Esensi Pendidikan dalam Tata Kelola Kegiatan oleh
Siswa di SLTA
Menuju Pembentukan
Karakter dan Kompetensi Berorganisasi
Abstrak
Artikel ini membahas esensi pendidikan dalam tata
kelola kegiatan yang dilakukan oleh siswa di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) sebagai bagian dari upaya pembentukan karakter dan kompetensi
berorganisasi. Tata kelola kegiatan siswa tidak hanya bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan teknis dalam manajemen organisasi, tetapi juga
menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai moral, disiplin, tanggung jawab, dan
kolaborasi. Pembahasan artikel mencakup tiga tahapan wajib dalam tata kelola
kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan, yang dirancang untuk
memberikan pengalaman praktis dalam manajemen kegiatan secara sistematis.
Selain itu, artikel ini mengidentifikasi tantangan-tantangan yang sering
dihadapi siswa, seperti kurangnya pemahaman tentang manajemen organisasi,
keterbatasan sumber daya, dan manajemen waktu, serta menawarkan solusi
strategis yang melibatkan pelatihan, dukungan sumber daya, dan pembinaan yang
inklusif. Dengan dukungan pembina dan guru, tata kelola kegiatan ini menjadi
wadah pendidikan holistik yang mampu menghasilkan siswa yang kompeten,
berintegritas, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.
Kata Kunci: pendidikan,
tata kelola kegiatan, siswa SLTA, manajemen organisasi, pembentukan karakter,
kompetensi berorganisasi.
1.
Pendahuluan
Pendidikan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa tetapi
juga membentuk karakter dan kompetensi praktis yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu aspek penting dari pendidikan ini adalah tata kelola kegiatan yang
dikelola langsung oleh siswa, yang dirancang untuk mendidik mereka dalam
berorganisasi, mengelola kegiatan secara tertib, dan mengadministrasikan
tugas-tugas dengan transparan. Tata kelola ini, jika dilakukan dengan baik,
berkontribusi besar pada pembentukan individu yang mandiri, bertanggung jawab,
dan berintegritas tinggi.
Kegiatan siswa di SLTA menjadi laboratorium sosial
bagi pengembangan berbagai keterampilan seperti kepemimpinan, manajemen, dan
komunikasi. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan berbasis pengalaman (experiential
learning), di mana siswa belajar melalui partisipasi aktif dalam kegiatan
nyata.¹ Melalui proses ini, siswa tidak hanya memahami teori organisasi tetapi
juga mempraktikkan nilai-nilai seperti kerja sama, disiplin, dan etika.²
Peran guru dan pembina sangat penting dalam
memastikan bahwa kegiatan ini mencapai tujuan pendidikan. Sebagai pendamping,
guru bertugas memberikan arahan tanpa menghilangkan kemandirian siswa.³ Dengan
pendekatan yang tepat, siswa dapat belajar bagaimana menyelesaikan tugas dengan
baik, mengatasi hambatan, dan mengevaluasi hasil kerja mereka secara objektif.
Dalam konteks ini, pendidikan dalam tata kelola kegiatan mencakup tiga tahapan
utama: perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.⁴
Tahapan ini tidak hanya memberikan struktur yang
jelas dalam pelaksanaan kegiatan, tetapi juga melatih siswa untuk berpikir
strategis, bekerja secara sistematis, dan mengembangkan kemampuan reflektif.
Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang menekankan pada
pengembangan potensi peserta didik agar menjadi individu yang bertakwa,
berakhlak mulia, dan memiliki keterampilan hidup yang relevan.⁵
Sebagai bagian dari penguatan budaya sekolah, tata
kelola kegiatan siswa juga menjadi medium untuk membangun tata nilai yang baik
di lingkungan sekolah. Praktik administrasi yang bersih dan transparan menjadi
pondasi untuk menciptakan generasi muda yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berbagai aspek kehidupan.⁶ Dengan demikian, tata kelola kegiatan siswa di SLTA
bukan hanya sebatas pelaksanaan teknis, tetapi juga menjadi bagian penting dari
pembentukan karakter dan kompetensi siswa.
Catatan Kaki
[1]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience
as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1984), 41.
[2]
John Dewey, Democracy and Education: An
Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916),
79–80.
[3]
Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as
Facilitators in Student-Led Activities,” Journal of Educational Leadership
12, no. 3 (2020): 134–36.
[4]
Ministry of Education and Culture of Indonesia,
“Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah,” (Jakarta:
Kemendikbud, 2019), 12–15.
[5]
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3.
[6]
Charles F. Walker, Administrative Transparency
in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 55.
2.
Tujuan
Pelaksanaan Kegiatan oleh Siswa di SLTA
Pelaksanaan kegiatan
yang dikelola langsung oleh siswa di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
bertujuan untuk memberikan pengalaman nyata dalam berorganisasi, membangun tata
kelola yang tertib, dan mengembangkan
keterampilan administrasi yang bersih. Tujuan ini dirancang untuk membentuk
karakter dan kompetensi siswa yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, sejalan
dengan fungsi pendidikan sebagai proses pengembangan individu secara holistik.¹
2.1. Pendidikan Berorganisasi
Kegiatan siswa di
SLTA merupakan medium pembelajaran kepemimpinan dan keterampilan manajemen.
Melalui kegiatan seperti organisasi siswa
intra sekolah (OSIS), ekstrakurikuler, atau panitia acara sekolah, siswa
belajar bagaimana bekerja dalam tim, membuat keputusan, dan mengelola konflik.²
Konsep pendidikan
berorganisasi ini mengacu pada pengembangan keterampilan interpersonal dan
intrapersonal yang penting untuk masa depan siswa.³ Misalnya, dalam OSIS, siswa
dilatih untuk merumuskan visi, misi, dan strategi organisasi yang selaras
dengan nilai-nilai sekolah. Hal ini mencerminkan penerapan langsung
prinsip-prinsip dasar kepemimpinan, seperti tanggung jawab dan etika
kerja.⁴ Dengan demikian, pendidikan
berorganisasi tidak hanya mengajarkan siswa tentang struktur organisasi tetapi
juga membentuk karakter mereka sebagai pemimpin yang adaptif dan bijaksana.⁵
2.2. Tata Kelola Kegiatan yang Tertib
Tata kelola kegiatan
siswa di SLTA mengajarkan pentingnya perencanaan dan pelaksanaan yang sistematis. Melalui proses ini, siswa belajar
tentang pentingnya struktur dalam menyusun rencana kegiatan, menetapkan tujuan
yang jelas, dan menyusun langkah-langkah untuk mencapainya.⁶
Pelaksanaan kegiatan
yang tertib tidak hanya mencerminkan efisiensi tetapi juga mengajarkan siswa
tentang disiplin dan tanggung jawab.⁷ Sebagai contoh, dalam menyelenggarakan kegiatan seperti lomba antar-kelas atau
pentas seni, siswa diajarkan untuk membuat timeline, membagi peran, dan
mengevaluasi keberhasilan kegiatan. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan
karakter yang menekankan pentingnya kemandirian dan disiplin dalam setiap aspek
kehidupan.⁸
2.3. Pengadministrasian yang Bersih
Administrasi yang
bersih menjadi salah satu tujuan utama tata kelola kegiatan siswa. Dalam
konteks ini, siswa dilatih untuk membuat laporan kegiatan, mengelola anggaran, dan
mempertanggungjawabkan setiap pengeluaran secara transparan.⁹
Pelatihan
administrasi ini penting untuk membangun budaya akuntabilitas sejak dini.
Misalnya, siswa yang terlibat dalam bendahara organisasi atau panitia kegiatan belajar membuat laporan
keuangan sederhana yang rapi dan sistematis.¹⁰ Ini tidak hanya meningkatkan
keterampilan administrasi mereka tetapi juga membangun integritas pribadi yang
akan menjadi modal penting di masa depan.¹¹
Kesimpulan
Tujuan pelaksanaan
kegiatan oleh siswa di SLTA meliputi pendidikan berorganisasi, tata kelola yang
tertib, dan pengadministrasian yang bersih. Ketiga tujuan ini saling melengkapi dalam membentuk individu
yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki karakter kuat. Dengan bimbingan
guru atau pembina, kegiatan ini menjadi wahana pembelajaran yang mendukung
pencapaian tujuan pendidikan secara holistik.
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 79.
[2]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 45.
[3]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source
of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1984), 32.
[4]
Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan
Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta:
Kemendikbud, 2018), 10–12.
[5]
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3.
[6]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers
College Press, 2010), 110.
[7]
Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key
to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 58.
[8]
Ibid., 61.
[9]
Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom
(Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 25.
[10]
Hilary T. Johnson, “The Role of Transparency in Student Leadership
Development,” Journal of Educational Leadership
13, no. 2 (2021): 144–46.
[11]
Ibid., 147.
3.
Prinsip
Dasar Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa
Tata kelola kegiatan
siswa di SLTA mencerminkan proses pendidikan yang terintegrasi, bertujuan
membangun kemandirian, tanggung jawab, dan keterampilan manajerial siswa.
Prinsip dasar tata kelola ini berfungsi sebagai landasan yang memandu siswa
dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi
kegiatan secara efektif dan bertanggung jawab.¹ Tiga prinsip utama yang menjadi
acuan adalah kemandirian yang bertanggung jawab, kolaborasi dengan pembina dan
guru, serta pengembangan nilai-nilai akhlak mulia.
3.1. Kemandirian yang Bertanggung Jawab
Kemandirian adalah
salah satu prinsip utama dalam tata kelola kegiatan siswa. Siswa diberikan kebebasan untuk merencanakan dan menjalankan
kegiatan mereka sendiri, tetapi tetap dalam koridor tanggung jawab.² Prinsip
ini mengajarkan siswa untuk berinisiatif, mengembangkan ide-ide kreatif, dan
menyelesaikan masalah secara mandiri.
Namun, kemandirian tidak berarti tanpa pengawasan.
Guru atau pembina bertugas memantau dan memberikan arahan agar kegiatan yang
dirancang siswa tetap berjalan sesuai tujuan pendidikan.³ Dalam praktiknya,
siswa diharapkan membuat keputusan secara kolektif berdasarkan musyawarah,
mencerminkan nilai demokrasi yang tertanam dalam budaya pendidikan Indonesia.⁴
Proses ini tidak hanya melatih keterampilan organisasi tetapi juga membangun kesadaran
tentang pentingnya tanggung jawab moral terhadap tugas dan kewajiban.⁵
3.2. Kolaborasi dengan Pembina dan Guru
Kolaborasi antara
siswa dengan pembina dan guru merupakan elemen penting dalam memastikan
keberhasilan tata kelola kegiatan. Dalam proses ini, guru bertindak sebagai fasilitator yang
memberikan panduan teknis dan moral kepada siswa tanpa mengambil alih kendali.⁶
Melalui kolaborasi
ini, siswa belajar memahami pentingnya menerima masukan dari pihak yang lebih berpengalaman. Guru membantu
siswa mengidentifikasi potensi tantangan, memberikan saran penyelesaian, dan
mengevaluasi hasil kegiatan untuk memastikan bahwa pembelajaran berlangsung
secara optimal.⁷ Dalam praktik pendidikan modern, kolaborasi ini sering disebut
sebagai pendekatan student-centered learning, di mana
siswa menjadi subjek utama pembelajaran, sementara guru berperan sebagai
pendukung.⁸
3.3. Pengembangan Nilai-Nilai Akhlak Mulia
Setiap kegiatan
siswa di SLTA diharapkan menjadi wahana untuk menanamkan dan menguatkan
nilai-nilai akhlak mulia. Nilai-nilai seperti kejujuran, amanah, tanggung
jawab, dan adil menjadi landasan yang membimbing siswa dalam mengelola setiap
kegiatan.⁹
Sebagai contoh,
transparansi dalam pengelolaan anggaran kegiatan mencerminkan nilai kejujuran,
sementara keadilan tercermin dalam pembagian tugas yang merata di antara anggota tim.¹⁰ Dalam pandangan pendidikan
Islam, pengembangan akhlak
mulia ini selaras dengan tujuan utama
pendidikan, yaitu membentuk insan yang berakhlak baik dan bermanfaat bagi
masyarakat.¹¹
Selain itu, melalui
kegiatan yang melibatkan interaksi sosial, siswa belajar untuk menghormati perbedaan, bekerja sama dengan
berbagai individu, dan membangun hubungan yang harmonis.¹² Prinsip ini menjadi
bekal penting dalam menghadapi tantangan kehidupan bermasyarakat di masa depan.
Kesimpulan
Prinsip dasar tata
kelola kegiatan siswa di SLTA memberikan landasan kuat bagi siswa untuk
mengembangkan keterampilan manajerial, karakter kepemimpinan, dan nilai-nilai
moral. Kemandirian yang bertanggung jawab, kolaborasi yang efektif dengan guru,
serta penanaman akhlak
mulia menjadikan
setiap kegiatan siswa tidak hanya sebagai aktivitas teknis, tetapi juga sebagai
proses pendidikan yang holistik. Dengan penerapan prinsip ini, kegiatan siswa
dapat menjadi sarana efektif dalam membentuk generasi muda yang berkompeten,
berintegritas, dan bermoral.
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 75.
[2]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source
of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1984), 21.
[3]
Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student
Leadership Development,” Journal of Educational Leadership
13, no. 2 (2021): 130.
[4]
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3.
[5]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers
College Press, 2010), 45.
[6]
Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan
Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta:
Kemendikbud, 2018), 7–8.
[7]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 34.
[8]
Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom
(Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 20.
[9]
Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key
to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 55.
[10]
Ibid., 58.
[11]
Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum
(Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 12.
[12]
David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and
Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 105.
4.
Tahapan
Wajib dalam Tata Kelola Kegiatan
Tata kelola kegiatan
yang dilakukan oleh siswa di SLTA harus
mencakup tiga tahapan wajib, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Ketiga tahapan ini menjadi landasan utama untuk memastikan kegiatan berjalan
secara sistematis, tertib, dan mencapai tujuan yang diharapkan.¹ Tahapan ini
tidak hanya membantu siswa memahami proses pengelolaan kegiatan, tetapi juga
memberikan pengalaman praktis dalam manajemen organisasi.
4.1. Perencanaan
Perencanaan
merupakan tahap awal yang sangat penting dalam tata kelola kegiatan. Tahap ini
mencakup identifikasi tujuan, penyusunan program kerja, pengalokasian sumber daya, dan pembagian tugas.² Dalam proses
ini, siswa dilatih untuk berpikir strategis, mengantisipasi kendala, dan
menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan.
Tujuan perencanaan
adalah memastikan bahwa kegiatan memiliki arah yang jelas dan terstruktur.³
Sebagai contoh, dalam menyelenggarakan acara seperti bazar atau pentas seni,
siswa harus membuat proposal kegiatan yang mencakup latar belakang, tujuan,
jadwal, anggaran, dan rencana pelaksanaan.⁴ Proposal ini tidak hanya membantu siswa mengatur langkah,
tetapi juga menjadi media komunikasi dengan pihak sekolah atau sponsor untuk
mendapatkan persetujuan dan dukungan.
Proses perencanaan
ini juga melibatkan analisis risiko dan strategi mitigasi, sehingga siswa
belajar menghadapi tantangan dengan pendekatan yang terukur dan solutif.⁵ Dengan bimbingan pembina, siswa dapat
memahami bagaimana merencanakan kegiatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek
seperti efisiensi waktu, alokasi dana, dan pemanfaatan sumber daya.
4.2. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah
tahap di mana rencana kegiatan diimplementasikan. Tahap ini mengajarkan siswa untuk bekerja sesuai jadwal, menghadapi
hambatan di lapangan, dan mengelola sumber daya dengan bijaksana.⁶
Pelaksanaan yang efektif
membutuhkan koordinasi yang baik antaranggota tim. Siswa diajarkan untuk
menjalankan peran masing-masing sesuai dengan pembagian tugas yang telah
disepakati.⁷ Dalam tahap ini, keterampilan seperti komunikasi, manajemen konflik, dan pengambilan keputusan
menjadi sangat penting. Misalnya, jika terjadi kendala teknis saat acara
berlangsung, siswa didorong untuk segera mencari solusi secara kolektif.⁸
Selain itu, tahap
pelaksanaan juga menjadi momen bagi siswa untuk mempraktikkan nilai-nilai
seperti kedisiplinan dan tanggung jawab. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan menunjukkan sejauh mana perencanaan
telah dilakukan dengan baik dan bagaimana siswa mampu mengelola situasi secara
nyata.⁹
4.3. Pelaporan
Pelaporan adalah
tahap akhir dalam tata kelola kegiatan, di mana siswa menyusun laporan yang mencakup evaluasi keberhasilan dan catatan
tentang pelaksanaan kegiatan.¹⁰ Laporan ini mencakup informasi seperti
realisasi anggaran, pencapaian tujuan, dan rekomendasi untuk kegiatan selanjutnya.
Tahap pelaporan
memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikan pengalaman mereka, menilai
apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki.¹¹ Selain itu, pelaporan juga
menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada
pihak sekolah, pembina, dan stakeholder lainnya. Proses ini mengajarkan siswa
tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan.¹²
Dalam menyusun
laporan, siswa biasanya menggunakan format yang telah ditentukan oleh sekolah, yang mencakup ringkasan kegiatan,
dokumentasi, dan hasil evaluasi.¹³ Proses ini juga melatih siswa dalam
keterampilan administrasi yang rapi dan sistematis, yang akan berguna di masa
depan.
Kesimpulan
Ketiga tahapan wajib
dalam tata kelola kegiatan —perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan— merupakan
proses integral yang melatih siswa untuk berpikir strategis, bekerja secara
efektif, dan bertanggung jawab. Dengan bimbingan
guru atau pembina, tahapan ini menjadi wadah pembelajaran yang tidak hanya
membentuk keterampilan teknis tetapi juga karakter siswa. Kegiatan yang
dikelola dengan baik akan memberikan dampak positif, tidak hanya bagi siswa
yang terlibat, tetapi juga bagi sekolah secara keseluruhan.
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 79.
[2]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source
of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1984), 29.
[3]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 41.
[4]
Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan
Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta:
Kemendikbud, 2018), 10.
[5]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers
College Press, 2010), 112.
[6]
Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key
to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 56.
[7]
Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom
(Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 27.
[8]
Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student
Leadership Development,” Journal of Educational Leadership
13, no. 2 (2021): 144.
[9]
Ibid., 146.
[10]
Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Pedoman Penyusunan
Laporan Kegiatan Siswa di Sekolah,” (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 15.
[11]
Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key
to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 60.
[12]
David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and
Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 112.
[13]
Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Pedoman Penyusunan
Laporan Kegiatan Siswa di Sekolah,” 16.
5.
Tantangan
dan Solusi dalam Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa
Pelaksanaan tata
kelola kegiatan oleh siswa di SLTA tidak lepas dari berbagai tantangan yang
dapat menghambat keberhasilan kegiatan. Tantangan ini muncul dari faktor internal, seperti keterbatasan keterampilan
siswa, hingga faktor eksternal, seperti kurangnya dukungan sumber daya. Namun,
dengan pendekatan yang tepat, tantangan-tantangan ini dapat diatasi melalui
berbagai solusi strategis yang melibatkan siswa, pembina, dan pihak sekolah.¹
5.1. Tantangan dalam Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa
1)
Kurangnya Pemahaman
tentang Manajemen Organisasi
Banyak siswa yang belum memiliki pemahaman yang
memadai tentang prinsip-prinsip dasar manajemen organisasi.² Hal ini dapat
mengakibatkan perencanaan yang kurang matang, pembagian tugas yang tidak
proporsional, dan pelaksanaan kegiatan yang tidak efektif.³ Siswa cenderung
belajar melalui pengalaman, tetapi tanpa panduan yang memadai, mereka sering
menghadapi kesulitan dalam mengoordinasikan kegiatan secara terstruktur.⁴
2)
Keterbatasan Sumber Daya
Kegiatan siswa sering kali menghadapi kendala
berupa keterbatasan dana, peralatan, atau dukungan logistik.⁵ Dalam banyak
kasus, siswa kesulitan mendapatkan sponsor atau pendanaan tambahan, yang pada akhirnya
memengaruhi kualitas kegiatan yang mereka selenggarakan.⁶
3)
Manajemen Waktu yang Tidak
Optimal
Sebagai pelajar, siswa memiliki jadwal yang
padat, mulai dari kegiatan akademik hingga ekstrakurikuler. Tantangan ini
sering kali menyebabkan kurangnya waktu untuk merencanakan dan melaksanakan
kegiatan secara maksimal.⁷ Siswa yang tidak memiliki keterampilan manajemen
waktu yang baik sering kali merasa terbebani dengan tugas yang mereka emban.⁸
4)
Resistensi terhadap
Pembinaan
Beberapa siswa mungkin menunjukkan sikap kurang
terbuka terhadap pembinaan atau saran dari guru dan pembina. Hal ini sering
kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang pentingnya bimbingan atau
perbedaan pandangan antara siswa dan pembina.⁹
5.2. Solusi untuk Mengatasi Tantangan
1)
Pelatihan Manajemen
Organisasi bagi Siswa
Sekolah dapat mengadakan pelatihan khusus tentang
manajemen organisasi dan kepemimpinan bagi siswa.¹⁰ Pelatihan ini dapat
mencakup materi tentang perencanaan strategis, pembagian tugas, komunikasi
efektif, dan penyelesaian konflik.¹¹ Dengan bimbingan praktis, siswa dapat
lebih percaya diri dalam mengelola kegiatan mereka.
2)
Optimalisasi Dukungan
Sumber Daya
Sekolah dapat mendukung kegiatan siswa dengan
menyediakan dana awal atau fasilitas dasar yang diperlukan.¹² Selain itu,
pembina dapat membantu siswa dalam mencari sponsor atau mengelola anggaran
secara efisien.¹³ Dukungan logistik dari sekolah juga dapat membantu siswa
mengatasi keterbatasan sumber daya.
3)
Pelatihan Manajemen Waktu
Pembinaan tentang manajemen waktu dapat membantu
siswa mengatur jadwal mereka dengan lebih baik.¹⁴ Guru atau pembina dapat
memberikan panduan praktis, seperti cara membuat prioritas kerja atau
menggunakan alat bantu manajemen waktu, sehingga siswa dapat menjalankan tugas
akademik dan kegiatan organisasi secara seimbang.¹⁵
4)
Meningkatkan Komunikasi
antara Siswa dan Pembina
Untuk mengurangi resistensi terhadap pembinaan,
penting untuk membangun hubungan yang baik antara siswa dan pembina.¹⁶ Pembina
dapat menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dengan mendengarkan ide-ide
siswa dan memberikan arahan tanpa mendominasi proses pengambilan keputusan.¹⁷
Pendekatan ini menciptakan suasana kolaboratif yang mendukung keberhasilan
kegiatan.
Kesimpulan
Tantangan dalam tata
kelola kegiatan siswa di SLTA merupakan bagian dari proses pembelajaran yang
harus dihadapi dengan pendekatan yang solutif. Dengan memberikan pelatihan yang
tepat, mendukung siswa melalui sumber daya yang memadai, serta menciptakan
hubungan yang baik antara siswa dan pembina, tantangan-tantangan tersebut dapat
diatasi. Proses ini tidak hanya
membantu siswa dalam mengelola kegiatan, tetapi juga memberikan mereka
keterampilan hidup yang berharga untuk masa depan.
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 81.
[2]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source
of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1984), 33.
[3]
Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student
Leadership Development,” Journal of Educational Leadership
13, no. 2 (2021): 132.
[4]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice
(Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 48.
[5]
Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key
to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 60.
[6]
Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan
Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta:
Kemendikbud, 2018), 11.
[7]
Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom
(Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 31.
[8]
Ibid., 34.
[9]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers
College Press, 2010), 115.
[10]
Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Pedoman Penyusunan
Laporan Kegiatan Siswa di Sekolah,” (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 12.
[11]
Ibid., 14.
[12]
Ibid., 16.
[13]
David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and
Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 105.
[14]
Peter F. Drucker, The Effective Executive (New York:
Harper & Row, 1967), 75.
[15]
Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People:
Powerful Lessons in Personal Change (New York: Free Press, 1989),
153.
[16]
Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key
to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 64.
[17]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers
College Press, 2010), 117.
6.
Kesimpulan
Tata kelola kegiatan oleh siswa di SLTA merupakan
bagian integral dari proses pendidikan yang bertujuan membentuk karakter dan
kompetensi siswa dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pelaksanaannya, tata
kelola ini mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan formal dengan pengalaman
praktis yang bertujuan untuk membangun kepemimpinan, keterampilan manajemen,
dan tanggung jawab sosial.¹
Melalui tiga tahapan wajib —perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan— siswa dilatih untuk berpikir strategis, bekerja
secara kolaboratif, dan bertanggung jawab atas keputusan yang mereka ambil.²
Proses ini tidak hanya membantu mereka memahami pentingnya tata kelola yang
baik, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dunia nyata.³
Dengan mempraktikkan nilai-nilai seperti disiplin, transparansi, dan kerja
sama, siswa memperoleh pengalaman berharga yang berkontribusi pada pembentukan
karakter dan kompetensi mereka.⁴
Namun, pelaksanaan tata kelola ini tidak lepas dari
tantangan. Beberapa kendala seperti kurangnya pemahaman tentang manajemen
organisasi, keterbatasan sumber daya, dan manajemen waktu yang buruk sering
kali menjadi hambatan.⁵ Meskipun demikian, melalui pendekatan yang solutif,
seperti pelatihan manajemen organisasi, peningkatan dukungan sumber daya, dan
pembinaan yang inklusif, tantangan ini dapat diatasi secara efektif.⁶
Guru dan pembina memainkan peran kunci dalam
mendukung keberhasilan tata kelola kegiatan siswa. Sebagai pendamping, mereka
tidak hanya memberikan arahan teknis, tetapi juga menjadi teladan dalam membangun
nilai-nilai etika dan profesionalisme.⁷ Kolaborasi antara siswa dan pembina
menjadi fondasi yang memungkinkan tata kelola kegiatan berjalan dengan baik dan
mencapai tujuan yang diinginkan.⁸
Dengan menerapkan prinsip kemandirian, kolaborasi,
dan pengembangan akhlak mulia, tata kelola kegiatan siswa dapat menjadi sarana
pembelajaran yang holistik. Dalam jangka panjang, siswa yang terlibat dalam
kegiatan ini akan memiliki keterampilan dan karakter yang relevan untuk
menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan pribadi, profesional, dan sosial
mereka. Tata kelola kegiatan siswa di SLTA, oleh karena itu, bukan hanya
tentang menjalankan aktivitas sekolah, tetapi juga tentang membentuk generasi
muda yang kompeten, berintegritas, dan berkontribusi bagi masyarakat.⁹
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An
Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916),
79.
[2]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience
as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1984), 29.
[3]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and
Practice (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 34.
[4]
Ministry of Education and Culture of Indonesia,
“Panduan Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta:
Kemendikbud, 2018), 12.
[5]
Charles F. Walker, Administrative Transparency
in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 60.
[6]
Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The
Highly Engaged Classroom (Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory,
2010), 35.
[7]
Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as
Facilitators in Student Leadership Development,” Journal of Educational
Leadership 13, no. 2 (2021): 132.
[8]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and
Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future
(New York: Teachers College Press, 2010), 117.
[9]
Ministry of Education and Culture of Indonesia,
“Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Siswa di SLTA,” (Jakarta: Kemendikbud, 2019),
10.
Daftar Pustaka
Darling-Hammond, L. (2010). The flat world and
education: How America’s commitment to equity will determine our future.
New York: Teachers College Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education: An
introduction to the philosophy of education. New York: Macmillan.
Drucker, P. F. (1967). The effective executive.
New York: Harper & Row.
Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1989). Cooperation
and competition: Theory and research. Edina, MN: Interaction Book Company.
Johnson, H. T. (2021). The role of teachers as
facilitators in student leadership development. Journal of Educational
Leadership, 13(2), 130–146.
Kolb, D. A. (1984). Experiential learning:
Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall.
Marzano, R. J., & Pickering, D. J. (2010). The
highly engaged classroom. Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory.
Ministry of Education and Culture of Indonesia.
(2018). Panduan penyelenggaraan organisasi siswa di sekolah menengah atas.
Jakarta: Kemendikbud.
Ministry of Education and Culture of Indonesia.
(2019). Pedoman penyusunan laporan kegiatan siswa di sekolah. Jakarta:
Kemendikbud.
Northouse, P. G. (2021). Leadership: Theory and
practice (9th ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Walker, C. F. (2018). Administrative
transparency in schools: The key to ethical leadership. London: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar