Ilmu Pendidikan
Landasan, Teori, dan Praktik Menuju Transformasi
Pendidikan yang Humanis dan Holistik
Alihkan ke: Ilmu Pendidikan II, Ilmu Pendidikan III.
Sistem Pemerintahan, Sistem Hukum, Sistem Ekonomi, Sistem Pendidikan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat
dan peran ilmu pendidikan dalam membentuk sistem pendidikan yang transformatif,
humanis, dan holistik. Pembahasan dimulai dari pemahaman dasar mengenai ilmu
pendidikan sebagai disiplin normatif dan terapan, dilanjutkan dengan penguraian
tentang landasan filosofis, psikologis, sosiologis, historis, dan religius yang
menopang praktik pendidikan. Artikel ini juga menelaah berbagai teori
pendidikan—tradisional, progresif, humanistik, konstruktivistik, dan
rekonstruktivisme sosial—beserta implikasinya terhadap proses pembelajaran.
Selanjutnya dibahas tujuan pendidikan dari perspektif global, nasional, dan
Islam, serta analisis terhadap komponen pendidikan seperti pendidik, peserta
didik, materi, metode, lingkungan, dan evaluasi. Artikel ini menekankan
pentingnya paradigma pendidikan sepanjang hayat dan mengulas tantangan
kontemporer seperti ketimpangan akses, komersialisasi pendidikan, krisis
karakter, serta disrupsi digital. Di akhir, dipaparkan perspektif Islam yang
menyelaraskan antara ilmu, adab, dan tujuan spiritual dalam pendidikan. Artikel
ini menegaskan bahwa integrasi antara ilmu pengetahuan, nilai-nilai
kemanusiaan, dan prinsip keagamaan merupakan fondasi penting bagi transformasi
pendidikan yang lebih bermakna.
Kata Kunci: Ilmu Pendidikan, Transformasi Pendidikan, Teori
Pendidikan, Pendidikan Islam, Pendidikan Sepanjang Hayat, Kurikulum, Pendidikan
Humanis, Tantangan Pendidikan Kontemporer.
PEMBAHASAN
Ilmu Pendidikan Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu pendidikan merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang berperan penting dalam membentuk peradaban manusia. Pendidikan
tidak hanya menjadi sarana untuk mentransfer pengetahuan, melainkan juga
sebagai proses pembentukan karakter, nilai, dan identitas individu dalam
masyarakat. Dalam pengertian yang luas, pendidikan mencakup segala bentuk
pengalaman yang mampu mengembangkan potensi manusia, baik secara intelektual,
emosional, spiritual, maupun sosial. John Dewey, seorang tokoh pendidikan
progresif, menekankan bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung
secara terus-menerus, dan bukan sekadar persiapan untuk kehidupan, melainkan
bagian dari kehidupan itu sendiri.1
Ilmu pendidikan sebagai sebuah disiplin akademik
memiliki fokus pada pengkajian sistematis tentang teori, prinsip, metode, serta
praktik pendidikan dalam berbagai konteks. Kajian ini mencakup pemahaman
tentang bagaimana manusia belajar, bagaimana pembelajaran dapat dirancang dan
diterapkan secara efektif, serta bagaimana nilai-nilai sosial, budaya, dan
agama mempengaruhi proses pendidikan. Dalam konteks ini, ilmu pendidikan
bersifat interdisipliner karena melibatkan pendekatan dari filsafat, psikologi,
sosiologi, antropologi, dan bahkan teologi.
Pentingnya ilmu pendidikan semakin menonjol di
tengah dinamika zaman yang terus berubah. Revolusi industri 4.0, kemajuan
teknologi informasi, serta pergeseran nilai-nilai sosial menuntut sistem
pendidikan untuk beradaptasi dan melakukan transformasi secara holistik. Hal
ini memerlukan landasan filosofis dan teoritis yang kuat, serta pendekatan
praksis yang mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai kemanusiaan. Paulo Freire, seorang pendidik asal Brasil yang
dikenal dengan pendekatan pedagogi pembebasan, mengkritik sistem
pendidikan yang represif dan mendorong pendidikan yang dialogis dan
membebaskan.2
Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia,
urgensi ilmu pendidikan juga sangat penting dalam rangka mencetak generasi yang
tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga unggul secara moral dan
spiritual. Hal ini tercermin dalam tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
yaitu “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.”_3
Dengan latar belakang tersebut, artikel ini disusun
untuk mengkaji secara komprehensif tentang ilmu pendidikan, mulai dari landasan
teoritisnya, perkembangan pendekatan-pendekatan yang ada, hingga
implementasinya dalam praktik pendidikan kontemporer. Tujuannya adalah untuk
memberikan pemahaman yang utuh mengenai pentingnya ilmu pendidikan dalam
membangun sistem pendidikan yang transformatif, humanis, dan kontekstual sesuai
dengan nilai-nilai luhur budaya dan agama.
Catatan
Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An
Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916),
9–10.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72–73.
[3]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3.
2.
Hakikat
Ilmu Pendidikan
2.1.
Pengertian Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan
adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan proses pendidikan, baik secara teoritis maupun praktis. Secara
etimologis, istilah "pendidikan" berasal dari kata Latin educare,
yang berarti "mengembangkan" atau "menuntun keluar"
potensi yang ada dalam diri manusia.1 Dalam pengertian
modern, pendidikan dipahami sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya.
Menurut Langeveld,
ilmu pendidikan adalah ilmu yang mempelajari gejala mendidik, yaitu hubungan
antara pendidik dan anak dalam rangka pembentukan pribadi anak menuju
kedewasaan.2 Sementara itu, Ki Hajar Dewantara merumuskan pendidikan
sebagai daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan
tubuh anak agar mencapai kesempurnaan hidup, selaras dengan alam dan
masyarakatnya.3
Dengan demikian,
ilmu pendidikan bukan hanya menjelaskan apa dan bagaimana pendidikan dilakukan,
tetapi juga mengapa pendidikan perlu dilakukan,
dalam konteks nilai, makna, dan tujuan yang lebih luas.
2.2.
Objek Kajian Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan
memiliki dua objek kajian utama, yaitu objek material dan objek
formal. Objek materialnya adalah aktivitas pendidikan itu
sendiri, yang mencakup hubungan antara pendidik, peserta didik, dan lingkungan
dalam proses pembelajaran. Sedangkan objek formalnya adalah sudut pandang atau
pendekatan ilmiah dalam memahami dan menganalisis aktivitas tersebut.4
Sebagai contoh,
dalam konteks objek material, pendidikan dapat dilihat sebagai aktivitas yang
berlangsung dalam keluarga, sekolah, atau masyarakat. Sementara itu, dalam
konteks objek formal, ilmu pendidikan mengkaji prinsip-prinsip, teori, dan
metode yang digunakan dalam proses pendidikan. Dengan demikian, ilmu pendidikan
tidak bersifat spekulatif semata, melainkan merupakan ilmu normatif dan praktis
yang memiliki landasan empiris dan filosofis.
2.3.
Karakteristik Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan
memiliki karakteristik sebagai ilmu normatif dan terapan. Sebagai ilmu normatif,
ia tidak hanya menjelaskan realitas pendidikan, tetapi juga memberikan arah
mengenai bagaimana pendidikan seharusnya dilaksanakan untuk mencapai tujuan
ideal.5 Di sisi lain, sebagai ilmu terapan, ilmu pendidikan
mengambil prinsip-prinsip dari berbagai disiplin ilmu seperti psikologi,
sosiologi, dan antropologi untuk diterapkan dalam praktik pendidikan.
Di era modern, ilmu
pendidikan juga berkembang menjadi bidang yang interdisipliner, yang berarti ia
tidak berdiri sendiri, tetapi berinteraksi dengan ilmu-ilmu lain untuk menjawab
kompleksitas tantangan pendidikan kontemporer. Dalam konteks pendidikan Islam,
ilmu pendidikan juga berperan sebagai sarana untuk menyempurnakan fitrah
manusia dan mewujudkan penghambaan kepada Allah Swt., sebagaimana ditegaskan
oleh Al-Ghazali bahwa tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah
dengan cara penyucian jiwa dan penanaman akhlak mulia.6
Kesimpulan
Sementara
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa hakikat ilmu pendidikan terletak pada upayanya untuk
menjelaskan, membimbing, dan merekayasa proses pembentukan manusia secara utuh.
Ia tidak hanya mengandalkan analisis logis dan empiris, tetapi juga
memperhatikan nilai-nilai moral, spiritual, dan budaya. Dengan demikian, ilmu
pendidikan merupakan ilmu yang dinamis, kontekstual, dan strategis dalam
membangun kualitas manusia dan peradaban.
Catatan
Kaki
[1]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 4.
[2]
Martinus J. Langeveld, Das Pädagogische (Utrecht: Het
Spectrum, 1953), dikutip dalam Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 12.
[3]
Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap
Merdeka (Yogyakarta: UST Press, 2004), 16.
[4]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), 10–11.
[5]
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 27.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 45.
3.
Landasan-Landasan
Pendidikan
Dalam menyusun dan
menerapkan sistem pendidikan, diperlukan landasan yang kokoh agar pelaksanaan
pendidikan tidak berjalan tanpa arah. Landasan pendidikan adalah pijakan filosofis,
psikologis, sosiologis, historis, dan religius yang menjadi acuan dalam
merancang visi, misi, kurikulum, strategi pembelajaran, serta tujuan pendidikan
itu sendiri. Setiap landasan ini saling melengkapi untuk membentuk sistem
pendidikan yang utuh dan berkelanjutan.
3.1.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis
memberikan arah dan makna mendalam bagi seluruh aktivitas pendidikan. Filsafat
pendidikan menelaah hakikat manusia, tujuan hidup, dan bagaimana pendidikan
harus diselenggarakan dalam kerangka nilai-nilai tersebut. Menurut John Dewey,
pendidikan harus berlandaskan pada prinsip demokrasi, pengalaman, dan
pertumbuhan.1 Sementara dalam tradisi filsafat Islam, Al-Farabi
memandang bahwa pendidikan bertujuan membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati
melalui pembentukan akhlak dan akal.2
Aliran-aliran
filsafat memberikan pengaruh besar terhadap praktik pendidikan. Idealisme
menekankan nilai-nilai spiritual dan intelektual; realisme
menekankan pentingnya fakta dan hukum alam; pragmatisme seperti yang
dikembangkan Dewey, memprioritaskan pengalaman dan kebermanfaatan praktis; dan eksistensialisme
menekankan kebebasan individu dan tanggung jawab moral.3 Penerapan
pendekatan filosofis ini berdampak langsung pada gaya pengajaran, metode
pembelajaran, dan perumusan tujuan pendidikan.
3.2.
Landasan Psikologis
Pendidikan tidak
dapat dipisahkan dari psikologi karena proses belajar adalah aktivitas mental
dan emosional. Landasan psikologis berperan dalam memahami karakteristik
peserta didik, cara berpikir, perkembangan emosi, motivasi, dan gaya belajar.
Jean Piaget menjelaskan tahapan perkembangan kognitif anak yang harus
diperhatikan dalam proses pembelajaran.4 Sementara itu, Lev Vygotsky
menekankan pentingnya interaksi sosial dan zone of proximal development (ZPD)
dalam mendukung perkembangan intelektual peserta didik.5
Prinsip-prinsip
psikologi pendidikan membantu pendidik dalam menyusun strategi pembelajaran
yang sesuai dengan usia, minat, dan kemampuan siswa, serta memperhatikan aspek
afektif seperti kepercayaan diri dan rasa ingin tahu.
3.3.
Landasan Sosiologis dan Kultural
Pendidikan
berlangsung dalam konteks masyarakat, sehingga memahami dinamika sosial menjadi
hal yang penting. Landasan sosiologis mengkaji bagaimana norma, nilai, struktur
sosial, dan budaya memengaruhi serta dipengaruhi oleh pendidikan. Emile
Durkheim menegaskan bahwa pendidikan adalah alat masyarakat untuk mewariskan
nilai-nilai kolektif dan mempertahankan integrasi sosial.6
Di Indonesia,
pendidikan harus berakar pada nilai-nilai budaya lokal dan kearifan bangsa,
termasuk gotong royong, toleransi, dan musyawarah. Pendidikan juga harus peka
terhadap dinamika sosial seperti globalisasi, urbanisasi, dan ketimpangan
sosial, agar mampu membentuk peserta didik yang adaptif dan peduli terhadap
realitas sosialnya.
3.4.
Landasan Historis
Pendidikan memiliki
sejarah panjang yang terus mengalami transformasi sesuai perkembangan zaman.
Landasan historis penting untuk memahami evolusi sistem pendidikan, baik di
tingkat global maupun lokal. Dalam konteks global, sistem pendidikan Barat
berkembang dari model skolastik di abad pertengahan menuju pendidikan massa
setelah Revolusi Industri.7 Di dunia Islam, lembaga seperti kuttab,
madrasah,
dan jami‘ah
telah menunjukkan tradisi ilmiah dan pendidikan yang kuat sejak abad ke-8 M.8
Di Indonesia,
sejarah pendidikan mencakup masa kolonial, era kemerdekaan, hingga masa
reformasi. Memahami sejarah ini penting agar pendidikan masa kini tidak
terputus dari akar sejarahnya dan mampu melakukan refleksi terhadap
keberhasilan maupun kegagalannya di masa lalu.
3.5.
Landasan Religius (Spiritual)
Dalam masyarakat
beragama seperti Indonesia, landasan religius merupakan pilar utama dalam
membangun sistem pendidikan yang bermoral dan berkarakter. Pendidikan tidak
hanya diarahkan untuk membentuk manusia yang cerdas, tetapi juga yang beriman
dan bertakwa. Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang
yang beriman dan berilmu.9 Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam
selalu mengintegrasikan ilmu dengan adab dan akhlak.
Landasan religius
tidak terbatas pada pendidikan agama, tetapi menyentuh dimensi spiritual dalam
semua aspek pembelajaran: dari niat mendidik, etika guru, hingga sikap siswa
terhadap ilmu. Nilai religius menjadi fondasi pembentukan karakter dan pembeda
antara sistem pendidikan yang sekadar teknokratik dengan yang benar-benar
humanis.
Kesimpulan
Sementara
Landasan pendidikan
tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan sistem pendidikan yang efektif dan
bermakna. Setiap dimensi landasan memberikan kontribusi dalam menciptakan
pendidikan yang utuh: rasional, kontekstual, spiritual, dan sosial. Memahami
kelima landasan ini memungkinkan para pendidik dan pembuat kebijakan untuk
merancang pendidikan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga
berpihak pada kemanusiaan dan nilai-nilai luhur.
Catatan
Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 32–34.
[2]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah [Pandangan Penduduk
Kota Utama] (Beirut: Dar al-Masyriq, 1985), 74.
[3]
R.S. Peters, Philosophy of Education (London: Oxford
University Press, 1975), 11–15.
[4]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (New York:
Routledge, 2001), 50–58.
[5]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–91.
[6]
Emile Durkheim, Education and Sociology, trans. Sherwood D.
Fox (New York: The Free Press, 1956), 71.
[7]
Richard Aldrich, Lessons from History of Education: The Selected
Works of Richard Aldrich (London: Routledge, 2006), 98–102.
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 120–123.
[9]
Al-Qur’an, Surah Al-Mujadilah [58]:11.
4.
Teori-Teori
Pendidikan
Teori pendidikan
merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana proses pendidikan
seharusnya berlangsung, bagaimana peserta didik belajar, serta bagaimana peran
pendidik dan lingkungan dalam membentuk kepribadian dan kecerdasan peserta
didik. Teori-teori ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga memberikan
panduan praktis bagi pendidik dalam merancang kurikulum, memilih metode
pembelajaran, serta mengevaluasi hasil pendidikan. Pemahaman terhadap berbagai
teori pendidikan memungkinkan kita untuk mengembangkan pendekatan yang lebih
kontekstual, inklusif, dan adaptif terhadap kebutuhan zaman.
4.1.
Teori Tradisional vs Progresif
Teori pendidikan
tradisional cenderung bersifat otoriter dan berpusat pada guru sebagai
satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Dalam pendekatan ini, pendidikan lebih
menekankan pada hafalan, disiplin ketat, dan transmisi pengetahuan secara satu
arah. Paulo Freire menyebut model ini sebagai "banking education", di
mana peserta didik dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh guru.1
Sebaliknya, teori
progresif menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses
pembelajaran. John Dewey, pelopor pendidikan progresif, menekankan pentingnya
pengalaman langsung, pemecahan masalah, dan interaksi sosial dalam belajar.
Baginya, pendidikan adalah proses rekonstruksi pengalaman secara terus-menerus
untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan demokratis.2
4.2.
Teori Rekonstruktivisme Sosial
Rekonstruktivisme
sosial menekankan bahwa pendidikan harus menjadi alat transformasi sosial. Teori
ini dipelopori oleh Paulo Freire yang memandang bahwa pendidikan tidak boleh
netral, melainkan harus membebaskan manusia dari penindasan dan ketidakadilan
sosial.3 Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Freire
mengajukan konsep dialogis antara guru dan murid sebagai pendekatan untuk
menyadarkan dan memberdayakan peserta didik agar mampu berpikir kritis terhadap
realitas sosial.
Pendidikan dalam
pandangan ini tidak hanya bertujuan untuk memperoleh keterampilan kognitif,
tetapi juga untuk membentuk kesadaran kritis (conscientization) dan keberanian
untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil.4
4.3.
Teori Humanistik
Teori humanistik
menekankan pentingnya perkembangan pribadi dan aktualisasi diri dalam
pendidikan. Tokoh seperti Abraham Maslow dan Carl Rogers menjadi pelopor dalam
pendekatan ini. Maslow mengembangkan teori hierarki kebutuhan manusia yang
puncaknya adalah self-actualization, yaitu
pencapaian potensi tertinggi manusia.5 Sedangkan Carl Rogers
menekankan pendekatan pendidikan yang non-direktif, hangat, dan empatik, di
mana guru berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai pengontrol.6
Dalam teori ini,
pendidikan dianggap berhasil apabila peserta didik mampu mengenali jati
dirinya, membangun hubungan positif dengan orang lain, dan hidup secara otentik
dalam masyarakat.
4.4.
Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme
berangkat dari pandangan bahwa pengetahuan dibentuk secara aktif oleh peserta
didik melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Tokoh utama dari
pendekatan ini adalah Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Piaget memandang belajar
sebagai proses asimilasi dan akomodasi terhadap pengalaman baru dalam kerangka
skema kognitif individu.7 Sementara Vygotsky menekankan peran
penting bahasa, budaya, dan interaksi sosial dalam membentuk struktur berpikir
anak melalui konsep zone of proximal development (ZPD).8
Dalam praktiknya, pendekatan konstruktivis mendorong pembelajaran berbasis
masalah, kolaboratif, dan berpusat pada peserta didik, serta mengutamakan
refleksi kritis dan eksplorasi makna.
Implikasi
Teori terhadap Praktik Pendidikan
Setiap teori
pendidikan membawa implikasi yang signifikan terhadap desain kurikulum,
strategi pembelajaran, dan relasi antara guru dan murid. Pendidik yang memahami
keragaman teori pendidikan akan lebih mampu mengembangkan pendekatan yang
fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Misalnya, pendekatan
humanistik sangat relevan dalam membentuk pendidikan karakter, sedangkan
konstruktivisme efektif dalam pembelajaran berbasis proyek dan inkuiri.
Lebih jauh, teori
rekonstruktivisme sosial mendorong pendidikan untuk terlibat secara aktif dalam
persoalan kemanusiaan, keadilan sosial, dan pembangunan masyarakat yang lebih
adil. Oleh karena itu, integrasi antara berbagai teori ini penting untuk menciptakan
sistem pendidikan yang humanis, holistik, dan transformatif.
Catatan
Kaki
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72.
[2]
John Dewey, Experience and Education (New York: Collier Books,
1963), 25–26.
[3]
Paulo Freire, Education for Critical Consciousness (New York:
Continuum, 1974), 7–8.
[4]
Ibid., 35–36.
[5]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New
York: Harper & Row, 1987), 15–20.
[6]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (Columbus: Merrill
Publishing Company, 1983), 107–112.
[7]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New
York: International Universities Press, 1952), 5–6.
[8]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 86–87.
5.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan
merupakan elemen fundamental dalam merancang dan menyelenggarakan proses
pendidikan. Ia menjadi pedoman arah, orientasi nilai, dan standar keberhasilan
dalam membentuk manusia dan masyarakat. Tanpa tujuan yang jelas, proses
pendidikan akan kehilangan makna dan orientasinya. Oleh karena itu, merumuskan
tujuan pendidikan tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga ideologis,
filosofis, dan bahkan teologis.
5.1.
Tujuan Umum dan Khusus Pendidikan
Tujuan umum
pendidikan bersifat universal, seperti mengembangkan potensi manusia secara
utuh—baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual. Dalam tradisi
pendidikan modern, John Dewey menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
membentuk manusia yang mampu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan
demokratis melalui pengembangan kapasitas berpikir kritis dan etis.1
Sementara itu,
tujuan khusus pendidikan ditentukan oleh kebutuhan sosial, budaya, dan nasional
yang spesifik. Misalnya, pendidikan di suatu negara dapat diarahkan untuk
menumbuhkan nasionalisme, memperkuat identitas budaya, atau meningkatkan daya
saing ekonomi global.
5.2.
Perspektif Filosofis dan Ideologis
Tujuan pendidikan
sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan ideologi yang dianut suatu bangsa.
Dalam pandangan humanisme, pendidikan diarahkan
untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi pribadi yang otonom,
rasional, dan bertanggung jawab secara moral.2 Sementara dalam filsafat
eksistensialisme, seperti yang diungkapkan oleh Jean-Paul
Sartre, pendidikan bertujuan membimbing individu untuk menemukan makna hidup
secara personal dan bebas.3
Di sisi lain, negara
dengan orientasi ideologis tertentu seperti
sosialisme atau kapitalisme cenderung mengarahkan tujuan pendidikan untuk
mencetak individu sesuai dengan kebutuhan sistem ekonomi dan politik
masing-masing. Oleh karena itu, pendidikan tidak pernah netral, tetapi selalu
terkait erat dengan kekuatan sosial dan ideologi yang mengaturnya.4
5.3.
Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia
Di Indonesia, tujuan
pendidikan telah dirumuskan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, yaitu:
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”_5
Tujuan ini
menggambarkan pendekatan holistik dan integralistik
dalam pendidikan Indonesia yang tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi
juga moral, spiritual, dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
nasional diarahkan untuk membentuk manusia seutuhnya dalam kerangka nilai-nilai
Pancasila.
5.4.
Tujuan Pendidikan dalam Islam
Dalam perspektif
Islam, pendidikan tidak sekadar sarana mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi
juga bertujuan membentuk insan kamil (manusia paripurna) yang menyelaraskan
akal, hati, dan tindakan dalam bingkai penghambaan kepada Allah Swt. Al-Ghazali
menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa)
dan penanaman akhlak mulia, sehingga manusia dapat dekat dengan Allah dan
bermanfaat bagi sesama.6
Pendidikan Islam
tidak memisahkan antara ilmu dan adab. Tujuannya mencakup dimensi duniawi dan
ukhrawi, yaitu untuk membentuk manusia yang berilmu, beriman, dan beramal saleh.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(Q.S. Al-Mujadilah [58] ayat 11)7
Ayat ini menegaskan
bahwa ilmu dan keimanan adalah dua pilar utama yang menjadi sasaran pendidikan
dalam Islam.
5.5.
Perbandingan Tujuan Pendidikan
Global
Jika dibandingkan
secara global, negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang merumuskan
tujuan pendidikan mereka dengan menekankan keseimbangan antara prestasi
akademik dan kesejahteraan emosional siswa. Finlandia, misalnya, menekankan
kebahagiaan dan kemandirian sebagai bagian dari tujuan pendidikan, bukan
sekadar pencapaian nilai ujian.8
Hal ini menunjukkan
bahwa meskipun setiap negara memiliki konteks dan prioritas yang berbeda, ada
kecenderungan universal bahwa pendidikan harus berfokus pada pengembangan
manusia secara menyeluruh, bukan sekadar sebagai tenaga kerja.
Kesimpulan
Sementara
Tujuan pendidikan
adalah cermin dari pandangan hidup dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu
bangsa atau agama. Pendidikan yang bermakna harus mampu menjembatani antara
kebutuhan individual, sosial, dan spiritual. Oleh karena itu, rumusan tujuan
pendidikan harus bersifat integratif, transformatif, dan kontekstual agar mampu
mencetak generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak, berakhlak, dan
bertanggung jawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Catatan
Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 90–92.
[2]
R.S. Peters, Ethics and Education (London: Allen & Unwin,
1966), 5–9.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 48–52.
[4]
Michael Apple, Ideology and Curriculum, 3rd ed. (New York:
Routledge, 2004), 3–5.
[5]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 45.
[7]
Al-Qur’an, Surah Al-Mujadilah [58]:11.
[8]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from
Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2011),
33–35.
6.
Komponen-Komponen
Pendidikan
Pendidikan sebagai
proses yang kompleks tidak dapat berlangsung tanpa unsur-unsur fundamental yang
saling berkaitan dan membentuk satu sistem terpadu. Dalam kajian ilmu
pendidikan, dikenal adanya komponen-komponen utama yang
menjadi elemen penyusun praktik pendidikan. Komponen-komponen tersebut antara
lain: pendidik, peserta didik, materi pendidikan, metode, lingkungan
pendidikan, dan evaluasi. Setiap komponen memiliki fungsi, peran, dan dinamika
tersendiri dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan yang bermakna dan
berkelanjutan.
6.1.
Pendidik
Pendidik adalah
aktor utama yang bertanggung jawab dalam merancang, memfasilitasi, dan
mengevaluasi proses pendidikan. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, pendidik didefinisikan sebagai tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil belajar,
membimbing, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.1
Lebih dari sekadar
pengajar, pendidik adalah figur teladan. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa
pendidik harus mampu menjadi panutan yang mengayomi, menuntun, dan membimbing
peserta didik menuju kemandirian—ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani.2 Oleh karena itu, kualitas
moral, kompetensi profesional, dan kepribadian pendidik sangat menentukan arah
dan hasil pendidikan.
6.2.
Peserta Didik
Peserta didik adalah
subjek utama pendidikan yang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang
secara utuh. Dalam pendekatan pendidikan modern, peserta didik dipandang
sebagai individu aktif yang memiliki pengalaman, latar belakang, dan gaya
belajar yang beragam. Jean Piaget menunjukkan bahwa anak memiliki tahapan
perkembangan kognitif yang berbeda dan harus diperhatikan oleh pendidik dalam
memberikan stimulasi belajar.3
Pendidikan yang
efektif adalah pendidikan yang mampu menyesuaikan proses pembelajaran dengan
karakteristik peserta didik, baik dari sisi usia, psikologi, sosial-budaya,
maupun kebutuhan khusus. Oleh karena itu, pembelajaran yang inklusif dan berbasis
peserta didik menjadi semakin relevan dalam konteks pendidikan abad ke-21.
6.3.
Materi Pendidikan
Materi pendidikan
atau kurikulum merupakan isi atau muatan pembelajaran yang dirancang untuk
mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum memuat kompetensi inti, indikator, bahan
ajar, serta kegiatan belajar yang disusun secara sistematis dan relevan dengan
kebutuhan peserta didik dan tuntutan zaman. Menurut Ralph Tyler, materi
pendidikan harus disusun berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, pengalaman
belajar yang sesuai, dan alat evaluasi yang tepat.4
Di Indonesia,
kurikulum disusun berdasarkan prinsip relevansi, fleksibilitas, kontinuitas,
dan efisiensi. Ia juga harus mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila,
keberagaman budaya, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6.4.
Metode Pendidikan
Metode pendidikan
adalah cara atau strategi yang digunakan oleh pendidik untuk mentransfer materi
pendidikan kepada peserta didik. Pemilihan metode harus mempertimbangkan tujuan
pembelajaran, karakteristik peserta didik, serta konteks pembelajaran. Metode
yang baik adalah metode yang mampu menciptakan suasana belajar yang aktif,
menyenangkan, dan bermakna.
Dalam pendekatan
konstruktivis, metode seperti problem-based learning, inquiry
learning, dan collaborative learning dianggap
efektif karena mendorong partisipasi aktif dan berpikir kritis.5
Sedangkan dalam konteks pendidikan Islam, metode seperti keteladanan (uswah),
nasihat (mau‘izhah),
pembiasaan, dan dialog (tanya jawab) telah lama digunakan oleh para ulama dan
nabi sebagai sarana mendidik karakter dan akhlak.
6.5.
Lingkungan Pendidikan
Lingkungan
pendidikan mencakup segala kondisi eksternal yang memengaruhi proses dan hasil
pendidikan, baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya. Ki Hajar Dewantara
membedakan tiga pusat pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang
dikenal dengan istilah tripusat pendidikan.6
Ketiganya harus saling bersinergi untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang
sehat dan mendukung perkembangan peserta didik.
Lingkungan yang
positif akan memperkuat motivasi belajar, mendorong interaksi sosial yang
sehat, dan membentuk karakter yang baik. Di era digital, lingkungan virtual
juga menjadi bagian dari lingkungan pendidikan yang perlu dikaji dan dikelola
secara bijak.
6.6.
Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan
adalah proses sistematis untuk menilai sejauh mana tujuan pendidikan telah
tercapai. Evaluasi tidak hanya berfungsi mengukur hasil belajar (outcome),
tetapi juga proses belajar (process), serta efektivitas pendekatan dan strategi
yang digunakan. Menurut Bloom, evaluasi mencakup aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik sebagai tiga domain utama dalam pembelajaran.7
Jenis evaluasi dapat
dibagi menjadi formatif (dilakukan selama
proses berlangsung untuk perbaikan) dan sumatif (dilakukan di akhir
proses untuk penilaian akhir). Di era sekarang, pendekatan evaluasi autentik
yang mengukur kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas semakin
dibutuhkan.
Kesimpulan
Sementara
Komponen-komponen
pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus berinteraksi secara
harmonis untuk menciptakan proses pendidikan yang efektif dan bermakna. Peran
pendidik yang bijak, peserta didik yang aktif, materi yang relevan, metode yang
tepat, lingkungan yang mendukung, dan evaluasi yang objektif merupakan
pilar-pilar penting dalam membangun pendidikan yang transformatif dan humanis.
Catatan
Kaki
[1]
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 Ayat 1.
[2]
Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap
Merdeka (Yogyakarta: UST Press, 2004), 23.
[3]
Jean Piaget, The Psychology of the Child, trans. Helen Weaver
(New York: Basic Books, 1969), 20–21.
[4]
Ralph Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction
(Chicago: University of Chicago Press, 1949), 1–2.
[5]
Jerome Bruner, The Process of Education (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1960), 72–74.
[6]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 78.
[7]
Benjamin S. Bloom, ed., Taxonomy of Educational Objectives: The
Classification of Educational Goals (New York: David McKay Company, 1956),
7–10.
7.
Pendidikan
Sepanjang Hayat (Lifelong Learning)
Pendidikan sepanjang
hayat atau lifelong
learning merupakan paradigma pendidikan yang menekankan bahwa
proses belajar tidak terbatas pada masa kanak-kanak atau lembaga formal semata,
melainkan berlangsung terus-menerus sepanjang hidup manusia. Konsep ini
berkembang seiring dengan kesadaran bahwa kehidupan manusia bersifat dinamis, kompleks, dan menuntut
kemampuan untuk terus beradaptasi terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan
teknologi.
Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNESCO) menegaskan bahwa pendidikan sepanjang hayat merupakan kunci untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan masyarakat yang adil serta inklusif.1
Dalam laporan Learning: The Treasure Within,
UNESCO menyebut empat pilar utama pendidikan abad ke-21: belajar untuk
mengetahui (learning to know), belajar untuk
berbuat (learning to do), belajar untuk
hidup bersama (learning to live together), dan belajar
untuk menjadi (learning to be)—kesemuanya berakar
pada semangat belajar seumur hidup.2
7.1.
Konsep dan Dimensi Pendidikan
Sepanjang Hayat
Pendidikan sepanjang
hayat mencakup tiga dimensi besar: pendidikan formal, nonformal,
dan informal.
Pendidikan formal mencakup pembelajaran dalam sistem pendidikan yang
terstruktur, seperti sekolah dan universitas. Pendidikan nonformal meliputi
kegiatan pelatihan, kursus, dan pembelajaran komunitas yang tidak selalu diakui
dengan ijazah resmi. Sementara itu, pendidikan informal terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, melalui interaksi sosial, media, pengalaman kerja, maupun
pembelajaran mandiri.3
Keseluruhan dimensi
ini saling melengkapi dan harus difasilitasi secara adil oleh negara dan
masyarakat untuk menjamin keterjangkauan dan keberlanjutan pendidikan bagi
setiap warga negara di sepanjang siklus hidupnya.
7.2.
Urgensi Pendidikan Sepanjang Hayat
di Era Globalisasi
Di era globalisasi
dan revolusi industri 4.0, pendidikan sepanjang hayat menjadi sangat krusial.
Perubahan teknologi yang cepat menyebabkan
sebagian besar pengetahuan dan keterampilan menjadi usang dalam waktu singkat.
Oleh karena itu, individu dituntut untuk terus belajar agar tetap relevan di
dunia kerja dan kehidupan sosial. Menurut Peter Jarvis, manusia modern harus
menjadi “pembelajar reflektif” (reflective learner) yang mampu
mengevaluasi dan memperbarui pengetahuannya secara berkelanjutan.4
Dalam konteks ini,
pendidikan sepanjang hayat bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan dasar manusia
untuk bertahan, berkembang, dan berkontribusi dalam masyarakat yang terus
berubah.
7.3.
Strategi Implementasi Pendidikan
Sepanjang Hayat
Implementasi
pendidikan sepanjang hayat memerlukan pendekatan kebijakan yang inklusif dan
fleksibel. Negara-negara seperti Finlandia dan Korea Selatan telah
mengembangkan sistem pendidikan terbuka yang memungkinkan warga belajar
kembali (re-skilling) dan meningkatkan keterampilan (up-skilling) di
berbagai tahap kehidupan.5
Di Indonesia,
strategi seperti pendidikan berbasis masyarakat, pelatihan keterampilan
berbasis kompetensi, universitas terbuka, serta program keaksaraan fungsional merupakan bagian dari upaya
mewujudkan pendidikan seumur hidup. Namun, tantangan masih dihadapi, terutama
terkait akses, kesenjangan digital, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya pembelajaran berkelanjutan.6
7.4.
Lifelong Learning dalam Perspektif
Islam
Konsep pendidikan
sepanjang hayat sejatinya telah tertanam kuat dalam ajaran Islam. Hadis Nabi
Muhammad Saw. menyatakan, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang
lahat”, menunjukkan bahwa proses menuntut ilmu tidak mengenal usia
maupun batas institusional.7
Al-Qur’an juga mendorong refleksi dan pencarian ilmu sebagai bentuk ibadah dan
perintah Tuhan. Firman Allah:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan
katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”
(Q.S. Ṭāhā [20] ayat 114).8
Dalam tradisi
keilmuan Islam klasik, ulama besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan
Al-Farabi tidak berhenti belajar meskipun telah menjadi guru. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan manusia
sepanjang hidupnya menuju kesempurnaan akhlak dan kedekatan kepada Allah Swt.
7.5.
Tantangan dan Arah Masa Depan
Meskipun penting,
realisasi pendidikan sepanjang hayat menghadapi berbagai tantangan, seperti
keterbatasan sumber daya, budaya belajar yang lemah, serta rendahnya literasi
digital di sebagian besar
masyarakat. Untuk itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga
pendidikan, dunia usaha, dan masyarakat sipil guna membangun sistem pendidikan
yang terbuka, adaptif, dan partisipatif.
Ke depan, pendidikan
sepanjang hayat akan semakin mengandalkan teknologi digital, sistem
pembelajaran terbuka (open learning), dan pendekatan personalisasi pembelajaran
yang berpusat pada kebutuhan dan potensi individu. Dengan semangat lifelong
learning, pendidikan tidak hanya menjadi instrumen pembangunan
ekonomi, tetapi juga sarana pembebasan manusia dan penguatan martabat
kemanusiaan.
Catatan
Kaki
[1]
UNESCO, Framework for the Implementation of Education 2030
(Paris: UNESCO Publishing, 2015), 7.
[2]
Jacques Delors et al., Learning: The Treasure Within – Report to
UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first
Century (Paris: UNESCO Publishing, 1996), 85–94.
[3]
David Aspin and Judith Chapman, Lifelong Learning: Concepts and
Conceptions (London: Continuum, 2007), 12–14.
[4]
Peter Jarvis, Globalisation, Lifelong Learning and the Learning
Society: Sociological Perspectives (London: Routledge, 2007), 3.
[5]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn from
Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2015),
122–124.
[6]
Kemendikbudristek RI, Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 37.
[7]
Imam al-Bayhaqi, Syu‘ab al-Iman, no. 1763, dalam Maktabah
al-Syamilah.
[8]
Al-Qur’an, Surah Ṭāhā [20]:114.
8.
Tantangan
dan Isu Kontemporer dalam Pendidikan
Pendidikan modern
dihadapkan pada berbagai tantangan dan isu kontemporer yang kompleks dan
multidimensional. Isu-isu ini muncul sebagai akibat dari perubahan sosial,
ekonomi, budaya, dan teknologi yang sangat cepat, serta dinamika globalisasi
dan kebijakan nasional yang belum sepenuhnya inklusif. Untuk membangun sistem
pendidikan yang transformatif dan humanis, perlu pemahaman yang kritis terhadap tantangan-tantangan tersebut.
8.1.
Ketimpangan Akses dan Kualitas
Pendidikan
Salah satu tantangan
utama pendidikan global maupun nasional adalah ketimpangan akses terhadap
pendidikan yang berkualitas. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia,
masih terdapat kesenjangan yang tajam antara daerah urban dan rural, antara
kelompok ekonomi menengah-atas dan kelompok miskin, serta antara pendidikan
umum dan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.1
Laporan Education
at a Glance oleh OECD menunjukkan bahwa latar belakang
sosial-ekonomi masih menjadi prediktor kuat dalam keberhasilan pendidikan anak.2
Ketimpangan ini berdampak
langsung pada kesempatan kerja, partisipasi sosial, dan mobilitas vertikal di
masa depan, sehingga memperparah siklus kemiskinan antar generasi.
8.2.
Komersialisasi dan Privatisasi
Pendidikan
Fenomena
komersialisasi pendidikan menjadi isu kritis di era neoliberal. Pendidikan,
yang semestinya menjadi hak dasar dan layanan publik, semakin diperlakukan
sebagai komoditas ekonomi. Michael Apple menyebut hal ini sebagai "commodification
of education", di mana orientasi profit lebih dominan daripada
fungsi sosial pendidikan.3
Privatisasi
institusi pendidikan, kenaikan biaya pendidikan tinggi, serta maraknya lembaga
bimbingan belajar komersial menjadi indikator bahwa pendidikan semakin bergeser
dari prinsip keadilan sosial menuju mekanisme pasar. Kondisi ini dikhawatirkan
akan mengikis esensi pendidikan sebagai alat emansipasi sosial.
8.3.
Disrupsi Teknologi dan Digitalisasi
Pembelajaran
Revolusi Industri
4.0 dan percepatan digitalisasi telah membawa transformasi besar dalam dunia
pendidikan. Teknologi digital membuka peluang baru seperti pembelajaran daring
(online
learning), sistem manajemen pembelajaran (LMS), dan kecerdasan
buatan (AI) dalam proses pengajaran. Namun, di balik peluang tersebut terdapat
tantangan serius: kesenjangan digital (digital divide), penurunan
interaksi sosial dalam pembelajaran, serta ancaman terhadap etika dan
integritas akademik.4
Di Indonesia,
pandemi COVID-19 mempercepat adopsi teknologi, namun juga mengungkap rendahnya
kesiapan infrastruktur dan literasi digital di banyak daerah.5 Ini
menuntut penguatan kompetensi digital bagi guru dan siswa, serta kebijakan yang
lebih adil terhadap akses teknologi pendidikan.
8.4.
Krisis Pendidikan Karakter dan Moral
Pendidikan
kontemporer tidak hanya menghadapi krisis epistemologis, tetapi juga krisis
moral. Fenomena degradasi karakter, meningkatnya intoleransi, kekerasan di sekolah,
hingga penyalahgunaan teknologi menunjukkan bahwa pendidikan masih kurang
menekankan aspek pembentukan akhlak dan nilai kemanusiaan.6
Ki Hajar Dewantara
menekankan bahwa pendidikan harus melampaui aspek intelektual, dengan
menanamkan nilai-nilai moral dan budaya sebagai fondasi kehidupan berbangsa.7
Maka pendidikan karakter yang integratif dan kontekstual menjadi kebutuhan
mendesak dalam sistem pendidikan saat ini.
8.5.
Kurikulum yang Tidak Kontekstual
Kurikulum di banyak
negara, termasuk Indonesia, masih sering dikritik karena terlalu padat,
teoritis, dan tidak kontekstual dengan realitas peserta didik. Banyak materi
ajar yang tidak relevan dengan kebutuhan masa depan siswa, dunia kerja, maupun
tantangan lokal. Kurikulum cenderung berorientasi pada pencapaian angka dan
ujian, bukan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi,
kreativitas, dan empati.
Menurut Ken
Robinson, sistem pendidikan terlalu banyak menekankan conformity
daripada creativity,
sehingga membatasi potensi unik setiap anak.8 Oleh karena itu,
transformasi kurikulum harus diarahkan pada pendekatan yang fleksibel,
kontekstual, dan berpusat pada peserta didik.
8.6.
Tantangan Globalisasi dan Krisis
Identitas
Globalisasi
menghadirkan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, yaitu benturan nilai
antara budaya lokal dan global, yang dapat menimbulkan krisis identitas pada
generasi muda. Pendidikan harus mampu menyeimbangkan keterbukaan terhadap dunia
dengan penguatan nilai-nilai kearifan lokal dan nasionalisme.
Jika tidak dikelola
dengan baik, globalisasi dapat menjauhkan peserta didik dari akar budaya dan
agama, serta mendorong mentalitas konsumtif dan individualistik. Dalam konteks
ini, pendidikan perlu mengusung pendekatan glokalisasi (global-lokal) yang
mendidik siswa menjadi warga dunia sekaligus mencintai tanah air dan
tradisinya.9
Kesimpulan
Sementara
Tantangan dan isu
kontemporer dalam pendidikan menuntut perubahan paradigma menuju sistem yang
lebih adil, adaptif, dan berlandaskan nilai. Pendidikan tidak cukup hanya mengejar
prestasi akademik, tetapi harus mampu membentuk manusia utuh yang sadar sosial,
kritis, berakhlak, dan mampu hidup dalam masyarakat yang majemuk dan dinamis.
Untuk itu, refleksi kritis terhadap kebijakan, kurikulum, serta praktik
pendidikan mutlak diperlukan demi terwujudnya transformasi pendidikan yang
sejati.
Catatan
Kaki
[1]
UNESCO, Global Education Monitoring Report 2020: Inclusion and
Education – All Means All (Paris: UNESCO Publishing, 2020), 28–30.
[2]
OECD, Education at a Glance 2021: OECD Indicators (Paris: OECD
Publishing, 2021), 61.
[3]
Michael W. Apple, Educating the “Right” Way: Markets, Standards,
God, and Inequality (New York: Routledge, 2006), 12–14.
[4]
Andreas Schleicher, Teaching and Learning in the Digital Age
(Paris: OECD Education and Skills Today, 2019), 5–6.
[5]
Kemendikbudristek RI, Pembelajaran Jarak Jauh selama Pandemi
COVID-19: Pembelajaran dari Lapangan (Jakarta: Balitbang, 2021), 13.
[6]
Komaruddin Hidayat, Pendidikan dan Tantangan Globalisasi
(Jakarta: Kompas, 2009), 89.
[7]
Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap
Merdeka (Yogyakarta: UST Press, 2004), 52.
[8]
Ken Robinson, Creative Schools: The Grassroots Revolution That’s
Transforming Education (New York: Viking, 2015), 45–47.
[9]
Wahyu Wibowo, Pendidikan dan Globalisasi: Strategi Pendidikan Nilai
dalam Era Dunia Tanpa Batas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), 64.
9.
Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam
Ilmu pendidikan
dalam Islam merupakan bagian integral dari visi peradaban Islam itu sendiri.
Pendidikan bukan hanya sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga
pembinaan akhlak, penyucian jiwa, dan pembimbingan manusia menuju kedekatan
dengan Allah Swt. Oleh karena itu, dalam perspektif Islam, pendidikan memiliki
dimensi spiritual, moral,
intelektual,
dan sosial
yang saling terintegrasi.
9.1.
Landasan Filosofis dan Teologis
Pendidikan Islam
Islam memandang
bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, yang dibekali dengan
akal, potensi ruhani, dan kemampuan belajar. Hal ini ditegaskan dalam firman
Allah Swt.:
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda) seluruhnya..."
(Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 31).1
Ayat ini menjadi
dasar bahwa kemampuan intelektual dan pendidikan adalah anugerah ilahiyah, dan
proses belajar adalah bagian dari fitrah manusia. Pendidikan dalam Islam
bersumber dari wahyu (Al-Qur’an), sunnah,
dan ijtihad
para ulama. Tujuan akhirnya adalah membentuk insan kamil (manusia paripurna)
yang mampu merealisasikan ‘ubudiyyah kepada Allah Swt. dan
memberikan manfaat bagi sesama.
9.2.
Tujuan dan Hakikat Pendidikan Islam
Tujuan utama
pendidikan dalam Islam adalah untuk mencapai keseimbangan antara dunia dan akhirat,
serta membentuk manusia yang berakhlak mulia. Al-Ghazali menyatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa)
dan penanaman akhlak, bukan sekadar mengisi pikiran dengan pengetahuan.2
Sementara itu, Syed
Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa pendidikan dalam Islam bertujuan
untuk "menanamkan
adab", yaitu penanaman disiplin spiritual dan intelektual yang
akan membentuk manusia berpengetahuan yang benar, berakhlak, dan beradab.3
Maka, pendidikan Islam bukan hanya bersifat kognitif, tetapi juga normatif dan
spiritual.
9.3.
Karakteristik Ilmu Pendidikan dalam
Islam
Ilmu pendidikan
dalam Islam memiliki karakteristik khas, di antaranya:
1)
Tauhid sebagai landasan
utama: Segala bentuk ilmu diarahkan pada pengakuan keesaan Allah dan
penghambaan kepada-Nya.
2)
Integrasi antara ilmu dan
amal: Tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia; semua ilmu
yang bermanfaat dianggap bagian dari ajaran Islam.4
3)
Keseimbangan aspek jasmani
dan ruhani: Pendidikan Islam memperhatikan aspek intelektual,
emosional, spiritual, dan sosial manusia secara seimbang.
4)
Pendidikan berbasis nilai:
Proses pendidikan diarahkan pada pembentukan akhlak, bukan hanya penguasaan
kognitif.
9.4.
Metode dan Strategi Pendidikan dalam
Islam
Tradisi pendidikan
Islam telah mengembangkan metode-metode pengajaran yang holistik, di antaranya:
·
Keteladanan (uswah
hasanah): Rasulullah saw. sebagai pendidik utama menjadi teladan dalam
seluruh aspek kehidupan (Q.S. Al-Ahzab [33] ayat 21).5
·
Nasihat dan
mau‘izhah: Memberikan pengarahan dengan kelembutan, sebagaimana metode
dakwah para nabi.
·
Diskusi dan
musyawarah: Pendidikan dalam Islam mendorong dialog dan musyawarah
sebagai bentuk interaksi intelektual.
·
Pembiasaan dan
pelatihan (‘ādah): Pendidikan karakter dilakukan melalui habituasi
amal saleh dan kedisiplinan.
Metode-metode ini
berorientasi pada pembentukan akhlak, pemahaman mendalam, dan aktualisasi nilai
dalam kehidupan nyata, bukan hanya pencapaian akademik.
9.5.
Lembaga dan Tokoh Pendidikan Islam
Klasik
Sejarah mencatat
bahwa pendidikan Islam telah melahirkan banyak lembaga pendidikan formal
seperti kuttab, madrasah,
dan jāmi‘ah
yang menjadi cikal bakal universitas modern. Lembaga seperti Jāmi‘ah Al-Azhar
(Mesir) dan Universitas al-Qarawiyyin (Maroko) adalah contoh konkret kemajuan
pendidikan Islam sejak abad pertengahan.6
Tokoh-tokoh seperti
Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibnu Khaldun bukan hanya pemikir keislaman, tetapi
juga pendidik yang merumuskan prinsip-prinsip pedagogis. Ibnu Khaldun,
misalnya, dalam Muqaddimah-nya menjelaskan
pentingnya pembelajaran bertahap dan penggunaan metode yang sesuai dengan
tingkat perkembangan anak.7
9.6.
Relevansi Pendidikan Islam di Era
Modern
Di tengah tantangan
globalisasi, krisis moral, dan disrupsi teknologi, pendidikan Islam menawarkan
pendekatan yang relevan dan berimbang. Pendidikan berbasis tauhid dan
nilai-nilai spiritual sangat diperlukan untuk menangkal dampak negatif
modernitas yang sekuler dan materialistik.
Pendidikan Islam
dapat berperan sebagai kekuatan moral dalam dunia pendidikan dengan menanamkan keadaban
ilmu, etika teknologi, dan komitmen
sosial. Dengan integrasi antara nilai-nilai keislaman dan
kemajuan sains, pendidikan Islam dapat membentuk generasi yang tidak hanya
cerdas, tetapi juga bijak, adil, dan berakhlak.
Kesimpulan
Sementara
Ilmu pendidikan
dalam perspektif Islam memberikan kontribusi penting dalam merumuskan sistem
pendidikan yang menyeluruh dan bermakna. Dengan memadukan antara akal dan
wahyu, antara ilmu dan amal, serta antara individu dan masyarakat, pendidikan
Islam menawarkan paradigma yang humanis, holistik, dan transendental. Hal ini
menjadi fondasi kuat bagi upaya transformasi pendidikan di tengah tantangan
zaman.
Catatan
Kaki
[1]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 31.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2005), 45.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 12–14.
[4]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Falsafah dan Praktik Pendidikan Islam
(Bandung: Mizan, 2003), 56.
[5]
Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab [33] ayat 21.
[6]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29–30.
[7]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 375–376.
10. Penutup
Ilmu pendidikan merupakan fondasi penting dalam merancang,
menyelenggarakan, dan mereformasi sistem pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pengembangan manusia
seutuhnya. Sepanjang artikel ini telah dipaparkan berbagai dimensi ilmu
pendidikan—dari hakikat dan landasannya, teori-teori yang mendasari, tujuan
pendidikan, komponen utama, hingga tantangan kontemporer dan kontribusi
nilai-nilai Islam dalam pendidikan.
Pendidikan yang humanis dan holistik adalah
pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk multidimensional: rasional,
emosional, spiritual, dan sosial. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan harus
mengintegrasikan nilai-nilai etis dan religius, mengedepankan keadilan sosial,
serta membuka ruang bagi pertumbuhan potensi individu secara menyeluruh. Dalam
perspektif Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang
menjadikan manusia sadar akan realitasnya, serta memiliki keberanian untuk
mengubahnya.1
Tantangan-tantangan global seperti ketimpangan
sosial, krisis moral, disrupsi teknologi, dan komersialisasi pendidikan
menuntut pendekatan baru yang lebih adaptif dan berakar pada nilai. Dalam
konteks ini, ilmu pendidikan tidak dapat lagi hanya menjadi produk intelektual
teoritis, melainkan harus hadir sebagai praksis transformatif yang menjawab
kebutuhan zaman.
Di tengah realitas yang terus berubah, konsep pendidikan
sepanjang hayat menjadi sangat penting. Proses belajar tidak boleh berhenti
pada usia atau jenjang tertentu. Sejalan dengan pandangan UNESCO, pendidikan di
abad ke-21 harus berfungsi sebagai “continuous process of learning for life”,
yang memungkinkan setiap orang untuk terus tumbuh secara intelektual,
profesional, dan spiritual sepanjang hidupnya.2
Sementara itu, dalam khazanah Islam, pendidikan
bukan hanya alat untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt., memperbaiki akhlak, dan menunaikan amanah
kekhalifahan di muka bumi. Tujuan ini tercermin dalam prinsip ta‘līm, tarbiyah,
dan ta’dīb—yakni pengajaran, pembinaan, dan penanaman adab yang menyatu
dalam sistem pendidikan Islam.3
Melalui pendekatan integratif antara ilmu modern
dan nilai-nilai spiritual, diharapkan lahir sistem pendidikan yang tidak hanya
mencerdaskan otak, tetapi juga melembutkan hati dan membentuk karakter. Inilah wajah
pendidikan masa depan: transformatif, inklusif, adil, dan berakar pada
nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Catatan
Kaki
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72.
[2]
UNESCO, Learning: The Treasure Within – Report
to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first
Century, ed. Jacques Delors (Paris: UNESCO Publishing, 1996), 18.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of
Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 3–4.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of
education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Juz
1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Apple, M. W. (2006). Educating the “right” way:
Markets, standards, God, and inequality (2nd ed.). New York, NY: Routledge.
Aspinal, D., & Chapman, J. (2007). Lifelong
learning: Concepts and conceptions. London: Continuum.
Bloom, B. S. (Ed.). (1956). Taxonomy of
educational objectives: The classification of educational goals. New York,
NY: David McKay Company.
Bruner, J. S. (1960). The process of education.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Delors, J., et al. (1996). Learning: The
treasure within – Report to UNESCO of the International Commission on Education
for the Twenty-first Century. Paris: UNESCO Publishing.
Dewantara, K. H. (2004). Pemikiran, konsepsi,
keteladanan, dan sikap merdeka. Yogyakarta: UST Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education: An
introduction to the philosophy of education. New York, NY: Macmillan.
Dewey, J. (1963). Experience and education.
New York, NY: Collier Books.
Durkheim, E. (1956). Education and sociology
(S. D. Fox, Trans.). New York, NY: The Free Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). New York, NY: Bloomsbury Academic.
Freire, P. (1974). Education for critical
consciousness. New York, NY: Continuum.
Hidayat, K. (2009). Pendidikan dan tantangan
globalisasi. Jakarta: Kompas.
Ibn Khaldun. (2005). The Muqaddimah: An
introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Indonesia. (2003). Undang-undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional.
Indonesia. (2005). Undang-undang Republik
Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Jakarta: Kementerian
Pendidikan Nasional.
Jarvis, P. (2007). Globalisation, lifelong
learning and the learning society: Sociological perspectives. London:
Routledge.
Kemendikbudristek RI. (2020). Peta jalan
pendidikan Indonesia 2020–2035. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kemendikbudristek RI. (2021). Pembelajaran jarak
jauh selama pandemi COVID-19: Pembelajaran dari lapangan. Jakarta: Balitbang.
Langeveld, M. J. (1953). Das pädagogische.
Utrecht: Het Spectrum.
Makdisi, G. (1981). The rise of colleges:
Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Maslow, A. H. (1987). Motivation and personality
(3rd ed.). New York, NY: Harper & Row.
OECD. (2021). Education at a glance 2021: OECD
indicators. Paris: OECD Publishing.
Peters, R. S. (1966). Ethics and education.
London: Allen & Unwin.
Peters, R. S. (1975). Philosophy of education.
London: Oxford University Press.
Piaget, J. (1952). The origins of intelligence
in children. New York, NY: International Universities Press.
Piaget, J. (1969). The psychology of the child
(H. Weaver, Trans.). New York, NY: Basic Books.
Robinson, K. (2015). Creative schools: The
grassroots revolution that’s transforming education. New York, NY: Viking.
Rogers, C. R. (1983). Freedom to learn (3rd
ed.). Columbus, OH: Merrill Publishing Company.
Sahlberg, P. (2011). Finnish lessons: What can
the world learn from educational change in Finland? New York, NY: Teachers
College Press.
Sahlberg, P. (2015). Finnish lessons 2.0: What
can the world learn from educational change in Finland? New York, NY:
Teachers College Press.
Schleicher, A. (2019). Teaching and learning in
the digital age. Paris: OECD Education and Skills Today.
Tafsir, A. (2004). Ilmu pendidikan dalam
perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan, kebudayaan
dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
UNESCO. (2015). Framework for the implementation
of education 2030. Paris: UNESCO Publishing.
UNESCO. (2020). Global education monitoring
report 2020: Inclusion and education – All means all. Paris: UNESCO
Publishing.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological processes (M. Cole et al., Eds.).
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wan Daud, W. M. N. (2003). Falsafah dan praktik
pendidikan Islam. Bandung: Mizan.
Wibowo, W. (2009). Pendidikan dan globalisasi:
Strategi pendidikan nilai dalam era dunia tanpa batas. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar