Senin, 20 Januari 2025

Filsafat Kebajikan: Kajian Teoretis dan Praktis dalam Perspektif Multi-Referensial

Filsafat Kebajikan

 
Kajian Teoretis dan Praktis dalam Perspektif Multi-Referensial


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.

Kebajikan (Arete), Etika Kebajikan (Virtue Ethics).


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep kebajikan dalam berbagai perspektif filsafat, baik dari tradisi Barat maupun Islam, serta relevansinya dalam kehidupan kontemporer. Dengan pendekatan multi-referensial, artikel ini membahas teori-teori kebajikan dari Aristoteles, Al-Ghazali, dan para pemikir kontemporer lainnya, serta menyoroti tantangan dan kritik terhadap penerapan kebajikan dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi saat ini. Di satu sisi, filsafat kebajikan mengajarkan pentingnya karakter moral yang baik bagi individu dan masyarakat, namun di sisi lain, relativisme moral dan ketidakadilan sosial menghalangi penerapannya secara luas. Artikel ini juga mengeksplorasi peran kebajikan dalam menciptakan kesejahteraan kolektif dan membangun masyarakat yang lebih adil. Dengan demikian, kebajikan tidak hanya menjadi panduan etis individu, tetapi juga prinsip yang mendasari upaya membangun struktur sosial yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Kata Kunci: Filsafat kebajikan, Aristoteles, Al-Ghazali, relativisme moral, keadilan sosial, etika kontemporer, kehidupan moral, praktik kebajikan.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Filsafat kebajikan merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang sifat-sifat moral yang baik yang seharusnya dimiliki oleh individu untuk mencapai kehidupan yang baik dan bermakna. Dalam sejarah filsafat, kebajikan tidak hanya dipandang sebagai kualitas moral pribadi, tetapi juga sebagai pondasi bagi terciptanya masyarakat yang adil dan harmonis. Konsep kebajikan telah dikaji oleh banyak filsuf besar dari berbagai tradisi, mulai dari filsuf Yunani Kuno hingga pemikir-pemikir dari tradisi Timur dan Barat yang lebih kontemporer.

Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, mendefinisikan kebajikan sebagai kemampuan untuk memilih tindakan yang seimbang antara kelewatan dan kekurangan, yang dikenal dengan konsep Golden Mean (tengah emas). Bagi Aristoteles, kebajikan bukan hanya tentang memiliki kebajikan moral secara terpisah, tetapi tentang hidup sesuai dengan rasio dan tujuan akhir manusia, yaitu kebahagiaan (eudaimonia). Menurutnya, kebajikan moral berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kebaikan yang lebih tinggi dalam kehidupan manusia. Di sisi lain, Plato mengajukan pandangan bahwa kebajikan terkait erat dengan keadilan dan keharmonisan dalam tubuh negara dan individu, yang menghubungkan kebajikan dengan pencapaian kebaikan tertinggi sebagai tujuan hidup manusia.1

Selain filsafat Barat, kebajikan juga menjadi konsep penting dalam filsafat Timur, seperti dalam Konfusianisme yang menekankan pada pengembangan karakter moral individu sebagai cara untuk memperbaiki hubungan sosial dan menciptakan masyarakat yang harmonis. Dalam pandangan Konfusius, kebajikan adalah kualitas moral yang harus dikembangkan melalui pendidikan dan tindakan.2

Dalam Islam, kebajikan atau al-fadhilah juga dianggap sebagai sifat-sifat moral yang tidak hanya mencakup ibadah kepada Tuhan, tetapi juga mencakup etika sosial, seperti keadilan, kasih sayang, dan kesederhanaan.3 Dengan mengembangkan kebajikan, umat manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kebajikan tidak hanya dilihat sebagai nilai individu, tetapi juga sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan sosial yang lebih luas.

1.2.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep kebajikan dari berbagai perspektif filsafat, baik itu filsafat Barat, Timur, maupun Islam. Penulisan ini bertujuan untuk:

·                     Menjelaskan pengertian kebajikan menurut para filsuf utama, seperti Aristoteles, Plato, dan tokoh-tokoh pemikir dari tradisi Islam dan Timur lainnya.

·                     Mengidentifikasi relevansi kebajikan dalam kehidupan modern yang sarat dengan tantangan moral dan etika.

·                     Menganalisis penerapan kebajikan dalam kehidupan sosial, politik, dan pribadi dalam konteks global saat ini.

·                     Menyoroti pentingnya kebajikan dalam membentuk karakter individu dan masyarakat yang berkeadilan dan harmonis.

Melalui kajian ini, diharapkan pembaca dapat mengidentifikasi nilai-nilai kebajikan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan memahami bagaimana kebajikan berperan dalam pencapaian tujuan hidup yang lebih baik dan bermakna.

1.3.       Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka dengan pendekatan analitis dan komparatif. Penulis mengumpulkan informasi dari berbagai sumber primer dan sekunder yang kredibel, termasuk karya-karya filsuf klasik seperti Nicomachean Ethics (Aristoteles), Republic (Plato), serta literatur kontemporer tentang kebajikan dalam filsafat Barat, Timur, dan Islam. Selain itu, artikel ini juga mengandalkan sumber-sumber sekunder berupa artikel jurnal dan buku yang mengkaji kebajikan dalam berbagai tradisi filsafat. Metode ini bertujuan untuk menyajikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kebajikan yang tidak hanya mencakup teori-teori dasar, tetapi juga penerapan praktisnya dalam konteks kehidupan sehari-hari.


Catatan Kaki:

[1]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, ed. W.D. Ross (Chicago: The University of Chicago Press, 1925), 1103a.

[2]                Confucius, The Analects of Confucius, trans. Arthur Waley (London: George Allen & Unwin Ltd, 1938), 32.

[3]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. M. Ahmad (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 246.


2.           Definisi dan Konsep Kebajikan

2.1.       Definisi Umum Kebajikan

Kebajikan, dalam konteks filsafat, sering didefinisikan sebagai sifat atau karakter yang mendasari perilaku moral yang baik. Dalam arti luas, kebajikan merujuk pada kualitas positif yang dimiliki oleh individu yang memungkinkan mereka untuk bertindak sesuai dengan prinsip moral yang luhur. Aristoteles, dalam karya monumental Nicomachean Ethics, menjelaskan kebajikan sebagai kemampuan untuk memilih tindakan yang tepat melalui pemikiran rasional, yang terletak di antara dua ekstrem: kekurangan dan kelebihan. Konsep ini dikenal sebagai Golden Mean atau jalan tengah, yang menjadi landasan utama dalam teori etika kebajikan Aristoteles. Kebajikan moral, menurutnya, adalah kebiasaan baik yang diperoleh melalui latihan dan pengalaman, bukan sifat yang dibawa sejak lahir.1

Konsep kebajikan juga dapat dilihat dari perspektif keutamaan sosial dan pribadi. Dalam filsafat Yunani lainnya, Plato menekankan bahwa kebajikan tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga dengan kesejahteraan negara. Dalam Republic, ia menyatakan bahwa keadilan, sebagai salah satu kebajikan utama, adalah prinsip yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat yang ideal. Kebajikan, dalam pandangan Plato, adalah harmoni antara tiga bagian jiwa manusia: rasio, roh, dan keinginan, yang selaras dengan struktur sosial negara yang adil.2

Secara umum, kebajikan mengarah pada pencapaian kebaikan yang lebih tinggi dan kebahagiaan sejati, baik dalam dimensi individu maupun kolektif. Di luar dunia filsafat Barat, konsep kebajikan juga hadir dalam berbagai tradisi, seperti dalam ajaran Konfusianisme yang mengutamakan kebajikan sebagai kualitas moral yang mendasari hubungan sosial yang harmonis.3

2.2.       Konsep Kebajikan dalam Filsafat Klasik

2.2.1.    Aristoteles dan Etika Kebajikan

Dalam filsafat Aristoteles, kebajikan moral adalah kualitas yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonia), yang merupakan tujuan akhir kehidupan manusia. Kebahagiaan ini dicapai bukan melalui kepuasan sesaat, tetapi melalui tindakan yang dijalankan berdasarkan kebajikan yang tertanam dalam diri. Aristoteles membedakan antara kebajikan moral dan kebajikan intelektual, yang masing-masing berhubungan dengan aspek karakter dan kecerdasan. Kebajikan moral dipelajari melalui kebiasaan, sedangkan kebajikan intelektual diperoleh melalui pendidikan dan pemahaman rasional.4

2.2.2.    Plato dan Kebajikan sebagai Keadilan Sosial

Dalam Republic, Plato menggambarkan negara yang ideal sebagai negara yang dibangun berdasarkan kebajikan, terutama keadilan. Dalam pandangan Plato, keadilan tercapai ketika setiap bagian dalam negara melakukan peranannya dengan baik, sesuai dengan kapasitasnya. Ia membedakan antara tiga bagian jiwa manusia—rasio, roh, dan keinginan—yang masing-masing berperan untuk mencapai keharmonisan dalam individu. Keadilan adalah kebajikan yang mengatur keseimbangan antar bagian jiwa tersebut.5

2.3.       Kebajikan dalam Filsafat Timur

Kebajikan dalam filsafat Timur, seperti dalam Konfusianisme, dipandang sebagai inti dari karakter moral yang penting untuk membangun hubungan sosial yang baik. Konfusius menekankan bahwa kebajikan (disebut ren dalam bahasa Mandarin) adalah kualitas moral utama yang perlu dikembangkan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis. Dalam ajarannya, kebajikan terkait dengan pengembangan kualitas pribadi seperti kejujuran, rasa hormat, dan pengendalian diri.6

Dalam ajaran Hindu dan Buddha, kebajikan dipahami sebagai tindakan yang selaras dengan dharma, atau hukum alam dan moralitas. Dharma dalam konteks ini berkaitan dengan kehidupan yang berlandaskan pada kebajikan, di mana setiap individu bertanggung jawab untuk bertindak dengan cara yang benar sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Dalam tradisi ini, kebajikan berhubungan erat dengan konsep karma, yang menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki akibat moral, baik atau buruk, yang akan memengaruhi kehidupan masa depan.7

2.4.       Kebajikan dalam Filsafat Islam

Dalam tradisi Islam, kebajikan atau al-fadhilah adalah sifat yang mencerminkan kesempurnaan moral dan keagamaan, yang meliputi berbagai aspek etika sosial dan individual. Al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulum al-Din, menekankan bahwa kebajikan adalah pengaruh dari akhlak yang baik, yang tidak hanya mencakup kewajiban ibadah kepada Tuhan, tetapi juga sikap terhadap sesama manusia, seperti kejujuran, kasih sayang, dan keadilan.8 Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an, kebajikan disebutkan dalam banyak ayat sebagai karakteristik orang-orang yang bertakwa, yang senantiasa berbuat baik kepada sesama dan beribadah kepada Tuhan dengan tulus.9

Catatan Kaki:

[1]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, ed. W.D. Ross (Chicago: The University of Chicago Press, 1925), 1103a.

[2]                Plato, Republic, trans. Benjamin Jowett (Chicago: The University of Chicago Press, 1894), 427d–433a.

[3]                Confucius, The Analects of Confucius, trans. Arthur Waley (London: George Allen & Unwin Ltd, 1938), 32.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a–1103b.

[5]                Plato, Republic, 440e–441b.

[6]                Confucius, The Analects, 3.3.

[7]                Koller, John M., Buddhist Teachings: A New Introduction to the Major Traditions (Oxford: Oxford University Press, 2014), 120–122.

[8]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. M. Ahmad (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 246.

[9]                Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah (2:177), Surah Al-Imran (3:134).


3.           Teori Kebajikan dalam Perspektif Filsafat Barat

3.1.       Kebajikan dalam Filsafat Modern

Filsafat Barat telah mengembangkan berbagai teori tentang kebajikan yang berfokus pada etika moralitas dan tindakan manusia dalam kaitannya dengan kebahagiaan dan kesejahteraan. Salah satu kontribusi besar dalam pemikiran kebajikan datang dari pemikir-pemikir modern seperti Immanuel Kant, David Hume, dan John Stuart Mill.

3.1.1.    Immanuel Kant: Kebajikan dan Moralitas Deontologis

Dalam teori etika Kantian, kebajikan tidak terletak pada konsekuensi tindakan, melainkan pada niat atau maksud di balik tindakan itu. Bagi Kant, kebajikan adalah kualitas moral yang melibatkan pemenuhan kewajiban moral melalui tindakan yang dilakukan dengan dasar kewajiban itu sendiri, bukan berdasarkan pada hasilnya. Ia memperkenalkan imperatif kategoris sebagai dasar untuk menentukan tindakan yang benar: seseorang harus bertindak hanya sesuai dengan prinsip yang bisa diterima sebagai hukum universal. Kebajikan bagi Kant terhubung dengan kebebasan moral dan kemampuan individu untuk bertindak sesuai dengan rasio moral yang diakui secara universal, tanpa memedulikan akibatnya.1

3.1.2.    David Hume: Kebajikan sebagai Produk Empati dan Sentimen

David Hume, seorang filsuf empiris, mengembangkan pandangannya tentang kebajikan melalui konsep sentimen moral, yaitu perasaan yang muncul dalam diri individu saat mereka berinteraksi dengan dunia sosial. Menurut Hume, kebajikan adalah kualitas yang dihargai karena memberikan manfaat bagi masyarakat, dan kualitas tersebut tidak didasarkan pada rasio murni, melainkan pada empati dan perasaan yang muncul dalam interaksi sosial. Kebajikan bagi Hume tidak bersifat rasional atau objektif, melainkan merupakan konstruksi sosial yang tumbuh dari reaksi emosional terhadap tindakan yang bermanfaat bagi orang lain.2

3.1.3.    John Stuart Mill dan Utilitarianisme

Bagi John Stuart Mill, kebajikan adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, yaitu kesejahteraan terbesar bagi jumlah orang terbesar (the greatest happiness principle). Dalam teori utilitarianismenya, tindakan yang baik adalah tindakan yang mengarah pada kebahagiaan dan kesejahteraan banyak orang. Kebajikan dalam pandangan utilitarian berfungsi sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Sebagai contoh, kejujuran, yang sering dianggap sebagai kebajikan moral, akan dihargai dalam masyarakat karena memberikan manfaat praktis—membangun kepercayaan yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan sosial. Kebajikan dalam kerangka utilitarian lebih berfokus pada hasil daripada niat, dengan kebahagiaan sebagai tujuan utama yang menentukan tindakan yang benar.3

3.2.       Kebajikan dalam Etika Eksistensialis

3.2.1.    Søren Kierkegaard: Kebajikan dan Pilihan Subjektif

Dalam pandangan Søren Kierkegaard, kebajikan tidak bisa dipahami sebagai prinsip universal yang berlaku untuk semua orang dalam setiap konteks. Sebaliknya, kebajikan merupakan hasil dari pilihan bebas yang dibuat oleh individu dalam menghadapi eksistensinya yang penuh dengan ketidakpastian. Kierkegaard menekankan pentingnya keputusan subjektif sebagai landasan moralitas, di mana kebajikan berakar pada komitmen pribadi dan keberanian untuk hidup autentik, meskipun tanpa jaminan moral yang jelas. Bagi Kierkegaard, kebajikan adalah ekspresi dari tekad individu untuk memilih jalan hidup yang sesuai dengan prinsip moral pribadi, meskipun tidak ada jaminan bahwa pilihan tersebut akan selalu mengarah pada kebahagiaan atau kesejahteraan.4

3.2.2.    Jean-Paul Sartre: Kebebasan dan Kebajikan dalam Eksistensialisme

Jean-Paul Sartre, salah satu tokoh utama dalam eksistensialisme, menekankan bahwa kebajikan dalam kehidupan manusia berhubungan erat dengan kebebasan. Menurut Sartre, eksistensi mendahului esensi, yang berarti bahwa manusia tidak memiliki sifat atau tujuan yang sudah ditentukan sejak lahir. Oleh karena itu, kebajikan dalam pandangan Sartre adalah tindakan yang diambil oleh individu berdasarkan kebebasan untuk memilih. Kebajikan dalam etika Sartre terkait dengan kesadaran diri dan tanggung jawab untuk menentukan nilai-nilai pribadi. Sartre percaya bahwa individu, sebagai makhluk bebas, bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya dan harus menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang ia tentukan sendiri, meskipun pilihan tersebut kadang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku.5

3.3.       Kebajikan dalam Perspektif Feminisme

Beberapa pemikir feminis juga mengkritik dan menambah dimensi baru dalam pemahaman kebajikan. Mereka berpendapat bahwa teori kebajikan tradisional sering kali didominasi oleh pandangan maskulin yang lebih mengutamakan sifat-sifat seperti keberanian, kekuatan, dan rasionalitas. Dalam perspektif feminis, kebajikan dapat mencakup kualitas yang lebih bersifat perawatan dan empati, yang lebih relevan dengan pengalaman perempuan. Nel Noddings, dalam karya Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education, menekankan pentingnya care (perhatian) sebagai kebajikan utama dalam hubungan antar manusia. Bagi Noddings, kebajikan tidak hanya berfokus pada tindakan moral yang rasional, tetapi juga pada kemampuan untuk merawat dan menunjukkan kasih sayang dalam konteks hubungan pribadi dan sosial.6

3.4.       Kritik terhadap Teori Kebajikan Barat

Meskipun teori-teori kebajikan Barat memberikan pandangan yang penting tentang moralitas dan tindakan manusia, kritik terhadap pandangan ini juga banyak diajukan. Beberapa kritik datang dari postmodernisme yang mempertanyakan klaim universalitas yang terdapat dalam teori kebajikan tradisional. Filsuf postmodernis seperti Michel Foucault menganggap bahwa konsep kebajikan adalah konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi. Dengan demikian, kebajikan tidak bisa dipahami secara objektif dan harus dilihat dalam konteks sosial dan politik tertentu.7

Catatan Kaki:

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. H.J. Paton (London: Hutchinson, 1948), 421–440.

[2]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 279–280.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1979), 8–10.

[4]                Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics, 1987), 56–58.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 547–549.

[6]                Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 103–105.

[7]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 154–155.


4.           Kebajikan dalam Tradisi Filsafat Islam

4.1.       Kebajikan dalam Pandangan Al-Qur'an

Dalam tradisi filsafat Islam, kebajikan diartikan sebagai kualitas moral yang menunjukkan kesesuaian tindakan dengan kehendak Allah, yang berlandaskan pada petunjuk-Nya dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Kebajikan dalam Al-Qur'an tidak hanya merujuk pada kualitas moral individu, tetapi juga mencakup dimensi sosial yang menekankan kesejahteraan umat manusia. Allah dalam Al-Qur'an memerintahkan umat Islam untuk berbuat kebajikan, yang di dalamnya terkandung keadilan, kasih sayang, kejujuran, dan kerendahan hati.

Beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang menekankan kebajikan antara lain Surah Al-Baqarah [2] ayat 177, yang menjelaskan bahwa kebajikan bukan hanya tentang memberikan harta, tetapi juga tentang memiliki sikap yang benar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, serta beramal saleh. Ayat ini mengajarkan bahwa kebajikan adalah perpaduan antara keimanan dan tindakan yang konkret, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia.1

Surah Al-Ma'idah [5] ayat 2 juga menyebutkan bahwa kebajikan tidak hanya terbatas pada kewajiban agama, tetapi mencakup perbuatan baik dalam segala aspek kehidupan sosial, seperti memberi bantuan kepada yang membutuhkan, menegakkan keadilan, dan berbuat baik kepada orang lain. Dengan demikian, kebajikan dalam Islam merupakan amal perbuatan yang mencerminkan pengabdian diri kepada Allah melalui kebaikan sosial dan pribadi.2

4.2.       Kebajikan dalam Pemikiran Filsuf Muslim

4.2.1.    Al-Farabi: Kebajikan dan Kehidupan Sosial

Al-Farabi, seorang filsuf Islam yang dikenal dengan kontribusinya dalam etika dan politik, memandang kebajikan sebagai kualitas yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara harmonis dalam masyarakat. Dalam karyanya Al-Madina al-Fadila (Kota Utama), Al-Farabi menghubungkan kebajikan dengan cita-cita negara yang ideal. Bagi Al-Farabi, kebajikan bukan hanya kualitas individu, tetapi juga merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur. Kebajikan sosial seperti keadilan, kesetiaan, dan kasih sayang harus diupayakan oleh semua anggota masyarakat agar tercipta keharmonisan sosial.3

Menurut Al-Farabi, kebajikan tertinggi yang harus dicapai oleh individu adalah kebajikan intelektual, yang berhubungan dengan pencapaian kebijaksanaan dan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran dan realitas. Sebagai contoh, kebajikan dalam pandangan Al-Farabi dapat dicapai melalui pengembangan akal dan ilmu pengetahuan, serta kehidupan yang berpihak pada kebaikan kolektif. Kebajikan intelektual ini tidak hanya bermanfaat bagi individu, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan, karena dapat menciptakan tatanan sosial yang lebih baik.4

4.2.2.    Al-Ghazali: Kebajikan dan Akhlak

Al-Ghazali, salah satu filsuf dan teolog terbesar dalam tradisi Islam, mengembangkan konsep kebajikan dalam kerangka akhlak atau etika. Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Al-Ghazali menjelaskan bahwa kebajikan adalah hasil dari akhlak yang baik, yang tidak hanya mencakup hubungan seseorang dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia. Kebajikan menurut Al-Ghazali adalah sifat yang diperoleh melalui latihan diri dan pengendalian nafsu, serta kemampuan untuk bertindak dengan niat yang ikhlas demi mencari keridhaan Allah.5

Al-Ghazali membagi kebajikan menjadi beberapa kategori, termasuk kebajikan moral seperti kejujuran, kesabaran, rendah hati, dan kedermawanan, yang semuanya berkaitan dengan upaya untuk menyucikan hati dan menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk seperti iri hati, kebencian, dan kesombongan. Kebajikan dalam pandangan Al-Ghazali tidak hanya terfokus pada tindakan eksternal, tetapi juga pada niat dan kehendak hati yang benar, yang mendasari setiap perbuatan.6

4.2.3.    Ibn Miskawayh: Kebajikan dan Penyempurnaan Diri

Ibn Miskawayh, seorang filsuf dan ilmuwan Persia abad ke-11, dalam karya Tahdhib al-Akhlaq (Penyempurnaan Akhlak) mengembangkan teori kebajikan yang berfokus pada penyempurnaan diri dan keseimbangan antara akal dan emosi. Ibn Miskawayh menekankan bahwa kebajikan bukan hanya tentang tindakan sosial yang baik, tetapi juga tentang pencapaian kedamaian batin dan pengendalian diri. Menurutnya, kebajikan adalah sifat-sifat yang membantu seseorang untuk mencapai kebahagiaan sejati dan hidup yang harmonis, baik dengan diri sendiri maupun dengan masyarakat.7

Bagi Ibn Miskawayh, kebajikan terkait erat dengan konsep tazkiyah atau penyucian jiwa. Dalam ajaran Islam, proses penyucian diri ini penting untuk mencapai kebajikan yang sejati, yang memerlukan kontrol diri atas keinginan-keinginan nafsu. Kebajikan, menurut Ibn Miskawayh, merupakan hasil dari pencapaian keutamaan-keutamaan seperti kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan, yang kesemuanya harus ditemukan dalam keseimbangan dan keharmonisan.8

4.3.       Kebajikan dalam Ajaran Hadis

Selain Al-Qur'an, hadis Nabi Muhammad Saw juga menjadi sumber penting dalam membahas kebajikan. Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad Saw menekankan nilai-nilai kebajikan yang harus dimiliki oleh umat Islam, seperti kejujuran, kesabaran, dan kemurahan hati. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatanmu." Hadis ini menekankan pentingnya kebajikan dalam hati, yang mencerminkan kemurnian niat dan keikhlasan dalam setiap tindakan.9

Dalam hadis lain, Nabi Muhammad Saw juga menekankan pentingnya kebajikan sosial, seperti berbuat baik kepada tetangga, membantu orang yang membutuhkan, dan menjaga hubungan baik dengan sesama. Kebajikan dalam ajaran Islam, sebagaimana digambarkan dalam hadis, lebih dari sekedar kewajiban agama, tetapi mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berhubungan dengan kebaikan sosial dan pribadi.10

4.4.       Kebajikan dalam Konteks Politik Islam

Selain kebajikan dalam ranah pribadi, kebajikan juga memiliki dimensi sosial-politik dalam tradisi Islam. Pemikiran politik Islam yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Al-Mawardi, dan Ibnu Khaldun menekankan pentingnya kebajikan dalam membangun negara yang adil dan makmur. Negara yang baik menurut para pemikir ini adalah negara yang dipimpin oleh individu-individu yang memiliki kebajikan, yang mampu menegakkan keadilan dan kebaikan sosial.11

Catatan Kaki:

[1]                Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah (2:177).

[2]                Al-Qur'an, Surah Al-Ma’idah (5:2).

[3]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1969), 30–32.

[4]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, 45–47.

[5]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. M. Ahmad (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 157–160.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, 173–175.

[7]                Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed. Muhammad Mahdi al-Shams (Beirut: Dar al-Mashriq, 1997), 50–53.

[8]                Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, 78–80.

[9]                Sahih Muslim, Hadis No. 2564.

[10]             Sahih Bukhari, Hadis No. 6016.

[11]             Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 44–46.


5.           Kebajikan dalam Kehidupan Kontemporer

5.1.       Kebajikan dalam Konteks Globalisasi

Di era globalisasi ini, konsep kebajikan mengalami transformasi seiring dengan perubahan sosial, budaya, dan politik yang terjadi di seluruh dunia. Globalisasi membawa berbagai tantangan baru bagi individu dan masyarakat dalam menjalani hidup dengan kebajikan. Di satu sisi, globalisasi membuka akses terhadap informasi, komunikasi, dan interaksi antarbudaya, yang memperkaya pandangan tentang kebajikan. Namun, di sisi lain, globalisasi juga menumbuhkan kesenjangan sosial, eksploitasi, dan perusakan lingkungan, yang dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kebajikan.

Salah satu dampak globalisasi terhadap kebajikan adalah munculnya isu-isu global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan hak asasi manusia. Kebajikan dalam konteks ini melibatkan tanggung jawab sosial yang lebih luas, di mana individu dan negara-negara dituntut untuk bertindak dengan pertimbangan moral yang tidak hanya terbatas pada kepentingan pribadi atau nasional, tetapi juga pada kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan. Isu-isu ini menuntut pengembangan kebajikan seperti keadilan sosial, kepedulian terhadap lingkungan, dan solidaritas internasional, yang menjadi sangat relevan dalam kehidupan kontemporer.1

5.2.       Kebajikan dalam Teknologi dan Digitalisasi

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk cara kita memahami dan mempraktikkan kebajikan. Dunia maya, media sosial, dan platform digital telah memberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, berbagi pengetahuan, dan mengembangkan kepedulian sosial dalam skala yang lebih luas. Namun, kemajuan teknologi juga menimbulkan tantangan baru bagi kebajikan, seperti penyebaran informasi yang salah (hoaks), ketergantungan berlebihan pada teknologi, dan kurangnya empati dalam komunikasi virtual.

Kebajikan dalam dunia digital ini melibatkan prinsip-prinsip etika yang mengatur penggunaan teknologi, seperti kejujuran dalam berbagi informasi, privasi, dan tanggung jawab sosial dalam menciptakan ruang maya yang sehat dan mendukung. Oleh karena itu, kebajikan dalam era digital harus disesuaikan dengan konteks baru ini, yang mencakup tidak hanya tindakan moral dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam interaksi digital.2

Salah satu contoh penerapan kebajikan dalam era digital adalah konsep "etika digital," yang menekankan pentingnya sikap empati dan pengertian dalam berkomunikasi melalui media sosial dan platform online. Etika digital mencakup kebajikan seperti keterbukaan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam berbagi informasi di dunia maya. Prinsip ini juga mencakup perlindungan terhadap hak privasi individu dan penyalahgunaan data pribadi, yang semakin menjadi perhatian di era digital ini.3

5.3.       Kebajikan dalam Kehidupan Sosial dan Ekonomi

Di tengah perkembangan ekonomi global yang sangat pesat, kebajikan sosial semakin penting dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera. Dalam konteks ekonomi, kebajikan bukan hanya sekadar mengutamakan keuntungan material, tetapi juga melibatkan keadilan distributif dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, prinsip kebajikan seperti keadilan, kejujuran, dan keberlanjutan harus diterapkan dalam semua aspek kegiatan ekonomi, baik di tingkat individu, perusahaan, maupun negara.

Misalnya, konsep "ekonomi berbasis etika" yang diterapkan dalam banyak sektor bisnis menekankan pentingnya pengambilan keputusan yang memperhatikan kesejahteraan bersama, bukan hanya keuntungan semata. Di dalam ekonomi berbasis etika, kebajikan melibatkan tanggung jawab sosial perusahaan, keberlanjutan lingkungan, dan peran serta dalam mengurangi ketimpangan sosial. Prinsip kebajikan ini juga tercermin dalam konsep fair trade atau perdagangan yang adil, yang berfokus pada pemberdayaan produsen kecil di negara berkembang dan memastikan bahwa mereka mendapatkan harga yang adil untuk produk mereka.4

Selain itu, gerakan sosial yang berfokus pada hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pemberdayaan masyarakat juga memperkenalkan konsep kebajikan dalam kehidupan kontemporer. Kebajikan sosial ini mencakup upaya untuk memerangi diskriminasi, ketidaksetaraan gender, dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok marginal. Seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang isu-isu ini, kebajikan di dunia kontemporer melibatkan upaya untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif dan adil.5

5.4.       Kebajikan dalam Pendidikan dan Kesehatan

Pendidikan dan kesehatan adalah dua bidang yang sangat penting dalam membentuk kebajikan dalam kehidupan kontemporer. Pendidikan tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk karakter dan moralitas peserta didik. Dalam konteks ini, kebajikan yang paling penting adalah kejujuran, rasa tanggung jawab, kerja keras, dan semangat untuk terus belajar dan berkembang. Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kebajikan dapat membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran moral yang tinggi.

Di bidang kesehatan, kebajikan tercermin dalam upaya untuk menjaga kesejahteraan fisik dan mental individu, serta mengutamakan pelayanan kesehatan yang adil dan merata. Kebajikan dalam konteks kesehatan juga melibatkan kepedulian terhadap kesehatan masyarakat secara keseluruhan, termasuk upaya untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan global seperti pandemi, malnutrisi, dan akses terbatas ke layanan kesehatan yang memadai.6

5.5.       Kebajikan dalam Kehidupan Politik dan Kepemimpinan

Kebajikan dalam politik dan kepemimpinan memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pemimpin yang baik harus memiliki kebajikan-kebajikan seperti kejujuran, keadilan, kebijaksanaan, dan keberanian untuk mengambil keputusan yang mendatangkan manfaat bagi rakyat. Dalam konteks politik kontemporer, kebajikan yang paling penting adalah kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat, transparansi, dan akuntabilitas.

Sebagai contoh, konsep kepemimpinan yang berbasis pada kebajikan dapat dilihat dalam prinsip-prinsip good governance atau tata kelola yang baik, yang mengutamakan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan negara. Kepemimpinan yang berbasis pada kebajikan juga melibatkan perhatian terhadap hak asasi manusia, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat, yang semuanya bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang adil dan transparan.7

Catatan Kaki:

[1]                David Held, Globalization: Theories and Issues (Cambridge: Polity Press, 2004), 45–47.

[2]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 122–126.

[3]                Michael J. Sandel, The Case Against Perfection: Ethics in the Age of Genetic Engineering (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 39–42.

[4]                John M. Kline, The Ethics of Fair Trade: Analyzing Global Markets (London: Palgrave Macmillan, 2011), 78–81.

[5]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 53–56.

[6]                Paul Farmer, Pathologies of Power: Health, Human Rights, and the New War on the Poor (Berkeley: University of California Press, 2005), 18–22.

[7]                Peter Evans, Embedded Autonomy: States and Industrial Transformation (Princeton: Princeton University Press, 1995), 115–118.


6.           Kritik dan Tantangan dalam Praktik Kebajikan

6.1.       Tantangan Relativisme Moral dalam Praktik Kebajikan

Salah satu kritik terbesar terhadap konsep kebajikan adalah relativisme moral, yang menyatakan bahwa nilai-nilai moral dan kebajikan bersifat relatif terhadap budaya, tradisi, atau pandangan individu. Dalam konteks ini, kebajikan tidak dianggap sebagai prinsip universal yang berlaku di segala waktu dan tempat, melainkan lebih sebagai produk budaya dan konteks sosial yang berbeda-beda. Oleh karena itu, apa yang dianggap sebagai kebajikan dalam satu masyarakat atau zaman bisa berbeda dengan pandangan masyarakat atau zaman lainnya.

Relativisme moral mengajukan tantangan besar terhadap upaya untuk menjadikan kebajikan sebagai landasan yang universal dalam kehidupan manusia. Salah satu implikasinya adalah kesulitan dalam menetapkan standar yang objektif tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk, serta kebajikan yang harus dipraktikkan. Misalnya, kebajikan seperti keadilan atau kesetiaan mungkin dipandang secara berbeda di budaya yang berbeda, tergantung pada norma dan nilai yang berlaku di masyarakat tersebut.1

Beberapa filsuf, seperti Alasdair MacIntyre, berpendapat bahwa kebajikan dapat dijustifikasi hanya dalam konteks suatu tradisi atau sistem nilai yang lebih besar. MacIntyre mengkritik gagasan bahwa kebajikan bisa dipahami secara universal tanpa merujuk pada tradisi moral yang mendasarinya.2 Sebaliknya, filsuf lain, seperti Martha Nussbaum, mencoba untuk merumuskan kebajikan yang bersifat universal dan dapat diterima di berbagai budaya melalui pendekatan capabilities theory, yang berfokus pada pengembangan potensi manusia untuk hidup dengan martabat.3

6.2.       Kompleksitas Implementasi Kebajikan dalam Kehidupan Sehari-hari

Meskipun konsep kebajikan telah dibahas secara mendalam dalam filsafat, tantangan besar tetap ada dalam menerapkan nilai-nilai kebajikan ini dalam kehidupan sehari-hari. Kebajikan, yang sering kali dianggap sebagai sifat atau karakter yang ideal, seringkali berhadapan dengan realitas kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, tekanan sosial, dan situasi yang penuh ambiguitas moral.

Dalam banyak kasus, individu mungkin dihadapkan pada dilema etika yang tidak memiliki jawaban jelas, yang menguji komitmen mereka terhadap kebajikan. Misalnya, dalam dunia bisnis yang kompetitif, kebajikan seperti kejujuran dan integritas mungkin bertentangan dengan tuntutan untuk mengejar keuntungan secepat mungkin atau memenuhi ekspektasi pasar. Dalam kasus seperti ini, seseorang yang berusaha menjalankan kebajikan mungkin merasa terpojok oleh kondisi yang ada. Kebajikan yang dimaksud seringkali dianggap idealis dan tidak realistis dalam dunia yang penuh dengan godaan dan tantangan tersebut.4

Lebih lanjut, faktor sosial dan ekonomi juga memainkan peran penting dalam praktik kebajikan. Ketimpangan sosial, ketidakadilan sistemik, dan norma-norma sosial yang berlaku dapat menghambat individu atau kelompok dalam mempraktikkan kebajikan. Sebagai contoh, di negara-negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi atau ketidaksetaraan yang besar, kebajikan seperti keadilan sosial atau solidaritas mungkin sulit dicapai karena kesulitan ekonomi dan ketidakadilan struktural yang ada.5

6.3.       Krisis Nilai dan Penurunan Praktik Kebajikan

Dalam masyarakat modern, seringkali terjadi krisis nilai, di mana kebajikan-kebajikan yang dulu dihargai, seperti ketekunan, disiplin, atau solidaritas, semakin terpinggirkan oleh budaya konsumtif dan materialisme. Fenomena ini dipicu oleh orientasi pada hasil yang cepat dan keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan segala cara, seringkali mengabaikan nilai-nilai moral dan etika.

Misalnya, di dunia yang semakin terdigitalisasi, individu lebih cenderung untuk mencari kepuasan instan melalui media sosial dan konsumsi online, daripada mengembangkan kebajikan seperti ketekunan, empati, atau kerja keras. Kebajikan yang mengutamakan proses dan kesabaran seringkali kalah dengan kebudayaan yang menilai keberhasilan melalui pencapaian instan dan pengakuan sosial.6

Lebih jauh lagi, penurunan moralitas ini juga terlihat dalam ketidakpedulian terhadap isu-isu sosial seperti kemiskinan, perubahan iklim, atau ketidakadilan rasial. Dalam masyarakat yang semakin individualistis, kebajikan seperti tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain sering terabaikan. Hal ini menyebabkan ketimpangan sosial yang semakin besar, serta menciptakan ketidakadilan yang berdampak pada kesejahteraan kolektif.7

6.4.       Kritik Terhadap Pendekatan Tradisional dalam Kebajikan

Pendekatan tradisional dalam memandang kebajikan, yang lebih berfokus pada pengembangan karakter individu melalui kebajikan moral seperti keberanian, kejujuran, dan kesederhanaan, kini mulai dikritik karena dianggap terlalu fokus pada aspek individu tanpa memperhatikan konteks sosial dan politik yang lebih luas. Beberapa kritik ini muncul dalam tradisi filsafat kritis dan feminisme yang menilai bahwa fokus pada kebajikan individu cenderung mengabaikan isu-isu struktural yang menyebabkan ketidakadilan dan penindasan dalam masyarakat.8

Sebagai contoh, pendekatan feminis terhadap kebajikan menekankan pentingnya mempertimbangkan hubungan kekuasaan, gender, dan struktur sosial dalam memandang apa yang dianggap sebagai kebajikan. Kebajikan dalam pandangan feminis tidak hanya dilihat dari sudut pandang individual, tetapi juga harus melihat bagaimana kebajikan beroperasi dalam konteks sosial yang lebih luas, di mana ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan sering kali menghalangi praktik kebajikan yang sebenarnya.9

6.5.       Kritik Terhadap Etika Kebajikan dalam Politik

Etika kebajikan juga menghadapi kritik dalam ranah politik, di mana kebajikan sering dipandang sebagai sesuatu yang tidak praktis atau tidak efektif dalam menghadapi tantangan politik kontemporer. Dalam politik, keputusan sering kali melibatkan pertimbangan pragmatis yang mengutamakan kepentingan kelompok atau negara tertentu, yang dapat mengesampingkan kebajikan seperti keadilan atau solidaritas.10

Politik identitas dan populisme yang semakin berkembang di berbagai belahan dunia juga membawa tantangan tersendiri bagi praktik kebajikan dalam politik. Dalam banyak kasus, pemimpin politik lebih cenderung mengeksploitasi ketakutan dan ketidakpastian masyarakat daripada mempromosikan kebajikan seperti kesatuan atau toleransi. Hal ini menantang keyakinan bahwa politik dapat dijalankan dengan landasan moral yang kukuh.11

Catatan Kaki:

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 49–53.

[2]                Ibid., 108–110.

[3]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Belknap Press, 2011), 73–77.

[4]                Robert F. Kennedy, The Spirit of the Times: On Leadership and Ethics in Business (New York: Doubleday, 2012), 111–114.

[5]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 41–44.

[6]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 118–121.

[7]                Peter Singer, The Life You Can Save: Acting Now to End World Poverty (New York: Random House, 2009), 67–71.

[8]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990), 45–48.

[9]                Linda Alcoff, Visible Identities: Race, Gender, and the Self (New York: Oxford University Press, 2006), 75–80.

[10]             John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 201–204.

[11]             Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 103–107.


7.           Penutup

Dalam kajian filsafat kebajikan ini, kita telah menelusuri berbagai perspektif teoretis dan praktis yang memberikan pemahaman mendalam mengenai kebajikan sebagai konsep yang tidak hanya berkaitan dengan pengembangan karakter individu, tetapi juga dengan dinamika sosial, moralitas, dan politik. Kebajikan, sebagai pilar utama dalam filsafat moral, melibatkan pencarian terhadap kehidupan yang baik, yang tidak hanya mengarah pada pencapaian kebahagiaan pribadi tetapi juga kepada keadilan sosial yang lebih luas.

Filsafat kebajikan, seperti yang dijelaskan dalam tradisi filsafat Barat, Islam, dan tradisi-tradisi lain, menekankan pentingnya membangun sifat-sifat moral yang baik sebagai bagian integral dari manusia yang hidup secara rasional dan sosial. Dari pandangan Aristotelian tentang kebajikan sebagai "keutamaan tengah," hingga pendekatan pragmatis yang lebih menekankan konteks sosial dan kekuatan moralitas dalam masyarakat, kita memahami bahwa kebajikan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan suatu nilai yang berkembang seiring dengan waktu dan kondisi sosial.1

Namun demikian, penerapan kebajikan dalam kehidupan kontemporer menghadapi berbagai tantangan besar, baik dalam konteks sosial yang semakin individualistis maupun dalam ketidaksetaraan global yang semakin mencolok. Ketidakpedulian terhadap prinsip-prinsip kebajikan di berbagai sektor kehidupan, baik dalam dunia politik, ekonomi, maupun budaya populer, memperlihatkan krisis moral yang dihadapi banyak masyarakat.2 Kebajikan yang mengedepankan nilai-nilai seperti keadilan, integritas, dan solidaritas, sering terabaikan dalam budaya konsumtif dan pragmatis yang menilai keberhasilan hanya berdasarkan hasil materiil atau pengakuan sosial.3

Tantangan besar dalam menerapkan kebajikan juga terkait dengan relativisme moral yang menganggap bahwa kebajikan itu relatif, tergantung pada norma-norma budaya dan tradisi yang berlaku. Meskipun demikian, filsafat kebajikan masih memiliki relevansi penting dalam memberikan pedoman moral bagi individu dalam menghadapi dilema etika dan sosial yang kompleks. Konsep kebajikan yang lebih inklusif, yang menggabungkan berbagai perspektif filosofis dan sosial, dapat menjadi landasan untuk memperkuat integritas moral dan etika dalam kehidupan bersama.4

Lebih jauh, kita harus mengakui bahwa kebajikan bukan hanya soal apa yang dilakukan oleh individu, tetapi juga tentang bagaimana struktur sosial, politik, dan ekonomi dapat mendukung atau merintangi praktik kebajikan. Dengan mempertimbangkan elemen-elemen sosial yang ada, seperti ketidakadilan sosial dan perubahan zaman yang cepat, pendekatan terhadap kebajikan harus memperhitungkan dimensi sosial yang lebih luas, agar kebajikan tidak hanya dilihat sebagai cita-cita ideal, tetapi sebagai suatu praktek yang nyata dan dapat dicapai dalam masyarakat modern.5

Pada akhirnya, filsafat kebajikan mengajarkan kita bahwa kebajikan adalah perjalanan panjang yang melibatkan perkembangan diri, tetapi juga tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, pengamalan kebajikan bukan hanya merupakan kewajiban moral individu, tetapi juga bagian dari upaya kolektif dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab. Kebajikan harus menjadi dasar dari segala tindakan kita, baik sebagai individu, kelompok, maupun masyarakat, dalam menciptakan dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih berperikemanusiaan.

Catatan Kaki:

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 2009), 1107b25-1107b30.

[2]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 102–106.

[3]                Robert F. Kennedy, The Spirit of the Times: On Leadership and Ethics in Business (New York: Doubleday, 2012), 131–135.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 151–154.

[5]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press, 2009), 103–107.


Daftar Pustaka

Alcoff, L. (2006). Visible identities: Race, gender, and the self. Oxford University Press.

Aristotle. (2009). Nicomachean ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 340 B.C.E.)

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Kennedy, R. F. (2012). The spirit of the times: On leadership and ethics in business. Doubleday.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. Verso.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Belknap Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Singer, P. (2009). The life you can save: Acting now to end world poverty. Random House.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar