Jumat, 02 Mei 2025

Taoisme: Filsafat Jalan Alam dalam Dinamika Pemikiran dan Peradaban Tiongkok

Taoisme

Filsafat Jalan Alam dalam Dinamika Pemikiran dan Peradaban Tiongkok


Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan Geografis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif ajaran dan perkembangan Taoisme (道家, Daojia), salah satu aliran utama dalam filsafat Tiongkok yang menekankan harmoni antara manusia dan alam semesta melalui prinsip Dao, Wu Wei, Ziran, dan De. Pembahasan dimulai dari fondasi konseptual Taoisme dalam karya-karya klasik Laozi dan Zhuangzi, kemudian ditelusuri bagaimana ajaran ini berkembang menjadi agama yang terorganisasi dalam sejarah Tiongkok, khususnya sejak Dinasti Han hingga Qing. Selanjutnya, artikel ini menganalisis kontribusi Taoisme terhadap seni, ilmu pengobatan, alkimia, dan kosmologi, serta bagaimana nilai-nilai Taois merespons tantangan zaman modern, termasuk spiritualitas global dan krisis ekologis. Artikel ini juga menyajikan kritik dari perspektif Konfusianisme dan rasionalisme Barat, serta apresiasi terhadap nilai-nilai etika, estetika, dan ekologis yang diusung Taoisme. Melalui pendekatan filosofis dan historis yang berbasis referensi akademik, artikel ini menempatkan Taoisme sebagai sistem pemikiran yang tidak hanya berpengaruh secara historis, tetapi juga relevan untuk masa kini dan masa depan.

Kata Kunci: Taoisme, Dao, Wu Wei, Ziran, Laozi, Zhuangzi, filsafat Tiongkok, etika ekologis, spiritualitas Timur, sejarah agama Tiongkok.


PEMBAHASAN

Kajian Taoisme Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Taoisme (道家, Daojia) merupakan salah satu sistem filsafat tertua dan paling mendalam dalam tradisi intelektual Tiongkok yang berkembang bersamaan dengan aliran-aliran besar lainnya seperti Konfusianisme dan Mohisme. Akar-akar pemikiran Taoisme dapat dilacak kembali ke periode Zaman Musim Semi dan Gugur (春秋時代, Chunqiu Shidai, ±770–476 SM), masa ketika berbagai pemikiran filosofis bermunculan sebagai respon terhadap kekacauan sosial dan politik yang melanda Tiongkok pra-imperial. Taoisme lahir sebagai refleksi mendalam atas kehidupan yang tidak stabil, menawarkan jalan hidup yang harmonis dengan alam dan bebas dari dominasi struktur sosial yang kaku1.

Nama "Taoisme" berasal dari kata Dao () yang berarti "jalan", "cara", atau "prinsip", dan menjadi konsep sentral dalam filsafat ini. Taoisme tidak sekadar menyoal teori tentang hakikat semesta, tetapi juga menawarkan cara hidup yang sinkron dengan irama alami dunia. Dalam pengertiannya yang paling mendasar, Dao adalah prinsip tertinggi yang tidak bernama, tidak berbentuk, dan menjadi sumber dari segala realitas2. Dalam Dao De Jing karya Laozi (老子), dikatakan: Tao yang dapat dijelaskan bukanlah Tao yang abadi (道可道,非常道), menandakan bahwa Dao berada di luar jangkauan kategorisasi rasional manusia3.

Taoisme muncul tidak hanya sebagai sistem filsafat yang bersifat kontemplatif, tetapi juga sebagai kritik sosial terhadap rasionalitas moral dan struktural Konfusianisme. Jika Konfusianisme mengedepankan keteraturan sosial melalui ritual dan etika, maka Taoisme menekankan spontanitas, ketidakterikatan, dan kepasrahan kepada irama alam. Perbedaan mendasar ini menjadikan Taoisme sebagai aliran yang memperjuangkan kebebasan batin dan keselarasan personal dengan tatanan kosmik yang lebih besar4.

Dalam perkembangannya, Taoisme tidak hanya mempengaruhi aspek filsafat dan spiritualitas, tetapi juga membentuk warisan kebudayaan Tiongkok dalam berbagai bidang seperti seni lukis, sastra, ilmu pengobatan, dan bahkan sistem pemerintahan alternatif. Dari teks-teks klasik hingga pengaruhnya dalam pengobatan tradisional dan seni bela diri, Taoisme tetap menjadi salah satu pilar penting dalam memahami peradaban Tiongkok secara utuh5.

Dengan demikian, memahami Taoisme bukan hanya berarti menelaah salah satu cabang filsafat Timur, tetapi juga menggali sebuah paradigma hidup yang menyatukan pemikiran metafisika, etika personal, dan praksis kehidupan yang mendalam. Kajian ini akan mengeksplorasi fondasi ajaran Taoisme, tokoh-tokohnya, hingga dampaknya dalam sejarah dan konteks kontemporer.


Footnotes

[1]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 5–8.

[2]                Isabelle Robinet, Taoism: Growth of a Religion, trans. Phyllis Brooks (Stanford: Stanford University Press, 1997), 20.

[3]                Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1963), verse 1.

[4]                A.C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 174–176.

[5]                Livia Kohn, Daoism and Chinese Culture (Cambridge, MA: Three Pines Press, 2001), 91–95.


2.           Landasan Konseptual Taoisme

Taoisme sebagai sistem filsafat memiliki bangunan konseptual yang khas dan mendalam, yang berpusat pada pencarian harmoni antara manusia dan alam semesta. Keunikan Taoisme terletak pada penekanannya terhadap keberlangsungan hidup yang alami dan tidak dipaksakan, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip utama seperti Dao (), De (), Wu Wei (無為), dan Ziran (自然). Konsep-konsep ini tidak hanya bersifat metafisis, tetapi juga menjadi pedoman etika dan spiritual yang membimbing kehidupan sehari-hari.

2.1.       Dao (): Jalan Kosmik dan Asal Segala Sesuatu

Dao, dalam pemikiran Taoisme, bukan sekadar "jalan" dalam pengertian harfiah, melainkan prinsip dasar yang melandasi keberadaan seluruh semesta. Ia tidak dapat digambarkan sepenuhnya oleh bahasa atau pemahaman manusia. Laozi dalam Dao De Jing menyatakan bahwa “Dao yang dapat diungkapkan bukanlah Dao yang abadi,” yang menunjukkan bahwa Dao adalah prinsip transenden dan imanen sekaligus—asal mula, jalan, dan tujuan dari semua hal1. Dao berada di balik gerak perubahan kosmik, namun tetap diam dan tidak tampak, serupa dengan prinsip ketakterbatasan dalam metafisika Barat.

2.2.       De (): Kebajikan yang Timbul dari Hidup dalam Dao

De sering diterjemahkan sebagai "kebajikan" atau "daya", namun dalam konteks Taoisme, ia berarti kekuatan atau kualitas moral yang muncul secara alami dari seseorang yang hidup selaras dengan Dao. Tidak seperti dalam Konfusianisme di mana kebajikan dididik melalui pembiasaan dan ritual, dalam Taoisme, De muncul dari keberadaan yang autentik, bebas dari paksaan dan konvensi sosial2. Oleh karena itu, De bukanlah hasil usaha, melainkan refleksi dari keterhubungan yang mendalam dengan Dao.

2.3.       Wu Wei (無為): Bertindak Tanpa Paksaan

Konsep Wu Wei—yang secara harfiah berarti “tidak bertindak”—tidak menandakan pasifisme, melainkan bertindak tanpa memaksakan kehendak melawan aliran alam. Dalam praktik, Wu Wei adalah seni bertindak dengan kepekaan tinggi terhadap waktu, konteks, dan ritme alam sehingga tindakan yang dilakukan tidak menciptakan gangguan atau kekacauan, tetapi justru memperkuat keharmonisan3. Seorang penguasa yang ideal, dalam pandangan Laozi, adalah yang menerapkan Wu Wei dalam pemerintahannya—membiarkan masyarakat berkembang secara alami, tanpa intervensi berlebihan.

2.4.       Ziran (自然): Kealamian dan Spontanitas Eksistensial

Ziran adalah keadaan alami dari segala sesuatu, dan juga prinsip yang menuntun manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Ziran tidak hanya mencerminkan kondisi “apa adanya”, tetapi juga menekankan pada spontanitas yang tidak dikonstruksi secara sosial. Bagi Taoisme, kehidupan yang sejati adalah kehidupan yang dijalani dengan kealamian penuh, tanpa manipulasi atau kontrol berlebihan4. Maka dari itu, Ziran menjadi landasan penting bagi ajaran etika Taoisme, di mana manusia dipandang seharusnya “kembali ke alam”, baik secara fisik maupun spiritual.


Penutup Subbab

Keempat konsep tersebut—Dao, De, Wu Wei, dan Ziran—saling terkait membentuk inti filsafat Taoisme. Mereka bukan hanya merupakan ide abstrak, tetapi juga panduan hidup yang aplikatif. Dalam penghayatan Taoisme, filsafat bukan hanya alat untuk memahami dunia, tetapi merupakan cara untuk “menjadi satu” dengan ritme kosmik, membimbing manusia menuju kehidupan yang sederhana, damai, dan selaras.


Footnotes

[1]                Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1963), verse 1.

[2]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 204–206.

[3]                A.C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 222–225.

[4]                Livia Kohn, Daoism and Chinese Culture (Cambridge, MA: Three Pines Press, 2001), 30–33.


3.           Tokoh-Tokoh Utama dan Karya Klasik

Perkembangan Taoisme sebagai sistem filsafat tidak dapat dilepaskan dari dua figur kunci yang kontribusinya membentuk fondasi intelektual dan spiritual aliran ini, yaitu Laozi (老子) dan Zhuangzi (庄子). Selain mereka, terdapat tokoh-tokoh lain seperti Liezi (列子) dan para penulis kolektif dari teks-teks Taois yang turut memperluas cakrawala pemikiran Taoisme baik sebagai filsafat maupun sebagai bentuk kehidupan religius. Karya-karya klasik seperti Dao De Jing dan Zhuangzi tidak hanya menjadi landasan doktrinal, tetapi juga sumber inspirasi etis dan estetis dalam kebudayaan Tiongkok.

3.1.       Laozi dan Dao De Jing

Laozi, yang secara harfiah berarti "Guru Tua", merupakan tokoh legendaris yang dikaitkan dengan penyusunan Dao De Jing (道德經), teks utama Taoisme. Menurut tradisi, Laozi hidup pada abad ke-6 SM, meskipun sebagian besar sarjana modern menganggapnya sebagai tokoh mitologis atau simbolik yang mewakili kumpulan ajaran yang berkembang dalam kurun waktu yang panjang1. Dao De Jing, yang terdiri dari sekitar 5.000 karakter dan terbagi menjadi 81 bab, menyajikan ajaran Taoisme dalam bentuk aforisme puitis yang menekankan prinsip Dao dan De, serta doktrin Wu Wei sebagai jalan menuju kesempurnaan moral dan kebijaksanaan politik2.

Isi dari Dao De Jing menunjukkan sikap skeptis terhadap struktur sosial dan pengetahuan konvensional. Laozi mengajarkan bahwa jalan sejati menuju ketenangan batin dan tatanan masyarakat yang harmonis tidak dapat dicapai melalui kekuatan, hukum, atau ritual, melainkan melalui ketundukan terhadap hukum alam dan kehampaan batin3. Oleh karena itu, ia menyerukan gaya hidup sederhana dan pemerintahan yang minim intervensi—prinsip yang sering dianggap sebagai kritik halus terhadap Konfusianisme yang dominan saat itu.

3.2.       Zhuangzi dan Kitab Zhuangzi

Zhuangzi (庄子), yang hidup pada abad ke-4 SM, merupakan tokoh besar kedua dalam tradisi Taoisme. Berbeda dengan Laozi yang bersifat singkat dan padat, karya Zhuangzi lebih naratif, bersifat alegoris dan penuh humor. Zhuangzi tidak hanya meneruskan gagasan Laozi, tetapi juga memperluasnya ke dalam wilayah epistemologi, relativisme etis, dan kebebasan eksistensial4. Ia menekankan ketidakmutlakan dalam pengetahuan manusia serta meragukan batasan antara kenyataan dan ilusi—sebagaimana tampak dalam kisah terkenalnya tentang "mimpi menjadi kupu-kupu".

Kitab Zhuangzi menolak upaya untuk mengendalikan dunia melalui bahasa dan norma-norma sosial yang kaku. Bagi Zhuangzi, kebijaksanaan sejati datang dari kemampuan untuk “melayang bebas” dalam Dao, tanpa dibatasi oleh identitas tetap atau nilai-nilai yang ditentukan manusia5. Kebebasan batin, hidup dalam ziran, dan pelepasan dari penghakiman menjadi nilai-nilai utama dalam ajarannya. Karena gaya penulisannya yang artistik dan filosofinya yang radikal, Zhuangzi dianggap sebagai salah satu karya paling orisinal dalam sejarah filsafat dunia.

3.3.       Liezi dan Teks-Teks Pelengkap

Tokoh lain yang juga penting dalam kanon Taoisme adalah Liezi (列子), yang namanya diabadikan dalam teks Liezi. Meskipun tokoh ini mungkin bersifat apokrif, teks Liezi menyajikan pendekatan yang lebih praktikal dan populis terhadap ajaran Taoisme. Ia menekankan nilai pengalaman langsung dan cerita-cerita yang membumi tentang kesederhanaan dan keberjarakan dari urusan duniawi6.

Selain itu, karya-karya seperti Huainanzi dan teks-teks Taois religius di era Han dan Tang juga berkontribusi dalam membentuk sintesis antara filsafat, ritual, dan praktik spiritual, yang kemudian berkembang menjadi Taoisme religius (Daojiao)7.


Penutup Subbab

Ketiga tokoh besar ini—Laozi, Zhuangzi, dan Liezi—beserta karya-karyanya, mewakili spektrum penuh pemikiran Taois: dari yang bersifat metafisik dan mistis hingga yang estetis dan eksistensial. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap wacana filsafat Tiongkok, tetapi juga menawarkan alternatif paradigmatik terhadap rasionalisme dan legalisme yang berkembang sezamannya. Teks-teks klasik tersebut terus dibaca dan dikaji hingga kini sebagai bagian dari khazanah filsafat global.


Footnotes

[1]                Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 211–214.

[2]                Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1963), Introduction.

[3]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 216–219.

[4]                A.C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 179–186.

[5]                Zhuangzi, Zhuangzi: The Essential Writings, trans. Brook Ziporyn (Indianapolis: Hackett Publishing, 2009), 12–18.

[6]                Angus C. Graham, The Book of Lieh-tzu: A Classic of the Tao (New York: Columbia University Press, 1990), xi–xiii.

[7]                Isabelle Robinet, Taoism: Growth of a Religion, trans. Phyllis Brooks (Stanford: Stanford University Press, 1997), 45–52.


4.           Dimensi Metafisika dan Etika dalam Taoisme

Taoisme mengembangkan suatu sistem pemikiran yang tidak hanya menyentuh aspek praktis kehidupan, tetapi juga menyentuh kedalaman metafisika dan etika sebagai fondasi filosofisnya. Dimensi metafisika Taoisme menekankan pada keberadaan prinsip nondualistik yang mendasari semesta, yaitu Dao, sedangkan aspek etika Taoisme lahir dari upaya manusia untuk hidup selaras dengan prinsip tersebut melalui ketidakterpaksaan dan spontanitas. Dalam dua ranah ini—ontologi dan aksiologi—Taoisme membentuk satu kesatuan cara pandang tentang kehidupan yang khas: harmonis, sederhana, dan bebas dari kontruksi sosial yang artifisial.

4.1.       Ontologi Taois: Dao sebagai Asal dan Prinsip Kosmik

Dalam kerangka metafisik Taoisme, Dao adalah realitas utama yang menjadi asal-usul dan esensi dari segala sesuatu. Dao tidak memiliki bentuk, nama, atau batas, tetapi darinya muncul segala fenomena alam semesta. Sebagaimana dijelaskan dalam Dao De Jing, "Dao melahirkan satu; satu melahirkan dua; dua melahirkan tiga; tiga melahirkan segala sesuatu"1. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa kosmos muncul dari suatu proses emanatif dan berlapis yang berpangkal pada Dao, bukan pada entitas personal atau pencipta seperti dalam teisme barat.

Dao juga merupakan prinsip gerak yang menyatukan lawan-lawan dialektis seperti yin dan yang, terang dan gelap, lembut dan keras. Dalam filsafat Taoisme, kebenaran dan realitas tidak bersifat absolut tetapi selalu berada dalam gerakan, saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan2. Pemikiran ini mendorong cara pandang non-dualistik, yakni melihat dunia bukan dalam oposisi biner, tetapi dalam jaringan relasional yang dinamis.

4.2.       Etika Taois: Hidup Selaras dengan Dao

Dari pengertian metafisik tersebut, Taoisme menurunkan prinsip etika yang berfokus pada keharmonisan dan nonintervensi. Wu Wei (無為), atau tindakan tanpa paksaan, merupakan prinsip etika utama Taoisme yang mengajarkan agar manusia bertindak secara alamiah, mengikuti arus kehidupan tanpa memaksakan kehendak pribadi. Ini bukan berarti diam atau pasif, tetapi bertindak secara efektif dan efisien sesuai dengan irama alam3. Dalam pandangan Laozi, penguasa yang bijak adalah yang mengatur tanpa mendominasi, dan individu yang tercerahkan adalah yang mampu menahan diri dari ambisi dan egoisme.

Etika Taoisme juga berakar pada prinsip ziran (自然), yang berarti "kealamian" atau "keberadaan apa adanya." Moralitas dalam Taoisme tidak ditentukan oleh norma eksternal atau hukum sosial, tetapi muncul secara spontan dari kehidupan yang otentik. Dengan kata lain, seseorang menjadi bajik bukan karena dia mengikuti aturan, tetapi karena dia hidup sesuai dengan kodratnya4.

4.3.       Pandangan terhadap Kekuasaan dan Tatanan Sosial

Dalam aspek sosial-politik, Taoisme menawarkan suatu kritik terhadap model kekuasaan yang represif. Laozi menolak dominasi negara yang berlebihan dan menekankan pentingnya pemerintahan minimalis yang memungkinkan rakyat hidup secara mandiri. Dikatakan bahwa “Semakin banyak hukum dan perintah, semakin miskin rakyatnya”5. Taoisme, dengan demikian, memberikan kerangka etika politik yang berbasis pada kebijaksanaan intuitif, bukan legalitas dan sanksi.

Di sisi lain, Taoisme juga mengajarkan kerendahan hati sebagai nilai utama dalam interaksi sosial. Dalam Zhuangzi, konsep relativisme moral dan kultural ditegaskan untuk mencegah arogansi intelektual dan memperkuat toleransi terhadap perbedaan6. Ini menjadikan Taoisme sebagai filsafat yang inklusif dan tidak dogmatis.


Penutup Subbab

Dimensi metafisika dan etika dalam Taoisme membentuk kesatuan yang utuh: metafisika Dao mengajarkan tentang dasar keberadaan, sementara etika Wu Wei dan Ziran menunjukkan cara hidup yang ideal dalam kerangka tersebut. Taoisme mengarahkan manusia untuk mengembangkan kehidupan yang selaras dengan alam, tidak melalui penaklukan atau rasionalisasi, tetapi melalui keterbukaan terhadap perubahan dan penerimaan terhadap realitas sebagaimana adanya. Dalam dunia modern yang penuh tekanan dan kompetisi, ajaran ini menemukan kembali relevansinya sebagai jalan menuju ketenangan batin dan kebijaksanaan hidup.


Footnotes

[1]                Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1963), verse 42.

[2]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 230–233.

[3]                A.C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 215–218.

[4]                Livia Kohn, Daoism and Chinese Culture (Cambridge, MA: Three Pines Press, 2001), 58–61.

[5]                Laozi, Dao De Jing, verse 57.

[6]                Zhuangzi, Zhuangzi: The Essential Writings, trans. Brook Ziporyn (Indianapolis: Hackett Publishing, 2009), 31–35.


5.           Pengaruh Taoisme terhadap Budaya dan Ilmu Pengetahuan

Taoisme tidak hanya memengaruhi bidang filsafat dan spiritualitas, tetapi juga memainkan peran signifikan dalam pembentukan budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan di Tiongkok. Nilai-nilai Taois, yang menekankan keseimbangan alam, spontanitas, dan keharmonisan kosmis, menjelma dalam ekspresi budaya seperti seni lukis, puisi, dan musik, serta dalam perkembangan ilmu pengobatan, astronomi, dan alkimia. Dengan demikian, Taoisme menjadi kekuatan kreatif yang memformulasikan suatu cara hidup yang menyatu antara pengetahuan, keindahan, dan kebijaksanaan.

5.1.       Seni Lukis dan Sastra: Ekspresi Visual dan Puitis dari Dao

Seni lukis Tiongkok klasik sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Taoisme, terutama gagasan tentang Wu Wei (tindakan tanpa paksaan) dan Ziran (kealamian). Pelukis Taois berusaha menangkap "jiwa" lanskap daripada representasi realistis, dengan sapuan kuas yang spontan dan minimalis untuk menciptakan rasa harmoni dengan alam1. Alam tidak hanya menjadi objek gambar, tetapi juga ruang spiritual untuk kontemplasi Dao.

Demikian pula, dalam puisi-puisi Tiongkok klasik, terutama dari zaman Tang dan Song, terdapat pengaruh Taois yang kuat. Puisi-puisi karya Li Bai (李白) dan Wang Wei (王維), misalnya, menggambarkan keterpesonaan mereka terhadap keheningan, gunung, air, dan ketidakterikatan duniawi—semuanya merupakan cerminan dari ajaran Taoisme2. Estetika Taois tidak mengejar keteraturan atau kecemerlangan formal, melainkan kedalaman makna dalam kesederhanaan dan keheningan.

5.2.       Ilmu Pengobatan Tradisional Tiongkok: Prinsip Yin-Yang dan Qi

Pengaruh Taoisme sangat nyata dalam pengobatan tradisional Tiongkok yang berlandaskan keseimbangan yin dan yang, serta sirkulasi energi qi () dalam tubuh manusia. Prinsip-prinsip ini berasal dari pemahaman Taois tentang tubuh sebagai mikrokosmos dari alam semesta, dan kesehatan sebagai hasil dari keharmonisan internal dan eksternal3.

Metode pengobatan seperti akupunktur, moksibusi, dan pengobatan herbal berakar dari teks-teks medis kuno seperti Huangdi Neijing, yang secara filosofis terhubung dengan gagasan Taoisme tentang perubahan dinamis dan siklus alami4. Dalam hal ini, Taoisme tidak hanya membentuk pandangan metafisik, tetapi juga menjadi dasar sistem diagnostik dan terapeutik yang masih digunakan secara luas hingga saat ini.

5.3.       Alkimia Taois dan Awal Perkembangan Sains

Taoisme juga berperan dalam perkembangan awal alkimia di Tiongkok, baik dalam bentuk alkimia eksternal (waidan), yang berkaitan dengan penciptaan obat keabadian dari zat mineral dan logam, maupun alkimia internal (neidan), yang fokus pada transformasi spiritual dan energi tubuh melalui meditasi dan latihan pernapasan5. Praktik ini memiliki kontribusi penting terhadap perkembangan kimia, farmasi, dan bahkan teknik laboratorium di Tiongkok kuno.

Alkimia internal, khususnya, menunjukkan bagaimana sains dan spiritualitas berkelindan dalam kerangka Taois. Transformasi diri dipandang sebagai proses menyatu dengan Dao, dan tubuh diperlakukan sebagai laboratorium mikro untuk eksperimentasi energi dan kesadaran6.

5.4.       Fengshui dan Kosmologi

Prinsip-prinsip Taois juga mendasari praktik fengshui (風水), seni menata ruang berdasarkan aliran energi alam semesta. Fengshui bertujuan menciptakan keseimbangan antara manusia dan lingkungan sekitarnya, berdasarkan observasi kosmik seperti arah angin, posisi gunung dan sungai, serta pergerakan bintang. Ini mencerminkan pandangan kosmologis Taoisme bahwa manusia merupakan bagian integral dari sistem alam semesta yang dinamis7.

Kosmologi Taois tidak memisahkan antara sains dan spiritualitas. Dalam astrologi dan pengamatan langit, misalnya, tujuan bukan hanya mengetahui posisi benda langit, tetapi juga memahami dampaknya terhadap harmoni kehidupan manusia. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dalam Taoisme dipahami sebagai sarana untuk hidup selaras dengan tatanan kosmik.


Penutup Subbab

Melalui seni, pengobatan, alkimia, dan kosmologi, Taoisme membuktikan dirinya sebagai filsafat hidup yang produktif secara kultural dan ilmiah. Ia tidak hanya mendorong perenungan metafisik, tetapi juga menawarkan jalan praksis dalam merawat tubuh, menyatu dengan alam, dan menciptakan estetika yang reflektif. Dalam hal ini, Taoisme menunjukkan bahwa kebijaksanaan bukan hanya sesuatu yang dipikirkan, tetapi juga dijalani dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.


Footnotes

[1]                Livia Kohn, Daoism and Chinese Culture (Cambridge, MA: Three Pines Press, 2001), 105–108.

[2]                Stephen Owen, The Great Age of Chinese Poetry: The High T’ang (New Haven: Yale University Press, 1981), 68–74.

[3]                Paul U. Unschuld, Medicine in China: A History of Ideas (Berkeley: University of California Press, 1985), 42–49.

[4]                Nathan Sivin, Traditional Medicine in Contemporary China (Ann Arbor: Center for Chinese Studies, University of Michigan, 1987), 31–35.

[5]                Fabrizio Pregadio, The Taoist Body (Berkeley: University of California Press, 1993), 61–70.

[6]                Isabelle Robinet, Taoism: Growth of a Religion, trans. Phyllis Brooks (Stanford: Stanford University Press, 1997), 77–83.

[7]                Ole Bruun, Fengshui in China: Geomantic Divination Between State Orthodoxy and Popular Religion (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2003), 15–18.


6.           Perkembangan Taoisme dalam Sejarah Tiongkok

Taoisme mengalami evolusi yang kompleks sepanjang sejarah Tiongkok, dari sebuah sistem filsafat kontemplatif menjadi agama yang terstruktur dengan ritual, organisasi, dan komunitas pemeluk. Perjalanan historis ini tidak hanya memperlihatkan daya tahan dan kelenturan ajaran Taoisme, tetapi juga mencerminkan dinamika budaya, politik, dan spiritual dalam peradaban Tiongkok dari era kuno hingga masa dinasti kekaisaran.

6.1.       Awal Mula dan Konsolidasi dalam Dinasti Han (206 SM – 220 M)

Taoisme mulai mengalami institusionalisasi selama Dinasti Han, ketika ajaran Laozi dan Zhuangzi mulai diresapi dalam struktur pemerintahan dan kepercayaan populer. Kaisar-kaisar Han menggunakan kosmologi Taois untuk melegitimasi kekuasaan mereka dengan mengasosiasikan diri dengan prinsip Dao dan tatanan kosmik1. Pada masa ini, muncul perkembangan teks-teks baru yang memadukan filsafat Taoisme dengan unsur mistisisme dan teknik spiritual, terutama dalam bentuk alkimia dan pencarian keabadian.

Lahirnya sekte Taoisme religius dapat ditelusuri ke gerakan Lima Takhta Langit (五斗米道) yang dipimpin oleh Zhang Daoling di Sichuan. Sekte ini menandai transformasi Taoisme dari filsafat menjadi sistem keagamaan yang terorganisir, dengan hierarki kepemimpinan, upacara keagamaan, serta penekanan pada penyucian dan keselamatan pribadi2.

6.2.       Puncak Perkembangan dalam Dinasti Tang (618–907 M)

Masa Dinasti Tang merupakan periode keemasan bagi Taoisme. Dinasti ini memiliki hubungan erat dengan Taoisme karena keluarga kerajaan Tang mengklaim sebagai keturunan Laozi. Kaisar-kaisar Tang menjadikan Taoisme sebagai agama resmi negara di samping Buddhisme dan Konfusianisme, serta mendirikan banyak kuil dan pusat studi Taois3.

Pada masa ini, berkembang Daojiao (道教) sebagai agama Taoisme formal, dengan kanon suci yang terdiri dari ribuan teks (Taozang), sistem teologi, dan kosmologi yang kompleks. Taoisme religius menggabungkan unsur filsafat, praktik ritual, penyembuhan spiritual, dan kepercayaan terhadap makhluk ilahi dan dewa-dewa lokal4. Sinkretisme dengan Buddhisme juga mulai tampak, terutama dalam hal ikonografi dan struktur monastik.

6.3.       Kompetisi dan Sinkretisme di Era Song hingga Qing

Seiring berkembangnya zaman, Taoisme harus bersaing dengan Buddhisme dan Konfusianisme yang sama-sama menjadi kekuatan spiritual dan intelektual dominan. Namun, hal ini tidak memudarkan pengaruh Taoisme; sebaliknya, terjadi proses sinkretisme yang menghasilkan integrasi antara elemen-elemen ketiga ajaran tersebut, terutama melalui gerakan Tiga Ajaran Menyatu (三教合一)5.

Pada masa Dinasti Song (960–1279), praktik neidan (alkimia internal) mencapai kematangan. Taoisme semakin menekankan transformasi spiritual individu, dengan meditasi, latihan napas, dan visualisasi sebagai sarana penyatuan diri dengan Dao. Gerakan-gerakan baru seperti Sekte Kesempurnaan Utama (Quanzhen) muncul dengan struktur biara yang mirip dengan Buddhisme Zen, menandai fase spiritualisasi Taoisme yang lebih mendalam6.

6.4.       Taoisme di Era Modern dan Tantangan Kontemporer

Memasuki abad ke-20, Taoisme mengalami kemunduran akibat revolusi sosial, kebijakan anti-agama negara komunis, dan modernisasi yang mengikis praktik keagamaan tradisional. Selama Revolusi Kebudayaan (1966–1976), banyak kuil Taois dihancurkan dan teks-teks kuno dibakar7. Namun, sejak era reformasi 1980-an, terjadi kebangkitan kembali Taoisme sebagai bagian dari warisan budaya Tiongkok. Pemerintah RRT mulai mempromosikan Taoisme sebagai warisan nasional yang penting untuk identitas budaya.

Kini, Taoisme mengalami revitalisasi tidak hanya di Tiongkok, tetapi juga di komunitas diaspora dan dunia internasional. Ajaran-ajaran seperti Wu Wei, Qi, dan prinsip harmoni alam menarik perhatian global, terutama dalam bidang kesehatan, ekologi, dan spiritualitas alternatif. Meskipun mengalami berbagai transformasi, esensi Taoisme tetap hidup sebagai jalan kebijaksanaan yang menyatu dengan ritme alam semesta.


Penutup Subbab

Sejarah panjang Taoisme mencerminkan daya lentur dan adaptabilitas ajarannya terhadap perubahan zaman. Dari seorang filsuf bernama Laozi hingga kuil-kuil dan biara religius yang tersebar di pegunungan Tiongkok, Taoisme telah bertransformasi dari sistem refleksi filosofis menjadi agama rakyat dan sistem spiritual yang mendalam. Pemahamannya terhadap kosmos, tubuh, dan masyarakat terus memberikan sumbangan penting bagi khazanah spiritual umat manusia lintas generasi.


Footnotes

[1]                Mark Csikszentmihalyi, Readings in Han Chinese Thought (Indianapolis: Hackett Publishing, 2006), 82–85.

[2]                Isabelle Robinet, Taoism: Growth of a Religion, trans. Phyllis Brooks (Stanford: Stanford University Press, 1997), 34–38.

[3]                Livia Kohn, Daoism and Chinese Culture (Cambridge, MA: Three Pines Press, 2001), 128–130.

[4]                Kristofer Schipper, The Taoist Body, trans. Karen C. Duval (Berkeley: University of California Press, 1993), 115–118.

[5]                Julia Ching, Chinese Religions (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 153–156.

[6]                Fabrizio Pregadio, The Encyclopedia of Taoism (London: Routledge, 2008), 945–948.

[7]                Vincent Goossaert and David A. Palmer, The Religious Question in Modern China (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 87–91.


7.           Taoisme dalam Konteks Kontemporer

Dalam era kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, krisis lingkungan, dan kegelisahan eksistensial manusia modern, Taoisme mendapatkan kembali relevansinya sebagai sebuah sistem pemikiran dan praktik hidup yang menawarkan alternatif terhadap paradigma dominan Barat yang cenderung materialistik dan instrumental. Ajaran-ajaran Taoisme seperti Wu Wei (tidak memaksakan kehendak), Ziran (kealamian), dan keseimbangan yin-yang, kini dihidupkan kembali dalam berbagai konteks: mulai dari spiritualitas personal, gerakan ekologi, hingga dialog antarbudaya.

7.1.       Revitalisasi Taoisme di Tiongkok Modern

Sejak era reformasi ekonomi Tiongkok pada akhir 1970-an, terjadi pembukaan ruang baru bagi agama-agama tradisional, termasuk Taoisme. Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mengakui Taoisme sebagai salah satu dari lima agama resmi dan mulai mempromosikannya sebagai warisan budaya bangsa1. Kuil-kuil diperbaiki, institusi keagamaan seperti Asosiasi Taois Tiongkok kembali diaktifkan, dan praktik Taoisme—baik yang bersifat keagamaan maupun filosofis—mengalami kebangkitan di berbagai provinsi.

Namun, kebangkitan ini tidak selalu lepas dari intervensi negara. Pemerintah sering menekankan aspek-aspek “budaya” Taoisme sambil menghindari ekspresi religius yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara. Meskipun demikian, masyarakat Tiongkok menunjukkan antusiasme baru dalam mempelajari teks-teks klasik, mengikuti praktik qigong dan meditasi Taois, serta mengembangkan kembali ritual tradisional sebagai bentuk pencarian identitas dan makna hidup2.

7.2.       Taoisme dan Spiritualitas Global

Di luar Tiongkok, Taoisme telah menjadi bagian penting dalam pencarian spiritual masyarakat global, terutama di Barat. Banyak kalangan yang mengadopsi prinsip-prinsip Taoisme tanpa menjadi penganut agama Taoisme secara formal, melainkan sebagai panduan hidup yang sejalan dengan nilai-nilai kontemplatif dan ekologis. Buku-buku seperti The Tao of Pooh karya Benjamin Hoff menjadi pintu masuk yang populer dalam mengenalkan Taoisme kepada khalayak non-Tionghoa3.

Gerakan spiritual alternatif dan praktik new age di Barat juga banyak mengadopsi unsur Taoisme, terutama dalam praktik tai chi, qigong, dan pengobatan holistik berbasis keseimbangan energi. Dalam konteks ini, Taoisme diposisikan sebagai filsafat hidup yang dapat dipraktikkan lintas agama dan budaya, tanpa eksklusivitas dogmatis4.

7.3.       Taoisme dan Krisis Ekologis Global

Kontribusi penting Taoisme dalam wacana kontemporer tampak nyata dalam bidang ekofilsafat. Berbeda dengan pendekatan antroposentris dalam banyak sistem etika Barat, Taoisme menempatkan manusia sebagai bagian integral dari alam, bukan sebagai penguasa atasnya. Prinsip Wu Wei dan Ziran mengajarkan penghormatan terhadap proses alami dan kesadaran akan batasan intervensi manusia terhadap lingkungan5.

Filsuf-filsuf ekologi seperti J. Baird Callicott dan James Miller menilai bahwa Taoisme memberikan paradigma alternatif yang sangat diperlukan dalam menghadapi kerusakan lingkungan global. Taoisme tidak hanya menyerukan konservasi lingkungan, tetapi juga menawarkan kerangka spiritual dan eksistensial untuk hidup selaras dengan bumi, melalui prinsip-prinsip keseimbangan, siklus alami, dan anti-eksploitasi6.

7.4.       Dialog Lintas Budaya dan Agama

Taoisme juga berperan dalam membangun dialog antaragama dan antarperadaban, terutama dalam isu-isu bersama seperti keberlanjutan lingkungan, keseimbangan batin, dan pencarian makna hidup. Dalam banyak forum internasional, perwakilan Taois dari Tiongkok dan komunitas diaspora turut terlibat dalam diskusi global mengenai etika, kedamaian, dan kebijaksanaan tradisional Timur.

Taoisme sering dijadikan jembatan dalam dialog antara spiritualitas Timur dan filsafat Barat. Konsep Dao telah dibandingkan dengan logos dalam filsafat Yunani, atau dengan prinsip-prinsip metafisika dalam Hindu dan mistisisme Sufi. Dialog ini mencerminkan posisi unik Taoisme sebagai tradisi yang terbuka terhadap hermeneutika lintas budaya, sekaligus tetap berakar pada pemahaman kontekstual Tiongkok7.


Penutup Subbab

Dalam dunia yang terus berubah dan semakin kompleks, Taoisme hadir sebagai filsafat yang menawarkan ketenangan dalam kesederhanaan, kebijaksanaan dalam keheningan, dan keharmonisan dalam keberagaman. Ia bukan hanya warisan kuno, tetapi juga tawaran masa depan—sebuah jalan alternatif menuju kehidupan yang lebih selaras dengan alam, lebih damai dalam diri, dan lebih bijak dalam interaksi global.


Footnotes

[1]                David A. Palmer, Qigong Fever: Body, Science and Utopia in China (New York: Columbia University Press, 2007), 112–116.

[2]                Vincent Goossaert and David A. Palmer, The Religious Question in Modern China (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 194–197.

[3]                Benjamin Hoff, The Tao of Pooh (New York: Penguin Books, 1982), 3–5.

[4]                Harold D. Roth, “Taoism in the West,” in Daoism Handbook, ed. Livia Kohn (Leiden: Brill, 2000), 789–800.

[5]                James Miller, China’s Green Religion: Daoism and the Quest for a Sustainable Future (New York: Columbia University Press, 2017), 22–26.

[6]                J. Baird Callicott and James McRae, Environmental Philosophy in Asian Traditions of Thought (Albany: SUNY Press, 2014), 83–89.

[7]                Livia Kohn, Daoism and Chinese Culture (Cambridge, MA: Three Pines Press, 2001), 154–157.


8.           Kritik dan Apresiasi terhadap Taoisme

Sebagai salah satu sistem filsafat dan agama tertua di Tiongkok, Taoisme telah memperoleh berbagai tanggapan, baik dari kalangan internal Tiongkok maupun dari dunia internasional. Kritik terhadap Taoisme umumnya berangkat dari perspektif rasionalistik, etis, dan teologis, sedangkan apresiasi muncul dari mereka yang menilai Taoisme sebagai jalan hidup yang harmonis, kontemplatif, dan ekologis. Bagian ini membahas secara berimbang dua sisi tersebut dalam rangka memperkaya pemahaman terhadap peran dan relevansi Taoisme dalam sejarah dan dunia modern.

8.1.       Kritik terhadap Taoisme

8.1.1.    Kritik dari Perspektif Konfusianisme

Dalam sejarah pemikiran Tiongkok, kritik paling awal dan konsisten terhadap Taoisme datang dari kaum Konfusianis. Mereka memandang Wu Wei () sebagai ajaran pasif yang berpotensi melemahkan etos sosial dan tanggung jawab publik. Mencari ketenangan batin dan “menyatu dengan alam” dipandang oleh Konfusianisme sebagai pengabaian terhadap kewajiban moral terhadap masyarakat dan keluarga1.

Tokoh Konfusianisme klasik seperti Xunzi menilai Taoisme sebagai antitesis dari peradaban dan tatanan moral. Ia berpendapat bahwa jika semua orang mengikuti prinsip tidak bertindak (Wu Wei), maka masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan karena tidak ada sistem normatif yang mengatur perilaku sosial2.

8.1.2.    Kritik dari Perspektif Modernitas dan Sains

Beberapa pemikir modern menganggap Taoisme terlalu mistik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional atau ilmiah. Elemen-elemen seperti pencarian keabadian melalui alkimia eksternal, kepercayaan pada makhluk spiritual, atau praktik geomansi (fengshui) dianggap sebagai warisan takhayul yang tidak sesuai dengan rasionalitas modern3.

Selain itu, penekanan Taoisme pada “kembali ke alam” sering dikritik sebagai bentuk anti-kemajuan dan romantisasi terhadap keadaan primitif. Dalam masyarakat yang bergantung pada teknologi dan inovasi, gagasan hidup sederhana dan non-intervensif dipandang tidak realistis atau bahkan regresif4.


8.2.       Apresiasi terhadap Taoisme

8.2.1.    Sebagai Filsafat Kebijaksanaan Hidup

Meskipun dikritik, banyak pemikir modern memuji Taoisme sebagai sumber kebijaksanaan eksistensial yang mendalam. Kesederhanaan, ketenangan, dan pelepasan ego menjadi nilai-nilai yang relevan di tengah dunia yang penuh kompetisi dan tekanan. Filsuf Prancis seperti Henri Borel dan Alan Watts di Barat mengapresiasi Taoisme sebagai bentuk spiritualitas non-dogmatis yang menawarkan pembebasan dari belenggu rasionalitas ekstrem5.

Ajaran Laozi dan Zhuangzi dianggap mampu menyeimbangkan cara hidup manusia modern yang terlalu terbebani oleh tuntutan produktivitas dan konsumsi. Taoisme dipandang sebagai panggilan untuk “kembali ke diri”, bukan dalam arti isolasi, tetapi dalam bentuk kesadaran penuh terhadap keutuhan eksistensi6.

8.2.2.    Kontribusi terhadap Etika Lingkungan

Dalam era krisis ekologis global, Taoisme mendapatkan pengakuan luas karena nilai-nilai yang diusungnya sangat sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Prinsip Wu Wei dan Ziran dipandang mendukung gaya hidup ekologis yang rendah emisi, minim eksploitasi, dan menghargai keseimbangan alam7.

Taoisme menginspirasi banyak gerakan ekologi spiritual yang mengedepankan gaya hidup alami dan tidak merusak. Dalam konteks ini, Taoisme tidak hanya dipelajari sebagai sistem filosofis atau religius, tetapi juga sebagai sumber etika ekologis yang dapat membentuk paradigma pembangunan berkelanjutan.

8.2.3.    Kekuatan Estetika dan Imajinatif

Apresiasi terhadap Taoisme juga datang dari dunia seni dan estetika. Taoisme tidak hanya menawarkan sistem moral, tetapi juga memperkaya imajinasi artistik melalui simbolisme alam, metafora kesunyian, dan prinsip harmoni. Seniman, penyair, dan filsuf mendapati dalam Taoisme suatu model kontemplatif untuk memahami dunia dan mengekspresikannya secara halus dan mendalam8.


Penutup Subbab

Kritik dan apresiasi terhadap Taoisme menunjukkan bahwa tradisi ini terus hidup dan mengalami negosiasi makna dalam lintas ruang dan waktu. Taoisme tidak menolak kritik, tetapi juga tidak kehilangan kekuatannya sebagai sumber alternatif kebijaksanaan hidup. Dalam menghadapi krisis spiritual, ekologis, dan eksistensial abad ke-21, Taoisme menawarkan jalan sunyi yang menuntun manusia kembali kepada kesederhanaan, kedalaman, dan kealamian hidup.


Footnotes

[1]                Roger T. Ames, Thinking Through Confucius (Albany: SUNY Press, 1987), 125–127.

[2]                Xunzi, Basic Writings, trans. Burton Watson (New York: Columbia University Press, 2003), 148–150.

[3]                Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Vol. 5, Part 5: Chemistry and Chemical Technology (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 62–66.

[4]                Joseph Needham, Science and Civilisation in China, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1956), 198–200.

[5]                Alan Watts, Tao: The Watercourse Way (New York: Pantheon Books, 1975), 4–7.

[6]                Thomas Michael, The Way of Complete Perfection: A Quanzhen Daoist Anthology (Berkeley: University of California Press, 2005), 11–14.

[7]                James Miller, China’s Green Religion: Daoism and the Quest for a Sustainable Future (New York: Columbia University Press, 2017), 33–36.

[8]                Livia Kohn, Daoism and Chinese Culture (Cambridge, MA: Three Pines Press, 2001), 89–92.


9.           Kesimpulan

Taoisme, sebagai filsafat dan agama, telah membentuk salah satu fondasi spiritual, kultural, dan intelektual dari peradaban Tiongkok. Berawal dari ajaran kontemplatif Laozi dan Zhuangzi pada zaman pra-imperial, Taoisme berkembang menjadi sistem pemikiran yang kompleks, menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan—dari metafisika dan etika, hingga seni, ilmu pengetahuan, dan tata kelola sosial. Prinsip-prinsip utama seperti Dao, Wu Wei, dan Ziran tidak hanya menawarkan kerangka teoretis, tetapi juga menjadi panduan praktis untuk hidup yang selaras dengan irama kosmik alam semesta1.

Sepanjang sejarahnya, Taoisme menunjukkan kapasitas adaptif yang luar biasa. Dalam masa Dinasti Han hingga Tang, ia bertransformasi dari filsafat menjadi agama terstruktur, lengkap dengan sistem ritus, kuil, teks suci (Taozang), dan komunitas pemeluk. Pada saat yang sama, ia tetap mempertahankan elemen filsafat aslinya yang menekankan kebebasan, kesederhanaan, dan introspeksi batin2. Di tengah dominasi Konfusianisme dan pengaruh luar seperti Buddhisme, Taoisme tetap bertahan dan bahkan berkontribusi pada pembentukan gerakan sinkretik yang memperkaya khasanah religius Tiongkok3.

Dalam konteks modern, Taoisme tidak kehilangan daya tariknya. Kebangkitan Taoisme di Tiongkok sejak reformasi ekonomi menunjukkan bahwa warisan ini masih relevan bagi masyarakat kontemporer yang mencari identitas budaya dan spiritual. Di dunia Barat dan komunitas global, nilai-nilai Taoisme mendapat tempat dalam ranah spiritualitas alternatif, gerakan ekologi, dan diskusi lintas budaya4.

Kekuatan Taoisme terletak pada kemampuannya menghadirkan visi kehidupan yang tidak terjebak pada dikotomi kaku atau pencarian kendali mutlak atas dunia. Ia mengajarkan manusia untuk “menjadi satu” dengan Dao, bukan melalui penaklukan atau akumulasi, melainkan dengan melepaskan dan kembali kepada kealamian eksistensi. Sebagaimana diajarkan Laozi: “Siapa yang mengetahui cukup, cukup baginya.”_5

Dalam era krisis ekologis, kegelisahan eksistensial, dan fragmentasi sosial, Taoisme hadir sebagai suara yang lembut namun mendalam—mengajak kita untuk kembali mendengarkan alam, memahami batas-batas diri, dan menemukan kebijaksanaan dalam kesunyian. Filsafat ini bukan sekadar produk masa lalu, melainkan tawaran abadi untuk masa depan manusia yang lebih bijak dan harmonis.


Footnotes

[1]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 205–209.

[2]                Isabelle Robinet, Taoism: Growth of a Religion, trans. Phyllis Brooks (Stanford: Stanford University Press, 1997), 71–75.

[3]                Julia Ching, Chinese Religions (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 153–156.

[4]                James Miller, China’s Green Religion: Daoism and the Quest for a Sustainable Future (New York: Columbia University Press, 2017), 11–15.

[5]                Laozi, Dao De Jing, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1963), verse 46.


Daftar Pustaka

Ames, R. T., & Hall, D. L. (1987). Thinking through Confucius. Albany, NY: State University of New York Press.

Bruun, O. (2003). Fengshui in China: Geomantic divination between state orthodoxy and popular religion. Honolulu: University of Hawai‘i Press.

Callicott, J. B., & McRae, J. (Eds.). (2014). Environmental philosophy in Asian traditions of thought. Albany, NY: State University of New York Press.

Ching, J. (1993). Chinese religions. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Graham, A. C. (1989). Disputers of the Tao: Philosophical argument in ancient China. La Salle, IL: Open Court.

Goossaert, V., & Palmer, D. A. (2011). The religious question in modern China. Chicago: University of Chicago Press.

Hansen, C. (1992). A Daoist theory of Chinese thought: A philosophical interpretation. New York: Oxford University Press.

Hoff, B. (1982). The Tao of Pooh. New York: Penguin Books.

Kohn, L. (2001). Daoism and Chinese culture. Cambridge, MA: Three Pines Press.

Laozi. (1963). Dao De Jing (D. C. Lau, Trans.). London: Penguin Books. (Original work published ca. 6th century BCE)

Michael, T. (2005). The way of complete perfection: A Quanzhen Daoist anthology. Berkeley: University of California Press.

Miller, J. (2017). China’s green religion: Daoism and the quest for a sustainable future. New York: Columbia University Press.

Needham, J. (1956). Science and civilisation in China, Vol. 2. Cambridge: Cambridge University Press.

Owen, S. (1981). The great age of Chinese poetry: The High T’ang. New Haven, CT: Yale University Press.

Palmer, D. A. (2007). Qigong fever: Body, science and utopia in China. New York: Columbia University Press.

Pregadio, F. (1993). The Taoist body. Berkeley: University of California Press.

Pregadio, F. (Ed.). (2008). The encyclopedia of Taoism. London: Routledge.

Robinet, I. (1997). Taoism: Growth of a religion (P. Brooks, Trans.). Stanford, CA: Stanford University Press.

Roth, H. D. (2000). Taoism in the West. In L. Kohn (Ed.), Daoism handbook (pp. 789–800). Leiden: Brill.

Schipper, K. (1993). The Taoist body (K. C. Duval, Trans.). Berkeley: University of California Press.

Sivin, N. (1987). Traditional medicine in contemporary China. Ann Arbor, MI: Center for Chinese Studies, University of Michigan.

Sivin, N. (1988). Science and civilisation in China, Vol. 5, Part 5: Chemistry and chemical technology. Cambridge: Cambridge University Press.

Watts, A. (1975). Tao: The watercourse way. New York: Pantheon Books.

Watson, B. (Trans.). (2003). Xunzi: Basic writings. New York: Columbia University Press.

Ziporyn, B. (Trans.). (2009). Zhuangzi: The essential writings. Indianapolis: Hackett Publishing.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar