Tauhid Uluhiyah
Pengertian, Esensi, dan
Implementasi dalam Kehidupan Muslim
Abstrak
Tauhid Uluhiyah adalah inti
ajaran Islam yang menegaskan keesaan Allah sebagai satu-satunya yang berhak
disembah dan diibadahi. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
mendalam tentang konsep Tauhid Uluhiyah, mencakup pengertian, landasan dalil
dari Al-Qur'an dan hadis, pandangan ulama klasik, implementasi dalam kehidupan
sehari-hari, serta ibrah yang dapat diambil darinya. Tauhid Uluhiyah bukan hanya
sekadar doktrin teologis, tetapi juga menjadi landasan moral, spiritual, dan
sosial yang memberikan arah hidup seorang Muslim. Dalam konteks modern, Tauhid
Uluhiyah berfungsi sebagai tameng terhadap tantangan ideologi seperti
sekularisme, materialisme, dan relativisme. Selain itu, konsep ini mengajarkan
penghambaan total kepada Allah melalui ibadah yang murni, membentuk akhlak
mulia, serta menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan
memahami dan mengamalkan Tauhid Uluhiyah, umat Islam dapat membangun kehidupan
yang penuh keberkahan, mencapai keselamatan di dunia dan akhirat, serta
memperkuat jati diri sebagai umat terbaik yang menyeru kepada kebaikan. Artikel
ini mengintegrasikan pandangan ulama klasik dengan aplikasi praktis dalam konteks
kekinian, sehingga relevan sebagai panduan hidup bagi umat Islam di segala
zaman.
Kata Kunci: Tauhid Uluhiyah,
keimanan, ibadah, akhlak, sekularisme, materialisme, syirik, ulama klasik,
modernitas, Islam.
1.
Pendahuluan
1.1.
Pengantar Tauhid dalam Islam
Tauhid merupakan inti dari
ajaran Islam dan fondasi keimanan seorang Muslim. Kata "tauhid"
berasal dari akar kata Arab وحد (wahhada), yang berarti "mengesakan."
Dalam konteks Islam, tauhid berarti meyakini dan mengesakan Allah dalam seluruh
aspek kehidupan, baik dalam rububiyah-Nya (ketuhanan), uluhiyah-Nya (ibadah),
maupun asma wa sifat-Nya (nama dan sifat). Tauhid adalah pesan utama yang
disampaikan oleh seluruh nabi dan rasul kepada umat manusia, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur'an, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, 'Bahwasanya tidak ada Tuhan
(yang haq) selain Aku, maka sembahlah Aku.'” (QS. Al-Anbiya [21] ayat 25).1
Para ulama sepakat bahwa
tauhid merupakan inti dari syahadat, pernyataan keimanan seorang Muslim, yang
berbunyi laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah). Pernyataan ini mengandung pengakuan bahwa hanya Allah yang
berhak diibadahi, dan segala bentuk ibadah kepada selain-Nya adalah
penyimpangan dari tauhid. Oleh karena itu, memahami tauhid, terutama Tauhid
Uluhiyah, adalah kewajiban setiap Muslim agar dapat menunaikan ibadah dengan
benar dan terhindar dari kesyirikan.
1.2.
Definisi Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah
keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak diibadahi. Kata uluhiyah
berasal dari akar kata إله (ilah), yang
berarti Tuhan atau yang disembah. Dalam konteks Tauhid Uluhiyah, Allah adalah
satu-satunya yang memiliki hak untuk disembah, sebagaimana ditegaskan dalam
firman Allah, "Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah
[02] ayat 163).2
Menurut Ibnu Taimiyah, Tauhid
Uluhiyah berarti mengesakan Allah melalui ibadah yang hanya ditujukan
kepada-Nya, baik dalam bentuk doa, shalat, puasa, maupun bentuk ibadah lainnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Tauhid Uluhiyah merupakan inti dakwah seluruh nabi
dan rasul, sebagaimana terlihat dalam seruan Nabi Nuh kepada kaumnya: "Sembahlah
Allah; sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS. Hud [11] ayat
50).3
Tauhid Uluhiyah juga sering
disebut sebagai Tauhid Ibadah karena fokusnya adalah pada penyerahan total
dalam ibadah kepada Allah. Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman
bin Hasan Alu Syaikh menekankan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah inti dakwah Islam
dan dasar penegakan hukum-hukum syariat. Setiap Muslim diwajibkan untuk memahami
dan menerapkan Tauhid Uluhiyah dalam setiap aspek kehidupannya agar tetap
berada di jalan yang diridhai oleh Allah.4
Tauhid Uluhiyah tidak hanya
sekadar konsep teoretis, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
melalui amal ibadah yang murni kepada Allah. Kesadaran akan pentingnya Tauhid
Uluhiyah juga menjadi tameng bagi umat Islam untuk melawan segala bentuk
syirik, baik syirik besar maupun kecil. Pengetahuan yang mendalam tentang
Tauhid Uluhiyah, yang didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur'an, hadis, dan
penjelasan ulama, sangat penting untuk memperkokoh akidah seorang Muslim.
Footnotes
[2]
Al-Qur'an, Al-Baqarah: 163.
[3]
Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, Jilid 1
(Madinah: Maktabah al-Rushd, 1995), 87.
[4]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul
Majid: Syarh Kitab Al-Tauhid, edisi cetakan ke-15 (Riyadh: Darul Salam,
1996), 27.
2.
Landasan
Tauhid Uluhiyah dalam Al-Qur'an dan Hadis
2.1.
Dalil Al-Qur'an tentang Tauhid
Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah memiliki
landasan yang kokoh dalam Al-Qur'an. Allah secara tegas memerintahkan umat
manusia untuk hanya menyembah-Nya dan menjauhi segala bentuk penyembahan
terhadap selain-Nya. Salah satu dalil utama tentang Tauhid Uluhiyah adalah
firman Allah:
"Wahai manusia!
Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 21).1
Ayat ini menunjukkan bahwa
ibadah, baik yang bersifat lahir maupun batin, harus ditujukan hanya kepada
Allah. Hal ini diperkuat dalam ayat selanjutnya:
"Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [02]
ayat 22).2
Selain itu, Al-Qur'an juga
menekankan pengesaan Allah dalam ibadah melalui ayat:
"Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56).3
Ayat ini menjadi penegasan
bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah
semata. Para ulama, seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menafsirkan kata “liya’budun”
(supaya mereka beribadah) sebagai pengesaan Allah dalam segala bentuk ibadah.4
2.2.
Hadis Rasulullah tentang Tauhid
Uluhiyah
Rasulullah Saw menjadikan
dakwah kepada Tauhid Uluhiyah sebagai inti dari misi kenabiannya. Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Mu'adz bin Jabal, Rasulullah berkata:
"Engkau akan
mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Maka, jadikanlah hal pertama yang engkau
dakwahkan kepada mereka adalah supaya mereka mengesakan Allah.”5
Hadis ini menunjukkan bahwa
ajakan untuk bertauhid adalah prioritas dalam dakwah Islam. Rasulullah Saw juga
bersabda:
"Barang siapa yang
mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia
akan masuk surga.”6
Hadis ini memberikan motivasi
besar kepada umat Islam untuk menjaga kemurnian Tauhid Uluhiyah dari segala
bentuk penyimpangan, khususnya syirik.
2.3.
Analisis Ulama terhadap Dalil-dalil Tauhid
Uluhiyah
Para ulama tafsir dan hadis,
seperti Imam Ath-Thabari, Imam Al-Qurthubi, dan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, menekankan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah inti ajaran Islam yang menuntut
umat manusia untuk menyembah Allah secara eksklusif. Dalam kitab Fathul
Majid, disebutkan bahwa Tauhid Uluhiyah mencakup dua elemen penting:
penolakan (nafi) terhadap segala bentuk peribadatan kepada selain Allah dan
penetapan (itsbat) bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah.7
Ulama juga mengingatkan bahwa
syirik dalam Tauhid Uluhiyah adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni
kecuali dengan taubat. Hal ini merujuk kepada firman Allah:
"Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni
dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan
Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa [04]
ayat 48).8
Kesimpulan
Dalil-dalil dari Al-Qur'an
dan hadis menegaskan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah dasar dari agama Islam.
Pemahaman dan penerapan konsep ini merupakan kewajiban bagi setiap Muslim,
karena Tauhid Uluhiyah adalah inti dari pengabdian kepada Allah dan penentu
keselamatan di dunia dan akhirat.
Footnotes
[1]
Al-Qur'an, Al-Baqarah: 21.
[2]
Al-Qur'an, Al-Baqarah: 22.
[3]
Al-Qur'an, Adz-Dzariyat: 56.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
edisi cetakan ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 2:39.
[5]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 7372.
[6]
Muslim, Shahih Muslim, no. 93.
[7]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul
Majid: Syarh Kitab Al-Tauhid, edisi cetakan ke-15 (Riyadh: Darul Salam,
1996), 21-23.
3.
Konsep
Tauhid Uluhiyah dalam Perspektif Ulama Klasik
3.1.
Pandangan Ulama Salaf tentang Tauhid
Uluhiyah
Para ulama salaf memberikan
penjelasan yang mendalam mengenai Tauhid Uluhiyah, menegaskan bahwa ia adalah
inti dari ajaran Islam. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Tauhid
Uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah, yang mencakup segala bentuk penghambaan,
seperti doa, shalat, puasa, dan lainnya. Ia mengutip ayat Al-Qur'an, “Hanya
kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (QS.
Al-Fatihah [01] ayat 5), sebagai dasar penting bahwa semua ibadah harus hanya
ditujukan kepada Allah.1
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir
Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an juga menekankan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah
deklarasi total seorang hamba untuk hanya beribadah kepada Allah. Ia
menjelaskan bahwa uluhiyah berasal dari kata ilah, yang berarti sesuatu
yang disembah, dan menyatakan bahwa setiap tindakan ibadah yang tidak
didasarkan pada Tauhid Uluhiyah adalah syirik.2
Ibnu Taimiyah dalam Kitab
Al-Ubudiyah menyatakan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah inti dari penghambaan
kepada Allah. Ia menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah yang
disertai cinta, rasa takut, dan harapan hanya kepada-Nya. Ia juga menegaskan
bahwa Tauhid Uluhiyah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk aspek
spiritual dan sosial.3
3.2.
Penjelasan dalam Kitab Klasik
Para ulama klasik telah
banyak menulis tentang Tauhid Uluhiyah dalam kitab-kitab mereka, memberikan
landasan ilmiah yang kokoh bagi generasi berikutnya.
·
Kitab Al-Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dalam kitab
ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah
dasar utama Islam yang harus dipahami dan diamalkan. Ia menyebutkan bahwa
Tauhid Uluhiyah melibatkan penolakan segala bentuk syirik dan penetapan ibadah
hanya kepada Allah. Dalam Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
Syaikh memberikan syarah bahwa Tauhid Uluhiyah adalah pesan utama yang dibawa
oleh setiap nabi dan rasul, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
"Dan sungguh, Kami
telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah
Allah, dan jauhilah thaghut.'” (QS. An-Nahl [16] ayat 36).4
·
Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali
Dalam Ihya
Ulumiddin, Imam Al-Ghazali membahas konsep Tauhid Uluhiyah dalam konteks
penyucian hati dan penghambaan kepada Allah. Ia menekankan bahwa Tauhid
Uluhiyah harus diwujudkan dalam hati sebelum diterjemahkan ke dalam amal
perbuatan. Ia juga menekankan pentingnya menghilangkan segala bentuk riya
(pamer) dan kebergantungan pada selain Allah dalam ibadah.5
·
Tafsir Ath-Thabari
Imam
Ath-Thabari dalam tafsirnya memberikan penjelasan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah
pengesaan Allah dalam ibadah melalui penolakan penyembahan terhadap makhluk
atau berhala. Ia menafsirkan ayat “Laa ilaaha illallah” (tidak ada Tuhan
selain Allah) sebagai pernyataan penolakan terhadap semua sesembahan palsu dan
pengakuan hanya kepada Allah sebagai satu-satunya ilah yang haq.6
3.3.
Hubungan Tauhid Uluhiyah dengan
Tauhid Rububiyah
Para ulama klasik juga
membahas hubungan erat antara Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah. Ibnu Qayyim
dalam kitabnya Madarij As-Salikin menjelaskan bahwa Tauhid Rububiyah
(pengesaan Allah sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam semesta)
adalah landasan logis untuk Tauhid Uluhiyah. Ia berargumen bahwa jika seseorang
mengakui keesaan Allah sebagai Rabb, maka logis bahwa ia juga harus mengesakan
Allah dalam ibadah.7
Kesimpulan
Konsep Tauhid Uluhiyah yang
dibahas oleh para ulama klasik menunjukkan pentingnya pengesaan Allah dalam
ibadah sebagai inti ajaran Islam. Pemahaman yang mendalam tentang Tauhid
Uluhiyah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab klasik, memberikan panduan
yang jelas bagi umat Islam untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan
ibadah dan penghambaan.
Footnotes
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
edisi cetakan ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 1:10.
[2]
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
edisi cetakan ke-3 (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), 1:234.
[3]
Ibnu Taimiyah, Kitab Al-Ubudiyah, edisi
cetakan ke-1 (Makkah: Dar al-Risalah, 1993), 45-47.
[5]
Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, edisi cetakan
ke-5 (Kairo: Dar al-Minhaj, 2007), 4:255.
[6]
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, edisi
cetakan ke-1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1980), 5:312.
[7]
Ibnu Qayyim, Madarij As-Salikin, edisi
cetakan ke-4 (Kairo: Dar al-Hadith, 1996), 1:89.
4.
Manifestasi
Tauhid Uluhiyah dalam Kehidupan Muslim
4.1.
Ibadah sebagai Implementasi Tauhid
Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah diwujudkan
dalam bentuk ibadah yang murni kepada Allah, meliputi semua tindakan yang
didasari oleh niat untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Allah berfirman:
"Katakanlah,
'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan
seluruh alam.’” (QS. Al-An’am [06] ayat 162).1
Ayat ini menunjukkan bahwa
setiap aspek kehidupan seorang Muslim, terutama ibadah, harus diarahkan kepada
Allah tanpa menyekutukan-Nya. Dalam konteks ini, ibadah tidak hanya mencakup
aktivitas ritual seperti shalat dan puasa, tetapi juga segala aktivitas yang diniatkan
untuk mendapatkan ridha Allah. Ibnu Qayyim menyebutkan dalam Madarij
As-Salikin bahwa ibadah melibatkan kecintaan, rasa takut, dan harapan yang
hanya kepada Allah, tanpa dicampuri oleh riya atau ketergantungan kepada
makhluk.2
Tauhid Uluhiyah juga menjadi
dasar hukum-hukum syariat, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
Ibadah-ibadah ini, jika dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat,
akan memperkuat hubungan seorang hamba dengan Allah dan menjadikannya lebih
taat dalam kehidupan sehari-hari.
4.2.
Penolakan Syirik dalam Tauhid
Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah menuntut
penolakan total terhadap syirik, baik syirik besar maupun kecil. Syirik besar,
seperti menyembah selain Allah, adalah dosa terbesar yang menghapuskan seluruh
amal kebaikan, sebagaimana firman Allah:
"Jika kamu
mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39] ayat 65).3
Syirik kecil, seperti riya
(memperlihatkan ibadah untuk mendapat pujian manusia), juga merusak keikhlasan
ibadah seorang Muslim. Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya sesuatu
yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat
bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.”4
Para ulama, seperti Ibnu
Taimiyah dalam Al-Ubudiyah, menegaskan bahwa syirik bertentangan dengan
esensi Tauhid Uluhiyah. Setiap bentuk penyembahan kepada selain Allah, baik
kepada berhala, manusia, atau makhluk lainnya, merupakan pengkhianatan terhadap
ikrar seorang Muslim kepada Allah sebagai satu-satunya sesembahan.5
4.3.
Implementasi Tauhid Uluhiyah dalam
Kehidupan Sehari-hari
Tauhid Uluhiyah tidak hanya
diwujudkan dalam ibadah ritual, tetapi juga tercermin dalam setiap aspek
kehidupan seorang Muslim. Beberapa implementasi praktisnya meliputi:
·
Kehidupan Keluarga:
Seorang
Muslim yang memahami Tauhid Uluhiyah akan mendidik keluarganya untuk menyembah
Allah dengan benar. Ia mengajarkan kepada anak-anaknya pentingnya shalat,
membaca Al-Qur'an, dan menjauhi perilaku yang mengarah pada syirik. Hal ini
sesuai dengan firman Allah:
"Dan perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Taha [20] ayat 132).6
·
Etika Sosial:
Tauhid
Uluhiyah mengajarkan kepada seorang Muslim untuk bersikap jujur, adil, dan
amanah dalam hubungan sosialnya, karena setiap tindakannya diawasi oleh Allah.
Keimanan kepada Allah sebagai satu-satunya Ilah mendorong seorang Muslim untuk
menjadikan integritas dan akhlak mulia sebagai prioritas.
·
Pekerjaan dan Ekonomi:
Dalam dunia
kerja, Tauhid Uluhiyah mengajarkan seorang Muslim untuk menjauhi praktik riba,
penipuan, dan kecurangan karena hal tersebut bertentangan dengan syariat Allah.
Seorang Muslim bekerja dengan niat untuk mencari nafkah halal demi memenuhi
tanggung jawabnya sebagai hamba Allah.
4.4.
Tauhid Uluhiyah sebagai Tameng dari
Paham Materialisme dan Sekularisme
Dalam era modern, paham
materialisme dan sekularisme sering kali mempengaruhi kehidupan Muslim,
menggeser nilai-nilai tauhid ke arah penghambaan terhadap harta dan dunia.
Tauhid Uluhiyah memberikan tameng bagi umat Islam untuk tetap memprioritaskan
Allah di atas segalanya.
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa
ayat "Dan mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah [98] ayat 5)
mengingatkan bahwa fokus seorang Muslim haruslah kepada Allah, bukan kepada
dunia atau makhluk lainnya.7
Tauhid Uluhiyah juga
menanamkan nilai tawakkal (berserah diri) kepada Allah dalam menghadapi ujian
hidup. Dengan menyerahkan segala urusan kepada Allah, seorang Muslim akan
terhindar dari perasaan gelisah yang sering muncul akibat ketergantungan kepada
dunia.
Kesimpulan
Manifestasi Tauhid Uluhiyah
terlihat dalam setiap tindakan ibadah dan perilaku seorang Muslim. Tauhid ini
memberikan panduan yang jelas untuk menjalani kehidupan yang seimbang antara
hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Dengan memahami dan
mengamalkan Tauhid Uluhiyah, seorang Muslim dapat menjadikan hidupnya penuh
keberkahan dan senantiasa berada di bawah ridha Allah.
Footnotes
[2]
Ibnu Qayyim, Madarij As-Salikin, edisi
cetakan ke-4 (Kairo: Dar al-Hadith, 1996), 1:90.
[4]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 23630.
[5]
Ibnu Taimiyah, Kitab Al-Ubudiyah, edisi
cetakan ke-1 (Makkah: Dar al-Risalah, 1993), 51-53.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
edisi cetakan ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 8:367.
5.
Tauhid
Uluhiyah dalam Konteks Kekinian
5.1.
Relevansi Tauhid Uluhiyah dalam Era
Modern
Di tengah berbagai tantangan
era modern, seperti sekularisme, materialisme, dan relativisme moral, Tauhid
Uluhiyah menjadi landasan penting yang memberikan arah dan stabilitas bagi umat
Islam. Tauhid Uluhiyah menegaskan bahwa seluruh bentuk ibadah dan pengabdian
hanya ditujukan kepada Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun, termasuk
pengaruh duniawi yang sering kali menjadi pusat perhatian manusia modern.
Sekularisme, misalnya,
mendorong pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan
politik, ekonomi, dan pendidikan. Hal ini bertentangan dengan konsep Tauhid
Uluhiyah yang menuntut keterlibatan agama dalam setiap aspek kehidupan. Ibnu
Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa menjelaskan bahwa pengesaan Allah dalam
ibadah mencakup pengaturan kehidupan secara menyeluruh berdasarkan syariat-Nya,
karena hanya Allah yang memiliki hak mutlak untuk diibadahi dan ditaati.1
Selain itu, materialisme yang
menjadikan dunia sebagai tujuan utama hidup, juga menjadi ancaman serius
terhadap Tauhid Uluhiyah. Allah berfirman:
"Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan,
saling berbangga di antara kamu, dan berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak
keturunan...” (QS. Al-Hadid [57] ayat 20).2
Tauhid Uluhiyah membantu
seorang Muslim menjaga prioritas hidupnya, dengan menjadikan keridhaan Allah
sebagai tujuan utama, bukan harta atau status duniawi.
5.2.
Tantangan terhadap Tauhid Uluhiyah
di Masa Kini
5.2.1. Penyebaran Paham Sekularisme dan Liberalisme
Paham sekularisme dan
liberalisme telah memengaruhi cara pandang sebagian umat Islam terhadap agama,
di mana nilai-nilai agama dianggap tidak relevan untuk diterapkan dalam
kehidupan modern. Tauhid Uluhiyah memberikan jawaban tegas dengan menyatakan
bahwa kedaulatan mutlak hanya milik Allah, sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya:
"Keputusan itu
hanyalah milik Allah.” (QS. Yusuf [12] ayat 40).3
Imam Al-Qurthubi menafsirkan
ayat ini sebagai perintah untuk tunduk sepenuhnya kepada hukum Allah dalam
segala aspek kehidupan, termasuk dalam hukum politik, ekonomi, dan sosial.4
5.2.2. Pengaruh Syirik Modern
Syirik modern tidak hanya
terbatas pada penyembahan berhala, tetapi juga meliputi bentuk ketergantungan
yang berlebihan pada teknologi, kekuasaan, atau manusia. Misalnya, seseorang
yang lebih mengandalkan kekuatan teknologi atau kekuasaan daripada bersandar
kepada Allah telah mengurangi esensi Tauhid Uluhiyah. Ibnu Qayyim dalam Al-Fawaid
menyatakan bahwa kebergantungan kepada selain Allah adalah bentuk syirik
tersembunyi yang dapat mengikis keikhlasan ibadah seorang Muslim.5
5.2.3. Krisis Identitas Keislaman
Di tengah arus globalisasi,
banyak umat Islam kehilangan identitas keislaman mereka. Tauhid Uluhiyah
berfungsi sebagai pengingat bahwa umat Islam memiliki tugas utama untuk
mengesakan Allah dalam setiap aspek kehidupan, sekaligus mempertahankan jati
diri sebagai umat terbaik yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran
(QS. Ali Imran [03] ayat 110).6
5.3.
Dakwah Tauhid Uluhiyah di Masa Kini
Untuk menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, dakwah Tauhid Uluhiyah harus menjadi prioritas
utama umat Islam. Rasulullah Saw memulai dakwahnya dengan menyeru kepada
Tauhid, sebagaimana yang dicontohkan kepada Mu'adz bin Jabal:
"Jadikanlah hal
pertama yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah supaya mereka mengesakan
Allah."7
Beberapa langkah strategis
dakwah Tauhid Uluhiyah di era modern adalah:
·
Melalui Pendidikan Formal dan Informal
Pendidikan
Tauhid Uluhiyah harus diajarkan di sekolah-sekolah dan madrasah sejak usia
dini. Anak-anak perlu diajarkan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini adalah
milik Allah dan hanya Dia yang layak disembah.
·
Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah
Internet dan
media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan ajaran Tauhid
Uluhiyah. Konten dakwah yang menarik dan relevan dengan kehidupan modern dapat
membantu umat memahami pentingnya Tauhid dalam hidup mereka.
·
Teladan dalam Kehidupan Sehari-hari
Para dai dan
pemimpin komunitas harus menjadi contoh nyata dalam mengimplementasikan Tauhid
Uluhiyah, baik dalam perilaku ibadah maupun interaksi sosial.
5.4.
Tauhid Uluhiyah sebagai Solusi
Krisis Spiritual Modern
Di tengah maraknya stres,
depresi, dan kekosongan spiritual di era modern, Tauhid Uluhiyah menawarkan
solusi berupa penghambaan eksklusif kepada Allah. Dengan mengesakan Allah dalam
ibadah, seorang Muslim merasakan kedamaian hati dan keberkahan dalam hidupnya,
sebagaimana firman Allah:
"Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28).8
Tauhid Uluhiyah juga
menanamkan rasa tawakkal yang mendalam kepada Allah, sehingga seorang Muslim
tidak mudah terpengaruh oleh tekanan duniawi. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa
tawakkal adalah manifestasi Tauhid Uluhiyah yang memberikan kekuatan kepada
seorang Muslim untuk menghadapi ujian hidup dengan tenang dan percaya diri.9
Kesimpulan
Dalam konteks kekinian,
Tauhid Uluhiyah tetap relevan sebagai panduan hidup yang memberikan arah dan
stabilitas bagi umat Islam. Dengan memahami dan mengamalkan Tauhid Uluhiyah,
umat Islam dapat menghadapi tantangan modern tanpa kehilangan jati diri keislaman
mereka. Dakwah Tauhid Uluhiyah juga menjadi prioritas utama untuk membangun
masyarakat Muslim yang kokoh secara spiritual dan intelektual.
Footnotes
[1]
Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, Jilid 1
(Madinah: Maktabah al-Rushd, 1995), 153.
[4]
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
edisi cetakan ke-3 (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), 6:113.
[5]
Ibnu Qayyim, Al-Fawaid, edisi cetakan ke-4
(Kairo: Dar al-Hadith, 1998), 55.
[6]
Al-Qur'an, Ali Imran: 110.
[7]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 7372.
[9]
Ibnu Taimiyah, Kitab Al-Ubudiyah, edisi
cetakan ke-1 (Makkah: Dar al-Risalah, 1993), 47.
6.
Ibrah
dari Tauhid Uluhiyah
6.1.
Tauhid Uluhiyah sebagai Jalan
Keselamatan
Tauhid Uluhiyah merupakan
landasan keselamatan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Keselamatan di
akhirat dijamin bagi mereka yang menjadikan Tauhid sebagai dasar iman dan
ibadahnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
"Barang siapa mati
dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia akan
masuk surga.”1
Ayat-ayat Al-Qur'an juga
menegaskan bahwa Tauhid Uluhiyah adalah kunci utama keberhasilan. Firman Allah:
"Barang siapa
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman,
maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri
balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. An-Nahl [16] ayat 97).2
Menurut Imam Al-Qurthubi,
ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan yang baik adalah hasil dari keimanan yang
kuat kepada Allah, terutama dalam memurnikan ibadah kepada-Nya.3
Tauhid Uluhiyah juga menjadi
perisai dari azab Allah. Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman
bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan bahwa keimanan yang tulus kepada Allah melalui
Tauhid Uluhiyah mencegah seseorang dari dosa-dosa besar, termasuk dosa syirik
yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah.4
6.2.
Tauhid Menguatkan Hubungan dengan
Allah
Tauhid Uluhiyah menanamkan
kesadaran akan kedekatan seorang hamba dengan Allah. Dalam ibadah, seseorang
merasakan pengakuan total atas keagungan Allah dan kelemahan dirinya. Firman
Allah:
"Maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Taha [20] ayat 14).5
Ayat ini menekankan bahwa
ibadah adalah cara untuk mengingat Allah dan menguatkan hubungan dengan-Nya.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa menyatakan bahwa hubungan seorang
Muslim dengan Allah akan semakin kuat apabila ibadahnya didasarkan pada Tauhid
Uluhiyah yang murni, tanpa dicampuri oleh riya atau ketergantungan kepada
selain-Nya.6
Keimanan yang kokoh kepada
Allah melalui Tauhid Uluhiyah juga memberikan ketenangan hati di tengah cobaan
hidup. Allah berfirman:
"Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28).7
Ibnu Katsir menafsirkan ayat
ini sebagai bukti bahwa dzikir kepada Allah, yang merupakan bentuk ibadah
paling sederhana, dapat memberikan kedamaian bagi hati yang gelisah.8
6.3.
Tauhid Sebagai Pondasi Akhlak Mulia
Tauhid Uluhiyah membentuk
akhlak seorang Muslim, karena ia mengarahkan setiap perbuatannya kepada Allah.
Seorang Muslim yang memahami Tauhid Uluhiyah tidak akan berbuat zalim, menipu,
atau berbuat curang karena ia sadar bahwa segala perbuatannya diawasi oleh
Allah. Dalam hadits, Rasulullah Saw bersabda:
"Sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain."9
Hadits ini menunjukkan bahwa
keimanan kepada Allah yang dibangun melalui Tauhid Uluhiyah harus tercermin
dalam tindakan yang bermanfaat bagi sesama. Ibnu Qayyim dalam Madarij
As-Salikin menyatakan bahwa seorang hamba yang bertauhid akan berusaha
menjaga hubungan baik dengan Allah (hablum minallah) dan manusia (hablum
minannas), karena keduanya merupakan tuntutan iman yang sempurna.10
6.4.
Tauhid Uluhiyah sebagai Kekuatan
dalam Menghadapi Tantangan Hidup
Seorang Muslim yang memegang
teguh Tauhid Uluhiyah memiliki keyakinan kuat terhadap qadha dan qadar Allah.
Tauhid memberikan kekuatan untuk menghadapi berbagai ujian hidup dengan sabar
dan tawakkal. Rasulullah Saw bersabda:
"Sungguh menakjubkan
urusan seorang Mukmin. Semua urusannya adalah kebaikan baginya. Jika ia
mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa
kesulitan, ia bersabar, dan itu juga baik baginya."11
Ayat-ayat Al-Qur'an juga
menunjukkan bahwa Tauhid memberikan keteguhan hati. Dalam QS. Ibrahim [14] ayat
27, Allah berfirman:
"Allah meneguhkan
(iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di
dunia dan di akhirat.”12
6.5.
Tauhid Uluhiyah Sebagai Inspirasi
Perubahan Sosial
Tauhid Uluhiyah tidak hanya
mempengaruhi individu, tetapi juga menjadi dasar pembentukan masyarakat yang
Islami. Dalam sejarah, pengamalan Tauhid Uluhiyah telah menginspirasi perubahan
sosial yang besar, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam membangun
masyarakat Madinah. Dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup,
Tauhid Uluhiyah mempersatukan umat Islam dan memberikan arah yang jelas dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Kesimpulan
Tauhid Uluhiyah mengandung
banyak ibrah yang relevan untuk kehidupan seorang Muslim. Selain menjadi jalan
keselamatan, ia juga memperkuat hubungan dengan Allah, membentuk akhlak mulia,
memberikan kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup, dan menjadi inspirasi
perubahan sosial. Tauhid Uluhiyah adalah landasan kehidupan seorang Muslim yang
ingin hidup penuh keberkahan di dunia dan akhirat.
Footnotes
[1]
Muslim, Shahih Muslim, no. 93.
[3]
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
edisi cetakan ke-3 (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), 5:232.
[4]
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul
Majid: Syarh Kitab Al-Tauhid, edisi cetakan ke-15 (Riyadh: Darul Salam,
1996), 40.
[6]
Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, Jilid 1
(Madinah: Maktabah al-Rushd, 1995), 123.
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
edisi cetakan ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 6:378.
[9]
At-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 594.
[10]
Ibnu Qayyim, Madarij As-Salikin, edisi
cetakan ke-4 (Kairo: Dar al-Hadith, 1996), 2:125.
[11]
Muslim, Shahih Muslim, no. 2999.
7.
Penutup
Tauhid Uluhiyah merupakan
inti dari ajaran Islam dan menjadi landasan utama keimanan seorang Muslim.
Tauhid ini menegaskan bahwa seluruh bentuk ibadah, baik ritual maupun
non-ritual, harus diarahkan kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan
apapun. Sebagaimana firman Allah:
"Dan Tuhanmu adalah
Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah, lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 163).1
Pembahasan dalam artikel ini
menyoroti pengertian, landasan, konsep ulama klasik, implementasi, hingga ibrah
yang dapat diambil dari Tauhid Uluhiyah. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
bahwa Tauhid Uluhiyah bukan hanya doktrin teologis, tetapi juga pedoman praktis
yang memengaruhi setiap aspek kehidupan Muslim.
7.1.
Pentingnya Pemahaman dan Pengamalan
Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah dasar
yang membedakan antara seorang Muslim dan non-Muslim. Rasulullah Saw memulai
dakwahnya dengan menyeru kepada Tauhid Uluhiyah, sebagaimana beliau sampaikan
kepada Mu'adz bin Jabal:
"Hal pertama yang
harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah agar mereka mengesakan Allah."2
Pemahaman terhadap Tauhid
Uluhiyah harus dilandasi oleh dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis yang sahih, serta
diperkokoh dengan pandangan ulama yang kredibel. Hal ini penting untuk
menghindarkan umat dari penyimpangan, seperti syirik dan bid’ah, yang dapat
merusak keimanan.
7.2.
Tauhid Uluhiyah dalam Kehidupan
Sehari-hari
Tauhid Uluhiyah tidak hanya
diwujudkan dalam ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan zakat, tetapi juga
dalam niat, perbuatan, dan interaksi sosial. Seorang Muslim yang memahami
Tauhid Uluhiyah akan menjadikan Allah sebagai pusat hidupnya, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah:
"Katakanlah,
'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan
seluruh alam.'” (QS. Al-An’am [06] ayat 162).3
Hal ini memberikan dampak
positif bagi pembentukan karakter individu yang jujur, amanah, dan bertanggung
jawab, serta membangun masyarakat yang kokoh berdasarkan prinsip keadilan dan
ketakwaan.
7.3.
Tantangan dan Relevansi Tauhid
Uluhiyah di Era Modern
Dalam era globalisasi dan
modernitas, Tauhid Uluhiyah tetap relevan sebagai tameng terhadap berbagai
ideologi dan paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti
sekularisme, materialisme, dan relativisme. Tauhid Uluhiyah memberikan arah
hidup yang jelas, membimbing umat untuk menempatkan Allah sebagai pusat
kehidupan, dan menjaga akidah mereka dari pengaruh negatif zaman.
Sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Taimiyah, Tauhid Uluhiyah adalah "hakikat dari kebahagiaan sejati,"
karena ia menanamkan kebergantungan hanya kepada Allah dan menjauhkan manusia
dari ketergantungan pada makhluk.4
7.4.
Harapan dan Doa
Semoga pembahasan ini dapat
memberikan manfaat bagi umat Islam untuk memperkuat keimanan, memperbaiki
ibadah, dan memperluas wawasan keilmuan tentang Tauhid Uluhiyah. Penulis
berharap agar artikel ini menjadi bagian dari usaha memperkokoh akidah umat dan
membangun generasi Muslim yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni.
Sebagai penutup, firman Allah
berikut menjadi pengingat penting bagi kita semua:
"Sesungguhnya agama
(yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [03] ayat
19).5
Footnotes
[1]
Al-Qur'an, Al-Baqarah: 163.
[2]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 7372.
[4]
Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, Jilid 1
(Madinah: Maktabah al-Rushd, 1995), 157.
Daftar Pustaka
Al-Qur'an dan Terjemahannya. (n.d.). Jakarta: Departemen Agama Republik
Indonesia.
Al-Bukhari, M. I. (2001). Shahih al-Bukhari (M. Muhsin Khan,
Trans.). Riyadh: Darussalam.
Al-Ghazali, A. H. (2007). Ihya Ulumiddin (5th ed.). Cairo: Dar
al-Minhaj.
Al-Qurthubi, A. A. (2006). Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(3rd ed.). Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Thabarani, S. (n.d.). Al-Mu’jam Al-Kabir. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Ibn Kathir, I. (1997). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (2nd ed.).
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Qayyim, M. A. (1996). Madarij As-Salikin (4th ed.). Cairo:
Dar al-Hadith.
Ibn Qayyim, M. A. (1998). Al-Fawaid (4th ed.). Cairo: Dar
al-Hadith.
Ibn Taymiyyah, A. H. (1993). Kitab Al-Ubudiyah. Mecca: Dar
al-Risalah.
Ibn Taymiyyah, A. H. (1995). Majmu' al-Fatawa (Vol. 1). Madinah:
Maktabah al-Rushd.
Muslim, I. H. (2007). Shahih Muslim (A. Siddiqi, Trans.). Riyadh:
Darussalam.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh. (1996). Fathul Majid: Syarh
Kitab Al-Tauhid (15th ed.). Riyadh: Darul Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar