Rabu, 15 Januari 2025

Ibadurrahman dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Ibadurrahman dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Telaah Mendalam Berdasarkan Tafsir Klasik dan Pemikiran Ulama


Abstrak

Konsep Ibadurrahman dalam Al-Qur'an dan Hadits merupakan pedoman akhlak yang berisi sifat-sifat ideal seorang hamba Allah yang Maha Pengasih, sebagaimana dirangkum dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63–77. Penelitian ini mengkaji sifat-sifat Ibadurrahman berdasarkan tafsir klasik seperti Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Tafsir Al-Jalalain, serta pemikiran ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Qadhi Thanaullah Panipati. Kajian ini menekankan relevansi sifat-sifat Ibadurrahman dalam kehidupan modern, termasuk pengendalian emosi, keseimbangan hidup, dan kepedulian sosial. Selain itu, artikel ini menguraikan implementasi nilai-nilai Ibadurrahman dalam hubungan sosial, pendidikan, keluarga, dan kebijakan publik. Melalui pendekatan yang komprehensif, penelitian ini memberikan pemahaman teoretis dan praktis untuk membentuk individu dan masyarakat yang berakhlak mulia, relevan dengan tantangan zaman modern.

Kata Kunci: Ibadurrahman, Al-Qur'an, Hadits, Tafsir Klasik, Akhlak Islam, Kehidupan Modern, Pendidikan Islam, Pemikiran Ulama.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Konsep Ibadurrahman memiliki posisi istimewa dalam Al-Qur'an, terutama dalam Surah Al-Furqan [25] ayat 63–77. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Swt menggambarkan sifat-sifat hamba-Nya yang sejati, yang dikenal sebagai Ibadurrahman, atau hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih. Istilah ini mencerminkan hubungan hamba dengan Allah Swt yang didasarkan pada kasih sayang-Nya, baik sebagai sumber kekuatan maupun tujuan hidup manusia.1 Penelitian mendalam tentang Ibadurrahman memberikan wawasan komprehensif tentang akhlak ideal seorang Muslim dan bagaimana sifat-sifat tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kebutuhan untuk memahami konsep ini semakin mendesak, mengingat tantangan moral yang dihadapi umat Islam di era modern. Globalisasi, disrupsi teknologi, dan perubahan sosial telah memengaruhi cara umat Islam menjalani ajaran agama mereka.2 Dalam konteks ini, kajian tentang Ibadurrahman memberikan arah dan panduan moral yang jelas, berakar pada sumber-sumber Islam klasik dan diperkaya dengan analisis kontemporer.

1.2.       Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk mengupas sifat-sifat Ibadurrahman berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, dengan pendekatan berbasis tafsir klasik, kitab-kitab ulama, serta jurnal ilmiah Islami. Kajian ini dirancang untuk memberikan pemahaman yang mendalam, baik dari sisi teoretis maupun aplikatif, yang relevan dengan kehidupan individu dan masyarakat Muslim. Penjelasan ini juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seputar bagaimana sifat-sifat Ibadurrahman dapat membentuk kepribadian yang unggul dan berdampak positif pada lingkungan sosial.

Dalam pembahasan ini, sumber-sumber utama seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurtubi, dan Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali akan dijadikan rujukan utama, disertai analisis dari ulama kontemporer seperti Wahbah Az-Zuhaili.3 Kajian ini juga memanfaatkan penelitian akademik dari jurnal ilmiah Islami untuk memastikan relevansi dan kredibilitas pembahasan.4

Dengan pendekatan ini, diharapkan tulisan ini tidak hanya memperkaya wawasan tentang Ibadurrahman, tetapi juga memberikan inspirasi untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat Ibadurrahman yang mencakup tawadhu', sabar, dan komitmen pada ibadah, menawarkan solusi untuk berbagai tantangan moral dan spiritual yang dihadapi umat Islam saat ini.5


Catatan Kaki:

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.

[2]                John L. Esposito, Islam and the Modern World (Oxford University Press, 2018), 145.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.

[4]                Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.

[5]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 3 (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 43–44.


2.           Konsep Dasar Ibadurrahman dalam Al-Qur'an dan Hadits

2.1.       Pengertian Ibadurrahman

Secara bahasa, istilah Ibadurrahman berasal dari kata "عباد" (Ibad) yang berarti hamba dan "الرحمن" (Ar-Rahman) yang merupakan salah satu nama Allah Swt yang berarti Maha Pengasih. Oleh karena itu, Ibadurrahman berarti hamba-hamba Allah yang berhubungan erat dengan sifat kasih sayang-Nya.1 Dalam konteks Al-Qur'an, Ibadurrahman merujuk kepada hamba-hamba pilihan Allah yang memiliki karakteristik dan sifat-sifat khusus, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Furqan [25] ayat 63–77.2

2.2.       Sumber Utama dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an memberikan gambaran mendetail tentang sifat-sifat Ibadurrahman dalam Surah Al-Furqan [25] ayat 63–77. Ayat-ayat tersebut menggambarkan 11 sifat utama yang menjadi ciri khas hamba-hamba Allah yang sejati:

·                     Tawadhu' (rendah hati):

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati..." (QS. Al-Furqan [25] ayat 63). Rendah hati adalah sifat fundamental yang menunjukkan ketundukan kepada Allah Swt.3

·                     Kesabaran terhadap kebodohan:

"...dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (QS. Al-Furqan [25] ayat 63). Ini mencerminkan kemampuan untuk mengendalikan emosi dan merespon dengan hikmah.4

·                     Ibadah malam:

"Dan orang-orang yang menghabiskan malam mereka dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka." (QS. Al-Furqan [25] ayat 64). Sifat ini menunjukkan ketekunan dalam ibadah, terutama shalat malam sebagai wujud cinta kepada Allah.5

·                     Kekhawatiran terhadap azab Allah:

Mereka berdoa agar diselamatkan dari siksa neraka, menunjukkan kesadaran mendalam akan pertanggungjawaban di akhirat.6

·                     Keseimbangan dalam pengeluaran:

Mereka adalah orang-orang yang "tidak boros dan tidak pelit," tetapi menjaga keseimbangan dalam pengeluaran mereka. (QS. Al-Furqan [25] ayat 67).7

Sifat-sifat lain yang dijelaskan meliputi menjauhi dosa besar seperti syirik, pembunuhan, dan zina (QS. Al-Furqan [25] ayat 68–69), taubat yang tulus (QS. Al-Furqan [25] ayat 70), dan kesungguhan dalam memperbaiki diri serta keluarga mereka (QS. Al-Furqan [25] ayat 74).

2.3.       Hadits-Hadits yang Mendukung Konsep Ibadurrahman

Selain Al-Qur'an, hadits-hadits Rasulullah Saw juga menegaskan pentingnya sifat-sifat ini dalam membentuk karakter seorang Muslim sejati. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda:

_"Orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain."_8 Hadits ini sejalan dengan sifat Ibadurrahman yang selalu memberikan manfaat kepada orang lain, sebagaimana dicontohkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Hadits lain menyebutkan, _"Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat daripada akhlak yang baik."_9 Ini menunjukkan pentingnya akhlak yang baik sebagai bagian dari karakter Ibadurrahman. Akhlak yang baik seperti rendah hati, sabar, dan tidak sombong adalah fondasi utama yang menjadikan seseorang dekat dengan Allah Swt.

2.4.       Relevansi Konsep Ibadurrahman dalam Kehidupan Modern

Sifat-sifat Ibadurrahman tidak hanya menjadi pedoman spiritual tetapi juga memiliki relevansi sosial yang kuat. Karakter rendah hati, kesabaran, dan keseimbangan dalam hidup dapat menjadi solusi terhadap tantangan modern seperti individualisme, konsumerisme, dan konflik sosial. Menginternalisasi sifat-sifat ini adalah langkah awal dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, berkeadilan, dan beradab.10


Catatan Kaki:

[1]                Edward Lane, Arabic-English Lexicon (Beirut: Librairie Du Liban, 1968), 217.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning Of The Holy Qur'an, Terj. (Amana Publications, 2004), 481.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Ed. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.

[4]                Muhammad Asad, The Message Of The Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 515.

[5]                Al-Qurtubi, Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), Vol. 6, 417.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Vol. 3 (Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2011), 43–44.

[7]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Damascus: Dar Al-Fikr, 1997), Vol. 6, 384.

[8]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Adab, Hadits No. 4899.

[9]                Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Kitab Al-Birr Wa As-Silah, Hadits No. 2003.

[10]             Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions Of Islamic Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, No. 3 (2002): 23–45.


3.           Penjelasan Ibadurrahman dalam Tafsir Klasik

3.1.       Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu rujukan utama dalam memahami ayat-ayat tentang Ibadurrahman (QS. Al-Furqan [25] ayat 63–77). Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Ibadurrahman adalah hamba-hamba Allah yang memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya karena sifat-sifat mulia yang mereka miliki.1 Beliau menafsirkan ayat-ayat ini dengan menghubungkannya dengan hadits-hadits yang relevan, seperti sabda Nabi Saw: _"Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertakwa, yang kaya hati, dan yang rendah hati."_2

Ibnu Katsir juga menyoroti pentingnya sifat tawadhu’ dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63, yang menurutnya merupakan dasar dari semua sifat baik lainnya. Tawadhu' bukan hanya sikap lahiriah, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap sesama manusia sebagai ciptaan Allah Swt.3

3.2.       Tafsir Al-Qurtubi

Dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Al-Qurtubi memberikan penjelasan yang kaya tentang sifat-sifat Ibadurrahman, terutama dari perspektif hukum dan aplikasi praktis. Misalnya, ia menjelaskan bahwa sifat keseimbangan dalam infaq (QS. Al-Furqan [25] ayat 67) bukan hanya terkait dengan pengeluaran harta, tetapi juga dengan manajemen sumber daya secara keseluruhan.4

Al-Qurtubi menambahkan bahwa doa Ibadurrahman untuk keselamatan keluarga mereka dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 74 menunjukkan pentingnya peran keluarga sebagai unit dasar dalam masyarakat Islam. Ia menekankan bahwa Ibadurrahman tidak hanya berfokus pada kesalehan pribadi tetapi juga pada pembentukan keluarga yang harmonis.5

3.3.       Tafsir Jalalain

Tafsir Jalalain, yang disusun oleh Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, memberikan penjelasan singkat namun padat tentang ayat-ayat ini. Dalam menafsirkan QS. Al-Furqan [25] ayat 68–70, yang membahas tentang dosa besar seperti syirik, pembunuhan, dan zina, Jalalain menekankan bahwa Ibadurrahman adalah mereka yang menjauhi dosa-dosa ini dan jika mereka terlanjur melakukannya, mereka segera bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh (taubatan nasuha).6

Tafsir Jalalain juga mencatat pentingnya doa sebagai ciri khas Ibadurrahman. Doa-doa yang disebutkan dalam ayat-ayat ini bukan hanya wujud ketergantungan kepada Allah, tetapi juga bentuk optimisme dan harapan dalam hidup.7

3.4.       Perbandingan dan Sintesis Tafsir Klasik

Ketiga tafsir tersebut menunjukkan keselarasan dalam menafsirkan sifat-sifat Ibadurrahman sebagai standar akhlak ideal dalam Islam. Ibnu Katsir menekankan dimensi spiritual dan perilaku, Al-Qurtubi menyoroti implikasi hukum dan sosial, sementara Tafsir Jalalain memberikan penjelasan praktis dan ringkas yang memudahkan pemahaman.

Salah satu sintesis penting dari tafsir-tafsir klasik ini adalah bahwa sifat-sifat Ibadurrahman mencerminkan keseimbangan antara kesalehan individual dan tanggung jawab sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang mengintegrasikan dimensi duniawi dan ukhrawi dalam kehidupan seorang Muslim.8


Catatan Kaki:

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.

[2]                Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq, no. 2966.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, 4:213.

[4]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 243.

[5]                Ibid., 247.

[6]                Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain (Beirut: Dar Al-Ma'arif, 1998), 317.

[7]                Ibid., 318.

[8]                Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.


4.           Kajian Ibadurrahman dalam Kitab-Kitab Klasik Ulama

4.1.       Ihya Ulumuddin oleh Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, mengaitkan sifat-sifat Ibadurrahman dengan pembentukan akhlak mulia dan kesempurnaan spiritual seorang Muslim. Ia menekankan bahwa sifat-sifat seperti tawadhu' (QS. Al-Furqan [25] ayat 63), sabar terhadap kebodohan (QS. Al-Furqan [25] ayat 63), dan ketekunan dalam ibadah malam (QS. Al-Furqan [25] ayat 64) adalah jalan menuju maqam tinggi di sisi Allah Swt.1 Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali juga mengaitkan sifat tawadhu’ dengan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), yang dianggap sebagai langkah awal menuju kesempurnaan akhlak.2

Al-Ghazali juga mengulas keseimbangan dalam pengeluaran (infaq) yang disebutkan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 67. Menurutnya, keseimbangan ini adalah manifestasi dari sifat zuhud, di mana seorang Muslim tidak berlebihan dalam menikmati dunia tetapi juga tidak bersikap kikir. Ia menekankan pentingnya sifat ini sebagai fondasi untuk membangun kehidupan yang harmonis antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.3

4.2.       Tafsir Al-Mazhari oleh Qadhi Thanaullah Panipati

Qadhi Thanaullah Panipati dalam Tafsir Al-Mazhari memberikan ulasan yang mendalam tentang sifat-sifat Ibadurrahman. Dalam menafsirkan QS. Al-Furqan [25] ayat 68–70, ia menekankan makna taubat sebagai proses spiritual yang bukan hanya sekadar penyesalan tetapi juga transformasi moral.4 Ia menghubungkan sifat-sifat Ibadurrahman dengan nilai-nilai moral yang tidak hanya berlaku secara individu, tetapi juga berdampak pada masyarakat. Misalnya, sifat menjauhi kesaksian palsu (QS. Al-Furqan [25] ayat 72) dianggapnya sebagai elemen penting dalam menegakkan keadilan sosial.5

Selain itu, Qadhi Thanaullah menyoroti doa dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 74, yang memohon keselamatan dan kebahagiaan keluarga. Ia menafsirkan doa ini sebagai penekanan pada pentingnya pembentukan keluarga yang saleh sebagai bagian dari masyarakat Islam yang kuat.6

4.3.       Bidayatul Hidayah oleh Imam Al-Ghazali

Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali kembali menyoroti beberapa sifat Ibadurrahman, terutama yang berkaitan dengan kesabaran dan ibadah malam. Ia menggarisbawahi bahwa shalat malam adalah tanda kesungguhan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 64.7 Menurut Al-Ghazali, kesabaran terhadap kebodohan (al-jahilin, QS. Al-Furqan [25] ayat 63) adalah ujian besar yang hanya bisa dihadapi oleh mereka yang memiliki kendali diri yang kuat.8

4.4.       Relevansi dengan Kehidupan Modern

Kitab-kitab klasik ulama ini menegaskan bahwa sifat-sifat Ibadurrahman bukan hanya idealisme spiritual, tetapi juga panduan praktis untuk kehidupan individu dan masyarakat. Dalam konteks modern, sifat tawadhu' dan keseimbangan dalam infaq dapat diaplikasikan dalam menghadapi tantangan materialisme dan konsumerisme. Doa dan kesabaran, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab ini, juga merupakan solusi untuk menghadapi tekanan hidup dan konflik sosial.9


Catatan Kaki:

[1]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67–68.

[2]                Ibid., 69.

[3]                Ibid., 71–72.

[4]                Qadhi Thanaullah Panipati, Tafsir Al-Mazhari (Karachi: Darul Ishaat, 2005), vol. 5, 331.

[5]                Ibid., 335.

[6]                Ibid., 338.

[7]                Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah (Beirut: Dar al-Minhaj, 2013), 102–103.

[8]                Ibid., 110.

[9]                Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.


5.           Relevansi dan Kontekstualisasi Ibadurrahman di Era Modern

5.1.       Relevansi Sifat-Sifat Ibadurrahman dalam Kehidupan Kontemporer

Konsep Ibadurrahman sebagaimana diuraikan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63–77 tetap relevan sebagai pedoman etika dan moral untuk menghadapi tantangan di era modern. Sifat tawadhu' (rendah hati) sangat diperlukan dalam membangun hubungan antarindividu di tengah meningkatnya kecenderungan individualisme. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh egoisme, tawadhu' dapat menjadi penyeimbang yang menciptakan harmoni sosial.1

Kesabaran terhadap kebodohan (al-jahilin) juga memiliki implikasi praktis. Di era digital, kebodohan sering kali diwujudkan dalam bentuk ujaran kebencian, hoaks, atau provokasi di media sosial. Sifat ini mengajarkan pengendalian emosi dan kemampuan untuk merespon dengan bijak, sehingga mencegah konflik yang lebih besar.2

Keseimbangan dalam pengeluaran (infaq), sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 67, relevan untuk menanggapi tantangan konsumerisme modern. Gaya hidup hemat yang diajarkan oleh Ibadurrahman mendorong pengelolaan sumber daya yang bijaksana, baik dalam skala individu maupun masyarakat.3

5.2.       Tantangan Menerapkan Sifat-Sifat Ibadurrahman di Era Modern

Tantangan besar dalam mengamalkan sifat Ibadurrahman di era modern adalah meningkatnya tekanan materialisme dan hedonisme. Sistem ekonomi global yang berbasis pada konsumsi sering kali mendorong masyarakat untuk hidup berlebihan. Dalam konteks ini, sifat Ibadurrahman yang mengajarkan keseimbangan dapat menjadi penangkal yang efektif.4

Selain itu, era modern juga ditandai dengan meningkatnya konflik sosial dan politik. Sifat sabar terhadap kebodohan dan menjauhi kesaksian palsu (qadzf) menjadi sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih damai dan adil. Keteladanan dalam hal ini sangat dibutuhkan dari para pemimpin dan tokoh masyarakat yang mampu merepresentasikan sifat Ibadurrahman.5

5.3.       Kontekstualisasi Ajaran Ibadurrahman dalam Dunia Global

Dalam dunia global yang saling terhubung, sifat Ibadurrahman dapat menjadi solusi terhadap masalah global seperti ketimpangan sosial, konflik antarbangsa, dan kerusakan lingkungan. Nilai-nilai seperti keseimbangan dalam pengeluaran dan kepedulian terhadap keluarga dapat diterjemahkan menjadi program sosial untuk mengurangi kemiskinan dan memperkuat solidaritas komunitas.6

Pemikiran Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menegaskan bahwa sifat-sifat Ibadurrahman memiliki dimensi universal yang dapat diterapkan di berbagai konteks. Misalnya, doa agar diberikan pasangan dan keturunan yang saleh (QS. Al-Furqan [25] ayat 74) dapat ditafsirkan sebagai komitmen untuk membangun keluarga yang berperan aktif dalam pembangunan masyarakat.7

5.4.       Strategi Penguatan Nilai-Nilai Ibadurrahman

Penerapan sifat-sifat Ibadurrahman membutuhkan strategi yang holistik, melibatkan pendidikan, dakwah, dan kebijakan publik. Pendidikan Islam perlu mengintegrasikan nilai-nilai Ibadurrahman dalam kurikulum, tidak hanya sebagai ajaran moral, tetapi juga sebagai bagian dari keterampilan hidup.8

Dakwah, baik di mimbar masjid maupun melalui media digital, juga perlu menekankan pentingnya sifat-sifat ini untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis. Sebagai contoh, dakwah yang berfokus pada keseimbangan dalam kehidupan dapat membantu umat Islam menghadapi tantangan konsumerisme modern.9


Catatan Kaki:

[1]                Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), 515.

[2]                Abdullah Saeed, Islamic Ethics and Social Responsibility in the Digital Age, Journal of Islamic Studies 27, no. 2 (2018): 123–145.

[3]                Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.

[4]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 243.

[5]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Damascus: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 6, 384.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Environmental Crisis (Chicago: ABC International, 2005), 88–93.

[7]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, vol. 6, 389.

[8]                Tariq Ramadan, The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism (London: Penguin Books, 2010), 145.

[9]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.


6.           Implementasi Sifat-Sifat Ibadurrahman dalam Kehidupan Umat

6.1.       Penerapan dalam Hubungan Sosial

Sifat-sifat Ibadurrahman sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63–77 memiliki relevansi yang sangat penting dalam membangun hubungan sosial yang harmonis. Misalnya, sifat tawadhu’ (rendah hati) mengajarkan pentingnya kesadaran akan kesetaraan manusia di hadapan Allah Swt. Implementasi sifat ini dapat dilihat dalam sikap menghormati sesama, menjaga adab dalam berbicara, dan menghindari perilaku sombong.1 Rasulullah Saw bersabda: _"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu', sehingga tidak ada seorang pun yang menyombongkan diri terhadap yang lain."_2

Kesabaran terhadap kebodohan (al-jahilin) juga menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik sosial. Di era modern, ini dapat diterapkan melalui pengendalian emosi dalam berkomunikasi, baik secara langsung maupun di media sosial.3 Dengan menghindari respon emosional terhadap provokasi, umat Islam dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih damai.

6.2.       Peran Keluarga dalam Membentuk Generasi Ibadurrahman

QS. Al-Furqan [25] ayat 74 menekankan pentingnya doa untuk keselamatan dan keberkahan keluarga: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami." Ayat ini menunjukkan bahwa keluarga memiliki peran strategis dalam membentuk generasi Ibadurrahman.4 Orang tua berperan sebagai teladan dalam menanamkan nilai-nilai seperti tawadhu’, kejujuran, dan kesabaran kepada anak-anak mereka.

Keluarga juga berfungsi sebagai tempat pertama untuk mengajarkan keseimbangan dalam pengeluaran, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 67. Dengan mendidik anak-anak untuk hidup hemat dan menjauhi perilaku boros, keluarga dapat membantu menciptakan generasi yang bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya.5

6.3.       Peran Pendidikan dalam Implementasi Nilai-Nilai Ibadurrahman

Pendidikan formal dan non-formal merupakan sarana penting untuk menginternalisasi sifat-sifat Ibadurrahman. Institusi pendidikan Islam perlu mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam kurikulum mereka, baik melalui pelajaran agama maupun kegiatan ekstrakurikuler.6

Misalnya, sifat tawadhu’ dapat diajarkan melalui program kerja sama kelompok yang menekankan pentingnya kolaborasi daripada kompetisi. Sifat sabar dan menghindari kesaksian palsu dapat diajarkan melalui pelatihan etika dan diskusi interaktif tentang isu-isu moral kontemporer.7

6.4.       Peran Dakwah dan Lembaga Sosial

Para dai dan tokoh agama memiliki tanggung jawab besar dalam menyebarkan nilai-nilai Ibadurrahman. Dakwah yang efektif harus mampu menjelaskan relevansi sifat-sifat ini dalam menghadapi tantangan modern, seperti individualisme, materialisme, dan krisis sosial.8

Lembaga sosial juga dapat berperan dengan mengadakan program-program yang mempromosikan keseimbangan dalam hidup. Contohnya adalah penyuluhan keuangan untuk masyarakat yang mengajarkan prinsip-prinsip keseimbangan dalam pengeluaran sesuai ajaran Islam.9

6.5.       Implementasi pada Skala Masyarakat dan Negara

Pada tingkat masyarakat, sifat Ibadurrahman seperti menjauhi kesaksian palsu (qadzf) memiliki relevansi langsung terhadap penegakan hukum dan keadilan sosial. Negara dapat mendukung implementasi sifat ini dengan memperkuat sistem peradilan yang transparan dan adil.10

Dalam skala yang lebih luas, nilai-nilai Ibadurrahman dapat dijadikan dasar untuk merancang kebijakan publik yang bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis. Contohnya adalah kebijakan keseimbangan ekonomi yang mengurangi kesenjangan sosial, sehingga mencerminkan nilai keseimbangan dalam pengeluaran sebagaimana diajarkan oleh Ibadurrahman.11

6.6.       Tantangan dan Solusi

Meskipun sifat-sifat Ibadurrahman memiliki nilai universal, implementasinya dihadapkan pada tantangan besar seperti pengaruh budaya konsumerisme dan konflik kepentingan individu. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, dakwah, dan kebijakan publik. Pendekatan ini harus mampu menanamkan kesadaran bahwa sifat-sifat Ibadurrahman adalah kunci untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, baik secara individu maupun kolektif.12


Catatan Kaki:

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.

[2]                Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab Al-Birr wa As-Silah, no. 2588.

[3]                Abdullah Saeed, Islamic Ethics and Social Responsibility in the Digital Age, Journal of Islamic Studies 27, no. 2 (2018): 123–145.

[4]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 247.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:213.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67–68.

[7]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Damascus: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 6, 384.

[8]                Tariq Ramadan, The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism (London: Penguin Books, 2010), 145.

[9]                Fazlur Rahman, “Ethical Dimensions of Islamic Philosophy,” Islamic Studies Journal 12, no. 3 (2002): 23–45.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Environmental Crisis (Chicago: ABC International, 2005), 88–93.

[11]             Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, vol. 6, 389.

[12]             John L. Esposito, Islam and the Modern World (Oxford University Press, 2018), 145.


7.           Penutup

7.1.       Kesimpulan

Konsep Ibadurrahman dalam Al-Qur'an dan Hadits merupakan pedoman akhlak yang mencakup sifat-sifat mulia seperti tawadhu’, kesabaran, ketekunan dalam ibadah, keseimbangan hidup, serta komitmen terhadap keluarga dan masyarakat. Penjelasan sifat-sifat ini dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 63–77, yang diperkaya oleh tafsir klasik seperti Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Tafsir Al-Jalalain, memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana sifat-sifat tersebut membentuk individu Muslim yang ideal.1 Ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menegaskan pentingnya sifat-sifat ini sebagai pilar akhlak Islami yang mendukung kehidupan individu dan sosial.2

Melalui pendekatan kontekstual, sifat-sifat Ibadurrahman terbukti relevan dalam menjawab tantangan zaman modern. Tawadhu' dapat menjadi penangkal egoisme, kesabaran terhadap kebodohan menjadi solusi untuk menghadapi konflik sosial, dan keseimbangan dalam pengeluaran menjadi panduan melawan konsumerisme. Selain itu, doa untuk keluarga dan keturunan menunjukkan pentingnya peran keluarga dalam membangun masyarakat yang saleh.3

7.2.       Saran

Dalam menghadapi tantangan global seperti krisis moral, konflik sosial, dan tekanan materialisme, penting bagi umat Islam untuk menginternalisasi sifat-sifat Ibadurrahman sebagai fondasi kehidupan. Pendidikan, dakwah, dan kebijakan publik dapat menjadi sarana efektif untuk menyebarluaskan nilai-nilai ini. Pendidikan Islam harus memasukkan konsep Ibadurrahman dalam kurikulum, tidak hanya sebagai teori tetapi juga sebagai praktik dalam kehidupan sehari-hari.4

Dakwah yang inovatif melalui media digital juga dapat menjadi alat untuk menjangkau generasi muda, yang menghadapi tantangan unik di era modern. Misalnya, kampanye media sosial yang mempromosikan tawadhu' dan kesabaran dapat membantu menciptakan budaya komunikasi yang lebih santun dan damai.5

7.3.       Penutup Akhir

Sebagai pedoman akhlak yang komprehensif, sifat-sifat Ibadurrahman menawarkan solusi praktis untuk membangun individu dan masyarakat yang unggul. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, umat Islam dapat tidak hanya meningkatkan kualitas kehidupan spiritual tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi peradaban global. Seperti yang dikatakan oleh Wahbah Az-Zuhaili, sifat-sifat Ibadurrahman adalah cerminan dari esensi Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang dan keseimbangan.6


Catatan Kaki:

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Dar Ibn Hazm, 2003), 4:211.

[2]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67–68.

[3]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 13, 247.

[4]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an, terj. (Amana Publications, 2004), 481.

[5]                Abdullah Saeed, Islamic Ethics and Social Responsibility in the Digital Age, Journal of Islamic Studies 27, no. 2 (2018): 123–145.

[6]                Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Damascus: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 6, 389.


Daftar Pustaka

Abdullah, Y. (2004). The meaning of the Holy Qur'an (Translated). Amana Publications.

Al-Ghazali. (2011). Ihya Ulumuddin (Vol. 4). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali. (2013). Bidayatul Hidayah. Beirut: Dar al-Minhaj.

Al-Mahalli, J., & As-Suyuthi, J. (1998). Tafsir Al-Jalalain. Beirut: Dar Al-Ma'arif.

Al-Qurtubi. (1997). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Vol. 13). Beirut: Dar Al-Fikr.

Asad, M. (1980). The message of the Qur'an. Gibraltar: Dar Al-Andalus.

Esposito, J. L. (2018). Islam and the modern world. Oxford University Press.

Fazlur Rahman. (2002). Ethical dimensions of Islamic philosophy. Islamic Studies Journal, 12(3), 23–45.

Ibn Kathir. (2003). Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (Ed. Muhammad Nasiruddin Al-Albani, Vol. 4). Dar Ibn Hazm.

Nasr, S. H. (2005). Islam and the environmental crisis. Chicago: ABC International.

Saeed, A. (2018). Islamic ethics and social responsibility in the digital age. Journal of Islamic Studies, 27(2), 123–145.

Tariq, R. (2010). The quest for meaning: Developing a philosophy of pluralism. London: Penguin Books.

Thanaullah Panipati, Q. (2005). Tafsir Al-Mazhari (Vol. 5). Karachi: Darul Ishaat.

Wahbah Az-Zuhaili. (1997). Tafsir Al-Munir (Vol. 6). Damascus: Dar Al-Fikr.


Lampiran: Tokoh-Tokoh Masyhur yang Masuk Kategori Ibadurrahman Berdasarkan Periode Hidupnya

1.            Periode Sahabat Nabi

1.1.        Abu Bakar Ash-Shiddiq (573–634 M)

Bidang Keahlian: Kepemimpinan dan dakwah.

Peninggalan Populer: Menyatukan kaum Muslimin setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw dan menginisiasi kodifikasi Al-Qur'an.1

1.2.        Umar bin Khattab (584–644 M)

Bidang Keahlian: Pemerintahan dan reformasi sosial.

Peninggalan Populer: Mendirikan sistem administrasi negara Islam, seperti diwan (catatan keuangan negara), dan kalender Hijriah.2

1.3.        Utsman bin Affan (577–656 M)

Bidang Keahlian: Ekonomi dan kodifikasi Al-Qur'an.

Peninggalan Populer: Membukukan mushaf Al-Qur'an yang menjadi rujukan utama hingga sekarang.3

1.4.        Ali bin Abi Thalib (600–661 M)

Bidang Keahlian: Hukum dan kebijaksanaan.

Peninggalan Populer: Koleksi khutbah dan kata-kata bijaknya yang terkodifikasi dalam Nahj al-Balaghah.4

2.            Periode Tabi’in

2.1.        Hasan Al-Bashri (642–728 M)

Bidang Keahlian: Ilmu tasawuf dan akhlak.

Peninggalan Populer: Pemikiran tentang zuhud dan ketakwaan yang memengaruhi perkembangan tasawuf Islam.5

2.2.        Sa’id bin Jubair (665–713 M)

Bidang Keahlian: Tafsir Al-Qur'an dan hukum Islam.

Peninggalan Populer: Tafsirnya yang menjadi rujukan penting dalam kitab-kitab tafsir klasik.6

3.            Periode Abbasiyah

3.1.        Imam Abu Hanifah (699–767 M)

Bidang Keahlian: Fikih.

Peninggalan Populer: Pendiri mazhab Hanafi, salah satu mazhab fikih terbesar dalam Islam.7

3.2.        Imam Al-Ghazali (1058–1111 M)

Bidang Keahlian: Teologi, tasawuf, dan filsafat.

Peninggalan Populer: Karya monumental Ihya Ulumuddin yang menjadi rujukan dalam akhlak dan tasawuf.8

4.            Periode Modern

4.1.        Muhammad Abduh (1849–1905 M)

Bidang Keahlian: Reformasi pendidikan dan pemikiran Islam.

Peninggalan Populer: Tafsir Al-Manar, yang ia tulis bersama Rasyid Ridha, serta gagasan pembaruan Islam.9

4.2.        Maulana Abul Kalam Azad (1888–1958 M)

Bidang Keahlian: Pendidikan dan politik.

Peninggalan Populer: Peran dalam pembentukan sistem pendidikan Islam di India dan karya tafsirnya, Tarjuman al-Qur'an.10


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Ibn Jarir Al-Tabari, History of the Prophets and Kings (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), vol. 2, 312.

[2]                Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’ (Cairo: Dar Al-Ma’arif, 2000), 145.

[3]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam An-Nubala (Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 2001), vol. 2, 345.

[4]                Nahj al-Balaghah, trans. Muhammad Abduh (Beirut: Dar Al-Hadith, 1989), 54.

[5]                Al-Qushayri, Risalah al-Qushayriyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 98.

[6]                Al-Khatib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad (Beirut: Dar Al-Gharb Al-Islami, 2001), vol. 9, 271.

[7]                Ibn Abidin, Radd al-Muhtar (Cairo: Dar Al-Kutub, 1995), vol. 1, 24.

[8]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, vol. 4 (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), 67.

[9]                Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, ed. Rasyid Ridha (Cairo: Dar Al-Manar, 1908), vol. 1, 45.

[10]             Maulana Abul Kalam Azad, Tarjuman al-Qur'an (New Delhi: Orient Longman, 1989), 12.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar