Ethics of Rights (Etika Hak)
Fondasi Moral dan Rasionalitas Hak dalam Filsafat dan
Kehidupan Sosial Kontemporer
Alihkan ke: Filsafat Moral.
Moral Rights, Legal Rights, Human Rights.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Ethics
of Rights (Etika Hak) sebagai fondasi moral, filosofis, dan sosial bagi
pemahaman tentang hak manusia dalam konteks historis dan kontemporer. Kajian
ini menelusuri perkembangan genealogi hak dari gagasan natural right
dalam filsafat klasik menuju human rights modern yang menekankan
martabat dan kebebasan individu. Secara metodologis, artikel ini menggunakan
pendekatan filsafat normatif dan analitis dengan meninjau aspek ontologis,
epistemologis, dan normatif dari hak sebagai prinsip moral
universal.
Pembahasan menunjukkan bahwa etika hak berakar pada
rasionalitas manusia, kewajiban moral, dan penghormatan terhadap martabat
individu, sebagaimana dikembangkan dalam teori deontologis, utilitarian,
kontraktualis, komunitarian, dan feminis. Dalam konteks sosial-politik, hak
berfungsi sebagai prinsip keadilan dan legitimasi kekuasaan, sedangkan dalam
konteks kontemporer, etika hak berkembang untuk menanggapi isu-isu global
seperti privasi digital, bioetika, hak lingkungan, dan keadilan antar-generasi.
Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap
konsep hak—termasuk relativisme budaya, Marxisme, postmodernisme, dan
feminisme—yang menantang asumsi universalisme moral. Sebagai respons, penulis
menawarkan sintesis filosofis antara otonomi, keadilan, dan solidaritas,
yang dikembangkan dalam kerangka etika global berbasis dialog
interkultural dan rasionalitas komunikatif. Dengan demikian, ethics of
rights dipahami bukan hanya sebagai teori moral abstrak, tetapi sebagai praxis
kemanusiaan global yang menegaskan tanggung jawab moral universal untuk
mewujudkan dunia yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.
Kata Kunci: Etika hak; filsafat moral; keadilan; hak asasi
manusia; rasionalitas komunikatif; otonomi; solidaritas; etika global;
teknologi; kosmopolitanisme.
PEMBAHASAN
Gagasan Etika Hak dalam Kerangka Keadilan Global dan
Kosmopolitanisme
1.          
Pendahuluan
Konsep ethics of rights atau etika hak
merupakan salah satu fondasi paling penting dalam filsafat moral dan politik
modern. Ia berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang mengapa manusia
memiliki hak dan bagaimana hak tersebut dapat dibenarkan secara moral.
Dalam konteks sejarah pemikiran Barat, ide tentang hak muncul dari keyakinan
bahwa setiap individu memiliki martabat dan nilai yang melekat sebagai makhluk
rasional dan otonom, yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, termasuk negara
atau masyarakat.¹ Pandangan ini menandai pergeseran besar dari etika klasik
yang berpusat pada kebajikan (virtue ethics) menuju paradigma moral yang
menekankan kewajiban dan hak sebagai dasar normatif tindakan manusia.²
Secara konseptual, etika hak tidak dapat dipisahkan
dari dua bidang utama filsafat moral: deontologi dan liberalisme
moral. Dalam tradisi deontologis, khususnya pada pemikiran Immanuel Kant,
hak manusia didasarkan pada rasionalitas dan prinsip penghormatan terhadap
martabat manusia.³ Setiap individu harus diperlakukan sebagai tujuan pada
dirinya sendiri, bukan sekadar sarana bagi kepentingan orang lain.⁴ Sementara
dalam tradisi liberalisme, seperti yang dikemukakan oleh John Locke, hak muncul
dari law of nature yang menjamin kebebasan, kehidupan, dan kepemilikan
sebagai bagian dari hak alamiah manusia.⁵ Pandangan inilah yang kemudian
menjadi landasan bagi teori kontrak sosial dan pembentukan hak-hak sipil
modern.⁶
Dalam perkembangan selanjutnya, etika hak tidak
hanya menjadi wacana filsafat normatif, tetapi juga menjadi dasar moral bagi
tatanan sosial dan hukum internasional. Setelah Perang Dunia II, lahirlah Universal
Declaration of Human Rights (1948) yang menegaskan prinsip universal
mengenai kesetaraan dan kebebasan setiap manusia.⁷ Namun demikian, muncul pula
perdebatan baru: apakah hak bersifat universal dan objektif, ataukah merupakan
produk budaya dan politik tertentu?⁸ Pertanyaan ini membuka ruang refleksi
kritis terhadap etika hak dalam konteks pluralisme, globalisasi, dan tantangan
teknologi kontemporer seperti privasi digital dan bioetika.⁹
Kajian ini bertujuan untuk mengurai secara
sistematis dasar moral, rasional, dan sosial dari konsep hak, serta menjelaskan
hubungan antara hak, kebebasan, dan tanggung jawab moral manusia.
Pendekatan yang digunakan bersifat filsafati-analitis dengan menelaah
dimensi ontologis (hakikat hak), epistemologis (cara kita memahami dan
membenarkan hak), serta normatif (bagaimana hak menjadi pedoman tindakan etis).
Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan wacana etika hak sebagai fondasi moral yang dinamis dan relevan
dalam kehidupan sosial kontemporer.¹⁰
Footnotes
[1]               
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 4–6.
[2]               
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 50–52.
[3]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
42.
[4]               
Ibid., 46.
[5]               
John Locke, Two Treatises of Government
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287.
[6]               
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract
(London: Penguin Classics, 2004), 12–15.
[7]               
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights (New York: United Nations, 1948), preamble.
[8]               
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 10–12.
[9]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
25–30.
[10]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 97–102.
2.          
Landasan
Konseptual: Pengertian dan Ruang Lingkup Etika Hak
Etika hak (ethics of rights) merupakan
cabang dari filsafat moral yang memusatkan perhatian pada dasar normatif
hak-hak manusia serta hubungan antara hak, kewajiban, dan keadilan.¹
Dalam pengertian umum, hak (rights) adalah klaim moral atau hukum yang
dimiliki individu terhadap orang lain atau lembaga sosial, yang menuntut
pengakuan dan perlindungan terhadap nilai-nilai tertentu seperti kebebasan,
martabat, atau kesejahteraan.² Sedangkan etika (ethics) merupakan
refleksi rasional atas prinsip-prinsip moral yang mengatur tindakan manusia dan
menentukan apa yang dianggap benar atau salah.³ Dengan demikian, etika hak
menggabungkan dua dimensi: (1) legitimasi moral dari klaim atas hak, dan
(2) tanggung jawab moral dalam menggunakan hak tersebut.
Secara terminologis, konsep hak dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: hak moral (moral rights), hak
hukum (legal rights), dan hak asasi manusia (human rights).⁴ Hak
moral bersumber dari nilai-nilai etis yang melekat pada kodrat manusia,
misalnya hak untuk dihormati atau hak untuk hidup bermartabat, tanpa harus
bergantung pada pengakuan hukum positif.⁵ Sementara hak hukum muncul
dari sistem norma yang ditetapkan secara institusional melalui
perundang-undangan dan memiliki kekuatan yuridis.⁶ Adapun hak asasi manusia
berfungsi sebagai jembatan antara keduanya—ia berakar pada moralitas universal,
tetapi juga diartikulasikan dalam bentuk hukum internasional untuk menjamin
perlindungan hak setiap individu.⁷
Dalam kerangka filsafat, terdapat dua pendekatan
utama dalam memahami hak, yakni pendekatan naturalistik dan pendekatan
konstruktivistik. Pendekatan naturalistik, yang berakar pada pemikiran
Locke dan Grotius, menganggap hak sebagai bagian dari hukum alam (natural
law) yang melekat pada manusia sejak lahir.⁸ Sebaliknya, pendekatan
konstruktivistik—seperti yang dikembangkan oleh Kant dan Habermas—memahami hak
sebagai hasil rasionalisasi dan kesepakatan intersubjektif yang muncul dari
proses komunikasi moral dalam masyarakat.⁹ Dengan demikian, hak tidak
semata-mata sesuatu yang “ditemukan” dalam alam moral, tetapi juga “dibentuk”
melalui praktik diskursif dan rasionalitas komunikatif.¹⁰
Ruang lingkup etika hak meliputi beberapa dimensi
penting. Pertama, dimensi individual, yang menekankan hak sebagai
ekspresi kebebasan dan otonomi personal.¹¹ Kedua, dimensi sosial, yang
memandang hak selalu berada dalam jaringan relasi timbal balik dan tanggung
jawab terhadap orang lain.¹² Ketiga, dimensi institusional, yang berkaitan
dengan bagaimana lembaga hukum dan politik menjamin serta menyeimbangkan hak
individu dengan kepentingan kolektif.¹³ Dalam konteks ini, hak tidak dapat
dipahami secara atomistik atau terpisah dari komunitas sosialnya, melainkan
harus dikaitkan dengan prinsip keadilan distributif dan solidaritas manusia.¹⁴
Selain itu, etika hak juga menuntut adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban moral. Menurut John Rawls, sistem
sosial yang adil adalah yang mengatur distribusi hak dan kebebasan dasar
sedemikian rupa sehingga setiap orang memperoleh kesempatan yang sama untuk
menikmati hak-hak tersebut tanpa merugikan pihak lain.¹⁵ Dengan kata lain, hak
yang sah selalu disertai dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain.¹⁶
Maka, etika hak bukan hanya teori normatif tentang klaim individu,
tetapi juga refleksi moral tentang bagaimana manusia hidup bersama secara
adil dalam tatanan sosial.¹⁷
Dengan pemahaman konseptual ini, etika hak dapat
dipandang sebagai fondasi moral bagi keadilan, hukum, dan kebebasan manusia.
Ia berfungsi untuk menjembatani dimensi moral dan politik dalam kehidupan
sosial, memastikan bahwa tindakan manusia tidak hanya sah secara hukum, tetapi
juga benar secara etis.¹⁸
Footnotes
[1]               
Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds
of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 12–13.
[2]               
Wesley Newcomb Hohfeld, Fundamental Legal
Conceptions as Applied in Judicial Reasoning (New Haven: Yale University
Press, 1919), 37–39.
[3]               
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements
of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 5.
[4]               
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 8th ed. (New York: Oxford University Press, 2019),
108–110.
[5]               
Alan Gewirth, Reason and Morality (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 45–47.
[6]               
H. L. A. Hart, Essays on Bentham: Jurisprudence
and Political Theory (Oxford: Clarendon Press, 1982), 183–185.
[7]               
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 18–22.
[8]               
John Locke, Two Treatises of Government
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 270–273.
[9]               
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 63–66.
[10]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–110.
[11]            
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 33–34.
[12]            
Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the
Human Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1985), 187–210.
[13]            
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–55.
[14]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–15.
[15]            
Rawls, A Theory of Justice, 60–65.
[16]            
Beitz, The Idea of Human Rights, 85–87.
[17]            
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 191–193.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
31–33.
3.          
Dimensi
Historis dan Genealogi Pemikiran Etika Hak
Perkembangan konsep etika hak tidak dapat
dilepaskan dari dinamika panjang sejarah filsafat moral dan politik Barat.
Genealogi pemikirannya menunjukkan evolusi dari gagasan natural right
(hak kodrati) menuju human rights (hak asasi manusia) dalam pengertian
modern.¹ Proses historis ini mencerminkan perubahan cara pandang manusia
terhadap dirinya sendiri—dari makhluk yang terikat pada tatanan kosmis menuju
subjek moral yang otonom dan rasional.²
3.1.      
Akar Klasik: Dari Kosmos ke
Kodrat Manusia
Dalam filsafat Yunani Klasik, konsep hak belum
dikenal secara eksplisit, namun gagasan tentang keadilan dan kewajaran
moral menjadi dasar bagi pemahaman awal tentang hak. Bagi Aristoteles,
keadilan adalah kebajikan tertinggi dalam kehidupan polis, dan hak seseorang
terkait dengan perannya dalam komunitas.³ Pandangan ini bersifat teleologis:
hak dan kewajiban ditentukan oleh tujuan moral yang inheren dalam tatanan
kosmos dan kodrat manusia.⁴ Sementara kaum Stoik, seperti Cicero, mulai
memperkenalkan gagasan lex naturalis (hukum alam) yang berlaku universal
bagi seluruh umat manusia.⁵ Pemikiran Stoik ini menjadi jembatan penting antara
filsafat Yunani dan teologi Kristen awal dalam memahami hak sebagai aspek moral
yang bersifat universal.⁶
3.2.      
Tradisi Abad Pertengahan:
Teologi dan Hak Alamiah
Pada Abad Pertengahan, refleksi tentang hak
memperoleh dimensi teologis. Thomas Aquinas mengembangkan konsep lex
naturalis sebagai bagian dari hukum ilahi (lex divina), yang
menunjukkan bahwa hak moral manusia bersumber dari rasio dan kehendak Tuhan.⁷
Dalam pandangan Aquinas, manusia memiliki hak karena ia diciptakan menurut
gambar Allah dan dianugerahi akal budi untuk membedakan yang baik dan buruk.⁸
Meskipun hak belum didefinisikan secara individualistik, kerangka teologis ini
menegaskan fondasi moral yang bersifat objektif bagi hak manusia.⁹
3.3.      
Era Modern: Rasionalitas,
Individualisme, dan Kontrak Sosial
Perubahan radikal terjadi pada abad ke-17 dan 18,
ketika para pemikir seperti Grotius, Hobbes, Locke, dan Rousseau memisahkan
hukum alam dari teologi dan menempatkannya dalam kerangka rasionalitas
manusia.¹⁰ Hugo Grotius sering disebut sebagai bapak modern natural law,
karena ia menegaskan bahwa hukum alam akan tetap berlaku bahkan jika Tuhan
tidak ada—suatu pernyataan yang menandai sekularisasi moralitas.¹¹ Thomas Hobbes
kemudian menafsirkan hak secara individualistik sebagai kebebasan setiap orang
untuk mempertahankan diri, yang kemudian dibatasi melalui kontrak sosial demi
ketertiban bersama.¹² John Locke melanjutkan tradisi ini dengan menegaskan hak
atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan sebagai hak alamiah yang tidak dapat
dicabut oleh negara.¹³ Pemikiran Locke menjadi dasar ide-ide liberalisme dan
deklarasi politik modern seperti Declaration of Independence (1776) dan Déclaration
des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789).¹⁴
Sementara itu, Jean-Jacques Rousseau memberikan
nuansa moral yang lebih kolektif melalui konsep volonté générale
(kehendak umum).¹⁵ Hak individu, menurutnya, hanya dapat direalisasikan dalam
kerangka sosial yang menjamin kebebasan bersama.¹⁶ Pandangan Rousseau ini
memperluas horizon etika hak dari sekadar kebebasan personal menuju tanggung
jawab sosial, menjadi salah satu akar etis bagi pemikiran demokrasi modern.¹⁷
3.4.      
Abad Pencerahan dan
Rasionalisasi Moral
Immanuel Kant membawa refleksi etika hak ke tingkat
yang lebih mendalam dengan menegaskan prinsip otonomi moral manusia.¹⁸ Bagi
Kant, hak tidak sekadar klaim sosial, melainkan turunan dari kewajiban moral
rasional yang bersifat apriori.¹⁹ Prinsip kategorisnya—bahwa manusia harus
diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan alat—menjadi landasan
deontologis bagi seluruh sistem etika hak modern.²⁰ Pandangan ini menegaskan
bahwa penghormatan terhadap hak orang lain bukanlah hasil utilitas, tetapi
kewajiban moral universal.²¹
3.5.      
Perkembangan Modern dan
Kritik Kontemporer
Memasuki abad ke-20, etika hak semakin
terinstitusionalisasi dalam hukum internasional, terutama melalui Universal
Declaration of Human Rights (1948), yang merefleksikan sintesis antara
moralitas Kantian dan liberalisme politik.²² Namun, berbagai kritik muncul
terhadap universalisme hak. Pemikir seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida
menunjukkan bahwa konsep hak sering kali bersifat euro-sentris dan
menyembunyikan relasi kekuasaan dalam wacana modernitas.²³ Pandangan ini
menantang asumsi bahwa hak bersifat netral atau universal, dan membuka ruang
bagi pendekatan postkolonial serta relativisme budaya dalam filsafat hak.²⁴
Dengan demikian, secara historis, etika hak
merupakan hasil dialektika panjang antara rasionalitas, moralitas, dan
kekuasaan. Ia tidak hanya berkembang dari ide-ide moral abstrak, tetapi
juga dari pergulatan historis manusia dalam memperjuangkan martabat dan
kebebasannya.²⁵ Genealogi ini memperlihatkan bahwa pemikiran tentang hak selalu
bersifat terbuka terhadap koreksi dan reinterpretasi sesuai dinamika sosial,
politik, dan budaya setiap zaman.²⁶
Footnotes
[1]               
Richard Tuck, Natural Rights Theories: Their
Origin and Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 3–6.
[2]               
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
112–114.
[3]               
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1129b–1130a.
[4]               
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 320–322.
[5]               
Cicero, De Legibus, trans. Clinton W. Keyes
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), II.8–10.
[6]               
A. A. Long and D. N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57–59.
[7]               
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.
91, a. 2.
[8]               
Ibid., I-II, q. 94, a. 2.
[9]               
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 35–38.
[10]            
Quentin Skinner, The Foundations of Modern
Political Thought, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978),
148–152.
[11]            
Hugo Grotius, On the Law of War and Peace,
trans. Francis W. Kelsey (Oxford: Clarendon Press, 1925), Prolegomena, §11.
[12]            
Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin
Classics, 1985), 183–187.
[13]            
John Locke, Two Treatises of Government
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 270–274.
[14]            
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History
(New York: W. W. Norton, 2007), 108–111.
[15]            
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract
(London: Penguin Classics, 2004), 23–26.
[16]            
Ibid., 30–33.
[17]            
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–48.
[18]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
42–44.
[19]            
Ibid., 48.
[20]            
Ibid., 52–53.
[21]            
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of
Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133–135.
[22]            
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights (New York: United Nations, 1948), preamble.
[23]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995),
25–26.
[24]            
Jacques Derrida, On Cosmopolitanism and
Forgiveness (London: Routledge, 2001), 14–16.
[25]            
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens,
Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 7–9.
[26]            
Jürgen Habermas, The Inclusion of the Other:
Studies in Political Theory, ed. Ciaran Cronin and Pablo De Greiff
(Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 139–142.
4.          
Dasar
Ontologis dan Epistemologis Hak
Pembahasan tentang etika hak tidak dapat
dilepaskan dari dua dimensi fundamental filsafat, yaitu ontologi dan epistemologi.
Dimensi ontologis berhubungan dengan hakikat atau keberadaan hak itu sendiri,
sedangkan dimensi epistemologis berkaitan dengan bagaimana manusia
mengetahui, memahami, dan membenarkan klaim atas hak.¹ Dengan menelaah dua
dimensi ini, dapat dijelaskan bahwa hak bukan sekadar produk hukum atau
konstruksi sosial, melainkan berakar pada dasar moral dan rasionalitas manusia
sebagai makhluk etis dan otonom.²
4.1.      
Ontologi Hak: Antara
Realisme Moral dan Konstruktivisme Sosial
Secara ontologis, perdebatan utama dalam filsafat
hak berkisar pada pertanyaan: apakah hak memiliki keberadaan objektif yang
melekat pada manusia, ataukah ia hanya hasil kesepakatan sosial dan politik?³
Kaum realis moral berpendapat bahwa hak bersifat ontologis dan
objektif, karena bersumber dari kodrat manusia (human nature)
sebagai makhluk rasional dan bermartabat.⁴ Dalam pandangan ini, seperti yang
ditegaskan oleh Alan Gewirth, hak melekat pada manusia karena kapasitasnya
untuk bertindak secara rasional demi tujuan yang baik bagi dirinya dan orang
lain.⁵ Hak, dengan demikian, merupakan konsekuensi logis dari eksistensi moral
manusia.
Sementara itu, pendekatan konstruktivis
menolak gagasan bahwa hak memiliki status ontologis yang tetap.⁶ Bagi pemikir
seperti John Rawls dan Jürgen Habermas, hak adalah hasil dari rasionalitas
prosedural dan kesepakatan intersubjektif yang dicapai dalam
masyarakat demokratis.⁷ Dalam konteks ini, keberadaan hak tidak dipandang
sebagai fakta metafisik, melainkan sebagai produk praktik sosial yang rasional
dan dapat dibenarkan secara komunikatif.⁸ Habermas menegaskan bahwa legitimasi
hak bergantung pada kesepakatan normatif yang dicapai melalui diskursus bebas
dan inklusif, bukan pada esensi metafisik manusia.⁹
Kedua pendekatan tersebut memberikan wawasan
berbeda mengenai ontologi hak. Realisme moral menekankan keberadaan hak yang
melekat dan bersifat universal, sedangkan konstruktivisme menyoroti konteks
sosial dan intersubjektif sebagai landasan eksistensinya. Dalam konteks etika
kontemporer, banyak filsuf berupaya mengintegrasikan keduanya melalui
pendekatan realisme intersubjektif, yang memandang hak sebagai entitas
moral yang nyata, namun eksistensinya dimediasi oleh kesepakatan sosial yang
rasional.¹⁰
4.2.      
Epistemologi Hak:
Pengetahuan, Justifikasi, dan Rasionalitas Moral
Dari sisi epistemologis, pertanyaan yang muncul
adalah: bagaimana manusia mengetahui bahwa ia memiliki hak, dan bagaimana
klaim atas hak dapat dibenarkan secara rasional? Epistemologi hak berakar
pada dua tradisi besar: rasionalisme moral dan empirisisme sosial.
Dalam tradisi rasionalisme moral, seperti
yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, pengetahuan tentang hak bersumber dari
rasio praktis manusia.¹¹ Hak dipahami sebagai hasil dari prinsip moral apriori
yang bersifat universal—yakni, kewajiban untuk memperlakukan setiap manusia
sebagai tujuan pada dirinya sendiri.¹² Rasio praktis tidak hanya mengenali hak,
tetapi juga membenarkan keberadaannya melalui hukum moral yang bersifat
niscaya.¹³ Dengan demikian, dalam kerangka Kantian, hak memiliki validitas
epistemik karena didasarkan pada struktur rasionalitas moral manusia.¹⁴
Sebaliknya, empirisisme sosial berargumen
bahwa pengetahuan tentang hak muncul dari pengalaman historis dan relasi sosial
manusia.¹⁵ Menurut Michel Villey dan Alasdair MacIntyre, pemahaman manusia
tentang hak berkembang melalui praktik sosial dan institusi hukum yang
merefleksikan nilai-nilai tertentu dalam suatu budaya.¹⁶ Hak, dalam pandangan
ini, bukan sesuatu yang ditemukan secara apriori, tetapi dibentuk dan dimaknai
secara kontekstual dalam kehidupan bersama.¹⁷
John Rawls mencoba mensintesiskan kedua tradisi ini
melalui konsep “reflective equilibrium”, yakni proses dialektis antara
prinsip moral universal dan pengalaman sosial konkret.¹⁸ Dalam kerangka ini,
pengetahuan tentang hak tidak bersifat absolut, melainkan diperoleh melalui
refleksi rasional yang terus-menerus antara intuisi moral dan norma sosial.¹⁹
Pendekatan Rawls membuka jalan bagi pemahaman epistemologis yang dinamis dan
terbuka terhadap revisi, sejalan dengan prinsip rasionalitas komunikatif
Habermas.²⁰
4.3.      
Hak sebagai Relasi Moral
dan Pengetahuan Interaktif
Dalam sintesis antara ontologi dan epistemologi
hak, sejumlah filsuf kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Charles Beitz
menekankan bahwa hak harus dipahami sebagai relasi moral interaktif
antarindividu dalam konteks sosial global.²¹ Hak tidak hanya dimiliki,
tetapi juga diakui dan ditegakkan melalui proses komunikasi
etis.²² Maka, eksistensi hak tidak dapat dilepaskan dari kesadaran moral
bersama yang memungkinkan pengakuan timbal balik antarindividu.²³
Secara ontologis, hak merupakan ekspresi dari martabat
manusia yang menuntut penghormatan universal. Secara epistemologis, hak
diketahui, dipahami, dan dibenarkan melalui dialog rasional yang menumbuhkan
kesadaran moral kolektif.²⁴ Dengan demikian, etika hak menegaskan bahwa
pengetahuan tentang hak bukan hanya persoalan logika normatif, tetapi juga
refleksi etis yang berakar pada pengalaman manusia sebagai makhluk moral yang
hidup dalam jaringan sosial.²⁵
Footnotes
[1]               
James Griffin, On Human Rights (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 23–25.
[2]               
Alan Gewirth, Reason and Morality (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 56–58.
[3]               
Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds
of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 45–47.
[4]               
Finnis, John, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 33–36.
[5]               
Gewirth, Reason and Morality, 88–90.
[6]               
Christine M. Korsgaard, The Sources of
Normativity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 132–134.
[7]               
John Rawls, Political Liberalism (New York:
Columbia University Press, 1993), 11–15.
[8]               
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 108–110.
[9]               
Ibid., 120–123.
[10]            
Charles Taylor, Philosophical Arguments
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 195–198.
[11]            
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
38–40.
[12]            
Ibid., 52.
[13]            
Ibid., 60.
[14]            
Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 87–89.
[15]            
Michel Villey, Le droit et les droits de l’homme
(Paris: Presses Universitaires de France, 1983), 14–16.
[16]            
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 67–69.
[17]            
Ibid., 72.
[18]            
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 48–51.
[19]            
Ibid., 52–54.
[20]            
Habermas, Between Facts and Norms, 122–125.
[21]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
28–30.
[22]            
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 90–93.
[23]            
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens,
Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
102–104.
[24]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT
Press, 1995), 109–111.
[25]            
Habermas, The Inclusion of the Other: Studies in
Political Theory, ed. Ciaran Cronin and Pablo De Greiff (Cambridge, MA: MIT
Press, 1998), 138–140.
5.          
Teori-teori
Normatif dalam Etika Hak
Kajian etika hak tidak dapat dilepaskan dari
perdebatan filosofis mengenai teori-teori normatif yang menjadi dasar penilaian
moral terhadap tindakan manusia dan struktur sosial. Teori-teori ini berupaya
menjelaskan mengapa manusia memiliki hak, bagaimana hak-hak itu
dibenarkan secara moral, serta bagaimana konflik antara hak individu dan
kepentingan kolektif dapat diatasi.¹ Terdapat beberapa kerangka normatif
utama yang membentuk dasar konseptual etika hak, yaitu: teori deontologis,
utilitarian, kontraktualis, serta kritik-kritik komunitarian
dan feminis terhadap paradigma liberal.
5.1.      
Pendekatan Deontologis: Hak
sebagai Kewajiban Moral Universal
Teori deontologis, yang paling kuat diwakili oleh
pemikiran Immanuel Kant, menempatkan hak sebagai turunan langsung dari
kewajiban moral.² Dalam kerangka ini, moralitas tidak ditentukan oleh
konsekuensi suatu tindakan, melainkan oleh niat dan prinsip yang mendasarinya.
Hak lahir dari hukum moral apriori, yang bersifat universal dan
rasional, sebagaimana dirumuskan dalam imperatif kategoris: bertindaklah
sedemikian rupa sehingga manusia diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya
sendiri, bukan sebagai alat.³
Dengan demikian, bagi Kant, penghormatan terhadap
hak orang lain merupakan kewajiban moral yang tak bersyarat.⁴ Hak memiliki
legitimasi bukan karena hasil perjanjian sosial atau manfaat sosialnya, tetapi
karena ia berasal dari rasionalitas moral manusia.⁵ Dalam tradisi deontologis,
hak memiliki nilai intrinsik, bukan instrumental, sehingga pelanggaran
terhadap hak dianggap sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia itu
sendiri.⁶ Teori ini menjadi dasar bagi pemikiran human rights modern, di
mana hak dipahami sebagai norma moral yang tidak dapat diganggu gugat.⁷
5.2.      
Pendekatan Utilitarian: Hak
sebagai Instrumen Kebahagiaan Kolektif
Berbeda dengan pendekatan deontologis, teori
utilitarian memandang hak secara konsekuensialis, yakni dinilai
berdasarkan hasil atau manfaat yang dihasilkan.⁸ Dalam pandangan Jeremy Bentham
dan John Stuart Mill, hak tidak memiliki status moral yang independen; ia hanya
sah sejauh mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak.⁹ Bentham bahkan secara provokatif menyebut hak-hak alamiah sebagai “nonsense
upon stilts”, karena dianggap tidak memiliki dasar rasional yang terukur.¹⁰
Namun, Mill berupaya memberikan pembenaran moral
terhadap hak melalui prinsip kebebasan.¹¹ Menurutnya, hak individu penting
karena secara instrumental melindungi kondisi yang memungkinkan manusia
mengejar kebahagiaan secara otonom.¹² Dengan demikian, hak tetap bernilai dalam
kerangka utilitarian sejauh mendukung kesejahteraan kolektif.¹³ Pendekatan ini
banyak diadopsi dalam analisis kebijakan publik dan ekonomi moral, di mana hak
dipahami secara pragmatis sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara
kebebasan dan kemaslahatan sosial.¹⁴
5.3.      
Pendekatan Kontraktualis:
Hak sebagai Hasil Kesepakatan Rasional
Teori kontraktualis melihat hak sebagai produk perjanjian
sosial rasional di antara individu yang bebas dan setara.¹⁵ Akar
pemikirannya dapat ditelusuri dari Thomas Hobbes dan John Locke hingga John
Rawls.¹⁶ Bagi Hobbes, hak alamiah manusia bersifat absolut sebelum pembentukan
negara; namun untuk menghindari kekacauan, manusia menyerahkan sebagian haknya
kepada penguasa melalui kontrak sosial.¹⁷ Sebaliknya, Locke menekankan bahwa
kontrak sosial justru dibuat untuk melindungi hak alamiah, bukan
meniadakannya.¹⁸
Dalam teori kontemporer, John Rawls mengembangkan
gagasan ini melalui konsep justice as fairness.¹⁹ Menurutnya, hak-hak
dasar harus ditentukan berdasarkan prinsip keadilan yang disepakati di balik veil
of ignorance, yaitu kondisi imajiner di mana individu tidak mengetahui
posisi sosial atau keberuntungan mereka di masyarakat.²⁰ Prinsip pertama Rawls
menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas, sejauh kebebasan itu kompatibel dengan kebebasan orang lain.²¹
Dengan demikian, hak memperoleh legitimasi moral bukan karena kehendak Tuhan
atau kodrat alamiah, melainkan karena dapat dibenarkan melalui proses rasional
dan adil.²²
5.4.      
Kritik Komunitarian dan
Feminis: Hak dalam Konteks Relasional
Meskipun teori liberal klasik menekankan hak individu,
pendekatan komunitarian dan feminis mengajukan kritik terhadap
individualisme ekstrem dalam etika hak.²³ Kaum komunitarian seperti Michael
Sandel dan Charles Taylor berargumen bahwa hak tidak dapat dilepaskan dari identitas
dan ikatan sosial tempat individu berada.²⁴ Hak bukanlah klaim atomistik
yang berdiri sendiri, melainkan ekspresi nilai dan tanggung jawab yang
terbentuk dalam kehidupan komunitas.²⁵ Oleh karena itu, keadilan dan hak harus
dipahami dalam konteks relasi sosial yang konkret, bukan sekadar melalui
prosedur abstrak.²⁶
Dalam perspektif feminis, seperti yang dikemukakan
oleh Carol Gilligan dan Martha Nussbaum, teori hak tradisional sering
mengabaikan dimensi empati, perawatan, dan ketergantungan manusia.²⁷
Etika hak perlu dilengkapi dengan ethics of care, yang menekankan
pentingnya hubungan interpersonal dan tanggung jawab emosional dalam kehidupan
moral.²⁸ Kritik feminis ini memperluas horizon etika hak dari sekadar
rasionalitas formal menuju moralitas yang lebih kontekstual, relasional, dan
manusiawi.²⁹
5.5.      
Teori Diskursus:
Rasionalitas Komunikatif dan Legitimasi Hak
Sebagai respon terhadap perdebatan di atas, Jürgen
Habermas menawarkan teori diskursus moral, yang berupaya mensintesiskan
aspek normatif dan prosedural dalam etika hak.³⁰ Menurutnya, legitimasi hak
tidak bergantung pada substansi metafisik atau utilitas sosial, tetapi pada proses
komunikasi yang rasional dan inklusif.³¹ Hak memperoleh validitas moral
ketika ia dapat diterima secara universal melalui dialog bebas dari dominasi.³²
Dengan demikian, hak bukan hanya instrumen hukum, tetapi juga hasil interaksi
etis yang terus dikoreksi melalui rasionalitas komunikatif.³³
Sintesis Normatif
Dari berbagai teori tersebut, tampak bahwa etika
hak memiliki dimensi ganda: normatif-universal dan prosedural-relasional.
Hak dapat dilihat sebagai prinsip moral yang melekat pada martabat manusia
(deontologis), sekaligus sebagai hasil refleksi sosial yang rasional
(kontraktualis dan diskursus).³⁴ Oleh karena itu, pengembangan etika hak modern
perlu mengintegrasikan nilai-nilai otonomi, keadilan, kebahagiaan, dan
solidaritas dalam satu kerangka moral yang dinamis dan terbuka.³⁵
Footnotes
[1]               
Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds
of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 17–19.
[2]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
38–40.
[3]               
Ibid., 52.
[4]               
Ibid., 60.
[5]               
Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 88–89.
[6]               
Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of
Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 130–132.
[7]               
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 21–23.
[8]               
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 1–3.
[9]               
John Stuart Mill, Utilitarianism
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1979), 14–16.
[10]            
Bentham, Anarchical Fallacies in Works of
Jeremy Bentham, vol. 2, ed. John Bowring (Edinburgh: William Tait, 1843),
501.
[11]            
Mill, On Liberty (London: Penguin Classics,
1985), 67–70.
[12]            
Ibid., 72–75.
[13]            
R. M. Hare, Moral Thinking: Its Levels, Method,
and Point (Oxford: Clarendon Press, 1981), 112–114.
[14]            
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 15–17.
[15]            
Thomas Hobbes, Leviathan (London: Penguin
Classics, 1985), 183–185.
[16]            
John Locke, Two Treatises of Government
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 268–272.
[17]            
Hobbes, Leviathan, 188–190.
[18]            
Locke, Two Treatises, 274–278.
[19]            
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 11–13.
[20]            
Ibid., 118–121.
[21]            
Ibid., 53.
[22]            
Rawls, Political Liberalism (New York:
Columbia University Press, 1993), 19–21.
[23]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12–14.
[24]            
Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the
Human Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1985), 187–189.
[25]            
Ibid., 193–195.
[26]            
Sandel, Liberalism and the Limits of Justice,
16–18.
[27]            
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1982), 32–34.
[28]            
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to
Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California
Press, 2013), 75–77.
[29]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
45–47.
[30]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 108–110.
[31]            
Ibid., 120–123.
[32]            
Ibid., 127–129.
[33]            
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 66–68.
[34]            
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens,
Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
9–12.
[35]            
James Griffin, On Human Rights (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 204–206.
6.          
Etika
Hak dalam Konteks Sosial dan Politik
Etika hak tidak hanya beroperasi dalam ruang moral
individual, tetapi juga dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Hak
bukan sekadar klaim moral personal, melainkan juga prinsip normatif yang
mengatur relasi antara individu, masyarakat, dan negara.¹ Dengan demikian, etika
hak memiliki fungsi ganda: menjamin kebebasan individu serta mendasarkan
legitimasi kekuasaan politik pada prinsip keadilan dan penghormatan terhadap
martabat manusia.²
Dalam kehidupan sosial dan politik, hak berfungsi
sebagai batas moral bagi tindakan negara dan institusi publik, sekaligus
sebagai dasar legitimasi bagi partisipasi warga negara.³ Melalui hak, individu
memperoleh perlindungan terhadap tindakan koersif dan memperoleh ruang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan bersama.⁴ Oleh karena itu, etika hak tidak hanya
berbicara tentang apa yang dimiliki manusia, tetapi juga tentang apa
yang harus dilakukan masyarakat dan negara demi menjaga kesetaraan dan
keadilan.⁵
6.1.      
Hubungan antara Hak
Individu dan Kepentingan Kolektif
Salah satu perdebatan klasik dalam filsafat politik
adalah ketegangan antara hak individu dan kepentingan kolektif. Dalam paradigma
liberal, seperti yang dikemukakan John Stuart Mill, kebebasan individu harus
dihormati selama tidak merugikan orang lain—prinsip yang dikenal sebagai harm
principle.⁶ Mill menekankan bahwa pembatasan terhadap hak individu hanya
dapat dibenarkan untuk mencegah bahaya terhadap sesama.⁷
Namun, perspektif komunitarian seperti yang
dikemukakan oleh Charles Taylor dan Michael Sandel berpendapat bahwa hak tidak
dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial dan nilai-nilai komunitas.⁸
Kebebasan individu, dalam pandangan mereka, harus dipahami dalam konteks
solidaritas sosial dan keterikatan moral terhadap kebaikan bersama (common
good).⁹ Dengan demikian, etika hak harus menemukan keseimbangan antara
otonomi personal dan kohesi sosial, antara kebebasan individu dan kewajiban
moral terhadap sesama warga.¹⁰
Dalam kerangka demokrasi modern, perdebatan ini
melahirkan konsep “kewargaan etis” (ethical citizenship), yaitu gagasan
bahwa warga negara tidak hanya menuntut haknya, tetapi juga memiliki tanggung
jawab untuk menjaga keadilan sosial dan keberlanjutan politik.¹¹ Pandangan ini
memperluas horizon etika hak dari orientasi individual menuju etika
partisipatif yang menekankan dialog, empati, dan solidaritas.¹²
6.2.      
Hak sebagai Fondasi
Keadilan dan Legitimasi Politik
Dalam teori politik modern, hak menjadi dasar bagi
keadilan dan legitimasi kekuasaan. John Rawls menyatakan bahwa struktur dasar
masyarakat harus diatur oleh prinsip-prinsip keadilan yang menjamin distribusi
hak dan kebebasan secara adil.¹³ Menurut Rawls, hak-hak dasar seperti kebebasan
berpendapat, kesetaraan di hadapan hukum, dan kebebasan beragama merupakan
unsur yang tidak dapat dikompromikan dalam tatanan sosial yang adil.¹⁴
Etika hak dalam konteks ini berperan untuk
menegaskan bahwa legitimasi politik bukanlah hasil dari kekuasaan mayoritas
semata, tetapi dari penghormatan terhadap hak minoritas dan martabat
individu.¹⁵ Dalam demokrasi, hak-hak politik seperti kebebasan berbicara,
berserikat, dan berpartisipasi merupakan sarana moral untuk memastikan bahwa
kekuasaan tetap tunduk pada prinsip rasional dan etis.¹⁶ Jürgen Habermas
menambahkan bahwa legitimasi politik sejati hanya dapat dicapai melalui
komunikasi publik yang bebas dan setara, di mana setiap warga memiliki hak
untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam pembentukan norma sosial.¹⁷
6.3.      
Hak Sosial, Ekonomi, dan
Budaya dalam Etika Keadilan
Selain hak sipil dan politik, etika hak juga
mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan budaya yang berkaitan dengan kondisi
material manusia. Martha Nussbaum dan Amartya Sen melalui pendekatan capability
menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak tidak hanya berarti memberikan
kebebasan formal, tetapi juga memastikan kemampuan nyata individu untuk hidup
bermartabat.¹⁸ Hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lingkungan hidup
yang layak menjadi bagian integral dari keadilan sosial.¹⁹
Dengan demikian, etika hak menolak pandangan sempit
yang membatasi hak pada ranah hukum atau politik formal. Ia menuntut perhatian
terhadap struktur sosial dan ekonomi yang menentukan apakah seseorang
benar-benar dapat menikmati hak-haknya.²⁰ Dalam konteks global, etika hak juga
menuntut solidaritas lintas negara untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan
pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh kolonialisme, globalisasi,
atau kapitalisme ekstrem.²¹
6.4.      
Tantangan Etika Hak di Era
Kontemporer
Dalam masyarakat kontemporer, etika hak menghadapi tantangan
baru yang kompleks. Isu-isu seperti privasi digital, hak atas data pribadi,
kebebasan berekspresi di ruang virtual, serta keadilan ekologis menunjukkan
bahwa ranah sosial-politik hak terus berkembang.²² Etika hak kini harus
merespons dinamika teknologi dan globalisasi yang mengubah batas-batas
tradisional antara publik dan privat, individu dan kolektif.²³
Selain itu, muncul pula perdebatan mengenai
relativisme budaya dalam penerapan hak asasi manusia universal.²⁴ Sebagian
masyarakat non-Barat menolak universalisme hak yang dianggap mencerminkan
hegemoni nilai-nilai Barat.²⁵ Dalam konteks ini, etika hak perlu dikembangkan
secara interkultural, dengan mengakui pluralitas nilai tanpa mengorbankan
prinsip dasar martabat manusia.²⁶
6.5.      
Etika Hak sebagai Fondasi
Politik Kemanusiaan
Etika hak pada akhirnya berfungsi sebagai jembatan
antara moralitas pribadi dan struktur sosial-politik. Ia memastikan bahwa
kebijakan publik, hukum, dan institusi negara tidak hanya sah secara
prosedural, tetapi juga benar secara moral.²⁷ Etika hak menjadi dasar bagi politik
kemanusiaan—yakni tatanan sosial di mana penghormatan terhadap hak individu
dipadukan dengan komitmen terhadap keadilan sosial dan solidaritas universal.²⁸
Dalam kerangka ini, penghormatan terhadap hak bukan sekadar urusan hukum,
melainkan tugas moral kolektif umat manusia.²⁹
Footnotes
[1]               
Joel Feinberg, Social Philosophy (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1973), 13–15.
[2]               
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 43–45.
[3]               
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 191–194.
[4]               
Ibid., 200–202.
[5]               
Thomas Nagel, Equality and Partiality
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 77–80.
[6]               
John Stuart Mill, On Liberty (London:
Penguin Classics, 1985), 68–70.
[7]               
Ibid., 72–73.
[8]               
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 13–15.
[9]               
Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism:
Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1994), 25–26.
[10]            
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals:
Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 112–114.
[11]            
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens,
Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
8–10.
[12]            
Ibid., 12–14.
[13]            
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–53.
[14]            
Ibid., 60–62.
[15]            
Beitz, The Idea of Human Rights, 74–76.
[16]            
Dworkin, Taking Rights Seriously, 208–210.
[17]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–110.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
20–22.
[19]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Knopf, 1999), 36–38.
[20]            
Nussbaum, Creating Capabilities, 31–33.
[21]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 10–12.
[22]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 119–122.
[23]            
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 93–95.
[24]            
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 85–87.
[25]            
Makau Mutua, “The Ideology of Human Rights,” Virginia
Journal of International Law 36, no. 3 (1996): 603–605.
[26]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 78–81.
[27]            
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge,
MA: MIT Press, 1991), 72–75.
[28]            
Martha Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 13–15.
[29]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT
Press, 1995), 145–147.
7.          
Etika
Hak dalam Konteks Kontemporer dan Teknologi
Perkembangan teknologi modern telah mengubah secara
mendasar cara manusia hidup, berinteraksi, dan memahami dirinya sendiri.
Dinamika ini membawa implikasi moral yang signifikan terhadap konsep dan
praktik etika hak.¹ Jika pada masa lalu hak manusia terutama dikaitkan
dengan kebebasan politik dan sosial, maka pada era digital dan bioteknologi,
hak-hak baru seperti hak privasi digital, hak atas data pribadi, hak
atas lingkungan hidup yang sehat, dan bahkan hak algoritmik telah
muncul sebagai tantangan etis baru.² Dengan demikian, etika hak harus
diperluas untuk menjawab perubahan kondisi eksistensial manusia di bawah
pengaruh teknologi.
7.1.      
Hak Privasi dan Identitas
Digital
Dalam masyarakat informasi, data pribadi menjadi
komoditas utama.³ Perusahaan teknologi dan lembaga pemerintah memiliki
kemampuan luar biasa untuk mengumpulkan, memproses, dan menganalisis data
individu dalam skala besar.⁴ Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah
manusia masih memiliki kendali atas identitasnya di ruang digital?
Luciano Floridi memperkenalkan konsep informational
privacy sebagai hak moral dasar yang menjamin integritas ontologis individu
sebagai “entitas informasi.”⁵ Privasi bukan hanya soal kerahasiaan data,
tetapi juga tentang hak untuk membentuk identitas digital secara otonom tanpa
manipulasi eksternal.⁶ Shoshana Zuboff bahkan memperingatkan tentang munculnya surveillance
capitalism, di mana kebebasan individu terancam oleh eksploitasi data
melalui algoritma komersial.⁷
Dalam konteks ini, etika hak menuntut adanya
keseimbangan antara manfaat sosial dari teknologi informasi (misalnya keamanan
publik atau efisiensi ekonomi) dengan perlindungan terhadap martabat dan
kebebasan individu.⁸ Hak privasi digital harus dipahami bukan sekadar sebagai
isu teknis atau legal, tetapi sebagai bagian integral dari hak moral atas
otonomi diri.⁹
7.2.      
Bioetika dan Hak atas Tubuh
Kemajuan bioteknologi juga memperluas wacana etika
hak hingga ke wilayah hak atas tubuh dan kehidupan biologis.¹⁰ Dalam era
rekayasa genetika, reproduksi buatan, dan kecerdasan buatan biologis, manusia
kini memiliki kemampuan untuk memodifikasi kehidupan itu sendiri.¹¹ Hal ini
menimbulkan dilema moral baru: apakah manusia memiliki hak untuk mengubah
kodrat biologisnya, ataukah tindakan tersebut melampaui batas moral yang wajar?
Dalam perspektif Martha Nussbaum, hak atas tubuh
mencakup capabilities untuk hidup sehat, bereproduksi secara
bermartabat, dan menghindari eksploitasi biologis.¹² Sementara itu, Peter
Singer menekankan bahwa hak atas kehidupan tidak boleh dipahami secara
dogmatis, melainkan harus dilihat dalam konteks kesejahteraan makhluk hidup
secara keseluruhan.¹³ Oleh karena itu, bioetika kontemporer menuntut penegasan
kembali hak moral individu terhadap tubuh dan kehidupan, namun juga
mempertimbangkan tanggung jawab manusia terhadap spesies dan ekosistem lain.¹⁴
7.3.      
Hak Lingkungan dan Generasi
Mendatang
Dimensi baru etika hak juga mencakup isu lingkungan
dan keberlanjutan ekologis.¹⁵ Krisis iklim global telah memperlihatkan bahwa
hak bukan hanya milik manusia saat ini, tetapi juga generasi mendatang.¹⁶
Konsep environmental rights menegaskan hak setiap orang untuk hidup
dalam lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.¹⁷
Filsuf Hans Jonas dalam karyanya The Imperative
of Responsibility menekankan bahwa etika modern harus melampaui orientasi
antroposentris menuju tanggung jawab terhadap masa depan kehidupan di bumi.¹⁸
Hak generasi mendatang, meskipun tidak dapat diklaim secara langsung, menuntut
pengakuan moral dari generasi sekarang untuk bertindak secara berkelanjutan.¹⁹
Dalam kerangka ini, etika hak berfungsi sebagai jembatan antara moralitas
individual dan tanggung jawab ekologis global.²⁰
7.4.      
Hak dalam Era Kecerdasan
Buatan dan Otomasi
Kemunculan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan
persoalan baru dalam etika hak: bagaimana status moral manusia dipertahankan di
tengah sistem algoritmik yang mampu mengambil keputusan secara otonom?²¹ Nick
Bostrom memperingatkan tentang potensi superintelligence yang dapat
melampaui kemampuan manusia dan mengancam kebebasan serta otonomi manusia.²²
Masalah etika hak dalam konteks AI mencakup tiga
dimensi:
(1)              
Hak manusia terhadap sistem AI (misalnya hak transparansi dan keadilan algoritmik),
(2)              
Hak pekerja terhadap otomatisasi (terkait keadilan ekonomi), dan
(3)              
Pertanyaan tentang hak entitas non-manusia, seperti robot atau sistem cerdas, yang mulai
meniru perilaku manusia.²³
Luciano Floridi dan Mariarosaria Taddeo mengusulkan
konsep digital ethics of AI, yaitu kerangka etis yang menjamin bahwa
perkembangan teknologi tetap menghormati hak, nilai, dan martabat manusia.²⁴
Prinsip ini menegaskan bahwa teknologi harus “mendukung kemanusiaan,” bukan
menggantikannya.²⁵
7.5.      
Etika Hak dalam Dunia
Global dan Interkultural
Di tengah globalisasi dan interkoneksi digital, etika
hak juga menghadapi tantangan pluralitas nilai budaya.²⁶ Sementara Universal
Declaration of Human Rights menegaskan kesetaraan manusia di seluruh dunia,
penerapannya sering dipertanyakan dalam konteks perbedaan norma sosial dan
tradisi lokal.²⁷ Bhikhu Parekh mengingatkan bahwa universalitas hak harus
diimbangi dengan kepekaan terhadap keberagaman budaya, agar tidak terjebak pada
dominasi moral satu peradaban atas yang lain.²⁸
Dengan demikian, etika hak di era kontemporer
memerlukan pendekatan interkultural ethics, yang menekankan dialog,
refleksi kritis, dan pembelajaran timbal balik antarbudaya.²⁹ Pendekatan ini
memastikan bahwa prinsip-prinsip hak universal tidak kehilangan relevansi
ketika diterapkan dalam konteks sosial, teknologi, dan budaya yang
berbeda-beda.³⁰
Sintesis: Menuju
Etika Hak Digital dan Post-Humanistik
Secara keseluruhan, perkembangan teknologi
mendorong pembaruan ontologis dan moral terhadap konsep hak. Hak kini tidak
hanya berbicara tentang manusia sebagai individu, tetapi juga tentang manusia
sebagai bagian dari ekosistem informasi dan teknologi.³¹ Etika hak digital
menuntut paradigma baru yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan, tanggung
jawab ekologis, dan keadilan global.³²
Dengan demikian, etika hak kontemporer
bergerak menuju horizon post-humanistik, di mana penghormatan terhadap
hak tidak hanya berarti mempertahankan martabat manusia, tetapi juga mengakui
keterhubungan moral antara manusia, teknologi, dan alam.³³
Footnotes
[1]               
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 91–93.
[2]               
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 117–120.
[3]               
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.
[4]               
Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism,
92–95.
[5]               
Floridi, The Ethics of Information, 132–134.
[6]               
Ibid., 140.
[7]               
Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism,
115–118.
[8]               
Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of
the Mind and the Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 177–179.
[9]               
Beitz, The Idea of Human Rights, 98–100.
[10]            
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 99–102.
[11]            
Julian Savulescu and Nick Bostrom, eds., Human
Enhancement (Oxford: Oxford University Press, 2009), 3–5.
[12]            
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
33–35.
[13]            
Singer, Practical Ethics, 120–123.
[14]            
Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability,
Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2006), 13–16.
[15]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 120–122.
[16]            
Henry Shue, Basic Rights: Subsistence,
Affluence, and U.S. Foreign Policy, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1996), 18–20.
[17]            
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity
(Tokyo: United Nations University Press, 1989), 8–10.
[18]            
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 122–125.
[19]            
Ibid., 136–138.
[20]            
Bryan Norton, Toward Unity Among
Environmentalists (Oxford: Oxford University Press, 1991), 64–66.
[21]            
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 210–212.
[22]            
Ibid., 220–222.
[23]            
David J. Gunkel, The Machine Question: Critical
Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012),
45–47.
[24]            
Luciano Floridi and Mariarosaria Taddeo, “What Is
Data Ethics?,” Philosophical Transactions of the Royal Society A 374,
no. 2083 (2016): 1–4.
[25]            
Floridi, The Ethics of Information, 143–145.
[26]            
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 91–93.
[27]            
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights (New York: United Nations, 1948), preamble.
[28]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 95–97.
[29]            
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality
and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2002), 34–36.
[30]            
Ibid., 45–47.
[31]            
Floridi, The Ethics of Information, 156–158.
[32]            
Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology:
Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 99–101.
[33]            
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 190–193.
8.          
Kritik
terhadap Konsep Etika Hak
Konsep etika hak, meskipun menjadi salah
satu pilar utama dalam filsafat moral dan politik modern, tidak luput dari
berbagai kritik yang datang dari beragam aliran pemikiran. Kritik-kritik
tersebut mencakup aspek metafisik, moral, sosial, dan politis, yang
menyoroti keterbatasan konseptual dan implikasi praktis dari ide hak sebagai
dasar normatif universal.¹ Sebagian kritik diarahkan pada kecenderungan etika
hak yang terlalu individualistik, euro-sentris, dan ahistoris, sehingga
dinilai kurang mampu menjawab kompleksitas moral dan sosial masyarakat
kontemporer.²
8.1.      
Kritik Relativisme Budaya
terhadap Universalisme Hak
Salah satu kritik paling berpengaruh terhadap etika
hak datang dari perspektif relativisme budaya. Kaum relativis menolak
klaim universalisme moral yang mendasari konsep hak asasi manusia.³ Mereka
berargumen bahwa setiap kebudayaan memiliki sistem nilai dan norma moral yang
unik, sehingga tidak dapat dipaksakan untuk tunduk pada satu standar etika
universal yang lahir dari tradisi Barat.⁴
Bhikhu Parekh menegaskan bahwa universalisme hak
sering kali mencerminkan imperialisme moral—yakni penyebaran nilai-nilai
liberal Barat atas nama kemanusiaan universal.⁵ Demikian pula Makau Mutua
menyebut wacana hak asasi manusia sebagai “mitos penyelamatan” di mana
Barat memosisikan dirinya sebagai penyelamat dunia non-Barat yang dianggap
barbar atau tertindas.⁶ Kritik ini membuka wacana bahwa penerapan etika hak
harus mempertimbangkan konteks budaya dan sejarah lokal, tanpa kehilangan
komitmen terhadap martabat manusia yang universal.⁷
Namun demikian, para pembela universalisme seperti
Jack Donnelly dan Martha Nussbaum menolak relativisme ekstrem dengan menegaskan
bahwa hak-hak asasi manusia dapat bersifat universal tanpa bersifat seragam (universal
but not uniform).⁸ Prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan dari penyiksaan,
hak hidup, dan kesetaraan moral manusia dapat diterima lintas budaya, meskipun
manifestasinya berbeda sesuai konteks sosialnya.⁹
8.2.      
Kritik Marxian: Hak sebagai
Produk Ideologi Borjuis
Dari perspektif Marxis, hak dipandang bukan
sebagai norma moral universal, tetapi sebagai hasil historis dari struktur ekonomi
kapitalistik.¹⁰ Karl Marx dalam esainya On the Jewish Question
mengkritik konsep hak-hak manusia liberal sebagai bentuk “hak egoistik”
yang melayani kepentingan kelas borjuis.¹¹ Bagi Marx, hak-hak seperti kebebasan
dan kepemilikan pribadi hanya memperkuat isolasi individu dan mengabadikan
ketimpangan sosial.¹²
Etika hak dalam kerangka liberal, menurut Marx,
gagal memahami bahwa kebebasan sejati tidak dapat dicapai melalui klaim
individual, melainkan melalui transformasi sosial yang menghapus struktur
penindasan ekonomi.¹³ Kritik Marxian ini kemudian dikembangkan oleh pemikir
neo-Marxis seperti Herbert Marcuse dan Axel Honneth.¹⁴ Honneth, misalnya,
mengusulkan teori pengakuan (recognition theory) sebagai
alternatif terhadap hak liberal: bahwa martabat manusia hanya dapat diwujudkan
melalui relasi saling pengakuan sosial, bukan sekadar perlindungan hukum
formal.¹⁵
8.3.      
Kritik Komunitarian dan
Feminist terhadap Individualisme Liberal
Kaum komunitarian seperti Michael Sandel dan
Charles Taylor mengkritik etika hak liberal karena dianggap mengabaikan konteks
sosial dan hubungan moral antarindividu.¹⁶ Dalam pandangan mereka, konsep hak
dalam tradisi liberal bersifat atomistik—menggambarkan individu sebagai subjek
otonom yang terpisah dari komunitasnya.¹⁷ Padahal, identitas moral seseorang
selalu terbentuk dalam jaringan sosial dan budaya tertentu.¹⁸
Kritik serupa datang dari pemikir feminis,
yang menyoroti bias maskulin dalam konsep hak tradisional. Carol Gilligan,
misalnya, menilai bahwa paradigma hak terlalu menekankan keadilan formal dan
rasionalitas abstrak, sementara mengabaikan ethics of care—moralitas
berbasis empati, kasih sayang, dan hubungan personal.¹⁹ Dalam kerangka feminis,
hak tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan pengalaman ketergantungan, relasi
perawatan, dan tanggung jawab moral yang melekat pada kehidupan manusia.²⁰
8.4.      
Kritik Postmodern:
Dekonstruksi terhadap Fondasi Moral Hak
Pemikiran postmodern membawa kritik yang
lebih radikal terhadap fondasi etika hak. Michel Foucault menyoroti bahwa
wacana hak sering kali berfungsi sebagai instrumen kekuasaan yang
menyembunyikan praktik dominasi.²¹ Bagi Foucault, konsep hak asasi manusia
tidak netral, melainkan bagian dari mekanisme biopower yang mengatur
tubuh dan kehidupan manusia melalui kebijakan politik modern.²² Jacques Derrida
melanjutkan kritik ini dengan mendekonstruksi klaim-klaim universal etika hak,
menunjukkan bahwa setiap konsep hak selalu mengandung “ketegangan antara
keadilan dan hukum” yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas.²³
Derrida menegaskan bahwa keadilan sejati bersifat aporik—selalu
terbuka, tidak selesai, dan tidak dapat dilembagakan sepenuhnya.²⁴ Dengan
demikian, etika hak harus bersifat reflektif dan terbuka terhadap revisi
terus-menerus, bukan menjadi doktrin moral yang kaku.²⁵ Kritik postmodern ini
memperkaya etika hak dengan kesadaran hermeneutik bahwa setiap sistem moral
selalu berada dalam ruang tafsir dan kekuasaan.²⁶
8.5.      
Kritik Praktis: Kesenjangan
antara Norma dan Realitas
Selain kritik teoretis, etika hak juga menghadapi
persoalan praktis dalam penerapannya. Kesenjangan antara norma universal dan
realitas sosial-politik menunjukkan bahwa hak sering kali berhenti pada tataran
deklaratif.²⁷ Pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi dalam berbagai
bentuk—mulai dari ketidakadilan ekonomi, kekerasan berbasis gender, hingga
pengawasan digital yang masif.²⁸
Dalam konteks globalisasi, hak bahkan sering
dijadikan alat legitimasi politik oleh negara kuat untuk mengintervensi negara
lemah.²⁹ Thomas Pogge mengkritik paradoks ini dengan menyatakan bahwa sistem
ekonomi global justru memperdalam ketidakadilan struktural yang bertentangan
dengan prinsip hak itu sendiri.³⁰ Dengan demikian, etika hak memerlukan
refleksi moral yang lebih mendalam agar tidak terjebak dalam retorika moral
yang kehilangan daya transformatifnya.³¹
Implikasi Kritik:
Menuju Etika Hak yang Reflektif dan Kontekstual
Kritik-kritik di atas tidak menolak konsep hak
secara keseluruhan, melainkan menuntut reinterpretasi yang lebih reflektif dan
kontekstual. Etika hak yang baru harus mampu mengintegrasikan keadilan
sosial (Marxian), pluralisme budaya (relativisme), tanggung
jawab sosial (komunitarian), empati moral (feminisme),
dan kesadaran kritis (postmodernisme).³²
Dengan demikian, tantangan bagi filsafat
kontemporer bukanlah menggantikan etika hak, melainkan memperluasnya agar lebih
inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.³³ Etika hak yang reflektif tidak
hanya berfokus pada hak individu untuk memiliki, tetapi juga pada tanggung
jawab kolektif untuk menghormati dan melindungi kehidupan bersama.³⁴
Footnotes
[1]               
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 112–114.
[2]               
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality
and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2002), 35–37.
[3]               
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory
and Practice, 3rd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2013), 85–86.
[4]               
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 89–91.
[5]               
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 97–99.
[6]               
Makau Mutua, “The Ideology of Human Rights,” Virginia
Journal of International Law 36, no. 3 (1996): 603–606.
[7]               
Donnelly, Universal Human Rights, 89–91.
[8]               
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development:
The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
5–8.
[9]               
Ibid., 10–12.
[10]            
Karl Marx, “On the Jewish Question,” in Early
Writings, trans. T. B. Bottomore (London: McGraw-Hill, 1964), 228–230.
[11]            
Ibid., 233–235.
[12]            
Ibid., 238.
[13]            
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man
(Boston: Beacon Press, 1964), 77–79.
[14]            
Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The
Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge, MA: MIT
Press, 1995), 92–94.
[15]            
Ibid., 96–98.
[16]            
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 10–12.
[17]            
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
34–36.
[18]            
Ibid., 38–40.
[19]            
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1982), 32–35.
[20]            
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to
Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California
Press, 2013), 67–70.
[21]            
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–25.
[22]            
Ibid., 30–32.
[23]            
Jacques Derrida, Force of Law: The Mystical
Foundation of Authority, trans. Mary Quaintance, in Deconstruction and
the Possibility of Justice, ed. Drucilla Cornell, Michel Rosenfeld, and
David Gray Carlson (New York: Routledge, 1992), 22–25.
[24]            
Ibid., 28–30.
[25]            
Ibid., 33–35.
[26]            
Benhabib, The Claims of Culture, 40–42.
[27]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 52–54.
[28]            
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Knopf, 1999), 33–35.
[29]            
Mutua, “The Ideology of Human Rights,” 611–614.
[30]            
Pogge, World Poverty and Human Rights,
72–74.
[31]            
Sen, Development as Freedom, 38–40.
[32]            
Benhabib, The Rights of Others: Aliens,
Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
101–103.
[33]            
Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability,
Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2006), 14–16.
[34]            
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
214–216.
9.          
Sintesis
Filosofis dan Perspektif Etika Global
Pembahasan mengenai ethics of rights telah
menunjukkan bahwa hak bukan hanya kategori hukum atau politik, melainkan juga
sebuah konstruksi moral dan filosofis yang berakar pada martabat manusia.
Namun, untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh, perlu dilakukan sintesis
filosofis yang menghubungkan antara dimensi moral individual, struktur
sosial-politik, dan konteks global.¹ Etika hak dalam perspektif kontemporer
tidak lagi dapat dibatasi pada kerangka liberal Barat, melainkan harus
dikembangkan sebagai etika global yang inklusif, reflektif, dan lintas
budaya.²
9.1.      
Sintesis Filosofis: Antara
Otonomi, Keadilan, dan Solidaritas
Secara filosofis, sintesis etika hak memerlukan
rekonsiliasi antara tiga pilar utama moralitas modern: otonomi, keadilan,
dan solidaritas.³ Tradisi deontologis Kantian menekankan otonomi sebagai
inti dari martabat manusia; manusia dipandang sebagai subjek rasional yang
memiliki kapasitas moral untuk bertindak berdasarkan hukum yang ia berikan pada
dirinya sendiri.⁴ Namun, jika ditekankan secara absolut, otonomi dapat melahirkan
individualisme moral yang terlepas dari konteks sosial.
Untuk itu, prinsip otonomi perlu diimbangi oleh
gagasan keadilan distributif sebagaimana dikembangkan oleh John Rawls.⁵
Keadilan memastikan bahwa kebebasan dan hak individu diatur sedemikian rupa
agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati kondisi
kehidupan yang bermartabat.⁶ Namun keadilan formal saja tidak cukup. Ia harus
dilengkapi oleh dimensi solidaritas, yang menegaskan tanggung jawab
moral terhadap kesejahteraan orang lain.⁷ Dalam konteks ini, pemikiran Emmanuel
Levinas menjadi relevan karena menempatkan yang lain (the Other) sebagai
pusat tanggung jawab etis manusia.⁸
Dengan demikian, sintesis filosofis etika hak
menuntut pengakuan bahwa kebebasan individu (otonomi) hanya bermakna bila
dijalankan dalam tatanan sosial yang adil (keadilan) dan penuh kepedulian
(solidaritas).⁹ Tiga pilar ini membentuk kerangka moral integral bagi etika hak
yang berorientasi pada keseimbangan antara rasionalitas dan kemanusiaan.¹⁰
9.2.      
Etika Hak dan Rasionalitas
Komunikatif
Kontribusi penting terhadap sintesis ini datang
dari teori rasionalitas komunikatif yang dikembangkan oleh Jürgen
Habermas.¹¹ Habermas mengusulkan bahwa legitimasi moral dan politik tidak
bersumber dari otoritas eksternal, melainkan dari proses komunikasi yang
rasional, di mana semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan yang sama untuk
mengemukakan argumen.¹² Dalam kerangka ini, hak memperoleh validitas bukan
karena kodrat metafisiknya, tetapi karena ia dapat dibenarkan melalui diskursus
publik yang bebas dari dominasi.¹³
Etika hak, dengan demikian, harus berakar pada dialog
moral antarindividu dan antarkomunitas, bukan pada dogma normatif yang
tertutup.¹⁴ Pandangan ini membuka kemungkinan bagi pembentukan etika global
deliberatif yang menghormati pluralitas budaya namun tetap berpijak pada
prinsip universalitas rasional.¹⁵
9.3.      
Perspektif Global:
Kosmopolitanisme dan Hak Asasi Manusia
Dalam konteks globalisasi, etika hak berkembang
menuju paradigma kosmopolitanisme moral, yaitu pandangan bahwa seluruh
manusia merupakan bagian dari komunitas etis universal.¹⁶ Immanuel Kant dalam
esainya Perpetual Peace telah merintis gagasan cosmopolitan right,
yang menuntut penghormatan terhadap setiap manusia sebagai warga dunia (Weltbürger).¹⁷
Pandangan ini kemudian diperkuat oleh pemikir kontemporer seperti Martha
Nussbaum dan Thomas Pogge, yang menekankan pentingnya tanggung jawab moral
lintas negara dalam mengatasi ketimpangan global.¹⁸
Menurut Pogge, pelanggaran terhadap hak asasi
manusia tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi global yang tidak adil.¹⁹
Oleh karena itu, etika hak global tidak hanya berbicara tentang kebebasan
politik, tetapi juga tentang justice beyond borders—keadilan yang
melampaui batas negara dan memperhitungkan dampak kebijakan global terhadap
masyarakat miskin.²⁰ Sementara Nussbaum menegaskan bahwa etika hak harus
mengakui capabilities setiap manusia sebagai dasar universal bagi
kesejahteraan dan martabat.²¹
Pendekatan kosmopolitan ini menegaskan bahwa hak
bersifat transnasional: hak atas kehidupan, pendidikan, kesehatan, dan
kebebasan tidak mengenal batas geografis.²² Dengan demikian, etika hak
global berfungsi sebagai moralitas universal yang menuntun pembangunan
politik internasional menuju tatanan yang lebih manusiawi dan berkeadilan.²³
9.4.      
Perspektif Interkultural:
Dari Dominasi ke Dialog Etis
Kritik terhadap euro-sentrisme dalam filsafat hak
mendorong munculnya pendekatan interkultural ethics, yang menempatkan
dialog antarperadaban sebagai fondasi etika global.²⁴ Seyla Benhabib
berpendapat bahwa pluralisme budaya tidak boleh menjadi alasan untuk menolak
prinsip-prinsip hak universal, melainkan harus menjadi peluang untuk memperkaya
pemahaman kita tentang martabat manusia.²⁵
Bhikhu Parekh menambahkan bahwa etika global yang
sejati menuntut “dialog timbal balik” antara nilai-nilai Barat dan non-Barat,
sehingga hak manusia dapat diterjemahkan ke dalam bahasa moral yang dapat
diterima oleh berbagai tradisi.²⁶ Dalam kerangka ini, universalisme hak tidak
lagi dipahami sebagai ekspor moral, tetapi sebagai proses komunikasi
interkultural yang dinamis.²⁷
Pendekatan interkultural ini memperluas horizon
etika hak dengan menekankan bahwa universalisme sejati hanya dapat dicapai
melalui pengakuan terhadap perbedaan, bukan penyeragaman.²⁸ Etika hak global
yang berbasis dialog membuka ruang bagi pertumbuhan moral kolektif yang
menghormati martabat manusia dalam keragaman budaya.²⁹
9.5.      
Menuju Etika Hak Global
yang Transformatif
Sintesis antara dimensi filosofis dan global dari
etika hak mengarah pada visi moral yang transformatif—yakni etika yang
tidak hanya menjelaskan, tetapi juga mengubah realitas sosial.³⁰ Etika hak
global harus menjadi landasan bagi transformasi politik dunia menuju global
justice, di mana hak tidak berhenti pada deklarasi normatif, tetapi
diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan nyata.³¹
Dalam konteks ini, etika hak dapat dipahami sebagai
praxis moral global, yang menggabungkan refleksi filosofis, kesadaran
kritis, dan komitmen etis terhadap kemanusiaan universal.³² Ia menegaskan bahwa
hak bukan hanya klaim legal, tetapi juga tanggung jawab moral untuk menciptakan
dunia yang adil, damai, dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.³³
Footnotes
[1]               
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 115–117.
[2]               
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens,
Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 3–5.
[3]               
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
210–212.
[4]               
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
40–42.
[5]               
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–53.
[6]               
Ibid., 60–62.
[7]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
21–23.
[8]               
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 198–200.
[9]               
Honneth, Freedom’s Right, 214–216.
[10]            
Beitz, The Idea of Human Rights, 118–120.
[11]            
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William
Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 107–109.
[12]            
Ibid., 113–115.
[13]            
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge,
MA: MIT Press, 1991), 65–68.
[14]            
Seyla Benhabib, Another Cosmopolitanism
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 10–12.
[15]            
Ibid., 15–17.
[16]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 89–91.
[17]            
Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical
Sketch,” in Kant: Political Writings, ed. H. S. Reiss (Cambridge:
Cambridge University Press, 1991), 98–100.
[18]            
Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability,
Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2006), 13–15.
[19]            
Pogge, World Poverty and Human Rights,
92–94.
[20]            
Ibid., 98–101.
[21]            
Nussbaum, Creating Capabilities, 25–27.
[22]            
Beitz, The Idea of Human Rights, 130–132.
[23]            
Pogge, World Poverty and Human Rights,
103–105.
[24]            
Benhabib, The Claims of Culture: Equality and
Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2002), 37–39.
[25]            
Ibid., 40–42.
[26]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 95–97.
[27]            
Ibid., 98–100.
[28]            
Benhabib, Another Cosmopolitanism, 25–27.
[29]            
Charles Taylor, “Conditions of an Unforced
Consensus on Human Rights,” in The East Asian Challenge for Human Rights,
ed. Joanne R. Bauer and Daniel A. Bell (Cambridge: Cambridge University Press,
1999), 124–126.
[30]            
Pogge, World Poverty and Human Rights,
110–112.
[31]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2009), 23–25.
[32]            
Benhabib, The Rights of Others, 112–114.
[33]            
Nussbaum, Frontiers of Justice, 189–191.
10.       Kesimpulan
Kajian tentang ethics of rights menunjukkan
bahwa hak merupakan konsep moral yang kompleks, multidimensional, dan dinamis.
Ia tidak hanya berfungsi sebagai prinsip normatif untuk melindungi kebebasan
individu, tetapi juga sebagai fondasi moral bagi keadilan sosial dan tatanan
politik yang manusiawi.¹ Melalui perjalanan historisnya, etika hak
berevolusi dari gagasan natural right dalam filsafat klasik menuju
konsep human rights universal dalam konteks global modern.² Namun,
esensinya tetap sama: hak adalah ekspresi dari martabat manusia yang
menuntut pengakuan, penghormatan, dan perlindungan.³
Secara filosofis, etika hak mengandung dua dimensi
utama. Pertama, dimensi ontologis, yang menegaskan bahwa hak berakar
pada eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan bermoral.⁴ Hak tidak
semata hasil konstruksi sosial, tetapi bersumber dari kemampuan manusia untuk
bertindak secara otonom dan rasional. Kedua, dimensi epistemologis, yang
menekankan bahwa pengetahuan tentang hak lahir dari refleksi moral, pengalaman
sosial, dan dialog rasional antarindividu.⁵ Dengan demikian, kebenaran moral
tentang hak tidak bersifat apriori dan tertutup, melainkan terbuka terhadap
koreksi dan perkembangan dalam sejarah manusia.⁶
Dalam ranah normatif, berbagai teori etika
hak—mulai dari deontologis, utilitarian, kontraktualis, hingga komunitarian dan
feminis—menunjukkan bahwa hak harus dipahami secara plural dan interdependen.⁷
Tidak ada teori tunggal yang dapat sepenuhnya menjelaskan hak secara utuh,
karena setiap teori menyoroti aspek yang berbeda: kewajiban moral (Kant),
kesejahteraan bersama (Mill), keadilan sosial (Rawls), tanggung jawab sosial
(Sandel), dan empati moral (Gilligan).⁸ Oleh sebab itu, etika hak yang
komprehensif menuntut sintesis filosofis antara kebebasan individu,
keadilan distributif, dan solidaritas manusia.⁹
Dalam konteks sosial dan politik, etika hak
berfungsi sebagai penuntun moral bagi negara dan masyarakat. Ia
memastikan bahwa kekuasaan tidak berubah menjadi dominasi, hukum tidak terpisah
dari keadilan, dan kebebasan tidak berujung pada ketimpangan.¹⁰ Dalam kerangka
global, etika hak memperluas cakrawala moral dari batas-batas negara menuju
komunitas kosmopolitan yang menjunjung martabat setiap manusia.¹¹ Pandangan ini
sejalan dengan gagasan Immanuel Kant tentang cosmopolitan right, yang
menegaskan tanggung jawab moral antarbangsa dalam mewujudkan perdamaian
abadi.¹²
Namun demikian, kesempurnaan etika hak bukan tanpa
tantangan. Kritik dari berbagai arah—relativisme budaya, Marxisme, feminisme,
dan postmodernisme—menunjukkan bahwa klaim universalisme hak harus selalu diuji
secara reflektif.¹³ Tantangan kontemporer seperti privasi digital,
bioteknologi, krisis lingkungan, dan kecerdasan buatan menuntut perluasan
horizon etika hak agar tetap relevan di era teknologi dan globalisasi.¹⁴ Etika
hak modern harus mampu menjembatani antara norma moral universal dan konteks
sosial partikular melalui dialog interkultural dan rasionalitas komunikatif.¹⁵
Dengan demikian, ethics of rights dapat
disimpulkan sebagai moral framework yang menegaskan martabat manusia sebagai
inti dari segala sistem etis, sosial, dan politik.¹⁶ Etika hak bukan hanya
sekumpulan klaim legal, melainkan bentuk tanggung jawab moral universal untuk
menjaga kehidupan, kebebasan, dan keadilan.¹⁷ Dalam perspektif global, ia
menjadi dasar bagi politics of humanity—suatu tatanan moral dunia yang
berlandaskan solidaritas, penghormatan, dan pengakuan terhadap hak setiap
manusia tanpa memandang perbedaan budaya, ras, atau bangsa.¹⁸
Etika hak yang ideal adalah etika yang rasional,
kontekstual, dan transformatif: rasional karena berpijak pada prinsip moral
universal; kontekstual karena peka terhadap perbedaan sosial dan budaya; dan transformatif
karena berorientasi pada pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan.¹⁹
Melalui prinsip-prinsip tersebut, ethics of rights dapat berfungsi bukan
hanya sebagai teori moral, tetapi juga sebagai praxis kemanusiaan global—sebuah
upaya berkelanjutan untuk menciptakan dunia yang lebih adil, beradab, dan
berperikemanusiaan.²⁰
Footnotes
[1]               
Charles R. Beitz, The Idea of Human Rights
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 121–123.
[2]               
Richard Tuck, Natural Rights Theories: Their
Origin and Development (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 4–6.
[3]               
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
25–27.
[4]               
Alan Gewirth, Reason and Morality (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 88–90.
[5]               
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 67–69.
[6]               
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality
and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2002), 41–43.
[7]               
Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds
of Liberty (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1980), 18–20.
[8]               
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–54.
[9]               
Axel Honneth, Freedom’s Right: The Social
Foundations of Democratic Life (New York: Columbia University Press, 2014),
213–215.
[10]            
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 199–202.
[11]            
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002), 92–94.
[12]            
Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical
Sketch,” in Kant: Political Writings, ed. H. S. Reiss (Cambridge:
Cambridge University Press, 1991), 98–100.
[13]            
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2000), 95–97.
[14]            
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 115–118.
[15]            
Benhabib, Another Cosmopolitanism (Oxford:
Oxford University Press, 2006), 22–24.
[16]            
Gewirth, Reason and Morality, 112–114.
[17]            
Beitz, The Idea of Human Rights, 128–130.
[18]            
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 189–191.
[19]            
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2009), 22–24.
[20]            
Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens,
Residents, and Citizens (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
111–113.
Daftar Pustaka 
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles
of biomedical ethics (8th ed.). Oxford University Press.
Beitz, C. R. (2009). The idea of human rights.
Oxford University Press.
Benhabib, S. (2002). The claims of culture:
Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.
Benhabib, S. (2004). The rights of others:
Aliens, residents, and citizens. Cambridge University Press.
Benhabib, S. (2006). Another cosmopolitanism.
Oxford University Press.
Bentham, J. (1907). An introduction to the
principles of morals and legislation. Clarendon Press.
Bentham, J. (1843). Anarchical fallacies. In
J. Bowring (Ed.), Works of Jeremy Bentham (Vol. 2). William Tait.
Bhikhu, P. (2000). Rethinking multiculturalism:
Cultural diversity and political theory. Harvard University Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
dangers, strategies. Oxford University Press.
Brown Weiss, E. (1989). In fairness to future
generations: International law, common patrimony, and intergenerational equity.
United Nations University Press.
Cicero. (1928). De legibus (C. W. Keyes,
Trans.). Harvard University Press.
Derrida, J. (1992). Force of law: The mystical
foundation of authority (M. Quaintance, Trans.). In D. Cornell, M. Rosenfeld,
& D. G. Carlson (Eds.), Deconstruction and the possibility of justice
(pp. 3–67). Routledge.
Donnelly, J. (2013). Universal human rights in
theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.
Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously.
Harvard University Press.
Feinberg, J. (1973). Social philosophy.
Prentice-Hall.
Feinberg, J. (1980). Rights, justice, and the
bounds of liberty. Princeton University Press.
Finnis, J. (1980). Natural law and natural
rights. Clarendon Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Floridi, L., & Taddeo, M. (2016). What is data
ethics? Philosophical Transactions of the Royal Society A, 374(2083),
1–4.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. Basic Books.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.
Grotius, H. (1925). On the law of war and peace
(F. W. Kelsey, Trans.). Clarendon Press.
Gunkel, D. J. (2012). The machine question:
Critical perspectives on AI, robots, and ethics. MIT Press.
Habermas, J. (1991). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Hart, H. L. A. (1982). Essays on Bentham:
Jurisprudence and political theory. Clarendon Press.
Hobbes, T. (1985). Leviathan. Penguin
Classics.
Hohfeld, W. N. (1919). Fundamental legal
conceptions as applied in judicial reasoning. Yale University Press.
Honneth, A. (1995). The struggle for
recognition: The moral grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.).
MIT Press.
Honneth, A. (2014). Freedom’s right: The social
foundations of democratic life. Columbia University Press.
Hunt, L. (2007). Inventing human rights: A
history. W. W. Norton.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1991). Perpetual peace: A philosophical
sketch. In H. S. Reiss (Ed.), Kant: Political writings (pp. 93–130).
Cambridge University Press.
Kant, I. (1996). The metaphysics of morals
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Korsgaard, C. M. (1996). Creating the kingdom of
ends. Cambridge University Press.
Korsgaard, C. M. (1996). The sources of
normativity. Cambridge University Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government.
Cambridge University Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The
Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1999). Dependent rational
animals: Why human beings need the virtues. Open Court.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man.
Beacon Press.
Metzinger, T. (2009). The ego tunnel: The
science of the mind and the myth of the self. Basic Books.
Mill, J. S. (1979). Utilitarianism. Hackett.
Mill, J. S. (1985). On liberty. Penguin
Classics.
Mutua, M. (1996). The ideology of human rights. Virginia
Journal of International Law, 36(3), 589–657.
Nagel, T. (1991). Equality and partiality.
Oxford University Press.
Noddings, N. (2013). Caring: A relational
approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California
Press.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
Basic Books.
Norton, B. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford University Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women and human
development: The capabilities approach. Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The
human development approach. Harvard University Press.
Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism:
Cultural diversity and political theory. Harvard University Press.
Pogge, T. (2002). World poverty and human rights.
Polity Press.
Rachels, J., & Rachels, S. (2019). The
elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (2004). The social contract.
Penguin Classics.
Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits
of justice. Cambridge University Press.
Savulescu, J., & Bostrom, N. (Eds.). (2009). Human
enhancement. Oxford University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Knopf.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Shue, H. (1996). Basic rights: Subsistence,
affluence, and U.S. foreign policy (2nd ed.). Princeton University Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Skinner, Q. (1978). The foundations of modern
political thought (Vol. 2). Cambridge University Press.
Taylor, C. (1985). Atomism. In Philosophy and
the human sciences: Philosophical papers 2 (pp. 187–210). Cambridge University
Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1995). Philosophical arguments.
Harvard University Press.
Taylor, C. (1999). Conditions of an unforced
consensus on human rights. In J. R. Bauer & D. A. Bell (Eds.), The East
Asian challenge for human rights (pp. 124–139). Cambridge University Press.
Tuck, R. (1979). Natural rights theories: Their
origin and development. Cambridge University Press.
United Nations. (1948). Universal declaration of
human rights. United Nations.
Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing technology:
Understanding and designing the morality of things. University of Chicago
Press.
Villey, M. (1983). Le droit et les droits de
l’homme. Presses Universitaires de France.
Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought.
Cambridge University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar