Sabtu, 30 Agustus 2025

Filsafat Alam: Konsep, Sejarah, dan Relevansi dalam Pemikiran Filosofis

Filsafat Alam

Konsep, Sejarah, dan Relevansi dalam Pemikiran Filosofis


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji filsafat alam dalam konteks konsep, sejarah, dan relevansinya dalam pemikiran filosofis, dengan tujuan untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai evolusi pemikiran filsafat alam dari zaman kuno hingga era modern. Filsafat alam, sebagai cabang utama dalam filsafat, berfokus pada pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai hakikat alam semesta, substansi, kausalitas, serta hubungan manusia dengan alam. Dengan mengacu pada pemikiran para filsuf utama, seperti Heraklitus, Aristoteles, dan Newton, artikel ini menyajikan perjalanan pemikiran filsafat alam yang melibatkan perkembangan dalam sains dan filosofi. Dalam era modern, filsafat alam menunjukkan relevansinya baik dalam hubungan dengan teori-teori ilmiah terbaru, seperti teori relativitas dan kuantum, maupun dalam menghadapi tantangan etis dan lingkungan, seperti perubahan iklim dan kelestarian alam. Melalui pembahasan tentang hubungan antara filsafat alam dan ilmu pengetahuan, etika, serta kosmologi, artikel ini menyimpulkan bahwa filsafat alam tetap relevan dan esensial dalam menjawab pertanyaan fundamental tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya.

Kata Kunci: Filsafat Alam, Sejarah Filsafat, Teori Relativitas, Fisika Kuantum, Etika Lingkungan, Kosmologi, Metafisika, Kausalitas, Substansi.


PEMBAHASAN

Filsafat Alam dalam Sejarah Pemikiran Manusia


1.            Pendahuluan

Filsafat alam adalah salah satu cabang utama dalam pemikiran filosofis yang membahas tentang alam semesta, substansi, materi, pergerakan, dan hukum-hukum yang mengatur eksistensinya. Dalam perkembangan filsafat, alam tidak hanya dipandang sebagai objek fisik yang dapat diamati dan diuji melalui metode ilmiah, tetapi juga sebagai entitas yang menyimpan berbagai dimensi metafisik dan ontologis yang mendalam. Filsafat alam berfokus pada pemahaman tentang sifat dasar alam dan dunia fisik, serta hubungan manusia dengan dunia tersebut.

Sejak zaman pra-Sokratik, filsuf-filsuf besar telah merumuskan berbagai pandangan mengenai alam. Pemikiran Heraklitus, misalnya, menekankan perubahan sebagai hakikat utama alam semesta, sementara Aristoteles, dengan konsep “substansi”, mengembangkan pemahaman yang lebih sistematis tentang bagaimana segala sesuatu di alam ini berinteraksi dalam suatu tatanan yang teratur. Perdebatan mengenai sifat alam ini terus berkembang melalui berbagai era, termasuk Abad Pertengahan, Renaisans, hingga Zaman Modern. Para filsuf dan ilmuwan seperti Thomas Aquinas dan Galileo Galilei turut memberikan kontribusi besar dalam menghubungkan filsafat alam dengan sains dan teologi.

Sebagai cabang filsafat, filsafat alam tidak hanya membahas unsur-unsur dasar dari alam semesta, tetapi juga mencakup pertanyaan-pertanyaan mendalam terkait dengan asal-usul dunia, tujuan eksistensi, serta hakikat hukum-hukum yang mengatur pergerakan dan perubahan di dalamnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencakup isu-isu fundamental yang tidak hanya penting dalam ranah teori, tetapi juga dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Filsafat alam menjadi landasan bagi teori-teori ilmiah, dari fisika klasik hingga fisika kuantum, dan memperkaya diskusi dalam bidang-bidang seperti ekologi, kosmologi, dan biologi.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran komprehensif tentang filsafat alam, mengulas sejarah perkembangannya, mengidentifikasi konsep-konsep kunci yang terkandung di dalamnya, serta menilai relevansinya dalam konteks pemikiran modern. Dengan mengulas peran filsafat alam dari zaman Yunani kuno hingga pengaruhnya dalam dunia ilmiah dan ekologi kontemporer, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai kontribusi besar filsafat alam dalam membentuk cara kita memandang alam semesta dan tempat kita di dalamnya.


Footnotes

[1]            Aristotle. Metaphysics. Translated by W. D. Ross. The Internet Classics Archive. Accessed August 30, 2025. http://classics.mit.edu/Aristotle/metaphysics.html.

[2]            Heraclitus. Fragments. Translated by T. M. Robinson. The Presocratic Philosophers. 5th ed. London: Routledge, 2001.

[3]            Aquinas, Thomas. Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. New York: Benziger Brothers, 1947.

[4]            Galileo, Galileo. Dialogue Concerning the Two Chief World Systems. Translated by Stillman Drake. Berkeley: University of California Press, 1967.

[5]            Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster, 1945.


2.            Sejarah Filsafat Alam

Filsafat alam memiliki akar yang dalam dalam sejarah pemikiran manusia, yang berawal dari refleksi awal para filsuf pra-Sokratik hingga para ilmuwan modern. Sejarah filsafat alam adalah perjalanan panjang untuk memahami alam semesta, baik sebagai objek fisik maupun sebagai entitas metafisik yang teratur. Pemikiran-pemikiran awal ini membentuk fondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat modern.

2.1.        Filsafat Alam pada Zaman Kuno

Pemikiran filsafat alam dimulai pada abad ke-6 SM dengan para filsuf pra-Sokratik yang berusaha memahami alam semesta tanpa merujuk pada mitologi. Mereka mencoba mengidentifikasi elemen dasar yang membentuk alam. Thales, salah satu filsuf pertama dari kota Miletus, berpendapat bahwa air adalah prinsip dasar segala sesuatu, yang dikenal dengan istilah archê. Pemikiran ini diikuti oleh Anaximander yang mengusulkan konsep apeiron (yang tidak terbatas) sebagai asal-usul alam semesta, menggantikan ide bahwa alam berasal dari satu elemen material. Heraklitus menyatakan bahwa perubahan dan pergerakan adalah aspek dasar alam, dengan prinsip utama “panta rhei” (segala sesuatu mengalir), menekankan sifat dinamis dan transien dari dunia fisik.

Filsuf lain, seperti Empedokles, mengemukakan gagasan bahwa alam terdiri dari empat elemen dasar—tanah, air, api, dan udara—yang berinteraksi melalui kekuatan cinta dan kebencian. Anaxagoras, pada gilirannya, memperkenalkan konsep nous (pikiran atau kecerdasan kosmik) sebagai prinsip penyusun alam semesta. Pemikiran-pemikiran ini mengarah pada pemahaman awal tentang alam semesta yang bukan hanya terbuat dari materi, tetapi juga terorganisir oleh prinsip-prinsip rasional.

2.2.        Filsafat Alam dalam Filsafat Klasik

Plato (427–347 SM) memberikan kontribusi besar terhadap filsafat alam dengan mengembangkan teori bentuk (ideas), di mana dunia fisik hanyalah salinan dari dunia ide yang sempurna dan abadi. Dalam dialog Timaeus, Plato menjelaskan bahwa alam semesta adalah ciptaan dari Demiurge yang membentuk dunia fisik berdasarkan pola rasional dari dunia ide. Walaupun Plato lebih menekankan aspek metafisik, pandangannya tentang alam semesta sebagai entitas yang rasional dan teratur sangat mempengaruhi perkembangan filsafat alam.

Aristoteles (384–322 SM), murid Plato, mengambil pendekatan yang berbeda dengan memfokuskan diri pada studi dunia fisik. Dalam karya Physics, Aristoteles mengemukakan teori empat sebab yang menjelaskan bagaimana segala sesuatu di dunia ini terjadi: sebab material, formal, efisien, dan final. Menurut Aristoteles, alam semesta memiliki tujuan dan tatanan internal yang dipandu oleh prinsip-prinsip yang rasional. Pandangannya tentang alam sebagai entitas yang bergerak menuju tujuan (teleologi) menjadi dasar bagi pemikiran ilmiah dan filsafat alam untuk berabad-abad setelahnya.

2.3.        Filsafat Alam dalam Abad Pertengahan

Selama Abad Pertengahan, filsafat alam mengalami integrasi yang erat dengan teologi Kristen. Filsuf seperti Thomas Aquinas mengembangkan pandangan alam yang menggabungkan ajaran Aristoteles dengan ajaran Gereja. Dalam karya Summa Theologica, Aquinas berargumen bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan yang teratur dan dapat dipahami melalui akal manusia. Ia menegaskan bahwa hukum-hukum alam, seperti hukum gerak dan kausalitas, tidak hanya merupakan penjelasan fisik, tetapi juga mencerminkan kehendak ilahi yang teratur dan rasional.

Pemikiran ini bertahan kuat dalam pemikiran abad pertengahan, yang melihat alam sebagai sistem yang harmonis yang diciptakan oleh Tuhan, dengan sains dan filsafat bekerja bersama untuk mengungkap kebenaran yang ada. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh para filsuf Arab seperti Avicenna dan Averroes, yang memperkenalkan gagasan Aristoteles ke dalam dunia Islam, yang pada gilirannya menginspirasi pemikiran Barat.

2.4.        Filsafat Alam dalam Renaisans dan Modern

Dengan masuknya Renaisans, pemikiran filsafat alam mulai bergeser seiring dengan kebangkitan ilmiah. Galileo Galilei (1564–1642) dan Isaac Newton (1643–1727) memulai revolusi ilmiah dengan mengadopsi metode empiris dan eksperimen sebagai cara untuk memahami hukum-hukum alam. Galileo, melalui teleskopnya, membuktikan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, sebuah penemuan yang mengguncang pandangan geosentris yang telah diterima sejak masa Aristoteles dan Ptolemaeus.

Newton, dengan hukum gravitasi dan teori mekanika klasiknya, menggambarkan alam semesta sebagai sistem yang teratur dan dapat diprediksi berdasarkan hukum-hukum matematis. Pandangan ini mengarah pada pandangan mekanistis tentang alam semesta yang berlanjut hingga era Modern, di mana alam dianggap sebagai mesin besar yang beroperasi berdasarkan hukum fisika yang dapat dijelaskan.

2.5.        Pengaruh Pemikiran Modern terhadap Filsafat Alam

Pemikiran ilmiah modern, yang berfokus pada observasi, eksperimen, dan penggunaan metode ilmiah, menggantikan banyak pandangan metafisik tradisional. Immanuel Kant (1724–1804) memberikan kontribusi signifikan dengan mengembangkan teori bahwa pengetahuan kita tentang alam terbatas pada bagaimana indera kita mengorganisir informasi, yang dikenal dengan istilah transendental idealisme. Filsuf alam modern semakin bergantung pada sains untuk menjelaskan fenomena alam, meskipun diskusi metafisik tentang alam semesta dan hakikatnya tetap berlanjut dalam filsafat kontemporer.

Perkembangan seperti teori relativitas oleh Albert Einstein dan teori kuantum oleh Niels Bohr membuka dimensi baru dalam pemahaman alam semesta, menggabungkan perspektif yang lebih kompleks dan non-Newtonian terhadap ruang dan waktu.


Footnotes

[1]            Aristotle. Physics. Translated by R. P. Hardie and R. K. Gaye. The Internet Classics Archive. Accessed August 30, 2025.

[2]            Aquinas, Thomas. Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. New York: Benziger Brothers, 1947.

[3]            Galilei, Galileo. Dialogue Concerning the Two Chief World Systems. Translated by Stillman Drake. Berkeley: University of California Press, 1967.

[4]            Newton, Isaac. Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica. Translated by Andrew Motte. London: Royal Society, 1729.

[5]            Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster, 1945.

[6]            Thales. Fragments. In The Presocratic Philosophers. Translated by G. S. Kirk, J. E. Raven, and M. Schofield. 3rd ed. London: Penguin Books, 1983.


3.            Konsep-konsep Utama dalam Filsafat Alam

Filsafat alam bukan hanya mencakup sejarah pemikiran tentang alam semesta, tetapi juga berfokus pada pengembangan berbagai konsep fundamental yang menjelaskan hakikat alam itu sendiri. Konsep-konsep ini membentuk dasar pemahaman kita tentang dunia fisik, hukum-hukum yang mengaturnya, serta hubungan antara manusia dan alam semesta. Dalam bab ini, kita akan mengulas beberapa konsep utama yang menjadi inti dalam filsafat alam: substansi dan materi, alam semesta dan kosmos, perubahan dan pergerakan, serta kausalitas dan hukum alam.

3.1.        Substansi dan Materi

Salah satu konsep sentral dalam filsafat alam adalah substansi, yang merujuk pada unsur dasar yang membentuk segala sesuatu. Dalam pemikiran Aristoteles, substansi adalah sesuatu yang memiliki eksistensi independen dan menjadi dasar dari segala perubahan. Substansi adalah apa yang tetap ada meskipun terjadi perubahan pada sifat-sifat atau karakteristiknya. Menurut Aristoteles, substansi dapat dibedakan menjadi dua jenis: substansi primer, yaitu individu-individu yang ada dalam dunia ini (seperti pohon, manusia, atau batu), dan substansi sekunder, yaitu sifat atau kualitas yang ada pada substansi primer, seperti warna, bentuk, atau ukuran.

Sementara itu, dalam filsafat modern, terutama dalam pandangan materialisme, materi dipandang sebagai elemen dasar dari realitas. Materi dianggap sebagai substansi yang fundamental, dan segala sesuatu di alam semesta, termasuk kehidupan dan pikiran, diyakini terbentuk dari materi dan hukum-hukum alam yang mengaturnya. Pandangan ini sangat berpengaruh dalam perkembangan sains, di mana segala fenomena alam berusaha dijelaskan melalui konsep-konsep materi dan energi.

3.2.        Alam Semesta dan Kosmos

Konsep alam semesta dalam filsafat alam sering kali melibatkan pemahaman tentang keteraturan dan struktur dari dunia fisik. Kosmos, yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "tatanan" atau "kesatuan yang teratur", merujuk pada pandangan bahwa alam semesta ini bukanlah kumpulan elemen yang kacau, melainkan suatu sistem yang teratur dan rasional. Pandangan ini pertama kali dikembangkan oleh para filsuf pra-Sokratik seperti Pythagoras dan Heraklitus, yang menganggap bahwa alam semesta ini diatur oleh prinsip-prinsip matematis dan rasional.

Plato, dalam Timaeus, juga mengemukakan bahwa alam semesta adalah ciptaan dari Demiurge yang bekerja berdasarkan rasio dan tatanan. Ia menyatakan bahwa dunia fisik yang kita lihat hanyalah bayangan dari dunia ide yang lebih tinggi, tetapi tetap terorganisir dalam suatu tatanan kosmik yang sempurna. Konsep kosmos ini kemudian diteruskan oleh Aristoteles, yang melihat alam semesta sebagai entitas yang terbagi dalam dua dunia: dunia fisik (alam bawah) dan dunia metafisik (alam atas), yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu harmoni.

Dalam sains modern, kosmos atau alam semesta tidak hanya dipandang sebagai tatanan yang rasional, tetapi juga sebagai entitas yang luas dan dinamis, di mana hukum-hukum fisika dan teori-teori ilmiah seperti relativitas dan kuantum memberikan pemahaman baru tentang struktur alam semesta yang lebih mendalam.

3.3.        Perubahan dan Pergerakan

Konsep perubahan dan pergerakan adalah elemen sentral dalam filsafat alam, karena keduanya menjelaskan bagaimana segala sesuatu di alam semesta dapat mengalami transformasi. Heraklitus, dengan teorinya yang terkenal "panta rhei" (segala sesuatu mengalir), menegaskan bahwa perubahan adalah hakikat utama dari alam semesta. Baginya, alam semesta selalu dalam keadaan flux (perubahan terus-menerus), dan pergerakan adalah karakteristik dasar dari realitas.

Aristoteles memandang pergerakan sebagai perubahan yang terjadi karena suatu sebab. Dalam teorinya tentang perubahan, ia membedakan antara perubahan substansial (misalnya, perubahan dari satu jenis materi ke materi lain) dan perubahan aksidental (perubahan dalam sifat-sifat, seperti warna atau bentuk). Aristoteles juga memperkenalkan konsep "gerak alamiah" dan "gerak paksa", di mana gerakan alamiah adalah gerakan yang sesuai dengan tujuan alam, sedangkan gerakan paksa terjadi ketika suatu objek digerakkan oleh kekuatan eksternal.

Dalam filsafat modern, teori pergerakan dikembangkan lebih lanjut melalui hukum-hukum fisika, khususnya oleh Isaac Newton yang merumuskan hukum gerak yang menjelaskan bagaimana objek bergerak di bawah pengaruh gaya. Konsep ini lebih jauh diperdalam dalam teori relativitas oleh Albert Einstein, yang menunjukkan bahwa ruang dan waktu itu saling terkait dalam suatu struktur yang lebih besar yang disebut ruang-waktu.

3.4.        Kausalitas dan Hukum Alam

Kausalitas atau hubungan sebab-akibat adalah konsep penting lainnya dalam filsafat alam yang berusaha menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa di alam semesta terjadi dan saling terhubung. Menurut Aristoteles, segala peristiwa atau perubahan di alam semesta dapat dijelaskan melalui empat jenis sebab: sebab material (apa yang membentuk sesuatu), sebab formal (bentuk atau pola), sebab efisien (yang menyebabkan perubahan), dan sebab final (tujuan atau akhir dari perubahan). Kausalitas ini mengarah pada pemahaman bahwa alam semesta adalah sistem yang teratur, dan segala sesuatu terjadi karena adanya sebab yang dapat dijelaskan.

Dalam konteks ilmiah, kausalitas menjadi landasan untuk menjelaskan hukum-hukum alam yang mengatur fenomena fisik. Isaac Newton, dalam Principia, merumuskan hukum gravitasi sebagai hukum universal yang menjelaskan bagaimana benda-benda di alam semesta saling tarik menarik satu sama lain. Pemikiran ini melahirkan pandangan mekanistik tentang alam, di mana hukum-hukum fisika menjadi kausalitas yang mengatur seluruh alam semesta.

Pada abad ke-20, teori kausalitas semakin diperluas dengan teori relativitas dan mekanika kuantum. Dalam mekanika kuantum, konsep kausalitas menjadi lebih kompleks, karena peristiwa-peristiwa pada tingkat subatomik sering kali terjadi secara probabilistik, bukan deterministik seperti dalam hukum-hukum Newtonian.


Footnotes

[1]            Aristotle. Metaphysics. Translated by W. D. Ross. The Internet Classics Archive. Accessed August 30, 2025.

[2]            Heraclitus. Fragments. Translated by T. M. Robinson. The Presocratic Philosophers. 5th ed. London: Routledge, 2001.

[3]            Plato. Timaeus. Translated by Benjamin Jowett. In The Dialogues of Plato. Vol. 3. 4th ed. London: Oxford University Press, 1892.

[4]            Newton, Isaac. Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica. Translated by Andrew Motte. London: Royal Society, 1729.

[5]            Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster, 1945.


4.            Pengaruh Filsafat Alam terhadap Pemikiran Ilmiah

Filsafat alam tidak hanya berperan penting dalam pengembangan teori-teori metafisika dan ontologi, tetapi juga memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk landasan ilmiah yang digunakan oleh ilmuwan untuk menjelaskan alam semesta. Pengaruh filsafat alam terhadap pemikiran ilmiah dapat dilihat dalam berbagai bidang, seperti fisika, biologi, kosmologi, dan bahkan ekologi. Dalam bab ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana filsafat alam membentuk dasar-dasar ilmu pengetahuan dan mempengaruhi perkembangan metode ilmiah, serta bagaimana keduanya saling berinteraksi dalam memahami alam semesta.

4.1.        Filsafat Alam dan Ilmu Pengetahuan

Sejak zaman Yunani kuno, filsuf alam telah memainkan peran kunci dalam merumuskan dasar-dasar yang mengarah pada metode ilmiah yang kita kenal saat ini. Pemikiran-pemikiran awal tentang alam semesta dan hukum-hukumnya memberikan pengaruh yang besar terhadap cara-cara ilmuwan dalam memandang dunia. Aristoteles, misalnya, mengembangkan pendekatan sistematis untuk memahami alam melalui pengamatan dan deduksi rasional, meskipun pendekatannya lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Filsafatnya yang mengedepankan prinsip-prinsip sebab-akibat menjadi landasan bagi banyak pendekatan ilmiah di masa depan.

Namun, kemajuan signifikan dalam hubungan antara filsafat alam dan ilmu pengetahuan terjadi pada Renaisans. Galileo Galilei, seorang ilmuwan dan filsuf, memanfaatkan prinsip-prinsip empirisme dan eksperimen untuk memahami hukum-hukum alam. Dalam karyanya Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, Galileo mendemonstrasikan bahwa pengamatan langsung dan eksperimen dapat memberikan jawaban yang lebih akurat tentang struktur alam semesta dibandingkan dengan pandangan teologis atau dogmatis yang telah mendominasi abad sebelumnya. Galileo juga berperan penting dalam menyebarkan metode ilmiah yang berfokus pada observasi, eksperimen, dan verifikasi.

Isaac Newton membawa perkembangan ini ke tingkat berikutnya dengan mengembangkan hukum gerak dan gravitasi dalam karya monumental Principia Mathematica. Newton memperkenalkan pendekatan matematis untuk menggambarkan alam semesta yang teratur dan rasional, menjelaskan bagaimana benda-benda di alam semesta berinteraksi satu sama lain melalui gaya tarik-menarik yang dapat dihitung dengan persamaan matematika. Pandangannya ini menjadikan alam semesta sebagai mesin besar yang berfungsi mengikuti hukum-hukum matematis yang dapat dipahami dan diprediksi, suatu pandangan yang sangat mempengaruhi ilmuwan hingga abad ke-20.

4.2.        Perkembangan Metode Ilmiah

Perkembangan metode ilmiah yang kita kenal saat ini tidak lepas dari pengaruh filsafat alam. René Descartes, misalnya, memperkenalkan pendekatan rasionalisme dan skeptisisme dalam memandang dunia. Dalam karyanya Discourse on the Method, Descartes menekankan pentingnya meragukan segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara jelas dan tegas, dan hanya menerima pengetahuan yang dapat diperoleh melalui akal sehat dan pengamatan empiris. Pandangan ini mendasari metode ilmiah modern yang berfokus pada verifikasi eksperimental dan penggunaan alat logika serta matematika untuk memahami dunia.

Francis Bacon, seorang filsuf Inggris, berperan penting dalam pengembangan metode induktif, yaitu pendekatan ilmiah yang mengutamakan pengumpulan data dan pengujian hipotesis melalui eksperimen. Dalam karyanya Novum Organum, Bacon mengkritik pendekatan deduktif yang digunakan oleh para filsuf sebelumnya dan menekankan perlunya pengamatan langsung dan eksperimen untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat diuji secara sistematis. Pendekatan ini sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan modern, terutama dalam bidang fisika dan biologi.

4.3.        Hubungan Filsafat Alam dengan Ilmu Alam Modern

Pengaruh filsafat alam dalam ilmu alam semakin jelas terlihat dalam perkembangan ilmu fisika modern, terutama setelah revolusi ilmiah yang diprakarsai oleh Albert Einstein dan Niels Bohr. Teori relativitas yang diajukan oleh Einstein mengguncang pandangan klasik tentang ruang dan waktu yang didasarkan pada teori Newton. Teori ini menunjukkan bahwa ruang dan waktu bukanlah entitas yang terpisah dan statis, tetapi terkait erat dalam sebuah struktur yang dinamis dan dapat terpengaruh oleh massa dan energi. Pandangan ini, yang dikenal dengan istilah ruang-waktu, memperkenalkan cara baru untuk memahami hukum-hukum alam dalam skala kosmik.

Di sisi lain, teori kuantum yang dikembangkan oleh Bohr dan ilmuwan lainnya memperkenalkan ide bahwa alam semesta pada tingkat subatomik tidak sepenuhnya dapat diprediksi, melainkan bergerak dalam probabilitas yang dapat dihitung. Ini menunjukkan pergeseran dari pandangan deterministik yang ada dalam filsafat alam Aristotelian dan Newtonian menuju pandangan yang lebih kompleks dan tidak pasti, yang menantang pemahaman kita tentang kausalitas dan hukum alam.

4.4.        Filsafat Alam dan Etika Lingkungan

Filsafat alam tidak hanya berperan dalam pengembangan teori-teori ilmiah, tetapi juga dalam membentuk pemahaman kita tentang hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks ini, filsafat alam memberi kontribusi penting terhadap pengembangan etika lingkungan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak manusia terhadap alam, pemikiran filsafat alam kontemporer, yang menggabungkan pandangan ekologi dan sains, memberikan dasar bagi pemahaman baru tentang tanggung jawab manusia terhadap keberlanjutan alam semesta.

Pemikiran filsuf seperti Arne Naess, dengan teori ekologi dalam kerangka filsafat alamnya yang dikenal sebagai "deep ecology," memperkenalkan pandangan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari alam dan memiliki kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pandangan ini mempengaruhi gerakan lingkungan global yang mendorong pelestarian alam dan pengurangan dampak negatif dari aktivitas manusia.


Footnotes

[1]            Bacon, Francis. Novum Organum. Translated by Peter Urbach and John Gibson. Chicago: Open Court, 1994.

[2]            Descartes, René. Discourse on the Method. Translated by John Veitch. London: Everyman, 1999.

[3]            Galileo Galilei. Dialogue Concerning the Two Chief World Systems. Translated by Stillman Drake. Berkeley: University of California Press, 1967.

[4]            Newton, Isaac. Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica. Translated by Andrew Motte. London: Royal Society, 1729.

[5]            Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster, 1945.

[6]            Einstein, Albert. Relativity: The Special and General Theory. Translated by Robert W. Lawson. London: Routledge, 2001.

[7]            Bohr, Niels. Atomic Physics and the Description of Nature. Cambridge: Cambridge University Press, 1961.

[8]            Naess, Arne. Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Translated by David Rothenberg. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.


5.            Filsafat Alam dalam Konteks Kontemporer

Filsafat alam tidak berhenti berkembang setelah revolusi ilmiah dan perkembangan teori-teori besar dalam fisika dan kosmologi. Di abad ke-20 dan ke-21, pemikiran filsafat alam terus bertransformasi, baik dalam hubungan dengan ilmu pengetahuan modern maupun dalam respons terhadap tantangan sosial dan lingkungan yang muncul. Dalam konteks kontemporer, filsafat alam kini melibatkan kajian tentang teori-teori ilmiah terkini, serta pertanyaan-pertanyaan etis dan ekologi yang semakin mendesak. Bab ini akan membahas perkembangan filsafat alam dalam dua area utama: pengaruhnya terhadap sains modern dan relevansinya dalam isu-isu sosial dan lingkungan.

5.1.        Filsafat Alam dan Sains Kontemporer

Filsafat alam abad modern berusaha mengintegrasikan pemahaman tentang alam semesta dengan perkembangan terbaru dalam sains. Salah satu perubahan besar yang terjadi dalam sains adalah pemahaman baru tentang realitas kuantum. Konsep mekanika kuantum yang diperkenalkan oleh ilmuwan seperti Max Planck, Albert Einstein, dan Niels Bohr, telah mengguncang cara kita memandang dunia subatomik. Dalam dunia ini, hukum-hukum deterministik yang berlaku pada skala makroskopik, seperti hukum Newton, tampaknya tidak berlaku.

Pergeseran paradigma ini telah mengarah pada munculnya pendekatan baru dalam filsafat alam. Heisenberg's uncertainty principle (prinsip ketidakpastian Heisenberg) menantang konsep determinisme yang kuat dalam filsafat alam tradisional, di mana posisi dan momentum suatu partikel tidak dapat diketahui secara bersamaan dengan presisi tak terbatas. Hal ini menyiratkan bahwa alam pada tingkat fundamentalnya memiliki unsur ketidakpastian dan probabilitas, yang memberikan ruang bagi penafsiran filosofis tentang sifat dasar dari realitas itu sendiri.

Selain itu, teori relativitas oleh Albert Einstein mengubah pemahaman kita tentang ruang dan waktu. Teori ini tidak hanya menghubungkan ruang dan waktu sebagai satu entitas yang dinamakan ruang-waktu, tetapi juga menunjukkan bahwa keduanya dipengaruhi oleh gravitasi dan massa, yang berarti bahwa alam semesta jauh lebih dinamis dan saling terhubung daripada yang dipahami sebelumnya.

Filsuf alam kontemporer seperti David Bohm dan Roger Penrose telah mengusulkan model baru untuk menjelaskan alam semesta, yang lebih mengarah pada konsep non-lokalitas dan keterhubungan universal. Bohm, dalam karyanya tentang holomovement dan order implisit, menggambarkan alam semesta sebagai suatu entitas yang terorganisir dalam pola yang tidak dapat dipahami hanya melalui hukum fisika yang biasa, melainkan juga dengan memperhitungkan keterkaitan dan keutuhan alam semesta.

5.2.        Filsafat Alam dan Etika Lingkungan

Di luar diskursus ilmiah, filsafat alam juga memberikan kontribusi besar dalam membahas isu-isu etika lingkungan dan hubungan manusia dengan alam. Dengan meningkatnya kesadaran global tentang perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan lingkungan, filsuf alam kontemporer semakin terlibat dalam membahas tanggung jawab manusia terhadap alam semesta. Salah satu filsuf yang berperan besar dalam hal ini adalah Arne Naess, yang mengembangkan deep ecology (ekologi dalam) sebagai filosofi yang menekankan pentingnya melihat alam semesta sebagai sebuah kesatuan yang saling berhubungan.

Deep ecology mengusulkan bahwa manusia tidak dapat memisahkan dirinya dari alam, melainkan bagian dari ekosistem yang lebih besar. Oleh karena itu, manusia harus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam dengan cara yang lebih mendalam, bukan hanya untuk kepentingan manusia tetapi juga untuk kesejahteraan seluruh kehidupan. Pemikiran ini mengajak kita untuk berpikir ulang tentang dominasi manusia atas alam dan memperkenalkan konsep biocentric equality (kesetaraan biocentris), di mana setiap makhluk hidup, terlepas dari spesies atau peranannya, memiliki hak untuk eksis dan berkembang.

Selain Naess, banyak filsuf lingkungan kontemporer lainnya, seperti Murray Bookchin dan Alfred North Whitehead, juga berpendapat bahwa hubungan antara manusia dan alam tidak dapat dipandang hanya sebagai hubungan instrumental. Sebaliknya, mereka menekankan pentingnya hubungan yang berbasis pada penghargaan terhadap keberagaman hidup dan pemeliharaan ekosistem. Whitehead, dengan konsepnya tentang proses dan entitas yang terhubung, mengembangkan pandangan bahwa dunia ini bukan hanya terdiri dari substansi statis, tetapi merupakan suatu jaringan dinamis dari entitas yang saling berinteraksi.

5.3.        Filsafat Alam dan Kosmologi Kontemporer

Filsafat alam juga berperan dalam diskursus kosmologi kontemporer, terutama dalam memahami asal-usul alam semesta dan tempat manusia dalam struktur kosmik. Big Bang theory (teori ledakan besar), yang mengemukakan bahwa alam semesta dimulai dari suatu titik singularitas dan berkembang menjadi alam semesta yang kita kenal sekarang, telah menggugah banyak pertanyaan filosofis mengenai asal-usul dan tujuan eksistensi alam semesta. Pandangan ini telah memicu diskusi tentang apakah alam semesta memiliki tujuan atau apakah ia merupakan hasil dari kejadian acak yang tidak terkendali.

Stephen Hawking, dalam karyanya A Brief History of Time, mengusulkan bahwa alam semesta dapat dijelaskan dengan hukum fisika tanpa memerlukan referensi kepada Tuhan atau entitas metafisik lainnya. Pandangan ini membuka jalan bagi pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang keberadaan, makna, dan tujuan, yang merupakan bagian dari pemikiran filsafat alam kontemporer. Dalam teori kuantum kosmologi, seperti yang dicontohkan oleh Roger Penrose dan Lee Smolin, pertanyaan mengenai keberadaan dunia dalam konteks ruang dan waktu telah diangkat lebih jauh untuk memahami alam semesta dari sudut pandang lebih holistik dan terkait dengan konsep kemungkinan dan ketidakpastian.

5.4.        Tantangan Terhadap Filsafat Alam Kontemporer

Seiring dengan kemajuan sains dan filsafat, filsafat alam kontemporer menghadapi tantangan besar, terutama dalam menghadapi perkembangan dalam teori kuantum dan kosmologi modern yang mempersoalkan pemahaman tradisional tentang ruang, waktu, dan kausalitas. Filsuf seperti David Chalmers dan Thomas Nagel berusaha mengkaji kesenjangan antara dunia fisik dan pengalaman subyektif manusia, yang menantang pemahaman kita tentang "realitas" dan "kesadaran".

Bersamaan dengan itu, filsafat alam juga harus berhadapan dengan tantangan etis terkait dengan dampak teknologi terhadap lingkungan dan masyarakat. Bagaimana kita harus menanggapi penggunaan teknologi modern dalam konteks etika alam dan kelestarian hidup di planet ini? Ini adalah pertanyaan yang semakin relevan dalam kajian filsafat alam kontemporer.


Footnotes

[1]            Bohm, David. Wholeness and the Implicate Order. London: Routledge, 1980.

[2]            Bookchin, Murray. The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy. Palo Alto: Cheshire Books, 1982.

[3]            Chalmers, David. The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Oxford: Oxford University Press, 1996.

[4]            Einstein, Albert. Relativity: The Special and General Theory. Translated by Robert W. Lawson. London: Routledge, 2001.

[5]            Hawking, Stephen. A Brief History of Time. New York: Bantam Books, 1988.

[6]            Naess, Arne. Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Translated by David Rothenberg. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

[7]            Penrose, Roger. The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe. New York: Alfred A. Knopf, 2004.

[8]            Whitehead, Alfred North. Process and Reality. New York: Free Press, 1978.


6.            Relevansi Filsafat Alam di Era Modern

Di era modern, filsafat alam tetap memiliki relevansi yang besar, baik dalam hubungan dengan perkembangan ilmiah yang terus berlanjut maupun dalam menanggapi tantangan sosial, etis, dan ekologis yang semakin kompleks. Meskipun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah banyak pandangan tentang alam semesta, filsafat alam tetap menjadi bidang penting yang menggali pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai asal-usul, tujuan, dan makna eksistensi. Bab ini akan membahas relevansi filsafat alam di era modern, dengan fokus pada kontribusinya dalam sains, etika, dan lingkungan, serta tantangan dan peluang yang dihadapi filsafat alam dalam konteks kontemporer.

6.1.        Filsafat Alam dalam Konteks Ilmu Pengetahuan Modern

Di era modern, filsafat alam tetap berfungsi sebagai landasan reflektif bagi sains. Sains kontemporer, yang berfokus pada eksperimen dan teori, sering kali membutuhkan pemahaman filosofis untuk menjelaskan dasar-dasar ontologis dan epistemologis dari teori-teori ilmiah. Sebagai contoh, perkembangan dalam fisika kuantum dan kosmologi memunculkan pertanyaan fundamental mengenai sifat realitas, ruang, dan waktu. Teori relativitas yang dikembangkan oleh Albert Einstein, serta teori kuantum yang diusulkan oleh Max Planck dan Niels Bohr, telah merubah pandangan tentang dunia fisik, menantang pemahaman tradisional yang dibangun oleh Isaac Newton.

Pentingnya filsafat alam dalam konteks ini terletak pada kemampuannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam yang tidak dapat dijawab hanya dengan menggunakan metode ilmiah empiris. Misalnya, dalam kajian metafisika fisika, filsuf alam mencoba mengungkap apakah alam semesta ini memiliki tujuan akhir atau apakah ia berkembang melalui mekanisme yang acak dan tak terduga. Filsuf seperti David Bohm dan Roger Penrose telah berusaha menjelaskan alam semesta melalui lensa yang lebih holistik dan mengintegrasikan konsep-konsep dari teori kuantum dan relativitas, menantang pandangan materialistik yang terbatas dan membuka ruang bagi pemikiran filosofis yang lebih kompleks.

6.2.        Filsafat Alam dan Etika Lingkungan

Di luar sains, filsafat alam berperan besar dalam menjawab tantangan etika lingkungan yang dihadapi umat manusia. Dengan meningkatnya kesadaran global tentang krisis lingkungan, perubahan iklim, dan kehilangan biodiversitas, filsafat alam memberikan dasar pemikiran bagi pendekatan etis yang lebih responsif terhadap alam. Deep ecology, yang dipelopori oleh Arne Naess, mengajukan bahwa manusia tidak dapat memisahkan dirinya dari alam semesta, melainkan bagian dari jaringan ekologi yang lebih besar. Perspektif ini menekankan pentingnya kesetaraan biocentris (biocentric equality), yaitu penghargaan terhadap semua bentuk kehidupan, bukan hanya manusia.

Sebagai respon terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia, filsafat alam modern mengajukan pertanyaan tentang keberlanjutan dan tanggung jawab moral terhadap alam. Filsuf seperti Alfred North Whitehead dengan teori prosesnya memperkenalkan pandangan bahwa dunia ini tidak statis, melainkan selalu berkembang, dan bahwa manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kelangsungan hidup ekosistem. Filsafat alam, dalam hal ini, berfungsi tidak hanya untuk memberikan kerangka teori, tetapi juga sebagai panduan moral dalam mengambil keputusan yang berkelanjutan dan etis.

Filsuf lingkungan kontemporer lainnya, seperti Murray Bookchin, juga menekankan pentingnya hubungan ekologis yang lebih egaliter antara manusia dan alam. Pemikiran ini berakar pada ide bahwa teknologi dan industrialisasi yang berkembang pesat harus diubah untuk meminimalisir dampaknya terhadap alam dan masyarakat. Buku "The Ecology of Freedom" mengkritik hierarki sosial dan ekonomi yang mempengaruhi hubungan manusia dengan alam, serta mengajukan alternatif dalam cara manusia hidup berkelanjutan.

6.3.        Filsafat Alam dalam Perspektif Postmodern

Di era postmodern, filsafat alam juga menghadapi tantangan besar. Postmodernisme cenderung mempertanyakan narasi besar (grand narratives) yang mendasari pemikiran modern, termasuk pandangan mengenai alam semesta dan hukum-hukum yang mengaturnya. Dalam konteks ini, filsuf postmodern seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik cara-cara ilmiah yang dominan dalam menggambarkan realitas sebagai sesuatu yang objektif dan dapat dipahami sepenuhnya. Mereka menantang pandangan mekanistik dan deterministik yang diajukan oleh filsuf modern, dengan berargumen bahwa segala bentuk pengetahuan adalah konstruksi sosial dan budaya yang dipengaruhi oleh kekuatan politik dan ideologi.

Namun, meskipun postmodernisme cenderung meragukan klaim objektivitas dalam sains, filsafat alam kontemporer juga berusaha mencari keseimbangan antara pemahaman ilmiah dan pengakuan terhadap pluralitas interpretasi. Dengan demikian, filsafat alam tidak hanya mempertanyakan bagaimana kita memahami alam semesta melalui sains, tetapi juga bagaimana kita membangun hubungan dengan alam berdasarkan nilai-nilai yang lebih inklusif dan beragam.

6.4.        Tantangan Filsafat Alam di Era Modern

Meskipun filsafat alam tetap relevan di era modern, ia juga menghadapi sejumlah tantangan besar. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengintegrasikan penemuan-penemuan ilmiah baru dengan pemahaman filosofis yang lebih luas. Misalnya, dalam kajian kosmologi kuantum, bagaimana memahami sifat dasar dari realitas yang memiliki elemen ketidakpastian dan non-lokalitas? Apakah hukum-hukum fisika dapat sepenuhnya menjelaskan keberadaan manusia dan kesadaran?

Selain itu, filsafat alam juga menghadapi tantangan dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat, yang menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana teknologi memengaruhi hubungan kita dengan alam dan sesama manusia. Dengan munculnya teknologi seperti artificial intelligence dan bioteknologi, pertanyaan-pertanyaan etis yang lebih mendalam tentang identitas manusia, kesadaran, dan pengaruh teknologi terhadap alam semakin mendesak untuk dibahas dalam konteks filsafat alam.

6.5.        Masa Depan Filsafat Alam

Filsafat alam di era modern berpotensi untuk terus berkembang dengan memanfaatkan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sains, etika, dan filosofi. Sebagai contoh, bioetika dan etika lingkungan akan terus memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam semesta. Di masa depan, filsafat alam mungkin akan lebih terintegrasi dengan teori-teori sains modern, seperti neurofilsafat yang mempelajari hubungan antara otak dan pikiran, serta bagaimana pemahaman ini mempengaruhi pandangan kita tentang alam semesta.

Filsafat alam akan terus relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai eksistensi, keberlanjutan, dan hakikat realitas di tengah perubahan-perubahan besar dalam sains dan teknologi.


Footnotes

[1]            Bohm, David. Wholeness and the Implicate Order. London: Routledge, 1980.

[2]            Bookchin, Murray. The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy. Palo Alto: Cheshire Books, 1982.

[3]            Chalmers, David. The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Oxford: Oxford University Press, 1996.

[4]            Naess, Arne. Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Translated by David Rothenberg. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

[5]            Penrose, Roger. The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe. New York: Alfred A. Knopf, 2004.

[6]            Whitehead, Alfred North. Process and Reality. New York: Free Press, 1978.

[7]            Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Translated by A. M. Sheridan Smith. London: Pantheon Books, 1972.

[8]            Derrida, Jacques. Writing and Difference. Translated by Alan Bass. Chicago: University of Chicago Press, 1978.


7.            Penutup

Filsafat alam, sejak pertama kali muncul dalam pemikiran pra-Sokratik hingga perkembangan pemikiran kontemporer, telah memberikan kontribusi besar dalam upaya memahami alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Dengan menggabungkan pertanyaan-pertanyaan metafisika, epistemologis, dan etis, filsafat alam tidak hanya mendorong kita untuk lebih memahami struktur dasar realitas, tetapi juga untuk mempertimbangkan hubungan kita dengan dunia alam semesta, baik dalam konteks ilmiah maupun moral.

Sepanjang sejarahnya, filsafat alam telah berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari pemikiran tentang elemen dasar oleh para filsuf Yunani kuno, hingga teori-teori revolusioner dalam fisika modern seperti relativitas dan mekanika kuantum, filsafat alam terus beradaptasi dan merespons perubahan-perubahan besar dalam sains. Pengaruhnya dalam merumuskan dan mendalami pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kausalitas, perubahan, ruang, dan waktu, tetap relevan dalam menjembatani dunia fisik dengan dunia konseptual yang lebih luas.

Filsafat alam juga menunjukkan relevansi besar dalam menghadapai tantangan kontemporer yang dihadapi oleh umat manusia, terutama dalam konteks perubahan iklim dan masalah lingkungan. Dengan mengajukan pandangan yang lebih holistik tentang hubungan manusia dengan alam, filsafat alam kontemporer memberikan dasar bagi teori etika lingkungan yang semakin penting. Melalui pandangan seperti deep ecology dan ekologi proses, filsafat alam mengajak kita untuk memikirkan kembali cara hidup yang lebih berkelanjutan dan beretika terhadap alam.

Meskipun dunia semakin dipenuhi dengan teknologi canggih dan temuan ilmiah yang menakjubkan, filsafat alam tetap menjadi alat yang esensial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terbesar yang dihadapi umat manusia, termasuk pertanyaan tentang tujuan, eksistensi, dan masa depan alam semesta. Tantangan yang dihadapi oleh filsafat alam di era postmodern, dengan pluralitas pandangan dan kemajuan teknologi, memerlukan adaptasi dan keterbukaan terhadap berbagai pendekatan baru.

Di masa depan, filsafat alam akan terus berperan penting dalam mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan pertimbangan etis dan filosofis. Sebagai disiplin yang menghubungkan pemikiran rasional dengan kebijakan praktis, filsafat alam tidak hanya memberikan pemahaman lebih mendalam tentang dunia fisik, tetapi juga membimbing kita dalam menjaga keberlanjutan dan keharmonisan hubungan kita dengan alam semesta.


Footnotes

[1]            Aristotle. Metaphysics. Translated by W. D. Ross. The Internet Classics Archive. Accessed August 30, 2025.

[2]            Bohm, David. Wholeness and the Implicate Order. London: Routledge, 1980.

[3]            Bookchin, Murray. The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy. Palo Alto: Cheshire Books, 1982.

[4]            Chalmers, David. The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Oxford: Oxford University Press, 1996.

[5]            Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Translated by A. M. Sheridan Smith. London: Pantheon Books, 1972.

[6]            Naess, Arne. Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Translated by David Rothenberg. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

[7]            Penrose, Roger. The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe. New York: Alfred A. Knopf, 2004.

[8]            Whitehead, Alfred North. Process and Reality. New York: Free Press, 1978.


Daftar Pustaka

Aristotle. (n.d.). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). The Internet Classics Archive. Retrieved August 30, 2025, from classics.mit.edu.

Bohm, D. (1980). Wholeness and the Implicate Order. Routledge.

Bookchin, M. (1982). The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy. Cheshire Books.

Chalmers, D. (1996). The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Naess, A. (1989). Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Penrose, R. (2004). The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe. Alfred A. Knopf.

Whitehead, A. N. (1978). Process and Reality. Free Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar