Isra’ Miraj
Perjalanan Agung Nabi
Muhammad Saw. dalam Perspektif Tafsir, Sejarah, dan Rasionalitas
Abstrak
Isra’ Miraj merupakan salah satu peristiwa paling
agung dalam sejarah Islam yang menandai perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw.
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (Isra’) dan dilanjutkan dengan perjalanan
menuju langit tertinggi (Miraj). Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peristiwa
tersebut melalui perspektif tafsir klasik, sejarah Islam, serta analisis
rasional dan ilmiah. Dalam kajian tafsir, Isra’ Miraj dijelaskan sebagai
mukjizat besar yang menunjukkan keagungan Allah Swt. Sejarah Islam mencatat
peristiwa ini terjadi pada masa sulit dalam kehidupan Nabi sebagai bentuk
penghiburan dan penguatan spiritual. Sementara itu, tinjauan rasional berusaha
memahami peristiwa ini dalam konteks hukum alam serta kemungkinan dimensi
metafisik yang melampaui keterbatasan pemahaman manusia. Selain itu, artikel
ini juga menguraikan hikmah dan pelajaran dari Isra’ Miraj, terutama dalam
peneguhan aqidah, urgensi shalat lima waktu, serta hubungan antara keimanan dan
ketundukan kepada wahyu. Dengan memahami peristiwa ini secara komprehensif,
diharapkan umat Islam dapat semakin memperkokoh keyakinan dan menjadikannya
sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.
Kata Kunci: Isra’ Miraj, Nabi Muhammad Saw., tafsir
klasik, sejarah Islam, mukjizat, rasionalitas, hikmah Islam.
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi Isra’ dan Miraj
Peristiwa Isra’
dan Miraj
merupakan salah satu mukjizat terbesar yang diberikan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Isra’
berasal dari kata أَسْرَىٰ yang berarti "perjalanan
malam hari."1
Sedangkan Miraj berasal dari kata المِعْرَاج yang berarti "tangga" atau "alat
untuk naik," yang dalam konteks ini merujuk pada kenaikan Nabi Saw. ke
langit.2
Secara umum, Isra’
Miraj terdiri dari dua bagian utama:
1)
Isra’
adalah perjalanan Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha
(Baitul Maqdis/Palestina) dalam satu malam.
2)
Miraj
adalah perjalanan naik ke langit hingga mencapai Sidratul
Muntaha, tempat Nabi Saw. menerima perintah shalat.
Peristiwa ini
terjadi dalam keadaan yang sangat cepat dan menembus batasan ruang serta waktu.
Sebagian besar ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah meyakini bahwa perjalanan ini terjadi
secara fisik dan ruhani, bukan sekadar pengalaman spiritual atau mimpi.3
1.2.
Dalil-Dalil tentang Isra’ Miraj
1.2.1.
Dalil dari Al-Qur’an
Peristiwa Isra’
secara eksplisit disebutkan dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 1:
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Maha Suci Allah yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha
Melihat." (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1)4
Sedangkan peristiwa
Miraj dijelaskan dalam Surah An-Najm [53] ayat 13-18:
وَلَقَدْ
رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ (13) عِندَ سِدْرَةِ ٱلْمُنتَهَىٰ (14)
عِندَهَا جَنَّةُ ٱلْمَأْوَىٰ (15) إِذْ يَغْشَى ٱلسِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰ (16)
مَا زَاغَ ٱلْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ (17) لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ ءَايَٰتِ رَبِّهِ
ٱلْكُبْرَىٰ(18)
"Dan sesungguhnya Muhammad telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (17) Yaitu
di Sidratul Muntaha. (18) Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (19) (Muhammad
melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
(16) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak
(pula) melampauinya. (17) Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (18)" (QS. An-Najm [53]
ayat13-18)5
1.2.2.
Dalil dari Hadis
Beberapa hadis sahih
yang meriwayatkan peristiwa Isra’ Miraj di antaranya:
1)
Hadis Riwayat Al-Bukhari
dan Muslim
Dari Anas bin Malik, Rasulullah
Saw. bersabda:
"Aku didatangi Buraq (sejenis hewan
putih, lebih tinggi dari keledai tetapi lebih kecil dari bagal), lalu aku
dituntun hingga sampai ke Baitul Maqdis. Kemudian aku diangkat ke langit
pertama dan bertemu Nabi Adam, lalu ke langit kedua bertemu Nabi Isa dan Yahya,
hingga akhirnya mencapai Sidratul Muntaha."_6
2)
Hadis Riwayat Imam Ahmad
dan Ibnu Hibban
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
Saw. bersabda:
"Pada malam aku diisra’kan, aku bertemu
dengan Musa di tempat yang tinggi. Aku juga melihat surga dan neraka, serta menerima
perintah shalat lima waktu."_7
Hadis-hadis ini
memberikan gambaran detail tentang perjalanan Isra’ dan Miraj serta menegaskan
bahwa peristiwa ini bukan hanya simbolik, melainkan nyata.
1.3.
Signifikansi Peristiwa Isra’ Miraj
Isra’ Miraj bukan
hanya sekadar perjalanan luar biasa, tetapi memiliki dampak yang besar dalam
ajaran Islam. Beberapa aspek signifikannya adalah:
1.3.1.
Konfirmasi Kenabian
Rasulullah Saw.
Isra’ Miraj adalah
salah satu tanda nyata keistimewaan kenabian Muhammad Saw. Peristiwa ini
menjadi bukti langsung dari keagungan Allah Swt. serta pengakuan Rasulullah
Saw. sebagai nabi terakhir yang diberi tugas menyampaikan syariat kepada umat
manusia.8
1.3.2.
Isra’ Miraj sebagai
Ujian Keimanan
Ketika Nabi Saw.
menceritakan peristiwa ini kepada kaum Quraisy, banyak yang mendustakannya.
Namun, Abu
Bakar Ash-Shiddiq langsung membenarkan Nabi, sehingga mendapat
gelar "Ash-Shiddiq"
(yang membenarkan).9 Hal ini menunjukkan bahwa keimanan sejati
terletak pada kepercayaan kepada wahyu Allah, meskipun melampaui logika
manusia.
1.3.3.
Isra’ Miraj sebagai
Penetapan Shalat Lima Waktu
Peristiwa ini
menjadi momen penetapan kewajiban shalat lima waktu secara langsung dari Allah
Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Awalnya, shalat diperintahkan sebanyak 50 kali
sehari, namun setelah beberapa kali permohonan Nabi Musa,
akhirnya dikurangi menjadi 5 kali sehari dengan pahala
setara 50 kali
shalat.10
1.3.4.
Kedudukan Masjidil
Aqsha dalam Islam
Masjidil Aqsha
memiliki keutamaan dalam Islam karena menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum
dipindahkan ke Ka’bah di Makkah. Peristiwa Isra’ Miraj semakin menegaskan
posisi Masjidil Aqsha sebagai tempat suci ketiga dalam Islam setelah Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi.11
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 4 (Beirut:
Dar al-Shadir, 1994), 390.
[2]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 502.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 37.
[4]
Al-Qur'an, Surah Al-Isra’ [17] ayat 1.
[5]
Al-Qur'an, Surah An-Najm [53] ayat 13-18.
[6]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207.
[7]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 10706.
[8]
Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Jilid 2 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 25.
[9]
Ibnu Sa'ad, Tabaqat al-Kubra, Jilid 1 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 144.
[10]
Muslim, Sahih Muslim, no. 162.
[11]
Al-Baghawi, Ma‘alim al-Tanzil, Jilid 3 (Beirut:
Dar Ibn Hazm, 2002), 289.
2.
Rekonstruksi Peristiwa Isra’ Miraj
Peristiwa Isra’
Miraj merupakan mukjizat yang terjadi pada Rasulullah Saw.
dalam satu malam, di mana beliau diperjalankan dari Masjidil
Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, lalu dinaikkan
ke langit hingga mencapai Sidratul Muntaha. Peristiwa ini
merupakan pengalaman luar biasa yang disaksikan langsung oleh Rasulullah Saw.
dan menjadi ujian keimanan bagi umat Islam saat itu.1
2.1.
Latar Belakang Peristiwa
Peristiwa Isra’
Miraj terjadi pada periode sulit dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw., yakni
setelah ‘Amul Huzn (Tahun Kesedihan),
di mana beliau kehilangan dua sosok pelindung utama: Sayyidah
Khadijah, istri tercintanya, dan Abu
Thalib, pamannya yang selalu membela dakwahnya.2
Selain itu, Rasulullah Saw. juga menghadapi penolakan keras dari masyarakat
Quraisy, serta kegagalan dalam dakwah ke Tha’if, di mana beliau
dilempari batu hingga terluka parah.3
Dalam kondisi penuh
kesedihan dan tekanan ini, Allah Swt. memberikan penghiburan kepada Nabi Saw.
dengan mengundangnya dalam perjalanan agung yang memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran-Nya.
2.2.
Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha
2.2.1.
Kedatangan Jibril
dan Kendaraan Buraq
Menurut hadis sahih,
perjalanan ini dimulai ketika Jibril a.s. datang membawa Buraq,
seekor makhluk putih yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari
bagal, dan mampu melangkah sejauh mata memandang.4 Rasulullah Saw.
bersabda:
"Aku dibawa oleh Buraq, seekor hewan
putih yang lebih panjang dari keledai tetapi lebih pendek dari bagal. Ia
melangkah sejauh yang bisa dilihat oleh pandangannya." (HR.
Muslim, no. 162)5
Jibril a.s. kemudian
membawa Nabi Saw. menuju Masjidil Aqsha dalam waktu yang
sangat singkat.
2.2.2.
Pertemuan dengan
Para Nabi di Baitul Maqdis
Setibanya di Masjidil
Aqsha, Rasulullah Saw. bertemu dengan para nabi terdahulu, di
antaranya Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa a.s..
Beliau kemudian memimpin mereka dalam shalat berjamaah.6 Ini
menegaskan bahwa Rasulullah Saw. adalah imam bagi seluruh nabi dan pemimpin
umat manusia.7
Menurut riwayat Ibnu
Abbas, Rasulullah Saw. bersabda:
"Aku melihat para nabi. Musa tinggi dan
berkulit gelap seperti orang dari suku Az-Zutt. Isa berpostur sedang dan
berkulit kemerahan, dan Ibrahim menyerupai sahabat kalian (yakni dirinya
sendiri). Kemudian aku memimpin mereka dalam shalat." (HR. Muslim,
no. 170)8
2.3.
Perjalanan Miraj ke Sidratul Muntaha
2.3.1.
Kenaikan Melalui
Langit yang Berlapis-Lapis
Setelah shalat di
Masjidil Aqsha, Rasulullah Saw. dibawa naik ke langit dalam perjalanan Miraj.
Beliau melewati tujuh lapis langit dan bertemu dengan beberapa nabi di setiap
tingkatnya:9
1)
Langit
Pertama: Nabi Adam a.s.
2)
Langit
Kedua: Nabi Isa a.s. dan Nabi Yahya a.s.
3)
Langit
Ketiga: Nabi Yusuf a.s.
4)
Langit
Keempat: Nabi Idris a.s.
5)
Langit
Kelima: Nabi Harun a.s.
6)
Langit
Keenam: Nabi Musa a.s.
7)
Langit
Ketujuh: Nabi Ibrahim a.s., yang sedang
bersandar di Baitul Ma’mur
Setiap nabi
menyambut Rasulullah Saw. dengan penuh hormat, dan mereka menyampaikan salam
kepadanya.10
2.3.2.
Sidratul Muntaha dan
Lauhul Mahfuz
Di puncak
perjalanan, Rasulullah Saw. mencapai Sidratul Muntaha, tempat
tertinggi yang tidak bisa dijangkau oleh makhluk biasa. Dalam Surah An-Najm
disebutkan:
"Dan sungguh, dia (Muhammad) telah
melihat (Jibril) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha." (QS.
An-Najm [53] ayat 13-14)11
Di sini, Nabi Saw.
melihat Lauhul Mahfuz, catatan seluruh
ketetapan Allah Swt., dan mendapatkan berbagai wahyu serta keutamaan-keutamaan
lainnya.12
2.4.
Dialog dengan Allah dan Perintah Shalat
Dalam peristiwa ini,
Rasulullah Saw. menerima perintah shalat secara langsung dari Allah Swt.
Awalnya, shalat diwajibkan sebanyak 50 kali sehari, namun setelah
beberapa kali permohonan Nabi Musa a.s., jumlahnya dikurangi menjadi 5 kali
sehari dengan pahala setara 50 kali.13
Nabi Saw. bersabda:
"Aku kembali kepada Tuhanku hingga
akhirnya Allah berfirman: 'Wahai Muhammad, sesungguhnya shalat itu tetap lima
waktu dalam sehari semalam, dan bagi setiap shalat tetaplah sepuluh kali lipat
pahalanya, sehingga lima itu sama dengan lima puluh.'" (HR.
Muslim, no. 162)14
Kesimpulan
Rekonstruksi Isra’
Miraj menunjukkan bahwa peristiwa ini merupakan perjalanan luar biasa yang
diberikan kepada Rasulullah Saw. sebagai mukjizat. Perjalanan ini bukan hanya
sekadar perjalanan fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual mendalam yang
meneguhkan kenabian Rasulullah Saw., menguji keimanan umat Islam, serta
menetapkan ibadah shalat sebagai rukun Islam yang utama.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 37.
[2]
Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Jilid 2 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 25.
[3]
Ibnu Sa'ad, Tabaqat al-Kubra, Jilid 1 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 144.
[4]
Muslim, Sahih Muslim, no. 162.
[5]
Ibid.
[6]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207.
[7]
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 4232.
[8]
Muslim, Sahih Muslim, no. 170.
[9]
Al-Baghawi, Ma‘alim al-Tanzil, Jilid 3 (Beirut:
Dar Ibn Hazm, 2002), 289.
[10]
Muslim, Sahih Muslim, no. 162.
[11]
Al-Qur'an, Surah An-Najm [53] ayat 13-14.
[12]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 1 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 75.
[13]
Muslim, Sahih Muslim, no. 162.
[14]
Ibid.
3.
Perspektif Tafsir dan Ulama Klasik
Peristiwa Isra’
Miraj memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan hadis sahih.
Para ulama tafsir dan pemikir Islam klasik telah memberikan penjelasan mendalam
terkait ayat-ayat yang berbicara tentang perjalanan agung ini. Mereka
menafsirkan maknanya berdasarkan dalil-dalil yang kuat, baik dari segi lafal
bahasa, konteks sejarah, maupun makna spiritual yang terkandung
di dalamnya.
3.1.
Tafsir Al-Qur'an tentang Isra’ Miraj
3.1.1.
Tafsir Surah
Al-Isra' (17) ayat 1
Peristiwa Isra’
disebutkan secara eksplisit dalam Surah Al-Isra' ayat 1, di mana
Allah Swt. berfirman:
"Maha Suci (Allah), yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha
Melihat." (QS. Al-Isra' [17] ayat 1)1
Dalam tafsirnya, Ibnu
Katsir (w. 774 H) menjelaskan bahwa kata asra bi
‘abdihi (memperjalankan hamba-Nya) menunjukkan bahwa perjalanan ini
benar-benar terjadi secara fisik, bukan hanya dalam bentuk mimpi atau
pengalaman ruhaniyah.2 Pendapat ini juga didukung oleh Imam
At-Thabari (w. 310 H) yang menegaskan bahwa ayat ini menekankan
keagungan Allah Swt. dalam menunjukkan kekuasaan-Nya melalui mukjizat yang luar
biasa.3
3.1.2.
Tafsir Surah An-Najm
(530 ayat 13-18
Bagian Miraj
diisyaratkan dalam Surah An-Najm ayat 13-18, di
mana Allah Swt. berfirman:
"Dan sungguh, dia (Muhammad) telah
melihat (Jibril) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada
surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari
yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat
sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar." (QS.
An-Najm [53] ayat 13-18)4
Menurut Imam
Al-Qurtubi (w. 671 H), ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah
Saw. benar-benar melihat Jibril dalam bentuk aslinya untuk kedua kalinya di Sidratul
Muntaha.5 Sedangkan menurut Imam
Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), penglihatan Rasulullah Saw.
dalam ayat ini bisa diartikan sebagai visi langsung terhadap tanda-tanda
kebesaran Allah Swt., termasuk pengalaman spiritual yang tidak bisa digambarkan
dengan akal manusia.6
3.2.
Pandangan Para Ulama Klasik tentang Isra’ Miraj
3.2.1.
Apakah Isra’ Miraj
Terjadi Secara Fisik atau Ruhaniyah?
Para ulama sepakat
bahwa Isra'
terjadi secara fisik, berdasarkan kata 'abdihi' (hamba-Nya) dalam QS.
Al-Isra' [17] ayat 1 yang menunjukkan kesatuan jasad dan ruh.7
Namun, mengenai Miraj, terdapat beberapa
pendapat:
1)
Mayoritas
ulama, termasuk Imam Ibnu Hazm (w. 456 H), Ibnu Katsir, dan
Imam Nawawi (w. 676 H), menyatakan bahwa Miraj juga terjadi
secara fisik. Mereka berdalil dengan hadis sahih yang menunjukkan bahwa Nabi
Saw. bertemu dengan para nabi dan menerima perintah shalat langsung dari Allah
Swt.8
2)
Sebagian
ulama seperti Imam Al-Ghazali (w. 505 H) berpandangan bahwa
Miraj terjadi secara ruhaniyah. Mereka berpendapat bahwa perjalanan ke langit
lebih bersifat pengalaman batiniah yang menggambarkan pencerahan spiritual Nabi
Saw.9
Namun, pendapat
pertama lebih kuat karena didukung oleh dalil-dalil hadis sahih dari Sahih
Al-Bukhari dan Sahih Muslim.10
3.2.2.
Hikmah di Balik
Isra’ Miraj
Para ulama klasik
juga mengungkapkan beberapa hikmah di balik peristiwa Isra’ Miraj:
1)
Penghiburan
bagi Rasulullah Saw. setelah kehilangan Khadijah dan Abu Thalib
serta penolakan dari kaum Quraisy.11
2)
Penegasan
status kenabian Rasulullah Saw. di antara para nabi terdahulu
melalui shalat berjamaah di Masjidil Aqsha.12
3)
Peneguhan
keimanan umat Islam, terutama saat banyak orang Quraisy
meragukan kebenaran perjalanan ini.13
4)
Penetapan
kewajiban shalat lima waktu, yang menjadi inti hubungan antara
hamba dengan Allah Swt.14
Kesimpulan
Tafsir dan
penjelasan para ulama klasik menegaskan bahwa Isra’ Miraj adalah mukjizat besar
yang terjadi secara nyata. Peristiwa ini memiliki dasar yang kuat dalam
Al-Qur’an, hadis sahih, dan pemahaman ulama klasik. Peristiwa ini bukan hanya
perjalanan fisik, tetapi juga sarat dengan makna spiritual yang mendalam bagi
umat Islam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, Surah Al-Isra' [17] ayat 1.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 38.
[3]
At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
Jilid 15 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2000), 79.
[4]
Al-Qur'an, Surah An-Najm [53] ayat 13-18.
[5]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid
7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 144.
[6]
Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 12 (Beirut:
Dar Ihya at-Turath al-Arabi, 1999), 212.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid
5, 38.
[8]
Ibnu Hazm, Al-Fasl fi al-Milal wa an-Nihal,
Jilid 1 (Beirut: Dar al-Jil, 1998), 68.
[9]
Al-Ghazali, Ihya' Ulum ad-Din, Jilid 4 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 115.
[10]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim,
Sahih
Muslim, no. 162.
[11]
Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Jilid 2 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), 29.
[12]
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 4232.
[13]
At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
Jilid 15, 83.
[14]
Muslim, Sahih Muslim, no. 162.
4.
Tinjauan Rasional dan Ilmiah terhadap Isra’
Miraj
Peristiwa Isra’
Miraj merupakan salah satu mukjizat terbesar dalam sejarah
Islam. Namun, sebagai peristiwa luar biasa yang melibatkan perjalanan jauh
dalam waktu singkat, banyak pemikir muslim dan ilmuwan mencoba menganalisisnya
dari sudut pandang rasional dan ilmiah. Meskipun Isra’ Miraj adalah mukjizat di
luar hukum alam biasa, beberapa konsep dalam fisika modern, astronomi, dan
psikologi dapat memberikan perspektif yang menarik dalam memahami fenomena ini.
4.1.
Kemungkinan Perjalanan Luar Angkasa dan
Relativitas Waktu
Isra’ Miraj
menggambarkan perjalanan Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil
Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina) dalam sekejap mata,
dilanjutkan dengan kenaikan ke langit hingga ke Sidratul Muntaha. Hal ini
sejalan dengan konsep relativitas waktu yang
dikemukakan oleh Albert Einstein dalam Teori Relativitas Khusus.
4.1.1.
Konsep Waktu dalam
Teori Relativitas
Menurut Teori
Relativitas Khusus, waktu dapat melambat atau mengalami
dilatasi tergantung pada kecepatan suatu objek. Jika seseorang bergerak
mendekati kecepatan cahaya (300.000 km/detik), waktu bagi orang tersebut akan
berjalan lebih lambat dibandingkan dengan orang yang diam di bumi.1
Dalam konteks Isra’ Miraj, mungkin saja perjalanan ini terjadi dalam dimensi
waktu yang berbeda dari persepsi manusia biasa.
Seorang ilmuwan
Muslim, Prof. Dr. Zaghloul El-Naggar,
mengaitkan fenomena ini dengan kemungkinan perjalanan Nabi Saw. dalam dimensi
ruang-waktu yang tidak terbatas pada hukum fisika bumi.2
Jika perjalanan ini melibatkan aspek dimensi lain atau percepatan ekstrim,
maka peristiwa ini tidak bertentangan dengan konsep relativitas.
4.1.2.
Isra’ Miraj dan
Kemungkinan Perjalanan Antariksa
Dalam dunia sains
modern, eksplorasi luar angkasa telah memungkinkan manusia memahami kemungkinan
perjalanan ke tempat-tempat jauh dalam waktu singkat dengan teori wormhole
(lubang cacing). Teori ini menyatakan bahwa ada jalan pintas
dalam ruang-waktu yang dapat memungkinkan seseorang berpindah dari satu tempat
ke tempat lain dalam waktu yang relatif singkat.3
Meskipun teori
wormhole masih dalam tahap hipotesis, konsep ini menarik untuk dikaitkan dengan
Isra’ Miraj, yang merupakan perjalanan lintas dimensi yang mungkin tidak bisa
dijelaskan dengan hukum fisika konvensional.
4.2.
Perspektif Neurosains dan Pengalaman Spiritual
4.2.1.
Apakah Isra’ Miraj
Pengalaman Ruhani atau Fisik?
Dalam kajian neurosains,
ada teori bahwa pengalaman spiritual mendalam bisa dialami dalam bentuk
penglihatan atau mimpi yang sangat nyata. Beberapa peneliti berpendapat bahwa
keadaan kesadaran tertentu dapat memungkinkan manusia mengalami perjalanan
ruhani yang intens, yang terasa lebih nyata daripada kenyataan
biasa.4
Namun, menurut Imam
Ibnu Katsir, Isra’ Miraj terjadi dalam keadaan sadar dan dengan
jasad, bukan sekadar pengalaman ruhani.5 Hal ini diperkuat oleh hadis
sahih yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bertemu langsung
dengan para nabi dan menerima perintah shalat dalam keadaan sadar.6
Oleh karena itu, meskipun ada kemungkinan pendekatan spiritual, mayoritas ulama
tetap berpegang pada keyakinan bahwa perjalanan ini terjadi secara fisik.
4.3.
Hikmah dan Implikasi dari Perspektif Ilmiah
Peristiwa Isra’
Miraj tidak hanya menjadi mukjizat yang memperlihatkan kebesaran Allah Swt.,
tetapi juga menyimpan banyak hikmah yang bisa dikaji dari berbagai aspek:
1)
Menggugah
rasa ingin tahu ilmiah:
Konsep perjalanan ruang-waktu dalam
Isra’ Miraj mendorong manusia untuk lebih mendalami astronomi, fisika kuantum,
dan eksplorasi antariksa.
2)
Menunjukkan
keterbatasan akal manusia:
Tidak semua fenomena dapat dijelaskan
dengan sains modern, terutama jika menyangkut dimensi metafisik yang melampaui
batas pengalaman manusia biasa.
3)
Memperkuat
keimanan:
Bagi umat Islam, peristiwa ini
mengajarkan bahwa kekuasaan Allah Swt. tidak terbatas dan bahwa keajaiban di
luar nalar manusia tetap dapat terjadi.
Kesimpulan
Isra’ Miraj adalah
peristiwa mukjizat yang tetap menjadi misteri bagi manusia. Meskipun tidak
semua aspek dapat dijelaskan dengan sains modern, pendekatan fisika
relativitas, teori wormhole, dan kajian spiritual memberikan wawasan baru dalam
memahami fenomena ini. Namun, sebagai mukjizat, Isra’ Miraj tetap berada di
luar jangkauan sains dan hanya dapat diterima dengan keimanan.
Catatan Kaki
[1]
Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory
(New York: Crown Publishers, 1961), 80.
[2]
Zaghloul El-Naggar, Qur’anic Phenomena in the Light of Modern
Science (Cairo: Dar Al-Taqwa, 2005), 112.
[3]
Kip Thorne, Black Holes & Time Warps: Einstein's Outrageous
Legacy (New York: W.W. Norton & Company, 1994), 134.
[4]
Andrew B. Newberg and Eugene G. d'Aquili, Why God Won't Go Away: Brain Science and the
Biology of Belief (New York: Ballantine Books, 2001), 47.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 42.
[6]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim,
Sahih
Muslim, no. 162.
5.
Hikmah dan Pelajaran dari Isra’ Miraj
Peristiwa Isra’
Miraj merupakan mukjizat besar dalam sejarah Islam yang membawa
banyak hikmah dan pelajaran bagi umat manusia. Tidak hanya sebagai perjalanan
spiritual yang luar biasa, Isra’ Miraj juga memberikan pesan mendalam tentang
keimanan, keteguhan hati, serta hakikat ibadah. Dalam bagian ini, kita akan
menguraikan berbagai pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa ini berdasarkan
sumber-sumber tafsir klasik, hadis, dan pemikiran ulama.
5.1.
Ujian Keimanan dan Kepercayaan kepada Wahyu
Isra’ Miraj
merupakan peristiwa yang menguji keimanan kaum Muslimin saat itu. Banyak orang
yang meragukan kebenaran perjalanan ini karena secara rasional sulit diterima,
bahkan sebagian penduduk Makkah menganggap Nabi Muhammad Saw. telah berbicara
sesuatu yang mustahil.1
Namun, Abu
Bakar Ash-Shiddiq langsung membenarkan peristiwa tersebut tanpa
ragu. Ia mengatakan, "Jika memang Nabi yang mengatakannya, maka
itu pasti benar."2 Sikap Abu Bakar menunjukkan
bahwa keimanan sejati bukan hanya berdasar pada logika, tetapi juga pada
keyakinan penuh terhadap kebenaran wahyu. Oleh karena itu, Isra’ Miraj
mengajarkan bahwa iman harus didasarkan pada kepercayaan terhadap kekuasaan
Allah Swt., meskipun sesuatu tampak mustahil dalam persepsi manusia.
5.2.
Keistimewaan dan Kewajiban Shalat sebagai
Hadiah Langsung dari Allah Swt.
Isra’ Miraj menjadi
momen agung di mana Nabi Muhammad Saw. menerima perintah shalat lima waktu
langsung dari Allah Swt. tanpa perantara Jibril.3 Berbeda dengan
ibadah lain yang diperintahkan melalui wahyu biasa, kewajiban shalat
disampaikan dalam pertemuan langsung antara Allah Swt. dengan Rasul-Nya.
Menurut Imam
Al-Ghazali, shalat adalah sarana utama seorang hamba untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mengingat-Nya.4 Oleh karena itu,
peristiwa ini menegaskan betapa pentingnya shalat sebagai pilar utama dalam
Islam dan bentuk komunikasi langsung seorang Muslim dengan Rabb-nya.
5.3.
Keteguhan Hati di Tengah Ujian dan Cobaan
Isra’ Miraj terjadi
setelah Nabi Muhammad Saw. mengalami Tahun Kesedihan (‘Aam
al-Huzn), di mana beliau kehilangan dua sosok pelindung
terbesarnya: Sayyidah Khadijah dan Abu
Thalib.5 Selain itu, Rasulullah juga mengalami
penolakan yang keras dari penduduk Tha’if. Dalam kondisi duka dan tekanan
mental tersebut, Allah Swt. memberikan Isra’ Miraj sebagai penghiburan dan
penguatan spiritual bagi Rasulullah Saw.
Hal ini mengajarkan
bahwa dalam menghadapi kesulitan, seorang mukmin harus tetap berpegang teguh
kepada Allah Swt., karena setiap ujian selalu disertai dengan pertolongan-Nya.
Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:
"Karena sesungguhnya bersama kesulitan
ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah [94] ayat 6)6
5.4.
Pentingnya Ukhuwah Islamiyah dan Kesatuan Umat
Saat tiba di
Masjidil Aqsha, Nabi Muhammad Saw. menjadi imam shalat bagi seluruh nabi
yang pernah diutus oleh Allah Swt.7 Peristiwa ini memiliki makna
simbolis yang dalam, yaitu kepemimpinan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin
para nabi serta penyatuan risalah Islam dengan ajaran-ajaran sebelumnya.
Dalam konteks
modern, peristiwa ini menegaskan pentingnya ukhuwah Islamiyah dan persatuan
umat Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, persatuan
adalah kunci kekuatan umat, sementara perpecahan adalah penyebab kelemahan
mereka.8 Oleh karena itu, umat Islam harus selalu menjaga
kebersamaan dan menghindari konflik yang dapat merusak persaudaraan mereka.
5.5.
Menghormati dan Membela Masjidil Aqsha
Isra’ Miraj juga
menegaskan kedudukan istimewa Masjidil Aqsha,
yang menjadi titik awal perjalanan Rasulullah menuju langit.9 Masjid
ini merupakan salah satu dari tiga masjid suci dalam Islam,
sebagaimana sabda Nabi:
"Janganlah kalian bepergian (dalam
rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan
Masjidil Aqsha." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)10
Dalam konteks
modern, peristiwa ini menjadi pengingat bagi umat Islam tentang pentingnya
menjaga kehormatan dan kedaulatan Masjidil Aqsha, serta
memperjuangkan hak-hak umat Islam atas tempat suci tersebut.
5.6.
Makna Spiritual: Menyadari Kebesaran Allah dan
Tujuan Hidup
Isra’ Miraj bukan
hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mengajarkan bahwa
dunia ini hanyalah sarana menuju kehidupan akhirat.
Dalam perjalanan tersebut, Rasulullah Saw. diperlihatkan berbagai gambaran
surga dan neraka, serta balasan bagi orang-orang yang berbuat baik maupun buruk.11
Hal ini mengingatkan
manusia bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, dan bahwa setiap
amal akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Oleh karena itu, setiap
Muslim harus senantiasa berusaha menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan
bertakwa kepada Allah Swt.
Kesimpulan
Isra’ Miraj adalah
peristiwa yang mengandung banyak pelajaran berharga bagi umat Islam. Ia
mengajarkan tentang keimanan yang teguh, pentingnya shalat,
keteguhan dalam menghadapi cobaan, ukhuwah Islamiyah, serta kesadaran akan
kehidupan akhirat. Dengan memahami hikmah dari Isra’ Miraj,
seorang Muslim dapat semakin meningkatkan keimanan dan ketakwaannya, serta
menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan tujuan akhir yang sebenarnya.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 232.
[2]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 3
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 122.
[3]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim,
Sahih
Muslim, no. 162.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo:
Dar al-Taqwa, 2003), 233.
[5]
Ibnu Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra, Jilid 1
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 212.
[6]
Al-Qur’an, QS. Al-Insyirah (94) ayat 6.
[7]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 3 (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1998), 40.
[8]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Jilid 28
(Madinah: Maktabah al-Ma’arif, 2004), 149.
[9]
Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 1.
[10]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 1189; Muslim,
Sahih
Muslim, no. 1397.
[11]
Al-Suyuti, Al-Durr al-Manthur fi Tafsir al-Ma’thur,
Jilid 5 (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), 310.
6.
Kesimpulan
Isra’ Miraj
merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam yang
memiliki makna spiritual, teologis, dan ilmiah yang mendalam. Sebagai mukjizat
yang hanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw., perjalanan ini bukan sekadar
pengalaman luar biasa, tetapi juga tanda kebesaran Allah Swt.
serta ujian
keimanan bagi umat Islam. Melalui berbagai perspektif —baik
tafsir klasik, sejarah, maupun tinjauan rasional— Isra’ Miraj dapat dipahami
sebagai penguatan risalah kenabian, penegasan
keistimewaan Masjidil Aqsha, serta penetapan shalat sebagai kewajiban utama
umat Islam.
6.1.
Isra’ Miraj sebagai Mukjizat dan Ujian Keimanan
Isra’ Miraj
membuktikan bahwa kemampuan Allah Swt. tidak terbatas oleh
hukum-hukum fisika yang berlaku di alam semesta. Allah
berfirman:
"Maha Suci (Allah), yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami." (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1)1
Ayat ini menegaskan
bahwa perjalanan tersebut bukan sekadar mimpi atau simbolis, melainkan
peristiwa nyata yang terjadi dengan kehendak Allah Swt. Namun, di sisi lain,
peristiwa ini menjadi ujian keimanan bagi umat Islam,
sebagaimana ditunjukkan dalam respons Abu Bakar Ash-Shiddiq yang langsung
membenarkan kabar tersebut tanpa ragu.2 Sikap ini menjadi teladan
bagi umat Islam dalam menerima wahyu dan mukjizat yang tidak selalu dapat
dijelaskan dengan rasionalitas manusia.
6.2.
Signifikansi Shalat sebagai Inti Perjalanan
Isra’ Miraj
Isra’ Miraj
merupakan satu-satunya peristiwa di mana perintah ibadah diberikan langsung oleh Allah
Swt. tanpa perantara malaikat Jibril. Perintah shalat lima
waktu yang diterima Rasulullah Saw. menunjukkan bahwa shalat memiliki kedudukan
istimewa dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi:
"Shalat adalah tiang agama. Barang
siapa yang menegakkannya, maka ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang
meninggalkannya, maka ia telah merobohkan agama." (HR. Al-Baihaqi)3
Menurut Imam
Al-Ghazali, shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sarana
utama untuk membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.4
Oleh karena itu, umat Islam harus menjadikan shalat sebagai tiang
utama dalam kehidupan spiritual mereka, sebagaimana ditekankan
dalam hikmah perjalanan Isra’ Miraj.
6.3.
Isra’ Miraj sebagai Sumber Penguatan Spiritual
bagi Rasulullah Saw.
Peristiwa Isra’
Miraj terjadi pada periode sulit dalam kehidupan Rasulullah Saw., yaitu setelah
wafatnya Sayyidah Khadijah dan Abu
Thalib dalam Tahun Kesedihan (‘Aam
al-Huzn).5 Kehilangan dua
sosok pendukung terbesar ini, ditambah dengan penolakan dari masyarakat Tha’if,
menjadikan kondisi Nabi semakin berat. Oleh karena itu, perjalanan ini
berfungsi sebagai hiburan dan penguatan spiritual dari Allah Swt.
Ibnu
Qayyim al-Jauziyah menafsirkan Isra’ Miraj sebagai bentuk
kasih sayang Allah Swt. kepada Nabi-Nya, di mana beliau
diberikan pengalaman luar biasa untuk melihat langsung tanda-tanda kebesaran
Allah dan dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dakwah yang lebih besar.6
Dengan demikian, peristiwa ini mengajarkan bahwa setiap
ujian hidup pasti disertai dengan pertolongan Allah Swt.
6.4.
Relevansi Isra’ Miraj bagi Umat Islam Masa Kini
Isra’ Miraj tidak
hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga memberikan pesan
moral dan spiritual yang tetap berlaku bagi umat Islam
sepanjang zaman. Beberapa hikmah utama yang dapat diambil dari peristiwa ini
antara lain:
·
Pentingnya
keimanan yang kokoh terhadap wahyu dan mukjizat Allah Swt.
·
Shalat
sebagai pilar utama dalam kehidupan Muslim yang tidak boleh ditinggalkan.
·
Persatuan
umat Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam peristiwa Nabi menjadi imam bagi para
nabi lainnya di Masjidil Aqsha.7
·
Tanggung
jawab dalam menjaga kesucian Masjidil Aqsha sebagai tempat suci ketiga dalam
Islam.8
·
Kesadaran
bahwa perjalanan hidup di dunia adalah persiapan menuju kehidupan akhirat.
Kesimpulan Akhir
Isra’ Miraj
merupakan peristiwa luar biasa yang menegaskan kemuliaan
Rasulullah Saw. sebagai utusan Allah Swt. serta menanamkan ajaran-ajaran
mendalam bagi umat Islam. Peristiwa ini bukan hanya sekadar
perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang
membawa hikmah bagi seluruh manusia. Dengan memahami Isra’ Miraj dalam
perspektif tafsir, sejarah, dan rasionalitas,
umat Islam dapat semakin mengokohkan keyakinan mereka serta mengimplementasikan
pelajaran-pelajaran berharga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana firman
Allah Swt.:
"Dan Kami tidak mengutus engkau
(Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS.
Al-Anbiya’ [21] ayat 107)9
Dengan demikian,
Isra’ Miraj bukan hanya peristiwa bagi Rasulullah Saw., tetapi juga rahmat
bagi seluruh umat manusia, yang mengajarkan bahwa kehidupan ini
harus dijalani dengan iman yang kuat, ibadah yang teguh, serta
kesadaran akan tujuan akhir di akhirat.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 1.
[2]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 3
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 122.
[3]
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, no. 2485.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo:
Dar al-Taqwa, 2003), 233.
[5]
Ibnu Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra, Jilid 1
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 212.
[6]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 3 (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1998), 40.
[7]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim,
Sahih
Muslim, no. 162.
[8]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 1189; Muslim,
Sahih
Muslim, no. 1397.
[9]
Al-Qur’an, QS. Al-Anbiya’ (21) ayat 107.
Daftar Pustaka
Al-Baihaqi. (n.d.). Sunan al-Baihaqi.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Bukhari, M. I. (n.d.). Sahih al-Bukhari.
Riyadh: Darussalam.
Al-Ghazali, A. H. (2003). Ihya’ Ulum al-Din
(Vol. 1). Kairo: Dar al-Taqwa.
Al-Qur’an, Tafsir dan Terjemahannya. (n.d.).
Ibnu Katsir, I. U. (1997). Al-Bidayah wa
An-Nihayah (Vol. 3). Beirut: Dar al-Fikr.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, M. A. (1998). Zad
al-Ma’ad (Vol. 3). Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
Ibnu Sa’ad, M. (2001). At-Tabaqat al-Kubra
(Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Muslim, I. H. (n.d.). Sahih Muslim. Riyadh:
Darussalam.
Lampiran: Kritik Rasional dan Jawaban atas
Kritik terhadap Peristiwa Isra’ Miraj
Isra’ Miraj
merupakan peristiwa yang sering menjadi objek kritik, terutama dari perspektif
rasional dan ilmiah. Beberapa kritik utama yang diajukan terkait perjalanan ini
meliputi aspek fisik dan ilmiah, aspek
historis dan tekstual, serta aspek teologis. Namun, berbagai
ulama dan pemikir Islam telah memberikan jawaban sistematis yang menunjukkan kemungkinan
dan logika mukjizat dalam Islam.
1.
Kritik terhadap Aspek Fisik dan Ilmiah
·
Perjalanan Lintas
Ruang dan Waktu dalam Waktu Singkat
Salah satu kritik
utama terhadap Isra’ Miraj adalah bagaimana mungkin Nabi Muhammad Saw.
melakukan perjalanan dari Makkah ke Yerusalem dan kemudian naik ke langit dalam
satu malam. Secara fisik, perjalanan ini dianggap mustahil karena jarak yang jauh
dan keterbatasan kecepatan manusia.
·
Jawaban:
Dalam Islam, Isra’
Miraj adalah mukjizat, dan mukjizat berada di luar hukum alam yang biasa kita
kenal. Ibnu
Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
menjelaskan bahwa Allah memiliki kekuasaan absolut untuk membawa Rasulullah
dalam perjalanan tersebut tanpa terikat oleh hukum fisika konvensional.1
Konsep perjalanan lintas ruang dan waktu juga tidak bertentangan dengan
kemungkinan ilmiah yang diakui dalam teori relativitas Albert
Einstein, yang menyatakan bahwa waktu dapat melambat atau
mengalami dilatasi dalam kondisi tertentu.2
·
Kemungkinan Dimensi
Non-Fisik
Beberapa kritik berpendapat bahwa Isra’ Miraj bukan perjalanan fisik,
melainkan pengalaman spiritual atau mimpi belaka. Hal ini didasarkan pada
beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi mengalami peristiwa ini dalam
keadaan tidur.
·
Jawaban:
Mayoritas ulama,
termasuk Imam An-Nawawi dan Ibnu
Hajar al-Asqalani, menegaskan bahwa Isra’ Miraj terjadi secara
fisik dan ruhani, bukan sekadar pengalaman spiritual.3 Hal ini
diperkuat dengan penggunaan kata asra (أَسْرَىٰ)
dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat 1, yang dalam bahasa Arab menunjukkan perjalanan
fisik.4 Selain itu, jika hanya berupa mimpi, maka peristiwa ini
tidak akan menjadi ujian keimanan bagi umat Islam. Abu
Bakar Ash-Shiddiq menerima kabar ini tanpa ragu, yang
menunjukkan bahwa peristiwa ini dipahami sebagai perjalanan nyata.5
2.
Kritik terhadap Aspek Historis dan Tekstual
·
Tidak Disebutkan
dalam Al-Qur’an secara Rinci
Beberapa kritikus
berargumen bahwa peristiwa Miraj tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Al-Qur’an, sementara hanya Isra’ yang dijelaskan dalam QS. Al-Isra’ [17] ayat
1. Mereka mempertanyakan mengapa bagian penting dari peristiwa ini tidak
diabadikan dalam teks suci.
·
Jawaban:
Meskipun QS.
Al-Isra’ [17] ayat 1 hanya menyebut Isra’, peristiwa Miraj dijelaskan dalam QS.
An-Najm [53] ayat 13-18, yang menyebutkan bahwa Rasulullah melihat tanda-tanda
kebesaran Allah di Sidratul Muntaha.6 Selain itu, rincian peristiwa
ini banyak dijelaskan dalam hadits-hadits sahih, seperti yang diriwayatkan
dalam Sahih
Al-Bukhari dan Sahih Muslim.7 Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam Zad al-Ma’ad juga menjelaskan bahwa
hadis mutawatir yang meriwayatkan peristiwa ini menjadikannya bagian dari
sejarah Islam yang tidak bisa disangkal.8
3.
Kritik terhadap Aspek Teologis
·
Mengapa
Nabi Harus Mengalami Perjalanan Ini?
Beberapa pertanyaan
teologis muncul mengenai mengapa Allah Swt. tidak langsung memberikan perintah
shalat kepada Nabi tanpa melalui perjalanan Isra’ Miraj.
·
Jawaban:
Isra’ Miraj bukan
hanya tentang perintah shalat, tetapi juga memiliki dimensi
spiritual dan simbolik yang sangat mendalam. Imam
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menjelaskan bahwa
perjalanan ini merupakan ujian keimanan, penguatan spiritual, dan tanda
kenabian yang luar biasa.9 Selain itu, dalam
perspektif Islam, Allah berbuat sesuai dengan kebijaksanaan-Nya,
dan perjalanan ini juga bertujuan untuk memperlihatkan kepada Nabi Muhammad
Saw. tanda-tanda
kebesaran Allah Swt. (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1).
Kesimpulan
Kritik terhadap
Isra’ Miraj terutama berasal dari sudut pandang rasional dan ilmiah, namun
berbagai jawaban dari ulama dan kajian ilmiah menunjukkan bahwa peristiwa ini
tidak bertentangan dengan konsep mukjizat dalam Islam. Dari perspektif
teologis, perjalanan ini memiliki hikmah besar dalam penguatan risalah kenabian
dan kedudukan shalat dalam Islam. Oleh karena itu, peristiwa Isra’ Miraj tetap
menjadi keyakinan fundamental dalam akidah Islam,
yang harus dipahami dalam konteks keimanan, sejarah, dan kemungkinan ilmiah
yang terus berkembang.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 3
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 134.
[2]
Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory
(New York: Crown Publishers, 1961), 37.
[3]
An-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, Jilid 1
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 118.
[4]
Al-Qur’an, QS. Al-Isra’ (17) ayat 1.
[5]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 7 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1959), 203.
[6]
Al-Qur’an, QS. An-Najm (53) ayat 13-18.
[7]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no. 3207; Muslim,
Sahih
Muslim, no. 162.
[8]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Jilid 3 (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1998), 45.
[9]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo:
Dar al-Taqwa, 2003), 240.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar