Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Metode Pemikiran
Pembahasan Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Aliran-Aliran
dalam Filsafat
Abstrak
Pembahasan ini menguraikan berbagai aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran yang digunakan, termasuk rasionalisme, empirisme, fenomenologi, dialektika, eksistensialisme, dan nihilisme. Setiap aliran menawarkan perspektif unik dalam memahami realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan. Rasionalisme menekankan akal sebagai sumber utama kebenaran universal, sementara empirisme mengutamakan pengalaman indrawi dalam memperoleh pengetahuan, berkontribusi pada perkembangan metode ilmiah. Fenomenologi dan eksistensialisme mengeksplorasi pengalaman subjektif manusia, terutama terkait makna dan kebebasan. Dialektika dan positivisme menekankan pentingnya konflik ide serta verifikasi empiris dalam memahami dunia. Sementara itu, nihilisme menantang asumsi tentang makna absolut dalam kehidupan. Dengan memahami berbagai metode pemikiran ini, filsafat terus memainkan peran penting dalam membangun wawasan intelektual yang mendalam dan kritis terhadap realitas.
Kata Kunci: filsafat, metode pemikiran, rasionalisme, empirisme, fenomenologi, eksistensialisme, dialektika, positivisme, nihilisme, realitas, pengetahuan, makna kehidupan.
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi dan Ruang Lingkup
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia,
yang berarti "cinta akan kebijaksanaan". Secara umum, filsafat
adalah kajian mendalam terhadap hakikat realitas, pengetahuan, nilai, dan
eksistensi dengan menggunakan akal budi sebagai alat utamanya. Berbeda dari
ilmu-ilmu empiris, filsafat tidak hanya berusaha menjelaskan fakta, tetapi juga
memahami prinsip-prinsip mendasar yang menjadi dasar bagi fakta tersebut. Oleh
karena itu, metode pemikiran menjadi elemen penting dalam filsafat karena ia
menentukan cara seorang filsuf memahami dan menjelaskan dunia. Setiap aliran
filsafat sering kali dikaitkan dengan metode berpikir tertentu, seperti
rasionalisme yang menekankan akal, atau empirisme yang menitikberatkan
pengalaman indrawi.¹
Kajian tentang metode pemikiran ini tidak hanya
berfungsi untuk memahami sejarah perkembangan filsafat, tetapi juga memberikan
kerangka analitis untuk mengkritisi cara berpikir manusia dalam berbagai bidang
kehidupan. Oleh karena itu, memahami berbagai aliran filsafat berdasarkan
metode pemikiran adalah langkah awal untuk mengenal ragam perspektif filsafat
secara komprehensif.²
1.2. Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Mengidentifikasi berbagai aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran
yang digunakan.
2)
Memberikan perspektif historis terhadap perkembangan aliran-aliran
tersebut.
3)
Menganalisis kelebihan, kelemahan, serta relevansi masing-masing aliran filsafat dalam konteks dunia modern.
Dengan pemahaman ini, pembaca diharapkan dapat
memperoleh wawasan yang mendalam tentang bagaimana filsafat membantu manusia
mengatasi persoalan mendasar dalam kehidupan, mulai dari sains, etika, hingga
persoalan eksistensial.³
1.3. Metode Penelitian
Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kajian
literatur dengan mengacu pada karya-karya filsafat klasik maupun kontemporer,
seperti Critique of Pure Reason karya Immanuel Kant, Meditations on
First Philosophy oleh René Descartes, serta An Enquiry Concerning Human
Understanding dari David Hume. Artikel ini juga mengintegrasikan analisis
historis dan kritik konseptual terhadap aliran-aliran tersebut untuk memberikan
gambaran yang mendalam. Dalam pendekatan ini, penulis berupaya mengaitkan
setiap aliran filsafat dengan dampaknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
sosial, dan budaya.⁴
Kajian ini juga memanfaatkan sumber-sumber sekunder
yang kredibel, termasuk buku-buku filsafat modern dan jurnal akademik yang
relevan. Dengan metode ini, pembahasan diharapkan tidak hanya bersifat
deskriptif, tetapi juga analitis, sehingga mampu memberikan sumbangan
intelektual dalam memahami topik tersebut.⁵
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, The History of Western
Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 1–5.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), hlm. 3–4.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. xvii.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), hlm. 10–12.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hlm. 5–7.
2.
Pendekatan
Rasional dalam Filsafat
2.1. Pengertian dan Prinsip Dasar
Pendekatan rasional dalam filsafat, atau
rasionalisme, adalah aliran yang menekankan akal (reason) sebagai sumber
utama dan paling dapat diandalkan untuk memperoleh pengetahuan. Para pendukung
rasionalisme percaya bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui deduksi logis
tanpa ketergantungan penuh pada pengalaman indrawi.⁶
Rasionalisme muncul sebagai respons terhadap
kebutuhan manusia untuk menjelaskan realitas yang melampaui apa yang dapat
ditangkap oleh indra. Aliran ini percaya bahwa konsep-konsep universal, seperti
matematika dan logika, memiliki kebenaran yang independen dari pengalaman.
Dalam pandangan ini, akal adalah alat utama untuk memahami prinsip-prinsip
mendasar yang bersifat universal dan tidak berubah.⁷
2.2. Aliran Rasionalisme
Tokoh
Utama dan Pemikiran Utama
·
René Descartes (1596–1650)
Descartes,
yang sering disebut sebagai "Bapak Filsafat Modern,"
memperkenalkan prinsip cogito ergo sum ("Aku berpikir, maka akuada"). Ia menekankan bahwa akal adalah dasar semua pengetahuan, dan
melalui metode keraguan radikal, ia berusaha menemukan kebenaran yang pasti.
Dalam karyanya Meditations on First Philosophy, Descartes membangun
argumen bahwa hanya melalui akal, manusia dapat mencapai pengetahuan sejati.⁸
·
Baruch Spinoza (1632–1677)
Spinoza
menekankan bahwa seluruh realitas adalah bagian dari substansi tunggal yang ia
sebut sebagai Tuhan atau Alam (Deus sive Natura). Menurutnya, hanya
melalui akal manusia dapat memahami keteraturan dan hukum-hukum universal yang
mengatur alam semesta. Karya Spinoza, Ethics, adalah bukti utama
pendekatan rasional dalam memahami hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia.⁹
·
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716)
Leibniz
mengembangkan teori "monad" sebagai unit dasar realitas dan
menekankan bahwa akal dapat memahami hubungan-hubungan kompleks dalam alam
semesta. Ia juga terkenal dengan prinsip harmoni prainstansial (pre-established
harmony), yang menyatakan bahwa setiap kejadian telah diatur oleh Tuhan
dalam suatu tatanan rasional.¹⁰
2.3. Prinsip Utama Rasionalisme
·
Pengetahuan Apriori
Pengetahuan
apriori adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal tanpa perlu pengalaman.
Contohnya adalah konsep matematika dan logika, seperti "2+2=4,"
yang kebenarannya tidak bergantung pada observasi empiris.¹¹
·
Kepastian Absolut
Rasionalisme
menekankan bahwa akal dapat mencapai kepastian absolut, berbeda dengan
empirisme yang lebih cenderung bersifat probabilistik.¹²
·
Keuniversalan Kebenaran
Rasionalisme
berargumen bahwa kebenaran yang ditemukan melalui akal bersifat universal dan
tidak terikat oleh waktu atau tempat.¹³
2.4. Implikasi Rasionalisme dalam Ilmu Pengetahuan
Pendekatan rasionalisme memiliki dampak besar pada
perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam matematika, fisika, dan logika.
Metode deduktif yang digunakan Descartes mengilhami perkembangan metode ilmiah
modern. Sebagai contoh, Isaac Newton menggabungkan pendekatan empiris dan
rasional untuk mengembangkan hukum-hukum fisika.¹⁴
Namun, pendekatan rasionalisme juga mendapat kritik
karena cenderung mengabaikan pentingnya pengalaman indrawi. Para filsuf empiris
seperti John Locke dan David Hume menantang klaim rasionalisme, dengan
menyatakan bahwa semua pengetahuan bermula dari pengalaman.¹⁵
Catatan Kaki
[6]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 10–12.
[7]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 37–41.
[8]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), hlm. 14–20.
[9]
Baruch Spinoza, Ethics, diterjemahkan oleh
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), hlm. 3–5.
[10]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology,
diterjemahkan oleh Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh
Press, 1991), hlm. 9–15.
[11]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 1–4.
[12]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 546–550.
[13]
W. T. Jones, A History of Western Philosophy:
Hobbes to Hume (New York: Harcourt, 1969), hlm. 103–108.
[14]
Isaac Newton, Philosophiæ Naturalis Principia
Mathematica, diterjemahkan oleh Andrew Motte (London: Royal Society, 1729),
hlm. 3–6.
[15]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hlm. 10–12.
3.
Pendekatan
Empiris dalam Filsafat
3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar
Pendekatan empiris dalam filsafat, atau empirisme,
adalah aliran yang menegaskan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari
pengalaman indrawi (sense experience). Aliran ini bertolak belakang
dengan rasionalisme, yang memprioritaskan akal sebagai sumber utama
pengetahuan. Empirisme berakar pada keyakinan bahwa manusia tidak memiliki ide
bawaan (innate ideas), melainkan memperoleh pengetahuan melalui
observasi dunia nyata.¹⁶
Prinsip dasar empirisme mencakup tiga hal:
1)
Tabula Rasa:
Pikiran manusia pada awalnya seperti kertas kosong yang kemudian diisi oleh
pengalaman.¹⁷
2)
Pengalaman Sebagai Sumber Utama Pengetahuan:
Empirisme
menolak validitas pengetahuan yang tidak didasarkan pada pengalaman langsung.¹⁸
3)
Metode Induktif:
Empirisme
lebih menekankan metode induktif, yaitu generalisasi berdasarkan pengamatan
spesifik.¹⁹
3.2. Aliran Empirisme
Tokoh
Utama dan Pemikiran Utama
·
John Locke (1632–1704)
Locke, yang
dianggap sebagai pendiri empirisme modern, memperkenalkan konsep tabula rasa
dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding. Ia berpendapat
bahwa pikiran manusia tidak memiliki ide bawaan, melainkan seluruh pengetahuan
berasal dari pengalaman melalui indra dan refleksi internal.²⁰ Locke membedakan
antara "ide sederhana" yang berasal dari pengalaman indrawi
dan "ide kompleks" yang dihasilkan oleh kombinasi ide
sederhana.²¹
·
George Berkeley (1685–1753)
Berkeley
memperluas ide Locke dengan mengembangkan teori idealisme empiris. Dalam
karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley
menyatakan bahwa realitas hanya ada sejauh ia dirasakan oleh subjek yang
mengamati (esse est percipi, "berada adalah dirasakan"). Ia
menolak keberadaan materi yang independen dari persepsi manusia, menegaskan
bahwa semua yang ada bergantung pada pengalaman subjektif.²²
·
David Hume (1711–1776)
Hume, dalam An
Enquiry Concerning Human Understanding, menyempurnakan empirisme dengan
menekankan pentingnya hubungan kausalitas sebagai hasil dari kebiasaan (habit), bukan hubungan logis yang
dapat dipastikan.²³ Ia juga memperkenalkan konsep skeptisisme empiris, di mana
ia meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui apa pun dengan kepastian mutlak
di luar pengalaman langsung.²⁴
3.3. Prinsip Utama Empirisme
·
Penolakan terhadap Ide Bawaan
Empirisme
menolak klaim bahwa manusia dilahirkan dengan pengetahuan bawaan, seperti yang
diklaim oleh rasionalisme. Sebaliknya, semua ide dan pengetahuan dianggap
berasal dari pengalaman.²⁵
·
Pengalaman sebagai Sumber Kebenaran
Dalam
pandangan empirisme, hanya pengalaman melalui indra yang dapat memberikan dasar
untuk validitas pengetahuan manusia.²⁶
·
Generalisasi Induktif
Berbeda
dengan rasionalisme yang menggunakan deduksi logis, empirisme menekankan metode
induktif, yaitu menarik kesimpulan umum dari kasus-kasus spesifik yang
diamati.²⁷
3.4. Kritik terhadap Empirisme
Meskipun empirisme menawarkan pendekatan yang kuat
terhadap pemahaman dunia, aliran ini memiliki sejumlah kelemahan:
1)
Ketergantungan pada Indra
Empirisme
sering dikritik karena terlalu bergantung pada pengalaman indrawi, yang rentan
terhadap kesalahan dan penipuan.²⁸
2)
Masalah Kausalitas
Hume sendiri
mengakui bahwa hubungan kausalitas tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman langsung, karena kita hanya
mengamati pola kebiasaan dan bukan hubungan logis yang pasti.²⁹
3)
Pengabaian terhadap Kebenaran Apriori
Empirisme
tidak memberikan ruang untuk kebenaran universal yang dapat dipahami tanpa
pengalaman, seperti kebenaran matematika dan logika.³⁰
3.5. Implikasi Empirisme dalam Ilmu Pengetahuan
Pendekatan empirisme sangat memengaruhi
perkembangan metode ilmiah modern. Francis Bacon, seorang tokoh awal empirisme,
menekankan pentingnya eksperimen dan observasi sebagai fondasi ilmu pengetahuan.³¹ Empirisme juga memainkan peran kunci dalam menggantikan
pandangan skolastik abad pertengahan dengan pendekatan ilmiah berbasis bukti.
Namun, empirisme juga mendapat kritik dari filsuf
rasionalis seperti Immanuel Kant, yang mencoba menggabungkan aspek-aspek
terbaik dari empirisme dan rasionalisme dalam pendekatan sintetiknya.³²
Catatan Kaki
[16]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 45–48.
[17]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon
Press, 1975), hlm. 104–107.
[18]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, diterjemahkan oleh Jonathan Dancy (Oxford:
Oxford University Press, 1998), hlm. 35–40.
[19]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hlm. 20–24.
[20]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, hlm. 109–112.
[21]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 67–69.
[22]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, hlm. 12–15.
[23]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, hlm. 39–42.
[24]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 622–626.
[25]
W. T. Jones, A History of Western Philosophy:
Hobbes to Hume (New York: Harcourt, 1969), hlm. 115–120.
[26]
Francis Bacon, Novum Organum, diterjemahkan
oleh Peter Urbach dan John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), hlm. 23–26.
[27]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy,
hlm. 53–56.
[28]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 17–19.
[29]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy,
hlm. 630–634.
[30]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 94–96.
[31]
Francis Bacon, Novum Organum, hlm. 29–32.
[32]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm.
25–27.
4.
Pendekatan
Sintetik dan Kritis
4.1. Pengertian Pendekatan Sintetik dan Kritis
Pendekatan sintetik dan kritis dalam filsafat
adalah sebuah metode yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai aliran pemikiran, terutama rasionalisme dan empirisme, untuk membangun sistem
pemikiran yang lebih holistik. Pendekatan ini bertujuan tidak hanya untuk
mengkritisi gagasan-gagasan yang ada, tetapi juga untuk menyintesis berbagai
pandangan ke dalam kerangka yang lebih menyeluruh.³³
Pendekatan sintetik diperkenalkan secara signifikan
oleh Immanuel Kant dalam usahanya untuk menjembatani jurang antara rasionalisme
dan empirisme. Pendekatan kritis, di sisi lain, berusaha mengevaluasi validitas
dan batas-batas pengetahuan manusia dengan analisis mendalam, seperti yang
dilakukan dalam Critique of Pure Reason.³⁴
4.2. Filsafat Kantian: Sintesis Rasionalisme dan Empirisme
Immanuel Kant (1724–1804) adalah tokoh utama yang memformulasikan pendekatan
sintetik dan kritis. Dalam Critique of Pure Reason, Kant berusaha
menjawab pertanyaan mendasar: "Bagaimana mungkin pengetahuan apriori dan
pengalaman dapat digabungkan untuk membentuk pengetahuan yang sahih?"³⁵
·
Konsep "Apriori" dan "Aposteriori"
Kant
membedakan antara pengetahuan apriori (yang independen dari pengalaman) dan
aposteriori (yang bergantung pada pengalaman). Melalui sintesis kritis, ia
menunjukkan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan mengintegrasikan
prinsip-prinsip rasional dengan data empiris.³⁶
·
Penilaian Sintetik Apriori
Kant
memperkenalkan konsep "penilaian sintetik apriori," yaitu
pengetahuan yang bersifat universal dan niscaya (seperti matematika dan hukum
alam), tetapi juga diperoleh melalui pengalaman. Contohnya adalah hukum
gravitasi Newton, yang memiliki sifat universal namun bergantung pada
pengamatan dunia nyata.³⁷
·
Struktur Kesadaran
Kant
mengemukakan bahwa pengalaman manusia diorganisasikan oleh kategori-kategori
pemikiran seperti ruang, waktu, dan kausalitas. Kategori ini bukan berasal dari pengalaman, tetapi merupakan kerangka
bawaan yang memungkinkan manusia memahami realitas.³⁸
4.3. Pendekatan Kritis: Evaluasi terhadap Pengetahuan
Pendekatan kritis Kantian tidak hanya menyintesis
gagasan-gagasan sebelumnya tetapi juga mengkritisi batas-batas kemampuan akal
manusia:
·
Fenomena dan Noumena
Kant
membedakan antara fenomena (dunia sebagaimana yang kita alami) dan noumena
(dunia sebagaimana adanya). Menurut Kant, kita hanya dapat mengetahui fenomena
karena persepsi kita dibatasi oleh struktur kesadaran. Dunia noumena, yang ada
di luar pengalaman, tidak dapat diakses oleh manusia.³⁹
·
Kritik terhadap Rasionalisme dan Empirisme
Kant
mengkritik rasionalisme karena mengklaim mampu memahami realitas tanpa
pengalaman. Sebaliknya, ia juga mengkritik empirisme karena mengabaikan peran
akal dalam membentuk pengetahuan.⁴⁰
·
Konsep Kritis tentang Moralitas
Dalam Critique
of Practical Reason, Kant menerapkan pendekatan kritisnya pada bidang
etika, memperkenalkan "Imperatif Kategoris" sebagai prinsip
moral universal yang independen dari pengalaman empiris.⁴¹
4.4. Pengaruh Pendekatan Sintetik dan Kritis
Pendekatan sintetik dan kritis Kant memberikan
dampak besar dalam berbagai bidang:
1)
Filsafat Modern
Kant membuka
jalan bagi idealisme Jerman, termasuk pemikiran Hegel dan Fichte, yang
mengembangkan lebih jauh konsep sintesis.⁴²
2)
Ilmu Pengetahuan
Pemisahan
antara fenomena dan noumena memberikan kerangka kerja bagi perkembangan metode
ilmiah yang berfokus pada pengamatan empiris, sambil tetap mengakui adanya
prinsip-prinsip universal.⁴³
3)
Etika dan Politik
Konsep
moralitas Kant memengaruhi teori keadilan modern dan konsep hak asasi manusia
yang bersifat universal.⁴⁴
4.5. Kritik terhadap Pendekatan Sintetik dan Kritis
Pendekatan ini juga tidak luput dari kritik:
1)
Abstraksi Filosofis
Beberapa
filsuf seperti Schopenhauer mengkritik konsep Kantian karena dianggap terlalu
abstrak dan sulit diterapkan dalam realitas konkret.⁴⁵
2)
Fenomena dan Noumena
Dikotomi
antara fenomena dan noumena menimbulkan pertanyaan tentang relevansi noumena
jika tidak dapat diakses.⁴⁶
3)
Kompleksitas Kategori Kesadaran
Struktur kategori
Kantian dikritik oleh kaum empiris sebagai konstruksi yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris.⁴⁷
Catatan Kaki
[33]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 1–3.
[34]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 153–157.
[35]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm.
5–8.
[36]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 649–654.
[37]
W. T. Jones, A History of Western Philosophy:
Kant to Hegel (New York: Harcourt, 1969), hlm. 45–49.
[38]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm.
25–27.
[39]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 161–165.
[40]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy,
hlm. 657–660.
[41]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
diterjemahkan oleh Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
hlm. 30–33.
[42]
G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
diterjemahkan oleh A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm.
10–15.
[43]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy,
hlm. 671–673.
[44]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), hlm. 20–22.
[45]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and
Representation, diterjemahkan oleh E.F.J. Payne (New York: Dover
Publications, 1966), hlm. 54–57.
[46]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 170–173.
[47]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hlm. 45–47.
5.
Pendekatan
Fenomenologis
5.1. Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah pendekatan filsafat yang
berfokus pada pengalaman kesadaran sebagaimana ia muncul, dengan tujuan untuk
memahami esensi fenomena tanpa bias atau asumsi. Aliran ini pertama kali
dirintis oleh Edmund Husserl (1859–1938), yang dikenal sebagai "Bapak
Fenomenologi."⁴⁸ Fenomenologi berasal dari kata Yunani phainomenon
(apa yang tampak) dan logos (ilmu), sehingga secara literal berarti
"ilmu tentang apa yang tampak."
Pendekatan ini berupaya "kembali kepada
hal-hal itu sendiri" (zu den Sachen selbst), yang
berarti mengesampingkan semua praanggapan untuk menyoroti bagaimana fenomena
muncul dalam kesadaran subjektif manusia.⁴⁹ Dengan fenomenologi, filsafat
diarahkan pada deskripsi pengalaman langsung dan bagaimana pengalaman tersebut
memberikan makna pada dunia.
5.2. Tokoh Utama dan Pemikiran Utama
5.2.1.
Edmund Husserl (1859–1938)
Husserl memulai fenomenologi sebagai metode untuk
menemukan dasar pengetahuan yang pasti. Dalam karyanya, Logical
Investigations dan Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, ia
memperkenalkan konsep-konsep kunci:
·
Reduksi Fenomenologis
Husserl
mengusulkan metode reduksi, yaitu epoche atau "penangguhan
penilaian," di mana semua keyakinan tentang dunia eksternal disisihkan
sementara untuk memusatkan perhatian pada pengalaman murni dalam kesadaran.⁵⁰
·
Intensionalitas
Salah satu
gagasan utama fenomenologi adalah intensionalitas, yaitu hubungan inheren
antara kesadaran dan objek yang disadari. Menurut Husserl, setiap pengalaman
kesadaran selalu "mengarah kepada sesuatu."⁵¹
5.2.2.
Martin Heidegger (1889–1976)
Sebagai murid Husserl, Heidegger mengembangkan
fenomenologi ke arah yang lebih eksistensial dalam karyanya, Being and Time.
Ia memfokuskan filsafat pada pertanyaan tentang keberadaan (Being),
terutama keberadaan manusia (Dasein).
·
Dasein
Heidegger
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memahami keberadaannya sendiri,
yang hidup di dalam dunia (being-in-the-world). Ia mengkritik pendekatan
Husserl yang terlalu fokus pada kesadaran subjektif, dan memperkenalkan
fenomenologi sebagai cara untuk memahami keberadaan manusia secara
keseluruhan.⁵²
5.2.3.
Maurice Merleau-Ponty (1908–1961)
Dalam Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty
memperluas fenomenologi dengan menekankan peran tubuh sebagai penghubung antara
kesadaran dan dunia. Baginya, pengalaman manusia tidak hanya mental, tetapi
juga fisikal. Ia memperkenalkan konsep bahwa tubuh adalah "subjek
persepsi," yang berarti manusia mengalami dunia melalui tubuhnya.⁵³
5.3. Prinsip Utama Fenomenologi
1)
Kesadaran sebagai Dasar Pengalaman
Fenomenologi
berpendapat bahwa pengalaman manusia selalu dimediasi oleh kesadaran. Oleh
karena itu, filsuf harus memulai dari deskripsi kesadaran itu sendiri.⁵⁴
2)
Penangguhan Praanggapan (Epoche)
Untuk
memahami esensi fenomena, fenomenologi mengesampingkan semua asumsi filosofis
atau ilmiah, termasuk keyakinan tentang realitas objektif.⁵⁵
3)
Intensionalitas Kesadaran
Setiap
kesadaran selalu mengarah kepada sesuatu, dan pengalaman tidak pernah bersifat
terisolasi dari dunia eksternal.⁵⁶
4)
Esensi Fenomena
Fenomenologi
bertujuan untuk menemukan esensi atau inti pengalaman manusia melalui analisis
mendalam terhadap fenomena.⁵⁷
5.4. Aplikasi Fenomenologi
Fenomenologi tidak hanya memengaruhi filsafat,
tetapi juga berbagai disiplin lain:
1)
Psikologi
Fenomenologi
memberikan dasar metodologis bagi psikologi humanistik dan eksistensial,
seperti dalam karya Carl Rogers dan Viktor Frankl.⁵⁸
2)
Sosiologi dan Antropologi
Pendekatan
fenomenologi membantu memahami pengalaman sosial manusia, seperti dalam karya
Alfred Schutz tentang sosiologi fenomenologis.⁵⁹
3)
Seni dan Sastra
Fenomenologi
digunakan untuk menganalisis bagaimana karya seni dan sastra mencerminkan
pengalaman manusia, seperti dalam estetika fenomenologis Roman Ingarden.⁶⁰
5.5. Kritik terhadap Fenomenologi
1)
Subjektivitas yang Berlebihan
Fenomenologi
sering dikritik karena terlalu fokus pada pengalaman subjektif dan mengabaikan
aspek empiris atau objektif dari dunia.⁶¹
2)
Kesulitan Reduksi Fenomenologis
Penangguhan
asumsi dunia luar dianggap sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan
sepenuhnya.⁶²
3)
Ketidakjelasan Metodologis
Beberapa
filsuf berpendapat bahwa fenomenologi memiliki pendekatan yang terlalu abstrak
dan kurang memiliki prosedur metodologis yang terstandardisasi.⁶³
Catatan Kaki
[48]
Edmund Husserl, Logical Investigations,
diterjemahkan oleh J.N. Findlay (London: Routledge, 1970), hlm. 3–5.
[49]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology, diterjemahkan oleh W.R. Boyce Gibson (London: Routledge,
1931), hlm. 8–10.
[50]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 317–320.
[51]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology
(London: Routledge, 2000), hlm. 101–103.
[52]
Martin Heidegger, Being and Time,
diterjemahkan oleh John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper &
Row, 1962), hlm. 35–40.
[53]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, diterjemahkan oleh Colin Smith (London: Routledge, 1962), hlm.
9–12.
[54]
Edmund Husserl, Logical Investigations, hlm.
15–18.
[55]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology,
hlm. 125–127.
[56]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 330–333.
[57]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology, hlm. 45–48.
[58]
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), hlm. 25–28.
[59]
Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social
World, diterjemahkan oleh George Walsh dan Frederick Lehnert (Evanston:
Northwestern University Press, 1967), hlm. 3–6.
[60]
Roman Ingarden, The Literary Work of Art,
diterjemahkan oleh George Grabowicz (Evanston: Northwestern University Press,
1973), hlm. 10–12.
[61]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 735–738.
[62]
Martin Heidegger, Being and Time, hlm.
50–52.
[63]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology,
hlm. 145–148.
6.
Pendekatan
Dialektis
6.1. Pengertian Dialektika
Dialektika adalah metode pemikiran yang menekankan
proses dialogis untuk mencapai kebenaran. Melalui kontradiksi antara tesis dan
antitesis, dialektika berupaya menghasilkan sintesis sebagai jawaban yang lebih
mendalam.⁶⁴
Konsep dialektika pertama kali diperkenalkan oleh
filsuf Yunani seperti Socrates dan Plato, tetapi kemudian
berkembang menjadi pendekatan sistematis dalam filsafat modern melalui
karya-karya G.W.F. Hegel (1770–1831) dan Karl Marx (1818–1883).
Hegel menggunakan dialektika sebagai alat untuk memahami perubahan dalam
ide-ide manusia, sedangkan Marx menerapkannya pada perubahan sosial dan
material.⁶⁵
6.2. Tokoh Utama dan Pemikiran Dialektis
6.2.1.
G.W.F. Hegel (1770–1831)
Hegel memformulasikan dialektika triadik yang
terdiri dari tiga tahap:
1)
Tesis – Posisi
awal dalam suatu ide atau konsep.
2)
Antitesis –
Kontradiksi yang muncul dari tesis.
3)
Sintesis – Resolusi
dari konflik antara tesis dan antitesis, yang menjadi tesis baru untuk proses
berikutnya.⁶⁶
Dalam karyanya The Phenomenology of Spirit,
Hegel menjelaskan bahwa seluruh sejarah dunia merupakan proses dialektis di
mana roh (geist) berkembang menuju kesadaran absolut. Ia percaya bahwa
konflik adalah bagian alami dari kemajuan ide-ide dan perkembangan manusia.⁶⁷
6.2.2.
Karl Marx (1818–1883)
Marx mengadaptasi metode dialektika Hegel menjadi
materialisme dialektis. Berbeda dengan Hegel yang berfokus pada ide, Marx
menekankan pada konflik material dalam masyarakat.
·
Materialisme Historis
Menurut
Marx, sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, di mana hubungan
produksi (ekonomi) memengaruhi struktur sosial dan ideologi.⁶⁸
·
Dialektika dalam Perubahan Sosial
Marx percaya
bahwa konflik antara kelas borjuis (pemilik modal) dan kelas proletar (buruh)
akan menghasilkan revolusi, menciptakan masyarakat tanpa kelas.⁶⁹
6.2.3.
Friedrich Engels (1820–1895)
Engels, rekan Marx, memperluas materialisme
dialektis dengan menjelaskan bahwa hukum dialektika juga berlaku dalam alam.
Dalam bukunya Dialectics of Nature, ia menguraikan tiga hukum utama
dialektika:
1)
Hukum Perubahan Kuantitas menjadi Kualitas
2)
Hukum Kontradiksi dalam Alam
3)
Hukum Negasi atas Negasi⁷⁰
6.3. Prinsip-Prinsip Dialektika
1)
Kontradiksi sebagai Penggerak Utama
Dialektika
memandang kontradiksi sebagai elemen inti dari setiap perubahan, baik dalam ide
maupun realitas material.⁷¹
2)
Perubahan yang Berkesinambungan
Segala
sesuatu dianggap sebagai proses yang terus berubah melalui konflik dan
resolusi.⁷²
3)
Hubungan antara Ide dan Realitas
Dalam
dialektika Hegel, realitas adalah perwujudan ide, sementara dalam dialektika
Marx, ide adalah refleksi dari realitas material.⁷³
6.4. Aplikasi Pendekatan Dialektis
Pendekatan dialektis memiliki aplikasi luas dalam
berbagai bidang:
1)
Filsafat Sejarah
Hegelianisme
melihat sejarah sebagai proses perkembangan ide menuju kesadaran absolut,
sedangkan materialisme historis Marx memandang sejarah sebagai perjuangan kelas
yang digerakkan oleh ekonomi.⁷⁴
2)
Sosiologi dan Politik
Dialektika
digunakan untuk menganalisis konflik sosial dan politik, seperti dalam teori
revolusi Marx.⁷⁵
3)
Ilmu Alam
Engels
berpendapat bahwa hukum dialektika juga berlaku dalam transformasi alam,
seperti perubahan fasa dalam fisika.⁷⁶
6.5. Kritik terhadap Pendekatan Dialektis
1)
Abstraksi dan Kompleksitas
Dialektika
Hegel sering dikritik sebagai terlalu abstrak dan sulit dipahami, sehingga
sulit diterapkan dalam analisis konkret.⁷⁷
2)
Reduksi Materialisme Marx
Beberapa
filsuf mengkritik Marx karena mereduksi kompleksitas masyarakat menjadi konflik
ekonomi semata, mengabaikan faktor lain seperti budaya dan agama.⁷⁸
3)
Kesahihan Dialektika dalam Sains
Hukum
dialektika Engels tentang alam sering dipertanyakan oleh para ilmuwan karena
dianggap tidak didukung oleh bukti empiris yang memadai.⁷⁹
Relevansi Dialektika dalam Konteks Modern
Pendekatan dialektis tetap relevan dalam memahami
fenomena kompleks yang melibatkan konflik ideologis, perubahan sosial, dan
dinamika global. Misalnya, teori kritis dalam sosiologi yang dipelopori oleh
Sekolah Frankfurt menggunakan metode dialektika untuk menganalisis kapitalisme
modern dan budaya massa.⁸⁰
Catatan Kaki
[64]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 243–246.
[65]
G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
diterjemahkan oleh A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm.
10–12.
[66]
G.W.F. Hegel, Science of Logic,
diterjemahkan oleh George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press,
2010), hlm. 33–35.
[67]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 250–254.
[68]
Karl Marx, The Communist Manifesto,
diterjemahkan oleh Samuel Moore (London: Penguin Classics, 1967), hlm. 13–15.
[69]
Karl Marx, Das Kapital: A Critique of Political
Economy, diterjemahkan oleh Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1976),
hlm. 42–45.
[70]
Friedrich Engels, Dialectics of Nature,
diterjemahkan oleh Clemens Dutt (Moscow: Progress Publishers, 1940), hlm.
15–18.
[71]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 750–753.
[72]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 265–268.
[73]
Karl Marx, Das Kapital: A Critique of Political
Economy, hlm. 78–80.
[74]
G.W.F. Hegel, The Philosophy of History,
diterjemahkan oleh J. Sibree (New York: Dover Publications, 1956), hlm. 24–28.
[75]
Karl Marx, The Communist Manifesto, hlm.
19–22.
[76]
Friedrich Engels, Dialectics of Nature, hlm.
32–35.
[77]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy,
hlm. 756–759.
[78]
Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and
Environment (New York: Oxford University Press, 1939), hlm. 127–130.
[79]
J.B.S. Haldane, Science and Dialectical
Materialism (New York: Harper, 1938), hlm. 47–50.
[80]
Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment,
diterjemahkan oleh John Cumming (New York: Herder and Herder, 1972), hlm. 8–12.
7.
Pendekatan
Positivis dan Analitis
7.1. Pengertian Pendekatan Positivis dan Analitis
Pendekatan positivis dan analitis dalam filsafat
adalah dua metode yang menekankan pemahaman realitas berdasarkan fakta empiris
dan bahasa yang jelas. Positivisme merupakan aliran yang percaya bahwa
pengetahuan yang valid hanya berasal dari pengalaman empiris yang dapat
diverifikasi secara ilmiah. Sementara itu, filsafat analitis berfokus
pada analisis bahasa untuk menyelesaikan permasalahan filosofis.⁸¹
Kedua
pendekatan ini berbagi prinsip yang sama dalam upaya menghilangkan spekulasi
metafisik dan menggantinya dengan analisis yang logis, empiris, dan
sistematis.⁸²
7.2. Pendekatan Positivis
7.2.1.
Auguste Comte dan Positivisme
Auguste Comte (1798–1857) adalah bapak positivisme.
Dalam karyanya, Cours de Philosophie Positive, Comte mengajukan hukum
tiga tahap perkembangan intelektual manusia:
1)
Tahap Teologis – Fenomena
dijelaskan melalui kepercayaan pada kekuatan supranatural.
2)
Tahap Metafisis –
Penjelasan beralih ke konsep abstrak dan filsafat spekulatif.
3)
Tahap Positif –
Pengetahuan didasarkan pada pengamatan empiris dan fakta ilmiah.⁸³
Positivisme Comte menegaskan bahwa filsafat harus
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan tidak terjebak dalam spekulasi
metafisik.⁸⁴
7.2.2.
Positivisme Logis
Pada abad ke-20, positivisme berkembang menjadi positivisme
logis melalui pengaruh Lingkaran Wina (Vienna Circle), yang mencakup
tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnap. Mereka menekankan prinsip
verifikasi, yaitu bahwa proposisi hanya bermakna jika dapat diverifikasi secara
empiris atau analitis.⁸⁵
Prinsip-prinsip positivisme logis:
·
Fokus pada proposisi ilmiah yang dapat diuji kebenarannya.
·
Penolakan terhadap metafisika sebagai sesuatu yang tidak bermakna.⁸⁶
·
Hubungan erat dengan logika simbolis dan analisis bahasa.⁸⁷
7.3. Pendekatan Analitis
7.3.1.
Bertrand Russell dan Analisis Logis
Bertrand Russell (1872–1970) adalah pelopor
filsafat analitis yang mengembangkan pendekatan analisis logis. Dalam karyanya Principia
Mathematica (bersama Alfred North Whitehead), Russell menggunakan logika simbolis untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam filsafat dan matematika.⁸⁸
Ia percaya bahwa masalah filosofis dapat diatasi melalui analisis bahasa dan
logika.⁸⁹
7.3.2.
Ludwig Wittgenstein dan Filosofi
Bahasa
Ludwig Wittgenstein (1889–1951) membawa filsafat
analitis ke arah baru melalui dua periode pemikirannya:
1)
Filsafat Bahasa Awal (Tractatus Logico-Philosophicus)
Wittgenstein
berpendapat bahwa "batas bahasa adalah batas dunia," sehingga
filsafat seharusnya menjadi analisis bahasa untuk memperjelas proposisi.⁹⁰
2)
Filsafat Bahasa Akhir (Philosophical Investigations)
Di periode
ini, Wittgenstein mengkritik pandangannya sendiri dengan mengajukan teori
penggunaan bahasa (language games), yang menunjukkan bahwa makna bahasa
tergantung pada konteks penggunaannya.⁹¹
7.3.3.
Analitik Linguistik
Filosofi analitis juga berkembang ke analisis
linguistik, yang dipelopori oleh tokoh seperti Gilbert Ryle dan J.L. Austin.
Mereka menggunakan pendekatan ini untuk mengklarifikasi makna konsep-konsep
filosofis, seperti pikiran, kesadaran, dan kehendak bebas.⁹²
7.4. Prinsip-Prinsip Positivis dan Analitis
1)
Empirisme Ilmiah
Pendekatan
positivis menekankan fakta yang dapat diobservasi dan diuji secara ilmiah.⁹³
2)
Penolakan terhadap Metafisika
Baik
positivisme maupun filsafat analitis menolak klaim metafisik yang tidak dapat
diverifikasi.⁹⁴
3)
Analisis Bahasa
Filosofi analitis
fokus pada analisis bahasa untuk menghindari ambiguitas dan memastikan
proposisi yang jelas dan bermakna.⁹⁵
7.5. Aplikasi Pendekatan Positivis dan Analitis
1)
Ilmu Pengetahuan
Positivisme
memberikan landasan metodologis bagi ilmu pengetahuan modern dengan menekankan
pentingnya observasi empiris dan eksperimen.⁹⁶
2)
Filsafat Bahasa dan Logika
Filosofi
analitis menghasilkan perkembangan dalam logika simbolis dan teori bahasa, yang
berdampak pada linguistik dan ilmu komputer.⁹⁷
3)
Etika dan Hukum
Analisis
bahasa digunakan dalam memahami istilah-istilah etis dan hukum, seperti
kewajiban, tanggung jawab, dan keadilan.⁹⁸
7.6. Kritik terhadap Positivisme dan Analisis
1)
Reduksi Ilmu Pengetahuan
Positivisme
dikritik karena mereduksi kompleksitas realitas menjadi fakta empiris,
mengabaikan aspek-aspek seperti nilai, makna, dan moralitas.⁹⁹
2)
Masalah Prinsip Verifikasi
Prinsip
verifikasi positivisme logis dianggap bermasalah karena tidak dapat
diverifikasi dengan sendirinya, sehingga menjadi kontradiktif.100
3)
Keterbatasan Analisis Bahasa
Filosofi
analitis sering dianggap terlalu teknis dan tidak menjawab pertanyaan mendalam
tentang makna dan eksistensi.101
Catatan Kaki
[81]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 45–50.
[82]
Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic
(New York: Dover Publications, 1946), hlm. 15–18.
[83]
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive,
diterjemahkan oleh Harriet Martineau (London: Bell & Sons, 1896), hlm.
25–30.
[84]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 375–378.
[85]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge,
diterjemahkan oleh A.E. Blumberg (Berlin: Springer, 1974), hlm. 10–12.
[86]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language,
diterjemahkan oleh Amethe Smeaton (Chicago: Open Court, 1937), hlm. 15–20.
[87]
Bertrand Russell, Principia Mathematica,
bersama Alfred North Whitehead (Cambridge: Cambridge University Press, 1910),
hlm. 1–5.
[88]
Bertrand Russell, Principia Mathematica,
hlm. 12–15.
[89]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, diterjemahkan oleh D.F. Pears dan B.F. McGuinness
(London: Routledge, 1922), hlm. 5–8.
[90]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, diterjemahkan oleh G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell,
1953), hlm. 15–18.
[91]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago:
University of Chicago Press, 1949), hlm. 20–25.
[92]
J.L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Oxford University Press, 1962), hlm. 10–15.
[93]
Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic,
hlm. 25–30.
[94]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language,
hlm. 30–35.
[95]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, hlm. 35–38.
[96]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge,
hlm. 20–25.
[97]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind, hlm.
50–55.
[98]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
hlm. 20–22.
[99]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1934), hlm. 10–15.
[100]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), hlm. 12–15.
[101]
Charles Taylor, The Explanation of Behaviour
(New York: Routledge, 1964), hlm. 35–40.
8.
Pendekatan
Eksistensial dan Nihilistis
8.1. Pengertian Pendekatan Eksistensial dan Nihilistis
Pendekatan eksistensial dan nihilistis dalam
filsafat adalah dua aliran yang menekankan pengalaman subjektif manusia, makna
keberadaan, dan tantangan kehidupan. Eksistensialisme berfokus pada
kebebasan, tanggung jawab individu, dan perjuangan untuk menemukan makna dalam
kehidupan, sedangkan nihilisme menolak keberadaan makna atau nilai
universal, sering kali menekankan absurditas keberadaan manusia.102
Eksistensialisme memandang kehidupan sebagai
pengalaman subjektif yang unik, sementara nihilisme melihat kehidupan sebagai
sesuatu yang tidak memiliki tujuan atau nilai intrinsik. Meskipun berbeda,
kedua pendekatan ini sering terkait dalam merespons ketiadaan makna absolut
dalam kehidupan modern.103
8.2. Pendekatan Eksistensial
8.2.1.
Søren Kierkegaard: Bapak
Eksistensialisme
Kierkegaard (1813–1855) adalah pelopor
eksistensialisme yang menekankan pentingnya keputusan personal dalam menghadapi
kecemasan (angst) dan pilihan moral. Dalam bukunya, Fear and
Trembling, ia memperkenalkan konsep "lompatan iman" (leap of
faith), di mana individu harus membuat keputusan eksistensial berdasarkan
keyakinan subjektif.104
Kierkegaard menyoroti tiga tahap kehidupan manusia:
1)
Estetis – Hidup
untuk kesenangan dan keindahan.
2)
Etis – Hidup
dengan tanggung jawab moral.
3)
Religius – Hidup
dengan keyakinan spiritual yang melampaui rasionalitas.105
8.2.2.
Jean-Paul Sartre: Kebebasan dan
Tanggung Jawab
Sartre (1905–1980) adalah tokoh utama
eksistensialisme ateis. Dalam karyanya Being and Nothingness, ia
memperkenalkan konsep "eksistensi mendahului esensi," yang
berarti manusia tidak memiliki makna bawaan dan harus menciptakan makna
hidupnya sendiri.106 Sartre menekankan kebebasan individu dan
tanggung jawab penuh atas pilihan hidup.107
Konsep-konsep utama dalam pemikiran Sartre:
·
Kebebasan Radikal – Manusia
sepenuhnya bebas untuk menentukan nasibnya.
·
Kecemasan Eksistensial – Kebebasan membawa kecemasan karena manusia bertanggung jawab atas
semua pilihannya.108
·
Kehidupan Autentik – Hidup
dengan kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab pribadi.109
8.2.3.
Martin Heidegger: Keberadaan dan
Waktu
Dalam Being and Time, Heidegger (1889–1976)
menjelaskan bahwa manusia adalah Dasein (ada-di-dunia), yang memiliki
hubungan eksistensial dengan waktu. Hidup yang autentik berarti menghadapi
keberadaan kematian dan menemukan makna dalam keberadaan yang terbatas.110
8.3. Pendekatan Nihilistis
8.3.1.
Friedrich Nietzsche: Kematian Tuhan
dan Nihilisme
Nietzsche (1844–1900) memperkenalkan konsep "kematian
Tuhan" sebagai metafora untuk runtuhnya nilai-nilai tradisional dan
moralitas absolut. Dalam bukunya The Will to Power, ia menyatakan bahwa
nihilisme adalah hasil dari penolakan terhadap nilai-nilai transenden,
meninggalkan manusia dalam kekosongan makna.111
Konsep utama dalam nihilisme Nietzsche:
·
Nihilisme Pasif –
Penyerahan pada ketiadaan makna.
·
Nihilisme Aktif –
Penciptaan nilai baru melalui kehendak untuk berkuasa (will to power).112
Nietzsche juga memperkenalkan konsep Übermensch
(manusia super) sebagai individu yang mampu melampaui nihilisme dengan
menciptakan nilai-nilai baru.113
8.3.2.
Albert Camus: Absurditas Kehidupan
Camus (1913–1960), meskipun bukan nihilistis murni,
mengembangkan konsep absurditas dalam The Myth of Sisyphus. Ia
berargumen bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan tanpa akhir untuk mencari
makna dalam dunia yang tidak bermakna.114
Camus menawarkan tiga respons terhadap absurditas:
1)
Bunuh diri – Menyerah
pada absurditas (ditolak oleh Camus).
2)
Lompatan Iman – Menerima
keyakinan religius (juga ditolak oleh Camus).
3)
Pemberontakan – Menerima
absurditas tetapi tetap hidup dengan keberanian dan kebebasan.115
8.4. Prinsip-Prinsip Pendekatan Eksistensial dan
Nihilistis
1)
Eksistensialisme
Menekankan
kebebasan dan tanggung jawab individu.
Menghargai
pengalaman subjektif dan perjuangan untuk menemukan makna.
2)
Nihilisme
Menolak
makna dan nilai universal.
Menekankan
absurditas keberadaan manusia.116
8.5. Aplikasi dan Relevansi
1)
Seni dan Sastra
Pemikiran
eksistensial dan nihilistis memengaruhi karya sastra seperti The Stranger
karya Albert Camus dan No Exit karya Sartre.117
2)
Psikologi
Konsep
kecemasan eksistensial diterapkan dalam terapi eksistensial untuk membantu
individu menemukan makna hidup.118
3)
Kritik Sosial
Nihilisme
digunakan untuk mengkritik modernitas, kapitalisme, dan kemerosotan moralitas
tradisional.119
8.6. Kritik terhadap Pendekatan Eksistensial dan
Nihilistis
1)
Kelebihan Fokus pada Subjektivitas
Kritik utama
adalah pendekatan ini terlalu menekankan pengalaman subjektif, sehingga
mengabaikan nilai-nilai objektif atau universal.120
2)
Konflik antara Kebebasan dan Moralitas
Kebebasan
radikal Sartre sering dikritik karena sulit mendamaikan kebebasan individu
dengan tanggung jawab sosial.121
3)
Nihilisme yang Merusak
Nihilisme,
terutama versi pasif, sering dianggap destruktif karena tidak menawarkan solusi
praktis untuk kehidupan.122
Catatan Kaki
[102]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
diterjemahkan oleh Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941),
hlm. 15–18.
[103]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), hlm. 10–13.
[104]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, hlm.
25–28.
[105]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 123–126.
[106]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
diterjemahkan oleh Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), hlm.
22–25.
[107]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
diterjemahkan oleh Philip Mairet (London: Methuen, 1948), hlm. 34–38.
[108]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
hlm. 50–55.
[109]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 170–175.
[110]
Martin Heidegger, Being and Time,
diterjemahkan oleh John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper &
Row, 1962), hlm. 64–68.
[111]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, hlm.
25–30.
[112]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), hlm. 12–15.
[113]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 210–213.
[114]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus,
diterjemahkan oleh Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), hlm.
10–12.
[115]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, hlm.
15–18.
[116]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, hlm.
35–40.
[117]
Albert Camus, The Stranger, diterjemahkan
oleh Matthew Ward (New York: Vintage International, 1989), hlm. 1–3.
[118]
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), hlm. 45–50.
[119]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
hlm. 20–25.
[120]
Charles Taylor, Sources of the Self
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), hlm. 150–155.
[121]
Isaiah Berlin, The Crooked Timber of Humanity
(London: John Murray, 1990), hlm. 100–105.
[122]
Karl Löwith, Nietzsche’s Philosophy of the
Eternal Recurrence of the Same (Berkeley: University of California Press,
1997), hlm. 45–50.
9.
Kritik
dan Perbandingan Antar Aliran
Bab ini membahas kritik dan perbandingan antar
aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya.
Setiap aliran memiliki kekuatan dan kelemahan dalam memahami realitas,
pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan. Diskusi ini bertujuan untuk menyoroti
perbedaan mendasar antara pendekatan-pendekatan tersebut serta mengevaluasi
relevansinya dalam konteks modern.123
9.1. Kritik terhadap Setiap Aliran
9.1.1.
Rasionalisme vs. Empirisme
1)
Kritik terhadap Rasionalisme
Kelebihan:
Rasionalisme, seperti yang diwakili oleh René Descartes dan Immanuel Kant,
memberikan landasan yang kuat untuk kebenaran universal dan prinsip-prinsip
logis.124
Kritik: Empirisis
seperti David Hume berargumen bahwa rasionalisme terlalu mengabaikan pengalaman
indrawi dan sering kali menghasilkan spekulasi metafisik tanpa bukti konkret.125
2)
Kritik terhadap Empirisme
Kelebihan: Empirisme
menekankan pentingnya pengalaman sebagai dasar pengetahuan, memberikan
kontribusi besar terhadap metode ilmiah modern.126
Kritik: Rasionalis
berpendapat bahwa empirisme gagal menjelaskan konsep-konsep universal seperti
matematika dan logika, yang tidak dapat diakses melalui pengalaman saja.127
9.1.2.
Pendekatan Sintetik dan Kritis
(Kantian)
Kelebihan: Pendekatan
ini berhasil menjembatani jurang antara rasionalisme dan empirisme, dengan
menyatukan pengalaman dan prinsip-prinsip apriori.128
Kritik: Para
filsuf seperti Schopenhauer dan Nietzsche mengkritik abstraksi Kantian yang
dianggap terlalu teoretis dan kurang relevan dengan pengalaman konkret manusia.129
9.1.3.
Fenomenologi
Kelebihan:
Fenomenologi membawa filsafat kembali kepada "hal-hal itu sendiri"
dengan menekankan deskripsi pengalaman langsung.130
Kritik: Pendekatan
ini dianggap terlalu subjektif dan sering kali mengabaikan analisis empiris
atau objektif.131
9.1.4.
Dialektika
Kelebihan: Dialektika
Hegel memberikan kerangka untuk memahami perubahan historis dan ide, sementara
materialisme dialektis Marx relevan dalam analisis sosial dan ekonomi.132
Kritik: Dialektika
Hegel sering dianggap terlalu abstrak, sementara materialisme Marx dikritik
karena reduksionisme ekonominya.133
9.1.5.
Positivisme dan Analisis Logis
Kelebihan:
Positivisme memberikan dasar yang kuat untuk metode ilmiah dengan mengedepankan
verifikasi empiris, sedangkan analisis logis menyederhanakan masalah filosofis
melalui bahasa.134
Kritik:
Positivisme sering dikritik karena menolak pertanyaan metafisik, yang oleh
banyak filsuf dianggap penting untuk memahami nilai dan makna.135
9.1.6.
Eksistensialisme dan Nihilisme
1)
Kelebihan Eksistensialisme:
Fokus pada
kebebasan dan tanggung jawab individu membuat pendekatan ini relevan untuk
isu-isu moral dan eksistensial dalam dunia modern.136
Kritik: Terlalu
menekankan subjektivitas dan sering kali gagal memberikan panduan praktis dalam
masalah sosial.137
2)
Kelebihan Nihilisme:
Nihilisme
membantu menantang nilai-nilai tradisional yang usang.
Kritik: Sifat
destruktif nihilisme, terutama nihilisme pasif, dapat menyebabkan krisis moral
dan sosial.138
9.2. Perbandingan Antar Aliran
9.2.1.
Rasionalisme vs. Empirisme
Persamaan: Keduanya
berusaha memahami realitas melalui metode sistematis.
Perbedaan:
Rasionalisme lebih mengandalkan akal (reason), sementara empirisme
menekankan pengalaman indrawi (sense experience).139
9.2.2.
Fenomenologi vs. Positivisme
Persamaan: Keduanya
menghindari spekulasi metafisik berlebihan.
Perbedaan:
Fenomenologi menyoroti pengalaman subjektif, sedangkan positivisme lebih
berfokus pada fakta objektif yang dapat diverifikasi.140
9.2.3.
Eksistensialisme vs. Nihilisme
Persamaan: Keduanya merespons
krisis makna dalam kehidupan modern.
Perbedaan:
Eksistensialisme menekankan perjuangan untuk menemukan makna, sedangkan
nihilisme menolak keberadaan makna universal.141
9.2.4.
Dialektika vs. Positivisme
Persamaan: Keduanya
digunakan untuk memahami perubahan dalam realitas.
Perbedaan: Dialektika
menggunakan kontradiksi sebagai alat analisis, sedangkan positivisme fokus pada
data empiris dan pengamatan langsung.142
9.3. Relevansi dalam Dunia Modern
1)
Rasionalisme dan Empirisme
Relevan
dalam sains modern, di mana prinsip rasionalisme digunakan untuk membangun
teori, sementara empirisme digunakan untuk pengujian dan verifikasi.143
2)
Fenomenologi dan Eksistensialisme
Memberikan
wawasan tentang pengalaman subjektif manusia, yang relevan dalam psikologi, sastra,
dan seni.144
3)
Positivisme dan Analisis Logis
Positivisme
terus digunakan dalam penelitian ilmiah, sedangkan analisis logis memainkan
peran penting dalam pengembangan linguistik dan ilmu komputer.145
4)
Dialektika
Materialisme
dialektis Marx tetap menjadi alat analisis yang penting dalam studi sosial,
ekonomi, dan politik.146
Catatan Kaki
[123]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 325–328.
[124]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), hlm. 10–12.
[125]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hlm. 15–20.
[126]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon
Press, 1975), hlm. 22–25.
[127]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 35–40.
[128]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy, hlm. 330–333.
[129]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and
Representation, diterjemahkan oleh E.F.J. Payne (New York: Dover
Publications, 1966), hlm. 78–82.
[130]
Edmund Husserl, Logical Investigations,
diterjemahkan oleh J.N. Findlay (London: Routledge, 1970), hlm. 15–18.
[131]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 735–738.
[132]
G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
diterjemahkan oleh A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm.
35–40.
[133]
Karl Marx, Das Kapital: A Critique of Political
Economy, diterjemahkan oleh Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1976),
hlm. 42–45.
[134]
Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic
(New York: Dover Publications, 1946), hlm. 15–18.
[135]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language,
diterjemahkan oleh Amethe Smeaton (Chicago: Open Court, 1937), hlm. 25–30.
[136]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
diterjemahkan oleh Philip Mairet (London: Methuen, 1948), hlm. 30–35.
[137]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus,
diterjemahkan oleh Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), hlm.
10–12.
[138]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), hlm. 15–18.
[139]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 45–50.
[140]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology, diterjemahkan oleh W.R. Boyce Gibson (London: Routledge,
1931), hlm. 8–10.
[141]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), hlm. 20–22.
[142]
G.W.F. Hegel, Science of Logic,
diterjemahkan oleh George di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press,
2010), hlm. 33–35.
[143]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1934), hlm. 12–15.
[144]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, diterjemahkan oleh Colin Smith (London: Routledge, 1962), hlm.
12–15.
[145]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, diterjemahkan oleh G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell,
1953), hlm. 25–30.
[146]
Karl Marx, The Communist Manifesto,
diterjemahkan oleh Samuel Moore (London: Penguin Classics, 1967), hlm. 15–18.
10. Kesimpulan
10.1. Ringkasan Utama
Dalam pembahasan ini, telah diuraikan berbagai
aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran yang mereka gunakan, mulai dari
rasionalisme, empirisme, fenomenologi, dialektika, hingga eksistensialisme dan
nihilisme. Setiap aliran menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap
realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan.147
·
Rasionalisme menekankan
akal sebagai sumber utama pengetahuan dan menyediakan landasan yang kuat untuk
kebenaran universal.148
·
Empirisme, di sisi
lain, memprioritaskan pengalaman indrawi sebagai dasar pengetahuan, memberikan
kontribusi besar pada pengembangan metode ilmiah.149
·
Fenomenologi dan eksistensialisme
memberikan wawasan mendalam tentang pengalaman subjektif manusia, terutama
dalam menghadapi masalah makna dan kebebasan.150
·
Dialektika dan positivisme
menyoroti pentingnya konflik ide dan verifikasi empiris dalam memahami dunia,
sementara nihilisme menantang kita untuk menghadapi kenyataan tanpa
makna absolut.151
10.2. Kritik dan Refleksi
10.2.1. Keberagaman
Perspektif
Setiap aliran filsafat menunjukkan kekuatan dan
kelemahannya dalam memahami realitas. Misalnya, rasionalisme unggul dalam hal
kejelasan logis, tetapi sering kali mengabaikan pengalaman indrawi, sementara
empirisme berkontribusi besar pada ilmu pengetahuan tetapi terkadang gagal
menjelaskan konsep-konsep abstrak seperti logika dan matematika.152
10.2.2. Keterbatasan
Metodologis
Aliran seperti positivisme dan fenomenologi
menghadapi kritik karena fokusnya yang terlalu sempit—positivisme menolak
metafisika, sementara fenomenologi terlalu subjektif. Dalam konteks modern,
sintesis antarpendekatan ini dapat menjadi solusi yang lebih komprehensif.153
10.2.3. Relevansi
dalam Dunia Modern
Pendekatan eksistensial dan nihilistis, meskipun
sering dianggap pesimistis, memberikan pandangan yang relevan tentang krisis
makna di dunia modern. Dalam konteks globalisasi dan digitalisasi, manusia
dihadapkan pada pertanyaan tentang identitas, kebebasan, dan tanggung jawab
moral.154
10.3. Implikasi Praktis
10.3.1. Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Pendekatan rasionalisme dan empirisme terus
memainkan peran penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Contohnya, pengembangan kecerdasan buatan (AI) menggabungkan prinsip logika
rasional dan pembelajaran berbasis data empiris.155
10.3.2. Etika dan
Moralitas
Eksistensialisme memberikan landasan untuk tanggung
jawab moral individu, yang penting dalam membangun masyarakat pluralistik. Di
sisi lain, nihilisme mendorong kita untuk menciptakan nilai-nilai baru yang
relevan dengan tantangan zaman.156
10.3.3. Hubungan
Manusia dengan Alam
Pendekatan fenomenologis dan dialektis membantu
manusia memahami hubungan kompleks antara dirinya dan alam, terutama dalam
konteks isu lingkungan dan perubahan iklim.157
10.4. Rekomendasi untuk Studi Lanjutan
Dalam mengkaji aliran-aliran filsafat ini, pembaca
didorong untuk mendalami masing-masing pendekatan secara kritis dengan mengacu
pada karya-karya utama tokoh-tokoh yang disebutkan. Selain itu, studi
interdisipliner yang menggabungkan filsafat dengan bidang lain seperti sains,
teknologi, psikologi, dan seni dapat memberikan wawasan yang lebih kaya.158
Penutup
Filsafat tidak hanya sekadar disiplin akademis,
tetapi juga alat untuk memahami kehidupan dan mengatasi tantangan eksistensial.
Dengan memahami beragam aliran filsafat berdasarkan metode pemikiran, kita
dapat mengembangkan cara pandang yang lebih komprehensif, kritis, dan reflektif
dalam menghadapi masalah-masalah dunia modern.159
Catatan Kaki
[147]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(New York: Simon & Schuster, 1945), hlm. 635–640.
[148]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
diterjemahkan oleh John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), hlm. 15–18.
[149]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, diterjemahkan oleh Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon
Press, 1975), hlm. 22–25.
[150]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology,
diterjemahkan oleh W.R. Boyce Gibson (London: Routledge, 1931), hlm. 30–33.
[151]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1968), hlm. 25–30.
[152]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), hlm. 45–50.
[153]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge,
diterjemahkan oleh A.E. Blumberg (Berlin: Springer, 1974), hlm. 10–15.
[154]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
diterjemahkan oleh Philip Mairet (London: Methuen, 1948), hlm. 25–28.
[155]
Norbert Wiener, Cybernetics: Or Control and
Communication in the Animal and the Machine (Cambridge: MIT Press, 1948),
hlm. 5–10.
[156]
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), hlm. 30–33.
[157]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, diterjemahkan oleh Colin Smith (London: Routledge, 1962), hlm.
15–20.
[158]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), hlm. 375–380.
[159]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), hlm. 75–80.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1946). Language, truth, and logic.
New York: Dover Publications.
Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the
principles of human knowledge (J. Dancy, Trans.). Oxford: Oxford University
Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). New York: Vintage International.
Carnap, R. (1937). The logical syntax of
language (A. Smeaton, Trans.). Chicago: Open Court.
Comte, A. (1896). Cours de philosophie positive
(H. Martineau, Trans.). London: Bell & Sons.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy:
Modern philosophy. New York: Doubleday.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Engels, F. (1940). Dialectics of nature (C.
Dutt, Trans.). Moscow: Progress Publishers.
Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning.
Boston: Beacon Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Hegel, G. W. F. (1956). The philosophy of
history (J. Sibree, Trans.). New York: Dover Publications.
Hegel, G. W. F. (1977). The phenomenology of
spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.
Husserl, E. (1931). Ideas pertaining to a pure
phenomenology (W. R. Boyce Gibson, Trans.). London: Routledge.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Clarendon Press.
Marx, K. (1976). Das Kapital: A critique of
political economy (B. Fowkes, Trans.). London: Penguin Classics.
Marx, K., & Engels, F. (1967). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). London: Penguin Classics.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.
Nietzsche, F. (1966). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). New York: Viking Press.
Nietzsche, F. (1968). The will to power (W.
Kaufmann, Trans.). New York: Vintage Books.
Popper, K. (1934). The logic of scientific
discovery. London: Routledge.
Russell, B. (1945). History of western
philosophy. New York: Simon & Schuster.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
London: Williams and Norgate.
Sartre, J.-P. (1948). Existentialism is a
humanism (P. Mairet, Trans.). London: Methuen.
Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness
(H. Barnes, Trans.). New York: Washington Square Press.
Schlick, M. (1974). General theory of knowledge
(A. E. Blumberg, Trans.). Berlin: Springer.
Taylor, C. (1989). Sources of the self.
Cambridge: Harvard University Press.
Wiener, N. (1948). Cybernetics: Or control and
communication in the animal and the machine. Cambridge: MIT Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). London:
Routledge.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Lampiran: Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Metode Pemikiran
1)
Rasionalisme (Rationalism)
Arti/ Definisi:
Mengutamakan akal (reason) sebagai sumber utama pengetahuan.
Tokoh Utama: René
Descartes, Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz.
2)
Empirisme (Empiricism)
Arti/ Definisi:
Mengandalkan pengalaman indrawi (sense experience) sebagai dasar
pengetahuan.
Tokoh Utama: John
Locke, George Berkeley, David Hume.
3)
Filsafat Kantian (Kantian
Philosophy)
Arti/ Definisi:
Menggabungkan unsur rasionalisme dan empirisme melalui pendekatan sintetik dan
kritis.
Tokoh Utama: Immanuel
Kant.
4)
Fenomenologi (Phenomenology)
Arti/ Definisi: Fokus pada
deskripsi pengalaman kesadaran sebagaimana yang dialami.
Tokoh Utama: Edmund
Husserl, Martin Heidegger, Maurice Merleau-Ponty.
5)
Dialektika (Dialectics)
Arti/ Definisi: Metode
yang menekankan kontradiksi dan perubahan melalui proses tesis, antitesis, dan
sintesis.
Tokoh Utama: G.W.F.
Hegel, Karl Marx, Friedrich Engels.
6)
Positivisme (Positivism)
Arti/ Definisi:
Mengedepankan fakta empiris dan observasi sebagai satu-satunya dasar
pengetahuan.
Tokoh Utama: Auguste
Comte, Moritz Schlick, Rudolf Carnap.
7)
Filsafat Analitis (Analytical
Philosophy)
Arti/ Definisi: Berfokus
pada analisis bahasa untuk menyelesaikan permasalahan filosofis.
Tokoh Utama: Bertrand
Russell, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle.
8)
Eksistensialisme (Existentialism)
Arti/ Definisi: Menekankan
kebebasan individu, tanggung jawab, dan pencarian makna hidup.
Tokoh Utama: Søren
Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger.
9)
Nihilisme (Nihilism)
Arti/ Definisi: Menolak
keberadaan makna atau nilai universal dalam kehidupan.
Tokoh Utama: Friedrich
Nietzsche, Albert Camus (absurdisme terkait).
10)
Materialisme Dialektis (Dialectical Materialism)
Arti/ Definisi:
Perkembangan dialektika yang diterapkan pada analisis perubahan sosial dan
material.
Tokoh Utama: Karl Marx,
Friedrich Engels.
11)
Filsafat Bahasa Awal (Early
Philosophy of Language)
Arti/ Definisi: Memahami
hubungan antara bahasa, dunia, dan logika.
Tokoh Utama: Ludwig
Wittgenstein (Tractatus Logico-Philosophicus).
12)
Hermeneutika (Hermeneutics)
Arti/ Definisi: Ilmu atau
seni penafsiran, khususnya teks dan fenomena budaya.
Tokoh Utama: Hans-Georg
Gadamer, Paul Ricoeur.
13)
Pragmatism (Pragmatisme)
Arti/ Definisi:
Pengetahuan dinilai berdasarkan manfaat praktisnya dalam kehidupan.
Tokoh Utama: Charles
Sanders Peirce, William James, John Dewey.
14)
Strukturalisme (Structuralism)
Arti/ Definisi: Penekanan
pada struktur yang mendasari bahasa, budaya, dan masyarakat.
Tokoh Utama: Ferdinand
de Saussure, Claude Lévi-Strauss.
15)
Postmodernisme (Postmodernism)
Arti/ Definisi: Menolak
narasi besar dan kebenaran universal, menyoroti relativisme dan subjektivitas.
Tokoh Utama:
Jean-François Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida.
16)
Absurdism (Absurdisme)
Arti/ Definisi: Kehidupan
manusia tidak memiliki makna, tetapi tetap berharga untuk dihidupi.
Tokoh Utama: Albert
Camus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar