Pemikiran Muhammad Iqbal
Revitalisasi Spirit Islam dalam Dunia Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pemikiran filsafat Muhammad
Iqbal sebagai upaya revitalisasi spirit Islam dalam menghadapi tantangan dunia
modern. Dalam konteks globalisasi, sekularisme, dan stagnasi intelektual umat
Islam, Iqbal tampil sebagai tokoh pembaru yang menawarkan sintesis kreatif
antara nilai-nilai spiritual Islam dan rasionalitas modern. Melalui konsep khudi
(diri), ia menekankan pentingnya kesadaran diri yang dinamis sebagai fondasi
metafisika dan etika Islam. Iqbal juga mengembangkan kerangka epistemologi yang
mengintegrasikan wahyu, akal, dan intuisi, serta mendorong pembaruan hukum
Islam melalui ijtihad. Dalam pandangannya, sejarah dan peradaban bukanlah
entitas yang statis, melainkan arena aktualisasi kehendak kreatif manusia dalam
kerangka tauhid. Artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Iqbal tetap relevan
untuk membentuk paradigma Islam yang transformatif, kritis, dan mampu berdialog
secara konstruktif dengan modernitas. Dengan pendekatan filosofis-historis,
artikel ini berkontribusi pada pemahaman lebih dalam terhadap warisan
intelektual Iqbal dan pentingnya rekonstruksi pemikiran Islam kontemporer.
Kata Kunci: Muhammad Iqbal, khudi, modernitas, filsafat Islam, ijtihad, tauhid, rekonstruksi pemikiran,
spiritualitas Islam, epistemologi Islam, sejarah dan peradaban.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat Pemikiran Muhammad Iqbal
1.
Pendahuluan
Modernitas telah
membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam
cara pandang terhadap eksistensi, kebenaran, dan agama. Perkembangan sains dan
teknologi, rasionalisme, serta semangat sekularisasi yang mengiringi kemajuan
dunia Barat telah menimbulkan krisis spiritual yang mendalam, baik di dunia
Barat sendiri maupun di dunia Islam. Dalam konteks dunia Islam, modernitas seringkali
datang tidak sebagai hasil evolusi pemikiran internal, melainkan sebagai produk
impor yang membentur tradisi
keagamaan dan warisan intelektual Islam klasik. Hal ini memunculkan tantangan
serius bagi umat Islam: bagaimana menyikapi perubahan zaman tanpa kehilangan
jati diri spiritual dan teologisnya?
Muhammad Iqbal
(1877–1938), seorang filsuf, penyair, dan pemikir besar asal India, tampil
sebagai tokoh kunci yang berusaha menjawab tantangan zaman modern dengan cara
merekonstruksi pemikiran keagamaan Islam dari dalam. Iqbal menolak dikotomi antara iman dan rasio, serta antara
tradisi dan pembaruan. Baginya, Islam harus dipahami secara dinamis dan
kreatif, bukan sebagai sistem yang statis dan membatu. Melalui karya
monumentalnya The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, Iqbal berupaya menggugah kesadaran umat Islam akan
pentingnya revitalisasi spiritual yang berakar pada wahyu, namun terbuka
terhadap penalaran kritis dan pengalaman historis umat manusia¹.
Iqbal mengajukan
filsafat hidup yang berbasis pada konsep khudi—sebuah ide mengenai kesadaran
diri yang kreatif, progresif, dan memiliki orientasi transenden. Konsep ini
tidak hanya merepresentasikan
individualitas, tetapi juga mencerminkan potensi ilahiah dalam diri manusia
yang memungkinkan transformasi sosial dan spiritual. Iqbal meyakini bahwa
krisis umat Islam modern bersumber pada hilangnya khudi, yakni hilangnya kesadaran
eksistensial manusia sebagai makhluk yang memiliki peran aktif dalam sejarah².
Dalam pandangannya, agama bukanlah pelarian dari realitas, melainkan kekuatan
pembebas yang menggerakkan manusia untuk membangun dunia yang adil,
bermartabat, dan ber-Tuhan³.
Pemikiran Iqbal
menjadi relevan dalam konteks kontemporer ketika umat Islam dihadapkan pada
tantangan globalisasi, hegemoni budaya Barat, serta degradasi spiritual
internal. Gagasan-gagasannya tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga
praksis—menawarkan kerangka bagi pembaruan hukum Islam, pendidikan, politik,
dan budaya. Oleh karena itu, mengkaji pemikiran Muhammad Iqbal merupakan
langkah penting untuk memahami bagaimana filsafat Islam dapat memberikan
kontribusi terhadap kebangkitan umat dalam kerangka modernitas yang berkeadilan
dan bermakna teologis⁴.
Artikel ini
bertujuan untuk menelaah secara komprehensif pokok-pokok pemikiran Muhammad
Iqbal, terutama dalam aspek epistemologis, metafisis, dan historis, serta
mengevaluasi relevansinya dalam dunia Islam kontemporer. Pendekatan yang
digunakan adalah filosofis-historis, dengan menitikberatkan pada analisis isi
karya-karya Iqbal dan relevansinya terhadap problematika modernitas. Dengan demikian, diharapkan
tulisan ini dapat memberikan kontribusi terhadap pembacaan ulang pemikiran
Islam yang progresif namun tetap berakar pada fondasi wahyu dan tauhid.
Footnotes
[1]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 2–3.
[2]
Annemarie Schimmel, Gabriel's Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 136.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 140.
[4]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 53.
2.
Biografi
Intelektual Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir
pada tanggal 9 November 1877 di Sialkot, Punjab, yang saat itu merupakan bagian
dari India Britania (sekarang Pakistan). Ia berasal dari keluarga Muslim
Kashmir yang taat, dengan latar belakang spiritual yang kuat. Ayahnya, Nur
Muhammad, adalah seorang sufi yang sederhana, sementara ibunya, Imam Bibi, dikenal sebagai sosok yang
salehah dan penuh kasih⁽¹⁾. Lingkungan keluarga yang religius ini membentuk
fondasi spiritual awal bagi Iqbal, yang kelak berpengaruh besar dalam pemikiran
teologis dan filosofisnya.
Iqbal mendapatkan
pendidikan awalnya di Mission School Sialkot, di mana ia mulai mempelajari
bahasa Inggris dan filsafat Barat. Ia kemudian melanjutkan studi ke Government
College Lahore dan menjadi murid dari Thomas Arnold, seorang orientalis dan
filsuf asal Inggris yang memperkenalkannya pada tradisi intelektual Barat
sekaligus memberikan apresiasi positif terhadap warisan intelektual Islam⁽²⁾.
Dari sinilah Iqbal mulai mengembangkan ketertarikannya terhadap filsafat dan
pemikiran Islam, serta mulai menulis puisi dalam bahasa Urdu dan Persia—dua bahasa yang kelak menjadi medium
utama dalam menyampaikan ide-idenya.
Setelah
menyelesaikan studi di Lahore, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan
pendidikannya. Ia meraih gelar Master of Arts di bidang filsafat dari
Universitas Cambridge, kemudian belajar di Universitas Munich di Jerman, tempat
ia menyelesaikan disertasi doktoralnya dengan judul The Development of Metaphysics in Persia
pada tahun 1908⁽³⁾. Dalam masa studinya di Eropa, Iqbal berinteraksi dengan gagasan
para pemikir besar seperti Friedrich Nietzsche, Henri Bergson, dan Johann
Wolfgang von Goethe. Meski demikian, Iqbal tidak serta-merta meniru gagasan
mereka; ia justru melakukan proses dialog kritis antara filsafat Barat dan
prinsip-prinsip Islam, sebuah pendekatan yang kelak menjadi ciri khas
pemikirannya.
Kepulangannya ke
India menandai fase baru dalam kehidupan intelektual dan politik Iqbal. Ia
mulai aktif dalam dunia akademik, sosial, dan politik, sekaligus terus menulis
puisi dan karya-karya filsafat yang mengandung semangat pembaruan Islam. Dalam
puisinya, Iqbal menyerukan kebangkitan spiritual umat Islam dan pembentukan
kembali kesadaran diri umat yang telah lama terpuruk dalam kejumudan historis. Ia percaya bahwa umat Islam
tidak hanya memerlukan reformasi politik, tetapi lebih dari itu: transformasi
spiritual dan epistemologis yang mendalam⁽⁴⁾.
Selain dikenal
sebagai penyair dan filsuf, Iqbal juga memainkan peran penting dalam ranah
politik. Ia menjadi presiden Liga Muslim India pada tahun 1930 dan dikenal luas
sebagai penggagas ide tentang berdirinya negara Pakistan sebagai tanah air bagi
umat Islam di anak benua India. Namun demikian, lebih dari sekadar tokoh
politik, Iqbal dipandang sebagai arsitek spiritual Pakistan karena ia
mengedepankan visi tentang Islam sebagai kekuatan pembebas dan kreatif bagi
umat manusia secara keseluruhan⁽⁵⁾.
Karya-karya utama
Iqbal, seperti Asrar-e-Khudi (1915), Rumuz-e-Bekhudi
(1918), Payam-e-Mashriq
(1923), dan The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (1930), mencerminkan upayanya untuk merumuskan kembali
filsafat Islam agar selaras dengan tuntutan zaman modern tanpa kehilangan inti
teologisnya. Dalam keseluruhan pemikirannya, tampak jelas bahwa Iqbal
menggabungkan elemen spiritualitas Timur dan rasionalitas Barat dalam kerangka
tauhid yang dinamis dan transformatif.
Footnotes
[1]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 5.
[2]
Syed Abdul Vahid, Introduction to the Thought of Iqbal (Lahore:
Iqbal Academy, 1977), 18–19.
[3]
Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia
(Lahore: Bazm-i-Iqbal, 1959), vii–viii.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 143.
[5]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 101.
3.
Epistemologi
Islam Menurut Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal
memandang epistemologi—ilmu tentang sumber, struktur, dan validitas
pengetahuan—sebagai fondasi penting dalam membangun kembali pemikiran Islam di
era modern. Bagi Iqbal, krisis yang melanda dunia Islam bukan hanya bersifat
sosial-politik, tetapi juga berakar pada stagnasi epistemologis: umat Islam
kehilangan dinamika dalam memahami wahyu dan mengembangkan ilmu pengetahuan
secara kreatif dan kontekstual¹.
Iqbal mengkritik
keras dominasi pendekatan skolastik dalam tradisi Islam pascaklasik yang lebih
menekankan repetisi ketimbang inovasi. Ia menyatakan bahwa Islam sejak awal
telah mendorong integrasi antara wahyu, rasio, dan pengalaman batin sebagai
sumber pengetahuan. Oleh karena itu, proyek rekonstruksi pemikiran keagamaan
yang ditawarkannya mengacu pada semangat ijtihad epistemologis yang berlandaskan tauhid dan keterbukaan
terhadap dinamika sejarah².
Dalam karya
monumentalnya, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, Iqbal mengembangkan kerangka epistemologis yang bersumber
dari tiga unsur utama: wahyu, rasio,
dan intuisi
spiritual (kasyf atau ilham). Ketiganya tidak dipertentangkan,
melainkan disinergikan dalam kerangka tauhid yang dinamis. Wahyu merupakan
fondasi utama yang memandu arah moral dan spiritual manusia, namun akal dan
intuisi juga memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan makna wahyu dalam
konteks historis yang terus berubah³.
Konsep paling khas
dalam epistemologi Iqbal adalah pengalaman religius sebagai sumber pengetahuan
yang sahih. Ia berargumen bahwa pengalaman religius bukan sekadar
fenomena subjektif atau emosional,
melainkan bentuk kesadaran eksistensial yang mendalam dan dapat diartikulasikan
secara intelektual. Dengan demikian, Iqbal merehabilitasi nilai pengalaman
spiritual sebagai sumber epistemik yang sah berdampingan dengan penalaran
rasional⁴.
Dalam kerangka ini,
Iqbal mengkritik epistemologi positivistik Barat yang membatasi pengetahuan
pada fakta empiris dan observasi indrawi. Ia menganggap pendekatan semacam itu reduktif dan mengabaikan dimensi
batiniah manusia yang menjadi sumber makna dan nilai. Iqbal sejalan dengan
pemikir seperti Henri Bergson yang menekankan intuisi (intuition)
sebagai sarana menangkap realitas yang tidak tercakup oleh akal semata⁵. Namun,
Iqbal melampaui Bergson dengan menempatkan intuisi religius dalam kerangka
tauhid dan misi kenabian.
Lebih lanjut, Iqbal
mengembangkan ide tentang dinamika pengetahuan dalam sejarah.
Ia menyatakan bahwa Islam bukanlah agama yang menolak perubahan, melainkan
agama yang mendorong kreativitas
dan partisipasi manusia dalam proses penciptaan sejarah. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan dalam Islam harus dipahami sebagai aktivitas kreatif yang berakar
pada semangat wahyu namun tidak terlepas dari realitas sosial dan perkembangan
zaman⁶.
Dari perspektif
Iqbal, umat Islam masa kini harus mengembangkan epistemologi yang bersifat
integratif dan transformatif: yang mampu menghimpun spiritualitas wahyu,
rasionalitas kritis, serta intuisi eksistensial ke dalam sintesis baru.
Tujuannya adalah membangun kembali kepercayaan diri intelektual umat Islam dan
menumbuhkan kembali semangat ijtihad yang visioner dalam menghadapi tantangan
modernitas dan globalisasi⁷.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 143.
[2]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 5–6.
[3]
Ibid., 15–16.
[4]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 146.
[5]
Charles Kurzman, “Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook,” in Modernist
Islam (New York: Oxford University Press, 2002), 291.
[6]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 72–74.
[7]
Nomanul Haq, “Iqbal and the Reconstruction of Religious Thought,” Islamic
Studies 34, no. 3 (1995): 295–297.
4.
Konsep
Diri (Khudi) sebagai Inti Metafisika Iqbal
Konsep khudi
(diri) merupakan fondasi utama dalam metafisika Muhammad Iqbal dan menjadi
pusat dari keseluruhan sistem filsafatnya. Gagasan ini pertama kali
diperkenalkan secara puitik dan filosofis dalam karya monumental Asrar-e-Khudi
(1915), dan kemudian dikembangkan secara lebih sistematis dalam karya-karya
filsafatnya. Khudi dalam pandangan Iqbal bukan
sekadar konsep psikologis tentang ego atau individualitas, melainkan realitas
metafisis yang merepresentasikan inti eksistensi manusia sebagai makhluk yang
dinamis, kreatif, dan memiliki potensi ilahiah¹.
Iqbal mengembangkan
konsep khudi
sebagai reaksi terhadap dualisme Barat yang memisahkan tubuh dan jiwa, serta
terhadap paham deterministik yang mengkerdilkan peran manusia dalam sejarah.
Dalam kerangka ini, khudi adalah kesadaran eksistensial
dan spiritual yang harus dikembangkan secara aktif melalui perjuangan,
kreativitas, dan kedekatan dengan Tuhan. Iqbal menolak pandangan fatalistik yang melihat manusia sebagai makhluk pasif,
dan sebaliknya, mengangkat peran manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah)
di bumi yang bertanggung jawab atas sejarah dan peradaban².
Secara ontologis, khudi
adalah pusat identitas personal yang unik dan tak dapat direduksi. Ia merupakan
benih keilahian yang ditanamkan Tuhan dalam diri manusia, yang harus
dikembangkan melalui proses penguatan diri. Proses ini mencakup tiga tahapan eksistensial: ketaatan,
penguasaan
terhadap lingkungan, dan penyatuan dengan kehendak Ilahi.
Dalam kerangka tersebut, khudi bukanlah ego dalam pengertian
egoisme, melainkan kesadaran diri spiritual yang
menemukan kekuatannya dalam hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan realitas sejarah³.
Iqbal menyatakan
bahwa khudi
tidak dapat berkembang dalam isolasi, melainkan melalui keterlibatan aktif
dalam dunia dan realitas sosial. Oleh karena itu, ia mengaitkan khudi
dengan konsep jihad, kreativitas budaya, dan tanggung jawab sosial. Manusia
sejati adalah manusia yang mengafirmasi keberadaan dirinya melalui
tindakan yang berlandaskan nilai-nilai transenden. Dalam hal ini, khudi
menjadi sarana penghubung antara metafisika dan etika, antara iman dan amal⁴.
Metafisika Iqbal
yang berbasis pada khudi juga merupakan respons
terhadap stagnasi spiritual dan intelektual dalam dunia Islam. Ia menolak paham
tasawuf yang bersifat negatif terhadap dunia dan cenderung mematikan semangat
aksi. Bagi Iqbal, spiritualitas yang sejati adalah yang mendorong keterlibatan
aktif di dunia, bukan pelarian darinya. Dengan demikian, khudi
menjadi fondasi bagi filsafat
pembebasan yang bercorak transformatif: manusia tidak cukup hanya ada,
tetapi harus menjadi—yakni menjadi subjek
sejarah dan agen perubahan⁵.
Di sisi lain, Iqbal
juga menekankan bahwa penguatan khudi tidak identik dengan
egosentrisme atau narsisisme. Justru, khudi sejati hanya dapat diwujudkan
dalam kerendahan hati di hadapan Tuhan dan dalam perjuangan kolektif demi
kemaslahatan umat. Dengan demikian, metafisika Iqbal menjadi sintesis antara individualitas kreatif dan spiritualitas
tauhid, di mana kesadaran diri diarahkan kepada tujuan Ilahi⁶.
Secara keseluruhan, khudi
dalam pemikiran Iqbal merupakan konsep metafisis yang mencerminkan perpaduan
antara eksistensialisme, spiritualitas Islam, dan aktivisme historis. Ia bukan
hanya kerangka ontologis tentang diri manusia, tetapi juga proyek
pembebasan—baik pada level personal maupun kolektif—yang mengajak manusia untuk
menjadi khalifah sejati di bumi.
Footnotes
[1]
Muhammad Iqbal, Asrar-e-Khudi (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf,
1915), 12–15.
[2]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 148–150.
[3]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 58–60.
[4]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 83–85.
[5]
Nomanul Haq, “Iqbal and the Reconstruction of Religious Thought,” Islamic
Studies 34, no. 3 (1995): 302–303.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
146–147.
5.
Pandangan
Iqbal tentang Dinamika Sejarah dan Peradaban
Muhammad Iqbal
menempatkan sejarah dan peradaban sebagai bagian integral dalam kerangka
pemikiran filosofis dan teologisnya. Berbeda dari sebagian pemikir Islam klasik
yang cenderung mengedepankan pandangan siklikal atau statis terhadap sejarah,
Iqbal mengusung gagasan bahwa sejarah adalah
ruang gerak dinamis bagi realisasi khudi dan manifestasi kehendak
kreatif manusia. Pandangan ini berpijak pada prinsip bahwa manusia adalah
subjek aktif dalam sejarah, bukan sekadar objek pasif dari ketetapan ilahi¹.
Bagi Iqbal, sejarah
bukan hanya kumpulan fakta atau peristiwa masa lalu, melainkan ekspresi dari
dinamika spiritual dan intelektual umat manusia. Ia mengkritik keras sikap
fatalistik yang menganggap sejarah sebagai sesuatu yang ditentukan sepenuhnya
oleh takdir. Dalam kerangka metafisika tauhidnya, Iqbal menekankan bahwa Tuhan
memberikan manusia kebebasan dan potensi untuk menciptakan makna dalam sejarah
melalui tindakan etis dan transformasi
sosial². Oleh karena itu, pembaruan agama dan peradaban Islam harus berangkat
dari kesadaran historis yang hidup, bukan nostalgia romantik terhadap masa
lalu.
Sebagai konsekuensi
dari pandangannya terhadap sejarah, Iqbal menekankan pentingnya ijtihad—yakni
usaha kreatif untuk menafsirkan dan merumuskan hukum serta nilai-nilai Islam
secara kontekstual. Dalam pidatonya di Kongres Liga Muslim India tahun 1930,
Iqbal menyatakan bahwa stagnasi umat Islam berasal dari ketakutan terhadap
perubahan dan penutupan pintu ijtihad. Padahal, dalam pandangannya, semangat
Islam justru terletak pada keberaniannya menghadapi perubahan zaman dan kemampuannya untuk menyesuaikan
prinsip-prinsip ilahiah dengan kondisi sosial dan intelektual yang berubah³.
Iqbal juga memandang
bahwa peradaban Islam mencapai kejayaannya ketika umat Islam aktif
mengintegrasikan ilmu pengetahuan, seni, dan etika dalam kehidupan mereka. Ia
menilai bahwa krisis peradaban Islam modern bukan semata-mata akibat
kolonialisme, tetapi juga karena hilangnya semangat pencarian ilmu dan semangat
kreatif yang dahulu menggerakkan kebangkitan
Islam klasik⁴. Dalam kerangka ini, Iqbal mengusulkan apa yang disebutnya
sebagai rekonstruksi
pemikiran keagamaan, yakni usaha sistematis untuk membangun kembali
fondasi spiritual dan rasional umat Islam dengan semangat pembaruan.
Lebih jauh, Iqbal
menolak dikotomi antara agama dan kemajuan ilmiah. Ia percaya bahwa sains dan
rasionalitas tidak bertentangan dengan wahyu, melainkan merupakan sarana bagi
manusia untuk membaca “ayat-ayat Tuhan” yang tersebar di alam semesta. Dengan
demikian, pembangunan peradaban tidak dapat hanya bertumpu pada kemajuan
teknologi, tetapi harus ditopang oleh kesadaran etis dan spiritual yang kuat⁵.
Hal ini tercermin dalam pemikirannya tentang tauhid sebagai prinsip peradaban,
yakni bahwa kesatuan realitas ilahiah
harus tercermin dalam tatanan sosial-politik yang adil dan berorientasi pada
kemaslahatan universal.
Dalam konteks
globalisasi dan krisis spiritual kontemporer, Iqbal mengajak umat Islam untuk
tidak sekadar meniru model peradaban Barat, tetapi juga tidak menutup diri dari
kemajuan dunia. Ia menawarkan jalan tengah: membangun peradaban Islam modern
yang bersifat kreatif, terbuka terhadap ilmu pengetahuan, namun tetap berakar
pada wahyu dan nilai-nilai transenden. Dengan demikian, sejarah dan peradaban
tidak dipahami secara deterministik atau mekanistik, tetapi sebagai ruang partisipasi aktif manusia dalam
mewujudkan visi ilahiah di muka bumi⁶.
Footnotes
[1]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 115–117.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 145.
[3]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 151–152.
[4]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 91–92.
[5]
Nomanul Haq, “Iqbal and the Scientific Spirit,” Islam & Science
1, no. 2 (2003): 145–146.
[6]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New
York: Oxford University Press, 2002), 289–291.
6.
Sintesis
antara Islam dan Modernitas
Muhammad Iqbal
merupakan salah satu pemikir Muslim modern yang paling gigih dalam mengupayakan
sintesis
kreatif antara Islam dan modernitas. Ia menyadari bahwa dunia Islam sedang berada dalam pusaran perubahan
besar akibat kolonialisme, sekularisme, dan dominasi pemikiran Barat, yang
menggeser cara pandang tradisional umat terhadap agama, ilmu pengetahuan, dan
struktur sosial-politik. Alih-alih menolak modernitas secara total atau
menerimanya tanpa kritik, Iqbal menawarkan pendekatan dialogis, yang berupaya
menjembatani nilai-nilai transenden Islam dengan dinamika dunia modern¹.
Dalam pandangan
Iqbal, modernitas bukanlah ancaman mutlak, tetapi juga bukan panacea (obat
mujarab). Ia menyambut baik pencapaian modernitas dalam bidang sains,
rasionalitas, dan kebebasan berpikir, namun sekaligus mengkritik orientasi
materialistik dan sekularistiknya yang mengabaikan dimensi spiritual manusia.
Oleh karena itu, sintesis yang ditawarkannya bukanlah akomodasi pasif,
melainkan rekonstruksi
aktif terhadap pemikiran Islam agar tetap relevan dengan tantangan
zaman tanpa kehilangan ruh ketauhidannya².
Iqbal menyatakan
bahwa inti ajaran Islam sejatinya selaras dengan semangat modernitas yang
mendorong kebebasan, dinamisme, dan tanggung jawab individual. Ia menekankan
bahwa konsep tauhid tidak hanya bersifat
teologis, tetapi juga memiliki implikasi sosial-politik yang revolusioner.
Dalam struktur tauhid, seluruh otoritas kembali kepada Tuhan, dan karenanya
tidak ada tempat bagi despotisme, klerikalisme, atau sistem sosial yang
menindas. Hal ini menuntut pembentukan masyarakat yang egaliter, terbuka terhadap
pengetahuan, dan menghargai martabat individu³.
Melalui karyanya The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal secara
sistematis mengusulkan bahwa filsafat Islam perlu ditinjau ulang dengan
pendekatan yang ilmiah dan kontemporer. Ia menggabungkan konsep-konsep modern
seperti evolusi
kreatif (inspirasi dari Henri Bergson), individualitas dinamis (dari
Nietzsche, namun dikoreksi dalam kerangka tauhid), serta pengalaman
religius sebagai sumber epistemik, untuk membangun sistem pemikiran
yang mampu mengintegrasikan iman dan akal, wahyu dan ilmu, spiritualitas dan sains⁴.
Salah satu aspek
kunci dari sintesis Iqbal adalah gagasannya tentang ijtihad sebagai alat pembaruan hukum dan moral
Islam. Ijtihad, menurut Iqbal, bukan hanya metode fiqh, tetapi juga
mekanisme vital untuk memastikan bahwa Islam tetap menjadi kekuatan kreatif
yang dapat merespons perubahan zaman. Penutupan pintu ijtihad, bagi Iqbal,
adalah salah satu penyebab utama stagnasi pemikiran Islam dalam sejarah
modern⁵. Oleh karena itu, ia menyerukan
agar ijtihad dibuka kembali dalam semangat pembebasan intelektual dan keadilan
sosial.
Selain itu, Iqbal
secara tegas menolak dikotomi antara agama dan sains. Ia menganggap bahwa ilmu
pengetahuan modern adalah hasil dari ijtihad kolektif umat manusia dalam
memahami ciptaan Tuhan. Namun, ia mengingatkan bahwa sains harus dikendalikan oleh nilai-nilai spiritual agar
tidak terjerumus dalam nihilisme atau eksploitasi materialistik. Dalam kerangka
ini, sains dan agama dapat bersinergi untuk membangun peradaban yang
berkeadilan dan berorientasi pada kesempurnaan manusia⁶.
Sintesis antara
Islam dan modernitas yang dirumuskan oleh Iqbal juga mencakup aspek estetika
dan budaya. Ia menolak inferioritas budaya Islam di hadapan budaya Barat, dan sebaliknya, mengajak umat untuk menggali
kembali kekayaan spiritual, seni, dan literatur Islam sebagai sumber inspirasi
dan ekspresi kreatif. Puisi-puisinya dalam bahasa Persia dan Urdu menjadi
contoh bagaimana nilai-nilai Islam dapat dikomunikasikan dalam bahasa estetika
yang modern namun tetap autentik⁷.
Secara keseluruhan,
Iqbal tidak melihat Islam dan modernitas sebagai dua kutub yang saling
bertentangan, tetapi sebagai dua realitas yang dapat berdialog dan saling
memperkaya. Ia mendorong umat Islam untuk tidak membelenggu diri pada
formalisme masa lalu, melainkan menghidupkan kembali spirit Islam yang progresif dan transformatif, sehingga
mampu menjadi kekuatan pembaruan dalam menghadapi tantangan dunia global dan
sekular saat ini.
Footnotes
[1]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 6–7.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
140–141.
[3]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New
York: Oxford University Press, 2002), 288.
[4]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 158–159.
[5]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 98–100.
[6]
Nomanul Haq, “Iqbal and the Scientific Spirit,” Islam & Science
1, no. 2 (2003): 139–140.
[7]
Schimmel, Gabriel’s Wing, 161.
7.
Relevansi
dan Kritik terhadap Pemikiran Iqbal
Pemikiran Muhammad
Iqbal tetap relevan dalam wacana keislaman kontemporer, terutama ketika umat
Islam dihadapkan pada problem identitas, krisis spiritual, dan tantangan
globalisasi yang kompleks. Sebagai seorang pemikir yang mencoba menjembatani
Islam dengan modernitas, Iqbal tidak hanya menawarkan formulasi filosofis,
tetapi juga mengajukan paradigma pembebasan yang bersifat transformatif.
Relevansi pemikiran Iqbal tampak
jelas dalam tiga aspek utama: spiritualitas, pembaruan hukum dan pemikiran
keislaman, serta pembentukan identitas peradaban Islam di era global¹.
Pertama, konsep khudi
sebagai kesadaran diri yang dinamis terus menggema dalam diskursus modern
tentang subjektivitas, agensi, dan otonomi spiritual. Dalam dunia yang semakin
terfragmentasi secara moral dan eksistensial, Iqbal memberikan alternatif spiritualitas yang tidak pasif
tetapi aktif—yang tidak menarik diri dari dunia, tetapi mendorong keterlibatan
etis dan sosial. Hal ini menjadikan pemikirannya relevan dalam membangun
kesadaran keberagamaan yang kritis dan produktif².
Kedua, gagasan Iqbal
tentang perlunya ijtihad dalam menanggapi realitas
sosial-politik umat Islam menjadi sangat penting dalam konteks stagnasi hukum
Islam kontemporer. Seruannya untuk membuka kembali pintu ijtihad telah
menginspirasi gerakan intelektual Islam modernis dan neo-modernis di berbagai
belahan dunia Islam. Pemikir seperti Fazlur Rahman dan Arkoun, misalnya, menjadikan semangat rekonstruksi pemikiran
Iqbal sebagai landasan dalam mengembangkan pendekatan hermeneutik baru terhadap
teks-teks Islam³.
Ketiga, Iqbal
mengusulkan bentuk peradaban Islam yang tidak eksklusif atau apologetik, tetapi
terbuka terhadap dialog dan sintesis. Pemikirannya menjadi sumber inspirasi
dalam membentuk model Islam yang pluralis, humanistik, dan kompatibel dengan demokrasi—selama
nilai-nilai tersebut ditempatkan dalam kerangka tauhid dan keadilan sosial. Ini
sangat penting di era global ketika identitas keislaman sering dibenturkan
dengan nilai-nilai universal⁴.
Namun demikian,
pemikiran Iqbal tidak luput dari kritik. Sebagian kritikus menilai bahwa
sintesis antara Islam dan filsafat Barat yang ditawarkannya terlalu idealistik
dan kurang memberikan model aplikatif yang konkret. Gagasan khudi,
misalnya, dinilai oleh sebagian kalangan sebagai terlalu abstrak dan sulit
dioperasionalisasikan dalam konteks kehidupan sosial-politik nyata⁵. Di sisi
lain, pendekatan Iqbal yang sangat filosofis juga dianggap kurang dapat diakses oleh kalangan awam umat Islam
yang lebih membutuhkan solusi praktis dibandingkan spekulasi metafisik.
Selain itu, sebagian
pengamat pascakolonial mengkritik posisi Iqbal yang ambivalen terhadap
modernitas. Di satu sisi, ia mengkritik Barat dan kolonialisme; namun di sisi lain, ia mengadopsi banyak elemen dari
filsafat Barat modern, termasuk gagasan Nietzsche dan Bergson. Hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang
sejauh mana sintesis yang ia tawarkan benar-benar berasal dari akar tradisi
Islam sendiri atau justru merupakan adaptasi selektif terhadap
pemikiran Eropa⁶.
Meskipun demikian,
kekuatan utama Iqbal terletak pada kemampuannya memadukan visi normatif Islam
dengan kesadaran historis dan keberanian intelektual untuk menantang kemapanan.
Ia tidak hanya menawarkan kritik terhadap Barat, tetapi juga terhadap
kemunduran internal dunia Islam. Oleh karena itu, pemikiran Iqbal tetap menjadi
sumber inspirasi penting bagi
rekonstruksi peradaban Islam yang progresif, spiritual, dan berkeadilan di
tengah tantangan zaman yang terus berubah⁷.
Footnotes
[1]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–4.
[2]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 157–159.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
150–151.
[4]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New
York: Oxford University Press, 2002), 292–294.
[5]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 102–104.
[6]
S. Parvez Manzoor, “Iqbal's Modernism: Reconsidered,” Islamic
Studies 29, no. 1 (1990): 23–25.
[7]
Nomanul Haq, “Iqbal and the Reconstruction of Religious Thought,” Islamic
Studies 34, no. 3 (1995): 308–310.
8.
Kesimpulan
Muhammad Iqbal
merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dalam dunia Islam modern yang
berupaya menjawab tantangan zaman melalui sintesis kreatif antara spiritualitas
Islam dan rasionalitas modern. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya mencerminkan
kedalaman intelektual, tetapi juga menggambarkan semangat profetik yang
progresif. Dalam konteks krisis identitas, degradasi spiritual, dan stagnasi
intelektual yang dihadapi umat Islam kontemporer, Iqbal hadir sebagai sosok pembaru yang mengusulkan rekonstruksi
paradigma berpikir keagamaan secara menyeluruh—dari aspek epistemologi hingga
filsafat sejarah dan peradaban¹.
Konsep khudi
sebagai fondasi metafisika dan spiritualitas menjadi inti dari filsafat
eksistensial Iqbal, yang menempatkan manusia bukan sebagai makhluk pasif,
melainkan sebagai subjek aktif dalam sejarah dan pencipta peradaban. Khudi
bukan sekadar afirmasi ego, melainkan ekspresi tauhid yang diwujudkan melalui
kesadaran diri, tanggung jawab etis, dan kreativitas historis. Konsep ini menjadi relevan dalam membentuk subjek
Muslim yang otonom, merdeka, dan berdaya, serta mampu berdialog dengan zaman
tanpa kehilangan akar transendennya².
Iqbal juga
menawarkan kerangka epistemologis yang integratif, dengan menggabungkan wahyu,
akal, dan intuisi spiritual dalam pemahaman keagamaan. Hal ini menjadi solusi
terhadap dikotomi klasik antara tradisionalisme tekstual dan rasionalisme
sekuler. Epistemologi Islam menurut Iqbal bukanlah sistem tertutup, melainkan medan dinamis yang selalu terbuka
untuk ijtihad dan penyesuaian kreatif terhadap konteks sosial dan intelektual³.
Dengan demikian, pemikiran Iqbal memberikan landasan filosofis bagi pembaruan
hukum Islam, pengembangan ilmu pengetahuan yang beretika, dan penciptaan
masyarakat yang berkeadilan.
Dalam dimensi
sejarah dan peradaban, Iqbal menolak pandangan fatalistik yang meniadakan peran
manusia. Ia meyakini bahwa
sejarah adalah arena perjuangan moral dan spiritual, serta bahwa peradaban
Islam hanya dapat bangkit kembali jika umat Islam memiliki kesadaran sejarah
yang hidup dan semangat kreatif untuk melakukan transformasi sosial. Oleh
karena itu, rekonstruksi pemikiran
Islam bukan semata-mata proyek intelektual, tetapi juga gerakan peradaban⁴.
Iqbal tidak
memosisikan Islam dan modernitas sebagai entitas yang bertentangan, melainkan sebagai
dua wilayah yang bisa saling memperkaya. Ia mengkritik modernitas Barat yang
sekular dan materialistik, tetapi tidak menolak pencapaian-pencapaiannya dalam
ilmu dan kebebasan berpikir.
Sebaliknya, ia menawarkan suatu bentuk modernitas Islam yang berakar pada
tauhid, berlandaskan etika spiritual, dan terbuka terhadap kemajuan sains dan
filsafat⁵. Pendekatan inilah yang menjadikan Iqbal relevan tidak hanya di
zamannya, tetapi juga dalam diskursus keislaman kontemporer.
Meskipun
pemikirannya tidak luput dari kritik—baik karena idealisme yang dianggap
terlalu abstrak maupun karena pendekatan filosofisnya yang sulit dijangkau
masyarakat awam—warisan intelektual Iqbal tetap memberikan kontribusi
signifikan dalam membentuk paradigma Islam yang dinamis, progresif, dan
responsif terhadap tantangan global. Oleh karena itu, telaah atas pemikiran
Iqbal bukan hanya penting secara historis, tetapi juga strategis bagi upaya
kebangkitan pemikiran Islam ke depan⁶.
Footnotes
[1]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1930), 3–4.
[2]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 146–150.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 143–144.
[4]
Javed Majeed, Muhammad Iqbal: Islam, Aesthetics and Postcolonialism
(London: Routledge, 2009), 91–93.
[5]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (New
York: Oxford University Press, 2002), 288–290.
[6]
S. Parvez Manzoor, “Iqbal's Modernism: Reconsidered,” Islamic
Studies 29, no. 1 (1990): 24–26.
Daftar Pustaka
Haq, N. (1995). Iqbal and the reconstruction of
religious thought. Islamic Studies, 34(3), 295–310.
Haq, N. (2003). Iqbal and the scientific spirit. Islam
& Science, 1(2), 135–150.
Iqbal, M. (1915). Asrar-i-Khudi [Secrets of
the Self]. Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf.
Iqbal, M. (1930). The reconstruction of
religious thought in Islam. Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf.
Iqbal, M. (1959). The development of metaphysics
in Persia. Lahore: Bazm-i-Iqbal. (Original work published 1908)
Kurzman, C. (Ed.). (2002). Modernist Islam,
1840–1940: A sourcebook. New York, NY: Oxford University Press.
Majeed, J. (2009). Muhammad Iqbal: Islam,
aesthetics and postcolonialism. London, UK: Routledge.
Manzoor, S. P. (1990). Iqbal's modernism:
Reconsidered. Islamic Studies, 29(1), 19–28.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Schimmel, A. (1963). Gabriel’s wing: A study
into the religious ideas of Sir Muhammad Iqbal. Leiden, The Netherlands:
Brill.
Vahid, S. A. (1977). Introduction to the thought
of Iqbal. Lahore: Iqbal Academy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar