Senin, 20 Januari 2025

Esensi Pendidikan dalam Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa di SLTA

Esensi Pendidikan dalam Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa di SLTA

Menuju Pembentukan Karakter dan Kompetensi Berorganisasi


Abstrak

Artikel ini membahas esensi pendidikan dalam tata kelola kegiatan yang dilakukan oleh siswa di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebagai bagian dari upaya pembentukan karakter dan kompetensi berorganisasi. Tata kelola kegiatan siswa tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis dalam manajemen organisasi, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai moral, disiplin, tanggung jawab, dan kolaborasi. Pembahasan artikel mencakup tiga tahapan wajib dalam tata kelola kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan, yang dirancang untuk memberikan pengalaman praktis dalam manajemen kegiatan secara sistematis. Selain itu, artikel ini mengidentifikasi tantangan-tantangan yang sering dihadapi siswa, seperti kurangnya pemahaman tentang manajemen organisasi, keterbatasan sumber daya, dan manajemen waktu, serta menawarkan solusi strategis yang melibatkan pelatihan, dukungan sumber daya, dan pembinaan yang inklusif. Dengan dukungan pembina dan guru, tata kelola kegiatan ini menjadi wadah pendidikan holistik yang mampu menghasilkan siswa yang kompeten, berintegritas, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.

Kata Kunci: pendidikan, tata kelola kegiatan, siswa SLTA, manajemen organisasi, pembentukan karakter, kompetensi berorganisasi.


1.           Pendahuluan

Pendidikan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa tetapi juga membentuk karakter dan kompetensi praktis yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu aspek penting dari pendidikan ini adalah tata kelola kegiatan yang dikelola langsung oleh siswa, yang dirancang untuk mendidik mereka dalam berorganisasi, mengelola kegiatan secara tertib, dan mengadministrasikan tugas-tugas dengan transparan. Tata kelola ini, jika dilakukan dengan baik, berkontribusi besar pada pembentukan individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi.

Kegiatan siswa di SLTA menjadi laboratorium sosial bagi pengembangan berbagai keterampilan seperti kepemimpinan, manajemen, dan komunikasi. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan berbasis pengalaman (experiential learning), di mana siswa belajar melalui partisipasi aktif dalam kegiatan nyata.¹ Melalui proses ini, siswa tidak hanya memahami teori organisasi tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai seperti kerja sama, disiplin, dan etika

Peran guru dan pembina sangat penting dalam memastikan bahwa kegiatan ini mencapai tujuan pendidikan. Sebagai pendamping, guru bertugas memberikan arahan tanpa menghilangkan kemandirian siswa.³ Dengan pendekatan yang tepat, siswa dapat belajar bagaimana menyelesaikan tugas dengan baik, mengatasi hambatan, dan mengevaluasi hasil kerja mereka secara objektif. Dalam konteks ini, pendidikan dalam tata kelola kegiatan mencakup tiga tahapan utama: perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.⁴

Tahapan ini tidak hanya memberikan struktur yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan, tetapi juga melatih siswa untuk berpikir strategis, bekerja secara sistematis, dan mengembangkan kemampuan reflektif. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang menekankan pada pengembangan potensi peserta didik agar menjadi individu yang bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki keterampilan hidup yang relevan.⁵

Sebagai bagian dari penguatan budaya sekolah, tata kelola kegiatan siswa juga menjadi medium untuk membangun tata nilai yang baik di lingkungan sekolah. Praktik administrasi yang bersih dan transparan menjadi pondasi untuk menciptakan generasi muda yang jujur dan bertanggung jawab dalam berbagai aspek kehidupan.⁶ Dengan demikian, tata kelola kegiatan siswa di SLTA bukan hanya sebatas pelaksanaan teknis, tetapi juga menjadi bagian penting dari pembentukan karakter dan kompetensi siswa.


Catatan Kaki

[1]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 41.

[2]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 79–80.

[3]                Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student-Led Activities,” Journal of Educational Leadership 12, no. 3 (2020): 134–36.

[4]                Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah,” (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 12–15.

[5]                Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3.

[6]                Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 55.


2.           Tujuan Pelaksanaan Kegiatan oleh Siswa di SLTA

Pelaksanaan kegiatan yang dikelola langsung oleh siswa di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) bertujuan untuk memberikan pengalaman nyata dalam berorganisasi, membangun tata kelola yang tertib, dan mengembangkan keterampilan administrasi yang bersih. Tujuan ini dirancang untuk membentuk karakter dan kompetensi siswa yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, sejalan dengan fungsi pendidikan sebagai proses pengembangan individu secara holistik.¹

2.1.       Pendidikan Berorganisasi

Kegiatan siswa di SLTA merupakan medium pembelajaran kepemimpinan dan keterampilan manajemen. Melalui kegiatan seperti organisasi siswa intra sekolah (OSIS), ekstrakurikuler, atau panitia acara sekolah, siswa belajar bagaimana bekerja dalam tim, membuat keputusan, dan mengelola konflik.²

Konsep pendidikan berorganisasi ini mengacu pada pengembangan keterampilan interpersonal dan intrapersonal yang penting untuk masa depan siswa.³ Misalnya, dalam OSIS, siswa dilatih untuk merumuskan visi, misi, dan strategi organisasi yang selaras dengan nilai-nilai sekolah. Hal ini mencerminkan penerapan langsung prinsip-prinsip dasar kepemimpinan, seperti tanggung jawab dan etika kerja.⁴ Dengan demikian, pendidikan berorganisasi tidak hanya mengajarkan siswa tentang struktur organisasi tetapi juga membentuk karakter mereka sebagai pemimpin yang adaptif dan bijaksana.⁵

2.2.       Tata Kelola Kegiatan yang Tertib

Tata kelola kegiatan siswa di SLTA mengajarkan pentingnya perencanaan dan pelaksanaan yang sistematis. Melalui proses ini, siswa belajar tentang pentingnya struktur dalam menyusun rencana kegiatan, menetapkan tujuan yang jelas, dan menyusun langkah-langkah untuk mencapainya.⁶

Pelaksanaan kegiatan yang tertib tidak hanya mencerminkan efisiensi tetapi juga mengajarkan siswa tentang disiplin dan tanggung jawab.⁷ Sebagai contoh, dalam menyelenggarakan kegiatan seperti lomba antar-kelas atau pentas seni, siswa diajarkan untuk membuat timeline, membagi peran, dan mengevaluasi keberhasilan kegiatan. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan karakter yang menekankan pentingnya kemandirian dan disiplin dalam setiap aspek kehidupan.⁸

2.3.       Pengadministrasian yang Bersih

Administrasi yang bersih menjadi salah satu tujuan utama tata kelola kegiatan siswa. Dalam konteks ini, siswa dilatih untuk membuat laporan kegiatan, mengelola anggaran, dan mempertanggungjawabkan setiap pengeluaran secara transparan.⁹

Pelatihan administrasi ini penting untuk membangun budaya akuntabilitas sejak dini. Misalnya, siswa yang terlibat dalam bendahara organisasi atau panitia kegiatan belajar membuat laporan keuangan sederhana yang rapi dan sistematis.¹⁰ Ini tidak hanya meningkatkan keterampilan administrasi mereka tetapi juga membangun integritas pribadi yang akan menjadi modal penting di masa depan.¹¹


Kesimpulan

Tujuan pelaksanaan kegiatan oleh siswa di SLTA meliputi pendidikan berorganisasi, tata kelola yang tertib, dan pengadministrasian yang bersih. Ketiga tujuan ini saling melengkapi dalam membentuk individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki karakter kuat. Dengan bimbingan guru atau pembina, kegiatan ini menjadi wahana pembelajaran yang mendukung pencapaian tujuan pendidikan secara holistik.


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 79.

[2]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 45.

[3]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 32.

[4]                Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 10–12.

[5]                Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3.

[6]                Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 110.

[7]                Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 58.

[8]                Ibid., 61.

[9]                Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom (Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 25.

[10]             Hilary T. Johnson, “The Role of Transparency in Student Leadership Development,” Journal of Educational Leadership 13, no. 2 (2021): 144–46.

[11]             Ibid., 147.


3.           Prinsip Dasar Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa

Tata kelola kegiatan siswa di SLTA mencerminkan proses pendidikan yang terintegrasi, bertujuan membangun kemandirian, tanggung jawab, dan keterampilan manajerial siswa. Prinsip dasar tata kelola ini berfungsi sebagai landasan yang memandu siswa dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan secara efektif dan bertanggung jawab.¹ Tiga prinsip utama yang menjadi acuan adalah kemandirian yang bertanggung jawab, kolaborasi dengan pembina dan guru, serta pengembangan nilai-nilai akhlak mulia.

3.1.       Kemandirian yang Bertanggung Jawab

Kemandirian adalah salah satu prinsip utama dalam tata kelola kegiatan siswa. Siswa diberikan kebebasan untuk merencanakan dan menjalankan kegiatan mereka sendiri, tetapi tetap dalam koridor tanggung jawab.² Prinsip ini mengajarkan siswa untuk berinisiatif, mengembangkan ide-ide kreatif, dan menyelesaikan masalah secara mandiri.

Namun, kemandirian tidak berarti tanpa pengawasan. Guru atau pembina bertugas memantau dan memberikan arahan agar kegiatan yang dirancang siswa tetap berjalan sesuai tujuan pendidikan.³ Dalam praktiknya, siswa diharapkan membuat keputusan secara kolektif berdasarkan musyawarah, mencerminkan nilai demokrasi yang tertanam dalam budaya pendidikan Indonesia.⁴ Proses ini tidak hanya melatih keterampilan organisasi tetapi juga membangun kesadaran tentang pentingnya tanggung jawab moral terhadap tugas dan kewajiban.⁵

3.2.       Kolaborasi dengan Pembina dan Guru

Kolaborasi antara siswa dengan pembina dan guru merupakan elemen penting dalam memastikan keberhasilan tata kelola kegiatan. Dalam proses ini, guru bertindak sebagai fasilitator yang memberikan panduan teknis dan moral kepada siswa tanpa mengambil alih kendali.⁶

Melalui kolaborasi ini, siswa belajar memahami pentingnya menerima masukan dari pihak yang lebih berpengalaman. Guru membantu siswa mengidentifikasi potensi tantangan, memberikan saran penyelesaian, dan mengevaluasi hasil kegiatan untuk memastikan bahwa pembelajaran berlangsung secara optimal.⁷ Dalam praktik pendidikan modern, kolaborasi ini sering disebut sebagai pendekatan student-centered learning, di mana siswa menjadi subjek utama pembelajaran, sementara guru berperan sebagai pendukung.⁸

3.3.       Pengembangan Nilai-Nilai Akhlak Mulia

Setiap kegiatan siswa di SLTA diharapkan menjadi wahana untuk menanamkan dan menguatkan nilai-nilai akhlak mulia. Nilai-nilai seperti kejujuran, amanah, tanggung jawab, dan adil menjadi landasan yang membimbing siswa dalam mengelola setiap kegiatan.⁹

Sebagai contoh, transparansi dalam pengelolaan anggaran kegiatan mencerminkan nilai kejujuran, sementara keadilan tercermin dalam pembagian tugas yang merata di antara anggota tim.¹⁰ Dalam pandangan pendidikan Islam, pengembangan akhlak mulia ini selaras dengan tujuan utama pendidikan, yaitu membentuk insan yang berakhlak baik dan bermanfaat bagi masyarakat.¹¹

Selain itu, melalui kegiatan yang melibatkan interaksi sosial, siswa belajar untuk menghormati perbedaan, bekerja sama dengan berbagai individu, dan membangun hubungan yang harmonis.¹² Prinsip ini menjadi bekal penting dalam menghadapi tantangan kehidupan bermasyarakat di masa depan.


Kesimpulan

Prinsip dasar tata kelola kegiatan siswa di SLTA memberikan landasan kuat bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan manajerial, karakter kepemimpinan, dan nilai-nilai moral. Kemandirian yang bertanggung jawab, kolaborasi yang efektif dengan guru, serta penanaman akhlak mulia menjadikan setiap kegiatan siswa tidak hanya sebagai aktivitas teknis, tetapi juga sebagai proses pendidikan yang holistik. Dengan penerapan prinsip ini, kegiatan siswa dapat menjadi sarana efektif dalam membentuk generasi muda yang berkompeten, berintegritas, dan bermoral.


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 75.

[2]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 21.

[3]                Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student Leadership Development,” Journal of Educational Leadership 13, no. 2 (2021): 130.

[4]                Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3.

[5]                Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 45.

[6]                Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 7–8.

[7]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 34.

[8]                Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom (Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 20.

[9]                Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 55.

[10]             Ibid., 58.

[11]             Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), 12.

[12]             David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 105.


4.           Tahapan Wajib dalam Tata Kelola Kegiatan

Tata kelola kegiatan yang dilakukan oleh siswa di SLTA harus mencakup tiga tahapan wajib, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Ketiga tahapan ini menjadi landasan utama untuk memastikan kegiatan berjalan secara sistematis, tertib, dan mencapai tujuan yang diharapkan.¹ Tahapan ini tidak hanya membantu siswa memahami proses pengelolaan kegiatan, tetapi juga memberikan pengalaman praktis dalam manajemen organisasi.

4.1.       Perencanaan

Perencanaan merupakan tahap awal yang sangat penting dalam tata kelola kegiatan. Tahap ini mencakup identifikasi tujuan, penyusunan program kerja, pengalokasian sumber daya, dan pembagian tugas.² Dalam proses ini, siswa dilatih untuk berpikir strategis, mengantisipasi kendala, dan menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan.

Tujuan perencanaan adalah memastikan bahwa kegiatan memiliki arah yang jelas dan terstruktur.³ Sebagai contoh, dalam menyelenggarakan acara seperti bazar atau pentas seni, siswa harus membuat proposal kegiatan yang mencakup latar belakang, tujuan, jadwal, anggaran, dan rencana pelaksanaan.⁴ Proposal ini tidak hanya membantu siswa mengatur langkah, tetapi juga menjadi media komunikasi dengan pihak sekolah atau sponsor untuk mendapatkan persetujuan dan dukungan.

Proses perencanaan ini juga melibatkan analisis risiko dan strategi mitigasi, sehingga siswa belajar menghadapi tantangan dengan pendekatan yang terukur dan solutif.⁵ Dengan bimbingan pembina, siswa dapat memahami bagaimana merencanakan kegiatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti efisiensi waktu, alokasi dana, dan pemanfaatan sumber daya.

4.2.       Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah tahap di mana rencana kegiatan diimplementasikan. Tahap ini mengajarkan siswa untuk bekerja sesuai jadwal, menghadapi hambatan di lapangan, dan mengelola sumber daya dengan bijaksana.⁶

Pelaksanaan yang efektif membutuhkan koordinasi yang baik antaranggota tim. Siswa diajarkan untuk menjalankan peran masing-masing sesuai dengan pembagian tugas yang telah disepakati.⁷ Dalam tahap ini, keterampilan seperti komunikasi, manajemen konflik, dan pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Misalnya, jika terjadi kendala teknis saat acara berlangsung, siswa didorong untuk segera mencari solusi secara kolektif.⁸

Selain itu, tahap pelaksanaan juga menjadi momen bagi siswa untuk mempraktikkan nilai-nilai seperti kedisiplinan dan tanggung jawab. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan menunjukkan sejauh mana perencanaan telah dilakukan dengan baik dan bagaimana siswa mampu mengelola situasi secara nyata.⁹

4.3.       Pelaporan

Pelaporan adalah tahap akhir dalam tata kelola kegiatan, di mana siswa menyusun laporan yang mencakup evaluasi keberhasilan dan catatan tentang pelaksanaan kegiatan.¹⁰ Laporan ini mencakup informasi seperti realisasi anggaran, pencapaian tujuan, dan rekomendasi untuk kegiatan selanjutnya.

Tahap pelaporan memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikan pengalaman mereka, menilai apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki.¹¹ Selain itu, pelaporan juga menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada pihak sekolah, pembina, dan stakeholder lainnya. Proses ini mengajarkan siswa tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan.¹²

Dalam menyusun laporan, siswa biasanya menggunakan format yang telah ditentukan oleh sekolah, yang mencakup ringkasan kegiatan, dokumentasi, dan hasil evaluasi.¹³ Proses ini juga melatih siswa dalam keterampilan administrasi yang rapi dan sistematis, yang akan berguna di masa depan.


Kesimpulan

Ketiga tahapan wajib dalam tata kelola kegiatan —perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan— merupakan proses integral yang melatih siswa untuk berpikir strategis, bekerja secara efektif, dan bertanggung jawab. Dengan bimbingan guru atau pembina, tahapan ini menjadi wadah pembelajaran yang tidak hanya membentuk keterampilan teknis tetapi juga karakter siswa. Kegiatan yang dikelola dengan baik akan memberikan dampak positif, tidak hanya bagi siswa yang terlibat, tetapi juga bagi sekolah secara keseluruhan.


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 79.

[2]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 29.

[3]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 41.

[4]                Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 10.

[5]                Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 112.

[6]                Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 56.

[7]                Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom (Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 27.

[8]                Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student Leadership Development,” Journal of Educational Leadership 13, no. 2 (2021): 144.

[9]                Ibid., 146.

[10]             Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Pedoman Penyusunan Laporan Kegiatan Siswa di Sekolah,” (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 15.

[11]             Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 60.

[12]             David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 112.

[13]             Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Pedoman Penyusunan Laporan Kegiatan Siswa di Sekolah,” 16.


5.           Tantangan dan Solusi dalam Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa

Pelaksanaan tata kelola kegiatan oleh siswa di SLTA tidak lepas dari berbagai tantangan yang dapat menghambat keberhasilan kegiatan. Tantangan ini muncul dari faktor internal, seperti keterbatasan keterampilan siswa, hingga faktor eksternal, seperti kurangnya dukungan sumber daya. Namun, dengan pendekatan yang tepat, tantangan-tantangan ini dapat diatasi melalui berbagai solusi strategis yang melibatkan siswa, pembina, dan pihak sekolah.¹

5.1.       Tantangan dalam Tata Kelola Kegiatan oleh Siswa

1)                  Kurangnya Pemahaman tentang Manajemen Organisasi

Banyak siswa yang belum memiliki pemahaman yang memadai tentang prinsip-prinsip dasar manajemen organisasi.² Hal ini dapat mengakibatkan perencanaan yang kurang matang, pembagian tugas yang tidak proporsional, dan pelaksanaan kegiatan yang tidak efektif.³ Siswa cenderung belajar melalui pengalaman, tetapi tanpa panduan yang memadai, mereka sering menghadapi kesulitan dalam mengoordinasikan kegiatan secara terstruktur.⁴

2)                  Keterbatasan Sumber Daya

Kegiatan siswa sering kali menghadapi kendala berupa keterbatasan dana, peralatan, atau dukungan logistik.⁵ Dalam banyak kasus, siswa kesulitan mendapatkan sponsor atau pendanaan tambahan, yang pada akhirnya memengaruhi kualitas kegiatan yang mereka selenggarakan.⁶

3)                  Manajemen Waktu yang Tidak Optimal

Sebagai pelajar, siswa memiliki jadwal yang padat, mulai dari kegiatan akademik hingga ekstrakurikuler. Tantangan ini sering kali menyebabkan kurangnya waktu untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan secara maksimal.⁷ Siswa yang tidak memiliki keterampilan manajemen waktu yang baik sering kali merasa terbebani dengan tugas yang mereka emban.⁸

4)                  Resistensi terhadap Pembinaan

Beberapa siswa mungkin menunjukkan sikap kurang terbuka terhadap pembinaan atau saran dari guru dan pembina. Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang pentingnya bimbingan atau perbedaan pandangan antara siswa dan pembina.⁹

5.2.       Solusi untuk Mengatasi Tantangan

1)                  Pelatihan Manajemen Organisasi bagi Siswa

Sekolah dapat mengadakan pelatihan khusus tentang manajemen organisasi dan kepemimpinan bagi siswa.¹⁰ Pelatihan ini dapat mencakup materi tentang perencanaan strategis, pembagian tugas, komunikasi efektif, dan penyelesaian konflik.¹¹ Dengan bimbingan praktis, siswa dapat lebih percaya diri dalam mengelola kegiatan mereka.

2)                  Optimalisasi Dukungan Sumber Daya

Sekolah dapat mendukung kegiatan siswa dengan menyediakan dana awal atau fasilitas dasar yang diperlukan.¹² Selain itu, pembina dapat membantu siswa dalam mencari sponsor atau mengelola anggaran secara efisien.¹³ Dukungan logistik dari sekolah juga dapat membantu siswa mengatasi keterbatasan sumber daya.

3)                  Pelatihan Manajemen Waktu

Pembinaan tentang manajemen waktu dapat membantu siswa mengatur jadwal mereka dengan lebih baik.¹⁴ Guru atau pembina dapat memberikan panduan praktis, seperti cara membuat prioritas kerja atau menggunakan alat bantu manajemen waktu, sehingga siswa dapat menjalankan tugas akademik dan kegiatan organisasi secara seimbang.¹⁵

4)                  Meningkatkan Komunikasi antara Siswa dan Pembina

Untuk mengurangi resistensi terhadap pembinaan, penting untuk membangun hubungan yang baik antara siswa dan pembina.¹⁶ Pembina dapat menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dengan mendengarkan ide-ide siswa dan memberikan arahan tanpa mendominasi proses pengambilan keputusan.¹⁷ Pendekatan ini menciptakan suasana kolaboratif yang mendukung keberhasilan kegiatan.


Kesimpulan

Tantangan dalam tata kelola kegiatan siswa di SLTA merupakan bagian dari proses pembelajaran yang harus dihadapi dengan pendekatan yang solutif. Dengan memberikan pelatihan yang tepat, mendukung siswa melalui sumber daya yang memadai, serta menciptakan hubungan yang baik antara siswa dan pembina, tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi. Proses ini tidak hanya membantu siswa dalam mengelola kegiatan, tetapi juga memberikan mereka keterampilan hidup yang berharga untuk masa depan.


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 81.

[2]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 33.

[3]                Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student Leadership Development,” Journal of Educational Leadership 13, no. 2 (2021): 132.

[4]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 48.

[5]                Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 60.

[6]                Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 11.

[7]                Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom (Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 31.

[8]                Ibid., 34.

[9]                Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 115.

[10]             Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Pedoman Penyusunan Laporan Kegiatan Siswa di Sekolah,” (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 12.

[11]             Ibid., 14.

[12]             Ibid., 16.

[13]             David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 105.

[14]             Peter F. Drucker, The Effective Executive (New York: Harper & Row, 1967), 75.

[15]             Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change (New York: Free Press, 1989), 153.

[16]             Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 64.

[17]             Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 117.


6.           Kesimpulan

Tata kelola kegiatan oleh siswa di SLTA merupakan bagian integral dari proses pendidikan yang bertujuan membentuk karakter dan kompetensi siswa dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pelaksanaannya, tata kelola ini mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan formal dengan pengalaman praktis yang bertujuan untuk membangun kepemimpinan, keterampilan manajemen, dan tanggung jawab sosial.¹

Melalui tiga tahapan wajib —perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan— siswa dilatih untuk berpikir strategis, bekerja secara kolaboratif, dan bertanggung jawab atas keputusan yang mereka ambil.² Proses ini tidak hanya membantu mereka memahami pentingnya tata kelola yang baik, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dunia nyata.³ Dengan mempraktikkan nilai-nilai seperti disiplin, transparansi, dan kerja sama, siswa memperoleh pengalaman berharga yang berkontribusi pada pembentukan karakter dan kompetensi mereka.⁴

Namun, pelaksanaan tata kelola ini tidak lepas dari tantangan. Beberapa kendala seperti kurangnya pemahaman tentang manajemen organisasi, keterbatasan sumber daya, dan manajemen waktu yang buruk sering kali menjadi hambatan.⁵ Meskipun demikian, melalui pendekatan yang solutif, seperti pelatihan manajemen organisasi, peningkatan dukungan sumber daya, dan pembinaan yang inklusif, tantangan ini dapat diatasi secara efektif.⁶

Guru dan pembina memainkan peran kunci dalam mendukung keberhasilan tata kelola kegiatan siswa. Sebagai pendamping, mereka tidak hanya memberikan arahan teknis, tetapi juga menjadi teladan dalam membangun nilai-nilai etika dan profesionalisme.⁷ Kolaborasi antara siswa dan pembina menjadi fondasi yang memungkinkan tata kelola kegiatan berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan.⁸

Dengan menerapkan prinsip kemandirian, kolaborasi, dan pengembangan akhlak mulia, tata kelola kegiatan siswa dapat menjadi sarana pembelajaran yang holistik. Dalam jangka panjang, siswa yang terlibat dalam kegiatan ini akan memiliki keterampilan dan karakter yang relevan untuk menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan pribadi, profesional, dan sosial mereka. Tata kelola kegiatan siswa di SLTA, oleh karena itu, bukan hanya tentang menjalankan aktivitas sekolah, tetapi juga tentang membentuk generasi muda yang kompeten, berintegritas, dan berkontribusi bagi masyarakat.⁹


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 79.

[2]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 29.

[3]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 2021), 34.

[4]                Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan Penyelenggaraan Organisasi Siswa di Sekolah Menengah Atas,” (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 12.

[5]                Charles F. Walker, Administrative Transparency in Schools: The Key to Ethical Leadership (London: Routledge, 2018), 60.

[6]                Robert J. Marzano and Debra J. Pickering, The Highly Engaged Classroom (Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory, 2010), 35.

[7]                Hilary T. Johnson, “The Role of Teachers as Facilitators in Student Leadership Development,” Journal of Educational Leadership 13, no. 2 (2021): 132.

[8]                Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 117.

[9]                Ministry of Education and Culture of Indonesia, “Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Siswa di SLTA,” (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 10.


Daftar Pustaka

Darling-Hammond, L. (2010). The flat world and education: How America’s commitment to equity will determine our future. New York: Teachers College Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. New York: Macmillan.

Drucker, P. F. (1967). The effective executive. New York: Harper & Row.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1989). Cooperation and competition: Theory and research. Edina, MN: Interaction Book Company.

Johnson, H. T. (2021). The role of teachers as facilitators in student leadership development. Journal of Educational Leadership, 13(2), 130–146.

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Marzano, R. J., & Pickering, D. J. (2010). The highly engaged classroom. Bloomington, IN: Marzano Research Laboratory.

Ministry of Education and Culture of Indonesia. (2018). Panduan penyelenggaraan organisasi siswa di sekolah menengah atas. Jakarta: Kemendikbud.

Ministry of Education and Culture of Indonesia. (2019). Pedoman penyusunan laporan kegiatan siswa di sekolah. Jakarta: Kemendikbud.

Northouse, P. G. (2021). Leadership: Theory and practice (9th ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Walker, C. F. (2018). Administrative transparency in schools: The key to ethical leadership. London: Routledge.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar