Senin, 13 Januari 2025

Tauhid Asma' wa Sifat: Memahami Nama dan Sifat Allah

Tauhid Asma' wa Sifat

Memahami Nama dan Sifat Allah


Abstrak

Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan salah satu dari tiga aspek utama Tauhid dalam Islam yang menekankan pengesaan Allah melalui Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya. Artikel ini membahas konsep Tauhid Asma’ wa Sifat secara mendalam berdasarkan sumber-sumber klasik dan pandangan ulama. Dimulai dengan definisi dan dasar-dasar Tauhid Asma’ wa Sifat, artikel ini menjelaskan metode salaf dalam memahami Nama dan Sifat Allah, yang bebas dari tahrif (penyimpangan), ta’thil (penolakan), takyif (membayangkan bentuk), dan tasybih (penyerupaan).

Melalui kajian dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis sahih, artikel ini menegaskan pentingnya mengenal dan memahami sifat Allah secara tekstual tanpa mendistorsinya. Polemik sejarah yang melibatkan aliran seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah menjadi pembelajaran berharga tentang pentingnya berpegang teguh pada metode salaf. Selain itu, artikel ini menguraikan manfaat praktis dari Tauhid Asma’ wa Sifat, termasuk dalam membentuk akhlak, meningkatkan ibadah, serta memberikan ketenangan hati dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel ini menegaskan bahwa pemahaman Tauhid Asma’ wa Sifat bukan sekadar teori, tetapi panduan praktis yang memiliki pengaruh signifikan terhadap akidah, spiritualitas, dan kehidupan sosial umat Islam. Dengan demikian, pembelajaran Tauhid Asma’ wa Sifat menjadi langkah penting dalam menjaga kemurnian iman dan mempererat hubungan dengan Allah.

Kata kunci: Tauhid Asma’ wa Sifat, Nama dan Sifat Allah, salaf, tahrif, ta’thil, tasybih, akidah Islam.


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi Tauhid Asma' wa Sifat

Tauhid Asma' wa Sifat merupakan salah satu dari tiga kategori Tauhid yang dikenal dalam ajaran Islam, selain Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Secara terminologi, Tauhid Asma' wa Sifat adalah mengesakan Allah dalam Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya sebagaimana yang telah Allah tetapkan dalam Al-Qur'an dan yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadis-hadis yang sahih, tanpa melakukan tahrif (penyimpangan makna), ta'thil (penolakan makna), takyif (membayangkan bentuk), atau tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).1 Tauhid ini menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki sifat kesempurnaan mutlak, tanpa kesamaan atau keserupaan dengan makhluk-Nya (QS. Asy-Syura [42] ayat 11).

Pemahaman Tauhid Asma' wa Sifat penting karena ia merupakan landasan bagi keimanan seorang Muslim kepada Allah. Kesalahan dalam memahami Nama dan Sifat Allah dapat menjerumuskan seseorang ke dalam penyimpangan akidah, seperti yang terjadi pada aliran Jahmiyah, Mu'tazilah, dan lainnya, yang menolak sebagian sifat Allah dengan dalih menafikan penyerupaan dengan makhluk. Sebaliknya, pemahaman yang benar membantu seorang Muslim mengenal Allah dengan lebih baik sehingga meningkatkan keimanan, kecintaan, dan penghambaan kepada-Nya.

1.2.       Dasar-Dasar Tauhid Asma' wa Sifat

Tauhid Asma' wa Sifat berakar pada dua sumber utama Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

"Hanya milik Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna itu." (QS. Al-A'raf [07] ayat 180)

Ayat ini menegaskan bahwa semua Nama Allah adalah nama-nama terbaik (asma'ul husna), yang menunjukkan kesempurnaan-Nya. Begitu pula dalam Hadis, Rasulullah Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghafalnya, maka dia akan masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim)2

Konsensus para ulama (ijma') menetapkan bahwa semua Nama dan Sifat Allah harus dipahami berdasarkan dalil naqli (wahyu), tanpa menggunakan akal semata untuk menetapkannya. Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Ar-Rad 'ala Jahmiyyah menegaskan pentingnya berpegang pada dalil tekstual dalam memahami sifat Allah.3

1.3.       Metode Salafus Salih dalam Memahami Asma' wa Sifat

Metode salafus salih (para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in) dalam memahami Tauhid Asma' wa Sifat adalah dengan menerima apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan tanpa tahrif, ta'thil, takyif, atau tamtsil. Para sahabat seperti Abdullah bin Abbas RA dan para ulama salaf seperti Imam Malik bin Anas menekankan pentingnya beriman kepada Sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa mempertanyakan "bagaimana" (takyif). Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa' Allah (bersemayam) di atas Arsy, menjawab, "Istiwa' itu sudah diketahui (maknanya), tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Beriman kepadanya adalah wajib, sedangkan mempertanyakannya adalah bid'ah."4

Metode ini menjadi panduan utama dalam memahami Tauhid Asma' wa Sifat. Hal ini penting untuk menghindari dua ekstrem, yaitu penyamaan Allah dengan makhluk (tasybih) dan penafian sifat-Nya (ta'thil). Oleh karena itu, memahami Tauhid Asma' wa Sifat dengan pendekatan yang benar merupakan langkah fundamental untuk menjaga kemurnian akidah seorang Muslim.


Footnotes

[1]                Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.

[2]                Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 12, no. 2736; Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Dzikir, no. 2677.

[3]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad 'ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.

[4]                Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.


2.           Konsep Tauhid Asma' wa Sifat

2.1.       Makna Asma' Allah (Nama-Nama Allah)

Nama-nama Allah (asma' Allah) adalah nama-nama yang menunjukkan sifat kesempurnaan Allah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis yang sahih. Nama-nama ini dikenal sebagai al-asma' al-husna (nama-nama yang terbaik). Allah berfirman:

Hanya milik Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna itu.” (QS. Al-A'raf [07] ayat 180)

Nama-nama Allah tidak hanya sekadar nama, tetapi juga mencerminkan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Sebagai contoh, Ar-Rahman menunjukkan sifat rahmat-Nya yang luas, sedangkan Al-Alim menunjukkan keluasan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu.1

Kaidah dalam Penetapan Nama Allah:

1)                  Nama-Nama Allah Ditetapkan Berdasarkan Dalil Syar’i:

Nama Allah hanya dapat diketahui melalui wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Hadis Nabi Saw. Tidak diperbolehkan menetapkan nama Allah berdasarkan akal atau analogi.2

2)                  Semua Nama Allah adalah Husna (Terbaik):

Nama-nama Allah menunjukkan kesempurnaan, kebaikan, dan kemuliaan tanpa kekurangan atau cacat sedikit pun.3 Dalam hal ini, Al-Qur'an mengajarkan untuk menyebut Allah dengan nama-nama yang telah Ia tetapkan sendiri.

3)                  Larangan Menyimpang dari Nama-Nama Allah:

Allah melarang penyimpangan (ilhad) dalam memahami nama-nama-Nya, baik dengan menolak, menyelewengkan makna, atau menyematkan makna yang tidak sesuai. Sebagaimana firman-Nya:

"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya." (QS. Al-A'raf [07] ayat 180)

2.2.       Makna Sifat Allah

Sifat Allah adalah segala sesuatu yang melekat pada Dzat-Nya yang menunjukkan kesempurnaan-Nya, seperti sifat rahmat, ilmu, kekuasaan, dan hikmah. Penetapan sifat Allah juga mengikuti dalil naqli, tanpa menyimpang dari makna yang dimaksudkan. Dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11, Allah menegaskan:

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Ayat ini menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah berbeda dari makhluk-Nya. Allah Maha Mendengar (As-Sami') dan Maha Melihat (Al-Basir), tetapi pendengaran dan penglihatan-Nya tidak dapat diserupakan dengan makhluk.

Klasifikasi Sifat Allah:

1)                  Sifat Dzatiyah:

Sifat yang melekat pada Dzat Allah dan tidak terpisahkan, seperti sifat hidup (al-hayah), ilmu (al-ilm), dan kekuasaan (al-qudrah). Sifat ini telah ada sejak dahulu tanpa permulaan dan tetap ada selama-lamanya tanpa akhir.4

2)                  Sifat Fi'liyah:

Sifat yang berkaitan dengan kehendak dan perbuatan Allah, seperti mencipta (al-khalq), memberi rezeki (ar-rizq), dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir sebagaimana disebutkan dalam hadis yang sahih.5

2.3.       Kaidah Penetapan Sifat Allah

Para ulama menetapkan kaidah dalam memahami sifat Allah untuk menjaga akidah agar tidak terjerumus dalam penyimpangan:

1)                  Tidak Tahrif (Menyelewengkan Makna):

Mengubah atau menyelewengkan makna dari yang dimaksudkan dalam teks, seperti menafsirkan istawa (bersemayam) dengan istawla (menguasai), sebagaimana dilakukan oleh aliran tertentu.6

2)                  Tidak Ta’thil (Meniadakan):

Menolak sifat-sifat Allah dengan alasan untuk menjaga keesaan-Nya, sebagaimana dilakukan oleh Jahmiyah yang menafikan hampir semua sifat Allah.7

3)                  Tidak Tasybih (Menyerupakan):

Menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk, seperti mengatakan bahwa tangan Allah sama seperti tangan manusia. Hal ini bertentangan dengan firman Allah dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11.

4)                  Tidak Takyif (Mempertanyakan "Bagaimana"):

Tidak boleh membayangkan atau mempertanyakan "bagaimana" sifat Allah, seperti mencoba membayangkan bentuk sifat istiwa’-Nya. Imam Malik RA berkata, "Istiwa' diketahui maknanya, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui, dan bertanya tentang hal itu adalah bid'ah."8


Footnotes

[1]                Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.

[2]                Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 12, no. 2736.

[3]                Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Dzikir, no. 2677.

[4]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad 'ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 7 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), 86.

[6]                Al-Qadhi Iyadh, Al-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, vol. 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002), 487.

[7]                Abul Hasan Al-Asy'ari, Maqalat Al-Islamiyyin, ed. Muhammad Muhyiuddin Abdul Hamid (Kairo: Maktabah Nahdhah, 1969), 211.

[8]                Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.


3.           Dalil-Dalil Tauhid Asma' wa Sifat

Tauhid Asma’ wa Sifat memiliki landasan kuat yang bersumber dari Al-Qur'an, hadis-hadis sahih, dan pemahaman para ulama salaf. Dalil-dalil ini mengajarkan bagaimana menetapkan Nama dan Sifat Allah dengan cara yang sesuai dengan wahyu, tanpa melakukan penyimpangan dalam memahaminya.

3.1.       Dalil dari Al-Qur'an

Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan Nama dan Sifat Allah, menegaskan bahwa Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan tanpa cacat atau kekurangan. Beberapa ayat utama yang menjadi dasar Tauhid Asma' wa Sifat adalah sebagai berikut:

3.1.1.      Nama-Nama Allah adalah Asma'ul Husna

Allah berfirman:

"Hanya milik Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna itu." (QS. Al-A'raf [07] ayat 180)

Ayat ini menegaskan bahwa semua Nama Allah adalah nama-nama yang terbaik, menunjukkan kesempurnaan dan keagungan-Nya. Penetapan Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata, melainkan harus bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis yang sahih.1

3.1.2.      Sifat Allah Tidak Menyerupai Makhluk-Nya

Dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11, Allah berfirman:

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Ayat ini menjelaskan prinsip penting dalam Tauhid Asma' wa Sifat: Allah memiliki sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Konsep ini melindungi akidah dari tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (penyamakan).

3.1.3.      Kesempurnaan Ilmu Allah

Allah berfirman:

"Dia mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa-apa tentang ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 255)

Ayat ini menunjukkan sifat ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, menegaskan keesaan dan keagungan-Nya dalam mengetahui semua perkara, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.2

3.2.       Dalil dari Hadis Sahih

Hadis-hadis Nabi Saw memberikan penjelasan lebih rinci tentang Nama dan Sifat Allah. Rasulullah Saw mengajarkan umat Islam untuk mengenal Allah melalui Nama dan Sifat-Nya serta berdoa kepada-Nya dengan menyebut Nama-Nama-Nya yang mulia.

3.2.1.      Hadis Tentang Asma'ul Husna

Rasulullah Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghafalnya, maka dia akan masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim)3

Hadis ini menegaskan pentingnya mengenal, menghafal, dan memahami Nama-Nama Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

3.2.2.      Hadis Tentang Sifat Allah

Dalam salah satu hadis sahih, Rasulullah Saw bersabda:

"Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman: 'Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.'" (HR. Bukhari dan Muslim)4

Hadis ini menetapkan sifat fi'liyah Allah (perbuatan Allah) tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk. Para ulama menafsirkan "turunnya Allah" sebagai turunnya sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, tanpa membayangkan atau menyerupakannya dengan makhluk.

3.3.       Pendapat Ulama Salaf

Para ulama salaf memiliki peran besar dalam menjaga pemahaman yang benar tentang Tauhid Asma' wa Sifat. Mereka menekankan untuk menerima Nama dan Sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa menambah, mengurangi, atau menyelewengkan maknanya.

3.3.1.      Imam Malik bin Anas

Imam Malik, ketika ditanya tentang makna "istiwa" (bersemayam) dalam QS. Thaha [20] ayat 5, menjawab:

"Istiwa' itu sudah diketahui maknanya, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Beriman kepadanya adalah wajib, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah."5

Jawaban ini menjadi prinsip penting dalam memahami sifat Allah, yaitu mengimaninya tanpa mempertanyakan bentuk atau caranya.

3.3.2.      Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Al-Fatawa menegaskan bahwa memahami Nama dan Sifat Allah harus berdasarkan wahyu, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, atau tamtsil. Ia menyatakan:

"Sesungguhnya sifat Allah adalah sifat yang sesuai dengan kesempurnaan-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam Dzat maupun sifat-Nya."6


Kesimpulan

Dalil-dalil dari Al-Qur'an, Hadis, dan pemahaman ulama salaf memberikan landasan yang kuat bagi Tauhid Asma' wa Sifat. Pemahaman ini mengarahkan umat Islam untuk mengenal Allah dengan cara yang benar, menjaga keimanan dari penyimpangan, dan mendekatkan diri kepada-Nya melalui Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang mulia.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 2 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), 185.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, vol. 3 (Beirut: Dar Ihya Al-Turath Al-Arabi, 2006), 122.

[3]                Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 12, no. 2736; Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Dzikir, no. 2677.

[4]                Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 24, no. 1145; Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Shalat, no. 758.

[5]                Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.

[6]                Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.


4.           Kaidah-Kaidah Memahami Asma' wa Sifat Allah

Dalam memahami Tauhid Asma’ wa Sifat, para ulama salaf menetapkan kaidah-kaidah tertentu untuk menjaga keimanan dari penyimpangan dan pemahaman yang salah. Kaidah ini membantu seorang Muslim memahami Nama dan Sifat Allah sesuai dengan wahyu tanpa menyimpang dari metode salafus salih. Berikut adalah kaidah-kaidah utama dalam memahami Asma’ wa Sifat Allah.

4.1.       Semua Nama Allah adalah Husna (Terbaik)

Allah Swt telah menetapkan bahwa semua Nama-Nya adalah al-asma’ al-husna (nama-nama terbaik), yang menunjukkan sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan-Nya. Firman Allah Swt:

"Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu." (QS. Al-A'raf [07] ayat 180)

Dari ayat ini, terdapat kaidah bahwa semua Nama Allah mengandung makna yang menunjukkan keindahan dan kesempurnaan. Sebagai contoh, nama Ar-Rahman menunjukkan keluasan rahmat Allah, sedangkan Al-Alim menunjukkan keluasan ilmu-Nya.1

4.2.       Semua Sifat Allah Menunjukkan Kesempurnaan

Sifat-sifat Allah adalah sifat yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Allah tidak memiliki sifat kekurangan atau cacat sedikit pun. Dalam QS. An-Nahl [16] ayat 60, Allah berfirman:

"Bagi Allah sifat yang Maha Tinggi; dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Sebagai implikasinya, sifat Allah seperti ilmu (al-ilm), kekuasaan (al-qudrah), dan hidup (al-hayah) adalah sifat sempurna tanpa batas. Sebaliknya, Allah Maha Suci dari sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan, seperti lelah, lupa, atau butuh kepada makhluk.2

4.3.       Larangan Melakukan Tahrif (Penyimpangan Makna)

Tahrif adalah mengubah atau menyelewengkan makna dari yang dimaksudkan dalam teks Al-Qur’an atau Hadis. Contohnya adalah menafsirkan istawa (bersemayam) dalam QS. Thaha [20] ayat 5 dengan istawla (menguasai), seperti yang dilakukan oleh sebagian aliran tertentu. Para ulama salaf menolak metode ini karena mengubah makna asli dari teks syar’i.3

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa istawa harus dipahami sebagaimana adanya, yaitu bersemayam di atas Arsy dengan cara yang sesuai dengan keagungan Allah tanpa menyerupai makhluk.4

4.4.       Larangan Melakukan Ta’thil (Penolakan Sifat)

Ta’thil adalah meniadakan atau menolak sifat-sifat Allah dengan alasan untuk menghindari penyerupaan dengan makhluk. Aliran Jahmiyah, misalnya, menolak hampir semua sifat Allah, termasuk sifat ilmu dan kekuasaan. Ta’thil bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang menetapkan sifat-sifat Allah. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 255 menegaskan:

"Dia mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa tentang ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki."

Menolak sifat ilmu Allah berarti bertentangan dengan teks ini dan wahyu lainnya.5

4.5.       Larangan Melakukan Tasybih (Penyerupaan)

Tasybih adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Ini dilarang keras dalam Islam karena bertentangan dengan QS. Asy-Syura [42] ayat 11:

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Sebagai contoh, Allah memiliki tangan (yad), tetapi tangan Allah tidak menyerupai tangan manusia. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa sifat-sifat Allah harus diimani sebagaimana adanya, tanpa menyerupai makhluk.6

4.6.       Larangan Melakukan Takyif (Menentukan Bagaimana Sifat Allah)

Takyif adalah berusaha menentukan atau membayangkan "bagaimana" sifat Allah. Larangan ini dijelaskan oleh Imam Malik bin Anas ketika ditanya tentang makna istawa dalam QS. Thaha [20] ayat 5. Beliau menjawab:

"Istiwa' itu sudah diketahui (maknanya), tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Beriman kepadanya adalah wajib, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah."7

Prinsip ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh berusaha membayangkan bentuk atau hakikat dari sifat Allah.

4.7.       Penetapan Sifat Allah Berdasarkan Dalil

Semua Nama dan Sifat Allah harus didasarkan pada dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis). Tidak diperbolehkan menetapkan sifat Allah berdasarkan akal semata. Misalnya, sifat turun-Nya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir ditegaskan dalam hadis sahih, dan ulama menerima sifat ini tanpa mempertanyakan bagaimana caranya, karena sifat Allah tidak dapat dijangkau akal manusia.8


Kesimpulan

Kaidah-kaidah ini menjadi pedoman utama dalam memahami Tauhid Asma' wa Sifat. Dengan mematuhi kaidah-kaidah ini, seorang Muslim dapat menjaga akidahnya dari penyimpangan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang benar. Pemahaman yang salah, seperti tahrif, ta’thil, tasybih, atau takyif, dapat menjerumuskan seseorang ke dalam penyimpangan akidah yang serius.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 2 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), 185.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, vol. 3 (Beirut: Dar Ihya Al-Turath Al-Arabi, 2006), 122.

[3]                Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin, ed. Muhammad Muhyiuddin Abdul Hamid (Kairo: Maktabah Nahdhah, 1969), 211.

[4]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 7 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), 86.

[5]                Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.

[6]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad 'ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.

[7]                Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.

[8]                Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 24, no. 1145; Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Shalat, no. 758.


5.           Polemik dan Dinamika dalam Sejarah

Pemahaman Tauhid Asma' wa Sifat tidak lepas dari berbagai polemik dan dinamika yang muncul dalam sejarah Islam. Perselisihan ini berkisar pada bagaimana Nama dan Sifat Allah dipahami, baik oleh individu maupun kelompok, dan bagaimana ulama Ahlus Sunnah meluruskan penyimpangan tersebut. Bab ini menguraikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, tokoh-tokoh utama yang terlibat, serta kontribusi ulama dalam menjaga keutuhan akidah Islam.

5.1.       Penyimpangan dalam Memahami Asma' wa Sifat Allah

Sejarah mencatat beberapa kelompok yang menyimpang dalam memahami Asma' wa Sifat Allah. Penyimpangan ini terjadi akibat keinginan untuk menyelaraskan akidah dengan filsafat Yunani atau karena upaya menafsirkan teks-teks syariat dengan logika yang tidak sesuai.

5.1.1.    Jahmiyah

Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan (w. 128 H), dikenal sebagai kelompok pertama yang menolak hampir semua sifat Allah. Mereka berpendapat bahwa menetapkan sifat-sifat Allah akan menyebabkan penyerupaan (tasybih) dengan makhluk. Akibatnya, mereka menafikan sifat-sifat seperti ilmu, kekuasaan, dan kalam. Jahmiyah memahami Allah sebagai entitas tanpa sifat, yang bertentangan dengan dalil-dalil syar’i.1

Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa Jahmiyah telah keluar dari Islam dengan menolak sifat-sifat Allah yang jelas tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis.2

5.1.2.      Mu’tazilah

Mu’tazilah adalah kelompok yang muncul pada abad ke-2 Hijriah, dipimpin oleh Wasil bin Atha (w. 131 H). Mereka menolak sebagian besar sifat Allah karena khawatir akan menimbulkan tasybih. Sebagai contoh, mereka menolak sifat kalam Allah dengan alasan bahwa berbicara adalah sifat makhluk. Akibatnya, mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kalam Allah.3

Para ulama Ahlus Sunnah, seperti Imam Ahmad, dengan tegas menolak pandangan ini. Dalam Fitnah Mihnah (pengujian keyakinan tentang kemakhlukan Al-Qur'an), Imam Ahmad dipenjara karena mempertahankan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan.4

5.1.3.      Asy’ariyah Awal

Pada awalnya, Asy’ariyah, yang dipimpin oleh Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H), juga terpengaruh oleh Mu’tazilah, sebelum akhirnya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah. Pada fase awal, mereka menolak sebagian sifat Allah, seperti istiwa’ (bersemayam) dan tangan (yad), dengan menafsirkan sifat-sifat tersebut secara metaforis. Namun, Al-Asy’ari kemudian meninggalkan pandangan ini dan menulis kitab Al-Ibanah untuk menegaskan kembalinya kepada metode salaf.5

5.2.       Kontribusi Ulama dalam Meluruskan Pemahaman

Para ulama memainkan peran penting dalam menjaga pemahaman Tauhid Asma' wa Sifat dari penyimpangan. Mereka melawan berbagai aliran dengan dalil-dalil syar’i dan argumentasi yang kuat.

5.2.1.      Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad adalah tokoh utama dalam melawan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Dalam kitabnya, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah, ia menyebutkan bahaya menafikan sifat-sifat Allah. Keteguhannya dalam menghadapi Fitnah Mihnah menjadi inspirasi bagi generasi ulama setelahnya.6

5.2.2.      Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) adalah salah satu ulama terbesar yang membela akidah Tauhid Asma' wa Sifat. Dalam karyanya, Majmu’ Al-Fatawa, ia menegaskan pentingnya memahami sifat Allah berdasarkan dalil naqli tanpa tahrif, ta’thil, tasybih, atau takyif. Ia juga membantah pemikiran Mu’tazilah dan Jahmiyah dengan argumen rasional dan tekstual.7

5.2.3.      Abul Hasan Al-Asy’ari

Setelah meninggalkan pandangan Mu’tazilah, Abul Hasan Al-Asy’ari menjadi salah satu pembela akidah Ahlus Sunnah. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menegaskan penetapan sifat-sifat Allah tanpa penyimpangan dan kembali kepada metode salaf dalam memahami Asma' wa Sifat Allah.8

5.3.       Dampak Penyimpangan dan Pelajaran Bagi Umat

Penyimpangan dalam memahami Tauhid Asma' wa Sifat telah menyebabkan perpecahan dalam umat Islam. Aliran seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah memperkenalkan konsep-konsep yang tidak sesuai dengan dalil syar’i, mengakibatkan kekacauan dalam akidah. Oleh karena itu, para ulama terus menekankan pentingnya berpegang pada manhaj salafus salih untuk menjaga keutuhan akidah.

Pelajaran penting dari sejarah ini adalah pentingnya memahami sifat Allah dengan pendekatan yang benar, berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, dan penjelasan ulama salaf. Penyimpangan terjadi ketika seseorang menggunakan akal di atas wahyu atau mencoba memahami sifat Allah dengan analogi makhluk.


Kesimpulan

Polemik tentang Tauhid Asma' wa Sifat dalam sejarah menunjukkan pentingnya menjaga akidah dari penyimpangan. Para ulama salaf telah memberikan kontribusi besar dalam meluruskan pemahaman umat dan menjaga kemurnian akidah Ahlus Sunnah. Pemahaman ini harus terus diwariskan kepada generasi selanjutnya agar keimanan umat tetap kokoh dan terhindar dari penyimpangan.


Footnotes

[1]                Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin, ed. Muhammad Muhyiuddin Abdul Hamid (Kairo: Maktabah Nahdhah, 1969), 211.

[2]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.

[3]                Al-Qadhi Iyadh, Al-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, vol. 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002), 487.

[4]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, vol. 10 (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 252-253.

[5]                Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, ed. Muhammad Zahid Al-Kautsari (Kairo: Maktabah Al-Haramain, 1993), 23.

[6]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Al-Resalah Publishing, 1999), 123.

[7]                Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 25-26.

[8]                Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah, 19-20.


6.           Tauhid Asma' wa Sifat dalam Kehidupan Sehari-Hari

Tauhid Asma' wa Sifat tidak hanya menjadi landasan akidah, tetapi juga memiliki pengaruh langsung pada kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Pemahaman yang benar tentang Nama dan Sifat Allah mendorong individu untuk memperkuat hubungan dengan-Nya, menanamkan keimanan yang kokoh, dan membentuk akhlak mulia. Dalam bab ini, kita akan menguraikan bagaimana Tauhid Asma' wa Sifat diterapkan dalam ibadah, perilaku, dan kehidupan spiritual sehari-hari.

6.1.       Tauhid Asma' wa Sifat sebagai Dasar Ibadah

Salah satu implikasi praktis dari memahami Tauhid Asma' wa Sifat adalah keyakinan bahwa hanya Allah yang layak disembah. Mengenal Allah melalui Nama dan Sifat-Nya menjadikan ibadah lebih bermakna dan tulus.

6.1.1.      Berdoa dengan Asma’ul Husna

Allah berfirman:

Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu.” (QS. Al-A’raf [07] ayat 180)

Seorang Muslim dianjurkan untuk menggunakan Asma’ul Husna dalam doa-doanya, seperti memohon rahmat dengan menyebut Ar-Rahman atau meminta rezeki dengan menyebut Ar-Razzaq. Doa yang didasarkan pada pengenalan akan sifat Allah menjadi lebih khusyuk dan penuh keyakinan.1

6.1.2.      Tawakal kepada Allah

Pemahaman bahwa Allah adalah Al-Qadir (Maha Kuasa) dan Al-Alim (Maha Mengetahui) mengajarkan seseorang untuk sepenuhnya bertawakal kepada-Nya. Tawakal bukan berarti pasif, tetapi berserah diri setelah berikhtiar, sebagaimana yang diajarkan dalam QS. At-Talaq [65] ayat 3:

Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan keperluannya.”

6.2.       Pengaruh Tauhid Asma' wa Sifat terhadap Akhlak

Memahami dan meyakini Nama dan Sifat Allah membentuk akhlak seorang Muslim, baik dalam hubungan dengan Allah maupun sesama manusia.

6.2.1.      Meneladani Sifat-Sifat Allah yang Sesuai untuk Makhluk

Beberapa sifat Allah menginspirasi seorang Muslim untuk meneladaninya dalam kadar yang sesuai dengan kemanusiaan. Sebagai contoh:

o        Kasih sayang Allah (Ar-Rahman) mendorong umat-Nya untuk bersikap penyayang terhadap sesama (QS. Al-Hadid [57] ayat 27).2

o        Allah Maha Pemaaf (Al-Ghaffar) mengajarkan manusia untuk mudah memaafkan orang lain. Rasulullah Saw bersabda:

Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi)3

6.2.2.      Menghindari Sifat-Sifat yang Allah Larang

Pemahaman bahwa Allah Maha Melihat (Al-Basir) dan Maha Mengetahui (Al-Alim) mengajarkan seorang Muslim untuk selalu merasa diawasi. Ini menjadi benteng dari perbuatan dosa, seperti berbohong, berkhianat, atau melakukan kezaliman.

6.3.       Tauhid Asma' wa Sifat dalam Menenangkan Hati

Mengenal sifat Allah memberikan ketenangan dalam menghadapi ujian kehidupan. Keyakinan kepada Allah yang Maha Adil (Al-Adl), Maha Bijaksana (Al-Hakim), dan Maha Mengetahui (Al-Alim) mendorong seorang Muslim untuk bersabar dan berserah diri. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 286:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

6.3.1.      Rasa Aman dan Kedamaian

Keyakinan bahwa Allah adalah Al-Hafizh (Maha Memelihara) memberikan rasa aman dalam hidup, bahkan di tengah tantangan dan bahaya. Ini membuat seorang Muslim tidak mudah putus asa atau takut akan hal-hal di luar kuasanya.

6.4.       Tauhid Asma' wa Sifat sebagai Landasan Kehidupan Sosial

Tauhid Asma' wa Sifat juga berperan dalam membangun hubungan sosial yang harmonis. Pemahaman ini menciptakan individu yang bertanggung jawab dan menghormati hak-hak orang lain.

6.4.1.      Keadilan dalam Muamalah

Keyakinan bahwa Allah Maha Adil (Al-Adl) mendorong seorang Muslim untuk berlaku adil dalam segala aspek kehidupan, baik sebagai pemimpin, pedagang, maupun individu biasa. Rasulullah Saw bersabda:

Orang-orang yang adil akan berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar dari cahaya...” (HR. Muslim)4

6.4.2.      Kedermawanan dan Kepedulian Sosial

Meyakini Allah sebagai Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) mendorong seseorang untuk bersikap dermawan kepada sesama, karena rezeki yang dimiliki adalah amanah dari Allah. Allah berfirman:

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian...” (QS. Al-Munafiqun [63] ayat 10)

6.5.       Tantangan dalam Menghidupkan Tauhid Asma' wa Sifat

Di era modern, banyak tantangan yang mengganggu pemahaman Tauhid Asma' wa Sifat, seperti materialisme dan pemujaan terhadap akal. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berpegang teguh pada dalil syar’i dalam memahami sifat Allah dan menjauhkan diri dari pemahaman yang menyimpang.


Kesimpulan

Tauhid Asma' wa Sifat bukan hanya konsep teoretis, tetapi panduan praktis yang membentuk keimanan, perilaku, dan hubungan sosial seorang Muslim. Pemahaman yang mendalam tentang Nama dan Sifat Allah akan membawa seorang Muslim kepada penghambaan yang tulus, akhlak yang mulia, dan ketenangan hidup. Oleh karena itu, Tauhid Asma' wa Sifat harus dipelajari dan diamalkan agar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.


Footnotes

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 2 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), 185.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, vol. 3 (Beirut: Dar Ihya Al-Turath Al-Arabi, 2006), 122.

[3]                Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Al-Birr wa As-Silah, no. 1924.

[4]                Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah, no. 1827.


7.           Penutup

Tauhid Asma' wa Sifat merupakan bagian integral dari akidah Islam yang memberikan fondasi keimanan yang kokoh bagi setiap Muslim. Pemahaman yang benar tentang Nama dan Sifat Allah membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan spiritual, moral, dan sosial individu. Penutup ini merangkum pembahasan mengenai pentingnya memahami Tauhid Asma' wa Sifat secara benar dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

7.1.       Pentingnya Memahami Tauhid Asma' wa Sifat

Tauhid Asma' wa Sifat berfungsi untuk mengarahkan keyakinan umat Islam agar mengenal Allah dengan cara yang benar. Allah berfirman:

"Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu." (QS. Al-A’raf [07] ayat 180)

Melalui ayat ini, umat Islam diajarkan untuk menjadikan Nama dan Sifat Allah sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Pemahaman yang benar tentang Tauhid Asma' wa Sifat juga membantu menjaga akidah dari penyimpangan, seperti tahrif (penyimpangan makna), ta'thil (penolakan sifat), takyif (membayangkan bentuk), dan tasybih (penyerupaan dengan makhluk).1

Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa memahami sifat-sifat Allah sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Hadis adalah kewajiban utama untuk menjaga keimanan seorang Muslim.2

7.2.       Manfaat Praktis Tauhid Asma' wa Sifat

Pemahaman yang benar tentang Tauhid Asma' wa Sifat memberikan manfaat besar dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

1)                  Meningkatkan Kecintaan dan Keimanan kepada Allah

Mengenal Allah melalui Nama dan Sifat-Nya menanamkan rasa cinta, takut, dan harap kepada-Nya. Ketiga elemen ini adalah inti dari ibadah yang tulus. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:

"Allah lebih mencintai hamba-Nya yang senantiasa berdoa kepada-Nya." (HR. Tirmidzi)3

2)                  Membentuk Akhlak Mulia

Meneladani sifat-sifat Allah seperti kasih sayang (Ar-Rahman), keadilan (Al-Adl), dan pemaaf (Al-Ghaffar) membantu seorang Muslim memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Misalnya, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai pribadi yang mempraktikkan sifat rahmat Allah dalam hubungannya dengan umatnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anbiya [21] ayat 107:

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam."4

3)                  Memberikan Ketenangan Hati

Keyakinan bahwa Allah Maha Adil (Al-Adl) dan Maha Mengetahui (Al-Alim) memberikan ketenangan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Hal ini tercermin dalam QS. At-Taubah [09] ayat 51:

"Katakanlah: Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah Allah tetapkan untuk kami."

7.3.       Relevansi Tauhid Asma' wa Sifat di Era Modern

Di era modern, tantangan dalam menjaga kemurnian akidah semakin kompleks. Arus pemikiran yang berusaha menyelaraskan akidah Islam dengan logika semata sering kali menimbulkan penyimpangan. Oleh karena itu, umat Islam harus berpegang teguh pada pemahaman ulama salaf yang murni dan terjaga dari distorsi.

Ibnu Taimiyyah menegaskan dalam Majmu’ Al-Fatawa bahwa salah satu kunci menjaga akidah adalah kembali kepada pemahaman salafus salih yang menetapkan Nama dan Sifat Allah tanpa menambah atau menguranginya.5

7.4.       Ajakan untuk Memperdalam Ilmu

Memahami Tauhid Asma' wa Sifat membutuhkan upaya untuk terus belajar dari sumber-sumber yang otoritatif, seperti Al-Qur'an, Hadis, dan penjelasan ulama salaf. Buku-buku klasik seperti Al-Ibanah karya Abul Hasan Al-Asy'ari, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah karya Imam Ahmad, dan Majmu' Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyyah menjadi rujukan penting untuk memahami akidah ini dengan benar.

Rasulullah Saw bersabda:

"Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)6


Kesimpulan

Tauhid Asma' wa Sifat adalah bagian penting dari akidah yang tidak hanya berfungsi untuk mengenalkan Allah secara benar, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam membentuk keimanan, akhlak, dan kehidupan sosial seorang Muslim. Pemahaman ini harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang agar umat Islam tetap berada di atas jalan yang lurus. Dengan mempelajari dan mengamalkan Tauhid Asma' wa Sifat, seorang Muslim dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang benar dan menjalani kehidupan yang penuh dengan keberkahan.


Footnotes

[1]                Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 25-26.

[2]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.

[3]                Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Ad-Da’awat, no. 3370.

[4]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 5 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), 78.

[5]                Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, vol. 1, 11.

[6]                Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Adh-Dhikr, no. 2699.


Daftar Pustaka


Buku dan Tafsir

·                     Al-Asy’ari, A. H. (1969). Maqalat Al-Islamiyyin. (M. Muhyiuddin Abdul Hamid, Ed.). Kairo: Maktabah Nahdhah.

·                     Al-Asy’ari, A. H. (1993). Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (M. Z. Al-Kautsari, Ed.). Kairo: Maktabah Al-Haramain.

·                     Al-Qurtubi, A. A. (2006). Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (Vol. 3). Beirut: Dar Ihya Al-Turath Al-Arabi.

·                     Ahmad bin Hanbal. (1999). Musnad Ahmad (Vol. 1). Beirut: Al-Resalah Publishing.

·                     Ahmad bin Hanbal. (2003). Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah. (A. Al-Mahmud, Ed.). Riyadh: Maktabah Al-Rushd.

·                     Ibnu Hajar Al-Asqalani. (1989). Fath Al-Bari (Vol. 13). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

·                     Ibnu Katsir. (1997). Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Vols. 2 & 7). Beirut: Dar Al-Fikr.

·                     Ibnu Katsir. (1989). Al-Bidayah wa An-Nihayah (Vol. 10). Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

·                     Ibnu Taimiyyah. (1995). Majmu' Al-Fatawa (Vols. 1 & 5). (A. bin M. bin Qasim, Ed.). Madinah: Dar Al-Madinah.

Hadis

·                     Al-Bukhari, M. bin I. (1997). Sahih Al-Bukhari. Riyadh: Darussalam.

·                     Muslim, M. bin H. (1997). Sahih Muslim. Riyadh: Darussalam.

·                     At-Tirmidzi, M. bin I. (2007). Sunan At-Tirmidzi. Riyadh: Darussalam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar