Senin, 29 September 2025

Pemikiran Albert Camus: Absurd, Pemberontakan, dan Humanisme dalam Filsafat Modern

Pemikiran Albert Camus

Absurd, Pemberontakan, dan Humanisme dalam Filsafat Modern


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas pemikiran filsuf, penulis, dan jurnalis Prancis Albert Camus (1913–1960) dengan menyoroti gagasannya tentang absurditas, pemberontakan, kebebasan, serta etika humanisme. Berangkat dari konteks historis kolonialisme di Aljazair, pengalaman perang, dan dinamika intelektual Prancis pasca-Perang Dunia II, pemikiran Camus ditelusuri melalui karya-karya filosofis dan sastra utamanya seperti Le Mythe de Sisyphe, L’Homme Révolté, L’Étranger, dan La Peste. Artikel ini menguraikan bagaimana Camus memaknai absurditas sebagai kondisi fundamental manusia, yang kemudian melahirkan respons berupa pemberontakan etis dan solidaritas. Kebebasan dalam pandangan Camus tidak bersifat absolut, melainkan terikat pada kesadaran akan keterbatasan, yang menjadi landasan bagi etika humanisme universal. Estetika dan sastra diposisikan bukan sekadar medium ekspresi, melainkan sarana utama bagi artikulasi filsafatnya. Selain membahas apresiasi, artikel ini juga mengulas kritik dan kontroversi, seperti perdebatan dengan Jean-Paul Sartre serta sikap ambivalen terhadap kolonialisme di Aljazair. Pada akhirnya, pemikiran Camus tetap relevan dalam konteks kontemporer, terutama dalam menghadapi krisis makna, kekerasan ideologis, dan tantangan global. Artikel ini menyimpulkan bahwa Camus menawarkan alternatif humanisme kritis yang menolak nihilisme sekaligus menghindari absolutisme ideologis, sehingga menghadirkan warisan intelektual yang penting bagi filsafat modern dan kehidupan manusia abad ke-21.

Kata Kunci: Albert Camus, absurditas, pemberontakan, kebebasan, humanisme, eksistensialisme, sastra Prancis, etika.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Albert Camus


1.           Pendahuluan

Albert Camus (1913–1960) dikenal sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam filsafat modern, terutama melalui gagasan-gagasannya mengenai absurditas, pemberontakan, dan humanisme. Meskipun kerap dikaitkan dengan arus eksistensialisme Prancis, Camus secara eksplisit menolak label eksistensialis, dan lebih memilih untuk menempatkan dirinya sebagai seorang “filsuf absurditas.”¹ Posisi Camus unik karena ia tidak hanya berkiprah sebagai filsuf, melainkan juga sebagai novelis, dramawan, dan jurnalis. Dengan demikian, filsafatnya bukan hanya berupa konstruksi abstrak, tetapi juga terartikulasikan melalui medium sastra dan seni.²

Latar belakang historis yang membentuk pemikiran Camus tidak bisa dilepaskan dari konteks abad ke-20: kolonialisme Prancis di Aljazair, trauma Perang Dunia II, serta pergulatan politik antara kapitalisme, komunisme, dan fasisme.³ Situasi sosial-politik yang penuh kekerasan dan absurditas inilah yang mendorong Camus merumuskan filsafat yang menolak nihilisme, tetapi juga skeptis terhadap ideologi absolut yang menjanjikan makna final bagi manusia. Pemikiran Camus menempatkan manusia sebagai subjek yang berjuang mencari makna dalam dunia yang bisu, tanpa harus menyerah pada keputusasaan atau dogmatisme.⁴

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis pemikiran Albert Camus dengan menekankan tiga poros utama: konsep absurditas, gagasan pemberontakan, serta etika humanisme yang menjadi landasan moral dalam menghadapi kondisi modern. Selain itu, pembahasan juga akan menyinggung dimensi estetika sastra Camus sebagai medium filsafat yang komunikatif, serta menilai relevansi gagasannya dalam konteks kontemporer. Dengan pendekatan ini, artikel diharapkan mampu memberikan gambaran komprehensif mengenai posisi Camus dalam peta filsafat modern sekaligus signifikansi warisannya bagi dunia intelektual saat ini.


Footnotes

[1]                Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris: Gallimard, 1942), 11–12.

[2]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 5–7.

[3]                Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 101–104.

[4]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 23–25.


2.           Biografi Intelektual Albert Camus

Albert Camus lahir pada 7 November 1913 di Mondovi, Aljazair, sebuah koloni Prancis pada masa itu. Ayahnya, Lucien Camus, seorang buruh kebun anggur, meninggal pada tahun 1914 dalam pertempuran Marne saat Perang Dunia I. Ia kemudian dibesarkan oleh ibunya, Catherine Sintès, seorang perempuan keturunan Spanyol yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kehidupan dalam keluarga miskin di Aljazair memberikan Camus pengalaman langsung mengenai ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan keterasingan yang kelak membentuk sensibilitas humanistik sekaligus kritik sosial dalam karya-karyanya.¹

Pendidikan Camus dimulai di Universitas Aljir, tempat ia menekuni filsafat dengan fokus awal pada kajian tentang Plotinus dan Agustinus. Namun, karena menderita tuberkulosis sejak usia muda, Camus harus menghentikan studi formalnya.² Penyakit tersebut membuatnya semakin menyadari keterbatasan manusia dan kerapuhan eksistensi, yang kemudian mengilhami pandangannya tentang absurditas kehidupan. Selama masa mudanya, Camus aktif dalam teater melalui kelompok Théâtre du Travail (Theater of the Workers), yang berusaha menghubungkan seni dengan perjuangan sosial, sebuah aktivitas yang menegaskan keterkaitan erat antara estetik dan etika dalam pemikirannya.³

Karier jurnalistik Camus dimulai dengan menulis untuk harian Alger Républicain, di mana ia mengekspos ketidakadilan kolonialisme dan kondisi rakyat miskin di Kabylia.⁴ Laporan-laporan investigatifnya tidak hanya memperlihatkan keberanian moral, tetapi juga menegaskan komitmennya pada kebenaran dan solidaritas manusia. Keterlibatannya dalam jurnalisme membentuk gaya berpikir yang konkret, faktual, dan kritis, sehingga filsafatnya selalu bersifat terikat pada realitas sosial, bukan spekulasi metafisik semata.

Pada masa pendudukan Nazi di Prancis, Camus bergabung dengan kelompok perlawanan intelektual melalui surat kabar bawah tanah Combat.⁵ Di sinilah reputasinya sebagai intelektual publik semakin menguat: ia menolak nihilisme fasis sekaligus menolak dogmatisme ideologi totalitarian. Setelah perang, Camus menjadi figur penting dalam wacana filsafat Prancis, meskipun perselisihannya dengan Jean-Paul Sartre mengenai komunisme dan peran politik intelektual menandai jarak filosofis di antara keduanya.⁶

Puncak pengakuan dunia datang pada tahun 1957 ketika ia dianugerahi Hadiah Nobel Sastra atas karya-karyanya yang dianggap “menerangi problem kesadaran manusia di zaman modern.”⁷ Meski wafat secara tragis dalam kecelakaan mobil pada tahun 1960, warisan intelektual Camus tetap bertahan. Biografi intelektualnya memperlihatkan perpaduan unik antara filsafat, sastra, dan jurnalisme, yang semuanya diarahkan untuk mempertanyakan dan melawan absurditas, ketidakadilan, serta kekerasan dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New York: Alfred A. Knopf, 1997), 3–6.

[2]                Herbert R. Lottman, Albert Camus: A Biography (Garden City, NY: Doubleday, 1979), 41–45.

[3]                Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 112–115.

[4]                Camus, “Misère de la Kabylie,” Alger Républicain, 1939.

[5]                Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 132–135.

[6]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 87–92.

[7]                “The Nobel Prize in Literature 1957: Albert Camus,” Nobel Prize Outreach, diakses 29 September 2025, nobelprize.org.


3.           Filsafat Absurditas

Konsep absurditas merupakan inti dari filsafat Albert Camus. Ia memaknai absurditas sebagai kondisi fundamental manusia yang muncul dari ketegangan antara kerinduan manusia akan makna yang utuh dengan “keheningan” dunia yang tidak memberikan jawaban final.¹ Absurditas, dengan demikian, bukanlah sifat dunia itu sendiri maupun esensi manusia, melainkan pengalaman eksistensial yang lahir dari konfrontasi keduanya.² Dalam Le Mythe de Sisyphe (1942), Camus menegaskan bahwa absurditas adalah titik awal filsafatnya, dan bahwa seluruh upaya mencari makna harus berangkat dari pengakuan akan realitas ini.³

Salah satu konsekuensi langsung dari kesadaran akan absurditas adalah munculnya pertanyaan radikal: “Apakah hidup layak dijalani?”⁴ Bagi Camus, inilah persoalan filosofis yang paling mendasar. Alih-alih menawarkan solusi metafisis, ia menolak dua bentuk pelarian: bunuh diri fisik dan “bunuh diri filosofis.” Bunuh diri fisik dianggap sebagai bentuk penolakan atas kehidupan, sementara bunuh diri filosofis—yakni menerima solusi transenden seperti Tuhan atau ideologi absolut—dipandang sebagai penyangkalan terhadap absurditas itu sendiri.⁵

Sebagai alternatif, Camus mengajukan pilihan untuk “hidup dengan sadar dalam absurditas.”⁶ Kehidupan yang absurd justru harus dijalani dengan penuh kesadaran, tanpa ilusi akan makna transenden. Dalam konteks ini, mitos Sisifus menjadi alegori penting. Sisifus, yang dikutuk para dewa untuk mendorong batu ke puncak gunung hanya agar batu itu jatuh kembali, melambangkan manusia modern yang berjuang tanpa akhir dalam dunia tanpa makna final. Namun, menurut Camus, kesadaran Sisifus atas nasibnya sekaligus penerimaan terhadapnya menjadikan ia “lebih besar daripada penderitaannya.”⁷ Dengan demikian, Camus menyimpulkan, “kita harus membayangkan Sisifus bahagia.”⁸

Absurditas tidak berhenti pada kesadaran akan kehampaan, melainkan membuka ruang bagi kebebasan. Tanpa keyakinan pada makna mutlak, manusia justru memperoleh kebebasan untuk menciptakan nilai, memilih tindakannya, dan mengafirmasi kehidupan dalam segala keterbatasannya.⁹ Dari titik inilah, pemikiran Camus berkembang menuju konsep pemberontakan (révolte) sebagai bentuk respons aktif terhadap absurditas—sebuah tema yang akan dibahas dalam bagian berikutnya.


Footnotes

[1]                Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris: Gallimard, 1942), 25–26.

[2]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 12–14.

[3]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 19–21.

[4]                Camus, Le Mythe de Sisyphe, 17.

[5]                Thomas Nagel, “The Absurd,” Journal of Philosophy 68, no. 20 (1971): 716–718.

[6]                Camus, Le Mythe de Sisyphe, 54–55.

[7]                Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 44–46.

[8]                Camus, Le Mythe de Sisyphe, 123.

[9]                John Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt (London: Routledge, 2008), 33–36.


4.           Pemberontakan (Revolt)

Jika absurditas merupakan titik awal filsafat Camus, maka pemberontakan (révolte) adalah respons etis sekaligus praksis terhadap kondisi tersebut. Dalam L’Homme Révolté (1951), Camus mendefinisikan pemberontakan sebagai tindakan manusia yang menolak absurditas tanpa melarikan diri ke dalam nihilisme atau dogma transendental.¹ Pemberontakan bukanlah sikap destruktif semata, melainkan afirmasi martabat manusia, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan pengakuan atas solidaritas sesama.² Dengan kata lain, pemberontakan bagi Camus adalah pilihan eksistensial untuk mengatakan “ya” pada kehidupan meski dunia tidak menawarkan makna yang pasti.

Camus membedakan pemberontakan individu dengan pemberontakan kolektif. Pemberontakan individu lahir dari kesadaran personal akan absurditas, seperti tokoh Meursault dalam L’Étranger, yang menolak norma sosial dengan menerima absurditas hidupnya.³ Namun, pemberontakan kolektif melampaui ranah individual: ia muncul ketika manusia bersatu melawan penindasan politik, sosial, atau ideologis.⁴ Camus menegaskan bahwa pemberontakan sejati tidak boleh jatuh ke dalam kekerasan totalitarian, sebab hal itu justru mengingkari nilai kemanusiaan yang hendak dibela.⁵

Dalam konteks sejarah abad ke-20, Camus sangat kritis terhadap revolusi yang berujung pada tirani, khususnya dalam kritiknya terhadap komunisme Soviet. Menurutnya, revolusi yang mengklaim membawa pembebasan, tetapi kemudian melanggengkan penindasan, adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip pemberontakan.⁶ Oleh karena itu, pemberontakan harus tetap terbatas pada prinsip moral: menolak ketidakadilan, namun sekaligus meneguhkan batasan etis agar tidak berubah menjadi teror.⁷

Pemberontakan juga erat kaitannya dengan kebebasan. Jika absurditas membuka ruang bagi kebebasan individu, maka pemberontakan menjadikan kebebasan itu sebagai tanggung jawab kolektif.⁸ Camus melihat pemberontakan sebagai jalan tengah antara nihilisme (yang meniadakan nilai) dan dogmatisme ideologis (yang memaksakan makna absolut). Dengan demikian, pemberontakan bukanlah akhir dari filsafat absurditas, melainkan kelanjutannya: sebuah ajakan untuk hidup secara otentik, bebas, dan solider.⁹


Footnotes

[1]                Albert Camus, L’Homme Révolté (Paris: Gallimard, 1951), 19–21.

[2]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 55–58.

[3]                Albert Camus, L’Étranger (Paris: Gallimard, 1942), 118–120.

[4]                John Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt (London: Routledge, 2008), 63–66.

[5]                Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 72–74.

[6]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 101–105.

[7]                Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 142–145.

[8]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 97–100.

[9]                Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt, 89–91.


5.           Kebebasan dan Etika Humanisme

Bagi Albert Camus, kesadaran akan absurditas tidak mengarah pada keputusasaan, melainkan membuka jalan menuju kebebasan. Ia menegaskan bahwa tanpa adanya makna transenden atau tujuan kosmik, manusia justru memperoleh kebebasan untuk menciptakan arti hidupnya sendiri.¹ Kebebasan ini bukanlah kebebasan absolut yang tanpa batas, melainkan kebebasan yang lahir dari penerimaan terhadap kondisi manusia yang terbatas.² Dengan menerima absurditas, manusia tidak lagi terikat pada ilusi dogmatis, melainkan mampu hidup secara otentik, memilih, dan bertindak sesuai dengan kesadarannya sendiri.

Namun, kebebasan yang ditawarkan Camus tidak berhenti pada ranah individual. Dalam L’Homme Révolté, ia menekankan bahwa kebebasan sejati harus selalu diiringi oleh solidaritas.³ Kebebasan yang terisolasi berisiko jatuh pada egoisme, sementara kebebasan yang dihayati bersama membuka ruang bagi tanggung jawab kolektif. Di sinilah muncul etika humanisme Camus: suatu pandangan yang menolak nihilisme, tetapi juga skeptis terhadap absolutisme ideologis, dan sebaliknya mengafirmasi nilai manusia berdasarkan martabat dan kebersamaan.⁴

Etika humanisme Camus berpijak pada prinsip penolakan terhadap kekerasan. Ia berpendapat bahwa kekerasan hanya dapat dibenarkan dalam batas tertentu untuk menolak ketidakadilan, namun tidak pernah sah dijadikan sebagai tujuan atau sistem.⁵ Oleh karena itu, Camus menolak revolusi totalitarian yang melanggengkan teror, sekaligus menolak fatalisme yang pasif. Baginya, etika sejati terletak pada tindakan manusiawi yang menghormati kehidupan, keadilan, dan solidaritas universal.⁶

Relevansi etika humanisme Camus dapat dilihat dalam tantangan dunia modern: krisis identitas, kekerasan ideologis, dan degradasi nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, pemikiran Camus menjadi alternatif etis yang menekankan tanggung jawab individu sekaligus solidaritas kolektif.⁷ Dengan demikian, kebebasan dan etika humanisme menurut Camus bukan hanya refleksi filosofis, melainkan juga tawaran praktis bagi kehidupan manusia di tengah absurditas dunia.


Footnotes

[1]                Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris: Gallimard, 1942), 56–58.

[2]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 82–85.

[3]                Albert Camus, L’Homme Révolté (Paris: Gallimard, 1951), 284–287.

[4]                John Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt (London: Routledge, 2008), 115–118.

[5]                Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 97–99.

[6]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 135–138.

[7]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 142–145.


6.           Estetika dan Sastra dalam Pemikiran Camus

Albert Camus menempatkan sastra dan estetika sebagai medium fundamental dalam artikulasi filsafatnya. Tidak seperti filsuf sistematis yang mengandalkan argumen konseptual, Camus memilih jalur sastra—novel, drama, dan esai—untuk mengekspresikan gagasan filosofisnya.¹ Bagi Camus, bahasa sastra lebih efektif dalam menangkap kompleksitas pengalaman manusia di hadapan absurditas dibandingkan wacana filosofis abstrak.² Melalui narasi, karakter, dan simbol, ia mampu memperlihatkan bagaimana absurditas, pemberontakan, dan humanisme termanifestasi dalam kehidupan konkret.

Novel L’Étranger (1942) menjadi contoh paling jelas dari pendekatan estetis Camus. Tokoh Meursault, dengan ketidakpeduliannya terhadap norma sosial dan penerimaannya atas absurditas hidup, mewakili gagasan Camus bahwa kesadaran akan absurditas tidak harus berujung pada nihilisme, tetapi dapat membawa kebebasan otentik.³ Sementara itu, La Peste (1947) menghadirkan alegori penderitaan kolektif di bawah wabah sampar, yang sering ditafsirkan sebagai simbol perlawanan terhadap fasisme dan kekerasan ideologis.⁴ Melalui tokoh Dr. Rieux, Camus menekankan solidaritas manusia sebagai bentuk pemberontakan moral melawan absurditas penderitaan.⁵

Selain novel, drama-dramanya seperti Caligula (1944) dan Les Justes (1949) juga mengandung eksplorasi estetis atas dilema etis. Caligula menggambarkan penguasa yang, setelah menyadari absurditas, jatuh ke dalam tirani nihilistik, sementara Les Justes menampilkan perlawanan terhadap tirani Rusia awal abad ke-20 dengan mengajukan pertanyaan tentang batas legitimasi kekerasan.⁶ Kedua karya ini menegaskan bahwa estetika Camus tidak hanya menghibur, melainkan berfungsi sebagai laboratorium etis di mana ide-ide filsafat diuji dalam situasi konkret.

Estetika Camus erat kaitannya dengan kepercayaannya pada “keindahan dunia.” Dalam esai Noces (1938), ia menulis bahwa pengalaman akan keindahan alam, cahaya, dan tubuh manusia merupakan cara untuk mengafirmasi kehidupan meski tanpa makna transenden.⁷ Keindahan, dalam pandangannya, adalah dimensi yang memungkinkan manusia untuk menerima absurditas sambil tetap merayakan kehidupan. Estetika ini bukan eskapisme, melainkan perlawanan halus terhadap nihilisme dengan menekankan pengalaman inderawi dan sensual sebagai bagian dari eksistensi manusia.⁸

Dengan demikian, estetika dan sastra dalam pemikiran Camus bukanlah pelengkap, melainkan inti dari filsafatnya. Karya-karyanya menunjukkan bahwa filsafat dapat berwujud narasi yang hidup, dan bahwa keindahan serta seni memiliki peran penting dalam menjaga kemanusiaan di tengah absurditas.⁹


Footnotes

[1]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 121–123.

[2]                John Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt (London: Routledge, 2008), 139–142.

[3]                Albert Camus, L’Étranger (Paris: Gallimard, 1942), 54–57.

[4]                Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 177–179.

[5]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 153–156.

[6]                Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 167–170.

[7]                Albert Camus, Noces (Paris: Gallimard, 1938), 21–23.

[8]                Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New York: Alfred A. Knopf, 1997), 132–134.

[9]                Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 118–120.


7.           Kritik dan Kontroversi

Meskipun dihormati sebagai salah satu intelektual besar abad ke-20, Albert Camus tidak lepas dari kritik dan kontroversi. Kritik paling terkenal datang dari perdebatan sengitnya dengan Jean-Paul Sartre dan kelompok eksistensialis di sekitar majalah Les Temps Modernes.¹ Perbedaan pandangan antara Camus dan Sartre mengenai komunisme Soviet menjadi pemicu utama keretakan intelektual mereka. Sartre dan lingkarannya menilai Camus terlalu “moralistik” dan tidak realistis dalam politik, sedangkan Camus menolak justifikasi kekerasan atas nama revolusi dan menegaskan pentingnya batas etis dalam pemberontakan.² Pertentangan ini menegaskan posisi unik Camus: ia tidak dapat dikategorikan sepenuhnya sebagai eksistensialis maupun sebagai Marxis, melainkan sebagai seorang filsuf independen.³

Selain itu, Camus juga menghadapi kritik terkait sikapnya terhadap kolonialisme di Aljazair. Lahir dan dibesarkan sebagai pied-noir (orang Prancis kelahiran Aljazair), Camus secara konsisten menolak kekerasan dalam perjuangan kemerdekaan Aljazair, baik dari pihak kolonial Prancis maupun Front Pembebasan Nasional (FLN).⁴ Pandangannya ini dianggap ambigu: di satu sisi ia mengutuk penindasan kolonial, tetapi di sisi lain ia menolak pemisahan total Aljazair dari Prancis.⁵ Banyak intelektual kiri pada masanya menuduh Camus gagal mengambil sikap tegas terhadap dekolonisasi, meskipun dalam kenyataannya ia menekankan pentingnya dialog dan rekonsiliasi.⁶ Kontroversi ini hingga kini tetap menjadi salah satu aspek paling diperdebatkan dalam biografinya.

Dari segi filsafat, sebagian pengkritik menilai gagasan absurditas Camus terlalu pesimistis dan kurang menawarkan solusi yang konstruktif.⁷ Sementara itu, filsuf lain berargumen bahwa filsafatnya justru terlalu “sederhana” dan tidak mencapai kedalaman spekulatif yang ditemukan pada Heidegger atau Sartre.⁸ Namun, para pendukung Camus menekankan bahwa kesederhanaan dan keterikatan pemikirannya dengan pengalaman konkret manusia justru menjadi kekuatan, bukan kelemahan.⁹

Meski kontroversial, kritik-kritik tersebut memperkaya pemahaman terhadap Camus. Ia tetap dipandang sebagai pemikir yang berani menempuh jalannya sendiri, menolak kompromi terhadap nihilisme maupun ideologi totalitarian. Dengan demikian, kontroversi seputar dirinya bukanlah tanda kelemahan intelektual, melainkan bukti posisi radikalnya dalam mempertahankan humanisme yang etis di tengah realitas sejarah abad ke-20.


Footnotes

[1]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 91–94.

[2]                Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 146–149.

[3]                Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 101–103.

[4]                Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 175–177.

[5]                Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New York: Alfred A. Knopf, 1997), 312–315.

[6]                David Carroll, Albert Camus the Algerian: Colonialism, Terrorism, Justice (New York: Columbia University Press, 2007), 85–87.

[7]                Thomas Nagel, “The Absurd,” Journal of Philosophy 68, no. 20 (1971): 718–720.

[8]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 165–168.

[9]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 161–164.


8.           Relevansi Pemikiran Camus dalam Konteks Kontemporer

Pemikiran Albert Camus tetap memiliki daya tarik yang kuat dalam menghadapi problematika kontemporer. Gagasannya tentang absurditas, pemberontakan, kebebasan, dan humanisme menemukan resonansi dalam dunia modern yang ditandai oleh krisis makna, konflik ideologis, serta ancaman global seperti terorisme, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial.¹ Kesadaran akan absurditas, misalnya, relevan untuk memahami kondisi manusia modern yang sering dihadapkan pada absurditas struktural—mulai dari birokrasi yang tak manusiawi hingga sistem ekonomi global yang menimbulkan alienasi.² Camus mengingatkan bahwa sekalipun hidup tidak menawarkan makna final, manusia tetap dapat mengafirmasi kehidupan melalui kesadaran, kebebasan, dan solidaritas.³

Konsep pemberontakan Camus juga signifikan dalam konteks politik dan sosial abad ke-21. Di tengah gelombang populisme, ekstremisme, dan kekerasan berbasis ideologi, seruan Camus untuk memberontak tanpa melampaui batas etis menghadirkan paradigma alternatif.⁴ Pemberontakan menurut Camus bukanlah revolusi yang menjustifikasi teror, melainkan perlawanan yang menegaskan martabat manusia. Dalam perspektif ini, gerakan sosial kontemporer yang memperjuangkan keadilan iklim, kesetaraan gender, dan hak-hak minoritas dapat dibaca sebagai bentuk “révolte” yang menolak ketidakadilan struktural sekaligus menegaskan solidaritas global.⁵

Sementara itu, etika humanisme Camus yang menolak kekerasan absolut dan menekankan penghormatan pada kehidupan tetap relevan dalam diskursus bioetika, hak asasi manusia, dan perdamaian internasional.⁶ Humanisme Camus, yang berakar pada pengalaman konkret manusia dan bukan pada dogma metafisik, dapat menjadi landasan normatif bagi masyarakat plural yang menghadapi keragaman budaya dan agama.⁷ Di era pasca-sekuler, di mana konflik identitas sering kali berujung pada kekerasan, gagasan Camus tentang solidaritas dan tanggung jawab kolektif menghadirkan etika universal yang inklusif.⁸

Selain itu, dimensi estetika pemikiran Camus, khususnya dalam La Peste, kembali mendapat perhatian dalam konteks pandemi global COVID-19. Novel tersebut sering ditafsirkan ulang sebagai refleksi atas penderitaan kolektif dan pentingnya solidaritas manusia dalam menghadapi krisis bersama.⁹ Dengan demikian, karya Camus menunjukkan daya hidup estetis sekaligus relevansi filosofis yang lintas zaman.

Secara keseluruhan, pemikiran Camus menawarkan inspirasi bagi dunia kontemporer: ia mengajarkan bahwa di tengah absurditas sejarah dan tragedi global, manusia dapat menolak nihilisme dengan memilih kebebasan, pemberontakan etis, dan solidaritas kemanusiaan.¹⁰ Dengan demikian, Camus tetap menjadi rujukan penting dalam filsafat, politik, sastra, maupun etika modern.


Footnotes

[1]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 181–183.

[2]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 172–175.

[3]                Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris: Gallimard, 1942), 117–120.

[4]                Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 201–203.

[5]                John Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt (London: Routledge, 2008), 155–158.

[6]                Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 133–136.

[7]                Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 189–192.

[8]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 159–161.

[9]                Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New York: Alfred A. Knopf, 1997), 401–404.

[10]             Camus, L’Homme Révolté (Paris: Gallimard, 1951), 303–306.


9.           Kesimpulan

Pemikiran Albert Camus memperlihatkan konsistensi yang khas: ia memulai dengan kesadaran akan absurditas, melanjutkan dengan gagasan pemberontakan, dan akhirnya sampai pada etika humanisme yang menekankan kebebasan, solidaritas, serta tanggung jawab moral.¹ Dengan demikian, filsafat Camus bukanlah sebuah sistem metafisik, melainkan sebuah jalan reflektif yang berakar pada pengalaman konkret manusia dalam menghadapi dunia yang tanpa makna final.² Ia menolak baik nihilisme yang meniadakan nilai maupun absolutisme ideologis yang mengekang kebebasan, sehingga menawarkan alternatif humanisme kritis yang relevan lintas zaman.³

Dalam karya-karya sastra dan esainya, Camus berhasil menyatukan refleksi filosofis dengan ekspresi estetis. Le Mythe de Sisyphe, L’Étranger, La Peste, dan L’Homme Révolté bukan hanya dokumen filosofis, tetapi juga karya seni yang menghidupkan problem eksistensial manusia.⁴ Estetika dalam pemikirannya bukan sekadar ornamen, melainkan medium yang memungkinkan gagasan filosofis teruji melalui narasi, karakter, dan simbol.⁵ Hal ini memperlihatkan bahwa bagi Camus, filsafat dan sastra tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi dalam mengungkapkan kondisi manusia.

Kritik dan kontroversi yang menyertai pemikirannya—baik terkait perdebatan dengan Sartre maupun posisinya terhadap kolonialisme Aljazair—menunjukkan bahwa Camus adalah seorang intelektual yang berani menempuh jalannya sendiri.⁶ Ia menolak tunduk pada ideologi dominan, bahkan jika sikap itu membuatnya terisolasi dari lingkaran intelektual sezamannya. Dalam hal ini, warisannya terletak bukan pada konsensus yang ia bangun, melainkan pada keteguhan moral yang ia pertahankan.⁷

Relevansi Camus bagi konteks kontemporer tidak dapat diabaikan. Di tengah krisis global seperti kekerasan ideologis, degradasi lingkungan, dan pandemi, gagasannya tentang absurditas, pemberontakan etis, dan solidaritas kemanusiaan tetap menjadi inspirasi.⁸ Camus mengajarkan bahwa meski dunia tidak memberikan makna final, manusia dapat menciptakan makna melalui tindakan sadar, penuh kebebasan, dan berlandaskan pada penghormatan terhadap martabat manusia.⁹ Dengan demikian, Camus tidak hanya menjadi saksi intelektual abad ke-20, tetapi juga penuntun moral bagi abad ke-21.¹⁰


Footnotes

[1]                Albert Camus, L’Homme Révolté (Paris: Gallimard, 1951), 19–21.

[2]                David Sprintzen, Camus: A Critical Examination (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 165–167.

[3]                Patrick Henry, Existentialism and Ethics: Camus and Sartre (Albany: SUNY Press, 1983), 121–124.

[4]                Robert Zaretsky, A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning (Cambridge: Harvard University Press, 2013), 141–144.

[5]                John Foley, Albert Camus: From the Absurd to Revolt (London: Routledge, 2008), 149–151.

[6]                Ronald Aronson, Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 97–100.

[7]                Tony Judt, Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956 (Berkeley: University of California Press, 1992), 154–157.

[8]                Olivier Todd, Albert Camus: A Life (New York: Alfred A. Knopf, 1997), 401–403.

[9]                Camus, Le Mythe de Sisyphe (Paris: Gallimard, 1942), 122–124.

[10]             Edward J. Hughes, Writing Marginality in Modern French Literature: From Loti to Genet (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 191–193.


Daftar Pustaka

Aronson, Ronald. Camus and Sartre: The Story of a Friendship and the Quarrel That Ended It. Chicago: University of Chicago Press, 2004.

Camus, Albert. L’Étranger. Paris: Gallimard, 1942.

———. L’Homme Révolté. Paris: Gallimard, 1951.

———. Le Mythe de Sisyphe. Paris: Gallimard, 1942.

———. Noces. Paris: Gallimard, 1938.

———. “Misère de la Kabylie.” Alger Républicain, 1939.

Carroll, David. Albert Camus the Algerian: Colonialism, Terrorism, Justice. New York: Columbia University Press, 2007.

Foley, John. Albert Camus: From the Absurd to Revolt. London: Routledge, 2008.

Henry, Patrick. Existentialism and Ethics: Camus and Sartre. Albany: State University of New York Press, 1983.

Hughes, Edward J. Writing Marginality in Modern French Literature: From Loti to Genet. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

Judt, Tony. Past Imperfect: French Intellectuals, 1944–1956. Berkeley: University of California Press, 1992.

Lottman, Herbert R. Albert Camus: A Biography. Garden City, NY: Doubleday, 1979.

Nagel, Thomas. “The Absurd.” Journal of Philosophy 68, no. 20 (1971): 716–727.

Nobel Prize Outreach. “The Nobel Prize in Literature 1957: Albert Camus.” NobelPrize.org. Diakses 29 September 2025.

Sprintzen, David. Camus: A Critical Examination. Philadelphia: Temple University Press, 1988.

Todd, Olivier. Albert Camus: A Life. New York: Alfred A. Knopf, 1997.

Zaretsky, Robert. A Life Worth Living: Albert Camus and the Quest for Meaning. Cambridge: Harvard University Press, 2013.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar