Thariqah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Kajian Berdasarkan Tafsir
Klasik, Kitab Klasik, dan Pemikiran Ulama
Abstrak
Thariqah adalah jalan
spiritual yang menjadi bagian integral dari Islam, bertujuan untuk mencapai tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa) dan ma'rifah (pengenalan mendalam kepada
Allah). Artikel ini mengkaji konsep thariqah berdasarkan Al-Qur'an, Hadits,
tafsir klasik, kitab tasawuf, dan pandangan ulama. Landasan thariqah ditemukan
dalam ayat-ayat Al-Qur'an seperti QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35 dan QS.
Al-Ankabut [29] ayat 69, serta Hadits Jibril yang menjelaskan konsep ihsan.
Ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi menekankan
bahwa thariqah adalah implementasi dari syariat dalam dimensi batiniah,
sementara ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Seyyed Hossein Nasr
menyoroti relevansi thariqah dalam menjawab tantangan spiritual modern. Kritik
terhadap thariqah mencakup penyimpangan dalam praktik beberapa tarekat,
sedangkan tantangan eksternalnya meliputi pengaruh materialisme dan
sekularisme. Dengan landasan yang kuat dari syariat, thariqah tetap relevan
sebagai sarana spiritual yang adaptif untuk menghadapi tekanan hidup modern
sekaligus berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat.
Kata Kunci: Thariqah,
Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, tasawuf, tazkiyah al-nafs, ihsan, tarekat,
spiritualitas Islam.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Thariqah (tarekat) merupakan
salah satu aspek penting dalam Islam yang berhubungan dengan dimensi spiritual
atau tasawuf. Secara etimologis, istilah "thariqah" berasal
dari bahasa Arab yang berarti "jalan" atau "metode."
Dalam terminologi Islam, thariqah merujuk pada jalan tertentu yang ditempuh
seseorang untuk mencapai kedekatan kepada Allah (maqamat al-qurb) melalui pengamalan
dzikir, muraqabah, mujahadah, dan ibadah lainnya secara intensif dan konsisten.
Pemahaman ini telah menjadi bagian integral dalam kehidupan umat Islam,
terutama dalam upaya memperdalam hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.¹
Seiring perkembangan zaman,
praktik thariqah mengalami dinamika yang signifikan, baik dalam hal pelaksanaan
maupun penerimaan di tengah masyarakat. Di satu sisi, thariqah dianggap sebagai
sarana efektif dalam pembentukan akhlak dan tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa).
Di sisi lain, terdapat pula kritik terhadap penyimpangan tertentu dalam
pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan syariat. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai thariqah dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits sangatlah relevan,
terutama untuk memberikan panduan yang jelas dan terarah dalam memahami konsep
ini berdasarkan sumber-sumber yang autentik dan kredibel.
1.2. Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk
menjelaskan konsep thariqah dari perspektif Al-Qur'an dan Hadits dengan
mengkaji berbagai tafsir klasik seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir
Al-Qurthubi, dan Tafsir Ibnu Katsir. Penulis juga merujuk kepada
kitab-kitab tasawuf klasik seperti Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali
dan Risalah Al-Qusyairiyah karya Abdul Karim Al-Qusyairi.² Kajian ini
diperkuat dengan pandangan ulama kontemporer serta hasil penelitian dalam
jurnal-jurnal ilmiah Islami untuk memberikan pembahasan yang komprehensif.
Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat menjadi panduan akademis
sekaligus praktis dalam memahami thariqah sebagai bagian dari kehidupan
spiritual umat Islam.³
Melalui pendekatan yang
menyeluruh, pembahasan ini tidak hanya bertujuan untuk menjelaskan landasan
normatif thariqah tetapi juga mengkaji relevansinya dalam kehidupan modern. Hal
ini penting mengingat tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini, termasuk
kecenderungan materialisme dan lemahnya kesadaran spiritual, memerlukan solusi
yang bersifat holistik dan terintegrasi. Dengan landasan yang kuat dari
Al-Qur'an dan Hadits serta penjelasan para ulama, pembaca diharapkan dapat
memperoleh pemahaman yang mendalam dan aplikatif mengenai thariqah dalam
berbagai dimensi kehidupan.
Catatan Kaki:
[1]
Al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), hlm. 123.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo:
Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 45.
[3]
Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah
(Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 210.
2.
Pengertian
Thariqah
2.1. Etimologi dan Terminologi
Secara etimologis, kata
"thariqah" berasal dari akar kata Arab thariq (طَرِيقٌ) yang berarti "jalan"
atau "metode". Dalam konteks bahasa, istilah ini sering
digunakan untuk menunjukkan suatu cara atau rute menuju tujuan tertentu. Dalam
Islam, thariqah merujuk pada jalan spiritual atau metode yang ditempuh oleh
seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui praktik-praktik tasawuf
yang berlandaskan syariat.¹
Istilah ini pertama kali
populer dalam tradisi tasawuf pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, ketika para sufi
mulai mengembangkan metode-metode tertentu untuk mencapai maqamat (tingkatan
spiritual) dan ahwal (kondisi ruhani). Thariqah juga dipandang sebagai metode
pengamalan ihsan, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Jibril yang menyebutkan
bahwa ihsan adalah "beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya,
dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu."²
2.2. Konsep Dasar Thariqah dalam Islam
Dalam konsep Islam, thariqah
tidak dapat dipisahkan dari dimensi tasawuf dan syariat. Sebagaimana ditegaskan
oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, thariqah adalah jalan
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pengamalan dzikir yang intensif untuk
mencapai kedekatan dengan Allah.³ Dalam pandangan Imam Junaid Al-Baghdadi,
seorang tokoh besar dalam dunia tasawuf, thariqah adalah perjalanan spiritual
yang memadukan aspek-aspek syariat dengan elemen batiniah seperti ma'rifah
(pengetahuan tentang Allah) dan mahabbah (cinta kepada Allah).⁴
Lebih jauh, para ulama
menyebutkan bahwa thariqah harus berjalan seiring dengan syariat. Imam
Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tisham menegaskan bahwa thariqah tidak
boleh menyimpang dari syariat, karena keduanya adalah satu kesatuan yang saling
melengkapi. Dalam pandangan ini, praktik thariqah yang benar tidak hanya
berlandaskan pada pengalaman spiritual, tetapi juga memiliki legitimasi
normatif dari Al-Qur'an dan Hadits.⁵
2.3. Pentingnya Thariqah dalam Kehidupan Spiritual
Thariqah merupakan
manifestasi dari upaya manusia untuk memenuhi aspek spiritual yang sering kali
terabaikan dalam kehidupan modern. Melalui praktik-praktik seperti dzikir,
muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah), dan mujahadah (perjuangan melawan
hawa nafsu), thariqah membantu seseorang mencapai tingkat keikhlasan dan
kebersihan hati yang lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ankabut[29]
ayat 69, Allah berfirman, "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di
jalan Kami, Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami."
Ayat ini sering dijadikan landasan bahwa thariqah merupakan jalan untuk
memperoleh petunjuk Allah.⁶
Catatan Kaki:
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar
Sadir, 1990), jil. 9, hlm. 116.
[2]
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 50.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo:
Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 32.
[4]
Abu al-Qasim Al-Junaid, dikutip dalam Al-Qusyairi, Risalah
Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 43.
[5]
Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I'tisham (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 105.
[6]
Al-Qur’an, QS. Al-Ankabut [29] ayat 69.
3.
Landasan
Thariqah dalam Al-Qur'an
3.1. Ayat-Ayat yang Mendukung Konsep Thariqah
Al-Qur'an memuat banyak ayat
yang secara eksplisit maupun implisit mendukung konsep thariqah sebagai jalan
spiritual menuju Allah. Salah satu ayat yang menjadi landasan utama adalah QS.
Al-Baqarah [02] ayat 2, yang berbunyi, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Ayat ini menunjukkan
bahwa Al-Qur'an memberikan petunjuk (hudan) kepada orang-orang yang bertakwa,
termasuk dalam aspek perjalanan spiritual mereka.¹
Ayat lain yang sering
dikaitkan dengan konsep thariqah adalah QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35, “Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah)
untuk mendekat kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.”
Menurut Tafsir Al-Qurthubi, ayat ini menegaskan kewajiban seorang hamba untuk
mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah melalui amal ibadah dan mujahadah,
yang merupakan esensi dari thariqah.²
QS. Al-Ankabut [29] ayat 69
juga memberikan landasan kuat untuk konsep thariqah: “Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh (bermujahadah) di jalan Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menafsirkan ayat ini sebagai janji Allah untuk memberikan
bimbingan spiritual kepada mereka yang bersungguh-sungguh dalam memperbaiki
dirinya melalui thariqah.³
3.2. Kajian Tafsir Tematik
Tafsir klasik seperti Tafsir
At-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir banyak membahas ayat-ayat yang
terkait dengan praktik-praktik thariqah. Dalam penafsiran QS. Al-Ma’idah [05]
ayat 35, At-Thabari menjelaskan bahwa wasilah yang dimaksud adalah seluruh
jalan yang diizinkan oleh syariat untuk mendekatkan diri kepada Allah, termasuk
melalui dzikir dan tazkiyah.⁴
Sementara itu, Tafsir Ibnu
Katsir menyoroti QS. Al-Ankabut [29] ayat 69 sebagai bentuk penghargaan Allah
kepada hamba yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ayat ini dipandang
sebagai motivasi untuk melaksanakan mujahadah, yang menjadi salah satu pilar
utama thariqah.⁵
Ayat lain yang sering menjadi
rujukan adalah QS. Al-Jumu’ah [62] ayat 10, “Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, serta
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” Para ulama,
termasuk Al-Qusyairi dalam Risalah Al-Qusyairiyah, memandang ayat ini sebagai
perintah untuk mengintegrasikan ibadah dengan dzikir yang berkesinambungan,
yang menjadi inti dari perjalanan thariqah.⁶
Kesimpulan Landasan Qur'ani Thariqah
Al-Qur'an secara jelas
memberikan landasan bagi konsep thariqah, baik melalui perintah untuk bertakwa,
melakukan mujahadah, maupun memperbanyak dzikir dan mencari wasilah untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ayat-ayat ini diperkuat oleh penafsiran para
ulama klasik yang menempatkan thariqah sebagai jalan yang sesuai dengan syariat
dalam mencapai tazkiyah al-nafs dan ma'rifah. Dengan demikian, thariqah
memiliki legitimasi yang kuat sebagai bagian dari ajaran Islam yang bertujuan
untuk membimbing umat menuju hubungan yang lebih dekat dengan Allah.
Catatan Kaki:
[1]
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 2.
[2]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1985), jil. 3, hlm. 232.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo:
Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 45.
[4]
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
(Kairo: Dar al-Ma’arif, 1992), jil. 6, hlm. 403.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), jil. 4, hlm. 567.
[6]
Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah
(Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 123.
4.
Thariqah
dalam Hadits
4.1. Hadits-Hadits yang Mendasari Thariqah
Thariqah sebagai jalan
spiritual dalam Islam juga memiliki landasan yang kuat dalam hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw. Salah satu hadits paling fundamental adalah Hadits Jibril, yang
menjelaskan tiga pilar utama Islam: Islam, Iman, dan Ihsan. Ihsan didefinisikan
oleh Rasulullah Saw sebagai “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.”¹ Konsep ihsan inilah yang menjadi inti dari perjalanan
spiritual dalam thariqah, yaitu mencapai kesadaran penuh akan kehadiran Allah
dalam setiap aspek kehidupan.
Hadits lain yang sering
dikaitkan dengan praktik thariqah adalah sabda Nabi Saw: “Orang yang paling
dekat denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling banyak bershalawat
kepadaku.”² Dalam thariqah, dzikir dan shalawat kepada Nabi merupakan
bagian penting dari metode mendekatkan diri kepada Allah. Para ulama tarekat
menganggap dzikir sebagai sarana untuk menyucikan hati dan mencapai tazkiyah
al-nafs, yang merupakan tujuan utama dari thariqah.
Selain itu, Nabi Saw juga
bersabda: “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada Hari Kiamat
hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, bagaimana ia
menghabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya; tentang
hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia membelanjakannya; dan
tentang tubuhnya, untuk apa ia gunakan.”³ Hadits ini menegaskan pentingnya
muhasabah (introspeksi diri), yang merupakan salah satu praktik inti dalam
thariqah untuk membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.
4.2. Penjelasan Ulama Hadits tentang Thariqah
Para ulama hadits memberikan
penjelasan mendalam tentang bagaimana thariqah memiliki landasan yang kuat
dalam sunnah Nabi Saw. Imam An-Nawawi, dalam kitabnya Riyadhus Shalihin,
mengelompokkan berbagai hadits tentang dzikir, tazkiyah al-nafs, dan muraqabah
yang menjadi pilar utama dalam thariqah. Dzikir, menurut An-Nawawi, adalah
praktik yang terus-menerus diperintahkan dalam Al-Qur'an dan Hadits untuk
menjaga hati tetap dekat dengan Allah.⁴
Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menjelaskan bahwa thariqah adalah implementasi dari ihsan
sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadits Jibril. Thariqah, menurutnya, adalah
usaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan kesadaran ruhani sehingga
seorang hamba dapat merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya sehari-hari.⁵
4.3. Thariqah dalam Perspektif Tasawuf Praktis
Dalam dunia tasawuf, thariqah
dipandang sebagai metode praktis untuk mencapai maqamat (tingkatan spiritual)
seperti sabar, syukur, tawakal, dan ridha. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw
yang menyebutkan: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, karena segala
urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur,
dan itu adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, dan
itu juga kebaikan baginya.”⁶
Para tokoh sufi seperti Imam
Junaid Al-Baghdadi dan Abdul Qadir Al-Jailani menekankan pentingnya memadukan
antara ilmu syariat dan pengalaman spiritual dalam perjalanan thariqah. Mereka
mengambil dasar dari hadits-hadits Nabi Saw yang mengajarkan keseimbangan
antara amal lahiriah dan batiniah.
Kesimpulan
Thariqah dalam Islam memiliki
akar yang kuat dalam hadits Nabi Saw, terutama yang berhubungan dengan konsep
ihsan, dzikir, muhasabah, dan tazkiyah al-nafs. Dengan berlandaskan sunnah,
praktik thariqah menawarkan jalan untuk mencapai hubungan yang lebih dekat
dengan Allah. Penjelasan ulama hadits dan tasawuf juga memperkuat posisi
thariqah sebagai bagian integral dari ajaran Islam yang sejalan dengan syariat.
Catatan Kaki:
[1]
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 50.
[2]
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab
al-Shalat, no. 384.
[3]
Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, Kitab Shifat
al-Qiyamah, no. 2417.
[4]
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), hlm. 57.
[5]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo:
Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 56.
[6]
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab
al-Zuhd wa al-Raqaiq, no. 2999.
5.
Pandangan
Ulama tentang Thariqah
5.1. Pandangan Ulama Klasik
Para ulama klasik memberikan
perhatian yang besar terhadap konsep dan praktik thariqah sebagai jalan
spiritual menuju Allah. Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin,
menjelaskan bahwa thariqah adalah jalan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs)
yang bertujuan mencapai ma'rifah (pengenalan mendalam kepada Allah). Menurut
Al-Ghazali, seseorang yang menempuh thariqah harus melaksanakan mujahadah
(perjuangan melawan hawa nafsu), dzikir, dan muraqabah (kesadaran akan
kehadiran Allah) secara intensif.¹ Ia menekankan bahwa thariqah harus tetap
sejalan dengan syariat, karena syariat adalah landasan utama dalam Islam yang
tidak boleh ditinggalkan.²
Imam Junaid Al-Baghdadi,
salah satu tokoh sufi besar, menekankan bahwa thariqah adalah perjalanan
spiritual yang didasarkan pada syariat. Ia mengatakan: “Semua jalan tertutup
kecuali jalan Rasulullah Saw.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa thariqah
tidak bisa dipisahkan dari ajaran dan sunnah Nabi Saw. Menurut Junaid, thariqah
adalah sarana untuk mencapai maqamat (tingkatan spiritual) seperti tawakal,
ridha, dan mahabbah (cinta kepada Allah).³
Sementara itu, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, meskipun bukan seorang sufi, mengakui pentingnya thariqah sebagai
jalan penyucian hati. Dalam kitabnya Madarij al-Salikin, ia menyebutkan
bahwa thariqah adalah usaha hamba untuk mencapai maqamat al-ihsan
melalui dzikir dan tazkiyah. Namun, Ibnu Qayyim juga mengingatkan agar praktik
thariqah tidak melampaui batas-batas syariat.⁴
5.2. Pandangan Ulama Kontemporer
Pada era modern, ulama
kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi memberikan perspektif kritis
terhadap thariqah. Dalam bukunya Al-Sahwah al-Islamiyyah, ia menyebutkan
bahwa praktik thariqah yang benar dapat membantu umat Islam memperkuat hubungan
mereka dengan Allah. Namun, ia juga mengingatkan bahwa ada beberapa tarekat
yang menyimpang dari syariat, seperti pengkultusan tokoh tertentu atau
praktik-praktik yang tidak berdasar pada Al-Qur'an dan Hadits. Al-Qaradawi
menekankan pentingnya mengembalikan thariqah kepada esensi Islam yang murni.⁵
Ulama seperti Syekh Muhammad
Mutawalli Sya'rawi juga memberikan pandangan positif terhadap thariqah sebagai
jalan untuk meningkatkan akhlak mulia. Dalam kajian-kajiannya, Sya'rawi
menjelaskan bahwa dzikir yang menjadi inti thariqah adalah sarana untuk
mengingat Allah dan menyucikan hati, sebagaimana yang diperintahkan dalam QS.
Al-Ahzab [33] ayat 41: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada
Allah dengan sebanyak-banyaknya.”⁶
5.3. Keselarasan Thariqah dengan Syariat
Baik ulama
klasik maupun kontemporer sepakat bahwa thariqah harus selalu berjalan
beriringan dengan syariat. Al-Syathibi dalam Al-I'tisham menegaskan
bahwa praktik thariqah yang menyimpang dari syariat akan kehilangan esensi dan
keabsahannya.⁷ Oleh karena itu, dzikir, mujahadah, dan praktik lainnya dalam
thariqah harus memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Hadits.
Kesimpulan Pandangan Ulama
Pandangan ulama tentang
thariqah menunjukkan bahwa jalan spiritual ini memiliki dasar yang kuat dalam
Islam dan memainkan peran penting dalam membentuk akhlak mulia serta
meningkatkan kesadaran ruhani. Dengan tetap menjunjung tinggi syariat, thariqah
dapat menjadi sarana efektif untuk mencapai hubungan yang lebih dekat dengan
Allah. Para ulama juga mengingatkan agar umat Islam senantiasa kritis terhadap
praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam yang autentik.
Catatan Kaki:
[1]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo:
Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 45.
[2]
Ibid., jil. 4, hlm. 62.
[3]
Abu al-Qasim Al-Junaid, dikutip dalam Abdul Karim
Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah,
1996), hlm. 50.
[4]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij al-Salikin
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), jil. 2, hlm. 110.
[5]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1984), hlm. 140.
[6]
Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir al-Sya'rawi
(Kairo: Akhbar al-Yaum, 1997), jil. 7, hlm. 250.
[7]
Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I'tisham (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 124.
6.
Jenis-Jenis
Tarekat
6.1. Tarekat-Tarekat Terkenal dalam Islam
Tarekat adalah bentuk praktik
thariqah yang terorganisir, di mana pengikutnya mengikuti metode spiritual
tertentu yang diajarkan oleh seorang pendiri atau mursyid (pembimbing spiritual).
Dalam sejarah Islam, tarekat-tarekat ini berkembang pesat pada abad ke-10
hingga ke-13 M, terutama di dunia Islam bagian Timur dan Barat. Berikut adalah
beberapa tarekat yang paling dikenal dalam dunia Islam:
1)
Tarekat Qadiriyah
Didirikan
oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (1077–1166 M), tarekat ini menekankan
pentingnya tawakal, dzikir, dan keikhlasan dalam ibadah. Tarekat Qadiriyah
dikenal karena ajarannya yang menekankan kepatuhan penuh kepada syariat dan
praktik dzikir harian yang intensif. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam
kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Tariq al-Haqq menyebutkan bahwa jalan
spiritual yang benar harus seimbang antara amal lahiriah dan batiniah.¹
2)
Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat ini
didirikan oleh Syekh Bahauddin Naqsyaband (1318–1389 M) di Bukhara. Ciri khas
tarekat ini adalah dzikir khafi (dzikir yang dilakukan secara diam-diam) dan
fokus pada kesadaran penuh terhadap Allah dalam setiap aktivitas sehari-hari.
Tarekat ini juga dikenal dengan prinsip “khalwat dar anjuman” (kesendirian
di tengah keramaian), yang menekankan pentingnya mencapai konsentrasi spiritual
bahkan dalam kehidupan sosial.²
3)
Tarekat Syadziliyah
Didirikan
oleh Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili (1196–1258 M) di Afrika Utara, tarekat ini
menekankan dzikir lisan dan hati, serta menolak zuhud ekstrem. Dalam kitab Hizb
al-Bahr, Syekh Asy-Syadzili mengajarkan pentingnya keseimbangan antara
kehidupan duniawi dan spiritual, serta keikhlasan dalam beramal.³
4)
Tarekat Rifa’iyah
Didirikan
oleh Syekh Ahmad Ar-Rifa’i (1106–1182 M), tarekat ini dikenal dengan amalannya
yang penuh rasa takut kepada Allah (khasyah), kerendahan hati, dan
pelayanan kepada masyarakat. Praktik dzikir dan doa kolektif menjadi salah satu
ciri khas tarekat ini.⁴
5)
Tarekat Tijaniyah
Tarekat ini
didirikan oleh Syekh Ahmad at-Tijani (1737–1815 M) di Aljazair. Berbeda dengan
tarekat lainnya, Tijaniyah menekankan pada dzikir yang diambil langsung dari
Nabi Muhammad Saw melalui ilham spiritual. Salah satu praktik khasnya adalah wird
(dzikir khusus) yang harus dilakukan setiap hari.⁵
6.2. Batasan dan Prinsip dalam Tarekat
Para ulama menekankan bahwa
tarekat yang benar harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip syariat Islam.
Dalam Al-I’tisham, Imam Asy-Syathibi memperingatkan bahwa tarekat yang
menyimpang dari syariat tidak dapat dianggap sebagai bagian dari Islam.⁶
Praktik dzikir, mujahadah, atau ibadah lain dalam tarekat harus memiliki dasar
dalam Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, mursyid sebagai pembimbing tarekat
memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa amalan dalam tarekatnya
tidak keluar dari batas-batas syariat.⁷
6.3. Kontribusi Tarekat dalam Kehidupan Sosial
Selain berperan sebagai
sarana spiritual, tarekat juga memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan
sosial. Banyak tarekat, seperti Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, terlibat dalam
kegiatan dakwah, pendidikan, dan filantropi. Di dunia Islam, tarekat sering
menjadi pusat pendidikan agama, tempat para pengikutnya mempelajari Al-Qur’an,
Hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya.⁸
Kesimpulan
Tarekat-tarekat dalam Islam
adalah manifestasi praktis dari thariqah, yang bertujuan mendekatkan diri
kepada Allah melalui dzikir, mujahadah, dan pembimbingan spiritual. Dengan
catatan bahwa tarekat harus selalu sesuai dengan syariat, praktik ini dapat menjadi
sarana efektif untuk meningkatkan tazkiyah al-nafs dan menyebarkan ajaran Islam
di tengah masyarakat.
Catatan Kaki:
[1]
Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi
Tariq al-Haqq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 56.
[2]
Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi
Mu’amalat Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar Ihya al-Turath, 1988), hlm. 216.
[3]
Abul Hasan Asy-Syadzili, Hizb al-Bahr
(Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 12.
[4]
Ahmad Ar-Rifa’i, Burdah al-Tariqah al-Rifa’iyah
(Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 2002), hlm. 43.
[5]
Ahmad At-Tijani, Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh
al-Amani (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), jil. 1, hlm. 110.
[6]
Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I’tisham (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 156.
[7]
Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah
(Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 103.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), hlm. 150.
7.
Kritik
dan Tantangan terhadap Thariqah
7.1. Kritik terhadap Praktik Thariqah
Dalam sejarahnya, thariqah
telah mengalami berbagai tantangan dan kritik, baik dari dalam maupun luar
komunitas Islam. Salah satu kritik utama adalah adanya penyimpangan dalam
beberapa tarekat yang menyimpang dari syariat Islam. Hal ini mencakup
praktik-praktik yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan Hadits, seperti
pengkultusan mursyid secara berlebihan, amalan dzikir dengan tata cara yang
dianggap tidak sesuai dengan sunnah, atau ritual-ritual tertentu yang dianggap
bid’ah.¹
Imam Asy-Syathibi dalam
kitabnya Al-I’tisham menegaskan bahwa setiap ibadah, termasuk yang
dilakukan dalam thariqah, harus memiliki dasar yang jelas dalam syariat. Ia
mengkritik praktik-praktik yang tidak berdasarkan dalil dan menekankan pentingnya
menghindari bentuk-bentuk ibadah yang berlebihan atau tidak sesuai dengan
ajaran Rasulullah Saw.² Kritik ini diperkuat oleh Ibnu Taimiyyah, yang dalam
kitabnya Majmu’ al-Fatawa menyebutkan bahwa dzikir dan ibadah yang tidak
sesuai dengan sunnah adalah bentuk kesalahan yang harus dihindari.³
Kritik lain muncul dari kaum
modernis yang menilai bahwa beberapa tarekat terlalu terfokus pada dimensi
spiritual individu, sehingga mengabaikan aspek-aspek sosial dan politik yang
relevan dalam kehidupan umat Islam. Fazlur Rahman, seorang pemikir kontemporer,
menyoroti bahwa beberapa komunitas tarekat cenderung pasif dan tidak memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat.⁴
7.2. Tantangan Internal
Tantangan internal yang
dihadapi thariqah adalah penyimpangan dalam pengamalan oleh beberapa tarekat
yang berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap seluruh konsep thariqah.
Beberapa mursyid yang kurang kompeten atau memiliki niat duniawi telah
menyalahgunakan otoritas spiritual mereka untuk kepentingan pribadi. Dalam Risalah
Al-Qusyairiyah, Abdul Karim Al-Qusyairi memperingatkan bahwa seorang
mursyid harus memiliki ilmu syariat yang mendalam dan akhlak yang baik agar
mampu membimbing murid-muridnya dengan benar.⁵
Tantangan lainnya adalah
munculnya tarekat-tarekat baru yang kurang jelas sanad keilmuannya dan sering
kali tidak memiliki koneksi dengan tradisi tasawuf yang mapan. Hal ini
menyebabkan kebingungan di kalangan umat Islam, terutama mengenai keabsahan
tarekat-tarekat tersebut.⁶
7.3. Tantangan Eksternal
Dari sisi eksternal, thariqah
menghadapi tantangan dari berkembangnya ideologi modern yang materialistik dan
sekularistik. Dalam masyarakat yang semakin mengedepankan logika rasional dan
kebendaan, konsep spiritualitas yang ditawarkan oleh thariqah sering kali
dipandang sebagai sesuatu yang usang atau tidak relevan.⁷ Selain itu,
stigmatisasi terhadap tarekat yang dianggap klenik atau irasional juga menjadi
tantangan besar bagi perkembangan thariqah di era modern.
Teknologi dan media sosial
juga menjadi tantangan tersendiri bagi thariqah. Di satu sisi, media sosial
dapat menjadi alat untuk menyebarkan ajaran thariqah, tetapi di sisi lain,
sering kali terjadi penyebaran informasi yang salah atau praktik-praktik yang
dipublikasikan secara berlebihan sehingga mengurangi esensi spiritual dari
thariqah itu sendiri.⁸
7.4. Upaya Mengatasi Kritik dan Tantangan
Untuk menghadapi kritik dan
tantangan ini, para ulama dan komunitas tarekat perlu melakukan langkah-langkah
strategis, seperti:
1)
Penguatan Pendidikan Syariat:
Semua
praktik dalam thariqah harus berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits. Pengajaran
tentang syariat Islam harus menjadi bagian integral dari pendidikan di dalam
tarekat.
2)
Reformasi Tarekat:
Tarekat
harus menghindari praktik-praktik yang menyimpang dari sunnah dan memperkuat
peran sosialnya di tengah masyarakat.
3)
Penggunaan Media dengan Bijak:
Media modern
dapat digunakan untuk memperkenalkan thariqah secara benar kepada masyarakat
luas, dengan menekankan esensinya sebagai bagian dari ajaran Islam yang sesuai
syariat.
Kesimpulan
Thariqah menghadapi berbagai
kritik dan tantangan, baik internal maupun eksternal, yang memerlukan perhatian
serius dari para pengikutnya. Dengan mengembalikan praktik-praktik thariqah
kepada esensi Islam yang autentik dan meningkatkan peran sosial tarekat di
tengah masyarakat, konsep ini dapat terus relevan sebagai jalan spiritual
menuju Allah.
Catatan Kaki:
[1]
Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I’tisham (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 156.
[2]
Ibid., hlm. 180.
[3]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Madinah:
King Fahd Complex, 1995), jil. 10, hlm. 560.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), hlm. 135.
[5]
Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah
(Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 210.
[6]
Ahmad Zarruq, Qawa'id al-Tasawwuf (Kairo:
Dar al-Turath, 1985), hlm. 85.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 220.
[8]
Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a
Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 65.
8.
Relevansi
Thariqah dalam Kehidupan Modern
8.1. Thariqah sebagai Sarana Penyucian Jiwa
Dalam kehidupan modern yang
semakin materialistis dan serba cepat, thariqah menawarkan jalan untuk
menemukan kedamaian batin dan keseimbangan spiritual. Thariqah membantu
individu untuk melawan pengaruh negatif seperti kecemasan, stres, dan alienasi
yang sering terjadi akibat gaya hidup modern. Konsep tazkiyah al-nafs
(penyucian jiwa) yang menjadi inti dari thariqah memberikan kerangka kerja
spiritual untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan,
iri hati, dan kecintaan berlebihan terhadap dunia.¹
Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menyatakan bahwa manusia yang tenggelam dalam urusan duniawi
membutuhkan metode yang dapat menghubungkan kembali hati mereka kepada Allah.
Thariqah, melalui dzikir, mujahadah, dan muraqabah, menjadi salah satu solusi
untuk memulihkan hubungan ini.²
8.2. Peningkatan Kesehatan Mental dan Spiritual
Penelitian modern menunjukkan
bahwa praktik-praktik spiritual seperti dzikir dan meditasi dapat memberikan
dampak positif pada kesehatan mental. Dzikir, yang menjadi bagian utama dari
amalan thariqah, terbukti efektif dalam mengurangi stres dan meningkatkan
kesejahteraan psikologis.³ Praktik-praktik ini juga membantu individu
mengembangkan mindfulness (kesadaran penuh), yang relevan dengan konsep
muraqabah dalam thariqah, yaitu kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap
aktivitas.⁴
8.3. Thariqah dan Penguatan Akhlak
Thariqah juga memiliki
relevansi dalam membentuk akhlak mulia di era modern. Dalam konteks ini,
thariqah tidak hanya menjadi sarana individual untuk mendekatkan diri kepada
Allah, tetapi juga sebagai alat untuk memperbaiki hubungan sosial. Syekh Abdul
Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Futuh al-Ghaib menekankan bahwa pengikut
thariqah harus menjadikan akhlak Rasulullah Saw sebagai teladan dalam
berinteraksi dengan sesama manusia.⁵ Prinsip-prinsip seperti kejujuran, kasih
sayang, dan kerendahan hati yang diajarkan dalam tarekat relevan untuk
memperbaiki etika sosial di tengah krisis moralitas yang melanda dunia modern.
8.4. Peran Sosial dan Dakwah Tarekat
Tarekat dalam thariqah
memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pembangunan sosial dan dakwah.
Banyak tarekat, seperti Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, memiliki sejarah panjang
dalam mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dan lembaga sosial lainnya.
Dalam konteks modern, tarekat dapat memainkan peran strategis dalam mengatasi
masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan disintegrasi
komunitas.⁶
Syekh Abul Hasan
Asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah, menegaskan pentingnya pengikut
tarekat untuk terlibat aktif dalam masyarakat, dengan tidak meninggalkan
kewajiban duniawi mereka.⁷ Ajaran ini menunjukkan bahwa thariqah tidak hanya
berfokus pada aspek spiritual individu, tetapi juga memberikan panduan untuk
memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
8.5. Thariqah di Era Teknologi dan Globalisasi
Di era digital, thariqah
dapat menggunakan teknologi sebagai alat untuk menyebarkan ajarannya secara
luas. Media sosial, misalnya, dapat menjadi sarana untuk memberikan pengajaran
dzikir, kajian kitab, dan motivasi spiritual. Namun, penggunaan teknologi ini
harus tetap dalam koridor syariat dan menghindari ekses yang dapat merusak
esensi spiritual thariqah.⁸
Seyyed Hossein Nasr dalam The
Heart of Islam menyoroti bahwa spiritualitas Islam, termasuk praktik
thariqah, tetap relevan untuk menjawab kebutuhan manusia di tengah kemajuan
teknologi. Ia menyatakan bahwa meskipun teknologi menawarkan kemudahan
material, manusia tetap membutuhkan panduan spiritual untuk mengatasi
kekosongan makna dalam hidup mereka.⁹
Kesimpulan
Thariqah memiliki relevansi
yang signifikan dalam kehidupan modern sebagai sarana penyucian jiwa,
peningkatan kesehatan mental, penguatan akhlak, dan kontribusi sosial. Dengan
tetap berlandaskan pada syariat, thariqah dapat menjadi solusi spiritual yang
adaptif untuk menjawab tantangan zaman. Praktik-praktik dalam thariqah, seperti
dzikir dan muraqabah, tidak hanya membantu individu menemukan kedamaian batin,
tetapi juga memberikan panduan moral untuk membangun masyarakat yang lebih
harmonis dan bermartabat.
Catatan Kaki:
[1]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo:
Dar al-Turath, 1988), jil. 4, hlm. 123.
[2]
Ibid., jil. 3, hlm. 56.
[3]
Harold G. Koenig, Religion and Mental Health:
Research and Clinical Applications (San Diego: Academic Press, 2018), hlm.
105.
[4]
Ahmad Al-Kandahlawi, Hayatus Sahabah
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jil. 1, hlm. 75.
[5]
Abdul Qadir Al-Jailani, Futuh al-Ghaib
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hlm. 56.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
hlm. 140.
[7]
Abul Hasan Asy-Syadzili, Hizb al-Bahr
(Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 23.
[8]
Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a
Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 120.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 110.
9.
Kesimpulan
Thariqah sebagai jalan
spiritual dalam Islam memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur'an dan Hadits
serta diperkaya oleh penjelasan para ulama klasik dan kontemporer. Dari kajian
ini, dapat disimpulkan bahwa thariqah merupakan metode untuk mencapai tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa) dan ma'rifah (pengenalan mendalam kepada
Allah), yang berfungsi untuk membentuk kepribadian Muslim yang kokoh dalam
dimensi spiritual dan moral.
9.1. Landasan Thariqah dalam Al-Qur'an dan Hadits
Al-Qur'an memberikan arahan
untuk mencari jalan mendekat kepada Allah, sebagaimana dalam QS. Al-Ma’idah
[05] ayat 35 dan QS. Al-Ankabut [29] ayat 69. Ayat-ayat ini menekankan
pentingnya mujahadah, dzikir, dan tawakal sebagai komponen utama dalam
perjalanan spiritual seorang Muslim.¹ Penjelasan para ulama tafsir, seperti
Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir, memperkuat pemahaman bahwa thariqah adalah bagian
dari upaya manusia untuk mencapai petunjuk Allah melalui amal ibadah yang
tulus.²
Hadits-hadits Nabi Saw,
seperti Hadits Jibril yang menjelaskan konsep ihsan, menjadi fondasi penting
bagi praktik thariqah.³ Ihsan, yang didefinisikan sebagai kesadaran bahwa Allah
senantiasa mengawasi hamba-Nya, menjadi inti dari perjalanan spiritual yang
diajarkan oleh tarekat. Penjelasan para ulama hadits seperti Imam An-Nawawi dan
Al-Ghazali menunjukkan bahwa thariqah bukanlah jalan yang terpisah dari
syariat, melainkan implementasi syariat dalam aspek batiniah.⁴
9.2. Peran dan Tantangan Thariqah
Thariqah memainkan peran
penting dalam pembentukan akhlak dan penyucian jiwa, yang sangat relevan di era
modern. Namun, thariqah juga menghadapi tantangan besar, termasuk penyimpangan
dalam praktik beberapa tarekat, stigmatisasi terhadap tarekat tertentu, dan
pengaruh ideologi modern yang materialistis. Para ulama seperti Syekh Abdul
Qadir Al-Jailani dan Syekh Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya menjaga
keselarasan antara thariqah dan syariat untuk mencegah penyimpangan.⁵
9.3. Relevansi Thariqah dalam Kehidupan Modern
Dalam konteks modern,
thariqah memiliki relevansi besar dalam menjawab tantangan spiritual dan
sosial. Praktik dzikir dan muhasabah, yang menjadi bagian inti dari thariqah,
dapat membantu individu mengatasi tekanan hidup modern, seperti stres dan
kekosongan spiritual.⁶ Selain itu, tarekat yang terorganisasi memiliki potensi
besar untuk berkontribusi dalam pembangunan masyarakat melalui dakwah,
pendidikan, dan layanan sosial.⁷
Penutup
Thariqah adalah manifestasi
nyata dari ajaran Islam yang mencakup dimensi spiritual dan sosial. Dengan
berlandaskan pada Al-Qur'an dan Hadits, serta dibimbing oleh mursyid yang
kompeten, thariqah dapat menjadi sarana yang efektif untuk meningkatkan kualitas
spiritual individu dan membangun masyarakat yang lebih harmonis. Praktik
thariqah yang sesuai dengan syariat tidak hanya membawa manfaat bagi pelakunya,
tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi komunitas yang lebih luas. Oleh
karena itu, thariqah tetap relevan sebagai salah satu aspek penting dalam
perjalanan hidup seorang Muslim, bahkan di tengah tantangan zaman modern.
Catatan Kaki:
[1]
Al-Qur’an, QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35; QS.
Al-Ankabut [29] ayat 69.
[2]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1985), jil. 3, hlm. 232; Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), jil. 4, hlm.
567.
[3]
Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 50.
[4]
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1998), hlm. 57; Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo:
Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 56.
[5]
Abdul Qadir Al-Jailani, Futuh al-Ghaib
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hlm. 56; Yusuf Al-Qaradawi, Al-Sahwah
al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1984), hlm. 140.
[6]
Harold G. Koenig, Religion and Mental Health:
Research and Clinical Applications (San Diego: Academic Press, 2018), hlm.
105.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), hlm. 140.
Daftar Pustaka
Abdul Qadir Al-Jailani. (1999). Futuh al-Ghaib.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Abul Hasan Asy-Syadzili. (1985). Hizb al-Bahr.
Beirut: Dar al-Fikr.
Acikgenc, A. (1996). Islamic Science: Towards a
Definition. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali, A. H. (1988). Ihya Ulumuddin
(Vol. 3–4). Kairo: Dar al-Turath.
Al-Kandahlawi, A. (1995). Hayatus Sahabah
(Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qaradawi, Y. (1984). Al-Sahwah al-Islamiyyah.
Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qusyairi, A. K. (1996). Risalah
Al-Qusyairiyah. Kairo: Maktabah Al-Azhariyah.
Al-Qur’an. (n.d.). Al-Qur'an Al-Karim.
Al-Qurthubi, M. A. A. (1985). Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an (Vol. 3). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
An-Nawawi, Y. (1998). Riyadhus Shalihin.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Ibnu Katsir, I. U. (1999). Tafsir al-Qur'an al-Azim
(Vol. 4). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Ibnu Taimiyyah. (1995). Majmu’ al-Fatawa
(Vol. 10). Madinah: King Fahd Complex.
Koenig, H. G. (2018). Religion and Mental
Health: Research and Clinical Applications. San Diego: Academic Press.
Nasr, S. H. (2004). The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity. San Francisco: HarperOne.
Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi. (1988). Tanwir
al-Qulub fi Mu’amalat Allam al-Ghuyub. Beirut: Dar Ihya al-Turath.
Tirmidzi, A. I. M. (1995). Jami’ al-Tirmidzi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar