Jumat, 31 Januari 2025

Isra’ Miraj: Perjalanan Agung Nabi Muhammad Saw. dalam Perspektif Tafsir, Sejarah, dan Rasionalitas

Isra’ Miraj

Perjalanan Agung Nabi Muhammad Saw. dalam Perspektif Tafsir, Sejarah, dan Rasionalitas


Abstrak

Isra’ Miraj merupakan salah satu peristiwa paling agung dalam sejarah Islam yang menandai perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (Isra’) dan dilanjutkan dengan perjalanan menuju langit tertinggi (Miraj). Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peristiwa tersebut melalui perspektif tafsir klasik, sejarah Islam, serta analisis rasional dan ilmiah. Dalam kajian tafsir, Isra’ Miraj dijelaskan sebagai mukjizat besar yang menunjukkan keagungan Allah Swt. Sejarah Islam mencatat peristiwa ini terjadi pada masa sulit dalam kehidupan Nabi sebagai bentuk penghiburan dan penguatan spiritual. Sementara itu, tinjauan rasional berusaha memahami peristiwa ini dalam konteks hukum alam serta kemungkinan dimensi metafisik yang melampaui keterbatasan pemahaman manusia. Selain itu, artikel ini juga menguraikan hikmah dan pelajaran dari Isra’ Miraj, terutama dalam peneguhan aqidah, urgensi shalat lima waktu, serta hubungan antara keimanan dan ketundukan kepada wahyu. Dengan memahami peristiwa ini secara komprehensif, diharapkan umat Islam dapat semakin memperkokoh keyakinan dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.

Kata Kunci: Isra’ Miraj, Nabi Muhammad Saw., tafsir klasik, sejarah Islam, mukjizat, rasionalitas, hikmah Islam.


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi Isra’ dan Miraj

Peristiwa Isra’ dan Miraj merupakan salah satu mukjizat terbesar yang diberikan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Isra’ berasal dari kata أَسْرَىٰ yang berarti "perjalanan malam hari."1 Sedangkan Miraj berasal dari kata المِعْرَاج yang berarti "tangga" atau "alat untuk naik," yang dalam konteks ini merujuk pada kenaikan Nabi Saw. ke langit.2

Secara umum, Isra’ Miraj terdiri dari dua bagian utama:

1)                  Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis/Palestina) dalam satu malam.

2)                  Miraj adalah perjalanan naik ke langit hingga mencapai Sidratul Muntaha, tempat Nabi Saw. menerima perintah shalat.

Peristiwa ini terjadi dalam keadaan yang sangat cepat dan menembus batasan ruang serta waktu. Sebagian besar ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah meyakini bahwa perjalanan ini terjadi secara fisik dan ruhani, bukan sekadar pengalaman spiritual atau mimpi.3

1.2.       Dalil-Dalil tentang Isra’ Miraj

1.2.1.    Dalil dari Al-Qur’an

Peristiwa Isra’ secara eksplisit disebutkan dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 1:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1)4

Sedangkan peristiwa Miraj dijelaskan dalam Surah An-Najm [53] ayat 13-18:

وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ (13) عِندَ سِدْرَةِ ٱلْمُنتَهَىٰ (14) عِندَهَا جَنَّةُ ٱلْمَأْوَىٰ (15) إِذْ يَغْشَى ٱلسِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰ (16) مَا زَاغَ ٱلْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ (17) لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ ءَايَٰتِ رَبِّهِ ٱلْكُبْرَىٰ(18)

"Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (17) Yaitu di Sidratul Muntaha. (18) Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (19) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (16) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya. (17) Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (18)" (QS. An-Najm [53] ayat13-18)5

1.2.2.    Dalil dari Hadis

Beberapa hadis sahih yang meriwayatkan peristiwa Isra’ Miraj di antaranya:

1)                  Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw. bersabda:

"Aku didatangi Buraq (sejenis hewan putih, lebih tinggi dari keledai tetapi lebih kecil dari bagal), lalu aku dituntun hingga sampai ke Baitul Maqdis. Kemudian aku diangkat ke langit pertama dan bertemu Nabi Adam, lalu ke langit kedua bertemu Nabi Isa dan Yahya, hingga akhirnya mencapai Sidratul Muntaha."_6

2)                  Hadis Riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hibban

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda:

"Pada malam aku diisra’kan, aku bertemu dengan Musa di tempat yang tinggi. Aku juga melihat surga dan neraka, serta menerima perintah shalat lima waktu."_7

Hadis-hadis ini memberikan gambaran detail tentang perjalanan Isra’ dan Miraj serta menegaskan bahwa peristiwa ini bukan hanya simbolik, melainkan nyata.

1.3.       Signifikansi Peristiwa Isra’ Miraj

Isra’ Miraj bukan hanya sekadar perjalanan luar biasa, tetapi memiliki dampak yang besar dalam ajaran Islam. Beberapa aspek signifikannya adalah:

1.3.1.    Konfirmasi Kenabian Rasulullah Saw.

Isra’ Miraj adalah salah satu tanda nyata keistimewaan kenabian Muhammad Saw. Peristiwa ini menjadi bukti langsung dari keagungan Allah Swt. serta pengakuan Rasulullah Saw. sebagai nabi terakhir yang diberi tugas menyampaikan syariat kepada umat manusia.8

1.3.2.    Isra’ Miraj sebagai Ujian Keimanan

Ketika Nabi Saw. menceritakan peristiwa ini kepada kaum Quraisy, banyak yang mendustakannya. Namun, Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung membenarkan Nabi, sehingga mendapat gelar "Ash-Shiddiq" (yang membenarkan).9 Hal ini menunjukkan bahwa keimanan sejati terletak pada kepercayaan kepada wahyu Allah, meskipun melampaui logika manusia.

1.3.3.    Isra’ Miraj sebagai Penetapan Shalat Lima Waktu

Peristiwa ini menjadi momen penetapan kewajiban shalat lima waktu secara langsung dari Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Awalnya, shalat diperintahkan sebanyak 50 kali sehari, namun setelah beberapa kali permohonan Nabi Musa, akhirnya dikurangi menjadi 5 kali sehari dengan pahala setara 50 kali shalat.10

1.3.4.    Kedudukan Masjidil Aqsha dalam Islam

Masjidil Aqsha memiliki keutamaan dalam Islam karena menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum dipindahkan ke Ka’bah di Makkah. Peristiwa Isra’ Miraj semakin menegaskan posisi Masjidil Aqsha sebagai tempat suci ketiga dalam Islam setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.11


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Shadir, 1994), 390.

[2]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 502.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 37.

[4]                Al-Qur'an, Surah Al-Isra’ [17] ayat 1.

[5]                Al-Qur'an, Surah An-Najm [53] ayat 13-18.

[6]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207.

[7]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 10706.

[8]                Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 25.

[9]                Ibnu Sa'ad, Tabaqat al-Kubra, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 144.

[10]             Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[11]             Al-Baghawi, Ma‘alim al-Tanzil, Jilid 3 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 289.


2.           Rekonstruksi Peristiwa Isra’ Miraj

Peristiwa Isra’ Miraj merupakan mukjizat yang terjadi pada Rasulullah Saw. dalam satu malam, di mana beliau diperjalankan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, lalu dinaikkan ke langit hingga mencapai Sidratul Muntaha. Peristiwa ini merupakan pengalaman luar biasa yang disaksikan langsung oleh Rasulullah Saw. dan menjadi ujian keimanan bagi umat Islam saat itu.1

2.1.       Latar Belakang Peristiwa

Peristiwa Isra’ Miraj terjadi pada periode sulit dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw., yakni setelah ‘Amul Huzn (Tahun Kesedihan), di mana beliau kehilangan dua sosok pelindung utama: Sayyidah Khadijah, istri tercintanya, dan Abu Thalib, pamannya yang selalu membela dakwahnya.2 Selain itu, Rasulullah Saw. juga menghadapi penolakan keras dari masyarakat Quraisy, serta kegagalan dalam dakwah ke Tha’if, di mana beliau dilempari batu hingga terluka parah.3

Dalam kondisi penuh kesedihan dan tekanan ini, Allah Swt. memberikan penghiburan kepada Nabi Saw. dengan mengundangnya dalam perjalanan agung yang memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya.

2.2.       Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha

2.2.1.    Kedatangan Jibril dan Kendaraan Buraq

Menurut hadis sahih, perjalanan ini dimulai ketika Jibril a.s. datang membawa Buraq, seekor makhluk putih yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bagal, dan mampu melangkah sejauh mata memandang.4 Rasulullah Saw. bersabda:

"Aku dibawa oleh Buraq, seekor hewan putih yang lebih panjang dari keledai tetapi lebih pendek dari bagal. Ia melangkah sejauh yang bisa dilihat oleh pandangannya." (HR. Muslim, no. 162)5

Jibril a.s. kemudian membawa Nabi Saw. menuju Masjidil Aqsha dalam waktu yang sangat singkat.

2.2.2.    Pertemuan dengan Para Nabi di Baitul Maqdis

Setibanya di Masjidil Aqsha, Rasulullah Saw. bertemu dengan para nabi terdahulu, di antaranya Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa a.s.. Beliau kemudian memimpin mereka dalam shalat berjamaah.6 Ini menegaskan bahwa Rasulullah Saw. adalah imam bagi seluruh nabi dan pemimpin umat manusia.7

Menurut riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. bersabda:

"Aku melihat para nabi. Musa tinggi dan berkulit gelap seperti orang dari suku Az-Zutt. Isa berpostur sedang dan berkulit kemerahan, dan Ibrahim menyerupai sahabat kalian (yakni dirinya sendiri). Kemudian aku memimpin mereka dalam shalat." (HR. Muslim, no. 170)8

2.3.       Perjalanan Miraj ke Sidratul Muntaha

2.3.1.    Kenaikan Melalui Langit yang Berlapis-Lapis

Setelah shalat di Masjidil Aqsha, Rasulullah Saw. dibawa naik ke langit dalam perjalanan Miraj. Beliau melewati tujuh lapis langit dan bertemu dengan beberapa nabi di setiap tingkatnya:9

1)                  Langit Pertama: Nabi Adam a.s.

2)                  Langit Kedua: Nabi Isa a.s. dan Nabi Yahya a.s.

3)                  Langit Ketiga: Nabi Yusuf a.s.

4)                  Langit Keempat: Nabi Idris a.s.

5)                  Langit Kelima: Nabi Harun a.s.

6)                  Langit Keenam: Nabi Musa a.s.

7)                  Langit Ketujuh: Nabi Ibrahim a.s., yang sedang bersandar di Baitul Ma’mur

Setiap nabi menyambut Rasulullah Saw. dengan penuh hormat, dan mereka menyampaikan salam kepadanya.10

2.3.2.    Sidratul Muntaha dan Lauhul Mahfuz

Di puncak perjalanan, Rasulullah Saw. mencapai Sidratul Muntaha, tempat tertinggi yang tidak bisa dijangkau oleh makhluk biasa. Dalam Surah An-Najm disebutkan:

"Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihat (Jibril) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha." (QS. An-Najm [53] ayat 13-14)11

Di sini, Nabi Saw. melihat Lauhul Mahfuz, catatan seluruh ketetapan Allah Swt., dan mendapatkan berbagai wahyu serta keutamaan-keutamaan lainnya.12

2.4.       Dialog dengan Allah dan Perintah Shalat

Dalam peristiwa ini, Rasulullah Saw. menerima perintah shalat secara langsung dari Allah Swt. Awalnya, shalat diwajibkan sebanyak 50 kali sehari, namun setelah beberapa kali permohonan Nabi Musa a.s., jumlahnya dikurangi menjadi 5 kali sehari dengan pahala setara 50 kali.13

Nabi Saw. bersabda:

"Aku kembali kepada Tuhanku hingga akhirnya Allah berfirman: 'Wahai Muhammad, sesungguhnya shalat itu tetap lima waktu dalam sehari semalam, dan bagi setiap shalat tetaplah sepuluh kali lipat pahalanya, sehingga lima itu sama dengan lima puluh.'" (HR. Muslim, no. 162)14


Kesimpulan

Rekonstruksi Isra’ Miraj menunjukkan bahwa peristiwa ini merupakan perjalanan luar biasa yang diberikan kepada Rasulullah Saw. sebagai mukjizat. Perjalanan ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual mendalam yang meneguhkan kenabian Rasulullah Saw., menguji keimanan umat Islam, serta menetapkan ibadah shalat sebagai rukun Islam yang utama.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 37.

[2]                Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 25.

[3]                Ibnu Sa'ad, Tabaqat al-Kubra, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 144.

[4]                Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[5]                Ibid.

[6]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207.

[7]                Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 4232.

[8]                Muslim, Sahih Muslim, no. 170.

[9]                Al-Baghawi, Ma‘alim al-Tanzil, Jilid 3 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 289.

[10]             Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[11]             Al-Qur'an, Surah An-Najm [53] ayat 13-14.

[12]             Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 75.

[13]             Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[14]             Ibid.


3.           Perspektif Tafsir dan Ulama Klasik

Peristiwa Isra’ Miraj memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan hadis sahih. Para ulama tafsir dan pemikir Islam klasik telah memberikan penjelasan mendalam terkait ayat-ayat yang berbicara tentang perjalanan agung ini. Mereka menafsirkan maknanya berdasarkan dalil-dalil yang kuat, baik dari segi lafal bahasa, konteks sejarah, maupun makna spiritual yang terkandung di dalamnya.

3.1.       Tafsir Al-Qur'an tentang Isra’ Miraj

3.1.1.    Tafsir Surah Al-Isra' (17) ayat 1

Peristiwa Isra’ disebutkan secara eksplisit dalam Surah Al-Isra' ayat 1, di mana Allah Swt. berfirman:

"Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. Al-Isra' [17] ayat 1)1

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan bahwa kata asra bi ‘abdihi (memperjalankan hamba-Nya) menunjukkan bahwa perjalanan ini benar-benar terjadi secara fisik, bukan hanya dalam bentuk mimpi atau pengalaman ruhaniyah.2 Pendapat ini juga didukung oleh Imam At-Thabari (w. 310 H) yang menegaskan bahwa ayat ini menekankan keagungan Allah Swt. dalam menunjukkan kekuasaan-Nya melalui mukjizat yang luar biasa.3

3.1.2.    Tafsir Surah An-Najm (530 ayat 13-18

Bagian Miraj diisyaratkan dalam Surah An-Najm ayat 13-18, di mana Allah Swt. berfirman:

"Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihat (Jibril) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar." (QS. An-Najm [53] ayat 13-18)4

Menurut Imam Al-Qurtubi (w. 671 H), ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. benar-benar melihat Jibril dalam bentuk aslinya untuk kedua kalinya di Sidratul Muntaha.5 Sedangkan menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), penglihatan Rasulullah Saw. dalam ayat ini bisa diartikan sebagai visi langsung terhadap tanda-tanda kebesaran Allah Swt., termasuk pengalaman spiritual yang tidak bisa digambarkan dengan akal manusia.6

3.2.       Pandangan Para Ulama Klasik tentang Isra’ Miraj

3.2.1.    Apakah Isra’ Miraj Terjadi Secara Fisik atau Ruhaniyah?

Para ulama sepakat bahwa Isra' terjadi secara fisik, berdasarkan kata 'abdihi' (hamba-Nya) dalam QS. Al-Isra' [17] ayat 1 yang menunjukkan kesatuan jasad dan ruh.7 Namun, mengenai Miraj, terdapat beberapa pendapat:

1)                  Mayoritas ulama, termasuk Imam Ibnu Hazm (w. 456 H), Ibnu Katsir, dan Imam Nawawi (w. 676 H), menyatakan bahwa Miraj juga terjadi secara fisik. Mereka berdalil dengan hadis sahih yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. bertemu dengan para nabi dan menerima perintah shalat langsung dari Allah Swt.8

2)                  Sebagian ulama seperti Imam Al-Ghazali (w. 505 H) berpandangan bahwa Miraj terjadi secara ruhaniyah. Mereka berpendapat bahwa perjalanan ke langit lebih bersifat pengalaman batiniah yang menggambarkan pencerahan spiritual Nabi Saw.9

Namun, pendapat pertama lebih kuat karena didukung oleh dalil-dalil hadis sahih dari Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim.10

3.2.2.    Hikmah di Balik Isra’ Miraj

Para ulama klasik juga mengungkapkan beberapa hikmah di balik peristiwa Isra’ Miraj:

1)                  Penghiburan bagi Rasulullah Saw. setelah kehilangan Khadijah dan Abu Thalib serta penolakan dari kaum Quraisy.11

2)                  Penegasan status kenabian Rasulullah Saw. di antara para nabi terdahulu melalui shalat berjamaah di Masjidil Aqsha.12

3)                  Peneguhan keimanan umat Islam, terutama saat banyak orang Quraisy meragukan kebenaran perjalanan ini.13

4)                  Penetapan kewajiban shalat lima waktu, yang menjadi inti hubungan antara hamba dengan Allah Swt.14


Kesimpulan

Tafsir dan penjelasan para ulama klasik menegaskan bahwa Isra’ Miraj adalah mukjizat besar yang terjadi secara nyata. Peristiwa ini memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, hadis sahih, dan pemahaman ulama klasik. Peristiwa ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga sarat dengan makna spiritual yang mendalam bagi umat Islam.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, Surah Al-Isra' [17] ayat 1.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 38.

[3]                At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 15 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2000), 79.

[4]                Al-Qur'an, Surah An-Najm [53] ayat 13-18.

[5]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 144.

[6]                Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 12 (Beirut: Dar Ihya at-Turath al-Arabi, 1999), 212.

[7]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5, 38.

[8]                Ibnu Hazm, Al-Fasl fi al-Milal wa an-Nihal, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Jil, 1998), 68.

[9]                Al-Ghazali, Ihya' Ulum ad-Din, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 115.

[10]             Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[11]             Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 29.

[12]             Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 4232.

[13]             At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 15, 83.

[14]             Muslim, Sahih Muslim, no. 162.


4.           Tinjauan Rasional dan Ilmiah terhadap Isra’ Miraj

Peristiwa Isra’ Miraj merupakan salah satu mukjizat terbesar dalam sejarah Islam. Namun, sebagai peristiwa luar biasa yang melibatkan perjalanan jauh dalam waktu singkat, banyak pemikir muslim dan ilmuwan mencoba menganalisisnya dari sudut pandang rasional dan ilmiah. Meskipun Isra’ Miraj adalah mukjizat di luar hukum alam biasa, beberapa konsep dalam fisika modern, astronomi, dan psikologi dapat memberikan perspektif yang menarik dalam memahami fenomena ini.

4.1.       Kemungkinan Perjalanan Luar Angkasa dan Relativitas Waktu

Isra’ Miraj menggambarkan perjalanan Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina) dalam sekejap mata, dilanjutkan dengan kenaikan ke langit hingga ke Sidratul Muntaha. Hal ini sejalan dengan konsep relativitas waktu yang dikemukakan oleh Albert Einstein dalam Teori Relativitas Khusus.

4.1.1.    Konsep Waktu dalam Teori Relativitas

Menurut Teori Relativitas Khusus, waktu dapat melambat atau mengalami dilatasi tergantung pada kecepatan suatu objek. Jika seseorang bergerak mendekati kecepatan cahaya (300.000 km/detik), waktu bagi orang tersebut akan berjalan lebih lambat dibandingkan dengan orang yang diam di bumi.1 Dalam konteks Isra’ Miraj, mungkin saja perjalanan ini terjadi dalam dimensi waktu yang berbeda dari persepsi manusia biasa.

Seorang ilmuwan Muslim, Prof. Dr. Zaghloul El-Naggar, mengaitkan fenomena ini dengan kemungkinan perjalanan Nabi Saw. dalam dimensi ruang-waktu yang tidak terbatas pada hukum fisika bumi.2 Jika perjalanan ini melibatkan aspek dimensi lain atau percepatan ekstrim, maka peristiwa ini tidak bertentangan dengan konsep relativitas.

4.1.2.    Isra’ Miraj dan Kemungkinan Perjalanan Antariksa

Dalam dunia sains modern, eksplorasi luar angkasa telah memungkinkan manusia memahami kemungkinan perjalanan ke tempat-tempat jauh dalam waktu singkat dengan teori wormhole (lubang cacing). Teori ini menyatakan bahwa ada jalan pintas dalam ruang-waktu yang dapat memungkinkan seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu yang relatif singkat.3

Meskipun teori wormhole masih dalam tahap hipotesis, konsep ini menarik untuk dikaitkan dengan Isra’ Miraj, yang merupakan perjalanan lintas dimensi yang mungkin tidak bisa dijelaskan dengan hukum fisika konvensional.

4.2.       Perspektif Neurosains dan Pengalaman Spiritual

4.2.1.    Apakah Isra’ Miraj Pengalaman Ruhani atau Fisik?

Dalam kajian neurosains, ada teori bahwa pengalaman spiritual mendalam bisa dialami dalam bentuk penglihatan atau mimpi yang sangat nyata. Beberapa peneliti berpendapat bahwa keadaan kesadaran tertentu dapat memungkinkan manusia mengalami perjalanan ruhani yang intens, yang terasa lebih nyata daripada kenyataan biasa.4

Namun, menurut Imam Ibnu Katsir, Isra’ Miraj terjadi dalam keadaan sadar dan dengan jasad, bukan sekadar pengalaman ruhani.5 Hal ini diperkuat oleh hadis sahih yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bertemu langsung dengan para nabi dan menerima perintah shalat dalam keadaan sadar.6 Oleh karena itu, meskipun ada kemungkinan pendekatan spiritual, mayoritas ulama tetap berpegang pada keyakinan bahwa perjalanan ini terjadi secara fisik.

4.3.       Hikmah dan Implikasi dari Perspektif Ilmiah

Peristiwa Isra’ Miraj tidak hanya menjadi mukjizat yang memperlihatkan kebesaran Allah Swt., tetapi juga menyimpan banyak hikmah yang bisa dikaji dari berbagai aspek:

1)                  Menggugah rasa ingin tahu ilmiah:

Konsep perjalanan ruang-waktu dalam Isra’ Miraj mendorong manusia untuk lebih mendalami astronomi, fisika kuantum, dan eksplorasi antariksa.

2)                  Menunjukkan keterbatasan akal manusia:

Tidak semua fenomena dapat dijelaskan dengan sains modern, terutama jika menyangkut dimensi metafisik yang melampaui batas pengalaman manusia biasa.

3)                  Memperkuat keimanan:

Bagi umat Islam, peristiwa ini mengajarkan bahwa kekuasaan Allah Swt. tidak terbatas dan bahwa keajaiban di luar nalar manusia tetap dapat terjadi.


Kesimpulan

Isra’ Miraj adalah peristiwa mukjizat yang tetap menjadi misteri bagi manusia. Meskipun tidak semua aspek dapat dijelaskan dengan sains modern, pendekatan fisika relativitas, teori wormhole, dan kajian spiritual memberikan wawasan baru dalam memahami fenomena ini. Namun, sebagai mukjizat, Isra’ Miraj tetap berada di luar jangkauan sains dan hanya dapat diterima dengan keimanan.


Catatan Kaki

[1]                Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory (New York: Crown Publishers, 1961), 80.

[2]                Zaghloul El-Naggar, Qur’anic Phenomena in the Light of Modern Science (Cairo: Dar Al-Taqwa, 2005), 112.

[3]                Kip Thorne, Black Holes & Time Warps: Einstein's Outrageous Legacy (New York: W.W. Norton & Company, 1994), 134.

[4]                Andrew B. Newberg and Eugene G. d'Aquili, Why God Won't Go Away: Brain Science and the Biology of Belief (New York: Ballantine Books, 2001), 47.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 42.

[6]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim, Sahih Muslim, no. 162.


5.           Hikmah dan Pelajaran dari Isra’ Miraj

Peristiwa Isra’ Miraj merupakan mukjizat besar dalam sejarah Islam yang membawa banyak hikmah dan pelajaran bagi umat manusia. Tidak hanya sebagai perjalanan spiritual yang luar biasa, Isra’ Miraj juga memberikan pesan mendalam tentang keimanan, keteguhan hati, serta hakikat ibadah. Dalam bagian ini, kita akan menguraikan berbagai pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa ini berdasarkan sumber-sumber tafsir klasik, hadis, dan pemikiran ulama.

5.1.       Ujian Keimanan dan Kepercayaan kepada Wahyu

Isra’ Miraj merupakan peristiwa yang menguji keimanan kaum Muslimin saat itu. Banyak orang yang meragukan kebenaran perjalanan ini karena secara rasional sulit diterima, bahkan sebagian penduduk Makkah menganggap Nabi Muhammad Saw. telah berbicara sesuatu yang mustahil.1

Namun, Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung membenarkan peristiwa tersebut tanpa ragu. Ia mengatakan, "Jika memang Nabi yang mengatakannya, maka itu pasti benar."2 Sikap Abu Bakar menunjukkan bahwa keimanan sejati bukan hanya berdasar pada logika, tetapi juga pada keyakinan penuh terhadap kebenaran wahyu. Oleh karena itu, Isra’ Miraj mengajarkan bahwa iman harus didasarkan pada kepercayaan terhadap kekuasaan Allah Swt., meskipun sesuatu tampak mustahil dalam persepsi manusia.

5.2.       Keistimewaan dan Kewajiban Shalat sebagai Hadiah Langsung dari Allah Swt.

Isra’ Miraj menjadi momen agung di mana Nabi Muhammad Saw. menerima perintah shalat lima waktu langsung dari Allah Swt. tanpa perantara Jibril.3 Berbeda dengan ibadah lain yang diperintahkan melalui wahyu biasa, kewajiban shalat disampaikan dalam pertemuan langsung antara Allah Swt. dengan Rasul-Nya.

Menurut Imam Al-Ghazali, shalat adalah sarana utama seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengingat-Nya.4 Oleh karena itu, peristiwa ini menegaskan betapa pentingnya shalat sebagai pilar utama dalam Islam dan bentuk komunikasi langsung seorang Muslim dengan Rabb-nya.

5.3.       Keteguhan Hati di Tengah Ujian dan Cobaan

Isra’ Miraj terjadi setelah Nabi Muhammad Saw. mengalami Tahun Kesedihan (‘Aam al-Huzn), di mana beliau kehilangan dua sosok pelindung terbesarnya: Sayyidah Khadijah dan Abu Thalib.5 Selain itu, Rasulullah juga mengalami penolakan yang keras dari penduduk Tha’if. Dalam kondisi duka dan tekanan mental tersebut, Allah Swt. memberikan Isra’ Miraj sebagai penghiburan dan penguatan spiritual bagi Rasulullah Saw.

Hal ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi kesulitan, seorang mukmin harus tetap berpegang teguh kepada Allah Swt., karena setiap ujian selalu disertai dengan pertolongan-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

"Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah [94] ayat 6)6

5.4.       Pentingnya Ukhuwah Islamiyah dan Kesatuan Umat

Saat tiba di Masjidil Aqsha, Nabi Muhammad Saw. menjadi imam shalat bagi seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah Swt.7 Peristiwa ini memiliki makna simbolis yang dalam, yaitu kepemimpinan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin para nabi serta penyatuan risalah Islam dengan ajaran-ajaran sebelumnya.

Dalam konteks modern, peristiwa ini menegaskan pentingnya ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, persatuan adalah kunci kekuatan umat, sementara perpecahan adalah penyebab kelemahan mereka.8 Oleh karena itu, umat Islam harus selalu menjaga kebersamaan dan menghindari konflik yang dapat merusak persaudaraan mereka.

5.5.       Menghormati dan Membela Masjidil Aqsha

Isra’ Miraj juga menegaskan kedudukan istimewa Masjidil Aqsha, yang menjadi titik awal perjalanan Rasulullah menuju langit.9 Masjid ini merupakan salah satu dari tiga masjid suci dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi:

"Janganlah kalian bepergian (dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)10

Dalam konteks modern, peristiwa ini menjadi pengingat bagi umat Islam tentang pentingnya menjaga kehormatan dan kedaulatan Masjidil Aqsha, serta memperjuangkan hak-hak umat Islam atas tempat suci tersebut.

5.6.       Makna Spiritual: Menyadari Kebesaran Allah dan Tujuan Hidup

Isra’ Miraj bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mengajarkan bahwa dunia ini hanyalah sarana menuju kehidupan akhirat. Dalam perjalanan tersebut, Rasulullah Saw. diperlihatkan berbagai gambaran surga dan neraka, serta balasan bagi orang-orang yang berbuat baik maupun buruk.11

Hal ini mengingatkan manusia bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, dan bahwa setiap amal akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa berusaha menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan bertakwa kepada Allah Swt.


Kesimpulan

Isra’ Miraj adalah peristiwa yang mengandung banyak pelajaran berharga bagi umat Islam. Ia mengajarkan tentang keimanan yang teguh, pentingnya shalat, keteguhan dalam menghadapi cobaan, ukhuwah Islamiyah, serta kesadaran akan kehidupan akhirat. Dengan memahami hikmah dari Isra’ Miraj, seorang Muslim dapat semakin meningkatkan keimanan dan ketakwaannya, serta menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan tujuan akhir yang sebenarnya.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 232.

[2]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 122.

[3]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo: Dar al-Taqwa, 2003), 233.

[5]                Ibnu Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 212.

[6]                Al-Qur’an, QS. Al-Insyirah (94) ayat 6.

[7]                Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 3 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1998), 40.

[8]                Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Jilid 28 (Madinah: Maktabah al-Ma’arif, 2004), 149.

[9]                Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 1.

[10]             Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 1189; Muslim, Sahih Muslim, no. 1397.

[11]             Al-Suyuti, Al-Durr al-Manthur fi Tafsir al-Ma’thur, Jilid 5 (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), 310.


6.           Kesimpulan

Isra’ Miraj merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam yang memiliki makna spiritual, teologis, dan ilmiah yang mendalam. Sebagai mukjizat yang hanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw., perjalanan ini bukan sekadar pengalaman luar biasa, tetapi juga tanda kebesaran Allah Swt. serta ujian keimanan bagi umat Islam. Melalui berbagai perspektif —baik tafsir klasik, sejarah, maupun tinjauan rasional— Isra’ Miraj dapat dipahami sebagai penguatan risalah kenabian, penegasan keistimewaan Masjidil Aqsha, serta penetapan shalat sebagai kewajiban utama umat Islam.

6.1.       Isra’ Miraj sebagai Mukjizat dan Ujian Keimanan

Isra’ Miraj membuktikan bahwa kemampuan Allah Swt. tidak terbatas oleh hukum-hukum fisika yang berlaku di alam semesta. Allah berfirman:

"Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami." (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1)1

Ayat ini menegaskan bahwa perjalanan tersebut bukan sekadar mimpi atau simbolis, melainkan peristiwa nyata yang terjadi dengan kehendak Allah Swt. Namun, di sisi lain, peristiwa ini menjadi ujian keimanan bagi umat Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam respons Abu Bakar Ash-Shiddiq yang langsung membenarkan kabar tersebut tanpa ragu.2 Sikap ini menjadi teladan bagi umat Islam dalam menerima wahyu dan mukjizat yang tidak selalu dapat dijelaskan dengan rasionalitas manusia.

6.2.       Signifikansi Shalat sebagai Inti Perjalanan Isra’ Miraj

Isra’ Miraj merupakan satu-satunya peristiwa di mana perintah ibadah diberikan langsung oleh Allah Swt. tanpa perantara malaikat Jibril. Perintah shalat lima waktu yang diterima Rasulullah Saw. menunjukkan bahwa shalat memiliki kedudukan istimewa dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi:

"Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang menegakkannya, maka ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah merobohkan agama." (HR. Al-Baihaqi)3

Menurut Imam Al-Ghazali, shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sarana utama untuk membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.4 Oleh karena itu, umat Islam harus menjadikan shalat sebagai tiang utama dalam kehidupan spiritual mereka, sebagaimana ditekankan dalam hikmah perjalanan Isra’ Miraj.

6.3.       Isra’ Miraj sebagai Sumber Penguatan Spiritual bagi Rasulullah Saw.

Peristiwa Isra’ Miraj terjadi pada periode sulit dalam kehidupan Rasulullah Saw., yaitu setelah wafatnya Sayyidah Khadijah dan Abu Thalib dalam Tahun Kesedihan (‘Aam al-Huzn).5 Kehilangan dua sosok pendukung terbesar ini, ditambah dengan penolakan dari masyarakat Tha’if, menjadikan kondisi Nabi semakin berat. Oleh karena itu, perjalanan ini berfungsi sebagai hiburan dan penguatan spiritual dari Allah Swt.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah menafsirkan Isra’ Miraj sebagai bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada Nabi-Nya, di mana beliau diberikan pengalaman luar biasa untuk melihat langsung tanda-tanda kebesaran Allah dan dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dakwah yang lebih besar.6 Dengan demikian, peristiwa ini mengajarkan bahwa setiap ujian hidup pasti disertai dengan pertolongan Allah Swt.

6.4.       Relevansi Isra’ Miraj bagi Umat Islam Masa Kini

Isra’ Miraj tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga memberikan pesan moral dan spiritual yang tetap berlaku bagi umat Islam sepanjang zaman. Beberapa hikmah utama yang dapat diambil dari peristiwa ini antara lain:

·                     Pentingnya keimanan yang kokoh terhadap wahyu dan mukjizat Allah Swt.

·                     Shalat sebagai pilar utama dalam kehidupan Muslim yang tidak boleh ditinggalkan.

·                     Persatuan umat Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam peristiwa Nabi menjadi imam bagi para nabi lainnya di Masjidil Aqsha.7

·                     Tanggung jawab dalam menjaga kesucian Masjidil Aqsha sebagai tempat suci ketiga dalam Islam.8

·                     Kesadaran bahwa perjalanan hidup di dunia adalah persiapan menuju kehidupan akhirat.


Kesimpulan Akhir

Isra’ Miraj merupakan peristiwa luar biasa yang menegaskan kemuliaan Rasulullah Saw. sebagai utusan Allah Swt. serta menanamkan ajaran-ajaran mendalam bagi umat Islam. Peristiwa ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang membawa hikmah bagi seluruh manusia. Dengan memahami Isra’ Miraj dalam perspektif tafsir, sejarah, dan rasionalitas, umat Islam dapat semakin mengokohkan keyakinan mereka serta mengimplementasikan pelajaran-pelajaran berharga dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana firman Allah Swt.:

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 107)9

Dengan demikian, Isra’ Miraj bukan hanya peristiwa bagi Rasulullah Saw., tetapi juga rahmat bagi seluruh umat manusia, yang mengajarkan bahwa kehidupan ini harus dijalani dengan iman yang kuat, ibadah yang teguh, serta kesadaran akan tujuan akhir di akhirat.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 1.

[2]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 122.

[3]                Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, no. 2485.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo: Dar al-Taqwa, 2003), 233.

[5]                Ibnu Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 212.

[6]                Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 3 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1998), 40.

[7]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[8]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 1189; Muslim, Sahih Muslim, no. 1397.

[9]                Al-Qur’an, QS. Al-Anbiya’ (21) ayat 107.


Daftar Pustaka

Al-Baihaqi. (n.d.). Sunan al-Baihaqi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Bukhari, M. I. (n.d.). Sahih al-Bukhari. Riyadh: Darussalam.

Al-Ghazali, A. H. (2003). Ihya’ Ulum al-Din (Vol. 1). Kairo: Dar al-Taqwa.

Al-Qur’an, Tafsir dan Terjemahannya. (n.d.).

Ibnu Katsir, I. U. (1997). Al-Bidayah wa An-Nihayah (Vol. 3). Beirut: Dar al-Fikr.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, M. A. (1998). Zad al-Ma’ad (Vol. 3). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

Ibnu Sa’ad, M. (2001). At-Tabaqat al-Kubra (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Muslim, I. H. (n.d.). Sahih Muslim. Riyadh: Darussalam.


Lampiran: Kritik Rasional dan Jawaban atas Kritik terhadap Peristiwa Isra’ Miraj

Isra’ Miraj merupakan peristiwa yang sering menjadi objek kritik, terutama dari perspektif rasional dan ilmiah. Beberapa kritik utama yang diajukan terkait perjalanan ini meliputi aspek fisik dan ilmiah, aspek historis dan tekstual, serta aspek teologis. Namun, berbagai ulama dan pemikir Islam telah memberikan jawaban sistematis yang menunjukkan kemungkinan dan logika mukjizat dalam Islam.

1.            Kritik terhadap Aspek Fisik dan Ilmiah

·                     Perjalanan Lintas Ruang dan Waktu dalam Waktu Singkat

Salah satu kritik utama terhadap Isra’ Miraj adalah bagaimana mungkin Nabi Muhammad Saw. melakukan perjalanan dari Makkah ke Yerusalem dan kemudian naik ke langit dalam satu malam. Secara fisik, perjalanan ini dianggap mustahil karena jarak yang jauh dan keterbatasan kecepatan manusia.

·                     Jawaban:

Dalam Islam, Isra’ Miraj adalah mukjizat, dan mukjizat berada di luar hukum alam yang biasa kita kenal. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim menjelaskan bahwa Allah memiliki kekuasaan absolut untuk membawa Rasulullah dalam perjalanan tersebut tanpa terikat oleh hukum fisika konvensional.1 Konsep perjalanan lintas ruang dan waktu juga tidak bertentangan dengan kemungkinan ilmiah yang diakui dalam teori relativitas Albert Einstein, yang menyatakan bahwa waktu dapat melambat atau mengalami dilatasi dalam kondisi tertentu.2

·                     Kemungkinan Dimensi Non-Fisik

Beberapa kritik berpendapat bahwa Isra’ Miraj bukan perjalanan fisik, melainkan pengalaman spiritual atau mimpi belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi mengalami peristiwa ini dalam keadaan tidur.

·                     Jawaban:

Mayoritas ulama, termasuk Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqalani, menegaskan bahwa Isra’ Miraj terjadi secara fisik dan ruhani, bukan sekadar pengalaman spiritual.3 Hal ini diperkuat dengan penggunaan kata asra (أَسْرَىٰ) dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat 1, yang dalam bahasa Arab menunjukkan perjalanan fisik.4 Selain itu, jika hanya berupa mimpi, maka peristiwa ini tidak akan menjadi ujian keimanan bagi umat Islam. Abu Bakar Ash-Shiddiq menerima kabar ini tanpa ragu, yang menunjukkan bahwa peristiwa ini dipahami sebagai perjalanan nyata.5

2.            Kritik terhadap Aspek Historis dan Tekstual

·                     Tidak Disebutkan dalam Al-Qur’an secara Rinci

Beberapa kritikus berargumen bahwa peristiwa Miraj tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, sementara hanya Isra’ yang dijelaskan dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat 1. Mereka mempertanyakan mengapa bagian penting dari peristiwa ini tidak diabadikan dalam teks suci.

·                     Jawaban:

Meskipun QS. Al-Isra’ [17] ayat 1 hanya menyebut Isra’, peristiwa Miraj dijelaskan dalam QS. An-Najm [53] ayat 13-18, yang menyebutkan bahwa Rasulullah melihat tanda-tanda kebesaran Allah di Sidratul Muntaha.6 Selain itu, rincian peristiwa ini banyak dijelaskan dalam hadits-hadits sahih, seperti yang diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim.7 Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Zad al-Ma’ad juga menjelaskan bahwa hadis mutawatir yang meriwayatkan peristiwa ini menjadikannya bagian dari sejarah Islam yang tidak bisa disangkal.8

3.            Kritik terhadap Aspek Teologis

·                    Mengapa Nabi Harus Mengalami Perjalanan Ini?

Beberapa pertanyaan teologis muncul mengenai mengapa Allah Swt. tidak langsung memberikan perintah shalat kepada Nabi tanpa melalui perjalanan Isra’ Miraj.

·                     Jawaban:

Isra’ Miraj bukan hanya tentang perintah shalat, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan simbolik yang sangat mendalam. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menjelaskan bahwa perjalanan ini merupakan ujian keimanan, penguatan spiritual, dan tanda kenabian yang luar biasa.9 Selain itu, dalam perspektif Islam, Allah berbuat sesuai dengan kebijaksanaan-Nya, dan perjalanan ini juga bertujuan untuk memperlihatkan kepada Nabi Muhammad Saw. tanda-tanda kebesaran Allah Swt. (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1).


Kesimpulan

Kritik terhadap Isra’ Miraj terutama berasal dari sudut pandang rasional dan ilmiah, namun berbagai jawaban dari ulama dan kajian ilmiah menunjukkan bahwa peristiwa ini tidak bertentangan dengan konsep mukjizat dalam Islam. Dari perspektif teologis, perjalanan ini memiliki hikmah besar dalam penguatan risalah kenabian dan kedudukan shalat dalam Islam. Oleh karena itu, peristiwa Isra’ Miraj tetap menjadi keyakinan fundamental dalam akidah Islam, yang harus dipahami dalam konteks keimanan, sejarah, dan kemungkinan ilmiah yang terus berkembang.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 134.

[2]                Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory (New York: Crown Publishers, 1961), 37.

[3]                An-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 118.

[4]                Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 1.

[5]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 7 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1959), 203.

[6]                Al-Qur’an, QS. An-Najm (53) ayat 13-18.

[7]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim, Sahih Muslim, no. 162.

[8]                Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 3 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1998), 45.

[9]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo: Dar al-Taqwa, 2003), 240.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar