Jumat, 24 Januari 2025

Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Metode Pemikiran

Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Metode Pemikiran

Pembahasan Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat


Abstrak

Pembahasan ini menguraikan berbagai aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran yang digunakan, termasuk rasionalisme, empirisme, fenomenologi, dialektika, eksistensialisme, dan nihilisme. Setiap aliran menawarkan perspektif unik dalam memahami realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan. Rasionalisme menekankan akal sebagai sumber utama kebenaran universal, sementara empirisme mengutamakan pengalaman indrawi dalam memperoleh pengetahuan, berkontribusi pada perkembangan metode ilmiah. Fenomenologi dan eksistensialisme mengeksplorasi pengalaman subjektif manusia, terutama terkait makna dan kebebasan. Dialektika dan positivisme menekankan pentingnya konflik ide serta verifikasi empiris dalam memahami dunia. Sementara itu, nihilisme menantang asumsi tentang makna absolut dalam kehidupan. Dengan memahami berbagai metode pemikiran ini, filsafat terus memainkan peran penting dalam membangun wawasan intelektual yang mendalam dan kritis terhadap realitas.

Kata Kunci: filsafat, metode pemikiran, rasionalisme, empirisme, fenomenologi, eksistensialisme, dialektika, positivisme, nihilisme, realitas, pengetahuan, makna kehidupan.


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi dan Ruang Lingkup

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang berarti "cinta akan kebijaksanaan". Secara umum, filsafat adalah kajian mendalam terhadap hakikat realitas, pengetahuan, nilai, dan eksistensi dengan menggunakan akal budi sebagai alat utamanya. Berbeda dari ilmu-ilmu empiris, filsafat tidak hanya berusaha menjelaskan fakta, tetapi juga memahami prinsip-prinsip mendasar yang menjadi dasar bagi fakta tersebut. Oleh karena itu, metode pemikiran menjadi elemen penting dalam filsafat karena ia menentukan cara seorang filsuf memahami dan menjelaskan dunia. Setiap aliran filsafat sering kali dikaitkan dengan metode berpikir tertentu, seperti rasionalisme yang menekankan akal, atau empirisme yang menitikberatkan pengalaman indrawi.¹

Kajian tentang metode pemikiran ini tidak hanya berfungsi untuk memahami sejarah perkembangan filsafat, tetapi juga memberikan kerangka analitis untuk mengkritisi cara berpikir manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, memahami berbagai aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran adalah langkah awal untuk mengenal ragam perspektif filsafat secara komprehensif.²

1.2.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Mengidentifikasi berbagai aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran yang digunakan.

2)                  Memberikan perspektif historis terhadap perkembangan aliran-aliran tersebut.

3)                  Menganalisis kelebihan, kelemahan, serta relevansi masing-masing aliran filsafat dalam konteks dunia modern.

Dengan pemahaman ini, pembaca diharapkan dapat memperoleh wawasan yang mendalam tentang bagaimana filsafat membantu manusia mengatasi persoalan mendasar dalam kehidupan, mulai dari sains, etika, hingga persoalan eksistensial.³

1.3.       Metode Penelitian

Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kajian literatur dengan mengacu pada karya-karya filsafat klasik maupun kontemporer, seperti Critique of Pure Reason karya Immanuel Kant, Meditations on First Philosophy oleh René Descartes, serta An Enquiry Concerning Human Understanding dari David Hume. Artikel ini juga mengintegrasikan analisis historis dan kritik konseptual terhadap aliran-aliran tersebut untuk memberikan gambaran yang mendalam. Dalam pendekatan ini, penulis berupaya mengaitkan setiap aliran filsafat dengan dampaknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sosial, dan budaya.⁴

Kajian ini juga memanfaatkan sumber-sumber sekunder yang kredibel, termasuk buku-buku filsafat modern dan jurnal akademik yang relevan. Dengan metode ini, pembahasan diharapkan tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga analitis, sehingga mampu memberikan sumbangan intelektual dalam memahami topik tersebut.⁵


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, The History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 1–5.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), hlm. 3–4.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. xvii.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 10–12.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 5–7.


2.           Pendekatan Rasional dalam Filsafat

2.1.       Pengertian dan Prinsip Dasar

Pendekatan rasional dalam filsafat, atau rasionalisme, adalah aliran yang menekankan akal (reason) sebagai sumber utama dan paling dapat diandalkan untuk memperoleh pengetahuan. Para pendukung rasionalisme percaya bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui deduksi logis tanpa ketergantungan penuh pada pengalaman indrawi.⁶

Rasionalisme muncul sebagai respons terhadap kebutuhan manusia untuk menjelaskan realitas yang melampaui apa yang dapat ditangkap oleh indra. Aliran ini percaya bahwa konsep-konsep universal, seperti matematika dan logika, memiliki kebenaran yang independen dari pengalaman. Dalam pandangan ini, akal adalah alat utama untuk memahami prinsip-prinsip mendasar yang bersifat universal dan tidak berubah.⁷

2.2.       Aliran Rasionalisme

Tokoh Utama dan Pemikiran Utama

·                     René Descartes (1596–1650)

Descartes, yang sering disebut sebagai "Bapak Filsafat Modern," memperkenalkan prinsip cogito ergo sum ("Aku berpikir, maka akuada"). Ia menekankan bahwa akal adalah dasar semua pengetahuan, dan melalui metode keraguan radikal, ia berusaha menemukan kebenaran yang pasti. Dalam karyanya Meditations on First Philosophy, Descartes membangun argumen bahwa hanya melalui akal, manusia dapat mencapai pengetahuan sejati.⁸

·                     Baruch Spinoza (1632–1677)

Spinoza menekankan bahwa seluruh realitas adalah bagian dari substansi tunggal yang ia sebut sebagai Tuhan atau Alam (Deus sive Natura). Menurutnya, hanya melalui akal manusia dapat memahami keteraturan dan hukum-hukum universal yang mengatur alam semesta. Karya Spinoza, Ethics, adalah bukti utama pendekatan rasional dalam memahami hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia.⁹

·                     Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716)

Leibniz mengembangkan teori "monad" sebagai unit dasar realitas dan menekankan bahwa akal dapat memahami hubungan-hubungan kompleks dalam alam semesta. Ia juga terkenal dengan prinsip harmoni prainstansial (pre-established harmony), yang menyatakan bahwa setiap kejadian telah diatur oleh Tuhan dalam suatu tatanan rasional.¹⁰

2.3.       Prinsip Utama Rasionalisme

·                     Pengetahuan Apriori

Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal tanpa perlu pengalaman. Contohnya adalah konsep matematika dan logika, seperti "2+2=4," yang kebenarannya tidak bergantung pada observasi empiris.¹¹

·                     Kepastian Absolut

Rasionalisme menekankan bahwa akal dapat mencapai kepastian absolut, berbeda dengan empirisme yang lebih cenderung bersifat probabilistik.¹²

·                     Keuniversalan Kebenaran

Rasionalisme berargumen bahwa kebenaran yang ditemukan melalui akal bersifat universal dan tidak terikat oleh waktu atau tempat.¹³

2.4.       Implikasi Rasionalisme dalam Ilmu Pengetahuan

Pendekatan rasionalisme memiliki dampak besar pada perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam matematika, fisika, dan logika. Metode deduktif yang digunakan Descartes mengilhami perkembangan metode ilmiah modern. Sebagai contoh, Isaac Newton menggabungkan pendekatan empiris dan rasional untuk mengembangkan hukum-hukum fisika.¹⁴

Namun, pendekatan rasionalisme juga mendapat kritik karena cenderung mengabaikan pentingnya pengalaman indrawi. Para filsuf empiris seperti John Locke dan David Hume menantang klaim rasionalisme, dengan menyatakan bahwa semua pengetahuan bermula dari pengalaman.¹⁵


Catatan Kaki

[6]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 10–12.

[7]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 37–41.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 14–20.

[9]                Baruch Spinoza, Ethics, diterjemahkan oleh Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), hlm. 3–5.

[10]             Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, diterjemahkan oleh Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), hlm. 9–15.

[11]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 1–4.

[12]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 546–550.

[13]             W. T. Jones, A History of Western Philosophy: Hobbes to Hume (New York: Harcourt, 1969), hlm. 103–108.

[14]             Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica, diterjemahkan oleh Andrew Motte (London: Royal Society, 1729), hlm. 3–6.

[15]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 10–12.


3.           Pendekatan Empiris dalam Filsafat

3.1.       Pengertian dan Prinsip Dasar

Pendekatan empiris dalam filsafat, atau empirisme, adalah aliran yang menegaskan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman indrawi (sense experience). Aliran ini bertolak belakang dengan rasionalisme, yang memprioritaskan akal sebagai sumber utama pengetahuan. Empirisme berakar pada keyakinan bahwa manusia tidak memiliki ide bawaan (innate ideas), melainkan memperoleh pengetahuan melalui observasi dunia nyata.¹⁶

Prinsip dasar empirisme mencakup tiga hal:

1)                  Tabula Rasa:

Pikiran manusia pada awalnya seperti kertas kosong yang kemudian diisi oleh pengalaman.¹⁷

2)                  Pengalaman Sebagai Sumber Utama Pengetahuan:

Empirisme menolak validitas pengetahuan yang tidak didasarkan pada pengalaman langsung.¹⁸

3)                  Metode Induktif:

Empirisme lebih menekankan metode induktif, yaitu generalisasi berdasarkan pengamatan spesifik.¹⁹

3.2.       Aliran Empirisme

Tokoh Utama dan Pemikiran Utama

·                     John Locke (1632–1704)

Locke, yang dianggap sebagai pendiri empirisme modern, memperkenalkan konsep tabula rasa dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding. Ia berpendapat bahwa pikiran manusia tidak memiliki ide bawaan, melainkan seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman melalui indra dan refleksi internal.²⁰ Locke membedakan antara "ide sederhana" yang berasal dari pengalaman indrawi dan "ide kompleks" yang dihasilkan oleh kombinasi ide sederhana.²¹

·                     George Berkeley (1685–1753)

Berkeley memperluas ide Locke dengan mengembangkan teori idealisme empiris. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley menyatakan bahwa realitas hanya ada sejauh ia dirasakan oleh subjek yang mengamati (esse est percipi, "berada adalah dirasakan"). Ia menolak keberadaan materi yang independen dari persepsi manusia, menegaskan bahwa semua yang ada bergantung pada pengalaman subjektif.²²

·                     David Hume (1711–1776)

Hume, dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, menyempurnakan empirisme dengan menekankan pentingnya hubungan kausalitas sebagai hasil dari kebiasaan (habit), bukan hubungan logis yang dapat dipastikan.²³ Ia juga memperkenalkan konsep skeptisisme empiris, di mana ia meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui apa pun dengan kepastian mutlak di luar pengalaman langsung.²⁴

3.3.       Prinsip Utama Empirisme

·                     Penolakan terhadap Ide Bawaan

Empirisme menolak klaim bahwa manusia dilahirkan dengan pengetahuan bawaan, seperti yang diklaim oleh rasionalisme. Sebaliknya, semua ide dan pengetahuan dianggap berasal dari pengalaman.²⁵

·                     Pengalaman sebagai Sumber Kebenaran

Dalam pandangan empirisme, hanya pengalaman melalui indra yang dapat memberikan dasar untuk validitas pengetahuan manusia.²⁶

·                     Generalisasi Induktif

Berbeda dengan rasionalisme yang menggunakan deduksi logis, empirisme menekankan metode induktif, yaitu menarik kesimpulan umum dari kasus-kasus spesifik yang diamati.²⁷

3.4.       Kritik terhadap Empirisme

Meskipun empirisme menawarkan pendekatan yang kuat terhadap pemahaman dunia, aliran ini memiliki sejumlah kelemahan:

1)                  Ketergantungan pada Indra

Empirisme sering dikritik karena terlalu bergantung pada pengalaman indrawi, yang rentan terhadap kesalahan dan penipuan.²⁸

2)                  Masalah Kausalitas

Hume sendiri mengakui bahwa hubungan kausalitas tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman langsung, karena kita hanya mengamati pola kebiasaan dan bukan hubungan logis yang pasti.²⁹

3)                  Pengabaian terhadap Kebenaran Apriori

Empirisme tidak memberikan ruang untuk kebenaran universal yang dapat dipahami tanpa pengalaman, seperti kebenaran matematika dan logika.³⁰

3.5.       Implikasi Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan

Pendekatan empirisme sangat memengaruhi perkembangan metode ilmiah modern. Francis Bacon, seorang tokoh awal empirisme, menekankan pentingnya eksperimen dan observasi sebagai fondasi ilmu pengetahuan.³¹ Empirisme juga memainkan peran kunci dalam menggantikan pandangan skolastik abad pertengahan dengan pendekatan ilmiah berbasis bukti.

Namun, empirisme juga mendapat kritik dari filsuf rasionalis seperti Immanuel Kant, yang mencoba menggabungkan aspek-aspek terbaik dari empirisme dan rasionalisme dalam pendekatan sintetiknya.³²


Catatan Kaki

[16]             Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 45–48.

[17]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), hlm. 104–107.

[18]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, diterjemahkan oleh Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 35–40.

[19]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 20–24.

[20]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, hlm. 109–112.

[21]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 67–69.

[22]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, hlm. 12–15.

[23]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, hlm. 39–42.

[24]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 622–626.

[25]             W. T. Jones, A History of Western Philosophy: Hobbes to Hume (New York: Harcourt, 1969), hlm. 115–120.

[26]             Francis Bacon, Novum Organum, diterjemahkan oleh Peter Urbach dan John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), hlm. 23–26.

[27]             Bertrand Russell, The Problems of Philosophy, hlm. 53–56.

[28]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 17–19.

[29]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy, hlm. 630–634.

[30]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 94–96.

[31]             Francis Bacon, Novum Organum, hlm. 29–32.

[32]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm. 25–27.


4.           Pendekatan Sintetik dan Kritis

4.1.       Pengertian Pendekatan Sintetik dan Kritis

Pendekatan sintetik dan kritis dalam filsafat adalah sebuah metode yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai aliran pemikiran, terutama rasionalisme dan empirisme, untuk membangun sistem pemikiran yang lebih holistik. Pendekatan ini bertujuan tidak hanya untuk mengkritisi gagasan-gagasan yang ada, tetapi juga untuk menyintesis berbagai pandangan ke dalam kerangka yang lebih menyeluruh.³³

Pendekatan sintetik diperkenalkan secara signifikan oleh Immanuel Kant dalam usahanya untuk menjembatani jurang antara rasionalisme dan empirisme. Pendekatan kritis, di sisi lain, berusaha mengevaluasi validitas dan batas-batas pengetahuan manusia dengan analisis mendalam, seperti yang dilakukan dalam Critique of Pure Reason.³⁴

4.2.       Filsafat Kantian: Sintesis Rasionalisme dan Empirisme

Immanuel Kant (1724–1804) adalah tokoh utama yang memformulasikan pendekatan sintetik dan kritis. Dalam Critique of Pure Reason, Kant berusaha menjawab pertanyaan mendasar: "Bagaimana mungkin pengetahuan apriori dan pengalaman dapat digabungkan untuk membentuk pengetahuan yang sahih?"³⁵

·                     Konsep "Apriori" dan "Aposteriori"

Kant membedakan antara pengetahuan apriori (yang independen dari pengalaman) dan aposteriori (yang bergantung pada pengalaman). Melalui sintesis kritis, ia menunjukkan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip rasional dengan data empiris.³⁶

·                     Penilaian Sintetik Apriori

Kant memperkenalkan konsep "penilaian sintetik apriori," yaitu pengetahuan yang bersifat universal dan niscaya (seperti matematika dan hukum alam), tetapi juga diperoleh melalui pengalaman. Contohnya adalah hukum gravitasi Newton, yang memiliki sifat universal namun bergantung pada pengamatan dunia nyata.³⁷

·                     Struktur Kesadaran

Kant mengemukakan bahwa pengalaman manusia diorganisasikan oleh kategori-kategori pemikiran seperti ruang, waktu, dan kausalitas. Kategori ini bukan berasal dari pengalaman, tetapi merupakan kerangka bawaan yang memungkinkan manusia memahami realitas.³⁸

4.3.       Pendekatan Kritis: Evaluasi terhadap Pengetahuan

Pendekatan kritis Kantian tidak hanya menyintesis gagasan-gagasan sebelumnya tetapi juga mengkritisi batas-batas kemampuan akal manusia:

·                     Fenomena dan Noumena

Kant membedakan antara fenomena (dunia sebagaimana yang kita alami) dan noumena (dunia sebagaimana adanya). Menurut Kant, kita hanya dapat mengetahui fenomena karena persepsi kita dibatasi oleh struktur kesadaran. Dunia noumena, yang ada di luar pengalaman, tidak dapat diakses oleh manusia.³⁹

·                     Kritik terhadap Rasionalisme dan Empirisme

Kant mengkritik rasionalisme karena mengklaim mampu memahami realitas tanpa pengalaman. Sebaliknya, ia juga mengkritik empirisme karena mengabaikan peran akal dalam membentuk pengetahuan.⁴⁰

·                     Konsep Kritis tentang Moralitas

Dalam Critique of Practical Reason, Kant menerapkan pendekatan kritisnya pada bidang etika, memperkenalkan "Imperatif Kategoris" sebagai prinsip moral universal yang independen dari pengalaman empiris.⁴¹

4.4.       Pengaruh Pendekatan Sintetik dan Kritis

Pendekatan sintetik dan kritis Kant memberikan dampak besar dalam berbagai bidang:

1)                  Filsafat Modern

Kant membuka jalan bagi idealisme Jerman, termasuk pemikiran Hegel dan Fichte, yang mengembangkan lebih jauh konsep sintesis.⁴²

2)                  Ilmu Pengetahuan

Pemisahan antara fenomena dan noumena memberikan kerangka kerja bagi perkembangan metode ilmiah yang berfokus pada pengamatan empiris, sambil tetap mengakui adanya prinsip-prinsip universal.⁴³

3)                  Etika dan Politik

Konsep moralitas Kant memengaruhi teori keadilan modern dan konsep hak asasi manusia yang bersifat universal.⁴⁴

4.5.       Kritik terhadap Pendekatan Sintetik dan Kritis

Pendekatan ini juga tidak luput dari kritik:

1)                  Abstraksi Filosofis

Beberapa filsuf seperti Schopenhauer mengkritik konsep Kantian karena dianggap terlalu abstrak dan sulit diterapkan dalam realitas konkret.⁴⁵

2)                  Fenomena dan Noumena

Dikotomi antara fenomena dan noumena menimbulkan pertanyaan tentang relevansi noumena jika tidak dapat diakses.⁴⁶

3)                  Kompleksitas Kategori Kesadaran

Struktur kategori Kantian dikritik oleh kaum empiris sebagai konstruksi yang tidak dapat dibuktikan secara empiris.⁴⁷


Catatan Kaki

[33]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 1–3.

[34]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 153–157.

[35]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm. 5–8.

[36]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 649–654.

[37]             W. T. Jones, A History of Western Philosophy: Kant to Hegel (New York: Harcourt, 1969), hlm. 45–49.

[38]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm. 25–27.

[39]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 161–165.

[40]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy, hlm. 657–660.

[41]             Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, diterjemahkan oleh Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 30–33.

[42]             G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, diterjemahkan oleh A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm. 10–15.

[43]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy, hlm. 671–673.

[44]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm. 20–22.

[45]             Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, diterjemahkan oleh E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1966), hlm. 54–57.

[46]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 170–173.

[47]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 45–47.


5.           Pendekatan Fenomenologis

5.1.       Pengertian Fenomenologi

Fenomenologi adalah sebuah pendekatan filsafat yang berfokus pada pengalaman kesadaran sebagaimana ia muncul, dengan tujuan untuk memahami esensi fenomena tanpa bias atau asumsi. Aliran ini pertama kali dirintis oleh Edmund Husserl (1859–1938), yang dikenal sebagai "Bapak Fenomenologi."⁴⁸ Fenomenologi berasal dari kata Yunani phainomenon (apa yang tampak) dan logos (ilmu), sehingga secara literal berarti "ilmu tentang apa yang tampak."

Pendekatan ini berupaya "kembali kepada hal-hal itu sendiri" (zu den Sachen selbst), yang berarti mengesampingkan semua praanggapan untuk menyoroti bagaimana fenomena muncul dalam kesadaran subjektif manusia.⁴⁹ Dengan fenomenologi, filsafat diarahkan pada deskripsi pengalaman langsung dan bagaimana pengalaman tersebut memberikan makna pada dunia.

5.2.       Tokoh Utama dan Pemikiran Utama

5.2.1.    Edmund Husserl (1859–1938)

Husserl memulai fenomenologi sebagai metode untuk menemukan dasar pengetahuan yang pasti. Dalam karyanya, Logical Investigations dan Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, ia memperkenalkan konsep-konsep kunci:

·                     Reduksi Fenomenologis

Husserl mengusulkan metode reduksi, yaitu epoche atau "penangguhan penilaian," di mana semua keyakinan tentang dunia eksternal disisihkan sementara untuk memusatkan perhatian pada pengalaman murni dalam kesadaran.⁵⁰

·                     Intensionalitas

Salah satu gagasan utama fenomenologi adalah intensionalitas, yaitu hubungan inheren antara kesadaran dan objek yang disadari. Menurut Husserl, setiap pengalaman kesadaran selalu "mengarah kepada sesuatu."⁵¹

5.2.2.    Martin Heidegger (1889–1976)

Sebagai murid Husserl, Heidegger mengembangkan fenomenologi ke arah yang lebih eksistensial dalam karyanya, Being and Time. Ia memfokuskan filsafat pada pertanyaan tentang keberadaan (Being), terutama keberadaan manusia (Dasein).

·                     Dasein

Heidegger menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memahami keberadaannya sendiri, yang hidup di dalam dunia (being-in-the-world). Ia mengkritik pendekatan Husserl yang terlalu fokus pada kesadaran subjektif, dan memperkenalkan fenomenologi sebagai cara untuk memahami keberadaan manusia secara keseluruhan.⁵²

5.2.3.    Maurice Merleau-Ponty (1908–1961)

Dalam Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty memperluas fenomenologi dengan menekankan peran tubuh sebagai penghubung antara kesadaran dan dunia. Baginya, pengalaman manusia tidak hanya mental, tetapi juga fisikal. Ia memperkenalkan konsep bahwa tubuh adalah "subjek persepsi," yang berarti manusia mengalami dunia melalui tubuhnya.⁵³

5.3.       Prinsip Utama Fenomenologi

1)                  Kesadaran sebagai Dasar Pengalaman

Fenomenologi berpendapat bahwa pengalaman manusia selalu dimediasi oleh kesadaran. Oleh karena itu, filsuf harus memulai dari deskripsi kesadaran itu sendiri.⁵⁴

2)                  Penangguhan Praanggapan (Epoche)

Untuk memahami esensi fenomena, fenomenologi mengesampingkan semua asumsi filosofis atau ilmiah, termasuk keyakinan tentang realitas objektif.⁵⁵

3)                  Intensionalitas Kesadaran

Setiap kesadaran selalu mengarah kepada sesuatu, dan pengalaman tidak pernah bersifat terisolasi dari dunia eksternal.⁵⁶

4)                  Esensi Fenomena

Fenomenologi bertujuan untuk menemukan esensi atau inti pengalaman manusia melalui analisis mendalam terhadap fenomena.⁵⁷

5.4.       Aplikasi Fenomenologi

Fenomenologi tidak hanya memengaruhi filsafat, tetapi juga berbagai disiplin lain:

1)                  Psikologi

Fenomenologi memberikan dasar metodologis bagi psikologi humanistik dan eksistensial, seperti dalam karya Carl Rogers dan Viktor Frankl.⁵⁸

2)                  Sosiologi dan Antropologi

Pendekatan fenomenologi membantu memahami pengalaman sosial manusia, seperti dalam karya Alfred Schutz tentang sosiologi fenomenologis.⁵⁹

3)                  Seni dan Sastra

Fenomenologi digunakan untuk menganalisis bagaimana karya seni dan sastra mencerminkan pengalaman manusia, seperti dalam estetika fenomenologis Roman Ingarden.⁶⁰

5.5.       Kritik terhadap Fenomenologi

1)                  Subjektivitas yang Berlebihan

Fenomenologi sering dikritik karena terlalu fokus pada pengalaman subjektif dan mengabaikan aspek empiris atau objektif dari dunia.⁶¹

2)                  Kesulitan Reduksi Fenomenologis

Penangguhan asumsi dunia luar dianggap sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan sepenuhnya.⁶²

3)                  Ketidakjelasan Metodologis

Beberapa filsuf berpendapat bahwa fenomenologi memiliki pendekatan yang terlalu abstrak dan kurang memiliki prosedur metodologis yang terstandardisasi.⁶³


Catatan Kaki

[48]             Edmund Husserl, Logical Investigations, diterjemahkan oleh J.N. Findlay (London: Routledge, 1970), hlm. 3–5.

[49]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, diterjemahkan oleh W.R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), hlm. 8–10.

[50]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 317–320.

[51]             Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), hlm. 101–103.

[52]             Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), hlm. 35–40.

[53]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, diterjemahkan oleh Colin Smith (London: Routledge, 1962), hlm. 9–12.

[54]             Edmund Husserl, Logical Investigations, hlm. 15–18.

[55]             Dermot Moran, Introduction to Phenomenology, hlm. 125–127.

[56]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 330–333.

[57]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, hlm. 45–48.

[58]             Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), hlm. 25–28.

[59]             Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, diterjemahkan oleh George Walsh dan Frederick Lehnert (Evanston: Northwestern University Press, 1967), hlm. 3–6.

[60]             Roman Ingarden, The Literary Work of Art, diterjemahkan oleh George Grabowicz (Evanston: Northwestern University Press, 1973), hlm. 10–12.

[61]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 735–738.

[62]             Martin Heidegger, Being and Time, hlm. 50–52.

[63]             Dermot Moran, Introduction to Phenomenology, hlm. 145–148.


6.           Pendekatan Dialektis

6.1.       Pengertian Dialektika

Dialektika adalah metode pemikiran yang menekankan proses dialogis untuk mencapai kebenaran. Melalui kontradiksi antara tesis dan antitesis, dialektika berupaya menghasilkan sintesis sebagai jawaban yang lebih mendalam.⁶⁴

Konsep dialektika pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Yunani seperti Socrates dan Plato, tetapi kemudian berkembang menjadi pendekatan sistematis dalam filsafat modern melalui karya-karya G.W.F. Hegel (1770–1831) dan Karl Marx (1818–1883). Hegel menggunakan dialektika sebagai alat untuk memahami perubahan dalam ide-ide manusia, sedangkan Marx menerapkannya pada perubahan sosial dan material.⁶⁵

6.2.       Tokoh Utama dan Pemikiran Dialektis

6.2.1.    G.W.F. Hegel (1770–1831)

Hegel memformulasikan dialektika triadik yang terdiri dari tiga tahap:

1)                  Tesis – Posisi awal dalam suatu ide atau konsep.

2)                  Antitesis – Kontradiksi yang muncul dari tesis.

3)                  Sintesis – Resolusi dari konflik antara tesis dan antitesis, yang menjadi tesis baru untuk proses berikutnya.⁶⁶

Dalam karyanya The Phenomenology of Spirit, Hegel menjelaskan bahwa seluruh sejarah dunia merupakan proses dialektis di mana roh (geist) berkembang menuju kesadaran absolut. Ia percaya bahwa konflik adalah bagian alami dari kemajuan ide-ide dan perkembangan manusia.⁶⁷

6.2.2.    Karl Marx (1818–1883)

Marx mengadaptasi metode dialektika Hegel menjadi materialisme dialektis. Berbeda dengan Hegel yang berfokus pada ide, Marx menekankan pada konflik material dalam masyarakat.

·                     Materialisme Historis

Menurut Marx, sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, di mana hubungan produksi (ekonomi) memengaruhi struktur sosial dan ideologi.⁶⁸

·                     Dialektika dalam Perubahan Sosial

Marx percaya bahwa konflik antara kelas borjuis (pemilik modal) dan kelas proletar (buruh) akan menghasilkan revolusi, menciptakan masyarakat tanpa kelas.⁶⁹

6.2.3.    Friedrich Engels (1820–1895)

Engels, rekan Marx, memperluas materialisme dialektis dengan menjelaskan bahwa hukum dialektika juga berlaku dalam alam. Dalam bukunya Dialectics of Nature, ia menguraikan tiga hukum utama dialektika:

1)                  Hukum Perubahan Kuantitas menjadi Kualitas

2)                  Hukum Kontradiksi dalam Alam

3)                  Hukum Negasi atas Negasi⁷⁰

6.3.       Prinsip-Prinsip Dialektika

1)                  Kontradiksi sebagai Penggerak Utama

Dialektika memandang kontradiksi sebagai elemen inti dari setiap perubahan, baik dalam ide maupun realitas material.⁷¹

2)                  Perubahan yang Berkesinambungan

Segala sesuatu dianggap sebagai proses yang terus berubah melalui konflik dan resolusi.⁷²

3)                  Hubungan antara Ide dan Realitas

Dalam dialektika Hegel, realitas adalah perwujudan ide, sementara dalam dialektika Marx, ide adalah refleksi dari realitas material.⁷³

6.4.       Aplikasi Pendekatan Dialektis

Pendekatan dialektis memiliki aplikasi luas dalam berbagai bidang:

1)                  Filsafat Sejarah

Hegelianisme melihat sejarah sebagai proses perkembangan ide menuju kesadaran absolut, sedangkan materialisme historis Marx memandang sejarah sebagai perjuangan kelas yang digerakkan oleh ekonomi.⁷⁴

2)                  Sosiologi dan Politik

Dialektika digunakan untuk menganalisis konflik sosial dan politik, seperti dalam teori revolusi Marx.⁷⁵

3)                  Ilmu Alam

Engels berpendapat bahwa hukum dialektika juga berlaku dalam transformasi alam, seperti perubahan fasa dalam fisika.⁷⁶

6.5.       Kritik terhadap Pendekatan Dialektis

1)                  Abstraksi dan Kompleksitas

Dialektika Hegel sering dikritik sebagai terlalu abstrak dan sulit dipahami, sehingga sulit diterapkan dalam analisis konkret.⁷⁷

2)                  Reduksi Materialisme Marx

Beberapa filsuf mengkritik Marx karena mereduksi kompleksitas masyarakat menjadi konflik ekonomi semata, mengabaikan faktor lain seperti budaya dan agama.⁷⁸

3)                  Kesahihan Dialektika dalam Sains

Hukum dialektika Engels tentang alam sering dipertanyakan oleh para ilmuwan karena dianggap tidak didukung oleh bukti empiris yang memadai.⁷⁹


Relevansi Dialektika dalam Konteks Modern

Pendekatan dialektis tetap relevan dalam memahami fenomena kompleks yang melibatkan konflik ideologis, perubahan sosial, dan dinamika global. Misalnya, teori kritis dalam sosiologi yang dipelopori oleh Sekolah Frankfurt menggunakan metode dialektika untuk menganalisis kapitalisme modern dan budaya massa.⁸⁰


Catatan Kaki

[64]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 243–246.

[65]             G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, diterjemahkan oleh A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm. 10–12.

[66]             G.W.F. Hegel, Science of Logic, diterjemahkan oleh George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), hlm. 33–35.

[67]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 250–254.

[68]             Karl Marx, The Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Samuel Moore (London: Penguin Classics, 1967), hlm. 13–15.

[69]             Karl Marx, Das Kapital: A Critique of Political Economy, diterjemahkan oleh Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1976), hlm. 42–45.

[70]             Friedrich Engels, Dialectics of Nature, diterjemahkan oleh Clemens Dutt (Moscow: Progress Publishers, 1940), hlm. 15–18.

[71]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 750–753.

[72]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 265–268.

[73]             Karl Marx, Das Kapital: A Critique of Political Economy, hlm. 78–80.

[74]             G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, diterjemahkan oleh J. Sibree (New York: Dover Publications, 1956), hlm. 24–28.

[75]             Karl Marx, The Communist Manifesto, hlm. 19–22.

[76]             Friedrich Engels, Dialectics of Nature, hlm. 32–35.

[77]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy, hlm. 756–759.

[78]             Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and Environment (New York: Oxford University Press, 1939), hlm. 127–130.

[79]             J.B.S. Haldane, Science and Dialectical Materialism (New York: Harper, 1938), hlm. 47–50.

[80]             Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, diterjemahkan oleh John Cumming (New York: Herder and Herder, 1972), hlm. 8–12.


7.           Pendekatan Positivis dan Analitis

7.1.       Pengertian Pendekatan Positivis dan Analitis

Pendekatan positivis dan analitis dalam filsafat adalah dua metode yang menekankan pemahaman realitas berdasarkan fakta empiris dan bahasa yang jelas. Positivisme merupakan aliran yang percaya bahwa pengetahuan yang valid hanya berasal dari pengalaman empiris yang dapat diverifikasi secara ilmiah. Sementara itu, filsafat analitis berfokus pada analisis bahasa untuk menyelesaikan permasalahan filosofis.⁸¹

Kedua pendekatan ini berbagi prinsip yang sama dalam upaya menghilangkan spekulasi metafisik dan menggantinya dengan analisis yang logis, empiris, dan sistematis.⁸²

7.2.       Pendekatan Positivis

7.2.1.    Auguste Comte dan Positivisme

Auguste Comte (1798–1857) adalah bapak positivisme. Dalam karyanya, Cours de Philosophie Positive, Comte mengajukan hukum tiga tahap perkembangan intelektual manusia:

1)                  Tahap Teologis – Fenomena dijelaskan melalui kepercayaan pada kekuatan supranatural.

2)                  Tahap Metafisis – Penjelasan beralih ke konsep abstrak dan filsafat spekulatif.

3)                  Tahap PositifPengetahuan didasarkan pada pengamatan empiris dan fakta ilmiah.⁸³

Positivisme Comte menegaskan bahwa filsafat harus mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan tidak terjebak dalam spekulasi metafisik.⁸⁴

7.2.2.    Positivisme Logis

Pada abad ke-20, positivisme berkembang menjadi positivisme logis melalui pengaruh Lingkaran Wina (Vienna Circle), yang mencakup tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnap. Mereka menekankan prinsip verifikasi, yaitu bahwa proposisi hanya bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris atau analitis.⁸⁵

Prinsip-prinsip positivisme logis:

·                     Fokus pada proposisi ilmiah yang dapat diuji kebenarannya.

·                     Penolakan terhadap metafisika sebagai sesuatu yang tidak bermakna.⁸⁶

·                     Hubungan erat dengan logika simbolis dan analisis bahasa.⁸⁷

7.3.       Pendekatan Analitis

7.3.1.    Bertrand Russell dan Analisis Logis

Bertrand Russell (1872–1970) adalah pelopor filsafat analitis yang mengembangkan pendekatan analisis logis. Dalam karyanya Principia Mathematica (bersama Alfred North Whitehead), Russell menggunakan logika simbolis untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam filsafat dan matematika.⁸⁸ Ia percaya bahwa masalah filosofis dapat diatasi melalui analisis bahasa dan logika.⁸⁹

7.3.2.    Ludwig Wittgenstein dan Filosofi Bahasa

Ludwig Wittgenstein (1889–1951) membawa filsafat analitis ke arah baru melalui dua periode pemikirannya:

1)                  Filsafat Bahasa Awal (Tractatus Logico-Philosophicus)

Wittgenstein berpendapat bahwa "batas bahasa adalah batas dunia," sehingga filsafat seharusnya menjadi analisis bahasa untuk memperjelas proposisi.⁹⁰

2)                  Filsafat Bahasa Akhir (Philosophical Investigations)

Di periode ini, Wittgenstein mengkritik pandangannya sendiri dengan mengajukan teori penggunaan bahasa (language games), yang menunjukkan bahwa makna bahasa tergantung pada konteks penggunaannya.⁹¹

7.3.3.    Analitik Linguistik

Filosofi analitis juga berkembang ke analisis linguistik, yang dipelopori oleh tokoh seperti Gilbert Ryle dan J.L. Austin. Mereka menggunakan pendekatan ini untuk mengklarifikasi makna konsep-konsep filosofis, seperti pikiran, kesadaran, dan kehendak bebas.⁹²

7.4.       Prinsip-Prinsip Positivis dan Analitis

1)                  Empirisme Ilmiah

Pendekatan positivis menekankan fakta yang dapat diobservasi dan diuji secara ilmiah.⁹³

2)                  Penolakan terhadap Metafisika

Baik positivisme maupun filsafat analitis menolak klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi.⁹⁴

3)                  Analisis Bahasa

Filosofi analitis fokus pada analisis bahasa untuk menghindari ambiguitas dan memastikan proposisi yang jelas dan bermakna.⁹⁵

7.5.       Aplikasi Pendekatan Positivis dan Analitis

1)                  Ilmu Pengetahuan

Positivisme memberikan landasan metodologis bagi ilmu pengetahuan modern dengan menekankan pentingnya observasi empiris dan eksperimen.⁹⁶

2)                  Filsafat Bahasa dan Logika

Filosofi analitis menghasilkan perkembangan dalam logika simbolis dan teori bahasa, yang berdampak pada linguistik dan ilmu komputer.⁹⁷

3)                  Etika dan Hukum

Analisis bahasa digunakan dalam memahami istilah-istilah etis dan hukum, seperti kewajiban, tanggung jawab, dan keadilan.⁹⁸

7.6.       Kritik terhadap Positivisme dan Analisis

1)                  Reduksi Ilmu Pengetahuan

Positivisme dikritik karena mereduksi kompleksitas realitas menjadi fakta empiris, mengabaikan aspek-aspek seperti nilai, makna, dan moralitas.⁹⁹

2)                  Masalah Prinsip Verifikasi

Prinsip verifikasi positivisme logis dianggap bermasalah karena tidak dapat diverifikasi dengan sendirinya, sehingga menjadi kontradiktif.100

3)                  Keterbatasan Analisis Bahasa

Filosofi analitis sering dianggap terlalu teknis dan tidak menjawab pertanyaan mendalam tentang makna dan eksistensi.101


Catatan Kaki

[81]             Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 45–50.

[82]             Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic (New York: Dover Publications, 1946), hlm. 15–18.

[83]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, diterjemahkan oleh Harriet Martineau (London: Bell & Sons, 1896), hlm. 25–30.

[84]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 375–378.

[85]             Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, diterjemahkan oleh A.E. Blumberg (Berlin: Springer, 1974), hlm. 10–12.

[86]             Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, diterjemahkan oleh Amethe Smeaton (Chicago: Open Court, 1937), hlm. 15–20.

[87]             Bertrand Russell, Principia Mathematica, bersama Alfred North Whitehead (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), hlm. 1–5.

[88]             Bertrand Russell, Principia Mathematica, hlm. 12–15.

[89]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, diterjemahkan oleh D.F. Pears dan B.F. McGuinness (London: Routledge, 1922), hlm. 5–8.

[90]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, diterjemahkan oleh G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), hlm. 15–18.

[91]             Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1949), hlm. 20–25.

[92]             J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Oxford University Press, 1962), hlm. 10–15.

[93]             Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic, hlm. 25–30.

[94]             Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, hlm. 30–35.

[95]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, hlm. 35–38.

[96]             Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, hlm. 20–25.

[97]             Gilbert Ryle, The Concept of Mind, hlm. 50–55.

[98]             J.L. Austin, How to Do Things with Words, hlm. 20–22.

[99]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1934), hlm. 10–15.

[100]         Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), hlm. 12–15.

[101]         Charles Taylor, The Explanation of Behaviour (New York: Routledge, 1964), hlm. 35–40.


8.           Pendekatan Eksistensial dan Nihilistis

8.1.       Pengertian Pendekatan Eksistensial dan Nihilistis

Pendekatan eksistensial dan nihilistis dalam filsafat adalah dua aliran yang menekankan pengalaman subjektif manusia, makna keberadaan, dan tantangan kehidupan. Eksistensialisme berfokus pada kebebasan, tanggung jawab individu, dan perjuangan untuk menemukan makna dalam kehidupan, sedangkan nihilisme menolak keberadaan makna atau nilai universal, sering kali menekankan absurditas keberadaan manusia.102

Eksistensialisme memandang kehidupan sebagai pengalaman subjektif yang unik, sementara nihilisme melihat kehidupan sebagai sesuatu yang tidak memiliki tujuan atau nilai intrinsik. Meskipun berbeda, kedua pendekatan ini sering terkait dalam merespons ketiadaan makna absolut dalam kehidupan modern.103

8.2.       Pendekatan Eksistensial

8.2.1.    Søren Kierkegaard: Bapak Eksistensialisme

Kierkegaard (1813–1855) adalah pelopor eksistensialisme yang menekankan pentingnya keputusan personal dalam menghadapi kecemasan (angst) dan pilihan moral. Dalam bukunya, Fear and Trembling, ia memperkenalkan konsep "lompatan iman" (leap of faith), di mana individu harus membuat keputusan eksistensial berdasarkan keyakinan subjektif.104

Kierkegaard menyoroti tiga tahap kehidupan manusia:

1)                  Estetis – Hidup untuk kesenangan dan keindahan.

2)                  Etis – Hidup dengan tanggung jawab moral.

3)                  Religius – Hidup dengan keyakinan spiritual yang melampaui rasionalitas.105

8.2.2.    Jean-Paul Sartre: Kebebasan dan Tanggung Jawab

Sartre (1905–1980) adalah tokoh utama eksistensialisme ateis. Dalam karyanya Being and Nothingness, ia memperkenalkan konsep "eksistensi mendahului esensi," yang berarti manusia tidak memiliki makna bawaan dan harus menciptakan makna hidupnya sendiri.106 Sartre menekankan kebebasan individu dan tanggung jawab penuh atas pilihan hidup.107

Konsep-konsep utama dalam pemikiran Sartre:

·                     Kebebasan Radikal – Manusia sepenuhnya bebas untuk menentukan nasibnya.

·                     Kecemasan Eksistensial – Kebebasan membawa kecemasan karena manusia bertanggung jawab atas semua pilihannya.108

·                     Kehidupan Autentik – Hidup dengan kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab pribadi.109

8.2.3.    Martin Heidegger: Keberadaan dan Waktu

Dalam Being and Time, Heidegger (1889–1976) menjelaskan bahwa manusia adalah Dasein (ada-di-dunia), yang memiliki hubungan eksistensial dengan waktu. Hidup yang autentik berarti menghadapi keberadaan kematian dan menemukan makna dalam keberadaan yang terbatas.110

8.3.       Pendekatan Nihilistis

8.3.1.    Friedrich Nietzsche: Kematian Tuhan dan Nihilisme

Nietzsche (1844–1900) memperkenalkan konsep "kematian Tuhan" sebagai metafora untuk runtuhnya nilai-nilai tradisional dan moralitas absolut. Dalam bukunya The Will to Power, ia menyatakan bahwa nihilisme adalah hasil dari penolakan terhadap nilai-nilai transenden, meninggalkan manusia dalam kekosongan makna.111

Konsep utama dalam nihilisme Nietzsche:

·                     Nihilisme Pasif – Penyerahan pada ketiadaan makna.

·                     Nihilisme Aktif – Penciptaan nilai baru melalui kehendak untuk berkuasa (will to power).112

Nietzsche juga memperkenalkan konsep Übermensch (manusia super) sebagai individu yang mampu melampaui nihilisme dengan menciptakan nilai-nilai baru.113

8.3.2.    Albert Camus: Absurditas Kehidupan

Camus (1913–1960), meskipun bukan nihilistis murni, mengembangkan konsep absurditas dalam The Myth of Sisyphus. Ia berargumen bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan tanpa akhir untuk mencari makna dalam dunia yang tidak bermakna.114

Camus menawarkan tiga respons terhadap absurditas:

1)                  Bunuh diri – Menyerah pada absurditas (ditolak oleh Camus).

2)                  Lompatan Iman – Menerima keyakinan religius (juga ditolak oleh Camus).

3)                  Pemberontakan – Menerima absurditas tetapi tetap hidup dengan keberanian dan kebebasan.115

8.4.       Prinsip-Prinsip Pendekatan Eksistensial dan Nihilistis

1)                      Eksistensialisme

Menekankan kebebasan dan tanggung jawab individu.

Menghargai pengalaman subjektif dan perjuangan untuk menemukan makna.

2)                      Nihilisme

Menolak makna dan nilai universal.

Menekankan absurditas keberadaan manusia.116

8.5.       Aplikasi dan Relevansi

1)                  Seni dan Sastra

Pemikiran eksistensial dan nihilistis memengaruhi karya sastra seperti The Stranger karya Albert Camus dan No Exit karya Sartre.117

2)                  Psikologi

Konsep kecemasan eksistensial diterapkan dalam terapi eksistensial untuk membantu individu menemukan makna hidup.118

3)                  Kritik Sosial

Nihilisme digunakan untuk mengkritik modernitas, kapitalisme, dan kemerosotan moralitas tradisional.119

8.6.       Kritik terhadap Pendekatan Eksistensial dan Nihilistis

1)                  Kelebihan Fokus pada Subjektivitas

Kritik utama adalah pendekatan ini terlalu menekankan pengalaman subjektif, sehingga mengabaikan nilai-nilai objektif atau universal.120

2)                  Konflik antara Kebebasan dan Moralitas

Kebebasan radikal Sartre sering dikritik karena sulit mendamaikan kebebasan individu dengan tanggung jawab sosial.121

3)                  Nihilisme yang Merusak

Nihilisme, terutama versi pasif, sering dianggap destruktif karena tidak menawarkan solusi praktis untuk kehidupan.122


Catatan Kaki

[102]         Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, diterjemahkan oleh Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), hlm. 15–18.

[103]         Friedrich Nietzsche, The Will to Power, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), hlm. 10–13.

[104]         Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, hlm. 25–28.

[105]         Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 123–126.

[106]         Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, diterjemahkan oleh Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), hlm. 22–25.

[107]         Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, diterjemahkan oleh Philip Mairet (London: Methuen, 1948), hlm. 34–38.

[108]         Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, hlm. 50–55.

[109]         Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 170–175.

[110]         Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), hlm. 64–68.

[111]         Friedrich Nietzsche, The Will to Power, hlm. 25–30.

[112]         Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), hlm. 12–15.

[113]         Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 210–213.

[114]         Albert Camus, The Myth of Sisyphus, diterjemahkan oleh Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), hlm. 10–12.

[115]         Albert Camus, The Myth of Sisyphus, hlm. 15–18.

[116]         Friedrich Nietzsche, The Will to Power, hlm. 35–40.

[117]         Albert Camus, The Stranger, diterjemahkan oleh Matthew Ward (New York: Vintage International, 1989), hlm. 1–3.

[118]         Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), hlm. 45–50.

[119]         Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, hlm. 20–25.

[120]         Charles Taylor, Sources of the Self (Cambridge: Harvard University Press, 1989), hlm. 150–155.

[121]         Isaiah Berlin, The Crooked Timber of Humanity (London: John Murray, 1990), hlm. 100–105.

[122]         Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the Eternal Recurrence of the Same (Berkeley: University of California Press, 1997), hlm. 45–50.


9.           Kritik dan Perbandingan Antar Aliran

Bab ini membahas kritik dan perbandingan antar aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya. Setiap aliran memiliki kekuatan dan kelemahan dalam memahami realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan. Diskusi ini bertujuan untuk menyoroti perbedaan mendasar antara pendekatan-pendekatan tersebut serta mengevaluasi relevansinya dalam konteks modern.123

9.1.       Kritik terhadap Setiap Aliran

9.1.1.    Rasionalisme vs. Empirisme

1)                  Kritik terhadap Rasionalisme

Kelebihan: Rasionalisme, seperti yang diwakili oleh René Descartes dan Immanuel Kant, memberikan landasan yang kuat untuk kebenaran universal dan prinsip-prinsip logis.124

Kritik: Empirisis seperti David Hume berargumen bahwa rasionalisme terlalu mengabaikan pengalaman indrawi dan sering kali menghasilkan spekulasi metafisik tanpa bukti konkret.125

2)                  Kritik terhadap Empirisme

Kelebihan: Empirisme menekankan pentingnya pengalaman sebagai dasar pengetahuan, memberikan kontribusi besar terhadap metode ilmiah modern.126

Kritik: Rasionalis berpendapat bahwa empirisme gagal menjelaskan konsep-konsep universal seperti matematika dan logika, yang tidak dapat diakses melalui pengalaman saja.127

9.1.2.    Pendekatan Sintetik dan Kritis (Kantian)

Kelebihan: Pendekatan ini berhasil menjembatani jurang antara rasionalisme dan empirisme, dengan menyatukan pengalaman dan prinsip-prinsip apriori.128

Kritik: Para filsuf seperti Schopenhauer dan Nietzsche mengkritik abstraksi Kantian yang dianggap terlalu teoretis dan kurang relevan dengan pengalaman konkret manusia.129

9.1.3.    Fenomenologi

Kelebihan: Fenomenologi membawa filsafat kembali kepada "hal-hal itu sendiri" dengan menekankan deskripsi pengalaman langsung.130

Kritik: Pendekatan ini dianggap terlalu subjektif dan sering kali mengabaikan analisis empiris atau objektif.131

9.1.4.    Dialektika

Kelebihan: Dialektika Hegel memberikan kerangka untuk memahami perubahan historis dan ide, sementara materialisme dialektis Marx relevan dalam analisis sosial dan ekonomi.132

Kritik: Dialektika Hegel sering dianggap terlalu abstrak, sementara materialisme Marx dikritik karena reduksionisme ekonominya.133

9.1.5.    Positivisme dan Analisis Logis

Kelebihan: Positivisme memberikan dasar yang kuat untuk metode ilmiah dengan mengedepankan verifikasi empiris, sedangkan analisis logis menyederhanakan masalah filosofis melalui bahasa.134

Kritik: Positivisme sering dikritik karena menolak pertanyaan metafisik, yang oleh banyak filsuf dianggap penting untuk memahami nilai dan makna.135

9.1.6.    Eksistensialisme dan Nihilisme

1)                  Kelebihan Eksistensialisme:

Fokus pada kebebasan dan tanggung jawab individu membuat pendekatan ini relevan untuk isu-isu moral dan eksistensial dalam dunia modern.136

Kritik: Terlalu menekankan subjektivitas dan sering kali gagal memberikan panduan praktis dalam masalah sosial.137

2)                  Kelebihan Nihilisme:

Nihilisme membantu menantang nilai-nilai tradisional yang usang.

Kritik: Sifat destruktif nihilisme, terutama nihilisme pasif, dapat menyebabkan krisis moral dan sosial.138

9.2.       Perbandingan Antar Aliran

9.2.1.    Rasionalisme vs. Empirisme

Persamaan: Keduanya berusaha memahami realitas melalui metode sistematis.

Perbedaan: Rasionalisme lebih mengandalkan akal (reason), sementara empirisme menekankan pengalaman indrawi (sense experience).139

9.2.2.    Fenomenologi vs. Positivisme

Persamaan: Keduanya menghindari spekulasi metafisik berlebihan.

Perbedaan: Fenomenologi menyoroti pengalaman subjektif, sedangkan positivisme lebih berfokus pada fakta objektif yang dapat diverifikasi.140

9.2.3.    Eksistensialisme vs. Nihilisme

Persamaan: Keduanya merespons krisis makna dalam kehidupan modern.

Perbedaan: Eksistensialisme menekankan perjuangan untuk menemukan makna, sedangkan nihilisme menolak keberadaan makna universal.141

9.2.4.    Dialektika vs. Positivisme

Persamaan: Keduanya digunakan untuk memahami perubahan dalam realitas.

Perbedaan: Dialektika menggunakan kontradiksi sebagai alat analisis, sedangkan positivisme fokus pada data empiris dan pengamatan langsung.142

9.3.       Relevansi dalam Dunia Modern

1)                  Rasionalisme dan Empirisme

Relevan dalam sains modern, di mana prinsip rasionalisme digunakan untuk membangun teori, sementara empirisme digunakan untuk pengujian dan verifikasi.143

2)                  Fenomenologi dan Eksistensialisme

Memberikan wawasan tentang pengalaman subjektif manusia, yang relevan dalam psikologi, sastra, dan seni.144

3)                  Positivisme dan Analisis Logis

Positivisme terus digunakan dalam penelitian ilmiah, sedangkan analisis logis memainkan peran penting dalam pengembangan linguistik dan ilmu komputer.145

4)                  Dialektika

Materialisme dialektis Marx tetap menjadi alat analisis yang penting dalam studi sosial, ekonomi, dan politik.146


Catatan Kaki

[123]         Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 325–328.

[124]         René Descartes, Meditations on First Philosophy, diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 10–12.

[125]         David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 15–20.

[126]         John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), hlm. 22–25.

[127]         Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 35–40.

[128]         Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, hlm. 330–333.

[129]         Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, diterjemahkan oleh E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1966), hlm. 78–82.

[130]         Edmund Husserl, Logical Investigations, diterjemahkan oleh J.N. Findlay (London: Routledge, 1970), hlm. 15–18.

[131]         Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 735–738.

[132]         G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, diterjemahkan oleh A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm. 35–40.

[133]         Karl Marx, Das Kapital: A Critique of Political Economy, diterjemahkan oleh Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1976), hlm. 42–45.

[134]         Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic (New York: Dover Publications, 1946), hlm. 15–18.

[135]         Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, diterjemahkan oleh Amethe Smeaton (Chicago: Open Court, 1937), hlm. 25–30.

[136]         Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, diterjemahkan oleh Philip Mairet (London: Methuen, 1948), hlm. 30–35.

[137]         Albert Camus, The Myth of Sisyphus, diterjemahkan oleh Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), hlm. 10–12.

[138]         Friedrich Nietzsche, The Will to Power, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), hlm. 15–18.

[139]         Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 45–50.

[140]         Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, diterjemahkan oleh W.R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), hlm. 8–10.

[141]         Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), hlm. 20–22.

[142]         G.W.F. Hegel, Science of Logic, diterjemahkan oleh George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), hlm. 33–35.

[143]         Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1934), hlm. 12–15.

[144]         Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, diterjemahkan oleh Colin Smith (London: Routledge, 1962), hlm. 12–15.

[145]         Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, diterjemahkan oleh G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), hlm. 25–30.

[146]         Karl Marx, The Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Samuel Moore (London: Penguin Classics, 1967), hlm. 15–18.


10.       Kesimpulan

10.1.    Ringkasan Utama

Dalam pembahasan ini, telah diuraikan berbagai aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran yang mereka gunakan, mulai dari rasionalisme, empirisme, fenomenologi, dialektika, hingga eksistensialisme dan nihilisme. Setiap aliran menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan.147

·                     Rasionalisme menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan dan menyediakan landasan yang kuat untuk kebenaran universal.148

·                     Empirisme, di sisi lain, memprioritaskan pengalaman indrawi sebagai dasar pengetahuan, memberikan kontribusi besar pada pengembangan metode ilmiah.149

·                     Fenomenologi dan eksistensialisme memberikan wawasan mendalam tentang pengalaman subjektif manusia, terutama dalam menghadapi masalah makna dan kebebasan.150

·                     Dialektika dan positivisme menyoroti pentingnya konflik ide dan verifikasi empiris dalam memahami dunia, sementara nihilisme menantang kita untuk menghadapi kenyataan tanpa makna absolut.151

10.2.    Kritik dan Refleksi

10.2.1. Keberagaman Perspektif

Setiap aliran filsafat menunjukkan kekuatan dan kelemahannya dalam memahami realitas. Misalnya, rasionalisme unggul dalam hal kejelasan logis, tetapi sering kali mengabaikan pengalaman indrawi, sementara empirisme berkontribusi besar pada ilmu pengetahuan tetapi terkadang gagal menjelaskan konsep-konsep abstrak seperti logika dan matematika.152

10.2.2. Keterbatasan Metodologis

Aliran seperti positivisme dan fenomenologi menghadapi kritik karena fokusnya yang terlalu sempit—positivisme menolak metafisika, sementara fenomenologi terlalu subjektif. Dalam konteks modern, sintesis antarpendekatan ini dapat menjadi solusi yang lebih komprehensif.153

10.2.3. Relevansi dalam Dunia Modern

Pendekatan eksistensial dan nihilistis, meskipun sering dianggap pesimistis, memberikan pandangan yang relevan tentang krisis makna di dunia modern. Dalam konteks globalisasi dan digitalisasi, manusia dihadapkan pada pertanyaan tentang identitas, kebebasan, dan tanggung jawab moral.154

10.3.    Implikasi Praktis

10.3.1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pendekatan rasionalisme dan empirisme terus memainkan peran penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya, pengembangan kecerdasan buatan (AI) menggabungkan prinsip logika rasional dan pembelajaran berbasis data empiris.155

10.3.2. Etika dan Moralitas

Eksistensialisme memberikan landasan untuk tanggung jawab moral individu, yang penting dalam membangun masyarakat pluralistik. Di sisi lain, nihilisme mendorong kita untuk menciptakan nilai-nilai baru yang relevan dengan tantangan zaman.156

10.3.3. Hubungan Manusia dengan Alam

Pendekatan fenomenologis dan dialektis membantu manusia memahami hubungan kompleks antara dirinya dan alam, terutama dalam konteks isu lingkungan dan perubahan iklim.157

10.4.    Rekomendasi untuk Studi Lanjutan

Dalam mengkaji aliran-aliran filsafat ini, pembaca didorong untuk mendalami masing-masing pendekatan secara kritis dengan mengacu pada karya-karya utama tokoh-tokoh yang disebutkan. Selain itu, studi interdisipliner yang menggabungkan filsafat dengan bidang lain seperti sains, teknologi, psikologi, dan seni dapat memberikan wawasan yang lebih kaya.158


Penutup

Filsafat tidak hanya sekadar disiplin akademis, tetapi juga alat untuk memahami kehidupan dan mengatasi tantangan eksistensial. Dengan memahami beragam aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran, kita dapat mengembangkan cara pandang yang lebih komprehensif, kritis, dan reflektif dalam menghadapi masalah-masalah dunia modern.159


Catatan Kaki

[147]         Bertrand Russell, History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 635–640.

[148]         René Descartes, Meditations on First Philosophy, diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 15–18.

[149]         John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, diterjemahkan oleh Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), hlm. 22–25.

[150]         Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, diterjemahkan oleh W.R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), hlm. 30–33.

[151]         Friedrich Nietzsche, The Will to Power, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), hlm. 25–30.

[152]         Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 45–50.

[153]         Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, diterjemahkan oleh A.E. Blumberg (Berlin: Springer, 1974), hlm. 10–15.

[154]         Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, diterjemahkan oleh Philip Mairet (London: Methuen, 1948), hlm. 25–28.

[155]         Norbert Wiener, Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine (Cambridge: MIT Press, 1948), hlm. 5–10.

[156]         Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), hlm. 30–33.

[157]         Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, diterjemahkan oleh Colin Smith (London: Routledge, 1962), hlm. 15–20.

[158]         Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 375–380.

[159]         Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 75–80.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1946). Language, truth, and logic. New York: Dover Publications.

Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). New York: Vintage International.

Carnap, R. (1937). The logical syntax of language (A. Smeaton, Trans.). Chicago: Open Court.

Comte, A. (1896). Cours de philosophie positive (H. Martineau, Trans.). London: Bell & Sons.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy: Modern philosophy. New York: Doubleday.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Engels, F. (1940). Dialectics of nature (C. Dutt, Trans.). Moscow: Progress Publishers.

Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning. Boston: Beacon Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Hegel, G. W. F. (1956). The philosophy of history (J. Sibree, Trans.). New York: Dover Publications.

Hegel, G. W. F. (1977). The phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.

Husserl, E. (1931). Ideas pertaining to a pure phenomenology (W. R. Boyce Gibson, Trans.). London: Routledge.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Marx, K. (1976). Das Kapital: A critique of political economy (B. Fowkes, Trans.). London: Penguin Classics.

Marx, K., & Engels, F. (1967). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). London: Penguin Classics.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.

Nietzsche, F. (1966). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). New York: Viking Press.

Nietzsche, F. (1968). The will to power (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage Books.

Popper, K. (1934). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Russell, B. (1945). History of western philosophy. New York: Simon & Schuster.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. London: Williams and Norgate.

Sartre, J.-P. (1948). Existentialism is a humanism (P. Mairet, Trans.). London: Methuen.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.

Schlick, M. (1974). General theory of knowledge (A. E. Blumberg, Trans.). Berlin: Springer.

Taylor, C. (1989). Sources of the self. Cambridge: Harvard University Press.

Wiener, N. (1948). Cybernetics: Or control and communication in the animal and the machine. Cambridge: MIT Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). London: Routledge.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.


Lampiran: Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Metode Pemikiran

1)                 Rasionalisme (Rationalism)

Arti/ Definisi: Mengutamakan akal (reason) sebagai sumber utama pengetahuan.

Tokoh Utama: René Descartes, Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz.

2)                 Empirisme (Empiricism)

Arti/ Definisi: Mengandalkan pengalaman indrawi (sense experience) sebagai dasar pengetahuan.

Tokoh Utama: John Locke, George Berkeley, David Hume.

3)                 Filsafat Kantian (Kantian Philosophy)

Arti/ Definisi: Menggabungkan unsur rasionalisme dan empirisme melalui pendekatan sintetik dan kritis.

Tokoh Utama: Immanuel Kant.

4)                 Fenomenologi (Phenomenology)

Arti/ Definisi: Fokus pada deskripsi pengalaman kesadaran sebagaimana yang dialami.

Tokoh Utama: Edmund Husserl, Martin Heidegger, Maurice Merleau-Ponty.

5)                 Dialektika (Dialectics)

Arti/ Definisi: Metode yang menekankan kontradiksi dan perubahan melalui proses tesis, antitesis, dan sintesis.

Tokoh Utama: G.W.F. Hegel, Karl Marx, Friedrich Engels.

6)                 Positivisme (Positivism)

Arti/ Definisi: Mengedepankan fakta empiris dan observasi sebagai satu-satunya dasar pengetahuan.

Tokoh Utama: Auguste Comte, Moritz Schlick, Rudolf Carnap.

7)                 Filsafat Analitis (Analytical Philosophy)

Arti/ Definisi: Berfokus pada analisis bahasa untuk menyelesaikan permasalahan filosofis.

Tokoh Utama: Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle.

8)                 Eksistensialisme (Existentialism)

Arti/ Definisi: Menekankan kebebasan individu, tanggung jawab, dan pencarian makna hidup.

Tokoh Utama: Søren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger.

9)                 Nihilisme (Nihilism)

Arti/ Definisi: Menolak keberadaan makna atau nilai universal dalam kehidupan.

Tokoh Utama: Friedrich Nietzsche, Albert Camus (absurdisme terkait).

10)             Materialisme Dialektis (Dialectical Materialism)

Arti/ Definisi: Perkembangan dialektika yang diterapkan pada analisis perubahan sosial dan material.

Tokoh Utama: Karl Marx, Friedrich Engels.

11)             Filsafat Bahasa Awal (Early Philosophy of Language)

Arti/ Definisi: Memahami hubungan antara bahasa, dunia, dan logika.

Tokoh Utama: Ludwig Wittgenstein (Tractatus Logico-Philosophicus).

12)             Hermeneutika (Hermeneutics)

Arti/ Definisi: Ilmu atau seni penafsiran, khususnya teks dan fenomena budaya.

Tokoh Utama: Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur.

13)             Pragmatism (Pragmatisme)

Arti/ Definisi: Pengetahuan dinilai berdasarkan manfaat praktisnya dalam kehidupan.

Tokoh Utama: Charles Sanders Peirce, William James, John Dewey.

14)             Strukturalisme (Structuralism)

Arti/ Definisi: Penekanan pada struktur yang mendasari bahasa, budaya, dan masyarakat.

Tokoh Utama: Ferdinand de Saussure, Claude Lévi-Strauss.

15)             Postmodernisme (Postmodernism)

Arti/ Definisi: Menolak narasi besar dan kebenaran universal, menyoroti relativisme dan subjektivitas.

Tokoh Utama: Jean-François Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida.

16)             Absurdism (Absurdisme)

Arti/ Definisi: Kehidupan manusia tidak memiliki makna, tetapi tetap berharga untuk dihidupi.

Tokoh Utama: Albert Camus.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar