Keberanian (Andreia)
Keteguhan Hati dalam
Menghadapi Penderitaan dan Kesulitan
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep keberanian (andreia)
dalam kerangka filsafat Stoikisme, dengan menelusuri akar historisnya dalam
tradisi filsafat Yunani dan menyoroti relevansinya dalam kehidupan modern.
Keberanian dipahami bukan sekadar sebagai keberanian fisik, melainkan sebagai keteguhan
moral dan rasional dalam menghadapi penderitaan, bahaya, dan kematian.
Kajian ini menguraikan relasi keberanian dengan kebajikan lain—kebijaksanaan
(sophia), keadilan (dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê)—serta
menunjukkan bahwa keberanian Stoik merupakan bagian integral dari kehidupan
bajik yang selaras dengan logos, prinsip rasional kosmik.
Secara praktis, Stoikisme mengajarkan
keberanian melalui dimensi personal (menghadapi penderitaan), sosial (melawan
ketidakadilan), dan eksistensial (menerima kematian sebagai bagian alami dari
kosmos). Artikel ini juga menegaskan relevansi keberanian Stoik dalam konteks
modern, mulai dari
pengembangan resiliensi psikologis, etika publik, hingga respon terhadap
krisis sosial dan eksistensial. Dengan demikian, keberanian Stoik tampil
sebagai latihan hidup (askêsis) yang membimbing manusia untuk menghadapi
keterbatasan dengan keteguhan hati, menjaga integritas moral, dan
berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang adil dan rasional.
Kata Kunci: Stoikisme;
Keberanian (Andreia); Logos; Kebajikan; Etika; Resiliensi; Eudaimonia.
PEMBAHASAN
Keberanian (Andreia) dalam
Stoikisme
1.
Pendahuluan
Dalam tradisi filsafat Yunani, andreia (keberanian) sejak awal
ditempatkan sebagai salah satu kebajikan kardinal bersama kebijaksanaan,
keadilan, dan pengendalian diri. Para Stoa mengadopsi kerangka empat kebajikan
ini dan menafsirkannya dalam kerangka etika rasional, di mana “kebajikan”
dipahami sebagai keadaan jiwa yang sepenuhnya selaras dengan logos—tata
rasional kosmos.¹ Dalam horizon Stoikisme, keberanian bukan sekadar keberanian
fisik atau sikap nekat menghadapi bahaya, melainkan keteguhan hati yang
rasional untuk menilai dengan jernih mana yang sungguh buruk (keburukan
moral) dan mana yang sekadar tampak buruk (penderitaan, rasa sakit, kehilangan)
namun pada hakikatnya adiaphora (indiferens)—hal-hal yang tidak
menentukan kebaikan moral seseorang.²
Karena kosmos dipahami sebagai teratur oleh providensi rasional (logos),
apa pun yang terjadi—termasuk penderitaan, rintangan, dan keterbatasan—harus
diletakkan dalam perspektif keselarasan kehendak dengan tatanan alam.
Dalam kerangka ini, keberanian Stoik memurnikan dorongan bertahan dari impuls
emosional menjadi disposisi rasional: menghadapi yang menakutkan tanpa
tunduk pada penilaian keliru tentangnya. Marcus Aurelius menegaskan bahwa
rintangan tidak menggagalkan tujuan orang bajik; justru, “hambatan bagi
tindakan memajukan tindakan itu sendiri—yang menghalangi menjadi jalan.”³
Seneca, dalam nada serupa, memandang kemalangan sebagai “latihan” bagi
jiwa bajik: providensi tidak memanjakan orang baik, melainkan menempa
keteguhan melalui ujian.⁴
Model etis Stoik bertumpu pada tesis bahwa emosi (pathê) seperti
takut dan murka bukan sekadar gejolak rasa, tetapi penilaian tentang
nilai (value-judgments). Maka, ketakutan adalah ekspektasi akan suatu
kejahatan (malum) yang diantisipasi sebagai benar-benar buruk; keberanian,
sebaliknya, adalah keteguhan penalaran yang tidak menyetujui (assent)
klaim keliru itu.⁵ Pendekatan kognitif semacam ini menjelaskan mengapa Stoik
menekankan pendidikan penilaian (orthê krisis) sebagai syarat
keberanian: seseorang berani bukan karena menumpulkan rasa takut, tetapi karena
menilai secara benar apa yang layak ditakuti dan apa yang tidak.⁶
Dimensi praktis keberanian Stoik sangat terkait dengan dikotomi
kendali: ada hal-hal yang berada “di bawah kuasa kita”
(prohairetik)—penilaian, kehendak, dorongan—dan ada yang tidak: tubuh,
reputasi, harta, nasib. Epictetus membuka pedoman etiknya dengan pembedaan ini
dan menjadikannya kompas hidup.⁷ Keberanian, dalam terang prinsip ini, berarti teguh
pada yang berada dalam kendali moral kita sekaligus menerima dengan
benak yang tertata segala yang berada di luar kendali—termasuk sakit, kematian,
dan kehilangan. Dengan begitu, keberanian bukan negasi rasa takut semata,
melainkan kebajikan intelektual-moral yang menjaga konsistensi kehendak
pada yang baik (virtus) di tengah kontinjensi hidup.
Selain dimensi personal, Stoikisme melihat keberanian sebagai kebajikan relasional—terkait
erat dengan keadilan (dikaiosynê) dan pengendalian diri (sôphrosynê). Seseorang
berani secara Stoik ketika ia teguh membela yang adil tanpa terseret
oleh kefanatikan atau kebencian; ia juga menahan (karteria) dorongan
takut atau marah yang dapat menodai penilaian adil. Tradisi Latin
Stoa—khususnya Seneca—menggarisbawahi “kekokohan orang bajik” (constantia
sapientis) sebagai integritas yang tak tergoyahkan oleh hinaan, cemooh,
atau tekanan sosial, sebuah keberanian sipil yang menjaga martabat dan kohesi
sosial.⁸
Kerangka ini juga memberi resonansi
kontemporer. Pendekatan Stoik terhadap emosi sebagai penilaian dan latihan
kehendak (askêsis) telah menjadi salah satu inspirasi bagi terapi
kognitif-perilaku (CBT) modern, yang berfokus pada reframing pikiran
otomatis dan pelatihan respons adaptif terhadap stres dan kecemasan.⁹ Karena
itu, studi tentang keberanian Stoik tidak hanya bernilai historis, tetapi juga praktis
bagi pembentukan resiliensi personal dan etos profesional di tengah krisis,
ketidakpastian, maupun tekanan sosial-politik.
Artikel ini bertujuan: (1) menjelaskan
konsep dasar andreia dalam tradisi Yunani dan penafsirannya oleh para
Stoa; (2) memetakan posisi keberanian dalam sistem etika Stoik—hubungannya
dengan logos, dikotomi kendali, dan kebajikan lain; (3) menelaah dimensi
etis-praktis keberanian dalam menghadapi penderitaan personal dan tantangan
sosial; serta (4) menunjukkan relevansi keberanian Stoik dalam konteks modern,
termasuk kontribusinya bagi pengembangan resiliensi dan praktik kebajikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan pendasaran ini, andreia akan tampak bukan
sebagai heroisme sesaat, melainkan habit rasional yang menyinari laku
manusia menuju hidup bajik (eudaimonia) dalam tatanan kosmos yang rasional.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of
the Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925), 7.92–93.
[2]
John Sellars, Stoicism
(New York: Routledge, 2006), 108–12; Julia Annas, The Morality of Happiness
(New York: Oxford University Press, 1993), 160–66.
[3]
Marcus Aurelius, Meditations,
5.20 (penomoran buku-bab); lihat juga Gregory Hays, trans., Meditations
(New York: Modern Library, 2002).
[4]
Seneca, On Providence,
2.4–5, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford
University Press, 2007).
[5]
Cicero, Tusculan Disputations,
4.6–7, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927);
Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago
Press, 2007), 39–46.
[6]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §§61–65; Brad Inwood, Reading Seneca: Stoic Philosophy at Rome
(Oxford: Clarendon Press, 2005), 54–63.
[7]
Epictetus, Enchiridion,
1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).
[8]
Seneca, De Constantia
Sapientis, 1.1; 5.3, dalam Moral Essays, trans. John W. Basore
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928).
[9]
Donald Robertson, The
Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational
and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 3–10; Martha C.
Nussbaum, Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics
(Princeton: Princeton University Press, 1994), 315–25.
2.
Konsep Dasar Keberanian (Andreia)
2.1. Keberanian dalam Tradisi Filsafat Yunani
Klasik
Dalam filsafat Yunani awal, andreia (ἀνδρεία) dipandang sebagai salah satu kebajikan
utama (cardinal virtues). Plato, dalam Republic, menegaskan bahwa
keberanian adalah “kekokohan jiwa dalam memegang teguh keyakinan yang benar
tentang apa yang harus ditakuti dan tidak harus ditakuti.”¹ Keberanian di
sini bukan sekadar keberanian fisik dalam medan perang, melainkan sikap moral
untuk konsisten terhadap kebenaran meskipun berhadapan dengan risiko atau
penderitaan. Aristoteles kemudian mengembangkan definisi ini dalam Nicomachean
Ethics, dengan menekankan bahwa keberanian adalah jalan tengah (mesotēs)
antara rasa takut yang berlebihan (cowardice) dan keberanian sembrono (rashness).²
Konsep keberanian yang diturunkan dari Plato
dan Aristoteles memberi fondasi bagi filsafat Stoik. Namun, kaum Stoa
memperluas cakupannya dengan menempatkan andreia bukan hanya sebagai
disposisi praktis, melainkan sebagai ekspresi keselarasan manusia dengan logos—rasionalitas
kosmik yang mengatur alam semesta.³
2.2.
Keberanian sebagai Kebajikan Stoik
Dalam etika Stoik, kebajikan (aretê) dipandang sebagai satu-satunya
kebaikan sejati, sedangkan semua hal eksternal—kekayaan, kesehatan,
reputasi—dikategorikan sebagai adiaphora (indiferens).⁴ Dari perspektif
ini, keberanian (andreia) bukanlah tentang menaklukkan bahaya demi kepentingan
duniawi, melainkan teguh menghadapi penderitaan atau kehilangan dengan
rasionalitas yang jernih. Dengan kata lain, seseorang disebut berani bukan
karena ia tidak merasakan takut, tetapi karena ia mampu menilai dengan tepat bahwa
penderitaan atau kematian tidak mengurangi nilai moral dirinya.⁵
Epictetus menegaskan bahwa manusia harus berfokus pada hal-hal yang
berada “dalam kendali” (prohairetik) seperti kehendak dan penilaian, dan
meninggalkan kegelisahan atas hal-hal di luar kendali seperti tubuh, harta,
atau kematian.⁶ Maka, keberanian adalah sikap batin untuk menerima penderitaan
sebagai bagian dari tatanan kosmik dan tetap setia pada kebajikan.
2.3.
Keberanian Fisik dan Keberanian Moral
Kaum Stoa membedakan antara keberanian fisik
dan keberanian moral. Keberanian fisik sering dipahami sebagai kemampuan
menghadapi rasa sakit atau bahaya secara jasmani, tetapi Stoik menilai hal itu
tidak cukup untuk disebut sebagai kebajikan. Marcus Aurelius menekankan bahwa
keberanian sejati adalah “tidak menghindar dari tugas yang sesuai dengan
kodrat, meskipun penuh risiko atau rasa sakit.”⁷
Dengan demikian, keberanian Stoik bersifat moral-spiritual:
ia mengandalkan keteguhan akal budi, bukan sekadar kekuatan tubuh. Seorang
prajurit yang bertindak nekat tanpa pertimbangan rasional tidak dapat dianggap
berani secara Stoik, sebab keberanian sejati selalu terkait dengan pengetahuan
yang benar tentang baik dan buruk.⁸
2.4.
Andreia sebagai Fondasi Eudaimonia
Stoikisme mengajarkan bahwa eudaimonia (kebahagiaan sejati) hanya dapat
dicapai melalui hidup yang sesuai dengan kebajikan. Karena manusia tidak dapat
menghindari penderitaan, kehilangan, dan kematian, maka andreia menjadi
syarat esensial untuk mencapai kebahagiaan sejati. Seneca menegaskan bahwa
penderitaan adalah sarana providensi untuk membentuk keteguhan jiwa orang
bajik: “Tidak ada orang yang dapat dianggap kuat jika ia tidak pernah diuji.”⁹
Dengan kerangka ini, keberanian tidak dipandang sebagai kebajikan yang
berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan kebijaksanaan (sophia),
keadilan (dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê).¹⁰ Keberanian tanpa
kebijaksanaan menjadi nekat, tanpa keadilan menjadi tirani, dan tanpa
pengendalian diri menjadi kesembronoan. Oleh karena itu, dalam
Stoikisme, keberanian adalah kebajikan integratif yang menopang struktur moral
kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans.
Paul Shorey (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1930), 429c–430c.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 3.6–9.
[3]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1925), 7.92–93.
[4]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §58–61.
[5]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 162–68.
[6]
Epictetus, Enchiridion,
1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).
[7]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 2.11.
[8]
John Sellars, Stoicism
(New York: Routledge, 2006), 110–14.
[9]
Seneca, On Providence,
dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University
Press, 2007), 2.4–5.
[10]
Brad Inwood, Reading Seneca:
Stoic Philosophy at Rome (Oxford: Clarendon Press, 2005), 59–62.
3.
Keberanian dalam Kerangka Stoikisme
3.1.
Keberanian sebagai Keselarasan dengan Logos
Dalam filsafat Stoik, seluruh realitas
dipandang diatur oleh logos—rasionalitas kosmik yang bersifat ilahi,
menembus segala sesuatu, dan menjadi prinsip keteraturan alam.¹ Kebajikan
manusia sejati lahir dari keselarasan dengan logos, dan keberanian (andreia)
menempati posisi penting dalam kerangka ini karena ia melatih manusia untuk
tetap teguh menghadapi penderitaan, bahaya, dan kematian tanpa kehilangan
kejernihan akal.²
Keberanian dalam Stoikisme bukan tindakan
impulsif atau keberanian fisik semata, melainkan sikap batin yang lahir dari
kesadaran bahwa segala sesuatu yang terjadi sesuai dengan tatanan alam semesta.
Epictetus menegaskan bahwa manusia tidak boleh takut pada hal-hal yang bukan di
bawah kendali (prohairetik), karena semua itu berjalan sesuai kehendak logos.³
Dengan demikian, keberanian Stoik adalah kemampuan untuk menerima kenyataan
kosmik dengan rasionalitas yang utuh, sembari tetap teguh menjalankan tugas
moral.
3.2.
Penderitaan, Bahaya, dan Fatum Kosmik
Stoikisme menempatkan penderitaan dan bahaya
sebagai bagian dari fatum—takdir kosmik yang tak terelakkan. Seneca
menulis dalam On Providence bahwa orang bijak tidak mengeluh atas
penderitaan, melainkan memandangnya sebagai latihan yang ditempatkan providensi
untuk memperkuat jiwa.⁴ Dengan kata lain, keberanian adalah sikap batin yang
melihat penderitaan bukan sebagai keburukan sejati, melainkan sebagai
kesempatan untuk memperlihatkan konsistensi moral.
Marcus Aurelius menambahkan bahwa segala
peristiwa, termasuk yang tampak merugikan, sejatinya “sesuai dengan kodrat
alam” dan oleh karena itu tidak boleh dipandang sebagai musuh.⁵ Penderitaan
menjadi ujian apakah seseorang tetap memegang kebajikan atau tidak. Maka,
keberanian Stoik berfungsi sebagai filter moral: hanya mereka yang memahami
bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati dapat menghadapinya dengan
teguh tanpa keluh kesah.
3.3.
Keberanian sebagai Penguasaan atas Penilaian
Bagi para Stoa, sumber ketakutan bukanlah penderitaan itu sendiri,
melainkan penilaian keliru bahwa penderitaan adalah kejahatan sejati.⁶
Keberanian, dengan demikian, muncul dari penilaian yang benar (orthê
krisis). Dengan melatih pikiran agar tidak memberikan “assent”
(persetujuan) pada kesan (phantasia) yang menyesatkan, seseorang menjadi kebal
terhadap rasa takut yang tidak rasional.
Epictetus menegaskan dalam Discourses bahwa kematian atau bahaya
tidak mengandung keburukan pada dirinya, melainkan hanya tampak demikian karena
kita menilainya keliru.⁷ Oleh karena itu, keberanian sejati adalah disposisi
intelektual yang teguh menjaga penilaian akal dari distorsi emosional.
3.4.
Keselarasan Kehendak dengan Alam
Keberanian Stoik juga berakar pada prinsip amor fati—cinta pada
takdir. Manusia berani bukan karena menolak penderitaan, tetapi karena menerima
penderitaan sebagai bagian dari keteraturan kosmos. Marcus Aurelius menulis: “Cintailah
takdirmu, karena ia adalah bagian dari alam semesta yang sama dengan dirimu.”⁸
Dengan demikian, keberanian bukanlah sikap melawan nasib, melainkan
kesiapan untuk menjalani hidup sesuai dengan hukum kosmik. Hal ini
menuntut keterikatan erat antara kebebasan batin manusia dengan penerimaan
penuh terhadap keteraturan alam. Keberanian berarti teguh dalam kehendak,
tidak goyah oleh hal-hal eksternal, dan selalu selaras dengan tujuan moral
hidup yang lebih tinggi.
Sintesis
Dalam kerangka Stoik, andreia
bukanlah kebajikan parsial yang berdiri sendiri, melainkan ekspresi dari
kehidupan yang selaras dengan logos. Ia melibatkan penerimaan terhadap
penderitaan sebagai bagian dari takdir, penguasaan atas penilaian rasional, dan
keteguhan dalam menyelaraskan kehendak dengan hukum alam. Keberanian Stoik
dengan demikian bukan hanya melawan rasa takut, tetapi juga meneguhkan
rasionalitas manusia di tengah kosmos yang penuh keteraturan.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1925), 7.134–38.
[2]
John Sellars, Stoicism
(New York: Routledge, 2006), 107–11.
[3]
Epictetus, Enchiridion,
1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).
[4]
Seneca, On Providence,
2.4–5, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford
University Press, 2007).
[5]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 6.58.
[6]
Cicero, Tusculan Disputations,
4.6–7, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927).
[7]
Epictetus, Discourses,
2.1.21–25, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925–28).
[8]
Marcus Aurelius, Meditations,
10.3.
4.
Keberanian dan Hubungannya dengan Kebajikan Lain
4.1.
Keberanian dan Kebijaksanaan (Sophia)
Dalam kerangka Stoik, kebijaksanaan
(sophia) merupakan fondasi dari semua kebajikan, termasuk keberanian. Tanpa
pengetahuan yang benar tentang baik dan buruk, keberanian dapat menyimpang
menjadi kenekatan atau kebodohan moral.¹ Aristoteles sendiri menekankan bahwa
keberanian sejati adalah sikap yang dipandu oleh penilaian rasional, bukan
dorongan emosional.² Stoikisme menguatkan tesis ini dengan pandangan bahwa
keberanian hanya mungkin bila seseorang mampu membedakan dengan jelas antara
hal-hal yang berada di bawah kendali dan yang tidak.³
Dengan demikian, keberanian selalu dituntun
oleh kebijaksanaan: seseorang tidak berani hanya demi menantang bahaya,
melainkan karena ia tahu bahwa mempertahankan integritas moral adalah kebaikan
tertinggi. Marcus Aurelius menulis bahwa tindakan yang benar “selalu selaras
dengan akal dan keadilan,” menunjukkan bahwa keberanian tidak mungkin
terlepas dari kebijaksanaan praktis.⁴
4.2.
Keberanian dan Keadilan (Dikaiosynê)
Hubungan erat juga terlihat antara keberanian dan keadilan
(dikaiosynê). Stoikisme memandang keadilan sebagai dimensi sosial dari
kebajikan, yaitu hidup sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk rasional
dan sosial (zôon politikon).⁵ Keberanian dalam konteks ini bukan hanya
menghadapi penderitaan pribadi, tetapi juga kesanggupan membela kebenaran dan
keadilan meskipun menghadapi risiko sosial, politik, atau bahkan kematian.
Cato Uticensis, seorang tokoh Romawi yang sering dipandang sebagai
teladan Stoik, dianggap mewujudkan keberanian yang berpadu dengan keadilan
ketika ia menentang tirani Julius Caesar, meskipun akhirnya berujung pada
kematiannya.⁶ Dengan demikian, keberanian Stoik tidak egoistis, melainkan
selalu terkait dengan tanggung jawab terhadap komunitas dan keadilan sosial.
4.3. Keberanian dan Pengendalian Diri
(Sôphrosynê)
Selain dengan kebijaksanaan dan keadilan,
keberanian berhubungan erat dengan pengendalian diri (sôphrosynê). Stoik
menilai bahwa rasa takut, kemarahan, atau keputusasaan lahir dari penilaian
yang keliru.⁷ Maka, keberanian tidak dapat dipisahkan dari kemampuan
mengendalikan dorongan emosional yang destruktif.
Epictetus menegaskan bahwa manusia yang
berani adalah mereka yang tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa takut,
karena ia telah melatih kehendaknya untuk hanya menilai benar sesuatu yang ada
di bawah kendali.⁸ Tanpa pengendalian diri, keberanian berubah menjadi tindakan
nekat; sebaliknya, dengan sôphrosynê, keberanian menjadi teguh, seimbang, dan
bermakna etis.
Sintesis: Keempat Kebajikan sebagai Satu Kesatuan
Para filsuf Stoik berulang kali menegaskan bahwa empat kebajikan
utama—kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri—tidak
terpisahkan satu sama lain. Cicero, yang banyak terpengaruh oleh Stoik,
menyatakan bahwa keempatnya adalah ekspresi berbeda dari satu kebaikan yang
sama, yakni hidup sesuai dengan rasionalitas alam.⁹ Dengan demikian, andreia
bukanlah kebajikan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari struktur etis
yang utuh.
Dalam perspektif ini, keberanian Stoik bukan hanya menghadapi
penderitaan secara individu, tetapi juga menjamin bahwa sikap tersebut tetap
sesuai dengan kebijaksanaan, adil dalam relasi sosial, dan terkendali dari
emosi yang berlebihan. Hal ini meneguhkan pandangan bahwa keberanian Stoik
adalah integritas moral menyeluruh yang menopang kehidupan bajik
(eudaimonia).
Footnotes
[1]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 164–66.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 3.7–9.
[3]
Epictetus, Enchiridion,
1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).
[4]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 3.12.
[5]
A. A. Long, Stoic Studies
(Berkeley: University of California Press, 1996), 207–10.
[6]
Plutarch, Lives: Cato the
Younger, trans. Bernadotte Perrin (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1919), 54–56.
[7]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 42–47.
[8]
Epictetus, Discourses,
2.1.21–25, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925–28).
[9]
Cicero, De Officiis,
trans. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), 1.15.
5.
Dimensi Etis dan Praktis Keberanian
5.1.
Keberanian dalam Menghadapi Penderitaan Pribadi
Stoikisme menekankan bahwa penderitaan
jasmani, seperti rasa sakit dan penyakit, termasuk ke dalam kategori adiaphora
(hal-hal yang netral secara moral).¹ Seneca menegaskan bahwa penderitaan tidak
dapat merusak kebajikan, sebab ia hanya menyentuh tubuh, bukan jiwa.² Oleh
karena itu, keberanian menuntut agar manusia tetap tenang menghadapi sakit atau
kelemahan fisik, menyadari bahwa yang terpenting adalah bagaimana ia menilai
dan merespons penderitaan tersebut.
Epictetus bahkan menyatakan bahwa
penderitaan dapat menjadi kesempatan bagi filsuf untuk menunjukkan keteguhan
akalnya.³ Dengan cara ini, keberanian tidak dipahami sebagai penghapusan rasa
sakit, melainkan sebagai kemampuan untuk menghadapinya secara rasional
tanpa kehilangan kebajikan moral.
5.2. Keberanian dalam Menghadapi Bahaya Sosial
dan Politik
Bagi para Stoa, keberanian juga memiliki
dimensi sosial. Ia menuntut seseorang untuk tetap teguh membela kebenaran,
meskipun menghadapi ancaman dari kekuasaan atau opini publik. Cato Uticensis,
misalnya, dipandang sebagai teladan Stoik karena keberaniannya menentang tirani
Julius Caesar, meskipun akhirnya ia memilih mati daripada kehilangan
integritasnya.⁴
Marcus Aurelius menekankan bahwa seseorang
tidak boleh takut pada kebencian orang lain, karena “ketidakadilan dari
orang lain tidak dapat merusak jiwamu, kecuali engkau sendiri yang memberi izin.”⁵
Dengan demikian, keberanian dalam konteks sosial berarti tetap setia pada
keadilan dan integritas, sekalipun menghadapi penindasan atau tekanan dari
luar.
5.3.
Keberanian dalam Menghadapi Kematian
Kematian adalah ujian terakhir dari keberanian Stoik. Bagi Stoik,
kematian bukanlah keburukan, melainkan bagian alami dari tatanan kosmik yang
diatur oleh logos.⁶ Epictetus mengingatkan murid-muridnya agar tidak takut pada
kematian, sebab “jika engkau menginginkannya, pintu selalu terbuka” —
artinya manusia selalu memiliki kebebasan untuk meninggalkan hidup ketika
keadaan tidak lagi sesuai dengan kebajikan.⁷
Seneca menambahkan bahwa belajar filsafat berarti belajar bagaimana
menghadapi kematian dengan tenang.⁸ Keberanian dalam menghadapi kematian tidak
berarti mengabaikan rasa takut secara emosional, tetapi menempatkan kematian
pada perspektif yang benar: sebagai transisi alami yang tidak mengurangi nilai
moral manusia.
5.4.
Teladan Tokoh-Tokoh Stoik
Stoikisme tidak hanya berbicara dalam teori,
tetapi juga dalam keteladanan. Socrates, meskipun hidup sebelum perkembangan
penuh Stoikisme, dijadikan inspirasi karena keberaniannya menghadapi pengadilan
dan kematian dengan ketenangan.⁹ Demikian pula, Epictetus yang hidup sebagai
budak menunjukkan bahwa keterbatasan lahiriah tidak menghalangi seseorang untuk
hidup dengan keberanian moral. Marcus Aurelius, sebagai kaisar, mencontohkan
keberanian menghadapi tekanan politik dan beban pemerintahan dengan tetap menjaga
kejernihan batin.¹⁰
Melalui teladan ini, Stoikisme menegaskan
bahwa keberanian adalah kebajikan universal yang dapat diwujudkan dalam
berbagai situasi, baik oleh filsuf, prajurit, budak, maupun kaisar.
Sintesis: Keberanian sebagai Latihan Hidup
Dimensi etis dan praktis keberanian Stoik menunjukkan bahwa ia bukanlah
kebajikan abstrak, melainkan latihan hidup (askêsis) yang harus dijalani
sehari-hari. Menghadapi penderitaan, bahaya, dan kematian dengan keteguhan hati
merupakan jalan untuk menjaga integritas moral. Dengan demikian, keberanian
adalah wujud nyata dari komitmen Stoik terhadap hidup sesuai dengan alam dan
rasionalitas kosmik.
Footnotes
[1]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), §58C.
[2]
Seneca, Epistles, 78.13,
dalam Moral Letters to Lucilius, trans. Richard Gummere (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1917).
[3]
Epictetus, Discourses,
1.24.1–3, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925–28).
[4]
Plutarch, Lives: Cato the
Younger, trans. Bernadotte Perrin (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1919), 54–56.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 4.3.
[6]
Cicero, Tusculan Disputations,
1.40–41, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927).
[7]
Epictetus, Discourses,
1.25.18–20, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925–28).
[8]
Seneca, Letters on Ethics to
Lucilius, trans. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University of
Chicago Press, 2015), 26.10.
[9]
Plato, Apology, trans.
Harold North Fowler (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914), 29a–30c.
[10]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 124–30.
6.
Keberanian dan Relasi Sosial
6.1.
Stoikisme dan Dimensi Sosial Manusia
Stoikisme menekankan bahwa manusia adalah
makhluk rasional sekaligus sosial (zôon logikon kai politikon).¹
Kehidupan bajik tidak hanya diwujudkan dalam ruang pribadi, tetapi juga dalam
relasi dengan orang lain. Dalam kerangka ini, keberanian (andreia) memiliki
dimensi sosial yang erat: ia bukan sekadar kekuatan batin menghadapi
penderitaan individu, melainkan juga kesanggupan untuk berbuat adil, melindungi
komunitas, dan tetap teguh pada nilai moral meski berhadapan dengan tekanan
kolektif.²
Epictetus mengingatkan bahwa manusia
diciptakan untuk hidup bersama, dan karena itu keberanian harus diwujudkan
dalam interaksi sosial—misalnya, dalam membela kebenaran dan keadilan ketika
masyarakat justru memilih diam.³
6.2. Keberanian sebagai Tanggung Jawab Etis
terhadap Komunitas
Keberanian Stoik menuntut seseorang untuk
tidak hanya berfokus pada penderitaan pribadinya, tetapi juga keberanian untuk
menghadapi konsekuensi sosial dari tindakan moral. Seneca menulis bahwa orang
bijak “tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi sebagian untuk orang lain,”⁴
sehingga keberanian sejati ditunjukkan ketika seseorang tetap konsisten pada
kebajikan meskipun menghadapi risiko sosial, politik, atau bahkan kematian.
Dalam hal ini, keberanian memiliki
keterkaitan erat dengan keadilan (dikaiosynê): keberanian yang tidak didorong
oleh kepedulian terhadap komunitas berisiko menjadi kesombongan individual,
sedangkan keberanian yang dibimbing oleh rasa keadilan melahirkan solidaritas
dan perlindungan bagi sesama.⁵
6.3.
Keberanian Menghadapi Ketidakadilan
Para filsuf Stoik menekankan bahwa menghadapi ketidakadilan menuntut
keberanian ganda: keberanian untuk menahan diri agar tidak terjebak dalam
kemarahan, dan keberanian untuk bertindak demi kebenaran meski berisiko. Marcus
Aurelius menegaskan bahwa “ketidakadilan orang lain tidak dapat melukai
jiwamu, kecuali engkau sendiri mengizinkannya,”⁶ menekankan bahwa
integritas moral lebih penting daripada penilaian orang lain.
Keteguhan hati inilah yang menjadi fondasi
keberanian Stoik dalam ruang sosial. Tidak menyerah pada tekanan, tidak takut
pada ejekan atau hinaan, serta tidak mengorbankan prinsip demi popularitas
adalah bentuk nyata keberanian yang mengakar pada integritas moral.⁷
6.4. Solidaritas dan Integritas dalam Relasi
Sosial
Stoikisme melihat keberanian bukan sebagai
sikap heroik individual yang terpisah dari masyarakat, tetapi sebagai kebajikan
yang memperkuat solidaritas manusia. Epictetus menekankan bahwa setiap individu
adalah “bagian dari kota besar dunia” (polis tou kosmou),
sehingga keberanian pribadi berkontribusi pada kekuatan komunitas.⁸
Pierre Hadot menjelaskan bahwa praktik
keberanian Stoik berfungsi menjaga “benteng batin” (inner citadel)
seseorang, namun benteng itu bukan untuk mengisolasi diri, melainkan agar
manusia tetap teguh dalam komitmen moral ketika berhubungan dengan orang lain.⁹
Dengan demikian, keberanian Stoik membangun keutuhan pribadi sekaligus
memperkokoh ikatan sosial.
Sintesis
Keberanian dalam kerangka Stoikisme tidak hanya berfungsi sebagai
pertahanan pribadi terhadap penderitaan, tetapi juga sebagai kebajikan
sosial yang menjaga keadilan, solidaritas, dan integritas dalam kehidupan
bersama. Ia menuntut keberanian untuk menolak ketidakadilan, untuk menanggung
risiko demi kebenaran, serta untuk tetap berpegang pada kebajikan meski
menghadapi tekanan sosial. Dengan demikian, keberanian Stoik menjadi
pilar penting dalam membangun relasi sosial yang adil, rasional, dan bermakna.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1925), 7.123–24.
[2]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 166–69.
[3]
Epictetus, Discourses,
1.23.1–3, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925–28).
[4]
Seneca, On the Happy Life,
3.2, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford
University Press, 2007).
[5]
A. A. Long, Stoic Studies
(Berkeley: University of California Press, 1996), 212–16.
[6]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 4.3.
[7]
Brad Inwood, Reading Seneca:
Stoic Philosophy at Rome (Oxford: Clarendon Press, 2005), 61–64.
[8]
Epictetus, Discourses,
2.10.1–2, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925–28).
[9]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 132–36.
7.
Relevansi Keberanian Stoik dalam Konteks Modern
7.1.
Keberanian Stoik dan Resiliensi Psikologis
Prinsip keberanian Stoik memiliki resonansi
kuat dengan konsep resiliensi dalam psikologi modern. Stoikisme
mengajarkan bahwa penderitaan, rasa sakit, dan kehilangan adalah bagian dari
tatanan kosmik, sehingga manusia tidak boleh hancur karenanya.¹ Konsep ini
sejalan dengan terapi kognitif-perilaku (Cognitive Behavioral Therapy/ CBT),
yang menekankan bahwa penderitaan psikologis sering kali disebabkan oleh
penilaian keliru terhadap peristiwa, bukan oleh peristiwa itu sendiri.²
Donald Robertson menunjukkan bahwa CBT
modern berakar pada gagasan Stoik tentang bagaimana emosi berasal dari
penilaian, sehingga keberanian Stoik dapat dipahami sebagai bentuk keteguhan
batin menghadapi tekanan hidup dengan kerangka berpikir yang sehat.³ Dalam
konteks ini, keberanian Stoik memberikan fondasi filosofis untuk membangun daya
tahan psikologis dalam menghadapi stres, kecemasan, dan trauma.
7.2. Keberanian dalam Menghadapi Krisis Sosial
dan Politik
Di dunia modern yang ditandai dengan
ketidakstabilan sosial, konflik politik, dan perubahan cepat, keberanian Stoik
tetap relevan. Keberanian tidak hanya berarti menghadapi penderitaan pribadi,
tetapi juga berani membela kebenaran dan keadilan di ruang publik. Martha
Nussbaum menekankan bahwa etika Hellenistik, termasuk Stoikisme, menyoroti
peran keberanian dalam menghadapi kerentanan manusia sekaligus memperjuangkan
martabat dalam kondisi sulit.⁴
Prinsip ini terlihat dalam banyak gerakan
sosial kontemporer, di mana individu atau kelompok menanggung risiko demi
keadilan, kesetaraan, dan kebenaran. Keberanian Stoik membantu membingkai
perjuangan semacam ini bukan sekadar tindakan heroik, melainkan komitmen
rasional terhadap integritas moral dan solidaritas sosial.
7.3. Keberanian dalam Dunia Kerja dan Kehidupan
Sehari-hari
Dalam dunia kerja yang penuh
ketidakpastian—seperti persaingan karier, tekanan ekonomi, atau ancaman
kehilangan pekerjaan—keberanian Stoik mengajarkan sikap untuk fokus pada
hal-hal yang dapat dikendalikan: integritas, etos kerja, dan kualitas
keputusan.⁵ Hal ini mencegah individu terjebak dalam ketakutan berlebihan
terhadap hal-hal eksternal yang berada di luar kendali.
Pierre Hadot menekankan bahwa praktik
filsafat Stoik sebagai “latihan spiritual” (askêsis) dapat membimbing
manusia modern dalam menghadapi tantangan sehari-hari, dengan mengubah
penderitaan menjadi kesempatan untuk memperdalam kebajikan.⁶ Dengan demikian,
keberanian Stoik memberi arah praktis agar manusia modern tidak sekadar bertahan,
tetapi juga berkembang melalui kesulitan.
7.4. Keberanian Menghadapi Krisis Eksistensial
dan Lingkungan
Selain dalam ranah pribadi dan sosial,
keberanian Stoik juga relevan dalam menghadapi krisis eksistensial dan
tantangan global seperti perubahan iklim. Stoikisme menekankan pentingnya
menerima takdir kosmik (amor fati), tetapi penerimaan itu tidak berarti pasif.
Sebaliknya, keberanian Stoik menuntut keterlibatan aktif dalam menjalankan
tanggung jawab moral, termasuk merawat lingkungan dan memperjuangkan masa depan
yang berkelanjutan.⁷
Dengan demikian, keberanian Stoik dalam
konteks modern bukanlah sikap menyerah pada keadaan, melainkan penerimaan
aktif yang memberi manusia kekuatan moral untuk berjuang dalam keterbatasan
yang ada.
Sintesis
Keberanian Stoik terbukti memiliki relevansi
lintas zaman. Dari ranah psikologi hingga politik, dari ruang kerja hingga
krisis eksistensial global, andreia menjadi prinsip hidup yang memberi
manusia kekuatan untuk menghadapi penderitaan dengan rasionalitas, membela
keadilan dengan integritas, dan menjalani hidup dengan keteguhan moral.
Stoikisme mengajarkan bahwa keberanian bukan hanya kualitas individu, tetapi
juga fondasi etika publik yang mampu membimbing manusia modern dalam menghadapi
tantangan yang semakin kompleks.
Footnotes
[1]
Seneca, On Providence,
dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University
Press, 2007), 2.4–5.
[2]
Aaron T. Beck, Cognitive
Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities
Press, 1976), 25–29.
[3]
Donald Robertson, The
Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational
and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 3–12.
[4]
Martha C. Nussbaum, The
Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton:
Princeton University Press, 1994), 315–20.
[5]
John Sellars, Stoicism
(New York: Routledge, 2006), 118–21.
[6]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, trans. Michael
Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–90.
[7]
Lawrence C. Becker, A New
Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 217–22.
8.
Penutup
Kajian mengenai keberanian (andreia) dalam Stoikisme menunjukkan
bahwa kebajikan ini bukan sekadar sikap heroik dalam menghadapi bahaya fisik,
melainkan keteguhan moral yang berakar pada rasionalitas. Bagi kaum Stoa,
keberanian adalah bentuk keselarasan manusia dengan logos, prinsip
rasional kosmik yang menata seluruh realitas.¹ Dengan demikian, keberanian
sejati bukan terletak pada kemampuan menghindari rasa takut, melainkan pada penilaian
yang benar terhadap penderitaan, bahaya, dan kematian sebagai bagian dari
tatanan alam.²
Pembahasan sebelumnya memperlihatkan bahwa keberanian tidak berdiri
sendiri, melainkan berhubungan erat dengan kebijaksanaan (sophia), keadilan
(dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê).³ Tanpa kebijaksanaan,
keberanian berubah menjadi kenekatan; tanpa keadilan, ia menjadi tirani; dan
tanpa pengendalian diri, ia menjadi kesembronoan. Dengan keterkaitan ini,
keberanian tampil sebagai kebajikan integral yang menopang seluruh kehidupan
etis manusia.
Dalam dimensi praktis, Stoikisme mengajarkan
keberanian sebagai kemampuan menghadapi penderitaan pribadi, ancaman
sosial-politik, dan bahkan kematian dengan keteguhan hati. Teladan tokoh-tokoh
seperti Socrates, Cato Uticensis, Epictetus, dan Marcus Aurelius menunjukkan
bahwa keberanian Stoik bersifat universal: ia dapat diwujudkan oleh siapa pun,
baik filsuf, budak, maupun kaisar.⁴
Lebih jauh, keberanian Stoik juga memiliki
relevansi signifikan dalam dunia modern. Prinsip Stoik tentang penguasaan
penilaian dan penerimaan terhadap takdir (amor fati) beresonansi dengan
pendekatan psikologi modern, khususnya terapi kognitif-perilaku (CBT), yang
berfokus pada peran keyakinan dalam membentuk respon emosional.⁵ Selain itu,
keberanian Stoik memberi fondasi etis untuk menghadapi krisis sosial, politik,
maupun eksistensial, dengan tetap berpegang pada integritas moral dan
solidaritas manusia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
keberanian Stoik bukanlah kebajikan statis, melainkan latihan hidup
(askêsis) yang menuntut konsistensi sehari-hari. Ia memampukan manusia
untuk menghadapi penderitaan tanpa kehilangan arah moral, untuk menolak
ketidakadilan tanpa dikuasai oleh kebencian, dan untuk menerima kematian tanpa
kehilangan ketenangan jiwa. Dalam kerangka inilah Stoikisme mengajarkan bahwa
keberanian adalah pilar penting menuju hidup bajik (eudaimonia), sebuah
kehidupan yang tidak hanya rasional, tetapi juga bermakna dalam relasi dengan
sesama dan alam semesta.⁶
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1925), 7.134–38.
[2]
Epictetus, Discourses,
2.1.21–25, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925–28).
[3]
Cicero, De Officiis,
trans. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), 1.15.
[4]
Plutarch, Lives: Cato the
Younger, trans. Bernadotte Perrin (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1919), 54–56; Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New
York: Modern Library, 2002), 2.11.
[5]
Donald Robertson, The
Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational
and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 3–12.
[6]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, trans. Michael
Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–90.
Daftar Pustaka
Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University
Press.
Aristotle. (1934). Nicomachean ethics (H. Rackham, Trans.).
Harvard University Press.
Beck, A. T. (1976). Cognitive therapy and the emotional disorders.
International Universities Press.
Becker, L. C. (1998). A new Stoicism. Princeton University Press.
Cicero. (1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Harvard
University Press.
Cicero. (1927). Tusculan disputations (J. E. King, Trans.).
Harvard University Press.
Davie, J. (Trans.). (2007). Seneca: Dialogues and essays. Oxford
University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D.
Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Epictetus. (1925–1928). Discourses, fragments, handbook (W. A.
Oldfather, Trans.). Harvard University Press.
Graver, M. R. (2007). Stoicism and emotion. University of Chicago
Press.
Graver, M., & Long, A. A. (Trans.). (2015). Seneca: Letters on
ethics to Lucilius. University of Chicago Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life: Spiritual exercises
from Socrates to Foucault (M. Chase, Trans.). Blackwell.
Hadot, P. (1998). The inner citadel: The meditations of Marcus
Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University Press.
Inwood, B. (2005). Reading Seneca: Stoic philosophy at Rome.
Clarendon Press.
King, J. E. (Trans.). (1927). Cicero: Tusculan disputations.
Harvard University Press.
Long, A. A. (1996). Stoic studies. University of California
Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers
(Vol. 1). Cambridge University Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern
Library.
Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in
Hellenistic ethics. Princeton University Press.
Oldfather, W. A. (Trans.). (1925–1928). Epictetus: Discourses,
fragments, handbook. Harvard University Press.
Plato. (1914). Apology (H. N. Fowler, Trans.). Harvard University
Press.
Plato. (1930). Republic (P. Shorey, Trans.). Harvard University
Press.
Plutarch. (1919). Lives: Cato the Younger (B. Perrin, Trans.).
Harvard University Press.
Robertson, D. (2010). The philosophy of cognitive-behavioural therapy
(CBT): Stoic philosophy as rational and cognitive psychotherapy. Karnac.
Sellars, J. (2006). Stoicism. Routledge.
Seneca. (1917). Moral letters to Lucilius (R. Gummere, Trans.).
Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar