Jumat, 24 Januari 2025

Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Realitas

Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Realitas


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Filsafat, sejak zaman kuno hingga era modern, telah menjadi salah satu disiplin ilmu yang paling penting dalam mencari pemahaman tentang realitas. Sebagai cabang ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan hakikat segala sesuatu, filsafat tidak hanya menjadi alat analisis terhadap realitas tetapi juga menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan manusia. Para filsuf dari berbagai era dan budaya berusaha menjawab pertanyaan mendasar seperti: Apakah realitas itu?, Apa yang benar-benar ada?, dan Bagaimana manusia memahami yang nyata?. Pertanyaan-pertanyaan ini telah melahirkan berbagai aliran filsafat dengan pendekatan yang berbeda terhadap realitas, dari realisme yang objektif hingga nihilisme yang skeptis terhadap makna realitas itu sendiri.

Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah upaya untuk "melampaui pemikiran tradisional dengan pendekatan rasional terhadap pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak dapat dijawab secara sederhana oleh ilmu pengetahuan atau agama."¹ Pendekatan ini menunjukkan bahwa filsafat tidak hanya berusaha mendeskripsikan realitas tetapi juga menganalisis implikasi eksistensial, etis, dan metafisiknya.

Pada saat yang sama, pandangan terhadap realitas dalam filsafat tidak bersifat tunggal atau seragam. Aliran-aliran seperti realisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme memberikan pandangan yang sangat berbeda tentang apa yang nyata dan bagaimana manusia memahami realitas.² Misalnya, seorang idealis mungkin memandang dunia sebagai representasi pikiran atau roh, sementara seorang materialis akan menekankan bahwa segala sesuatu hanyalah materi yang tunduk pada hukum-hukum fisik.

Pemahaman terhadap berbagai aliran filsafat ini sangat penting karena memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana manusia membangun pandangannya terhadap dunia, dirinya sendiri, dan hubungan di antara keduanya. Dalam konteks kehidupan modern, di mana perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan spiritualitas sering kali beririsan, pembahasan tentang realitas menjadi semakin relevan.

1.2.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Menguraikan secara sistematis dan mendalam tentang berbagai aliran filsafat yang membahas realitas.

2)                  Membantu pembaca memahami kerangka berpikir masing-masing aliran, sehingga dapat mengapresiasi perbedaan pandangan dalam filsafat.

3)                  Memberikan wawasan tentang relevansi pemikiran filsafat terhadap realitas dalam konteks ilmu pengetahuan, agama, dan kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, artikel ini diharapkan menjadi panduan awal yang komprehensif untuk memahami isu-isu kompleks dalam filsafat, baik bagi mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat umum yang ingin mendalami filsafat. Pemahaman ini juga diharapkan dapat membangun cara berpikir yang kritis, analitis, dan reflektif.


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), hlm. 1-2.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), hlm. 11-15.


2.           Definisi Realitas dalam Filsafat

2.1.       Pengertian Realitas dalam Filsafat

Dalam filsafat, istilah "realitas" mengacu pada keberadaan atau esensi sesuatu yang benar-benar ada, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang bersifat abstrak dan metafisik. Realitas dipahami sebagai inti dari segala sesuatu yang ada, baik dalam dunia fisik (empiris) maupun dalam dunia ide (konseptual).¹ Perbedaan dalam pemahaman tentang realitas telah menjadi landasan bagi berbagai aliran filsafat yang menawarkan kerangka berpikir berbeda tentang apa yang dianggap nyata.

Para filsuf sering kali membedakan antara realitas objektif dan realitas subjektif:

1)                  Realitas Objektif:

Merujuk pada keberadaan yang independen dari pikiran atau persepsi manusia. Realitas ini dianggap bersifat universal dan tidak tergantung pada interpretasi individu.² Misalnya, gunung atau hukum gravitasi dianggap sebagai bagian dari realitas objektif karena keberadaannya tidak berubah meskipun manusia tidak mengamatinya.

2)                  Realitas Subjektif:

Merujuk pada keberadaan yang bergantung pada pikiran, persepsi, atau pengalaman individu.³ Dalam hal ini, apa yang nyata bagi satu orang mungkin tidak nyata bagi orang lain, seperti pengalaman estetis atau emosi.

2.2.       Distingsi Realitas Fisik dan Metafisik

Dalam kajian filsafat, realitas sering kali dibagi menjadi dua dimensi utama:

1)                  Realitas Fisik:

Segala sesuatu yang bersifat materiil dan dapat dijelaskan melalui hukum-hukum ilmiah. Para filsuf materialis, seperti Demokritos dan Karl Marx, menekankan bahwa realitas hanyalah materi yang tunduk pada proses fisik.⁴

2)                  Realitas Metafisik:

Meliputi entitas atau konsep yang tidak kasatmata, seperti ide, moralitas, atau Tuhan. Realitas ini sering dibahas dalam filsafat idealisme dan filsafat agama.⁵ Misalnya, Plato dalam teori Ideas (dunia ide) menyatakan bahwa realitas sejati terletak pada dunia non-fisik yang lebih sempurna.⁶

2.3.       Pendekatan Timur dan Barat terhadap Realitas

Persepsi tentang realitas tidak hanya dibahas dalam tradisi filsafat Barat tetapi juga dalam filsafat Timur dan Islam:

1)                  Filsafat Barat:

Menekankan analisis logis dan empiris. Filsuf seperti Aristoteles dan Immanuel Kant menekankan pentingnya membedakan antara fenomena (apa yang tampak) dan noumena (realitas sejati yang tersembunyi).⁷

2)                  Filsafat Timur:

Misalnya, dalam ajaran Hindu dan Buddhisme, realitas duniawi dianggap sebagai ilusi (maya), sementara realitas sejati adalah kesatuan universal yang transenden.⁸

3)                  Filsafat Islam:

Dalam filsafat Islam, konsep realitas sering dikaitkan dengan Allah sebagai Al-Haq (Yang Maha Nyata). Pemikir seperti Al-Farabi dan Ibn Sina mendiskusikan realitas dalam kerangka hubungan antara wujud wajib (Allah) dan wujud mungkin (makhluk).⁹

2.4.       Perspektif Modern tentang Realitas

Di era modern, pemahaman tentang realitas juga dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Realitas tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang statis tetapi dinamis, dipengaruhi oleh perspektif multidisiplin.⁸ Misalnya:

·                     Dalam fisika kuantum, partikel subatomik menunjukkan bahwa realitas bisa berubah tergantung pada pengamat (observer effect).¹⁰

·                     Dalam psikologi, realitas dipahami melalui pengalaman subjektif individu, sebagaimana dibahas oleh eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre.


Kesimpulan

Realitas adalah konsep sentral dalam filsafat yang telah melahirkan beragam interpretasi berdasarkan aliran dan tradisi filsafat tertentu. Memahami definisi realitas memerlukan pendekatan multidimensional, mulai dari realitas fisik, metafisik, objektif, hingga subjektif, serta menempatkannya dalam konteks tradisi Barat, Timur, dan Islam. Berbagai pandangan ini menunjukkan bahwa realitas bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan dipahami melalui berbagai lensa filosofis.


Catatan Kaki

[1]                John Cottingham, Philosophy and the Good Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 23.

[2]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), hlm. 8.

[3]                George Berkeley, Principles of Human Knowledge (London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.

[4]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1 (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.

[5]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), hlm. 214.

[6]                William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 35-40.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1781), hlm. 59.

[8]                Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), hlm. 64-67.

[9]                Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.

[10]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), hlm. 39.


3.           Klasifikasi Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Realitas

Pandangan terhadap realitas dalam filsafat telah melahirkan berbagai aliran yang masing-masing memberikan interpretasi berbeda mengenai apa yang nyata. Setiap aliran memiliki prinsip utama, tokoh sentral, dan kontribusi yang membedakan satu sama lain. Berikut adalah klasifikasi aliran-aliran filsafat berdasarkan pandangan terhadap realitas:

3.1.       Realisme

Definisi:

Realisme memandang bahwa realitas bersifat objektif, independen dari pikiran atau persepsi manusia. Menurut para realis, dunia nyata tetap ada meskipun manusia tidak mengamatinya.¹

Varian:

1)                  Realisme Klasik:

Berakar dari pemikiran Aristoteles, yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari substansi konkret yang dapat diamati.²

2)                  Realisme Ilmiah:

Menegaskan bahwa entitas yang dijelaskan oleh teori ilmiah (seperti atom dan quark) benar-benar ada, meskipun tidak dapat diamati secara langsung.³

3)                  Realisme Kritis:

Dikembangkan oleh Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa ada realitas objektif, tetapi pemahaman manusia tentangnya selalu dipengaruhi oleh persepsi inderawi.⁴

Tokoh-Tokoh:

·                     Aristoteles (384–322 SM): Mengajukan teori substansi yang menekankan realitas konkret.

·                     Thomas Aquinas (1225–1274): Menyatukan realisme Aristoteles dengan teologi Kristen.

·                     Immanuel Kant (1724–1804): Memadukan realitas objektif dengan persepsi subjektif.⁵

3.2.       Idealisme

Definisi:

Idealisme berpendapat bahwa realitas pada dasarnya bersifat mental atau spiritual. Dunia material hanyalah representasi dari ide atau pikiran.⁶

Varian:

1)                  Idealisme Subjektif:

Pandangan George Berkeley bahwa realitas adalah hasil persepsi individu; "esse est percipi" (ada berarti dipersepsi).⁷

2)                  Idealisme Objektif:

Hegel menyatakan bahwa realitas adalah perkembangan ide universal yang mencakup segala sesuatu.⁸

3)                  Idealisme Transendental:

Kant menyatakan bahwa pengalaman manusia tentang dunia ditentukan oleh struktur pikiran manusia.⁹

Tokoh-Tokoh:

·                     Plato (427–347 SM): Mengembangkan teori Ideas, yang menyatakan bahwa dunia ide adalah realitas sejati.

·                     George Berkeley (1685–1753): Menekankan peran persepsi dalam membentuk realitas.

·                     G.W.F. Hegel (1770–1831): Mengembangkan konsep perkembangan dialektis dalam realitas.¹⁰

3.3.       Materialisme

Definisi:

Materialisme berpendapat bahwa realitas adalah materi, dan segala sesuatu, termasuk pikiran dan kesadaran, dapat dijelaskan melalui proses fisik.¹¹

Varian:

1)                  Materialisme Klasik:

Dipelopori oleh Demokritos, yang menyatakan bahwa segala sesuatu terdiri dari atom.

2)                  Materialisme Dialektik:

Diperkenalkan oleh Karl Marx, yang menekankan bahwa realitas materi berkembang melalui kontradiksi sosial.¹²

3)                  Materialisme Reduksionis:

Menyatakan bahwa fenomena mental dapat direduksi menjadi proses biologis.¹³

Tokoh-Tokoh:

·                     Demokritos (460–370 SM): Pelopor teori atom.

·                     Karl Marx (1818–1883): Menggunakan materialisme untuk menjelaskan perubahan sosial.¹⁴

3.4.       Dualisme

Definisi:

Dualisme memandang bahwa realitas terdiri dari dua substansi yang berbeda: materi (fisik) dan roh atau pikiran (non-fisik).¹⁵

Tokoh-Tokoh:

·                     René Descartes (1596–1650): Mengembangkan dualisme Cartesian, yang membedakan tubuh (materi) dan pikiran (kesadaran).¹⁶

3.5.       Eksistensialisme

Definisi:

Eksistensialisme memandang realitas sebagai keberadaan individu yang sadar. Realitas terkait dengan pengalaman subjektif manusia, terutama dalam menghadapi kebebasan, kecemasan, dan makna hidup.¹⁷

Tokoh-Tokoh:

·                     Søren Kierkegaard (1813–1855): Menekankan pentingnya keputusan personal dalam menentukan makna hidup.

·                     Jean-Paul Sartre (1905–1980): Menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi; manusia bertanggung jawab atas pembentukan realitasnya.¹⁸

3.6.       Positivisme

Definisi:

Positivisme menyatakan bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui fakta empiris dan metode ilmiah.¹⁹

Tokoh-Tokoh:

·                     Auguste Comte (1798–1857): Bapak positivisme, yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dalam memahami realitas.

·                     Ludwig Wittgenstein (1889–1951): Menekankan bahwa bahasa memainkan peran penting dalam membatasi pemahaman tentang realitas.²⁰

3.7.       Nihilisme

Definisi:

Nihilisme memandang bahwa realitas tidak memiliki makna intrinsik atau nilai objektif.²¹

Tokoh-Tokoh:

·                     Friedrich Nietzsche (1844–1900): Menyatakan bahwa ketiadaan nilai objektif memaksa manusia untuk menciptakan makna sendiri.²²

3.8.       Pragmatism

Definisi:

Pragmatisme menyatakan bahwa realitas adalah apa yang praktis atau bermanfaat bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari.²³

Tokoh-Tokoh:

·                     Charles Sanders Peirce (1839–1914): Mengembangkan teori pragmatisme untuk menilai realitas berdasarkan konsekuensinya.

·                     William James (1842–1910): Menekankan pentingnya pengalaman subjektif dalam memahami realitas.


Catatan Kaki

[1]                John Cottingham, Philosophy and the Good Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 23.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1924), hlm. 103-110.

[3]                Hilary Putnam, Realism and Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 5-10.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1781), hlm. 98.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, Vol. 1 (New York: Benziger Brothers, 1947), hlm. 10.

[6]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), hlm. 214.

[7]                George Berkeley, Principles of Human Knowledge (London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.

[8]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Clarendon Press, 1977), hlm. 45.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm. 59.

[10]             Ibid.

[11]             Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1 (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.

[12]             Friedrich Engels, Dialectics of Nature (London: Progress Publishers, 1940), hlm. 30-35.

[13]             Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Co., 1991), hlm. 45.

[14]             Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), hlm. 1.

[15]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), hlm. 16.

[16]             Ibid., hlm. 17.

[17]             William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 120-122.

[18]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New York: Routledge, 1943), hlm. 23-24.

[19]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive (Paris: Hermann, 1830), hlm. 1-5.

[20]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (London: Routledge, 1922), hlm. 56.

[21]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra (New York: Penguin Books, 2003), hlm. 32-34.

[22]             Ibid., hlm. 40.

[23]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm. 22-25.


4.           Perspektif Filsafat Islam terhadap Realitas

Filsafat Islam menawarkan pandangan unik tentang realitas yang berakar pada prinsip Tauhid (keesaan Allah). Dalam filsafat Islam, realitas tidak hanya terbatas pada dimensi material, tetapi juga mencakup aspek metafisik, spiritual, dan teologis. Perspektif ini dipengaruhi oleh integrasi antara wahyu ilahi, tradisi filsafat Yunani, dan pemikiran logis para ulama Islam.

4.1.       Konsep Realitas dalam Islam: Tauhid sebagai Landasan

Tauhid menjadi dasar pandangan Islam tentang realitas. Dalam perspektif Islam, Allah adalah Al-Haq (Yang Maha Nyata), sumber dari segala realitas.¹ Segala sesuatu selain Allah dipandang sebagai wujud yang "mungkin" (mumkin al-wujud), keberadaannya tergantung pada wujud Allah yang "wajib" (wajib al-wujud).²

Konsep ini mengindikasikan hierarki dalam realitas:

1)                  Wujud Wajib: Hanya Allah yang memiliki keberadaan mutlak, tidak bergantung pada apa pun.

2)                  Wujud Mumkin: Segala sesuatu selain Allah bersifat kontingen, bergantung pada kehendak-Nya.³

Al-Qur'an menegaskan pentingnya memahami realitas ini melalui tanda-tanda Allah di alam semesta (ayatullah), seperti disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 20-21: "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?"

4.2.       Pandangan Para Filsuf Islam tentang Realitas

Filsuf-filsuf Islam memberikan kontribusi besar dalam memahami realitas dengan memadukan logika dan wahyu. Berikut adalah beberapa tokoh penting:

1)                  Al-Farabi (872–950 M)

o     Al-Farabi memandang realitas sebagai tatanan hierarkis yang berasal dari Allah melalui proses emanasi.⁴

o     Menurutnya, intelek manusia dapat mencapai realitas tertinggi (akal aktif), yaitu kesatuan dengan prinsip ilahi.⁵

2)                  Ibn Sina (Avicenna, 980–1037 M)

o     Ibn Sina membedakan antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud), yang menjadi dasar pemahaman realitas.⁶

o     Ia berpendapat bahwa hanya Allah yang memiliki eksistensi inheren, sementara esensi makhluk bergantung pada eksistensi yang diberikan oleh Allah.⁷

o     Bukunya, Al-Isharat wa al-Tanbihat, menegaskan konsep hubungan antara Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.⁸

3)                  Al-Ghazali (1058–1111 M)

o     Al-Ghazali mengkritik filsafat materialis dan idealis Yunani, menyatakan bahwa realitas sejati hanya dapat dipahami melalui wahyu dan pengalaman spiritual.⁹

o     Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, ia menolak konsep emanasi dan menekankan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu.¹⁰

4)                  Ibn Arabi (1165–1240 M)

o     Ibn Arabi mengembangkan konsep Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud), yang menyatakan bahwa segala realitas adalah manifestasi dari Allah.¹¹

o     Ia melihat alam semesta sebagai refleksi dari nama-nama dan sifat-sifat Allah, sehingga memahami realitas adalah memahami Allah.¹²

4.3.       Realitas dalam Perspektif Sufi

Dalam tasawuf, realitas dipahami melalui perjalanan spiritual menuju haqiqah (kebenaran sejati). Sufi membagi realitas ke dalam beberapa tingkat:

1)                  Syariat: Hukum lahiriah yang mengatur hubungan manusia dengan dunia.

2)                  Tariqat: Jalan spiritual untuk mendekati Allah.

3)                  Haqiqah: Puncak pemahaman realitas, di mana seorang sufi menyadari kesatuan wujud dengan Allah.¹³

Tokoh sufi seperti Rumi dan Al-Hallaj memandang bahwa memahami realitas memerlukan cinta dan penyatuan diri dengan Allah.

4.4.       Perbedaan dengan Tradisi Filsafat Barat

Filsafat Islam memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan filsafat Barat:

1)                  Pendekatan Integral:

Filsafat Islam mengintegrasikan wahyu dan logika, sementara filsafat Barat lebih sering memisahkan antara keduanya.¹⁴

2)                  Tujuan Filosofis:

Dalam Islam, filsafat bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar mencari pengetahuan teoretis.¹⁵

3)                  Hierarki Realitas:

Filsafat Islam memandang bahwa realitas material adalah bagian kecil dari realitas metafisik yang lebih besar.¹⁶

4.5.       Relevansi Filsafat Islam terhadap Kehidupan Modern

Pemikiran filsafat Islam tentang realitas memiliki relevansi penting dalam menjawab tantangan kehidupan modern, seperti:

1)                  Krisis Spiritualitas:

Pemahaman tentang realitas metafisik dapat memberikan kedamaian dalam menghadapi materialisme modern.

2)                  Etika Global:

Prinsip Tauhid menekankan kesatuan dan keharmonisan, yang relevan untuk mengatasi konflik budaya dan agama.

3)                  Dialog Sains dan Agama:

Filsafat Islam menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan wahyu dapat saling melengkapi dalam memahami realitas.¹⁷


Kesimpulan

Filsafat Islam memberikan pandangan yang holistik tentang realitas, mengintegrasikan aspek material, spiritual, dan metafisik. Dengan menjadikan Tauhid sebagai landasan utama, filsafat Islam menawarkan cara pandang yang relevan untuk memahami dunia, manusia, dan hubungan keduanya dengan Allah.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. Al-Hajj: 62, "Karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Nyata (Al-Haq)."

[2]                Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.

[3]                Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat (Tehran: Dar Nashr, 1958), hlm. 5-10.

[4]                Al-Farabi, The Philosophy of Plato and Aristotle, trans. Muhsin Mahdi (New York: Cornell University Press, 1962), hlm. 68.

[5]                Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), hlm. 152-156.

[6]                Ibn Sina, Kitab al-Najat (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1938), hlm. 23.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Marmura (Utah: Brigham Young University Press, 2000), hlm. 11.

[8]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. N.J. Dawood (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1997), hlm. 51.

[9]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Osman Yahia (Beirut: Dar Sadir, 1968), hlm. 24-30.

[10]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), hlm. 18-22.

[11]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), hlm. 88.

[12]             Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 1976), hlm. 45-46.


5.           Perbandingan Antar Aliran Filsafat

Aliran-aliran filsafat menawarkan pendekatan yang beragam dalam memahami realitas, masing-masing dengan kerangka konseptual dan landasan filosofis yang khas. Perbandingan antar aliran ini mengungkapkan perbedaan fundamental dalam cara pandang terhadap apa yang nyata, hubungan antara subjek dan objek, serta implikasinya terhadap kehidupan manusia.

5.1.       Realisme vs. Idealisme

Realisme dan Idealisme memiliki perbedaan utama dalam cara mereka memandang hubungan antara pikiran dan dunia luar:

1)                  Realisme berpendapat bahwa realitas bersifat objektif dan independen dari pikiran manusia. Misalnya, pohon yang ada di hutan tetap eksis meskipun tidak ada yang mengamatinya.¹ Realisme menekankan peran pengamatan empiris dalam memahami dunia nyata.²

2)                  Idealisme, sebaliknya, menyatakan bahwa realitas pada dasarnya bersifat mental atau spiritual. Menurut George Berkeley, "realitas adalah persepsi" (esse est percipi), sehingga keberadaan pohon tersebut tergantung pada persepsi subjek.³

Kesamaan:

·                     Keduanya membahas eksistensi realitas, baik objektif maupun subjektif.

·                     Sama-sama mencari cara untuk menjelaskan hubungan antara manusia dan dunia.

Perbedaan:

·                     Realisme menekankan dunia luar yang independen, sedangkan Idealisme melihat dunia sebagai konstruksi mental.⁴

·                     Realisme sering digunakan sebagai dasar ilmu pengetahuan, sedangkan Idealisme cenderung berkaitan dengan filsafat spiritual atau metafisik.⁵

5.2.       Materialisme vs. Dualisme

Materialisme dan Dualisme berbeda dalam cara mereka memahami komposisi realitas:

1)                  Materialisme menyatakan bahwa semua realitas adalah materi. Segala fenomena, termasuk kesadaran, dijelaskan melalui hukum-hukum fisik.⁶

2)                  Dualisme, seperti yang dikemukakan René Descartes, menyatakan bahwa realitas terdiri dari dua substansi yang berbeda: pikiran (non-fisik) dan tubuh (fisik).⁷

Kesamaan:

·                     Keduanya berusaha menjelaskan hubungan antara manusia dan alam semesta.

·                     Sama-sama mengakui adanya keteraturan di alam semesta.

Perbedaan:

·                     Materialisme mengabaikan aspek non-fisik dari realitas, sedangkan Dualisme mengakui eksistensi pikiran sebagai substansi terpisah.⁸

·                     Materialisme digunakan dalam pendekatan sains modern, sedangkan Dualisme lebih relevan dalam filsafat dan psikologi.⁹

5.3.       Eksistensialisme vs. Nihilisme

Eksistensialisme dan Nihilisme membahas makna realitas dari sudut pandang manusia:

1)                  Eksistensialisme menekankan kebebasan individu untuk menciptakan makna hidup dalam dunia yang pada dasarnya absurd.¹⁰

2)                  Nihilisme menyatakan bahwa realitas tidak memiliki makna intrinsik atau tujuan.¹¹ Friedrich Nietzsche melihat Nihilisme sebagai krisis yang timbul akibat hilangnya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat.¹²

Kesamaan:

·                     Keduanya sepakat bahwa tidak ada makna atau nilai objektif yang melekat dalam realitas.

·                     Sama-sama berfokus pada peran manusia dalam menghadapi absurditas.

Perbedaan:

·                     Eksistensialisme bersifat konstruktif, mendorong individu untuk menciptakan makna hidup. Nihilisme bersifat destruktif, menolak semua makna dan nilai.¹³

5.4.       Positivisme vs. Pragmatism

Positivisme dan Pragmatism menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami realitas:

1)                  Positivisme menyatakan bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui fakta empiris dan metode ilmiah.¹⁴

2)                  Pragmatism menilai realitas berdasarkan kegunaannya atau konsekuensi praktisnya.¹⁵ Misalnya, suatu ide dianggap benar jika berhasil diterapkan dalam kehidupan nyata.

Kesamaan:

·                     Keduanya berbasis empiris dan menolak spekulasi metafisik yang tidak terukur.

·                     Sama-sama relevan dalam konteks modern yang berorientasi pada hasil.

Perbedaan:

·                     Positivisme lebih dogmatis dalam menetapkan fakta sebagai satu-satunya realitas. Pragmatism lebih fleksibel, mengakui peran pengalaman subjektif.¹⁶

5.5.       Filsafat Islam vs. Filsafat Barat

Filsafat Islam dan filsafat Barat memiliki beberapa perbedaan penting dalam pendekatan mereka terhadap realitas:

1)                  Filsafat Islam:

o     Berbasis pada Tauhid, menekankan kesatuan antara Allah sebagai Wujud Wajib dan makhluk sebagai Wujud Mumkin.¹⁷

o     Memadukan wahyu dengan akal.¹⁸

2)                  Filsafat Barat:

o     Lebih terfokus pada eksplorasi empiris dan rasional tanpa selalu melibatkan wahyu.¹⁹

o     Lebih cenderung memisahkan agama dari filsafat.²⁰

Kesamaan:

·                     Keduanya membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang realitas, eksistensi, dan hubungan manusia dengan alam semesta.

·                     Sama-sama mengembangkan logika sebagai alat utama untuk memahami realitas.

Perbedaan:

·                     Filsafat Islam memiliki tujuan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan filsafat Barat lebih sering berorientasi pada eksplorasi pengetahuan.²¹

5.6.       Implikasi Perbedaan Aliran

Perbandingan antar aliran filsafat menunjukkan bagaimana pandangan terhadap realitas dapat memengaruhi aspek lain dalam kehidupan:

·                     Sains:

Realisme dan Materialisme menjadi landasan bagi perkembangan metode ilmiah.

·                     Etika:

Idealisme dan Eksistensialisme memberikan kerangka bagi pencarian makna hidup dan nilai-nilai moral.

·                     Spiritualitas:

Filsafat Islam dan Dualisme menawarkan pendekatan untuk memahami dimensi spiritual realitas.


Kesimpulan

Setiap aliran filsafat memiliki kekuatan dan kelemahan dalam menjelaskan realitas. Pemahaman terhadap perbedaan ini memberikan wawasan yang lebih luas tentang cara manusia mendekati pertanyaan besar tentang keberadaan, makna, dan tujuan hidup.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1924), hlm. 103-110.

[2]                John Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), hlm. 15.

[3]                George Berkeley, Principles of Human Knowledge (London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.

[4]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 1945), hlm. 73.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1781), hlm. 85.

[6]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1 (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.

[7]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), hlm. 16.

[8]                Ibid., hlm. 17.

[9]                Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Co., 1991), hlm. 45.

[10]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1941), hlm. 30.

[11]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra (New York: Penguin Books, 2003), hlm. 32-34.

[12]             William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 35-40.

[13]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New York: Routledge, 1943), hlm. 23-24.

[14]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive (Paris: Hermann, 1830), hlm. 1-5.

[15]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm. 22-25.

[16]             Charles Sanders Peirce, The Fixation of Belief (Cambridge: Harvard University Press, 1877), hlm. 12.

[17]             Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.

[18]             Ibn Sina, Kitab al-Najat (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1938), hlm. 23.

[19]             Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), hlm. 12.

[20]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), hlm. 18.


6.           Relevansi Aliran Filsafat dengan Kehidupan Modern

Aliran-aliran filsafat yang membahas realitas memiliki relevansi yang signifikan dengan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kemajuan teknologi, dan kompleksitas sosial, berbagai aliran filsafat menawarkan wawasan yang dapat diterapkan untuk memahami dan menghadapi tantangan kontemporer. Berikut adalah analisis tentang bagaimana masing-masing aliran filsafat tetap relevan dalam konteks modern:

6.1.       Realisme: Fondasi Ilmu Pengetahuan

Realisme memainkan peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Realisme ilmiah, yang berpendapat bahwa entitas seperti atom dan gelombang elektromagnetik benar-benar ada meskipun tidak dapat diamati secara langsung, menjadi dasar bagi penelitian ilmiah.¹

Contoh Relevansi:

o        Kemajuan dalam fisika kuantum dan astrofisika didasarkan pada asumsi realis bahwa hukum-hukum alam bersifat objektif dan universal.²

o        Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan robotika dirancang berdasarkan pemahaman realis terhadap hubungan sebab-akibat di dunia material.³

Realisme juga membantu manusia menjaga keseimbangan antara fakta empiris dan pemahaman pragmatis, terutama dalam pengambilan keputusan berbasis data.

6.2.       Idealisme: Peran Persepsi dan Kesadaran

Idealisme tetap relevan dalam memahami peran persepsi manusia dalam membentuk realitas. Dalam dunia modern, konsep ini digunakan untuk menjelaskan fenomena seperti:

·                     Virtual Reality (VR):

Dunia virtual yang diciptakan oleh teknologi menunjukkan bahwa realitas dapat dipengaruhi oleh persepsi, sebagaimana dinyatakan dalam idealisme subjektif.⁴

·                     Kesadaran Kolektif:

Idealisme juga mendorong diskusi tentang bagaimana ide-ide dan nilai-nilai kolektif memengaruhi perubahan sosial.⁵ Misalnya, gerakan sosial seperti feminisme dan lingkungan hidup sering berakar pada perubahan kesadaran masyarakat.

6.3.       Materialisme: Kritik terhadap Materialisme Modern

Materialisme tetap menjadi pijakan bagi banyak bidang, seperti biologi dan ekonomi. Namun, dalam konteks modern, materialisme menghadapi kritik sebagai ideologi yang mendasari konsumerisme dan degradasi lingkungan.⁶

·                     Implikasi Positif:

o     Materialisme dialektis, yang dikembangkan oleh Karl Marx, memberikan analisis kritis terhadap struktur sosial modern dan ketimpangan ekonomi.⁷

o     Dalam bioteknologi, materialisme membantu memahami mekanisme biologis tubuh manusia, memungkinkan kemajuan dalam kedokteran dan farmasi.⁸

·                     Kritik terhadap Materialisme:

o     Konsumerisme global sering kali dianggap sebagai konsekuensi dari reduksi materialisme, yang mengabaikan aspek spiritual dan etis manusia.⁹

6.4.       Dualisme: Memahami Pikiran dan Teknologi

Dualisme Cartesian tetap relevan dalam diskusi modern tentang hubungan antara pikiran dan tubuh, terutama dalam bidang neurologi, kecerdasan buatan, dan filsafat pikiran.

·                     Neurosains:

Dualisme membantu menjelaskan bagaimana otak (fisik) memengaruhi pikiran (mental), khususnya dalam penelitian tentang kesadaran dan penyakit mental.¹⁰

·                     Kecerdasan Buatan (AI):

Pemisahan antara pikiran manusia dan algoritma komputer dapat dipahami melalui kerangka dualisme.¹¹

6.5.       Eksistensialisme: Pencarian Makna Hidup

Eksistensialisme tetap relevan dalam kehidupan modern karena fokusnya pada kebebasan individu dan penciptaan makna di tengah absurditas dunia.¹²

·                     Kesehatan Mental:

Eksistensialisme memberikan panduan untuk menghadapi kecemasan eksistensial dan rasa kehilangan makna, yang sering dialami dalam masyarakat modern.¹³

·                     Pendidikan:

Eksistensialisme mendorong pendekatan yang memprioritaskan kebebasan berpikir dan refleksi kritis di dunia pendidikan.¹⁴

·                     Gerakan Sosial:

Ide eksistensialisme tentang kebebasan mendorong gerakan hak asasi manusia dan kesetaraan gender.¹⁵

6.6.       Nihilisme: Tantangan dan Peluang

Nihilisme, meskipun sering dikritik sebagai destruktif, menawarkan wawasan penting tentang kondisi modern yang ditandai oleh krisis nilai dan relativisme moral.¹⁶

·                     Krisis Moral:

Kehilangan nilai-nilai absolut, seperti yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche, relevan dalam era postmodernisme.¹⁷

·                     Kesempatan untuk Menciptakan Nilai Baru:

Nihilisme juga mendorong manusia untuk membangun sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan tantangan modern.¹⁸

6.7.       Pragmatism: Pendekatan Praktis terhadap Masalah Modern

Pragmatisme tetap relevan dalam dunia yang semakin kompleks dan dinamis. Pendekatan pragmatis, yang menilai ide berdasarkan manfaat praktisnya, digunakan di berbagai bidang:

·                     Kebijakan Publik:

Pragmatism membantu pemerintah merancang kebijakan berbasis hasil nyata, bukan teori abstrak.¹⁹

·                     Bisnis:

Perusahaan menggunakan pendekatan pragmatis untuk menentukan strategi yang paling efektif dan menguntungkan.²⁰

6.8.       Filsafat Islam: Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas

Filsafat Islam memberikan wawasan holistik tentang realitas yang mencakup aspek spiritual dan material. Pendekatan ini relevan dalam menghadapi krisis spiritual dan etika di dunia modern.

·                     Dialog Sains dan Agama:

Pemikiran Islam seperti konsep Wujud Wajib dan Wujud Mumkin dapat menyatukan pandangan ilmiah dan spiritual.²¹

·                     Etika Lingkungan:

Prinsip Tauhid dalam filsafat Islam menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, yang relevan dalam upaya pelestarian lingkungan.²²


Kesimpulan

Setiap aliran filsafat menawarkan wawasan yang relevan dengan kehidupan modern, baik dalam memahami perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, maupun dalam mencari makna hidup di tengah kompleksitas sosial. Dengan mempelajari berbagai aliran filsafat, manusia dapat mengembangkan cara pandang yang kritis, reflektif, dan solutif terhadap tantangan dunia modern.


Catatan Kaki

[1]                Hilary Putnam, Realism and Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 5-10.

[2]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), hlm. 23.

[3]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm. 12.

[4]                Michael Heim, The Metaphysics of Virtual Reality (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.

[5]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: Polity Press, 1989), hlm. 67.

[6]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.

[7]                Friedrich Engels, Dialectics of Nature (London: Progress Publishers, 1940), hlm. 30-35.

[8]                Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University Press, 1976), hlm. 56.

[9]                Naomi Klein, No Logo: Taking Aim at the Brand Bullies (New York: Picador, 1999), hlm. 23.

[10]             Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (San Diego: Harcourt, 1999), hlm. 47.

[11]             Ray Kurzweil, The Age of Spiritual Machines (New York: Viking Penguin, 1999), hlm. 72.

[12]             William Barrett, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 35-40.

[13]             Viktor Frankl, Man's Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1946), hlm. 75-80.

[14]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), hlm. 54-58.

[15]             Simone de Beauvoir, The Second Sex (New York: Vintage, 1949), hlm. 20-25.

[16]             Friedrich Nietzsche, The Will to Power (New York: Random House, 1967), hlm. 56-58.

[17]             Ibid., hlm. 60.

[18]             Ibid., hlm. 63.

[19]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm. 22-25.

[20]             Charles Sanders Peirce, The Fixation of Belief (Cambridge: Harvard University Press, 1877), hlm. 12.

[21]             Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), hlm. 45.


7.           Kesimpulan

Pembahasan tentang aliran-aliran filsafat berdasarkan pandangan terhadap realitas memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana manusia berupaya memahami dunia, eksistensi, dan dirinya sendiri. Setiap aliran filsafat menawarkan pendekatan yang unik terhadap realitas, yang tidak hanya berkontribusi terhadap perkembangan pemikiran manusia, tetapi juga memiliki implikasi signifikan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Kesimpulan dari artikel ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa poin utama:

7.1.       Keragaman Pandangan tentang Realitas

Realitas adalah konsep sentral dalam filsafat yang dipahami secara beragam:

1)                  Realisme menekankan keberadaan objektif yang independen dari persepsi manusia, memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan modern.¹

2)                  Idealisme menyoroti peran pikiran dan kesadaran dalam membentuk realitas, relevan dalam memahami persepsi subjektif dan fenomena kontemporer seperti realitas virtual.²

3)                  Materialisme menegaskan bahwa realitas pada dasarnya adalah materi, menjadi landasan bagi sains tetapi juga menimbulkan kritik terhadap konsumerisme dan degradasi lingkungan.³

4)                  Dualisme membagi realitas menjadi pikiran dan materi, yang relevan dalam diskusi modern tentang kesadaran dan kecerdasan buatan.⁴

5)                  Eksistensialisme dan Nihilisme menyelami dimensi subjektif realitas, menawarkan perspektif tentang makna hidup dan krisis moral di dunia modern.⁵

6)                  Pragmatism berfokus pada manfaat praktis dari ide-ide, relevan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik.⁶

7)                  Filsafat Islam memadukan pendekatan metafisik dan spiritual, mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama dalam memahami realitas secara holistik.⁷

7.2.       Relevansi Aliran Filsafat terhadap Kehidupan Modern

Setiap aliran filsafat memberikan kontribusi nyata dalam menjawab tantangan dunia modern:

·                     Sains dan Teknologi:

Realisme dan materialisme memberikan landasan bagi kemajuan teknologi, sementara dualisme membantu memahami hubungan antara pikiran dan tubuh dalam kecerdasan buatan.⁸

·                     Krisis Nilai:

Eksistensialisme dan nihilisme menawarkan cara untuk menghadapi kehilangan nilai tradisional dan mencari makna hidup di dunia yang serba cepat.⁹

·                     Spiritualitas dan Etika:

Filsafat Islam dan idealisme menggarisbawahi pentingnya integrasi antara aspek material dan spiritual untuk mengatasi tantangan seperti krisis lingkungan dan degradasi moral.¹⁰

7.3.       Pentingnya Pemahaman Interdisipliner

Perbedaan pandangan antara aliran-aliran filsafat menunjukkan bahwa realitas tidak bisa dipahami secara parsial. Pendekatan yang interdisipliner, yang menggabungkan aspek empiris, rasional, dan spiritual, diperlukan untuk memahami dunia secara utuh:

·                     Realisme dan positivisme menekankan pentingnya fakta empiris.

·                     Idealisme dan eksistensialisme mengajak manusia untuk merenungkan peran kesadaran dan pengalaman subjektif.

·                     Filsafat Islam menawarkan pendekatan integral yang memadukan logika, wahyu, dan pengalaman spiritual.¹¹

7.4.       Relevansi Filosofis terhadap Pendidikan dan Kebijakan

Pemahaman tentang aliran filsafat membantu:

1)                  Pendidikan:

Mendorong pengembangan berpikir kritis, reflektif, dan kreatif dalam menghadapi tantangan global.¹²

2)                  Kebijakan Publik:

Memberikan landasan filosofis bagi pengambilan keputusan berbasis nilai, seperti pendekatan pragmatis dalam menyelesaikan masalah sosial.¹³


Kesimpulan Akhir

Filsafat, dengan keragaman alirannya, adalah cerminan dari upaya manusia untuk memahami dunia dan dirinya sendiri. Dengan mempelajari aliran-aliran filsafat, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih luas tentang cara berpikir yang kritis, fleksibel, dan relevan. Lebih dari sekadar upaya intelektual, filsafat mengajarkan manusia untuk hidup dengan kesadaran akan kompleksitas realitas dan tanggung jawab terhadap dunia yang terus berubah.


Catatan Kaki

[1]                Hilary Putnam, Realism and Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 5-10.

[2]                George Berkeley, Principles of Human Knowledge (London: Hackett Publishing, 1982), hlm. 25.

[3]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy (Moscow: Progress Publishers, 1867), hlm. 11-15.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), hlm. 16-17.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New York: Routledge, 1943), hlm. 23-24.

[6]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), hlm. 22-25.

[7]                Al-Farabi, Ara' Ahl al-Madina al-Fadila (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1968), hlm. 102.

[8]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), hlm. 23.

[9]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power (New York: Random House, 1967), hlm. 56-58.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), hlm. 45.

[11]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 65-67.

[12]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), hlm. 54-58.

[13]             Charles Sanders Peirce, The Fixation of Belief (Cambridge: Harvard University Press, 1877), hlm. 12.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Berkeley, G. (1982). Principles of Human Knowledge. London: Hackett Publishing.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford: Oxford University Press.

Capra, F. (1975). The Tao of Physics. Boston: Shambhala.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press.

Comte, A. (1830). Cours de Philosophie Positive. Paris: Hermann.

Damasio, A. (1999). The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness. San Diego: Harcourt.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness Explained. Boston: Little, Brown and Co.

Descartes, R. (1993). Meditations on First Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Engels, F. (1940). Dialectics of Nature. London: Progress Publishers.

Farabi, A. (1962). The Philosophy of Plato and Aristotle (M. Mahdi, Trans.). New York: Cornell University Press.

Farabi, A. (1968). Ara' Ahl al-Madina al-Fadila. Cairo: Dar al-Ma'arif.

Frankl, V. E. (1946). Man's Search for Meaning. Boston: Beacon Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Ghazali, A. (2000). Tahafut al-Falasifah (M. Marmura, Ed.). Utah: Brigham Young University Press.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian Tradition. Leiden: Brill.

Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: Polity Press.

Hawking, S. (1988). A Brief History of Time. New York: Bantam Books.

Heim, M. (1993). The Metaphysics of Virtual Reality. Oxford: Oxford University Press.

James, W. (1907). Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co.

Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason. Cambridge: Cambridge University Press.

Klein, N. (1999). No Logo: Taking Aim at the Brand Bullies. New York: Picador.

Kurzweil, R. (1999). The Age of Spiritual Machines: When Computers Exceed Human Intelligence. New York: Viking Penguin.

Marx, K. (1867). Capital: A Critique of Political Economy (Vol. 1). Moscow: Progress Publishers.

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen & Unwin.

Nietzsche, F. (1967). The Will to Power. New York: Random House.

Nietzsche, F. (2003). Thus Spoke Zarathustra. New York: Penguin Books.

Peirce, C. S. (1877). The Fixation of Belief. Cambridge: Harvard University Press.

Plato. (1968). The Republic (A. Bloom, Trans.). New York: Basic Books.

Putnam, H. (1983). Realism and Reason. Cambridge: Cambridge University Press.

Rahman, F. (1975). The Philosophy of Mulla Sadra. Albany: SUNY Press.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Russell, B. (1945). History of Western Philosophy. London: Routledge.

Russell, B. (1912). The Problems of Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness. New York: Routledge.

Searle, J. R. (1995). The Construction of Social Reality. New York: Free Press.

Tarnas, R. (1991). The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View. New York: Ballantine Books.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus Logico-Philosophicus. London: Routledge.


Lampiran: Daftar Aliran-Aliran Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Realitas

1)                 Realisme (Realism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas bersifat objektif dan independen dari persepsi manusia.

Tokoh Utama: Aristoteles, Thomas Aquinas, Immanuel Kant.

2)                 Idealisme (Idealism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas pada dasarnya bersifat mental atau spiritual.

Tokoh Utama: Plato, George Berkeley, G.W.F. Hegel.

3)                 Materialisme (Materialism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas adalah materi dan segala sesuatu dapat dijelaskan melalui proses fisik.

Tokoh Utama: Demokritos, Karl Marx, Friedrich Engels.

4)                 Dualisme (Dualism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas terdiri atas dua substansi, yaitu materi dan pikiran/jiwa.

Tokoh Utama: René Descartes.

5)                 Eksistensialisme (Existentialism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas adalah keberadaan individu yang sadar dan bebas.

Tokoh Utama: Søren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger.

6)                 Nihilisme (Nihilism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas tidak memiliki makna intrinsik atau nilai objektif.

Tokoh Utama: Friedrich Nietzsche.

7)                 Pragmatisme (Pragmatism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas ditentukan oleh apa yang praktis atau berguna dalam kehidupan.

Tokoh Utama: Charles Sanders Peirce, William James, John Dewey.

8)                 Positivisme (Positivism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui fakta empiris dan metode ilmiah.

Tokoh Utama: Auguste Comte, Ludwig Wittgenstein.

9)                 Fenomenologi (Phenomenology)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas terdiri atas fenomena sebagaimana ia muncul dalam kesadaran.

Tokoh Utama: Edmund Husserl, Martin Heidegger.

10)             Empirisme (Empiricism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui pengalaman inderawi.

Tokoh Utama: John Locke, David Hume, Francis Bacon.

11)             Rasionalisme (Rationalism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas dapat dipahami melalui akal atau logika tanpa bergantung pada pengalaman inderawi.

Tokoh Utama: René Descartes, Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz.

12)             Skolastisisme (Scholasticism)

Arti/Definisi: Pendekatan yang menggabungkan logika filsafat dengan teologi untuk memahami realitas.

Tokoh Utama: Thomas Aquinas, Anselmus dari Canterbury, Albertus Magnus.

13)             Wahdatul Wujud (Unity of Being)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas adalah kesatuan wujud yang memanifestasikan sifat-sifat Allah.

Tokoh Utama: Ibn Arabi.

14)             Filsafat Tauhid

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas tertinggi adalah Allah sebagai Wujud Wajib dan sumber segala yang ada.

Tokoh Utama: Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali.

15)             Relativisme (Relativism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas dan kebenaran bersifat relatif terhadap perspektif individu atau budaya.

Tokoh Utama: Protagoras, Michel Foucault.

16)             Konstruktivisme (Constructivism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas dibangun melalui konstruksi sosial atau persepsi manusia.

Tokoh Utama: Jean Piaget, Ernst von Glasersfeld.

17)             Absurdisme (Absurdism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas pada dasarnya tidak dapat dipahami secara rasional dan absurd.

Tokoh Utama: Albert Camus.

18)             Emanasionisme (Emanationism)

Arti/Definisi: Pandangan bahwa realitas berasal dari Tuhan melalui proses emanasi atau pancaran.

Tokoh Utama: Plotinus, Al-Farabi, Ibn Sina.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar