Pemikiran Thomas Hobbes
Negara, Kekuasaan, dan Kontrak Sosial
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap
pemikiran politik Thomas Hobbes sebagaimana tertuang dalam karya monumentalnya Leviathan
(1651). Melalui pendekatan historis-filosofis, artikel ini menelusuri fondasi
materialisme dan mekanisme dalam filsafat Hobbes, antropologi filosofis yang
menekankan ketakutan dan naluri bertahan hidup manusia, serta formulasi
rasional tentang kontrak sosial sebagai dasar pembentukan negara. Dalam
kerangka Hobbesian, negara hadir sebagai Leviathan—entitas buatan dengan
otoritas absolut yang lahir dari kesepakatan rasional individu demi menghindari
kekacauan dalam keadaan alamiah. Artikel ini juga mengulas bagaimana Hobbes
menundukkan peran agama di bawah otoritas negara demi menjamin stabilitas
sosial-politik, serta menganalisis pengaruh jangka panjang pemikirannya
terhadap teori kontrak sosial, positivisme hukum, dan teori hubungan
internasional realis. Selain itu, artikel ini mengkaji berbagai kritik terhadap
pandangan Hobbes, termasuk absolutisme, reduksionisme antropologis, serta
implikasi etis dan teologis yang kontroversial. Pada akhirnya, artikel ini
menegaskan relevansi pemikiran Hobbes dalam menjelaskan dinamika kekuasaan,
legitimasi, dan keamanan dalam masyarakat modern yang kompleks dan penuh
ketidakpastian.
Kata Kunci: Thomas Hobbes; Leviathan; kontrak sosial;
kedaulatan; absolutisme; negara modern; filsafat politik; hukum positif;
otoritas; hubungan internasional; teologi politik.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Pemikiran Thomas Hobbes dalam
Leviathan
1.
Pendahuluan
Pada abad ke-17,
Eropa dilanda gejolak intelektual, politik, dan religius yang luar biasa. Di
tengah revolusi ilmiah dan pertikaian antara kekuasaan monarki serta munculnya
semangat rasionalisme, muncul seorang filsuf Inggris bernama Thomas
Hobbes yang memberikan kontribusi besar terhadap fondasi filsafat
politik modern. Karyanya yang paling terkenal, Leviathan
(1651), menjadi salah satu teks klasik yang mendefinisikan hubungan antara
manusia, negara, dan kekuasaan dalam kerangka kontrak sosial dan kedaulatan
absolut.
Hobbes menulis dalam
konteks Perang Saudara Inggris
(1642–1651), di mana kekacauan politik dan konflik antara raja dan parlemen
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketakutan sosial. Ia menyaksikan secara langsung
bagaimana ketidakteraturan politik dapat meruntuhkan tatanan sosial dan
menciptakan kekerasan tanpa batas. Dari pengalaman historis inilah Hobbes
membangun teorinya tentang “keadaan alamiah” (state of nature)
yang digambarkannya sebagai kondisi di mana tidak ada hukum, tidak ada
otoritas, dan setiap manusia berada dalam keadaan perang terhadap yang lain: bellum
omnium contra omnes — perang semua melawan semua.¹
Filsafat politik
Hobbes ditopang oleh pandangan metafisika dan epistemologi materialistik
yang unik pada masanya. Ia berpandangan bahwa semua realitas adalah tubuh atau
materi, termasuk manusia dan pikirannya. Dalam kerangka ini, Hobbes menolak
dualisme spiritual dan menekankan bahwa kehidupan manusia tunduk pada hukum
gerak dan mekanika yang dapat dipahami secara rasional.² Oleh karena itu, bagi
Hobbes, masyarakat dan negara tidak lain adalah hasil dari konstruksi rasional
demi menciptakan ketertiban dan mencegah kehancuran diri.³
Konsep kontrak
sosial yang dirumuskan Hobbes menjadi titik tolak penting dalam
sejarah pemikiran politik modern. Dalam pandangannya, individu secara sukarela
menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada penguasa tunggal yang kuat, yaitu Leviathan,
demi keamanan bersama dan stabilitas sosial.⁴ Meskipun teori ini mengandung unsur
absolutisme, Hobbes menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan negara bersumber dari
kesepakatan
rasional antarmanusia, bukan dari hak ilahi raja atau keturunan
aristokratis.⁵
Kajian terhadap
pemikiran Hobbes tidak hanya penting dalam konteks sejarah intelektual, tetapi
juga relevan dalam menganalisis dilema-dilema kekuasaan dan legitimasi dalam
dunia kontemporer. Gagasan tentang otoritas yang lahir dari ketakutan,
kebutuhan akan keamanan, serta pentingnya tatanan sipil masih menjadi tema
penting dalam filsafat politik dan hukum internasional hingga kini. Oleh karena
itu, pembahasan ini bertujuan untuk menyajikan telaah menyeluruh atas pemikiran
Thomas Hobbes, dengan titik fokus pada Leviathan, serta membedah pengaruh,
kritik, dan relevansi pemikirannya dalam kerangka kontrak sosial dan teori
negara modern.
Catatan Kaki
[1]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 88.
[2]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 13–14.
[3]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 17.
[4]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 293–295.
[5]
Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of
Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 126.
2.
Biografi Intelektual Thomas Hobbes
Thomas Hobbes
dilahirkan pada 5 April 1588 di Westport,
Wiltshire, Inggris, dalam suasana krisis nasional. Ia sendiri pernah menyebut
bahwa dirinya “lahir kembar dengan ketakutan,” mengacu pada invasi
Armada Spanyol yang hampir menyerbu Inggris pada tahun itu.¹ Kalimat tersebut
kemudian menjadi simbol naratif penting dalam menggambarkan nuansa intelektual
Hobbes yang kental dengan pesimisme terhadap kondisi manusia dan ketidakpastian
politik.
Hobbes menempuh
pendidikan di Magdalen Hall, Oxford (kini
Magdalen College), tempat ia mempelajari trivium klasik (gramatika, logika,
retorika), namun kemudian menyatakan kekecewaannya terhadap pendidikan
skolastik yang menurutnya membingungkan dan tidak ilmiah.² Pada tahun 1608,
Hobbes menjadi tutor bagi William Cavendish, putra bangsawan Devonshire, dan
hubungan ini membawanya pada kesempatan intelektual besar: perjalanan panjang
ke benua Eropa yang mempertemukannya dengan para pemikir besar seperti Galileo
Galilei dan René Descartes.³
Perjumpaan Hobbes
dengan filsafat alam Galileo dan metode matematika Descartes sangat memengaruhi
kerangka berpikirnya. Ia mengembangkan suatu sistem pemikiran yang sangat
mekanistik—ia menganggap dunia sebagai mesin yang tunduk pada hukum gerak.⁴
Gagasan ini kemudian menjadi fondasi dari De Corpore (1655), salah satu
bagian dari proyek filsafat sistematikanya yang luas, selain De
Homine dan De Cive. Namun, karya terpenting
dan paling berpengaruh Hobbes tetaplah Leviathan (1651), yang ditulis
ketika ia mengasingkan diri ke Prancis selama Perang Saudara Inggris.
Selama pengasingan
ini, Hobbes menyaksikan ketegangan antara monarki dan parlemen yang mengarah
pada eksekusi Raja Charles I. Ia menyimpulkan bahwa akar dari kekacauan politik
tersebut adalah tidak adanya otoritas absolut yang mampu menjaga ketertiban
sosial.⁵ Inilah yang menjadi dasar teorinya tentang negara sebagai Leviathan,
entitas artifisial yang diciptakan melalui kontrak sosial dan diberi kuasa
mutlak demi mempertahankan perdamaian dan mencegah kekacauan.
Hobbes kembali ke
Inggris pada tahun 1651 setelah penerbitan Leviathan, tetapi pemikirannya
ditanggapi dengan reaksi keras, terutama karena pandangannya tentang agama dan
kekuasaan negara. Ia dituduh sebagai ateis oleh sebagian kalangan rohaniwan,
meskipun Hobbes sendiri menyangkalnya.⁶ Meskipun demikian, ia tetap menjadi
salah satu filsuf politik paling berpengaruh dalam sejarah, karena berhasil
menggeser fondasi legitimasi kekuasaan dari teologi dan tradisi aristokratis
menuju basis rasionalitas individual dan kontrak sosial.
Di masa senja,
Hobbes masih aktif menulis, bahkan menerjemahkan karya-karya klasik seperti Iliad
dan Odyssey
ke dalam bahasa Inggris. Ia wafat pada 4 Desember 1679 di Hardwick
Hall pada usia 91 tahun, meninggalkan warisan filsafat yang monumental,
kontroversial, dan terus diperbincangkan hingga hari ini.⁷
Catatan Kaki
[1]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 1.
[2]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 3–4.
[3]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 145.
[4]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 9–11.
[5]
Noel Malcolm, Aspects of Hobbes (Oxford: Oxford University
Press, 2002), 45.
[6]
A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on
Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992),
188–189.
[7]
Sorell, Hobbes, 132.
3.
Filsafat Dasar Hobbes: Materialisme dan
Mekanisme
Filsafat politik
Thomas Hobbes tidak dapat dipahami secara utuh tanpa terlebih dahulu menelaah
fondasi ontologis dan epistemologisnya, yakni materialisme dan mekanisme.
Pandangan dasar Hobbes menyatakan bahwa seluruh realitas—baik alam semesta,
tubuh manusia, maupun pikiran—terdiri atas materi yang bergerak dalam
ruang. Dalam konteks ini, Hobbes menolak secara tegas segala bentuk dualisme
spiritual seperti yang diajukan oleh René Descartes, dan sebaliknya menyatakan
bahwa tidak ada substansi non-material.¹
Hobbes memandang
dunia sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum gerak dan sebab-akibat
mekanistik. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh karya ilmuwan seperti Galileo
Galilei, yang melihat bahwa alam semesta bekerja seperti mesin
matematis.² Dengan demikian, menurut Hobbes, segala fenomena di dunia, termasuk
tindakan manusia dan proses berpikir, merupakan hasil interaksi mekanis antar benda-benda
fisik.³ Ia menyatakan bahwa “tidak ada konsepsi dalam pikiran manusia, yang
tidak lebih dahulu, baik seluruhnya maupun sebagian, pernah terdapat dalam
indera.”⁴
Materialisme Hobbes
juga membawa implikasi besar dalam teori psikologi manusia. Ia menolak
pandangan bahwa manusia memiliki jiwa spiritual yang independen. Sebaliknya, ia
menggambarkan manusia sebagai mesin biologis yang digerakkan
oleh rangsangan eksternal dan dorongan internal, seperti nafsu, ketakutan, dan
hasrat untuk mempertahankan diri.⁵ Menurut Hobbes, tindakan manusia selalu
diarahkan untuk mencari kenikmatan dan menghindari penderitaan, suatu prinsip
yang secara mekanis menggerakkan kehendak individu.⁶
Dalam karyanya De
Corpore dan Leviathan, Hobbes merinci filsafat sistematikanya
dalam tiga tahap: (1) ontologi (tentang tubuh), (2) psikologi (tentang
manusia), dan (3) politik (tentang masyarakat dan negara).⁷ Negara atau commonwealth
dalam hal ini adalah perpanjangan logis dari tubuh manusia, yakni konstruksi
buatan manusia yang memiliki sistem mekanik tersendiri dan tunduk pada
prinsip-prinsip rasional demi menjamin keteraturan sosial.
Konsekuensi penting
dari pendekatan ini adalah penolakan Hobbes terhadap klaim-klaim
metafisik dan normatif dalam politik. Dalam pandangannya,
konsep-konsep seperti “hak ilahi raja,” “keadilan alamiah,” atau
“tujuan moral negara” adalah produk dari ilusi metafisik yang tidak
memiliki dasar rasional dalam hukum gerak dan materi.⁸ Oleh karena itu,
filsafat politik Hobbes meletakkan landasan baru: kekuasaan politik harus
dibangun di atas dasar empiris, rasional, dan mekanistik demi menghindari
kekacauan serta mempertahankan stabilitas sosial.
Dengan demikian,
materialisme dan mekanisme Hobbes tidak hanya menjelaskan bagaimana alam
semesta dan manusia bekerja, tetapi juga bagaimana negara harus dibentuk,
dipelihara, dan dijalankan. Melalui pendekatan ini, Hobbes memperkenalkan suatu
bentuk positivisme
politik awal, yang akan memberi pengaruh besar terhadap
perkembangan teori hukum, sosiologi, dan filsafat politik modern.
Catatan Kaki
[1]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 21–24.
[2]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 162.
[3]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 19.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 13.
[5]
A. P. Martinich, Hobbes: A Biography (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 190–191.
[6]
Sorell, Hobbes, 37.
[7]
Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of
Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 55.
[8]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 36–38.
4.
Pandangan tentang Manusia (Antropologi
Filosofis)
Pandangan Thomas
Hobbes mengenai manusia merupakan landasan utama dari filsafat politiknya,
khususnya dalam membangun teori kontrak sosial dan legitimasi negara. Dalam Leviathan,
Hobbes memulai refleksi politiknya bukan dari asumsi moral atau teologis,
melainkan dari analisis rasional dan empiris atas kondisi
manusia secara alamiah.¹
Hobbes memandang
manusia sebagai makhluk materialistik dan mekanistik, yang bergerak berdasarkan
dorongan-dorongan internal untuk mempertahankan hidup dan memenuhi keinginan.
Dalam kerangka ini, manusia adalah entitas yang digerakkan oleh hasrat (desire)
dan ketakutan (fear), terutama ketakutan akan kematian yang kejam.² Karena
setiap manusia memiliki kemampuan relatif yang setara—baik secara fisik maupun
intelektual—tidak ada jaminan keamanan dalam interaksi sosial tanpa otoritas
eksternal. Akibatnya, dalam kondisi yang disebut Hobbes sebagai keadaan
alamiah (state of nature), setiap individu menjadi ancaman
potensial bagi yang lain.³
Dalam kondisi
alamiah ini, tidak terdapat hukum, institusi, atau moralitas objektif yang
mengatur. Hobbes menggambarkannya sebagai situasi di mana "tidak ada
industri... tidak ada seni... tidak ada masyarakat; dan yang terburuk dari
semuanya, kehidupan manusia adalah sepi, miskin, kotor, brutal, dan pendek."⁴
Pernyataan ini menegaskan pandangan pesimistis dan realistis Hobbes
tentang kodrat manusia ketika berada di luar tatanan sosial yang diatur oleh
negara. Pandangan ini dikenal dalam adagium terkenalnya: Homo homini lupus — “manusia adalah
serigala bagi sesamanya.”
Meski terdengar
nihilistik, Hobbes tidak menafikan bahwa manusia memiliki rasionalitas.
Justru karena manusia adalah makhluk rasional, mereka mampu menyadari bahwa
keadaan perang semua melawan semua akan merugikan semua pihak dalam jangka
panjang. Oleh karena itu, rasio manusia mendorong mereka untuk mencari cara
keluar dari kondisi tersebut dengan menyetujui perjanjian sosial (social contract)
yang menjadi dasar pembentukan negara.⁵ Dengan kata lain, bagi Hobbes, akal
budi bukanlah sarana untuk membangun moralitas universal, melainkan alat untuk
menghindari penderitaan dan menjaga keberlangsungan hidup individu.
Antropologi
filosofis Hobbes juga menolak klaim bahwa manusia secara alamiah adalah makhluk
sosial (zoon politikon), seperti yang diyakini Aristoteles. Sebaliknya, Hobbes
menegaskan bahwa masyarakat adalah produk artifisial,
bukan sesuatu yang tumbuh secara alamiah dari kodrat manusia.⁶ Manusia
bergabung dalam masyarakat bukan karena cinta atau solidaritas, tetapi karena
ketakutan akan kematian dan keinginan akan keamanan.⁷ Oleh karena itu, motif
dasar pembentukan negara adalah egoisme yang rasional, bukan
etika altruistik atau naluri sosial.
Pandangan ini
memberikan kontribusi besar dalam memisahkan filsafat politik modern dari
akar-akar teologis dan skolastik Abad Pertengahan. Dengan menjadikan manusia
sebagai pusat analisis politik, Hobbes membuka jalan bagi pendekatan individualistis
dan sekular dalam teori negara dan hukum.⁸ Namun demikian,
antropologi Hobbes tetap menjadi subjek kontroversial, terutama karena dianggap
mengabaikan dimensi moral, spiritual, dan relasional manusia yang tidak
sepenuhnya dapat dijelaskan oleh mekanisme keinginan dan ketakutan.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 212.
[2]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 45–47.
[3]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 53–54.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 89.
[5]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 63.
[6]
Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of
Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 112–113.
[7]
A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on
Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 156.
[8]
C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 17–18.
5.
Kontrak Sosial dan Teori Negara dalam Leviathan
Salah satu
kontribusi paling monumental Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) adalah
perumusannya tentang kontrak sosial sebagai dasar
rasional dan filosofis dari pembentukan negara. Gagasan ini menjadi respons
langsung terhadap kondisi alamiah (state of nature), yang dalam
pandangan Hobbes merupakan keadaan tanpa hukum, otoritas, atau institusi
sosial, sehingga menimbulkan kekacauan dan perang abadi antara individu.¹
Hobbes menggambarkan
kondisi alamiah tersebut sebagai lingkungan yang berbahaya, di mana setiap
orang hidup dalam ketakutan terus-menerus dan memiliki hak penuh untuk
melakukan apa pun demi bertahan hidup. Dalam keadaan ini, “tidak ada tempat
untuk kerja, karena hasilnya tidak pasti... tidak ada seni; tidak ada masyarakat;
dan yang terburuk, kehidupan manusia itu sendiri adalah sepi, miskin, kotor,
brutal, dan pendek.”²
Untuk keluar dari
kondisi ini, manusia yang rasional menyadari perlunya sebuah perjanjian
bersama, di mana mereka setuju untuk saling menyerahkan sebagian
hak-hak individualnya kepada suatu otoritas pusat demi mendapatkan keamanan dan
perdamaian. Kontrak sosial ini bukan antara rakyat dan penguasa, tetapi antar
individu itu sendiri, yang bersama-sama menciptakan otoritas politik melalui
kesepakatan bersama.³ Akibat dari kontrak ini, muncul entitas politik yang
disebut Hobbes sebagai Leviathan, yang merupakan
personifikasi negara sebagai makhluk buatan yang memiliki kewenangan mutlak
untuk menjaga hukum dan ketertiban.⁴
Kontrak ini bersifat
irrevocable,
artinya tidak dapat ditarik kembali selama Leviathan memenuhi peran dasarnya,
yakni melindungi kehidupan warganya.⁵ Hobbes menegaskan bahwa kedaulatan negara
yang dibentuk melalui kontrak ini harus bersifat absolut
dan tak terbagi, karena setiap bentuk pembagian kekuasaan akan
membawa kita kembali ke keadaan alamiah yang kacau.⁶ Dalam hal ini, Hobbes
mengkritik sistem pemerintahan campuran maupun demokrasi langsung yang
menurutnya rentan terhadap perpecahan dan konflik internal.
Sumber legitimasi
negara dalam pemikiran Hobbes bukan berasal dari hak ilahi, warisan
aristokratik, atau kehendak Tuhan, melainkan dari keputusan
rasional individu-individu yang menginginkan keamanan. Inilah
yang membedakan Hobbes dari pemikir politik terdahulu, seperti Plato atau Aquinas,
yang mengaitkan negara dengan tatanan moral atau teleologis.⁷ Dengan pendekatan
ini, Hobbes menjadi pelopor penting dalam sekularisasi teori politik
modern.
Dalam Leviathan,
negara dipahami sebagai artifisial body politic, yakni
sebuah struktur buatan manusia yang bertindak layaknya makhluk hidup: memiliki
kepala (penguasa), anggota tubuh (rakyat), dan hukum sebagai urat syaraf yang
menghubungkan semua bagian.⁸ Struktur ini dirancang untuk mengganti
ketidakpastian dengan hukum, serta mengganti dominasi kekuatan
individual dengan otoritas yang sah dan kolektif.
Namun, meskipun
otoritas Leviathan bersifat mutlak, Hobbes memberikan satu batasan fundamental:
jika
negara gagal melindungi kehidupan rakyatnya, maka kontrak
menjadi batal, dan rakyat memiliki hak untuk melawan atau melarikan diri.⁹ Ini
menjadi celah kecil dalam absolutisme Hobbes yang kerap diabaikan, namun
penting dalam membaca ulang pemikirannya dalam konteks teori politik
kontemporer.
Dengan demikian,
teori kontrak sosial Hobbes bukanlah sekadar legitimasi terhadap kekuasaan
absolut, tetapi lebih dari itu, merupakan kerangka konseptual yang mengandaikan
perlunya
otoritas sebagai produk rasional manusia untuk menghindari kehancuran kolektif.
Dalam konteks modern, teori ini tetap relevan dalam perdebatan mengenai
dasar-dasar negara hukum, legitimasi kekuasaan, dan relasi antara individu dan
otoritas.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 214.
[2]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 89.
[3]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 71.
[4]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 58.
[5]
Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of
Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 145.
[6]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 51.
[7]
A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on
Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 101.
[8]
Hobbes, Leviathan, 9.
[9]
Gauthier, The Logic of Leviathan, 112.
6.
Otoritas dan Kedaulatan
Dalam kerangka
pemikiran Thomas Hobbes, otoritas dan kedaulatan
merupakan dua pilar fundamental yang menopang bangunan negara sebagai hasil
dari kontrak sosial. Konsep ini mendapatkan pemaparan sistematis dalam Leviathan
(1651), di mana Hobbes menegaskan bahwa tanpa otoritas yang sah dan kedaulatan
yang tak terbagi, masyarakat akan kembali terjerumus dalam kekacauan yang
destruktif sebagaimana dalam keadaan alamiah.¹
6.1.
Otoritas sebagai Legitimasi Rasional
Hobbes membedakan
antara kekuasaan
de facto dan otoritas de jure. Kekuasaan
mungkin dimiliki oleh siapa saja yang cukup kuat, tetapi otoritas
adalah kekuasaan yang sah, yaitu yang diperoleh melalui persetujuan para
individu dalam kontrak sosial. Dalam pandangan Hobbes, penguasa (baik itu
monarki, aristokrasi, atau perwakilan) memperoleh otoritas
penuh karena merupakan perwujudan kehendak kolektif rakyat.² Ia
menulis bahwa “otoritas tidak berasal dari kekuatan penguasa itu sendiri,
tetapi dari penyerahan kehendak dan kekuasaan semua individu kepada satu tubuh
politik.”³
Otoritas ini
mencakup hak untuk membuat hukum, menafsirkan hukum, dan menegakkan hukum.
Karena itu, Hobbes menyatakan bahwa tidak mungkin ada hukum yang sah tanpa negara
sebagai otoritas puncak.⁴ Dalam posisi ini, negara tidak tunduk pada hukum
positif karena negara sendiri adalah sumber hukum. Prinsip ini menjadikan
Hobbes sebagai pendahulu dari positivisme hukum modern,
sebagaimana dikembangkan kemudian oleh John Austin dan Hans Kelsen.⁵
6.2.
Kedaulatan sebagai Keutuhan dan Absolutisme
Menurut Hobbes, kedaulatan
(sovereignty) adalah atribut dari otoritas tertinggi dalam negara. Ia harus
bersifat:
·
Absolut
(tak terbatas)
·
Tak
terbagi (tidak tersebar pada beberapa institusi)
·
Permanen
(tidak bisa dicabut oleh rakyat setelah kontrak dibuat)
Bagi Hobbes,
pembagian kekuasaan adalah akar dari instabilitas dan konflik sipil,
seperti yang disaksikannya dalam Revolusi Inggris.⁶ Oleh karena itu, semua
fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif, bahkan keagamaan harus berpusat pada
Leviathan.⁷ Ia menolak model pemerintahan campuran (mixed government) yang
sebelumnya banyak dipromosikan dalam tradisi republik klasik.
Kedaulatan menurut
Hobbes juga mengandung otoritas tertinggi atas agama,
karena dua sumber otoritas (sekuler dan spiritual) hanya akan menimbulkan
perpecahan. Oleh sebab itu, ia mengusulkan bahwa negara harus memiliki
kekuasaan atas gereja, bahkan dalam hal penafsiran doktrin agama.⁸ Dalam hal
ini, Hobbes mengukuhkan negara sebagai “jiwa politik” yang tidak hanya
melindungi tubuh warga negara, tetapi juga mengarahkan kehidupan sosial dan
keyakinan mereka untuk mencegah konflik.
6.3.
Batasan Minimal Kedaulatan
Meskipun Hobbes
mendukung absolutisme, ia tidak menganjurkan tirani. Ia menekankan bahwa
satu-satunya kewajiban utama penguasa adalah menjaga
keamanan warga negara. Jika penguasa gagal menjalankan fungsi
proteksi ini—misalnya, dengan membiarkan kekerasan tanpa perlindungan—maka
legitimasi kekuasaannya secara implisit gugur, dan
individu dapat memilih untuk melarikan diri atau menolak kepatuhan.⁹
Dengan demikian,
konsep otoritas dan kedaulatan dalam Leviathan merupakan sistem yang
dirancang untuk menyatukan kehendak individu ke dalam entitas
tunggal yang berwenang penuh, dengan satu tujuan utama: mencegah
kembalinya manusia ke dalam kekacauan dan ketakutan alamiah.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 226.
[2]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 85.
[3]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 109.
[4]
Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of
Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 137.
[5]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 78.
[6]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 61.
[7]
Hobbes, Leviathan, 113–117.
[8]
A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on
Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992),
201–203.
[9]
Gauthier, The Logic of Leviathan, 128.
7.
Agama dan Politik dalam Leviathan
Dalam Leviathan
(1651), Thomas Hobbes tidak hanya menawarkan teori politik modern yang berbasis
pada kontrak sosial dan kedaulatan absolut, tetapi juga melakukan analisis
kritis terhadap peran agama dalam kehidupan sosial dan politik.
Bagi Hobbes, agama bukanlah fondasi moral negara, melainkan potensi
ancaman terhadap stabilitas politik bila tidak berada di bawah
kendali otoritas negara.¹ Oleh karena itu, ia mengembangkan pandangan
teologis-politik yang menyatukan kekuasaan spiritual dan sekuler di tangan
negara, menjadikannya satu dari sedikit pemikir modern awal yang mencoba
menguraikan hubungan agama dan negara dalam kerangka rasional dan sekular.
7.1.
Agama sebagai Kekuatan Sosial dan Psikologis
Hobbes menyadari
bahwa agama
memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk perilaku dan kepatuhan manusia.
Ia tidak memungkiri bahwa kepercayaan terhadap makhluk gaib, rasa takut akan
kehidupan setelah mati, serta imajinasi terhadap hal-hal tak dikenal adalah
bagian dari struktur psikologis manusia.² Namun, ia juga menilai bahwa agama
sering dimanipulasi oleh institusi keagamaan untuk menantang otoritas politik.
Dalam Leviathan,
ia menyatakan bahwa banyak ajaran keagamaan yang bertentangan dengan hukum
negara justru mengundang kekacauan sipil.³
Oleh karena itu,
Hobbes berupaya menundukkan agama di bawah yurisdiksi negara.
Ia berargumen bahwa hanya negara yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan
ajaran agama yang sah dalam wilayahnya, termasuk doktrin-doktrin Alkitab. Ia
menulis: “Interpretation of all Scripture is subject to the civil sovereign.”⁴
Dengan demikian, Hobbes menolak dualisme kekuasaan antara gereja dan negara,
dan menyatakan bahwa hanya otoritas sipil—yakni Leviathan—yang sah untuk
mengatur kehidupan keagamaan warganya.
7.2.
Negara sebagai Otoritas Teologis Tertinggi
Salah satu bagian
paling kontroversial dalam Leviathan adalah Bagian III dan IV,
yang berjudul Of a Christian Commonwealth dan Of the
Kingdom of Darkness. Dalam bagian ini, Hobbes menyampaikan pandangannya
tentang kekuasaan gerejawi, yang menurutnya harus tunduk pada
negara karena tidak memiliki legitimasi politik secara independen. Ia membantah
klaim gereja Katolik Roma yang mengakui supremasi Paus atas raja-raja duniawi,
dan menyebut kekuasaan gereja seperti itu sebagai "kerajaan kegelapan"
(Kingdom
of Darkness)—bukan dalam arti teologis, melainkan sebagai bentuk kebodohan,
superstisi, dan kekuasaan yang menindas akal.⁵
Bagi Hobbes, Tuhan
adalah penyebab utama dari segala sesuatu, tetapi Tuhan tidak
berbicara langsung dengan manusia dalam bentuk supernatural yang bisa
diverifikasi. Oleh karena itu, satu-satunya dasar otoritatif yang dapat
diterima adalah hukum sipil yang disahkan oleh Leviathan.⁶ Bahkan dalam hal
eskatologi, seperti surga, neraka, dan kebangkitan, Hobbes menafsirkan secara
alegoris dan rasional, bukan secara harfiah atau dogmatis.
7.3.
Implikasi Teologis-Politik: Sekularisasi dan
Stabilitas
Konsekuensi dari
pandangan Hobbes adalah sekularisasi fungsi-fungsi keagamaan dalam
negara. Ia berpendapat bahwa keamanan dan ketertiban lebih utama daripada
kebenaran metafisik. Negara harus memiliki hak untuk menentukan
ritual keagamaan, menetapkan hari-hari suci, bahkan menunjuk pemimpin
keagamaan.⁷ Dalam kerangka ini, agama bukan dihapuskan, melainkan diserap ke
dalam struktur negara demi menjamin kesatuan dan menghindari perang sipil yang
dipicu oleh perbedaan tafsir religius.
Pandangan ini
mendapat kritik dari berbagai pihak. Kalangan teolog menganggap Hobbes sebagai
ateis terselubung, meskipun ia sendiri mengaku sebagai Kristen dan menyusun Leviathan
dengan banyak kutipan dari Kitab Suci.⁸ Namun, bagi para pemikir modern,
terutama dalam tradisi liberal dan realis politik, upaya Hobbes untuk mendisiplinkan
agama dalam ruang politik rasional dianggap sebagai langkah
penting menuju negara sekuler modern yang
bebas dari dominasi agama institusional.
Dengan demikian, Leviathan
bukan hanya teks politik, melainkan juga dokumen penting dalam sejarah
pemikiran teologi-politik. Hobbes tidak menolak agama, tetapi mengendalikannya
melalui negara, karena hanya dalam tatanan politik yang stabil, manusia dapat
hidup tanpa ketakutan akan kekerasan dan fanatisme yang bersumber dari klaim
kebenaran metafisik yang tak terkendali.
Catatan Kaki
[1]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 64.
[2]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 88.
[3]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 235–237.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 386.
[5]
A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on
Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992),
207–210.
[6]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 117.
[7]
Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of
Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 198–200.
[8]
Sorell, Hobbes, 91.
8.
Pengaruh dan Warisan Pemikiran Hobbes
Pemikiran Thomas
Hobbes, khususnya sebagaimana tertuang dalam Leviathan (1651), meninggalkan
jejak mendalam dalam perkembangan filsafat politik modern. Sebagai salah satu
arsitek awal teori kontrak sosial dan
pendukung konsep kedaulatan absolut yang bersumber dari
konsensus rasional, Hobbes tidak hanya memengaruhi pemikiran
politik di Inggris, tetapi juga menyentuh filsafat hukum, teori negara, dan
hubungan internasional di seluruh dunia Barat.
8.1.
Kontribusi terhadap Teori Kontrak Sosial dan
Filsafat Politik Modern
Hobbes merupakan pemikir
sistematis pertama yang menjadikan kontrak sosial sebagai
fondasi pembentukan negara yang sekuler dan rasional.¹ Ia memulai dari asumsi
dasar tentang kondisi manusia dalam “keadaan alamiah”, lalu membangun
narasi negara sebagai hasil konstruksi buatan untuk menghindari kekacauan dan
menjaga ketertiban.² Konsep ini menjadi dasar penting bagi filsuf-filsuf
setelahnya seperti John Locke dan Jean-Jacques
Rousseau, meskipun keduanya mengkritik pesimisme Hobbes dan
menggagas bentuk kontrak sosial yang lebih demokratis dan berbasis hak-hak individu.³
Namun demikian, struktur
rasional dan mekanistik pemikiran Hobbes memberikan kerangka
penting bagi teori politik modern: negara bukanlah entitas organik atau
spiritual, melainkan instrumen buatan yang memiliki fungsi utama — menjaga
keamanan dan mencegah kembalinya manusia pada kondisi perang abadi.⁴ Gagasan
ini memberi andil besar dalam munculnya liberalisme politik, meskipun
Hobbes sendiri bukan seorang liberal.
8.2.
Pengaruh terhadap Teori Hukum dan Positivisme
Dalam bidang filsafat
hukum, Hobbes merupakan salah satu pionir dari positivisme
hukum, yakni pandangan bahwa hukum adalah produk kehendak
otoritas yang sah dan tidak harus didasarkan pada moralitas objektif.⁵
Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis oleh pemikir seperti John Austin
dan Hans
Kelsen, yang melihat hukum sebagai norma-norma yang berlaku
karena diakui oleh sistem kekuasaan, bukan karena keadilan inherennya.
Kritik Hobbes
terhadap hukum alam yang tidak memiliki kekuatan koersi juga membuka jalan bagi
pembedaan antara “hukum sebagai yang seharusnya” (ius)
dan “hukum sebagai yang berlaku” (lex).⁶ Dalam hal ini, Hobbes
menegaskan pentingnya negara sebagai penguasa tunggal yang menentukan validitas
hukum dan menjamin kepatuhannya dengan kekuatan.
8.3.
Relevansi dalam Ilmu Hubungan Internasional dan
Teori Realis
Di bidang hubungan
internasional, pengaruh Hobbes sangat terasa dalam tradisi realisme
politik, yang memandang anarki global sebagai bentuk “keadaan
alamiah” antarnegara.⁷ Seperti individu dalam Leviathan yang hidup tanpa otoritas
sentral, negara-negara dalam sistem internasional juga hidup dalam situasi
tanpa otoritas tertinggi, sehingga saling mencurigai, memperkuat diri, dan
mempertahankan eksistensinya dengan strategi kekuasaan.
Pemikir realis
seperti Hans Morgenthau, Kenneth
Waltz, dan John Mearsheimer secara
eksplisit maupun implisit merujuk pada asumsi Hobbesian tentang manusia dan
politik.⁸ Dalam konteks ini, Hobbes tidak hanya dikenang sebagai filsuf kontrak
sosial, tetapi juga sebagai bapak filsafat politik realis modern.
8.4.
Warisan dalam Teori Negara dan Kritik
Kontemporer
Warisan Hobbes juga
terlihat dalam konsep negara modern sebagai
entitas yang memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah (sebagaimana
dirumuskan kembali oleh Max Weber).⁹ Pandangan ini mendorong pendekatan
legal-institusional dalam studi negara dan pemerintahan. Hobbes juga banyak
dikaji dalam konteks otoritarianisme rasional,
terutama dalam situasi krisis seperti pandemi, perang, dan ancaman terorisme,
di mana negara mengambil langkah ekstrem demi menjamin keamanan publik.¹⁰
Namun demikian,
pemikiran Hobbes tetap menjadi subjek kritik. Banyak filsuf
liberal dan republikan mengkritik absolutismenya sebagai pembuka jalan bagi
kediktatoran.⁷ Selain itu, reduksionisme antropologis Hobbes—yang menggambarkan
manusia semata-mata sebagai makhluk takut dan egoistik—sering ditolak oleh
tradisi humanis dan spiritualis yang lebih optimis terhadap kodrat manusia.¹¹
Meskipun demikian,
kekuatan utama pemikiran Hobbes terletak pada konsistensi logis dan kesederhanaan premisnya,
yang membuatnya tetap relevan dalam perdebatan-perdebatan kontemporer tentang
kekuasaan, legitimasi, hukum, dan keamanan. Leviathan telah dan akan terus
menjadi sumber inspirasi dan polemik yang memperkaya diskursus politik modern.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 243.
[2]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 88–90.
[3]
C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 48–50.
[4]
David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political
Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 71.
[5]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 93–94.
[6]
Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of
Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 134.
[7]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 73–74.
[8]
Michael Doyle, “Kant, Liberal Legacies, and Foreign Affairs,” Philosophy
and Public Affairs 12, no. 3 (1983): 205–235.
[9]
Max Weber, Politics as a Vocation, in H. H. Gerth and C.
Wright Mills, eds., From Max Weber: Essays in Sociology (New York:
Oxford University Press, 1946), 78.
[10]
Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 10–12.
[11]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 157–160.
9.
Kritik dan Kontroversi terhadap Pemikiran
Hobbes
Meskipun Thomas
Hobbes diakui sebagai salah satu bapak pendiri filsafat politik modern,
pemikirannya dalam Leviathan juga menuai berbagai
kritik dan kontroversi, baik dari kalangan sezamannya maupun dari filsuf dan
teoritikus politik generasi berikutnya. Kritik-kritik ini tidak hanya bersifat
teknis atau metodologis, tetapi juga menyentuh aspek-aspek etis, teologis, dan
ideologis dari fondasi teorinya.
9.1.
Kritik terhadap Absolutisme Politik
Salah satu kritik
utama terhadap Hobbes datang dari para pemikir liberal seperti John
Locke, yang menentang gagasan Hobbes tentang kedaulatan
absolut. Locke berpendapat bahwa kekuasaan penguasa harus
dibatasi oleh hukum alam dan bahwa rakyat memiliki hak untuk melawan tirani
jika penguasa melanggar hak-hak dasar mereka.¹ Dalam pandangan Locke, kontrak
sosial tidak bersifat final dan tidak memberikan legitimasi terhadap penguasa
absolut yang tidak dapat diawasi atau dikoreksi.
Kritik ini diperkuat
oleh para filsuf republikan seperti Jean-Jacques Rousseau, yang
menganggap bahwa Hobbes telah mereduksi manusia menjadi makhluk egoistik tanpa
kapasitas moral kolektif. Rousseau berargumen bahwa kontrak sosial sejati harus
memperkuat kehendak umum (volonté générale), bukan sekadar
menyerahkan kekuasaan kepada satu individu atau badan yang absolut.²
9.2.
Reduksionisme Antropologis dan Pandangan
Pesimistis tentang Manusia
Pandangan Hobbes
tentang kodrat manusia yang pesimistis—sebagai
makhluk yang termotivasi oleh ketakutan dan hasrat untuk berkuasa—ditentang
oleh banyak kalangan. Kritikus humanis menilai bahwa Hobbes mengabaikan dimensi
altruistik, etis, dan spiritual manusia.³ Pandangannya dianggap terlalu
reduksionis karena menyederhanakan motivasi manusia pada dorongan untuk
bertahan hidup, tanpa ruang bagi cinta, persahabatan, belas kasih, atau
solidaritas.
Bahkan dalam konteks
sains sosial kontemporer, model Hobbesian dinilai tidak mencerminkan
kompleksitas psikologis manusia dan cenderung merasionalisasi struktur
otoritarian.⁴ Dengan menjadikan rasa takut sebagai basis tatanan sosial, Hobbes
menciptakan legitimasi atas dominasi dengan mengorbankan kebebasan dan
partisipasi politik.
9.3.
Kontroversi dalam Ranah Teologi dan Agama
Pemikiran Hobbes
dalam bagian III dan IV Leviathan, yang membahas hubungan
antara agama dan negara, juga menjadi sumber kontroversi yang
signifikan. Gereja Katolik dan sebagian besar kalangan teolog Protestan pada
zamannya menuduh Hobbes sebagai ateis atau setidaknya deis,
karena ia mengabaikan wahyu ilahi sebagai sumber otoritas dan menyerahkan
penafsiran doktrin agama sepenuhnya kepada negara.⁵
A. P. Martinich,
dalam studi komprehensifnya, mencoba membela Hobbes sebagai teis
Kristen yang tidak ortodoks, tetapi tetap meyakini Tuhan dan
otoritas Kitab Suci, meskipun dalam kerangka interpretasi politik yang ketat.⁶
Meski demikian, kecurigaan terhadap niat filosofis Hobbes tetap bertahan lama
dan menyebabkan Leviathan masuk dalam daftar buku
terlarang di beberapa lingkungan gereja Eropa.⁷
9.4.
Isu Legitimasi dan Hak untuk Memberontak
Meskipun Hobbes
mengakui bahwa kontrak sosial bertujuan untuk menciptakan keamanan dan
keteraturan, ia secara eksplisit menyatakan bahwa penguasa tidak dapat dilawan
selama masih menjalankan fungsi perlindungan tersebut.⁸ Kritikus menyatakan
bahwa pandangan ini menutup ruang untuk akuntabilitas politik dan
membenarkan kediktatoran selama penguasa mampu menghindarkan rakyat dari perang
atau ancaman fisik.
Dalam konteks
kontemporer, teori Hobbes telah digunakan untuk membenarkan kebijakan
otoriter dengan dalih stabilitas, termasuk dalam situasi
darurat seperti pandemi, terorisme, atau konflik etnis.⁹ Hal ini menimbulkan
perdebatan etis tentang batas-batas kekuasaan negara dalam membatasi kebebasan
individu atas nama ketertiban umum.
9.5.
Kritik Terhadap Asumsi Rasionalitas dan
Keseragaman Individual
Teori Hobbes sangat
bergantung pada asumsi bahwa semua individu bersifat setara
secara alamiah dan memiliki rasionalitas instrumental yang
sama. Namun, kritik kontemporer dari aliran feminis dan postkolonial menyoroti
bahwa pengandaian
ini mengabaikan relasi kuasa yang tidak setara berdasarkan
kelas, gender, ras, dan budaya.¹⁰ Dengan demikian, Leviathan dianggap sebagai produk
dari perspektif Eropa laki-laki elit abad ke-17 yang tidak sepenuhnya mewakili
kondisi umat manusia secara universal.
Kesimpulan Sementara atas Kritik
Meski Hobbes banyak
menuai kritik, kekuatan intelektualnya tetap dihargai karena berhasil
menciptakan kerangka rasional yang koheren
untuk memahami negara, hukum, dan kekuasaan. Sebagian besar kritik tidak
sepenuhnya menolak Hobbes, melainkan mendorong revisi, reinterpretasi, dan
pengayaan terhadap teorinya agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi,
pluralisme, dan keadilan sosial dalam konteks modern.
Catatan Kaki
[1]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 273–275.
[2]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–55.
[3]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 113–115.
[4]
Steven Lukes, Power: A Radical View (London: Macmillan, 1974),
32–33.
[5]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 240–242.
[6]
A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on
Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992),
215–220.
[7]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 96–98.
[8]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 120–121.
[9]
Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 3–7.
[10]
Carole Pateman, The Sexual Contract (Stanford: Stanford
University Press, 1988), 1–17.
10.
Relevansi Kontemporer Pemikiran Hobbes
Pemikiran Thomas
Hobbes, khususnya dalam karya monumentalnya Leviathan (1651), terus memberikan
pengaruh signifikan terhadap berbagai aspek pemikiran dan praktik politik
kontemporer. Meskipun ditulis lebih dari tiga abad lalu dalam konteks Revolusi
Inggris dan ketegangan religio-politik Eropa, teori kontrak sosial, kedaulatan,
dan antropologi politik Hobbes tetap aktual dalam merespons tantangan-tantangan
baru di abad ke-21, seperti krisis demokrasi, keamanan global, dan legitimasi
kekuasaan.
10.1.
Otoritas dan Stabilitas di Era Krisis Global
Dalam konteks global
yang penuh ketidakpastian—termasuk ancaman pandemi, terorisme, dan
perang—pemikiran Hobbes tentang perlunya otoritas kuat untuk menjamin
ketertiban memperoleh relevansi baru. Beberapa negara
menerapkan kebijakan darurat sipil atau pengetatan
otoritas negara dengan alasan perlindungan warga, praktik yang
mencerminkan logika Hobbesian: bahwa keamanan mendahului kebebasan.¹
Filsuf Italia Giorgio
Agamben bahkan menggunakan kategori “state of
exception” untuk menjelaskan bagaimana banyak negara menggunakan
logika Leviathan
untuk menangguhkan hukum demi stabilitas, sering kali dengan konsekuensi terhadap
hak-hak sipil.² Dengan demikian, Hobbes membantu kita memahami dilema klasik
antara keamanan
dan kebebasan, terutama dalam masa-masa krisis.
10.2.
Hubungan Internasional dan Anarki Global
Hobbes juga tetap
relevan dalam teori hubungan internasional,
khususnya dalam mazhab realisme politik yang memandang
sistem internasional sebagai keadaan alamiah di mana tidak
ada otoritas global yang dapat menjamin perdamaian secara permanen.³ Dalam
kerangka ini, negara-negara bertindak layaknya individu dalam kondisi
pra-politik Hobbesian: saling mencurigai, menumpuk kekuatan, dan mempertahankan
diri demi kelangsungan eksistensi mereka.
Pemikir realis
seperti Kenneth Waltz dan John
Mearsheimer secara eksplisit menjadikan Hobbes sebagai landasan
untuk menjelaskan dinamika kekuasaan global, termasuk dalam isu senjata nuklir,
konflik regional, dan perebutan pengaruh geopolitik.⁴ Dalam sistem
internasional yang anarkis, argumentasi Hobbes tentang “perang semua melawan
semua” tetap menjadi metafora kuat untuk memahami sifat politik
antarnegara.
10.3.
Teori Negara dan Hukum Positif
Kontribusi Hobbes
dalam filsafat
hukum dan teori negara juga tetap terasa dalam diskursus
tentang positivisme hukum, yakni
pandangan bahwa hukum ditentukan oleh otoritas yang sah, bukan oleh moralitas
universal.⁵ Konsep ini menjadi dasar bagi sistem hukum modern di banyak negara,
yang mengutamakan legalitas formal dan otoritas legislatif
dalam menetapkan norma hukum.
Dalam konteks ini,
Hobbes menjadi pelopor dalam membangun argumen bahwa negara
adalah pencipta hukum, bukan penafsir dari hukum alam.⁶ Hal ini
mendasari pemikiran para teoritikus hukum kontemporer seperti Hans
Kelsen, yang membedakan secara tegas antara “sein” (apa
yang berlaku) dan “sollen” (apa yang seharusnya).⁷
10.4.
Teori Sosial, Antropologi Politik, dan Budaya
Ketakutan
Antropologi
filosofis Hobbes, yang melihat manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh ketakutan
dan keinginan untuk mempertahankan diri, banyak diadaptasi
dalam teori-teori sosial kontemporer yang membahas fenomena budaya
ketakutan (culture of fear) dan psikopolitik kekuasaan.⁸ Dalam
masyarakat modern yang dibentuk oleh media, algoritma, dan ancaman keamanan
siber, logika Hobbesian masih digunakan untuk menjelaskan cara negara mengelola
ketakutan publik sebagai basis legitimasi kebijakan represif.
Sosiolog seperti Ulrich
Beck menyoroti bagaimana masyarakat risiko modern secara tidak
langsung membenarkan pendekatan Hobbesian dalam menghadapi “ancaman tak
terlihat”, seperti virus, perubahan iklim, dan disinformasi digital.⁹
Hobbes, dalam hal ini, membantu memahami bahwa ketertiban sosial dibangun bukan
di atas kesepahaman nilai, tetapi pada rasa takut kolektif terhadap kekacauan
dan kehancuran.
10.5.
Kontrak Sosial dan Debat Demokrasi Liberal
Di tengah krisis kepercayaan
terhadap institusi demokrasi, populisme, dan polarisasi politik, teori Hobbes
tentang kontrak sosial berbasis ketakutan
membuka ruang diskusi baru mengenai legitimasi kekuasaan dan otoritas politik.¹⁰
Berbeda dari kontrak sosial versi Locke atau Rousseau yang menekankan hak atau
kehendak umum, kontrak versi Hobbes bersifat minimalis dan pragmatis: asal
negara mampu memberikan perlindungan, maka legitimasi kekuasaan tetap berlaku.
Dalam konteks
negara-negara transisi demokrasi atau pasca-konflik, model Hobbesian dianggap
sebagai rangka awal pembentukan tatanan sipil
sebelum ideal-ideal demokrasi liberal dapat diwujudkan secara penuh.¹¹
Kesimpulan Sementara atas Relevansi Hobbes
Relevansi pemikiran
Hobbes di era kontemporer terletak pada kemampuannya menjelaskan struktur
dasar dari kekuasaan politik, terutama dalam situasi ekstrem,
krisis, dan konflik. Leviathan bukan hanya teks
historis, melainkan juga sumber refleksi atas dilema abadi antara otoritas
dan kebebasan, ketertiban dan keadilan, hukum
dan kekuatan. Oleh karena itu, pemikiran Hobbes tidak sekadar
dikaji secara akademis, tetapi juga diterapkan secara praktis dalam teori dan
praktik politik modern.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 250.
[2]
Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 2–4.
[3]
Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics (Reading,
MA: Addison-Wesley, 1979), 102–103.
[4]
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New
York: W. W. Norton, 2001), 30.
[5]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 91–92.
[6]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 118.
[7]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 5–8.
[8]
Corey Robin, Fear: The History of a Political Idea (New York:
Oxford University Press, 2004), 31–33.
[9]
Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, trans. Mark
Ritter (London: Sage, 1992), 21.
[10]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 71.
[11]
David Held, Models of Democracy (Stanford: Stanford University
Press, 2006), 23–24.
11.
Penutup
Pemikiran politik
Thomas Hobbes yang dituangkan dalam Leviathan (1651) merupakan tonggak
penting dalam sejarah perkembangan teori negara modern. Dalam konteks krisis
politik dan kekacauan sosial abad ke-17, Hobbes berhasil menyusun suatu sistem
filsafat politik yang didasarkan bukan pada teologi atau tradisi, melainkan
pada prinsip rasionalitas manusia, kontrak
sosial, dan logika ketertiban mekanistik.¹
Dengan asumsi bahwa manusia secara alamiah hidup dalam ketakutan dan
ketidakpastian, Hobbes membangun argumen tentang perlunya
otoritas absolut sebagai hasil perjanjian rasional demi
menjamin stabilitas dan kelangsungan hidup bersama.
Kontribusi terbesar
Hobbes terletak pada pemisahan antara agama dan politik,
serta penekanan bahwa legitimasi kekuasaan harus
berasal dari kehendak kolektif manusia melalui kontrak, bukan dari mandat ilahi
atau hak istimewa keturunan.² Ini menjadi landasan penting bagi kelahiran teori
negara
sekuler modern, di mana hukum dan otoritas dipahami sebagai
konstruksi sosial yang dapat dijelaskan secara rasional, bukan sebagai warisan
metafisik.³
Namun, pemikiran
Hobbes bukan tanpa kritik. Pandangannya yang pesimistis terhadap kodrat manusia,
dukungan terhadap kedaulatan absolut, dan upaya subordinasi
agama oleh negara menimbulkan perdebatan etis dan politik yang
panjang.⁴ Para filsuf liberal, republikan, feminis, hingga postkolonial
memberikan berbagai sanggahan, mulai dari tuntutan akan pembatasan kekuasaan
hingga pemulihan peran moralitas publik dalam kehidupan politik.⁵ Meskipun
begitu, keberanian Hobbes untuk menyederhanakan asumsi-asumsi politik dan
menyusun argumen yang logis dan sistematis tetap diakui sebagai pencapaian
filosofis yang luar biasa.
Dalam konteks
kontemporer, pemikiran Hobbes tetap menjadi alat analisis yang relevan. Ia
membantu kita memahami fenomena politik otoritarian, keamanan
negara, budaya ketakutan, hingga
dinamika hubungan internasional yang
masih bersifat anarkis.⁶ Leviathan tidak hanya menjelaskan
bagaimana negara dibentuk, tetapi juga mengajarkan kepada kita mengapa
manusia bersedia mengorbankan sebagian kebebasan demi rasa aman,
dan bagaimana kekuasaan dapat menjadi sah jika dibangun di atas kontrak sosial
yang rasional.
Sebagai penutup,
pemikiran Hobbes mengajarkan bahwa politik, pada akhirnya, adalah urusan
manusia yang rapuh dan kompleks. Di satu sisi, ia mencerminkan
ketakutan terdalam manusia terhadap kekacauan dan kematian; di sisi lain, ia
menunjukkan kemampuan manusia untuk menciptakan struktur sosial dan otoritas yang dapat
menopang kehidupan kolektif secara damai. Dalam dunia yang
masih dilanda konflik, ketimpangan, dan krisis kepercayaan terhadap institusi, Leviathan
tetap menjadi cermin yang tajam bagi refleksi dan koreksi atas arah peradaban
politik modern.
Catatan Kaki
[1]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 88–89.
[2]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 225.
[3]
Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 95–96.
[4]
A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on
Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992),
207–209.
[5]
C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 58–59.
[6]
Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell
(Chicago: University of Chicago Press, 2005), 4–5.
Daftar Pustaka
Agamben, G. (2005). State of exception (K.
Attell, Trans.). University of Chicago Press.
Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new
modernity (M. Ritter, Trans.). Sage.
Doyle, M. (1983). Kant, liberal legacies, and
foreign affairs. Philosophy and Public Affairs, 12(3), 205–235.
Gauthier, D. (1969). The logic of Leviathan: The
moral and political theory of Thomas Hobbes. Clarendon Press.
Held, D. (2006). Models of democracy (3rd
ed.). Stanford University Press.
Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge University Press. (Original work published 1651)
Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M.
Knight, Trans.). University of California Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)
Macpherson, C. B. (1962). The political theory
of possessive individualism: Hobbes to Locke. Oxford University Press.
Martinich, A. P. (1992). The two gods of
Leviathan: Thomas Hobbes on religion and politics. Cambridge University
Press.
Mearsheimer, J. J. (2001). The tragedy of great
power politics. W. W. Norton & Company.
Pateman, C. (1988). The sexual contract.
Stanford University Press.
Robin, C. (2004). Fear: The history of a
political idea. Oxford University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1762)
Skinner, Q. (1996). Reason and rhetoric in the
philosophy of Hobbes. Cambridge University Press.
Sorell, T. (1986). Hobbes. Routledge.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Tuck, R. (2002). Hobbes: A very short introduction.
Oxford University Press.
Waltz, K. N. (1979). Theory of international
politics. Addison-Wesley.
Warrender, H. (1957). The political philosophy
of Hobbes: His theory of obligation. Oxford University Press.
Weber, M. (1946). Politics as a vocation. In H. H.
Gerth & C. W. Mills (Eds.), From Max Weber: Essays in sociology (pp.
77–128). Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar