Tauhid Asma' wa Sifat
Memahami Nama dan Sifat
Allah
Abstrak
Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan salah satu dari
tiga aspek utama Tauhid dalam Islam yang menekankan pengesaan Allah melalui
Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya. Artikel ini membahas konsep Tauhid Asma’ wa
Sifat secara mendalam berdasarkan sumber-sumber klasik dan pandangan ulama.
Dimulai dengan definisi dan dasar-dasar Tauhid Asma’ wa Sifat, artikel ini
menjelaskan metode salaf dalam memahami Nama dan Sifat Allah, yang bebas dari tahrif
(penyimpangan), ta’thil (penolakan), takyif
(membayangkan bentuk), dan tasybih (penyerupaan).
Melalui kajian dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis
sahih, artikel ini menegaskan pentingnya mengenal dan memahami sifat Allah
secara tekstual tanpa mendistorsinya. Polemik sejarah yang melibatkan aliran
seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah menjadi pembelajaran berharga tentang
pentingnya berpegang teguh pada metode salaf. Selain itu, artikel ini
menguraikan manfaat praktis dari Tauhid Asma’ wa Sifat, termasuk dalam membentuk
akhlak, meningkatkan ibadah, serta memberikan ketenangan hati dalam kehidupan
sehari-hari.
Artikel ini menegaskan bahwa pemahaman Tauhid Asma’
wa Sifat bukan sekadar teori, tetapi panduan praktis yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap akidah, spiritualitas, dan kehidupan sosial umat Islam.
Dengan demikian, pembelajaran Tauhid Asma’ wa Sifat menjadi langkah penting
dalam menjaga kemurnian iman dan mempererat hubungan dengan Allah.
Kata kunci: Tauhid
Asma’ wa Sifat, Nama dan Sifat Allah, salaf, tahrif, ta’thil, tasybih, akidah Islam.
1.
Pendahuluan
1.1.
Definisi Tauhid
Asma' wa Sifat
Tauhid Asma' wa
Sifat merupakan salah satu dari tiga kategori Tauhid yang dikenal dalam ajaran
Islam, selain Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Secara terminologi, Tauhid
Asma' wa Sifat adalah mengesakan Allah dalam Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya
sebagaimana yang telah Allah tetapkan
dalam Al-Qur'an dan yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadis-hadis yang
sahih, tanpa melakukan tahrif (penyimpangan makna), ta'thil (penolakan makna),
takyif (membayangkan bentuk), atau tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).1
Tauhid ini menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki sifat kesempurnaan
mutlak, tanpa kesamaan atau keserupaan dengan makhluk-Nya (QS. Asy-Syura [42]
ayat 11).
Pemahaman Tauhid
Asma' wa Sifat penting karena ia merupakan landasan bagi keimanan seorang
Muslim kepada Allah. Kesalahan dalam memahami Nama dan Sifat Allah dapat
menjerumuskan seseorang ke dalam
penyimpangan akidah, seperti yang terjadi pada aliran Jahmiyah, Mu'tazilah, dan
lainnya, yang menolak sebagian sifat Allah dengan dalih menafikan penyerupaan
dengan makhluk. Sebaliknya, pemahaman yang benar membantu seorang Muslim
mengenal Allah dengan lebih baik sehingga meningkatkan keimanan, kecintaan, dan
penghambaan kepada-Nya.
1.2.
Dasar-Dasar Tauhid
Asma' wa Sifat
Tauhid Asma' wa
Sifat berakar pada dua sumber utama Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Hanya milik
Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna itu." (QS.
Al-A'raf [07] ayat 180)
Ayat ini menegaskan
bahwa semua Nama Allah adalah nama-nama terbaik (asma'ul husna), yang menunjukkan kesempurnaan-Nya.
Begitu pula dalam Hadis, Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghafalnya, maka dia akan masuk surga."
(HR. Bukhari dan Muslim)2
Konsensus para ulama
(ijma') menetapkan bahwa semua Nama dan Sifat Allah harus dipahami berdasarkan dalil naqli (wahyu),
tanpa menggunakan akal semata untuk menetapkannya. Imam Ahmad bin Hanbal dalam
kitabnya Ar-Rad
'ala Jahmiyyah menegaskan pentingnya berpegang pada dalil tekstual
dalam memahami sifat Allah.3
1.3.
Metode Salafus Salih
dalam Memahami Asma' wa Sifat
Metode salafus salih
(para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in) dalam memahami Tauhid Asma' wa
Sifat adalah dengan menerima apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan tanpa
tahrif, ta'thil, takyif, atau tamtsil. Para sahabat seperti Abdullah bin Abbas
RA dan para ulama salaf seperti Imam Malik bin Anas menekankan pentingnya
beriman kepada Sifat Allah sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa mempertanyakan "bagaimana"
(takyif). Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa' Allah (bersemayam) di
atas Arsy, menjawab, "Istiwa' itu sudah diketahui (maknanya),
tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Beriman kepadanya adalah wajib,
sedangkan mempertanyakannya adalah bid'ah."4
Metode ini menjadi
panduan utama dalam memahami Tauhid Asma' wa Sifat. Hal ini penting untuk
menghindari dua ekstrem, yaitu penyamaan Allah dengan makhluk (tasybih) dan
penafian sifat-Nya (ta'thil). Oleh karena itu, memahami Tauhid Asma' wa Sifat
dengan pendekatan yang benar merupakan langkah fundamental untuk menjaga
kemurnian akidah seorang Muslim.
Footnotes
[1]
Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5
(Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.
[2]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih
Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 12,
no. 2736; Muslim bin Hajjaj, Sahih
Muslim, Kitab Dzikir, no. 2677.
[3]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad 'ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah
Al-Rushd, 2003), 45.
[4]
Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, vol. 13
(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.
2.
Konsep Tauhid Asma' wa Sifat
2.1.
Makna
Asma' Allah (Nama-Nama Allah)
Nama-nama Allah (asma'
Allah) adalah nama-nama yang menunjukkan sifat kesempurnaan Allah,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis yang sahih. Nama-nama ini dikenal sebagai al-asma'
al-husna (nama-nama yang terbaik). Allah berfirman:
“Hanya milik
Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna itu.”
(QS. Al-A'raf [07] ayat 180)
Nama-nama Allah
tidak hanya sekadar nama, tetapi juga mencerminkan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Sebagai
contoh, Ar-Rahman
menunjukkan sifat rahmat-Nya yang luas, sedangkan Al-Alim menunjukkan keluasan
ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu.1
Kaidah dalam Penetapan Nama Allah:
1)
Nama-Nama Allah
Ditetapkan Berdasarkan Dalil Syar’i:
Nama Allah hanya dapat diketahui melalui wahyu,
yaitu Al-Qur'an dan Hadis Nabi Saw. Tidak diperbolehkan menetapkan nama Allah
berdasarkan akal atau analogi.2
2)
Semua Nama Allah adalah
Husna (Terbaik):
Nama-nama Allah menunjukkan kesempurnaan,
kebaikan, dan kemuliaan tanpa kekurangan atau cacat sedikit pun.3
Dalam hal ini, Al-Qur'an mengajarkan untuk menyebut Allah dengan nama-nama yang
telah Ia tetapkan sendiri.
3)
Larangan Menyimpang
dari Nama-Nama Allah:
Allah melarang penyimpangan (ilhad)
dalam memahami nama-nama-Nya, baik dengan menolak, menyelewengkan makna, atau
menyematkan makna yang tidak sesuai. Sebagaimana firman-Nya:
"Dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya." (QS.
Al-A'raf [07] ayat 180)
2.2.
Makna Sifat Allah
Sifat Allah adalah
segala sesuatu yang melekat pada Dzat-Nya yang menunjukkan kesempurnaan-Nya,
seperti sifat rahmat, ilmu, kekuasaan, dan hikmah. Penetapan sifat Allah juga mengikuti dalil naqli, tanpa
menyimpang dari makna yang dimaksudkan. Dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11, Allah
menegaskan:
"Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Ayat ini menjelaskan
bahwa sifat-sifat Allah berbeda dari makhluk-Nya. Allah Maha Mendengar (As-Sami') dan Maha Melihat (Al-Basir),
tetapi pendengaran dan penglihatan-Nya tidak dapat diserupakan dengan makhluk.
Klasifikasi Sifat Allah:
1)
Sifat Dzatiyah:
Sifat yang melekat pada Dzat Allah dan tidak
terpisahkan, seperti sifat hidup (al-hayah), ilmu (al-ilm),
dan kekuasaan (al-qudrah). Sifat ini telah ada sejak dahulu tanpa
permulaan dan tetap ada selama-lamanya tanpa akhir.4
2)
Sifat Fi'liyah:
Sifat yang berkaitan dengan kehendak dan
perbuatan Allah, seperti mencipta (al-khalq), memberi rezeki (ar-rizq),
dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir sebagaimana disebutkan
dalam hadis yang sahih.5
2.3.
Kaidah Penetapan
Sifat Allah
Para ulama
menetapkan kaidah dalam memahami sifat Allah untuk menjaga akidah agar tidak terjerumus dalam penyimpangan:
1)
Tidak Tahrif
(Menyelewengkan Makna):
Mengubah atau menyelewengkan makna dari yang
dimaksudkan dalam teks, seperti menafsirkan istawa (bersemayam) dengan
istawla (menguasai), sebagaimana dilakukan oleh aliran tertentu.6
2)
Tidak Ta’thil
(Meniadakan):
Menolak sifat-sifat Allah dengan alasan untuk menjaga
keesaan-Nya, sebagaimana dilakukan oleh Jahmiyah yang menafikan hampir semua
sifat Allah.7
3)
Tidak Tasybih
(Menyerupakan):
Menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk,
seperti mengatakan bahwa tangan Allah sama seperti tangan manusia. Hal ini
bertentangan dengan firman Allah dalam QS. Asy-Syura [42] ayat 11.
4)
Tidak Takyif
(Mempertanyakan "Bagaimana"):
Tidak boleh membayangkan atau mempertanyakan
"bagaimana" sifat Allah, seperti mencoba membayangkan bentuk
sifat istiwa’-Nya. Imam Malik RA berkata, "Istiwa' diketahui maknanya,
tetapi bagaimana caranya tidak diketahui, dan bertanya tentang hal itu adalah
bid'ah."8
Footnotes
[1]
Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad
bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.
[2]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab
Tauhid, Bab 12, no. 2736.
[3]
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Dzikir, no. 2677.
[4]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad 'ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman
Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 7 (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1997), 86.
[6]
Al-Qadhi Iyadh, Al-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, vol. 2
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002), 487.
[7]
Abul Hasan Al-Asy'ari, Maqalat Al-Islamiyyin, ed. Muhammad
Muhyiuddin Abdul Hamid (Kairo: Maktabah Nahdhah, 1969), 211.
[8]
Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath
Al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.
3.
Dalil-Dalil Tauhid Asma' wa Sifat
Tauhid Asma’ wa
Sifat memiliki landasan kuat yang bersumber dari Al-Qur'an, hadis-hadis sahih,
dan pemahaman para ulama salaf. Dalil-dalil ini mengajarkan bagaimana menetapkan
Nama dan Sifat Allah dengan cara yang sesuai dengan wahyu, tanpa melakukan
penyimpangan dalam memahaminya.
3.1.
Dalil dari Al-Qur'an
Al-Qur'an secara
eksplisit menyebutkan Nama dan Sifat Allah, menegaskan bahwa Dia memiliki
sifat-sifat kesempurnaan tanpa cacat atau kekurangan. Beberapa ayat utama yang
menjadi dasar Tauhid Asma' wa Sifat adalah sebagai berikut:
3.1.1.
Nama-Nama
Allah adalah Asma'ul Husna
Allah berfirman:
"Hanya milik
Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna
itu." (QS. Al-A'raf [07] ayat 180)
Ayat ini menegaskan
bahwa semua Nama Allah adalah nama-nama yang terbaik, menunjukkan kesempurnaan
dan keagungan-Nya. Penetapan Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata,
melainkan harus bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis yang sahih.1
3.1.2.
Sifat
Allah Tidak Menyerupai Makhluk-Nya
Dalam QS. Asy-Syura
[42] ayat 11, Allah berfirman:
"Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Ayat ini menjelaskan
prinsip penting dalam Tauhid Asma' wa Sifat: Allah memiliki sifat yang sesuai
dengan keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Konsep ini melindungi akidah
dari tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (penyamakan).
3.1.3.
Kesempurnaan
Ilmu Allah
Allah berfirman:
"Dia
mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
sedangkan mereka tidak mengetahui apa-apa tentang ilmu-Nya kecuali apa yang Dia
kehendaki." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 255)
Ayat ini menunjukkan
sifat ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, menegaskan keesaan dan
keagungan-Nya dalam mengetahui semua perkara, baik yang tampak maupun yang
tersembunyi.2
3.2.
Dalil dari Hadis
Sahih
Hadis-hadis Nabi Saw
memberikan penjelasan lebih rinci tentang Nama dan Sifat Allah. Rasulullah Saw mengajarkan
umat Islam untuk mengenal Allah melalui Nama dan Sifat-Nya serta berdoa kepada-Nya
dengan menyebut Nama-Nama-Nya yang mulia.
3.2.1.
Hadis
Tentang Asma'ul Husna
Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya
Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghafalnya,
maka dia akan masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim)3
Hadis ini menegaskan
pentingnya mengenal, menghafal, dan memahami Nama-Nama Allah untuk mendekatkan
diri kepada-Nya.
3.2.2.
Hadis
Tentang Sifat Allah
Dalam salah satu hadis
sahih, Rasulullah Saw bersabda:
"Rabb kita
turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman: 'Siapa
yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta
kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka
Aku akan mengampuninya.'" (HR. Bukhari dan Muslim)4
Hadis ini menetapkan
sifat fi'liyah Allah (perbuatan Allah) tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk.
Para ulama menafsirkan "turunnya Allah" sebagai turunnya
sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, tanpa membayangkan atau
menyerupakannya dengan makhluk.
3.3.
Pendapat Ulama Salaf
Para ulama salaf
memiliki peran besar dalam menjaga pemahaman yang benar tentang Tauhid Asma' wa
Sifat. Mereka menekankan untuk menerima Nama dan Sifat Allah sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa menambah, mengurangi, atau
menyelewengkan maknanya.
3.3.1.
Imam
Malik bin Anas
Imam Malik, ketika
ditanya tentang makna "istiwa" (bersemayam) dalam QS. Thaha [20] ayat
5, menjawab:
"Istiwa' itu
sudah diketahui maknanya, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Beriman
kepadanya adalah wajib, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah."5
Jawaban ini menjadi
prinsip penting dalam memahami sifat Allah, yaitu mengimaninya tanpa
mempertanyakan bentuk atau caranya.
3.3.2.
Ibnu
Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah dalam
Majmu'
Al-Fatawa menegaskan bahwa memahami Nama dan Sifat Allah harus
berdasarkan wahyu, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, atau tamtsil. Ia menyatakan:
"Sesungguhnya
sifat Allah adalah sifat yang sesuai dengan kesempurnaan-Nya, dan tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam Dzat maupun sifat-Nya."6
Kesimpulan
Dalil-dalil dari
Al-Qur'an, Hadis, dan pemahaman ulama salaf memberikan landasan yang kuat bagi
Tauhid Asma' wa Sifat. Pemahaman ini mengarahkan umat Islam untuk mengenal
Allah dengan cara yang benar, menjaga keimanan dari penyimpangan, dan
mendekatkan diri kepada-Nya melalui Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang mulia.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an
Al-Azim, vol. 2 (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1997), 185.
[2]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam
Al-Qur'an, vol. 3 (Beirut: Dar Ihya
Al-Turath Al-Arabi, 2006), 122.
[3]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih
Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 12,
no. 2736; Muslim bin Hajjaj, Sahih
Muslim, Kitab Dzikir, no. 2677.
[4]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih
Al-Bukhari, Kitab Tauhid, Bab 24,
no. 1145; Muslim bin Hajjaj, Sahih
Muslim, Kitab Shalat, no. 758.
[5]
Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, vol. 13
(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.
[6]
Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5
(Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.
4.
Kaidah-Kaidah Memahami Asma' wa Sifat Allah
Dalam memahami
Tauhid Asma’ wa Sifat, para ulama salaf menetapkan kaidah-kaidah tertentu untuk
menjaga keimanan dari penyimpangan dan pemahaman yang salah. Kaidah ini membantu
seorang Muslim memahami Nama dan Sifat Allah sesuai dengan wahyu tanpa
menyimpang dari metode salafus salih. Berikut adalah kaidah-kaidah utama dalam
memahami Asma’ wa Sifat Allah.
4.1.
Semua Nama Allah
adalah Husna (Terbaik)
Allah Swt telah
menetapkan bahwa semua Nama-Nya adalah al-asma’ al-husna (nama-nama
terbaik), yang menunjukkan sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan-Nya.
Firman Allah Swt:
"Hanya milik
Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna
itu." (QS. Al-A'raf [07] ayat 180)
Dari ayat ini,
terdapat kaidah bahwa semua Nama Allah mengandung makna yang menunjukkan
keindahan dan kesempurnaan. Sebagai contoh, nama Ar-Rahman menunjukkan keluasan
rahmat Allah, sedangkan Al-Alim menunjukkan keluasan
ilmu-Nya.1
4.2.
Semua Sifat Allah
Menunjukkan Kesempurnaan
Sifat-sifat Allah
adalah sifat yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Allah tidak
memiliki sifat kekurangan atau cacat sedikit pun. Dalam QS. An-Nahl [16] ayat
60, Allah berfirman:
"Bagi Allah
sifat yang Maha Tinggi; dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Sebagai
implikasinya, sifat Allah seperti ilmu (al-ilm), kekuasaan (al-qudrah),
dan hidup (al-hayah)
adalah sifat sempurna tanpa batas. Sebaliknya, Allah Maha Suci dari sifat-sifat
yang menunjukkan kekurangan, seperti lelah, lupa, atau butuh kepada makhluk.2
4.3.
Larangan Melakukan
Tahrif (Penyimpangan Makna)
Tahrif adalah
mengubah atau menyelewengkan makna dari yang dimaksudkan dalam teks Al-Qur’an
atau Hadis. Contohnya adalah menafsirkan istawa (bersemayam) dalam QS. Thaha
[20] ayat 5 dengan istawla (menguasai), seperti yang
dilakukan oleh sebagian aliran tertentu. Para ulama salaf menolak metode ini
karena mengubah makna asli dari teks syar’i.3
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa istawa harus dipahami sebagaimana
adanya, yaitu bersemayam di atas Arsy dengan cara yang sesuai dengan keagungan
Allah tanpa menyerupai makhluk.4
4.4.
Larangan Melakukan
Ta’thil (Penolakan Sifat)
Ta’thil adalah
meniadakan atau menolak sifat-sifat Allah dengan alasan untuk menghindari
penyerupaan dengan makhluk. Aliran Jahmiyah, misalnya, menolak hampir semua
sifat Allah, termasuk sifat ilmu dan kekuasaan. Ta’thil bertentangan dengan
dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang menetapkan sifat-sifat Allah. Firman Allah
dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 255 menegaskan:
"Dia
mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
dan mereka tidak mengetahui apa-apa tentang ilmu-Nya kecuali apa yang Dia
kehendaki."
Menolak sifat ilmu
Allah berarti bertentangan dengan teks ini dan wahyu lainnya.5
4.5.
Larangan Melakukan
Tasybih (Penyerupaan)
Tasybih adalah
menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Ini dilarang keras dalam Islam
karena bertentangan dengan QS. Asy-Syura [42] ayat 11:
"Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Sebagai contoh,
Allah memiliki tangan (yad), tetapi tangan Allah tidak
menyerupai tangan manusia. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa sifat-sifat
Allah harus diimani sebagaimana adanya, tanpa menyerupai makhluk.6
4.6.
Larangan Melakukan
Takyif (Menentukan Bagaimana Sifat Allah)
Takyif adalah
berusaha menentukan atau membayangkan "bagaimana" sifat Allah.
Larangan ini dijelaskan oleh Imam Malik bin Anas ketika ditanya tentang makna istawa
dalam QS. Thaha [20] ayat 5. Beliau menjawab:
"Istiwa' itu
sudah diketahui (maknanya), tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Beriman
kepadanya adalah wajib, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah."7
Prinsip ini
menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh berusaha membayangkan bentuk atau
hakikat dari sifat Allah.
4.7.
Penetapan Sifat
Allah Berdasarkan Dalil
Semua Nama dan Sifat
Allah harus didasarkan pada dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis). Tidak
diperbolehkan menetapkan sifat Allah berdasarkan akal semata. Misalnya, sifat
turun-Nya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir ditegaskan dalam
hadis sahih, dan ulama menerima sifat ini tanpa mempertanyakan bagaimana
caranya, karena sifat Allah tidak dapat dijangkau akal manusia.8
Kesimpulan
Kaidah-kaidah ini
menjadi pedoman utama dalam memahami Tauhid Asma' wa Sifat. Dengan mematuhi
kaidah-kaidah ini, seorang Muslim dapat menjaga akidahnya dari penyimpangan dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang benar. Pemahaman yang salah,
seperti tahrif, ta’thil, tasybih, atau takyif, dapat menjerumuskan seseorang ke
dalam penyimpangan akidah yang serius.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 2 (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1997), 185.
[2]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, vol. 3 (Beirut: Dar
Ihya Al-Turath Al-Arabi, 2006), 122.
[3]
Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin, ed. Muhammad
Muhyiuddin Abdul Hamid (Kairo: Maktabah Nahdhah, 1969), 211.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 7 (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1997), 86.
[5]
Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad
bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 26.
[6]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad 'ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman
Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.
[7]
Malik bin Anas, sebagaimana dikutip dalam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath
Al-Bari, vol. 13 (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1989), 406.
[8]
Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab
Tauhid, Bab 24, no. 1145; Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
Shalat, no. 758.
5.
Polemik dan Dinamika dalam Sejarah
Pemahaman Tauhid
Asma' wa Sifat tidak lepas dari berbagai polemik dan dinamika yang muncul dalam
sejarah Islam. Perselisihan ini berkisar pada bagaimana Nama dan Sifat Allah
dipahami, baik oleh individu maupun kelompok, dan bagaimana ulama Ahlus Sunnah
meluruskan penyimpangan tersebut. Bab ini menguraikan penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi, tokoh-tokoh utama yang terlibat, serta kontribusi ulama dalam
menjaga keutuhan akidah Islam.
5.1.
Penyimpangan dalam
Memahami Asma' wa Sifat Allah
Sejarah mencatat
beberapa kelompok yang menyimpang dalam memahami Asma' wa Sifat Allah.
Penyimpangan ini terjadi akibat keinginan untuk menyelaraskan akidah dengan filsafat
Yunani atau karena upaya menafsirkan teks-teks syariat dengan logika yang tidak
sesuai.
5.1.1.
Jahmiyah
Jahmiyah, pengikut
Jahm bin Shafwan (w. 128 H), dikenal sebagai kelompok pertama yang menolak
hampir semua sifat Allah. Mereka berpendapat bahwa menetapkan sifat-sifat Allah
akan menyebabkan penyerupaan (tasybih) dengan makhluk. Akibatnya, mereka
menafikan sifat-sifat seperti ilmu, kekuasaan, dan kalam. Jahmiyah memahami
Allah sebagai entitas tanpa sifat, yang bertentangan dengan dalil-dalil syar’i.1
Imam Ahmad bin
Hanbal menyebutkan bahwa Jahmiyah telah keluar dari Islam dengan menolak
sifat-sifat Allah yang jelas tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis.2
5.1.2.
Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah
kelompok yang muncul pada abad ke-2 Hijriah, dipimpin oleh Wasil bin Atha (w.
131 H). Mereka menolak sebagian besar sifat Allah karena khawatir akan
menimbulkan tasybih. Sebagai contoh, mereka menolak sifat kalam Allah dengan
alasan bahwa berbicara adalah sifat makhluk. Akibatnya, mereka berpendapat
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kalam Allah.3
Para ulama Ahlus Sunnah, seperti Imam Ahmad, dengan tegas menolak pandangan ini. Dalam Fitnah
Mihnah (pengujian keyakinan tentang kemakhlukan Al-Qur'an), Imam
Ahmad dipenjara karena mempertahankan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalam
Allah yang tidak diciptakan.4
5.1.3.
Asy’ariyah
Awal
Pada awalnya,
Asy’ariyah, yang dipimpin oleh Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H), juga
terpengaruh oleh Mu’tazilah, sebelum akhirnya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah. Pada fase awal, mereka menolak sebagian sifat Allah, seperti istiwa’
(bersemayam) dan tangan (yad), dengan menafsirkan
sifat-sifat tersebut secara metaforis. Namun, Al-Asy’ari kemudian meninggalkan
pandangan ini dan menulis kitab Al-Ibanah untuk menegaskan
kembalinya kepada metode salaf.5
5.2.
Kontribusi Ulama
dalam Meluruskan Pemahaman
Para ulama memainkan
peran penting dalam menjaga pemahaman Tauhid Asma' wa Sifat dari penyimpangan.
Mereka melawan berbagai aliran dengan dalil-dalil syar’i dan argumentasi yang
kuat.
5.2.1.
Imam
Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad adalah
tokoh utama dalam melawan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Dalam kitabnya, Ar-Rad
‘ala Jahmiyyah, ia menyebutkan bahaya menafikan sifat-sifat Allah.
Keteguhannya dalam menghadapi Fitnah Mihnah menjadi inspirasi
bagi generasi ulama setelahnya.6
5.2.2.
Ibnu
Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah (w.
728 H) adalah salah satu ulama terbesar yang membela akidah Tauhid Asma' wa
Sifat. Dalam karyanya, Majmu’ Al-Fatawa, ia menegaskan
pentingnya memahami sifat Allah berdasarkan dalil naqli tanpa tahrif, ta’thil,
tasybih, atau takyif. Ia juga membantah pemikiran Mu’tazilah dan Jahmiyah
dengan argumen rasional dan tekstual.7
5.2.3.
Abul
Hasan Al-Asy’ari
Setelah meninggalkan
pandangan Mu’tazilah, Abul Hasan Al-Asy’ari menjadi salah satu pembela akidah
Ahlus Sunnah. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menegaskan penetapan
sifat-sifat Allah tanpa penyimpangan dan kembali kepada metode salaf dalam
memahami Asma' wa Sifat Allah.8
5.3.
Dampak Penyimpangan
dan Pelajaran Bagi Umat
Penyimpangan dalam
memahami Tauhid Asma' wa Sifat telah menyebabkan perpecahan dalam umat Islam.
Aliran seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah memperkenalkan konsep-konsep yang tidak
sesuai dengan dalil syar’i, mengakibatkan kekacauan dalam akidah. Oleh karena
itu, para ulama terus menekankan pentingnya berpegang pada manhaj salafus salih
untuk menjaga keutuhan akidah.
Pelajaran penting
dari sejarah ini adalah pentingnya memahami sifat Allah dengan pendekatan yang
benar, berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, dan penjelasan ulama salaf. Penyimpangan
terjadi ketika seseorang menggunakan akal di atas wahyu atau mencoba memahami
sifat Allah dengan analogi makhluk.
Kesimpulan
Polemik tentang
Tauhid Asma' wa Sifat dalam sejarah menunjukkan pentingnya menjaga akidah dari
penyimpangan. Para ulama salaf telah memberikan kontribusi besar dalam meluruskan
pemahaman umat dan menjaga kemurnian akidah Ahlus Sunnah. Pemahaman ini harus
terus diwariskan kepada generasi selanjutnya agar keimanan umat tetap kokoh dan
terhindar dari penyimpangan.
Footnotes
[1]
Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin, ed. Muhammad
Muhyiuddin Abdul Hamid (Kairo: Maktabah Nahdhah, 1969), 211.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman
Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah Al-Rushd, 2003), 45.
[3]
Al-Qadhi Iyadh, Al-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, vol. 2
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2002), 487.
[4]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, vol. 10 (Beirut: Dar
Al-Ma’rifah, 1989), 252-253.
[5]
Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, ed. Muhammad
Zahid Al-Kautsari (Kairo: Maktabah Al-Haramain, 1993), 23.
[6]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Al-Resalah
Publishing, 1999), 123.
[7]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad
bin Qasim, vol. 5 (Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 25-26.
[8]
Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Ibanah, 19-20.
6.
Tauhid Asma' wa Sifat dalam Kehidupan Sehari-Hari
Tauhid Asma' wa
Sifat tidak hanya menjadi landasan akidah, tetapi juga memiliki pengaruh
langsung pada kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Pemahaman yang benar
tentang Nama dan Sifat Allah mendorong individu untuk memperkuat hubungan
dengan-Nya, menanamkan keimanan yang kokoh, dan membentuk akhlak mulia. Dalam
bab ini, kita akan menguraikan bagaimana Tauhid Asma' wa Sifat diterapkan dalam
ibadah, perilaku, dan kehidupan spiritual sehari-hari.
6.1.
Tauhid Asma' wa
Sifat sebagai Dasar Ibadah
Salah satu implikasi
praktis dari memahami Tauhid Asma' wa Sifat adalah keyakinan bahwa hanya Allah
yang layak disembah. Mengenal Allah melalui Nama dan Sifat-Nya menjadikan
ibadah lebih bermakna dan tulus.
6.1.1.
Berdoa
dengan Asma’ul Husna
Allah berfirman:
“Hanya milik
Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna
itu.” (QS. Al-A’raf [07] ayat 180)
Seorang Muslim
dianjurkan untuk menggunakan Asma’ul Husna dalam doa-doanya, seperti memohon
rahmat dengan menyebut Ar-Rahman atau meminta rezeki
dengan menyebut Ar-Razzaq. Doa yang didasarkan pada
pengenalan akan sifat Allah menjadi lebih khusyuk dan penuh keyakinan.1
6.1.2.
Tawakal
kepada Allah
Pemahaman bahwa
Allah adalah Al-Qadir (Maha Kuasa) dan Al-Alim
(Maha Mengetahui) mengajarkan seseorang untuk sepenuhnya bertawakal kepada-Nya.
Tawakal bukan berarti pasif, tetapi berserah diri setelah berikhtiar,
sebagaimana yang diajarkan dalam QS. At-Talaq [65] ayat 3:
“Barang siapa
bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan keperluannya.”
6.2.
Pengaruh Tauhid
Asma' wa Sifat terhadap Akhlak
Memahami dan
meyakini Nama dan Sifat Allah membentuk akhlak seorang Muslim, baik dalam
hubungan dengan Allah maupun sesama manusia.
6.2.1.
Meneladani
Sifat-Sifat Allah yang Sesuai untuk Makhluk
Beberapa sifat Allah
menginspirasi seorang Muslim untuk meneladaninya dalam kadar yang sesuai dengan
kemanusiaan. Sebagai contoh:
o
Kasih sayang Allah (Ar-Rahman)
mendorong umat-Nya untuk bersikap penyayang terhadap sesama (QS. Al-Hadid [57]
ayat 27).2
o
Allah Maha Pemaaf (Al-Ghaffar)
mengajarkan manusia untuk mudah memaafkan orang lain. Rasulullah Saw bersabda:
“Sayangilah yang
ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR.
Tirmidzi)3
6.2.2.
Menghindari
Sifat-Sifat yang Allah Larang
Pemahaman bahwa
Allah Maha Melihat (Al-Basir) dan Maha Mengetahui (Al-Alim)
mengajarkan seorang Muslim untuk selalu merasa diawasi. Ini menjadi benteng
dari perbuatan dosa, seperti berbohong, berkhianat, atau melakukan kezaliman.
6.3.
Tauhid Asma' wa
Sifat dalam Menenangkan Hati
Mengenal sifat Allah
memberikan ketenangan dalam menghadapi ujian kehidupan. Keyakinan kepada Allah
yang Maha Adil (Al-Adl), Maha Bijaksana (Al-Hakim),
dan Maha Mengetahui (Al-Alim) mendorong seorang Muslim
untuk bersabar dan berserah diri. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [02]
ayat 286:
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
6.3.1.
Rasa
Aman dan Kedamaian
Keyakinan bahwa
Allah adalah Al-Hafizh (Maha Memelihara)
memberikan rasa aman dalam hidup, bahkan di tengah tantangan dan bahaya. Ini
membuat seorang Muslim tidak mudah putus asa atau takut akan hal-hal di luar
kuasanya.
6.4.
Tauhid Asma' wa
Sifat sebagai Landasan Kehidupan Sosial
Tauhid Asma' wa
Sifat juga berperan dalam membangun hubungan sosial yang harmonis. Pemahaman
ini menciptakan individu yang bertanggung jawab dan menghormati hak-hak orang
lain.
6.4.1.
Keadilan
dalam Muamalah
Keyakinan bahwa
Allah Maha Adil (Al-Adl) mendorong seorang Muslim
untuk berlaku adil dalam segala aspek kehidupan, baik sebagai pemimpin,
pedagang, maupun individu biasa. Rasulullah Saw
bersabda:
“Orang-orang yang
adil akan berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar dari cahaya...” (HR.
Muslim)4
6.4.2.
Kedermawanan
dan Kepedulian Sosial
Meyakini Allah
sebagai Ar-Razzaq
(Maha Pemberi Rezeki) mendorong seseorang untuk bersikap dermawan kepada
sesama, karena rezeki yang dimiliki adalah amanah dari Allah. Allah berfirman:
“Dan
belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum
datang kematian...” (QS. Al-Munafiqun [63] ayat 10)
6.5.
Tantangan dalam
Menghidupkan Tauhid Asma' wa Sifat
Di era modern,
banyak tantangan yang mengganggu pemahaman Tauhid Asma' wa Sifat, seperti
materialisme dan pemujaan terhadap akal. Oleh karena itu, seorang Muslim harus
berpegang teguh pada dalil syar’i dalam memahami sifat Allah dan menjauhkan
diri dari pemahaman yang menyimpang.
Kesimpulan
Tauhid Asma' wa
Sifat bukan hanya konsep teoretis, tetapi panduan praktis yang membentuk
keimanan, perilaku, dan hubungan sosial seorang Muslim. Pemahaman yang mendalam
tentang Nama dan Sifat Allah akan membawa seorang Muslim kepada penghambaan
yang tulus, akhlak yang mulia, dan ketenangan hidup. Oleh karena itu, Tauhid
Asma' wa Sifat harus dipelajari dan diamalkan agar menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, vol. 2 (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1997), 185.
[2]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, vol. 3 (Beirut: Dar
Ihya Al-Turath Al-Arabi, 2006), 122.
[3]
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Al-Birr
wa As-Silah, no. 1924.
[4]
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah, no. 1827.
7.
Penutup
Tauhid Asma' wa
Sifat merupakan bagian integral dari akidah Islam yang memberikan fondasi
keimanan yang kokoh bagi setiap Muslim. Pemahaman yang benar tentang Nama dan
Sifat Allah membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan spiritual,
moral, dan sosial individu. Penutup ini merangkum pembahasan mengenai
pentingnya memahami Tauhid Asma' wa Sifat secara benar dan manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari.
7.1.
Pentingnya Memahami
Tauhid Asma' wa Sifat
Tauhid Asma' wa
Sifat berfungsi untuk mengarahkan keyakinan umat Islam agar mengenal Allah
dengan cara yang benar. Allah berfirman:
"Hanya milik
Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna
itu." (QS. Al-A’raf [07] ayat 180)
Melalui ayat ini,
umat Islam diajarkan untuk menjadikan Nama dan Sifat Allah sebagai sarana
mendekatkan diri kepada-Nya. Pemahaman yang benar tentang Tauhid Asma' wa Sifat
juga membantu menjaga akidah dari penyimpangan, seperti tahrif (penyimpangan
makna), ta'thil (penolakan sifat), takyif (membayangkan bentuk), dan tasybih
(penyerupaan dengan makhluk).1
Imam Ahmad bin
Hanbal menyebutkan bahwa memahami sifat-sifat Allah sebagaimana yang termaktub
dalam Al-Qur'an dan Hadis adalah kewajiban utama untuk menjaga keimanan seorang
Muslim.2
7.2.
Manfaat Praktis
Tauhid Asma' wa Sifat
Pemahaman yang benar
tentang Tauhid Asma' wa Sifat memberikan manfaat besar dalam kehidupan
sehari-hari, antara lain:
1)
Meningkatkan Kecintaan
dan Keimanan kepada Allah
Mengenal Allah melalui Nama dan Sifat-Nya
menanamkan rasa cinta, takut, dan harap kepada-Nya. Ketiga elemen ini adalah
inti dari ibadah yang tulus. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
"Allah lebih mencintai hamba-Nya yang
senantiasa berdoa kepada-Nya." (HR. Tirmidzi)3
2)
Membentuk Akhlak Mulia
Meneladani sifat-sifat Allah seperti kasih sayang
(Ar-Rahman), keadilan (Al-Adl),
dan pemaaf (Al-Ghaffar) membantu seorang
Muslim memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Misalnya, Nabi Muhammad SAW
dikenal sebagai pribadi yang mempraktikkan sifat rahmat Allah dalam hubungannya
dengan umatnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anbiya [21] ayat 107:
"Dan Kami tidak mengutus engkau
(Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam."4
3)
Memberikan Ketenangan
Hati
Keyakinan bahwa Allah Maha Adil (Al-Adl)
dan Maha Mengetahui (Al-Alim) memberikan
ketenangan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Hal ini tercermin dalam QS.
At-Taubah [09] ayat 51:
"Katakanlah: Tidak akan menimpa kami
melainkan apa yang telah Allah tetapkan untuk kami."
7.3.
Relevansi Tauhid
Asma' wa Sifat di Era Modern
Di era modern,
tantangan dalam menjaga kemurnian akidah semakin kompleks. Arus pemikiran yang
berusaha menyelaraskan akidah Islam dengan logika semata sering kali
menimbulkan penyimpangan. Oleh karena itu, umat Islam harus berpegang teguh
pada pemahaman ulama salaf yang murni dan terjaga dari distorsi.
Ibnu Taimiyyah
menegaskan dalam Majmu’ Al-Fatawa bahwa salah satu
kunci menjaga akidah adalah kembali kepada pemahaman salafus salih yang
menetapkan Nama dan Sifat Allah tanpa menambah atau menguranginya.5
7.4.
Ajakan untuk
Memperdalam Ilmu
Memahami Tauhid
Asma' wa Sifat membutuhkan upaya untuk terus belajar dari sumber-sumber yang
otoritatif, seperti Al-Qur'an, Hadis, dan penjelasan ulama salaf. Buku-buku
klasik seperti Al-Ibanah karya Abul Hasan
Al-Asy'ari, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah karya Imam
Ahmad, dan Majmu'
Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyyah menjadi rujukan penting untuk
memahami akidah ini dengan benar.
Rasulullah Saw bersabda:
"Barang
siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga." (HR. Muslim)6
Kesimpulan
Tauhid Asma' wa
Sifat adalah bagian penting dari akidah yang tidak hanya berfungsi untuk
mengenalkan Allah secara benar, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam
membentuk keimanan, akhlak, dan kehidupan sosial seorang Muslim. Pemahaman ini
harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang agar umat Islam tetap
berada di atas jalan yang lurus. Dengan mempelajari dan mengamalkan Tauhid
Asma' wa Sifat, seorang Muslim dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
yang benar dan menjalani kehidupan yang penuh dengan keberkahan.
Footnotes
[1]
Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, ed. Abdulrahman bin Muhammad bin Qasim, vol. 5
(Madinah: Dar Al-Madinah, 1995), 25-26.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah, ed. Abdurrahman Al-Mahmud (Riyadh: Maktabah
Al-Rushd, 2003), 45.
[3]
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, Kitab Ad-Da’awat, no.
3370.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an
Al-Azim, vol. 5 (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1997), 78.
[5]
Ibnu Taimiyyah, Majmu' Al-Fatawa, vol. 1, 11.
[6]
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Adh-Dhikr, no. 2699.
Daftar Pustaka
Buku dan Tafsir
·
Al-Asy’ari, A. H. (1969). Maqalat Al-Islamiyyin. (M. Muhyiuddin
Abdul Hamid, Ed.). Kairo: Maktabah Nahdhah.
·
Al-Asy’ari, A. H. (1993). Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. (M. Z.
Al-Kautsari, Ed.). Kairo: Maktabah Al-Haramain.
·
Al-Qurtubi, A. A. (2006). Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an (Vol. 3).
Beirut: Dar Ihya Al-Turath Al-Arabi.
·
Ahmad bin Hanbal. (1999). Musnad Ahmad (Vol. 1). Beirut:
Al-Resalah Publishing.
·
Ahmad bin Hanbal. (2003). Ar-Rad ‘ala Jahmiyyah. (A. Al-Mahmud,
Ed.). Riyadh: Maktabah Al-Rushd.
·
Ibnu Hajar Al-Asqalani. (1989). Fath Al-Bari (Vol. 13). Beirut:
Dar Al-Ma’rifah.
·
Ibnu Katsir. (1997). Tafsir Al-Qur'an Al-Azim (Vols. 2 & 7).
Beirut: Dar Al-Fikr.
·
Ibnu Katsir. (1989). Al-Bidayah wa An-Nihayah (Vol. 10). Beirut:
Dar Al-Ma’rifah.
·
Ibnu Taimiyyah. (1995). Majmu' Al-Fatawa (Vols. 1 & 5). (A.
bin M. bin Qasim, Ed.). Madinah: Dar Al-Madinah.
Hadis
·
Al-Bukhari, M. bin I. (1997). Sahih Al-Bukhari. Riyadh:
Darussalam.
·
Muslim, M. bin H. (1997). Sahih Muslim. Riyadh: Darussalam.
·
At-Tirmidzi, M. bin I. (2007). Sunan At-Tirmidzi. Riyadh:
Darussalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar