Kebijaksanaan (Sophia)
Fondasi Moral dan Panduan
Hidup yang Rasional
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep kebijaksanaan
(Sophia) dalam tradisi Stoikisme sebagai fondasi moral dan panduan hidup
yang rasional. Kajian dimulai dengan penelusuran konsep dasar Sophia sebagai
kemampuan membedakan antara yang baik, buruk, dan netral, lalu dilanjutkan
dengan eksplorasi landasan filosofisnya melalui pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles
yang kemudian disintesiskan oleh para filsuf Stoik. Selanjutnya, artikel
menyoroti ajaran Zeno, Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius yang menekankan
dimensi praktis kebijaksanaan dalam mengarahkan kehendak, mengendalikan emosi,
serta menjalani kehidupan selaras dengan alam (logos).
Dimensi etis dan praktis Sophia dianalisis sebagai
prinsip yang memandu pengambilan keputusan moral, kesatuan kebajikan, serta
latihan-latihan reflektif seperti premeditatio malorum dan dichotomy
of control. Pada tingkat teleologis, kebijaksanaan ditempatkan sebagai
kunci pencapaian eudaimonia (kebahagiaan sejati), dengan menumbuhkan
kebebasan batin (apatheia) dan ketenangan jiwa (ataraxia).
Relevansi kebijaksanaan Stoik dalam konteks modern juga dibahas, mencakup manajemen
emosi, kesehatan mental, etika profesional, pendidikan karakter, hingga kritik
terhadap budaya konsumerisme dan teknologi digital.
Dengan memadukan eksposisi tekstual terhadap sumber
primer dan analisis konseptual melalui literatur sekunder, artikel ini
menegaskan bahwa kebijaksanaan Stoik bukan hanya warisan filosofis dunia kuno,
melainkan disiplin hidup universal yang tetap aktual. Sophia hadir sebagai
kompas moral yang membimbing manusia untuk hidup rasional, berintegritas, dan
mencapai kebahagiaan sejati di tengah ketidakpastian zaman.
Kata Kunci: Stoikisme; Kebijaksanaan (Sophia); Eudaimonia; Logos; Apatheia; 
PEMBAHASAN
Kebijaksanaan (Sophia) dalam
Stoikisme
1.         
Pendahuluan
Stoikisme—sebuah filsafat etis yang lahir di Yunani
kuno dan matang di Roma—menawarkan kerangka hidup yang menempatkan kebajikan
sebagai satu-satunya kebaikan yang sejati dan cukup untuk kebahagiaan
(eudaimonia).¹ Di antara empat kebajikan utama (kebijaksanaan, keberanian,
keadilan, dan pengendalian diri), kebijaksanaan (Sophia) menempati
posisi fondasional karena ia mengarahkan penilaian rasional atas realitas,
menimbang alasan tindakan, dan menuntun pilihan moral dalam keselarasan dengan
alam (living according to nature).² Dengan demikian, Sophia bukan
sekadar pengetahuan teoretis, melainkan “ilmu untuk hidup”—pengetahuan
praktis yang membuat manusia mampu bertindak benar dalam situasi konkret.³
Aksiologi Stoik membedakan secara tajam antara yang baik
(kebajikan), buruk (kejahatan/ vice), dan netral (adiaphora,
hal-hal indiferen). Kebijaksanaan diperlukan untuk melihat bahwa hanya
kebajikan yang “baik” secara mutlak; sementara kesehatan, kekayaan,
reputasi, atau jabatan hanyalah “yang dipilih” (preferred
indifferents) sejauh mendukung tindakan yang selaras dengan kebajikan,
tetapi tidak menentukan nilai moral seseorang.⁴ Distingsi ini mencegah reduksi
etika pada hasil lahiriah serta memusatkan perhatian pada kualitas kehendak dan
penalaran praktis pelaku moral.⁵
Dalam doktrin kesatuan kebajikan Stoik, kebijaksanaan
adalah pengetahuan yang “membentuk” kebajikan lainnya—menjadikan
keberanian sebagai keberanian yang benar (bukan nekat), keadilan sebagai
keadilan yang benar (bukan sekadar kepatuhan formal), dan pengendalian diri
sebagai moderasi yang diarahkan tujuan moral.⁶ Sumber kuno menggambarkan Sophia
sebagai pengetahuan tentang hal-hal manusiawi dan ilahi, sebuah wawasan
menyeluruh yang menempatkan tindakan manusia dalam tatanan rasional kosmos (logos).⁷
Di sini tampak bahwa kebijaksanaan, bagi Stoik, bersifat konseptual sekaligus
teleologis: ia mengetahui struktur nilai dan tujuan tindakan, lalu
menerapkannya pada pengambilan keputusan sehari-hari.⁸
Epictetus menegaskan bahwa kebahagiaan—dalam arti
kebebasan batin—bergantung pada penggunaan prohairesis (kemauan/ tekad
rasional) untuk memilih yang benar, memusatkan diri pada apa yang berada dalam
kendali, dan menerima yang di luar kendali tanpa keluh-kesah.⁹ Formulasi
klasiknya—bahwa manusia “gelisah bukan oleh peristiwa, melainkan oleh
penilaian mereka atas peristiwa”—menunjukkan peran kebijaksanaan dalam
mengoreksi penilaian keliru dan menumbuhkan ketenangan yang berlandas alasan.¹⁰
Dengan kata lain, Sophia mengedukasi kehendak agar konsisten memilih yang baik
secara rasional, bukan yang sekadar tampak menguntungkan.
Warisan ini terbukti tidak hanya normatif tetapi juga
praktis. Marcus Aurelius, seorang kaisar sekaligus praktisi Stoik,
memperlihatkan bagaimana kebijaksanaan menuntun kepemimpinan: memeriksa motif
batin, membedakan tugas dari gangguan, serta menimbang keputusan sesuai kodrat
rasional dan tanggung jawab sosial.¹¹ Seneca, melalui surat-surat moralnya,
menampilkan Sophia sebagai seni mengambil keputusan di bawah tekanan emosi,
waktu, dan kepentingan, dengan mempertautkan prinsip umum pada kasus konkret.¹²
Keduanya menunjukkan bahwa kebijaksanaan Stoik tidak mengasingkan manusia dari
dunia, melainkan memampukan keterlibatan yang jernih, terarah, dan adil.
Sejalan dengan kebangkitan minat terhadap filsafat
sebagai cara hidup (philosophia perennis dalam arti praktis),
pembacaan kontemporer menyoroti kembali Sophia sebagai disiplin diri rasional
yang ditempa melalui latihan (askēsis): refleksi diri, jurnal evaluatif,
penegasan prinsip, dan kontemplasi atas kefanaan.¹³ Rekonstruksi teoritis
modern, di sisi lain, mengartikulasikan Stoikisme sebagai etika kebajikan
berorientasi rasionalitas praktis yang kompatibel dengan analisis moral masa
kini—tanpa kehilangan tekanannya pada distingsi kendali dan tujuan moral
internal.¹⁴ Kajian tentang emosi dalam tradisi Stoik juga memperlihatkan bahwa
kebijaksanaan tidak meniadakan emosi, tetapi membentuknya melalui penilaian
benar sehingga emosi menjadi eupatheiai (afek sehat) yang mendukung
tindakan baik.¹⁵
Bertolak dari latar tersebut, artikel ini mengkaji Kebijaksanaan
(Sophia) dalam Stoikisme sebagai fondasi moral dan panduan hidup yang
rasional, dengan tiga tujuan: (1) memperjelas konsep dasar dan landasan
metafisik-epistemiknya; (2) memaparkan fungsi Sophia dalam pengambilan
keputusan serta hubungannya dengan kebajikan lain; dan (3) menunjukkan
relevansinya bagi problem etika kontemporer—mulai dari manajemen emosi dan
integritas profesional hingga kepemimpinan publik. Secara metodologis,
pembahasan memadukan eksposisi tekstual atas sumber primer (Epictetus,
Seneca, Marcus Aurelius) dengan analisis konseptual atas terminologi
kunci (mis. prohairesis, logos, adiaphora, oikeiōsis), serta dialog
dengan literatur sekunder mutakhir. Dengan demikian, Sophia tidak hanya
dipahami sebagai kategori historis, melainkan sebagai kompetensi etis yang
dapat dilatih, dioperasionalkan, dan dievaluasi dalam praksis kehidupan
modern.¹⁶
Footnotes
[1]               
John Sellars, Stoicism
(London: Routledge, 2014), 1–6.
[2]               
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §§61–63; Brad Inwood, ed., The Cambridge Companion to the Stoics
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 33–52.
[3]               
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 174–201.
[4]               
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.94–101, terj. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925); Long dan Sedley, The Hellenistic Philosophers,
§58 (Indifferents).
[5]               
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 184–202.
[6]               
Long dan Sedley, The Hellenistic
Philosophers, §61J (Unity of the Virtues).
[7]               
Stobaeus, Eclogae, II.7.5,
fragmen Stoik; lihat ringkasan dalam Long dan Sedley, The Hellenistic
Philosophers, §61B.
[8]               
Annas, The Morality of Happiness,
233–40.
[9]               
Epictetus, Enchiridion, 1–5,
dalam Discourses and Selected Writings, terj. Robert Dobbin (London:
Penguin, 2008).
[10]            
Epictetus, Enchiridion, 5;
bandingkan Discourses, I.1.
[11]            
Marcus Aurelius, Meditations,
II.1–II.5, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[12]            
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University of
Chicago Press, 2015), mis. Ep. 71; 95.
[13]            
Pierre Hadot, Philosophy as a Way
of Life (Oxford: Blackwell, 1995), 83–126.
[14]            
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2017),
3–28.
[15]            
Margaret R. Graver, Stoicism and
Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 39–67.
[16]            
Untuk kerangka metodologis yang
serupa, lihat Inwood, ed., The Cambridge Companion to the Stoics, 1–14;
Sellars, Stoicism, 107–33.
2.         
Konsep Dasar
Kebijaksanaan (Sophia)
Kebijaksanaan (Sophia) dalam tradisi Stoikisme
merupakan kebajikan utama yang melandasi dan menata seluruh kebajikan lainnya.¹
Dalam kerangka pemikiran ini, kebijaksanaan dipahami bukan hanya sebagai
akumulasi pengetahuan teoretis, melainkan sebagai keterampilan praktis dalam
membedakan apa yang baik, buruk, dan netral.² Stoikisme menegaskan bahwa hanya
kebajikan yang benar-benar baik, sementara keburukan terdapat pada cacat moral,
sedangkan hal-hal eksternal—seperti kesehatan, kekayaan, atau status
sosial—dikategorikan sebagai indiferen (adiaphora), yakni tidak
menentukan nilai moral seseorang.³ Dengan demikian, kebijaksanaan berfungsi
sebagai panduan rasional untuk menilai nilai intrinsik dari suatu tindakan,
membedakan apa yang patut dikejar atau dihindari, serta mengarahkan kehidupan
manusia sesuai dengan rasionalitas kosmik (logos).⁴
2.1.       Definisi Kebijaksanaan dalam Stoikisme
Menurut Zeno dari Citium, pendiri Stoikisme,
kebijaksanaan adalah pengetahuan praktis tentang apa yang harus dilakukan dan
dihindari dalam hidup.⁵ Seneca menekankan bahwa kebijaksanaan memampukan
manusia untuk tetap teguh dan rasional dalam menghadapi berbagai keadaan hidup,
tanpa terombang-ambing oleh nasib.⁶ Epictetus menambahkan bahwa kebijaksanaan
melibatkan penggunaan prohairesis (kemauan rasional) untuk memilih
tindakan yang benar, dengan mengarahkan diri pada hal-hal yang berada dalam
kendali manusia.⁷ Sementara itu, Marcus Aurelius menafsirkan kebijaksanaan
sebagai kesadaran kosmik bahwa setiap individu merupakan bagian dari tatanan
universal, sehingga tindakan harus selalu selaras dengan prinsip keadilan dan
kesejahteraan bersama.⁸
2.2.       Pembedaan Baik, Buruk, dan Netral
Salah satu kontribusi mendasar kebijaksanaan adalah
kemampuannya membedakan kategori nilai. Bagi Stoik, kebajikan seperti
kejujuran, keberanian, dan keadilan termasuk dalam kategori baik karena
bernilai intrinsik. Sebaliknya, keburukan seperti ketidakadilan dan kebodohan
termasuk dalam kategori buruk karena merusak kehendak rasional. Adapun
hal-hal eksternal seperti kesehatan, kekayaan, dan popularitas dikategorikan
sebagai netral (indifferents) karena tidak secara langsung
menentukan kebahagiaan sejati.⁹ Dalam konteks ini, kebijaksanaan berperan
sebagai otoritas epistemik dan etis yang membimbing manusia agar tidak terkecoh
oleh daya tarik lahiriah yang bersifat fana, tetapi tetap berfokus pada
kebaikan moral sebagai tujuan utama hidup.¹⁰
2.3.       Hubungan Kebijaksanaan dengan Logos
Bagi kaum Stoik, alam semesta dipandang sebagai
tatanan rasional yang diatur oleh prinsip kosmik yang disebut logos.¹¹
Kebijaksanaan adalah kesesuaian antara akal manusia dengan logos
tersebut. Dengan kata lain, seorang bijak adalah ia yang hidup “selaras
dengan alam” (living in accordance with nature), yakni menerima
hukum alam semesta sekaligus menyesuaikan tindakannya dengan tatanan rasional
yang lebih besar.¹² Perspektif ini menempatkan kebijaksanaan tidak hanya
sebagai kapasitas individual, melainkan juga sebagai keterhubungan etis-kosmik:
manusia bijak memahami tempatnya dalam dunia, menerima keterbatasannya, dan
bertindak selaras dengan keteraturan universal.¹³
2.4.       Sophia sebagai Ilmu Hidup
Kebijaksanaan dalam Stoikisme sering disebut sebagai “ilmu
untuk hidup” (epistēmē tou biou), yaitu pengetahuan praktis yang
membentuk sikap dan perilaku sehari-hari.¹⁴ Ia tidak berhenti pada kontemplasi,
tetapi diwujudkan dalam praktik, latihan, dan refleksi diri. Melalui
kebijaksanaan, manusia belajar untuk mengarahkan kehendak, menjaga integritas
moral, dan mencapai apatheia (kebebasan dari emosi destruktif).¹⁵ Dengan
demikian, kebijaksanaan menjadi fondasi utama bagi tercapainya kebahagiaan
sejati (eudaimonia), bukan sebagai kondisi pasif, melainkan sebagai
pencapaian aktif melalui disiplin akal dan kehendak.¹⁶
Footnotes
[1]               
John Sellars, Stoicism
(London: Routledge, 2014), 17–20.
[2]               
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 174–178.
[3]               
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.94–101, terj. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925).
[4]               
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §61.
[5]               
Long dan Sedley, The Hellenistic
Philosophers, §59A.
[6]               
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University of
Chicago Press, 2015), Ep. 71.
[7]               
Epictetus, Discourses, I.1, terj.
Robert Dobbin (London: Penguin, 2008).
[8]               
Marcus Aurelius, Meditations,
II.1–II.5, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[9]               
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.101–103.
[10]            
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 185–190.
[11]            
Brad Inwood, ed., The Cambridge
Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
33–37.
[12]            
Pierre Hadot, The Inner Citadel:
The Meditations of Marcus Aurelius, terj. Michael Chase (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1998), 127–135.
[13]            
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2017),
27–33.
[14]            
Annas, The Morality of Happiness,
190–195.
[15]            
Margaret R. Graver, Stoicism and
Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 39–45.
[16]            
Sellars, Stoicism, 107–115.
3.         
Landasan Filosofis
Kebijaksanaan
Konsep kebijaksanaan (Sophia) dalam Stoikisme
tidak muncul secara terisolasi, melainkan berdiri di atas tradisi panjang
filsafat Yunani yang menempatkan kebijaksanaan sebagai inti dari kehidupan yang
baik. Sebelum Stoikisme merumuskan Sophia sebagai “ilmu hidup” yang
mengarahkan kehendak rasional, gagasan tentang kebijaksanaan telah berkembang
sejak masa Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para Stoik lalu mengadaptasi dan
menyempurnakan gagasan tersebut dalam kerangka etika yang menekankan
keselarasan dengan alam (living in accordance with nature) dan
rasionalitas kosmik (logos).
3.1.       Akar Socratis: Kebijaksanaan sebagai Kesadaran akan
Ketidaktahuan
Socrates, melalui dialog-dialog yang direkam Plato,
memandang kebijaksanaan sejati lahir dari kesadaran akan keterbatasan
pengetahuan manusia.¹ Dalam Apology, ia menyatakan bahwa “aku lebih
bijak daripada orang lain hanya karena aku sadar bahwa aku tidak tahu.”²
Sikap ini menjadi fondasi epistemologis yang berpengaruh besar pada Stoikisme:
kebijaksanaan bukanlah klaim kepastian mutlak, melainkan kerendahan hati
intelektual yang mendorong pencarian kebenaran dan penilaian rasional dalam
kehidupan sehari-hari.³
3.2.       Plato: Kebijaksanaan sebagai Pengetahuan tentang Idea
Tertinggi
Plato, murid Socrates, mengembangkan pemahaman bahwa
kebijaksanaan adalah pengetahuan tentang Idea atau Form yang
abadi, terutama Idea tentang Kebaikan (Form of the Good).⁴ Dalam Republic,
ia menggambarkan kebijaksanaan sebagai kemampuan filsuf-raja untuk melihat “matahari
kebaikan” yang menerangi semua hal.⁵ Meski Stoikisme menolak dualisme
ontologis Plato antara dunia ide dan dunia indrawi, mereka mempertahankan
gagasan bahwa kebijaksanaan adalah pengetahuan tentang prinsip tertinggi yang
menuntun kehidupan moral. Bedanya, bagi Stoik, prinsip tertinggi itu bukan Form
of the Good transenden, melainkan logos—rasionalitas kosmik yang
imanen dalam alam semesta.⁶
3.3.       Aristoteles: Kebijaksanaan sebagai Pengetahuan Praktis
dan Teoretis
Aristoteles memperkenalkan dua dimensi kebijaksanaan: sophia
(kebijaksanaan teoretis) dan phronesis (kebijaksanaan praktis).⁷ Dalam Nicomachean
Ethics, ia menekankan bahwa sophia berkaitan dengan kontemplasi
kebenaran universal, sementara phronesis adalah kecakapan mengambil
keputusan benar dalam konteks kehidupan sehari-hari.⁸ Para Stoik mewarisi
pembedaan ini, tetapi kemudian mengintegrasikannya: kebijaksanaan Stoik
sekaligus teoretis dan praktis, sebab memahami hukum alam (logos) harus
diwujudkan dalam tindakan etis konkret.⁹ Dengan demikian, Sophia dalam
Stoikisme bersifat lebih menyatu, tidak terbelah antara kontemplasi dan
praksis.
3.4.       Adaptasi Stoik: Sophia sebagai Ilmu untuk Hidup
Zeno dari Citium, pendiri Stoikisme, mengadaptasi
warisan Socrates, Plato, dan Aristoteles, lalu merumuskannya dalam kerangka
khas Stoik.¹⁰ Bagi Zeno, kebijaksanaan adalah epistēmē tou biou—ilmu
tentang bagaimana hidup secara baik.¹¹ Seneca menegaskan bahwa orang bijak
adalah ia yang “selalu konsisten dengan dirinya, tidak tergantung pada
hal-hal eksternal, dan hidup sesuai dengan alam.”¹² Epictetus memandang
kebijaksanaan sebagai kemampuan menggunakan prohairesis untuk
mengarahkan kehendak pada apa yang berada dalam kendali, sementara Marcus Aurelius
menekankan kebijaksanaan sebagai kesadaran kosmik yang menyatukan rasionalitas
pribadi dengan tatanan universal.¹³
3.5.       Kebijaksanaan sebagai Pengetahuan Etis-Rasional
Para filsuf Stoik menegaskan bahwa kebijaksanaan
bukanlah akumulasi informasi, melainkan pengetahuan normatif yang menuntun
kehendak moral.¹⁴ Dalam hal ini, Sophia adalah sumber dan bentuk dari semua
kebajikan lain: keberanian yang benar lahir dari pengetahuan tentang apa yang
patut ditakuti dan tidak, keadilan yang benar berasal dari pemahaman tentang
hak dan kewajiban dalam tatanan alam, dan pengendalian diri lahir dari
kesadaran akan nilai relatif hal-hal eksternal.¹⁵ Dengan demikian,
kebijaksanaan Stoik tidak hanya berfungsi sebagai dimensi kognitif, tetapi juga
sebagai dasar etis yang memampukan manusia hidup dalam integritas moral.
Sintesis Filosofis
Landasan filosofis kebijaksanaan dalam Stoikisme
memperlihatkan kesinambungan sekaligus inovasi: dari kesadaran Socratis akan
keterbatasan pengetahuan, gagasan Plato tentang prinsip tertinggi, analisis
Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis, hingga sintesis Zeno yang menekankan
rasionalitas kosmik.¹⁶ Sophia dalam Stoikisme, dengan demikian, tidak sekadar
warisan, melainkan sebuah pengembangan yang menempatkan kebijaksanaan sebagai “ilmu
hidup” yang memadukan epistemologi, metafisika, dan etika.¹⁷
Footnotes
[1]               
Gregory Vlastos, Socrates:
Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991),
45–50.
[2]               
Plato, Apology, 21d, dalam Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett, 1997).
[3]               
John M. Cooper, Pursuits of
Wisdom (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2012), 46–52.
[4]               
Plato, Republic, VI,
508e–509b.
[5]               
Ibid., 517b–518a.
[6]               
A. A. Long, Hellenistic
Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics, edisi ke-2 (Berkeley: University
of California Press, 1986), 160–165.
[7]               
Aristotle, Nicomachean Ethics,
VI.3–6, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999).
[8]               
Ibid., VI.7–13.
[9]               
Julia Annas, Intelligent Virtue
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 22–28.
[10]            
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.87–89.
[11]            
Long dan Sedley, The Hellenistic
Philosophers, §61.
[12]            
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, Ep. 71, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University
of Chicago Press, 2015).
[13]            
Epictetus, Discourses, I.1–5;
Marcus Aurelius, Meditations, II.1–II.5, terj. Gregory Hays (New York:
Modern Library, 2002).
[14]            
Brad Inwood, ed., The Cambridge
Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
33–37.
[15]            
Margaret R. Graver, Stoicism and
Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 39–45.
[16]            
Pierre Hadot, Philosophy as a Way
of Life, terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–126.
[17]            
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2017),
3–10.
4.         
Kebijaksanaan dalam
Ajaran Para Filsuf Stoik
Setelah memahami fondasi filosofis kebijaksanaan (Sophia),
penting menelusuri bagaimana para filsuf Stoik utama—mulai dari Zeno dari
Citium, Seneca, Epictetus, hingga Marcus Aurelius—mengartikulasikan dan
mengimplementasikan kebijaksanaan dalam ajaran serta praktik hidup mereka.
Meskipun berada dalam konteks sejarah dan sosial yang berbeda, keempat tokoh
ini memberikan corak khas yang memperkaya pemahaman tentang Sophia sebagai
kebajikan tertinggi dan panduan hidup rasional.
4.1.       Zeno dari Citium: Kebijaksanaan sebagai Kehidupan
Selaras dengan Alam
Zeno (334–262 SM), pendiri Stoikisme, merumuskan
kebijaksanaan sebagai epistēmē tou biou—“ilmu tentang kehidupan” yang
menuntun manusia untuk hidup selaras dengan alam (living according to nature).¹
Dalam ajarannya, Sophia bukan sekadar pengetahuan teoretis, melainkan
keterampilan praktis untuk membedakan yang baik, buruk, dan netral.² Zeno
menekankan bahwa kebijaksanaan memungkinkan manusia hidup dalam harmoni dengan logos,
prinsip rasional yang menata alam semesta.³ Dengan demikian, Sophia menjadi
dasar kesatuan kebajikan, karena hanya orang bijak yang mampu menilai apa yang
benar-benar bernilai dan bertindak sesuai dengan tatanan kosmik.⁴
4.2.       Seneca: Kebijaksanaan sebagai Kendali Diri dan
Penilaian Moral
Sebagai filsuf Stoik Romawi, Seneca (4 SM–65 M)
menekankan aspek praktis kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan yang penuh
gejolak politik dan emosional. Dalam Letters to Lucilius, ia menulis
bahwa orang bijak adalah “individu yang selalu konsisten dengan dirinya
sendiri, tidak terikat oleh ketakutan atau keinginan, dan memiliki kendali atas
dirinya.”⁵ Baginya, Sophia tidak meniadakan emosi, tetapi melatih akal
untuk mengendalikannya sehingga tidak menjerumuskan ke dalam tindakan keliru.⁶
Seneca juga menekankan peran kebijaksanaan dalam menghadapi kematian: seorang
bijak menerima kefanaan dengan tenang karena menyadari bahwa hidup dan mati
sama-sama bagian dari hukum alam.⁷
4.3.       Epictetus: Kebijaksanaan sebagai Penggunaan
Prohairesis
Epictetus (50–135 M), seorang mantan budak yang
menjadi guru filsafat, memberikan penekanan unik pada kebijaksanaan melalui
konsep prohairesis (kemauan rasional).⁸ Menurutnya, kebahagiaan sejati
bergantung pada kemampuan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang berada
dalam kendali—pikiran, penilaian, dan kehendak—serta menerima dengan tenang apa
yang berada di luar kendali.⁹ Kebijaksanaan, dalam kerangka Epictetus, adalah
keterampilan untuk mengoreksi penilaian keliru dan memilih tindakan yang benar,
bahkan di tengah penderitaan atau keterbatasan sosial.¹⁰ Ia menegaskan bahwa “bukan
peristiwa yang mengganggu manusia, melainkan penilaian mereka tentang peristiwa
itu,” sebuah ajaran yang menunjukkan Sophia sebagai sumber kebebasan
batin.¹¹
4.4.       Marcus Aurelius: Kebijaksanaan dalam Kepemimpinan dan
Kehidupan Publik
Marcus Aurelius (121–180 M), kaisar Romawi sekaligus
filsuf Stoik, mengintegrasikan kebijaksanaan ke dalam praktik kepemimpinan.
Dalam Meditations, ia sering merenungkan peran Sophia dalam menjaga
integritas moral di tengah tugas politik dan militer.¹² Kebijaksanaan baginya
adalah kemampuan untuk menilai motif batin, mengendalikan reaksi emosional,
serta bertindak adil demi kebaikan bersama.¹³ Marcus mengaitkan kebijaksanaan
dengan kesadaran kosmik: bahwa setiap individu adalah bagian dari tatanan
universal, sehingga tindakan yang benar harus selaras dengan kebaikan seluruh
komunitas manusia.¹⁴ Refleksi pribadinya memperlihatkan bahwa Sophia bukan
hanya prinsip etika individual, melainkan juga panduan moral dalam mengelola
kekuasaan.¹⁵
Sintesis Ajaran Stoik
Meskipun Zeno, Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius
memiliki penekanan yang berbeda, mereka semua sepakat bahwa kebijaksanaan
adalah inti dari kehidupan etis. Zeno menekankan keselarasan dengan alam;
Seneca menyoroti pengendalian diri dalam menghadapi emosi dan kematian;
Epictetus mengajarkan kebebasan batin melalui prohairesis; dan Marcus
Aurelius mempraktikkan Sophia dalam kepemimpinan publik.¹⁶ Bersama-sama, mereka
membentuk gambaran utuh tentang kebijaksanaan Stoik sebagai kebajikan rasional
yang menuntun manusia untuk hidup secara bermoral, konsisten, dan selaras
dengan tatanan kosmik.
Footnotes
[1]               
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.87–89, terj. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925).
[2]               
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §61.
[3]               
John Sellars, Stoicism
(London: Routledge, 2014), 18–22.
[4]               
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 174–180.
[5]               
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, Ep. 71, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University
of Chicago Press, 2015).
[6]               
Brad Inwood, Reading Seneca:
Stoic Philosophy at Rome (Oxford: Clarendon Press, 2005), 89–94.
[7]               
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, Ep. 24; Ep. 70.
[8]               
Epictetus, Discourses, I.1,
terj. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008).
[9]               
Epictetus, Enchiridion, 1–5.
[10]            
A. A. Long, Epictetus: A Stoic
and Socratic Guide to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 97–102.
[11]            
Epictetus, Enchiridion, 5.
[12]            
Marcus Aurelius, Meditations,
II.1–II.5, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[13]            
Pierre Hadot, The Inner Citadel:
The Meditations of Marcus Aurelius, terj. Michael Chase (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1998), 143–149.
[14]            
Marcus Aurelius, Meditations,
V.16; VI.30.
[15]            
Anthony A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 212–217.
[16]            
Brad Inwood, ed., The Cambridge
Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
35–42.
5.         
Dimensi Etis dan
Praktis Kebijaksanaan
Jika pada bab-bab sebelumnya kebijaksanaan (Sophia)
dipahami sebagai konsep filosofis dan landasan etika, maka dalam bab ini fokus
diarahkan pada dimensi etis dan praktis dari kebijaksanaan Stoik.
Kebijaksanaan tidak berhenti pada tataran teoretis, melainkan diwujudkan dalam
tindakan nyata, pengambilan keputusan moral, serta latihan spiritual
sehari-hari yang membentuk integritas dan konsistensi hidup.
5.1.       Kebijaksanaan dalam Pengambilan Keputusan Moral
Dalam kerangka Stoikisme, kebijaksanaan merupakan
instrumen utama dalam menilai dan menentukan tindakan moral.¹ Ia berfungsi
sebagai recta ratio (akal lurus) yang memandu manusia dalam membedakan
antara tindakan yang selaras dengan kebajikan dan yang menyimpang darinya.²
Dengan membedakan hal-hal yang berada dalam kendali (eph’ hēmin) dan di
luar kendali (ouk eph’ hēmin), kebijaksanaan membantu individu fokus
pada keputusan yang benar-benar etis, bukan pada hasil eksternal yang tidak
sepenuhnya bisa ditentukan.³ Seorang Stoik, misalnya, dapat kehilangan kekayaan
atau kedudukan, namun kebijaksanaan menegaskan bahwa nilai moral tidak
ditentukan oleh kehilangan itu, melainkan oleh bagaimana ia menanggapi situasi
tersebut dengan integritas.⁴
5.2.       Hubungan Kebijaksanaan dengan Kebajikan Lain
Kebijaksanaan dalam Stoikisme bukanlah kebajikan yang
berdiri sendiri, tetapi fondasi yang menopang tiga kebajikan lainnya: keberanian
(andreia), keadilan (dikaiosynē), dan pengendalian diri (sōphrosynē).⁵
Tanpa kebijaksanaan, keberanian bisa berubah menjadi kecerobohan; keadilan bisa
tergelincir menjadi kepatuhan formal tanpa jiwa; dan pengendalian diri bisa
jatuh pada penghindaran yang tidak proporsional.⁶ Karena itu, Stoik menekankan
kesatuan kebajikan, di mana kebijaksanaan berperan sebagai “pemandu”
yang mengarahkan ekspresi kebajikan lainnya agar selaras dengan akal budi dan
hukum alam.⁷
5.3.       Latihan Praktis Kebijaksanaan (Askēsis)
Bagi kaum Stoik, kebijaksanaan diperoleh dan
dipelihara melalui latihan (askēsis), yang melibatkan praktik spiritual
dan reflektif:
·                    
Refleksi Diri (Self-examination)
Meninjau tindakan dan pikiran setiap hari, seperti dianjurkan oleh
Seneca dalam surat-suratnya, untuk memastikan konsistensi dengan prinsip
kebajikan.⁸
·                    
Jurnal Stoik (Stoic journaling)
Digunakan Marcus Aurelius dalam Meditations sebagai sarana
melatih kesadaran moral dan koreksi diri.⁹
·                    
Dikotomi Kendali (Dichotomy of Control)
Ditekankan oleh Epictetus sebagai latihan mental untuk memusatkan
perhatian pada hal-hal yang bisa dikendalikan dan menerima hal-hal di luar
kendali dengan ketenangan.¹⁰
·                    
Visualisasi Negatif (Premeditatio Malorum)
Melatih pikiran untuk mengantisipasi kesulitan, sehingga ketika
kesulitan datang, seseorang sudah siap secara emosional.¹¹
Latihan-latihan ini menegaskan bahwa kebijaksanaan
bukanlah hasil sekali jadi, melainkan keterampilan moral yang dibentuk melalui
disiplin dan kebiasaan.
5.4.       Kebijaksanaan dan Pembentukan Karakter
Dimensi praktis kebijaksanaan juga tampak dalam
pembentukan karakter (ēthos).¹² Seorang Stoik berusaha menjadi pribadi
yang konsisten, tidak mudah goyah oleh pujian maupun celaan, serta mampu
mempertahankan integritas dalam berbagai kondisi hidup.¹³ Dengan demikian,
kebijaksanaan melahirkan ketangguhan moral (moral resilience) dan
ketenangan batin (ataraxia), yang memungkinkan individu menjalani hidup
secara stabil, adil, dan penuh makna.¹⁴
Relevansi dalam Kehidupan Publik dan Sosial
Kebijaksanaan Stoik tidak hanya berlaku pada ranah
individu, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan publik. Marcus Aurelius,
sebagai kaisar, menekankan pentingnya menggunakan Sophia untuk mengatur
kebijakan, memimpin dengan adil, dan menempatkan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi.¹⁵ Dalam konteks etika publik, kebijaksanaan menjadi
panduan bagi pemimpin untuk tidak terseret oleh ambisi, melainkan bertindak
sesuai dengan tatanan rasional demi kebaikan bersama.¹⁶
Sintesis
Dimensi etis dan praktis dari kebijaksanaan dalam
Stoikisme memperlihatkan bahwa Sophia bukan hanya kerangka konseptual,
melainkan sebuah gaya hidup. Ia memandu keputusan moral, menyatukan
kebajikan, membentuk karakter, serta mewujud dalam latihan sehari-hari yang
menguatkan disiplin diri dan kebebasan batin. Pada akhirnya, kebijaksanaan
Stoik adalah keterampilan untuk hidup rasional dan bermoral di tengah dunia
yang penuh ketidakpastian.¹⁷
Footnotes
[1]               
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 174–178.
[2]               
Brad Inwood, ed., The Cambridge
Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
33–37.
[3]               
Epictetus, Enchiridion, 1–5,
terj. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008).
[4]               
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2017),
27–30.
[5]               
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §61.
[6]               
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 186–190.
[7]               
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.125–126, terj. R. D. Hicks (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1925).
[8]               
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, Ep. 83, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University
of Chicago Press, 2015).
[9]               
Marcus Aurelius, Meditations,
II.1–II.5, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[10]            
Epictetus, Discourses,
I.1–I.5.
[11]            
William B. Irvine, A Guide to the
Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (New York: Oxford University Press,
2009), 78–85.
[12]            
Pierre Hadot, Philosophy as a Way
of Life, terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–92.
[13]            
John Sellars, Stoicism
(London: Routledge, 2014), 112–118.
[14]            
Margaret R. Graver, Stoicism and
Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 67–75.
[15]            
Marcus Aurelius, Meditations,
V.16; VI.30.
[16]            
Pierre Hadot, The Inner Citadel:
The Meditations of Marcus Aurelius, terj. Michael Chase (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1998), 145–152.
[17]            
Becker, A New Stoicism,
31–38.
6.         
Kebijaksanaan dan
Kebahagiaan (Eudaimonia)
Bagi para filsuf Stoik, kebahagiaan sejati
(eudaimonia) tidak bergantung pada kondisi eksternal seperti kekayaan,
kesehatan, atau kedudukan sosial, melainkan pada kualitas moral yang tertanam
dalam jiwa.¹ Dalam kerangka ini, kebijaksanaan (Sophia) berperan sebagai
fondasi utama bagi pencapaian eudaimonia, karena hanya melalui kebijaksanaan
seseorang dapat memahami apa yang benar-benar baik, membedakan hal-hal yang
berada dalam kendali dan di luar kendali, serta hidup selaras dengan alam (living
according to nature).²
6.1.       Konsep Eudaimonia dalam Stoikisme
Istilah eudaimonia dalam tradisi Yunani klasik
merujuk pada keadaan “hidup baik” atau “kesejahteraan sejati.”³
Aristoteles menekankannya sebagai realisasi potensi manusia melalui kebajikan.⁴
Para Stoik menerima gagasan ini, namun menekankan bahwa eudaimonia tidak
ditentukan oleh keberuntungan eksternal (tyche), melainkan sepenuhnya
oleh kebajikan.⁵ Dengan kata lain, kebahagiaan adalah hasil dari hidup secara
rasional, bebas dari dominasi emosi destruktif, dan selaras dengan logos
yang mengatur kosmos.⁶
6.2.       Peran Kebijaksanaan sebagai Jalan Menuju Eudaimonia
Kebijaksanaan menjadi pintu masuk bagi pencapaian
eudaimonia karena ia mengarahkan kehendak untuk memilih tindakan yang benar.
Seneca menyatakan bahwa “kebahagiaan sejati adalah ketika seseorang puas
dengan kondisi dirinya, bukan dengan apa yang ia miliki.”⁷ Pernyataan ini
menunjukkan bahwa kebijaksanaan mengajarkan manusia untuk menilai nilai
intrinsik, bukan sekadar tampilan luar. Epictetus menambahkan bahwa hanya
melalui kebijaksanaan seseorang mampu menyelaraskan prohairesis (kemauan
rasional) dengan hukum alam, sehingga kebebasan batin dan ketenangan jiwa dapat
dicapai.⁸
6.3.       Kebijaksanaan, Apatheia, dan Ataraxia
Dua konsep penting dalam etika Stoik yang berkaitan
erat dengan eudaimonia adalah apatheia (kebebasan dari emosi destruktif)
dan ataraxia (ketenangan batin).⁹ Kebijaksanaan berfungsi sebagai
mekanisme yang mengatur penilaian terhadap peristiwa eksternal, sehingga emosi
tidak lagi menguasai jiwa.¹⁰ Dalam perspektif ini, kebijaksanaan tidak
meniadakan emosi secara mutlak, melainkan mengubahnya menjadi eupatheiai
(afek sehat) seperti rasa syukur, kasih sayang, dan kewaspadaan moral.¹¹ Dengan
tercapainya apatheia dan ataraxia, seseorang mampu menjalani
hidup dengan stabil, tidak mudah terguncang, dan pada akhirnya meraih
kebahagiaan sejati.
6.4.       Kebijaksanaan sebagai Kebebasan dan Otonomi Moral
Stoikisme menekankan bahwa kebijaksanaan membebaskan
manusia dari ketergantungan pada hal-hal eksternal. Marcus Aurelius menulis
bahwa “kebahagiaan hidupmu bergantung pada kualitas pikiranmu sendiri.”¹²
Ungkapan ini menegaskan otonomi moral: kebijaksanaan memungkinkan seseorang
memusatkan kebahagiaan pada apa yang ada dalam kendali, yakni kehendak
rasional. Dengan demikian, eudaimonia bersifat mandiri dan tidak dapat diganggu
oleh fluktuasi nasib.¹³
Sintesis: Sophia sebagai Inti dari Eudaimonia
Berdasarkan ajaran para filsuf Stoik, jelas bahwa
kebijaksanaan adalah syarat mutlak bagi kebahagiaan sejati. Zeno
merumuskannya sebagai ilmu hidup; Seneca menekankan penerimaan diri; Epictetus
mengajarkan kebebasan batin melalui prohairesis; dan Marcus Aurelius
menunjukkan penerapan kebijaksanaan dalam kepemimpinan publik.¹⁴ Semua
perspektif ini memperlihatkan bahwa eudaimonia bukan sekadar keadaan pasif,
melainkan pencapaian aktif melalui latihan rasional yang berkesinambungan.
Dengan demikian, kebijaksanaan tidak hanya membentuk kerangka etis, tetapi juga
menjadi jalan menuju tujuan akhir kehidupan manusia: hidup bahagia, bebas, dan
bermoral.¹⁵
Footnotes
[1]               
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 174–178.
[2]               
John Sellars, Stoicism
(London: Routledge, 2014), 20–23.
[3]               
Richard Kraut, Aristotle on the
Human Good (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1989), 3–10.
[4]               
Aristotle, Nicomachean Ethics,
I.7, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999).
[5]               
A. A. Long, Hellenistic
Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics, edisi ke-2 (Berkeley: University
of California Press, 1986), 158–164.
[6]               
Brad Inwood, ed., The Cambridge
Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
35–39.
[7]               
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, Ep. 9, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University
of Chicago Press, 2015).
[8]               
Epictetus, Discourses, I.1,
terj. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008).
[9]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way
of Life, terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 93–101.
[10]            
Margaret R. Graver, Stoicism and
Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 39–45.
[11]            
Ibid., 103–108.
[12]            
Marcus Aurelius, Meditations,
IV.3, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[13]            
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2017),
29–33.
[14]            
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.87–89; Seneca, Letters, Ep. 24; Epictetus,
Enchiridion, 1–5; Marcus Aurelius, Meditations, II.1–5.
[15]            
Annas, The Morality of Happiness,
233–240.
7.         
Relevansi
Kebijaksanaan dalam Konteks Modern
Meskipun Stoikisme berakar pada dunia kuno,
kebijaksanaan (Sophia) yang diajarkan para filsuf Stoik tetap memiliki
relevansi signifikan dalam kehidupan modern. Dalam era yang ditandai oleh
kompleksitas, ketidakpastian, dan tekanan psikologis, prinsip-prinsip
kebijaksanaan Stoik menawarkan kerangka etis-praktis untuk menghadapi tantangan
hidup secara rasional dan bermoral.
7.1.       Menghadapi Ketidakpastian dan Krisis
Kehidupan modern sarat dengan ketidakpastian: krisis
ekonomi, perubahan iklim, pandemi, hingga instabilitas politik. Kebijaksanaan
Stoik, yang menekankan pembedaan antara hal-hal yang berada dalam kendali dan
yang tidak (dichotomy of control), mengajarkan individu untuk fokus pada
respon rasional, bukan pada hasil eksternal yang tak dapat dikendalikan.¹
Prinsip ini membantu manusia modern menjaga ketenangan batin di tengah gejolak
sosial, sekaligus mengarahkan energi pada tindakan yang benar-benar dapat
membawa perubahan.²
7.2.       Manajemen Emosi dan Kesehatan Mental
Fenomena seperti stres, kecemasan, dan depresi menjadi
isu besar dalam masyarakat kontemporer.³ Stoikisme, melalui kebijaksanaan,
mengajarkan pengendalian emosi destruktif (apatheia) dan transformasi
emosi menjadi bentuk sehat (eupatheiai).⁴ Penelitian psikologi modern,
khususnya terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy / CBT),
bahkan mengakui pengaruh besar ajaran Epictetus tentang peran penilaian dalam
membentuk emosi.⁵ Dengan demikian, kebijaksanaan Stoik bukan sekadar teori
etika, tetapi juga relevan sebagai strategi praktis untuk menjaga kesehatan
mental.
7.3.       Etika Profesional dan Kepemimpinan
Dalam dunia kerja modern, kebijaksanaan dapat
berfungsi sebagai panduan moral bagi pengambilan keputusan profesional.⁶
Seorang pemimpin yang bijaksana tidak hanya mengejar keuntungan material,
tetapi juga menimbang dampak keputusan terhadap keadilan, keberlanjutan, dan
kesejahteraan publik.⁷ Pemikiran Marcus Aurelius tentang pentingnya
kepemimpinan yang selaras dengan kebaikan universal menawarkan model bagi
kepemimpinan etis dalam politik, bisnis, maupun organisasi sosial.⁸ Dengan
demikian, kebijaksanaan Stoik dapat memperkuat integritas profesional dan
kepercayaan publik.
7.4.       Pendidikan Karakter dan Pengembangan Diri
Kebijaksanaan dalam Stoikisme juga relevan dalam ranah
pendidikan dan pengembangan karakter.⁹ Prinsip refleksi diri, pengendalian
diri, dan hidup sesuai dengan alam dapat diterapkan dalam pembentukan kurikulum
pendidikan moral kontemporer.¹⁰ Seneca menekankan pentingnya latihan harian
untuk mengevaluasi diri, suatu praktik yang sejalan dengan metode modern dalam
pendidikan karakter berbasis refleksi.¹¹ Dengan cara ini, kebijaksanaan Stoik
dapat menjadi fondasi bagi pendidikan yang tidak hanya menekankan keterampilan
akademik, tetapi juga pembentukan moral dan emosional.
7.5.       Kebijaksanaan dalam Budaya Konsumerisme dan Teknologi
Era digital dan konsumerisme sering kali memicu
pencarian kebahagiaan semu melalui kepemilikan materi, popularitas, atau
pengakuan sosial di media digital.¹² Kebijaksanaan Stoik mengingatkan bahwa
kebahagiaan sejati tidak bersumber dari hal-hal eksternal, melainkan dari
kualitas rasional dan moral dalam diri.¹³ Prinsip ini dapat menjadi penangkal terhadap
hedonisme dangkal, sekaligus mendorong gaya hidup sederhana, sadar, dan
bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial maupun ekologis.¹⁴
Sintesis Relevansi Kontemporer
Dari manajemen emosi hingga kepemimpinan, dari
pendidikan hingga etika dalam era digital, kebijaksanaan Stoik tetap
menunjukkan nilai aplikatif yang mendalam. Sophia berfungsi sebagai kompas
moral yang memandu manusia modern untuk menghadapi tantangan hidup dengan
rasionalitas, integritas, dan ketenangan batin.¹⁵ Dengan demikian, ajaran kuno
ini bukan sekadar warisan intelektual, tetapi juga sebuah disiplin praktis yang
tetap aktual untuk membentuk manusia yang tangguh, adil, dan bijaksana di
tengah arus globalisasi dan kompleksitas dunia modern.¹⁶
Footnotes
[1]               
Epictetus, Enchiridion, 1–5,
terj. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008).
[2]               
John Sellars, Stoicism
(London: Routledge, 2014), 118–123.
[3]               
American Psychological Association, Stress
in America: The State of Our Nation (Washington, DC: APA, 2017).
[4]               
Margaret R. Graver, Stoicism and
Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 67–75.
[5]               
Donald Robertson, The Philosophy
of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and
Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 22–28.
[6]               
Julia Annas, Intelligent Virtue
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 198–203.
[7]               
Brad Inwood, ed., The Cambridge
Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
39–42.
[8]               
Marcus Aurelius, Meditations,
VI.30, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[9]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way
of Life, terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 102–110.
[10]            
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2017),
41–46.
[11]            
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, Ep. 83, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University
of Chicago Press, 2015).
[12]            
Tim Wu, The Attention Merchants:
The Epic Scramble to Get Inside Our Heads (New York: Vintage, 2016),
221–226.
[13]            
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 192–197.
[14]            
William B. Irvine, A Guide to the
Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (New York: Oxford University Press,
2009), 115–122.
[15]            
Annas, The Morality of Happiness
(New York: Oxford University Press, 1993), 233–240.
[16]            
Sellars, Stoicism, 127–132.
8.         
Penutup
Kebijaksanaan (Sophia) dalam Stoikisme
menempati posisi fundamental sebagai kebajikan utama yang menopang seluruh
kerangka etis dan praksis kehidupan. Sejak Zeno merumuskannya sebagai epistēmē
tou biou—ilmu untuk hidup—hingga refleksi mendalam Marcus Aurelius tentang
rasionalitas kosmik, Sophia telah dipahami sebagai pengetahuan praktis yang
menuntun manusia menuju kehidupan yang baik dan bermoral.¹ Ia menjadi panduan
untuk membedakan apa yang baik, buruk, dan netral, sekaligus melatih manusia untuk
hidup selaras dengan hukum alam (logos) dan rasionalitas universal.²
Pembahasan menunjukkan bahwa kebijaksanaan Stoik bukan
sekadar teori moral, tetapi keterampilan hidup yang melibatkan latihan (askēsis),
refleksi, dan disiplin akal.³ Sophia mempersatukan tiga kebajikan
lain—keberanian, keadilan, dan pengendalian diri—dengan memastikan bahwa setiap
tindakan moral dijalankan secara tepat, proporsional, dan konsisten dengan
prinsip rasional.⁴ Tanpa kebijaksanaan, kebajikan lain kehilangan arah; namun
dengan kebijaksanaan, kebajikan menjadi kesatuan utuh yang membentuk integritas
moral.⁵
Dalam kaitannya dengan tujuan hidup, kebijaksanaan
terbukti menjadi kunci pencapaian eudaimonia, yakni kebahagiaan sejati
yang lahir dari kebebasan batin dan ketenangan jiwa.⁶ Epictetus menegaskan
bahwa kebahagiaan bergantung pada kemampuan untuk menilai dan memilih dengan
benar, bukan pada kondisi eksternal yang berada di luar kendali.⁷ Sementara
itu, Seneca mengingatkan bahwa orang bijak tetap puas dan tenang bahkan ketika
menghadapi kefanaan, karena ia memahami nilai sejati hidup ada pada kebajikan,
bukan pada kekayaan atau status sosial.⁸
Relevansi kebijaksanaan Stoik semakin terasa dalam
konteks modern. Di tengah ketidakpastian global, tekanan psikologis, serta
budaya konsumtif yang menekankan kepemilikan materi dan pencitraan diri, Sophia
menawarkan jalan alternatif: hidup yang berlandaskan kesadaran, disiplin, dan
integritas moral.⁹ Prinsip-prinsip seperti dikotomi kendali, refleksi diri,
serta orientasi pada nilai-nilai batiniah tetap dapat menjadi panduan praktis
dalam menghadapi krisis pribadi maupun sosial.¹⁰
Dengan demikian, Sophia dalam Stoikisme bukan hanya
warisan filosofis dunia kuno, tetapi juga kompas moral universal yang dapat
membimbing manusia lintas zaman.¹¹ Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati
tidak terletak pada apa yang kita miliki, melainkan pada siapa kita—yakni
sejauh mana kita mampu hidup sesuai dengan kebajikan dan rasionalitas.¹² Di
sinilah letak keabadian ajaran Stoik: bahwa manusia akan selalu membutuhkan
kebijaksanaan sebagai fondasi moral dan panduan hidup yang rasional.¹³
Footnotes
[1]               
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.87–89, terj. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925).
[2]               
John Sellars, Stoicism
(London: Routledge, 2014), 17–22.
[3]               
Pierre Hadot, Philosophy as a Way
of Life, terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–92.
[4]               
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §61.
[5]               
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 184–190.
[6]               
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 233–240.
[7]               
Epictetus, Enchiridion, 1–5,
terj. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008).
[8]               
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, Ep. 24, terj. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University
of Chicago Press, 2015).
[9]               
Donald Robertson, Stoicism and
the Art of Happiness (London: Teach Yourself, 2013), 56–61.
[10]            
William B. Irvine, A Guide to the
Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (New York: Oxford University Press,
2009), 78–85.
[11]            
Brad Inwood, ed., The Cambridge
Companion to the Stoics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
39–42.
[12]            
Marcus Aurelius, Meditations,
IV.3, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[13]            
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism, edisi revisi (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2017),
31–38.
Daftar
Pustaka
Annas, J. (1993). The morality of happiness.
Oxford University Press.
Annas, J. (2011). Intelligent virtue. Oxford
University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett. (Original work published ca. 4th century BCE)
Becker, L. C. (2017). A new Stoicism (Rev.
ed.). Princeton University Press.
Cooper, J. M. (2012). Pursuits of wisdom: Six ways
of life in ancient philosophy from Socrates to Plotinus. Princeton
University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent
philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press. (Original
work published ca. 3rd century CE)
Epictetus. (2008). Discourses and selected writings
(R. Dobbin, Trans.). Penguin.
Epictetus. (2008). Enchiridion (R. Dobbin,
Trans.). Penguin.
Graver, M. R. (2007). Stoicism and emotion.
University of Chicago Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life
(M. Chase, Trans.). Blackwell.
Hadot, P. (1998). The inner citadel: The
Meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University
Press.
Inwood, B. (2005). Reading Seneca: Stoic philosophy
at Rome. Clarendon Press.
Inwood, B. (Ed.). (2003). The Cambridge companion
to the Stoics. Cambridge University Press.
Irvine, W. B. (2009). A guide to the good life: The
ancient art of Stoic joy. Oxford University Press.
Kraut, R. (1989). Aristotle on the human good.
Princeton University Press.
Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics,
Epicureans, Sceptics (2nd ed.). University of California Press.
Long, A. A. (1996). Stoic studies. Cambridge
University Press.
Long, A. A. (2002). Epictetus: A Stoic and Socratic
guide to life. Clarendon Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The
Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays,
Trans.). Modern Library. (Original work published ca. 2nd century CE)
Plato. (1997). Apology (J. M. Cooper, Ed.). In Plato:
Complete works. Hackett.
Plato. (1997). Republic (J. M. Cooper, Ed.). In
Plato: Complete works. Hackett.
Robertson, D. (2010). The philosophy of
cognitive-behavioural therapy (CBT): Stoic philosophy as rational and cognitive
psychotherapy. Karnac.
Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of
happiness. Teach Yourself.
Sellars, J. (2014). Stoicism. Routledge.
Seneca. (2015). Letters on ethics to Lucilius
(M. Graver & A. A. Long, Trans.). University of Chicago Press.
Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral
philosopher. Cornell University Press.
Wu, T. (2016). The attention merchants: The epic
scramble to get inside our heads. Vintage.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar