Selasa, 26 Agustus 2025

Keberanian (Andreia): Keteguhan Hati dalam Menghadapi Penderitaan dan Kesulitan

Keberanian (Andreia)

Keteguhan Hati dalam Menghadapi Penderitaan dan Kesulitan


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep keberanian (andreia) dalam kerangka filsafat Stoikisme, dengan menelusuri akar historisnya dalam tradisi filsafat Yunani dan menyoroti relevansinya dalam kehidupan modern. Keberanian dipahami bukan sekadar sebagai keberanian fisik, melainkan sebagai keteguhan moral dan rasional dalam menghadapi penderitaan, bahaya, dan kematian. Kajian ini menguraikan relasi keberanian dengan kebajikan lain—kebijaksanaan (sophia), keadilan (dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê)—serta menunjukkan bahwa keberanian Stoik merupakan bagian integral dari kehidupan bajik yang selaras dengan logos, prinsip rasional kosmik.

Secara praktis, Stoikisme mengajarkan keberanian melalui dimensi personal (menghadapi penderitaan), sosial (melawan ketidakadilan), dan eksistensial (menerima kematian sebagai bagian alami dari kosmos). Artikel ini juga menegaskan relevansi keberanian Stoik dalam konteks modern, mulai dari pengembangan resiliensi psikologis, etika publik, hingga respon terhadap krisis sosial dan eksistensial. Dengan demikian, keberanian Stoik tampil sebagai latihan hidup (askêsis) yang membimbing manusia untuk menghadapi keterbatasan dengan keteguhan hati, menjaga integritas moral, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang adil dan rasional.

Kata Kunci: Stoikisme; Keberanian (Andreia); Logos; Kebajikan; Etika; Resiliensi; Eudaimonia.


PEMBAHASAN

Keberanian (Andreia) dalam Stoikisme


1.           Pendahuluan

Dalam tradisi filsafat Yunani, andreia (keberanian) sejak awal ditempatkan sebagai salah satu kebajikan kardinal bersama kebijaksanaan, keadilan, dan pengendalian diri. Para Stoa mengadopsi kerangka empat kebajikan ini dan menafsirkannya dalam kerangka etika rasional, di mana “kebajikan” dipahami sebagai keadaan jiwa yang sepenuhnya selaras dengan logos—tata rasional kosmos.¹ Dalam horizon Stoikisme, keberanian bukan sekadar keberanian fisik atau sikap nekat menghadapi bahaya, melainkan keteguhan hati yang rasional untuk menilai dengan jernih mana yang sungguh buruk (keburukan moral) dan mana yang sekadar tampak buruk (penderitaan, rasa sakit, kehilangan) namun pada hakikatnya adiaphora (indiferens)—hal-hal yang tidak menentukan kebaikan moral seseorang.²

Karena kosmos dipahami sebagai teratur oleh providensi rasional (logos), apa pun yang terjadi—termasuk penderitaan, rintangan, dan keterbatasan—harus diletakkan dalam perspektif keselarasan kehendak dengan tatanan alam. Dalam kerangka ini, keberanian Stoik memurnikan dorongan bertahan dari impuls emosional menjadi disposisi rasional: menghadapi yang menakutkan tanpa tunduk pada penilaian keliru tentangnya. Marcus Aurelius menegaskan bahwa rintangan tidak menggagalkan tujuan orang bajik; justru, “hambatan bagi tindakan memajukan tindakan itu sendiri—yang menghalangi menjadi jalan.”³ Seneca, dalam nada serupa, memandang kemalangan sebagai “latihan” bagi jiwa bajik: providensi tidak memanjakan orang baik, melainkan menempa keteguhan melalui ujian.⁴

Model etis Stoik bertumpu pada tesis bahwa emosi (pathê) seperti takut dan murka bukan sekadar gejolak rasa, tetapi penilaian tentang nilai (value-judgments). Maka, ketakutan adalah ekspektasi akan suatu kejahatan (malum) yang diantisipasi sebagai benar-benar buruk; keberanian, sebaliknya, adalah keteguhan penalaran yang tidak menyetujui (assent) klaim keliru itu.⁵ Pendekatan kognitif semacam ini menjelaskan mengapa Stoik menekankan pendidikan penilaian (orthê krisis) sebagai syarat keberanian: seseorang berani bukan karena menumpulkan rasa takut, tetapi karena menilai secara benar apa yang layak ditakuti dan apa yang tidak.⁶

Dimensi praktis keberanian Stoik sangat terkait dengan dikotomi kendali: ada hal-hal yang berada “di bawah kuasa kita” (prohairetik)—penilaian, kehendak, dorongan—dan ada yang tidak: tubuh, reputasi, harta, nasib. Epictetus membuka pedoman etiknya dengan pembedaan ini dan menjadikannya kompas hidup.⁷ Keberanian, dalam terang prinsip ini, berarti teguh pada yang berada dalam kendali moral kita sekaligus menerima dengan benak yang tertata segala yang berada di luar kendali—termasuk sakit, kematian, dan kehilangan. Dengan begitu, keberanian bukan negasi rasa takut semata, melainkan kebajikan intelektual-moral yang menjaga konsistensi kehendak pada yang baik (virtus) di tengah kontinjensi hidup.

Selain dimensi personal, Stoikisme melihat keberanian sebagai kebajikan relasional—terkait erat dengan keadilan (dikaiosynê) dan pengendalian diri (sôphrosynê). Seseorang berani secara Stoik ketika ia teguh membela yang adil tanpa terseret oleh kefanatikan atau kebencian; ia juga menahan (karteria) dorongan takut atau marah yang dapat menodai penilaian adil. Tradisi Latin Stoa—khususnya Seneca—menggarisbawahi “kekokohan orang bajik” (constantia sapientis) sebagai integritas yang tak tergoyahkan oleh hinaan, cemooh, atau tekanan sosial, sebuah keberanian sipil yang menjaga martabat dan kohesi sosial.⁸

Kerangka ini juga memberi resonansi kontemporer. Pendekatan Stoik terhadap emosi sebagai penilaian dan latihan kehendak (askêsis) telah menjadi salah satu inspirasi bagi terapi kognitif-perilaku (CBT) modern, yang berfokus pada reframing pikiran otomatis dan pelatihan respons adaptif terhadap stres dan kecemasan.⁹ Karena itu, studi tentang keberanian Stoik tidak hanya bernilai historis, tetapi juga praktis bagi pembentukan resiliensi personal dan etos profesional di tengah krisis, ketidakpastian, maupun tekanan sosial-politik.

Artikel ini bertujuan: (1) menjelaskan konsep dasar andreia dalam tradisi Yunani dan penafsirannya oleh para Stoa; (2) memetakan posisi keberanian dalam sistem etika Stoik—hubungannya dengan logos, dikotomi kendali, dan kebajikan lain; (3) menelaah dimensi etis-praktis keberanian dalam menghadapi penderitaan personal dan tantangan sosial; serta (4) menunjukkan relevansi keberanian Stoik dalam konteks modern, termasuk kontribusinya bagi pengembangan resiliensi dan praktik kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendasaran ini, andreia akan tampak bukan sebagai heroisme sesaat, melainkan habit rasional yang menyinari laku manusia menuju hidup bajik (eudaimonia) dalam tatanan kosmos yang rasional.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of the Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 7.92–93.

[2]                John Sellars, Stoicism (New York: Routledge, 2006), 108–12; Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 160–66.

[3]                Marcus Aurelius, Meditations, 5.20 (penomoran buku-bab); lihat juga Gregory Hays, trans., Meditations (New York: Modern Library, 2002).

[4]                Seneca, On Providence, 2.4–5, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University Press, 2007).

[5]                Cicero, Tusculan Disputations, 4.6–7, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927); Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 39–46.

[6]                A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), §§61–65; Brad Inwood, Reading Seneca: Stoic Philosophy at Rome (Oxford: Clarendon Press, 2005), 54–63.

[7]                Epictetus, Enchiridion, 1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[8]                Seneca, De Constantia Sapientis, 1.1; 5.3, dalam Moral Essays, trans. John W. Basore (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928).

[9]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 3–10; Martha C. Nussbaum, Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 315–25.


2.           Konsep Dasar Keberanian (Andreia)

2.1.       Keberanian dalam Tradisi Filsafat Yunani Klasik

Dalam filsafat Yunani awal, andreia (ἀνδρεία) dipandang sebagai salah satu kebajikan utama (cardinal virtues). Plato, dalam Republic, menegaskan bahwa keberanian adalah “kekokohan jiwa dalam memegang teguh keyakinan yang benar tentang apa yang harus ditakuti dan tidak harus ditakuti.”¹ Keberanian di sini bukan sekadar keberanian fisik dalam medan perang, melainkan sikap moral untuk konsisten terhadap kebenaran meskipun berhadapan dengan risiko atau penderitaan. Aristoteles kemudian mengembangkan definisi ini dalam Nicomachean Ethics, dengan menekankan bahwa keberanian adalah jalan tengah (mesotēs) antara rasa takut yang berlebihan (cowardice) dan keberanian sembrono (rashness).²

Konsep keberanian yang diturunkan dari Plato dan Aristoteles memberi fondasi bagi filsafat Stoik. Namun, kaum Stoa memperluas cakupannya dengan menempatkan andreia bukan hanya sebagai disposisi praktis, melainkan sebagai ekspresi keselarasan manusia dengan logos—rasionalitas kosmik yang mengatur alam semesta.³

2.2.       Keberanian sebagai Kebajikan Stoik

Dalam etika Stoik, kebajikan (aretê) dipandang sebagai satu-satunya kebaikan sejati, sedangkan semua hal eksternal—kekayaan, kesehatan, reputasi—dikategorikan sebagai adiaphora (indiferens).⁴ Dari perspektif ini, keberanian (andreia) bukanlah tentang menaklukkan bahaya demi kepentingan duniawi, melainkan teguh menghadapi penderitaan atau kehilangan dengan rasionalitas yang jernih. Dengan kata lain, seseorang disebut berani bukan karena ia tidak merasakan takut, tetapi karena ia mampu menilai dengan tepat bahwa penderitaan atau kematian tidak mengurangi nilai moral dirinya.⁵

Epictetus menegaskan bahwa manusia harus berfokus pada hal-hal yang berada “dalam kendali” (prohairetik) seperti kehendak dan penilaian, dan meninggalkan kegelisahan atas hal-hal di luar kendali seperti tubuh, harta, atau kematian.⁶ Maka, keberanian adalah sikap batin untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari tatanan kosmik dan tetap setia pada kebajikan.

2.3.       Keberanian Fisik dan Keberanian Moral

Kaum Stoa membedakan antara keberanian fisik dan keberanian moral. Keberanian fisik sering dipahami sebagai kemampuan menghadapi rasa sakit atau bahaya secara jasmani, tetapi Stoik menilai hal itu tidak cukup untuk disebut sebagai kebajikan. Marcus Aurelius menekankan bahwa keberanian sejati adalah “tidak menghindar dari tugas yang sesuai dengan kodrat, meskipun penuh risiko atau rasa sakit.”⁷

Dengan demikian, keberanian Stoik bersifat moral-spiritual: ia mengandalkan keteguhan akal budi, bukan sekadar kekuatan tubuh. Seorang prajurit yang bertindak nekat tanpa pertimbangan rasional tidak dapat dianggap berani secara Stoik, sebab keberanian sejati selalu terkait dengan pengetahuan yang benar tentang baik dan buruk.⁸


2.4.       Andreia sebagai Fondasi Eudaimonia

Stoikisme mengajarkan bahwa eudaimonia (kebahagiaan sejati) hanya dapat dicapai melalui hidup yang sesuai dengan kebajikan. Karena manusia tidak dapat menghindari penderitaan, kehilangan, dan kematian, maka andreia menjadi syarat esensial untuk mencapai kebahagiaan sejati. Seneca menegaskan bahwa penderitaan adalah sarana providensi untuk membentuk keteguhan jiwa orang bajik: “Tidak ada orang yang dapat dianggap kuat jika ia tidak pernah diuji.”⁹

Dengan kerangka ini, keberanian tidak dipandang sebagai kebajikan yang berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan kebijaksanaan (sophia), keadilan (dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê).¹⁰ Keberanian tanpa kebijaksanaan menjadi nekat, tanpa keadilan menjadi tirani, dan tanpa pengendalian diri menjadi kesembronoan. Oleh karena itu, dalam Stoikisme, keberanian adalah kebajikan integratif yang menopang struktur moral kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. Paul Shorey (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1930), 429c–430c.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 3.6–9.

[3]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 7.92–93.

[4]                A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), §58–61.

[5]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 162–68.

[6]                Epictetus, Enchiridion, 1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 2.11.

[8]                John Sellars, Stoicism (New York: Routledge, 2006), 110–14.

[9]                Seneca, On Providence, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University Press, 2007), 2.4–5.

[10]             Brad Inwood, Reading Seneca: Stoic Philosophy at Rome (Oxford: Clarendon Press, 2005), 59–62.


3.           Keberanian dalam Kerangka Stoikisme

3.1.       Keberanian sebagai Keselarasan dengan Logos

Dalam filsafat Stoik, seluruh realitas dipandang diatur oleh logos—rasionalitas kosmik yang bersifat ilahi, menembus segala sesuatu, dan menjadi prinsip keteraturan alam.¹ Kebajikan manusia sejati lahir dari keselarasan dengan logos, dan keberanian (andreia) menempati posisi penting dalam kerangka ini karena ia melatih manusia untuk tetap teguh menghadapi penderitaan, bahaya, dan kematian tanpa kehilangan kejernihan akal.²

Keberanian dalam Stoikisme bukan tindakan impulsif atau keberanian fisik semata, melainkan sikap batin yang lahir dari kesadaran bahwa segala sesuatu yang terjadi sesuai dengan tatanan alam semesta. Epictetus menegaskan bahwa manusia tidak boleh takut pada hal-hal yang bukan di bawah kendali (prohairetik), karena semua itu berjalan sesuai kehendak logos.³ Dengan demikian, keberanian Stoik adalah kemampuan untuk menerima kenyataan kosmik dengan rasionalitas yang utuh, sembari tetap teguh menjalankan tugas moral.

3.2.       Penderitaan, Bahaya, dan Fatum Kosmik

Stoikisme menempatkan penderitaan dan bahaya sebagai bagian dari fatum—takdir kosmik yang tak terelakkan. Seneca menulis dalam On Providence bahwa orang bijak tidak mengeluh atas penderitaan, melainkan memandangnya sebagai latihan yang ditempatkan providensi untuk memperkuat jiwa.⁴ Dengan kata lain, keberanian adalah sikap batin yang melihat penderitaan bukan sebagai keburukan sejati, melainkan sebagai kesempatan untuk memperlihatkan konsistensi moral.

Marcus Aurelius menambahkan bahwa segala peristiwa, termasuk yang tampak merugikan, sejatinya “sesuai dengan kodrat alam” dan oleh karena itu tidak boleh dipandang sebagai musuh.⁵ Penderitaan menjadi ujian apakah seseorang tetap memegang kebajikan atau tidak. Maka, keberanian Stoik berfungsi sebagai filter moral: hanya mereka yang memahami bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati dapat menghadapinya dengan teguh tanpa keluh kesah.

3.3.       Keberanian sebagai Penguasaan atas Penilaian

Bagi para Stoa, sumber ketakutan bukanlah penderitaan itu sendiri, melainkan penilaian keliru bahwa penderitaan adalah kejahatan sejati.⁶ Keberanian, dengan demikian, muncul dari penilaian yang benar (orthê krisis). Dengan melatih pikiran agar tidak memberikan “assent” (persetujuan) pada kesan (phantasia) yang menyesatkan, seseorang menjadi kebal terhadap rasa takut yang tidak rasional.

Epictetus menegaskan dalam Discourses bahwa kematian atau bahaya tidak mengandung keburukan pada dirinya, melainkan hanya tampak demikian karena kita menilainya keliru.⁷ Oleh karena itu, keberanian sejati adalah disposisi intelektual yang teguh menjaga penilaian akal dari distorsi emosional.

3.4.       Keselarasan Kehendak dengan Alam

Keberanian Stoik juga berakar pada prinsip amor fati—cinta pada takdir. Manusia berani bukan karena menolak penderitaan, tetapi karena menerima penderitaan sebagai bagian dari keteraturan kosmos. Marcus Aurelius menulis: “Cintailah takdirmu, karena ia adalah bagian dari alam semesta yang sama dengan dirimu.”⁸

Dengan demikian, keberanian bukanlah sikap melawan nasib, melainkan kesiapan untuk menjalani hidup sesuai dengan hukum kosmik. Hal ini menuntut keterikatan erat antara kebebasan batin manusia dengan penerimaan penuh terhadap keteraturan alam. Keberanian berarti teguh dalam kehendak, tidak goyah oleh hal-hal eksternal, dan selalu selaras dengan tujuan moral hidup yang lebih tinggi.


Sintesis

Dalam kerangka Stoik, andreia bukanlah kebajikan parsial yang berdiri sendiri, melainkan ekspresi dari kehidupan yang selaras dengan logos. Ia melibatkan penerimaan terhadap penderitaan sebagai bagian dari takdir, penguasaan atas penilaian rasional, dan keteguhan dalam menyelaraskan kehendak dengan hukum alam. Keberanian Stoik dengan demikian bukan hanya melawan rasa takut, tetapi juga meneguhkan rasionalitas manusia di tengah kosmos yang penuh keteraturan.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 7.134–38.

[2]                John Sellars, Stoicism (New York: Routledge, 2006), 107–11.

[3]                Epictetus, Enchiridion, 1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[4]                Seneca, On Providence, 2.4–5, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University Press, 2007).

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 6.58.

[6]                Cicero, Tusculan Disputations, 4.6–7, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927).

[7]                Epictetus, Discourses, 2.1.21–25, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[8]                Marcus Aurelius, Meditations, 10.3.


4.           Keberanian dan Hubungannya dengan Kebajikan Lain

4.1.       Keberanian dan Kebijaksanaan (Sophia)

Dalam kerangka Stoik, kebijaksanaan (sophia) merupakan fondasi dari semua kebajikan, termasuk keberanian. Tanpa pengetahuan yang benar tentang baik dan buruk, keberanian dapat menyimpang menjadi kenekatan atau kebodohan moral.¹ Aristoteles sendiri menekankan bahwa keberanian sejati adalah sikap yang dipandu oleh penilaian rasional, bukan dorongan emosional.² Stoikisme menguatkan tesis ini dengan pandangan bahwa keberanian hanya mungkin bila seseorang mampu membedakan dengan jelas antara hal-hal yang berada di bawah kendali dan yang tidak.³

Dengan demikian, keberanian selalu dituntun oleh kebijaksanaan: seseorang tidak berani hanya demi menantang bahaya, melainkan karena ia tahu bahwa mempertahankan integritas moral adalah kebaikan tertinggi. Marcus Aurelius menulis bahwa tindakan yang benar “selalu selaras dengan akal dan keadilan,” menunjukkan bahwa keberanian tidak mungkin terlepas dari kebijaksanaan praktis.⁴

4.2.       Keberanian dan Keadilan (Dikaiosynê)

Hubungan erat juga terlihat antara keberanian dan keadilan (dikaiosynê). Stoikisme memandang keadilan sebagai dimensi sosial dari kebajikan, yaitu hidup sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial (zôon politikon).⁵ Keberanian dalam konteks ini bukan hanya menghadapi penderitaan pribadi, tetapi juga kesanggupan membela kebenaran dan keadilan meskipun menghadapi risiko sosial, politik, atau bahkan kematian.

Cato Uticensis, seorang tokoh Romawi yang sering dipandang sebagai teladan Stoik, dianggap mewujudkan keberanian yang berpadu dengan keadilan ketika ia menentang tirani Julius Caesar, meskipun akhirnya berujung pada kematiannya.⁶ Dengan demikian, keberanian Stoik tidak egoistis, melainkan selalu terkait dengan tanggung jawab terhadap komunitas dan keadilan sosial.

4.3.       Keberanian dan Pengendalian Diri (Sôphrosynê)

Selain dengan kebijaksanaan dan keadilan, keberanian berhubungan erat dengan pengendalian diri (sôphrosynê). Stoik menilai bahwa rasa takut, kemarahan, atau keputusasaan lahir dari penilaian yang keliru.⁷ Maka, keberanian tidak dapat dipisahkan dari kemampuan mengendalikan dorongan emosional yang destruktif.

Epictetus menegaskan bahwa manusia yang berani adalah mereka yang tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa takut, karena ia telah melatih kehendaknya untuk hanya menilai benar sesuatu yang ada di bawah kendali.⁸ Tanpa pengendalian diri, keberanian berubah menjadi tindakan nekat; sebaliknya, dengan sôphrosynê, keberanian menjadi teguh, seimbang, dan bermakna etis.


Sintesis: Keempat Kebajikan sebagai Satu Kesatuan

Para filsuf Stoik berulang kali menegaskan bahwa empat kebajikan utama—kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri—tidak terpisahkan satu sama lain. Cicero, yang banyak terpengaruh oleh Stoik, menyatakan bahwa keempatnya adalah ekspresi berbeda dari satu kebaikan yang sama, yakni hidup sesuai dengan rasionalitas alam.⁹ Dengan demikian, andreia bukanlah kebajikan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari struktur etis yang utuh.

Dalam perspektif ini, keberanian Stoik bukan hanya menghadapi penderitaan secara individu, tetapi juga menjamin bahwa sikap tersebut tetap sesuai dengan kebijaksanaan, adil dalam relasi sosial, dan terkendali dari emosi yang berlebihan. Hal ini meneguhkan pandangan bahwa keberanian Stoik adalah integritas moral menyeluruh yang menopang kehidupan bajik (eudaimonia).


Footnotes

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 164–66.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1934), 3.7–9.

[3]                Epictetus, Enchiridion, 1.1, dalam Discourses, Fragments, Handbook, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[4]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 3.12.

[5]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 207–10.

[6]                Plutarch, Lives: Cato the Younger, trans. Bernadotte Perrin (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1919), 54–56.

[7]                Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 42–47.

[8]                Epictetus, Discourses, 2.1.21–25, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[9]                Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), 1.15.


5.           Dimensi Etis dan Praktis Keberanian

5.1.       Keberanian dalam Menghadapi Penderitaan Pribadi

Stoikisme menekankan bahwa penderitaan jasmani, seperti rasa sakit dan penyakit, termasuk ke dalam kategori adiaphora (hal-hal yang netral secara moral).¹ Seneca menegaskan bahwa penderitaan tidak dapat merusak kebajikan, sebab ia hanya menyentuh tubuh, bukan jiwa.² Oleh karena itu, keberanian menuntut agar manusia tetap tenang menghadapi sakit atau kelemahan fisik, menyadari bahwa yang terpenting adalah bagaimana ia menilai dan merespons penderitaan tersebut.

Epictetus bahkan menyatakan bahwa penderitaan dapat menjadi kesempatan bagi filsuf untuk menunjukkan keteguhan akalnya.³ Dengan cara ini, keberanian tidak dipahami sebagai penghapusan rasa sakit, melainkan sebagai kemampuan untuk menghadapinya secara rasional tanpa kehilangan kebajikan moral.

5.2.       Keberanian dalam Menghadapi Bahaya Sosial dan Politik

Bagi para Stoa, keberanian juga memiliki dimensi sosial. Ia menuntut seseorang untuk tetap teguh membela kebenaran, meskipun menghadapi ancaman dari kekuasaan atau opini publik. Cato Uticensis, misalnya, dipandang sebagai teladan Stoik karena keberaniannya menentang tirani Julius Caesar, meskipun akhirnya ia memilih mati daripada kehilangan integritasnya.⁴

Marcus Aurelius menekankan bahwa seseorang tidak boleh takut pada kebencian orang lain, karena “ketidakadilan dari orang lain tidak dapat merusak jiwamu, kecuali engkau sendiri yang memberi izin.”⁵ Dengan demikian, keberanian dalam konteks sosial berarti tetap setia pada keadilan dan integritas, sekalipun menghadapi penindasan atau tekanan dari luar.

5.3.       Keberanian dalam Menghadapi Kematian

Kematian adalah ujian terakhir dari keberanian Stoik. Bagi Stoik, kematian bukanlah keburukan, melainkan bagian alami dari tatanan kosmik yang diatur oleh logos.⁶ Epictetus mengingatkan murid-muridnya agar tidak takut pada kematian, sebab “jika engkau menginginkannya, pintu selalu terbuka” — artinya manusia selalu memiliki kebebasan untuk meninggalkan hidup ketika keadaan tidak lagi sesuai dengan kebajikan.⁷

Seneca menambahkan bahwa belajar filsafat berarti belajar bagaimana menghadapi kematian dengan tenang.⁸ Keberanian dalam menghadapi kematian tidak berarti mengabaikan rasa takut secara emosional, tetapi menempatkan kematian pada perspektif yang benar: sebagai transisi alami yang tidak mengurangi nilai moral manusia.

5.4.       Teladan Tokoh-Tokoh Stoik

Stoikisme tidak hanya berbicara dalam teori, tetapi juga dalam keteladanan. Socrates, meskipun hidup sebelum perkembangan penuh Stoikisme, dijadikan inspirasi karena keberaniannya menghadapi pengadilan dan kematian dengan ketenangan.⁹ Demikian pula, Epictetus yang hidup sebagai budak menunjukkan bahwa keterbatasan lahiriah tidak menghalangi seseorang untuk hidup dengan keberanian moral. Marcus Aurelius, sebagai kaisar, mencontohkan keberanian menghadapi tekanan politik dan beban pemerintahan dengan tetap menjaga kejernihan batin.¹⁰

Melalui teladan ini, Stoikisme menegaskan bahwa keberanian adalah kebajikan universal yang dapat diwujudkan dalam berbagai situasi, baik oleh filsuf, prajurit, budak, maupun kaisar.


Sintesis: Keberanian sebagai Latihan Hidup

Dimensi etis dan praktis keberanian Stoik menunjukkan bahwa ia bukanlah kebajikan abstrak, melainkan latihan hidup (askêsis) yang harus dijalani sehari-hari. Menghadapi penderitaan, bahaya, dan kematian dengan keteguhan hati merupakan jalan untuk menjaga integritas moral. Dengan demikian, keberanian adalah wujud nyata dari komitmen Stoik terhadap hidup sesuai dengan alam dan rasionalitas kosmik.


Footnotes

[1]                A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), §58C.

[2]                Seneca, Epistles, 78.13, dalam Moral Letters to Lucilius, trans. Richard Gummere (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1917).

[3]                Epictetus, Discourses, 1.24.1–3, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[4]                Plutarch, Lives: Cato the Younger, trans. Bernadotte Perrin (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1919), 54–56.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 4.3.

[6]                Cicero, Tusculan Disputations, 1.40–41, trans. J. E. King (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927).

[7]                Epictetus, Discourses, 1.25.18–20, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[8]                Seneca, Letters on Ethics to Lucilius, trans. Margaret Graver dan A. A. Long (Chicago: University of Chicago Press, 2015), 26.10.

[9]                Plato, Apology, trans. Harold North Fowler (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914), 29a–30c.

[10]             Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 124–30.


6.           Keberanian dan Relasi Sosial

6.1.       Stoikisme dan Dimensi Sosial Manusia

Stoikisme menekankan bahwa manusia adalah makhluk rasional sekaligus sosial (zôon logikon kai politikon).¹ Kehidupan bajik tidak hanya diwujudkan dalam ruang pribadi, tetapi juga dalam relasi dengan orang lain. Dalam kerangka ini, keberanian (andreia) memiliki dimensi sosial yang erat: ia bukan sekadar kekuatan batin menghadapi penderitaan individu, melainkan juga kesanggupan untuk berbuat adil, melindungi komunitas, dan tetap teguh pada nilai moral meski berhadapan dengan tekanan kolektif.²

Epictetus mengingatkan bahwa manusia diciptakan untuk hidup bersama, dan karena itu keberanian harus diwujudkan dalam interaksi sosial—misalnya, dalam membela kebenaran dan keadilan ketika masyarakat justru memilih diam.³

6.2.       Keberanian sebagai Tanggung Jawab Etis terhadap Komunitas

Keberanian Stoik menuntut seseorang untuk tidak hanya berfokus pada penderitaan pribadinya, tetapi juga keberanian untuk menghadapi konsekuensi sosial dari tindakan moral. Seneca menulis bahwa orang bijak “tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi sebagian untuk orang lain,”⁴ sehingga keberanian sejati ditunjukkan ketika seseorang tetap konsisten pada kebajikan meskipun menghadapi risiko sosial, politik, atau bahkan kematian.

Dalam hal ini, keberanian memiliki keterkaitan erat dengan keadilan (dikaiosynê): keberanian yang tidak didorong oleh kepedulian terhadap komunitas berisiko menjadi kesombongan individual, sedangkan keberanian yang dibimbing oleh rasa keadilan melahirkan solidaritas dan perlindungan bagi sesama.⁵

6.3.       Keberanian Menghadapi Ketidakadilan

Para filsuf Stoik menekankan bahwa menghadapi ketidakadilan menuntut keberanian ganda: keberanian untuk menahan diri agar tidak terjebak dalam kemarahan, dan keberanian untuk bertindak demi kebenaran meski berisiko. Marcus Aurelius menegaskan bahwa “ketidakadilan orang lain tidak dapat melukai jiwamu, kecuali engkau sendiri mengizinkannya,”⁶ menekankan bahwa integritas moral lebih penting daripada penilaian orang lain.

Keteguhan hati inilah yang menjadi fondasi keberanian Stoik dalam ruang sosial. Tidak menyerah pada tekanan, tidak takut pada ejekan atau hinaan, serta tidak mengorbankan prinsip demi popularitas adalah bentuk nyata keberanian yang mengakar pada integritas moral.⁷

6.4.       Solidaritas dan Integritas dalam Relasi Sosial

Stoikisme melihat keberanian bukan sebagai sikap heroik individual yang terpisah dari masyarakat, tetapi sebagai kebajikan yang memperkuat solidaritas manusia. Epictetus menekankan bahwa setiap individu adalah “bagian dari kota besar dunia” (polis tou kosmou), sehingga keberanian pribadi berkontribusi pada kekuatan komunitas.⁸

Pierre Hadot menjelaskan bahwa praktik keberanian Stoik berfungsi menjaga “benteng batin” (inner citadel) seseorang, namun benteng itu bukan untuk mengisolasi diri, melainkan agar manusia tetap teguh dalam komitmen moral ketika berhubungan dengan orang lain.⁹ Dengan demikian, keberanian Stoik membangun keutuhan pribadi sekaligus memperkokoh ikatan sosial.


Sintesis

Keberanian dalam kerangka Stoikisme tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan pribadi terhadap penderitaan, tetapi juga sebagai kebajikan sosial yang menjaga keadilan, solidaritas, dan integritas dalam kehidupan bersama. Ia menuntut keberanian untuk menolak ketidakadilan, untuk menanggung risiko demi kebenaran, serta untuk tetap berpegang pada kebajikan meski menghadapi tekanan sosial. Dengan demikian, keberanian Stoik menjadi pilar penting dalam membangun relasi sosial yang adil, rasional, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 7.123–24.

[2]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 166–69.

[3]                Epictetus, Discourses, 1.23.1–3, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[4]                Seneca, On the Happy Life, 3.2, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University Press, 2007).

[5]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 212–16.

[6]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 4.3.

[7]                Brad Inwood, Reading Seneca: Stoic Philosophy at Rome (Oxford: Clarendon Press, 2005), 61–64.

[8]                Epictetus, Discourses, 2.10.1–2, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[9]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 132–36.


7.           Relevansi Keberanian Stoik dalam Konteks Modern

7.1.       Keberanian Stoik dan Resiliensi Psikologis

Prinsip keberanian Stoik memiliki resonansi kuat dengan konsep resiliensi dalam psikologi modern. Stoikisme mengajarkan bahwa penderitaan, rasa sakit, dan kehilangan adalah bagian dari tatanan kosmik, sehingga manusia tidak boleh hancur karenanya.¹ Konsep ini sejalan dengan terapi kognitif-perilaku (Cognitive Behavioral Therapy/ CBT), yang menekankan bahwa penderitaan psikologis sering kali disebabkan oleh penilaian keliru terhadap peristiwa, bukan oleh peristiwa itu sendiri.²

Donald Robertson menunjukkan bahwa CBT modern berakar pada gagasan Stoik tentang bagaimana emosi berasal dari penilaian, sehingga keberanian Stoik dapat dipahami sebagai bentuk keteguhan batin menghadapi tekanan hidup dengan kerangka berpikir yang sehat.³ Dalam konteks ini, keberanian Stoik memberikan fondasi filosofis untuk membangun daya tahan psikologis dalam menghadapi stres, kecemasan, dan trauma.

7.2.       Keberanian dalam Menghadapi Krisis Sosial dan Politik

Di dunia modern yang ditandai dengan ketidakstabilan sosial, konflik politik, dan perubahan cepat, keberanian Stoik tetap relevan. Keberanian tidak hanya berarti menghadapi penderitaan pribadi, tetapi juga berani membela kebenaran dan keadilan di ruang publik. Martha Nussbaum menekankan bahwa etika Hellenistik, termasuk Stoikisme, menyoroti peran keberanian dalam menghadapi kerentanan manusia sekaligus memperjuangkan martabat dalam kondisi sulit.⁴

Prinsip ini terlihat dalam banyak gerakan sosial kontemporer, di mana individu atau kelompok menanggung risiko demi keadilan, kesetaraan, dan kebenaran. Keberanian Stoik membantu membingkai perjuangan semacam ini bukan sekadar tindakan heroik, melainkan komitmen rasional terhadap integritas moral dan solidaritas sosial.

7.3.       Keberanian dalam Dunia Kerja dan Kehidupan Sehari-hari

Dalam dunia kerja yang penuh ketidakpastian—seperti persaingan karier, tekanan ekonomi, atau ancaman kehilangan pekerjaan—keberanian Stoik mengajarkan sikap untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan: integritas, etos kerja, dan kualitas keputusan.⁵ Hal ini mencegah individu terjebak dalam ketakutan berlebihan terhadap hal-hal eksternal yang berada di luar kendali.

Pierre Hadot menekankan bahwa praktik filsafat Stoik sebagai “latihan spiritual” (askêsis) dapat membimbing manusia modern dalam menghadapi tantangan sehari-hari, dengan mengubah penderitaan menjadi kesempatan untuk memperdalam kebajikan.⁶ Dengan demikian, keberanian Stoik memberi arah praktis agar manusia modern tidak sekadar bertahan, tetapi juga berkembang melalui kesulitan.

7.4.       Keberanian Menghadapi Krisis Eksistensial dan Lingkungan

Selain dalam ranah pribadi dan sosial, keberanian Stoik juga relevan dalam menghadapi krisis eksistensial dan tantangan global seperti perubahan iklim. Stoikisme menekankan pentingnya menerima takdir kosmik (amor fati), tetapi penerimaan itu tidak berarti pasif. Sebaliknya, keberanian Stoik menuntut keterlibatan aktif dalam menjalankan tanggung jawab moral, termasuk merawat lingkungan dan memperjuangkan masa depan yang berkelanjutan.⁷

Dengan demikian, keberanian Stoik dalam konteks modern bukanlah sikap menyerah pada keadaan, melainkan penerimaan aktif yang memberi manusia kekuatan moral untuk berjuang dalam keterbatasan yang ada.


Sintesis

Keberanian Stoik terbukti memiliki relevansi lintas zaman. Dari ranah psikologi hingga politik, dari ruang kerja hingga krisis eksistensial global, andreia menjadi prinsip hidup yang memberi manusia kekuatan untuk menghadapi penderitaan dengan rasionalitas, membela keadilan dengan integritas, dan menjalani hidup dengan keteguhan moral. Stoikisme mengajarkan bahwa keberanian bukan hanya kualitas individu, tetapi juga fondasi etika publik yang mampu membimbing manusia modern dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks.


Footnotes

[1]                Seneca, On Providence, dalam Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University Press, 2007), 2.4–5.

[2]                Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976), 25–29.

[3]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 3–12.

[4]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 315–20.

[5]                John Sellars, Stoicism (New York: Routledge, 2006), 118–21.

[6]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–90.

[7]                Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 217–22.


8.           Penutup

Kajian mengenai keberanian (andreia) dalam Stoikisme menunjukkan bahwa kebajikan ini bukan sekadar sikap heroik dalam menghadapi bahaya fisik, melainkan keteguhan moral yang berakar pada rasionalitas. Bagi kaum Stoa, keberanian adalah bentuk keselarasan manusia dengan logos, prinsip rasional kosmik yang menata seluruh realitas.¹ Dengan demikian, keberanian sejati bukan terletak pada kemampuan menghindari rasa takut, melainkan pada penilaian yang benar terhadap penderitaan, bahaya, dan kematian sebagai bagian dari tatanan alam.²

Pembahasan sebelumnya memperlihatkan bahwa keberanian tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan erat dengan kebijaksanaan (sophia), keadilan (dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê).³ Tanpa kebijaksanaan, keberanian berubah menjadi kenekatan; tanpa keadilan, ia menjadi tirani; dan tanpa pengendalian diri, ia menjadi kesembronoan. Dengan keterkaitan ini, keberanian tampil sebagai kebajikan integral yang menopang seluruh kehidupan etis manusia.

Dalam dimensi praktis, Stoikisme mengajarkan keberanian sebagai kemampuan menghadapi penderitaan pribadi, ancaman sosial-politik, dan bahkan kematian dengan keteguhan hati. Teladan tokoh-tokoh seperti Socrates, Cato Uticensis, Epictetus, dan Marcus Aurelius menunjukkan bahwa keberanian Stoik bersifat universal: ia dapat diwujudkan oleh siapa pun, baik filsuf, budak, maupun kaisar.⁴

Lebih jauh, keberanian Stoik juga memiliki relevansi signifikan dalam dunia modern. Prinsip Stoik tentang penguasaan penilaian dan penerimaan terhadap takdir (amor fati) beresonansi dengan pendekatan psikologi modern, khususnya terapi kognitif-perilaku (CBT), yang berfokus pada peran keyakinan dalam membentuk respon emosional.⁵ Selain itu, keberanian Stoik memberi fondasi etis untuk menghadapi krisis sosial, politik, maupun eksistensial, dengan tetap berpegang pada integritas moral dan solidaritas manusia.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberanian Stoik bukanlah kebajikan statis, melainkan latihan hidup (askêsis) yang menuntut konsistensi sehari-hari. Ia memampukan manusia untuk menghadapi penderitaan tanpa kehilangan arah moral, untuk menolak ketidakadilan tanpa dikuasai oleh kebencian, dan untuk menerima kematian tanpa kehilangan ketenangan jiwa. Dalam kerangka inilah Stoikisme mengajarkan bahwa keberanian adalah pilar penting menuju hidup bajik (eudaimonia), sebuah kehidupan yang tidak hanya rasional, tetapi juga bermakna dalam relasi dengan sesama dan alam semesta.⁶


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 7.134–38.

[2]                Epictetus, Discourses, 2.1.21–25, trans. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925–28).

[3]                Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), 1.15.

[4]                Plutarch, Lives: Cato the Younger, trans. Bernadotte Perrin (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1919), 54–56; Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 2.11.

[5]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 3–12.

[6]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–90.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University Press.

Aristotle. (1934). Nicomachean ethics (H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.

Beck, A. T. (1976). Cognitive therapy and the emotional disorders. International Universities Press.

Becker, L. C. (1998). A new Stoicism. Princeton University Press.

Cicero. (1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Harvard University Press.

Cicero. (1927). Tusculan disputations (J. E. King, Trans.). Harvard University Press.

Davie, J. (Trans.). (2007). Seneca: Dialogues and essays. Oxford University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Epictetus. (1925–1928). Discourses, fragments, handbook (W. A. Oldfather, Trans.). Harvard University Press.

Graver, M. R. (2007). Stoicism and emotion. University of Chicago Press.

Graver, M., & Long, A. A. (Trans.). (2015). Seneca: Letters on ethics to Lucilius. University of Chicago Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life: Spiritual exercises from Socrates to Foucault (M. Chase, Trans.). Blackwell.

Hadot, P. (1998). The inner citadel: The meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University Press.

Inwood, B. (2005). Reading Seneca: Stoic philosophy at Rome. Clarendon Press.

King, J. E. (Trans.). (1927). Cicero: Tusculan disputations. Harvard University Press.

Long, A. A. (1996). Stoic studies. University of California Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.

Oldfather, W. A. (Trans.). (1925–1928). Epictetus: Discourses, fragments, handbook. Harvard University Press.

Plato. (1914). Apology (H. N. Fowler, Trans.). Harvard University Press.

Plato. (1930). Republic (P. Shorey, Trans.). Harvard University Press.

Plutarch. (1919). Lives: Cato the Younger (B. Perrin, Trans.). Harvard University Press.

Robertson, D. (2010). The philosophy of cognitive-behavioural therapy (CBT): Stoic philosophy as rational and cognitive psychotherapy. Karnac.

Sellars, J. (2006). Stoicism. Routledge.

Seneca. (1917). Moral letters to Lucilius (R. Gummere, Trans.). Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar