa merugikan pihak lain.¹⁵ Dengan kata lain, hak yang sah selalu disertai dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain.¹⁶ Maka, etika hak bukan hanya teori normatif tentang klaim individu, tetapi juga refleksi moral tentang bagaimana manusia hidup bersama secara adil dalam tatanan sosial.¹⁷

Dengan pemahaman konseptual ini, etika hak dapat dipandang sebagai fondasi moral bagi keadilan, hukum, dan kebebasan manusia. Ia berfungsi untuk menjembatani dimensi moral dan politik dalam kehidupan sosial, memastikan bahwa tindakan manusia tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga benar secara etis.¹⁸


Footnotes

[1]                Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 12–13.

[2]                Wesley Newcomb Hohfeld, Fundamental Legal Conceptions as Applied in Judicial Reasoning (New Haven: Yale University Press, 1919), 37–39.

[3]                James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 5.

[4]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019), 108–110.

[5]                Alan Gewirth, Reason and Morality (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 45–47.

[6]                H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Jurisprudence and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 183–185.

[7]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 18–22.

[8]                John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 270–273.

[9]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 63–66.

[10]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–110.

[11]             Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 33–34.

[12]             Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 187–210.

[13]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–55.

[14]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–15.

[15]             Rawls, A Theory of Justice, 60–65.

[16]             Beitz, The Idea of Human Rights, 85–87.

[17]             Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 191–193.

[18]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 31–33.


3.           Dimensi Historis dan Genealogi Pemikiran Etika Hak

Perkembangan konsep etika hak tidak dapat dilepaskan dari dinamika panjang sejarah filsafat moral dan politik Barat. Genealogi pemikirannya menunjukkan evolusi dari gagasan natural right (hak kodrati) menuju human rights (hak asasi manusia) dalam pengertian modern.¹ Proses historis ini mencerminkan perubahan cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri—dari makhluk yang terikat pada tatanan kosmis menuju subjek moral yang otonom dan rasional.²

3.1.       Akar Klasik: Dari Kosmos ke Kodrat Manusia

Dalam filsafat Yunani Klasik, konsep hak belum dikenal secara eksplisit, namun gagasan tentang keadilan dan kewajaran moral menjadi dasar bagi pemahaman awal tentang hak. Bagi Aristoteles, keadilan adalah kebajikan tertinggi dalam kehidupan polis, dan hak seseorang terkait dengan perannya dalam komunitas.³ Pandangan ini bersifat teleologis: hak dan kewajiban ditentukan oleh tujuan moral yang inheren dalam tatanan kosmos dan kodrat manusia.⁴ Sementara kaum Stoik, seperti Cicero, mulai memperkenalkan gagasan lex naturalis (hukum alam) yang berlaku universal bagi seluruh umat manusia.⁵ Pemikiran Stoik ini menjadi jembatan penting antara filsafat Yunani dan teologi Kristen awal dalam memahami hak sebagai aspek moral yang bersifat universal.⁶

3.2.       Tradisi Abad Pertengahan: Teologi dan Hak Alamiah

Pada Abad Pertengahan, refleksi tentang hak memperoleh dimensi teologis. Thomas Aquinas mengembangkan konsep lex naturalis sebagai bagian dari hukum ilahi (lex divina), yang menunjukkan bahwa hak moral manusia bersumber dari rasio dan kehendak Tuhan.⁷ Dalam pandangan Aquinas, manusia memiliki hak karena ia diciptakan menurut gambar Allah dan dianugerahi akal budi untuk membedakan yang baik dan buruk.⁸ Meskipun hak belum didefinisikan secara individualistik, kerangka teologis ini menegaskan fondasi moral yang bersifat objektif bagi hak manusia.⁹

3.3.       Era Modern: Rasionalitas, Individualisme, dan Kontrak Sosial

Perubahan radikal terjadi pada abad ke-17 dan 18, ketika para pemikir seperti Grotius, Hobbes, Locke, dan Rousseau memisahkan hukum alam dari teologi dan menempatkannya dalam kerangka rasionalitas manusia.¹⁰ Hugo Grotius sering disebut sebagai bapak modern natural law, karena ia menegaskan bahwa hukum alam akan tetap berlaku bahkan jika Tuhan tidak ada—suatu pernyataan yang menandai sekularisasi moralitas.¹¹ Thomas Hobbes kemudian menafsirkan hak secara individualistik sebagai kebebasan setiap orang untuk mempertahankan diri, yang kemudian dibatasi melalui kontrak sosial demi ketertiban bersama.¹² John Locke melanjutkan tradisi ini dengan menegaskan hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan sebagai hak alamiah yang tidak dapat dicabut oleh negara.¹³ Pemikiran Locke menjadi dasar ide-ide liberalisme dan deklarasi politik modern seperti Declaration of Independence (1776) dan Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789).¹⁴

Sementara itu, Jean-Jacques Rousseau memberikan nuansa moral yang lebih kolektif melalui konsep volonté générale (kehendak umum).¹⁵ Hak individu, menurutnya, hanya dapat direalisasikan dalam kerangka sosial yang menjamin kebebasan bersama.¹⁶ Pandangan Rousseau ini memperluas horizon etika hak dari sekadar kebebasan personal menuju tanggung jawab sosial, menjadi salah satu akar etis bagi pemikiran demokrasi modern.¹⁷

3.4.       Abad Pencerahan dan Rasionalisasi Moral

Immanuel Kant membawa refleksi etika hak ke tingkat yang lebih mendalam dengan menegaskan prinsip otonomi moral manusia.¹⁸ Bagi Kant, hak tidak sekadar klaim sosial, melainkan turunan dari kewajiban moral rasional yang bersifat apriori.¹⁹ Prinsip kategorisnya—bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan alat—menjadi landasan deontologis bagi seluruh sistem etika hak modern.²⁰ Pandangan ini menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak orang lain bukanlah hasil utilitas, tetapi kewajiban moral universal.²¹

3.5.       Perkembangan Modern dan Kritik Kontemporer

Memasuki abad ke-20, etika hak semakin terinstitusionalisasi dalam hukum internasional, terutama melalui Universal Declaration of Human Rights (1948), yang merefleksikan sintesis antara moralitas Kantian dan liberalisme politik.²² Namun, berbagai kritik muncul terhadap universalisme hak. Pemikir seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida menunjukkan bahwa konsep hak sering kali bersifat euro-sentris dan menyembunyikan relasi kekuasaan dalam wacana modernitas.²³ Pandangan ini menantang asumsi bahwa hak bersifat netral atau universal, dan membuka ruang bagi pendekatan postkolonial serta relativisme budaya dalam filsafat hak.²⁴

Dengan demikian, secara historis, etika hak merupakan hasil dialektika panjang antara rasionalitas, moralitas, dan kekuasaan. Ia tidak hanya berkembang dari ide-ide moral abstrak, tetapi juga dari pergulatan historis manusia dalam memperjuangkan martabat dan kebebasannya.²⁵ Genealogi ini memperlihatkan bahwa pemikiran tentang hak selalu bersifat terbuka terhadap koreksi dan reinterpretasi sesuai dinamika sosial, politik, dan budaya setiap zaman.²⁶


Footnotes

[1]                Richard Tuck, Natural Rights Theories: Their Origin and Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 3–6.

[2]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 112–114.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1129b–1130a.

[4]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 320–322.

[5]                Cicero, De Legibus, trans. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), II.8–10.

[6]                A. A. Long and D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57–59.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 91, a. 2.

[8]                Ibid., I-II, q. 94, a. 2.

[9]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 35–38.

[10]             Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 148–152.

[11]             Hugo Grotius, On the Law of War and Peace, trans. Francis W. Kelsey (Oxford: Clarendon Press, 1925), Prolegomena, §11.

[12]             Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin Classics, 1985), 183–187.

[13]             John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 270–274.

[14]             Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W. W. Norton, 2007), 108–111.

[15]             Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (London: Penguin Classics, 2004), 23–26.

[16]             Ibid., 30–33.

[17]             Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–48.

[18]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–44.

[19]             Ibid., 48.

[20]             Ibid., 52–53.

[21]             Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133–135.

[22]             United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: United Nations, 1948), preamble.

[23]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 25–26.

[24]             Jacques Derrida, On Cosmopolitanism and Forgiveness (London: Routledge, 2001), 14–16.

[25]             Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 7–9.

[26]             Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory, ed. Ciaran Cronin and Pablo De Greiff (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 139–142.


4.           Dasar Ontologis dan Epistemologis Hak

Pembahasan tentang etika hak tidak dapat dilepaskan dari dua dimensi fundamental filsafat, yaitu ontologi dan epistemologi. Dimensi ontologis berhubungan dengan hakikat atau keberadaan hak itu sendiri, sedangkan dimensi epistemologis berkaitan dengan bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan membenarkan klaim atas hak.¹ Dengan menelaah dua dimensi ini, dapat dijelaskan bahwa hak bukan sekadar produk hukum atau konstruksi sosial, melainkan berakar pada dasar moral dan rasionalitas manusia sebagai makhluk etis dan otonom.²

4.1.       Ontologi Hak: Antara Realisme Moral dan Konstruktivisme Sosial

Secara ontologis, perdebatan utama dalam filsafat hak berkisar pada pertanyaan: apakah hak memiliki keberadaan objektif yang melekat pada manusia, ataukah ia hanya hasil kesepakatan sosial dan politik?³ Kaum realis moral berpendapat bahwa hak bersifat ontologis dan objektif, karena bersumber dari kodrat manusia (human nature) sebagai makhluk rasional dan bermartabat.⁴ Dalam pandangan ini, seperti yang ditegaskan oleh Alan Gewirth, hak melekat pada manusia karena kapasitasnya untuk bertindak secara rasional demi tujuan yang baik bagi dirinya dan orang lain.⁵ Hak, dengan demikian, merupakan konsekuensi logis dari eksistensi moral manusia.

Sementara itu, pendekatan konstruktivis menolak gagasan bahwa hak memiliki status ontologis yang tetap.⁶ Bagi pemikir seperti John Rawls dan Jürgen Habermas, hak adalah hasil dari rasionalitas prosedural dan kesepakatan intersubjektif yang dicapai dalam masyarakat demokratis.⁷ Dalam konteks ini, keberadaan hak tidak dipandang sebagai fakta metafisik, melainkan sebagai produk praktik sosial yang rasional dan dapat dibenarkan secara komunikatif.⁸ Habermas menegaskan bahwa legitimasi hak bergantung pada kesepakatan normatif yang dicapai melalui diskursus bebas dan inklusif, bukan pada esensi metafisik manusia.⁹

Kedua pendekatan tersebut memberikan wawasan berbeda mengenai ontologi hak. Realisme moral menekankan keberadaan hak yang melekat dan bersifat universal, sedangkan konstruktivisme menyoroti konteks sosial dan intersubjektif sebagai landasan eksistensinya. Dalam konteks etika kontemporer, banyak filsuf berupaya mengintegrasikan keduanya melalui pendekatan realisme intersubjektif, yang memandang hak sebagai entitas moral yang nyata, namun eksistensinya dimediasi oleh kesepakatan sosial yang rasional.¹⁰

4.2.       Epistemologi Hak: Pengetahuan, Justifikasi, dan Rasionalitas Moral

Dari sisi epistemologis, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana manusia mengetahui bahwa ia memiliki hak, dan bagaimana klaim atas hak dapat dibenarkan secara rasional? Epistemologi hak berakar pada dua tradisi besar: rasionalisme moral dan empirisisme sosial.

Dalam tradisi rasionalisme moral, seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, pengetahuan tentang hak bersumber dari rasio praktis manusia.¹¹ Hak dipahami sebagai hasil dari prinsip moral apriori yang bersifat universal—yakni, kewajiban untuk memperlakukan setiap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.¹² Rasio praktis tidak hanya mengenali hak, tetapi juga membenarkan keberadaannya melalui hukum moral yang bersifat niscaya.¹³ Dengan demikian, dalam kerangka Kantian, hak memiliki validitas epistemik karena didasarkan pada struktur rasionalitas moral manusia.¹⁴

Sebaliknya, empirisisme sosial berargumen bahwa pengetahuan tentang hak muncul dari pengalaman historis dan relasi sosial manusia.¹⁵ Menurut Michel Villey dan Alasdair MacIntyre, pemahaman manusia tentang hak berkembang melalui praktik sosial dan institusi hukum yang merefleksikan nilai-nilai tertentu dalam suatu budaya.¹⁶ Hak, dalam pandangan ini, bukan sesuatu yang ditemukan secara apriori, tetapi dibentuk dan dimaknai secara kontekstual dalam kehidupan bersama.¹⁷

John Rawls mencoba mensintesiskan kedua tradisi ini melalui konsep “reflective equilibrium”, yakni proses dialektis antara prinsip moral universal dan pengalaman sosial konkret.¹⁸ Dalam kerangka ini, pengetahuan tentang hak tidak bersifat absolut, melainkan diperoleh melalui refleksi rasional yang terus-menerus antara intuisi moral dan norma sosial.¹⁹ Pendekatan Rawls membuka jalan bagi pemahaman epistemologis yang dinamis dan terbuka terhadap revisi, sejalan dengan prinsip rasionalitas komunikatif Habermas.²⁰

4.3.       Hak sebagai Relasi Moral dan Pengetahuan Interaktif

Dalam sintesis antara ontologi dan epistemologi hak, sejumlah filsuf kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Charles Beitz menekankan bahwa hak harus dipahami sebagai relasi moral interaktif antarindividu dalam konteks sosial global.²¹ Hak tidak hanya dimiliki, tetapi juga diakui dan ditegakkan melalui proses komunikasi etis.²² Maka, eksistensi hak tidak dapat dilepaskan dari kesadaran moral bersama yang memungkinkan pengakuan timbal balik antarindividu.²³

Secara ontologis, hak merupakan ekspresi dari martabat manusia yang menuntut penghormatan universal. Secara epistemologis, hak diketahui, dipahami, dan dibenarkan melalui dialog rasional yang menumbuhkan kesadaran moral kolektif.²⁴ Dengan demikian, etika hak menegaskan bahwa pengetahuan tentang hak bukan hanya persoalan logika normatif, tetapi juga refleksi etis yang berakar pada pengalaman manusia sebagai makhluk moral yang hidup dalam jaringan sosial.²⁵


Footnotes

[1]                James Griffin, On Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2008), 23–25.

[2]                Alan Gewirth, Reason and Morality (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 56–58.

[3]                Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 45–47.

[4]                Finnis, John, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 33–36.

[5]                Gewirth, Reason and Morality, 88–90.

[6]                Christine M. Korsgaard, The Sources of Normativity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 132–134.

[7]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 11–15.

[8]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 108–110.

[9]                Ibid., 120–123.

[10]             Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 195–198.

[11]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–40.

[12]             Ibid., 52.

[13]             Ibid., 60.

[14]             Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 87–89.

[15]             Michel Villey, Le droit et les droits de l’homme (Paris: Presses Universitaires de France, 1983), 14–16.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 67–69.

[17]             Ibid., 72.

[18]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 48–51.

[19]             Ibid., 52–54.

[20]             Habermas, Between Facts and Norms, 122–125.

[21]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 28–30.

[22]             Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 90–93.

[23]             Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 102–104.

[24]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 109–111.

[25]             Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory, ed. Ciaran Cronin and Pablo De Greiff (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 138–140.


5.           Teori-teori Normatif dalam Etika Hak

Kajian etika hak tidak dapat dilepaskan dari perdebatan filosofis mengenai teori-teori normatif yang menjadi dasar penilaian moral terhadap tindakan manusia dan struktur sosial. Teori-teori ini berupaya menjelaskan mengapa manusia memiliki hak, bagaimana hak-hak itu dibenarkan secara moral, serta bagaimana konflik antara hak individu dan kepentingan kolektif dapat diatasi.¹ Terdapat beberapa kerangka normatif utama yang membentuk dasar konseptual etika hak, yaitu: teori deontologis, utilitarian, kontraktualis, serta kritik-kritik komunitarian dan feminis terhadap paradigma liberal.

5.1.       Pendekatan Deontologis: Hak sebagai Kewajiban Moral Universal

Teori deontologis, yang paling kuat diwakili oleh pemikiran Immanuel Kant, menempatkan hak sebagai turunan langsung dari kewajiban moral.² Dalam kerangka ini, moralitas tidak ditentukan oleh konsekuensi suatu tindakan, melainkan oleh niat dan prinsip yang mendasarinya. Hak lahir dari hukum moral apriori, yang bersifat universal dan rasional, sebagaimana dirumuskan dalam imperatif kategoris: bertindaklah sedemikian rupa sehingga manusia diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat.³

Dengan demikian, bagi Kant, penghormatan terhadap hak orang lain merupakan kewajiban moral yang tak bersyarat.⁴ Hak memiliki legitimasi bukan karena hasil perjanjian sosial atau manfaat sosialnya, tetapi karena ia berasal dari rasionalitas moral manusia.⁵ Dalam tradisi deontologis, hak memiliki nilai intrinsik, bukan instrumental, sehingga pelanggaran terhadap hak dianggap sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia itu sendiri.⁶ Teori ini menjadi dasar bagi pemikiran human rights modern, di mana hak dipahami sebagai norma moral yang tidak dapat diganggu gugat.⁷

5.2.       Pendekatan Utilitarian: Hak sebagai Instrumen Kebahagiaan Kolektif

Berbeda dengan pendekatan deontologis, teori utilitarian memandang hak secara konsekuensialis, yakni dinilai berdasarkan hasil atau manfaat yang dihasilkan.⁸ Dalam pandangan Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, hak tidak memiliki status moral yang independen; ia hanya sah sejauh mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.⁹ Bentham bahkan secara provokatif menyebut hak-hak alamiah sebagai “nonsense upon stilts”, karena dianggap tidak memiliki dasar rasional yang terukur.¹⁰

Namun, Mill berupaya memberikan pembenaran moral terhadap hak melalui prinsip kebebasan.¹¹ Menurutnya, hak individu penting karena secara instrumental melindungi kondisi yang memungkinkan manusia mengejar kebahagiaan secara otonom.¹² Dengan demikian, hak tetap bernilai dalam kerangka utilitarian sejauh mendukung kesejahteraan kolektif.¹³ Pendekatan ini banyak diadopsi dalam analisis kebijakan publik dan ekonomi moral, di mana hak dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara kebebasan dan kemaslahatan sosial.¹⁴

5.3.       Pendekatan Kontraktualis: Hak sebagai Hasil Kesepakatan Rasional

Teori kontraktualis melihat hak sebagai produk perjanjian sosial rasional di antara individu yang bebas dan setara.¹⁵ Akar pemikirannya dapat ditelusuri dari Thomas Hobbes dan John Locke hingga John Rawls.¹⁶ Bagi Hobbes, hak alamiah manusia bersifat absolut sebelum pembentukan negara; namun untuk menghindari kekacauan, manusia menyerahkan sebagian haknya kepada penguasa melalui kontrak sosial.¹⁷ Sebaliknya, Locke menekankan bahwa kontrak sosial justru dibuat untuk melindungi hak alamiah, bukan meniadakannya.¹⁸

Dalam teori kontemporer, John Rawls mengembangkan gagasan ini melalui konsep justice as fairness.¹⁹ Menurutnya, hak-hak dasar harus ditentukan berdasarkan prinsip keadilan yang disepakati di balik veil of ignorance, yaitu kondisi imajiner di mana individu tidak mengetahui posisi sosial atau keberuntungan mereka di masyarakat.²⁰ Prinsip pertama Rawls menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, sejauh kebebasan itu kompatibel dengan kebebasan orang lain.²¹ Dengan demikian, hak memperoleh legitimasi moral bukan karena kehendak Tuhan atau kodrat alamiah, melainkan karena dapat dibenarkan melalui proses rasional dan adil.²²

5.4.       Kritik Komunitarian dan Feminis: Hak dalam Konteks Relasional

Meskipun teori liberal klasik menekankan hak individu, pendekatan komunitarian dan feminis mengajukan kritik terhadap individualisme ekstrem dalam etika hak.²³ Kaum komunitarian seperti Michael Sandel dan Charles Taylor berargumen bahwa hak tidak dapat dilepaskan dari identitas dan ikatan sosial tempat individu berada.²⁴ Hak bukanlah klaim atomistik yang berdiri sendiri, melainkan ekspresi nilai dan tanggung jawab yang terbentuk dalam kehidupan komunitas.²⁵ Oleh karena itu, keadilan dan hak harus dipahami dalam konteks relasi sosial yang konkret, bukan sekadar melalui prosedur abstrak.²⁶

Dalam perspektif feminis, seperti yang dikemukakan oleh Carol Gilligan dan Martha Nussbaum, teori hak tradisional sering mengabaikan dimensi empati, perawatan, dan ketergantungan manusia.²⁷ Etika hak perlu dilengkapi dengan ethics of care, yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal dan tanggung jawab emosional dalam kehidupan moral.²⁸ Kritik feminis ini memperluas horizon etika hak dari sekadar rasionalitas formal menuju moralitas yang lebih kontekstual, relasional, dan manusiawi.²⁹

5.5.       Teori Diskursus: Rasionalitas Komunikatif dan Legitimasi Hak

Sebagai respon terhadap perdebatan di atas, Jürgen Habermas menawarkan teori diskursus moral, yang berupaya mensintesiskan aspek normatif dan prosedural dalam etika hak.³⁰ Menurutnya, legitimasi hak tidak bergantung pada substansi metafisik atau utilitas sosial, tetapi pada proses komunikasi yang rasional dan inklusif.³¹ Hak memperoleh validitas moral ketika ia dapat diterima secara universal melalui dialog bebas dari dominasi.³² Dengan demikian, hak bukan hanya instrumen hukum, tetapi juga hasil interaksi etis yang terus dikoreksi melalui rasionalitas komunikatif.³³


Sintesis Normatif

Dari berbagai teori tersebut, tampak bahwa etika hak memiliki dimensi ganda: normatif-universal dan prosedural-relasional. Hak dapat dilihat sebagai prinsip moral yang melekat pada martabat manusia (deontologis), sekaligus sebagai hasil refleksi sosial yang rasional (kontraktualis dan diskursus).³⁴ Oleh karena itu, pengembangan etika hak modern perlu mengintegrasikan nilai-nilai otonomi, keadilan, kebahagiaan, dan solidaritas dalam satu kerangka moral yang dinamis dan terbuka.³⁵


Footnotes

[1]                Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 17–19.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 38–40.

[3]                Ibid., 52.

[4]                Ibid., 60.

[5]                Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 88–89.

[6]                Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 130–132.

[7]                Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 21–23.

[8]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 1–3.

[9]                John Stuart Mill, Utilitarianism (Indianapolis: Hackett Publishing, 1979), 14–16.

[10]             Bentham, Anarchical Fallacies in Works of Jeremy Bentham, vol. 2, ed. John Bowring (Edinburgh: William Tait, 1843), 501.

[11]             Mill, On Liberty (London: Penguin Classics, 1985), 67–70.

[12]             Ibid., 72–75.

[13]             R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method, and Point (Oxford: Clarendon Press, 1981), 112–114.

[14]             Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 15–17.

[15]             Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin Classics, 1985), 183–185.

[16]             John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 268–272.

[17]             Hobbes, Leviathan, 188–190.

[18]             Locke, Two Treatises, 274–278.

[19]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 11–13.

[20]             Ibid., 118–121.

[21]             Ibid., 53.

[22]             Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 19–21.

[23]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12–14.

[24]             Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 187–189.

[25]             Ibid., 193–195.

[26]             Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 16–18.

[27]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 32–34.

[28]             Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2013), 75–77.

[29]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 45–47.

[30]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 108–110.

[31]             Ibid., 120–123.

[32]             Ibid., 127–129.

[33]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 66–68.

[34]             Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 9–12.

[35]             James Griffin, On Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2008), 204–206.


6.           Etika Hak dalam Konteks Sosial dan Politik

Etika hak tidak hanya beroperasi dalam ruang moral individual, tetapi juga dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Hak bukan sekadar klaim moral personal, melainkan juga prinsip normatif yang mengatur relasi antara individu, masyarakat, dan negara.¹ Dengan demikian, etika hak memiliki fungsi ganda: menjamin kebebasan individu serta mendasarkan legitimasi kekuasaan politik pada prinsip keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia

Dalam kehidupan sosial dan politik, hak berfungsi sebagai batas moral bagi tindakan negara dan institusi publik, sekaligus sebagai dasar legitimasi bagi partisipasi warga negara.³ Melalui hak, individu memperoleh perlindungan terhadap tindakan koersif dan memperoleh ruang untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama.⁴ Oleh karena itu, etika hak tidak hanya berbicara tentang apa yang dimiliki manusia, tetapi juga tentang apa yang harus dilakukan masyarakat dan negara demi menjaga kesetaraan dan keadilan.⁵

6.1.       Hubungan antara Hak Individu dan Kepentingan Kolektif

Salah satu perdebatan klasik dalam filsafat politik adalah ketegangan antara hak individu dan kepentingan kolektif. Dalam paradigma liberal, seperti yang dikemukakan John Stuart Mill, kebebasan individu harus dihormati selama tidak merugikan orang lain—prinsip yang dikenal sebagai harm principle.⁶ Mill menekankan bahwa pembatasan terhadap hak individu hanya dapat dibenarkan untuk mencegah bahaya terhadap sesama.⁷

Namun, perspektif komunitarian seperti yang dikemukakan oleh Charles Taylor dan Michael Sandel berpendapat bahwa hak tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial dan nilai-nilai komunitas.⁸ Kebebasan individu, dalam pandangan mereka, harus dipahami dalam konteks solidaritas sosial dan keterikatan moral terhadap kebaikan bersama (common good).⁹ Dengan demikian, etika hak harus menemukan keseimbangan antara otonomi personal dan kohesi sosial, antara kebebasan individu dan kewajiban moral terhadap sesama warga.¹⁰

Dalam kerangka demokrasi modern, perdebatan ini melahirkan konsep “kewargaan etis” (ethical citizenship), yaitu gagasan bahwa warga negara tidak hanya menuntut haknya, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keadilan sosial dan keberlanjutan politik.¹¹ Pandangan ini memperluas horizon etika hak dari orientasi individual menuju etika partisipatif yang menekankan dialog, empati, dan solidaritas.¹²

6.2.       Hak sebagai Fondasi Keadilan dan Legitimasi Politik

Dalam teori politik modern, hak menjadi dasar bagi keadilan dan legitimasi kekuasaan. John Rawls menyatakan bahwa struktur dasar masyarakat harus diatur oleh prinsip-prinsip keadilan yang menjamin distribusi hak dan kebebasan secara adil.¹³ Menurut Rawls, hak-hak dasar seperti kebebasan berpendapat, kesetaraan di hadapan hukum, dan kebebasan beragama merupakan unsur yang tidak dapat dikompromikan dalam tatanan sosial yang adil.¹⁴

Etika hak dalam konteks ini berperan untuk menegaskan bahwa legitimasi politik bukanlah hasil dari kekuasaan mayoritas semata, tetapi dari penghormatan terhadap hak minoritas dan martabat individu.¹⁵ Dalam demokrasi, hak-hak politik seperti kebebasan berbicara, berserikat, dan berpartisipasi merupakan sarana moral untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap tunduk pada prinsip rasional dan etis.¹⁶ Jürgen Habermas menambahkan bahwa legitimasi politik sejati hanya dapat dicapai melalui komunikasi publik yang bebas dan setara, di mana setiap warga memiliki hak untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam pembentukan norma sosial.¹⁷

6.3.       Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya dalam Etika Keadilan

Selain hak sipil dan politik, etika hak juga mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan budaya yang berkaitan dengan kondisi material manusia. Martha Nussbaum dan Amartya Sen melalui pendekatan capability menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak tidak hanya berarti memberikan kebebasan formal, tetapi juga memastikan kemampuan nyata individu untuk hidup bermartabat.¹⁸ Hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lingkungan hidup yang layak menjadi bagian integral dari keadilan sosial.¹⁹

Dengan demikian, etika hak menolak pandangan sempit yang membatasi hak pada ranah hukum atau politik formal. Ia menuntut perhatian terhadap struktur sosial dan ekonomi yang menentukan apakah seseorang benar-benar dapat menikmati hak-haknya.²⁰ Dalam konteks global, etika hak juga menuntut solidaritas lintas negara untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh kolonialisme, globalisasi, atau kapitalisme ekstrem.²¹

6.4.       Tantangan Etika Hak di Era Kontemporer

Dalam masyarakat kontemporer, etika hak menghadapi tantangan baru yang kompleks. Isu-isu seperti privasi digital, hak atas data pribadi, kebebasan berekspresi di ruang virtual, serta keadilan ekologis menunjukkan bahwa ranah sosial-politik hak terus berkembang.²² Etika hak kini harus merespons dinamika teknologi dan globalisasi yang mengubah batas-batas tradisional antara publik dan privat, individu dan kolektif.²³

Selain itu, muncul pula perdebatan mengenai relativisme budaya dalam penerapan hak asasi manusia universal.²⁴ Sebagian masyarakat non-Barat menolak universalisme hak yang dianggap mencerminkan hegemoni nilai-nilai Barat.²⁵ Dalam konteks ini, etika hak perlu dikembangkan secara interkultural, dengan mengakui pluralitas nilai tanpa mengorbankan prinsip dasar martabat manusia.²⁶

6.5.       Etika Hak sebagai Fondasi Politik Kemanusiaan

Etika hak pada akhirnya berfungsi sebagai jembatan antara moralitas pribadi dan struktur sosial-politik. Ia memastikan bahwa kebijakan publik, hukum, dan institusi negara tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga benar secara moral.²⁷ Etika hak menjadi dasar bagi politik kemanusiaan—yakni tatanan sosial di mana penghormatan terhadap hak individu dipadukan dengan komitmen terhadap keadilan sosial dan solidaritas universal.²⁸ Dalam kerangka ini, penghormatan terhadap hak bukan sekadar urusan hukum, melainkan tugas moral kolektif umat manusia.²⁹


Footnotes

[1]                Joel Feinberg, Social Philosophy (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1973), 13–15.

[2]                Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 43–45.

[3]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 191–194.

[4]                Ibid., 200–202.

[5]                Thomas Nagel, Equality and Partiality (Oxford: Oxford University Press, 1991), 77–80.

[6]                John Stuart Mill, On Liberty (London: Penguin Classics, 1985), 68–70.

[7]                Ibid., 72–73.

[8]                Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–15.

[9]                Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994), 25–26.

[10]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 112–114.

[11]             Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 8–10.

[12]             Ibid., 12–14.

[13]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–53.

[14]             Ibid., 60–62.

[15]             Beitz, The Idea of Human Rights, 74–76.

[16]             Dworkin, Taking Rights Seriously, 208–210.

[17]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–110.

[18]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 20–22.

[19]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 36–38.

[20]             Nussbaum, Creating Capabilities, 31–33.

[21]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 10–12.

[22]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 119–122.

[23]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 93–95.

[24]             Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 85–87.

[25]             Makau Mutua, “The Ideology of Human Rights,” Virginia Journal of International Law 36, no. 3 (1996): 603–605.

[26]             Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 78–81.

[27]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 72–75.

[28]             Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 13–15.

[29]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 145–147.


7.           Etika Hak dalam Konteks Kontemporer dan Teknologi

Perkembangan teknologi modern telah mengubah secara mendasar cara manusia hidup, berinteraksi, dan memahami dirinya sendiri. Dinamika ini membawa implikasi moral yang signifikan terhadap konsep dan praktik etika hak.¹ Jika pada masa lalu hak manusia terutama dikaitkan dengan kebebasan politik dan sosial, maka pada era digital dan bioteknologi, hak-hak baru seperti hak privasi digital, hak atas data pribadi, hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan bahkan hak algoritmik telah muncul sebagai tantangan etis baru.² Dengan demikian, etika hak harus diperluas untuk menjawab perubahan kondisi eksistensial manusia di bawah pengaruh teknologi.

7.1.       Hak Privasi dan Identitas Digital

Dalam masyarakat informasi, data pribadi menjadi komoditas utama.³ Perusahaan teknologi dan lembaga pemerintah memiliki kemampuan luar biasa untuk mengumpulkan, memproses, dan menganalisis data individu dalam skala besar.⁴ Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah manusia masih memiliki kendali atas identitasnya di ruang digital?

Luciano Floridi memperkenalkan konsep informational privacy sebagai hak moral dasar yang menjamin integritas ontologis individu sebagai “entitas informasi.”⁵ Privasi bukan hanya soal kerahasiaan data, tetapi juga tentang hak untuk membentuk identitas digital secara otonom tanpa manipulasi eksternal.⁶ Shoshana Zuboff bahkan memperingatkan tentang munculnya surveillance capitalism, di mana kebebasan individu terancam oleh eksploitasi data melalui algoritma komersial.⁷

Dalam konteks ini, etika hak menuntut adanya keseimbangan antara manfaat sosial dari teknologi informasi (misalnya keamanan publik atau efisiensi ekonomi) dengan perlindungan terhadap martabat dan kebebasan individu.⁸ Hak privasi digital harus dipahami bukan sekadar sebagai isu teknis atau legal, tetapi sebagai bagian integral dari hak moral atas otonomi diri.⁹

7.2.       Bioetika dan Hak atas Tubuh

Kemajuan bioteknologi juga memperluas wacana etika hak hingga ke wilayah hak atas tubuh dan kehidupan biologis.¹⁰ Dalam era rekayasa genetika, reproduksi buatan, dan kecerdasan buatan biologis, manusia kini memiliki kemampuan untuk memodifikasi kehidupan itu sendiri.¹¹ Hal ini menimbulkan dilema moral baru: apakah manusia memiliki hak untuk mengubah kodrat biologisnya, ataukah tindakan tersebut melampaui batas moral yang wajar?

Dalam perspektif Martha Nussbaum, hak atas tubuh mencakup capabilities untuk hidup sehat, bereproduksi secara bermartabat, dan menghindari eksploitasi biologis.¹² Sementara itu, Peter Singer menekankan bahwa hak atas kehidupan tidak boleh dipahami secara dogmatis, melainkan harus dilihat dalam konteks kesejahteraan makhluk hidup secara keseluruhan.¹³ Oleh karena itu, bioetika kontemporer menuntut penegasan kembali hak moral individu terhadap tubuh dan kehidupan, namun juga mempertimbangkan tanggung jawab manusia terhadap spesies dan ekosistem lain.¹⁴

7.3.       Hak Lingkungan dan Generasi Mendatang

Dimensi baru etika hak juga mencakup isu lingkungan dan keberlanjutan ekologis.¹⁵ Krisis iklim global telah memperlihatkan bahwa hak bukan hanya milik manusia saat ini, tetapi juga generasi mendatang.¹⁶ Konsep environmental rights menegaskan hak setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.¹⁷

Filsuf Hans Jonas dalam karyanya The Imperative of Responsibility menekankan bahwa etika modern harus melampaui orientasi antroposentris menuju tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan di bumi.¹⁸ Hak generasi mendatang, meskipun tidak dapat diklaim secara langsung, menuntut pengakuan moral dari generasi sekarang untuk bertindak secara berkelanjutan.¹⁹ Dalam kerangka ini, etika hak berfungsi sebagai jembatan antara moralitas individual dan tanggung jawab ekologis global.²⁰

7.4.       Hak dalam Era Kecerdasan Buatan dan Otomasi

Kemunculan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan persoalan baru dalam etika hak: bagaimana status moral manusia dipertahankan di tengah sistem algoritmik yang mampu mengambil keputusan secara otonom?²¹ Nick Bostrom memperingatkan tentang potensi superintelligence yang dapat melampaui kemampuan manusia dan mengancam kebebasan serta otonomi manusia.²²

Masalah etika hak dalam konteks AI mencakup tiga dimensi:

(1)               Hak manusia terhadap sistem AI (misalnya hak transparansi dan keadilan algoritmik),

(2)               Hak pekerja terhadap otomatisasi (terkait keadilan ekonomi), dan

(3)               Pertanyaan tentang hak entitas non-manusia, seperti robot atau sistem cerdas, yang mulai meniru perilaku manusia.²³

Luciano Floridi dan Mariarosaria Taddeo mengusulkan konsep digital ethics of AI, yaitu kerangka etis yang menjamin bahwa perkembangan teknologi tetap menghormati hak, nilai, dan martabat manusia.²⁴ Prinsip ini menegaskan bahwa teknologi harus “mendukung kemanusiaan,” bukan menggantikannya.²⁵

7.5.       Etika Hak dalam Dunia Global dan Interkultural

Di tengah globalisasi dan interkoneksi digital, etika hak juga menghadapi tantangan pluralitas nilai budaya.²⁶ Sementara Universal Declaration of Human Rights menegaskan kesetaraan manusia di seluruh dunia, penerapannya sering dipertanyakan dalam konteks perbedaan norma sosial dan tradisi lokal.²⁷ Bhikhu Parekh mengingatkan bahwa universalitas hak harus diimbangi dengan kepekaan terhadap keberagaman budaya, agar tidak terjebak pada dominasi moral satu peradaban atas yang lain.²⁸

Dengan demikian, etika hak di era kontemporer memerlukan pendekatan interkultural ethics, yang menekankan dialog, refleksi kritis, dan pembelajaran timbal balik antarbudaya.²⁹ Pendekatan ini memastikan bahwa prinsip-prinsip hak universal tidak kehilangan relevansi ketika diterapkan dalam konteks sosial, teknologi, dan budaya yang berbeda-beda.³⁰


Sintesis: Menuju Etika Hak Digital dan Post-Humanistik

Secara keseluruhan, perkembangan teknologi mendorong pembaruan ontologis dan moral terhadap konsep hak. Hak kini tidak hanya berbicara tentang manusia sebagai individu, tetapi juga tentang manusia sebagai bagian dari ekosistem informasi dan teknologi.³¹ Etika hak digital menuntut paradigma baru yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan, tanggung jawab ekologis, dan keadilan global.³²

Dengan demikian, etika hak kontemporer bergerak menuju horizon post-humanistik, di mana penghormatan terhadap hak tidak hanya berarti mempertahankan martabat manusia, tetapi juga mengakui keterhubungan moral antara manusia, teknologi, dan alam.³³


Footnotes

[1]                Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 91–93.

[2]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 117–120.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.

[4]                Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism, 92–95.

[5]                Floridi, The Ethics of Information, 132–134.

[6]                Ibid., 140.

[7]                Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism, 115–118.

[8]                Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 177–179.

[9]                Beitz, The Idea of Human Rights, 98–100.

[10]             Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 99–102.

[11]             Julian Savulescu and Nick Bostrom, eds., Human Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 3–5.

[12]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–35.

[13]             Singer, Practical Ethics, 120–123.

[14]             Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 13–16.

[15]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 120–122.

[16]             Henry Shue, Basic Rights: Subsistence, Affluence, and U.S. Foreign Policy, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1996), 18–20.

[17]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 8–10.

[18]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 122–125.

[19]             Ibid., 136–138.

[20]             Bryan Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford: Oxford University Press, 1991), 64–66.

[21]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 210–212.

[22]             Ibid., 220–222.

[23]             David J. Gunkel, The Machine Question: Critical Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012), 45–47.

[24]             Luciano Floridi and Mariarosaria Taddeo, “What Is Data Ethics?,” Philosophical Transactions of the Royal Society A 374, no. 2083 (2016): 1–4.

[25]             Floridi, The Ethics of Information, 143–145.

[26]             Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 91–93.

[27]             United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: United Nations, 1948), preamble.

[28]             Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 95–97.

[29]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 34–36.

[30]             Ibid., 45–47.

[31]             Floridi, The Ethics of Information, 156–158.

[32]             Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 99–101.

[33]             Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 190–193.


8.           Kritik terhadap Konsep Etika Hak

Konsep etika hak, meskipun menjadi salah satu pilar utama dalam filsafat moral dan politik modern, tidak luput dari berbagai kritik yang datang dari beragam aliran pemikiran. Kritik-kritik tersebut mencakup aspek metafisik, moral, sosial, dan politis, yang menyoroti keterbatasan konseptual dan implikasi praktis dari ide hak sebagai dasar normatif universal.¹ Sebagian kritik diarahkan pada kecenderungan etika hak yang terlalu individualistik, euro-sentris, dan ahistoris, sehingga dinilai kurang mampu menjawab kompleksitas moral dan sosial masyarakat kontemporer.²

8.1.       Kritik Relativisme Budaya terhadap Universalisme Hak

Salah satu kritik paling berpengaruh terhadap etika hak datang dari perspektif relativisme budaya. Kaum relativis menolak klaim universalisme moral yang mendasari konsep hak asasi manusia.³ Mereka berargumen bahwa setiap kebudayaan memiliki sistem nilai dan norma moral yang unik, sehingga tidak dapat dipaksakan untuk tunduk pada satu standar etika universal yang lahir dari tradisi Barat.⁴

Bhikhu Parekh menegaskan bahwa universalisme hak sering kali mencerminkan imperialisme moral—yakni penyebaran nilai-nilai liberal Barat atas nama kemanusiaan universal.⁵ Demikian pula Makau Mutua menyebut wacana hak asasi manusia sebagai “mitos penyelamatan” di mana Barat memosisikan dirinya sebagai penyelamat dunia non-Barat yang dianggap barbar atau tertindas.⁶ Kritik ini membuka wacana bahwa penerapan etika hak harus mempertimbangkan konteks budaya dan sejarah lokal, tanpa kehilangan komitmen terhadap martabat manusia yang universal.⁷

Namun demikian, para pembela universalisme seperti Jack Donnelly dan Martha Nussbaum menolak relativisme ekstrem dengan menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia dapat bersifat universal tanpa bersifat seragam (universal but not uniform).⁸ Prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan dari penyiksaan, hak hidup, dan kesetaraan moral manusia dapat diterima lintas budaya, meskipun manifestasinya berbeda sesuai konteks sosialnya.⁹

8.2.       Kritik Marxian: Hak sebagai Produk Ideologi Borjuis

Dari perspektif Marxis, hak dipandang bukan sebagai norma moral universal, tetapi sebagai hasil historis dari struktur ekonomi kapitalistik.¹⁰ Karl Marx dalam esainya On the Jewish Question mengkritik konsep hak-hak manusia liberal sebagai bentuk “hak egoistik” yang melayani kepentingan kelas borjuis.¹¹ Bagi Marx, hak-hak seperti kebebasan dan kepemilikan pribadi hanya memperkuat isolasi individu dan mengabadikan ketimpangan sosial.¹²

Etika hak dalam kerangka liberal, menurut Marx, gagal memahami bahwa kebebasan sejati tidak dapat dicapai melalui klaim individual, melainkan melalui transformasi sosial yang menghapus struktur penindasan ekonomi.¹³ Kritik Marxian ini kemudian dikembangkan oleh pemikir neo-Marxis seperti Herbert Marcuse dan Axel Honneth.¹⁴ Honneth, misalnya, mengusulkan teori pengakuan (recognition theory) sebagai alternatif terhadap hak liberal: bahwa martabat manusia hanya dapat diwujudkan melalui relasi saling pengakuan sosial, bukan sekadar perlindungan hukum formal.¹⁵

8.3.       Kritik Komunitarian dan Feminist terhadap Individualisme Liberal

Kaum komunitarian seperti Michael Sandel dan Charles Taylor mengkritik etika hak liberal karena dianggap mengabaikan konteks sosial dan hubungan moral antarindividu.¹⁶ Dalam pandangan mereka, konsep hak dalam tradisi liberal bersifat atomistik—menggambarkan individu sebagai subjek otonom yang terpisah dari komunitasnya.¹⁷ Padahal, identitas moral seseorang selalu terbentuk dalam jaringan sosial dan budaya tertentu.¹⁸

Kritik serupa datang dari pemikir feminis, yang menyoroti bias maskulin dalam konsep hak tradisional. Carol Gilligan, misalnya, menilai bahwa paradigma hak terlalu menekankan keadilan formal dan rasionalitas abstrak, sementara mengabaikan ethics of care—moralitas berbasis empati, kasih sayang, dan hubungan personal.¹⁹ Dalam kerangka feminis, hak tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan pengalaman ketergantungan, relasi perawatan, dan tanggung jawab moral yang melekat pada kehidupan manusia.²⁰

8.4.       Kritik Postmodern: Dekonstruksi terhadap Fondasi Moral Hak

Pemikiran postmodern membawa kritik yang lebih radikal terhadap fondasi etika hak. Michel Foucault menyoroti bahwa wacana hak sering kali berfungsi sebagai instrumen kekuasaan yang menyembunyikan praktik dominasi.²¹ Bagi Foucault, konsep hak asasi manusia tidak netral, melainkan bagian dari mekanisme biopower yang mengatur tubuh dan kehidupan manusia melalui kebijakan politik modern.²² Jacques Derrida melanjutkan kritik ini dengan mendekonstruksi klaim-klaim universal etika hak, menunjukkan bahwa setiap konsep hak selalu mengandung “ketegangan antara keadilan dan hukum” yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas.²³

Derrida menegaskan bahwa keadilan sejati bersifat aporik—selalu terbuka, tidak selesai, dan tidak dapat dilembagakan sepenuhnya.²⁴ Dengan demikian, etika hak harus bersifat reflektif dan terbuka terhadap revisi terus-menerus, bukan menjadi doktrin moral yang kaku.²⁵ Kritik postmodern ini memperkaya etika hak dengan kesadaran hermeneutik bahwa setiap sistem moral selalu berada dalam ruang tafsir dan kekuasaan.²⁶

8.5.       Kritik Praktis: Kesenjangan antara Norma dan Realitas

Selain kritik teoretis, etika hak juga menghadapi persoalan praktis dalam penerapannya. Kesenjangan antara norma universal dan realitas sosial-politik menunjukkan bahwa hak sering kali berhenti pada tataran deklaratif.²⁷ Pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi dalam berbagai bentuk—mulai dari ketidakadilan ekonomi, kekerasan berbasis gender, hingga pengawasan digital yang masif.²⁸

Dalam konteks globalisasi, hak bahkan sering dijadikan alat legitimasi politik oleh negara kuat untuk mengintervensi negara lemah.²⁹ Thomas Pogge mengkritik paradoks ini dengan menyatakan bahwa sistem ekonomi global justru memperdalam ketidakadilan struktural yang bertentangan dengan prinsip hak itu sendiri.³⁰ Dengan demikian, etika hak memerlukan refleksi moral yang lebih mendalam agar tidak terjebak dalam retorika moral yang kehilangan daya transformatifnya.³¹


Implikasi Kritik: Menuju Etika Hak yang Reflektif dan Kontekstual

Kritik-kritik di atas tidak menolak konsep hak secara keseluruhan, melainkan menuntut reinterpretasi yang lebih reflektif dan kontekstual. Etika hak yang baru harus mampu mengintegrasikan keadilan sosial (Marxian), pluralisme budaya (relativisme), tanggung jawab sosial (komunitarian), empati moral (feminisme), dan kesadaran kritis (postmodernisme).³²

Dengan demikian, tantangan bagi filsafat kontemporer bukanlah menggantikan etika hak, melainkan memperluasnya agar lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.³³ Etika hak yang reflektif tidak hanya berfokus pada hak individu untuk memiliki, tetapi juga pada tanggung jawab kolektif untuk menghormati dan melindungi kehidupan bersama.³⁴


Footnotes

[1]                Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 112–114.

[2]                Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 35–37.

[3]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 85–86.

[4]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–91.

[5]                Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 97–99.

[6]                Makau Mutua, “The Ideology of Human Rights,” Virginia Journal of International Law 36, no. 3 (1996): 603–606.

[7]                Donnelly, Universal Human Rights, 89–91.

[8]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 5–8.

[9]                Ibid., 10–12.

[10]             Karl Marx, “On the Jewish Question,” in Early Writings, trans. T. B. Bottomore (London: McGraw-Hill, 1964), 228–230.

[11]             Ibid., 233–235.

[12]             Ibid., 238.

[13]             Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 77–79.

[14]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 92–94.

[15]             Ibid., 96–98.

[16]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 10–12.

[17]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 34–36.

[18]             Ibid., 38–40.

[19]             Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 32–35.

[20]             Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2013), 67–70.

[21]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25.

[22]             Ibid., 30–32.

[23]             Jacques Derrida, Force of Law: The Mystical Foundation of Authority, trans. Mary Quaintance, in Deconstruction and the Possibility of Justice, ed. Drucilla Cornell, Michel Rosenfeld, and David Gray Carlson (New York: Routledge, 1992), 22–25.

[24]             Ibid., 28–30.

[25]             Ibid., 33–35.

[26]             Benhabib, The Claims of Culture, 40–42.

[27]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 52–54.

[28]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 33–35.

[29]             Mutua, “The Ideology of Human Rights,” 611–614.

[30]             Pogge, World Poverty and Human Rights, 72–74.

[31]             Sen, Development as Freedom, 38–40.

[32]             Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 101–103.

[33]             Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 14–16.

[34]             Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014), 214–216.


9.           Sintesis Filosofis dan Perspektif Etika Global

Pembahasan mengenai ethics of rights telah menunjukkan bahwa hak bukan hanya kategori hukum atau politik, melainkan juga sebuah konstruksi moral dan filosofis yang berakar pada martabat manusia. Namun, untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh, perlu dilakukan sintesis filosofis yang menghubungkan antara dimensi moral individual, struktur sosial-politik, dan konteks global.¹ Etika hak dalam perspektif kontemporer tidak lagi dapat dibatasi pada kerangka liberal Barat, melainkan harus dikembangkan sebagai etika global yang inklusif, reflektif, dan lintas budaya.²

9.1.       Sintesis Filosofis: Antara Otonomi, Keadilan, dan Solidaritas

Secara filosofis, sintesis etika hak memerlukan rekonsiliasi antara tiga pilar utama moralitas modern: otonomi, keadilan, dan solidaritas.³ Tradisi deontologis Kantian menekankan otonomi sebagai inti dari martabat manusia; manusia dipandang sebagai subjek rasional yang memiliki kapasitas moral untuk bertindak berdasarkan hukum yang ia berikan pada dirinya sendiri.⁴ Namun, jika ditekankan secara absolut, otonomi dapat melahirkan individualisme moral yang terlepas dari konteks sosial.

Untuk itu, prinsip otonomi perlu diimbangi oleh gagasan keadilan distributif sebagaimana dikembangkan oleh John Rawls.⁵ Keadilan memastikan bahwa kebebasan dan hak individu diatur sedemikian rupa agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati kondisi kehidupan yang bermartabat.⁶ Namun keadilan formal saja tidak cukup. Ia harus dilengkapi oleh dimensi solidaritas, yang menegaskan tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan orang lain.⁷ Dalam konteks ini, pemikiran Emmanuel Levinas menjadi relevan karena menempatkan yang lain (the Other) sebagai pusat tanggung jawab etis manusia.⁸

Dengan demikian, sintesis filosofis etika hak menuntut pengakuan bahwa kebebasan individu (otonomi) hanya bermakna bila dijalankan dalam tatanan sosial yang adil (keadilan) dan penuh kepedulian (solidaritas).⁹ Tiga pilar ini membentuk kerangka moral integral bagi etika hak yang berorientasi pada keseimbangan antara rasionalitas dan kemanusiaan.¹⁰

9.2.       Etika Hak dan Rasionalitas Komunikatif

Kontribusi penting terhadap sintesis ini datang dari teori rasionalitas komunikatif yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas.¹¹ Habermas mengusulkan bahwa legitimasi moral dan politik tidak bersumber dari otoritas eksternal, melainkan dari proses komunikasi yang rasional, di mana semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan yang sama untuk mengemukakan argumen.¹² Dalam kerangka ini, hak memperoleh validitas bukan karena kodrat metafisiknya, tetapi karena ia dapat dibenarkan melalui diskursus publik yang bebas dari dominasi.¹³

Etika hak, dengan demikian, harus berakar pada dialog moral antarindividu dan antarkomunitas, bukan pada dogma normatif yang tertutup.¹⁴ Pandangan ini membuka kemungkinan bagi pembentukan etika global deliberatif yang menghormati pluralitas budaya namun tetap berpijak pada prinsip universalitas rasional.¹⁵

9.3.       Perspektif Global: Kosmopolitanisme dan Hak Asasi Manusia

Dalam konteks globalisasi, etika hak berkembang menuju paradigma kosmopolitanisme moral, yaitu pandangan bahwa seluruh manusia merupakan bagian dari komunitas etis universal.¹⁶ Immanuel Kant dalam esainya Perpetual Peace telah merintis gagasan cosmopolitan right, yang menuntut penghormatan terhadap setiap manusia sebagai warga dunia (Weltbürger).¹⁷ Pandangan ini kemudian diperkuat oleh pemikir kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Thomas Pogge, yang menekankan pentingnya tanggung jawab moral lintas negara dalam mengatasi ketimpangan global.¹⁸

Menurut Pogge, pelanggaran terhadap hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi global yang tidak adil.¹⁹ Oleh karena itu, etika hak global tidak hanya berbicara tentang kebebasan politik, tetapi juga tentang justice beyond borders—keadilan yang melampaui batas negara dan memperhitungkan dampak kebijakan global terhadap masyarakat miskin.²⁰ Sementara Nussbaum menegaskan bahwa etika hak harus mengakui capabilities setiap manusia sebagai dasar universal bagi kesejahteraan dan martabat.²¹

Pendekatan kosmopolitan ini menegaskan bahwa hak bersifat transnasional: hak atas kehidupan, pendidikan, kesehatan, dan kebebasan tidak mengenal batas geografis.²² Dengan demikian, etika hak global berfungsi sebagai moralitas universal yang menuntun pembangunan politik internasional menuju tatanan yang lebih manusiawi dan berkeadilan.²³

9.4.       Perspektif Interkultural: Dari Dominasi ke Dialog Etis

Kritik terhadap euro-sentrisme dalam filsafat hak mendorong munculnya pendekatan interkultural ethics, yang menempatkan dialog antarperadaban sebagai fondasi etika global.²⁴ Seyla Benhabib berpendapat bahwa pluralisme budaya tidak boleh menjadi alasan untuk menolak prinsip-prinsip hak universal, melainkan harus menjadi peluang untuk memperkaya pemahaman kita tentang martabat manusia.²⁵

Bhikhu Parekh menambahkan bahwa etika global yang sejati menuntut “dialog timbal balik” antara nilai-nilai Barat dan non-Barat, sehingga hak manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa moral yang dapat diterima oleh berbagai tradisi.²⁶ Dalam kerangka ini, universalisme hak tidak lagi dipahami sebagai ekspor moral, tetapi sebagai proses komunikasi interkultural yang dinamis.²⁷

Pendekatan interkultural ini memperluas horizon etika hak dengan menekankan bahwa universalisme sejati hanya dapat dicapai melalui pengakuan terhadap perbedaan, bukan penyeragaman.²⁸ Etika hak global yang berbasis dialog membuka ruang bagi pertumbuhan moral kolektif yang menghormati martabat manusia dalam keragaman budaya.²⁹

9.5.       Menuju Etika Hak Global yang Transformatif

Sintesis antara dimensi filosofis dan global dari etika hak mengarah pada visi moral yang transformatif—yakni etika yang tidak hanya menjelaskan, tetapi juga mengubah realitas sosial.³⁰ Etika hak global harus menjadi landasan bagi transformasi politik dunia menuju global justice, di mana hak tidak berhenti pada deklarasi normatif, tetapi diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan nyata.³¹

Dalam konteks ini, etika hak dapat dipahami sebagai praxis moral global, yang menggabungkan refleksi filosofis, kesadaran kritis, dan komitmen etis terhadap kemanusiaan universal.³² Ia menegaskan bahwa hak bukan hanya klaim legal, tetapi juga tanggung jawab moral untuk menciptakan dunia yang adil, damai, dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.³³


Footnotes

[1]                Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 115–117.

[2]                Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 3–5.

[3]                Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014), 210–212.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 40–42.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–53.

[6]                Ibid., 60–62.

[7]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 21–23.

[8]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–200.

[9]                Honneth, Freedom’s Right, 214–216.

[10]             Beitz, The Idea of Human Rights, 118–120.

[11]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–109.

[12]             Ibid., 113–115.

[13]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 65–68.

[14]             Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 10–12.

[15]             Ibid., 15–17.

[16]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 89–91.

[17]             Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch,” in Kant: Political Writings, ed. H. S. Reiss (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 98–100.

[18]             Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 13–15.

[19]             Pogge, World Poverty and Human Rights, 92–94.

[20]             Ibid., 98–101.

[21]             Nussbaum, Creating Capabilities, 25–27.

[22]             Beitz, The Idea of Human Rights, 130–132.

[23]             Pogge, World Poverty and Human Rights, 103–105.

[24]             Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 37–39.

[25]             Ibid., 40–42.

[26]             Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 95–97.

[27]             Ibid., 98–100.

[28]             Benhabib, Another Cosmopolitanism, 25–27.

[29]             Charles Taylor, “Conditions of an Unforced Consensus on Human Rights,” in The East Asian Challenge for Human Rights, ed. Joanne R. Bauer and Daniel A. Bell (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 124–126.

[30]             Pogge, World Poverty and Human Rights, 110–112.

[31]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 23–25.

[32]             Benhabib, The Rights of Others, 112–114.

[33]             Nussbaum, Frontiers of Justice, 189–191.


10.       Kesimpulan

Kajian tentang ethics of rights menunjukkan bahwa hak merupakan konsep moral yang kompleks, multidimensional, dan dinamis. Ia tidak hanya berfungsi sebagai prinsip normatif untuk melindungi kebebasan individu, tetapi juga sebagai fondasi moral bagi keadilan sosial dan tatanan politik yang manusiawi.¹ Melalui perjalanan historisnya, etika hak berevolusi dari gagasan natural right dalam filsafat klasik menuju konsep human rights universal dalam konteks global modern.² Namun, esensinya tetap sama: hak adalah ekspresi dari martabat manusia yang menuntut pengakuan, penghormatan, dan perlindungan.³

Secara filosofis, etika hak mengandung dua dimensi utama. Pertama, dimensi ontologis, yang menegaskan bahwa hak berakar pada eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan bermoral.⁴ Hak tidak semata hasil konstruksi sosial, tetapi bersumber dari kemampuan manusia untuk bertindak secara otonom dan rasional. Kedua, dimensi epistemologis, yang menekankan bahwa pengetahuan tentang hak lahir dari refleksi moral, pengalaman sosial, dan dialog rasional antarindividu.⁵ Dengan demikian, kebenaran moral tentang hak tidak bersifat apriori dan tertutup, melainkan terbuka terhadap koreksi dan perkembangan dalam sejarah manusia.⁶

Dalam ranah normatif, berbagai teori etika hak—mulai dari deontologis, utilitarian, kontraktualis, hingga komunitarian dan feminis—menunjukkan bahwa hak harus dipahami secara plural dan interdependen.⁷ Tidak ada teori tunggal yang dapat sepenuhnya menjelaskan hak secara utuh, karena setiap teori menyoroti aspek yang berbeda: kewajiban moral (Kant), kesejahteraan bersama (Mill), keadilan sosial (Rawls), tanggung jawab sosial (Sandel), dan empati moral (Gilligan).⁸ Oleh sebab itu, etika hak yang komprehensif menuntut sintesis filosofis antara kebebasan individu, keadilan distributif, dan solidaritas manusia.⁹

Dalam konteks sosial dan politik, etika hak berfungsi sebagai penuntun moral bagi negara dan masyarakat. Ia memastikan bahwa kekuasaan tidak berubah menjadi dominasi, hukum tidak terpisah dari keadilan, dan kebebasan tidak berujung pada ketimpangan.¹⁰ Dalam kerangka global, etika hak memperluas cakrawala moral dari batas-batas negara menuju komunitas kosmopolitan yang menjunjung martabat setiap manusia.¹¹ Pandangan ini sejalan dengan gagasan Immanuel Kant tentang cosmopolitan right, yang menegaskan tanggung jawab moral antarbangsa dalam mewujudkan perdamaian abadi.¹²

Namun demikian, kesempurnaan etika hak bukan tanpa tantangan. Kritik dari berbagai arah—relativisme budaya, Marxisme, feminisme, dan postmodernisme—menunjukkan bahwa klaim universalisme hak harus selalu diuji secara reflektif.¹³ Tantangan kontemporer seperti privasi digital, bioteknologi, krisis lingkungan, dan kecerdasan buatan menuntut perluasan horizon etika hak agar tetap relevan di era teknologi dan globalisasi.¹⁴ Etika hak modern harus mampu menjembatani antara norma moral universal dan konteks sosial partikular melalui dialog interkultural dan rasionalitas komunikatif.¹⁵

Dengan demikian, ethics of rights dapat disimpulkan sebagai moral framework yang menegaskan martabat manusia sebagai inti dari segala sistem etis, sosial, dan politik.¹⁶ Etika hak bukan hanya sekumpulan klaim legal, melainkan bentuk tanggung jawab moral universal untuk menjaga kehidupan, kebebasan, dan keadilan.¹⁷ Dalam perspektif global, ia menjadi dasar bagi politics of humanity—suatu tatanan moral dunia yang berlandaskan solidaritas, penghormatan, dan pengakuan terhadap hak setiap manusia tanpa memandang perbedaan budaya, ras, atau bangsa.¹⁸

Etika hak yang ideal adalah etika yang rasional, kontekstual, dan transformatif: rasional karena berpijak pada prinsip moral universal; kontekstual karena peka terhadap perbedaan sosial dan budaya; dan transformatif karena berorientasi pada pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan.¹⁹ Melalui prinsip-prinsip tersebut, ethics of rights dapat berfungsi bukan hanya sebagai teori moral, tetapi juga sebagai praxis kemanusiaan global—sebuah upaya berkelanjutan untuk menciptakan dunia yang lebih adil, beradab, dan berperikemanusiaan.²⁰


Footnotes

[1]                Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 121–123.

[2]                Richard Tuck, Natural Rights Theories: Their Origin and Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 4–6.

[3]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–27.

[4]                Alan Gewirth, Reason and Morality (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 88–90.

[5]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 67–69.

[6]                Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 41–43.

[7]                Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 18–20.

[8]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–54.

[9]                Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014), 213–215.

[10]             Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 199–202.

[11]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 92–94.

[12]             Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch,” in Kant: Political Writings, ed. H. S. Reiss (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 98–100.

[13]             Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 95–97.

[14]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 115–118.

[15]             Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 22–24.

[16]             Gewirth, Reason and Morality, 112–114.

[17]             Beitz, The Idea of Human Rights, 128–130.

[18]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 189–191.

[19]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 22–24.

[20]             Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 111–113.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles of biomedical ethics (8th ed.). Oxford University Press.

Beitz, C. R. (2009). The idea of human rights. Oxford University Press.

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.

Benhabib, S. (2004). The rights of others: Aliens, residents, and citizens. Cambridge University Press.

Benhabib, S. (2006). Another cosmopolitanism. Oxford University Press.

Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and legislation. Clarendon Press.

Bentham, J. (1843). Anarchical fallacies. In J. Bowring (Ed.), Works of Jeremy Bentham (Vol. 2). William Tait.

Bhikhu, P. (2000). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Harvard University Press.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Brown Weiss, E. (1989). In fairness to future generations: International law, common patrimony, and intergenerational equity. United Nations University Press.

Cicero. (1928). De legibus (C. W. Keyes, Trans.). Harvard University Press.

Derrida, J. (1992). Force of law: The mystical foundation of authority (M. Quaintance, Trans.). In D. Cornell, M. Rosenfeld, & D. G. Carlson (Eds.), Deconstruction and the possibility of justice (pp. 3–67). Routledge.

Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.

Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously. Harvard University Press.

Feinberg, J. (1973). Social philosophy. Prentice-Hall.

Feinberg, J. (1980). Rights, justice, and the bounds of liberty. Princeton University Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Clarendon Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L., & Taddeo, M. (2016). What is data ethics? Philosophical Transactions of the Royal Society A, 374(2083), 1–4.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Grotius, H. (1925). On the law of war and peace (F. W. Kelsey, Trans.). Clarendon Press.

Gunkel, D. J. (2012). The machine question: Critical perspectives on AI, robots, and ethics. MIT Press.

Habermas, J. (1991). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Hart, H. L. A. (1982). Essays on Bentham: Jurisprudence and political theory. Clarendon Press.

Hobbes, T. (1985). Leviathan. Penguin Classics.

Hohfeld, W. N. (1919). Fundamental legal conceptions as applied in judicial reasoning. Yale University Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.). MIT Press.

Honneth, A. (2014). Freedom’s right: The social foundations of democratic life. Columbia University Press.

Hunt, L. (2007). Inventing human rights: A history. W. W. Norton.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1991). Perpetual peace: A philosophical sketch. In H. S. Reiss (Ed.), Kant: Political writings (pp. 93–130). Cambridge University Press.

Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Korsgaard, C. M. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge University Press.

Korsgaard, C. M. (1996). The sources of normativity. Cambridge University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government. Cambridge University Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1999). Dependent rational animals: Why human beings need the virtues. Open Court.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man. Beacon Press.

Metzinger, T. (2009). The ego tunnel: The science of the mind and the myth of the self. Basic Books.

Mill, J. S. (1979). Utilitarianism. Hackett.

Mill, J. S. (1985). On liberty. Penguin Classics.

Mutua, M. (1996). The ideology of human rights. Virginia Journal of International Law, 36(3), 589–657.

Nagel, T. (1991). Equality and partiality. Oxford University Press.

Noddings, N. (2013). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Norton, B. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford University Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Harvard University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.

Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Rousseau, J.-J. (2004). The social contract. Penguin Classics.

Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits of justice. Cambridge University Press.

Savulescu, J., & Bostrom, N. (Eds.). (2009). Human enhancement. Oxford University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Shue, H. (1996). Basic rights: Subsistence, affluence, and U.S. foreign policy (2nd ed.). Princeton University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought (Vol. 2). Cambridge University Press.

Taylor, C. (1985). Atomism. In Philosophy and the human sciences: Philosophical papers 2 (pp. 187–210). Cambridge University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1995). Philosophical arguments. Harvard University Press.

Taylor, C. (1999). Conditions of an unforced consensus on human rights. In J. R. Bauer & D. A. Bell (Eds.), The East Asian challenge for human rights (pp. 124–139). Cambridge University Press.

Tuck, R. (1979). Natural rights theories: Their origin and development. Cambridge University Press.

United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. United Nations.

Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing technology: Understanding and designing the morality of things. University of Chicago Press.

Villey, M. (1983). Le droit et les droits de l’homme. Presses Universitaires de France.

Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought. Cambridge University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar