Filsafat Skolastik
Sintesis Rasionalitas dan Teologi dalam Tradisi
Pemikiran Abad Pertengahan
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
perkembangan, struktur konseptual, dan relevansi kontemporer Filsafat
Skolastik sebagai tradisi rasional-teologis yang berupaya mensintesiskan
antara iman dan rasio, wahyu dan akal budi. Melalui pendekatan
historis-filosofis, kajian ini menelusuri akar genealogis Skolastisisme sejak
masa Patristik, pengaruh filsafat Yunani dan Islam, hingga puncak sistematikanya
dalam pemikiran Thomas Aquinas, Bonaventura, dan Duns Scotus. Secara ontologis,
Skolastisisme memandang realitas sebagai tatanan hierarkis yang berpartisipasi
dalam keberadaan Tuhan (actus essendi), sedangkan secara epistemologis
ia menegaskan harmoni antara pengetahuan inderawi dan iluminasi ilahi. Pada
tataran aksiologis, etika skolastik berpusat pada hukum alam (lex naturalis)
dan kebajikan (virtus) yang mengarahkan manusia menuju kebaikan
tertinggi (Summum Bonum).
Artikel ini juga menyoroti dimensi
teologis-metafisis skolastik yang memandang filsafat sebagai ancilla
theologiae—pelayan teologi yang membantu menjelaskan wahyu melalui argumen
rasional. Kritik terhadap skolastisisme dari nominalisme, humanisme Renaisans,
dan rasionalisme modern diulas untuk memperlihatkan transformasinya menuju
Neo-Thomisme sebagai bentuk revitalisasi modern. Pada akhirnya, artikel ini
menegaskan bahwa warisan skolastik tetap relevan dalam konteks kontemporer—baik
dalam etika publik, filsafat ilmu, maupun dialog antara agama dan sains.
Sintesis filosofis skolastik memperlihatkan model rasionalitas yang integratif
dan transenden: rasionalitas yang mencari bukan hanya pengetahuan, tetapi
kebijaksanaan (sapientia). Dengan demikian, Filsafat Skolastik tidak
berhenti sebagai artefak sejarah, melainkan tetap hidup sebagai paradigma
pemikiran yang menyatukan akal, iman, dan etika dalam satu horizon kebenaran.
Kata Kunci: Filsafat
Skolastik, Thomas Aquinas, iman dan rasio, hukum alam, metafisika partisipatif,
etika kebajikan, Neo-Thomisme, rasionalitas transenden, fides quaerens
intellectum, teleologi moral.
PEMBAHASAN
Struktur Epistemologis dan Orientasi Teologis
Skolastisisme
1.
Pendahuluan
Filsafat Skolastik merupakan salah satu puncak
perkembangan rasionalitas sistematis dalam sejarah pemikiran Barat, yang
berusaha memadukan antara wahyu ilahi dan rasio manusia. Istilah scholasticus
sendiri berasal dari bahasa Latin schola, yang berarti “sekolah,”
menunjukkan bahwa tradisi ini berakar pada institusi pendidikan abad
pertengahan seperti universitas dan biara di Eropa Barat. Dalam konteks sejarah
intelektual, skolastisisme bukan sekadar corak berpikir teologis, melainkan
sebuah metode argumentatif yang bertujuan mengintegrasikan iman dan pengetahuan
rasional melalui kerangka logika Aristoteles dan doktrin teologi Kristen.¹
Kemunculan Filsafat Skolastik dapat dipahami
sebagai hasil dialektika panjang antara tradisi keagamaan dan rasionalitas
filsafat Yunani. Setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat, pengetahuan Yunani
kuno terpelihara melalui dunia Islam dan Bizantium, lalu masuk kembali ke Eropa
pada abad ke-12 melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles, Ibn Sina, dan Ibn
Rushd.² Pengaruh tersebut melahirkan suatu “renaisans skolastik” yang
mendorong para pemikir seperti Anselmus dari Canterbury, Thomas Aquinas,
Bonaventura, dan Duns Scotus untuk menyusun sistem sintesis antara iman dan
rasio.³ Dengan demikian, Filsafat Skolastik bukan sekadar fenomena teologis,
melainkan proyek intelektual universal yang mencoba menjelaskan keteraturan
kosmos melalui prinsip rasional yang selaras dengan wahyu.
Tujuan utama skolastisisme adalah mencari harmoni
antara pengetahuan natural dan pengetahuan teologis. Rasio tidak dianggap
sebagai lawan wahyu, tetapi sebagai instrumen untuk menafsirkan kebenaran ilahi
secara sistematis.⁴ Prinsip fides quaerens intellectum (“iman yang
mencari pengertian”) menjadi dasar epistemologis gerakan ini: iman menjadi
awal pencarian, sedangkan akal menjadi alat untuk memperdalam dan mengartikulasikan
isi iman.⁵ Oleh karena itu, metode skolastik dikembangkan melalui lectio
(pembacaan teks otoritatif), quaestio (perumusan persoalan), dan disputatio
(perdebatan rasional), yang bersama-sama membentuk kerangka berpikir analitis
dan dialektis khas abad pertengahan.⁶
Dalam konteks sejarah filsafat, Skolastisisme
memainkan peran sentral dalam melahirkan tradisi universitas modern serta
membentuk dasar bagi perkembangan ilmu logika, etika, dan metafisika. Aquinas,
misalnya, menyusun Summa Theologiae sebagai ensiklopedi rasional yang
mencoba menjembatani antara filsafat Aristoteles dan doktrin Kristen.⁷
Skolastisisme tidak berhenti pada perdebatan metafisis tentang Tuhan dan alam,
tetapi juga melahirkan konsepsi moral dan hukum alam yang menjadi fondasi bagi
teori etika dan hukum modern.⁸
Meskipun pada abad ke-17 skolastisisme banyak
dikritik oleh para filsuf modern seperti Descartes dan Bacon karena dianggap
dogmatis dan tidak empiris, kontribusinya terhadap pembentukan rasionalitas
sistematis tetap signifikan.⁹ Dalam perkembangannya, muncul gerakan Neo-Thomisme
pada abad ke-19 dan ke-20 yang berupaya merevitalisasi warisan skolastik dalam
menghadapi tantangan modernitas, termasuk sekularisasi dan fragmentasi
pengetahuan ilmiah.¹⁰
Dengan demikian, kajian mengenai Filsafat Skolastik
tidak hanya relevan secara historis, tetapi juga filosofis dan metodologis. Ia
membuka pemahaman mendalam tentang cara manusia berupaya menjembatani iman dan
rasio, tradisi dan modernitas, metafisika dan ilmu empiris. Artikel ini akan
mengulas aspek-aspek historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, hingga
relevansi kontemporer dari Filsafat Skolastik sebagai tradisi rasional-teologis
yang membentuk fondasi peradaban intelektual Barat.
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner, 1936), 12–14.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 28–31.
[3]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 22–24.
[4]
Jacques Maritain, Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 47.
[5]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 3.
[6]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought
(London: Longman, 1988), 65–68.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.2.a.3.
[8]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 34–38.
[9]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London:
Routledge, 1993), 15.
[10]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 110–113.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Filsafat Skolastik tidak muncul secara tiba-tiba;
ia merupakan hasil dari proses panjang dialektika antara warisan intelektual
Yunani klasik, teologi Kristen awal, dan interaksi dengan pemikiran Islam dan
Yahudi abad pertengahan. Akar historisnya dapat dilacak sejak masa Patristik
(abad ke-2 hingga ke-5 M), ketika para Bapa Gereja seperti Agustinus dari Hippo
mencoba merumuskan sintesis antara iman Kristen dan filsafat Platonik.¹
Agustinus memperkenalkan konsep bahwa akal tidak berdiri sendiri, melainkan
berfungsi di bawah terang iman (intellectus fidei).² Inilah dasar
teologis yang kelak melandasi seluruh bangunan skolastisisme: rasionalitas yang
tunduk namun tidak meniadakan wahyu.
Memasuki abad pertengahan, Eropa mengalami
transformasi sosial dan intelektual yang besar. Setelah periode “zaman
kegelapan” (Dark Ages), muncullah kebangkitan intelektual abad ke-12 yang
ditandai oleh berdirinya universitas-universitas di Paris, Bologna, dan
Oxford.³ Universitas menjadi pusat dialektika dan perdebatan antara teologi,
logika, dan filsafat alam. Dalam konteks inilah metode skolastik—berbasis lectio,
quaestio, dan disputatio—dikembangkan untuk menjawab
persoalan-persoalan mendalam tentang iman, ilmu, dan realitas.⁴
Salah satu faktor penting dalam kemunculan skolastisisme
adalah penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Latin, terutama
karya Aristoteles.⁵ Proyek penerjemahan besar ini terjadi berkat perantara
dunia Islam di Andalusia dan Timur Tengah. Para filsuf Muslim seperti
Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes) tidak hanya
melestarikan karya Aristoteles tetapi juga menafsirkannya secara rasional dan
metafisik.⁶ Melalui karya-karya mereka, Eropa Barat mengenal kembali logika
formal, metafisika, dan teori pengetahuan yang rasionalistik. Pengaruh mereka
tampak kuat dalam sistem pemikiran para skolastikus, terutama Thomas Aquinas
yang banyak mengutip Ibn Sina dan Ibn Rushd dalam Summa Theologiae.⁷
Pada tahap ini, dapat dikatakan bahwa Filsafat
Skolastik merupakan hasil dari tiga tradisi intelektual besar: (1) teologi
Kristen dari warisan Patristik, (2) filsafat Yunani, terutama Aristotelianisme,
dan (3) pemikiran Islam serta Yahudi yang menjembatani transmisi intelektual.⁸
Tokoh-tokoh seperti Anselmus dari Canterbury meletakkan dasar argumentatif
skolastisisme melalui argumentum ontologicum—sebuah pembuktian rasional
tentang keberadaan Tuhan berdasarkan konsep tentang kesempurnaan.⁹ Kemudian
Bonaventura mengembangkan pendekatan teologi mistik yang lebih dekat dengan
Agustinus, sementara Thomas Aquinas mencapai puncak skolastisisme dengan
membangun sintesis antara iman dan akal melalui sistem metafisika
Aristotelian.¹⁰
Di sisi lain, Duns Scotus dan William of Ockham
memperkenalkan corak baru yang menandai pergeseran dalam skolastisisme. Scotus
menekankan konsep haecceitas (keunikkan individual), sedangkan Ockham
dengan nominalismenya menolak realisme universal dan menegaskan otonomi empiris
pengetahuan.¹¹ Transformasi ini menjadi awal disintegrasi sistem skolastik
klasik dan membuka jalan menuju rasionalisme modern.¹²
Dengan demikian, secara genealogis, Filsafat
Skolastik dapat dipahami sebagai jaringan tradisi intelektual yang saling
mempengaruhi lintas budaya dan agama. Ia lahir dari pertemuan antara logos
Yunani, wahyu Kristen, dan rasionalisme Islam, menjadikannya salah satu tonggak
paling penting dalam sejarah dialog antarperadaban.¹³ Tradisi skolastik bukan
hanya cerminan abad pertengahan, tetapi juga warisan universal yang membentuk
wajah epistemologi dan metodologi filsafat Barat hingga modernitas.
Footnotes
[1]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 241–244.
[2]
Étienne Gilson, History of Christian Philosophy
in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 52.
[3]
Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle
Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 45–49.
[4]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 30–33.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 65.
[6]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy
(Oxford: Clarendon Press, 1988), 17–19.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.44.a.1.
[8]
Richard Southern, Scholastic Humanism and the
Unification of Europe, Vol. 1 (Oxford: Blackwell, 1995), 21–25.
[9]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 4–5.
[10]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 79–83.
[11]
John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B.
Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2004), II.d.3.q.1.
[12]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 88–90.
[13]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 115–118.
3.
Ontologi
Skolastik
Ontologi dalam Filsafat Skolastik berpusat pada
pertanyaan fundamental mengenai ens (ada) dan relasinya dengan Tuhan
sebagai Ens Perfectissimum—wujud yang paling sempurna dan penyebab
pertama dari segala sesuatu.¹ Pemikiran skolastik tentang keberadaan tidak
sekadar bersifat metafisis abstrak, tetapi juga teologis, karena seluruh
struktur realitas dipahami sebagai pancaran dari sumber keberadaan yang mutlak,
yaitu Tuhan.² Ontologi skolastik, dengan demikian, bukanlah metafisika yang
otonom, melainkan metafisika yang disinari oleh teologi.
Dalam kerangka skolastik, terutama pada sistem
Thomas Aquinas, realitas dibangun atas dua prinsip mendasar: essentia
(hakikat) dan existentia (keberadaan).³ Essentia menunjukkan apa
sesuatu itu, sedangkan existentia menunjukkan bahwa sesuatu itu ada.
Pada makhluk-makhluk ciptaan, keduanya terpisah dan bergantung pada Tuhan yang
merupakan actus purus—ada yang murni tanpa potensi.⁴ Dengan kata lain,
hanya Tuhan yang memiliki kesatuan antara esensi dan eksistensi; seluruh
makhluk lain adalah partisipasi dari keberadaan-Nya.⁵ Konsep actus essendi
(tindakan mengada) ini menjadi inti dari metafisika eksistensialis skolastik
yang menandai perbedaan mendasar antara teologi klasik dan rasionalisme
modern.⁶
Selain struktur esensial-eksistensial,
skolastisisme juga mengembangkan teori hylomorfisme Aristotelian, yakni
bahwa setiap entitas material tersusun dari dua prinsip: materia prima
(materi pertama) dan forma substantialis (bentuk substansial).⁷ Materi
memberi potensi bagi keberadaan, sedangkan bentuk memberi aktualitas dan
identitas. Misalnya, jiwa manusia dipahami sebagai forma corporis,
bentuk substansial tubuh yang membuatnya hidup dan rasional.⁸ Hubungan ini
menjelaskan bahwa realitas bersifat hierarkis—mulai dari bentuk paling rendah
(materi murni) hingga yang paling tinggi (substansi immaterial atau jiwa).⁹
Ontologi skolastik juga memandang dunia sebagai
tatanan yang memiliki ordo essendi, yaitu struktur keberadaan yang
tertata secara hierarkis dan teleologis.¹⁰ Setiap makhluk memiliki actus
proprius (tindakan khas) sesuai dengan tujuannya (telos) yang
ditentukan oleh Tuhan. Dalam pandangan ini, keberadaan bukan sesuatu yang
statis, melainkan dinamis menuju kesempurnaan.¹¹ Prinsip teleologis ini
kemudian menjadi dasar bagi pemikiran etika dan teologi moral dalam
skolastisisme, di mana segala sesuatu dipahami dalam orientasi menuju bonum
commune (kebaikan umum) dan beatitudo (kebahagiaan tertinggi).¹²
Sementara itu, dalam perdebatan tentang universalia,
para skolastikus menghadapi persoalan apakah konsep-konsep umum seperti “kemanusiaan”
atau “kebaikan” memiliki realitas tersendiri di luar pikiran manusia.
Realisme skolastik, yang dipertahankan oleh Aquinas dan Anselmus, menegaskan
bahwa universal ada dalam tiga modus: ante rem (dalam pikiran Tuhan
sebelum ciptaan), in re (dalam benda konkret sebagai bentuk), dan post
rem (dalam akal manusia sebagai abstraksi).¹³ Sebaliknya, Nominalisme yang
dikembangkan oleh William of Ockham menolak keberadaan realitas universal di luar
bahasa dan pikiran; menurutnya, universal hanyalah flatus vocis—nama
atau istilah yang memudahkan komunikasi konseptual.¹⁴ Perdebatan ini
memperlihatkan dinamika antara realisme metafisik dan kecenderungan empiris
dalam skolastisisme menjelang masa modern.
Ontologi skolastik juga menegaskan dimensi
spiritual manusia sebagai refleksi dari Imago Dei—gambaran Tuhan dalam
diri manusia.¹⁵ Jiwa dianggap immaterial, tidak tersusun dari bagian, dan
bersifat abadi. Dalam pandangan Aquinas, jiwa bukanlah substansi yang berdiri
sendiri, melainkan bentuk yang mengaktualkan tubuh; keduanya membentuk satu
kesatuan substansial.¹⁶ Pemahaman ini menolak dualisme ekstrem Plato maupun
materialisme kemudian, dan melahirkan konsep antropologi metafisik yang
integral.¹⁷
Dengan demikian, ontologi skolastik membangun suatu
kosmologi hierarkis di mana seluruh wujud merupakan partisipasi dari Esse
Subsistens, yaitu Tuhan sendiri.¹⁸ Ia mempertemukan logika Aristoteles
dengan teologi Kristen, menghasilkan sintesis antara metafisika keberadaan dan
iman akan Pencipta. Melalui kerangka ini, Filsafat Skolastik tidak hanya
menjelaskan “apa yang ada,” tetapi juga “mengapa ada”—yakni
karena setiap eksistensi bersumber dan berorientasi pada Yang Ada Mutlak.
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 34–36.
[2]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 12–13.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 92.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.3.a.4.
[5]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 19.
[6]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 48.
[7]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book VII, 1029a–1032b.
[8]
Thomas Aquinas, De Anima, trans. Kenelm
Foster (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 15–17.
[9]
Jacques Maritain, Existence and the Existent
(New York: Pantheon, 1948), 44.
[10]
Josef Pieper, Reality and the Good (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 56–59.
[11]
Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral
Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of
America Press, 1997), 22.
[12]
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals:
Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 34–36.
[13]
Anselm of Canterbury, Monologion, trans.
Simon Harrison (Oxford: Oxford University Press, 1996), 21–22.
[14]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 102–104.
[15]
Augustine, The Trinity, trans. Edmund Hill
(Brooklyn, NY: New City Press, 1991), 101–103.
[16]
Thomas Aquinas, Quaestiones Disputatae de Anima,
ed. Roberto Busa (Rome: Leonine Edition, 1959), q.1.a.2.
[17]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (London:
Routledge, 1993), 57–58.
[18]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(New York: Scribner, 1936), 67–69.
4.
Epistemologi
Skolastik
Epistemologi dalam Filsafat Skolastik berakar pada
keyakinan bahwa kebenaran dapat dicapai melalui harmoni antara fides
(iman) dan ratio (akal).¹ Skolastisisme tidak memisahkan keduanya
sebagai dua sumber pengetahuan yang bertentangan, melainkan melihatnya sebagai
dua jalan menuju satu kebenaran ilahi yang sama. Iman menyediakan fondasi
transenden bagi akal, sementara akal berfungsi menafsirkan, memperjelas, dan
memperkuat keimanan melalui argumen rasional.² Dengan demikian, epistemologi
skolastik bersifat teonomis—akal tunduk pada wahyu, tetapi tidak kehilangan
otonominya dalam ranah penalaran filosofis.
Secara metodologis, tradisi skolastik mengembangkan
sistem berpikir yang khas, dikenal dengan metode lectio, quaestio,
dan disputatio.³ Lectio adalah pembacaan dan penafsiran teks
otoritatif (seperti Kitab Suci atau karya Aristoteles) yang dilakukan secara
literal dan alegoris; quaestio adalah tahap problematis di mana suatu
isu atau kontradiksi dirumuskan secara eksplisit; dan disputatio
merupakan forum dialektis di mana argumen pro dan kontra diajukan sebelum
mencapai sintesis rasional.⁴ Metode ini tidak hanya menjadi model pedagogis
universitas abad pertengahan, tetapi juga menjadi paradigma berpikir sistematis
yang menuntut kohesi logis, klarifikasi terminologis, dan penghargaan terhadap
hierarki otoritas pengetahuan.⁵
Dalam epistemologi skolastik, peranan Aristoteles
sangat besar. Teori pengetahuan yang diadopsi adalah model empiris-rasional: pengetahuan
dimulai dari pengalaman inderawi (nihil est in intellectu quod non prius
fuerit in sensu)—tidak ada sesuatu pun di dalam intelek yang sebelumnya
tidak ada di dalam indra.⁶ Melalui proses abstraksi, intelek manusia (intellectus
agens) menafsirkan bentuk-bentuk (formae) dari data empiris dan
mengubahnya menjadi konsep universal.⁷ Dengan cara ini, pengetahuan manusia
bersifat progresif: dari penginderaan menuju pemahaman intelektual, dari
partikular menuju universal. Namun, di atas pengetahuan rasional ini masih
terdapat tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan teologis yang
diperoleh melalui wahyu ilahi.⁸
Thomas Aquinas menegaskan bahwa pengetahuan manusia
bersifat analogis: manusia dapat mengetahui Tuhan bukan secara langsung (per
essentiam), tetapi melalui ciptaan-Nya (per effectus).⁹ Artinya,
akal manusia dapat menalar keberadaan Tuhan melalui tanda-tanda di alam
semesta, meskipun hakikat ilahi tetap transenden dan tak terjangkau
sepenuhnya.¹⁰ Dalam konteks ini, epistemologi skolastik bersifat
realis-moderat: akal manusia mampu menangkap realitas objektif, tetapi
pengenalannya selalu bersifat terbatas dan bergantung pada iluminasi ilahi.¹¹
Di sisi lain, para skolastikus membedakan antara intellectus
dan ratio. Intellectus menunjuk pada kemampuan intuitif yang
menangkap kebenaran secara langsung dan mendalam, sedangkan ratio
merujuk pada kemampuan diskursif yang menalar langkah demi langkah.¹² Anselmus
dan Bonaventura lebih menekankan peranan intellectus yang diterangi oleh
cahaya ilahi (lumen divinum), sedangkan Aquinas menekankan harmoni
antara ratio manusiawi dan wahyu ketuhanan.¹³ Dengan demikian,
epistemologi skolastik mencerminkan keseimbangan antara iluminasi mistik dan
rasionalitas logis.
Sementara itu, perdebatan epistemologis dalam
skolastisisme berkembang ke arah dua kutub besar. Kaum realis, seperti Aquinas,
meyakini bahwa konsep-konsep universal mencerminkan struktur realitas
objektif.¹⁴ Sebaliknya, kaum nominalis, seperti William of Ockham, menolak
keberadaan universal di luar pikiran; bagi mereka, pengetahuan manusia hanya
berurusan dengan entitas individual, dan bahasa hanyalah konvensi untuk
mengelompokkan pengalaman.¹⁵ Pergeseran ini menandai awal munculnya empirisme
modern dan penekanan pada otonomi subjek dalam proses pengetahuan.
Epistemologi skolastik juga memiliki dimensi
teologis yang mendalam. Pengetahuan sejati tidak berhenti pada tataran
konseptual, melainkan bermuara pada sapientia—kebijaksanaan yang
menyatukan pengetahuan dan kasih.¹⁶ Tujuan akhir pengetahuan bukan hanya
mengetahui kebenaran, tetapi juga mengarahkan manusia kepada kebaikan dan
kesempurnaan moral.¹⁷ Dengan demikian, epistemologi skolastik berfungsi sebagai
jembatan antara penalaran filosofis dan kontemplasi spiritual, antara ilmu dan
iman, antara kognisi dan moralitas.
Secara keseluruhan, epistemologi skolastik
menggambarkan suatu model rasionalitas yang integratif, di mana akal manusia
berperan aktif dalam memahami dunia, tetapi tetap sadar akan keterbatasannya di
hadapan misteri ilahi.¹⁸ Tradisi ini menolak baik skeptisisme ekstrem maupun
dogmatisme buta, dan justru menegaskan bahwa kebenaran harus dicari melalui
dialog antara rasio dan wahyu.¹⁹ Dengan semangat fides quaerens intellectum,
Filsafat Skolastik membentuk fondasi bagi tradisi pengetahuan Barat yang terus
mempengaruhi filsafat, teologi, dan bahkan sains hingga masa modern.²⁰
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner, 1936), 75–78.
[2]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 5–7.
[3]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought
(London: Longman, 1988), 92.
[4]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 41–43.
[5]
Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages,
trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 57–59.
[6]
Aristotle, De Anima, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), Book II, 417b–419a.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.84.a.6.
[8]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 117.
[9]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton
Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I.13.
[10]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 63.
[11]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 85–87.
[12]
Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum,
trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. I.
[13]
Thomas Aquinas, De Veritate, trans. Robert
W. Mulligan (Chicago: Henry Regnery, 1952), q.10.a.8.
[14]
Ralph McInerny, Aquinas and Analogy
(Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1996), 34.
[15]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 121–124.
[16]
Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 79.
[17]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 128.
[18]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Scribner, 1937), 51–53.
[19]
John F. Wippel, The Metaphysical Thought of
Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press,
2000), 214.
[20]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 103–105.
5.
Aksiologi
dan Etika Skolastik
Aksiologi dalam Filsafat Skolastik berpangkal pada
pemahaman bahwa kebaikan (bonum) bersumber dari keteraturan metafisis
realitas yang berpuncak pada Tuhan sebagai Summum Bonum—kebaikan
tertinggi dan tujuan akhir segala sesuatu.¹ Dalam kerangka ini, nilai moral
bukanlah hasil konstruksi subjektif manusia, tetapi bagian inheren dari
struktur kosmos yang diciptakan Tuhan dengan rasio dan tujuan.² Karena itu,
etika skolastik bersifat teleologis: segala tindakan manusia memiliki arah
menuju kesempurnaan atau beatitudo, yakni kebahagiaan sejati yang hanya
dapat ditemukan dalam persatuan dengan Sang Pencipta.³
Thomas Aquinas, sebagai representasi utama etika
skolastik, membangun sistem moral yang berpijak pada hukum alam (lex
naturalis) sebagai partisipasi rasional manusia terhadap hukum kekal Tuhan
(lex aeterna).⁴ Melalui akal budi, manusia dapat mengenali
kebaikan-kebaikan dasar (bona humana) seperti kehidupan, pengetahuan,
dan komunitas sosial sebagai bagian dari tujuan kodratinya.⁵ Dengan demikian,
hukum moral tidak bergantung pada kehendak sewenang-wenang, melainkan pada
rasionalitas yang tertanam dalam ciptaan. Etika ini bersifat rasional dan
universal, karena setiap manusia memiliki akses pada hukum alam melalui
akalnya.⁶
Bagi Aquinas, kehendak manusia (voluntas humana)
diarahkan kepada kebaikan, tetapi kebebasan (liberum arbitrium)
memungkinkannya memilih antara kebaikan yang sejati dan yang semu.⁷ Kebebasan
bukan berarti kebebasan dari hukum, melainkan kebebasan dalam keterarahan
terhadap kebaikan yang sejati. Dalam hal ini, kehendak manusia selalu berada
dalam relasi dengan rasio praktis (ratio practica) yang menimbang tujuan
moral dari suatu tindakan.⁸ Oleh sebab itu, dosa bukanlah pelanggaran terhadap
kehendak Tuhan semata, tetapi penyimpangan rasionalitas manusia dari tatanan
natural yang telah ditetapkan.⁹
Sistem etika skolastik juga menekankan pentingnya virtue
ethics—etika kebajikan—yang berakar pada tradisi Aristoteles namun
disempurnakan oleh dimensi teologis.¹⁰ Kebajikan (virtus) adalah
kebiasaan moral yang menuntun kehendak manusia untuk bertindak selaras dengan
akal.¹¹ Dalam tradisi ini dikenal tiga kebajikan teologis (virtutes
theologicae): iman (fides), harapan (spes), dan kasih (caritas),
yang melampaui akal dan mengarahkan manusia langsung kepada Tuhan.¹² Selain
itu, terdapat empat kebajikan kardinal (virtutes cardinales):
kebijaksanaan (prudentia), keadilan (iustitia), keberanian (fortitudo),
dan penguasaan diri (temperantia), yang mengatur dimensi moral kehidupan
duniawi.¹³ Sinergi antara kebajikan teologis dan kardinal menjadikan moralitas
skolastik bersifat integral, meliputi rasio, kehendak, dan afeksi.
Konsep caritas atau kasih menjadi puncak
dari seluruh tatanan nilai skolastik.¹⁴ Kasih bukan sekadar emosi, tetapi
tindakan rasional yang berakar pada kebaikan objektif. Dalam pandangan Aquinas,
kasih adalah bentuk tertinggi kebajikan karena mengarahkan semua tindakan
manusia kepada Tuhan dan sesama sebagai refleksi dari kasih ilahi.¹⁵ Dengan
demikian, moralitas tidak hanya menuntut ketaatan, tetapi juga transformasi
batiniah melalui partisipasi dalam cinta ilahi yang memurnikan kehendak.
Aksiologi skolastik juga memiliki dimensi sosial
yang kuat. Karena manusia adalah makhluk rasional dan sosial, tindakan moral
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan komunitas.¹⁶ Konsep bonum commune
(kebaikan bersama) menjadi prinsip etis-politik yang mendasari pandangan
skolastik tentang keadilan sosial.¹⁷ Kebaikan bersama tidak berarti meniadakan
individu, tetapi mengarahkan setiap individu untuk berkontribusi pada tatanan
sosial yang mencerminkan harmoni kosmik.¹⁸ Etika skolastik menolak egoisme dan
relativisme moral, serta menegaskan bahwa kebebasan sejati terwujud ketika
manusia hidup sesuai dengan kodrat rasionalnya sebagai citra Tuhan (imago
Dei).¹⁹
Dalam konteks kontemporer, etika skolastik tetap
relevan karena menawarkan landasan moral yang rasional dan universal dalam
menghadapi krisis nilai modern.²⁰ Di tengah relativisme dan hedonisme, prinsip
hukum alam dan teleologi skolastik memberikan arah etik yang stabil dan berakar
pada martabat manusia.²¹ Neo-Thomisme abad ke-20 menghidupkan kembali
nilai-nilai ini dalam diskursus etika publik, bioetika, dan filsafat hukum,
menegaskan bahwa rasionalitas moral tidak dapat dilepaskan dari orientasi pada
kebaikan transenden.²²
Secara keseluruhan, aksiologi dan etika skolastik
menegaskan bahwa moralitas tidak terletak pada subjektivitas kehendak,
melainkan pada partisipasi manusia dalam tatanan kebaikan yang rasional dan
ilahi.²³ Etika ini menghubungkan rasio dan iman, individu dan masyarakat, serta
kebebasan dan tanggung jawab dalam satu kesatuan organik. Melalui orientasi
pada Summum Bonum, etika skolastik menghadirkan visi moral yang
menyatukan intelek, kehendak, dan kasih sebagai jalan menuju kesempurnaan
manusia.
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 153–156.
[2]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues:
Prudence, Justice, Fortitude, Temperance (Notre Dame, IN: University of
Notre Dame Press, 1966), 9.
[3]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 142.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I-II.q.91.a.2.
[5]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 33–37.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 132–135.
[7]
Thomas Aquinas, De Veritate, trans. Robert
W. Mulligan (Chicago: Henry Regnery, 1952), q.24.a.1.
[8]
Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral
Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of
America Press, 1997), 48–50.
[9]
Josef Pieper, The Concept of Sin (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 19–21.
[10]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), II.6–7.
[11]
Aquinas, Summa Theologiae, I-II.q.55.a.4.
[12]
Ibid., I-II.q.62.a.3.
[13]
Pieper, The Four Cardinal Virtues, 15–18.
[14]
Augustine, The City of God, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin, 1984), XIX.17.
[15]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae,
II-II.q.23.a.8.
[16]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(New York: Scribner, 1936), 181–184.
[17]
Maritain, The Person and the Common Good
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 45–47.
[18]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 221.
[19]
Josef Pieper, Fortitude and Temperance
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1955), 27–29.
[20]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990),
142–145.
[21]
John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §44–47.
[22]
Yves R. Simon, The Tradition of Natural Law: A Philosopher’s
Reflections (New York: Fordham University Press, 1965), 59–61.
[23]
Gilson, The Unity of Philosophical Experience
(New York: Scribner, 1937), 112–114.
6.
Dimensi
Teologis dan Metafisis
Dimensi teologis dan metafisis Filsafat Skolastik berfungsi
sebagai jantung konseptual yang menghubungkan iman dengan pengetahuan rasional.
Dalam tradisi ini, filsafat dan teologi tidak dipahami sebagai dua disiplin
yang terpisah secara mutlak, melainkan sebagai dua tingkat refleksi terhadap
realitas yang sama.¹ Filsafat bertugas menelaah struktur realitas melalui akal
(ratio), sedangkan teologi menafsirkannya dalam terang wahyu (revelatio).
Oleh karena itu, para pemikir skolastik seperti Anselmus, Bonaventura, dan
Thomas Aquinas memandang filsafat sebagai ancilla theologiae—pelayan
bagi teologi—yang membantu menjelaskan kebenaran iman secara rasional tanpa
meniadakan misteri ilahi.²
Anselmus dari Canterbury, dalam Proslogion,
menegaskan prinsip fides quaerens intellectum (“iman yang mencari
pengertian”), yaitu bahwa iman menjadi titik berangkat bagi penalaran
metafisis.³ Bagi Anselmus, akal bukan sarana untuk menggantikan iman, melainkan
instrumen untuk menegaskan kebenaran yang telah diimani. Ia mengembangkan argumentum
ontologicum, pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan berdasarkan
konsep tentang kesempurnaan mutlak: “Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar
daripada yang dapat dipikirkan.”⁴ Argumen ini menunjukkan hubungan langsung
antara pemikiran metafisis dan iman teologis—suatu upaya membangun jembatan
antara rasio dan wahyu dalam kesatuan epistemologis.
Thomas Aquinas kemudian menyempurnakan sintesis ini
dengan menyusun metafisika teologis yang lebih sistematis. Menurut Aquinas,
Tuhan adalah actus purus—wujud murni tanpa potensi—yang menjadi sebab
pertama (causa prima) dari segala sesuatu.⁵ Semua keberadaan (ens)
yang lain merupakan partisipasi dalam Esse Subsistens (Keberadaan
Mutlak), sehingga tidak ada sesuatu pun yang ada kecuali karena partisipasi
dalam keberadaan Tuhan.⁶ Konsep ini membentuk dasar dari metafisika
partisipatif skolastik: segala realitas bergantung ontologis pada Sang
Pencipta.⁷ Dengan demikian, metafisika tidak berhenti pada deskripsi struktur
realitas, melainkan berfungsi sebagai teologi rasional yang mengantar akal menuju
pengenalan akan Tuhan.⁸
Dalam sistem Aquinas, hubungan antara teologi dan
metafisika diatur oleh hierarki kebenaran. Kebenaran wahyu bersifat lebih
tinggi karena berasal langsung dari Tuhan, tetapi tidak bertentangan dengan
kebenaran rasional yang dicapai melalui filsafat.⁹ Sebaliknya, wahyu
menyempurnakan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal karena keterbatasannya.¹⁰
Dengan demikian, metafisika menjadi sarana bagi teologi untuk menafsirkan dunia
secara rasional, sementara teologi memberikan orientasi transenden bagi
metafisika agar tidak terjerumus ke dalam naturalisme atau skeptisisme.¹¹
Dimensi metafisis skolastik juga terlihat dalam
analisis tentang causality dan contingency. Aquinas mengembangkan
quinque viae (lima jalan) sebagai pembuktian rasional keberadaan Tuhan:
melalui gerak, sebab-akibat, kontingensi, derajat kesempurnaan, dan tatanan
tujuan alam.¹² Semua argumen tersebut berakar pada prinsip bahwa dunia bersifat
kontingen dan memerlukan penyebab pertama yang niscaya.¹³ Tuhan, sebagai ipsum
esse subsistens, adalah sumber dari seluruh keberadaan dan tatanan
kosmos.¹⁴ Dengan demikian, teologi skolastik bukan semata kepercayaan dogmatis,
melainkan suatu penalaran metafisis yang berakar pada realitas yang dapat
diselidiki oleh akal.¹⁵
Bonaventura, di sisi lain, menekankan dimensi
iluminatif dari pengetahuan metafisis. Ia berpendapat bahwa semua pengetahuan
sejati diperoleh melalui lumen divinum—cahaya ilahi yang menerangi akal
manusia.¹⁶ Bagi Bonaventura, Tuhan bukan hanya tujuan akhir pengetahuan, melainkan
juga kondisi kemungkinannya. Tanpa partisipasi dalam terang ilahi, akal tidak
akan mampu memahami kebenaran universal.¹⁷ Dengan demikian, metafisika
skolastik memiliki dua corak yang saling melengkapi: via analytica
(jalan rasional) dari Aquinas dan via mystica (jalan kontemplatif) dari
Bonaventura.¹⁸
Selain itu, dimensi teologis skolastik mengandung
pandangan kosmologis yang integral. Dunia dipahami sebagai ciptaan yang
rasional (ordo rerum), di mana setiap makhluk menempati posisinya dalam
hierarki wujud.¹⁹ Alam semesta tidak bersifat otonom, melainkan manifestasi
dari rasionalitas ilahi yang mengatur segala sesuatu secara teleologis.²⁰
Pandangan ini menegaskan bahwa realitas memiliki makna teologis yang inheren,
sehingga studi tentang alam sekaligus merupakan jalan menuju pengenalan akan
Tuhan.²¹
Dalam konteks antropologi teologis, manusia
dipandang sebagai imago Dei—gambaran Tuhan—yang memiliki kemampuan
rasional dan kebebasan moral.²² Jiwa manusia adalah substansi immaterial yang
memiliki keabadian karena berasal dari Tuhan dan ditujukan untuk kembali
kepada-Nya.²³ Hubungan antara Tuhan dan manusia dalam skolastisisme bersifat
partisipatif, bukan identik: manusia tidak menjadi Tuhan, tetapi mengambil
bagian dalam keberadaan dan kebaikan-Nya melalui akal, kebajikan, dan kasih.²⁴
Dengan demikian, dimensi teologis dan metafisis
Filsafat Skolastik menampilkan suatu kesatuan yang harmonis antara rasio dan
iman, metafisika dan wahyu, dunia dan transendensi.²⁵ Dalam sintesis ini, Tuhan
bukan sekadar objek kepercayaan, tetapi juga dasar ontologis dan epistemologis
dari seluruh realitas.²⁶ Filsafat dan teologi saling menopang, membentuk sistem
pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan mengapa sesuatu ada, tetapi
juga untuk apa segala sesuatu ada—yakni demi mencapai kebenaran,
kebaikan, dan kesempurnaan di dalam Tuhan sebagai tujuan akhir segala yang
ada.²⁷
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner, 1936), 91–94.
[2]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 52.
[3]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 3.
[4]
Ibid., 5–6.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.3.a.1.
[6]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 110.
[7]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 24–26.
[8]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 134–137.
[9]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton
Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I.7.
[10]
Gilson, The Unity of Philosophical Experience
(New York: Scribner, 1937), 66.
[11]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 121–123.
[12]
Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.
[13]
Ralph McInerny, Aquinas and Analogy
(Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1996), 51–54.
[14]
John F. Wippel, The Metaphysical Thought of
Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of America Press,
2000), 188.
[15]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 45–47.
[16]
Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum,
trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. I.
[17]
Ibid., ch. VI.
[18]
Gilson, History of Christian Philosophy in the
Middle Ages (New York: Random House, 1955), 209–211.
[19]
Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle
Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 62.
[20]
Pieper, Reality and the Good (South Bend,
IN: St. Augustine’s Press, 2002), 58–60.
[21]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 131–133.
[22]
Augustine, The Trinity, trans. Edmund Hill
(Brooklyn, NY: New City Press, 1991), 103–106.
[23]
Thomas Aquinas, Quaestiones Disputatae de Anima,
ed. Roberto Busa (Rome: Leonine Edition, 1959), q.1.a.2.
[24]
Maritain, The Person and the Common Good
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 23–25.
[25]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 150–153.
[26]
Gilson, The Unity of Philosophical Experience,
98.
[27]
Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 84–86.
7.
Kritik
dan Transformasi Skolastik
Filsafat Skolastik, meskipun memainkan peran
monumental dalam pembentukan rasionalitas Barat abad pertengahan, tidak luput
dari kritik dan transformasi mendalam. Sejak akhir abad ke-13, muncul berbagai
ketegangan internal dalam tradisi skolastik yang kemudian memicu pergeseran
epistemologis dan metafisis besar dalam sejarah pemikiran Eropa.¹ Kritik
terhadap skolastisisme tidak hanya datang dari luar (para rasionalis dan
empiris modern), tetapi juga dari dalam tradisi itu sendiri—yakni dari para
pemikir yang menilai bahwa sistem skolastik telah kehilangan vitalitas
filosofisnya dan terlalu terikat pada formalisme teologis.²
Salah satu sumber awal transformasi skolastik
muncul dari perdebatan antara realisme dan nominalisme.³ Para realis seperti
Thomas Aquinas berpendapat bahwa konsep universal memiliki realitas ontologis
di luar pikiran manusia (universalia in re), sementara kaum nominalis
seperti William of Ockham menegaskan bahwa universal hanyalah nama (flatus
vocis) yang tidak memiliki keberadaan independen.⁴ Pergeseran ke arah
nominalisme ini membawa implikasi epistemologis besar: kebenaran tidak lagi
dipandang sebagai partisipasi dalam tatanan realitas ilahi, tetapi sebagai
hasil dari konstruksi linguistik dan empiris manusia.⁵ Dari sinilah lahir benih
empirisme dan individualisme modern yang menandai runtuhnya kosmologi hierarkis
skolastik.⁶
Selain itu, munculnya via moderna (“jalan
baru”) menandai peralihan dari sistem metafisika universal menuju penekanan
pada pengalaman partikular dan kehendak bebas.⁷ John Duns Scotus, misalnya,
menekankan konsep haecceitas—keunikkan individual setiap entitas—yang
menolak pandangan bahwa realitas sepenuhnya dapat dijelaskan melalui kategori
universal.⁸ Bagi Scotus, kehendak Tuhan bersifat otonom dan tidak sepenuhnya
dapat ditangkap oleh rasio, sehingga hukum moral tidak semata deduksi rasional
dari hakikat ilahi, melainkan ekspresi kehendak bebas Tuhan.⁹ Pemikiran ini
memperkenalkan nuansa voluntaristik yang kelak berpengaruh pada teologi
Reformed dan etika modern.¹⁰
Kritik terhadap skolastisisme juga berkembang di
masa Renaisans dan Reformasi. Humanisme Renaisans, yang diwakili oleh tokoh seperti
Erasmus dan Petrarca, menolak kecenderungan skolastik untuk mengandalkan
argumentasi silogistik yang kaku dan menjauh dari pengalaman manusiawi.¹¹
Mereka menuntut kembalinya filsafat pada studia humanitatis—penyelidikan
terhadap manusia, bahasa, dan moralitas praktis.¹² Sementara itu, Reformasi
Protestan yang dipelopori Martin Luther mengecam skolastisisme karena dianggap
menundukkan iman kepada rasio Aristotelian.¹³ Luther menyebut sistem skolastik
sebagai “menara Babel” yang mengaburkan kesederhanaan Injil dan
menggantikan kebergantungan kepada anugerah dengan spekulasi logis yang
dingin.¹⁴
Pada abad ke-17, kritik terhadap skolastisisme
mencapai puncaknya melalui filsafat modern. René Descartes, misalnya, menolak
metodologi skolastik yang berbasis pada otoritas teks dan silogisme,
menggantinya dengan metode keraguan radikal sebagai dasar kepastian
epistemologis.¹⁵ Dengan semboyannya cogito ergo sum, Descartes
memindahkan pusat epistemologi dari Tuhan kepada subjek yang berpikir.¹⁶ Begitu
pula Francis Bacon, dengan empirismenya, menentang metafisika skolastik yang
dianggap steril dan tidak produktif bagi ilmu pengetahuan alam.¹⁷ Ia menuntut
filsafat untuk berpaling pada observasi dan eksperimentasi, bukan pada deduksi
logis dari prinsip apriori.¹⁸ Akibatnya, dunia modern beralih dari struktur
realitas teologis-metafisis menuju paradigma ilmiah yang bersifat mekanistik
dan sekuler.¹⁹
Namun, tidak semua kritik berujung pada penolakan
total terhadap skolastisisme. Di abad ke-19 dan ke-20, muncul gerakan Neo-Thomisme
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Jacques Maritain, Étienne Gilson, dan
Josef Pieper.²⁰ Gerakan ini berupaya merehabilitasi nilai-nilai skolastik,
terutama pemikiran Thomas Aquinas, sebagai dasar dialog antara iman dan rasio
dalam konteks modern.²¹ Mereka menekankan bahwa skolastisisme bukan sistem
tertutup, melainkan tradisi intelektual yang dapat diperbarui sesuai
perkembangan zaman.²² Neo-Thomisme menegaskan kembali pentingnya metafisika
keberadaan (esse) dan hukum alam (lex naturalis) dalam menghadapi
relativisme moral, positivisme ilmiah, dan sekularisme filosofis abad modern.²³
Transformasi skolastik juga menimbulkan dampak pada
perkembangan sains dan filsafat politik.²⁴ Rasionalitas sistematis yang
diwarisi dari metode skolastik menjadi fondasi bagi logika ilmiah dan metode
universitas modern.²⁵ Sementara itu, pandangan skolastik tentang hukum alam
mengilhami teori hak asasi manusia dan konsep hukum kodrat dalam tradisi hukum
Barat.²⁶ Bahkan kritik terhadap skolastisisme, baik dari Bacon maupun
Descartes, sebenarnya membuktikan bahwa sistem skolastik menjadi “latar
epistemologis” yang harus dilampaui untuk mencapai modernitas.²⁷
Dengan demikian, kritik dan transformasi terhadap
Filsafat Skolastik merupakan proses dialektis yang memperkaya sejarah pemikiran
manusia.²⁸ Skolastisisme tidak mati, melainkan berevolusi—dari teologi abad
pertengahan menjadi inspirasi bagi dialog antara iman dan ilmu, rasio dan
moralitas, metafisika dan sains modern.²⁹ Tradisi ini menunjukkan bahwa setiap
sistem filsafat yang hidup harus mampu menanggung kritik, menyesuaikan diri,
dan menemukan bentuk baru tanpa kehilangan substansinya.³⁰
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Scribner, 1937), 101–104.
[2]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 72–73.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 218–220.
[4]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 91–94.
[5]
Richard Southern, Scholastic Humanism and the
Unification of Europe, Vol. 2 (Oxford: Blackwell, 2001), 33–36.
[6]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 257.
[7]
Gilson, History of Christian Philosophy in the
Middle Ages (New York: Random House, 1955), 255–258.
[8]
John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B.
Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2004), II.d.3.q.2.
[9]
Allan Wolter, The Transcendentals and Their
Function in the Metaphysics of Duns Scotus (St. Bonaventure, NY: Franciscan
Institute, 1946), 45–48.
[10]
Pieper, Reality and the Good (South Bend,
IN: St. Augustine’s Press, 2002), 61.
[11]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and
Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 12–15.
[12]
Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness:
Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of
Chicago Press, 1970), 87.
[13]
Heiko A. Oberman, The Harvest of Medieval
Theology (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1963), 102–105.
[14]
Martin Luther, Disputation Against Scholastic
Theology (1517), Thesis 50–52.
[15]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[16]
Étienne Gilson, Descartes and Philosophy
(New York: Random House, 1967), 22–24.
[17]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter
Urbach and John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), I. Aphorism 19.
[18]
Steven Shapin, The Scientific Revolution
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 42–43.
[19]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(New York: Scribner, 1936), 201–203.
[20]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 176–179.
[21]
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 145–147.
[22]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 49–51.
[23]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 42–44.
[24]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990),
157–159.
[25]
Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages,
trans. Teresa Lavender Fagan (Oxford: Blackwell, 1993), 78.
[26]
Brian Tierney, The Idea of Natural Rights:
Studies on Natural Law and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids, MI:
Eerdmans, 1997), 95–98.
[27]
Gilson, The Unity of Philosophical Experience,
110–112.
[28]
Pieper, Leisure, the Basis of Culture (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 90–92.
[29]
Maritain, The Person and the Common Good
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 53–55.
[30]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 204–206.
8.
Relevansi
Kontemporer
Filsafat Skolastik, meskipun berakar pada Abad
Pertengahan, tetap memiliki relevansi yang mendalam dalam konteks pemikiran
kontemporer. Di tengah krisis epistemologis dan moral yang dihadapi dunia
modern—yang ditandai oleh relativisme, sekularisme, dan fragmentasi
pengetahuan—tradisi skolastik menawarkan paradigma integratif yang
menyeimbangkan antara rasio dan iman, ilmu dan nilai, metafisika dan
empirisme.¹ Dalam dunia yang cenderung menolak fondasi metafisis, warisan
skolastik menjadi pengingat bahwa rasionalitas sejati tidak hanya bertujuan
menjelaskan dunia, tetapi juga menempatkannya dalam tatanan makna yang
transenden.²
Salah satu bentuk aktualisasi Skolastisisme di era
modern adalah kebangkitan Neo-Thomisme, terutama setelah ensiklik Aeterni
Patris (1879) yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII.³ Gerakan ini berupaya
mengembalikan pemikiran Thomas Aquinas sebagai dasar bagi dialog antara iman
dan ilmu pengetahuan modern. Neo-Thomisme menegaskan bahwa prinsip-prinsip
metafisika skolastik—seperti actus essendi, causa prima, dan
hukum alam—tetap relevan untuk memahami persoalan manusia kontemporer: dari
krisis moral hingga problem sains dan teknologi.⁴ Dengan kerangka ini,
Skolastisisme menjadi landasan bagi etika normatif yang tidak terjebak dalam
relativisme, sekaligus bagi epistemologi yang menghargai realitas objektif di
tengah konstruktivisme sosial modern.⁵
Dalam bidang etika dan filsafat moral,
Skolastisisme menawarkan solusi bagi kekosongan normatif yang ditinggalkan oleh
etika utilitarian dan deontologis modern.⁶ Konsep hukum alam (lex naturalis)
memberikan fondasi rasional bagi moralitas yang bersifat universal tanpa harus
bergantung pada dogma agama tertentu.⁷ Prinsip bahwa “hukum moral tertanam
dalam kodrat manusia” membuka ruang bagi dialog etika lintas budaya dan
agama.⁸ Dalam konteks globalisasi dan pluralisme nilai, pandangan ini memberi
dasar bagi ethics of common good—etika kebaikan bersama—yang
menyeimbangkan hak individu dengan tanggung jawab sosial.⁹
Relevansi lain dari Skolastisisme tampak dalam
dialog antara teologi dan sains modern. Metafisika skolastik menolak dikotomi
antara dunia spiritual dan dunia material; sebaliknya, ia menegaskan bahwa
hukum-hukum alam adalah bagian dari rasionalitas ilahi yang dapat diselidiki
oleh manusia.¹⁰ Pendekatan ini memberi dasar bagi pandangan kosmos yang sakral,
di mana pengetahuan ilmiah tidak meniadakan iman, tetapi memperluas pemahaman
tentang keteraturan ciptaan.¹¹ Dalam konteks filsafat ilmu, konsep ordo
essendi (tatanan keberadaan) dan causa finalis (tujuan) dari
Skolastisisme memberikan kritik terhadap reduksionisme materialistik yang
mendominasi sains modern.¹²
Selain itu, dalam ranah politik dan sosial,
prinsip-prinsip aksiologis Skolastik seperti bonum commune (kebaikan
bersama), ius naturale (hak kodrati), dan virtus iustitiae
(keadilan sebagai kebajikan moral) menjadi relevan kembali dalam perdebatan
tentang keadilan sosial, hak asasi manusia, dan etika publik.¹³ Pemikiran
Jacques Maritain, misalnya, menegaskan bahwa demokrasi sejati hanya dapat
bertahan bila berakar pada pandangan tentang martabat manusia yang bersumber
dari hukum alam dan keteraturan moral objektif.¹⁴ Prinsip ini membentuk dasar
konseptual bagi Universal Declaration of Human Rights (1948), yang
banyak dipengaruhi oleh tradisi Thomistik.¹⁵
Dalam bidang pendidikan, metode skolastik—lectio,
quaestio, disputatio—masih relevan sebagai model pedagogi yang menumbuhkan
berpikir kritis, logika argumentatif, dan integrasi pengetahuan.¹⁶ Di era
digital yang cenderung instan dan dangkal, metode ini mengajarkan disiplin
intelektual dan kerendahan hati epistemik.¹⁷ Melalui debat rasional dan
pencarian sintesis, pendidikan skolastik menumbuhkan karakter ilmuwan dan
pemikir yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga berakar pada
refleksi moral dan spiritual.¹⁸
Lebih jauh, dalam filsafat lingkungan dan etika
ekologis, pandangan skolastik tentang tatanan alam sebagai refleksi dari
rasionalitas ilahi memberikan dasar metafisis bagi ekologisme modern.¹⁹ Dalam
perspektif ini, alam bukan sekadar sumber daya, tetapi creatio continua—ciptaan
yang terus menerus berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan.²⁰ Pandangan ini
menegaskan tanggung jawab manusia untuk menjaga keseimbangan kosmik dan menolak
eksploitasi alam yang reduksionistik.²¹
Akhirnya, relevansi kontemporer Filsafat Skolastik
terletak pada kemampuannya menawarkan sintesis di tengah krisis dualisme
modern: antara iman dan akal, teori dan praktik, kebebasan dan kebenaran.²² Dalam
masyarakat post-sekuler, gagasan skolastik tentang rasionalitas teonomis
menjadi landasan bagi dialog baru antara agama, sains, dan filsafat.²³ Ia tidak
menolak modernitas, tetapi mengoreksinya dengan menawarkan fondasi metafisis
yang memungkinkan rasio untuk kembali berpihak pada kebenaran, bukan hanya pada
efisiensi.²⁴ Dengan demikian, Filsafat Skolastik bukan sekadar warisan sejarah,
tetapi horizon intelektual yang terus hidup dan menantang manusia modern untuk
menata kembali hubungan antara pengetahuan, moralitas, dan iman.²⁵
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Scribner, 1937), 201–203.
[2]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 84–86.
[3]
Leo XIII, Aeterni Patris (Rome: Libreria
Editrice Vaticana, 1879), §1–5.
[4]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 185–188.
[5]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 92–94.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 243–245.
[7]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 50–52.
[8]
Yves R. Simon, The Tradition of Natural Law
(New York: Fordham University Press, 1965), 62–65.
[9]
Jacques Maritain, The Person and the Common Good
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 47–50.
[10]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles,
trans. Anton Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975),
II.4.
[11]
Josef Pieper, Reality and the Good (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 72–75.
[12]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 132–134.
[13]
Brian Tierney, The Idea of Natural Rights:
Studies on Natural Law and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids, MI:
Eerdmans, 1997), 189–191.
[14]
Maritain, Man and the State (Chicago:
University of Chicago Press, 1951), 10–13.
[15]
John Witte Jr., God’s Joust, God’s Justice: Law
and Religion in the Western Tradition (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2006),
221.
[16]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought
(London: Longman, 1988), 111–113.
[17]
Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 99.
[18]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990),
167–170.
[19]
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997), 55–57.
[20]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.104.a.1.
[21]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §66–69.
[22]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(New York: Scribner, 1936), 215–217.
[23]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 770–772.
[24]
Pieper, The Silence of St. Thomas (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 97–99.
[25]
Maritain, Integral Humanism (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1973), 145–147.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Rasionalitas Transenden dan Harmoni Iman-Rasio
Sintesis filosofis dalam tradisi Filsafat Skolastik
merupakan upaya besar untuk memadukan iman dan akal dalam satu struktur
rasional yang koheren, universal, dan transenden.¹ Tradisi ini tidak
menempatkan akal dan iman sebagai dua prinsip yang saling meniadakan, tetapi
sebagai dua aspek yang saling melengkapi dari pencarian kebenaran yang sama.² Rasio
memberikan bentuk, sistematisasi, dan argumen terhadap keyakinan, sementara
iman memberikan orientasi eksistensial dan makna ultimate bagi rasionalitas itu
sendiri.³ Dengan demikian, Skolastisisme melahirkan suatu model rasionalitas
teonomis—rasionalitas yang berpijak pada otonomi akal, tetapi tetap berakar
pada sumber ilahi.
Thomas Aquinas menjadi figur sentral dalam sintesis
ini.⁴ Ia mengembangkan struktur filsafat yang menghubungkan metafisika
Aristoteles dengan teologi Kristen dalam kerangka harmonis antara esse
(ada) dan actus essendi (tindakan mengada).⁵ Dalam pandangan Aquinas,
Tuhan adalah ipsum esse subsistens—keberadaan itu sendiri yang menjadi
dasar bagi seluruh realitas.⁶ Segala sesuatu yang ada merupakan partisipasi
dalam keberadaan Tuhan, sehingga setiap wujud memiliki nilai dan tujuan
teleologis yang menuntunnya kepada sumber ilahi.⁷ Melalui gagasan ini, Aquinas
memadukan ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam sistem metafisika
partisipatif: manusia mengenal kebenaran karena ia mengambil bagian dalam
keberadaan yang berasal dari Tuhan.⁸
Bonaventura, di sisi lain, menambahkan unsur mistik
dalam sintesis skolastik.⁹ Ia menegaskan bahwa akal, meskipun penting, tidak
dapat mencapai kebenaran tertinggi tanpa iluminasi ilahi (lumen divinum).¹⁰
Pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang diterangi oleh kasih dan
kontemplasi.¹¹ Dalam hal ini, Bonaventura menghadirkan keseimbangan antara via
rationalis (jalan rasional) dan via mystica (jalan kontemplatif),
menegaskan bahwa rasionalitas manusia hanya mencapai puncaknya ketika bersatu
dengan dimensi spiritual.¹²
Sintesis filosofis skolastik juga dapat dipahami
sebagai integrasi antara ordo rerum (tatanan realitas) dan ordo
cognitionis (tatanan pengetahuan).¹³ Dunia dipandang sebagai struktur
rasional yang mencerminkan kebijaksanaan ilahi, dan akal manusia sebagai
instrumen untuk menafsirkan struktur itu.¹⁴ Oleh karena itu, bagi para
skolastikus, pengetahuan bukan sekadar representasi, melainkan partisipasi
dalam realitas yang lebih tinggi.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi skolastik
bersifat ontologis—mengetahui berarti mengambil bagian dalam keberadaan.¹⁶
Dalam dimensi etis, sintesis skolastik menempatkan
kebebasan dan moralitas dalam kerangka teleologis.¹⁷ Manusia bebas bukan karena
dapat memilih secara arbitrer, tetapi karena ia dapat mengarahkan dirinya
menuju kebaikan sejati yang sesuai dengan hakikat rasionalnya.¹⁸ Kebebasan yang
sejati adalah partisipasi dalam hukum alam dan kehendak ilahi, bukan sekadar
pelepasan dari norma eksternal.¹⁹ Dengan demikian, Skolastisisme
mengintegrasikan rasionalitas praktis dengan spiritualitas moral: akal menuntun
kehendak, dan kehendak meneguhkan akal dalam orientasi menuju Summum Bonum.²⁰
Secara metodologis, sintesis skolastik juga
merupakan model epistemik yang menjembatani antara deduksi logis dan iluminasi
metafisis.²¹ Metode quaestio dan disputatio mendorong dialog
rasional yang terbuka terhadap koreksi, sekaligus tunduk pada keteraturan
kebenaran objektif.²² Inilah bentuk awal dari rasionalitas kritis yang tetap
terikat pada prinsip etis dan teologis.²³ Dengan cara ini, skolastisisme
mempersatukan ketepatan logika dengan kedalaman spiritualitas—mengajarkan bahwa
berpikir benar adalah juga bertindak benar.²⁴
Dalam konteks modern, sintesis filosofis skolastik
dapat dipahami sebagai paradigma yang melampaui dikotomi klasik modernitas:
antara iman dan ilmu, metafisika dan empirisme, subjek dan objek.²⁵
Neo-Thomisme abad ke-20 berupaya memperbarui sintesis ini dengan memperkenalkan
konsep “rasionalitas partisipatif,” di mana akal manusia berpartisipasi
dalam logos ilahi yang imanen di dunia.²⁶ Jacques Maritain menyebut pendekatan
ini sebagai humanisme integral—upaya untuk memulihkan kesatuan manusia
sebagai makhluk rasional, moral, dan spiritual di tengah disintegrasi
modernitas.²⁷
Sintesis ini juga mengandung dimensi aksiologis:
kebenaran, kebaikan, dan keindahan dipandang sebagai satu kesatuan yang
berpangkal pada Tuhan.²⁸ Ketiganya tidak dapat dipisahkan karena berasal dari
sumber yang sama. Kebenaran memberi arah bagi pengetahuan; kebaikan mengarahkan
tindakan; keindahan memurnikan pengalaman eksistensial manusia terhadap
realitas.²⁹ Dengan demikian, rasionalitas skolastik adalah rasionalitas yang
memuliakan kehidupan, karena ia tidak berhenti pada pengetahuan instrumental,
melainkan menuntun pada transformasi moral dan spiritual.³⁰
Akhirnya, sintesis filosofis Filsafat Skolastik
menunjukkan bahwa filsafat tidak sekadar mencari “penjelasan” tentang
realitas, tetapi “pemahaman” yang mengandung makna etis dan teologis.³¹
Dalam dunia yang terfragmentasi oleh relativisme dan teknokrasi, warisan
skolastik menghadirkan paradigma rasionalitas relasional dan partisipatif yang
mengintegrasikan iman, akal, dan kasih.³² Sintesis ini menegaskan kembali visi
klasik filsafat: bahwa pencarian kebenaran adalah sekaligus pencarian
kebijaksanaan (sapientia)—suatu kesatuan antara mengetahui, mencintai,
dan mengada.³³
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner, 1936), 217–219.
[2]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 91.
[3]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 7.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 210–214.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.3.a.4.
[6]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 145–148.
[7]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 34–35.
[8]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 152–154.
[9]
Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum,
trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. II–III.
[10]
Ibid., ch. VI.
[11]
Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 102.
[12]
Gilson, History of Christian Philosophy in the
Middle Ages (New York: Random House, 1955), 231–233.
[13]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought
(London: Longman, 1988), 120–122.
[14]
Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral
Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of
America Press, 1997), 63.
[15]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 174.
[16]
Gilson, The Unity of Philosophical Experience
(New York: Scribner, 1937), 118–119.
[17]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 54–55.
[18]
Jacques Maritain, The Person and the Common Good
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 58.
[19]
Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 20–21.
[20]
Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 177.
[21]
Knowles, The Evolution of Medieval Thought,
126–127.
[22]
Pieper, The Silence of St. Thomas (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 85.
[23]
Clarke, The One and the Many, 83.
[24]
Maritain, Integral Humanism (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1973), 119.
[25]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
225.
[26]
Maritain, Existence and the Existent (New
York: Pantheon, 1948), 68.
[27]
Jacques Maritain, Humanisme Intégral (Paris:
Aubier, 1936), 94–96.
[28]
Josef Pieper, Reality and the Good (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 84–86.
[29]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 201.
[30]
Pieper, The Concept of Sin (South Bend, IN:
St. Augustine’s Press, 2001), 29–30.
[31]
MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1981), 260.
[32]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 774.
[33]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience, 126–127.
10. Kesimpulan
Filsafat Skolastik merupakan salah satu tonggak
terbesar dalam sejarah pemikiran manusia, di mana rasionalitas dan iman bersatu
dalam satu horizon intelektual yang saling memperkaya.¹ Ia tidak hanya
mewariskan sistem filsafat yang ketat secara logis, tetapi juga menghadirkan
pandangan dunia yang menyatukan metafisika, etika, dan teologi dalam kerangka
yang koheren dan hierarkis.² Dalam Skolastisisme, akal budi manusia dipandang
sebagai cerminan rasionalitas ilahi, yang berfungsi bukan untuk menyaingi
wahyu, melainkan untuk menyingkap keteraturan ciptaan dan partisipasi manusia
di dalam kebenaran transenden.³
Sepanjang perkembangannya, Skolastisisme
membuktikan dirinya bukan sekadar sistem intelektual abad pertengahan, tetapi
sebuah tradisi filosofis yang memiliki daya hidup melampaui zamannya.⁴ Melalui
tokoh-tokoh seperti Anselmus, Thomas Aquinas, Bonaventura, dan Duns Scotus,
Skolastisisme memperlihatkan kemampuan adaptif dan reflektif terhadap
persoalan-persoalan epistemologis dan metafisis.⁵ Setiap tokoh memperluas
cakrawala rasionalitas manusia: Anselmus dengan argumentasi ontologisnya yang
menautkan iman dan nalar; Aquinas dengan sintesis metafisika Aristotelian dan
teologi Kristen; Bonaventura dengan iluminasi mistiknya; serta Scotus dengan
penegasan individualitas eksistensial (haecceitas).⁶ Semua ini
menegaskan bahwa Skolastisisme bukan dogma beku, melainkan tradisi reflektif
yang senantiasa terbuka terhadap dialog antara akal dan wahyu.⁷
Dari sisi epistemologi, Skolastisisme menunjukkan
bahwa pengetahuan sejati tidak dapat dilepaskan dari nilai dan tujuan.⁸
Kebenaran bukan sekadar korespondensi antara pikiran dan realitas (adaequatio
rei et intellectus), tetapi juga partisipasi dalam rasionalitas ilahi yang
menjadi dasar keberadaan.⁹ Dengan demikian, pengetahuan memiliki dimensi moral
dan teologis, karena setiap penalaran yang benar pada akhirnya mengarah kepada
Tuhan sebagai sumber kebenaran itu sendiri.¹⁰ Dalam hal ini, rasionalitas
skolastik bukan sekadar intelektual, tetapi juga kontemplatif: berpikir adalah
sekaligus berdoa, menalar adalah sekaligus mencari kesempurnaan jiwa.¹¹
Secara aksiologis, sistem etika skolastik
memberikan alternatif mendalam terhadap krisis moral modern.¹² Dengan
berlandaskan pada hukum alam dan teleologi moral, Skolastisisme menegaskan
bahwa kebebasan manusia bukanlah kebebasan tanpa arah, melainkan kebebasan
untuk mewujudkan kebaikan sejati sesuai dengan kodrat rasionalnya.¹³ Konsep virtus
dan bonum commune menawarkan dasar bagi moralitas sosial yang harmonis,
di mana individu dan komunitas terhubung oleh tujuan yang sama: mencapai
kebahagiaan tertinggi (beatitudo) melalui kesempurnaan akal dan kasih.¹⁴
Dalam dunia kontemporer yang terfragmentasi oleh relativisme nilai dan
hedonisme, prinsip-prinsip ini memberikan panduan etis yang rasional sekaligus
spiritual.¹⁵
Di bidang metafisika, Skolastisisme memperkenalkan
cara berpikir yang menolak dualisme ekstrem.¹⁶ Ia memandang realitas sebagai
satu kesatuan yang berjenjang—dari materi hingga roh, dari ciptaan hingga Sang
Pencipta—dalam tatanan hierarki wujud yang saling terkait.¹⁷ Konsep actus
essendi Aquinas, misalnya, memperlihatkan bahwa setiap keberadaan merupakan
partisipasi dalam Keberadaan Mutlak (Esse Subsistens).¹⁸ Dengan
demikian, seluruh realitas memiliki makna religius dan moral, karena keberadaan
itu sendiri adalah karunia ilahi yang mengundang manusia untuk bersyukur,
memahami, dan menjaga keteraturan ciptaan.¹⁹
Kritik terhadap Skolastisisme, terutama dari
rasionalisme dan empirisme modern, tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan
tradisi ini membangun sistem pengetahuan yang kuat.²⁰ Modernitas memang
berusaha melepaskan diri dari metafisika skolastik, tetapi justru melalui
penolakannya itu ia tetap mewarisi struktur metodologis skolastik—rasionalitas
sistematis, logika argumentatif, dan penghargaan terhadap koherensi
konseptual.²¹ Di sisi lain, kebangkitan Neo-Thomisme dan filsafat personalisme
abad ke-20 menunjukkan bahwa nilai-nilai skolastik tetap hidup dan relevan
untuk menjawab persoalan etika, politik, dan sains kontemporer.²²
Akhirnya, sintesis filosofis Skolastisisme
memperlihatkan bahwa pengetahuan sejati selalu bersifat dialogis—antara iman
dan akal, antara dunia dan transendensi.²³ Dalam semangat fides quaerens
intellectum, manusia dipanggil untuk menggunakan akalnya bukan untuk
menggantikan Tuhan, tetapi untuk mengenal-Nya secara lebih mendalam.²⁴
Rasionalitas skolastik menegaskan bahwa pencarian kebenaran sejati berakhir
bukan pada pengetahuan yang final, melainkan pada kontemplasi dan
penyembahan.²⁵ Karena itu, warisan Skolastisisme tetap menjadi cahaya bagi
filsafat modern dan postmodern: ia mengingatkan bahwa rasionalitas tanpa
transendensi akan kehilangan arah, dan iman tanpa rasio akan kehilangan daya
pemahaman.²⁶
Dengan demikian, Filsafat Skolastik bukan hanya
artefak sejarah intelektual, tetapi fondasi bagi pembaharuan rasionalitas
manusia.²⁷ Ia menawarkan model berpikir yang menyatukan ilmu dan kebijaksanaan
(scientia et sapientia), menjadikan filsafat bukan sekadar sarana
pengetahuan, tetapi jalan menuju pemahaman eksistensial tentang kebenaran,
kebaikan, dan keindahan dalam Tuhan sebagai tujuan akhir segala sesuatu.²⁸
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Scribner, 1937), 201–204.
[2]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 97–98.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.2.a.3.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 209–210.
[5]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 121–123.
[6]
Bonaventure, Itinerarium Mentis in Deum,
trans. Philotheus Boehner (Indianapolis: Hackett, 1993), ch. II.
[7]
John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B.
Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2004), II.d.3.q.2.
[8]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed and Ward, 1931), 153–156.
[9]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 41–43.
[10]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(New York: Scribner, 1936), 148.
[11]
Josef Pieper, Leisure, the Basis of Culture
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 104–106.
[12]
Ralph McInerny, Ethica Thomistica: The Moral
Philosophy of Thomas Aquinas (Washington, D.C.: Catholic University of
America Press, 1997), 65–67.
[13]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 57–59.
[14]
Jacques Maritain, The Person and the Common Good
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 51–54.
[15]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 257.
[16]
Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1949), 187–189.
[17]
Josef Pieper, Reality and the Good (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2002), 77–78.
[18]
Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, trans.
Armand Maurer (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1968), ch.
4.
[19]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 145.
[20]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience,
212–214.
[21]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 269–270.
[22]
Jacques Maritain, Integral Humanism (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1973), 140–143.
[23]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 91–93.
[24]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), 7–8.
[25]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
226–228.
[26]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 777.
[27]
W. Norris Clarke, Person and Being
(Milwaukee: Marquette University Press, 1993), 99–100.
[28]
Josef Pieper, Scholasticism and Humanism,
102–103.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York, NY: Benziger
Bros.
Aquinas, T. (1968). De Ente et Essentia (A.
Maurer, Trans.). Toronto, Canada: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Aquinas, T. (1952). De Veritate (R. W.
Mulligan, Trans.). Chicago, IL: Henry Regnery.
Aquinas, T. (1975). Summa Contra Gentiles
(A. Pegis, Trans.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Aquinas, T. (1959). Quaestiones Disputatae de
Anima (R. Busa, Ed.). Rome, Italy: Leonine Edition.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean Ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.
Aristotle. (1924). De Anima (W. D. Ross,
Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Augustine. (1984). The City of God (H.
Bettenson, Trans.). London, UK: Penguin.
Augustine. (1991). The Trinity (E. Hill,
Trans.). Brooklyn, NY: New City Press.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Bacon, F. (1994). Novum Organum (P. Urbach
& J. Gibson, Trans.). Chicago, IL: Open Court.
Boff, L. (1997). Cry of the Earth, Cry of the
Poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Bonaventure. (1993). Itinerarium Mentis in Deum
(P. Boehner, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.
Clarke, W. N. (1993). Person and Being.
Milwaukee, WI: Marquette University Press.
Clarke, W. N. (2001). The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics. Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press.
Copleston, F. (1993). A History of Philosophy,
Vol. II: Medieval Philosophy. New York, NY: Image Books.
Descartes, R. (1996). Meditations on First
Philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Finnis, J. (1980). Natural Law and Natural
Rights. Oxford, UK: Clarendon Press.
Francis, P. (2015). Laudato Si’: On Care for Our
Common Home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.
Gilson, É. (1936). The Spirit of Medieval
Philosophy. New York, NY: Scribner.
Gilson, É. (1937). The Unity of Philosophical
Experience. New York, NY: Scribner.
Gilson, É. (1949). Being and Some Philosophers.
Toronto, Canada: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gilson, É. (1955). History of Christian
Philosophy in the Middle Ages. New York, NY: Random House.
Gilson, É. (1956). The Christian Philosophy of
St. Thomas Aquinas. New York, NY: Random House.
Gilson, É. (1967). Descartes and Philosophy.
New York, NY: Random House.
Kenny, A. (1993). Aquinas on Mind. London,
UK: Routledge.
Kenny, A. (2005). Medieval Philosophy.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Knowles, D. (1988). The Evolution of Medieval
Thought. London, UK: Longman.
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance Thought
and Its Sources. New York, NY: Columbia University Press.
Le Goff, J. (1993). Intellectuals in the Middle
Ages (T. L. Fagan, Trans.). Oxford, UK: Blackwell.
Leaman, O. (1988). Averroes and His Philosophy.
Oxford, UK: Clarendon Press.
Leo XIII. (1879). Aeterni Patris. Rome,
Italy: Libreria Editrice Vaticana.
Luther, M. (1517). Disputation Against
Scholastic Theology. Wittenberg, Germany.
MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1990). Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition. Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1999). Dependent Rational
Animals: Why Human Beings Need the Virtues. Chicago, IL: Open Court.
Maritain, J. (1931). An Introduction to
Philosophy. New York, NY: Sheed and Ward.
Maritain, J. (1936). Humanisme Intégral.
Paris, France: Aubier.
Maritain, J. (1948). Existence and the Existent.
New York, NY: Pantheon.
Maritain, J. (1951). Man and the State.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Maritain, J. (1966). The Person and the Common
Good. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Maritain, J. (1973). Integral Humanism.
Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
McInerny, R. (1996). Aquinas and Analogy.
Washington, D.C.: Catholic University of America Press.
McInerny, R. (1997). Ethica Thomistica: The
Moral Philosophy of Thomas Aquinas. Washington, D.C.: Catholic University
of America Press.
McCord Adams, M. (1987). William Ockham.
Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Oberman, H. A. (1963). The Harvest of Medieval
Theology. Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Pieper, J. (1955). Fortitude and Temperance.
Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Pieper, J. (1966). The Four Cardinal Virtues:
Prudence, Justice, Fortitude, Temperance. Notre Dame, IN: University of
Notre Dame Press.
Pieper, J. (1998). Leisure, the Basis of Culture.
South Bend, IN: St. Augustine’s Press.
Pieper, J. (1999). The Silence of St. Thomas.
South Bend, IN: St. Augustine’s Press.
Pieper, J. (2001). The Concept of Sin. South
Bend, IN: St. Augustine’s Press.
Pieper, J. (2002). Reality and the Good. South
Bend, IN: St. Augustine’s Press.
Southern, R. (1995). Scholastic Humanism and the
Unification of Europe, Vol. 1. Oxford, UK: Blackwell.
Southern, R. (2001). Scholastic Humanism and the
Unification of Europe, Vol. 2. Oxford, UK: Blackwell.
Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Tierney, B. (1997). The Idea of Natural Rights:
Studies on Natural Law and Church Law, 1150–1625. Grand Rapids, MI:
Eerdmans.
Trinkaus, C. (1970). In Our Image and Likeness:
Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought. Chicago, IL: University
of Chicago Press.
Wippel, J. F. (2000). The Metaphysical Thought
of Thomas Aquinas. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.
Witte, J., Jr. (2006). God’s Joust, God’s
Justice: Law and Religion in the Western Tradition. Grand Rapids, MI:
Eerdmans.
Wolter, A. B. (1946). The Transcendentals and
Their Function in the Metaphysics of Duns Scotus. St. Bonaventure, NY:
Franciscan Institute.
Wolter, A. B. (2004). John Duns Scotus:
Ordinatio (Trans.). St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute.
Simon, Y. R. (1965). The Tradition of Natural
Law: A Philosopher’s Reflections. New York, NY: Fordham University Press.
Shapin, S. (1996). The Scientific Revolution.
Chicago, IL: University of Chicago Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar