Pemikiran Albert Camus
Absurd, Pemberontakan, dan Humanisme dalam Filsafat
Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas pemikiran filsuf, penulis, dan
jurnalis Prancis Albert Camus (1913–1960) dengan menyoroti gagasannya tentang
absurditas, pemberontakan, kebebasan, serta etika humanisme. Berangkat dari
konteks historis kolonialisme di Aljazair, pengalaman perang, dan dinamika
intelektual Prancis pasca-Perang Dunia II, pemikiran Camus ditelusuri melalui
karya-karya filosofis dan sastra utamanya seperti Le Mythe de Sisyphe, L’Homme
Révolté, L’Étranger, dan La Peste. Artikel ini menguraikan
bagaimana Camus memaknai absurditas sebagai kondisi fundamental manusia, yang
kemudian melahirkan respons berupa pemberontakan etis dan solidaritas.
Kebebasan dalam pandangan Camus tidak bersifat absolut, melainkan terikat pada
kesadaran akan keterbatasan, yang menjadi landasan bagi etika humanisme
universal. Estetika dan sastra diposisikan bukan sekadar medium ekspresi,
melainkan sarana utama bagi artikulasi filsafatnya. Selain membahas apresiasi,
artikel ini juga mengulas kritik dan kontroversi, seperti perdebatan dengan
Jean-Paul Sartre serta sikap ambivalen terhadap kolonialisme di Aljazair. Pada
akhirnya, pemikiran Camus tetap relevan dalam konteks kontemporer, terutama
dalam menghadapi krisis makna, kekerasan ideologis, dan tantangan global.
Artikel ini menyimpulkan bahwa Camus menawarkan alternatif humanisme kritis
yang menolak nihilisme sekaligus menghindari absolutisme ideologis, sehingga
menghadirkan warisan intelektual yang penting bagi filsafat modern dan
kehidupan manusia abad ke-21.
Kata Kunci: Albert
Camus, absurditas, pemberontakan, kebebasan, humanisme, eksistensialisme,
sastra Prancis, etika.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Albert Camus
1.          
Pendahuluan
Albert Camus (1913–1960) dikenal sebagai salah satu
pemikir paling berpengaruh dalam filsafat modern, terutama melalui
gagasan-gagasannya mengenai absurditas, pemberontakan, dan humanisme. Meskipun
kerap dikaitkan dengan arus eksistensialisme Prancis, Camus secara eksplisit
menolak label eksistensialis, dan lebih memilih untuk menempatkan dirinya
sebagai seorang “filsuf absurditas.”¹ Posisi Camus unik karena ia tidak
hanya berkiprah sebagai filsuf, melainkan juga sebagai novelis, dramawan, dan
jurnalis. Dengan demikian, filsafatnya bukan hanya berupa konstruksi abstrak,
tetapi juga terartikulasikan melalui medium sastra dan seni.²
Latar belakang historis yang membentuk pemikiran
Camus tidak bisa dilepaskan dari konteks abad ke-20: kolonialisme Prancis di
Aljazair, trauma Perang Dunia II, serta pergulatan politik antara kapitalisme,
komunisme, dan fasisme.³ Situasi sosial-politik yang penuh kekerasan dan
absurditas inilah yang mendorong Camus merumuskan filsafat yang menolak
nihilisme, tetapi juga skeptis terhadap ideologi absolut yang menjanjikan makna
final bagi manusia. Pemikiran Camus menempatkan manusia sebagai subjek yang
berjuang mencari makna dalam dunia yang bisu, tanpa harus menyerah pada
keputusasaan atau dogmatisme.⁴
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara
sistematis pemikiran Albert Camus dengan menekankan tiga poros utama: konsep
absurditas, gagasan pemberontakan, serta etika humanisme yang menjadi landasan
moral dalam menghadapi kondisi modern. Selain itu, pembahasan juga akan
menyinggung dimensi estetika sastra Camus sebagai medium filsafat yang
komunikatif, serta menilai relevansi gagasannya dalam konteks kontemporer.
Dengan pendekatan ini, artikel diharapkan mampu memberikan gambaran
komprehensif mengenai posisi Camus dalam peta filsafat modern sekaligus
signifikansi warisannya bagi dunia intelektual saat ini.
Footnotes
[1]               
Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris:
Gallimard, 1942), 11–12.
[2]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 5–7.
[3]               
Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals,
1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 101–104.
[4]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 23–25.
2.          
Biografi Intelektual
Albert Camus
Albert Camus lahir
pada 7 November 1913 di Mondovi, Aljazair, sebuah koloni Prancis pada masa itu.
Ayahnya, Lucien Camus, seorang buruh kebun anggur, meninggal pada tahun 1914
dalam pertempuran Marne saat Perang Dunia I. Ia kemudian dibesarkan oleh
ibunya, Catherine Sintès, seorang perempuan keturunan Spanyol yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga. Kehidupan dalam keluarga miskin di Aljazair
memberikan Camus pengalaman langsung mengenai ketidakadilan sosial, kemiskinan,
dan keterasingan yang
kelak membentuk sensibilitas humanistik sekaligus kritik sosial dalam
karya-karyanya.¹
Pendidikan Camus
dimulai di Universitas Aljir, tempat ia menekuni filsafat dengan fokus awal
pada kajian tentang Plotinus dan Agustinus. Namun, karena menderita
tuberkulosis sejak usia muda, Camus harus menghentikan studi formalnya.²
Penyakit tersebut membuatnya semakin menyadari keterbatasan manusia dan kerapuhan eksistensi, yang kemudian
mengilhami pandangannya tentang absurditas kehidupan. Selama masa mudanya,
Camus aktif dalam teater melalui kelompok Théâtre du Travail (Theater of the
Workers), yang berusaha menghubungkan seni dengan perjuangan sosial, sebuah
aktivitas yang menegaskan keterkaitan erat antara estetik dan etika dalam
pemikirannya.³
Karier jurnalistik
Camus dimulai dengan menulis untuk harian Alger Républicain, di mana ia
mengekspos ketidakadilan kolonialisme dan kondisi rakyat miskin di Kabylia.⁴
Laporan-laporan investigatifnya tidak hanya memperlihatkan keberanian moral,
tetapi juga menegaskan komitmennya pada kebenaran dan solidaritas manusia.
Keterlibatannya dalam jurnalisme membentuk gaya berpikir yang konkret, faktual,
dan kritis, sehingga filsafatnya selalu bersifat terikat pada realitas sosial,
bukan spekulasi metafisik semata.
Pada masa pendudukan
Nazi di Prancis, Camus bergabung dengan kelompok perlawanan intelektual melalui
surat kabar bawah tanah Combat.⁵ Di sinilah reputasinya
sebagai intelektual publik semakin menguat: ia menolak nihilisme fasis
sekaligus menolak dogmatisme
ideologi totalitarian. Setelah perang, Camus menjadi figur penting dalam wacana
filsafat Prancis, meskipun perselisihannya dengan Jean-Paul Sartre mengenai
komunisme dan peran politik intelektual menandai jarak filosofis di antara
keduanya.⁶
Puncak pengakuan
dunia datang pada tahun 1957 ketika ia dianugerahi Hadiah Nobel Sastra atas
karya-karyanya yang dianggap “menerangi
problem kesadaran manusia di zaman modern.”⁷ Meski wafat secara
tragis dalam kecelakaan mobil pada tahun 1960, warisan intelektual Camus tetap
bertahan. Biografi intelektualnya memperlihatkan perpaduan unik antara filsafat,
sastra, dan jurnalisme, yang
semuanya diarahkan untuk mempertanyakan dan melawan absurditas, ketidakadilan,
serta kekerasan dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]               
Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New York: Alfred A. Knopf,
1997), 3–6.
[2]               
Herbert R. Lottman, Albert Camus: A Biography (Garden City,
NY: Doubleday, 1979), 41–45.
[3]               
Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern French Literature:
From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 112–115.
[4]               
Camus, “Misère de la Kabylie,” Alger Républicain, 1939.
[5]               
Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956
(Berkeley: University of California Press, 1992), 132–135.
[6]               
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the
Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 87–92.
[7]               
“The Nobel Prize in Literature 1957: Albert Camus,” Nobel Prize
Outreach, diakses 29 September 2025, nobelprize.org.
3.          
Filsafat Absurditas
Konsep absurditas merupakan inti dari filsafat
Albert Camus. Ia memaknai absurditas sebagai kondisi fundamental manusia yang
muncul dari ketegangan antara kerinduan manusia akan makna yang utuh dengan “keheningan”
dunia yang tidak memberikan jawaban final.¹ Absurditas, dengan demikian,
bukanlah sifat dunia itu sendiri maupun esensi manusia, melainkan pengalaman
eksistensial yang lahir dari konfrontasi keduanya.² Dalam Le Mythe de
Sisyphe (1942), Camus menegaskan bahwa absurditas adalah titik awal
filsafatnya, dan bahwa seluruh upaya mencari makna harus berangkat dari
pengakuan akan realitas ini.³
Salah satu konsekuensi langsung dari kesadaran akan
absurditas adalah munculnya pertanyaan radikal: “Apakah hidup layak
dijalani?”⁴ Bagi Camus, inilah persoalan filosofis yang paling mendasar.
Alih-alih menawarkan solusi metafisis, ia menolak dua bentuk pelarian: bunuh
diri fisik dan “bunuh diri filosofis.” Bunuh diri fisik dianggap sebagai
bentuk penolakan atas kehidupan, sementara bunuh diri filosofis—yakni menerima
solusi transenden seperti Tuhan atau ideologi absolut—dipandang sebagai
penyangkalan terhadap absurditas itu sendiri.⁵
Sebagai alternatif, Camus mengajukan pilihan untuk
“hidup dengan sadar dalam absurditas.”⁶ Kehidupan yang absurd justru
harus dijalani dengan penuh kesadaran, tanpa ilusi akan makna transenden. Dalam
konteks ini, mitos Sisifus menjadi alegori penting. Sisifus, yang dikutuk para
dewa untuk mendorong batu ke puncak gunung hanya agar batu itu jatuh kembali,
melambangkan manusia modern yang
berjuang tanpa akhir dalam dunia tanpa makna final. Namun, menurut Camus,
kesadaran Sisifus atas nasibnya sekaligus penerimaan terhadapnya menjadikan ia
“lebih besar daripada penderitaannya.”⁷ Dengan demikian, Camus
menyimpulkan, “kita harus membayangkan Sisifus bahagia.”⁸
Absurditas tidak berhenti pada kesadaran akan
kehampaan, melainkan membuka ruang bagi kebebasan. Tanpa keyakinan pada makna
mutlak, manusia justru memperoleh kebebasan untuk menciptakan nilai, memilih
tindakannya, dan mengafirmasi kehidupan dalam segala keterbatasannya.⁹ Dari
titik inilah, pemikiran Camus berkembang menuju konsep pemberontakan (révolte)
sebagai bentuk respons aktif terhadap absurditas—sebuah tema yang akan dibahas
dalam bagian berikutnya.
Footnotes
[1]               
Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris:
Gallimard, 1942), 25–26.
[2]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 12–14.
[3]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 19–21.
[4]               
Camus, Le Mythe de Sisyphe, 17.
[5]               
Thomas Nagel, “The Absurd,” Journal of
Philosophy 68, no. 20 (1971): 716–718.
[6]               
Camus, Le Mythe de Sisyphe, 54–55.
[7]               
Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus
and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 44–46.
[8]               
Camus, Le Mythe de Sisyphe, 123.
[9]               
John Foley, Albert Camus: From the Absurd to
Revolt (London: Routledge, 2008), 33–36.
4.          
Pemberontakan
(Revolt)
Jika absurditas merupakan titik awal filsafat
Camus, maka pemberontakan (révolte) adalah respons etis sekaligus
praksis terhadap kondisi tersebut. Dalam L’Homme Révolté (1951), Camus
mendefinisikan pemberontakan sebagai tindakan manusia yang menolak absurditas
tanpa melarikan diri ke dalam nihilisme atau dogma transendental.¹
Pemberontakan bukanlah sikap
destruktif semata, melainkan afirmasi martabat manusia, perlawanan terhadap
ketidakadilan, dan pengakuan atas solidaritas sesama.² Dengan kata lain,
pemberontakan bagi Camus adalah pilihan eksistensial untuk mengatakan “ya”
pada kehidupan meski dunia tidak menawarkan makna yang pasti.
Camus membedakan pemberontakan individu dengan
pemberontakan kolektif. Pemberontakan individu lahir dari kesadaran personal
akan absurditas, seperti tokoh Meursault dalam L’Étranger, yang menolak
norma sosial dengan menerima absurditas hidupnya.³ Namun, pemberontakan
kolektif melampaui ranah individual: ia muncul ketika manusia bersatu melawan
penindasan politik, sosial, atau ideologis.⁴ Camus menegaskan bahwa pemberontakan sejati tidak boleh jatuh ke dalam kekerasan
totalitarian, sebab hal itu justru mengingkari nilai kemanusiaan yang hendak
dibela.⁵
Dalam konteks sejarah abad ke-20, Camus sangat
kritis terhadap revolusi yang berujung pada tirani, khususnya dalam kritiknya
terhadap komunisme Soviet. Menurutnya, revolusi yang mengklaim membawa
pembebasan, tetapi kemudian melanggengkan penindasan, adalah bentuk
pengkhianatan terhadap prinsip pemberontakan.⁶ Oleh karena itu, pemberontakan
harus tetap terbatas pada prinsip moral: menolak ketidakadilan, namun sekaligus
meneguhkan batasan etis agar tidak berubah menjadi teror.⁷
Pemberontakan juga erat kaitannya dengan kebebasan.
Jika absurditas membuka ruang bagi kebebasan individu, maka pemberontakan
menjadikan kebebasan itu sebagai tanggung
jawab kolektif.⁸ Camus melihat pemberontakan sebagai jalan tengah antara
nihilisme (yang meniadakan nilai) dan dogmatisme ideologis (yang memaksakan
makna absolut). Dengan demikian, pemberontakan bukanlah akhir dari filsafat
absurditas, melainkan kelanjutannya: sebuah ajakan untuk hidup secara otentik,
bebas, dan solider.⁹
Footnotes
[1]               
Albert Camus, L’Homme Révolté (Paris:
Gallimard, 1951), 19–21.
[2]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 55–58.
[3]               
Albert Camus, L’Étranger (Paris: Gallimard,
1942), 118–120.
[4]               
John Foley, Albert Camus: From the Absurd to
Revolt (London: Routledge, 2008), 63–66.
[5]               
Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus
and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 72–74.
[6]               
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a
Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago
Press, 2004), 101–105.
[7]               
Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals,
1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 142–145.
[8]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 97–100.
[9]               
Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt,
89–91.
5.          
Kebebasan dan Etika
Humanisme
Bagi Albert Camus, kesadaran akan absurditas tidak
mengarah pada keputusasaan, melainkan membuka jalan menuju kebebasan. Ia
menegaskan bahwa tanpa adanya makna transenden atau tujuan kosmik, manusia
justru memperoleh kebebasan untuk menciptakan arti hidupnya sendiri.¹ Kebebasan
ini bukanlah kebebasan absolut yang tanpa batas, melainkan kebebasan yang lahir
dari penerimaan terhadap
kondisi manusia yang terbatas.² Dengan menerima absurditas, manusia tidak lagi
terikat pada ilusi dogmatis, melainkan mampu hidup secara otentik, memilih, dan
bertindak sesuai dengan kesadarannya sendiri.
Namun, kebebasan yang ditawarkan Camus tidak
berhenti pada ranah individual. Dalam L’Homme Révolté, ia menekankan
bahwa kebebasan sejati harus selalu diiringi oleh solidaritas.³ Kebebasan yang
terisolasi berisiko jatuh pada egoisme, sementara kebebasan yang dihayati bersama membuka ruang bagi tanggung jawab
kolektif. Di sinilah muncul etika humanisme Camus: suatu pandangan yang menolak
nihilisme, tetapi juga skeptis terhadap absolutisme ideologis, dan sebaliknya
mengafirmasi nilai manusia berdasarkan martabat dan kebersamaan.⁴
Etika humanisme Camus berpijak pada prinsip
penolakan terhadap kekerasan. Ia berpendapat bahwa kekerasan hanya dapat
dibenarkan dalam batas tertentu untuk menolak ketidakadilan, namun tidak pernah
sah dijadikan sebagai tujuan atau sistem.⁵ Oleh karena itu, Camus menolak revolusi totalitarian yang
melanggengkan teror, sekaligus menolak fatalisme yang pasif. Baginya, etika
sejati terletak pada tindakan manusiawi yang menghormati kehidupan, keadilan,
dan solidaritas universal.⁶
Relevansi etika humanisme Camus dapat dilihat dalam
tantangan dunia modern: krisis identitas, kekerasan ideologis, dan degradasi
nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, pemikiran Camus menjadi alternatif etis
yang menekankan tanggung jawab individu
sekaligus solidaritas kolektif.⁷ Dengan demikian, kebebasan dan etika humanisme
menurut Camus bukan hanya refleksi filosofis, melainkan juga tawaran praktis
bagi kehidupan manusia di tengah absurditas dunia.
Footnotes
[1]               
Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris:
Gallimard, 1942), 56–58.
[2]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 82–85.
[3]               
Albert Camus, L’Homme Révolté (Paris:
Gallimard, 1951), 284–287.
[4]               
John Foley, Albert Camus: From the Absurd to
Revolt (London: Routledge, 2008), 115–118.
[5]               
Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus
and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 97–99.
[6]               
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a
Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago
Press, 2004), 135–138.
[7]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 142–145.
6.          
Estetika dan Sastra
dalam Pemikiran Camus
Albert Camus menempatkan sastra dan estetika
sebagai medium fundamental dalam artikulasi filsafatnya. Tidak seperti filsuf
sistematis yang mengandalkan argumen konseptual, Camus memilih jalur
sastra—novel, drama, dan esai—untuk mengekspresikan gagasan filosofisnya.¹ Bagi
Camus, bahasa sastra lebih efektif dalam menangkap kompleksitas pengalaman
manusia di hadapan absurditas dibandingkan wacana filosofis abstrak.² Melalui
narasi, karakter, dan simbol, ia mampu memperlihatkan bagaimana absurditas,
pemberontakan, dan humanisme termanifestasi dalam kehidupan konkret.
Novel L’Étranger (1942) menjadi contoh
paling jelas dari pendekatan estetis Camus. Tokoh Meursault, dengan
ketidakpeduliannya terhadap norma sosial dan penerimaannya atas absurditas
hidup, mewakili gagasan Camus bahwa kesadaran akan absurditas tidak harus berujung pada nihilisme,
tetapi dapat membawa kebebasan otentik.³ Sementara itu, La Peste (1947)
menghadirkan alegori penderitaan kolektif di bawah wabah sampar, yang sering
ditafsirkan sebagai simbol perlawanan terhadap fasisme dan kekerasan
ideologis.⁴ Melalui tokoh Dr. Rieux, Camus menekankan solidaritas manusia
sebagai bentuk pemberontakan moral melawan absurditas penderitaan.⁵
Selain novel, drama-dramanya seperti Caligula
(1944) dan Les Justes (1949) juga mengandung eksplorasi estetis atas
dilema etis. Caligula menggambarkan penguasa yang, setelah menyadari
absurditas, jatuh ke dalam tirani nihilistik, sementara Les Justes
menampilkan perlawanan terhadap tirani Rusia awal abad ke-20 dengan mengajukan
pertanyaan tentang batas legitimasi kekerasan.⁶ Kedua karya ini menegaskan
bahwa estetika Camus tidak hanya menghibur, melainkan berfungsi sebagai
laboratorium etis di mana ide-ide filsafat diuji dalam situasi konkret.
Estetika Camus erat kaitannya dengan kepercayaannya
pada “keindahan dunia.” Dalam esai Noces (1938), ia menulis bahwa
pengalaman akan keindahan alam, cahaya, dan tubuh manusia merupakan cara untuk
mengafirmasi kehidupan meski tanpa makna transenden.⁷ Keindahan, dalam
pandangannya, adalah dimensi yang memungkinkan manusia untuk menerima absurditas sambil tetap merayakan
kehidupan. Estetika ini bukan eskapisme, melainkan perlawanan halus terhadap
nihilisme dengan menekankan pengalaman inderawi dan sensual sebagai bagian dari
eksistensi manusia.⁸
Dengan demikian, estetika dan sastra dalam
pemikiran Camus bukanlah pelengkap, melainkan inti dari filsafatnya. Karya-karyanya menunjukkan bahwa filsafat dapat berwujud
narasi yang hidup, dan bahwa keindahan serta seni memiliki peran penting dalam
menjaga kemanusiaan di tengah absurditas.⁹
Footnotes
[1]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 121–123.
[2]               
John Foley, Albert Camus: From the Absurd to
Revolt (London: Routledge, 2008), 139–142.
[3]               
Albert Camus, L’Étranger (Paris: Gallimard,
1942), 54–57.
[4]               
Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals,
1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 177–179.
[5]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 153–156.
[6]               
Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern
French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 167–170.
[7]               
Albert Camus, Noces (Paris: Gallimard, 1938),
21–23.
[8]               
Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New
York: Alfred A. Knopf, 1997), 132–134.
[9]               
Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus
and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 118–120.
7.          
Kritik dan
Kontroversi
Meskipun dihormati sebagai salah satu intelektual
besar abad ke-20, Albert Camus tidak lepas dari kritik dan kontroversi. Kritik
paling terkenal datang dari perdebatan sengitnya dengan Jean-Paul Sartre dan
kelompok eksistensialis di sekitar majalah Les Temps Modernes.¹
Perbedaan pandangan antara Camus dan Sartre mengenai komunisme Soviet menjadi
pemicu utama keretakan intelektual mereka. Sartre dan lingkarannya menilai
Camus terlalu “moralistik” dan tidak realistis dalam politik, sedangkan
Camus menolak justifikasi kekerasan atas nama revolusi dan menegaskan
pentingnya batas etis dalam pemberontakan.² Pertentangan ini menegaskan posisi
unik Camus: ia tidak dapat dikategorikan sepenuhnya sebagai eksistensialis
maupun sebagai Marxis, melainkan sebagai seorang filsuf independen.³
Selain itu, Camus juga menghadapi kritik terkait
sikapnya terhadap kolonialisme di Aljazair. Lahir dan dibesarkan sebagai pied-noir
(orang Prancis kelahiran Aljazair), Camus secara konsisten menolak kekerasan
dalam perjuangan kemerdekaan Aljazair, baik dari pihak kolonial Prancis maupun Front Pembebasan Nasional
(FLN).⁴ Pandangannya ini dianggap ambigu: di satu sisi ia mengutuk penindasan
kolonial, tetapi di sisi lain ia menolak pemisahan total Aljazair dari
Prancis.⁵ Banyak intelektual kiri pada masanya menuduh Camus gagal mengambil
sikap tegas terhadap dekolonisasi, meskipun dalam kenyataannya ia menekankan
pentingnya dialog dan rekonsiliasi.⁶ Kontroversi ini hingga kini tetap menjadi
salah satu aspek paling diperdebatkan dalam biografinya.
Dari segi filsafat, sebagian pengkritik menilai
gagasan absurditas Camus terlalu pesimistis dan kurang menawarkan solusi yang
konstruktif.⁷ Sementara itu, filsuf lain berargumen bahwa filsafatnya justru
terlalu “sederhana” dan tidak mencapai kedalaman spekulatif yang ditemukan pada Heidegger atau Sartre.⁸ Namun,
para pendukung Camus menekankan bahwa kesederhanaan dan keterikatan
pemikirannya dengan pengalaman konkret manusia justru menjadi kekuatan, bukan
kelemahan.⁹
Meski kontroversial, kritik-kritik tersebut
memperkaya pemahaman terhadap Camus. Ia tetap dipandang sebagai pemikir yang
berani menempuh jalannya sendiri, menolak kompromi terhadap nihilisme maupun
ideologi totalitarian. Dengan demikian, kontroversi seputar dirinya bukanlah tanda kelemahan intelektual,
melainkan bukti posisi radikalnya dalam mempertahankan humanisme yang etis di
tengah realitas sejarah abad ke-20.
Footnotes
[1]               
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a
Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago
Press, 2004), 91–94.
[2]               
Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals,
1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 146–149.
[3]               
Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus
and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 101–103.
[4]               
Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern
French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 175–177.
[5]               
Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New
York: Alfred A. Knopf, 1997), 312–315.
[6]               
David Carroll, Albert Camus the Algerian:
Colonialism, Terrorism, Justice (New York: Columbia University Press,
2007), 85–87.
[7]               
Thomas Nagel, “The Absurd,” Journal of
Philosophy 68, no. 20 (1971): 718–720.
[8]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 165–168.
[9]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 161–164.
8.          
Relevansi Pemikiran
Camus dalam Konteks Kontemporer
Pemikiran Albert Camus tetap memiliki daya tarik
yang kuat dalam menghadapi problematika kontemporer. Gagasannya tentang
absurditas, pemberontakan, kebebasan, dan humanisme menemukan resonansi dalam
dunia modern yang ditandai oleh krisis makna, konflik ideologis, serta ancaman
global seperti terorisme, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial.¹
Kesadaran akan absurditas, misalnya, relevan untuk memahami kondisi manusia
modern yang sering dihadapkan pada absurditas struktural—mulai dari birokrasi yang tak manusiawi hingga sistem ekonomi global
yang menimbulkan alienasi.² Camus mengingatkan bahwa sekalipun hidup tidak
menawarkan makna final, manusia tetap dapat mengafirmasi kehidupan melalui
kesadaran, kebebasan, dan solidaritas.³
Konsep pemberontakan Camus juga signifikan dalam
konteks politik dan sosial abad ke-21. Di tengah gelombang populisme,
ekstremisme, dan kekerasan berbasis ideologi, seruan Camus untuk memberontak
tanpa melampaui batas etis menghadirkan paradigma alternatif.⁴ Pemberontakan
menurut Camus bukanlah revolusi
yang menjustifikasi teror, melainkan perlawanan yang menegaskan martabat
manusia. Dalam perspektif ini, gerakan sosial kontemporer yang memperjuangkan
keadilan iklim, kesetaraan gender, dan hak-hak minoritas dapat dibaca sebagai
bentuk “révolte” yang menolak ketidakadilan struktural sekaligus
menegaskan solidaritas global.⁵
Sementara itu, etika humanisme Camus yang menolak
kekerasan absolut dan menekankan penghormatan pada kehidupan tetap relevan
dalam diskursus bioetika, hak asasi manusia, dan perdamaian internasional.⁶
Humanisme Camus, yang berakar pada pengalaman konkret manusia dan bukan pada
dogma metafisik, dapat menjadi landasan normatif bagi masyarakat plural yang
menghadapi keragaman budaya dan agama.⁷ Di era pasca-sekuler, di mana konflik identitas sering kali berujung
pada kekerasan, gagasan Camus tentang solidaritas dan tanggung jawab kolektif
menghadirkan etika universal yang inklusif.⁸
Selain itu, dimensi estetika pemikiran Camus,
khususnya dalam La Peste, kembali mendapat perhatian dalam konteks
pandemi global COVID-19. Novel tersebut sering ditafsirkan ulang sebagai
refleksi atas penderitaan kolektif dan pentingnya solidaritas manusia dalam
menghadapi krisis bersama.⁹ Dengan demikian, karya Camus menunjukkan daya hidup
estetis sekaligus relevansi
filosofis yang lintas zaman.
Secara keseluruhan, pemikiran Camus menawarkan
inspirasi bagi dunia kontemporer: ia mengajarkan bahwa di tengah absurditas
sejarah dan tragedi global, manusia dapat menolak nihilisme dengan memilih
kebebasan, pemberontakan etis, dan solidaritas kemanusiaan.¹⁰ Dengan demikian,
Camus tetap menjadi rujukan penting dalam filsafat, politik, sastra, maupun
etika modern.
Footnotes
[1]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 181–183.
[2]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 172–175.
[3]               
Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris:
Gallimard, 1942), 117–120.
[4]               
Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals,
1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 201–203.
[5]               
John Foley, Albert Camus: From the Absurd to
Revolt (London: Routledge, 2008), 155–158.
[6]               
Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus
and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 133–136.
[7]               
Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern
French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 189–192.
[8]               
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a
Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago
Press, 2004), 159–161.
[9]               
Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New
York: Alfred A. Knopf, 1997), 401–404.
[10]            
Camus, L’Homme Révolté (Paris: Gallimard,
1951), 303–306.
9.          
Kesimpulan
Pemikiran Albert Camus memperlihatkan konsistensi
yang khas: ia memulai dengan kesadaran akan absurditas, melanjutkan dengan
gagasan pemberontakan, dan akhirnya sampai pada etika humanisme yang menekankan
kebebasan, solidaritas, serta tanggung jawab moral.¹ Dengan demikian, filsafat
Camus bukanlah sebuah sistem metafisik, melainkan sebuah jalan reflektif yang berakar
pada pengalaman konkret manusia dalam menghadapi dunia yang tanpa makna final.²
Ia menolak baik nihilisme yang meniadakan nilai maupun absolutisme ideologis
yang mengekang kebebasan, sehingga menawarkan alternatif humanisme kritis yang
relevan lintas zaman.³
Dalam karya-karya sastra dan esainya, Camus berhasil menyatukan refleksi filosofis
dengan ekspresi estetis. Le Mythe de Sisyphe, L’Étranger, La
Peste, dan L’Homme Révolté bukan hanya dokumen filosofis, tetapi
juga karya seni yang menghidupkan problem eksistensial manusia.⁴ Estetika dalam
pemikirannya bukan sekadar ornamen, melainkan medium yang memungkinkan gagasan
filosofis teruji melalui narasi, karakter, dan simbol.⁵ Hal ini memperlihatkan
bahwa bagi Camus, filsafat dan sastra tidak dapat dipisahkan, keduanya saling
melengkapi dalam mengungkapkan kondisi manusia.
Kritik dan kontroversi yang menyertai
pemikirannya—baik terkait perdebatan dengan Sartre maupun posisinya terhadap
kolonialisme Aljazair—menunjukkan bahwa Camus adalah seorang intelektual yang
berani menempuh jalannya sendiri.⁶ Ia menolak tunduk pada ideologi dominan,
bahkan jika sikap itu membuatnya terisolasi dari lingkaran intelektual
sezamannya. Dalam hal ini, warisannya terletak bukan pada konsensus yang ia
bangun, melainkan pada keteguhan moral yang ia pertahankan.⁷
Relevansi Camus bagi konteks kontemporer tidak
dapat diabaikan. Di tengah krisis global seperti kekerasan ideologis, degradasi
lingkungan, dan pandemi, gagasannya tentang absurditas, pemberontakan etis, dan
solidaritas kemanusiaan tetap menjadi inspirasi.⁸ Camus mengajarkan bahwa meski
dunia tidak memberikan makna final, manusia dapat menciptakan makna melalui tindakan sadar, penuh kebebasan, dan berlandaskan pada
penghormatan terhadap martabat manusia.⁹ Dengan demikian, Camus tidak hanya
menjadi saksi intelektual abad ke-20, tetapi juga penuntun moral bagi abad
ke-21.¹⁰
Footnotes
[1]               
Albert Camus, L’Homme Révolté (Paris:
Gallimard, 1951), 19–21.
[2]               
David Sprintzen, Camus: A Critical Examination
(Philadelphia: Temple University Press, 1988), 165–167.
[3]               
Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus
and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 121–124.
[4]               
Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert
Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press,
2013), 141–144.
[5]               
John Foley, Albert Camus: From the Absurd to
Revolt (London: Routledge, 2008), 149–151.
[6]               
Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a
Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago
Press, 2004), 97–100.
[7]               
Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals,
1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 154–157.
[8]               
Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New
York: Alfred A. Knopf, 1997), 401–403.
[9]               
Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris:
Gallimard, 1942), 122–124.
[10]            
Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern
French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 191–193.
Daftar Pustaka
Aronson, Ronald. Camus
and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It.
Chicago: University of Chicago Press, 2004.
Camus, Albert. L’Étranger.
Paris: Gallimard, 1942.
———. L’Homme Révolté.
Paris: Gallimard, 1951.
———. Le Mythe de
Sisyphe. Paris: Gallimard, 1942.
———. Noces. Paris:
Gallimard, 1938.
———. “Misère de la
Kabylie.” Alger Républicain, 1939.
Carroll, David. Albert
Camus the Algerian: Colonialism, Terrorism, Justice. New York: Columbia
University Press, 2007.
Foley, John. Albert
Camus: From the Absurd to Revolt. London: Routledge, 2008.
Henry, Patrick. Existentialism
and Ethics: Camus and Sartre. Albany: State University of New York Press,
1983.
Hughes, Edward J. Writing
Marginality in Modern French Literature: From Loti to Genet. Cambridge:
Cambridge University Press, 2001.
Judt, Tony. Past
Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956. Berkeley: University of
California Press, 1992.
Lottman, Herbert R. Albert
Camus: A Biography. Garden City, NY: Doubleday, 1979.
Nagel, Thomas. “The
Absurd.” Journal of Philosophy 68, no. 20 (1971): 716–727.
Nobel Prize Outreach. “The Nobel
Prize in Literature 1957: Albert Camus.” NobelPrize.org. Diakses 29
September 2025.
Sprintzen, David. Camus:
A Critical Examination. Philadelphia: Temple University Press, 1988.
Todd, Olivier. Albert
Camus: A Life. New York: Alfred A. Knopf, 1997.
Zaretsky, Robert. A
Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning. Cambridge:
Harvard University Press, 2013.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar