Selasa, 15 April 2025

Pemikiran Muhammad Iqbal: Revitalisasi Spirit Islam dalam Dunia Modern

Pemikiran Muhammad Iqbal

Revitalisasi Spirit Islam dalam Dunia Modern


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pemikiran filsafat Muhammad Iqbal sebagai upaya revitalisasi spirit Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern. Dalam konteks globalisasi, sekularisme, dan stagnasi intelektual umat Islam, Iqbal tampil sebagai tokoh pembaru yang menawarkan sintesis kreatif antara nilai-nilai spiritual Islam dan rasionalitas modern. Melalui konsep khudi (diri), ia menekankan pentingnya kesadaran diri yang dinamis sebagai fondasi metafisika dan etika Islam. Iqbal juga mengembangkan kerangka epistemologi yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan intuisi, serta mendorong pembaruan hukum Islam melalui ijtihad. Dalam pandangannya, sejarah dan peradaban bukanlah entitas yang statis, melainkan arena aktualisasi kehendak kreatif manusia dalam kerangka tauhid. Artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Iqbal tetap relevan untuk membentuk paradigma Islam yang transformatif, kritis, dan mampu berdialog secara konstruktif dengan modernitas. Dengan pendekatan filosofis-historis, artikel ini berkontribusi pada pemahaman lebih dalam terhadap warisan intelektual Iqbal dan pentingnya rekonstruksi pemikiran Islam kontemporer.

Kata Kunci: Muhammad Iqbal, khudi, modernitas, filsafat Islam, ijtihad, tauhid, rekonstruksi pemikiran, spiritualitas Islam, epistemologi Islam, sejarah dan peradaban.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat Pemikiran Muhammad Iqbal


1.           Pendahuluan

Modernitas telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam cara pandang terhadap eksistensi, kebenaran, dan agama. Perkembangan sains dan teknologi, rasionalisme, serta semangat sekularisasi yang mengiringi kemajuan dunia Barat telah menimbulkan krisis spiritual yang mendalam, baik di dunia Barat sendiri maupun di dunia Islam. Dalam konteks dunia Islam, modernitas seringkali datang tidak sebagai hasil evolusi pemikiran internal, melainkan sebagai produk impor yang membentur tradisi keagamaan dan warisan intelektual Islam klasik. Hal ini memunculkan tantangan serius bagi umat Islam: bagaimana menyikapi perubahan zaman tanpa kehilangan jati diri spiritual dan teologisnya?

Muhammad Iqbal (1877–1938), seorang filsuf, penyair, dan pemikir besar asal India, tampil sebagai tokoh kunci yang berusaha menjawab tantangan zaman modern dengan cara merekonstruksi pemikiran keagamaan Islam dari dalam. Iqbal menolak dikotomi antara iman dan rasio, serta antara tradisi dan pembaruan. Baginya, Islam harus dipahami secara dinamis dan kreatif, bukan sebagai sistem yang statis dan membatu. Melalui karya monumentalnya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal berupaya menggugah kesadaran umat Islam akan pentingnya revitalisasi spiritual yang berakar pada wahyu, namun terbuka terhadap penalaran kritis dan pengalaman historis umat manusia¹.

Iqbal mengajukan filsafat hidup yang berbasis pada konsep khudi—sebuah ide mengenai kesadaran diri yang kreatif, progresif, dan memiliki orientasi transenden. Konsep ini tidak hanya merepresentasikan individualitas, tetapi juga mencerminkan potensi ilahiah dalam diri manusia yang memungkinkan transformasi sosial dan spiritual. Iqbal meyakini bahwa krisis umat Islam modern bersumber pada hilangnya khudi, yakni hilangnya kesadaran eksistensial manusia sebagai makhluk yang memiliki peran aktif dalam sejarah². Dalam pandangannya, agama bukanlah pelarian dari realitas, melainkan kekuatan pembebas yang menggerakkan manusia untuk membangun dunia yang adil, bermartabat, dan ber-Tuhan³.

Pemikiran Iqbal menjadi relevan dalam konteks kontemporer ketika umat Islam dihadapkan pada tantangan globalisasi, hegemoni budaya Barat, serta degradasi spiritual internal. Gagasan-gagasannya tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga praksis—menawarkan kerangka bagi pembaruan hukum Islam, pendidikan, politik, dan budaya. Oleh karena itu, mengkaji pemikiran Muhammad Iqbal merupakan langkah penting untuk memahami bagaimana filsafat Islam dapat memberikan kontribusi terhadap kebangkitan umat dalam kerangka modernitas yang berkeadilan dan bermakna teologis⁴.

Artikel ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif pokok-pokok pemikiran Muhammad Iqbal, terutama dalam aspek epistemologis, metafisis, dan historis, serta mengevaluasi relevansinya dalam dunia Islam kontemporer. Pendekatan yang digunakan adalah filosofis-historis, dengan menitikberatkan pada analisis isi karya-karya Iqbal dan relevansinya terhadap problematika modernitas. Dengan demikian, diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi terhadap pembacaan ulang pemikiran Islam yang progresif namun tetap berakar pada fondasi wahyu dan tauhid.


Footnotes

[1]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 2–3.

[2]                Annemarie Schimmel, Gabriel's Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 136.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 140.

[4]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 53.


2.           Biografi Intelektual Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1877 di Sialkot, Punjab, yang saat itu merupakan bagian dari India Britania (sekarang Pakistan). Ia berasal dari keluarga Muslim Kashmir yang taat, dengan latar belakang spiritual yang kuat. Ayahnya, Nur Muhammad, adalah seorang sufi yang sederhana, sementara ibunya, Imam Bibi, dikenal sebagai sosok yang salehah dan penuh kasih⁽¹⁾. Lingkungan keluarga yang religius ini membentuk fondasi spiritual awal bagi Iqbal, yang kelak berpengaruh besar dalam pemikiran teologis dan filosofisnya.

Iqbal mendapatkan pendidikan awalnya di Mission School Sialkot, di mana ia mulai mempelajari bahasa Inggris dan filsafat Barat. Ia kemudian melanjutkan studi ke Government College Lahore dan menjadi murid dari Thomas Arnold, seorang orientalis dan filsuf asal Inggris yang memperkenalkannya pada tradisi intelektual Barat sekaligus memberikan apresiasi positif terhadap warisan intelektual Islam⁽²⁾. Dari sinilah Iqbal mulai mengembangkan ketertarikannya terhadap filsafat dan pemikiran Islam, serta mulai menulis puisi dalam bahasa Urdu dan Persia—dua bahasa yang kelak menjadi medium utama dalam menyampaikan ide-idenya.

Setelah menyelesaikan studi di Lahore, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan pendidikannya. Ia meraih gelar Master of Arts di bidang filsafat dari Universitas Cambridge, kemudian belajar di Universitas Munich di Jerman, tempat ia menyelesaikan disertasi doktoralnya dengan judul The Development of Metaphysics in Persia pada tahun 1908⁽³⁾. Dalam masa studinya di Eropa, Iqbal berinteraksi dengan gagasan para pemikir besar seperti Friedrich Nietzsche, Henri Bergson, dan Johann Wolfgang von Goethe. Meski demikian, Iqbal tidak serta-merta meniru gagasan mereka; ia justru melakukan proses dialog kritis antara filsafat Barat dan prinsip-prinsip Islam, sebuah pendekatan yang kelak menjadi ciri khas pemikirannya.

Kepulangannya ke India menandai fase baru dalam kehidupan intelektual dan politik Iqbal. Ia mulai aktif dalam dunia akademik, sosial, dan politik, sekaligus terus menulis puisi dan karya-karya filsafat yang mengandung semangat pembaruan Islam. Dalam puisinya, Iqbal menyerukan kebangkitan spiritual umat Islam dan pembentukan kembali kesadaran diri umat yang telah lama terpuruk dalam kejumudan historis. Ia percaya bahwa umat Islam tidak hanya memerlukan reformasi politik, tetapi lebih dari itu: transformasi spiritual dan epistemologis yang mendalam⁽⁴⁾.

Selain dikenal sebagai penyair dan filsuf, Iqbal juga memainkan peran penting dalam ranah politik. Ia menjadi presiden Liga Muslim India pada tahun 1930 dan dikenal luas sebagai penggagas ide tentang berdirinya negara Pakistan sebagai tanah air bagi umat Islam di anak benua India. Namun demikian, lebih dari sekadar tokoh politik, Iqbal dipandang sebagai arsitek spiritual Pakistan karena ia mengedepankan visi tentang Islam sebagai kekuatan pembebas dan kreatif bagi umat manusia secara keseluruhan⁽⁵⁾.

Karya-karya utama Iqbal, seperti Asrar-e-Khudi (1915), Rumuz-e-Bekhudi (1918), Payam-e-Mashriq (1923), dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930), mencerminkan upayanya untuk merumuskan kembali filsafat Islam agar selaras dengan tuntutan zaman modern tanpa kehilangan inti teologisnya. Dalam keseluruhan pemikirannya, tampak jelas bahwa Iqbal menggabungkan elemen spiritualitas Timur dan rasionalitas Barat dalam kerangka tauhid yang dinamis dan transformatif.


Footnotes

[1]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 5.

[2]                Syed Abdul Vahid, Introduction to the Thought of Iqbal (Lahore: Iqbal Academy, 1977), 18–19.

[3]                Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia (Lahore: Bazm-i-Iqbal, 1959), vii–viii.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 143.

[5]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 101.


3.           Epistemologi Islam Menurut Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal memandang epistemologi—ilmu tentang sumber, struktur, dan validitas pengetahuan—sebagai fondasi penting dalam membangun kembali pemikiran Islam di era modern. Bagi Iqbal, krisis yang melanda dunia Islam bukan hanya bersifat sosial-politik, tetapi juga berakar pada stagnasi epistemologis: umat Islam kehilangan dinamika dalam memahami wahyu dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara kreatif dan kontekstual¹.

Iqbal mengkritik keras dominasi pendekatan skolastik dalam tradisi Islam pascaklasik yang lebih menekankan repetisi ketimbang inovasi. Ia menyatakan bahwa Islam sejak awal telah mendorong integrasi antara wahyu, rasio, dan pengalaman batin sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, proyek rekonstruksi pemikiran keagamaan yang ditawarkannya mengacu pada semangat ijtihad epistemologis yang berlandaskan tauhid dan keterbukaan terhadap dinamika sejarah².

Dalam karya monumentalnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengembangkan kerangka epistemologis yang bersumber dari tiga unsur utama: wahyu, rasio, dan intuisi spiritual (kasyf atau ilham). Ketiganya tidak dipertentangkan, melainkan disinergikan dalam kerangka tauhid yang dinamis. Wahyu merupakan fondasi utama yang memandu arah moral dan spiritual manusia, namun akal dan intuisi juga memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan makna wahyu dalam konteks historis yang terus berubah³.

Konsep paling khas dalam epistemologi Iqbal adalah pengalaman religius sebagai sumber pengetahuan yang sahih. Ia berargumen bahwa pengalaman religius bukan sekadar fenomena subjektif atau emosional, melainkan bentuk kesadaran eksistensial yang mendalam dan dapat diartikulasikan secara intelektual. Dengan demikian, Iqbal merehabilitasi nilai pengalaman spiritual sebagai sumber epistemik yang sah berdampingan dengan penalaran rasional⁴.

Dalam kerangka ini, Iqbal mengkritik epistemologi positivistik Barat yang membatasi pengetahuan pada fakta empiris dan observasi indrawi. Ia menganggap pendekatan semacam itu reduktif dan mengabaikan dimensi batiniah manusia yang menjadi sumber makna dan nilai. Iqbal sejalan dengan pemikir seperti Henri Bergson yang menekankan intuisi (intuition) sebagai sarana menangkap realitas yang tidak tercakup oleh akal semata⁵. Namun, Iqbal melampaui Bergson dengan menempatkan intuisi religius dalam kerangka tauhid dan misi kenabian.

Lebih lanjut, Iqbal mengembangkan ide tentang dinamika pengetahuan dalam sejarah. Ia menyatakan bahwa Islam bukanlah agama yang menolak perubahan, melainkan agama yang mendorong kreativitas dan partisipasi manusia dalam proses penciptaan sejarah. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dalam Islam harus dipahami sebagai aktivitas kreatif yang berakar pada semangat wahyu namun tidak terlepas dari realitas sosial dan perkembangan zaman⁶.

Dari perspektif Iqbal, umat Islam masa kini harus mengembangkan epistemologi yang bersifat integratif dan transformatif: yang mampu menghimpun spiritualitas wahyu, rasionalitas kritis, serta intuisi eksistensial ke dalam sintesis baru. Tujuannya adalah membangun kembali kepercayaan diri intelektual umat Islam dan menumbuhkan kembali semangat ijtihad yang visioner dalam menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi⁷.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 143.

[2]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 5–6.

[3]                Ibid., 15–16.

[4]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 146.

[5]                Charles Kurzman, “Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook,” in Modernist Islam (New York: Oxford University Press, 2002), 291.

[6]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 72–74.

[7]                Nomanul Haq, “Iqbal and the Reconstruction of Religious Thought,” Islamic Studies 34, no. 3 (1995): 295–297.


4.           Konsep Diri (Khudi) sebagai Inti Metafisika Iqbal

Konsep khudi (diri) merupakan fondasi utama dalam metafisika Muhammad Iqbal dan menjadi pusat dari keseluruhan sistem filsafatnya. Gagasan ini pertama kali diperkenalkan secara puitik dan filosofis dalam karya monumental Asrar-e-Khudi (1915), dan kemudian dikembangkan secara lebih sistematis dalam karya-karya filsafatnya. Khudi dalam pandangan Iqbal bukan sekadar konsep psikologis tentang ego atau individualitas, melainkan realitas metafisis yang merepresentasikan inti eksistensi manusia sebagai makhluk yang dinamis, kreatif, dan memiliki potensi ilahiah¹.

Iqbal mengembangkan konsep khudi sebagai reaksi terhadap dualisme Barat yang memisahkan tubuh dan jiwa, serta terhadap paham deterministik yang mengkerdilkan peran manusia dalam sejarah. Dalam kerangka ini, khudi adalah kesadaran eksistensial dan spiritual yang harus dikembangkan secara aktif melalui perjuangan, kreativitas, dan kedekatan dengan Tuhan. Iqbal menolak pandangan fatalistik yang melihat manusia sebagai makhluk pasif, dan sebaliknya, mengangkat peran manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) di bumi yang bertanggung jawab atas sejarah dan peradaban².

Secara ontologis, khudi adalah pusat identitas personal yang unik dan tak dapat direduksi. Ia merupakan benih keilahian yang ditanamkan Tuhan dalam diri manusia, yang harus dikembangkan melalui proses penguatan diri. Proses ini mencakup tiga tahapan eksistensial: ketaatan, penguasaan terhadap lingkungan, dan penyatuan dengan kehendak Ilahi. Dalam kerangka tersebut, khudi bukanlah ego dalam pengertian egoisme, melainkan kesadaran diri spiritual yang menemukan kekuatannya dalam hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan realitas sejarah³.

Iqbal menyatakan bahwa khudi tidak dapat berkembang dalam isolasi, melainkan melalui keterlibatan aktif dalam dunia dan realitas sosial. Oleh karena itu, ia mengaitkan khudi dengan konsep jihad, kreativitas budaya, dan tanggung jawab sosial. Manusia sejati adalah manusia yang mengafirmasi keberadaan dirinya melalui tindakan yang berlandaskan nilai-nilai transenden. Dalam hal ini, khudi menjadi sarana penghubung antara metafisika dan etika, antara iman dan amal⁴.

Metafisika Iqbal yang berbasis pada khudi juga merupakan respons terhadap stagnasi spiritual dan intelektual dalam dunia Islam. Ia menolak paham tasawuf yang bersifat negatif terhadap dunia dan cenderung mematikan semangat aksi. Bagi Iqbal, spiritualitas yang sejati adalah yang mendorong keterlibatan aktif di dunia, bukan pelarian darinya. Dengan demikian, khudi menjadi fondasi bagi filsafat pembebasan yang bercorak transformatif: manusia tidak cukup hanya ada, tetapi harus menjadi—yakni menjadi subjek sejarah dan agen perubahan⁵.

Di sisi lain, Iqbal juga menekankan bahwa penguatan khudi tidak identik dengan egosentrisme atau narsisisme. Justru, khudi sejati hanya dapat diwujudkan dalam kerendahan hati di hadapan Tuhan dan dalam perjuangan kolektif demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, metafisika Iqbal menjadi sintesis antara individualitas kreatif dan spiritualitas tauhid, di mana kesadaran diri diarahkan kepada tujuan Ilahi⁶.

Secara keseluruhan, khudi dalam pemikiran Iqbal merupakan konsep metafisis yang mencerminkan perpaduan antara eksistensialisme, spiritualitas Islam, dan aktivisme historis. Ia bukan hanya kerangka ontologis tentang diri manusia, tetapi juga proyek pembebasan—baik pada level personal maupun kolektif—yang mengajak manusia untuk menjadi khalifah sejati di bumi.


Footnotes

[1]                Muhammad Iqbal, Asrar-e-Khudi (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1915), 12–15.

[2]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 148–150.

[3]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 58–60.

[4]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 83–85.

[5]                Nomanul Haq, “Iqbal and the Reconstruction of Religious Thought,” Islamic Studies 34, no. 3 (1995): 302–303.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 146–147.


5.           Pandangan Iqbal tentang Dinamika Sejarah dan Peradaban

Muhammad Iqbal menempatkan sejarah dan peradaban sebagai bagian integral dalam kerangka pemikiran filosofis dan teologisnya. Berbeda dari sebagian pemikir Islam klasik yang cenderung mengedepankan pandangan siklikal atau statis terhadap sejarah, Iqbal mengusung gagasan bahwa sejarah adalah ruang gerak dinamis bagi realisasi khudi dan manifestasi kehendak kreatif manusia. Pandangan ini berpijak pada prinsip bahwa manusia adalah subjek aktif dalam sejarah, bukan sekadar objek pasif dari ketetapan ilahi¹.

Bagi Iqbal, sejarah bukan hanya kumpulan fakta atau peristiwa masa lalu, melainkan ekspresi dari dinamika spiritual dan intelektual umat manusia. Ia mengkritik keras sikap fatalistik yang menganggap sejarah sebagai sesuatu yang ditentukan sepenuhnya oleh takdir. Dalam kerangka metafisika tauhidnya, Iqbal menekankan bahwa Tuhan memberikan manusia kebebasan dan potensi untuk menciptakan makna dalam sejarah melalui tindakan etis dan transformasi sosial². Oleh karena itu, pembaruan agama dan peradaban Islam harus berangkat dari kesadaran historis yang hidup, bukan nostalgia romantik terhadap masa lalu.

Sebagai konsekuensi dari pandangannya terhadap sejarah, Iqbal menekankan pentingnya ijtihad—yakni usaha kreatif untuk menafsirkan dan merumuskan hukum serta nilai-nilai Islam secara kontekstual. Dalam pidatonya di Kongres Liga Muslim India tahun 1930, Iqbal menyatakan bahwa stagnasi umat Islam berasal dari ketakutan terhadap perubahan dan penutupan pintu ijtihad. Padahal, dalam pandangannya, semangat Islam justru terletak pada keberaniannya menghadapi perubahan zaman dan kemampuannya untuk menyesuaikan prinsip-prinsip ilahiah dengan kondisi sosial dan intelektual yang berubah³.

Iqbal juga memandang bahwa peradaban Islam mencapai kejayaannya ketika umat Islam aktif mengintegrasikan ilmu pengetahuan, seni, dan etika dalam kehidupan mereka. Ia menilai bahwa krisis peradaban Islam modern bukan semata-mata akibat kolonialisme, tetapi juga karena hilangnya semangat pencarian ilmu dan semangat kreatif yang dahulu menggerakkan kebangkitan Islam klasik⁴. Dalam kerangka ini, Iqbal mengusulkan apa yang disebutnya sebagai rekonstruksi pemikiran keagamaan, yakni usaha sistematis untuk membangun kembali fondasi spiritual dan rasional umat Islam dengan semangat pembaruan.

Lebih jauh, Iqbal menolak dikotomi antara agama dan kemajuan ilmiah. Ia percaya bahwa sains dan rasionalitas tidak bertentangan dengan wahyu, melainkan merupakan sarana bagi manusia untuk membaca “ayat-ayat Tuhan” yang tersebar di alam semesta. Dengan demikian, pembangunan peradaban tidak dapat hanya bertumpu pada kemajuan teknologi, tetapi harus ditopang oleh kesadaran etis dan spiritual yang kuat⁵. Hal ini tercermin dalam pemikirannya tentang tauhid sebagai prinsip peradaban, yakni bahwa kesatuan realitas ilahiah harus tercermin dalam tatanan sosial-politik yang adil dan berorientasi pada kemaslahatan universal.

Dalam konteks globalisasi dan krisis spiritual kontemporer, Iqbal mengajak umat Islam untuk tidak sekadar meniru model peradaban Barat, tetapi juga tidak menutup diri dari kemajuan dunia. Ia menawarkan jalan tengah: membangun peradaban Islam modern yang bersifat kreatif, terbuka terhadap ilmu pengetahuan, namun tetap berakar pada wahyu dan nilai-nilai transenden. Dengan demikian, sejarah dan peradaban tidak dipahami secara deterministik atau mekanistik, tetapi sebagai ruang partisipasi aktif manusia dalam mewujudkan visi ilahiah di muka bumi⁶.


Footnotes

[1]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 115–117.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 145.

[3]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 151–152.

[4]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 91–92.

[5]                Nomanul Haq, “Iqbal and the Scientific Spirit,” Islam & Science 1, no. 2 (2003): 145–146.

[6]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 2002), 289–291.


6.           Sintesis antara Islam dan Modernitas

Muhammad Iqbal merupakan salah satu pemikir Muslim modern yang paling gigih dalam mengupayakan sintesis kreatif antara Islam dan modernitas. Ia menyadari bahwa dunia Islam sedang berada dalam pusaran perubahan besar akibat kolonialisme, sekularisme, dan dominasi pemikiran Barat, yang menggeser cara pandang tradisional umat terhadap agama, ilmu pengetahuan, dan struktur sosial-politik. Alih-alih menolak modernitas secara total atau menerimanya tanpa kritik, Iqbal menawarkan pendekatan dialogis, yang berupaya menjembatani nilai-nilai transenden Islam dengan dinamika dunia modern¹.

Dalam pandangan Iqbal, modernitas bukanlah ancaman mutlak, tetapi juga bukan panacea (obat mujarab). Ia menyambut baik pencapaian modernitas dalam bidang sains, rasionalitas, dan kebebasan berpikir, namun sekaligus mengkritik orientasi materialistik dan sekularistiknya yang mengabaikan dimensi spiritual manusia. Oleh karena itu, sintesis yang ditawarkannya bukanlah akomodasi pasif, melainkan rekonstruksi aktif terhadap pemikiran Islam agar tetap relevan dengan tantangan zaman tanpa kehilangan ruh ketauhidannya².

Iqbal menyatakan bahwa inti ajaran Islam sejatinya selaras dengan semangat modernitas yang mendorong kebebasan, dinamisme, dan tanggung jawab individual. Ia menekankan bahwa konsep tauhid tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga memiliki implikasi sosial-politik yang revolusioner. Dalam struktur tauhid, seluruh otoritas kembali kepada Tuhan, dan karenanya tidak ada tempat bagi despotisme, klerikalisme, atau sistem sosial yang menindas. Hal ini menuntut pembentukan masyarakat yang egaliter, terbuka terhadap pengetahuan, dan menghargai martabat individu³.

Melalui karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal secara sistematis mengusulkan bahwa filsafat Islam perlu ditinjau ulang dengan pendekatan yang ilmiah dan kontemporer. Ia menggabungkan konsep-konsep modern seperti evolusi kreatif (inspirasi dari Henri Bergson), individualitas dinamis (dari Nietzsche, namun dikoreksi dalam kerangka tauhid), serta pengalaman religius sebagai sumber epistemik, untuk membangun sistem pemikiran yang mampu mengintegrasikan iman dan akal, wahyu dan ilmu, spiritualitas dan sains⁴.

Salah satu aspek kunci dari sintesis Iqbal adalah gagasannya tentang ijtihad sebagai alat pembaruan hukum dan moral Islam. Ijtihad, menurut Iqbal, bukan hanya metode fiqh, tetapi juga mekanisme vital untuk memastikan bahwa Islam tetap menjadi kekuatan kreatif yang dapat merespons perubahan zaman. Penutupan pintu ijtihad, bagi Iqbal, adalah salah satu penyebab utama stagnasi pemikiran Islam dalam sejarah modern⁵. Oleh karena itu, ia menyerukan agar ijtihad dibuka kembali dalam semangat pembebasan intelektual dan keadilan sosial.

Selain itu, Iqbal secara tegas menolak dikotomi antara agama dan sains. Ia menganggap bahwa ilmu pengetahuan modern adalah hasil dari ijtihad kolektif umat manusia dalam memahami ciptaan Tuhan. Namun, ia mengingatkan bahwa sains harus dikendalikan oleh nilai-nilai spiritual agar tidak terjerumus dalam nihilisme atau eksploitasi materialistik. Dalam kerangka ini, sains dan agama dapat bersinergi untuk membangun peradaban yang berkeadilan dan berorientasi pada kesempurnaan manusia⁶.

Sintesis antara Islam dan modernitas yang dirumuskan oleh Iqbal juga mencakup aspek estetika dan budaya. Ia menolak inferioritas budaya Islam di hadapan budaya Barat, dan sebaliknya, mengajak umat untuk menggali kembali kekayaan spiritual, seni, dan literatur Islam sebagai sumber inspirasi dan ekspresi kreatif. Puisi-puisinya dalam bahasa Persia dan Urdu menjadi contoh bagaimana nilai-nilai Islam dapat dikomunikasikan dalam bahasa estetika yang modern namun tetap autentik⁷.

Secara keseluruhan, Iqbal tidak melihat Islam dan modernitas sebagai dua kutub yang saling bertentangan, tetapi sebagai dua realitas yang dapat berdialog dan saling memperkaya. Ia mendorong umat Islam untuk tidak membelenggu diri pada formalisme masa lalu, melainkan menghidupkan kembali spirit Islam yang progresif dan transformatif, sehingga mampu menjadi kekuatan pembaruan dalam menghadapi tantangan dunia global dan sekular saat ini.


Footnotes

[1]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 6–7.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 140–141.

[3]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 2002), 288.

[4]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 158–159.

[5]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 98–100.

[6]                Nomanul Haq, “Iqbal and the Scientific Spirit,” Islam & Science 1, no. 2 (2003): 139–140.

[7]                Schimmel, Gabriel’s Wing, 161.


7.           Relevansi dan Kritik terhadap Pemikiran Iqbal

Pemikiran Muhammad Iqbal tetap relevan dalam wacana keislaman kontemporer, terutama ketika umat Islam dihadapkan pada problem identitas, krisis spiritual, dan tantangan globalisasi yang kompleks. Sebagai seorang pemikir yang mencoba menjembatani Islam dengan modernitas, Iqbal tidak hanya menawarkan formulasi filosofis, tetapi juga mengajukan paradigma pembebasan yang bersifat transformatif. Relevansi pemikiran Iqbal tampak jelas dalam tiga aspek utama: spiritualitas, pembaruan hukum dan pemikiran keislaman, serta pembentukan identitas peradaban Islam di era global¹.

Pertama, konsep khudi sebagai kesadaran diri yang dinamis terus menggema dalam diskursus modern tentang subjektivitas, agensi, dan otonomi spiritual. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi secara moral dan eksistensial, Iqbal memberikan alternatif spiritualitas yang tidak pasif tetapi aktif—yang tidak menarik diri dari dunia, tetapi mendorong keterlibatan etis dan sosial. Hal ini menjadikan pemikirannya relevan dalam membangun kesadaran keberagamaan yang kritis dan produktif².

Kedua, gagasan Iqbal tentang perlunya ijtihad dalam menanggapi realitas sosial-politik umat Islam menjadi sangat penting dalam konteks stagnasi hukum Islam kontemporer. Seruannya untuk membuka kembali pintu ijtihad telah menginspirasi gerakan intelektual Islam modernis dan neo-modernis di berbagai belahan dunia Islam. Pemikir seperti Fazlur Rahman dan Arkoun, misalnya, menjadikan semangat rekonstruksi pemikiran Iqbal sebagai landasan dalam mengembangkan pendekatan hermeneutik baru terhadap teks-teks Islam³.

Ketiga, Iqbal mengusulkan bentuk peradaban Islam yang tidak eksklusif atau apologetik, tetapi terbuka terhadap dialog dan sintesis. Pemikirannya menjadi sumber inspirasi dalam membentuk model Islam yang pluralis, humanistik, dan kompatibel dengan demokrasi—selama nilai-nilai tersebut ditempatkan dalam kerangka tauhid dan keadilan sosial. Ini sangat penting di era global ketika identitas keislaman sering dibenturkan dengan nilai-nilai universal⁴.

Namun demikian, pemikiran Iqbal tidak luput dari kritik. Sebagian kritikus menilai bahwa sintesis antara Islam dan filsafat Barat yang ditawarkannya terlalu idealistik dan kurang memberikan model aplikatif yang konkret. Gagasan khudi, misalnya, dinilai oleh sebagian kalangan sebagai terlalu abstrak dan sulit dioperasionalisasikan dalam konteks kehidupan sosial-politik nyata⁵. Di sisi lain, pendekatan Iqbal yang sangat filosofis juga dianggap kurang dapat diakses oleh kalangan awam umat Islam yang lebih membutuhkan solusi praktis dibandingkan spekulasi metafisik.

Selain itu, sebagian pengamat pascakolonial mengkritik posisi Iqbal yang ambivalen terhadap modernitas. Di satu sisi, ia mengkritik Barat dan kolonialisme; namun di sisi lain, ia mengadopsi banyak elemen dari filsafat Barat modern, termasuk gagasan Nietzsche dan Bergson. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana sintesis yang ia tawarkan benar-benar berasal dari akar tradisi Islam sendiri atau justru merupakan adaptasi selektif terhadap pemikiran Eropa⁶.

Meskipun demikian, kekuatan utama Iqbal terletak pada kemampuannya memadukan visi normatif Islam dengan kesadaran historis dan keberanian intelektual untuk menantang kemapanan. Ia tidak hanya menawarkan kritik terhadap Barat, tetapi juga terhadap kemunduran internal dunia Islam. Oleh karena itu, pemikiran Iqbal tetap menjadi sumber inspirasi penting bagi rekonstruksi peradaban Islam yang progresif, spiritual, dan berkeadilan di tengah tantangan zaman yang terus berubah⁷.


Footnotes

[1]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–4.

[2]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 157–159.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 150–151.

[4]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 2002), 292–294.

[5]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 102–104.

[6]                S. Parvez Manzoor, “Iqbal's Modernism: Reconsidered,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 23–25.

[7]                Nomanul Haq, “Iqbal and the Reconstruction of Religious Thought,” Islamic Studies 34, no. 3 (1995): 308–310.


8.           Kesimpulan

Muhammad Iqbal merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dalam dunia Islam modern yang berupaya menjawab tantangan zaman melalui sintesis kreatif antara spiritualitas Islam dan rasionalitas modern. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya mencerminkan kedalaman intelektual, tetapi juga menggambarkan semangat profetik yang progresif. Dalam konteks krisis identitas, degradasi spiritual, dan stagnasi intelektual yang dihadapi umat Islam kontemporer, Iqbal hadir sebagai sosok pembaru yang mengusulkan rekonstruksi paradigma berpikir keagamaan secara menyeluruh—dari aspek epistemologi hingga filsafat sejarah dan peradaban¹.

Konsep khudi sebagai fondasi metafisika dan spiritualitas menjadi inti dari filsafat eksistensial Iqbal, yang menempatkan manusia bukan sebagai makhluk pasif, melainkan sebagai subjek aktif dalam sejarah dan pencipta peradaban. Khudi bukan sekadar afirmasi ego, melainkan ekspresi tauhid yang diwujudkan melalui kesadaran diri, tanggung jawab etis, dan kreativitas historis. Konsep ini menjadi relevan dalam membentuk subjek Muslim yang otonom, merdeka, dan berdaya, serta mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan akar transendennya².

Iqbal juga menawarkan kerangka epistemologis yang integratif, dengan menggabungkan wahyu, akal, dan intuisi spiritual dalam pemahaman keagamaan. Hal ini menjadi solusi terhadap dikotomi klasik antara tradisionalisme tekstual dan rasionalisme sekuler. Epistemologi Islam menurut Iqbal bukanlah sistem tertutup, melainkan medan dinamis yang selalu terbuka untuk ijtihad dan penyesuaian kreatif terhadap konteks sosial dan intelektual³. Dengan demikian, pemikiran Iqbal memberikan landasan filosofis bagi pembaruan hukum Islam, pengembangan ilmu pengetahuan yang beretika, dan penciptaan masyarakat yang berkeadilan.

Dalam dimensi sejarah dan peradaban, Iqbal menolak pandangan fatalistik yang meniadakan peran manusia. Ia meyakini bahwa sejarah adalah arena perjuangan moral dan spiritual, serta bahwa peradaban Islam hanya dapat bangkit kembali jika umat Islam memiliki kesadaran sejarah yang hidup dan semangat kreatif untuk melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, rekonstruksi pemikiran Islam bukan semata-mata proyek intelektual, tetapi juga gerakan peradaban⁴.

Iqbal tidak memosisikan Islam dan modernitas sebagai entitas yang bertentangan, melainkan sebagai dua wilayah yang bisa saling memperkaya. Ia mengkritik modernitas Barat yang sekular dan materialistik, tetapi tidak menolak pencapaian-pencapaiannya dalam ilmu dan kebebasan berpikir. Sebaliknya, ia menawarkan suatu bentuk modernitas Islam yang berakar pada tauhid, berlandaskan etika spiritual, dan terbuka terhadap kemajuan sains dan filsafat⁵. Pendekatan inilah yang menjadikan Iqbal relevan tidak hanya di zamannya, tetapi juga dalam diskursus keislaman kontemporer.

Meskipun pemikirannya tidak luput dari kritik—baik karena idealisme yang dianggap terlalu abstrak maupun karena pendekatan filosofisnya yang sulit dijangkau masyarakat awam—warisan intelektual Iqbal tetap memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk paradigma Islam yang dinamis, progresif, dan responsif terhadap tantangan global. Oleh karena itu, telaah atas pemikiran Iqbal bukan hanya penting secara historis, tetapi juga strategis bagi upaya kebangkitan pemikiran Islam ke depan⁶.


Footnotes

[1]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–4.

[2]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 146–150.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 143–144.

[4]                Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism (London: Routledge, 2009), 91–93.

[5]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 2002), 288–290.

[6]                S. Parvez Manzoor, “Iqbal's Modernism: Reconsidered,” Islamic Studies 29, no. 1 (1990): 24–26.


Daftar Pustaka

Haq, N. (1995). Iqbal and the reconstruction of religious thought. Islamic Studies, 34(3), 295–310.

Haq, N. (2003). Iqbal and the scientific spirit. Islam & Science, 1(2), 135–150.

Iqbal, M. (1915). Asrar-i-Khudi [Secrets of the Self]. Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf.

Iqbal, M. (1959). The development of metaphysics in Persia. Lahore: Bazm-i-Iqbal. (Original work published 1908)

Kurzman, C. (Ed.). (2002). Modernist Islam, 1840–1940: A sourcebook. New York, NY: Oxford University Press.

Majeed, J. (2009). Muhammad Iqbal: Islam, aesthetics and postcolonialism. London, UK: Routledge.

Manzoor, S. P. (1990). Iqbal's modernism: Reconsidered. Islamic Studies, 29(1), 19–28.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Schimmel, A. (1963). Gabriel’s wing: A study into the religious ideas of Sir Muhammad Iqbal. Leiden, The Netherlands: Brill.

Vahid, S. A. (1977). Introduction to the thought of Iqbal. Lahore: Iqbal Academy.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar