Rabu, 15 Januari 2025

Thariqah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Thariqah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Kajian Berdasarkan Tafsir Klasik, Kitab Klasik, dan Pemikiran Ulama


Abstrak

Thariqah adalah jalan spiritual yang menjadi bagian integral dari Islam, bertujuan untuk mencapai tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dan ma'rifah (pengenalan mendalam kepada Allah). Artikel ini mengkaji konsep thariqah berdasarkan Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, kitab tasawuf, dan pandangan ulama. Landasan thariqah ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur'an seperti QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35 dan QS. Al-Ankabut [29] ayat 69, serta Hadits Jibril yang menjelaskan konsep ihsan. Ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi menekankan bahwa thariqah adalah implementasi dari syariat dalam dimensi batiniah, sementara ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Seyyed Hossein Nasr menyoroti relevansi thariqah dalam menjawab tantangan spiritual modern. Kritik terhadap thariqah mencakup penyimpangan dalam praktik beberapa tarekat, sedangkan tantangan eksternalnya meliputi pengaruh materialisme dan sekularisme. Dengan landasan yang kuat dari syariat, thariqah tetap relevan sebagai sarana spiritual yang adaptif untuk menghadapi tekanan hidup modern sekaligus berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat.

Kata Kunci: Thariqah, Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, tasawuf, tazkiyah al-nafs, ihsan, tarekat, spiritualitas Islam.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Thariqah (tarekat) merupakan salah satu aspek penting dalam Islam yang berhubungan dengan dimensi spiritual atau tasawuf. Secara etimologis, istilah "thariqah" berasal dari bahasa Arab yang berarti "jalan" atau "metode." Dalam terminologi Islam, thariqah merujuk pada jalan tertentu yang ditempuh seseorang untuk mencapai kedekatan kepada Allah (maqamat al-qurb) melalui pengamalan dzikir, muraqabah, mujahadah, dan ibadah lainnya secara intensif dan konsisten. Pemahaman ini telah menjadi bagian integral dalam kehidupan umat Islam, terutama dalam upaya memperdalam hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.¹

Seiring perkembangan zaman, praktik thariqah mengalami dinamika yang signifikan, baik dalam hal pelaksanaan maupun penerimaan di tengah masyarakat. Di satu sisi, thariqah dianggap sebagai sarana efektif dalam pembentukan akhlak dan tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Di sisi lain, terdapat pula kritik terhadap penyimpangan tertentu dalam pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan syariat. Oleh karena itu, pembahasan mengenai thariqah dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits sangatlah relevan, terutama untuk memberikan panduan yang jelas dan terarah dalam memahami konsep ini berdasarkan sumber-sumber yang autentik dan kredibel.

1.2.       Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan konsep thariqah dari perspektif Al-Qur'an dan Hadits dengan mengkaji berbagai tafsir klasik seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, dan Tafsir Ibnu Katsir. Penulis juga merujuk kepada kitab-kitab tasawuf klasik seperti Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan Risalah Al-Qusyairiyah karya Abdul Karim Al-Qusyairi.² Kajian ini diperkuat dengan pandangan ulama kontemporer serta hasil penelitian dalam jurnal-jurnal ilmiah Islami untuk memberikan pembahasan yang komprehensif. Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat menjadi panduan akademis sekaligus praktis dalam memahami thariqah sebagai bagian dari kehidupan spiritual umat Islam.³

Melalui pendekatan yang menyeluruh, pembahasan ini tidak hanya bertujuan untuk menjelaskan landasan normatif thariqah tetapi juga mengkaji relevansinya dalam kehidupan modern. Hal ini penting mengingat tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini, termasuk kecenderungan materialisme dan lemahnya kesadaran spiritual, memerlukan solusi yang bersifat holistik dan terintegrasi. Dengan landasan yang kuat dari Al-Qur'an dan Hadits serta penjelasan para ulama, pembaca diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang mendalam dan aplikatif mengenai thariqah dalam berbagai dimensi kehidupan.


Catatan Kaki:

[1]                Al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), hlm. 123.

[2]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 45.

[3]                Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 210.


2.           Pengertian Thariqah

2.1.       Etimologi dan Terminologi

Secara etimologis, kata "thariqah" berasal dari akar kata Arab thariq (طَرِيقٌ) yang berarti "jalan" atau "metode". Dalam konteks bahasa, istilah ini sering digunakan untuk menunjukkan suatu cara atau rute menuju tujuan tertentu. Dalam Islam, thariqah merujuk pada jalan spiritual atau metode yang ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui praktik-praktik tasawuf yang berlandaskan syariat.¹

Istilah ini pertama kali populer dalam tradisi tasawuf pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, ketika para sufi mulai mengembangkan metode-metode tertentu untuk mencapai maqamat (tingkatan spiritual) dan ahwal (kondisi ruhani). Thariqah juga dipandang sebagai metode pengamalan ihsan, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Jibril yang menyebutkan bahwa ihsan adalah "beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu."²

2.2.       Konsep Dasar Thariqah dalam Islam

Dalam konsep Islam, thariqah tidak dapat dipisahkan dari dimensi tasawuf dan syariat. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, thariqah adalah jalan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pengamalan dzikir yang intensif untuk mencapai kedekatan dengan Allah.³ Dalam pandangan Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh besar dalam dunia tasawuf, thariqah adalah perjalanan spiritual yang memadukan aspek-aspek syariat dengan elemen batiniah seperti ma'rifah (pengetahuan tentang Allah) dan mahabbah (cinta kepada Allah).⁴

Lebih jauh, para ulama menyebutkan bahwa thariqah harus berjalan seiring dengan syariat. Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tisham menegaskan bahwa thariqah tidak boleh menyimpang dari syariat, karena keduanya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Dalam pandangan ini, praktik thariqah yang benar tidak hanya berlandaskan pada pengalaman spiritual, tetapi juga memiliki legitimasi normatif dari Al-Qur'an dan Hadits.⁵

2.3.       Pentingnya Thariqah dalam Kehidupan Spiritual

Thariqah merupakan manifestasi dari upaya manusia untuk memenuhi aspek spiritual yang sering kali terabaikan dalam kehidupan modern. Melalui praktik-praktik seperti dzikir, muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah), dan mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu), thariqah membantu seseorang mencapai tingkat keikhlasan dan kebersihan hati yang lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ankabut[29] ayat 69, Allah berfirman, "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." Ayat ini sering dijadikan landasan bahwa thariqah merupakan jalan untuk memperoleh petunjuk Allah.⁶


Catatan Kaki:

[1]                Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Sadir, 1990), jil. 9, hlm. 116.

[2]                Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 50.

[3]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 32.

[4]                Abu al-Qasim Al-Junaid, dikutip dalam Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 43.

[5]                Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I'tisham (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 105.

[6]                Al-Qur’an, QS. Al-Ankabut [29] ayat 69.


3.           Landasan Thariqah dalam Al-Qur'an

3.1.       Ayat-Ayat yang Mendukung Konsep Thariqah

Al-Qur'an memuat banyak ayat yang secara eksplisit maupun implisit mendukung konsep thariqah sebagai jalan spiritual menuju Allah. Salah satu ayat yang menjadi landasan utama adalah QS. Al-Baqarah [02] ayat 2, yang berbunyi, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memberikan petunjuk (hudan) kepada orang-orang yang bertakwa, termasuk dalam aspek perjalanan spiritual mereka.¹

Ayat lain yang sering dikaitkan dengan konsep thariqah adalah QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) untuk mendekat kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.” Menurut Tafsir Al-Qurthubi, ayat ini menegaskan kewajiban seorang hamba untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah melalui amal ibadah dan mujahadah, yang merupakan esensi dari thariqah.²

QS. Al-Ankabut [29] ayat 69 juga memberikan landasan kuat untuk konsep thariqah: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (bermujahadah) di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menafsirkan ayat ini sebagai janji Allah untuk memberikan bimbingan spiritual kepada mereka yang bersungguh-sungguh dalam memperbaiki dirinya melalui thariqah.³

3.2.       Kajian Tafsir Tematik

Tafsir klasik seperti Tafsir At-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir banyak membahas ayat-ayat yang terkait dengan praktik-praktik thariqah. Dalam penafsiran QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35, At-Thabari menjelaskan bahwa wasilah yang dimaksud adalah seluruh jalan yang diizinkan oleh syariat untuk mendekatkan diri kepada Allah, termasuk melalui dzikir dan tazkiyah.⁴

Sementara itu, Tafsir Ibnu Katsir menyoroti QS. Al-Ankabut [29] ayat 69 sebagai bentuk penghargaan Allah kepada hamba yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ayat ini dipandang sebagai motivasi untuk melaksanakan mujahadah, yang menjadi salah satu pilar utama thariqah.⁵

Ayat lain yang sering menjadi rujukan adalah QS. Al-Jumu’ah [62] ayat 10, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” Para ulama, termasuk Al-Qusyairi dalam Risalah Al-Qusyairiyah, memandang ayat ini sebagai perintah untuk mengintegrasikan ibadah dengan dzikir yang berkesinambungan, yang menjadi inti dari perjalanan thariqah.⁶


Kesimpulan Landasan Qur'ani Thariqah

Al-Qur'an secara jelas memberikan landasan bagi konsep thariqah, baik melalui perintah untuk bertakwa, melakukan mujahadah, maupun memperbanyak dzikir dan mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ayat-ayat ini diperkuat oleh penafsiran para ulama klasik yang menempatkan thariqah sebagai jalan yang sesuai dengan syariat dalam mencapai tazkiyah al-nafs dan ma'rifah. Dengan demikian, thariqah memiliki legitimasi yang kuat sebagai bagian dari ajaran Islam yang bertujuan untuk membimbing umat menuju hubungan yang lebih dekat dengan Allah.


Catatan Kaki:

[1]                Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 2.

[2]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1985), jil. 3, hlm. 232.

[3]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 45.

[4]                Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1992), jil. 6, hlm. 403.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), jil. 4, hlm. 567.

[6]                Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 123.


4.           Thariqah dalam Hadits

4.1.       Hadits-Hadits yang Mendasari Thariqah

Thariqah sebagai jalan spiritual dalam Islam juga memiliki landasan yang kuat dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Salah satu hadits paling fundamental adalah Hadits Jibril, yang menjelaskan tiga pilar utama Islam: Islam, Iman, dan Ihsan. Ihsan didefinisikan oleh Rasulullah Saw sebagai “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”¹ Konsep ihsan inilah yang menjadi inti dari perjalanan spiritual dalam thariqah, yaitu mencapai kesadaran penuh akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.

Hadits lain yang sering dikaitkan dengan praktik thariqah adalah sabda Nabi Saw: “Orang yang paling dekat denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling banyak bershalawat kepadaku.”² Dalam thariqah, dzikir dan shalawat kepada Nabi merupakan bagian penting dari metode mendekatkan diri kepada Allah. Para ulama tarekat menganggap dzikir sebagai sarana untuk menyucikan hati dan mencapai tazkiyah al-nafs, yang merupakan tujuan utama dari thariqah.

Selain itu, Nabi Saw juga bersabda: “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada Hari Kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, bagaimana ia menghabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia membelanjakannya; dan tentang tubuhnya, untuk apa ia gunakan.”³ Hadits ini menegaskan pentingnya muhasabah (introspeksi diri), yang merupakan salah satu praktik inti dalam thariqah untuk membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.

4.2.       Penjelasan Ulama Hadits tentang Thariqah

Para ulama hadits memberikan penjelasan mendalam tentang bagaimana thariqah memiliki landasan yang kuat dalam sunnah Nabi Saw. Imam An-Nawawi, dalam kitabnya Riyadhus Shalihin, mengelompokkan berbagai hadits tentang dzikir, tazkiyah al-nafs, dan muraqabah yang menjadi pilar utama dalam thariqah. Dzikir, menurut An-Nawawi, adalah praktik yang terus-menerus diperintahkan dalam Al-Qur'an dan Hadits untuk menjaga hati tetap dekat dengan Allah.⁴

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa thariqah adalah implementasi dari ihsan sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadits Jibril. Thariqah, menurutnya, adalah usaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan kesadaran ruhani sehingga seorang hamba dapat merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya sehari-hari.⁵

4.3.       Thariqah dalam Perspektif Tasawuf Praktis

Dalam dunia tasawuf, thariqah dipandang sebagai metode praktis untuk mencapai maqamat (tingkatan spiritual) seperti sabar, syukur, tawakal, dan ridha. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw yang menyebutkan: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, karena segala urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, dan itu juga kebaikan baginya.”⁶

Para tokoh sufi seperti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Abdul Qadir Al-Jailani menekankan pentingnya memadukan antara ilmu syariat dan pengalaman spiritual dalam perjalanan thariqah. Mereka mengambil dasar dari hadits-hadits Nabi Saw yang mengajarkan keseimbangan antara amal lahiriah dan batiniah.


Kesimpulan

Thariqah dalam Islam memiliki akar yang kuat dalam hadits Nabi Saw, terutama yang berhubungan dengan konsep ihsan, dzikir, muhasabah, dan tazkiyah al-nafs. Dengan berlandaskan sunnah, praktik thariqah menawarkan jalan untuk mencapai hubungan yang lebih dekat dengan Allah. Penjelasan ulama hadits dan tasawuf juga memperkuat posisi thariqah sebagai bagian integral dari ajaran Islam yang sejalan dengan syariat.


Catatan Kaki:

[1]                Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 50.

[2]                Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Shalat, no. 384.

[3]                Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, Kitab Shifat al-Qiyamah, no. 2417.

[4]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), hlm. 57.

[5]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 56.

[6]                Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Zuhd wa al-Raqaiq, no. 2999.


5.           Pandangan Ulama tentang Thariqah

5.1.       Pandangan Ulama Klasik

Para ulama klasik memberikan perhatian yang besar terhadap konsep dan praktik thariqah sebagai jalan spiritual menuju Allah. Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menjelaskan bahwa thariqah adalah jalan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) yang bertujuan mencapai ma'rifah (pengenalan mendalam kepada Allah). Menurut Al-Ghazali, seseorang yang menempuh thariqah harus melaksanakan mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu), dzikir, dan muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah) secara intensif.¹ Ia menekankan bahwa thariqah harus tetap sejalan dengan syariat, karena syariat adalah landasan utama dalam Islam yang tidak boleh ditinggalkan.²

Imam Junaid Al-Baghdadi, salah satu tokoh sufi besar, menekankan bahwa thariqah adalah perjalanan spiritual yang didasarkan pada syariat. Ia mengatakan: “Semua jalan tertutup kecuali jalan Rasulullah Saw.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa thariqah tidak bisa dipisahkan dari ajaran dan sunnah Nabi Saw. Menurut Junaid, thariqah adalah sarana untuk mencapai maqamat (tingkatan spiritual) seperti tawakal, ridha, dan mahabbah (cinta kepada Allah).³

Sementara itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, meskipun bukan seorang sufi, mengakui pentingnya thariqah sebagai jalan penyucian hati. Dalam kitabnya Madarij al-Salikin, ia menyebutkan bahwa thariqah adalah usaha hamba untuk mencapai maqamat al-ihsan melalui dzikir dan tazkiyah. Namun, Ibnu Qayyim juga mengingatkan agar praktik thariqah tidak melampaui batas-batas syariat.⁴

5.2.       Pandangan Ulama Kontemporer

Pada era modern, ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi memberikan perspektif kritis terhadap thariqah. Dalam bukunya Al-Sahwah al-Islamiyyah, ia menyebutkan bahwa praktik thariqah yang benar dapat membantu umat Islam memperkuat hubungan mereka dengan Allah. Namun, ia juga mengingatkan bahwa ada beberapa tarekat yang menyimpang dari syariat, seperti pengkultusan tokoh tertentu atau praktik-praktik yang tidak berdasar pada Al-Qur'an dan Hadits. Al-Qaradawi menekankan pentingnya mengembalikan thariqah kepada esensi Islam yang murni.⁵

Ulama seperti Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi juga memberikan pandangan positif terhadap thariqah sebagai jalan untuk meningkatkan akhlak mulia. Dalam kajian-kajiannya, Sya'rawi menjelaskan bahwa dzikir yang menjadi inti thariqah adalah sarana untuk mengingat Allah dan menyucikan hati, sebagaimana yang diperintahkan dalam QS. Al-Ahzab [33] ayat 41: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya.”⁶

5.3.       Keselarasan Thariqah dengan Syariat

Baik ulama klasik maupun kontemporer sepakat bahwa thariqah harus selalu berjalan beriringan dengan syariat. Al-Syathibi dalam Al-I'tisham menegaskan bahwa praktik thariqah yang menyimpang dari syariat akan kehilangan esensi dan keabsahannya.⁷ Oleh karena itu, dzikir, mujahadah, dan praktik lainnya dalam thariqah harus memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Hadits.


Kesimpulan Pandangan Ulama

Pandangan ulama tentang thariqah menunjukkan bahwa jalan spiritual ini memiliki dasar yang kuat dalam Islam dan memainkan peran penting dalam membentuk akhlak mulia serta meningkatkan kesadaran ruhani. Dengan tetap menjunjung tinggi syariat, thariqah dapat menjadi sarana efektif untuk mencapai hubungan yang lebih dekat dengan Allah. Para ulama juga mengingatkan agar umat Islam senantiasa kritis terhadap praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam yang autentik.


Catatan Kaki:

[1]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 45.

[2]                Ibid., jil. 4, hlm. 62.

[3]                Abu al-Qasim Al-Junaid, dikutip dalam Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 50.

[4]                Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarij al-Salikin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), jil. 2, hlm. 110.

[5]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1984), hlm. 140.

[6]                Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir al-Sya'rawi (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1997), jil. 7, hlm. 250.

[7]                Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I'tisham (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 124.


6.           Jenis-Jenis Tarekat

6.1.       Tarekat-Tarekat Terkenal dalam Islam

Tarekat adalah bentuk praktik thariqah yang terorganisir, di mana pengikutnya mengikuti metode spiritual tertentu yang diajarkan oleh seorang pendiri atau mursyid (pembimbing spiritual). Dalam sejarah Islam, tarekat-tarekat ini berkembang pesat pada abad ke-10 hingga ke-13 M, terutama di dunia Islam bagian Timur dan Barat. Berikut adalah beberapa tarekat yang paling dikenal dalam dunia Islam:

1)                  Tarekat Qadiriyah

Didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (1077–1166 M), tarekat ini menekankan pentingnya tawakal, dzikir, dan keikhlasan dalam ibadah. Tarekat Qadiriyah dikenal karena ajarannya yang menekankan kepatuhan penuh kepada syariat dan praktik dzikir harian yang intensif. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Tariq al-Haqq menyebutkan bahwa jalan spiritual yang benar harus seimbang antara amal lahiriah dan batiniah.¹

2)                  Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat ini didirikan oleh Syekh Bahauddin Naqsyaband (1318–1389 M) di Bukhara. Ciri khas tarekat ini adalah dzikir khafi (dzikir yang dilakukan secara diam-diam) dan fokus pada kesadaran penuh terhadap Allah dalam setiap aktivitas sehari-hari. Tarekat ini juga dikenal dengan prinsip “khalwat dar anjuman” (kesendirian di tengah keramaian), yang menekankan pentingnya mencapai konsentrasi spiritual bahkan dalam kehidupan sosial.²

3)                  Tarekat Syadziliyah

Didirikan oleh Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili (1196–1258 M) di Afrika Utara, tarekat ini menekankan dzikir lisan dan hati, serta menolak zuhud ekstrem. Dalam kitab Hizb al-Bahr, Syekh Asy-Syadzili mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual, serta keikhlasan dalam beramal.³

4)                  Tarekat Rifa’iyah

Didirikan oleh Syekh Ahmad Ar-Rifa’i (1106–1182 M), tarekat ini dikenal dengan amalannya yang penuh rasa takut kepada Allah (khasyah), kerendahan hati, dan pelayanan kepada masyarakat. Praktik dzikir dan doa kolektif menjadi salah satu ciri khas tarekat ini.⁴

5)                  Tarekat Tijaniyah

Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad at-Tijani (1737–1815 M) di Aljazair. Berbeda dengan tarekat lainnya, Tijaniyah menekankan pada dzikir yang diambil langsung dari Nabi Muhammad Saw melalui ilham spiritual. Salah satu praktik khasnya adalah wird (dzikir khusus) yang harus dilakukan setiap hari.⁵

6.2.       Batasan dan Prinsip dalam Tarekat

Para ulama menekankan bahwa tarekat yang benar harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip syariat Islam. Dalam Al-I’tisham, Imam Asy-Syathibi memperingatkan bahwa tarekat yang menyimpang dari syariat tidak dapat dianggap sebagai bagian dari Islam.⁶ Praktik dzikir, mujahadah, atau ibadah lain dalam tarekat harus memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, mursyid sebagai pembimbing tarekat memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa amalan dalam tarekatnya tidak keluar dari batas-batas syariat.⁷

6.3.       Kontribusi Tarekat dalam Kehidupan Sosial

Selain berperan sebagai sarana spiritual, tarekat juga memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan sosial. Banyak tarekat, seperti Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, terlibat dalam kegiatan dakwah, pendidikan, dan filantropi. Di dunia Islam, tarekat sering menjadi pusat pendidikan agama, tempat para pengikutnya mempelajari Al-Qur’an, Hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya.⁸


Kesimpulan

Tarekat-tarekat dalam Islam adalah manifestasi praktis dari thariqah, yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikir, mujahadah, dan pembimbingan spiritual. Dengan catatan bahwa tarekat harus selalu sesuai dengan syariat, praktik ini dapat menjadi sarana efektif untuk meningkatkan tazkiyah al-nafs dan menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat.


Catatan Kaki:

[1]                Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Tariq al-Haqq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 56.

[2]                Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat Allam al-Ghuyub (Beirut: Dar Ihya al-Turath, 1988), hlm. 216.

[3]                Abul Hasan Asy-Syadzili, Hizb al-Bahr (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 12.

[4]                Ahmad Ar-Rifa’i, Burdah al-Tariqah al-Rifa’iyah (Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 2002), hlm. 43.

[5]                Ahmad At-Tijani, Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), jil. 1, hlm. 110.

[6]                Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I’tisham (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 156.

[7]                Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 103.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 150.


7.           Kritik dan Tantangan terhadap Thariqah

7.1.       Kritik terhadap Praktik Thariqah

Dalam sejarahnya, thariqah telah mengalami berbagai tantangan dan kritik, baik dari dalam maupun luar komunitas Islam. Salah satu kritik utama adalah adanya penyimpangan dalam beberapa tarekat yang menyimpang dari syariat Islam. Hal ini mencakup praktik-praktik yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan Hadits, seperti pengkultusan mursyid secara berlebihan, amalan dzikir dengan tata cara yang dianggap tidak sesuai dengan sunnah, atau ritual-ritual tertentu yang dianggap bid’ah.¹

Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-I’tisham menegaskan bahwa setiap ibadah, termasuk yang dilakukan dalam thariqah, harus memiliki dasar yang jelas dalam syariat. Ia mengkritik praktik-praktik yang tidak berdasarkan dalil dan menekankan pentingnya menghindari bentuk-bentuk ibadah yang berlebihan atau tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw.² Kritik ini diperkuat oleh Ibnu Taimiyyah, yang dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa menyebutkan bahwa dzikir dan ibadah yang tidak sesuai dengan sunnah adalah bentuk kesalahan yang harus dihindari.³

Kritik lain muncul dari kaum modernis yang menilai bahwa beberapa tarekat terlalu terfokus pada dimensi spiritual individu, sehingga mengabaikan aspek-aspek sosial dan politik yang relevan dalam kehidupan umat Islam. Fazlur Rahman, seorang pemikir kontemporer, menyoroti bahwa beberapa komunitas tarekat cenderung pasif dan tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat.⁴

7.2.       Tantangan Internal

Tantangan internal yang dihadapi thariqah adalah penyimpangan dalam pengamalan oleh beberapa tarekat yang berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap seluruh konsep thariqah. Beberapa mursyid yang kurang kompeten atau memiliki niat duniawi telah menyalahgunakan otoritas spiritual mereka untuk kepentingan pribadi. Dalam Risalah Al-Qusyairiyah, Abdul Karim Al-Qusyairi memperingatkan bahwa seorang mursyid harus memiliki ilmu syariat yang mendalam dan akhlak yang baik agar mampu membimbing murid-muridnya dengan benar.⁵

Tantangan lainnya adalah munculnya tarekat-tarekat baru yang kurang jelas sanad keilmuannya dan sering kali tidak memiliki koneksi dengan tradisi tasawuf yang mapan. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan umat Islam, terutama mengenai keabsahan tarekat-tarekat tersebut.⁶

7.3.       Tantangan Eksternal

Dari sisi eksternal, thariqah menghadapi tantangan dari berkembangnya ideologi modern yang materialistik dan sekularistik. Dalam masyarakat yang semakin mengedepankan logika rasional dan kebendaan, konsep spiritualitas yang ditawarkan oleh thariqah sering kali dipandang sebagai sesuatu yang usang atau tidak relevan.⁷ Selain itu, stigmatisasi terhadap tarekat yang dianggap klenik atau irasional juga menjadi tantangan besar bagi perkembangan thariqah di era modern.

Teknologi dan media sosial juga menjadi tantangan tersendiri bagi thariqah. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi alat untuk menyebarkan ajaran thariqah, tetapi di sisi lain, sering kali terjadi penyebaran informasi yang salah atau praktik-praktik yang dipublikasikan secara berlebihan sehingga mengurangi esensi spiritual dari thariqah itu sendiri.⁸

7.4.       Upaya Mengatasi Kritik dan Tantangan

Untuk menghadapi kritik dan tantangan ini, para ulama dan komunitas tarekat perlu melakukan langkah-langkah strategis, seperti:

1)                  Penguatan Pendidikan Syariat:

Semua praktik dalam thariqah harus berdasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits. Pengajaran tentang syariat Islam harus menjadi bagian integral dari pendidikan di dalam tarekat.

2)                  Reformasi Tarekat:

Tarekat harus menghindari praktik-praktik yang menyimpang dari sunnah dan memperkuat peran sosialnya di tengah masyarakat.

3)                  Penggunaan Media dengan Bijak:

Media modern dapat digunakan untuk memperkenalkan thariqah secara benar kepada masyarakat luas, dengan menekankan esensinya sebagai bagian dari ajaran Islam yang sesuai syariat.


Kesimpulan

Thariqah menghadapi berbagai kritik dan tantangan, baik internal maupun eksternal, yang memerlukan perhatian serius dari para pengikutnya. Dengan mengembalikan praktik-praktik thariqah kepada esensi Islam yang autentik dan meningkatkan peran sosial tarekat di tengah masyarakat, konsep ini dapat terus relevan sebagai jalan spiritual menuju Allah.


Catatan Kaki:

[1]                Abu Ishaq Asy-Syathibi, Al-I’tisham (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), jil. 2, hlm. 156.

[2]                Ibid., hlm. 180.

[3]                Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa (Madinah: King Fahd Complex, 1995), jil. 10, hlm. 560.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 135.

[5]                Abdul Karim Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah, 1996), hlm. 210.

[6]                Ahmad Zarruq, Qawa'id al-Tasawwuf (Kairo: Dar al-Turath, 1985), hlm. 85.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 220.

[8]                Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 65.


8.           Relevansi Thariqah dalam Kehidupan Modern

8.1.       Thariqah sebagai Sarana Penyucian Jiwa

Dalam kehidupan modern yang semakin materialistis dan serba cepat, thariqah menawarkan jalan untuk menemukan kedamaian batin dan keseimbangan spiritual. Thariqah membantu individu untuk melawan pengaruh negatif seperti kecemasan, stres, dan alienasi yang sering terjadi akibat gaya hidup modern. Konsep tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) yang menjadi inti dari thariqah memberikan kerangka kerja spiritual untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan, iri hati, dan kecintaan berlebihan terhadap dunia.¹

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa manusia yang tenggelam dalam urusan duniawi membutuhkan metode yang dapat menghubungkan kembali hati mereka kepada Allah. Thariqah, melalui dzikir, mujahadah, dan muraqabah, menjadi salah satu solusi untuk memulihkan hubungan ini.²

8.2.       Peningkatan Kesehatan Mental dan Spiritual

Penelitian modern menunjukkan bahwa praktik-praktik spiritual seperti dzikir dan meditasi dapat memberikan dampak positif pada kesehatan mental. Dzikir, yang menjadi bagian utama dari amalan thariqah, terbukti efektif dalam mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan psikologis.³ Praktik-praktik ini juga membantu individu mengembangkan mindfulness (kesadaran penuh), yang relevan dengan konsep muraqabah dalam thariqah, yaitu kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas.⁴

8.3.       Thariqah dan Penguatan Akhlak

Thariqah juga memiliki relevansi dalam membentuk akhlak mulia di era modern. Dalam konteks ini, thariqah tidak hanya menjadi sarana individual untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai alat untuk memperbaiki hubungan sosial. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Futuh al-Ghaib menekankan bahwa pengikut thariqah harus menjadikan akhlak Rasulullah Saw sebagai teladan dalam berinteraksi dengan sesama manusia.⁵ Prinsip-prinsip seperti kejujuran, kasih sayang, dan kerendahan hati yang diajarkan dalam tarekat relevan untuk memperbaiki etika sosial di tengah krisis moralitas yang melanda dunia modern.

8.4.       Peran Sosial dan Dakwah Tarekat

Tarekat dalam thariqah memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pembangunan sosial dan dakwah. Banyak tarekat, seperti Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, memiliki sejarah panjang dalam mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dan lembaga sosial lainnya. Dalam konteks modern, tarekat dapat memainkan peran strategis dalam mengatasi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan disintegrasi komunitas.⁶

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah, menegaskan pentingnya pengikut tarekat untuk terlibat aktif dalam masyarakat, dengan tidak meninggalkan kewajiban duniawi mereka.⁷ Ajaran ini menunjukkan bahwa thariqah tidak hanya berfokus pada aspek spiritual individu, tetapi juga memberikan panduan untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

8.5.       Thariqah di Era Teknologi dan Globalisasi

Di era digital, thariqah dapat menggunakan teknologi sebagai alat untuk menyebarkan ajarannya secara luas. Media sosial, misalnya, dapat menjadi sarana untuk memberikan pengajaran dzikir, kajian kitab, dan motivasi spiritual. Namun, penggunaan teknologi ini harus tetap dalam koridor syariat dan menghindari ekses yang dapat merusak esensi spiritual thariqah.⁸

Seyyed Hossein Nasr dalam The Heart of Islam menyoroti bahwa spiritualitas Islam, termasuk praktik thariqah, tetap relevan untuk menjawab kebutuhan manusia di tengah kemajuan teknologi. Ia menyatakan bahwa meskipun teknologi menawarkan kemudahan material, manusia tetap membutuhkan panduan spiritual untuk mengatasi kekosongan makna dalam hidup mereka.⁹


Kesimpulan

Thariqah memiliki relevansi yang signifikan dalam kehidupan modern sebagai sarana penyucian jiwa, peningkatan kesehatan mental, penguatan akhlak, dan kontribusi sosial. Dengan tetap berlandaskan pada syariat, thariqah dapat menjadi solusi spiritual yang adaptif untuk menjawab tantangan zaman. Praktik-praktik dalam thariqah, seperti dzikir dan muraqabah, tidak hanya membantu individu menemukan kedamaian batin, tetapi juga memberikan panduan moral untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis dan bermartabat.


Catatan Kaki:

[1]                Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Turath, 1988), jil. 4, hlm. 123.

[2]                Ibid., jil. 3, hlm. 56.

[3]                Harold G. Koenig, Religion and Mental Health: Research and Clinical Applications (San Diego: Academic Press, 2018), hlm. 105.

[4]                Ahmad Al-Kandahlawi, Hayatus Sahabah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jil. 1, hlm. 75.

[5]                Abdul Qadir Al-Jailani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hlm. 56.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 140.

[7]                Abul Hasan Asy-Syadzili, Hizb al-Bahr (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 23.

[8]                Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 120.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperOne, 2004), hlm. 110.


9.           Kesimpulan

Thariqah sebagai jalan spiritual dalam Islam memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur'an dan Hadits serta diperkaya oleh penjelasan para ulama klasik dan kontemporer. Dari kajian ini, dapat disimpulkan bahwa thariqah merupakan metode untuk mencapai tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dan ma'rifah (pengenalan mendalam kepada Allah), yang berfungsi untuk membentuk kepribadian Muslim yang kokoh dalam dimensi spiritual dan moral.

9.1.       Landasan Thariqah dalam Al-Qur'an dan Hadits

Al-Qur'an memberikan arahan untuk mencari jalan mendekat kepada Allah, sebagaimana dalam QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35 dan QS. Al-Ankabut [29] ayat 69. Ayat-ayat ini menekankan pentingnya mujahadah, dzikir, dan tawakal sebagai komponen utama dalam perjalanan spiritual seorang Muslim.¹ Penjelasan para ulama tafsir, seperti Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir, memperkuat pemahaman bahwa thariqah adalah bagian dari upaya manusia untuk mencapai petunjuk Allah melalui amal ibadah yang tulus.²

Hadits-hadits Nabi Saw, seperti Hadits Jibril yang menjelaskan konsep ihsan, menjadi fondasi penting bagi praktik thariqah.³ Ihsan, yang didefinisikan sebagai kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi hamba-Nya, menjadi inti dari perjalanan spiritual yang diajarkan oleh tarekat. Penjelasan para ulama hadits seperti Imam An-Nawawi dan Al-Ghazali menunjukkan bahwa thariqah bukanlah jalan yang terpisah dari syariat, melainkan implementasi syariat dalam aspek batiniah.⁴

9.2.       Peran dan Tantangan Thariqah

Thariqah memainkan peran penting dalam pembentukan akhlak dan penyucian jiwa, yang sangat relevan di era modern. Namun, thariqah juga menghadapi tantangan besar, termasuk penyimpangan dalam praktik beberapa tarekat, stigmatisasi terhadap tarekat tertentu, dan pengaruh ideologi modern yang materialistis. Para ulama seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Syekh Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya menjaga keselarasan antara thariqah dan syariat untuk mencegah penyimpangan.⁵

9.3.       Relevansi Thariqah dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks modern, thariqah memiliki relevansi besar dalam menjawab tantangan spiritual dan sosial. Praktik dzikir dan muhasabah, yang menjadi bagian inti dari thariqah, dapat membantu individu mengatasi tekanan hidup modern, seperti stres dan kekosongan spiritual.⁶ Selain itu, tarekat yang terorganisasi memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pembangunan masyarakat melalui dakwah, pendidikan, dan layanan sosial.⁷


Penutup

Thariqah adalah manifestasi nyata dari ajaran Islam yang mencakup dimensi spiritual dan sosial. Dengan berlandaskan pada Al-Qur'an dan Hadits, serta dibimbing oleh mursyid yang kompeten, thariqah dapat menjadi sarana yang efektif untuk meningkatkan kualitas spiritual individu dan membangun masyarakat yang lebih harmonis. Praktik thariqah yang sesuai dengan syariat tidak hanya membawa manfaat bagi pelakunya, tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi komunitas yang lebih luas. Oleh karena itu, thariqah tetap relevan sebagai salah satu aspek penting dalam perjalanan hidup seorang Muslim, bahkan di tengah tantangan zaman modern.


Catatan Kaki:

[1]                Al-Qur’an, QS. Al-Ma’idah [05] ayat 35; QS. Al-Ankabut [29] ayat 69.

[2]                Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1985), jil. 3, hlm. 232; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), jil. 4, hlm. 567.

[3]                Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 50.

[4]                An-Nawawi, Riyadhus Shalihin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), hlm. 57; Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Kairo: Dar al-Turath, 1988), jil. 3, hlm. 56.

[5]                Abdul Qadir Al-Jailani, Futuh al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hlm. 56; Yusuf Al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1984), hlm. 140.

[6]                Harold G. Koenig, Religion and Mental Health: Research and Clinical Applications (San Diego: Academic Press, 2018), hlm. 105.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 140.


Daftar Pustaka


Abdul Qadir Al-Jailani. (1999). Futuh al-Ghaib. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Abul Hasan Asy-Syadzili. (1985). Hizb al-Bahr. Beirut: Dar al-Fikr.

Acikgenc, A. (1996). Islamic Science: Towards a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Ghazali, A. H. (1988). Ihya Ulumuddin (Vol. 3–4). Kairo: Dar al-Turath.

Al-Kandahlawi, A. (1995). Hayatus Sahabah (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qaradawi, Y. (1984). Al-Sahwah al-Islamiyyah. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qusyairi, A. K. (1996). Risalah Al-Qusyairiyah. Kairo: Maktabah Al-Azhariyah.

Al-Qur’an. (n.d.). Al-Qur'an Al-Karim.

Al-Qurthubi, M. A. A. (1985). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Vol. 3). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.

An-Nawawi, Y. (1998). Riyadhus Shalihin. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Ibnu Katsir, I. U. (1999). Tafsir al-Qur'an al-Azim (Vol. 4). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Ibnu Taimiyyah. (1995). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 10). Madinah: King Fahd Complex.

Koenig, H. G. (2018). Religion and Mental Health: Research and Clinical Applications. San Diego: Academic Press.

Nasr, S. H. (2004). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperOne.

Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi. (1988). Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat Allam al-Ghuyub. Beirut: Dar Ihya al-Turath.

Tirmidzi, A. I. M. (1995). Jami’ al-Tirmidzi.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar