Pemikiran Simone de Beauvoir
Filsafat dan Feminisme Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas pemikiran Simone de Beauvoir
(1908–1986), seorang filsuf Prancis sekaligus tokoh feminisme modern yang
berperan penting dalam membentuk wacana tentang gender, kebebasan, dan
patriarki. Melalui karya monumentalnya Le Deuxième Sexe (The Second
Sex, 1949), Beauvoir menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai
“perempuan,” melainkan menjadi perempuan melalui proses sosial, budaya, dan
historis. Dengan mengadopsi kerangka eksistensialisme, ia mengkritik konstruksi
patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai the Other (Liyan), serta
menyoroti bagaimana institusi-institusi sosial seperti keluarga, agama, dan
pendidikan mereproduksi ketidaksetaraan gender. Artikel ini juga menelaah etika
kebebasan dan tanggung jawab yang dirumuskan Beauvoir, di mana kebebasan
eksistensial dipandang bukan hanya sebagai hak individu, tetapi juga sebagai
proyek kolektif yang menuntut solidaritas. Selain memberikan kontribusi
fundamental terhadap feminisme gelombang kedua, pemikiran Beauvoir tetap
relevan dalam feminisme kontemporer, termasuk dalam kajian performativitas
gender, interseksionalitas, serta kritik terhadap neoliberalisme. Namun
demikian, karyanya juga tidak lepas dari kritik, terutama terkait
keterbatasannya dalam mengakomodasi perspektif ras, kelas, dan kolonialisme.
Dengan demikian, artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Beauvoir bukanlah
doktrin yang final, melainkan fondasi dinamis yang terus menginspirasi
perkembangan teori feminisme dan filsafat sosial hingga saat ini.
Kata Kunci: Simone de Beauvoir; The Second Sex; feminisme
modern; eksistensialisme; patriarki; gender; kebebasan; tanggung jawab;
interseksionalitas.
PEMBAHASAN
Pemikiran Simone de Beauvoir dalam Konteks Filsafat dan
Feminisme Modern
1.          
Pendahuluan
Feminisme modern, khususnya di Eropa pasca-Perang
Dunia II, berkembang pesat seiring dengan menguatnya kesadaran perempuan
terhadap ketidaksetaraan struktural yang mereka alami dalam masyarakat. Salah
satu tokoh sentral yang memberikan kontribusi fundamental terhadap diskursus
feminisme adalah Simone de Beauvoir (1908–1986), seorang filsuf,
novelis, dan intelektual publik Prancis yang dikenal luas melalui karya
monumentalnya Le Deuxième Sexe (The Second Sex, 1949).¹ Melalui
karya tersebut, Beauvoir bukan hanya menyoroti pengalaman eksistensial
perempuan, tetapi juga membongkar konstruksi sosial yang menempatkan perempuan
sebagai “Liyan” (the Other) dalam sistem patriarki.²
Pemikiran Beauvoir lahir dalam konteks filsafat
eksistensialisme yang berkembang di Prancis bersama tokoh-tokoh seperti
Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, dan Albert Camus.³ Eksistensialisme,
dengan penekanan pada kebebasan individu, pilihan, dan tanggung jawab,
memberikan landasan konseptual bagi Beauvoir untuk memahami posisi perempuan
dalam masyarakat. Ia menegaskan bahwa perempuan tidak secara kodrati inferior,
melainkan dibentuk oleh struktur sosial, budaya, dan ideologi yang membatasi
kebebasan mereka.⁴
Artikel ini berupaya menganalisis pemikiran Simone
de Beauvoir secara komprehensif, mulai dari landasan filosofis
eksistensialismenya hingga implikasi sosial-politik dari The Second Sex.
Dengan pendekatan kritis dan analitis, tulisan ini bertujuan untuk menempatkan
Beauvoir dalam konteks filsafat modern sekaligus feminisme kontemporer, serta
menilai relevansinya terhadap tantangan kesetaraan gender masa kini.
Footnotes
[1]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989).
[2]               
Toril Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman (Oxford: Blackwell, 1994), 65.
[3]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 45–52.
[4]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 22–28.
2.          
Biografi
Singkat Simone de Beauvoir
Simone Lucie Ernestine Marie Bertrand de Beauvoir
lahir pada 9 Januari 1908 di Paris, Prancis, dalam sebuah keluarga borjuis
Katolik yang konservatif.¹ Ayahnya, Georges de Beauvoir, adalah seorang
pengacara yang memiliki kecenderungan intelektual dan mengagumi dunia seni dan
sastra, sedangkan ibunya, Françoise Brasseur, berasal dari keluarga kaya dengan
latar belakang religius yang kuat.² Didikan keluarga ini membuat Beauvoir pada
masa kecil memperoleh pendidikan Katolik yang ketat, namun sejak remaja ia
mulai mempertanyakan dogma-dogma agama dan perlahan-lahan mengambil jarak dari
tradisi religius keluarganya.³
Pendidikan formal Beauvoir berlangsung di berbagai lembaga
prestisius di Paris. Ia belajar filsafat di Sorbonne, di mana ia menunjukkan
kecemerlangan akademik yang menonjol. Pada tahun 1929, Beauvoir berhasil lulus
ujian agrégation dalam bidang filsafat dengan peringkat kedua, hanya kalah dari
Jean-Paul Sartre yang menempati posisi pertama.⁴ Pertemuan dengan Sartre inilah
yang menjadi titik balik penting dalam hidupnya, baik secara intelektual maupun
personal. Hubungan keduanya, meskipun tidak didasarkan pada ikatan perkawinan
formal, berlangsung seumur hidup dan penuh dengan komitmen filosofis,
intelektual, serta kebebasan personal.⁵
Sejak awal kariernya, Beauvoir aktif menulis novel,
esai, memoar, dan karya filsafat. Novel pertamanya, L’Invitée (1943),
sudah memperlihatkan pengaruh eksistensialisme dengan penekanan pada kebebasan,
tanggung jawab, dan konflik relasi antarmanusia.⁶ Namun, karya yang paling
monumental adalah Le Deuxième Sexe (1949), sebuah kajian filosofis,
historis, dan sosiologis tentang kondisi perempuan. Buku ini kemudian
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan menjadi salah satu fondasi bagi
gerakan feminisme gelombang kedua.⁷
Kehidupan Beauvoir tidak bisa dilepaskan dari
keterlibatannya dalam dunia intelektual dan politik Prancis abad ke-20. Ia
aktif dalam lingkaran eksistensialis yang dipimpin Sartre, berkontribusi dalam
jurnal Les Temps Modernes, serta terlibat dalam berbagai gerakan sosial,
termasuk kritik terhadap kolonialisme Prancis di Aljazair dan keterlibatannya
dalam gerakan hak-hak sipil.⁸ Dengan demikian, Beauvoir tidak hanya berperan
sebagai teoretikus, tetapi juga sebagai intelektual publik yang terjun langsung
dalam perdebatan moral, politik, dan sosial pada masanya.
Simone de Beauvoir meninggal dunia pada 14 April
1986 di Paris.⁹ Ia dimakamkan di Cimetière du Montparnasse, berdampingan dengan
Sartre. Hingga kini, warisan intelektualnya tetap hidup dan terus menjadi
rujukan utama dalam diskursus feminisme, filsafat eksistensialisme, serta
kajian gender. Biografinya memperlihatkan perjalanan seorang intelektual
perempuan yang berhasil menembus batasan tradisi patriarkis dan meninggalkan
jejak mendalam dalam sejarah pemikiran modern.
Footnotes
[1]               
Kate Kirkpatrick, Becoming Beauvoir: A Life
(London: Bloomsbury, 2019), 12.
[2]               
Deirdre Bair, Simone de Beauvoir: A Biography
(New York: Summit Books, 1990), 3–5.
[3]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 18.
[4]               
Toril Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman (Oxford: Blackwell, 1994), 42–44.
[5]               
Hazel Rowley, Tête-à-Tête: Simone de Beauvoir
and Jean-Paul Sartre (New York: HarperCollins, 2005), 67–71.
[6]               
Ursula Tidd, Simone de Beauvoir (London:
Routledge, 2004), 28.
[7]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), xiii–xv.
[8]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 88–91.
[9]               
Bair, Simone de Beauvoir, 715.
3.          
Landasan
Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan salah satu arus besar
filsafat modern yang berkembang pesat di Eropa pada paruh pertama abad ke-20.
Aliran ini menekankan dimensi eksistensial manusia, yaitu kebebasan, pilihan,
tanggung jawab, dan keterbatasan hidup.¹ Akar eksistensialisme dapat ditelusuri
pada pemikiran Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, yang menolak sistem
metafisika rasional Hegelian dan menekankan pengalaman subjektif serta
perjuangan individu dalam menghadapi absurditas kehidupan.² Pada abad ke-20,
pemikiran ini semakin berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Martin Heidegger
dengan karyanya Sein und Zeit (1927) dan Jean-Paul Sartre dengan L’Être
et le Néant (1943).³
Simone de Beauvoir berada di jantung perkembangan
eksistensialisme Prancis, bersama dengan Sartre, Merleau-Ponty, dan Camus.
Namun, meskipun sering dianggap mengikuti jejak Sartre, Beauvoir memiliki
nuansa pemikiran yang khas. Ia menerima konsep kebebasan radikal Sartre, tetapi
mengkritisi kecenderungan filsafat Sartre yang terlalu abstrak dan kurang
memberi perhatian pada dimensi konkret pengalaman manusia, khususnya
perempuan.⁴ Dengan demikian, eksistensialisme Beauvoir bukanlah sekadar turunan
dari Sartre, melainkan sebuah transformasi yang mengaitkan filsafat kebebasan
dengan realitas sosial.
Konsep kunci dalam eksistensialisme Beauvoir adalah
kebebasan (freedom) dan ambiguitas (ambiguity). Bagi Beauvoir,
manusia tidak pernah sepenuhnya bebas karena selalu berada dalam situasi
konkret yang membatasi, seperti sejarah, budaya, dan kondisi biologis.⁵ Namun,
keterbatasan tersebut tidak menghapus tanggung jawab moral individu untuk
memilih dan bertindak secara otentik. Kebebasan harus dipahami dalam dialektika
dengan situasi, sehingga setiap individu memiliki kewajiban etis untuk
memperjuangkan kebebasan dirinya sekaligus kebebasan orang lain.⁶
Dalam kerangka inilah Beauvoir menempatkan analisis
tentang perempuan. Ia menolak pandangan esensialis yang menganggap perempuan
secara kodrati berbeda atau inferior dibanding laki-laki. Sebaliknya, ia menegaskan
bahwa perempuan dibentuk oleh konstruksi sosial yang membatasi kebebasan
eksistensial mereka.⁷ Dengan memadukan eksistensialisme dan analisis sosial,
Beauvoir berhasil membuka jalan bagi filsafat feminis modern yang menempatkan
kebebasan perempuan sebagai bagian integral dari perjuangan eksistensial
manusia.
Footnotes
[1]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 1–9.
[2]               
Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky
to Sartre (New York: Meridian, 1975), 11–15.
[3]               
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 39–44.
[4]               
Toril Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman (Oxford: Blackwell, 1994), 56–59.
[5]               
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 9–12.
[6]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 35–38.
[7]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 267–273.
4.          
Konsep
Gender dalam The Second Sex
Karya monumental Simone de Beauvoir, Le Deuxième
Sexe (The Second Sex, 1949), dianggap sebagai tonggak utama dalam
sejarah feminisme modern karena secara sistematis menguraikan bagaimana
perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat dalam masyarakat patriarkis.¹
Dalam karya ini, Beauvoir membedakan antara sex sebagai kategori biologis
dan gender sebagai konstruksi sosial, jauh sebelum istilah “gender”
memperoleh popularitas dalam teori feminis kontemporer.² Dengan mengadopsi
kerangka eksistensialisme, Beauvoir menekankan bahwa menjadi perempuan bukanlah
sebuah takdir kodrati, melainkan hasil proses sosial, budaya, dan historis yang
membentuk individu.³
Pernyataan Beauvoir yang terkenal, “One is not
born, but rather becomes, a woman”, menggambarkan dengan jelas bahwa
identitas perempuan dibentuk melalui internalisasi norma-norma dan peran gender
yang dipaksakan oleh masyarakat.⁴ Sejak kecil, perempuan diarahkan untuk
menyesuaikan diri dengan standar kepatuhan, kepasifan, dan ketergantungan pada
laki-laki, sehingga mereka dijauhkan dari kesempatan untuk menegaskan kebebasan
eksistensialnya.⁵ Konsep ini mengungkap bagaimana patriarki mengonstruksi
“kewanitaan” sebagai sebuah peran yang mengekang, bukan sebagai ekspresi
autentik dari kebebasan individu.
Lebih lanjut, Beauvoir memperkenalkan gagasan
tentang perempuan sebagai the Other (Liyan). Dalam relasi gender,
laki-laki diposisikan sebagai subjek universal, pusat rasionalitas dan norma
kemanusiaan, sementara perempuan ditempatkan sebagai “yang lain,” yakni
entitas sekunder yang didefinisikan bukan berdasarkan dirinya sendiri, tetapi
melalui relasi dengan laki-laki.⁶ Posisi ini menjelaskan mengapa perempuan
tidak pernah dianggap setara secara ontologis maupun sosial, melainkan selalu
direduksi menjadi “pelengkap” bagi laki-laki.
Analisis Beauvoir tidak hanya terbatas pada ranah
filosofis, tetapi juga merambah dimensi historis, biologis, psikoanalitis, dan
materialis.⁷ Ia mengkaji bagaimana mitos-mitos kultural, praktik keagamaan, dan
struktur ekonomi memperkuat citra perempuan sebagai makhluk yang “alami” untuk
mengasuh, tunduk, dan melayani. Dengan demikian, The Second Sex bukan
hanya teks filosofis, tetapi juga analisis multidisipliner yang menyingkap
keterkaitan antara filsafat eksistensialisme dan realitas sosial perempuan.
Konsep gender dalam The Second Sex menjadi
landasan bagi teori feminis gelombang kedua pada 1960–1970-an.⁸ Pemikiran
Beauvoir membuka jalan bagi analisis feminis tentang konstruksi sosial gender
yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh pemikir seperti Judith Butler dengan
gagasan performativitas gender.⁹ Warisan intelektual ini menunjukkan bahwa
sumbangan Beauvoir tidak hanya penting dalam sejarah feminisme, tetapi juga
dalam filsafat dan kajian kritis kontemporer mengenai identitas dan relasi
kekuasaan.
Footnotes
[1]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), xiii.
[2]               
Toril Moi, What Is a Woman? And Other Essays
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 44–47.
[3]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 63–66.
[4]               
Beauvoir, The Second Sex, 267.
[5]               
Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman (Oxford: Blackwell, 1994), 102–104.
[6]               
Ursula Tidd, Simone de Beauvoir (London:
Routledge, 2004), 55–59.
[7]               
Deirdre Bair, Simone de Beauvoir: A Biography
(New York: Summit Books, 1990), 421–425.
[8]               
Juliet Mitchell, Women’s Estate (London:
Penguin, 1971), 28–32.
[9]               
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 8–9.
5.          
Kritik
Beauvoir terhadap Patriarki
Simone de Beauvoir menempatkan kritik terhadap
patriarki sebagai inti dari proyek intelektualnya dalam The Second Sex.
Ia berargumen bahwa struktur sosial patriarkis secara sistematis membatasi
kebebasan eksistensial perempuan dengan cara menundukkan mereka pada posisi
sebagai the Other.¹ Dalam kerangka eksistensialis, patriarki dipahami
sebagai sistem relasional yang memposisikan laki-laki sebagai subjek universal
dan perempuan sebagai objek yang didefinisikan melalui relasi subordinatif.²
Posisi ini bukan sekadar hasil kebetulan historis, melainkan konstruksi
ideologis yang terus-menerus direproduksi melalui institusi keluarga, agama,
pendidikan, dan budaya populer.³
Bagi Beauvoir, patriarki tidak hanya melahirkan
ketidaksetaraan, tetapi juga menciptakan kondisi keterasingan (alienation)
bagi perempuan. Dalam masyarakat patriarkis, perempuan dipaksa untuk
menginternalisasi norma-norma yang membatasi mereka dalam ruang domestik,
menjadikan pengalaman mereka teralienasi dari kebebasan dan otentisitas
eksistensial.⁴ Ia menyoroti bagaimana perempuan diposisikan sebagai "subjek
yang tidak utuh," di mana keberadaannya direduksi hanya pada fungsi
reproduksi, seksual, dan domestik.⁵ Hal ini menegaskan bahwa patriarki bekerja
tidak hanya melalui struktur ekonomi atau hukum, tetapi juga melalui
internalisasi psikologis yang menghambat perempuan untuk menegaskan
kebebasannya.
Kritik Beauvoir terhadap patriarki juga mencakup
dimensi historis dan material. Ia menunjukkan bahwa sepanjang sejarah, perempuan
ditempatkan sebagai “mitos” yang dilekatkan dengan citra kelembutan,
pengorbanan, dan keibuan.⁶ Mitos ini berfungsi sebagai justifikasi ideologis
untuk mempertahankan dominasi laki-laki, sekaligus menutupi fakta bahwa kondisi
perempuan sesungguhnya adalah hasil konstruksi sosial. Dengan cara ini,
Beauvoir menyingkap bahwa patriarki bukanlah sistem “alami,” melainkan
hasil konstruksi historis yang dapat dikritik dan diubah.
Lebih jauh, Beauvoir menekankan bahwa kebebasan
eksistensial perempuan tidak dapat direalisasikan tanpa transformasi sosial.
Patriarki harus dipandang bukan sekadar relasi personal antara laki-laki dan
perempuan, tetapi sebagai sistem kekuasaan yang bersifat struktural.⁷ Oleh
karena itu, pembebasan perempuan hanya mungkin terjadi jika perempuan mampu
merebut kembali posisinya sebagai subjek penuh, dengan menolak peran yang
dipaksakan dan menegaskan kebebasan serta otentisitas eksistensialnya.⁸ Kritik
ini kemudian mengilhami feminisme gelombang kedua, yang melihat persoalan
perempuan sebagai persoalan struktural yang menuntut perubahan institusional
dan politik, bukan sekadar perubahan sikap individual.⁹
Footnotes
[1]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 267–273.
[2]               
Toril Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman (Oxford: Blackwell, 1994), 105–108.
[3]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 71–74.
[4]               
Ursula Tidd, Simone de Beauvoir (London:
Routledge, 2004), 60–63.
[5]               
Deirdre Bair, Simone de Beauvoir: A Biography
(New York: Summit Books, 1990), 428–431.
[6]               
Beauvoir, The Second Sex, 203–210.
[7]               
Juliet Mitchell, Women’s Estate (London:
Penguin, 1971), 34–37.
[8]               
Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans.
Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 44–46.
[9]               
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From
State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 19–21.
6.          
Etika
Kebebasan dan Tanggung Jawab
Etika Simone de Beauvoir berakar pada filsafat
eksistensialisme, khususnya gagasan tentang kebebasan sebagai kondisi mendasar
eksistensi manusia. Dalam The Ethics of Ambiguity (1947), Beauvoir
mengembangkan sebuah etika yang menekankan dialektika antara kebebasan individu
dan situasi konkret tempat individu tersebut berada.¹ Menurutnya, manusia
selalu berada dalam kondisi ambiguitas: di satu sisi ia adalah subjek yang
bebas, sementara di sisi lain ia terikat oleh fakta-fakta biologis, sosial, dan
historis.² Dengan demikian, etika Beauvoir menolak absolutisme moral maupun
relativisme nihilistik, dan sebaliknya menawarkan kerangka yang menggabungkan
kebebasan dengan tanggung jawab.
Kebebasan, bagi Beauvoir, tidak dapat dipahami
secara abstrak. Kebebasan selalu terwujud dalam situasi tertentu, di mana
individu harus membuat pilihan yang memiliki konsekuensi terhadap dirinya
sendiri maupun orang lain.³ Karena itu, tanggung jawab etis tidak hanya berarti
mengakui kebebasan diri, tetapi juga memperjuangkan kondisi yang memungkinkan
orang lain untuk bebas.⁴ Dalam hal ini, Beauvoir memperluas gagasan Sartre
tentang kebebasan radikal dengan menekankan bahwa kebebasan sejati bersifat
relasional, yakni hanya bermakna bila diwujudkan dalam upaya saling mengakui
kebebasan antarindividu.
Dalam kaitannya dengan posisi perempuan, etika
kebebasan Beauvoir mengandung implikasi penting. Ia berpendapat bahwa dominasi
patriarki merampas kebebasan eksistensial perempuan dengan menempatkan mereka
dalam peran-peran yang dipaksakan.⁵ Oleh karena itu, perjuangan perempuan untuk
pembebasan bukan sekadar tuntutan politik, melainkan juga pemenuhan tanggung
jawab etis terhadap diri sendiri sebagai subjek bebas. Dengan menolak definisi
eksternal yang dikenakan padanya, perempuan dapat menegaskan eksistensinya
secara otentik.⁶
Beauvoir juga menekankan pentingnya sikap aktif
dalam menjalani kebebasan. Ia menolak pasivitas atau penyerahan diri pada
nasib, sebab hal itu berarti pengingkaran terhadap eksistensi.⁷ Kebebasan
sejati menuntut komitmen, risiko, dan keterlibatan dalam dunia. Oleh karena
itu, etika Beauvoir dapat dipahami sebagai etika praksis, di mana individu
dipanggil untuk bertindak, berjuang, dan menciptakan kondisi sosial yang lebih
adil.⁸
Dengan demikian, etika kebebasan dan tanggung jawab
dalam pemikiran Beauvoir tidak hanya memberikan dasar filosofis bagi perjuangan
feminis, tetapi juga menawarkan kerangka moral yang lebih luas tentang
bagaimana manusia dapat hidup secara otentik dalam dunia yang penuh
keterbatasan. Pemikiran ini menegaskan bahwa kebebasan bukanlah hak eksklusif
individu, melainkan proyek kolektif yang harus dijalankan melalui solidaritas,
perjuangan, dan pengakuan timbal balik.⁹
Footnotes
[1]               
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 7–9.
[2]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 41–44.
[3]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 58–60.
[4]               
Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, 34–36.
[5]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 284–288.
[6]               
Toril Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman (Oxford: Blackwell, 1994), 118–120.
[7]               
Ursula Tidd, Simone de Beauvoir (London:
Routledge, 2004), 71–73.
[8]               
Nancy Bauer, Simone de Beauvoir, Philosophy, and
Feminism (New York: Columbia University Press, 2001), 89–93.
[9]               
Kate Kirkpatrick, Becoming Beauvoir: A Life
(London: Bloomsbury, 2019), 302–305.
7.          
Relevansi
Pemikiran Beauvoir dalam Feminisme Kontemporer
Pemikiran Simone de Beauvoir, khususnya melalui The
Second Sex, memiliki dampak mendalam terhadap perkembangan feminisme
kontemporer dan studi gender. Ia dianggap sebagai salah satu fondasi teoretis
bagi feminisme gelombang kedua pada dekade 1960–1970-an, ketika isu-isu tentang
kesetaraan sosial, reproduksi, pendidikan, dan hak-hak politik perempuan
menjadi pusat perdebatan.¹ Dengan menegaskan bahwa perempuan bukanlah subjek
kodrati melainkan hasil konstruksi sosial, Beauvoir membuka jalan bagi teori
feminis untuk mengkaji struktur kekuasaan yang mengatur identitas dan peran
gender.²
Dalam feminisme kontemporer, terutama pada akhir
abad ke-20 dan awal abad ke-21, pemikiran Beauvoir terus direinterpretasi dan
dikembangkan. Judith Butler, misalnya, mengembangkan gagasan tentang
performativitas gender yang dapat ditelusuri akarnya pada pemisahan Beauvoir
antara sex dan gender.³ Jika Beauvoir menekankan bahwa perempuan
“menjadi” melalui proses sosialisasi, Butler memperluas argumen ini dengan
menyatakan bahwa gender bukan hanya hasil internalisasi, melainkan performa
berulang yang membentuk identitas.⁴ Dengan demikian, Beauvoir dipandang sebagai
titik pijak penting menuju teori feminisme post-strukturalis.
Relevansi Beauvoir juga tampak dalam kajian
interseksionalitas. Meskipun The Second Sex dikritik karena kurang
memperhatikan perbedaan ras, kelas, dan kolonialisme, gagasan Beauvoir tentang
kebebasan eksistensial membuka ruang untuk pengembangan lebih lanjut.⁵ Pemikir
seperti bell hooks dan Kimberlé Crenshaw menyoroti bahwa perempuan tidak hanya
mengalami penindasan berdasarkan gender, tetapi juga melalui interseksi
identitas lain. Kritik ini bukan berarti menafikan sumbangan Beauvoir,
melainkan menegaskan bahwa karyanya menjadi landasan awal yang kemudian
diperkaya dalam konteks global dan multikultural.⁶
Selain itu, pemikiran Beauvoir tetap relevan dalam
menghadapi isu-isu kontemporer seperti politik tubuh, hak reproduksi, serta
wacana mengenai seksualitas dan queer theory.⁷ Analisisnya tentang bagaimana
mitos dan ideologi patriarki membentuk citra perempuan masih dapat diterapkan
untuk memahami representasi perempuan dalam media modern dan budaya populer. Di
tengah tantangan neoliberalisme dan kapitalisme global, wacana Beauvoir tentang
kebebasan dan tanggung jawab juga memberi perspektif kritis terhadap
komodifikasi tubuh perempuan.⁸
Dengan demikian, warisan Beauvoir tidak hanya
terbatas pada era feminisme gelombang kedua, tetapi terus menginspirasi
perdebatan akademik dan gerakan sosial hingga kini. Relevansinya terletak pada
kemampuannya menghubungkan filsafat eksistensialisme dengan kritik sosial,
sehingga memberikan kerangka analisis yang dapat digunakan untuk memahami
dinamika gender dalam berbagai konteks historis dan budaya.⁹
Footnotes
[1]               
Juliet Mitchell, Women’s Estate (London:
Penguin, 1971), 41–44.
[2]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), 267.
[3]               
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 8.
[4]               
Toril Moi, What Is a Woman? And Other Essays
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 59–62.
[5]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 91–94.
[6]               
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to
Center (Boston: South End Press, 1984), 5–8.
[7]               
Ursula Tidd, Simone de Beauvoir (London:
Routledge, 2004), 82–85.
[8]               
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From
State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 22–25.
[9]               
Kate Kirkpatrick, Becoming Beauvoir: A Life
(London: Bloomsbury, 2019), 311–315.
8.          
Kritik
terhadap Pemikiran Beauvoir
Meskipun The Second Sex dan karya-karya
lainnya menjadikan Simone de Beauvoir sebagai salah satu tokoh paling
berpengaruh dalam sejarah feminisme modern, pemikirannya tidak luput dari
kritik. Kritik-kritik tersebut datang baik dari kalangan feminis maupun dari
perspektif filosofis yang berbeda. Salah satu kritik utama adalah keterbatasan The
Second Sex dalam memperhatikan dimensi ras, kelas, dan kolonialisme.¹
Banyak pemikir feminis interseksional berpendapat bahwa Beauvoir terlalu
berfokus pada pengalaman perempuan borjuis kulit putih Eropa, sehingga gagal
menangkap kompleksitas penindasan yang dialami perempuan di luar konteks
Barat.²
Selain itu, Beauvoir juga dikritik karena masih
memanfaatkan kerangka filsafat eksistensialis yang dianggap terlalu abstrak dan
individualistis.³ Beberapa pemikir feminis menilai bahwa konsep kebebasan
Beauvoir cenderung mengidealkan subjek yang otonom, padahal dalam kenyataannya
kebebasan seringkali dikondisikan oleh faktor struktural yang melampaui
kapasitas individu.⁴ Kritik ini terutama muncul dari aliran feminisme
materialis dan Marxis, yang menekankan pentingnya analisis ekonomi-politik
dalam memahami ketidaksetaraan gender.⁵
Dari perspektif psikologi dan teori psikoanalisis,
Beauvoir juga dianggap terlalu menyederhanakan peran faktor psikis dalam
pembentukan identitas gender.⁶ Walaupun ia mengkaji psikoanalisis Freud,
Beauvoir menolak determinisme biologis dan pandangan psikoanalitik tradisional,
tetapi kurang mengakomodasi dinamika kompleks antara alam bawah sadar dan
konstruksi sosial. Kritik ini kemudian memunculkan dialog panjang antara
feminisme eksistensialis dan feminisme psikoanalitis pada dekade 1970-an.⁷
Lebih jauh, feminis post-strukturalis seperti
Judith Butler menyoroti bahwa konsep Beauvoir tentang “menjadi perempuan”
masih menyisakan jejak esensialisme tertentu.⁸ Menurut Butler, meskipun
Beauvoir menolak pandangan biologis deterministik, ia tetap menempatkan
perempuan sebagai kategori identitas yang stabil, padahal gender seharusnya
dipahami sebagai performativitas yang cair dan terus-menerus diproduksi melalui
praktik diskursif.⁹ Kritik ini membuka jalan bagi dekonstruksi lebih radikal
terhadap kategori gender dalam feminisme kontemporer.
Di sisi lain, beberapa kritikus juga menilai bahwa
pandangan Beauvoir mengenai keibuan dan peran domestik perempuan cenderung
negatif.¹⁰ Ia sering menggambarkan pengalaman keibuan sebagai beban yang
menghalangi kebebasan eksistensial perempuan. Hal ini menimbulkan perdebatan,
terutama di kalangan feminis yang berusaha merehabilitasi nilai positif dari
peran keibuan tanpa harus mengabaikan dimensi kebebasan perempuan.
Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa pemikiran
Beauvoir bukanlah doktrin yang final, melainkan titik awal bagi perdebatan yang
lebih luas dalam feminisme dan filsafat. Keberanian Beauvoir untuk membongkar
struktur patriarki tetap menjadi kontribusi penting, meskipun analisisnya perlu
diperluas dan disesuaikan dengan kompleksitas sosial, politik, dan budaya
kontemporer. Dengan demikian, kritik terhadap Beauvoir tidak mengurangi relevansi
karyanya, tetapi justru memperkaya warisan intelektual yang ditinggalkannya.
Footnotes
[1]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 95–97.
[2]               
bell hooks, Ain’t I a Woman: Black Women and
Feminism (Boston: South End Press, 1981), 7–10.
[3]               
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 66–68.
[4]               
Alison Stone, An Introduction to Feminist
Philosophy (Cambridge: Polity, 2007), 112–115.
[5]               
Christine Delphy, Close to Home: A Materialist
Analysis of Women’s Oppression (London: Verso, 1984), 23–27.
[6]               
Toril Moi, What Is a Woman? And Other Essays
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 72–75.
[7]               
Juliet Mitchell, Psychoanalysis and Feminism
(New York: Pantheon Books, 1974), 118–122.
[8]               
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 10–12.
[9]               
Butler, Gender Trouble, 32–34.
[10]            
Ursula Tidd, Simone de Beauvoir (London:
Routledge, 2004), 90–93.
9.          
Kesimpulan
Pemikiran Simone de Beauvoir menempati posisi
penting dalam sejarah filsafat modern dan feminisme kontemporer. Melalui The
Second Sex dan karya-karya filosofis lainnya, Beauvoir berhasil membongkar
mitos serta konstruksi sosial yang membatasi perempuan dalam masyarakat
patriarkis.¹ Dengan pendekatan eksistensialis, ia menegaskan bahwa perempuan
bukanlah entitas kodrati yang statis, melainkan subjek bebas yang “dibentuk”
oleh proses sosial, budaya, dan historis.² Pernyataan terkenalnya—“One is
not born, but rather becomes, a woman”—menjadi prinsip dasar yang
mengilhami berbagai generasi feminis untuk memahami gender sebagai konstruksi
sosial yang dapat ditantang dan diubah.³
Relevansi Beauvoir tidak hanya terletak pada
analisis kritisnya terhadap patriarki, tetapi juga pada gagasan etis tentang
kebebasan dan tanggung jawab. Dengan menekankan pentingnya pengakuan timbal
balik antarindividu, Beauvoir menunjukkan bahwa pembebasan perempuan bukan
hanya agenda politik, melainkan juga proyek moral universal.⁴ Pandangannya
membuka ruang bagi dialog lintas disiplin, mulai dari filsafat, sosiologi,
psikologi, hingga studi gender dan budaya.
Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai
kritik, pemikiran Beauvoir juga memiliki keterbatasan. Minimnya perhatian
terhadap dimensi ras, kelas, dan kolonialisme menandakan bahwa analisisnya
perlu dilengkapi dalam konteks global dan interseksional.⁵ Kendati demikian,
kritik-kritik tersebut tidak mengurangi signifikansi warisan intelektual
Beauvoir, melainkan justru memperluas cakupan aplikasinya dalam menjawab
tantangan feminisme kontemporer.
Dengan demikian, pemikiran Simone de Beauvoir dapat
dipandang sebagai fondasi dinamis yang terus menginspirasi perkembangan teori
dan praksis feminisme. Warisan intelektualnya menegaskan bahwa perjuangan
kesetaraan gender tidak pernah selesai, melainkan merupakan proyek kolektif
yang menuntut keterlibatan kritis, reflektif, dan transformatif.⁶
Footnotes
[1]               
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage Books, 1989), xiii–xv.
[2]               
Margaret A. Simons, Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism (Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999), 22–24.
[3]               
Beauvoir, The Second Sex, 267.
[4]               
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 35–38.
[5]               
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to
Center (Boston: South End Press, 1984), 8–11.
[6]               
Kate Kirkpatrick, Becoming Beauvoir: A Life
(London: Bloomsbury, 2019), 310–315.
Daftar Pustaka
Bair, Deirdre. Simone de Beauvoir: A Biography.
New York: Summit Books, 1990.
Bauer, Nancy. Simone de Beauvoir, Philosophy,
and Feminism. New York: Columbia University Press, 2001.
Beauvoir, Simone de. The Ethics of Ambiguity.
Translated by Bernard Frechtman. New York: Philosophical Library, 1948.
———. The Second Sex. Translated by H. M.
Parshley. New York: Vintage Books, 1989.
Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity. New York: Routledge, 1990.
Delphy, Christine. Close to Home: A Materialist
Analysis of Women’s Oppression. London: Verso, 1984.
Flynn, Thomas. Existentialism: A Very Short
Introduction. Oxford: Oxford University Press, 2006.
Fraser, Nancy. Fortunes of Feminism: From
State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis. London: Verso, 2013.
Heidegger, Martin. Being and Time.
Translated by John Macquarrie and Edward Robinson. New York: Harper & Row,
1962.
hooks, bell. Ain’t I a Woman: Black Women and
Feminism. Boston: South End Press, 1981.
———. Feminist Theory: From Margin to Center.
Boston: South End Press, 1984.
Kaufmann, Walter, ed. Existentialism from
Dostoevsky to Sartre. New York: Meridian, 1975.
Kirkpatrick, Kate. Becoming Beauvoir: A Life.
London: Bloomsbury, 2019.
Mitchell, Juliet. Psychoanalysis and Feminism.
New York: Pantheon Books, 1974.
———. Women’s Estate. London: Penguin, 1971.
Moi, Toril. Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman. Oxford: Blackwell, 1994.
———. What Is a Woman? And Other Essays.
Oxford: Oxford University Press, 1999.
Rowley, Hazel. Tête-à-Tête: Simone de Beauvoir
and Jean-Paul Sartre. New York: HarperCollins, 2005.
Simons, Margaret A. Beauvoir and The Second Sex:
Feminism, Race, and the Origins of Existentialism. Lanham: Rowman &
Littlefield, 1999.
Stone, Alison. An Introduction to Feminist
Philosophy. Cambridge: Polity, 2007.
Tidd, Ursula. Simone de Beauvoir. London:
Routledge, 2004.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar