Jumat, 07 November 2025

Filsafat Skolastik: Sintesis Rasionalitas dan Teologi dalam Tradisi Pemikiran Abad Pertengahan

Filsafat Skolastik

Sintesis Rasionalitas dan Teologi dalam Tradisi Pemikiran Abad Pertengahan


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif perkembangan, struktur konseptual, dan relevansi kontemporer Filsafat Skolastik sebagai tradisi rasional-teologis yang berupaya mensintesiskan antara iman dan rasio, wahyu dan akal budi. Melalui pendekatan historis-filosofis, kajian ini menelusuri akar genealogis Skolastisisme sejak masa Patristik, pengaruh filsafat Yunani dan Islam, hingga puncak sistematikanya dalam pemikiran Thomas Aquinas, Bonaventura, dan Duns Scotus. Secara ontologis, Skolastisisme memandang realitas sebagai tatanan hierarkis yang berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan (actus essendi), sedangkan secara epistemologis ia menegaskan harmoni antara pengetahuan inderawi dan iluminasi ilahi. Pada tataran aksiologis, etika skolastik berpusat pada hukum alam (lex naturalis) dan kebajikan (virtus) yang mengarahkan manusia menuju kebaikan tertinggi (Summum Bonum).

Artikel ini juga menyoroti dimensi teologis-metafisis skolastik yang memandang filsafat sebagai ancilla theologiae—pelayan teologi yang membantu menjelaskan wahyu melalui argumen rasional. Kritik terhadap skolastisisme dari nominalisme, humanisme Renaisans, dan rasionalisme modern diulas untuk memperlihatkan transformasinya menuju Neo-Thomisme sebagai bentuk revitalisasi modern. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa warisan skolastik tetap relevan dalam konteks kontemporer—baik dalam etika publik, filsafat ilmu, maupun dialog antara agama dan sains. Sintesis filosofis skolastik memperlihatkan model rasionalitas yang integratif dan transenden: rasionalitas yang mencari bukan hanya pengetahuan, tetapi kebijaksanaan (sapientia). Dengan demikian, Filsafat Skolastik tidak berhenti sebagai artefak sejarah, melainkan tetap hidup sebagai paradigma pemikiran yang menyatukan akal, iman, dan etika dalam satu horizon kebenaran.

Kata Kunci: Filsafat Skolastik, Thomas Aquinas, iman dan rasio, hukum alam, metafisika partisipatif, etika kebajikan, Neo-Thomisme, rasionalitas transenden, fides quaerens intellectum, teleologi moral.

 


PEMBAHASAN

Struktur Epistemologis dan Orientasi Teologis Skolastisisme


1.           Pendahuluan

Filsafat Skolastik merupakan salah satu puncak perkembangan rasionalitas sistematis dalam sejarah pemikiran Barat, yang berusaha memadukan antara wahyu ilahi dan rasio manusia. Istilah scholasticus sendiri berasal dari bahasa Latin schola, yang berarti “sekolah,” menunjukkan bahwa tradisi ini berakar pada institusi pendidikan abad pertengahan seperti universitas dan biara di Eropa Barat. Dalam konteks sejarah intelektual, skolastisisme bukan sekadar corak berpikir teologis, melainkan sebuah metode argumentatif yang bertujuan mengintegrasikan iman dan pengetahuan rasional melalui kerangka logika Aristoteles dan doktrin teologi Kristen.¹

Kemunculan Filsafat Skolastik dapat dipahami sebagai hasil dialektika panjang antara tradisi keagamaan dan rasionalitas filsafat Yunani. Setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat, pengetahuan Yunani kuno terpelihara melalui dunia Islam dan Bizantium, lalu masuk kembali ke Eropa pada abad ke-12 melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles, Ibn Sina, dan Ibn Rushd.² Pengaruh tersebut melahirkan suatu “renaisans skolastik” yang mendorong para pemikir seperti Anselmus dari Canterbury, Thomas Aquinas, Bonaventura, dan Duns Scotus untuk menyusun sistem sintesis antara iman dan rasio.³ Dengan demikian, Filsafat Skolastik bukan sekadar fenomena teologis, melainkan proyek intelektual universal yang mencoba menjelaskan keteraturan kosmos melalui prinsip rasional yang selaras dengan wahyu.

Tujuan utama skolastisisme adalah mencari harmoni antara pengetahuan natural dan pengetahuan teologis. Rasio tidak dianggap sebagai lawan wahyu, tetapi sebagai instrumen untuk menafsirkan kebenaran ilahi secara sistematis.⁴ Prinsip fides quaerens intellectum (“iman yang mencari pengertian”) menjadi dasar epistemologis gerakan ini: iman menjadi awal pencarian, sedangkan akal menjadi alat untuk memperdalam dan mengartikulasikan isi iman.⁵ Oleh karena itu, metode skolastik dikembangkan melalui lectio (pembacaan teks otoritatif), quaestio (perumusan persoalan), dan disputatio (perdebatan rasional), yang bersama-sama membentuk kerangka berpikir analitis dan dialektis khas abad pertengahan.⁶

Dalam konteks sejarah filsafat, Skolastisisme memainkan peran sentral dalam melahirkan tradisi universitas modern serta membentuk dasar bagi perkembangan ilmu logika, etika, dan metafisika. Aquinas, misalnya, menyusun Summa Theologiae sebagai ensiklopedi rasional yang mencoba menjembatani antara filsafat Aristoteles dan doktrin Kristen.⁷ Skolastisisme tidak berhenti pada perdebatan metafisis tentang Tuhan dan alam, tetapi juga melahirkan konsepsi moral dan hukum alam yang menjadi fondasi bagi teori etika dan hukum modern.⁸

Meskipun pada abad ke-17 skolastisisme banyak dikritik oleh para filsuf modern seperti Descartes dan Bacon karena dianggap dogmatis dan tidak empiris, kontribusinya terhadap pembentukan rasionalitas sistematis tetap signifikan.⁹ Dalam perkembangannya, muncul gerakan Neo-Thomisme pada abad ke-19 dan ke-20 yang berupaya merevitalisasi warisan skolastik dalam menghadapi tantangan modernitas, termasuk sekularisasi dan fragmentasi pengetahuan ilmiah.¹⁰

Dengan demikian, kajian mengenai Filsafat Skolastik tidak hanya relevan secara historis, tetapi juga filosofis dan metodologis. Ia membuka pemahaman mendalam tentang cara manusia berupaya menjembatani iman dan rasio, tradisi dan modernitas, metafisika dan ilmu empiris. Artikel ini akan mengulas aspek-aspek historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, hingga relevansi kontemporer dari Filsafat Skolastik sebagai tradisi rasional-teologis yang membentuk fondasi peradaban intelektual Barat.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 12–14.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 28–31.

[3]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 22–24.

[4]                Jacques Maritain, Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 47.

[5]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 3.

[6]                David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1988), 65–68.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.2.a.3.

[8]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 34–38.

[9]                Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London: Routledge, 1993), 15.

[10]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 110–113.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Filsafat Skolastik tidak muncul secara tiba-tiba; ia merupakan hasil dari proses panjang dialektika antara warisan intelektual Yunani klasik, teologi Kristen awal, dan interaksi dengan pemikiran Islam dan Yahudi abad pertengahan. Akar historisnya dapat dilacak sejak masa Patristik (abad ke-2 hingga ke-5 M), ketika para Bapa Gereja seperti Agustinus dari Hippo mencoba merumuskan sintesis antara iman Kristen dan filsafat Platonik.¹ Agustinus memperkenalkan konsep bahwa akal tidak berdiri sendiri, melainkan berfungsi di bawah terang iman (intellectus fidei).² Inilah dasar teologis yang kelak melandasi seluruh bangunan skolastisisme: rasionalitas yang tunduk namun tidak meniadakan wahyu.

Memasuki abad pertengahan, Eropa mengalami transformasi sosial dan intelektual yang besar. Setelah periode “zaman kegelapan” (Dark Ages), muncullah kebangkitan intelektual abad ke-12 yang ditandai oleh berdirinya universitas-universitas di Paris, Bologna, dan Oxford.³ Universitas menjadi pusat dialektika dan perdebatan antara teologi, logika, dan filsafat alam. Dalam konteks inilah metode skolastik—berbasis lectio, quaestio, dan disputatio—dikembangkan untuk menjawab persoalan-persoalan mendalam tentang iman, ilmu, dan realitas.⁴

Salah satu faktor penting dalam kemunculan skolastisisme adalah penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Latin, terutama karya Aristoteles.⁵ Proyek penerjemahan besar ini terjadi berkat perantara dunia Islam di Andalusia dan Timur Tengah. Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes) tidak hanya melestarikan karya Aristoteles tetapi juga menafsirkannya secara rasional dan metafisik.⁶ Melalui karya-karya mereka, Eropa Barat mengenal kembali logika formal, metafisika, dan teori pengetahuan yang rasionalistik. Pengaruh mereka tampak kuat dalam sistem pemikiran para skolastikus, terutama Thomas Aquinas yang banyak mengutip Ibn Sina dan Ibn Rushd dalam Summa Theologiae.⁷

Pada tahap ini, dapat dikatakan bahwa Filsafat Skolastik merupakan hasil dari tiga tradisi intelektual besar: (1) teologi Kristen dari warisan Patristik, (2) filsafat Yunani, terutama Aristotelianisme, dan (3) pemikiran Islam serta Yahudi yang menjembatani transmisi intelektual.⁸ Tokoh-tokoh seperti Anselmus dari Canterbury meletakkan dasar argumentatif skolastisisme melalui argumentum ontologicum—sebuah pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan berdasarkan konsep tentang kesempurnaan.⁹ Kemudian Bonaventura mengembangkan pendekatan teologi mistik yang lebih dekat dengan Agustinus, sementara Thomas Aquinas mencapai puncak skolastisisme dengan membangun sintesis antara iman dan akal melalui sistem metafisika Aristotelian.¹⁰

Di sisi lain, Duns Scotus dan William of Ockham memperkenalkan corak baru yang menandai pergeseran dalam skolastisisme. Scotus menekankan konsep haecceitas (keunikkan individual), sedangkan Ockham dengan nominalismenya menolak realisme universal dan menegaskan otonomi empiris pengetahuan.¹¹ Transformasi ini menjadi awal disintegrasi sistem skolastik klasik dan membuka jalan menuju rasionalisme modern.¹²

Dengan demikian, secara genealogis, Filsafat Skolastik dapat dipahami sebagai jaringan tradisi intelektual yang saling mempengaruhi lintas budaya dan agama. Ia lahir dari pertemuan antara logos Yunani, wahyu Kristen, dan rasionalisme Islam, menjadikannya salah satu tonggak paling penting dalam sejarah dialog antarperadaban.¹³ Tradisi skolastik bukan hanya cerminan abad pertengahan, tetapi juga warisan universal yang membentuk wajah epistemologi dan metodologi filsafat Barat hingga modernitas.


Footnotes

[1]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 241–244.

[2]                Étienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 52.

[3]                Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 45–49.

[4]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 30–33.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 65.

[6]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 17–19.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.44.a.1.

[8]                Richard Southern, Scholastic Humanism and the Unification of Europe, Vol. 1 (Oxford: Blackwell, 1995), 21–25.

[9]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 4–5.

[10]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 79–83.

[11]             John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B. Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2004), II.d.3.q.1.

[12]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 88–90.

[13]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 115–118.


3.           Ontologi Skolastik

Ontologi dalam Filsafat Skolastik berpusat pada pertanyaan fundamental mengenai ens (ada) dan relasinya dengan Tuhan sebagai Ens Perfectissimum—wujud yang paling sempurna dan penyebab pertama dari segala sesuatu.¹ Pemikiran skolastik tentang keberadaan tidak sekadar bersifat metafisis abstrak, tetapi juga teologis, karena seluruh struktur realitas dipahami sebagai pancaran dari sumber keberadaan yang mutlak, yaitu Tuhan.² Ontologi skolastik, dengan demikian, bukanlah metafisika yang otonom, melainkan metafisika yang disinari oleh teologi.

Dalam kerangka skolastik, terutama pada sistem Thomas Aquinas, realitas dibangun atas dua prinsip mendasar: essentia (hakikat) dan existentia (keberadaan).³ Essentia menunjukkan apa sesuatu itu, sedangkan existentia menunjukkan bahwa sesuatu itu ada. Pada makhluk-makhluk ciptaan, keduanya terpisah dan bergantung pada Tuhan yang merupakan actus purus—ada yang murni tanpa potensi.⁴ Dengan kata lain, hanya Tuhan yang memiliki kesatuan antara esensi dan eksistensi; seluruh makhluk lain adalah partisipasi dari keberadaan-Nya.⁵ Konsep actus essendi (tindakan mengada) ini menjadi inti dari metafisika eksistensialis skolastik yang menandai perbedaan mendasar antara teologi klasik dan rasionalisme modern.⁶

Selain struktur esensial-eksistensial, skolastisisme juga mengembangkan teori hylomorfisme Aristotelian, yakni bahwa setiap entitas material tersusun dari dua prinsip: materia prima (materi pertama) dan forma substantialis (bentuk substansial).⁷ Materi memberi potensi bagi keberadaan, sedangkan bentuk memberi aktualitas dan identitas. Misalnya, jiwa manusia dipahami sebagai forma corporis, bentuk substansial tubuh yang membuatnya hidup dan rasional.⁸ Hubungan ini menjelaskan bahwa realitas bersifat hierarkis—mulai dari bentuk paling rendah (materi murni) hingga yang paling tinggi (substansi immaterial atau jiwa).⁹

Ontologi skolastik juga memandang dunia sebagai tatanan yang memiliki ordo essendi, yaitu struktur keberadaan yang tertata secara hierarkis dan teleologis.¹⁰ Setiap makhluk memiliki actus proprius (tindakan khas) sesuai dengan tujuannya (telos) yang ditentukan oleh Tuhan. Dalam pandangan ini, keberadaan bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis menuju kesempurnaan.¹¹ Prinsip teleologis ini kemudian menjadi dasar bagi pemikiran etika dan teologi moral dalam skolastisisme, di mana segala sesuatu dipahami dalam orientasi menuju bonum commune (kebaikan umum) dan beatitudo (kebahagiaan tertinggi).¹²

Sementara itu, dalam perdebatan tentang universalia, para skolastikus menghadapi persoalan apakah konsep-konsep umum seperti “kemanusiaan” atau “kebaikan” memiliki realitas tersendiri di luar pikiran manusia. Realisme skolastik, yang dipertahankan oleh Aquinas dan Anselmus, menegaskan bahwa universal ada dalam tiga modus: ante rem (dalam pikiran Tuhan sebelum ciptaan), in re (dalam benda konkret sebagai bentuk), dan post rem (dalam akal manusia sebagai abstraksi).¹³ Sebaliknya, Nominalisme yang dikembangkan oleh William of Ockham menolak keberadaan realitas universal di luar bahasa dan pikiran; menurutnya, universal hanyalah flatus vocis—nama atau istilah yang memudahkan komunikasi konseptual.¹⁴ Perdebatan ini memperlihatkan dinamika antara realisme metafisik dan kecenderungan empiris dalam skolastisisme menjelang masa modern.

Ontologi skolastik juga menegaskan dimensi spiritual manusia sebagai refleksi dari Imago Dei—gambaran Tuhan dalam diri manusia.¹⁵ Jiwa dianggap immaterial, tidak tersusun dari bagian, dan bersifat abadi. Dalam pandangan Aquinas, jiwa bukanlah substansi yang berdiri sendiri, melainkan bentuk yang mengaktualkan tubuh; keduanya membentuk satu kesatuan substansial.¹⁶ Pemahaman ini menolak dualisme ekstrem Plato maupun materialisme kemudian, dan melahirkan konsep antropologi metafisik yang integral.¹⁷

Dengan demikian, ontologi skolastik membangun suatu kosmologi hierarkis di mana seluruh wujud merupakan partisipasi dari Esse Subsistens, yaitu Tuhan sendiri.¹⁸ Ia mempertemukan logika Aristoteles dengan teologi Kristen, menghasilkan sintesis antara metafisika keberadaan dan iman akan Pencipta. Melalui kerangka ini, Filsafat Skolastik tidak hanya menjelaskan “apa yang ada,” tetapi juga “mengapa ada”—yakni karena setiap eksistensi bersumber dan berorientasi pada Yang Ada Mutlak.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 34–36.

[2]                Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 12–13.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 92.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.3.a.4.

[5]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 19.

[6]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 48.

[7]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book VII, 1029a–1032b.

[8]                Thomas Aquinas, De Anima, trans. Kenelm Foster (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 15–17.

[9]                Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon, 1948), 44.

[10]             Josef Pieper, Reality and the Good (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 56–59.

[11]             Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1997), 22.

[12]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 34–36.

[13]             Anselm of Canterbury, Monologion, trans. Simon Harrison (Oxford: Oxford University Press, 1996), 21–22.

[14]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 102–104.

[15]             Augustine, The Trinity, trans. Edmund Hill (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), 101–103.

[16]             Thomas Aquinas, Quaestiones Disputatae de Anima, ed. Roberto Busa (Rome: Leonine Edition, 1959), q.1.a.2.

[17]             Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London: Routledge, 1993), 57–58.

[18]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 67–69.


4.           Epistemologi Skolastik

Epistemologi dalam Filsafat Skolastik berakar pada keyakinan bahwa kebenaran dapat dicapai melalui harmoni antara fides (iman) dan ratio (akal).¹ Skolastisisme tidak memisahkan keduanya sebagai dua sumber pengetahuan yang bertentangan, melainkan melihatnya sebagai dua jalan menuju satu kebenaran ilahi yang sama. Iman menyediakan fondasi transenden bagi akal, sementara akal berfungsi menafsirkan, memperjelas, dan memperkuat keimanan melalui argumen rasional.² Dengan demikian, epistemologi skolastik bersifat teonomis—akal tunduk pada wahyu, tetapi tidak kehilangan otonominya dalam ranah penalaran filosofis.

Secara metodologis, tradisi skolastik mengembangkan sistem berpikir yang khas, dikenal dengan metode lectio, quaestio, dan disputatioLectio adalah pembacaan dan penafsiran teks otoritatif (seperti Kitab Suci atau karya Aristoteles) yang dilakukan secara literal dan alegoris; quaestio adalah tahap problematis di mana suatu isu atau kontradiksi dirumuskan secara eksplisit; dan disputatio merupakan forum dialektis di mana argumen pro dan kontra diajukan sebelum mencapai sintesis rasional.⁴ Metode ini tidak hanya menjadi model pedagogis universitas abad pertengahan, tetapi juga menjadi paradigma berpikir sistematis yang menuntut kohesi logis, klarifikasi terminologis, dan penghargaan terhadap hierarki otoritas pengetahuan.⁵

Dalam epistemologi skolastik, peranan Aristoteles sangat besar. Teori pengetahuan yang diadopsi adalah model empiris-rasional: pengetahuan dimulai dari pengalaman inderawi (nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu)—tidak ada sesuatu pun di dalam intelek yang sebelumnya tidak ada di dalam indra.⁶ Melalui proses abstraksi, intelek manusia (intellectus agens) menafsirkan bentuk-bentuk (formae) dari data empiris dan mengubahnya menjadi konsep universal.⁷ Dengan cara ini, pengetahuan manusia bersifat progresif: dari penginderaan menuju pemahaman intelektual, dari partikular menuju universal. Namun, di atas pengetahuan rasional ini masih terdapat tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan teologis yang diperoleh melalui wahyu ilahi.⁸

Thomas Aquinas menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersifat analogis: manusia dapat mengetahui Tuhan bukan secara langsung (per essentiam), tetapi melalui ciptaan-Nya (per effectus).⁹ Artinya, akal manusia dapat menalar keberadaan Tuhan melalui tanda-tanda di alam semesta, meskipun hakikat ilahi tetap transenden dan tak terjangkau sepenuhnya.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi skolastik bersifat realis-moderat: akal manusia mampu menangkap realitas objektif, tetapi pengenalannya selalu bersifat terbatas dan bergantung pada iluminasi ilahi.¹¹

Di sisi lain, para skolastikus membedakan antara intellectus dan ratio. Intellectus menunjuk pada kemampuan intuitif yang menangkap kebenaran secara langsung dan mendalam, sedangkan ratio merujuk pada kemampuan diskursif yang menalar langkah demi langkah.¹² Anselmus dan Bonaventura lebih menekankan peranan intellectus yang diterangi oleh cahaya ilahi (lumen divinum), sedangkan Aquinas menekankan harmoni antara ratio manusiawi dan wahyu ketuhanan.¹³ Dengan demikian, epistemologi skolastik mencerminkan keseimbangan antara iluminasi mistik dan rasionalitas logis.

Sementara itu, perdebatan epistemologis dalam skolastisisme berkembang ke arah dua kutub besar. Kaum realis, seperti Aquinas, meyakini bahwa konsep-konsep universal mencerminkan struktur realitas objektif.¹⁴ Sebaliknya, kaum nominalis, seperti William of Ockham, menolak keberadaan universal di luar pikiran; bagi mereka, pengetahuan manusia hanya berurusan dengan entitas individual, dan bahasa hanyalah konvensi untuk mengelompokkan pengalaman.¹⁵ Pergeseran ini menandai awal munculnya empirisme modern dan penekanan pada otonomi subjek dalam proses pengetahuan.

Epistemologi skolastik juga memiliki dimensi teologis yang mendalam. Pengetahuan sejati tidak berhenti pada tataran konseptual, melainkan bermuara pada sapientia—kebijaksanaan yang menyatukan pengetahuan dan kasih.¹⁶ Tujuan akhir pengetahuan bukan hanya mengetahui kebenaran, tetapi juga mengarahkan manusia kepada kebaikan dan kesempurnaan moral.¹⁷ Dengan demikian, epistemologi skolastik berfungsi sebagai jembatan antara penalaran filosofis dan kontemplasi spiritual, antara ilmu dan iman, antara kognisi dan moralitas.

Secara keseluruhan, epistemologi skolastik menggambarkan suatu model rasionalitas yang integratif, di mana akal manusia berperan aktif dalam memahami dunia, tetapi tetap sadar akan keterbatasannya di hadapan misteri ilahi.¹⁸ Tradisi ini menolak baik skeptisisme ekstrem maupun dogmatisme buta, dan justru menegaskan bahwa kebenaran harus dicari melalui dialog antara rasio dan wahyu.¹⁹ Dengan semangat fides quaerens intellectum, Filsafat Skolastik membentuk fondasi bagi tradisi pengetahuan Barat yang terus mempengaruhi filsafat, teologi, dan bahkan sains hingga masa modern.²⁰


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 75–78.

[2]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 5–7.

[3]                David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1988), 92.

[4]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 41–43.

[5]                Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 57–59.

[6]                Aristotle, De Anima, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book II, 417b–419a.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.84.a.6.

[8]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 117.

[9]                Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I.13.

[10]             W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 63.

[11]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 85–87.

[12]             Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum, trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. I.

[13]             Thomas Aquinas, De Veritate, trans. Robert W. Mulligan (Chicago: Henry Regnery, 1952), q.10.a.8.

[14]             Ralph McInerny, Aquinas and Analogy (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1996), 34.

[15]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 121–124.

[16]             Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 79.

[17]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 128.

[18]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 51–53.

[19]             John F. Wippel, The Metaphysical Thought of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2000), 214.

[20]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 103–105.


5.           Aksiologi dan Etika Skolastik

Aksiologi dalam Filsafat Skolastik berpangkal pada pemahaman bahwa kebaikan (bonum) bersumber dari keteraturan metafisis realitas yang berpuncak pada Tuhan sebagai Summum Bonum—kebaikan tertinggi dan tujuan akhir segala sesuatu.¹ Dalam kerangka ini, nilai moral bukanlah hasil konstruksi subjektif manusia, tetapi bagian inheren dari struktur kosmos yang diciptakan Tuhan dengan rasio dan tujuan.² Karena itu, etika skolastik bersifat teleologis: segala tindakan manusia memiliki arah menuju kesempurnaan atau beatitudo, yakni kebahagiaan sejati yang hanya dapat ditemukan dalam persatuan dengan Sang Pencipta.³

Thomas Aquinas, sebagai representasi utama etika skolastik, membangun sistem moral yang berpijak pada hukum alam (lex naturalis) sebagai partisipasi rasional manusia terhadap hukum kekal Tuhan (lex aeterna).⁴ Melalui akal budi, manusia dapat mengenali kebaikan-kebaikan dasar (bona humana) seperti kehidupan, pengetahuan, dan komunitas sosial sebagai bagian dari tujuan kodratinya.⁵ Dengan demikian, hukum moral tidak bergantung pada kehendak sewenang-wenang, melainkan pada rasionalitas yang tertanam dalam ciptaan. Etika ini bersifat rasional dan universal, karena setiap manusia memiliki akses pada hukum alam melalui akalnya.⁶

Bagi Aquinas, kehendak manusia (voluntas humana) diarahkan kepada kebaikan, tetapi kebebasan (liberum arbitrium) memungkinkannya memilih antara kebaikan yang sejati dan yang semu.⁷ Kebebasan bukan berarti kebebasan dari hukum, melainkan kebebasan dalam keterarahan terhadap kebaikan yang sejati. Dalam hal ini, kehendak manusia selalu berada dalam relasi dengan rasio praktis (ratio practica) yang menimbang tujuan moral dari suatu tindakan.⁸ Oleh sebab itu, dosa bukanlah pelanggaran terhadap kehendak Tuhan semata, tetapi penyimpangan rasionalitas manusia dari tatanan natural yang telah ditetapkan.⁹

Sistem etika skolastik juga menekankan pentingnya virtue ethics—etika kebajikan—yang berakar pada tradisi Aristoteles namun disempurnakan oleh dimensi teologis.¹⁰ Kebajikan (virtus) adalah kebiasaan moral yang menuntun kehendak manusia untuk bertindak selaras dengan akal.¹¹ Dalam tradisi ini dikenal tiga kebajikan teologis (virtutes theologicae): iman (fides), harapan (spes), dan kasih (caritas), yang melampaui akal dan mengarahkan manusia langsung kepada Tuhan.¹² Selain itu, terdapat empat kebajikan kardinal (virtutes cardinales): kebijaksanaan (prudentia), keadilan (iustitia), keberanian (fortitudo), dan penguasaan diri (temperantia), yang mengatur dimensi moral kehidupan duniawi.¹³ Sinergi antara kebajikan teologis dan kardinal menjadikan moralitas skolastik bersifat integral, meliputi rasio, kehendak, dan afeksi.

Konsep caritas atau kasih menjadi puncak dari seluruh tatanan nilai skolastik.¹⁴ Kasih bukan sekadar emosi, tetapi tindakan rasional yang berakar pada kebaikan objektif. Dalam pandangan Aquinas, kasih adalah bentuk tertinggi kebajikan karena mengarahkan semua tindakan manusia kepada Tuhan dan sesama sebagai refleksi dari kasih ilahi.¹⁵ Dengan demikian, moralitas tidak hanya menuntut ketaatan, tetapi juga transformasi batiniah melalui partisipasi dalam cinta ilahi yang memurnikan kehendak.

Aksiologi skolastik juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Karena manusia adalah makhluk rasional dan sosial, tindakan moral tidak dapat dipisahkan dari kehidupan komunitas.¹⁶ Konsep bonum commune (kebaikan bersama) menjadi prinsip etis-politik yang mendasari pandangan skolastik tentang keadilan sosial.¹⁷ Kebaikan bersama tidak berarti meniadakan individu, tetapi mengarahkan setiap individu untuk berkontribusi pada tatanan sosial yang mencerminkan harmoni kosmik.¹⁸ Etika skolastik menolak egoisme dan relativisme moral, serta menegaskan bahwa kebebasan sejati terwujud ketika manusia hidup sesuai dengan kodrat rasionalnya sebagai citra Tuhan (imago Dei).¹⁹

Dalam konteks kontemporer, etika skolastik tetap relevan karena menawarkan landasan moral yang rasional dan universal dalam menghadapi krisis nilai modern.²⁰ Di tengah relativisme dan hedonisme, prinsip hukum alam dan teleologi skolastik memberikan arah etik yang stabil dan berakar pada martabat manusia.²¹ Neo-Thomisme abad ke-20 menghidupkan kembali nilai-nilai ini dalam diskursus etika publik, bioetika, dan filsafat hukum, menegaskan bahwa rasionalitas moral tidak dapat dilepaskan dari orientasi pada kebaikan transenden.²²

Secara keseluruhan, aksiologi dan etika skolastik menegaskan bahwa moralitas tidak terletak pada subjektivitas kehendak, melainkan pada partisipasi manusia dalam tatanan kebaikan yang rasional dan ilahi.²³ Etika ini menghubungkan rasio dan iman, individu dan masyarakat, serta kebebasan dan tanggung jawab dalam satu kesatuan organik. Melalui orientasi pada Summum Bonum, etika skolastik menghadirkan visi moral yang menyatukan intelek, kehendak, dan kasih sebagai jalan menuju kesempurnaan manusia.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 153–156.

[2]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues: Prudence, Justice, Fortitude, Temperance (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 9.

[3]                Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 142.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II.q.91.a.2.

[5]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 33–37.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 132–135.

[7]                Thomas Aquinas, De Veritate, trans. Robert W. Mulligan (Chicago: Henry Regnery, 1952), q.24.a.1.

[8]                Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1997), 48–50.

[9]                Josef Pieper, The Concept of Sin (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 19–21.

[10]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), II.6–7.

[11]             Aquinas, Summa Theologiae, I-II.q.55.a.4.

[12]             Ibid., I-II.q.62.a.3.

[13]             Pieper, The Four Cardinal Virtues, 15–18.

[14]             Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 1984), XIX.17.

[15]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II.q.23.a.8.

[16]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 181–184.

[17]             Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 45–47.

[18]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 221.

[19]             Josef Pieper, Fortitude and Temperance (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1955), 27–29.

[20]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 142–145.

[21]             John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §44–47.

[22]             Yves R. Simon, The Tradition of Natural Law: A Philosopher’s Reflections (New York: Fordham University Press, 1965), 59–61.

[23]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 112–114.


6.           Dimensi Teologis dan Metafisis

Dimensi teologis dan metafisis Filsafat Skolastik berfungsi sebagai jantung konseptual yang menghubungkan iman dengan pengetahuan rasional. Dalam tradisi ini, filsafat dan teologi tidak dipahami sebagai dua disiplin yang terpisah secara mutlak, melainkan sebagai dua tingkat refleksi terhadap realitas yang sama.¹ Filsafat bertugas menelaah struktur realitas melalui akal (ratio), sedangkan teologi menafsirkannya dalam terang wahyu (revelatio). Oleh karena itu, para pemikir skolastik seperti Anselmus, Bonaventura, dan Thomas Aquinas memandang filsafat sebagai ancilla theologiae—pelayan bagi teologi—yang membantu menjelaskan kebenaran iman secara rasional tanpa meniadakan misteri ilahi.²

Anselmus dari Canterbury, dalam Proslogion, menegaskan prinsip fides quaerens intellectum (“iman yang mencari pengertian”), yaitu bahwa iman menjadi titik berangkat bagi penalaran metafisis.³ Bagi Anselmus, akal bukan sarana untuk menggantikan iman, melainkan instrumen untuk menegaskan kebenaran yang telah diimani. Ia mengembangkan argumentum ontologicum, pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan berdasarkan konsep tentang kesempurnaan mutlak: “Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar daripada yang dapat dipikirkan.”⁴ Argumen ini menunjukkan hubungan langsung antara pemikiran metafisis dan iman teologis—suatu upaya membangun jembatan antara rasio dan wahyu dalam kesatuan epistemologis.

Thomas Aquinas kemudian menyempurnakan sintesis ini dengan menyusun metafisika teologis yang lebih sistematis. Menurut Aquinas, Tuhan adalah actus purus—wujud murni tanpa potensi—yang menjadi sebab pertama (causa prima) dari segala sesuatu.⁵ Semua keberadaan (ens) yang lain merupakan partisipasi dalam Esse Subsistens (Keberadaan Mutlak), sehingga tidak ada sesuatu pun yang ada kecuali karena partisipasi dalam keberadaan Tuhan.⁶ Konsep ini membentuk dasar dari metafisika partisipatif skolastik: segala realitas bergantung ontologis pada Sang Pencipta.⁷ Dengan demikian, metafisika tidak berhenti pada deskripsi struktur realitas, melainkan berfungsi sebagai teologi rasional yang mengantar akal menuju pengenalan akan Tuhan.⁸

Dalam sistem Aquinas, hubungan antara teologi dan metafisika diatur oleh hierarki kebenaran. Kebenaran wahyu bersifat lebih tinggi karena berasal langsung dari Tuhan, tetapi tidak bertentangan dengan kebenaran rasional yang dicapai melalui filsafat.⁹ Sebaliknya, wahyu menyempurnakan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal karena keterbatasannya.¹⁰ Dengan demikian, metafisika menjadi sarana bagi teologi untuk menafsirkan dunia secara rasional, sementara teologi memberikan orientasi transenden bagi metafisika agar tidak terjerumus ke dalam naturalisme atau skeptisisme.¹¹

Dimensi metafisis skolastik juga terlihat dalam analisis tentang causality dan contingency. Aquinas mengembangkan quinque viae (lima jalan) sebagai pembuktian rasional keberadaan Tuhan: melalui gerak, sebab-akibat, kontingensi, derajat kesempurnaan, dan tatanan tujuan alam.¹² Semua argumen tersebut berakar pada prinsip bahwa dunia bersifat kontingen dan memerlukan penyebab pertama yang niscaya.¹³ Tuhan, sebagai ipsum esse subsistens, adalah sumber dari seluruh keberadaan dan tatanan kosmos.¹⁴ Dengan demikian, teologi skolastik bukan semata kepercayaan dogmatis, melainkan suatu penalaran metafisis yang berakar pada realitas yang dapat diselidiki oleh akal.¹⁵

Bonaventura, di sisi lain, menekankan dimensi iluminatif dari pengetahuan metafisis. Ia berpendapat bahwa semua pengetahuan sejati diperoleh melalui lumen divinum—cahaya ilahi yang menerangi akal manusia.¹⁶ Bagi Bonaventura, Tuhan bukan hanya tujuan akhir pengetahuan, melainkan juga kondisi kemungkinannya. Tanpa partisipasi dalam terang ilahi, akal tidak akan mampu memahami kebenaran universal.¹⁷ Dengan demikian, metafisika skolastik memiliki dua corak yang saling melengkapi: via analytica (jalan rasional) dari Aquinas dan via mystica (jalan kontemplatif) dari Bonaventura.¹⁸

Selain itu, dimensi teologis skolastik mengandung pandangan kosmologis yang integral. Dunia dipahami sebagai ciptaan yang rasional (ordo rerum), di mana setiap makhluk menempati posisinya dalam hierarki wujud.¹⁹ Alam semesta tidak bersifat otonom, melainkan manifestasi dari rasionalitas ilahi yang mengatur segala sesuatu secara teleologis.²⁰ Pandangan ini menegaskan bahwa realitas memiliki makna teologis yang inheren, sehingga studi tentang alam sekaligus merupakan jalan menuju pengenalan akan Tuhan.²¹

Dalam konteks antropologi teologis, manusia dipandang sebagai imago Dei—gambaran Tuhan—yang memiliki kemampuan rasional dan kebebasan moral.²² Jiwa manusia adalah substansi immaterial yang memiliki keabadian karena berasal dari Tuhan dan ditujukan untuk kembali kepada-Nya.²³ Hubungan antara Tuhan dan manusia dalam skolastisisme bersifat partisipatif, bukan identik: manusia tidak menjadi Tuhan, tetapi mengambil bagian dalam keberadaan dan kebaikan-Nya melalui akal, kebajikan, dan kasih.²⁴

Dengan demikian, dimensi teologis dan metafisis Filsafat Skolastik menampilkan suatu kesatuan yang harmonis antara rasio dan iman, metafisika dan wahyu, dunia dan transendensi.²⁵ Dalam sintesis ini, Tuhan bukan sekadar objek kepercayaan, tetapi juga dasar ontologis dan epistemologis dari seluruh realitas.²⁶ Filsafat dan teologi saling menopang, membentuk sistem pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan mengapa sesuatu ada, tetapi juga untuk apa segala sesuatu ada—yakni demi mencapai kebenaran, kebaikan, dan kesempurnaan di dalam Tuhan sebagai tujuan akhir segala yang ada.²⁷


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 91–94.

[2]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 52.

[3]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 3.

[4]                Ibid., 5–6.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.3.a.1.

[6]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 110.

[7]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 24–26.

[8]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 134–137.

[9]                Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I.7.

[10]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 66.

[11]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 121–123.

[12]             Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.

[13]             Ralph McInerny, Aquinas and Analogy (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1996), 51–54.

[14]             John F. Wippel, The Metaphysical Thought of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2000), 188.

[15]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 45–47.

[16]             Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum, trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. I.

[17]             Ibid., ch. VI.

[18]             Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 209–211.

[19]             Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 62.

[20]             Pieper, Reality and the Good (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 58–60.

[21]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 131–133.

[22]             Augustine, The Trinity, trans. Edmund Hill (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), 103–106.

[23]             Thomas Aquinas, Quaestiones Disputatae de Anima, ed. Roberto Busa (Rome: Leonine Edition, 1959), q.1.a.2.

[24]             Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 23–25.

[25]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 150–153.

[26]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 98.

[27]             Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 84–86.


7.           Kritik dan Transformasi Skolastik

Filsafat Skolastik, meskipun memainkan peran monumental dalam pembentukan rasionalitas Barat abad pertengahan, tidak luput dari kritik dan transformasi mendalam. Sejak akhir abad ke-13, muncul berbagai ketegangan internal dalam tradisi skolastik yang kemudian memicu pergeseran epistemologis dan metafisis besar dalam sejarah pemikiran Eropa.¹ Kritik terhadap skolastisisme tidak hanya datang dari luar (para rasionalis dan empiris modern), tetapi juga dari dalam tradisi itu sendiri—yakni dari para pemikir yang menilai bahwa sistem skolastik telah kehilangan vitalitas filosofisnya dan terlalu terikat pada formalisme teologis.²

Salah satu sumber awal transformasi skolastik muncul dari perdebatan antara realisme dan nominalisme.³ Para realis seperti Thomas Aquinas berpendapat bahwa konsep universal memiliki realitas ontologis di luar pikiran manusia (universalia in re), sementara kaum nominalis seperti William of Ockham menegaskan bahwa universal hanyalah nama (flatus vocis) yang tidak memiliki keberadaan independen.⁴ Pergeseran ke arah nominalisme ini membawa implikasi epistemologis besar: kebenaran tidak lagi dipandang sebagai partisipasi dalam tatanan realitas ilahi, tetapi sebagai hasil dari konstruksi linguistik dan empiris manusia.⁵ Dari sinilah lahir benih empirisme dan individualisme modern yang menandai runtuhnya kosmologi hierarkis skolastik.⁶

Selain itu, munculnya via moderna (“jalan baru”) menandai peralihan dari sistem metafisika universal menuju penekanan pada pengalaman partikular dan kehendak bebas.⁷ John Duns Scotus, misalnya, menekankan konsep haecceitas—keunikkan individual setiap entitas—yang menolak pandangan bahwa realitas sepenuhnya dapat dijelaskan melalui kategori universal.⁸ Bagi Scotus, kehendak Tuhan bersifat otonom dan tidak sepenuhnya dapat ditangkap oleh rasio, sehingga hukum moral tidak semata deduksi rasional dari hakikat ilahi, melainkan ekspresi kehendak bebas Tuhan.⁹ Pemikiran ini memperkenalkan nuansa voluntaristik yang kelak berpengaruh pada teologi Reformed dan etika modern.¹⁰

Kritik terhadap skolastisisme juga berkembang di masa Renaisans dan Reformasi. Humanisme Renaisans, yang diwakili oleh tokoh seperti Erasmus dan Petrarca, menolak kecenderungan skolastik untuk mengandalkan argumentasi silogistik yang kaku dan menjauh dari pengalaman manusiawi.¹¹ Mereka menuntut kembalinya filsafat pada studia humanitatis—penyelidikan terhadap manusia, bahasa, dan moralitas praktis.¹² Sementara itu, Reformasi Protestan yang dipelopori Martin Luther mengecam skolastisisme karena dianggap menundukkan iman kepada rasio Aristotelian.¹³ Luther menyebut sistem skolastik sebagai “menara Babel” yang mengaburkan kesederhanaan Injil dan menggantikan kebergantungan kepada anugerah dengan spekulasi logis yang dingin.¹⁴

Pada abad ke-17, kritik terhadap skolastisisme mencapai puncaknya melalui filsafat modern. René Descartes, misalnya, menolak metodologi skolastik yang berbasis pada otoritas teks dan silogisme, menggantinya dengan metode keraguan radikal sebagai dasar kepastian epistemologis.¹⁵ Dengan semboyannya cogito ergo sum, Descartes memindahkan pusat epistemologi dari Tuhan kepada subjek yang berpikir.¹⁶ Begitu pula Francis Bacon, dengan empirismenya, menentang metafisika skolastik yang dianggap steril dan tidak produktif bagi ilmu pengetahuan alam.¹⁷ Ia menuntut filsafat untuk berpaling pada observasi dan eksperimentasi, bukan pada deduksi logis dari prinsip apriori.¹⁸ Akibatnya, dunia modern beralih dari struktur realitas teologis-metafisis menuju paradigma ilmiah yang bersifat mekanistik dan sekuler.¹⁹

Namun, tidak semua kritik berujung pada penolakan total terhadap skolastisisme. Di abad ke-19 dan ke-20, muncul gerakan Neo-Thomisme yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Jacques Maritain, Étienne Gilson, dan Josef Pieper.²⁰ Gerakan ini berupaya merehabilitasi nilai-nilai skolastik, terutama pemikiran Thomas Aquinas, sebagai dasar dialog antara iman dan rasio dalam konteks modern.²¹ Mereka menekankan bahwa skolastisisme bukan sistem tertutup, melainkan tradisi intelektual yang dapat diperbarui sesuai perkembangan zaman.²² Neo-Thomisme menegaskan kembali pentingnya metafisika keberadaan (esse) dan hukum alam (lex naturalis) dalam menghadapi relativisme moral, positivisme ilmiah, dan sekularisme filosofis abad modern.²³

Transformasi skolastik juga menimbulkan dampak pada perkembangan sains dan filsafat politik.²⁴ Rasionalitas sistematis yang diwarisi dari metode skolastik menjadi fondasi bagi logika ilmiah dan metode universitas modern.²⁵ Sementara itu, pandangan skolastik tentang hukum alam mengilhami teori hak asasi manusia dan konsep hukum kodrat dalam tradisi hukum Barat.²⁶ Bahkan kritik terhadap skolastisisme, baik dari Bacon maupun Descartes, sebenarnya membuktikan bahwa sistem skolastik menjadi “latar epistemologis” yang harus dilampaui untuk mencapai modernitas.²⁷

Dengan demikian, kritik dan transformasi terhadap Filsafat Skolastik merupakan proses dialektis yang memperkaya sejarah pemikiran manusia.²⁸ Skolastisisme tidak mati, melainkan berevolusi—dari teologi abad pertengahan menjadi inspirasi bagi dialog antara iman dan ilmu, rasio dan moralitas, metafisika dan sains modern.²⁹ Tradisi ini menunjukkan bahwa setiap sistem filsafat yang hidup harus mampu menanggung kritik, menyesuaikan diri, dan menemukan bentuk baru tanpa kehilangan substansinya.³⁰


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 101–104.

[2]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 72–73.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 218–220.

[4]                Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 91–94.

[5]                Richard Southern, Scholastic Humanism and the Unification of Europe, Vol. 2 (Oxford: Blackwell, 2001), 33–36.

[6]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 257.

[7]                Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 255–258.

[8]                John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B. Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2004), II.d.3.q.2.

[9]                Allan Wolter, The Transcendentals and Their Function in the Metaphysics of Duns Scotus (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 1946), 45–48.

[10]             Pieper, Reality and the Good (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 61.

[11]             Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 12–15.

[12]             Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness: Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 87.

[13]             Heiko A. Oberman, The Harvest of Medieval Theology (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1963), 102–105.

[14]             Martin Luther, Disputation Against Scholastic Theology (1517), Thesis 50–52.

[15]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[16]             Étienne Gilson, Descartes and Philosophy (New York: Random House, 1967), 22–24.

[17]             Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach and John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), I. Aphorism 19.

[18]             Steven Shapin, The Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 42–43.

[19]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 201–203.

[20]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 176–179.

[21]             Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 145–147.

[22]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 49–51.

[23]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 42–44.

[24]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 157–159.

[25]             Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 78.

[26]             Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural Law and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1997), 95–98.

[27]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 110–112.

[28]             Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 90–92.

[29]             Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 53–55.

[30]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 204–206.


8.           Relevansi Kontemporer

Filsafat Skolastik, meskipun berakar pada Abad Pertengahan, tetap memiliki relevansi yang mendalam dalam konteks pemikiran kontemporer. Di tengah krisis epistemologis dan moral yang dihadapi dunia modern—yang ditandai oleh relativisme, sekularisme, dan fragmentasi pengetahuan—tradisi skolastik menawarkan paradigma integratif yang menyeimbangkan antara rasio dan iman, ilmu dan nilai, metafisika dan empirisme.¹ Dalam dunia yang cenderung menolak fondasi metafisis, warisan skolastik menjadi pengingat bahwa rasionalitas sejati tidak hanya bertujuan menjelaskan dunia, tetapi juga menempatkannya dalam tatanan makna yang transenden.²

Salah satu bentuk aktualisasi Skolastisisme di era modern adalah kebangkitan Neo-Thomisme, terutama setelah ensiklik Aeterni Patris (1879) yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII.³ Gerakan ini berupaya mengembalikan pemikiran Thomas Aquinas sebagai dasar bagi dialog antara iman dan ilmu pengetahuan modern. Neo-Thomisme menegaskan bahwa prinsip-prinsip metafisika skolastik—seperti actus essendi, causa prima, dan hukum alam—tetap relevan untuk memahami persoalan manusia kontemporer: dari krisis moral hingga problem sains dan teknologi.⁴ Dengan kerangka ini, Skolastisisme menjadi landasan bagi etika normatif yang tidak terjebak dalam relativisme, sekaligus bagi epistemologi yang menghargai realitas objektif di tengah konstruktivisme sosial modern.⁵

Dalam bidang etika dan filsafat moral, Skolastisisme menawarkan solusi bagi kekosongan normatif yang ditinggalkan oleh etika utilitarian dan deontologis modern.⁶ Konsep hukum alam (lex naturalis) memberikan fondasi rasional bagi moralitas yang bersifat universal tanpa harus bergantung pada dogma agama tertentu.⁷ Prinsip bahwa “hukum moral tertanam dalam kodrat manusia” membuka ruang bagi dialog etika lintas budaya dan agama.⁸ Dalam konteks globalisasi dan pluralisme nilai, pandangan ini memberi dasar bagi ethics of common good—etika kebaikan bersama—yang menyeimbangkan hak individu dengan tanggung jawab sosial.⁹

Relevansi lain dari Skolastisisme tampak dalam dialog antara teologi dan sains modern. Metafisika skolastik menolak dikotomi antara dunia spiritual dan dunia material; sebaliknya, ia menegaskan bahwa hukum-hukum alam adalah bagian dari rasionalitas ilahi yang dapat diselidiki oleh manusia.¹⁰ Pendekatan ini memberi dasar bagi pandangan kosmos yang sakral, di mana pengetahuan ilmiah tidak meniadakan iman, tetapi memperluas pemahaman tentang keteraturan ciptaan.¹¹ Dalam konteks filsafat ilmu, konsep ordo essendi (tatanan keberadaan) dan causa finalis (tujuan) dari Skolastisisme memberikan kritik terhadap reduksionisme materialistik yang mendominasi sains modern.¹²

Selain itu, dalam ranah politik dan sosial, prinsip-prinsip aksiologis Skolastik seperti bonum commune (kebaikan bersama), ius naturale (hak kodrati), dan virtus iustitiae (keadilan sebagai kebajikan moral) menjadi relevan kembali dalam perdebatan tentang keadilan sosial, hak asasi manusia, dan etika publik.¹³ Pemikiran Jacques Maritain, misalnya, menegaskan bahwa demokrasi sejati hanya dapat bertahan bila berakar pada pandangan tentang martabat manusia yang bersumber dari hukum alam dan keteraturan moral objektif.¹⁴ Prinsip ini membentuk dasar konseptual bagi Universal Declaration of Human Rights (1948), yang banyak dipengaruhi oleh tradisi Thomistik.¹⁵

Dalam bidang pendidikan, metode skolastik—lectio, quaestio, disputatio—masih relevan sebagai model pedagogi yang menumbuhkan berpikir kritis, logika argumentatif, dan integrasi pengetahuan.¹⁶ Di era digital yang cenderung instan dan dangkal, metode ini mengajarkan disiplin intelektual dan kerendahan hati epistemik.¹⁷ Melalui debat rasional dan pencarian sintesis, pendidikan skolastik menumbuhkan karakter ilmuwan dan pemikir yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga berakar pada refleksi moral dan spiritual.¹⁸

Lebih jauh, dalam filsafat lingkungan dan etika ekologis, pandangan skolastik tentang tatanan alam sebagai refleksi dari rasionalitas ilahi memberikan dasar metafisis bagi ekologisme modern.¹⁹ Dalam perspektif ini, alam bukan sekadar sumber daya, tetapi creatio continua—ciptaan yang terus menerus berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan.²⁰ Pandangan ini menegaskan tanggung jawab manusia untuk menjaga keseimbangan kosmik dan menolak eksploitasi alam yang reduksionistik.²¹

Akhirnya, relevansi kontemporer Filsafat Skolastik terletak pada kemampuannya menawarkan sintesis di tengah krisis dualisme modern: antara iman dan akal, teori dan praktik, kebebasan dan kebenaran.²² Dalam masyarakat post-sekuler, gagasan skolastik tentang rasionalitas teonomis menjadi landasan bagi dialog baru antara agama, sains, dan filsafat.²³ Ia tidak menolak modernitas, tetapi mengoreksinya dengan menawarkan fondasi metafisis yang memungkinkan rasio untuk kembali berpihak pada kebenaran, bukan hanya pada efisiensi.²⁴ Dengan demikian, Filsafat Skolastik bukan sekadar warisan sejarah, tetapi horizon intelektual yang terus hidup dan menantang manusia modern untuk menata kembali hubungan antara pengetahuan, moralitas, dan iman.²⁵


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 201–203.

[2]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 84–86.

[3]                Leo XIII, Aeterni Patris (Rome: Libreria Editrice Vaticana, 1879), §1–5.

[4]                Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 185–188.

[5]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 92–94.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 243–245.

[7]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 50–52.

[8]                Yves R. Simon, The Tradition of Natural Law (New York: Fordham University Press, 1965), 62–65.

[9]                Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 47–50.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), II.4.

[11]             Josef Pieper, Reality and the Good (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 72–75.

[12]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 132–134.

[13]             Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural Law and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1997), 189–191.

[14]             Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 10–13.

[15]             John Witte Jr., God’s Joust, God’s Justice: Law and Religion in the Western Tradition (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2006), 221.

[16]             David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1988), 111–113.

[17]             Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 99.

[18]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 167–170.

[19]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 55–57.

[20]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.104.a.1.

[21]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §66–69.

[22]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 215–217.

[23]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 770–772.

[24]             Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 97–99.

[25]             Maritain, Integral Humanism (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1973), 145–147.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Rasionalitas Transenden dan Harmoni Iman-Rasio

Sintesis filosofis dalam tradisi Filsafat Skolastik merupakan upaya besar untuk memadukan iman dan akal dalam satu struktur rasional yang koheren, universal, dan transenden.¹ Tradisi ini tidak menempatkan akal dan iman sebagai dua prinsip yang saling meniadakan, tetapi sebagai dua aspek yang saling melengkapi dari pencarian kebenaran yang sama.² Rasio memberikan bentuk, sistematisasi, dan argumen terhadap keyakinan, sementara iman memberikan orientasi eksistensial dan makna ultimate bagi rasionalitas itu sendiri.³ Dengan demikian, Skolastisisme melahirkan suatu model rasionalitas teonomis—rasionalitas yang berpijak pada otonomi akal, tetapi tetap berakar pada sumber ilahi.

Thomas Aquinas menjadi figur sentral dalam sintesis ini.⁴ Ia mengembangkan struktur filsafat yang menghubungkan metafisika Aristoteles dengan teologi Kristen dalam kerangka harmonis antara esse (ada) dan actus essendi (tindakan mengada).⁵ Dalam pandangan Aquinas, Tuhan adalah ipsum esse subsistens—keberadaan itu sendiri yang menjadi dasar bagi seluruh realitas.⁶ Segala sesuatu yang ada merupakan partisipasi dalam keberadaan Tuhan, sehingga setiap wujud memiliki nilai dan tujuan teleologis yang menuntunnya kepada sumber ilahi.⁷ Melalui gagasan ini, Aquinas memadukan ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam sistem metafisika partisipatif: manusia mengenal kebenaran karena ia mengambil bagian dalam keberadaan yang berasal dari Tuhan.⁸

Bonaventura, di sisi lain, menambahkan unsur mistik dalam sintesis skolastik.⁹ Ia menegaskan bahwa akal, meskipun penting, tidak dapat mencapai kebenaran tertinggi tanpa iluminasi ilahi (lumen divinum).¹⁰ Pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang diterangi oleh kasih dan kontemplasi.¹¹ Dalam hal ini, Bonaventura menghadirkan keseimbangan antara via rationalis (jalan rasional) dan via mystica (jalan kontemplatif), menegaskan bahwa rasionalitas manusia hanya mencapai puncaknya ketika bersatu dengan dimensi spiritual.¹²

Sintesis filosofis skolastik juga dapat dipahami sebagai integrasi antara ordo rerum (tatanan realitas) dan ordo cognitionis (tatanan pengetahuan).¹³ Dunia dipandang sebagai struktur rasional yang mencerminkan kebijaksanaan ilahi, dan akal manusia sebagai instrumen untuk menafsirkan struktur itu.¹⁴ Oleh karena itu, bagi para skolastikus, pengetahuan bukan sekadar representasi, melainkan partisipasi dalam realitas yang lebih tinggi.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi skolastik bersifat ontologis—mengetahui berarti mengambil bagian dalam keberadaan.¹⁶

Dalam dimensi etis, sintesis skolastik menempatkan kebebasan dan moralitas dalam kerangka teleologis.¹⁷ Manusia bebas bukan karena dapat memilih secara arbitrer, tetapi karena ia dapat mengarahkan dirinya menuju kebaikan sejati yang sesuai dengan hakikat rasionalnya.¹⁸ Kebebasan yang sejati adalah partisipasi dalam hukum alam dan kehendak ilahi, bukan sekadar pelepasan dari norma eksternal.¹⁹ Dengan demikian, Skolastisisme mengintegrasikan rasionalitas praktis dengan spiritualitas moral: akal menuntun kehendak, dan kehendak meneguhkan akal dalam orientasi menuju Summum Bonum.²⁰

Secara metodologis, sintesis skolastik juga merupakan model epistemik yang menjembatani antara deduksi logis dan iluminasi metafisis.²¹ Metode quaestio dan disputatio mendorong dialog rasional yang terbuka terhadap koreksi, sekaligus tunduk pada keteraturan kebenaran objektif.²² Inilah bentuk awal dari rasionalitas kritis yang tetap terikat pada prinsip etis dan teologis.²³ Dengan cara ini, skolastisisme mempersatukan ketepatan logika dengan kedalaman spiritualitas—mengajarkan bahwa berpikir benar adalah juga bertindak benar.²⁴

Dalam konteks modern, sintesis filosofis skolastik dapat dipahami sebagai paradigma yang melampaui dikotomi klasik modernitas: antara iman dan ilmu, metafisika dan empirisme, subjek dan objek.²⁵ Neo-Thomisme abad ke-20 berupaya memperbarui sintesis ini dengan memperkenalkan konsep “rasionalitas partisipatif,” di mana akal manusia berpartisipasi dalam logos ilahi yang imanen di dunia.²⁶ Jacques Maritain menyebut pendekatan ini sebagai humanisme integral—upaya untuk memulihkan kesatuan manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan spiritual di tengah disintegrasi modernitas.²⁷

Sintesis ini juga mengandung dimensi aksiologis: kebenaran, kebaikan, dan keindahan dipandang sebagai satu kesatuan yang berpangkal pada Tuhan.²⁸ Ketiganya tidak dapat dipisahkan karena berasal dari sumber yang sama. Kebenaran memberi arah bagi pengetahuan; kebaikan mengarahkan tindakan; keindahan memurnikan pengalaman eksistensial manusia terhadap realitas.²⁹ Dengan demikian, rasionalitas skolastik adalah rasionalitas yang memuliakan kehidupan, karena ia tidak berhenti pada pengetahuan instrumental, melainkan menuntun pada transformasi moral dan spiritual.³⁰

Akhirnya, sintesis filosofis Filsafat Skolastik menunjukkan bahwa filsafat tidak sekadar mencari “penjelasan” tentang realitas, tetapi “pemahaman” yang mengandung makna etis dan teologis.³¹ Dalam dunia yang terfragmentasi oleh relativisme dan teknokrasi, warisan skolastik menghadirkan paradigma rasionalitas relasional dan partisipatif yang mengintegrasikan iman, akal, dan kasih.³² Sintesis ini menegaskan kembali visi klasik filsafat: bahwa pencarian kebenaran adalah sekaligus pencarian kebijaksanaan (sapientia)—suatu kesatuan antara mengetahui, mencintai, dan mengada.³³


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 217–219.

[2]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 91.

[3]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 7.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 210–214.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.3.a.4.

[6]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 145–148.

[7]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 34–35.

[8]                Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 152–154.

[9]                Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum, trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. II–III.

[10]             Ibid., ch. VI.

[11]             Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 102.

[12]             Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 231–233.

[13]             David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1988), 120–122.

[14]             Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1997), 63.

[15]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 174.

[16]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 118–119.

[17]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 54–55.

[18]             Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 58.

[19]             Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 20–21.

[20]             Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 177.

[21]             Knowles, The Evolution of Medieval Thought, 126–127.

[22]             Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 85.

[23]             Clarke, The One and the Many, 83.

[24]             Maritain, Integral Humanism (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1973), 119.

[25]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 225.

[26]             Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon, 1948), 68.

[27]             Jacques Maritain, Humanisme Intégral (Paris: Aubier, 1936), 94–96.

[28]             Josef Pieper, Reality and the Good (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 84–86.

[29]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 201.

[30]             Pieper, The Concept of Sin (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 29–30.

[31]             MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 260.

[32]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 774.

[33]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 126–127.


10.       Kesimpulan

Filsafat Skolastik merupakan salah satu tonggak terbesar dalam sejarah pemikiran manusia, di mana rasionalitas dan iman bersatu dalam satu horizon intelektual yang saling memperkaya.¹ Ia tidak hanya mewariskan sistem filsafat yang ketat secara logis, tetapi juga menghadirkan pandangan dunia yang menyatukan metafisika, etika, dan teologi dalam kerangka yang koheren dan hierarkis.² Dalam Skolastisisme, akal budi manusia dipandang sebagai cerminan rasionalitas ilahi, yang berfungsi bukan untuk menyaingi wahyu, melainkan untuk menyingkap keteraturan ciptaan dan partisipasi manusia di dalam kebenaran transenden.³

Sepanjang perkembangannya, Skolastisisme membuktikan dirinya bukan sekadar sistem intelektual abad pertengahan, tetapi sebuah tradisi filosofis yang memiliki daya hidup melampaui zamannya.⁴ Melalui tokoh-tokoh seperti Anselmus, Thomas Aquinas, Bonaventura, dan Duns Scotus, Skolastisisme memperlihatkan kemampuan adaptif dan reflektif terhadap persoalan-persoalan epistemologis dan metafisis.⁵ Setiap tokoh memperluas cakrawala rasionalitas manusia: Anselmus dengan argumentasi ontologisnya yang menautkan iman dan nalar; Aquinas dengan sintesis metafisika Aristotelian dan teologi Kristen; Bonaventura dengan iluminasi mistiknya; serta Scotus dengan penegasan individualitas eksistensial (haecceitas).⁶ Semua ini menegaskan bahwa Skolastisisme bukan dogma beku, melainkan tradisi reflektif yang senantiasa terbuka terhadap dialog antara akal dan wahyu.⁷

Dari sisi epistemologi, Skolastisisme menunjukkan bahwa pengetahuan sejati tidak dapat dilepaskan dari nilai dan tujuan.⁸ Kebenaran bukan sekadar korespondensi antara pikiran dan realitas (adaequatio rei et intellectus), tetapi juga partisipasi dalam rasionalitas ilahi yang menjadi dasar keberadaan.⁹ Dengan demikian, pengetahuan memiliki dimensi moral dan teologis, karena setiap penalaran yang benar pada akhirnya mengarah kepada Tuhan sebagai sumber kebenaran itu sendiri.¹⁰ Dalam hal ini, rasionalitas skolastik bukan sekadar intelektual, tetapi juga kontemplatif: berpikir adalah sekaligus berdoa, menalar adalah sekaligus mencari kesempurnaan jiwa.¹¹

Secara aksiologis, sistem etika skolastik memberikan alternatif mendalam terhadap krisis moral modern.¹² Dengan berlandaskan pada hukum alam dan teleologi moral, Skolastisisme menegaskan bahwa kebebasan manusia bukanlah kebebasan tanpa arah, melainkan kebebasan untuk mewujudkan kebaikan sejati sesuai dengan kodrat rasionalnya.¹³ Konsep virtus dan bonum commune menawarkan dasar bagi moralitas sosial yang harmonis, di mana individu dan komunitas terhubung oleh tujuan yang sama: mencapai kebahagiaan tertinggi (beatitudo) melalui kesempurnaan akal dan kasih.¹⁴ Dalam dunia kontemporer yang terfragmentasi oleh relativisme nilai dan hedonisme, prinsip-prinsip ini memberikan panduan etis yang rasional sekaligus spiritual.¹⁵

Di bidang metafisika, Skolastisisme memperkenalkan cara berpikir yang menolak dualisme ekstrem.¹⁶ Ia memandang realitas sebagai satu kesatuan yang berjenjang—dari materi hingga roh, dari ciptaan hingga Sang Pencipta—dalam tatanan hierarki wujud yang saling terkait.¹⁷ Konsep actus essendi Aquinas, misalnya, memperlihatkan bahwa setiap keberadaan merupakan partisipasi dalam Keberadaan Mutlak (Esse Subsistens).¹⁸ Dengan demikian, seluruh realitas memiliki makna religius dan moral, karena keberadaan itu sendiri adalah karunia ilahi yang mengundang manusia untuk bersyukur, memahami, dan menjaga keteraturan ciptaan.¹⁹

Kritik terhadap Skolastisisme, terutama dari rasionalisme dan empirisme modern, tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan tradisi ini membangun sistem pengetahuan yang kuat.²⁰ Modernitas memang berusaha melepaskan diri dari metafisika skolastik, tetapi justru melalui penolakannya itu ia tetap mewarisi struktur metodologis skolastik—rasionalitas sistematis, logika argumentatif, dan penghargaan terhadap koherensi konseptual.²¹ Di sisi lain, kebangkitan Neo-Thomisme dan filsafat personalisme abad ke-20 menunjukkan bahwa nilai-nilai skolastik tetap hidup dan relevan untuk menjawab persoalan etika, politik, dan sains kontemporer.²²

Akhirnya, sintesis filosofis Skolastisisme memperlihatkan bahwa pengetahuan sejati selalu bersifat dialogis—antara iman dan akal, antara dunia dan transendensi.²³ Dalam semangat fides quaerens intellectum, manusia dipanggil untuk menggunakan akalnya bukan untuk menggantikan Tuhan, tetapi untuk mengenal-Nya secara lebih mendalam.²⁴ Rasionalitas skolastik menegaskan bahwa pencarian kebenaran sejati berakhir bukan pada pengetahuan yang final, melainkan pada kontemplasi dan penyembahan.²⁵ Karena itu, warisan Skolastisisme tetap menjadi cahaya bagi filsafat modern dan postmodern: ia mengingatkan bahwa rasionalitas tanpa transendensi akan kehilangan arah, dan iman tanpa rasio akan kehilangan daya pemahaman.²⁶

Dengan demikian, Filsafat Skolastik bukan hanya artefak sejarah intelektual, tetapi fondasi bagi pembaharuan rasionalitas manusia.²⁷ Ia menawarkan model berpikir yang menyatukan ilmu dan kebijaksanaan (scientia et sapientia), menjadikan filsafat bukan sekadar sarana pengetahuan, tetapi jalan menuju pemahaman eksistensial tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam Tuhan sebagai tujuan akhir segala sesuatu.²⁸


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner, 1937), 201–204.

[2]                Josef Pieper, Scholasticism and Humanism (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 97–98.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.2.a.3.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 209–210.

[5]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 121–123.

[6]                Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum, trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. II.

[7]                John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B. Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2004), II.d.3.q.2.

[8]                Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed and Ward, 1931), 153–156.

[9]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 41–43.

[10]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1936), 148.

[11]             Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 104–106.

[12]             Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1997), 65–67.

[13]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 57–59.

[14]             Jacques Maritain, The Person and the Common Good (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 51–54.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 257.

[16]             Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 187–189.

[17]             Josef Pieper, Reality and the Good (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 77–78.

[18]             Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans. Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), ch. 4.

[19]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 145.

[20]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 212–214.

[21]             Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 269–270.

[22]             Jacques Maritain, Integral Humanism (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1973), 140–143.

[23]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 91–93.

[24]             Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 7–8.

[25]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 226–228.

[26]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 777.

[27]             W. Norris Clarke, Person and Being (Milwaukee: Marquette University Press, 1993), 99–100.

[28]             Josef Pieper, Scholasticism and Humanism, 102–103.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York, NY: Benziger Bros.

Aquinas, T. (1968). De Ente et Essentia (A. Maurer, Trans.). Toronto, Canada: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Aquinas, T. (1952). De Veritate (R. W. Mulligan, Trans.). Chicago, IL: Henry Regnery.

Aquinas, T. (1975). Summa Contra Gentiles (A. Pegis, Trans.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Aquinas, T. (1959). Quaestiones Disputatae de Anima (R. Busa, Ed.). Rome, Italy: Leonine Edition.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Aristotle. (1985). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.

Aristotle. (1924). De Anima (W. D. Ross, Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Augustine. (1984). The City of God (H. Bettenson, Trans.). London, UK: Penguin.

Augustine. (1991). The Trinity (E. Hill, Trans.). Brooklyn, NY: New City Press.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.

Bacon, F. (1994). Novum Organum (P. Urbach & J. Gibson, Trans.). Chicago, IL: Open Court.

Boff, L. (1997). Cry of the Earth, Cry of the Poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Bonaventure. (1993). Itinerarium Mentis in Deum (P. Boehner, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.

Clarke, W. N. (1993). Person and Being. Milwaukee, WI: Marquette University Press.

Clarke, W. N. (2001). The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Copleston, F. (1993). A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy. New York, NY: Image Books.

Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Finnis, J. (1980). Natural Law and Natural Rights. Oxford, UK: Clarendon Press.

Francis, P. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Gilson, É. (1936). The Spirit of Medieval Philosophy. New York, NY: Scribner.

Gilson, É. (1937). The Unity of Philosophical Experience. New York, NY: Scribner.

Gilson, É. (1949). Being and Some Philosophers. Toronto, Canada: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, É. (1955). History of Christian Philosophy in the Middle Ages. New York, NY: Random House.

Gilson, É. (1956). The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas. New York, NY: Random House.

Gilson, É. (1967). Descartes and Philosophy. New York, NY: Random House.

Kenny, A. (1993). Aquinas on Mind. London, UK: Routledge.

Kenny, A. (2005). Medieval Philosophy. Oxford, UK: Oxford University Press.

Knowles, D. (1988). The Evolution of Medieval Thought. London, UK: Longman.

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance Thought and Its Sources. New York, NY: Columbia University Press.

Le Goff, J. (1993). Intellectuals in the Middle Ages (T. L. Fagan, Trans.). Oxford, UK: Blackwell.

Leaman, O. (1988). Averroes and His Philosophy. Oxford, UK: Clarendon Press.

Leo XIII. (1879). Aeterni Patris. Rome, Italy: Libreria Editrice Vaticana.

Luther, M. (1517). Disputation Against Scholastic Theology. Wittenberg, Germany.

MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1990). Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1999). Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues. Chicago, IL: Open Court.

Maritain, J. (1931). An Introduction to Philosophy. New York, NY: Sheed and Ward.

Maritain, J. (1936). Humanisme Intégral. Paris, France: Aubier.

Maritain, J. (1948). Existence and the Existent. New York, NY: Pantheon.

Maritain, J. (1951). Man and the State. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Maritain, J. (1966). The Person and the Common Good. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Maritain, J. (1973). Integral Humanism. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

McInerny, R. (1996). Aquinas and Analogy. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.

McInerny, R. (1997). Ethica Thomistica: The Moral Philosophy of Thomas Aquinas. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.

McCord Adams, M. (1987). William Ockham. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Oberman, H. A. (1963). The Harvest of Medieval Theology. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Pieper, J. (1955). Fortitude and Temperance. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Pieper, J. (1966). The Four Cardinal Virtues: Prudence, Justice, Fortitude, Temperance. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Pieper, J. (1998). Leisure, the Basis of Culture. South Bend, IN: St. Augustine’s Press.

Pieper, J. (1999). The Silence of St. Thomas. South Bend, IN: St. Augustine’s Press.

Pieper, J. (2001). The Concept of Sin. South Bend, IN: St. Augustine’s Press.

Pieper, J. (2002). Reality and the Good. South Bend, IN: St. Augustine’s Press.

Southern, R. (1995). Scholastic Humanism and the Unification of Europe, Vol. 1. Oxford, UK: Blackwell.

Southern, R. (2001). Scholastic Humanism and the Unification of Europe, Vol. 2. Oxford, UK: Blackwell.

Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tierney, B. (1997). The Idea of Natural Rights: Studies on Natural Law and Church Law, 1150–1625. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Trinkaus, C. (1970). In Our Image and Likeness: Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Wippel, J. F. (2000). The Metaphysical Thought of Thomas Aquinas. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.

Witte, J., Jr. (2006). God’s Joust, God’s Justice: Law and Religion in the Western Tradition. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Wolter, A. B. (1946). The Transcendentals and Their Function in the Metaphysics of Duns Scotus. St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute.

Wolter, A. B. (2004). John Duns Scotus: Ordinatio (Trans.). St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute.

Simon, Y. R. (1965). The Tradition of Natural Law: A Philosopher’s Reflections. New York, NY: Fordham University Press.

Shapin, S. (1996). The Scientific Revolution. Chicago, IL: University of Chicago Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar