Kamis, 05 Juni 2025

Pemikiran Thomas Hobbes: Negara, Kekuasaan, dan Kontrak Sosial

Pemikiran Thomas Hobbes

Negara, Kekuasaan, dan Kontrak Sosial


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap pemikiran politik Thomas Hobbes sebagaimana tertuang dalam karya monumentalnya Leviathan (1651). Melalui pendekatan historis-filosofis, artikel ini menelusuri fondasi materialisme dan mekanisme dalam filsafat Hobbes, antropologi filosofis yang menekankan ketakutan dan naluri bertahan hidup manusia, serta formulasi rasional tentang kontrak sosial sebagai dasar pembentukan negara. Dalam kerangka Hobbesian, negara hadir sebagai Leviathan—entitas buatan dengan otoritas absolut yang lahir dari kesepakatan rasional individu demi menghindari kekacauan dalam keadaan alamiah. Artikel ini juga mengulas bagaimana Hobbes menundukkan peran agama di bawah otoritas negara demi menjamin stabilitas sosial-politik, serta menganalisis pengaruh jangka panjang pemikirannya terhadap teori kontrak sosial, positivisme hukum, dan teori hubungan internasional realis. Selain itu, artikel ini mengkaji berbagai kritik terhadap pandangan Hobbes, termasuk absolutisme, reduksionisme antropologis, serta implikasi etis dan teologis yang kontroversial. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan relevansi pemikiran Hobbes dalam menjelaskan dinamika kekuasaan, legitimasi, dan keamanan dalam masyarakat modern yang kompleks dan penuh ketidakpastian.

Kata Kunci: Thomas Hobbes; Leviathan; kontrak sosial; kedaulatan; absolutisme; negara modern; filsafat politik; hukum positif; otoritas; hubungan internasional; teologi politik.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Pemikiran Thomas Hobbes dalam Leviathan


1.           Pendahuluan

Pada abad ke-17, Eropa dilanda gejolak intelektual, politik, dan religius yang luar biasa. Di tengah revolusi ilmiah dan pertikaian antara kekuasaan monarki serta munculnya semangat rasionalisme, muncul seorang filsuf Inggris bernama Thomas Hobbes yang memberikan kontribusi besar terhadap fondasi filsafat politik modern. Karyanya yang paling terkenal, Leviathan (1651), menjadi salah satu teks klasik yang mendefinisikan hubungan antara manusia, negara, dan kekuasaan dalam kerangka kontrak sosial dan kedaulatan absolut.

Hobbes menulis dalam konteks Perang Saudara Inggris (1642–1651), di mana kekacauan politik dan konflik antara raja dan parlemen menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketakutan sosial. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana ketidakteraturan politik dapat meruntuhkan tatanan sosial dan menciptakan kekerasan tanpa batas. Dari pengalaman historis inilah Hobbes membangun teorinya tentang “keadaan alamiah” (state of nature) yang digambarkannya sebagai kondisi di mana tidak ada hukum, tidak ada otoritas, dan setiap manusia berada dalam keadaan perang terhadap yang lain: bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua.¹

Filsafat politik Hobbes ditopang oleh pandangan metafisika dan epistemologi materialistik yang unik pada masanya. Ia berpandangan bahwa semua realitas adalah tubuh atau materi, termasuk manusia dan pikirannya. Dalam kerangka ini, Hobbes menolak dualisme spiritual dan menekankan bahwa kehidupan manusia tunduk pada hukum gerak dan mekanika yang dapat dipahami secara rasional.² Oleh karena itu, bagi Hobbes, masyarakat dan negara tidak lain adalah hasil dari konstruksi rasional demi menciptakan ketertiban dan mencegah kehancuran diri.³

Konsep kontrak sosial yang dirumuskan Hobbes menjadi titik tolak penting dalam sejarah pemikiran politik modern. Dalam pandangannya, individu secara sukarela menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada penguasa tunggal yang kuat, yaitu Leviathan, demi keamanan bersama dan stabilitas sosial.⁴ Meskipun teori ini mengandung unsur absolutisme, Hobbes menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan negara bersumber dari kesepakatan rasional antarmanusia, bukan dari hak ilahi raja atau keturunan aristokratis.⁵

Kajian terhadap pemikiran Hobbes tidak hanya penting dalam konteks sejarah intelektual, tetapi juga relevan dalam menganalisis dilema-dilema kekuasaan dan legitimasi dalam dunia kontemporer. Gagasan tentang otoritas yang lahir dari ketakutan, kebutuhan akan keamanan, serta pentingnya tatanan sipil masih menjadi tema penting dalam filsafat politik dan hukum internasional hingga kini. Oleh karena itu, pembahasan ini bertujuan untuk menyajikan telaah menyeluruh atas pemikiran Thomas Hobbes, dengan titik fokus pada Leviathan, serta membedah pengaruh, kritik, dan relevansi pemikirannya dalam kerangka kontrak sosial dan teori negara modern.


Catatan Kaki

[1]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 88.

[2]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 13–14.

[3]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 17.

[4]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 293–295.

[5]                Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 126.


2.           Biografi Intelektual Thomas Hobbes

Thomas Hobbes dilahirkan pada 5 April 1588 di Westport, Wiltshire, Inggris, dalam suasana krisis nasional. Ia sendiri pernah menyebut bahwa dirinya “lahir kembar dengan ketakutan,” mengacu pada invasi Armada Spanyol yang hampir menyerbu Inggris pada tahun itu.¹ Kalimat tersebut kemudian menjadi simbol naratif penting dalam menggambarkan nuansa intelektual Hobbes yang kental dengan pesimisme terhadap kondisi manusia dan ketidakpastian politik.

Hobbes menempuh pendidikan di Magdalen Hall, Oxford (kini Magdalen College), tempat ia mempelajari trivium klasik (gramatika, logika, retorika), namun kemudian menyatakan kekecewaannya terhadap pendidikan skolastik yang menurutnya membingungkan dan tidak ilmiah.² Pada tahun 1608, Hobbes menjadi tutor bagi William Cavendish, putra bangsawan Devonshire, dan hubungan ini membawanya pada kesempatan intelektual besar: perjalanan panjang ke benua Eropa yang mempertemukannya dengan para pemikir besar seperti Galileo Galilei dan René Descartes

Perjumpaan Hobbes dengan filsafat alam Galileo dan metode matematika Descartes sangat memengaruhi kerangka berpikirnya. Ia mengembangkan suatu sistem pemikiran yang sangat mekanistik—ia menganggap dunia sebagai mesin yang tunduk pada hukum gerak.⁴ Gagasan ini kemudian menjadi fondasi dari De Corpore (1655), salah satu bagian dari proyek filsafat sistematikanya yang luas, selain De Homine dan De Cive. Namun, karya terpenting dan paling berpengaruh Hobbes tetaplah Leviathan (1651), yang ditulis ketika ia mengasingkan diri ke Prancis selama Perang Saudara Inggris.

Selama pengasingan ini, Hobbes menyaksikan ketegangan antara monarki dan parlemen yang mengarah pada eksekusi Raja Charles I. Ia menyimpulkan bahwa akar dari kekacauan politik tersebut adalah tidak adanya otoritas absolut yang mampu menjaga ketertiban sosial.⁵ Inilah yang menjadi dasar teorinya tentang negara sebagai Leviathan, entitas artifisial yang diciptakan melalui kontrak sosial dan diberi kuasa mutlak demi mempertahankan perdamaian dan mencegah kekacauan.

Hobbes kembali ke Inggris pada tahun 1651 setelah penerbitan Leviathan, tetapi pemikirannya ditanggapi dengan reaksi keras, terutama karena pandangannya tentang agama dan kekuasaan negara. Ia dituduh sebagai ateis oleh sebagian kalangan rohaniwan, meskipun Hobbes sendiri menyangkalnya.⁶ Meskipun demikian, ia tetap menjadi salah satu filsuf politik paling berpengaruh dalam sejarah, karena berhasil menggeser fondasi legitimasi kekuasaan dari teologi dan tradisi aristokratis menuju basis rasionalitas individual dan kontrak sosial.

Di masa senja, Hobbes masih aktif menulis, bahkan menerjemahkan karya-karya klasik seperti Iliad dan Odyssey ke dalam bahasa Inggris. Ia wafat pada 4 Desember 1679 di Hardwick Hall pada usia 91 tahun, meninggalkan warisan filsafat yang monumental, kontroversial, dan terus diperbincangkan hingga hari ini.⁷


Catatan Kaki

[1]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 1.

[2]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 3–4.

[3]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 145.

[4]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 9–11.

[5]                Noel Malcolm, Aspects of Hobbes (Oxford: Oxford University Press, 2002), 45.

[6]                A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 188–189.

[7]                Sorell, Hobbes, 132.


3.           Filsafat Dasar Hobbes: Materialisme dan Mekanisme

Filsafat politik Thomas Hobbes tidak dapat dipahami secara utuh tanpa terlebih dahulu menelaah fondasi ontologis dan epistemologisnya, yakni materialisme dan mekanisme. Pandangan dasar Hobbes menyatakan bahwa seluruh realitas—baik alam semesta, tubuh manusia, maupun pikiran—terdiri atas materi yang bergerak dalam ruang. Dalam konteks ini, Hobbes menolak secara tegas segala bentuk dualisme spiritual seperti yang diajukan oleh René Descartes, dan sebaliknya menyatakan bahwa tidak ada substansi non-material.¹

Hobbes memandang dunia sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum gerak dan sebab-akibat mekanistik. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh karya ilmuwan seperti Galileo Galilei, yang melihat bahwa alam semesta bekerja seperti mesin matematis.² Dengan demikian, menurut Hobbes, segala fenomena di dunia, termasuk tindakan manusia dan proses berpikir, merupakan hasil interaksi mekanis antar benda-benda fisik.³ Ia menyatakan bahwa “tidak ada konsepsi dalam pikiran manusia, yang tidak lebih dahulu, baik seluruhnya maupun sebagian, pernah terdapat dalam indera.”⁴

Materialisme Hobbes juga membawa implikasi besar dalam teori psikologi manusia. Ia menolak pandangan bahwa manusia memiliki jiwa spiritual yang independen. Sebaliknya, ia menggambarkan manusia sebagai mesin biologis yang digerakkan oleh rangsangan eksternal dan dorongan internal, seperti nafsu, ketakutan, dan hasrat untuk mempertahankan diri.⁵ Menurut Hobbes, tindakan manusia selalu diarahkan untuk mencari kenikmatan dan menghindari penderitaan, suatu prinsip yang secara mekanis menggerakkan kehendak individu.⁶

Dalam karyanya De Corpore dan Leviathan, Hobbes merinci filsafat sistematikanya dalam tiga tahap: (1) ontologi (tentang tubuh), (2) psikologi (tentang manusia), dan (3) politik (tentang masyarakat dan negara).⁷ Negara atau commonwealth dalam hal ini adalah perpanjangan logis dari tubuh manusia, yakni konstruksi buatan manusia yang memiliki sistem mekanik tersendiri dan tunduk pada prinsip-prinsip rasional demi menjamin keteraturan sosial.

Konsekuensi penting dari pendekatan ini adalah penolakan Hobbes terhadap klaim-klaim metafisik dan normatif dalam politik. Dalam pandangannya, konsep-konsep seperti “hak ilahi raja,” “keadilan alamiah,” atau “tujuan moral negara” adalah produk dari ilusi metafisik yang tidak memiliki dasar rasional dalam hukum gerak dan materi.⁸ Oleh karena itu, filsafat politik Hobbes meletakkan landasan baru: kekuasaan politik harus dibangun di atas dasar empiris, rasional, dan mekanistik demi menghindari kekacauan serta mempertahankan stabilitas sosial.

Dengan demikian, materialisme dan mekanisme Hobbes tidak hanya menjelaskan bagaimana alam semesta dan manusia bekerja, tetapi juga bagaimana negara harus dibentuk, dipelihara, dan dijalankan. Melalui pendekatan ini, Hobbes memperkenalkan suatu bentuk positivisme politik awal, yang akan memberi pengaruh besar terhadap perkembangan teori hukum, sosiologi, dan filsafat politik modern.


Catatan Kaki

[1]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 21–24.

[2]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 162.

[3]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 19.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 13.

[5]                A. P. Martinich, Hobbes: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 190–191.

[6]                Sorell, Hobbes, 37.

[7]                Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 55.

[8]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 36–38.


4.           Pandangan tentang Manusia (Antropologi Filosofis)

Pandangan Thomas Hobbes mengenai manusia merupakan landasan utama dari filsafat politiknya, khususnya dalam membangun teori kontrak sosial dan legitimasi negara. Dalam Leviathan, Hobbes memulai refleksi politiknya bukan dari asumsi moral atau teologis, melainkan dari analisis rasional dan empiris atas kondisi manusia secara alamiah

Hobbes memandang manusia sebagai makhluk materialistik dan mekanistik, yang bergerak berdasarkan dorongan-dorongan internal untuk mempertahankan hidup dan memenuhi keinginan. Dalam kerangka ini, manusia adalah entitas yang digerakkan oleh hasrat (desire) dan ketakutan (fear), terutama ketakutan akan kematian yang kejam.² Karena setiap manusia memiliki kemampuan relatif yang setara—baik secara fisik maupun intelektual—tidak ada jaminan keamanan dalam interaksi sosial tanpa otoritas eksternal. Akibatnya, dalam kondisi yang disebut Hobbes sebagai keadaan alamiah (state of nature), setiap individu menjadi ancaman potensial bagi yang lain.³

Dalam kondisi alamiah ini, tidak terdapat hukum, institusi, atau moralitas objektif yang mengatur. Hobbes menggambarkannya sebagai situasi di mana "tidak ada industri... tidak ada seni... tidak ada masyarakat; dan yang terburuk dari semuanya, kehidupan manusia adalah sepi, miskin, kotor, brutal, dan pendek."⁴ Pernyataan ini menegaskan pandangan pesimistis dan realistis Hobbes tentang kodrat manusia ketika berada di luar tatanan sosial yang diatur oleh negara. Pandangan ini dikenal dalam adagium terkenalnya: Homo homini lupus — “manusia adalah serigala bagi sesamanya.”

Meski terdengar nihilistik, Hobbes tidak menafikan bahwa manusia memiliki rasionalitas. Justru karena manusia adalah makhluk rasional, mereka mampu menyadari bahwa keadaan perang semua melawan semua akan merugikan semua pihak dalam jangka panjang. Oleh karena itu, rasio manusia mendorong mereka untuk mencari cara keluar dari kondisi tersebut dengan menyetujui perjanjian sosial (social contract) yang menjadi dasar pembentukan negara.⁵ Dengan kata lain, bagi Hobbes, akal budi bukanlah sarana untuk membangun moralitas universal, melainkan alat untuk menghindari penderitaan dan menjaga keberlangsungan hidup individu.

Antropologi filosofis Hobbes juga menolak klaim bahwa manusia secara alamiah adalah makhluk sosial (zoon politikon), seperti yang diyakini Aristoteles. Sebaliknya, Hobbes menegaskan bahwa masyarakat adalah produk artifisial, bukan sesuatu yang tumbuh secara alamiah dari kodrat manusia.⁶ Manusia bergabung dalam masyarakat bukan karena cinta atau solidaritas, tetapi karena ketakutan akan kematian dan keinginan akan keamanan.⁷ Oleh karena itu, motif dasar pembentukan negara adalah egoisme yang rasional, bukan etika altruistik atau naluri sosial.

Pandangan ini memberikan kontribusi besar dalam memisahkan filsafat politik modern dari akar-akar teologis dan skolastik Abad Pertengahan. Dengan menjadikan manusia sebagai pusat analisis politik, Hobbes membuka jalan bagi pendekatan individualistis dan sekular dalam teori negara dan hukum.⁸ Namun demikian, antropologi Hobbes tetap menjadi subjek kontroversial, terutama karena dianggap mengabaikan dimensi moral, spiritual, dan relasional manusia yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh mekanisme keinginan dan ketakutan.


Catatan Kaki

[1]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 212.

[2]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 45–47.

[3]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–54.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 89.

[5]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 63.

[6]                Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 112–113.

[7]                A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 156.

[8]                C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 17–18.


5.           Kontrak Sosial dan Teori Negara dalam Leviathan

Salah satu kontribusi paling monumental Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) adalah perumusannya tentang kontrak sosial sebagai dasar rasional dan filosofis dari pembentukan negara. Gagasan ini menjadi respons langsung terhadap kondisi alamiah (state of nature), yang dalam pandangan Hobbes merupakan keadaan tanpa hukum, otoritas, atau institusi sosial, sehingga menimbulkan kekacauan dan perang abadi antara individu.¹

Hobbes menggambarkan kondisi alamiah tersebut sebagai lingkungan yang berbahaya, di mana setiap orang hidup dalam ketakutan terus-menerus dan memiliki hak penuh untuk melakukan apa pun demi bertahan hidup. Dalam keadaan ini, “tidak ada tempat untuk kerja, karena hasilnya tidak pasti... tidak ada seni; tidak ada masyarakat; dan yang terburuk, kehidupan manusia itu sendiri adalah sepi, miskin, kotor, brutal, dan pendek.”²

Untuk keluar dari kondisi ini, manusia yang rasional menyadari perlunya sebuah perjanjian bersama, di mana mereka setuju untuk saling menyerahkan sebagian hak-hak individualnya kepada suatu otoritas pusat demi mendapatkan keamanan dan perdamaian. Kontrak sosial ini bukan antara rakyat dan penguasa, tetapi antar individu itu sendiri, yang bersama-sama menciptakan otoritas politik melalui kesepakatan bersama.³ Akibat dari kontrak ini, muncul entitas politik yang disebut Hobbes sebagai Leviathan, yang merupakan personifikasi negara sebagai makhluk buatan yang memiliki kewenangan mutlak untuk menjaga hukum dan ketertiban.⁴

Kontrak ini bersifat irrevocable, artinya tidak dapat ditarik kembali selama Leviathan memenuhi peran dasarnya, yakni melindungi kehidupan warganya.⁵ Hobbes menegaskan bahwa kedaulatan negara yang dibentuk melalui kontrak ini harus bersifat absolut dan tak terbagi, karena setiap bentuk pembagian kekuasaan akan membawa kita kembali ke keadaan alamiah yang kacau.⁶ Dalam hal ini, Hobbes mengkritik sistem pemerintahan campuran maupun demokrasi langsung yang menurutnya rentan terhadap perpecahan dan konflik internal.

Sumber legitimasi negara dalam pemikiran Hobbes bukan berasal dari hak ilahi, warisan aristokratik, atau kehendak Tuhan, melainkan dari keputusan rasional individu-individu yang menginginkan keamanan. Inilah yang membedakan Hobbes dari pemikir politik terdahulu, seperti Plato atau Aquinas, yang mengaitkan negara dengan tatanan moral atau teleologis.⁷ Dengan pendekatan ini, Hobbes menjadi pelopor penting dalam sekularisasi teori politik modern.

Dalam Leviathan, negara dipahami sebagai artifisial body politic, yakni sebuah struktur buatan manusia yang bertindak layaknya makhluk hidup: memiliki kepala (penguasa), anggota tubuh (rakyat), dan hukum sebagai urat syaraf yang menghubungkan semua bagian.⁸ Struktur ini dirancang untuk mengganti ketidakpastian dengan hukum, serta mengganti dominasi kekuatan individual dengan otoritas yang sah dan kolektif.

Namun, meskipun otoritas Leviathan bersifat mutlak, Hobbes memberikan satu batasan fundamental: jika negara gagal melindungi kehidupan rakyatnya, maka kontrak menjadi batal, dan rakyat memiliki hak untuk melawan atau melarikan diri.⁹ Ini menjadi celah kecil dalam absolutisme Hobbes yang kerap diabaikan, namun penting dalam membaca ulang pemikirannya dalam konteks teori politik kontemporer.

Dengan demikian, teori kontrak sosial Hobbes bukanlah sekadar legitimasi terhadap kekuasaan absolut, tetapi lebih dari itu, merupakan kerangka konseptual yang mengandaikan perlunya otoritas sebagai produk rasional manusia untuk menghindari kehancuran kolektif. Dalam konteks modern, teori ini tetap relevan dalam perdebatan mengenai dasar-dasar negara hukum, legitimasi kekuasaan, dan relasi antara individu dan otoritas.


Catatan Kaki

[1]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 214.

[2]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 89.

[3]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 71.

[4]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 58.

[5]                Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 145.

[6]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 51.

[7]                A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 101.

[8]                Hobbes, Leviathan, 9.

[9]                Gauthier, The Logic of Leviathan, 112.


6.           Otoritas dan Kedaulatan

Dalam kerangka pemikiran Thomas Hobbes, otoritas dan kedaulatan merupakan dua pilar fundamental yang menopang bangunan negara sebagai hasil dari kontrak sosial. Konsep ini mendapatkan pemaparan sistematis dalam Leviathan (1651), di mana Hobbes menegaskan bahwa tanpa otoritas yang sah dan kedaulatan yang tak terbagi, masyarakat akan kembali terjerumus dalam kekacauan yang destruktif sebagaimana dalam keadaan alamiah.¹

6.1.       Otoritas sebagai Legitimasi Rasional

Hobbes membedakan antara kekuasaan de facto dan otoritas de jure. Kekuasaan mungkin dimiliki oleh siapa saja yang cukup kuat, tetapi otoritas adalah kekuasaan yang sah, yaitu yang diperoleh melalui persetujuan para individu dalam kontrak sosial. Dalam pandangan Hobbes, penguasa (baik itu monarki, aristokrasi, atau perwakilan) memperoleh otoritas penuh karena merupakan perwujudan kehendak kolektif rakyat.² Ia menulis bahwa “otoritas tidak berasal dari kekuatan penguasa itu sendiri, tetapi dari penyerahan kehendak dan kekuasaan semua individu kepada satu tubuh politik.”³

Otoritas ini mencakup hak untuk membuat hukum, menafsirkan hukum, dan menegakkan hukum. Karena itu, Hobbes menyatakan bahwa tidak mungkin ada hukum yang sah tanpa negara sebagai otoritas puncak.⁴ Dalam posisi ini, negara tidak tunduk pada hukum positif karena negara sendiri adalah sumber hukum. Prinsip ini menjadikan Hobbes sebagai pendahulu dari positivisme hukum modern, sebagaimana dikembangkan kemudian oleh John Austin dan Hans Kelsen.⁵

6.2.       Kedaulatan sebagai Keutuhan dan Absolutisme

Menurut Hobbes, kedaulatan (sovereignty) adalah atribut dari otoritas tertinggi dalam negara. Ia harus bersifat:

·                     Absolut (tak terbatas)

·                     Tak terbagi (tidak tersebar pada beberapa institusi)

·                     Permanen (tidak bisa dicabut oleh rakyat setelah kontrak dibuat)

Bagi Hobbes, pembagian kekuasaan adalah akar dari instabilitas dan konflik sipil, seperti yang disaksikannya dalam Revolusi Inggris.⁶ Oleh karena itu, semua fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif, bahkan keagamaan harus berpusat pada Leviathan.⁷ Ia menolak model pemerintahan campuran (mixed government) yang sebelumnya banyak dipromosikan dalam tradisi republik klasik.

Kedaulatan menurut Hobbes juga mengandung otoritas tertinggi atas agama, karena dua sumber otoritas (sekuler dan spiritual) hanya akan menimbulkan perpecahan. Oleh sebab itu, ia mengusulkan bahwa negara harus memiliki kekuasaan atas gereja, bahkan dalam hal penafsiran doktrin agama.⁸ Dalam hal ini, Hobbes mengukuhkan negara sebagai “jiwa politik” yang tidak hanya melindungi tubuh warga negara, tetapi juga mengarahkan kehidupan sosial dan keyakinan mereka untuk mencegah konflik.

6.3.       Batasan Minimal Kedaulatan

Meskipun Hobbes mendukung absolutisme, ia tidak menganjurkan tirani. Ia menekankan bahwa satu-satunya kewajiban utama penguasa adalah menjaga keamanan warga negara. Jika penguasa gagal menjalankan fungsi proteksi ini—misalnya, dengan membiarkan kekerasan tanpa perlindungan—maka legitimasi kekuasaannya secara implisit gugur, dan individu dapat memilih untuk melarikan diri atau menolak kepatuhan.⁹

Dengan demikian, konsep otoritas dan kedaulatan dalam Leviathan merupakan sistem yang dirancang untuk menyatukan kehendak individu ke dalam entitas tunggal yang berwenang penuh, dengan satu tujuan utama: mencegah kembalinya manusia ke dalam kekacauan dan ketakutan alamiah.


Catatan Kaki

[1]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 226.

[2]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 85.

[3]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 109.

[4]                Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 137.

[5]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 78.

[6]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 61.

[7]                Hobbes, Leviathan, 113–117.

[8]                A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 201–203.

[9]                Gauthier, The Logic of Leviathan, 128.


7.           Agama dan Politik dalam Leviathan

Dalam Leviathan (1651), Thomas Hobbes tidak hanya menawarkan teori politik modern yang berbasis pada kontrak sosial dan kedaulatan absolut, tetapi juga melakukan analisis kritis terhadap peran agama dalam kehidupan sosial dan politik. Bagi Hobbes, agama bukanlah fondasi moral negara, melainkan potensi ancaman terhadap stabilitas politik bila tidak berada di bawah kendali otoritas negara.¹ Oleh karena itu, ia mengembangkan pandangan teologis-politik yang menyatukan kekuasaan spiritual dan sekuler di tangan negara, menjadikannya satu dari sedikit pemikir modern awal yang mencoba menguraikan hubungan agama dan negara dalam kerangka rasional dan sekular.

7.1.       Agama sebagai Kekuatan Sosial dan Psikologis

Hobbes menyadari bahwa agama memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk perilaku dan kepatuhan manusia. Ia tidak memungkiri bahwa kepercayaan terhadap makhluk gaib, rasa takut akan kehidupan setelah mati, serta imajinasi terhadap hal-hal tak dikenal adalah bagian dari struktur psikologis manusia.² Namun, ia juga menilai bahwa agama sering dimanipulasi oleh institusi keagamaan untuk menantang otoritas politik. Dalam Leviathan, ia menyatakan bahwa banyak ajaran keagamaan yang bertentangan dengan hukum negara justru mengundang kekacauan sipil.³

Oleh karena itu, Hobbes berupaya menundukkan agama di bawah yurisdiksi negara. Ia berargumen bahwa hanya negara yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan ajaran agama yang sah dalam wilayahnya, termasuk doktrin-doktrin Alkitab. Ia menulis: “Interpretation of all Scripture is subject to the civil sovereign.”⁴ Dengan demikian, Hobbes menolak dualisme kekuasaan antara gereja dan negara, dan menyatakan bahwa hanya otoritas sipil—yakni Leviathan—yang sah untuk mengatur kehidupan keagamaan warganya.

7.2.       Negara sebagai Otoritas Teologis Tertinggi

Salah satu bagian paling kontroversial dalam Leviathan adalah Bagian III dan IV, yang berjudul Of a Christian Commonwealth dan Of the Kingdom of Darkness. Dalam bagian ini, Hobbes menyampaikan pandangannya tentang kekuasaan gerejawi, yang menurutnya harus tunduk pada negara karena tidak memiliki legitimasi politik secara independen. Ia membantah klaim gereja Katolik Roma yang mengakui supremasi Paus atas raja-raja duniawi, dan menyebut kekuasaan gereja seperti itu sebagai "kerajaan kegelapan" (Kingdom of Darkness)—bukan dalam arti teologis, melainkan sebagai bentuk kebodohan, superstisi, dan kekuasaan yang menindas akal.⁵

Bagi Hobbes, Tuhan adalah penyebab utama dari segala sesuatu, tetapi Tuhan tidak berbicara langsung dengan manusia dalam bentuk supernatural yang bisa diverifikasi. Oleh karena itu, satu-satunya dasar otoritatif yang dapat diterima adalah hukum sipil yang disahkan oleh Leviathan.⁶ Bahkan dalam hal eskatologi, seperti surga, neraka, dan kebangkitan, Hobbes menafsirkan secara alegoris dan rasional, bukan secara harfiah atau dogmatis.

7.3.       Implikasi Teologis-Politik: Sekularisasi dan Stabilitas

Konsekuensi dari pandangan Hobbes adalah sekularisasi fungsi-fungsi keagamaan dalam negara. Ia berpendapat bahwa keamanan dan ketertiban lebih utama daripada kebenaran metafisik. Negara harus memiliki hak untuk menentukan ritual keagamaan, menetapkan hari-hari suci, bahkan menunjuk pemimpin keagamaan.⁷ Dalam kerangka ini, agama bukan dihapuskan, melainkan diserap ke dalam struktur negara demi menjamin kesatuan dan menghindari perang sipil yang dipicu oleh perbedaan tafsir religius.

Pandangan ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Kalangan teolog menganggap Hobbes sebagai ateis terselubung, meskipun ia sendiri mengaku sebagai Kristen dan menyusun Leviathan dengan banyak kutipan dari Kitab Suci.⁸ Namun, bagi para pemikir modern, terutama dalam tradisi liberal dan realis politik, upaya Hobbes untuk mendisiplinkan agama dalam ruang politik rasional dianggap sebagai langkah penting menuju negara sekuler modern yang bebas dari dominasi agama institusional.

Dengan demikian, Leviathan bukan hanya teks politik, melainkan juga dokumen penting dalam sejarah pemikiran teologi-politik. Hobbes tidak menolak agama, tetapi mengendalikannya melalui negara, karena hanya dalam tatanan politik yang stabil, manusia dapat hidup tanpa ketakutan akan kekerasan dan fanatisme yang bersumber dari klaim kebenaran metafisik yang tak terkendali.


Catatan Kaki

[1]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 64.

[2]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 88.

[3]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 235–237.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 386.

[5]                A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 207–210.

[6]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 117.

[7]                Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 198–200.

[8]                Sorell, Hobbes, 91.


8.           Pengaruh dan Warisan Pemikiran Hobbes

Pemikiran Thomas Hobbes, khususnya sebagaimana tertuang dalam Leviathan (1651), meninggalkan jejak mendalam dalam perkembangan filsafat politik modern. Sebagai salah satu arsitek awal teori kontrak sosial dan pendukung konsep kedaulatan absolut yang bersumber dari konsensus rasional, Hobbes tidak hanya memengaruhi pemikiran politik di Inggris, tetapi juga menyentuh filsafat hukum, teori negara, dan hubungan internasional di seluruh dunia Barat.

8.1.       Kontribusi terhadap Teori Kontrak Sosial dan Filsafat Politik Modern

Hobbes merupakan pemikir sistematis pertama yang menjadikan kontrak sosial sebagai fondasi pembentukan negara yang sekuler dan rasional.¹ Ia memulai dari asumsi dasar tentang kondisi manusia dalam “keadaan alamiah”, lalu membangun narasi negara sebagai hasil konstruksi buatan untuk menghindari kekacauan dan menjaga ketertiban.² Konsep ini menjadi dasar penting bagi filsuf-filsuf setelahnya seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, meskipun keduanya mengkritik pesimisme Hobbes dan menggagas bentuk kontrak sosial yang lebih demokratis dan berbasis hak-hak individu.³

Namun demikian, struktur rasional dan mekanistik pemikiran Hobbes memberikan kerangka penting bagi teori politik modern: negara bukanlah entitas organik atau spiritual, melainkan instrumen buatan yang memiliki fungsi utama — menjaga keamanan dan mencegah kembalinya manusia pada kondisi perang abadi.⁴ Gagasan ini memberi andil besar dalam munculnya liberalisme politik, meskipun Hobbes sendiri bukan seorang liberal.

8.2.       Pengaruh terhadap Teori Hukum dan Positivisme

Dalam bidang filsafat hukum, Hobbes merupakan salah satu pionir dari positivisme hukum, yakni pandangan bahwa hukum adalah produk kehendak otoritas yang sah dan tidak harus didasarkan pada moralitas objektif.⁵ Pandangan ini kemudian dikembangkan secara sistematis oleh pemikir seperti John Austin dan Hans Kelsen, yang melihat hukum sebagai norma-norma yang berlaku karena diakui oleh sistem kekuasaan, bukan karena keadilan inherennya.

Kritik Hobbes terhadap hukum alam yang tidak memiliki kekuatan koersi juga membuka jalan bagi pembedaan antara “hukum sebagai yang seharusnya” (ius) dan “hukum sebagai yang berlaku” (lex).⁶ Dalam hal ini, Hobbes menegaskan pentingnya negara sebagai penguasa tunggal yang menentukan validitas hukum dan menjamin kepatuhannya dengan kekuatan.

8.3.       Relevansi dalam Ilmu Hubungan Internasional dan Teori Realis

Di bidang hubungan internasional, pengaruh Hobbes sangat terasa dalam tradisi realisme politik, yang memandang anarki global sebagai bentuk “keadaan alamiah” antarnegara.⁷ Seperti individu dalam Leviathan yang hidup tanpa otoritas sentral, negara-negara dalam sistem internasional juga hidup dalam situasi tanpa otoritas tertinggi, sehingga saling mencurigai, memperkuat diri, dan mempertahankan eksistensinya dengan strategi kekuasaan.

Pemikir realis seperti Hans Morgenthau, Kenneth Waltz, dan John Mearsheimer secara eksplisit maupun implisit merujuk pada asumsi Hobbesian tentang manusia dan politik.⁸ Dalam konteks ini, Hobbes tidak hanya dikenang sebagai filsuf kontrak sosial, tetapi juga sebagai bapak filsafat politik realis modern.

8.4.       Warisan dalam Teori Negara dan Kritik Kontemporer

Warisan Hobbes juga terlihat dalam konsep negara modern sebagai entitas yang memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah (sebagaimana dirumuskan kembali oleh Max Weber).⁹ Pandangan ini mendorong pendekatan legal-institusional dalam studi negara dan pemerintahan. Hobbes juga banyak dikaji dalam konteks otoritarianisme rasional, terutama dalam situasi krisis seperti pandemi, perang, dan ancaman terorisme, di mana negara mengambil langkah ekstrem demi menjamin keamanan publik.¹⁰

Namun demikian, pemikiran Hobbes tetap menjadi subjek kritik. Banyak filsuf liberal dan republikan mengkritik absolutismenya sebagai pembuka jalan bagi kediktatoran.⁷ Selain itu, reduksionisme antropologis Hobbes—yang menggambarkan manusia semata-mata sebagai makhluk takut dan egoistik—sering ditolak oleh tradisi humanis dan spiritualis yang lebih optimis terhadap kodrat manusia.¹¹

Meskipun demikian, kekuatan utama pemikiran Hobbes terletak pada konsistensi logis dan kesederhanaan premisnya, yang membuatnya tetap relevan dalam perdebatan-perdebatan kontemporer tentang kekuasaan, legitimasi, hukum, dan keamanan. Leviathan telah dan akan terus menjadi sumber inspirasi dan polemik yang memperkaya diskursus politik modern.


Catatan Kaki

[1]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 243.

[2]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 88–90.

[3]                C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 48–50.

[4]                David Gauthier, The Logic of Leviathan: The Moral and Political Theory of Thomas Hobbes (Oxford: Clarendon Press, 1969), 71.

[5]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 93–94.

[6]                Howard Warrender, The Political Philosophy of Hobbes: His Theory of Obligation (Oxford: Oxford University Press, 1957), 134.

[7]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 73–74.

[8]                Michael Doyle, “Kant, Liberal Legacies, and Foreign Affairs,” Philosophy and Public Affairs 12, no. 3 (1983): 205–235.

[9]                Max Weber, Politics as a Vocation, in H. H. Gerth and C. Wright Mills, eds., From Max Weber: Essays in Sociology (New York: Oxford University Press, 1946), 78.

[10]             Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 10–12.

[11]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 157–160.


9.           Kritik dan Kontroversi terhadap Pemikiran Hobbes

Meskipun Thomas Hobbes diakui sebagai salah satu bapak pendiri filsafat politik modern, pemikirannya dalam Leviathan juga menuai berbagai kritik dan kontroversi, baik dari kalangan sezamannya maupun dari filsuf dan teoritikus politik generasi berikutnya. Kritik-kritik ini tidak hanya bersifat teknis atau metodologis, tetapi juga menyentuh aspek-aspek etis, teologis, dan ideologis dari fondasi teorinya.

9.1.       Kritik terhadap Absolutisme Politik

Salah satu kritik utama terhadap Hobbes datang dari para pemikir liberal seperti John Locke, yang menentang gagasan Hobbes tentang kedaulatan absolut. Locke berpendapat bahwa kekuasaan penguasa harus dibatasi oleh hukum alam dan bahwa rakyat memiliki hak untuk melawan tirani jika penguasa melanggar hak-hak dasar mereka.¹ Dalam pandangan Locke, kontrak sosial tidak bersifat final dan tidak memberikan legitimasi terhadap penguasa absolut yang tidak dapat diawasi atau dikoreksi.

Kritik ini diperkuat oleh para filsuf republikan seperti Jean-Jacques Rousseau, yang menganggap bahwa Hobbes telah mereduksi manusia menjadi makhluk egoistik tanpa kapasitas moral kolektif. Rousseau berargumen bahwa kontrak sosial sejati harus memperkuat kehendak umum (volonté générale), bukan sekadar menyerahkan kekuasaan kepada satu individu atau badan yang absolut.²

9.2.       Reduksionisme Antropologis dan Pandangan Pesimistis tentang Manusia

Pandangan Hobbes tentang kodrat manusia yang pesimistis—sebagai makhluk yang termotivasi oleh ketakutan dan hasrat untuk berkuasa—ditentang oleh banyak kalangan. Kritikus humanis menilai bahwa Hobbes mengabaikan dimensi altruistik, etis, dan spiritual manusia.³ Pandangannya dianggap terlalu reduksionis karena menyederhanakan motivasi manusia pada dorongan untuk bertahan hidup, tanpa ruang bagi cinta, persahabatan, belas kasih, atau solidaritas.

Bahkan dalam konteks sains sosial kontemporer, model Hobbesian dinilai tidak mencerminkan kompleksitas psikologis manusia dan cenderung merasionalisasi struktur otoritarian.⁴ Dengan menjadikan rasa takut sebagai basis tatanan sosial, Hobbes menciptakan legitimasi atas dominasi dengan mengorbankan kebebasan dan partisipasi politik.

9.3.       Kontroversi dalam Ranah Teologi dan Agama

Pemikiran Hobbes dalam bagian III dan IV Leviathan, yang membahas hubungan antara agama dan negara, juga menjadi sumber kontroversi yang signifikan. Gereja Katolik dan sebagian besar kalangan teolog Protestan pada zamannya menuduh Hobbes sebagai ateis atau setidaknya deis, karena ia mengabaikan wahyu ilahi sebagai sumber otoritas dan menyerahkan penafsiran doktrin agama sepenuhnya kepada negara.⁵

A. P. Martinich, dalam studi komprehensifnya, mencoba membela Hobbes sebagai teis Kristen yang tidak ortodoks, tetapi tetap meyakini Tuhan dan otoritas Kitab Suci, meskipun dalam kerangka interpretasi politik yang ketat.⁶ Meski demikian, kecurigaan terhadap niat filosofis Hobbes tetap bertahan lama dan menyebabkan Leviathan masuk dalam daftar buku terlarang di beberapa lingkungan gereja Eropa.⁷

9.4.       Isu Legitimasi dan Hak untuk Memberontak

Meskipun Hobbes mengakui bahwa kontrak sosial bertujuan untuk menciptakan keamanan dan keteraturan, ia secara eksplisit menyatakan bahwa penguasa tidak dapat dilawan selama masih menjalankan fungsi perlindungan tersebut.⁸ Kritikus menyatakan bahwa pandangan ini menutup ruang untuk akuntabilitas politik dan membenarkan kediktatoran selama penguasa mampu menghindarkan rakyat dari perang atau ancaman fisik.

Dalam konteks kontemporer, teori Hobbes telah digunakan untuk membenarkan kebijakan otoriter dengan dalih stabilitas, termasuk dalam situasi darurat seperti pandemi, terorisme, atau konflik etnis.⁹ Hal ini menimbulkan perdebatan etis tentang batas-batas kekuasaan negara dalam membatasi kebebasan individu atas nama ketertiban umum.

9.5.       Kritik Terhadap Asumsi Rasionalitas dan Keseragaman Individual

Teori Hobbes sangat bergantung pada asumsi bahwa semua individu bersifat setara secara alamiah dan memiliki rasionalitas instrumental yang sama. Namun, kritik kontemporer dari aliran feminis dan postkolonial menyoroti bahwa pengandaian ini mengabaikan relasi kuasa yang tidak setara berdasarkan kelas, gender, ras, dan budaya.¹⁰ Dengan demikian, Leviathan dianggap sebagai produk dari perspektif Eropa laki-laki elit abad ke-17 yang tidak sepenuhnya mewakili kondisi umat manusia secara universal.


Kesimpulan Sementara atas Kritik

Meski Hobbes banyak menuai kritik, kekuatan intelektualnya tetap dihargai karena berhasil menciptakan kerangka rasional yang koheren untuk memahami negara, hukum, dan kekuasaan. Sebagian besar kritik tidak sepenuhnya menolak Hobbes, melainkan mendorong revisi, reinterpretasi, dan pengayaan terhadap teorinya agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, pluralisme, dan keadilan sosial dalam konteks modern.


Catatan Kaki

[1]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 273–275.

[2]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), 50–55.

[3]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 113–115.

[4]                Steven Lukes, Power: A Radical View (London: Macmillan, 1974), 32–33.

[5]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 240–242.

[6]                A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 215–220.

[7]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 96–98.

[8]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 120–121.

[9]                Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 3–7.

[10]             Carole Pateman, The Sexual Contract (Stanford: Stanford University Press, 1988), 1–17.


10.       Relevansi Kontemporer Pemikiran Hobbes

Pemikiran Thomas Hobbes, khususnya dalam karya monumentalnya Leviathan (1651), terus memberikan pengaruh signifikan terhadap berbagai aspek pemikiran dan praktik politik kontemporer. Meskipun ditulis lebih dari tiga abad lalu dalam konteks Revolusi Inggris dan ketegangan religio-politik Eropa, teori kontrak sosial, kedaulatan, dan antropologi politik Hobbes tetap aktual dalam merespons tantangan-tantangan baru di abad ke-21, seperti krisis demokrasi, keamanan global, dan legitimasi kekuasaan.

10.1.    Otoritas dan Stabilitas di Era Krisis Global

Dalam konteks global yang penuh ketidakpastian—termasuk ancaman pandemi, terorisme, dan perang—pemikiran Hobbes tentang perlunya otoritas kuat untuk menjamin ketertiban memperoleh relevansi baru. Beberapa negara menerapkan kebijakan darurat sipil atau pengetatan otoritas negara dengan alasan perlindungan warga, praktik yang mencerminkan logika Hobbesian: bahwa keamanan mendahului kebebasan.¹

Filsuf Italia Giorgio Agamben bahkan menggunakan kategori “state of exception” untuk menjelaskan bagaimana banyak negara menggunakan logika Leviathan untuk menangguhkan hukum demi stabilitas, sering kali dengan konsekuensi terhadap hak-hak sipil.² Dengan demikian, Hobbes membantu kita memahami dilema klasik antara keamanan dan kebebasan, terutama dalam masa-masa krisis.

10.2.    Hubungan Internasional dan Anarki Global

Hobbes juga tetap relevan dalam teori hubungan internasional, khususnya dalam mazhab realisme politik yang memandang sistem internasional sebagai keadaan alamiah di mana tidak ada otoritas global yang dapat menjamin perdamaian secara permanen.³ Dalam kerangka ini, negara-negara bertindak layaknya individu dalam kondisi pra-politik Hobbesian: saling mencurigai, menumpuk kekuatan, dan mempertahankan diri demi kelangsungan eksistensi mereka.

Pemikir realis seperti Kenneth Waltz dan John Mearsheimer secara eksplisit menjadikan Hobbes sebagai landasan untuk menjelaskan dinamika kekuasaan global, termasuk dalam isu senjata nuklir, konflik regional, dan perebutan pengaruh geopolitik.⁴ Dalam sistem internasional yang anarkis, argumentasi Hobbes tentang “perang semua melawan semua” tetap menjadi metafora kuat untuk memahami sifat politik antarnegara.

10.3.    Teori Negara dan Hukum Positif

Kontribusi Hobbes dalam filsafat hukum dan teori negara juga tetap terasa dalam diskursus tentang positivisme hukum, yakni pandangan bahwa hukum ditentukan oleh otoritas yang sah, bukan oleh moralitas universal.⁵ Konsep ini menjadi dasar bagi sistem hukum modern di banyak negara, yang mengutamakan legalitas formal dan otoritas legislatif dalam menetapkan norma hukum.

Dalam konteks ini, Hobbes menjadi pelopor dalam membangun argumen bahwa negara adalah pencipta hukum, bukan penafsir dari hukum alam.⁶ Hal ini mendasari pemikiran para teoritikus hukum kontemporer seperti Hans Kelsen, yang membedakan secara tegas antara “sein” (apa yang berlaku) dan “sollen” (apa yang seharusnya).⁷

10.4.    Teori Sosial, Antropologi Politik, dan Budaya Ketakutan

Antropologi filosofis Hobbes, yang melihat manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh ketakutan dan keinginan untuk mempertahankan diri, banyak diadaptasi dalam teori-teori sosial kontemporer yang membahas fenomena budaya ketakutan (culture of fear) dan psikopolitik kekuasaan.⁸ Dalam masyarakat modern yang dibentuk oleh media, algoritma, dan ancaman keamanan siber, logika Hobbesian masih digunakan untuk menjelaskan cara negara mengelola ketakutan publik sebagai basis legitimasi kebijakan represif.

Sosiolog seperti Ulrich Beck menyoroti bagaimana masyarakat risiko modern secara tidak langsung membenarkan pendekatan Hobbesian dalam menghadapi “ancaman tak terlihat”, seperti virus, perubahan iklim, dan disinformasi digital.⁹ Hobbes, dalam hal ini, membantu memahami bahwa ketertiban sosial dibangun bukan di atas kesepahaman nilai, tetapi pada rasa takut kolektif terhadap kekacauan dan kehancuran.

10.5.    Kontrak Sosial dan Debat Demokrasi Liberal

Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi demokrasi, populisme, dan polarisasi politik, teori Hobbes tentang kontrak sosial berbasis ketakutan membuka ruang diskusi baru mengenai legitimasi kekuasaan dan otoritas politik.¹⁰ Berbeda dari kontrak sosial versi Locke atau Rousseau yang menekankan hak atau kehendak umum, kontrak versi Hobbes bersifat minimalis dan pragmatis: asal negara mampu memberikan perlindungan, maka legitimasi kekuasaan tetap berlaku.

Dalam konteks negara-negara transisi demokrasi atau pasca-konflik, model Hobbesian dianggap sebagai rangka awal pembentukan tatanan sipil sebelum ideal-ideal demokrasi liberal dapat diwujudkan secara penuh.¹¹


Kesimpulan Sementara atas Relevansi Hobbes

Relevansi pemikiran Hobbes di era kontemporer terletak pada kemampuannya menjelaskan struktur dasar dari kekuasaan politik, terutama dalam situasi ekstrem, krisis, dan konflik. Leviathan bukan hanya teks historis, melainkan juga sumber refleksi atas dilema abadi antara otoritas dan kebebasan, ketertiban dan keadilan, hukum dan kekuatan. Oleh karena itu, pemikiran Hobbes tidak sekadar dikaji secara akademis, tetapi juga diterapkan secara praktis dalam teori dan praktik politik modern.


Catatan Kaki

[1]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 250.

[2]                Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 2–4.

[3]                Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics (Reading, MA: Addison-Wesley, 1979), 102–103.

[4]                John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New York: W. W. Norton, 2001), 30.

[5]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 91–92.

[6]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 118.

[7]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 5–8.

[8]                Corey Robin, Fear: The History of a Political Idea (New York: Oxford University Press, 2004), 31–33.

[9]                Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, trans. Mark Ritter (London: Sage, 1992), 21.

[10]             Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 71.

[11]             David Held, Models of Democracy (Stanford: Stanford University Press, 2006), 23–24.


11.       Penutup

Pemikiran politik Thomas Hobbes yang dituangkan dalam Leviathan (1651) merupakan tonggak penting dalam sejarah perkembangan teori negara modern. Dalam konteks krisis politik dan kekacauan sosial abad ke-17, Hobbes berhasil menyusun suatu sistem filsafat politik yang didasarkan bukan pada teologi atau tradisi, melainkan pada prinsip rasionalitas manusia, kontrak sosial, dan logika ketertiban mekanistik.¹ Dengan asumsi bahwa manusia secara alamiah hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, Hobbes membangun argumen tentang perlunya otoritas absolut sebagai hasil perjanjian rasional demi menjamin stabilitas dan kelangsungan hidup bersama.

Kontribusi terbesar Hobbes terletak pada pemisahan antara agama dan politik, serta penekanan bahwa legitimasi kekuasaan harus berasal dari kehendak kolektif manusia melalui kontrak, bukan dari mandat ilahi atau hak istimewa keturunan.² Ini menjadi landasan penting bagi kelahiran teori negara sekuler modern, di mana hukum dan otoritas dipahami sebagai konstruksi sosial yang dapat dijelaskan secara rasional, bukan sebagai warisan metafisik.³

Namun, pemikiran Hobbes bukan tanpa kritik. Pandangannya yang pesimistis terhadap kodrat manusia, dukungan terhadap kedaulatan absolut, dan upaya subordinasi agama oleh negara menimbulkan perdebatan etis dan politik yang panjang.⁴ Para filsuf liberal, republikan, feminis, hingga postkolonial memberikan berbagai sanggahan, mulai dari tuntutan akan pembatasan kekuasaan hingga pemulihan peran moralitas publik dalam kehidupan politik.⁵ Meskipun begitu, keberanian Hobbes untuk menyederhanakan asumsi-asumsi politik dan menyusun argumen yang logis dan sistematis tetap diakui sebagai pencapaian filosofis yang luar biasa.

Dalam konteks kontemporer, pemikiran Hobbes tetap menjadi alat analisis yang relevan. Ia membantu kita memahami fenomena politik otoritarian, keamanan negara, budaya ketakutan, hingga dinamika hubungan internasional yang masih bersifat anarkis.⁶ Leviathan tidak hanya menjelaskan bagaimana negara dibentuk, tetapi juga mengajarkan kepada kita mengapa manusia bersedia mengorbankan sebagian kebebasan demi rasa aman, dan bagaimana kekuasaan dapat menjadi sah jika dibangun di atas kontrak sosial yang rasional.

Sebagai penutup, pemikiran Hobbes mengajarkan bahwa politik, pada akhirnya, adalah urusan manusia yang rapuh dan kompleks. Di satu sisi, ia mencerminkan ketakutan terdalam manusia terhadap kekacauan dan kematian; di sisi lain, ia menunjukkan kemampuan manusia untuk menciptakan struktur sosial dan otoritas yang dapat menopang kehidupan kolektif secara damai. Dalam dunia yang masih dilanda konflik, ketimpangan, dan krisis kepercayaan terhadap institusi, Leviathan tetap menjadi cermin yang tajam bagi refleksi dan koreksi atas arah peradaban politik modern.


Catatan Kaki

[1]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 88–89.

[2]                Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 225.

[3]                Tom Sorell, Hobbes (London: Routledge, 1986), 95–96.

[4]                A. P. Martinich, The Two Gods of Leviathan: Thomas Hobbes on Religion and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 207–209.

[5]                C. B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 58–59.

[6]                Giorgio Agamben, State of Exception, trans. Kevin Attell (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 4–5.


Daftar Pustaka

Agamben, G. (2005). State of exception (K. Attell, Trans.). University of Chicago Press.

Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity (M. Ritter, Trans.). Sage.

Doyle, M. (1983). Kant, liberal legacies, and foreign affairs. Philosophy and Public Affairs, 12(3), 205–235.

Gauthier, D. (1969). The logic of Leviathan: The moral and political theory of Thomas Hobbes. Clarendon Press.

Held, D. (2006). Models of democracy (3rd ed.). Stanford University Press.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). University of California Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Macpherson, C. B. (1962). The political theory of possessive individualism: Hobbes to Locke. Oxford University Press.

Martinich, A. P. (1992). The two gods of Leviathan: Thomas Hobbes on religion and politics. Cambridge University Press.

Mearsheimer, J. J. (2001). The tragedy of great power politics. W. W. Norton & Company.

Pateman, C. (1988). The sexual contract. Stanford University Press.

Robin, C. (2004). Fear: The history of a political idea. Oxford University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1762)

Skinner, Q. (1996). Reason and rhetoric in the philosophy of Hobbes. Cambridge University Press.

Sorell, T. (1986). Hobbes. Routledge.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Tuck, R. (2002). Hobbes: A very short introduction. Oxford University Press.

Waltz, K. N. (1979). Theory of international politics. Addison-Wesley.

Warrender, H. (1957). The political philosophy of Hobbes: His theory of obligation. Oxford University Press.

Weber, M. (1946). Politics as a vocation. In H. H. Gerth & C. W. Mills (Eds.), From Max Weber: Essays in sociology (pp. 77–128). Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar