Pemikiran Muhammad Abduh
Sebuah Telaah Filsafat Islam Modern
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pemikiran Muhammad Abduh
sebagai salah satu tokoh sentral dalam pembaruan pemikiran Islam modern melalui
pendekatan rasionalisme dan reformasi keagamaan. Dengan latar belakang
sosial-politik abad ke-19 yang ditandai oleh kolonialisme, kemunduran institusi
keilmuan Islam, dan dominasi taqlid, Abduh tampil sebagai pembaru yang
menghidupkan kembali peran akal dan ijtihad dalam memahami ajaran agama.
Kajian ini menganalisis pemikiran Abduh dalam bidang tafsir, teologi,
pendidikan, hukum, dan politik, serta menempatkannya dalam kerangka filsafat
Islam modern yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan realitas historis. Abduh
tidak hanya menyuarakan reinterpretasi terhadap konsep-konsep klasik seperti
tauhid, takdir, dan mukjizat secara rasional, tetapi juga menekankan pentingnya
pembaruan hukum Islam dan pendidikan sebagai instrumen transformasi sosial.
Artikel ini juga menyoroti warisan intelektual Abduh yang luas, termasuk
pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh seperti Rasyid Ridha, Fazlur Rahman, dan
gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah. Dengan pendekatan
deskriptif-analitis berbasis studi pustaka, artikel ini menyimpulkan bahwa
pemikiran Abduh merupakan fondasi penting bagi filsafat Islam modern yang
rasional, kontekstual, dan progresif.
Kata Kunci: Muhammad Abduh; Rasionalisme Islam; Ijtihad;
Reformasi Islam; Filsafat Islam Modern; Tafsir al-Manār; Maqāṣid al-Sharī‘ah;
Pendidikan Islam; Hukum Islam; Modernitas.
PEMBAHASAN
Rasionalisme dan Reformasi Islam dalam Pemikiran
Muhammad Abduh
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
pemikiran Islam modern, Muhammad Abduh (1849–1905) menempati posisi yang sangat
penting sebagai tokoh pembaru yang menjembatani tradisi keilmuan klasik Islam
dengan semangat rasionalitas dan modernitas. Munculnya pemikiran Abduh tidak
dapat dilepaskan dari krisis multidimensional yang melanda dunia Islam pada
akhir abad ke-19, yang ditandai oleh kemunduran politik, stagnasi intelektual,
serta dominasi kolonialisme Barat atas negeri-negeri Muslim. Dalam konteks
inilah, Abduh tampil dengan proyek besar reformasi keagamaan (tajdīd al-dīn)
yang bertumpu pada rekonsiliasi antara ajaran Islam dan rasionalitas modern,
serta penolakan terhadap bentuk-bentuk pemahaman agama yang kaku dan tidak
kontekstual.1
Abduh berangkat dari
keyakinan bahwa ajaran Islam pada dasarnya bersifat rasional dan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, menurutnya, pemikiran keagamaan umat
Islam telah mengalami pembekuan karena dominasi taqlid (ikut secara buta
terhadap pendapat ulama terdahulu) dan pengabaian terhadap ijtihad (usaha
intelektual dalam memahami teks keagamaan). Ia menyatakan bahwa Islam adalah
agama yang mendukung akal sehat, kebebasan berpikir, serta keadilan sosial.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali kejayaan umat, diperlukan
pembaruan dalam cara berpikir umat Islam, khususnya dalam memahami
sumber-sumber ajaran Islam secara lebih rasional dan kontekstual.2
Pemikiran Muhammad
Abduh berkembang dalam suasana pertarungan ideologis yang kompleks. Di satu
sisi, ia terpengaruh oleh pemikiran rasionalisme dan liberalisme Eropa yang ia
kenal saat berada di Paris bersama gurunya, Jamal al-Din al-Afghani. Di sisi
lain, ia tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Islam sebagai sumber etika,
hukum, dan tatanan sosial. Karena itu, gagasannya sering digambarkan sebagai
sintesis antara Islam dan modernitas, atau antara warisan tradisional dengan
pencerahan Barat.3 Upaya Abduh untuk menafsirkan ulang ajaran Islam
tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga filosofis. Ia mengembangkan suatu
model berpikir yang berupaya memadukan teks wahyu dengan pertimbangan akal,
serta memperjuangkan pemisahan antara substansi ajaran agama dan bentuk-bentuk
turunannya yang bersifat historis.4
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji pemikiran Muhammad Abduh secara mendalam dalam
kerangka filsafat Islam modern. Fokus utamanya adalah pada aspek rasionalisme
keislaman dan strategi reformasi sosial-intelektual yang ia gagas. Dengan
pendekatan filosofis-historis, tulisan ini akan menjelaskan akar-akar pemikiran
Abduh, konteks yang melatarbelakangi gagasannya, serta kontribusinya terhadap
perkembangan pemikiran Islam kontemporer. Pemahaman yang tepat terhadap
pemikiran Abduh sangat penting bukan hanya dalam kajian filsafat Islam, tetapi
juga dalam mencari solusi atas problematika keagamaan umat Islam di era modern.
Footnotes
[1]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 131–134.
[2]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 96–100.
[3]
Mahmoud Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 247–259.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
14–17.
2.
Biografi Intelektual Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir
pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr, provinsi Beheira, Mesir Hulu, dari
keluarga petani sederhana keturunan Arab.1 Sejak kecil, ia
menunjukkan minat pada studi agama dan akhirnya dikirim ke al-Azhar di Kairo,
institusi pendidikan Islam tertua dan paling terkemuka di dunia Islam. Di
sinilah Abduh menerima pelatihan keilmuan klasik dalam bidang tafsir, hadis,
fiqh, dan kalām. Namun, sistem pendidikan tradisional al-Azhar saat itu masih
sangat terikat pada metode hafalan dan taqlid, yang kelak dikritiknya dalam
karya-karya reformisnya.2
Perubahan besar
dalam arah intelektual Abduh terjadi ketika ia bertemu dengan Jamal al-Din
al-Afghani (1838–1897), seorang pemikir dan aktivis pan-Islamis revolusioner.
Hubungan guru-murid ini membuka cakrawala berpikir Abduh ke arah pemikiran
politik dan filsafat modern. Afghani mendorongnya untuk tidak sekadar menguasai
ilmu-ilmu tradisional, tetapi juga memahami filsafat, logika, dan isu-isu dunia
modern, termasuk politik, kolonialisme, dan kemajuan sains.3 Bersama
Afghani, Abduh terlibat dalam gerakan pembaruan politik dan penerbitan jurnal al-Urwah
al-Wuthqa (1884) yang menyerukan solidaritas umat Islam menghadapi
dominasi Barat. Masa-masa ini memperluas wawasan intelektual Abduh sekaligus
meneguhkan komitmennya terhadap reformasi sosial dan agama.
Akibat
keterlibatannya dalam aktivitas politik yang dianggap subversif oleh otoritas
kolonial Inggris di Mesir, Abduh diasingkan ke Beirut dan kemudian Paris.
Pengasingan ini justru memperkaya wawasannya melalui interaksi langsung dengan
pemikiran filsafat Barat. Di Paris, ia membaca karya-karya rasionalis dan reformis
seperti Voltaire, Rousseau, dan Descartes, yang semakin memperkuat keyakinannya
bahwa Islam sejati tidak bertentangan dengan akal dan kemajuan zaman.4
Gagasannya mulai mengarah pada pembentukan sintesis antara Islam dan
modernitas, suatu posisi intelektual yang terus ia kembangkan sekembalinya ke
Mesir.
Setelah diizinkan
kembali ke Mesir pada tahun 1889, karier Abduh mengalami lonjakan signifikan.
Ia diangkat sebagai hakim, kemudian menjabat sebagai Qadi (hakim agung), dan
pada tahun 1899 diangkat menjadi Mufti Mesir—jabatan tertinggi dalam otoritas
keagamaan di negeri itu.5 Dalam kapasitas tersebut, ia banyak
mengeluarkan fatwa dan keputusan hukum yang merefleksikan semangat pembaruan:
memperbolehkan bunga bank dalam kondisi tertentu, mendukung pendidikan
perempuan, dan mendorong reformasi sistem hukum Islam agar lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat modern.
Sebagai cendekiawan,
Abduh juga berkontribusi besar dalam dunia kepenulisan. Salah satu karya
terkenalnya adalah Tafsir al-Manar, yang ia susun bersama
muridnya, Rasyid Ridha. Melalui tafsir ini, Abduh menyampaikan pendekatan baru
dalam memahami Al-Qur’an secara rasional, kontekstual, dan aplikatif terhadap
problematika umat. Selain itu, ia juga menulis karya-karya filsafat seperti Risālat
al-Tawḥīd, yang membahas tauhid secara filosofis dan menjadi
manifestasi dari integrasi antara teologi Islam dan rasionalisme modern.6
Biografi intelektual
Muhammad Abduh menunjukkan perkembangan yang dinamis dari seorang ulama
tradisional menjadi pemikir modernis yang progresif. Pengalaman hidupnya yang
luas, dari dunia pesantren (al-Azhar) hingga wacana filsafat Barat, menjadikan
Abduh figur unik yang mampu menjembatani dua dunia: warisan Islam klasik dan
tantangan modernitas. Warisan pemikirannya menjadi fondasi penting bagi gerakan
pembaruan Islam di dunia Muslim, khususnya dalam hal rasionalisasi pemahaman
agama, reformasi hukum Islam, dan pembaruan sistem pendidikan.
Footnotes
[1]
Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 131.
[2]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 25–28.
[3]
Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief
and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 47–55.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
15–18.
[5]
Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 247–259.
[6]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa
al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966).
3.
Konteks Historis dan Intelektual
Pemikiran Muhammad
Abduh tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan respons terhadap
kondisi sosial-politik dan intelektual dunia Islam pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Pada masa ini, dunia Islam mengalami keterpurukan dalam
berbagai aspek, seperti kolonisasi Eropa, kemunduran ilmu pengetahuan,
ketertinggalan ekonomi, serta stagnasi pemikiran keagamaan. Kekhalifahan
Utsmani sebagai simbol politik Islam dunia berada dalam kondisi yang melemah,
sementara sebagian besar wilayah Muslim, termasuk Mesir, berada di bawah
dominasi imperialis Barat. Di sisi lain, Eropa mengalami kebangkitan dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemikiran filsafat, hasil dari
Renaisans, Pencerahan, dan Revolusi Industri.1
Kondisi ini
mendorong munculnya kesadaran di kalangan intelektual Muslim tentang perlunya
pembaruan (tajdīd) dalam berbagai bidang kehidupan umat, termasuk dalam hal
keagamaan. Salah satu arus utama yang muncul adalah gerakan Islah
dan Nahdah
yang mencoba menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni, bebas dari takhayul,
bid’ah, dan praktik keagamaan yang tidak rasional. Muhammad Abduh termasuk
tokoh kunci dalam arus ini. Ia melihat bahwa akar dari stagnasi umat Islam
bukan terletak pada ajaran Islam itu sendiri, melainkan pada cara pandang dan
pendekatan umat terhadap ajaran tersebut, yang cenderung menolak akal dan
kemajuan.2
Secara intelektual,
Abduh hidup di persimpangan dua dunia: Islam tradisional dan pemikiran modern
Eropa. Di satu sisi, ia menyaksikan sistem pendidikan Islam yang sangat
konservatif, yang menekankan hafalan dan pengulangan pendapat ulama klasik
tanpa usaha kritis. Di sisi lain, ia juga menyaksikan kemajuan Barat yang
berbasis pada akal, sains, dan kebebasan berpikir. Dalam konteks ini, Abduh
terdorong untuk mengembangkan sintesis yang tidak menolak modernitas secara
total, tetapi juga tidak kehilangan jati diri Islam. Ia menyatakan bahwa “akal
yang murni” dan “wahyu yang benar” tidak akan pernah bertentangan,
karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.3
Pertemuan Muhammad
Abduh dengan Jamal al-Din al-Afghani turut memperkaya horizon intelektualnya.
Bersama Afghani, ia terlibat dalam gerakan pan-Islamisme dan menerbitkan al-Urwah
al-Wuthqa, jurnal yang menyerukan kesatuan umat Islam dalam
menghadapi penjajahan Barat. Meski demikian, arah pemikiran Abduh kemudian
bertransformasi dari aktivisme politik menuju reformasi keilmuan dan keagamaan
yang lebih sistematis dan rasional. Ia mulai mengembangkan teori pembaruan
Islam melalui reinterpretasi teks-teks suci dan rekonstruksi hukum Islam dalam
terang perkembangan sosial modern.4
Secara filosofis,
Abduh dipengaruhi oleh pemikiran rasionalisme dan liberalisme Eropa, khususnya
dari tokoh-tokoh seperti Descartes, Voltaire, dan Rousseau yang ia kenal selama
masa pengasingannya di Paris. Namun, ia tidak serta-merta mengadopsi gagasan
Barat secara utuh. Abduh lebih memilih untuk melakukan seleksi kritis dan
mencari titik temu antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip rasionalitas
modern. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh kunci dalam “filsafat Islam
modern”—yaitu sebuah pendekatan filosofis terhadap Islam yang menekankan
rasionalitas, etika, dan keterbukaan terhadap dinamika zaman.5
Dalam konteks ini,
Abduh bukan hanya tampil sebagai reformis keagamaan, tetapi juga sebagai
pemikir filosofis yang mencoba membangun dasar epistemologis baru dalam
memahami Islam. Ia menolak pandangan bahwa Islam adalah agama yang statis dan
tidak kompatibel dengan perubahan. Sebaliknya, ia mengembangkan pandangan bahwa
Islam adalah agama yang hidup, yang memiliki fleksibilitas dan kapasitas untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan intelektual dan sosial masyarakat modern.6
Dengan demikian,
konteks historis dan intelektual yang melingkupi kehidupan Abduh memberikan
pijakan kuat bagi munculnya pemikirannya yang bercorak rasional, reformis, dan
filosofis. Responsnya terhadap tantangan kolonialisme, kemunduran umat, dan
wacana Barat menjadi fondasi penting dalam membangun visi pembaruan Islam yang
tidak hanya bersifat reformatif, tetapi juga transformasional dalam bingkai
filsafat dan pemikiran keislaman.
Footnotes
[1]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 108–110.
[2]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 91–93.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
14–16.
[4]
Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief
and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 73–79.
[5]
Mahmoud Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 253–254.
[6]
Yvonne Yazbeck Haddad, Contemporary Islam and the Challenge of
History (Albany: SUNY Press, 1982), 45–47.
4.
Rasionalisme Islam: Kritik terhadap Taqlid dan
Pembelaan Ijtihad
Salah satu ciri
paling menonjol dalam pemikiran Muhammad Abduh adalah keberpihakannya pada
rasionalisme Islam, yaitu keyakinan bahwa ajaran-ajaran Islam sejati selaras
dengan akal sehat dan logika rasional. Dalam pandangannya, Islam bukanlah agama
yang bertentangan dengan nalar manusia, melainkan justru mendorong penggunaan
akal dalam memahami wahyu dan realitas kehidupan. Abduh menyatakan bahwa
kejatuhan umat Islam terjadi karena pengabaian terhadap akal dan dominasi
tradisi keilmuan yang beku dan tidak kritis, yang ia sebut sebagai “taqlid
buta.”_1
4.1.
Kritik terhadap
Taqlid
Abduh mengkritik
keras budaya taqlid yang menurutnya telah
menjauhkan umat dari semangat dinamis ajaran Islam. Dalam konteks hukum Islam, taqlid
merujuk pada praktik mengikuti pendapat ulama atau mazhab tanpa pemahaman atau
usaha kritis. Ia menilai bahwa dominasi taqlid telah membunuh semangat ijtihad,
membekukan kreativitas keilmuan, dan menjadikan hukum Islam tidak mampu
merespons perubahan sosial. Dalam risalah dan fatwa-fatwanya, Abduh menyuarakan
bahwa umat Islam wajib kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah secara langsung,
dengan pertimbangan akal dan konteks zaman, bukan semata-mata meniru pendapat
ulama terdahulu.2
Baginya, para ulama
klasik melakukan ijtihad karena kebutuhan dan
kapasitas intelektual yang mereka miliki pada zamannya. Maka, pengulangan buta
atas pendapat mereka tanpa mempertimbangkan perkembangan masyarakat justru
bertentangan dengan semangat syariat itu sendiri yang bertujuan untuk membawa
maslahat dan keadilan. “Agama,”
tegas Abduh, “tidak akan berkembang jika terus dikurung dalam tradisi yang
tidak hidup.”_3
4.2.
Pembelaan terhadap
Ijtihad dan Fungsi Akal
Sebagai tandingan terhadap
taqlid,
Abduh menghidupkan kembali semangat ijtihad, yakni usaha rasional untuk
memahami dan menafsirkan teks-teks keagamaan secara kontekstual. Ia percaya
bahwa ijtihad
adalah alat penting untuk mentransformasikan ajaran Islam menjadi sistem hidup
yang adaptif dan relevan. Dalam pemikirannya, fungsi akal (‘aql)
tidak hanya diakui, tetapi diposisikan sebagai alat epistemologis utama dalam
memahami agama. Menurutnya, akal tidak bertentangan dengan wahyu; justru akal
adalah alat untuk memahami maksud wahyu.4
Dalam karya
terkenalnya Risālat al-Tawḥīd, Abduh
menyampaikan bahwa iman yang sejati tidak mungkin hanya berdasarkan warisan
atau doktrin, melainkan harus berdiri di atas pemahaman rasional yang kokoh. Ia
menolak iman yang bersifat dogmatis dan menyerukan agar setiap Muslim membangun
keyakinan melalui refleksi akal dan pembuktian logis. Konsep ini menandai
pergeseran dari teologi skolastik (kalām) yang spekulatif kepada teologi
rasional yang lebih berorientasi etis dan praktis.5
Lebih jauh, Abduh menyatakan
bahwa Islam tidak melarang sains atau pemikiran modern, selama tidak
mengingkari prinsip-prinsip ketauhidan. Bahkan, ia menganggap ilmu pengetahuan
sebagai bagian dari wahyu dalam bentuk lain, yaitu “kitab kauniyah”
(alam semesta), yang sama-sama harus ditadabburi. Maka, keberanian untuk
berpikir kritis, membongkar asumsi lama, dan melakukan reinterpretasi hukum
adalah bentuk ibadah intelektual yang mulia dalam kerangka pemikiran Abduh.6
4.3.
Rasionalisme sebagai
Prinsip Reformasi
Rasionalisme dalam
pemikiran Abduh bukan sekadar metode intelektual, melainkan fondasi normatif
bagi proyek reformasi Islam secara keseluruhan. Ia percaya bahwa reformasi
agama yang sejati hanya bisa terjadi apabila umat mengembalikan peran akal
dalam memahami ajaran agama dan realitas sosial. Dalam hal ini, Abduh tidak
hanya melakukan kritik terhadap struktur keilmuan klasik, tetapi juga membangun
sistem epistemologi baru yang menyatukan antara wahyu, akal, dan pengalaman
historis manusia.
Dengan pendekatan
tersebut, Abduh berhasil mereposisi akal dalam wacana Islam sebagai instrumen
yang sah dan bahkan niscaya dalam memahami syariat dan dinamika sosial.
Rasionalisme dalam Islam bukanlah ancaman, melainkan sarana untuk menyelamatkan
agama dari stagnasi dan untuk menjawab tantangan zaman modern dengan argumen
yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.
Footnotes
[1]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 123–125.
[2]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 136–139.
[3]
Muhammad Abduh, al-A‘māl al-Kāmilah, ed. Muhammad ‘Imarah
(Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nashr, 1972), 212.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
15–17.
[5]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa
al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 23–25.
[6]
Mahmoud Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 254–256.
5.
Tafsir dan Pemikiran Keislaman
Pemikiran keislaman
Muhammad Abduh mencapai puncaknya dalam karya-karya tafsir dan teologisnya, yang
menjadi wujud nyata dari semangat reformasi rasional yang ia gagas. Dalam
bidang tafsir, Abduh tidak hanya melanjutkan tradisi para mufasir terdahulu,
tetapi juga memperkenalkan pendekatan baru yang bersifat rasional, kontekstual,
dan aplikatif. Ia berupaya menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab hidup yang mampu
menjawab tantangan sosial, politik, dan intelektual masyarakat modern. Proyek
tafsirnya bersama Rasyid Ridha, yang kemudian dikenal sebagai Tafsir
al-Manār, menjadi manifestasi paling signifikan dari paradigma baru
tersebut.1
5.1.
Tafsir al-Manār:
Tafsir Kontekstual-Rasional
Tafsir
al-Manār pada dasarnya merupakan hasil dari kuliah-kuliah Abduh di
Al-Azhar dan tulisan-tulisannya yang kemudian dikompilasi dan dilanjutkan oleh
muridnya, Rasyid Ridha. Metode tafsir ini tidak hanya menekankan pada pemahaman
literal teks, tetapi juga mencakup analisis rasional terhadap konteks historis
dan sosial dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Abduh mengkritik kecenderungan para
mufasir klasik yang terlalu fokus pada aspek gramatikal, isra’iliyat, dan
polemik sektarian, tetapi abai terhadap relevansi sosial-politik dari pesan
Al-Qur’an.2
Dalam menafsirkan
ayat-ayat hukum maupun akidah, Abduh menggunakan pendekatan yang mengedepankan
maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat), yaitu keadilan, kemaslahatan, dan
rasionalitas. Misalnya, dalam menafsirkan QS al-Nisā’ [4] ayat 34 tentang
relasi suami-istri, ia menolak interpretasi literalistik yang melegitimasi
kekerasan rumah tangga dan menekankan pentingnya keadilan dan penghormatan
terhadap perempuan sebagai makhluk rasional yang setara secara moral.3
5.2.
Reinterpretasi Doa,
Mukjizat, dan Takdir
Salah satu
kontribusi Abduh yang penting dalam tafsir adalah reinterpretasi terhadap
konsep-konsep teologis klasik seperti doa, mukjizat, dan takdir. Ia menolak
pemahaman magis terhadap doa dan menafsirkan doa sebagai ekspresi spiritual
yang memperkuat tekad dan kesadaran moral manusia. Dalam pandangannya, doa
tidak mengubah hukum sebab-akibat secara fisik, tetapi menggerakkan hati
manusia untuk bertindak secara etis dan produktif.4
Demikian pula,
mukjizat tidak dipahami sebagai pelanggaran terhadap hukum alam, tetapi sebagai
peristiwa yang menakjubkan dalam batas hukum alam yang dimungkinkan oleh kuasa
Tuhan. Ini menunjukkan pandangan Abduh yang berusaha mengharmoniskan antara
keimanan dengan prinsip rasionalitas dan sains modern.5 Dalam soal
takdir, Abduh menolak fatalisme dan menekankan tanggung jawab manusia atas
pilihan-pilihannya. Ia menghidupkan kembali pandangan qadar
dalam kerangka kebebasan dan akuntabilitas moral, bukan determinisme mutlak.
5.3.
Tauhid sebagai Inti
Moral dan Rasional Ajaran Islam
Dalam karyanya Risālat
al-Tawḥīd, Abduh mengartikulasikan ajaran tauhid bukan sekadar
sebagai doktrin metafisik, melainkan sebagai asas etika dan rasionalitas
sosial. Tauhid, menurut Abduh, tidak hanya berarti pengakuan atas keesaan
Tuhan, tetapi juga meniscayakan kebebasan berpikir, keadilan sosial, dan
penghormatan terhadap harkat manusia. Dalam konteks ini, tauhid menjadi dasar
pembebasan umat dari ketertundukan kepada otoritas manusia yang tidak adil dan
dari budaya takhayul yang merusak daya nalar.6
Dengan demikian,
pemikiran keislaman Abduh bukan hanya mengusung agenda reformasi fikih, tetapi
juga meletakkan dasar-dasar teologi yang progresif dan filosofis. Ia
mengembangkan pendekatan keagamaan yang memadukan teks wahyu dengan nalar dan
pengalaman historis, menjadikan Islam tidak hanya relevan secara spiritual,
tetapi juga efektif sebagai sistem sosial yang adaptif terhadap modernitas.
Footnotes
[1]
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Jilid 1
(Kairo: al-Manār, 1900), i–ix.
[2]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 145–148.
[3]
Rifat Hasan, “The Role of Ijtihad in Reforming Muslim Thought,” The
Muslim World 92, no. 3–4 (2002): 469–487.
[4]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 142–145.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
18–20.
[6]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa
al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 29–32.
6.
Pandangan tentang Pendidikan dan Reformasi
Sosial
Dalam kerangka
pemikiran Muhammad Abduh, reformasi Islam tidak dapat dipisahkan dari pembaruan
sistem pendidikan dan transformasi sosial. Ia meyakini bahwa kemunduran umat
Islam pada masa modern bukanlah akibat dari ajaran agama itu sendiri, melainkan
karena cara berpikir umat yang telah stagnan dan sistem pendidikan yang tidak
lagi relevan dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, pendidikan menjadi arena
utama perjuangan Abduh dalam proyek pembaruan Islam.
6.1.
Reformasi
Pendidikan: Sintesis Ilmu Agama dan Modern
Abduh melihat bahwa
sistem pendidikan Islam tradisional, khususnya di al-Azhar, terlalu menekankan
hafalan teks-teks klasik dan mengabaikan pemahaman kritis serta aplikasi ilmu
dalam kehidupan nyata. Ia menyatakan bahwa pendidikan semacam ini hanya
melahirkan generasi yang pasif dan dogmatis. Dalam kapasitasnya sebagai
pengajar di al-Azhar dan pejabat pendidikan, Abduh berusaha mereformasi
kurikulum agar mencakup ilmu-ilmu rasional seperti logika, matematika, sains,
dan filsafat, yang selama ini dianggap asing dalam pendidikan Islam formal.1
Menurut Abduh, ilmu
agama dan ilmu modern tidak boleh dipisahkan secara dikotomis. Ilmu pengetahuan
adalah manifestasi dari kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya, dan karenanya
mempelajari alam berarti mendekati Allah melalui cara yang rasional. Dalam
kerangka ini, ia mengembangkan gagasan bahwa pendidikan harus menumbuhkan
kemampuan berpikir mandiri, semangat ijtihad, dan kepedulian sosial yang
tinggi. Tujuan akhir pendidikan bukan sekadar pencapaian individual, tetapi
pembangunan masyarakat yang adil, rasional, dan bermartabat.2
6.2.
Peran Etis dan
Emansipatoris Pendidikan
Bagi Abduh,
pendidikan juga berperan sebagai alat emansipasi moral dan sosial. Ia menolak
sistem sosial yang menindas perempuan, membatasi kebebasan berpikir, dan
mempertahankan ketimpangan sosial atas nama tradisi agama. Dalam hal ini, ia
termasuk tokoh awal yang mendukung pendidikan perempuan, yang saat itu masih
ditentang oleh banyak kalangan konservatif. Ia menekankan bahwa perempuan yang
terdidik akan menjadi ibu yang cerdas dan mendidik generasi masa depan yang
unggul.3
Abduh juga menolak
praktik-praktik pendidikan yang menjadikan peserta didik sekadar objek
indoktrinasi. Ia menyerukan pendidikan dialogis yang melibatkan kemampuan
analitis dan pertimbangan moral. Menurutnya, proses pendidikan seharusnya mampu
menghidupkan kesadaran individu atas tanggung jawab sosialnya, termasuk untuk
memberantas kemiskinan, ketertinggalan, dan ketidakadilan di tengah masyarakat.4
6.3.
Reformasi Sosial:
Etika, Keadilan, dan Kebebasan
Dalam kerangka yang
lebih luas, pemikiran pendidikan Abduh terhubung erat dengan proyek reformasi
sosial. Ia melihat agama sebagai kekuatan moral untuk memperbaiki tatanan
masyarakat. Oleh karena itu, Abduh menyerukan reformasi hukum Islam agar lebih
responsif terhadap prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan
publik. Dalam banyak fatwanya sebagai Mufti Mesir, ia menunjukkan fleksibilitas
dalam hukum Islam demi menjawab kebutuhan sosial, seperti membolehkan
pengambilan bunga bank untuk kepentingan negara atau modernisasi sistem
peradilan.5
Abduh juga menolak
absolutisme politik dan mendukung sistem pemerintahan yang konstitusional dan
partisipatif. Dalam pandangannya, kekuasaan politik yang tidak tunduk pada akal
dan etika hanya akan menghasilkan penindasan. Maka, pembaruan sosial menurut
Abduh harus dimulai dari pembaruan individu melalui pendidikan, lalu merambah
ke struktur sosial dan politik melalui sistem hukum yang adil dan kebebasan
berpikir.6
Dengan demikian,
pemikiran Abduh tentang pendidikan dan reformasi sosial menunjukkan satu
kesatuan visi transformasional. Ia tidak hanya berupaya menghidupkan kembali
Islam dari aspek spiritual dan intelektual, tetapi juga membangun fondasi bagi
masyarakat Muslim modern yang rasional, adil, dan bermoral. Warisan ini tetap
relevan hingga hari ini, terutama dalam upaya menghadirkan sistem pendidikan
Islam yang adaptif, progresif, dan berorientasi pada kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 174–177.
[2]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 145–148.
[3]
Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 250–251.
[4]
Muhammad Abduh, al-A‘māl al-Kāmilah, ed. Muhammad ‘Imarah
(Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nashr, 1972), 297–301.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
20–22.
[6]
Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief
and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 82–84.
7.
Pemikiran Politik dan Hukum
Muhammad Abduh
merupakan salah satu pemikir Muslim modern awal yang mengintegrasikan secara
eksplisit prinsip-prinsip rasionalisme dan moralitas Islam ke dalam konsep
politik dan hukum. Gagasan politik dan hukumnya tidak dapat dipisahkan dari
latar historis Mesir yang berada di bawah tekanan kolonialisme Inggris, serta
kerapuhan sistem pemerintahan dan hukum Islam yang cenderung otoriter dan
stagnan. Melalui pendekatan yang moderat dan rasional, Abduh berupaya
mereformasi sistem politik dan hukum Islam dengan tetap berpegang pada
nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kemaslahatan umat.
7.1.
Politik: Antara
Kekuasaan dan Etika
Dalam bidang
politik, Abduh menolak konsep kekuasaan absolut yang tidak bertanggung jawab.
Ia menilai bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam adalah dominasi penguasa
yang tiranik dan ulama yang tunduk pada kekuasaan. Ia menekankan bahwa Islam
mengajarkan prinsip syūrā (musyawarah) sebagai dasar
pemerintahan yang adil dan partisipatif. Meskipun ia tidak secara eksplisit
menyerukan demokrasi dalam pengertian Barat, namun ia menolak monarki absolut
dan mendukung sistem pemerintahan konstitusional yang menempatkan penguasa di
bawah hukum dan akuntabilitas publik.1
Pemikiran politik
Abduh juga merefleksikan pengaruh dari pemikiran modern Eropa yang ia pelajari
selama pengasingannya di Paris, termasuk ide-ide Rousseau tentang kontrak
sosial dan kebebasan sipil. Namun, ia tetap berpijak pada kerangka Islam dengan
menekankan bahwa kekuasaan tidak sah kecuali berdasarkan legitimasi moral dan
pengabdian kepada rakyat. Dengan demikian, baginya, agama dan politik tidak
boleh dipisahkan, tetapi agama harus berfungsi sebagai etika publik yang
mengontrol kekuasaan, bukan sebagai alat dominasi penguasa.2
7.2.
Hukum Islam dan
Ijtihad Sosial
Dalam bidang hukum,
Abduh melakukan reinterpretasi terhadap syariat dengan mengedepankan asas maqāṣid
al-sharī‘ah, yakni tujuan-tujuan syariat yang meliputi keadilan,
kemaslahatan, dan kebebasan. Ia menolak pendekatan fiqh yang rigid dan
tekstualistik yang berkembang dalam madzhab-madzhab klasik. Menurutnya, hukum
Islam harus mampu merespons realitas sosial yang terus berubah. Dalam posisinya
sebagai Mufti Mesir (1899–1905), Abduh mengeluarkan sejumlah fatwa progresif
yang mencerminkan prinsip rasional dan kontekstual dalam hukum Islam, antara
lain membolehkan pengambilan bunga bank dalam situasi tertentu demi maslahat
umat, serta menganjurkan reformasi sistem peradilan Islam agar sejalan dengan
prinsip keadilan modern.3
Abduh juga menolak
bahwa syariat harus diidentikkan dengan bentuk-bentuk hukum yang baku dari masa
lalu. Ia membedakan antara esensi syariat (yang bersifat tetap dan transenden)
dengan bentuk-bentuk aplikasinya (yang bersifat historis dan bisa berubah).
Dalam kerangka ini, ijtihad menjadi kunci untuk
mentransformasikan hukum Islam agar sesuai dengan dinamika masyarakat. Ia
menyatakan bahwa pembekuan ijtihad adalah bencana besar yang
menutup kemungkinan Islam menjawab tantangan zaman.4
7.3.
Reformasi Hukum
Keluarga dan Gender
Salah satu bidang
penting yang juga menjadi perhatian Abduh adalah hukum keluarga. Ia mengusulkan
reformasi terhadap praktik-praktik hukum Islam yang diskriminatif terhadap
perempuan. Dalam tafsir dan fatwanya, ia menekankan pentingnya perlakuan adil
terhadap perempuan dalam pernikahan, warisan, dan pendidikan. Baginya, tidak
ada pertentangan antara prinsip-prinsip keadilan gender dengan nilai-nilai
Islam jika syariat ditafsirkan secara kontekstual dan rasional.5
Pandangan ini
mencerminkan upaya Abduh untuk mengangkat hukum Islam dari keterkaitannya
dengan tradisi patriarkal menuju sistem yang lebih inklusif dan etis. Ia
melihat bahwa sebagian besar ketimpangan gender bukan berasal dari ajaran Islam
yang otentik, tetapi dari tafsir yang sempit terhadap teks keagamaan.
Dengan demikian,
pemikiran politik dan hukum Muhammad Abduh merupakan upaya komprehensif untuk
menyelaraskan antara prinsip normatif Islam dan kebutuhan praktis masyarakat
modern. Ia mengembangkan pendekatan reformis yang menempatkan syariat dalam
bingkai rasionalitas dan keadilan, serta memperjuangkan pemerintahan yang etis
dan hukum yang kontekstual. Warisan ini menjadikan Abduh sebagai peletak dasar
penting bagi wacana Islam politik dan hukum progresif di dunia Islam
kontemporer.
Footnotes
[1]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 189–192.
[2]
Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief
and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 85–88.
[3]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 140–142.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
22–24.
[5]
Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 252–254.
8.
Warisan Intelektual dan Pengaruh Pemikirannya
Warisan intelektual
Muhammad Abduh melampaui batas geografis Mesir dan menempati posisi penting
dalam sejarah pemikiran Islam modern. Sebagai pelopor reformasi Islam yang
berbasis pada akal dan kontekstualisasi ajaran agama, pengaruh Abduh tidak
hanya terasa pada zamannya, tetapi terus mewarnai diskursus keislaman hingga
hari ini. Gagasan-gagasannya tentang rasionalitas, pembaruan hukum, pendidikan,
serta etika sosial-politik telah membentuk fondasi bagi perkembangan Islam
reformis di dunia Muslim kontemporer.
8.1.
Pengaruh terhadap
Generasi Intelektual Sesudahnya
Pemikiran Abduh
memberi dampak besar pada generasi penerusnya, baik yang langsung berinteraksi
dengannya maupun yang hanya terinspirasi dari karya-karyanya. Di Mesir, murid
dan penerus intelektual terdekatnya adalah Rasyid Ridha, yang tidak hanya
melanjutkan proyek tafsir al-Manār, tetapi juga memperluas
jangkauan pemikiran Abduh ke dalam isu-isu sosial-politik yang lebih tajam,
seperti khilafah, hukum pidana Islam, dan modernisasi negara Muslim. Meskipun
Ridha pada masa-masa akhir cenderung lebih konservatif, ia tetap memegang
prinsip dasar yang diwariskan Abduh, yaitu pentingnya ijtihad
dan pembaruan hukum Islam.1
Di dunia yang lebih
luas, gagasan Abduh berpengaruh terhadap tokoh-tokoh seperti Fazlur
Rahman di Pakistan dan Amerika Serikat, yang mengembangkan
metodologi “hermeneutika kontekstual” dalam memahami Al-Qur’an, serta Muhammad
Iqbal di anak benua India, yang menegaskan pentingnya ijtihad
dan dinamika spiritual dalam kehidupan umat Islam modern. Rahman secara
eksplisit menyatakan bahwa proyek intelektualnya merupakan kelanjutan dari
reformasi yang dimulai oleh Abduh, khususnya dalam menekankan pentingnya maqāṣid
al-sharī‘ah dan pemikiran etis dalam Islam.2
8.2.
Pengaruh terhadap
Institusi dan Gerakan Sosial
Pengaruh Abduh juga
bersifat institusional. Reformasinya di al-Azhar menjadi titik tolak penting
bagi perubahan sistem pendidikan Islam di Mesir, walau sempat mengalami
resistensi. Ia mendorong integrasi antara ilmu agama dan ilmu modern, serta
pembaruan kurikulum agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Beberapa
institusi pendidikan Islam di berbagai negara—seperti Universitas Islam Negeri
(UIN) di Indonesia—secara ideologis terinspirasi oleh semangat integrasi
keilmuan yang diperjuangkan Abduh.3
Selain itu,
pemikiran Abduh turut menginspirasi munculnya gerakan-gerakan Islam reformis
seperti Muhammadiyah di Indonesia. K.H.
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membaca karya-karya Abduh dan Ridha yang
terbit dalam al-Manār, serta menyerap semangat
purifikasi tauhid, rasionalisasi ajaran Islam, dan pentingnya pendidikan modern
sebagai sarana pemberdayaan umat.4 Gerakan
seperti ini membuktikan bahwa gagasan Abduh tidak bersifat lokal, tetapi
kosmopolit dalam pengaruhnya.
8.3.
Kritik dan Pembacaan
Kritis terhadap Pemikirannya
Meski begitu, tidak
sedikit kritik yang diarahkan terhadap pemikiran Abduh. Beberapa kalangan
tradisionalis menuduhnya terlalu condong pada modernisme Barat dan terlalu
berani merombak otoritas klasik dalam Islam. Di sisi lain, sebagian intelektual
kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd menilai
bahwa Abduh belum cukup radikal dalam menggugat fondasi epistemologi klasik,
karena masih mengandalkan pendekatan apologetik terhadap teks-teks suci.5
Namun, kritik
tersebut menunjukkan bahwa pemikiran Abduh telah membuka ruang perdebatan yang
luas dalam khazanah intelektual Islam. Ia tidak menawarkan sistem tertutup,
melainkan membuka pintu bagi reinterpretasi, dialog, dan pengembangan gagasan
sesuai dengan konteks zaman. Dalam hal ini, warisan Abduh bukan sekadar
kumpulan teori, tetapi metode berpikir yang hidup—yang mengajarkan umat untuk
terus berijtihad dan menyikapi dinamika zaman dengan kecerdasan etis dan
spiritual.
Dengan demikian,
warisan intelektual Muhammad Abduh terletak pada kontribusinya dalam membentuk
paradigma baru pemikiran Islam modern: Islam yang rasional, kontekstual,
inklusif, dan terbuka terhadap perubahan. Ia adalah pionir dalam menjembatani
antara tradisi dan modernitas, antara wahyu dan akal, serta antara keimanan dan
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Jilid 1 (Kairo: al-Manār,
1900), pengantar editor.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–5.
[3]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 149–153.
[4]
Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian
State: The Persatuan Islam (Persis), 1923 to 1957 (Leiden: Brill, 2001),
57–59.
[5]
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur'an: Towards a Humanistic
Hermeneutics (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 45–47.
9.
Analisis Filosofis: Abduh sebagai Tokoh
Filsafat Islam Modern
Muhammad Abduh bukan
hanya dikenal sebagai reformis keagamaan dan pemimpin sosial, tetapi juga
sebagai pemikir filosofis yang berupaya
membentuk paradigma baru dalam pemikiran Islam modern. Meskipun ia tidak
menyusun sistem filsafat formal sebagaimana para filsuf klasik seperti
al-Farabi atau Ibn Sina, pendekatannya terhadap masalah-masalah teologi,
epistemologi, etika, dan masyarakat menunjukkan karakteristik yang kuat sebagai
pemikir filsafat Islam dalam konteks modernitas. Ia mengembangkan sintesis
antara nilai-nilai Islam dan rasionalitas modern, dengan menjadikan akal
(‘aql) dan ijtihad sebagai prinsip dasar
dalam menafsirkan realitas keagamaan dan sosial.
9.1.
Teologi Rasional dan
Epistemologi Islam
Dalam karya utamanya
Risālat
al-Tawḥīd, Abduh mengemukakan pendekatan teologi
rasional (kalām ‘aqlī), yang berupaya menjelaskan
prinsip-prinsip keimanan melalui argumen logis dan rasional. Ia menolak teologi
skolastik yang penuh spekulasi metafisik dan mempertahankan bahwa ajaran tauhid
harus dipahami secara rasional karena Allah memberi manusia akal sebagai alat
untuk mengenal-Nya dan menafsirkan wahyu-Nya.1 Dalam
kerangka epistemologi Islam, Abduh memperluas sumber pengetahuan tidak hanya
pada teks wahyu, tetapi juga pada akal dan pengalaman empiris. Dengan demikian,
ia memadukan bayānī (tekstual), burhānī
(rasional-logis), dan ‘irfānī (intuitif) dalam suatu
model pengetahuan yang dinamis dan terbuka.2
Abduh menyatakan
bahwa wahyu dan akal tidak saling bertentangan karena berasal dari sumber yang
sama: Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, konflik antara sains dan agama
adalah akibat dari kesalahan manusia dalam menafsirkan keduanya, bukan
pertentangan inheren antara iman dan rasio. Gagasan ini sejajar dengan prinsip filsafat
modern Islam yang menolak dikotomi antara ilmu pengetahuan dan
keimanan, serta memperjuangkan integrasi ilmu-ilmu agama dan dunia.3
9.2.
Etika, Moralitas,
dan Kebebasan
Dalam bidang etika,
Abduh memandang bahwa Islam mengandung prinsip-prinsip moral universal yang
bersumber dari akal sehat. Ia menolak ide bahwa moralitas hanya bersumber dari
wahyu, dan menegaskan bahwa akal manusia mampu membedakan antara yang baik dan
buruk tanpa selalu menunggu perintah tekstual. Oleh sebab itu, ia menekankan
pentingnya tanggung jawab moral dan kebebasan
individu, sebagai pilar etika sosial yang dapat menopang
keadilan dan kemajuan umat.4
Pandangan ini
menempatkan Abduh dalam tradisi etika rasional Islam, yang
mengembangkan moralitas berdasarkan prinsip-prinsip objektif dan kemaslahatan
publik. Ia tidak menolak hukum-hukum syariat, namun menolak pendekatan rigid
terhadapnya. Bagi Abduh, hukum Islam harus berfungsi untuk melindungi dan
merealisasikan nilai-nilai moral, bukan sekadar mempertahankan bentuk formal
yang sudah usang.
9.3.
Filsafat Sosial dan
Perubahan Historis
Abduh juga dapat
dikaji dalam kerangka filsafat sosial karena ia
menawarkan teori tentang hubungan antara individu, masyarakat, dan negara
berdasarkan asas moral dan rasionalitas. Ia menolak struktur sosial-politik
yang otoriter dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan.
Dengan mengembangkan prinsip syūrā, keadilan, dan pendidikan
sebagai instrumen pembebasan sosial, Abduh menampilkan pendekatan filosofis
terhadap transformasi masyarakat Muslim modern.5
Dalam perspektif
historis, pemikiran Abduh bersifat evolusioner. Ia tidak mengidealisasi masa
lalu Islam secara romantik, melainkan melihat sejarah sebagai proses dinamis
yang menuntut keterbukaan terhadap perubahan. Ia menolak fatalisme historis dan
menggagas bahwa kemajuan hanya dapat diraih melalui pemurnian akidah,
rasionalisasi hukum, dan pembaruan institusi sosial. Pandangan ini menempatkan
Abduh dalam barisan pemikir modernis progresif yang menyatukan kesadaran
historis dan etika perbaikan sebagai inti filsafat Islam
modern.6
Kesimpulan Analitis
Muhammad Abduh dapat
diposisikan sebagai filosof praktis dalam tradisi
Islam modern, yang memperjuangkan rekonstruksi pemikiran Islam melalui
pendekatan rasional, kontekstual, dan etis. Ia tidak menciptakan sistem
metafisika baru, tetapi membangun kerangka filsafat sosial-keagamaan yang
berdampak besar dalam membentuk kesadaran modern umat Islam. Dengan memadukan
wahyu, akal, dan realitas sosial, Abduh telah membuka jalan bagi berkembangnya
tradisi filsafat Islam yang lebih responsif terhadap problematika zaman
kontemporer.
Footnotes
[1]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa
al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 17–20.
[2]
Nabil Shehadeh, Islamic Reform and Arab Nationalism: Expanding the
Crescent from the Mediterranean to the Euphrates (Amman: Dar al-Kitab,
1993), 112–114.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
14–18.
[4]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 144–146.
[5]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 163–165.
[6]
Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 257–259.
10.
Kesimpulan
Pemikiran Muhammad
Abduh merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah pembaruan Islam
modern. Sebagai ulama, reformis, dan pemikir rasionalis, Abduh berhasil
menyusun suatu kerangka pemikiran keislaman yang berupaya menjawab tantangan
zaman modern tanpa harus melepaskan akar tradisi Islam. Melalui pendekatan
rasional, kontekstual, dan etis, Abduh menawarkan paradigma baru dalam memahami
ajaran Islam secara dinamis dan relevan terhadap perkembangan masyarakat
modern.
Pemikiran
rasionalisme Abduh didasarkan pada keyakinan bahwa akal
(‘aql) merupakan anugerah Tuhan yang setara dengan wahyu dalam
fungsinya sebagai alat pemahaman. Baginya, tidak ada pertentangan inheren
antara agama dan rasionalitas; yang terjadi justru adalah kesalahan umat dalam
menafsirkan wahyu secara dogmatis tanpa melibatkan daya pikir kritis.1
Oleh karena itu, ia dengan tegas mengkritik budaya taqlid dan menyerukan penghidupan
kembali ijtihad
sebagai metode utama untuk memahami teks-teks keagamaan secara kontekstual.2
Melalui tafsir al-Manār,
Abduh menunjukkan model penafsiran Al-Qur’an yang progresif, dengan menekankan
nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan tujuan syariat (maqāṣid al-sharī‘ah). Ia
menafsirkan konsep-konsep seperti doa, mukjizat, dan takdir secara rasional,
serta memandang tauhid bukan hanya sebagai prinsip teologis, melainkan juga
sebagai asas etika sosial dan pembebasan dari ketertundukan kepada selain
Tuhan.3
Dalam bidang
pendidikan dan sosial, Abduh menekankan pentingnya reformasi sistem pendidikan
Islam agar mampu melahirkan generasi berpikir kritis dan memiliki kepekaan
sosial. Ia mendukung pendidikan perempuan dan menolak diskriminasi gender atas
nama agama, serta melihat pendidikan sebagai sarana pembebasan moral dan sosial
umat.4 Pandangan hukumnya pun sangat responsif terhadap perkembangan
zaman, dengan menekankan fleksibilitas syariat dalam menghadapi kebutuhan
masyarakat modern.
Secara filosofis,
Abduh menempati posisi strategis sebagai jembatan antara pemikiran klasik dan
modern. Ia membentuk dasar bagi filsafat Islam modern, dengan
mengintegrasikan wahyu, akal, dan realitas sosial ke dalam suatu kerangka
pemikiran yang terbuka dan progresif. Dalam pendekatannya terhadap teologi,
hukum, etika, dan politik, Abduh mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas,
keadilan, dan kebebasan sebagai nilai-nilai utama dalam transformasi umat
Islam.5
Warisan intelektual
Abduh terus menginspirasi berbagai gerakan Islam reformis di dunia Muslim,
termasuk di Indonesia melalui tokoh-tokoh seperti Ahmad Dahlan dan organisasi
modernis seperti Muhammadiyah. Gagasannya juga membentuk dasar metodologi
pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Rasyid Ridha, Fazlur Rahman, dan Muhammad
Iqbal.6
Dengan demikian,
kontribusi Muhammad Abduh tidak hanya bersifat historis, tetapi juga konseptual
dan metodologis. Ia telah membuka jalan bagi pemikiran Islam yang rasional,
terbuka terhadap perubahan, dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Di tengah
tantangan zaman yang terus berubah, pemikiran Abduh tetap menjadi sumber
inspirasi penting bagi siapa pun yang mencari format keislaman yang berakar
pada wahyu, berpijak pada akal, dan berpandangan jauh ke depan.
Footnotes
[1]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa
al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 21–23.
[2]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the
Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford
University Press, 1933), 123–126.
[3]
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Jilid 1 (Kairo: al-Manār,
1900), 1–10; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939,
2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 142–145.
[4]
Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic
Studies 19, no. 3 (1980): 250–252.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
14–18.
[6]
Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian
State: The Persatuan Islam (Persis), 1923 to 1957 (Leiden: Brill, 2001),
57–59.
Daftar Pustaka
Abduh, M. (1966). Risālat
al-Tawḥīd (I. M. al-Husayni, Ed. & Trans.). Beirut: Dar al-Fikr.
Abduh, M., & Ridha, R. (1900).
Tafsir al-Manār (Vol. 1). Kairo: al-Manār.
Adams, C. C. (1933). Islam
and modernism in Egypt: A study of the modern reform movement inaugurated by
Muhammad Abduh. London: Oxford University Press.
Federspiel, H. M. (2001). Islam
and ideology in the emerging Indonesian state: The Persatuan Islam (Persis),
1923 to 1957. Leiden: Brill.
Hourani, A. (1983). Arabic
thought in the liberal age: 1798–1939 (2nd ed.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Kedourie, E. (1966). Afghani
and Abduh: An essay on religious unbelief and political activism in modern
Islam. London: Frank Cass.
Rahman, F. (1982). Islam
and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago:
University of Chicago Press.
Shehadeh, N. (1993). Islamic
reform and Arab nationalism: Expanding the crescent from the Mediterranean to
the Euphrates. Amman: Dar al-Kitab.
Zayd, N. H. A. (2004). Rethinking
the Qur’an: Towards a humanistic hermeneutics. Amsterdam: Humanistics
University Press.
Haddad, Y. Y. (1980). Muhammad
Abduh: Pioneer of Islamic reform. Islamic Studies, 19(3), 247–259.
Hasan, R. (2002). The role
of ijtihad in reforming Muslim thought. The Muslim World, 92(3–4),
469–487. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2002.tb03750.x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar