Aliran-Aliran
Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Realitas
Alihkan ke: Aliran-Aliran
dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Filsafat, sejak zaman kuno hingga era modern, telah menjadi salah satu disiplin
ilmu yang paling penting dalam mencari pemahaman tentang realitas. Sebagai cabang ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan hakikat segala
sesuatu, filsafat tidak hanya menjadi alat analisis terhadap realitas tetapi juga menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan manusia. Para filsuf dari berbagai era dan budaya berusaha
menjawab pertanyaan mendasar seperti: “Apakah realitas itu?”, “Apa
yang benar-benar ada?”, dan “Bagaimana manusia memahami yang
nyata?”. Pertanyaan-pertanyaan ini telah melahirkan berbagai aliran filsafat dengan pendekatan yang berbeda terhadap realitas, dari realisme yang objektif hingga nihilisme yang skeptis terhadap makna realitas itu sendiri.
Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah upaya untuk "melampaui pemikiran tradisional dengan pendekatan
rasional terhadap pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak dapat dijawab secara
sederhana oleh ilmu pengetahuan atau agama."¹ Pendekatan ini
menunjukkan bahwa filsafat tidak hanya berusaha mendeskripsikan realitas tetapi juga menganalisis implikasi eksistensial, etis, dan
metafisiknya.
Pada saat yang sama, pandangan terhadap realitas dalam filsafat tidak bersifat tunggal atau seragam. Aliran-aliran
seperti realisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme memberikan pandangan yang sangat berbeda tentang
apa yang nyata dan bagaimana manusia memahami realitas.² Misalnya, seorang idealis mungkin memandang dunia sebagai
representasi pikiran atau roh, sementara seorang materialis akan menekankan
bahwa segala sesuatu hanyalah materi yang tunduk pada hukum-hukum fisik.
Pemahaman terhadap berbagai aliran filsafat ini sangat penting karena memberikan wawasan yang mendalam tentang
bagaimana manusia membangun pandangannya terhadap dunia, dirinya sendiri, dan
hubungan di antara keduanya. Dalam konteks kehidupan modern, di mana
perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan spiritualitas sering kali
beririsan, pembahasan tentang realitas menjadi semakin relevan.
1.2.
Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Menguraikan secara sistematis dan mendalam tentang berbagai aliran filsafat yang membahas realitas.
2)
Membantu pembaca memahami kerangka berpikir masing-masing aliran,
sehingga dapat mengapresiasi perbedaan pandangan dalam filsafat.
3)
Memberikan wawasan tentang relevansi pemikiran filsafat terhadap realitas dalam konteks ilmu pengetahuan, agama, dan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, artikel ini diharapkan menjadi
panduan awal yang komprehensif untuk memahami isu-isu kompleks dalam filsafat, baik bagi mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat umum yang ingin
mendalami filsafat. Pemahaman ini juga diharapkan dapat membangun cara berpikir yang
kritis, analitis, dan reflektif.
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1912), hlm. 1-2.
[2]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), hlm. 11-15.
2.
Definisi
Realitas dalam Filsafat
2.1.
Pengertian Realitas dalam
Filsafat
Dalam filsafat, istilah "realitas"
mengacu pada keberadaan atau esensi sesuatu yang benar-benar ada, baik yang
dapat diamati secara langsung maupun yang bersifat abstrak dan metafisik. Realitas dipahami sebagai inti dari segala sesuatu yang ada, baik dalam dunia
fisik (empiris) maupun dalam dunia ide (konseptual).¹ Perbedaan dalam pemahaman
tentang realitas telah menjadi landasan bagi berbagai aliran filsafat yang menawarkan kerangka berpikir berbeda tentang apa yang dianggap
nyata.
Para filsuf sering kali membedakan antara realitas
objektif dan realitas subjektif:
1)
Realitas Objektif:
Merujuk pada
keberadaan yang independen dari pikiran atau persepsi manusia. Realitas ini dianggap bersifat universal dan tidak tergantung pada interpretasi
individu.² Misalnya, gunung atau hukum gravitasi dianggap sebagai bagian dari
realitas objektif karena keberadaannya tidak berubah meskipun manusia tidak
mengamatinya.
2)
Realitas Subjektif:
Merujuk pada
keberadaan yang bergantung pada pikiran, persepsi, atau pengalaman individu.³
Dalam hal ini, apa yang nyata bagi satu orang mungkin tidak nyata bagi orang
lain, seperti pengalaman estetis atau emosi.
2.2.
Distingsi Realitas Fisik dan
Metafisik
Dalam kajian filsafat, realitas sering kali dibagi menjadi dua dimensi utama:
1)
Realitas Fisik:
Segala
sesuatu yang bersifat materiil dan dapat dijelaskan melalui hukum-hukum ilmiah.
Para filsuf materialis, seperti Demokritos dan Karl Marx, menekankan bahwa realitas hanyalah materi yang tunduk pada proses fisik.⁴
2)
Realitas Metafisik:
Meliputi
entitas atau konsep yang tidak kasatmata, seperti ide, moralitas, atau Tuhan.
Realitas ini sering dibahas dalam filsafat idealisme dan filsafat agama.⁵ Misalnya, Plato dalam teori Ideas (dunia ide) menyatakan bahwa
realitas sejati terletak pada dunia non-fisik yang lebih sempurna.⁶
2.3.
Pendekatan Timur dan Barat
terhadap Realitas
Persepsi tentang realitas tidak hanya dibahas dalam tradisi filsafat Barat tetapi juga dalam
filsafat Timur dan Islam:
1)
Filsafat Barat:
Menekankan
analisis logis dan empiris. Filsuf seperti Aristoteles dan Immanuel Kant
menekankan pentingnya membedakan antara fenomena (apa yang tampak) dan noumena
(realitas sejati yang tersembunyi).⁷
2)
Filsafat Timur:
Misalnya,
dalam ajaran Hindu dan Buddhisme, realitas duniawi dianggap sebagai ilusi (maya),
sementara realitas sejati adalah kesatuan universal yang transenden.⁸
3)
Filsafat Islam:
Dalam filsafat Islam, konsep realitas sering dikaitkan dengan Allah sebagai Al-Haq
(Yang Maha Nyata). Pemikir seperti Al-Farabi dan Ibn Sina mendiskusikan realitas dalam kerangka hubungan antara wujud wajib (Allah) dan wujud mungkin (makhluk).⁹
2.4.
Perspektif Modern tentang
Realitas
Di era modern, pemahaman tentang realitas juga dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Realitas tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang statis tetapi dinamis,
dipengaruhi oleh perspektif multidisiplin.⁸ Misalnya:
·
Dalam fisika kuantum, partikel subatomik menunjukkan bahwa realitas bisa berubah tergantung pada pengamat (observer effect).¹⁰
·
Dalam psikologi, realitas dipahami melalui pengalaman subjektif individu, sebagaimana dibahas
oleh eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre.
Kesimpulan
Realitas adalah konsep sentral dalam filsafat yang telah melahirkan beragam interpretasi berdasarkan aliran dan
tradisi filsafat tertentu. Memahami definisi realitas memerlukan pendekatan multidimensional, mulai dari realitas fisik,
metafisik, objektif, hingga subjektif, serta menempatkannya dalam konteks
tradisi Barat, Timur, dan Islam. Berbagai pandangan ini menunjukkan bahwa realitas bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan dipahami melalui berbagai
lensa filosofis.
Catatan Kaki
[1]
John Cottingham, Philosophy and the Good Life
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 23.
[2]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1912), hlm. 8.
[3]
George Berkeley, Principles of Human Knowledge
(London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.
[4]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy, Vol. 1 (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.
[5]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1968), hlm. 214.
[6]
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 35-40.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason
(Cambridge: Cambridge University Press, 1781), hlm. 59.
[8]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston:
Shambhala, 1975), hlm. 64-67.
[9]
Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.
[10]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), hlm. 39.
3.
Klasifikasi
Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Realitas
Pandangan terhadap realitas dalam filsafat telah melahirkan berbagai aliran yang masing-masing memberikan
interpretasi berbeda mengenai apa yang nyata. Setiap aliran memiliki prinsip
utama, tokoh sentral, dan kontribusi yang membedakan satu sama lain. Berikut
adalah klasifikasi aliran-aliran filsafat berdasarkan pandangan terhadap realitas:
3.1.
Realisme
Definisi:
Realisme memandang bahwa realitas bersifat objektif, independen dari pikiran atau persepsi manusia.
Menurut para realis, dunia nyata tetap ada meskipun manusia tidak
mengamatinya.¹
Varian:
1)
Realisme Klasik:
Berakar dari
pemikiran Aristoteles, yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari substansi konkret yang dapat diamati.²
2)
Realisme Ilmiah:
Menegaskan
bahwa entitas yang dijelaskan oleh teori ilmiah (seperti atom dan quark)
benar-benar ada, meskipun tidak dapat diamati secara langsung.³
3)
Realisme Kritis:
Dikembangkan
oleh Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa ada realitas objektif, tetapi
pemahaman manusia tentangnya selalu dipengaruhi oleh persepsi inderawi.⁴
Tokoh-Tokoh:
·
Aristoteles (384–322 SM): Mengajukan teori substansi yang menekankan
realitas konkret.
·
Thomas Aquinas (1225–1274): Menyatukan realisme Aristoteles dengan
teologi Kristen.
·
Immanuel Kant (1724–1804): Memadukan realitas objektif dengan persepsi
subjektif.⁵
3.2.
Idealisme
Definisi:
Idealisme berpendapat bahwa realitas pada dasarnya bersifat mental atau spiritual. Dunia material hanyalah
representasi dari ide atau pikiran.⁶
Varian:
1)
Idealisme Subjektif:
Pandangan
George Berkeley bahwa realitas adalah hasil persepsi individu; "esse est percipi"
(ada berarti dipersepsi).⁷
2)
Idealisme Objektif:
Hegel
menyatakan bahwa realitas adalah perkembangan ide universal yang mencakup segala sesuatu.⁸
3)
Idealisme Transendental:
Kant
menyatakan bahwa pengalaman manusia tentang dunia ditentukan oleh struktur
pikiran manusia.⁹
Tokoh-Tokoh:
·
Plato (427–347 SM): Mengembangkan teori Ideas, yang menyatakan
bahwa dunia ide adalah realitas sejati.
·
George Berkeley (1685–1753): Menekankan peran persepsi dalam membentuk realitas.
·
G.W.F. Hegel (1770–1831): Mengembangkan konsep perkembangan dialektis
dalam realitas.¹⁰
3.3.
Materialisme
Definisi:
Materialisme berpendapat bahwa realitas adalah materi, dan segala sesuatu, termasuk pikiran dan kesadaran,
dapat dijelaskan melalui proses fisik.¹¹
Varian:
1)
Materialisme Klasik:
Dipelopori
oleh Demokritos, yang menyatakan bahwa segala sesuatu terdiri dari atom.
2)
Materialisme Dialektik:
Diperkenalkan
oleh Karl Marx, yang menekankan bahwa realitas materi berkembang melalui
kontradiksi sosial.¹²
3)
Materialisme Reduksionis:
Menyatakan
bahwa fenomena mental dapat direduksi menjadi proses biologis.¹³
Tokoh-Tokoh:
·
Demokritos (460–370 SM): Pelopor teori atom.
·
Karl Marx (1818–1883): Menggunakan materialisme untuk menjelaskan perubahan sosial.¹⁴
3.4.
Dualisme
Definisi:
Dualisme memandang bahwa realitas terdiri dari dua substansi yang berbeda: materi (fisik) dan roh atau
pikiran (non-fisik).¹⁵
Tokoh-Tokoh:
·
René Descartes (1596–1650): Mengembangkan dualisme Cartesian, yang membedakan tubuh (materi) dan pikiran
(kesadaran).¹⁶
3.5.
Eksistensialisme
Definisi:
Eksistensialisme memandang realitas sebagai keberadaan individu yang sadar. Realitas terkait dengan pengalaman subjektif manusia, terutama dalam menghadapi
kebebasan, kecemasan, dan makna hidup.¹⁷
Tokoh-Tokoh:
·
Søren Kierkegaard (1813–1855): Menekankan pentingnya keputusan personal
dalam menentukan makna hidup.
·
Jean-Paul Sartre (1905–1980): Menyatakan bahwa eksistensi mendahului
esensi; manusia bertanggung jawab atas pembentukan realitasnya.¹⁸
3.6.
Positivisme
Definisi:
Positivisme menyatakan bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui fakta empiris dan metode ilmiah.¹⁹
Tokoh-Tokoh:
·
Auguste Comte (1798–1857): Bapak positivisme, yang menekankan pentingnya
ilmu pengetahuan dalam memahami realitas.
·
Ludwig Wittgenstein (1889–1951): Menekankan bahwa bahasa memainkan peran
penting dalam membatasi pemahaman tentang realitas.²⁰
3.7.
Nihilisme
Definisi:
Nihilisme memandang bahwa realitas tidak memiliki makna intrinsik atau nilai objektif.²¹
Tokoh-Tokoh:
·
Friedrich Nietzsche (1844–1900): Menyatakan bahwa ketiadaan nilai
objektif memaksa manusia untuk menciptakan makna sendiri.²²
3.8.
Pragmatism
Definisi:
Pragmatisme menyatakan bahwa realitas adalah apa yang praktis atau bermanfaat bagi manusia dalam kehidupan
sehari-hari.²³
Tokoh-Tokoh:
·
Charles Sanders Peirce (1839–1914): Mengembangkan teori pragmatisme
untuk menilai realitas berdasarkan konsekuensinya.
·
William James (1842–1910): Menekankan pentingnya pengalaman subjektif
dalam memahami realitas.
Catatan Kaki
[1]
John Cottingham, Philosophy and the Good Life
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 23.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Oxford University Press, 1924), hlm. 103-110.
[3]
Hilary Putnam, Realism and Reason
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 5-10.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason
(Cambridge: Cambridge University Press, 1781), hlm. 98.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Vol. 1
(New York: Benziger Brothers, 1947), hlm. 10.
[6]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1968), hlm. 214.
[7]
George Berkeley, Principles of Human Knowledge
(London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.
[8]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Clarendon Press, 1977), hlm. 45.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm.
59.
[10]
Ibid.
[11]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy, Vol. 1 (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.
[12]
Friedrich Engels, Dialectics of Nature
(London: Progress Publishers, 1940), hlm. 30-35.
[13]
Daniel Dennett, Consciousness Explained
(Boston: Little, Brown and Co., 1991), hlm. 45.
[14]
Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), hlm.
1.
[15]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), hlm. 16.
[16]
Ibid., hlm. 17.
[17]
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 120-122.
[18]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New
York: Routledge, 1943), hlm. 23-24.
[19]
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive
(Paris: Hermann, 1830), hlm. 1-5.
[20]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge, 1922), hlm. 56.
[21]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra
(New York: Penguin Books, 2003), hlm. 32-34.
[22]
Ibid., hlm. 40.
[23]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm.
22-25.
4.
Perspektif
Filsafat Islam terhadap Realitas
Filsafat Islam menawarkan pandangan unik tentang realitas yang berakar pada prinsip Tauhid (keesaan Allah). Dalam filsafat Islam, realitas tidak hanya terbatas pada dimensi material, tetapi juga mencakup aspek
metafisik, spiritual, dan teologis. Perspektif ini dipengaruhi oleh integrasi
antara wahyu ilahi, tradisi filsafat Yunani, dan pemikiran logis para ulama
Islam.
4.1.
Konsep Realitas dalam Islam:
Tauhid sebagai Landasan
Tauhid menjadi dasar pandangan Islam tentang realitas. Dalam perspektif Islam, Allah adalah Al-Haq (Yang Maha Nyata),
sumber dari segala realitas.¹ Segala sesuatu selain Allah dipandang sebagai wujud yang "mungkin"
(mumkin
al-wujud), keberadaannya tergantung pada wujud Allah yang "wajib"
(wajib
al-wujud).²
Konsep ini mengindikasikan hierarki dalam realitas:
1)
Wujud Wajib: Hanya Allah yang memiliki keberadaan mutlak, tidak bergantung pada apa
pun.
2)
Wujud Mumkin: Segala sesuatu selain Allah bersifat kontingen, bergantung pada
kehendak-Nya.³
Al-Qur'an menegaskan pentingnya memahami realitas ini melalui tanda-tanda Allah di alam semesta (ayatullah),
seperti disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 20-21: "Dan di bumi
itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?"
4.2.
Pandangan Para Filsuf Islam
tentang Realitas
Filsuf-filsuf Islam memberikan kontribusi besar
dalam memahami realitas dengan memadukan logika dan wahyu. Berikut adalah beberapa tokoh
penting:
1)
Al-Farabi (872–950 M)
o
Al-Farabi memandang realitas sebagai tatanan hierarkis yang berasal dari Allah melalui proses
emanasi.⁴
o
Menurutnya, intelek manusia dapat mencapai realitas tertinggi (akal
aktif), yaitu kesatuan dengan prinsip ilahi.⁵
2)
Ibn Sina (Avicenna, 980–1037 M)
o
Ibn Sina membedakan antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi
(wujud), yang menjadi dasar pemahaman realitas.⁶
o
Ia berpendapat bahwa hanya Allah yang memiliki eksistensi inheren,
sementara esensi makhluk bergantung pada eksistensi yang diberikan oleh Allah.⁷
o
Bukunya, Al-Isharat wa al-Tanbihat, menegaskan konsep hubungan
antara Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.⁸
3)
Al-Ghazali (1058–1111 M)
o
Al-Ghazali mengkritik filsafat materialis dan idealis Yunani, menyatakan
bahwa realitas sejati hanya dapat dipahami melalui wahyu dan pengalaman
spiritual.⁹
o
Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, ia menolak konsep emanasi
dan menekankan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu.¹⁰
4)
Ibn Arabi (1165–1240 M)
o
Ibn Arabi mengembangkan konsep Wahdatul Wujud (Kesatuan
Wujud), yang menyatakan bahwa segala realitas adalah manifestasi dari Allah.¹¹
o
Ia melihat alam semesta sebagai refleksi dari nama-nama dan sifat-sifat
Allah, sehingga memahami realitas adalah memahami Allah.¹²
4.3.
Realitas dalam Perspektif
Sufi
Dalam tasawuf, realitas dipahami melalui perjalanan spiritual menuju haqiqah (kebenaran
sejati). Sufi membagi realitas ke dalam beberapa tingkat:
1)
Syariat: Hukum
lahiriah yang mengatur hubungan manusia dengan dunia.
2)
Tariqat: Jalan
spiritual untuk mendekati Allah.
3)
Haqiqah: Puncak
pemahaman realitas, di mana seorang sufi menyadari kesatuan wujud dengan Allah.¹³
Tokoh sufi seperti Rumi dan Al-Hallaj memandang
bahwa memahami realitas memerlukan cinta dan penyatuan diri dengan Allah.
4.4.
Perbedaan dengan Tradisi
Filsafat Barat
Filsafat Islam memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan filsafat Barat:
1)
Pendekatan Integral:
Filsafat Islam mengintegrasikan wahyu dan logika, sementara filsafat Barat lebih
sering memisahkan antara keduanya.¹⁴
2)
Tujuan Filosofis:
Dalam Islam,
filsafat bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar mencari
pengetahuan teoretis.¹⁵
3)
Hierarki Realitas:
Filsafat Islam memandang bahwa realitas material adalah bagian kecil dari realitas
metafisik yang lebih besar.¹⁶
4.5.
Relevansi Filsafat Islam
terhadap Kehidupan Modern
Pemikiran filsafat Islam tentang realitas memiliki relevansi penting dalam menjawab tantangan kehidupan modern,
seperti:
1)
Krisis Spiritualitas:
Pemahaman
tentang realitas metafisik dapat memberikan kedamaian dalam menghadapi
materialisme modern.
2)
Etika Global:
Prinsip
Tauhid menekankan kesatuan dan keharmonisan, yang relevan untuk mengatasi
konflik budaya dan agama.
3)
Dialog Sains dan Agama:
Filsafat Islam menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan wahyu dapat saling melengkapi
dalam memahami realitas.¹⁷
Kesimpulan
Filsafat Islam memberikan pandangan yang holistik tentang realitas, mengintegrasikan aspek material, spiritual, dan metafisik. Dengan
menjadikan Tauhid sebagai landasan utama, filsafat Islam menawarkan cara pandang yang relevan untuk memahami dunia, manusia, dan
hubungan keduanya dengan Allah.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Hajj: 62, "Karena
sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Nyata (Al-Haq)."
[2]
Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.
[3]
Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat (Tehran:
Dar Nashr, 1958), hlm. 5-10.
[4]
Al-Farabi, The Philosophy of Plato and Aristotle,
trans. Muhsin Mahdi (New York: Cornell University Press, 1962), hlm. 68.
[5]
Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian
Tradition (Leiden: Brill, 2001), hlm. 152-156.
[6]
Ibn Sina, Kitab al-Najat (Cairo: Dar
al-Kutub al-Misriyyah, 1938), hlm. 23.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed.
Marmura (Utah: Brigham Young University Press, 2000), hlm. 11.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. N.J.
Dawood (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1997), hlm. 51.
[9]
Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Osman
Yahia (Beirut: Dar Sadir, 1968), hlm. 24-30.
[10]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge
(Albany: SUNY Press, 1989), hlm. 18-22.
[11]
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra
(Albany: SUNY Press, 1975), hlm. 88.
[12]
Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated
Study (London: World Wisdom, 1976), hlm. 45-46.
5.
Perbandingan
Antar Aliran Filsafat
Aliran-aliran filsafat menawarkan pendekatan yang beragam dalam memahami realitas, masing-masing dengan kerangka konseptual dan landasan filosofis yang
khas. Perbandingan antar aliran ini mengungkapkan perbedaan fundamental dalam
cara pandang terhadap apa yang nyata, hubungan antara subjek dan objek, serta
implikasinya terhadap kehidupan manusia.
5.1.
Realisme vs. Idealisme
Realisme dan Idealisme memiliki perbedaan utama dalam cara mereka memandang hubungan antara
pikiran dan dunia luar:
1)
Realisme berpendapat bahwa realitas bersifat objektif dan independen dari pikiran manusia. Misalnya, pohon
yang ada di hutan tetap eksis meskipun tidak ada yang mengamatinya.¹ Realisme menekankan peran pengamatan empiris dalam memahami dunia nyata.²
2)
Idealisme, sebaliknya, menyatakan bahwa realitas pada dasarnya bersifat mental atau spiritual. Menurut George Berkeley,
"realitas adalah persepsi" (esse est percipi), sehingga
keberadaan pohon tersebut tergantung pada persepsi subjek.³
Kesamaan:
·
Keduanya membahas eksistensi realitas, baik objektif maupun subjektif.
·
Sama-sama mencari cara untuk menjelaskan hubungan antara manusia dan
dunia.
Perbedaan:
·
Realisme menekankan dunia luar yang independen, sedangkan Idealisme melihat dunia sebagai konstruksi mental.⁴
·
Realisme sering digunakan sebagai dasar ilmu pengetahuan, sedangkan Idealisme cenderung berkaitan dengan filsafat spiritual atau metafisik.⁵
5.2.
Materialisme vs. Dualisme
Materialisme dan Dualisme berbeda dalam cara mereka memahami komposisi realitas:
1)
Materialisme menyatakan bahwa semua realitas adalah materi. Segala fenomena, termasuk kesadaran, dijelaskan melalui
hukum-hukum fisik.⁶
2)
Dualisme, seperti yang dikemukakan René Descartes, menyatakan bahwa realitas terdiri dari dua substansi yang berbeda: pikiran (non-fisik) dan tubuh
(fisik).⁷
Kesamaan:
·
Keduanya berusaha menjelaskan hubungan antara manusia dan alam semesta.
·
Sama-sama mengakui adanya keteraturan di alam semesta.
Perbedaan:
·
Materialisme mengabaikan aspek non-fisik dari realitas, sedangkan Dualisme mengakui eksistensi pikiran sebagai substansi terpisah.⁸
·
Materialisme digunakan dalam pendekatan sains modern, sedangkan Dualisme lebih relevan dalam filsafat dan psikologi.⁹
5.3.
Eksistensialisme vs.
Nihilisme
Eksistensialisme dan Nihilisme membahas makna realitas dari sudut pandang manusia:
1)
Eksistensialisme menekankan
kebebasan individu untuk menciptakan makna hidup dalam dunia yang pada dasarnya
absurd.¹⁰
2)
Nihilisme menyatakan
bahwa realitas tidak memiliki makna intrinsik atau tujuan.¹¹ Friedrich Nietzsche
melihat Nihilisme sebagai krisis yang timbul akibat hilangnya nilai-nilai
tradisional dalam masyarakat.¹²
Kesamaan:
·
Keduanya sepakat bahwa tidak ada makna atau nilai objektif yang melekat
dalam realitas.
·
Sama-sama berfokus pada peran manusia dalam menghadapi absurditas.
Perbedaan:
·
Eksistensialisme bersifat konstruktif, mendorong individu untuk
menciptakan makna hidup. Nihilisme bersifat destruktif, menolak semua makna dan
nilai.¹³
5.4.
Positivisme vs. Pragmatism
Positivisme dan Pragmatism menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami realitas:
1)
Positivisme menyatakan
bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui fakta empiris dan metode ilmiah.¹⁴
2)
Pragmatism menilai realitas berdasarkan kegunaannya atau konsekuensi praktisnya.¹⁵ Misalnya, suatu
ide dianggap benar jika berhasil diterapkan dalam kehidupan nyata.
Kesamaan:
·
Keduanya berbasis empiris dan menolak spekulasi metafisik yang tidak
terukur.
·
Sama-sama relevan dalam konteks modern yang berorientasi pada hasil.
Perbedaan:
·
Positivisme lebih dogmatis dalam menetapkan fakta sebagai satu-satunya realitas. Pragmatism lebih fleksibel, mengakui peran pengalaman subjektif.¹⁶
5.5.
Filsafat Islam vs. Filsafat
Barat
Filsafat Islam dan filsafat Barat memiliki beberapa perbedaan penting dalam pendekatan
mereka terhadap realitas:
1)
Filsafat Islam:
o
Berbasis pada Tauhid, menekankan kesatuan antara Allah sebagai Wujud Wajib dan makhluk sebagai Wujud Mumkin.¹⁷
o
Memadukan wahyu dengan akal.¹⁸
2)
Filsafat Barat:
o
Lebih terfokus pada eksplorasi empiris dan rasional tanpa selalu
melibatkan wahyu.¹⁹
o
Lebih cenderung memisahkan agama dari filsafat.²⁰
Kesamaan:
·
Keduanya membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang realitas, eksistensi, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
·
Sama-sama mengembangkan logika sebagai alat utama untuk memahami realitas.
Perbedaan:
·
Filsafat Islam memiliki tujuan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah,
sedangkan filsafat Barat lebih sering berorientasi pada eksplorasi
pengetahuan.²¹
5.6.
Implikasi Perbedaan Aliran
Perbandingan antar aliran filsafat menunjukkan bagaimana pandangan terhadap realitas dapat memengaruhi aspek lain dalam kehidupan:
·
Sains:
Realisme dan Materialisme menjadi landasan bagi perkembangan metode ilmiah.
·
Etika:
Idealisme dan Eksistensialisme memberikan kerangka bagi pencarian makna hidup dan
nilai-nilai moral.
·
Spiritualitas:
Filsafat Islam dan Dualisme menawarkan pendekatan untuk memahami dimensi spiritual realitas.
Kesimpulan
Setiap aliran filsafat memiliki kekuatan dan kelemahan dalam menjelaskan realitas. Pemahaman terhadap perbedaan ini memberikan wawasan yang lebih luas
tentang cara manusia mendekati pertanyaan besar tentang keberadaan, makna, dan
tujuan hidup.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Oxford University Press, 1924), hlm. 103-110.
[2]
John Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995), hlm. 15.
[3]
George Berkeley, Principles of Human Knowledge
(London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.
[4]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 1945), hlm. 73.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason
(Cambridge: Cambridge University Press, 1781), hlm. 85.
[6]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy, Vol. 1 (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.
[7]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), hlm. 16.
[8]
Ibid., hlm. 17.
[9]
Daniel Dennett, Consciousness Explained
(Boston: Little, Brown and Co., 1991), hlm. 45.
[10]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling
(Princeton: Princeton University Press, 1941), hlm. 30.
[11]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra
(New York: Penguin Books, 2003), hlm. 32-34.
[12]
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 35-40.
[13]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New
York: Routledge, 1943), hlm. 23-24.
[14]
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive
(Paris: Hermann, 1830), hlm. 1-5.
[15]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm.
22-25.
[16]
Charles Sanders Peirce, The Fixation of Belief
(Cambridge: Harvard University Press, 1877), hlm. 12.
[17]
Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.
[18]
Ibn Sina, Kitab al-Najat (Cairo: Dar
al-Kutub al-Misriyyah, 1938), hlm. 23.
[19]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1912), hlm. 12.
[20]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge
(Albany: SUNY Press, 1989), hlm. 18.
6.
Relevansi
Aliran Filsafat dengan Kehidupan Modern
Aliran-aliran filsafat yang membahas realitas memiliki relevansi yang signifikan dengan kehidupan modern. Dalam era
globalisasi, kemajuan teknologi, dan kompleksitas sosial, berbagai aliran filsafat menawarkan wawasan yang dapat diterapkan untuk memahami dan menghadapi
tantangan kontemporer. Berikut adalah analisis tentang bagaimana masing-masing aliran filsafat tetap relevan dalam konteks modern:
6.1.
Realisme: Fondasi Ilmu Pengetahuan
Realisme memainkan peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Realisme ilmiah, yang berpendapat bahwa entitas seperti atom dan gelombang
elektromagnetik benar-benar ada meskipun tidak dapat diamati secara langsung,
menjadi dasar bagi penelitian ilmiah.¹
Contoh
Relevansi:
o
Kemajuan dalam fisika kuantum dan astrofisika didasarkan pada asumsi
realis bahwa hukum-hukum alam bersifat objektif dan universal.²
o
Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan robotika dirancang
berdasarkan pemahaman realis terhadap hubungan sebab-akibat di dunia material.³
Realisme juga membantu manusia menjaga keseimbangan antara fakta empiris dan
pemahaman pragmatis, terutama dalam pengambilan keputusan berbasis data.
6.2.
Idealisme: Peran Persepsi dan
Kesadaran
Idealisme tetap relevan dalam memahami peran persepsi manusia dalam membentuk realitas. Dalam dunia modern, konsep ini digunakan untuk menjelaskan fenomena seperti:
·
Virtual Reality (VR):
Dunia
virtual yang diciptakan oleh teknologi menunjukkan bahwa realitas dapat dipengaruhi oleh persepsi, sebagaimana dinyatakan dalam idealisme subjektif.⁴
·
Kesadaran Kolektif:
Idealisme juga mendorong diskusi tentang bagaimana ide-ide dan nilai-nilai
kolektif memengaruhi perubahan sosial.⁵ Misalnya, gerakan sosial seperti
feminisme dan lingkungan hidup sering berakar pada perubahan kesadaran
masyarakat.
6.3.
Materialisme: Kritik terhadap
Materialisme Modern
Materialisme tetap menjadi pijakan bagi banyak bidang, seperti biologi dan ekonomi.
Namun, dalam konteks modern, materialisme menghadapi kritik sebagai ideologi yang mendasari konsumerisme dan
degradasi lingkungan.⁶
·
Implikasi Positif:
o
Materialisme dialektis, yang dikembangkan oleh Karl Marx, memberikan
analisis kritis terhadap struktur sosial modern dan ketimpangan ekonomi.⁷
o
Dalam bioteknologi, materialisme membantu memahami mekanisme biologis tubuh manusia, memungkinkan kemajuan
dalam kedokteran dan farmasi.⁸
·
Kritik terhadap Materialisme:
o
Konsumerisme global sering kali dianggap sebagai konsekuensi dari
reduksi materialisme, yang mengabaikan aspek spiritual dan etis manusia.⁹
6.4.
Dualisme: Memahami Pikiran dan
Teknologi
Dualisme Cartesian tetap relevan dalam diskusi modern tentang
hubungan antara pikiran dan tubuh, terutama dalam bidang neurologi, kecerdasan
buatan, dan filsafat pikiran.
·
Neurosains:
Dualisme membantu menjelaskan bagaimana otak (fisik) memengaruhi pikiran
(mental), khususnya dalam penelitian tentang kesadaran dan penyakit mental.¹⁰
·
Kecerdasan Buatan (AI):
Pemisahan
antara pikiran manusia dan algoritma komputer dapat dipahami melalui kerangka dualisme.¹¹
6.5.
Eksistensialisme: Pencarian
Makna Hidup
Eksistensialisme tetap relevan dalam kehidupan
modern karena fokusnya pada kebebasan individu dan penciptaan makna di tengah
absurditas dunia.¹²
·
Kesehatan Mental:
Eksistensialisme
memberikan panduan untuk menghadapi kecemasan eksistensial dan rasa kehilangan
makna, yang sering dialami dalam masyarakat modern.¹³
·
Pendidikan:
Eksistensialisme
mendorong pendekatan yang memprioritaskan kebebasan berpikir dan refleksi
kritis di dunia pendidikan.¹⁴
·
Gerakan Sosial:
Ide
eksistensialisme tentang kebebasan mendorong gerakan hak asasi manusia dan
kesetaraan gender.¹⁵
6.6.
Nihilisme: Tantangan dan
Peluang
Nihilisme, meskipun sering dikritik sebagai
destruktif, menawarkan wawasan penting tentang kondisi modern yang ditandai
oleh krisis nilai dan relativisme moral.¹⁶
·
Krisis Moral:
Kehilangan
nilai-nilai absolut, seperti yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche, relevan
dalam era postmodernisme.¹⁷
·
Kesempatan untuk Menciptakan Nilai Baru:
Nihilisme
juga mendorong manusia untuk membangun sistem nilai baru yang lebih sesuai
dengan tantangan modern.¹⁸
6.7.
Pragmatism: Pendekatan
Praktis terhadap Masalah Modern
Pragmatisme tetap relevan dalam dunia yang semakin
kompleks dan dinamis. Pendekatan pragmatis, yang menilai ide berdasarkan
manfaat praktisnya, digunakan di berbagai bidang:
·
Kebijakan Publik:
Pragmatism
membantu pemerintah merancang kebijakan berbasis hasil nyata, bukan teori
abstrak.¹⁹
·
Bisnis:
Perusahaan
menggunakan pendekatan pragmatis untuk menentukan strategi yang paling efektif
dan menguntungkan.²⁰
6.8.
Filsafat Islam: Integrasi
Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas
Filsafat Islam memberikan wawasan holistik tentang realitas yang mencakup aspek spiritual dan material. Pendekatan ini relevan
dalam menghadapi krisis spiritual dan etika di dunia modern.
·
Dialog Sains dan Agama:
Pemikiran
Islam seperti konsep Wujud Wajib dan Wujud Mumkin dapat menyatukan pandangan ilmiah dan spiritual.²¹
·
Etika Lingkungan:
Prinsip
Tauhid dalam filsafat Islam menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, yang relevan dalam
upaya pelestarian lingkungan.²²
Kesimpulan
Setiap aliran filsafat menawarkan wawasan yang relevan dengan kehidupan modern, baik dalam
memahami perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, maupun dalam mencari makna
hidup di tengah kompleksitas sosial. Dengan mempelajari berbagai aliran filsafat, manusia dapat mengembangkan cara pandang yang kritis, reflektif, dan
solutif terhadap tantangan dunia modern.
Catatan Kaki
[1]
Hilary Putnam, Realism and Reason
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 5-10.
[2]
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), hlm. 23.
[3]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm. 12.
[4]
Michael Heim, The Metaphysics of Virtual Reality
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.
[5]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation
of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989), hlm. 67.
[6]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy
(Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.
[7]
Friedrich Engels, Dialectics of Nature
(London: Progress Publishers, 1940), hlm. 30-35.
[8]
Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford:
Oxford University Press, 1976), hlm. 56.
[9]
Naomi Klein, No Logo: Taking Aim at the Brand
Bullies (New York: Picador, 1999), hlm. 23.
[10]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens:
Body and Emotion in the Making of Consciousness (San Diego: Harcourt,
1999), hlm. 47.
[11]
Ray Kurzweil, The Age of Spiritual Machines
(New York: Viking Penguin, 1999), hlm. 72.
[12]
William Barrett, Irrational Man: A Study in
Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 35-40.
[13]
Viktor Frankl, Man's Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1946), hlm. 75-80.
[14]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 1970), hlm. 54-58.
[15]
Simone de Beauvoir, The Second Sex (New
York: Vintage, 1949), hlm. 20-25.
[16]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power (New
York: Random House, 1967), hlm. 56-58.
[17]
Ibid., hlm. 60.
[18]
Ibid., hlm. 63.
[19]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm.
22-25.
[20]
Charles Sanders Peirce, The Fixation of Belief
(Cambridge: Harvard University Press, 1877), hlm. 12.
[21]
Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.
[22]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968),
hlm. 45.
7.
Kesimpulan
Pembahasan tentang aliran-aliran filsafat berdasarkan pandangan terhadap realitas memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana manusia berupaya
memahami dunia, eksistensi, dan dirinya sendiri. Setiap aliran filsafat menawarkan pendekatan yang unik terhadap realitas, yang tidak hanya berkontribusi terhadap perkembangan pemikiran
manusia, tetapi juga memiliki implikasi signifikan dalam berbagai aspek
kehidupan modern. Kesimpulan dari artikel ini dapat dirumuskan ke dalam
beberapa poin utama:
7.1.
Keragaman Pandangan tentang
Realitas
Realitas adalah konsep sentral dalam filsafat yang dipahami secara beragam:
1)
Realisme menekankan keberadaan objektif yang independen dari persepsi manusia,
memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan modern.¹
2)
Idealisme menyoroti peran pikiran dan kesadaran dalam membentuk realitas, relevan dalam memahami persepsi subjektif dan fenomena kontemporer
seperti realitas virtual.²
3)
Materialisme menegaskan bahwa realitas pada dasarnya adalah materi, menjadi landasan bagi sains tetapi juga
menimbulkan kritik terhadap konsumerisme dan degradasi lingkungan.³
4)
Dualisme membagi realitas menjadi pikiran dan materi, yang relevan dalam diskusi modern tentang
kesadaran dan kecerdasan buatan.⁴
5)
Eksistensialisme dan Nihilisme
menyelami dimensi subjektif realitas, menawarkan perspektif tentang makna hidup
dan krisis moral di dunia modern.⁵
6)
Pragmatism berfokus
pada manfaat praktis dari ide-ide, relevan dalam pengambilan keputusan dan
kebijakan publik.⁶
7)
Filsafat Islam memadukan pendekatan metafisik dan spiritual, mengintegrasikan
ilmu pengetahuan dan agama dalam memahami realitas secara holistik.⁷
7.2.
Relevansi Aliran Filsafat
terhadap Kehidupan Modern
Setiap aliran filsafat memberikan kontribusi nyata dalam menjawab tantangan dunia modern:
·
Sains dan Teknologi:
Realisme dan materialisme memberikan landasan bagi kemajuan teknologi, sementara dualisme membantu memahami hubungan antara pikiran dan tubuh dalam kecerdasan
buatan.⁸
·
Krisis Nilai:
Eksistensialisme
dan nihilisme menawarkan cara untuk menghadapi kehilangan nilai tradisional dan
mencari makna hidup di dunia yang serba cepat.⁹
·
Spiritualitas dan Etika:
Filsafat Islam dan idealisme menggarisbawahi pentingnya integrasi antara aspek material dan
spiritual untuk mengatasi tantangan seperti krisis lingkungan dan degradasi
moral.¹⁰
7.3.
Pentingnya Pemahaman
Interdisipliner
Perbedaan pandangan antara aliran-aliran filsafat menunjukkan bahwa realitas tidak bisa dipahami secara parsial. Pendekatan yang interdisipliner,
yang menggabungkan aspek empiris, rasional, dan spiritual, diperlukan untuk
memahami dunia secara utuh:
·
Realisme dan positivisme menekankan pentingnya fakta empiris.
·
Idealisme dan eksistensialisme mengajak manusia untuk merenungkan peran kesadaran
dan pengalaman subjektif.
·
Filsafat Islam menawarkan pendekatan integral yang memadukan logika, wahyu, dan
pengalaman spiritual.¹¹
7.4.
Relevansi Filosofis terhadap
Pendidikan dan Kebijakan
Pemahaman tentang aliran filsafat membantu:
1)
Pendidikan:
Mendorong
pengembangan berpikir kritis, reflektif, dan kreatif dalam menghadapi tantangan
global.¹²
2)
Kebijakan Publik:
Memberikan landasan
filosofis bagi pengambilan keputusan berbasis nilai, seperti pendekatan
pragmatis dalam menyelesaikan masalah sosial.¹³
Kesimpulan Akhir
Filsafat, dengan keragaman alirannya, adalah
cerminan dari upaya manusia untuk memahami dunia dan dirinya sendiri. Dengan
mempelajari aliran-aliran filsafat, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih luas
tentang cara berpikir yang kritis, fleksibel, dan relevan. Lebih dari sekadar
upaya intelektual, filsafat mengajarkan manusia untuk hidup dengan kesadaran
akan kompleksitas realitas dan tanggung jawab terhadap dunia yang terus berubah.
Catatan Kaki
[1]
Hilary Putnam, Realism and Reason
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 5-10.
[2]
George Berkeley, Principles of Human Knowledge
(London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.
[3]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political
Economy (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), hlm. 16-17.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New
York: Routledge, 1943), hlm. 23-24.
[6]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm.
22-25.
[7]
Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.
[8]
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), hlm. 23.
[9]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power (New
York: Random House, 1967), hlm. 56-58.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968),
hlm. 45.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
University of Chicago Press, 1982), hlm. 65-67.
[12]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 1970), hlm. 54-58.
[13]
Charles Sanders Peirce, The Fixation of Belief
(Cambridge: Harvard University Press, 1877), hlm. 12.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Berkeley, G. (1982). Principles of Human
Knowledge. London: Hackett Publishing.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
Dangers, Strategies. Oxford: Oxford University Press.
Capra, F. (1975). The Tao of Physics.
Boston: Shambhala.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press.
Comte, A. (1830). Cours de Philosophie Positive.
Paris: Hermann.
Damasio, A. (1999). The Feeling of What Happens:
Body and Emotion in the Making of Consciousness. San Diego: Harcourt.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness Explained.
Boston: Little, Brown and Co.
Descartes, R. (1993). Meditations on First
Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Engels, F. (1940). Dialectics of Nature.
London: Progress Publishers.
Farabi, A. (1962). The Philosophy of Plato and
Aristotle (M. Mahdi, Trans.). New York: Cornell University Press.
Farabi, A. (1968). Ara' Ahl al-Madina al-Fadila.
Cairo: Dar al-Ma'arif.
Frankl, V. E. (1946). Man's Search for Meaning.
Boston: Beacon Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed.
New York: Continuum.
Ghazali, A. (2000). Tahafut al-Falasifah (M.
Marmura, Ed.). Utah: Brigham Young University Press.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
Tradition. Leiden: Brill.
Habermas, J. (1989). The Structural
Transformation of the Public Sphere. Cambridge: Polity Press.
Hawking, S. (1988). A Brief History of Time.
New York: Bantam Books.
Heim, M. (1993). The Metaphysics of Virtual
Reality. Oxford: Oxford University Press.
James, W. (1907). Pragmatism: A New Name for
Some Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co.
Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason.
Cambridge: Cambridge University Press.
Klein, N. (1999). No Logo: Taking Aim at the
Brand Bullies. New York: Picador.
Kurzweil, R. (1999). The Age of Spiritual
Machines: When Computers Exceed Human Intelligence. New York: Viking
Penguin.
Marx, K. (1867). Capital: A Critique of
Political Economy (Vol. 1). Moscow: Progress Publishers.
Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen & Unwin.
Nietzsche, F. (1967). The Will to Power. New
York: Random House.
Nietzsche, F. (2003). Thus Spoke Zarathustra.
New York: Penguin Books.
Peirce, C. S. (1877). The Fixation of Belief.
Cambridge: Harvard University Press.
Plato. (1968). The Republic (A. Bloom,
Trans.). New York: Basic Books.
Putnam, H. (1983). Realism and Reason.
Cambridge: Cambridge University Press.
Rahman, F. (1975). The Philosophy of Mulla Sadra.
Albany: SUNY Press.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Russell, B. (1945). History of Western
Philosophy. London: Routledge.
Russell, B. (1912). The Problems of Philosophy.
Oxford: Oxford University Press.
Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness.
New York: Routledge.
Searle, J. R. (1995). The Construction of Social
Reality. New York: Free Press.
Tarnas, R. (1991). The Passion of the Western
Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View. New York:
Ballantine Books.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus Logico-Philosophicus.
London: Routledge.
Lampiran: Daftar Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap
Realitas
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas bersifat objektif dan independen dari persepsi manusia.
Tokoh Utama:
Aristoteles, Thomas Aquinas, Immanuel Kant.
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas pada dasarnya bersifat mental atau spiritual.
Tokoh Utama: Plato,
George Berkeley, G.W.F. Hegel.
3)
Materialisme (Materialism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas adalah materi dan segala sesuatu dapat dijelaskan melalui proses fisik.
Tokoh Utama:
Demokritos, Karl Marx, Friedrich Engels.
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas terdiri atas dua substansi, yaitu materi dan pikiran/jiwa.
Tokoh Utama: René
Descartes.
5)
Eksistensialisme (Existentialism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas adalah keberadaan individu yang sadar dan bebas.
Tokoh Utama: Søren
Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger.
6)
Nihilisme (Nihilism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas tidak memiliki makna intrinsik atau nilai objektif.
Tokoh Utama: Friedrich
Nietzsche.
7)
Pragmatisme (Pragmatism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas ditentukan oleh apa yang praktis atau berguna dalam kehidupan.
Tokoh Utama: Charles
Sanders Peirce, William James, John Dewey.
8)
Positivisme (Positivism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui fakta empiris dan metode ilmiah.
Tokoh Utama: Auguste
Comte, Ludwig Wittgenstein.
9)
Fenomenologi (Phenomenology)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas terdiri atas fenomena sebagaimana ia muncul dalam kesadaran.
Tokoh Utama: Edmund
Husserl, Martin Heidegger.
10)
Empirisme (Empiricism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui pengalaman inderawi.
Tokoh Utama: John
Locke, David Hume, Francis Bacon.
11)
Rasionalisme (Rationalism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas dapat dipahami melalui akal atau logika tanpa bergantung pada
pengalaman inderawi.
Tokoh Utama: René
Descartes, Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz.
12)
Skolastisisme (Scholasticism)
Arti/Definisi: Pendekatan
yang menggabungkan logika filsafat dengan teologi untuk memahami realitas.
Tokoh Utama: Thomas
Aquinas, Anselmus dari Canterbury, Albertus Magnus.
13)
Wahdatul Wujud (Unity of Being)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas adalah kesatuan wujud yang memanifestasikan sifat-sifat Allah.
Tokoh Utama: Ibn Arabi.
14)
Filsafat Tauhid
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas tertinggi adalah Allah sebagai Wujud Wajib dan sumber segala yang ada.
Tokoh Utama: Al-Farabi,
Ibn Sina, Al-Ghazali.
15)
Relativisme (Relativism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas dan kebenaran bersifat relatif terhadap perspektif individu atau
budaya.
Tokoh Utama:
Protagoras, Michel Foucault.
16)
Konstruktivisme (Constructivism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas dibangun melalui konstruksi sosial atau persepsi manusia.
Tokoh Utama: Jean
Piaget, Ernst von Glasersfeld.
17)
Absurdisme (Absurdism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas pada dasarnya tidak dapat dipahami secara rasional dan absurd.
Tokoh Utama: Albert
Camus.
18)
Emanasionisme (Emanationism)
Arti/Definisi: Pandangan
bahwa realitas berasal dari Tuhan melalui proses emanasi atau pancaran.
Tokoh Utama: Plotinus,
Al-Farabi, Ibn Sina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar