Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Sejarah dan Periode Filsafat
Pembahasan Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Aliran-Aliran
dalam Filsafat
Abstrak
Artikel "Aliran-Aliran
Filsafat Berdasarkan Sejarah dan Periode Filsafat" mengkaji
perkembangan berbagai aliran filsafat sepanjang sejarah, dimulai dari periode
kuno hingga kontemporer. Pembahasan mencakup filsafat Yunani Kuno dengan
tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang meletakkan dasar
bagi metafisika, epistemologi, dan etika. Selanjutnya, periode Abad Pertengahan
menyoroti integrasi pemikiran filsafat dengan teologi, terutama dalam tradisi
Kristen dan Islam, dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas dan Al-Farabi.
Periode Modern ditandai dengan munculnya rasionalisme dan empirisme, diwakili oleh
René Descartes dan John Locke, yang menekankan peran akal dan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan. Akhirnya, periode Kontemporer mengeksplorasi berbagai
aliran seperti eksistensialisme, pragmatisme, dan postmodernisme, yang
menantang pandangan tradisional tentang kebenaran dan realitas.
Kata kunci:
filsafat kuno, filsafat abad pertengahan, filsafat modern, filsafat kontemporer, Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Al-Farabi, René
Descartes, John Locke, eksistensialisme, pragmatisme, postmodernisme.
PEMBAHASAN
Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pendekatan Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat adalah disiplin ilmu yang berusaha
memahami hakikat realitas, keberadaan, pengetahuan, kebenaran, dan nilai-nilai moral
melalui penalaran rasional. Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, "philosophia",
yang berarti "cinta akan kebijaksanaan." Sebagai bentuk
pemikiran mendalam, filsafat telah berkembang menjadi pondasi berbagai cabang
ilmu pengetahuan, memberikan kerangka analitis untuk memahami alam semesta,
manusia, dan hubungan keduanya.
1.1. Peran dan Pentingnya Filsafat
Filsafat tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menjawab pertanyaan mendasar
tentang kehidupan, tetapi juga memberikan wawasan dalam menjembatani konflik
antara berbagai disiplin ilmu. Filsafat menawarkan dasar pemikiran kritis dan reflektif, yang memungkinkan
manusia untuk mempertanyakan asumsi-asumsi mendasar dan memahami kompleksitas
dunia. Misalnya, Immanuel Kant menyebutkan bahwa filsafat adalah "ilmu tentang batas-batas akal manusia" (Kant, Critique
of Pure Reason), menekankan pentingnya filsafat dalam memahami kemampuan dan keterbatasan manusia dalam mengeksplorasi
kebenaran.¹
1.2. Pembagian Periode Filsafat
Dalam studi sejarah filsafat, tradisi pemikiran
sering dibagi ke dalam beberapa periode utama yang mencerminkan perubahan besar
dalam cara manusia memahami dunia. Pembagian ini membantu memberikan konteks
historis dan budaya yang memengaruhi perkembangan aliran-aliran filsafat. Secara umum, filsafat dibagi menjadi empat periode utama:
1)
Filsafat Kuno: Fokus pada
metafisika dan kosmologi.
2)
Filsafat Abad Pertengahan: Integrasi filsafat dengan agama.
3)
Filsafat Modern: Peralihan
menuju rasionalisme dan empirisme.
4)
Filsafat Kontemporer: Eksplorasi
pemikiran kritis terhadap modernitas dan postmodernitas.²
1.3. Relevansi Filsafat dalam Konteks Sejarah
Dalam setiap periode sejarah, filsafat telah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peradaban manusia. Pemikiran
para filsuf, seperti Plato, Aristotle, dan Al-Farabi,
tidak hanya membentuk fondasi ilmu pengetahuan tetapi juga membantu membangun
norma-norma sosial, politik, dan moral yang masih relevan hingga saat ini.³
Filsafat juga menjadi alat untuk memahami interaksi antara ide-ide Barat dan
Timur. Will Durant dalam bukunya The Story of Philosophy
menjelaskan bahwa filsafat adalah "pencarian abadi manusia untuk memahami dirinya sendiri
dalam kaitannya dengan dunia yang lebih besar."⁴
1.4. Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan aliran-aliran filsafat yang berkembang berdasarkan periode sejarah.
Dengan memahami konteks historis dan pemikiran yang melatarbelakanginya,
pembaca diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pengaruh
filsafat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia secara
keseluruhan.
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
terjemahan Norman Kemp Smith (New York: St. Martin's Press, 1929), hlm. 12.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), hlm. 3-10.
[3]
Al-Farabi, Tahsil al-Sa'adah (Cairo: Dar
al-Kutub, 1961), hlm. 45.
[4]
Will Durant, The Story of Philosophy (New
York: Simon & Schuster, 1926), hlm. 1.
2.
Periode
Filsafat Kuno
Periode filsafat kuno merupakan fondasi utama dalam sejarah filsafat yang berkembang di berbagai
belahan dunia. Pada periode ini, pemikiran
filsafat difokuskan pada pencarian hakikat realitas, kosmologi, dan
hubungan antara manusia dan alam semesta. Filsafat kuno terbagi menjadi dua
wilayah besar, yaitu filsafat Barat (khususnya Yunani) dan filsafat Timur
(India, Tiongkok, dan Persia).
2.1. Filsafat Yunani Kuno
Filsafat Yunani Kuno
adalah tonggak utama perkembangan filsafat Barat. Berawal dari rasa ingin tahu terhadap alam semesta dan manusia, filsafat
Yunani berkembang melalui beberapa aliran dan tokoh utama:
2.1.1.
Naturalisme
Para filsuf awal,
dikenal sebagai pra-Sokrates, mencari
penjelasan rasional tentang
alam (physis). Mereka disebut "naturalis" karena fokus mereka
adalah pada prinsip dasar alam:
·
Thales
(624–546 SM):
Menganggap air sebagai prinsip dasar
(archê) dari semua benda.¹
·
Anaximander
(610–546 SM):
Memperkenalkan konsep "apeiron"
(yang tak terbatas) sebagai asal mula segala sesuatu.²
·
Anaximenes
(586–526 SM):
Menganggap udara sebagai elemen utama
dari realitas.³
2.1.2.
Pythagoreanisme
Pythagoras (570–495
SM) mendirikan sebuah aliran yang menekankan peran angka dalam memahami
struktur kosmos. Baginya, "angka adalah
esensi dari semua benda," dan harmoni kosmos mencerminkan
keteraturan matematika.⁴
2.1.3.
Eleatisme
Parmenides (515–450
SM) dan Zeno dari Elea (490–430 SM) memperkenalkan gagasan bahwa keberadaan
adalah tunggal dan tidak berubah. Pemikiran ini menolak perubahan sebagai ilusi
dan bertentangan dengan pemahaman sehari-hari.⁵
2.1.4.
Sofisme
Sofisme merupakan
aliran yang fokus pada relativitas kebenaran dan retorika. Protagoras
(490–420 SM) terkenal dengan pernyataannya, "Manusia adalah ukuran
segala sesuatu."⁶
2.1.5.
Idealisme
Plato
(427–347 SM) memperkenalkan konsep dunia ide sebagai realitas tertinggi. Dalam
dialognya, The
Republic, ia menyampaikan teori tentang "dunia bayangan"
yang hanya dapat dipahami melalui akal.⁷
2.1.6.
Empirisme
Aristotle
(384–322 SM), murid Plato, mengembangkan pendekatan empiris dalam filsafat,
memandang pengalaman indrawi sebagai kunci untuk memahami dunia. Dalam bukunya,
Metaphysics,
ia mendefinisikan filsafat sebagai "pengetahuan tentang sebab-sebab
pertama."⁸
2.2. Filsafat Timur Kuno
Di Timur, filsafat
berkembang dengan karakteristik yang berbeda, berfokus pada harmoni,
spiritualitas, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
2.2.1.
Filsafat
India
·
Hinduisme:
Mengajarkan konsep Dharma, Karma, dan
Moksha. Kitab-kitab seperti Upanishad dan Bhagavad
Gita menjadi dasar pemikiran filsafat Hindu.⁹
·
Buddhisme:
Didirikan oleh Siddhartha Gautama
(563–483 SM), yang menekankan empat kebenaran mulia dan jalan tengah untuk
mencapai Nirvana.¹⁰
·
Jainisme:
Mahavira (599–527 SM) mengajarkan ahimsa
(tanpa kekerasan) dan penyangkalan diri sebagai cara untuk mencapai
pembebasan.¹¹
2.2.2.
Filsafat
Tiongkok
·
Konfusianisme:
Diajarkan oleh Kong Fuzi (Confucius,
551–479 SM), yang menekankan etika sosial, tata krama, dan hubungan manusia
dengan masyarakat.¹²
·
Taoisme:
Diajarkan oleh Laozi (abad ke-6 SM),
yang menekankan harmoni dengan alam dan penghayatan Tao (jalan).¹³
2.2.3.
Filsafat
Persia
Zoroastrianisme
adalah sistem filsafat dan agama yang didirikan oleh Zoroaster (abad ke-6 SM).
Pemikirannya berpusat pada dualisme antara kebaikan (Ahura Mazda) dan kejahatan
(Angra Mainyu).¹⁴
Signifikansi Filsafat Kuno
Filsafat kuno tidak
hanya menjadi dasar bagi pemikiran filsafat modern tetapi juga memengaruhi
berbagai disiplin ilmu, seperti fisika, matematika, etika, dan politik.
Pemikiran pada periode ini membentuk kerangka awal bagi eksplorasi kebenaran
yang terus berkembang hingga era kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Diogenes Laërtius, Lives of Eminent Philosophers,
trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), hlm. 28.
[2]
Ibid., hlm. 34.
[3]
Ibid., hlm. 38.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1908), hlm. 132.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome
(New York: Image Books, 1993), hlm. 56.
[6]
Protagoras, Fragments, trans. Kathleen Freeman
(Cambridge: Harvard University Press, 1948), hlm. 23.
[7]
Plato, The Republic, trans. Benjamin
Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1888), hlm. 74.
[8]
Aristotle, Metaphysics, hlm. 101.
[9]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy: Volume I (New
Delhi: Oxford University Press, 2008), hlm. 56.
[10]
Edward Conze, Buddhist Thought in India (London:
Allen & Unwin, 1962), hlm. 78.
[11]
Mohan Lal Mehta, Jain Philosophy: An Introduction
(New Delhi: Motilal Banarsidass, 1970), hlm. 12.
[12]
Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley
(London: Allen & Unwin, 1938), hlm. 54.
[13]
Laozi, Tao Te Ching, trans. D.C. Lau (New
York: Penguin Books, 1963), hlm. 23.
[14]
Mary Boyce, Zoroastrians: Their Religious Beliefs and Practices
(London: Routledge, 2001), hlm. 8.
3.
Periode
Filsafat Abad Pertengahan
Periode filsafat abad pertengahan, yang berlangsung kira-kira dari abad ke-5 hingga ke-15,
ditandai oleh dominasi agama dalam kehidupan sosial, politik, dan intelektual.
Dalam konteks ini, filsafat
menjadi instrumen untuk memahami dan memperkuat keyakinan agama. Periode ini
mengintegrasikan pemikiran Yunani dan Romawi kuno dengan doktrin-doktrin
keagamaan, khususnya Kristen, Islam, dan Yahudi.
Ciri Khas Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan berfokus pada hubungan antara iman dan akal (fides et ratio).
Sebagian besar filsuf abad ini berusaha menjelaskan dogma agama dengan
menggunakan kerangka rasional dari filsafat klasik, seperti karya Plato dan
Aristoteles. Menurut Étienne Gilson, filsafat abad pertengahan adalah "upaya untuk memahami wahyu ilahi melalui akal
manusia."¹
3.1. Skolastik
Skolastik adalah metode
filsafat yang berkembang di Eropa Barat. Metode ini menekankan logika
deduktif, analisis sistematis, dan sintesis antara filsafat dan
teologi. Para filsuf skolastik utama meliputi:
3.1.1.
St.
Augustine (354–430)
St. Augustine
memadukan filsafat
Neo-Platonisme dengan ajaran Kristen. Dalam karyanya, Confessions
dan City of
God, ia menekankan bahwa kebenaran tertinggi hanya dapat ditemukan
dalam Tuhan.² Ia juga memperkenalkan konsep credo ut intelligam ("Saya
percaya agar saya memahami"), yang menjadi dasar pemikiran skolastik.³
3.1.2.
Boethius
(480–524)
Melalui karyanya, The Consolation of Philosophy,
Boethius memperkenalkan pemikiran Yunani, terutama Aristoteles, kepada dunia
Kristen. Ia menekankan konsep harmoni antara kebijaksanaan duniawi dan ilahi.⁴
3.1.3.
St.
Thomas Aquinas (1225–1274)
Sebagai salah satu
filsuf skolastik terbesar, Aquinas mengintegrasikan ajaran Aristoteles dengan
teologi Kristen dalam karyanya, Summa Theologica. Ia memperkenalkan
lima argumen keberadaan Tuhan (quinque viae), yang menekankan
peran akal dalam memahami wahyu ilahi.⁵
3.2. Neo-Platonisme
Neo-Platonisme
adalah aliran
filsafat yang didirikan oleh Plotinus (205–270) dan berkembang dalam
filsafat abad pertengahan. Konsep utamanya adalah bahwa segala sesuatu berasal
dari "Yang Satu" (The One) dan kembali kepada-Nya. Pemikiran Neo-Platonisme diadaptasi oleh filsuf Kristen, Islam, dan Yahudi.⁶
·
Pseudo-Dionysius
Areopagita (abad ke-5): Menjelaskan konsep "teologi
negatif," yaitu gagasan bahwa Tuhan tidak dapat dipahami melalui
kata-kata melainkan melalui pengalaman mistik.⁷
3.3. Pengaruh Filsafat Islam
Filsafat
Islam memainkan peran besar dalam periode abad pertengahan, terutama dalam
menjembatani pemikiran Yunani dengan dunia Barat. Para filsuf Muslim tidak
hanya menerjemahkan karya-karya Plato dan Aristoteles tetapi juga mengembangkan
ide-ide baru:
3.3.1.
Al-Farabi
(872–950)
Dikenal sebagai
"Guru Kedua" setelah Aristoteles, Al-Farabi menyusun teori
politik dan metafisika yang memadukan filsafat Yunani dengan doktrin Islam.
Dalam karyanya, Al-Madina al-Fadila (Kota Utama),
ia menjelaskan pandangan tentang masyarakat ideal.⁸
3.3.2.
Ibn
Sina (Avicenna) (980–1037)
Ibn Sina
mengembangkan teori metafisika yang menjelaskan hubungan antara keberadaan dan
esensi. Bukunya, Kitab al-Shifa' (The Book of
Healing), menjadi rujukan penting dalam metafisika
dan filsafat
ilmu.⁹
3.3.3.
Al-Ghazali
(1058–1111)
Dalam Tahafut
al-Falasifa (Inkoherensi Para Filosof), Al-Ghazali mengkritik
filsafat Yunani, terutama Neo-Platonisme, karena dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam.¹⁰
3.3.4.
Ibn
Rushd (Averroes) (1126–1198)
Sebagai pendukung
Aristotelianisme, Ibn Rushd menulis Tahafut al-Tahafut (Inkoherensi
Inkoherensi), yang membela filsafat terhadap
kritik Al-Ghazali. Ia juga menekankan kompatibilitas antara agama dan filsafat.¹¹
3.4. Pengaruh Filsafat Yahudi
Filsuf Yahudi,
seperti Maimonides (1138–1204), juga berkontribusi pada filsafat abad pertengahan. Dalam bukunya, Guide for the Perplexed, Maimonides
menjelaskan pentingnya akal dalam memahami wahyu, dengan tetap menekankan
doktrin monoteisme.¹²
Signifikansi Periode Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan menyediakan kerangka intelektual yang menjadi dasar bagi
perkembangan filsafat modern. Integrasi pemikiran Yunani dengan tradisi agama
membuka jalan bagi Renaisans dan memperkaya perdebatan tentang hubungan antara
agama, ilmu pengetahuan, dan akal.
Catatan Kaki
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), hlm. 5.
[2]
St. Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), hlm. 45.
[3]
St. Augustine, City of God, trans. Marcus Dods
(New York: Modern Library, 1950), hlm. 129.
[4]
Boethius, The Consolation of Philosophy,
trans. V.E. Watts (London: Penguin Classics, 1999), hlm. 23.
[5]
St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), hlm. 56.
[6]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 1 - Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), hlm. 245.
[7]
Pseudo-Dionysius, The Mystical Theology, trans. C.E.
Rolt (London: SPCK, 1920), hlm. 12.
[8]
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, trans. Richard
Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), hlm. 21.
[9]
Ibn Sina, The Metaphysics of the Healing,
trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), hlm. 89.
[10]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), hlm.
35.
[11]
Ibn Rushd, The Incoherence of the Incoherence,
trans. Simon van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), hlm. 87.
[12]
Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans.
Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), hlm. 35.
4.
Periode
Filsafat Modern
Periode filsafat modern berlangsung dari abad ke-16 hingga abad ke-18, ditandai oleh pergeseran
besar dari paradigma teosentris (berpusat pada Tuhan) ke paradigma
antroposentris (berpusat pada manusia). Filsafat modern lahir dari pergolakan
intelektual seperti Renaisans, Reformasi Protestan, dan Revolusi Ilmiah. Fokus utama
filsafat modern adalah pada epistemologi (teori pengetahuan) dan metafisika,
dengan mengedepankan pendekatan rasionalisme dan empirisme sebagai metode
utama.
Ciri Khas Periode Filsafat Modern
Filsafat modern
ditandai oleh penolakan terhadap otoritas tradisional dan pencarian pengetahuan
melalui akal dan pengalaman. Menurut Richard Tarnas, "filsafat
modern adalah pemberontakan terhadap dogma abad pertengahan, dengan keyakinan
bahwa akal manusia dapat memahami dan menguasai dunia."¹
4.1. Rasionalisme
Rasionalisme adalah
aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh terutama melalui akal,
bukan pengalaman indrawi. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah:
4.1.1.
René
Descartes (1596–1650)
·
Descartes dianggap sebagai
"Bapak Filsafat Modern" karena pendekatan metodologisnya yang
sistematis. Dalam karyanya, Meditations on First Philosophy, ia
memulai dengan keraguan radikal (methodic doubt) hingga menemukan dasar
kepastian: "Cogito,
ergo sum" (Saya berpikir, maka
saya ada).²
·
Descartes juga membangun
dualisme substansi, yaitu pemisahan antara pikiran (res cogitans) dan materi (res
extensa).³
4.1.2.
Baruch
Spinoza (1632–1677)
·
Dalam Ethica,
Spinoza memperkenalkan panteisme, yaitu pandangan bahwa Tuhan dan alam adalah
satu dan sama.⁴ Ia menolak konsep dualisme Descartes dan menganggap realitas
sebagai substansi tunggal.⁵
4.1.3.
Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646–1716)
·
Leibniz mengembangkan
konsep monad, yaitu entitas dasar yang tidak terbagi. Dalam bukunya, Monadology,
ia menjelaskan bahwa dunia adalah hasil harmoni prabentuk (pre-established
harmony) yang diciptakan oleh Tuhan.⁶
4.2. Empirisme
Empirisme adalah
aliran yang menekankan pengalaman indrawi sebagai sumber utama pengetahuan.
Tokoh-tokoh utama empirisme adalah:
4.2.1.
John
Locke (1632–1704)
·
Locke dalam An Essay
Concerning Human Understanding menjelaskan konsep tabula rasa,
yaitu bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong, dan semua pengetahuan
berasal dari pengalaman.⁷
·
Ia membedakan antara
kualitas primer (seperti bentuk dan berat) dan kualitas sekunder (seperti warna
dan rasa).⁸
4.2.2.
George
Berkeley (1685–1753)
·
Berkeley menolak keberadaan
materi independen. Dalam bukunya, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ia menyatakan "esse est percipi"
(ada adalah untuk dilihat). Ia berpendapat bahwa hanya persepsi yang nyata.⁹
4.2.3.
David
Hume (1711–1776)
·
Dalam An
Enquiry Concerning Human Understanding, Hume menolak kausalitas
sebagai hubungan yang diperlukan, menganggapnya sebagai kebiasaan pikiran
belaka.¹⁰ Ia juga memperkenalkan skeptisisme radikal terhadap metafisika.¹¹
4.3. Kritisisme
Kritisisme adalah
sintesis antara rasionalisme dan empirisme yang dirumuskan oleh Immanuel
Kant (1724–1804). Dalam karyanya, Critique of Pure Reason, Kant
menjelaskan bahwa akal dan pengalaman bekerja bersama untuk menghasilkan
pengetahuan.¹²
·
Kant membedakan antara
fenomena (dunia sebagaimana tampak) dan noumena (dunia sebagaimana adanya).¹³
·
Ia juga mengembangkan
imperatif kategoris dalam etika, yaitu prinsip moral universal yang berlaku
tanpa syarat.¹⁴
4.4. Materialisme
Materialisme modern
lahir dari pandangan bahwa hanya materi yang nyata. Thomas
Hobbes (1588–1679), dalam bukunya Leviathan, mengemukakan bahwa
manusia adalah makhluk material dan perilakunya dapat dijelaskan melalui hukum
alam.¹⁵
4.5. Eksistensialisme Awal
Eksistensialisme
modern memiliki akar pada periode ini, dengan tokoh seperti:
4.5.1.
Søren
Kierkegaard (1813–1855)
·
Kierkegaard menekankan
pentingnya keberadaan individu dan keputusan pribadi dalam menghadapi
kehidupan.¹⁶
4.5.2.
Friedrich
Nietzsche (1844–1900)
·
Nietzsche menolak moralitas
tradisional dan memperkenalkan konsep Übermensch (manusia super) serta
kritik terhadap agama.¹⁷
Signifikansi Filsafat Modern
Filsafat modern
membuka jalan bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, etika, dan politik.
Para filsuf pada periode ini tidak hanya menggali dasar-dasar pengetahuan
tetapi juga mengajukan pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia,
moralitas, dan kebebasan. Pandangan mereka tetap relevan dalam menjawab
tantangan intelektual dunia kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), hlm. 275.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 18.
[3]
Ibid., hlm. 25.
[4]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), hlm. 36.
[5]
Ibid., hlm. 44.
[6]
G.W. Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), hlm. 21.
[7]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), hlm. 104.
[8]
Ibid., hlm. 121.
[9]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press,
1998), hlm. 67.
[10]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1975), hlm. 32.
[11]
Ibid., hlm. 50.
[12]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Norman Kemp Smith (New York: St. Martin's Press, 1929), hlm. 56.
[13]
Ibid., hlm. 91.
[14]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 31.
[15]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 82.
[16]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair
Hannay (London: Penguin Classics, 1985), hlm. 18.
[17]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R.J.
Hollingdale (London: Penguin Classics, 1961), hlm. 45.
5.
Periode
Filsafat Kontemporer
Periode filsafat kontemporer mencakup pemikiran
filosofis sejak abad ke-19 hingga saat ini. Pada masa ini, filsafat ditandai oleh diversifikasi aliran dan metode, pengaruh perubahan
sosial-politik, serta hubungan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat kontemporer tidak hanya berupaya menjawab pertanyaan tradisional tentang
eksistensi dan pengetahuan, tetapi juga berfokus pada isu-isu modern, seperti
bahasa, kekuasaan, gender, dan globalisasi.
Ciri Khas Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer bercirikan pluralitas
pendekatan, dengan fokus pada kritik terhadap narasi besar yang dominan di periode sebelumnya. Menurut Richard Rorty,
"filsafat kontemporer adalah upaya untuk mendekonstruksi fondasi
metafisika yang telah menjadi pilar peradaban Barat selama berabad-abad."¹
5.1. Positivisme Logis
Positivisme logis berkembang di awal abad ke-20,
berupaya menghubungkan filsafat dengan metode ilmiah. Aliran ini menyatakan bahwa pernyataan bermakna adalah yang dapat diverifikasi secara empiris atau
bersifat analitis.
·
Vienna Circle:
Kelompok
filsuf ini, termasuk Moritz Schlick dan Rudolf Carnap, menekankan
pentingnya logika simbolis dan verifikasi empiris.²
·
A.J. Ayer
(1910–1989):
Dalam Language,
Truth, and Logic, ia menyatakan bahwa metafisika adalah nonsens karena
tidak dapat diverifikasi.³
5.2. Pragmatism
Pragmatisme adalah aliran yang menekankan hasil
praktis dari ide-ide sebagai kriteria kebenaran.
·
Charles Sanders Peirce (1839–1914):
Pendiri
pragmatisme, yang menekankan metode ilmiah sebagai alat untuk memahami
realitas.⁴
·
William James
(1842–1910):
Dalam Pragmatism,
ia menyatakan bahwa kebenaran adalah "apa yang terbukti bermanfaat dalam
praktik."⁵
·
John Dewey
(1859–1952):
Menekankan
pendidikan dan demokrasi sebagai alat untuk transformasi sosial.⁶
5.3. Fenomenologi
Fenomenologi adalah studi tentang pengalaman
subyektif dan kesadaran, berupaya memahami fenomena sebagaimana yang dialami langsung.
·
Edmund Husserl
(1859–1938):
Pendiri
fenomenologi, ia memperkenalkan konsep epoche (penangguhan asumsi) untuk
memahami esensi pengalaman.⁷
·
Martin Heidegger
(1889–1976):
Dalam Being
and Time, ia mengeksplorasi makna keberadaan (Being) dan kecemasan
eksistensial manusia.⁸
5.4. Eksistensialisme
Eksistensialisme berkembang sebagai tanggapan
terhadap absurditas kehidupan dan kebebasan individu.
·
Jean-Paul Sartre
(1905–1980):
Dalam Being
and Nothingness, ia menekankan kebebasan radikal manusia dan tanggung jawab
eksistensial.⁹
·
Albert Camus (1913–1960):
Dalam The
Myth of Sisyphus, ia menggambarkan kehidupan sebagai absurd, tetapi
menekankan pemberontakan sebagai respons bermakna.¹⁰
5.5. Strukturalisme dan Post-Strukturalisme
Strukturalisme menekankan struktur bahasa dan
budaya, sementara post-strukturalisme mengkritik konsep ini dan memperkenalkan
pendekatan dekonstruktif.
·
Ferdinand de Saussure
(1857–1913):
Bapak
linguistik struktural, yang menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda.¹¹
·
Michel Foucault
(1926–1984):
Dalam Discipline
and Punish, ia mengeksplorasi hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.¹²
·
Jacques Derrida
(1930–2004):
Pendiri
dekonstruksi, yang menunjukkan ambiguitas dalam teks melalui analisis kritis.¹³
5.6. Hermeneutika
Hermeneutika adalah teori dan metodologi interpretasi, khususnya teks.
·
Hans-Georg Gadamer
(1900–2002):
Dalam Truth
and Method, ia menekankan bahwa pemahaman adalah dialog antara tradisi dan
pengalaman individu.¹⁴
·
Paul Ricoeur
(1913–2005):
Ia
mengembangkan hermeneutika simbol yang menekankan pentingnya narasi dalam membentuk
identitas manusia.¹⁵
5.7. Postmodernisme
Postmodernisme adalah kritik terhadap narasi besar,
otoritas tunggal, dan klaim kebenaran universal.
·
Jean-François Lyotard
(1924–1998):
Dalam The
Postmodern Condition, ia mendefinisikan postmodernisme sebagai
"ketidakpercayaan terhadap metanarasi."¹⁶
·
Baudrillard:
Menggambarkan
dunia modern sebagai "simulasi" di mana realitas telah digantikan
oleh representasi.¹⁷
Signifikansi Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer telah memperluas cakrawala
pemikiran manusia dengan memasukkan isu-isu seperti feminisme, dekolonialisasi, dan keadilan sosial. Dengan
kritik terhadap modernitas, filsafat kontemporer menawarkan alat untuk
menganalisis kompleksitas dunia saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), hlm. 20.
[2]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge,
trans. Albert Blumberg (New York: Springer, 1974), hlm. 12.
[3]
A.J. Ayer, Language, Truth, and Logic
(London: Gollancz, 1936), hlm. 38.
[4]
Charles Sanders Peirce, Collected Papers of
Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne (Cambridge: Harvard
University Press, 1931), hlm. 104.
[5]
William James, Pragmatism (Cambridge:
Harvard University Press, 1975), hlm. 45.
[6]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), hlm. 21.
[7]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), hlm.
58.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie (New York: Harper & Row, 1962), hlm. 123.
[9]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), hlm. 62.
[10]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin
O'Brien (New York: Vintage, 1991), hlm. 89.
[11]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959),
hlm. 27.
[12]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon, 1977), hlm.
42.
[13]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
hlm. 89.
[14]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer (New York: Bloomsbury, 2013), hlm. 210.
[15]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, trans.
Kathleen McLaughlin (Chicago: University of Chicago Press, 1984), hlm. 56.
[16]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), hlm. xxiv.
[17]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
hlm. 13.
6.
Aliran-Aliran
Filsafat Timur Modern
Filsafat Timur modern mencerminkan perkembangan pemikiran yang berakar pada tradisi spiritual
dan budaya khas Timur, namun beradaptasi dengan tantangan modernitas,
kolonialisme, dan globalisasi. Aliran-aliran ini tidak hanya melestarikan
ajaran klasik tetapi juga memberikan kontribusi terhadap diskursus filsafat
dunia. Filsafat Timur modern berkembang di India, Tiongkok, Jepang, dan dunia
Islam dengan fokus pada reformasi sosial, politik, dan spiritual.
6.1. Filsafat India Modern
Filsafat India
modern menonjolkan perpaduan antara tradisi Veda dengan gagasan pembaruan
sosial dan politik.
6.1.1.
Swami
Vivekananda (1863–1902)
·
Sebagai murid Ramakrishna,
Vivekananda memperkenalkan filsafat Advaita Vedanta ke dunia Barat. Dalam
pidatonya di Parliament of the World's Religions
tahun 1893, ia menekankan kesatuan agama dan pentingnya spiritualitas dalam
membangun masyarakat modern.¹
·
Karyanya Raja
Yoga menghubungkan meditasi tradisional India dengan psikologi
modern.²
6.1.2.
Mahatma
Gandhi (1869–1948)
·
Gandhi mengembangkan
filsafat Ahimsa (tanpa kekerasan) dan Satyagraha
(kekuatan kebenaran) sebagai alat perjuangan politik. Ia menggabungkan prinsip
moral Hindu dengan pandangan etis universal.³
·
Dalam Hind
Swaraj, ia mengkritik modernitas Barat yang materialistis,
mendukung kehidupan sederhana, dan kemandirian lokal.⁴
6.1.3.
Sri
Aurobindo (1872–1950)
·
Aurobindo memperkenalkan
filsafat integratif yang menggabungkan spiritualitas dengan evolusi kesadaran
manusia. Dalam karyanya, The Life Divine, ia menjelaskan
transformasi spiritual melalui pendekatan supramental.⁵
6.2. Filsafat Jepang Modern
Filsafat Jepang
modern mencerminkan adaptasi filsafat Barat dengan tradisi Zen dan Shinto.
6.2.1.
Nishida
Kitaro (1870–1945)
·
Nishida adalah pendiri
Kyoto School, yang menggabungkan filsafat Barat (Kant, Hegel) dengan Zen. Dalam
karyanya, An
Inquiry into the Good, ia memperkenalkan konsep "kesadaran
murni" sebagai dasar keberadaan manusia.⁶
·
Pemikirannya menginspirasi
dialog lintas budaya antara Timur dan Barat.⁷
6.2.2.
Keiji
Nishitani (1900–1990)
·
Dalam Religion
and Nothingness, Nishitani mengeksplorasi hubungan antara kehampaan
(emptiness) dalam Zen dan nihilisme Barat, menekankan pentingnya spiritualitas
dalam kehidupan modern.⁸
6.3. Filsafat Tiongkok Modern
Filsafat Tiongkok
modern mencerminkan upaya untuk melestarikan tradisi Konfusianisme dan Taoisme
sambil menghadapi tantangan modernitas.
6.3.1.
Liang
Shuming (1893–1988)
·
Liang dikenal sebagai
“Konfusius Modern” karena karyanya yang menghidupkan kembali nilai-nilai
Konfusianisme di era modern. Dalam The Culture and Philosophy of East and West,
ia mengkritik materialisme Barat dan mendukung spiritualitas Timur.⁹
6.3.2.
Feng
Youlan (1895–1990)
·
Feng mengintegrasikan
filsafat Tiongkok klasik dengan filsafat Barat dalam A New
Treatise on Neo-Confucianism. Ia berupaya memperbarui filsafat
Konfusianisme untuk menghadapi tantangan zaman.¹⁰
6.4. Filsafat Islam Modern
Filsafat Islam
modern berkembang sebagai respons terhadap modernitas dan kolonialisme, dengan
menekankan pentingnya reformasi sosial, politik, dan intelektual.
6.4.1.
Muhammad
Abduh (1849–1905)
·
Sebagai reformis Islam,
Abduh memadukan pemikiran modern dengan ajaran Islam tradisional. Dalam Risalat
al-Tawhid, ia menekankan pentingnya akal dalam memahami agama.¹¹
·
Ia mendorong pendidikan dan
ijtihad untuk melawan taqlid yang stagnan.¹²
6.4.2.
Muhammad
Iqbal (1877–1938)
·
Iqbal, dikenal sebagai
"Filsuf Penyair," menghidupkan kembali filsafat
Islam dengan memadukan mistisisme dengan pemikiran modern. Dalam The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, ia menekankan
dinamisme ijtihad sebagai kunci kebangkitan umat Islam.¹³
·
Ia juga mempromosikan
konsep Khudi
(diri) sebagai kesadaran individu yang bertanggung jawab secara moral.¹⁴
6.4.3.
Ali
Shariati (1933–1977)
·
Sebagai filsuf Iran,
Shariati mengembangkan filsafat revolusioner yang memadukan Islam dengan teori
sosial modern. Dalam Man and Islam, ia menekankan
pentingnya peran individu dalam memperjuangkan keadilan sosial.¹⁵
Signifikansi Filsafat Timur Modern
Filsafat Timur modern menjembatani tradisi spiritual dengan tantangan zaman. Ia memberikan
wawasan alternatif terhadap modernitas Barat, terutama dalam hal spiritualitas,
etika, dan harmoni sosial. Pemikiran Timur modern juga menjadi alat penting
dalam perjuangan melawan kolonialisme dan eksploitasi, sembari menawarkan model
pembangunan yang berakar pada nilai-nilai lokal.
Catatan Kaki
[1]
Swami Vivekananda, The Complete Works of Swami Vivekananda
(Calcutta: Advaita Ashrama, 1957), hlm. 101.
[2]
Ibid., hlm. 112.
[3]
Mahatma Gandhi, Hind Swaraj, trans. Anthony Parel
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 45.
[4]
Ibid., hlm. 78.
[5]
Sri Aurobindo, The Life Divine (Pondicherry: Sri
Aurobindo Ashram Press, 1955), hlm. 89.
[6]
Nishida Kitaro, An Inquiry into the Good, trans.
Masao Abe (New Haven: Yale University Press, 1990), hlm. 15.
[7]
Robert E. Carter, The Japanese Arts and Self-Cultivation
(Albany: SUNY Press, 2008), hlm. 35.
[8]
Keiji Nishitani, Religion and Nothingness, trans.
Jan Van Bragt (Berkeley: University of California Press, 1982), hlm. 112.
[9]
Liang Shuming, The Culture and Philosophy of East and West
(Beijing: Peking University Press, 1923), hlm. 67.
[10]
Feng Youlan, A New Treatise on Neo-Confucianism,
trans. Deborah Sommer (Honolulu: University of Hawaii Press, 1997), hlm. 34.
[11]
Muhammad Abduh, Risalat al-Tawhid, trans. Ishaq
Musa'ad (Kairo: Al-Manar, 1897), hlm. 56.
[12]
Ibid., hlm. 78.
[13]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Ashraf Press, 1930), hlm. 112.
[14]
Annemarie Schimmel, Gabriel's Wing: A Study into the Religious
Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), hlm. 87.
[15]
Ali Shariati, Man and Islam, trans. Fatollah
Marjani (Houston: Free Islamic Literature, 1981), hlm. 54.
7.
Perbandingan
dan Sinergi Antara Aliran Filsafat
Perbandingan antara
berbagai aliran
filsafat menunjukkan bagaimana pandangan tentang realitas, pengetahuan, dan
moralitas berkembang di berbagai konteks sejarah dan budaya. Meskipun
masing-masing aliran memiliki karakteristik unik, interaksi di antara mereka
telah menciptakan sinergi yang memperkaya perkembangan filsafat global.
7.1. Perbandingan Aliran Filsafat Barat dan Timur
Filsafat Barat dan
Timur memiliki pendekatan yang berbeda terhadap realitas dan pengetahuan.
Namun, keduanya juga memiliki kesamaan dalam pencarian makna hidup dan
kebenaran.
7.1.1.
Fokus
Ontologi dan Epistemologi
·
Filsafat
Barat:
Filsafat Barat cenderung analitis dan
logis, dengan fokus pada ontologi (hakikat keberadaan) dan epistemologi (teori pengetahuan). Sebagai contoh, Aristoteles dalam Metaphysics membahas "substansi"
sebagai dasar segala sesuatu, sementara Immanuel Kant dalam Critique
of Pure Reason mengeksplorasi batas-batas akal manusia.¹
·
Filsafat
Timur:
Sebaliknya, filsafat Timur lebih
intuitif dan holistik. Misalnya, Konfusianisme menekankan harmoni sosial dan etika,
sementara Advaita Vedanta di India mengajarkan non-dualisme, yaitu kesatuan
antara individu dan Tuhan.²
7.1.2.
Pandangan
tentang Manusia dan Alam
·
Filsafat
Barat:
Cenderung menempatkan manusia sebagai
pusat (antroposentris). Pemikiran modern seperti Descartes dalam Meditations
memisahkan manusia dari alam melalui dualisme pikiran dan materi.³
·
Filsafat
Timur:
Menekankan hubungan yang harmonis antara
manusia dan alam. Taoisme, misalnya, mengajarkan untuk hidup selaras dengan Tao
(jalan alam).⁴
7.1.3.
Metode
Pengetahuan
·
Barat:
Pengetahuan diperoleh melalui akal
(rasionalisme) atau pengalaman empiris (empirisme).⁵
·
Timur:
Pengetahuan sering diperoleh melalui
meditasi, intuisi, dan pengalaman mistik, seperti dalam filsafat Zen dan
Vedanta.⁶
7.2. Perbandingan Aliran Rasionalisme dan Empirisme
·
Rasionalisme:
Berpendapat bahwa akal adalah sumber
utama pengetahuan. Tokoh seperti Descartes dan Spinoza menekankan kebenaran
universal yang dapat dipahami melalui logika.⁷
·
Empirisme:
Menganggap pengalaman sebagai dasar
pengetahuan. Locke dan Hume percaya bahwa semua ide berasal dari indra.⁸
Sinergi:
Kant mensintesis rasionalisme dan empirisme dalam Critique of Pure Reason, dengan
menyatakan bahwa pengetahuan berasal dari kombinasi intuisi inderawi dan konsep
akal.⁹
7.3. Perbandingan Eksistensialisme dan Strukturalisme
Menekankan kebebasan individu dan
pengalaman subjektif. Sartre menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas
maknanya sendiri.¹⁰
·
Strukturalisme:
Menganggap manusia sebagai produk
struktur budaya dan bahasa, seperti yang diungkapkan Saussure.¹¹
Sinergi:
Post-strukturalisme (Derrida dan Foucault) mengkritik pandangan struktural yang
kaku dan mengintegrasikan subjektivitas eksistensial.¹²
7.4. Perbandingan Hermeneutika dan Positivisme
·
Hermeneutika:
Fokus pada interpretasi teks dan
pengalaman manusia, seperti dalam pemikiran Gadamer dan Ricoeur.¹³
·
Positivisme:
Menekankan verifikasi empiris dan
objektivitas, seperti dalam pemikiran A.J. Ayer.¹⁴
Sinergi:
Dalam ilmu sosial, pendekatan hermeneutika memberikan dimensi interpretatif
terhadap data empiris, seperti dalam studi antropologi dan sejarah.¹⁵
7.5. Perbandingan dan Sinergi Timur dan Barat dalam
Dunia Modern
·
Kesamaan:
Kedua tradisi bertujuan untuk menjawab
pertanyaan mendasar tentang kehidupan, makna, dan tujuan manusia. Baik filsafat
Barat maupun Timur menawarkan wawasan tentang etika, epistemologi, dan
metafisika.¹⁶
·
Integrasi:
Pemikir seperti D.T. Suzuki dan Nishida
Kitaro menciptakan dialog antara filsafat Zen dan filsafat Barat. Di dunia
Islam, Muhammad Iqbal menyintesiskan sufisme dengan filsafat Nietzsche.¹⁷
Signifikansi Perbandingan dan Sinergi
Interaksi antara
berbagai aliran filsafat memperkaya pemahaman manusia tentang dunia dan
dirinya. Perbedaan pendekatan menciptakan keragaman perspektif, sementara
sinergi memungkinkan pengembangan paradigma baru yang lebih inklusif. Sebagai
contoh, dalam era globalisasi, filsafat
menawarkan alat untuk mengatasi tantangan lintas budaya, seperti etika
lingkungan dan keadilan sosial.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1908), hlm. 101.
[2]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy: Volume I (New
Delhi: Oxford University Press, 2008), hlm. 56.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 25.
[4]
Laozi, Tao Te Ching, trans. D.C. Lau (New
York: Penguin Books, 1963), hlm. 12.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy
(New York: Image Books, 1993), hlm. 45.
[6]
Daisetz T. Suzuki, Zen and Japanese Culture
(Princeton: Princeton University Press, 1973), hlm. 78.
[7]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London:
Penguin Classics, 1996), hlm. 36.
[8]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), hlm. 104.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Norman Kemp Smith (New York: St. Martin's Press, 1929), hlm. 56.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), hlm. 62.
[11]
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics,
trans. Wade Baskin (New York: Philosophical Library, 1959), hlm. 27.
[12]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri
Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), hlm. 89.
[13]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel
Weinsheimer (New York: Bloomsbury, 2013), hlm. 210.
[14]
A.J. Ayer, Language, Truth, and Logic (London:
Gollancz, 1936), hlm. 38.
[15]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New
York: Basic Books, 1973), hlm. 12.
[16]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), hlm. 315.
[17]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Ashraf Press, 1930), hlm. 112.
8.
Kesimpulan
Pembahasan tentang aliran-aliran filsafat berdasarkan sejarah dan periode filsafat
menunjukkan perkembangan pemikiran manusia yang kaya dan kompleks. Setiap
periode filsafat, mulai dari filsafat kuno hingga kontemporer, memberikan kontribusi unik terhadap cara manusia memahami
realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai etika. Meskipun aliran-aliran filsafat
berbeda dalam fokus dan metode, semua berupaya menjawab pertanyaan mendasar
tentang eksistensi, kebenaran, dan tujuan hidup.
8.1. Kontribusi Setiap Periode Filsafat
1)
Filsafat Kuno:
Menawarkan
landasan metafisika dan kosmologi. Pemikiran Yunani kuno, seperti Plato dan
Aristoteles, serta tradisi Timur, seperti Taoisme dan Hinduisme, memberikan dasar
untuk memahami hubungan manusia dengan alam dan kosmos.¹
Memadukan
keimanan dengan akal, menciptakan sintesis yang memperkuat tradisi keagamaan di
Barat (Kristen) dan Timur (Islam dan Yahudi).²
3)
Filsafat Modern:
Menggeser fokus
ke rasionalisme dan empirisme, menghasilkan paradigma baru dalam sains dan
pemikiran politik yang menekankan kebebasan individu dan kemajuan masyarakat.³
Menjelajahi
isu-isu seperti bahasa, kekuasaan, dan keberagaman budaya, serta memperkenalkan
kritik terhadap narasi besar modernitas.⁴
Menawarkan
alternatif terhadap modernitas Barat dengan menekankan harmoni spiritual,
reformasi sosial, dan hubungan manusia dengan alam.⁵
8.2. Kesamaan dan Sinergi Antar Aliran
Meskipun terdapat perbedaan signifikan, aliran-aliran filsafat memiliki kesamaan dalam mengeksplorasi pertanyaan
universal tentang kehidupan. Interaksi antara tradisi Barat dan Timur, seperti yang terlihat dalam karya para
filsuf modern seperti Muhammad Iqbal dan Nishida Kitaro, menunjukkan potensi
sinergi yang dapat memperkaya pemahaman global.⁶
8.3. Relevansi Filsafat di Era Modern
Dalam dunia yang semakin kompleks akibat
globalisasi, filsafat tetap relevan sebagai alat untuk menganalisis isu-isu etika, politik, dan lingkungan. Pendekatan lintas
budaya yang mengintegrasikan tradisi Barat dan Timur memungkinkan manusia untuk
memahami tantangan modern dengan cara yang lebih holistik.⁷
·
Dalam Pendidikan:
Filsafat
mengajarkan berpikir kritis, yang penting untuk menghadapi tantangan global.⁸
·
Dalam Etika dan Politik:
Filsafat
menawarkan kerangka kerja untuk membangun keadilan sosial, seperti yang
diajukan oleh pemikir kontemporer seperti Amartya Sen dan Martha Nussbaum.⁹
8.4. Pentingnya Memahami Sejarah Filsafat
Sejarah filsafat adalah catatan perjalanan
intelektual manusia yang penuh warna. Dengan memahami aliran-aliran filsafat, kita tidak hanya belajar tentang ide-ide besar di
masa lalu tetapi juga mendapatkan wawasan untuk membangun masa depan yang lebih
baik.
Seperti yang dikatakan oleh Alfred North Whitehead, "Sejarah
filsafat Barat hanyalah serangkaian catatan kaki terhadap Plato."¹⁰
Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap generasi filsuf membangun pemikirannya berdasarkan
fondasi yang telah diletakkan oleh para pendahulu mereka.
Catatan Kaki
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), hlm. 10.
[2]
Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), hlm. 5.
[3]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), hlm. 275.
[4]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), hlm. xxiv.
[5]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy:
Volume II (New Delhi: Oxford University Press, 2008), hlm. 234.
[6]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Ashraf Press, 1930), hlm. 112.
[7]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 2009), hlm. 89.
[8]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(New York: Oxford University Press, 1912), hlm. 23.
[9]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice
(Cambridge: Harvard University Press, 2006), hlm. 15.
[10]
Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Free Press, 1979), hlm. 39.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1908). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth, and logic.
London: Gollancz.
Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the
principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford: Oxford University Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). New York: Vintage.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Greece and Rome. New York: Image Books.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
New York: Macmillan.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Pantheon.
Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J.
Weinsheimer, Trans.). New York: Bloomsbury.
Gilson, É. (1991). The spirit of mediaeval
philosophy. Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Hume, D. (1975). An enquiry concerning human
understanding (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press.
Iqbal, M. (1930). The reconstruction of
religious thought in Islam. Lahore: Ashraf Press.
James, W. (1975). Pragmatism. Cambridge:
Harvard University Press.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). New York: St. Martin's Press.
Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau,
Trans.). New York: Penguin Books.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Oxford University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington, Trans.). Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Maimonides. (1963). The guide for the perplexed
(S. Pines, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Nishida, K. (1990). An inquiry into the good
(M. Abe, Trans.). New Haven: Yale University Press.
Nishitani, K. (1982). Religion and nothingness
(J. Van Bragt, Trans.). Berkeley: University of California Press.
Radhakrishnan, S. (2008). Indian philosophy:
Volume I. New Delhi: Oxford University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton: Princeton University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
New York: Oxford University Press.
Saussure, F. de. (1959). Course in general linguistics
(W. Baskin, Trans.). New York: Philosophical Library.
Schlick, M. (1974). General theory of knowledge
(A. Blumberg, Trans.). New York: Springer.
Sen, A. (2009). The idea of justice.
Cambridge: Harvard University Press.
Shariati, A. (1981). Man and Islam (F.
Marjani, Trans.). Houston: Free Islamic Literature.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). London: Penguin Classics.
Suzuki, D. T. (1973). Zen and Japanese culture.
Princeton: Princeton University Press.
Tarnas, R. (1991). The passion of the western
mind. New York: Ballantine Books.
Whitehead, A. N. (1979). Process and reality.
New York: Free Press.
Lampiran: Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Sejarah dan Periode
Filsafat
1.
Periode Filsafat Kuno
1)
Naturalisme (Filsafat
Alam): Thales, Anaximander, Anaximenes.
2)
Pythagoreanisme
(Pitagorean): Pythagoras.
3)
Eleatisme:
Parmenides, Zeno.
4)
Atomisme:
Democritus, Leucippus.
5)
Sofisme (Sofistik):
Protagoras, Gorgias.
6)
Idealisme: Plato.
7)
Empirisme: Aristotle.
2.
Periode Filsafat Abad Pertengahan
1)
Skolastik: St. Thomas
Aquinas, St. Augustine.
2)
Neo-Platonisme: Plotinus,
Pseudo-Dionysius.
3)
Filsafat Islam: Al-Farabi,
Ibn Sina (Avicenna), Al-Ghazali, Ibn Rushd (Averroes).
4)
Filsafat Yahudi:
Maimonides.
3.
Periode Filsafat Modern
1)
Rasionalisme: René
Descartes, Baruch Spinoza, G.W. Leibniz.
2)
Empirisme: John
Locke, George Berkeley, David Hume.
3)
Kritisisme: Immanuel
Kant.
4)
Materialisme: Thomas
Hobbes.
5)
Eksistensialisme Awal: Søren
Kierkegaard, Friedrich Nietzsche.
4.
Periode Filsafat Kontemporer
1)
Positivisme Logis: A.J. Ayer,
Moritz Schlick.
2)
Pragmatisme: Charles
Sanders Peirce, William James, John Dewey.
3)
Fenomenologi: Edmund
Husserl, Martin Heidegger.
4)
Eksistensialisme: Jean-Paul
Sartre, Albert Camus.
5)
Strukturalisme: Ferdinand
de Saussure, Claude Lévi-Strauss.
6)
Post-Strukturalisme: Michel
Foucault, Jacques Derrida.
7)
Hermeneutika: Hans-Georg
Gadamer, Paul Ricoeur.
8)
Postmodernisme:
Jean-François Lyotard, Jean Baudrillard.
5.
Aliran-Aliran Filsafat Timur Modern
1)
Advaita Vedanta
(Non-Dualisme): Swami Vivekananda, Sri Aurobindo.
2)
Ahimsa (Tanpa
Kekerasan): Mahatma Gandhi.
3)
Neo-Konfusianisme: Liang
Shuming, Feng Youlan.
4)
Zen Buddhisme Modern: D.T.
Suzuki, Nishida Kitaro.
5)
Filsafat Islam Modern: Muhammad
Abduh, Muhammad Iqbal, Ali Shariati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar