Ibadurrahman dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits
Telaah Mendalam
Berdasarkan Tafsir Klasik dan Pemikiran Ulama
Abstrak
Konsep Ibadurrahman dalam Al-Qur'an dan
Hadits merupakan pedoman akhlak yang berisi sifat-sifat ideal seorang hamba
Allah yang Maha Pengasih, sebagaimana dirangkum dalam QS. Al-Furqan [25] ayat
63–77. Penelitian ini mengkaji sifat-sifat Ibadurrahman berdasarkan
tafsir klasik seperti Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Tafsir
Al-Jalalain, serta pemikiran ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Qadhi
Thanaullah Panipati. Kajian ini menekankan relevansi sifat-sifat Ibadurrahman
dalam kehidupan modern, termasuk pengendalian emosi, keseimbangan hidup, dan
kepedulian sosial. Selain itu, artikel ini menguraikan implementasi nilai-nilai
Ibadurrahman dalam hubungan sosial, pendidikan, keluarga, dan kebijakan
publik. Melalui pendekatan yang komprehensif, penelitian ini memberikan
pemahaman teoretis dan praktis untuk membentuk individu dan masyarakat yang
berakhlak mulia, relevan dengan tantangan zaman modern.
Kata Kunci: Ibadurrahman, Al-Qur'an, Hadits, Tafsir Klasik,
Akhlak Islam, Kehidupan Modern, Pendidikan Islam, Pemikiran Ulama.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Konsep Ibadurrahman memiliki posisi istimewa
dalam Al-Qur'an, terutama dalam Surah Al-Furqan [25] ayat 63–77. Dalam
ayat-ayat tersebut, Allah Swt menggambarkan sifat-sifat hamba-Nya yang sejati,
yang dikenal sebagai Ibadurrahman, atau hamba-hamba Allah yang Maha
Pengasih. Istilah ini mencerminkan hubungan hamba dengan Allah Swt yang
didasarkan pada kasih sayang-Nya, baik sebagai sumber kekuatan maupun tujuan
hidup manusia.1 Penelitian mendalam tentang Ibadurrahman
memberikan wawasan komprehensif tentang akhlak ideal seorang Muslim dan
bagaimana sifat-sifat tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan untuk memahami konsep ini semakin
mendesak, mengingat tantangan moral yang dihadapi umat Islam di era modern.
Globalisasi, disrupsi teknologi, dan perubahan sosial telah memengaruhi cara
umat Islam menjalani ajaran agama mereka.2 Dalam konteks ini, kajian
tentang Ibadurrahman memberikan arah dan panduan moral yang jelas,
berakar pada sumber-sumber Islam klasik dan diperkaya dengan analisis
kontemporer.
1.2. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mengupas sifat-sifat Ibadurrahman
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, dengan pendekatan berbasis tafsir klasik,
kitab-kitab ulama, serta jurnal ilmiah Islami. Kajian ini dirancang untuk
memberikan pemahaman yang mendalam, baik dari sisi teoretis maupun aplikatif,
yang relevan dengan kehidupan individu dan masyarakat Muslim. Penjelasan ini
juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seputar bagaimana
sifat-sifat Ibadurrahman dapat membentuk kepribadian yang unggul dan
berdampak positif pada lingkungan sosial.
Dalam pembahasan ini, sumber-sumber utama seperti Tafsir
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurtubi, dan Ihya Ulumuddin karya Imam
Al-Ghazali akan dijadikan rujukan utama, disertai analisis dari ulama
kontemporer seperti Wahbah Az-Zuhaili.3 Kajian ini juga memanfaatkan
penelitian akademik dari jurnal ilmiah Islami untuk memastikan relevansi dan
kredibilitas pembahasan.4
Dengan pendekatan ini, diharapkan tulisan ini tidak
hanya memperkaya wawasan tentang Ibadurrahman, tetapi juga memberikan
inspirasi untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat Ibadurrahman
yang mencakup tawadhu', sabar, dan komitmen pada ibadah, menawarkan solusi
untuk berbagai tantangan moral dan spiritual yang dihadapi umat Islam saat ini.5
Catatan Kaki:
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy
Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.
[2]
John L. Esposito, Islam and the Modern World
(Oxford University Press, 2018), 145.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed.
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.
[4]
Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic
Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.
[5]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 3 (Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 43–44.
2.
Konsep
Dasar Ibadurrahman dalam Al-Qur'an dan Hadits
2.1. Pengertian Ibadurrahman
Secara bahasa, istilah Ibadurrahman berasal
dari kata "عباد" (Ibad)
yang berarti hamba dan "الرحمن"
(Ar-Rahman) yang merupakan salah satu nama Allah Swt yang berarti Maha
Pengasih. Oleh karena itu, Ibadurrahman berarti hamba-hamba Allah yang
berhubungan erat dengan sifat kasih sayang-Nya.1 Dalam konteks
Al-Qur'an, Ibadurrahman merujuk kepada hamba-hamba pilihan Allah yang
memiliki karakteristik dan sifat-sifat khusus, sebagaimana dijelaskan dalam
Surah Al-Furqan [25] ayat 63–77.2
2.2. Sumber Utama dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an memberikan gambaran mendetail tentang
sifat-sifat Ibadurrahman dalam Surah Al-Furqan [25] ayat 63–77.
Ayat-ayat tersebut menggambarkan 11 sifat utama yang menjadi ciri khas
hamba-hamba Allah yang sejati:
·
Tawadhu' (rendah hati):
"Dan
hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (adalah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati..." (QS. Al-Furqan [25] ayat
63). Rendah hati adalah sifat fundamental yang menunjukkan ketundukan kepada
Allah Swt.3
·
Kesabaran terhadap kebodohan:
"...dan
apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik." (QS. Al-Furqan [25] ayat 63). Ini mencerminkan kemampuan untuk
mengendalikan emosi dan merespon dengan hikmah.4
·
Ibadah malam:
"Dan
orang-orang yang menghabiskan malam mereka dengan bersujud dan berdiri untuk
Tuhan mereka." (QS. Al-Furqan [25] ayat 64). Sifat ini menunjukkan
ketekunan dalam ibadah, terutama shalat malam sebagai wujud cinta kepada Allah.5
·
Kekhawatiran terhadap azab Allah:
Mereka
berdoa agar diselamatkan dari siksa neraka, menunjukkan kesadaran mendalam akan
pertanggungjawaban di akhirat.6
·
Keseimbangan dalam pengeluaran:
Mereka
adalah orang-orang yang "tidak boros dan tidak pelit," tetapi
menjaga keseimbangan dalam pengeluaran mereka. (QS. Al-Furqan [25] ayat 67).7
Sifat-sifat lain yang dijelaskan meliputi menjauhi
dosa besar seperti syirik, pembunuhan, dan zina (QS. Al-Furqan [25] ayat
68–69), taubat yang tulus (QS. Al-Furqan [25] ayat 70), dan kesungguhan dalam
memperbaiki diri serta keluarga mereka (QS. Al-Furqan [25] ayat 74).
2.3. Hadits-Hadits yang Mendukung Konsep Ibadurrahman
Selain Al-Qur'an, hadits-hadits Rasulullah Saw juga
menegaskan pentingnya sifat-sifat ini dalam membentuk karakter seorang Muslim
sejati. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda:
_"Orang yang paling dicintai Allah adalah
mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain."_8 Hadits
ini sejalan dengan sifat Ibadurrahman yang selalu memberikan manfaat
kepada orang lain, sebagaimana dicontohkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
Hadits lain menyebutkan, _"Tidak ada yang
lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat daripada akhlak yang
baik."_9 Ini menunjukkan pentingnya akhlak yang baik
sebagai bagian dari karakter Ibadurrahman. Akhlak yang baik seperti
rendah hati, sabar, dan tidak sombong adalah fondasi utama yang menjadikan
seseorang dekat dengan Allah Swt.
2.4. Relevansi Konsep Ibadurrahman dalam Kehidupan
Modern
Sifat-sifat Ibadurrahman tidak hanya menjadi
pedoman spiritual tetapi juga memiliki relevansi sosial yang kuat. Karakter
rendah hati, kesabaran, dan keseimbangan dalam hidup dapat menjadi solusi
terhadap tantangan modern seperti individualisme, konsumerisme, dan konflik
sosial. Menginternalisasi sifat-sifat ini adalah langkah awal dalam menciptakan
masyarakat yang lebih harmonis, berkeadilan, dan beradab.10
Catatan Kaki:
[1]
Edward Lane, Arabic-English Lexicon (Beirut:
Librairie Du Liban, 1968), 217.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning Of The Holy
Qur'an, Terj. (Amana Publications, 2004), 481.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Ed. Syaikh
Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.
[4]
Muhammad Asad, The Message Of The Qur'an (Gibraltar:
Dar Al-Andalus, 1980), 515.
[5]
Al-Qurtubi, Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1997), Vol. 6, 417.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Vol. 3 (Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah, 2011), 43–44.
[7]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Damascus:
Dar Al-Fikr, 1997), Vol. 6, 384.
[8]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Adab, Hadits
No. 4899.
[9]
Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Kitab Al-Birr Wa As-Silah,
Hadits No. 2003.
[10]
Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions Of Islamic
Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, No. 3 (2002): 23–45.
3.
Penjelasan Ibadurrahman dalam Tafsir Klasik
3.1. Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu rujukan utama
dalam memahami ayat-ayat tentang Ibadurrahman (QS. Al-Furqan [25] ayat
63–77). Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Ibadurrahman
adalah hamba-hamba Allah yang memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya karena
sifat-sifat mulia yang mereka miliki.1 Beliau menafsirkan ayat-ayat
ini dengan menghubungkannya dengan hadits-hadits yang relevan, seperti sabda
Nabi Saw: _"Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertakwa, yang
kaya hati, dan yang rendah hati."_2
Ibnu Katsir juga menyoroti pentingnya sifat
tawadhu’ dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63, yang menurutnya merupakan dasar dari
semua sifat baik lainnya. Tawadhu' bukan hanya sikap lahiriah, tetapi juga
bentuk penghormatan terhadap sesama manusia sebagai ciptaan Allah Swt.3
3.2. Tafsir Al-Qurtubi
Dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
Al-Qurtubi memberikan penjelasan yang kaya tentang sifat-sifat Ibadurrahman,
terutama dari perspektif hukum dan aplikasi praktis. Misalnya, ia menjelaskan
bahwa sifat keseimbangan dalam infaq (QS. Al-Furqan [25] ayat 67) bukan hanya
terkait dengan pengeluaran harta, tetapi juga dengan manajemen sumber daya
secara keseluruhan.4
Al-Qurtubi menambahkan bahwa doa Ibadurrahman
untuk keselamatan keluarga mereka dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 74 menunjukkan
pentingnya peran keluarga sebagai unit dasar dalam masyarakat Islam. Ia menekankan
bahwa Ibadurrahman tidak hanya berfokus pada kesalehan pribadi tetapi
juga pada pembentukan keluarga yang harmonis.5
3.3. Tafsir Jalalain
Tafsir Jalalain, yang disusun oleh Jalaluddin
Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, memberikan penjelasan singkat namun padat
tentang ayat-ayat ini. Dalam menafsirkan QS. Al-Furqan [25] ayat 68–70, yang
membahas tentang dosa besar seperti syirik, pembunuhan, dan zina, Jalalain
menekankan bahwa Ibadurrahman adalah mereka yang menjauhi dosa-dosa ini
dan jika mereka terlanjur melakukannya, mereka segera bertaubat dengan taubat
yang sungguh-sungguh (taubatan nasuha).6
Tafsir Jalalain juga mencatat pentingnya doa
sebagai ciri khas Ibadurrahman. Doa-doa yang disebutkan dalam ayat-ayat
ini bukan hanya wujud ketergantungan kepada Allah, tetapi juga bentuk optimisme
dan harapan dalam hidup.7
3.4. Perbandingan dan Sintesis Tafsir Klasik
Ketiga tafsir tersebut menunjukkan keselarasan
dalam menafsirkan sifat-sifat Ibadurrahman sebagai standar akhlak ideal
dalam Islam. Ibnu Katsir menekankan dimensi spiritual dan perilaku, Al-Qurtubi
menyoroti implikasi hukum dan sosial, sementara Tafsir Jalalain memberikan
penjelasan praktis dan ringkas yang memudahkan pemahaman.
Salah satu sintesis penting dari tafsir-tafsir
klasik ini adalah bahwa sifat-sifat Ibadurrahman mencerminkan
keseimbangan antara kesalehan individual dan tanggung jawab sosial. Hal ini
sejalan dengan prinsip Islam yang mengintegrasikan dimensi duniawi dan ukhrawi
dalam kehidupan seorang Muslim.8
Catatan Kaki:
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed.
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.
[2]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq, no. 2966.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim,
4:213.
[4]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 243.
[5]
Ibid., 247.
[6]
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir
Al-Jalalain (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 1998), 317.
[7]
Ibid., 318.
[8]
Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic
Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.
4.
Kajian
Ibadurrahman dalam Kitab-Kitab Klasik Ulama
4.1. Ihya Ulumuddin oleh Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya
Ulumuddin, mengaitkan sifat-sifat Ibadurrahman dengan pembentukan
akhlak mulia dan kesempurnaan spiritual seorang Muslim. Ia menekankan bahwa
sifat-sifat seperti tawadhu' (QS. Al-Furqan [25] ayat 63), sabar terhadap
kebodohan (QS. Al-Furqan [25] ayat 63), dan ketekunan dalam ibadah malam (QS.
Al-Furqan [25] ayat 64) adalah jalan menuju maqam tinggi di sisi Allah Swt.1
Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali juga mengaitkan sifat tawadhu’ dengan
penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), yang dianggap sebagai langkah awal
menuju kesempurnaan akhlak.2
Al-Ghazali juga mengulas keseimbangan dalam
pengeluaran (infaq) yang disebutkan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 67.
Menurutnya, keseimbangan ini adalah manifestasi dari sifat zuhud, di mana
seorang Muslim tidak berlebihan dalam menikmati dunia tetapi juga tidak
bersikap kikir. Ia menekankan pentingnya sifat ini sebagai fondasi untuk
membangun kehidupan yang harmonis antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.3
4.2. Tafsir Al-Mazhari oleh Qadhi Thanaullah Panipati
Qadhi Thanaullah Panipati dalam Tafsir
Al-Mazhari memberikan ulasan yang mendalam tentang sifat-sifat Ibadurrahman.
Dalam menafsirkan QS. Al-Furqan [25] ayat 68–70, ia menekankan makna taubat
sebagai proses spiritual yang bukan hanya sekadar penyesalan tetapi juga
transformasi moral.4 Ia menghubungkan sifat-sifat Ibadurrahman
dengan nilai-nilai moral yang tidak hanya berlaku secara individu, tetapi juga
berdampak pada masyarakat. Misalnya, sifat menjauhi kesaksian palsu (QS. Al-Furqan
[25] ayat 72) dianggapnya sebagai elemen penting dalam menegakkan keadilan
sosial.5
Selain itu, Qadhi Thanaullah menyoroti doa dalam
QS. Al-Furqan [25] ayat 74, yang memohon keselamatan dan kebahagiaan keluarga.
Ia menafsirkan doa ini sebagai penekanan pada pentingnya pembentukan keluarga
yang saleh sebagai bagian dari masyarakat Islam yang kuat.6
4.3. Bidayatul Hidayah oleh Imam Al-Ghazali
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali
kembali menyoroti beberapa sifat Ibadurrahman, terutama yang berkaitan
dengan kesabaran dan ibadah malam. Ia menggarisbawahi bahwa shalat malam adalah
tanda kesungguhan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt,
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 64.7 Menurut
Al-Ghazali, kesabaran terhadap kebodohan (al-jahilin, QS. Al-Furqan [25]
ayat 63) adalah ujian besar yang hanya bisa dihadapi oleh mereka yang memiliki
kendali diri yang kuat.8
4.4. Relevansi dengan Kehidupan Modern
Kitab-kitab klasik ulama ini menegaskan bahwa
sifat-sifat Ibadurrahman bukan hanya idealisme spiritual, tetapi juga
panduan praktis untuk kehidupan individu dan masyarakat. Dalam konteks modern,
sifat tawadhu' dan keseimbangan dalam infaq dapat diaplikasikan dalam
menghadapi tantangan materialisme dan konsumerisme. Doa dan kesabaran,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab ini, juga merupakan solusi untuk
menghadapi tekanan hidup dan konflik sosial.9
Catatan Kaki:
[1]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67–68.
[2]
Ibid., 69.
[3]
Ibid., 71–72.
[4]
Qadhi Thanaullah Panipati, Tafsir Al-Mazhari
(Karachi: Darul Ishaat, 2005), vol. 5, 331.
[5]
Ibid., 335.
[6]
Ibid., 338.
[7]
Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah (Beirut: Dar
al-Minhaj, 2013), 102–103.
[8]
Ibid., 110.
[9]
Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic
Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.
5.
Relevansi
dan Kontekstualisasi Ibadurrahman di Era Modern
5.1. Relevansi Sifat-Sifat Ibadurrahman dalam Kehidupan
Kontemporer
Konsep Ibadurrahman sebagaimana diuraikan
dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63–77 tetap relevan sebagai pedoman etika dan
moral untuk menghadapi tantangan di era modern. Sifat tawadhu' (rendah hati)
sangat diperlukan dalam membangun hubungan antarindividu di tengah meningkatnya
kecenderungan individualisme. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh
egoisme, tawadhu' dapat menjadi penyeimbang yang menciptakan harmoni sosial.1
Kesabaran terhadap kebodohan (al-jahilin)
juga memiliki implikasi praktis. Di era digital, kebodohan sering kali diwujudkan
dalam bentuk ujaran kebencian, hoaks, atau provokasi di media sosial. Sifat ini
mengajarkan pengendalian emosi dan kemampuan untuk merespon dengan bijak,
sehingga mencegah konflik yang lebih besar.2
Keseimbangan dalam pengeluaran (infaq),
sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 67, relevan untuk
menanggapi tantangan konsumerisme modern. Gaya hidup hemat yang diajarkan oleh Ibadurrahman
mendorong pengelolaan sumber daya yang bijaksana, baik dalam skala individu
maupun masyarakat.3
5.2. Tantangan Menerapkan Sifat-Sifat Ibadurrahman di
Era Modern
Tantangan besar dalam mengamalkan sifat Ibadurrahman
di era modern adalah meningkatnya tekanan materialisme dan hedonisme. Sistem
ekonomi global yang berbasis pada konsumsi sering kali mendorong masyarakat
untuk hidup berlebihan. Dalam konteks ini, sifat Ibadurrahman yang
mengajarkan keseimbangan dapat menjadi penangkal yang efektif.4
Selain itu, era modern juga ditandai dengan
meningkatnya konflik sosial dan politik. Sifat sabar terhadap kebodohan dan
menjauhi kesaksian palsu (qadzf) menjadi sangat penting untuk
menciptakan masyarakat yang lebih damai dan adil. Keteladanan dalam hal ini
sangat dibutuhkan dari para pemimpin dan tokoh masyarakat yang mampu
merepresentasikan sifat Ibadurrahman.5
5.3. Kontekstualisasi Ajaran Ibadurrahman dalam Dunia
Global
Dalam dunia global yang saling terhubung, sifat Ibadurrahman
dapat menjadi solusi terhadap masalah global seperti ketimpangan sosial,
konflik antarbangsa, dan kerusakan lingkungan. Nilai-nilai seperti keseimbangan
dalam pengeluaran dan kepedulian terhadap keluarga dapat diterjemahkan menjadi
program sosial untuk mengurangi kemiskinan dan memperkuat solidaritas
komunitas.6
Pemikiran Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir
Al-Munir menegaskan bahwa sifat-sifat Ibadurrahman memiliki dimensi
universal yang dapat diterapkan di berbagai konteks. Misalnya, doa agar
diberikan pasangan dan keturunan yang saleh (QS. Al-Furqan [25] ayat 74) dapat
ditafsirkan sebagai komitmen untuk membangun keluarga yang berperan aktif dalam
pembangunan masyarakat.7
5.4. Strategi Penguatan Nilai-Nilai Ibadurrahman
Penerapan sifat-sifat Ibadurrahman
membutuhkan strategi yang holistik, melibatkan pendidikan, dakwah, dan
kebijakan publik. Pendidikan Islam perlu mengintegrasikan nilai-nilai Ibadurrahman
dalam kurikulum, tidak hanya sebagai ajaran moral, tetapi juga sebagai bagian
dari keterampilan hidup.8
Dakwah, baik di mimbar masjid maupun melalui media
digital, juga perlu menekankan pentingnya sifat-sifat ini untuk menciptakan
masyarakat yang lebih harmonis. Sebagai contoh, dakwah yang berfokus pada
keseimbangan dalam kehidupan dapat membantu umat Islam menghadapi tantangan
konsumerisme modern.9
Catatan Kaki:
[1]
Muhammad Asad, The Message of the Qur'an
(Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 515.
[2]
Abdullah Saeed, Islamic Ethics and Social
Responsibility in the Digital Age, Journal of Islamic Studies 27,
no. 2 (2018): 123–145.
[3]
Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic
Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.
[4]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 243.
[5]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir
(Damascus: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 6, 384.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Environmental
Crisis (Chicago: ABC International, 2005), 88–93.
[7]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, vol. 6,
389.
[8]
Tariq Ramadan, The Quest for Meaning: Developing
a Philosophy of Pluralism (London: Penguin Books, 2010), 145.
[9]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy
Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.
6.
Implementasi
Sifat-Sifat Ibadurrahman dalam Kehidupan Umat
6.1. Penerapan dalam Hubungan Sosial
Sifat-sifat Ibadurrahman sebagaimana
dijelaskan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63–77 memiliki relevansi yang sangat
penting dalam membangun hubungan sosial yang harmonis. Misalnya, sifat tawadhu’
(rendah hati) mengajarkan pentingnya kesadaran akan kesetaraan manusia di
hadapan Allah Swt. Implementasi sifat ini dapat dilihat dalam sikap menghormati
sesama, menjaga adab dalam berbicara, dan menghindari perilaku sombong.1
Rasulullah Saw bersabda: _"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku
agar kalian bersikap tawadhu', sehingga tidak ada seorang pun yang
menyombongkan diri terhadap yang lain."_2
Kesabaran terhadap kebodohan (al-jahilin)
juga menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik sosial. Di era modern, ini dapat
diterapkan melalui pengendalian emosi dalam berkomunikasi, baik secara langsung
maupun di media sosial.3 Dengan menghindari respon emosional
terhadap provokasi, umat Islam dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih
damai.
6.2. Peran Keluarga dalam Membentuk Generasi
Ibadurrahman
QS. Al-Furqan [25] ayat 74 menekankan pentingnya
doa untuk keselamatan dan keberkahan keluarga: "Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk
hati kami." Ayat ini menunjukkan bahwa keluarga memiliki peran
strategis dalam membentuk generasi Ibadurrahman.4 Orang tua
berperan sebagai teladan dalam menanamkan nilai-nilai seperti tawadhu’,
kejujuran, dan kesabaran kepada anak-anak mereka.
Keluarga juga berfungsi sebagai tempat pertama
untuk mengajarkan keseimbangan dalam pengeluaran, sebagaimana disebutkan dalam
QS. Al-Furqan [25] ayat 67. Dengan mendidik anak-anak untuk hidup hemat dan
menjauhi perilaku boros, keluarga dapat membantu menciptakan generasi yang
bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya.5
6.3. Peran Pendidikan dalam Implementasi Nilai-Nilai
Ibadurrahman
Pendidikan formal dan non-formal merupakan sarana
penting untuk menginternalisasi sifat-sifat Ibadurrahman. Institusi
pendidikan Islam perlu mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam kurikulum mereka,
baik melalui pelajaran agama maupun kegiatan ekstrakurikuler.6
Misalnya, sifat tawadhu’ dapat diajarkan melalui
program kerja sama kelompok yang menekankan pentingnya kolaborasi daripada
kompetisi. Sifat sabar dan menghindari kesaksian palsu dapat diajarkan melalui
pelatihan etika dan diskusi interaktif tentang isu-isu moral kontemporer.7
6.4. Peran Dakwah dan Lembaga Sosial
Para dai dan tokoh agama memiliki tanggung jawab
besar dalam menyebarkan nilai-nilai Ibadurrahman. Dakwah yang efektif
harus mampu menjelaskan relevansi sifat-sifat ini dalam menghadapi tantangan
modern, seperti individualisme, materialisme, dan krisis sosial.8
Lembaga sosial juga dapat berperan dengan
mengadakan program-program yang mempromosikan keseimbangan dalam hidup.
Contohnya adalah penyuluhan keuangan untuk masyarakat yang mengajarkan
prinsip-prinsip keseimbangan dalam pengeluaran sesuai ajaran Islam.9
6.5. Implementasi pada Skala Masyarakat dan Negara
Pada tingkat masyarakat, sifat Ibadurrahman
seperti menjauhi kesaksian palsu (qadzf) memiliki relevansi langsung
terhadap penegakan hukum dan keadilan sosial. Negara dapat mendukung
implementasi sifat ini dengan memperkuat sistem peradilan yang transparan dan
adil.10
Dalam skala yang lebih luas, nilai-nilai Ibadurrahman
dapat dijadikan dasar untuk merancang kebijakan publik yang bertujuan
menciptakan masyarakat yang harmonis. Contohnya adalah kebijakan keseimbangan
ekonomi yang mengurangi kesenjangan sosial, sehingga mencerminkan nilai
keseimbangan dalam pengeluaran sebagaimana diajarkan oleh Ibadurrahman.11
6.6. Tantangan dan Solusi
Meskipun sifat-sifat Ibadurrahman memiliki
nilai universal, implementasinya dihadapkan pada tantangan besar seperti
pengaruh budaya konsumerisme dan konflik kepentingan individu. Untuk mengatasi
hal ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, dakwah, dan
kebijakan publik. Pendekatan ini harus mampu menanamkan kesadaran bahwa sifat-sifat
Ibadurrahman adalah kunci untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik,
baik secara individu maupun kolektif.12
Catatan Kaki:
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy
Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.
[2]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
Al-Birr wa As-Silah, no. 2588.
[3]
Abdullah Saeed, Islamic Ethics and Social
Responsibility in the Digital Age, Journal of Islamic Studies 27,
no. 2 (2018): 123–145.
[4]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 247.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed.
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:213.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67–68.
[7]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir
(Damascus: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 6, 384.
[8]
Tariq Ramadan, The Quest for Meaning: Developing
a Philosophy of Pluralism (London: Penguin Books, 2010), 145.
[9]
Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic
Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Environmental
Crisis (Chicago: ABC International, 2005), 88–93.
[11]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, vol. 6,
389.
[12]
John L. Esposito, Islam and the Modern World
(Oxford University Press, 2018), 145.
7.
Penutup
7.1. Kesimpulan
Konsep Ibadurrahman dalam Al-Qur'an dan
Hadits merupakan pedoman akhlak yang mencakup sifat-sifat mulia seperti
tawadhu’, kesabaran, ketekunan dalam ibadah, keseimbangan hidup, serta komitmen
terhadap keluarga dan masyarakat. Penjelasan sifat-sifat ini dalam QS. Al-Furqan
[25] ayat 63–77, yang diperkaya oleh tafsir klasik seperti Tafsir Ibnu
Katsir, Al-Qurtubi, dan Tafsir Al-Jalalain, memberikan
wawasan mendalam tentang bagaimana sifat-sifat tersebut membentuk individu
Muslim yang ideal.1 Ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin juga menegaskan pentingnya sifat-sifat ini sebagai pilar akhlak
Islami yang mendukung kehidupan individu dan sosial.2
Melalui pendekatan kontekstual, sifat-sifat Ibadurrahman
terbukti relevan dalam menjawab tantangan zaman modern. Tawadhu' dapat menjadi
penangkal egoisme, kesabaran terhadap kebodohan menjadi solusi untuk menghadapi
konflik sosial, dan keseimbangan dalam pengeluaran menjadi panduan melawan
konsumerisme. Selain itu, doa untuk keluarga dan keturunan menunjukkan
pentingnya peran keluarga dalam membangun masyarakat yang saleh.3
7.2. Saran
Dalam menghadapi tantangan global seperti krisis
moral, konflik sosial, dan tekanan materialisme, penting bagi umat Islam untuk
menginternalisasi sifat-sifat Ibadurrahman sebagai fondasi kehidupan.
Pendidikan, dakwah, dan kebijakan publik dapat menjadi sarana efektif untuk
menyebarluaskan nilai-nilai ini. Pendidikan Islam harus memasukkan konsep Ibadurrahman
dalam kurikulum, tidak hanya sebagai teori tetapi juga sebagai praktik dalam
kehidupan sehari-hari.4
Dakwah yang inovatif melalui media digital juga
dapat menjadi alat untuk menjangkau generasi muda, yang menghadapi tantangan
unik di era modern. Misalnya, kampanye media sosial yang mempromosikan tawadhu'
dan kesabaran dapat membantu menciptakan budaya komunikasi yang lebih santun
dan damai.5
7.3. Penutup Akhir
Sebagai pedoman akhlak yang komprehensif,
sifat-sifat Ibadurrahman menawarkan solusi praktis untuk membangun
individu dan masyarakat yang unggul. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, umat
Islam dapat tidak hanya meningkatkan kualitas kehidupan spiritual tetapi juga
memberikan kontribusi positif bagi peradaban global. Seperti yang dikatakan
oleh Wahbah Az-Zuhaili, sifat-sifat Ibadurrahman adalah cerminan dari
esensi Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang dan keseimbangan.6
Catatan Kaki:
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed.
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.
[2]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67–68.
[3]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 247.
[4]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy
Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.
[5]
Abdullah Saeed, Islamic Ethics and Social
Responsibility in the Digital Age, Journal of Islamic Studies 27,
no. 2 (2018): 123–145.
[6]
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir
(Damascus: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 6, 389.
Daftar Pustaka
Abdullah, Y. (2004). The meaning of the Holy
Qur'an (Translated). Amana Publications.
Al-Ghazali. (2011). Ihya Ulumuddin (Vol. 4).
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Ghazali. (2013). Bidayatul Hidayah.
Beirut: Dar al-Minhaj.
Al-Mahalli, J., & As-Suyuthi, J. (1998). Tafsir
Al-Jalalain. Beirut: Dar Al-Ma'arif.
Al-Qurtubi. (1997). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Vol. 13). Beirut: Dar Al-Fikr.
Asad, M. (1980). The message of the Qur'an.
Gibraltar: Dar Al-Andalus.
Esposito, J. L. (2018). Islam and the modern
world. Oxford University Press.
Fazlur Rahman. (2002). Ethical dimensions of
Islamic philosophy. Islamic Studies Journal, 12(3), 23–45.
Ibn Kathir. (2003). Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim
(Ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani, Vol. 4). Dar Ibn Hazm.
Nasr, S. H. (2005). Islam and the environmental
crisis. Chicago: ABC International.
Saeed, A. (2018). Islamic ethics and social
responsibility in the digital age. Journal of Islamic Studies, 27(2),
123–145.
Tariq, R. (2010). The quest for meaning:
Developing a philosophy of pluralism. London: Penguin Books.
Thanaullah Panipati, Q. (2005). Tafsir
Al-Mazhari (Vol. 5). Karachi: Darul Ishaat.
Wahbah Az-Zuhaili. (1997). Tafsir Al-Munir
(Vol. 6). Damascus: Dar Al-Fikr.
Lampiran: Tokoh-Tokoh Masyhur yang Masuk Kategori Ibadurrahman
Berdasarkan Periode Hidupnya
1.
Periode Sahabat Nabi
1.1.
Abu
Bakar Ash-Shiddiq (573–634 M)
Bidang Keahlian: Kepemimpinan
dan dakwah.
Peninggalan Populer: Menyatukan
kaum Muslimin setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw dan menginisiasi kodifikasi
Al-Qur'an.1
1.2.
Umar
bin Khattab (584–644 M)
Bidang Keahlian: Pemerintahan
dan reformasi sosial.
Peninggalan Populer: Mendirikan
sistem administrasi negara Islam, seperti diwan (catatan keuangan negara), dan
kalender Hijriah.2
1.3.
Utsman
bin Affan (577–656 M)
Bidang Keahlian: Ekonomi dan
kodifikasi Al-Qur'an.
Peninggalan Populer: Membukukan
mushaf Al-Qur'an yang menjadi rujukan utama hingga sekarang.3
1.4.
Ali
bin Abi Thalib (600–661 M)
Bidang Keahlian: Hukum dan
kebijaksanaan.
Peninggalan Populer: Koleksi
khutbah dan kata-kata bijaknya yang terkodifikasi dalam Nahj
al-Balaghah.4
2.
Periode Tabi’in
2.1.
Hasan
Al-Bashri (642–728 M)
Bidang Keahlian: Ilmu tasawuf
dan akhlak.
Peninggalan Populer: Pemikiran
tentang zuhud dan ketakwaan yang memengaruhi perkembangan tasawuf Islam.5
2.2.
Sa’id
bin Jubair (665–713 M)
Bidang Keahlian: Tafsir
Al-Qur'an dan hukum Islam.
Peninggalan Populer: Tafsirnya
yang menjadi rujukan penting dalam kitab-kitab tafsir klasik.6
3.
Periode Abbasiyah
3.1.
Imam
Abu Hanifah (699–767 M)
Bidang Keahlian: Fikih.
Peninggalan Populer: Pendiri
mazhab Hanafi, salah satu mazhab fikih terbesar dalam Islam.7
3.2.
Imam
Al-Ghazali (1058–1111 M)
Bidang Keahlian: Teologi,
tasawuf, dan filsafat.
Peninggalan Populer: Karya
monumental Ihya
Ulumuddin yang menjadi rujukan dalam akhlak dan tasawuf.8
4.
Periode Modern
4.1.
Muhammad
Abduh (1849–1905 M)
Bidang Keahlian: Reformasi
pendidikan dan pemikiran Islam.
Peninggalan Populer: Tafsir
Al-Manar, yang ia tulis bersama Rasyid Ridha, serta gagasan pembaruan
Islam.9
4.2.
Maulana
Abul Kalam Azad (1888–1958 M)
Bidang Keahlian: Pendidikan dan
politik.
Peninggalan Populer: Peran
dalam pembentukan sistem pendidikan Islam di India dan karya tafsirnya, Tarjuman
al-Qur'an.10
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Ibn Jarir Al-Tabari, History of the Prophets and Kings
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 2, 312.
[2]
Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’ (Cairo: Dar
Al-Ma’arif, 2000), 145.
[3]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam An-Nubala (Beirut:
Mu’assasah Ar-Risalah, 2001), vol. 2, 345.
[4]
Nahj al-Balaghah, trans. Muhammad Abduh (Beirut: Dar Al-Hadith, 1989),
54.
[5]
Al-Qushayri, Risalah al-Qushayriyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 98.
[6]
Al-Khatib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad (Beirut: Dar
Al-Gharb Al-Islami, 2001), vol. 9, 271.
[7]
Ibn Abidin, Radd al-Muhtar (Cairo: Dar
Al-Kutub, 1995), vol. 1, 24.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67.
[9]
Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, ed. Rasyid Ridha
(Cairo: Dar Al-Manar, 1908), vol. 1, 45.
[10]
Maulana Abul Kalam Azad, Tarjuman al-Qur'an (New Delhi:
Orient Longman, 1989), 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar