Rabu, 16 April 2025

Pemikiran Muhammad Abduh: Sebuah Telaah Filsafat Islam Modern

Pemikiran Muhammad Abduh

Sebuah Telaah Filsafat Islam Modern


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pemikiran Muhammad Abduh sebagai salah satu tokoh sentral dalam pembaruan pemikiran Islam modern melalui pendekatan rasionalisme dan reformasi keagamaan. Dengan latar belakang sosial-politik abad ke-19 yang ditandai oleh kolonialisme, kemunduran institusi keilmuan Islam, dan dominasi taqlid, Abduh tampil sebagai pembaru yang menghidupkan kembali peran akal dan ijtihad dalam memahami ajaran agama. Kajian ini menganalisis pemikiran Abduh dalam bidang tafsir, teologi, pendidikan, hukum, dan politik, serta menempatkannya dalam kerangka filsafat Islam modern yang mengintegrasikan wahyu, akal, dan realitas historis. Abduh tidak hanya menyuarakan reinterpretasi terhadap konsep-konsep klasik seperti tauhid, takdir, dan mukjizat secara rasional, tetapi juga menekankan pentingnya pembaruan hukum Islam dan pendidikan sebagai instrumen transformasi sosial. Artikel ini juga menyoroti warisan intelektual Abduh yang luas, termasuk pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh seperti Rasyid Ridha, Fazlur Rahman, dan gerakan Islam modernis seperti Muhammadiyah. Dengan pendekatan deskriptif-analitis berbasis studi pustaka, artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Abduh merupakan fondasi penting bagi filsafat Islam modern yang rasional, kontekstual, dan progresif.

Kata Kunci: Muhammad Abduh; Rasionalisme Islam; Ijtihad; Reformasi Islam; Filsafat Islam Modern; Tafsir al-Manār; Maqāṣid al-Sharī‘ah; Pendidikan Islam; Hukum Islam; Modernitas.


PEMBAHASAN

Rasionalisme dan Reformasi Islam dalam Pemikiran Muhammad Abduh


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran Islam modern, Muhammad Abduh (1849–1905) menempati posisi yang sangat penting sebagai tokoh pembaru yang menjembatani tradisi keilmuan klasik Islam dengan semangat rasionalitas dan modernitas. Munculnya pemikiran Abduh tidak dapat dilepaskan dari krisis multidimensional yang melanda dunia Islam pada akhir abad ke-19, yang ditandai oleh kemunduran politik, stagnasi intelektual, serta dominasi kolonialisme Barat atas negeri-negeri Muslim. Dalam konteks inilah, Abduh tampil dengan proyek besar reformasi keagamaan (tajdīd al-dīn) yang bertumpu pada rekonsiliasi antara ajaran Islam dan rasionalitas modern, serta penolakan terhadap bentuk-bentuk pemahaman agama yang kaku dan tidak kontekstual.1

Abduh berangkat dari keyakinan bahwa ajaran Islam pada dasarnya bersifat rasional dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, menurutnya, pemikiran keagamaan umat Islam telah mengalami pembekuan karena dominasi taqlid (ikut secara buta terhadap pendapat ulama terdahulu) dan pengabaian terhadap ijtihad (usaha intelektual dalam memahami teks keagamaan). Ia menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mendukung akal sehat, kebebasan berpikir, serta keadilan sosial. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali kejayaan umat, diperlukan pembaruan dalam cara berpikir umat Islam, khususnya dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam secara lebih rasional dan kontekstual.2

Pemikiran Muhammad Abduh berkembang dalam suasana pertarungan ideologis yang kompleks. Di satu sisi, ia terpengaruh oleh pemikiran rasionalisme dan liberalisme Eropa yang ia kenal saat berada di Paris bersama gurunya, Jamal al-Din al-Afghani. Di sisi lain, ia tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Islam sebagai sumber etika, hukum, dan tatanan sosial. Karena itu, gagasannya sering digambarkan sebagai sintesis antara Islam dan modernitas, atau antara warisan tradisional dengan pencerahan Barat.3 Upaya Abduh untuk menafsirkan ulang ajaran Islam tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga filosofis. Ia mengembangkan suatu model berpikir yang berupaya memadukan teks wahyu dengan pertimbangan akal, serta memperjuangkan pemisahan antara substansi ajaran agama dan bentuk-bentuk turunannya yang bersifat historis.4

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pemikiran Muhammad Abduh secara mendalam dalam kerangka filsafat Islam modern. Fokus utamanya adalah pada aspek rasionalisme keislaman dan strategi reformasi sosial-intelektual yang ia gagas. Dengan pendekatan filosofis-historis, tulisan ini akan menjelaskan akar-akar pemikiran Abduh, konteks yang melatarbelakangi gagasannya, serta kontribusinya terhadap perkembangan pemikiran Islam kontemporer. Pemahaman yang tepat terhadap pemikiran Abduh sangat penting bukan hanya dalam kajian filsafat Islam, tetapi juga dalam mencari solusi atas problematika keagamaan umat Islam di era modern.


Footnotes

[1]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 131–134.

[2]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 96–100.

[3]                Mahmoud Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 247–259.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 14–17.


2.           Biografi Intelektual Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr, provinsi Beheira, Mesir Hulu, dari keluarga petani sederhana keturunan Arab.1 Sejak kecil, ia menunjukkan minat pada studi agama dan akhirnya dikirim ke al-Azhar di Kairo, institusi pendidikan Islam tertua dan paling terkemuka di dunia Islam. Di sinilah Abduh menerima pelatihan keilmuan klasik dalam bidang tafsir, hadis, fiqh, dan kalām. Namun, sistem pendidikan tradisional al-Azhar saat itu masih sangat terikat pada metode hafalan dan taqlid, yang kelak dikritiknya dalam karya-karya reformisnya.2

Perubahan besar dalam arah intelektual Abduh terjadi ketika ia bertemu dengan Jamal al-Din al-Afghani (1838–1897), seorang pemikir dan aktivis pan-Islamis revolusioner. Hubungan guru-murid ini membuka cakrawala berpikir Abduh ke arah pemikiran politik dan filsafat modern. Afghani mendorongnya untuk tidak sekadar menguasai ilmu-ilmu tradisional, tetapi juga memahami filsafat, logika, dan isu-isu dunia modern, termasuk politik, kolonialisme, dan kemajuan sains.3 Bersama Afghani, Abduh terlibat dalam gerakan pembaruan politik dan penerbitan jurnal al-Urwah al-Wuthqa (1884) yang menyerukan solidaritas umat Islam menghadapi dominasi Barat. Masa-masa ini memperluas wawasan intelektual Abduh sekaligus meneguhkan komitmennya terhadap reformasi sosial dan agama.

Akibat keterlibatannya dalam aktivitas politik yang dianggap subversif oleh otoritas kolonial Inggris di Mesir, Abduh diasingkan ke Beirut dan kemudian Paris. Pengasingan ini justru memperkaya wawasannya melalui interaksi langsung dengan pemikiran filsafat Barat. Di Paris, ia membaca karya-karya rasionalis dan reformis seperti Voltaire, Rousseau, dan Descartes, yang semakin memperkuat keyakinannya bahwa Islam sejati tidak bertentangan dengan akal dan kemajuan zaman.4 Gagasannya mulai mengarah pada pembentukan sintesis antara Islam dan modernitas, suatu posisi intelektual yang terus ia kembangkan sekembalinya ke Mesir.

Setelah diizinkan kembali ke Mesir pada tahun 1889, karier Abduh mengalami lonjakan signifikan. Ia diangkat sebagai hakim, kemudian menjabat sebagai Qadi (hakim agung), dan pada tahun 1899 diangkat menjadi Mufti Mesir—jabatan tertinggi dalam otoritas keagamaan di negeri itu.5 Dalam kapasitas tersebut, ia banyak mengeluarkan fatwa dan keputusan hukum yang merefleksikan semangat pembaruan: memperbolehkan bunga bank dalam kondisi tertentu, mendukung pendidikan perempuan, dan mendorong reformasi sistem hukum Islam agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Sebagai cendekiawan, Abduh juga berkontribusi besar dalam dunia kepenulisan. Salah satu karya terkenalnya adalah Tafsir al-Manar, yang ia susun bersama muridnya, Rasyid Ridha. Melalui tafsir ini, Abduh menyampaikan pendekatan baru dalam memahami Al-Qur’an secara rasional, kontekstual, dan aplikatif terhadap problematika umat. Selain itu, ia juga menulis karya-karya filsafat seperti Risālat al-Tawḥīd, yang membahas tauhid secara filosofis dan menjadi manifestasi dari integrasi antara teologi Islam dan rasionalisme modern.6

Biografi intelektual Muhammad Abduh menunjukkan perkembangan yang dinamis dari seorang ulama tradisional menjadi pemikir modernis yang progresif. Pengalaman hidupnya yang luas, dari dunia pesantren (al-Azhar) hingga wacana filsafat Barat, menjadikan Abduh figur unik yang mampu menjembatani dua dunia: warisan Islam klasik dan tantangan modernitas. Warisan pemikirannya menjadi fondasi penting bagi gerakan pembaruan Islam di dunia Muslim, khususnya dalam hal rasionalisasi pemahaman agama, reformasi hukum Islam, dan pembaruan sistem pendidikan.


Footnotes

[1]                Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 131.

[2]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 25–28.

[3]                Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 47–55.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–18.

[5]                Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 247–259.

[6]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966).


3.           Konteks Historis dan Intelektual

Pemikiran Muhammad Abduh tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan respons terhadap kondisi sosial-politik dan intelektual dunia Islam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa ini, dunia Islam mengalami keterpurukan dalam berbagai aspek, seperti kolonisasi Eropa, kemunduran ilmu pengetahuan, ketertinggalan ekonomi, serta stagnasi pemikiran keagamaan. Kekhalifahan Utsmani sebagai simbol politik Islam dunia berada dalam kondisi yang melemah, sementara sebagian besar wilayah Muslim, termasuk Mesir, berada di bawah dominasi imperialis Barat. Di sisi lain, Eropa mengalami kebangkitan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemikiran filsafat, hasil dari Renaisans, Pencerahan, dan Revolusi Industri.1

Kondisi ini mendorong munculnya kesadaran di kalangan intelektual Muslim tentang perlunya pembaruan (tajdīd) dalam berbagai bidang kehidupan umat, termasuk dalam hal keagamaan. Salah satu arus utama yang muncul adalah gerakan Islah dan Nahdah yang mencoba menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni, bebas dari takhayul, bid’ah, dan praktik keagamaan yang tidak rasional. Muhammad Abduh termasuk tokoh kunci dalam arus ini. Ia melihat bahwa akar dari stagnasi umat Islam bukan terletak pada ajaran Islam itu sendiri, melainkan pada cara pandang dan pendekatan umat terhadap ajaran tersebut, yang cenderung menolak akal dan kemajuan.2

Secara intelektual, Abduh hidup di persimpangan dua dunia: Islam tradisional dan pemikiran modern Eropa. Di satu sisi, ia menyaksikan sistem pendidikan Islam yang sangat konservatif, yang menekankan hafalan dan pengulangan pendapat ulama klasik tanpa usaha kritis. Di sisi lain, ia juga menyaksikan kemajuan Barat yang berbasis pada akal, sains, dan kebebasan berpikir. Dalam konteks ini, Abduh terdorong untuk mengembangkan sintesis yang tidak menolak modernitas secara total, tetapi juga tidak kehilangan jati diri Islam. Ia menyatakan bahwa “akal yang murni” dan “wahyu yang benar” tidak akan pernah bertentangan, karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.3

Pertemuan Muhammad Abduh dengan Jamal al-Din al-Afghani turut memperkaya horizon intelektualnya. Bersama Afghani, ia terlibat dalam gerakan pan-Islamisme dan menerbitkan al-Urwah al-Wuthqa, jurnal yang menyerukan kesatuan umat Islam dalam menghadapi penjajahan Barat. Meski demikian, arah pemikiran Abduh kemudian bertransformasi dari aktivisme politik menuju reformasi keilmuan dan keagamaan yang lebih sistematis dan rasional. Ia mulai mengembangkan teori pembaruan Islam melalui reinterpretasi teks-teks suci dan rekonstruksi hukum Islam dalam terang perkembangan sosial modern.4

Secara filosofis, Abduh dipengaruhi oleh pemikiran rasionalisme dan liberalisme Eropa, khususnya dari tokoh-tokoh seperti Descartes, Voltaire, dan Rousseau yang ia kenal selama masa pengasingannya di Paris. Namun, ia tidak serta-merta mengadopsi gagasan Barat secara utuh. Abduh lebih memilih untuk melakukan seleksi kritis dan mencari titik temu antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip rasionalitas modern. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh kunci dalam “filsafat Islam modern”—yaitu sebuah pendekatan filosofis terhadap Islam yang menekankan rasionalitas, etika, dan keterbukaan terhadap dinamika zaman.5

Dalam konteks ini, Abduh bukan hanya tampil sebagai reformis keagamaan, tetapi juga sebagai pemikir filosofis yang mencoba membangun dasar epistemologis baru dalam memahami Islam. Ia menolak pandangan bahwa Islam adalah agama yang statis dan tidak kompatibel dengan perubahan. Sebaliknya, ia mengembangkan pandangan bahwa Islam adalah agama yang hidup, yang memiliki fleksibilitas dan kapasitas untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan intelektual dan sosial masyarakat modern.6

Dengan demikian, konteks historis dan intelektual yang melingkupi kehidupan Abduh memberikan pijakan kuat bagi munculnya pemikirannya yang bercorak rasional, reformis, dan filosofis. Responsnya terhadap tantangan kolonialisme, kemunduran umat, dan wacana Barat menjadi fondasi penting dalam membangun visi pembaruan Islam yang tidak hanya bersifat reformatif, tetapi juga transformasional dalam bingkai filsafat dan pemikiran keislaman.


Footnotes

[1]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 108–110.

[2]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 91–93.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 14–16.

[4]                Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 73–79.

[5]                Mahmoud Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 253–254.

[6]                Yvonne Yazbeck Haddad, Contemporary Islam and the Challenge of History (Albany: SUNY Press, 1982), 45–47.


4.           Rasionalisme Islam: Kritik terhadap Taqlid dan Pembelaan Ijtihad

Salah satu ciri paling menonjol dalam pemikiran Muhammad Abduh adalah keberpihakannya pada rasionalisme Islam, yaitu keyakinan bahwa ajaran-ajaran Islam sejati selaras dengan akal sehat dan logika rasional. Dalam pandangannya, Islam bukanlah agama yang bertentangan dengan nalar manusia, melainkan justru mendorong penggunaan akal dalam memahami wahyu dan realitas kehidupan. Abduh menyatakan bahwa kejatuhan umat Islam terjadi karena pengabaian terhadap akal dan dominasi tradisi keilmuan yang beku dan tidak kritis, yang ia sebut sebagai “taqlid buta.”_1

4.1.       Kritik terhadap Taqlid

Abduh mengkritik keras budaya taqlid yang menurutnya telah menjauhkan umat dari semangat dinamis ajaran Islam. Dalam konteks hukum Islam, taqlid merujuk pada praktik mengikuti pendapat ulama atau mazhab tanpa pemahaman atau usaha kritis. Ia menilai bahwa dominasi taqlid telah membunuh semangat ijtihad, membekukan kreativitas keilmuan, dan menjadikan hukum Islam tidak mampu merespons perubahan sosial. Dalam risalah dan fatwa-fatwanya, Abduh menyuarakan bahwa umat Islam wajib kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah secara langsung, dengan pertimbangan akal dan konteks zaman, bukan semata-mata meniru pendapat ulama terdahulu.2

Baginya, para ulama klasik melakukan ijtihad karena kebutuhan dan kapasitas intelektual yang mereka miliki pada zamannya. Maka, pengulangan buta atas pendapat mereka tanpa mempertimbangkan perkembangan masyarakat justru bertentangan dengan semangat syariat itu sendiri yang bertujuan untuk membawa maslahat dan keadilan. “Agama,” tegas Abduh, “tidak akan berkembang jika terus dikurung dalam tradisi yang tidak hidup.”_3

4.2.       Pembelaan terhadap Ijtihad dan Fungsi Akal

Sebagai tandingan terhadap taqlid, Abduh menghidupkan kembali semangat ijtihad, yakni usaha rasional untuk memahami dan menafsirkan teks-teks keagamaan secara kontekstual. Ia percaya bahwa ijtihad adalah alat penting untuk mentransformasikan ajaran Islam menjadi sistem hidup yang adaptif dan relevan. Dalam pemikirannya, fungsi akal (‘aql) tidak hanya diakui, tetapi diposisikan sebagai alat epistemologis utama dalam memahami agama. Menurutnya, akal tidak bertentangan dengan wahyu; justru akal adalah alat untuk memahami maksud wahyu.4

Dalam karya terkenalnya Risālat al-Tawḥīd, Abduh menyampaikan bahwa iman yang sejati tidak mungkin hanya berdasarkan warisan atau doktrin, melainkan harus berdiri di atas pemahaman rasional yang kokoh. Ia menolak iman yang bersifat dogmatis dan menyerukan agar setiap Muslim membangun keyakinan melalui refleksi akal dan pembuktian logis. Konsep ini menandai pergeseran dari teologi skolastik (kalām) yang spekulatif kepada teologi rasional yang lebih berorientasi etis dan praktis.5

Lebih jauh, Abduh menyatakan bahwa Islam tidak melarang sains atau pemikiran modern, selama tidak mengingkari prinsip-prinsip ketauhidan. Bahkan, ia menganggap ilmu pengetahuan sebagai bagian dari wahyu dalam bentuk lain, yaitu “kitab kauniyah” (alam semesta), yang sama-sama harus ditadabburi. Maka, keberanian untuk berpikir kritis, membongkar asumsi lama, dan melakukan reinterpretasi hukum adalah bentuk ibadah intelektual yang mulia dalam kerangka pemikiran Abduh.6

4.3.       Rasionalisme sebagai Prinsip Reformasi

Rasionalisme dalam pemikiran Abduh bukan sekadar metode intelektual, melainkan fondasi normatif bagi proyek reformasi Islam secara keseluruhan. Ia percaya bahwa reformasi agama yang sejati hanya bisa terjadi apabila umat mengembalikan peran akal dalam memahami ajaran agama dan realitas sosial. Dalam hal ini, Abduh tidak hanya melakukan kritik terhadap struktur keilmuan klasik, tetapi juga membangun sistem epistemologi baru yang menyatukan antara wahyu, akal, dan pengalaman historis manusia.

Dengan pendekatan tersebut, Abduh berhasil mereposisi akal dalam wacana Islam sebagai instrumen yang sah dan bahkan niscaya dalam memahami syariat dan dinamika sosial. Rasionalisme dalam Islam bukanlah ancaman, melainkan sarana untuk menyelamatkan agama dari stagnasi dan untuk menjawab tantangan zaman modern dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.


Footnotes

[1]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 123–125.

[2]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 136–139.

[3]                Muhammad Abduh, al-A‘māl al-Kāmilah, ed. Muhammad ‘Imarah (Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nashr, 1972), 212.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–17.

[5]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 23–25.

[6]                Mahmoud Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 254–256.


5.           Tafsir dan Pemikiran Keislaman

Pemikiran keislaman Muhammad Abduh mencapai puncaknya dalam karya-karya tafsir dan teologisnya, yang menjadi wujud nyata dari semangat reformasi rasional yang ia gagas. Dalam bidang tafsir, Abduh tidak hanya melanjutkan tradisi para mufasir terdahulu, tetapi juga memperkenalkan pendekatan baru yang bersifat rasional, kontekstual, dan aplikatif. Ia berupaya menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab hidup yang mampu menjawab tantangan sosial, politik, dan intelektual masyarakat modern. Proyek tafsirnya bersama Rasyid Ridha, yang kemudian dikenal sebagai Tafsir al-Manār, menjadi manifestasi paling signifikan dari paradigma baru tersebut.1

5.1.       Tafsir al-Manār: Tafsir Kontekstual-Rasional

Tafsir al-Manār pada dasarnya merupakan hasil dari kuliah-kuliah Abduh di Al-Azhar dan tulisan-tulisannya yang kemudian dikompilasi dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridha. Metode tafsir ini tidak hanya menekankan pada pemahaman literal teks, tetapi juga mencakup analisis rasional terhadap konteks historis dan sosial dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Abduh mengkritik kecenderungan para mufasir klasik yang terlalu fokus pada aspek gramatikal, isra’iliyat, dan polemik sektarian, tetapi abai terhadap relevansi sosial-politik dari pesan Al-Qur’an.2

Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum maupun akidah, Abduh menggunakan pendekatan yang mengedepankan maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan syariat), yaitu keadilan, kemaslahatan, dan rasionalitas. Misalnya, dalam menafsirkan QS al-Nisā’ [4] ayat 34 tentang relasi suami-istri, ia menolak interpretasi literalistik yang melegitimasi kekerasan rumah tangga dan menekankan pentingnya keadilan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai makhluk rasional yang setara secara moral.3

5.2.       Reinterpretasi Doa, Mukjizat, dan Takdir

Salah satu kontribusi Abduh yang penting dalam tafsir adalah reinterpretasi terhadap konsep-konsep teologis klasik seperti doa, mukjizat, dan takdir. Ia menolak pemahaman magis terhadap doa dan menafsirkan doa sebagai ekspresi spiritual yang memperkuat tekad dan kesadaran moral manusia. Dalam pandangannya, doa tidak mengubah hukum sebab-akibat secara fisik, tetapi menggerakkan hati manusia untuk bertindak secara etis dan produktif.4

Demikian pula, mukjizat tidak dipahami sebagai pelanggaran terhadap hukum alam, tetapi sebagai peristiwa yang menakjubkan dalam batas hukum alam yang dimungkinkan oleh kuasa Tuhan. Ini menunjukkan pandangan Abduh yang berusaha mengharmoniskan antara keimanan dengan prinsip rasionalitas dan sains modern.5 Dalam soal takdir, Abduh menolak fatalisme dan menekankan tanggung jawab manusia atas pilihan-pilihannya. Ia menghidupkan kembali pandangan qadar dalam kerangka kebebasan dan akuntabilitas moral, bukan determinisme mutlak.

5.3.       Tauhid sebagai Inti Moral dan Rasional Ajaran Islam

Dalam karyanya Risālat al-Tawḥīd, Abduh mengartikulasikan ajaran tauhid bukan sekadar sebagai doktrin metafisik, melainkan sebagai asas etika dan rasionalitas sosial. Tauhid, menurut Abduh, tidak hanya berarti pengakuan atas keesaan Tuhan, tetapi juga meniscayakan kebebasan berpikir, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap harkat manusia. Dalam konteks ini, tauhid menjadi dasar pembebasan umat dari ketertundukan kepada otoritas manusia yang tidak adil dan dari budaya takhayul yang merusak daya nalar.6

Dengan demikian, pemikiran keislaman Abduh bukan hanya mengusung agenda reformasi fikih, tetapi juga meletakkan dasar-dasar teologi yang progresif dan filosofis. Ia mengembangkan pendekatan keagamaan yang memadukan teks wahyu dengan nalar dan pengalaman historis, menjadikan Islam tidak hanya relevan secara spiritual, tetapi juga efektif sebagai sistem sosial yang adaptif terhadap modernitas.


Footnotes

[1]                Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Jilid 1 (Kairo: al-Manār, 1900), i–ix.

[2]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 145–148.

[3]                Rifat Hasan, “The Role of Ijtihad in Reforming Muslim Thought,” The Muslim World 92, no. 3–4 (2002): 469–487.

[4]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 142–145.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 18–20.

[6]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 29–32.


6.           Pandangan tentang Pendidikan dan Reformasi Sosial

Dalam kerangka pemikiran Muhammad Abduh, reformasi Islam tidak dapat dipisahkan dari pembaruan sistem pendidikan dan transformasi sosial. Ia meyakini bahwa kemunduran umat Islam pada masa modern bukanlah akibat dari ajaran agama itu sendiri, melainkan karena cara berpikir umat yang telah stagnan dan sistem pendidikan yang tidak lagi relevan dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, pendidikan menjadi arena utama perjuangan Abduh dalam proyek pembaruan Islam.

6.1.       Reformasi Pendidikan: Sintesis Ilmu Agama dan Modern

Abduh melihat bahwa sistem pendidikan Islam tradisional, khususnya di al-Azhar, terlalu menekankan hafalan teks-teks klasik dan mengabaikan pemahaman kritis serta aplikasi ilmu dalam kehidupan nyata. Ia menyatakan bahwa pendidikan semacam ini hanya melahirkan generasi yang pasif dan dogmatis. Dalam kapasitasnya sebagai pengajar di al-Azhar dan pejabat pendidikan, Abduh berusaha mereformasi kurikulum agar mencakup ilmu-ilmu rasional seperti logika, matematika, sains, dan filsafat, yang selama ini dianggap asing dalam pendidikan Islam formal.1

Menurut Abduh, ilmu agama dan ilmu modern tidak boleh dipisahkan secara dikotomis. Ilmu pengetahuan adalah manifestasi dari kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya, dan karenanya mempelajari alam berarti mendekati Allah melalui cara yang rasional. Dalam kerangka ini, ia mengembangkan gagasan bahwa pendidikan harus menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri, semangat ijtihad, dan kepedulian sosial yang tinggi. Tujuan akhir pendidikan bukan sekadar pencapaian individual, tetapi pembangunan masyarakat yang adil, rasional, dan bermartabat.2

6.2.       Peran Etis dan Emansipatoris Pendidikan

Bagi Abduh, pendidikan juga berperan sebagai alat emansipasi moral dan sosial. Ia menolak sistem sosial yang menindas perempuan, membatasi kebebasan berpikir, dan mempertahankan ketimpangan sosial atas nama tradisi agama. Dalam hal ini, ia termasuk tokoh awal yang mendukung pendidikan perempuan, yang saat itu masih ditentang oleh banyak kalangan konservatif. Ia menekankan bahwa perempuan yang terdidik akan menjadi ibu yang cerdas dan mendidik generasi masa depan yang unggul.3

Abduh juga menolak praktik-praktik pendidikan yang menjadikan peserta didik sekadar objek indoktrinasi. Ia menyerukan pendidikan dialogis yang melibatkan kemampuan analitis dan pertimbangan moral. Menurutnya, proses pendidikan seharusnya mampu menghidupkan kesadaran individu atas tanggung jawab sosialnya, termasuk untuk memberantas kemiskinan, ketertinggalan, dan ketidakadilan di tengah masyarakat.4

6.3.       Reformasi Sosial: Etika, Keadilan, dan Kebebasan

Dalam kerangka yang lebih luas, pemikiran pendidikan Abduh terhubung erat dengan proyek reformasi sosial. Ia melihat agama sebagai kekuatan moral untuk memperbaiki tatanan masyarakat. Oleh karena itu, Abduh menyerukan reformasi hukum Islam agar lebih responsif terhadap prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan publik. Dalam banyak fatwanya sebagai Mufti Mesir, ia menunjukkan fleksibilitas dalam hukum Islam demi menjawab kebutuhan sosial, seperti membolehkan pengambilan bunga bank untuk kepentingan negara atau modernisasi sistem peradilan.5

Abduh juga menolak absolutisme politik dan mendukung sistem pemerintahan yang konstitusional dan partisipatif. Dalam pandangannya, kekuasaan politik yang tidak tunduk pada akal dan etika hanya akan menghasilkan penindasan. Maka, pembaruan sosial menurut Abduh harus dimulai dari pembaruan individu melalui pendidikan, lalu merambah ke struktur sosial dan politik melalui sistem hukum yang adil dan kebebasan berpikir.6

Dengan demikian, pemikiran Abduh tentang pendidikan dan reformasi sosial menunjukkan satu kesatuan visi transformasional. Ia tidak hanya berupaya menghidupkan kembali Islam dari aspek spiritual dan intelektual, tetapi juga membangun fondasi bagi masyarakat Muslim modern yang rasional, adil, dan bermoral. Warisan ini tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam upaya menghadirkan sistem pendidikan Islam yang adaptif, progresif, dan berorientasi pada kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 174–177.

[2]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 145–148.

[3]                Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 250–251.

[4]                Muhammad Abduh, al-A‘māl al-Kāmilah, ed. Muhammad ‘Imarah (Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nashr, 1972), 297–301.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 20–22.

[6]                Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 82–84.


7.           Pemikiran Politik dan Hukum

Muhammad Abduh merupakan salah satu pemikir Muslim modern awal yang mengintegrasikan secara eksplisit prinsip-prinsip rasionalisme dan moralitas Islam ke dalam konsep politik dan hukum. Gagasan politik dan hukumnya tidak dapat dipisahkan dari latar historis Mesir yang berada di bawah tekanan kolonialisme Inggris, serta kerapuhan sistem pemerintahan dan hukum Islam yang cenderung otoriter dan stagnan. Melalui pendekatan yang moderat dan rasional, Abduh berupaya mereformasi sistem politik dan hukum Islam dengan tetap berpegang pada nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kemaslahatan umat.

7.1.       Politik: Antara Kekuasaan dan Etika

Dalam bidang politik, Abduh menolak konsep kekuasaan absolut yang tidak bertanggung jawab. Ia menilai bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam adalah dominasi penguasa yang tiranik dan ulama yang tunduk pada kekuasaan. Ia menekankan bahwa Islam mengajarkan prinsip syūrā (musyawarah) sebagai dasar pemerintahan yang adil dan partisipatif. Meskipun ia tidak secara eksplisit menyerukan demokrasi dalam pengertian Barat, namun ia menolak monarki absolut dan mendukung sistem pemerintahan konstitusional yang menempatkan penguasa di bawah hukum dan akuntabilitas publik.1

Pemikiran politik Abduh juga merefleksikan pengaruh dari pemikiran modern Eropa yang ia pelajari selama pengasingannya di Paris, termasuk ide-ide Rousseau tentang kontrak sosial dan kebebasan sipil. Namun, ia tetap berpijak pada kerangka Islam dengan menekankan bahwa kekuasaan tidak sah kecuali berdasarkan legitimasi moral dan pengabdian kepada rakyat. Dengan demikian, baginya, agama dan politik tidak boleh dipisahkan, tetapi agama harus berfungsi sebagai etika publik yang mengontrol kekuasaan, bukan sebagai alat dominasi penguasa.2

7.2.       Hukum Islam dan Ijtihad Sosial

Dalam bidang hukum, Abduh melakukan reinterpretasi terhadap syariat dengan mengedepankan asas maqāṣid al-sharī‘ah, yakni tujuan-tujuan syariat yang meliputi keadilan, kemaslahatan, dan kebebasan. Ia menolak pendekatan fiqh yang rigid dan tekstualistik yang berkembang dalam madzhab-madzhab klasik. Menurutnya, hukum Islam harus mampu merespons realitas sosial yang terus berubah. Dalam posisinya sebagai Mufti Mesir (1899–1905), Abduh mengeluarkan sejumlah fatwa progresif yang mencerminkan prinsip rasional dan kontekstual dalam hukum Islam, antara lain membolehkan pengambilan bunga bank dalam situasi tertentu demi maslahat umat, serta menganjurkan reformasi sistem peradilan Islam agar sejalan dengan prinsip keadilan modern.3

Abduh juga menolak bahwa syariat harus diidentikkan dengan bentuk-bentuk hukum yang baku dari masa lalu. Ia membedakan antara esensi syariat (yang bersifat tetap dan transenden) dengan bentuk-bentuk aplikasinya (yang bersifat historis dan bisa berubah). Dalam kerangka ini, ijtihad menjadi kunci untuk mentransformasikan hukum Islam agar sesuai dengan dinamika masyarakat. Ia menyatakan bahwa pembekuan ijtihad adalah bencana besar yang menutup kemungkinan Islam menjawab tantangan zaman.4

7.3.       Reformasi Hukum Keluarga dan Gender

Salah satu bidang penting yang juga menjadi perhatian Abduh adalah hukum keluarga. Ia mengusulkan reformasi terhadap praktik-praktik hukum Islam yang diskriminatif terhadap perempuan. Dalam tafsir dan fatwanya, ia menekankan pentingnya perlakuan adil terhadap perempuan dalam pernikahan, warisan, dan pendidikan. Baginya, tidak ada pertentangan antara prinsip-prinsip keadilan gender dengan nilai-nilai Islam jika syariat ditafsirkan secara kontekstual dan rasional.5

Pandangan ini mencerminkan upaya Abduh untuk mengangkat hukum Islam dari keterkaitannya dengan tradisi patriarkal menuju sistem yang lebih inklusif dan etis. Ia melihat bahwa sebagian besar ketimpangan gender bukan berasal dari ajaran Islam yang otentik, tetapi dari tafsir yang sempit terhadap teks keagamaan.


Dengan demikian, pemikiran politik dan hukum Muhammad Abduh merupakan upaya komprehensif untuk menyelaraskan antara prinsip normatif Islam dan kebutuhan praktis masyarakat modern. Ia mengembangkan pendekatan reformis yang menempatkan syariat dalam bingkai rasionalitas dan keadilan, serta memperjuangkan pemerintahan yang etis dan hukum yang kontekstual. Warisan ini menjadikan Abduh sebagai peletak dasar penting bagi wacana Islam politik dan hukum progresif di dunia Islam kontemporer.


Footnotes

[1]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 189–192.

[2]                Elie Kedourie, Afghani and Abduh: An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass, 1966), 85–88.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 140–142.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 22–24.

[5]                Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 252–254.


8.           Warisan Intelektual dan Pengaruh Pemikirannya

Warisan intelektual Muhammad Abduh melampaui batas geografis Mesir dan menempati posisi penting dalam sejarah pemikiran Islam modern. Sebagai pelopor reformasi Islam yang berbasis pada akal dan kontekstualisasi ajaran agama, pengaruh Abduh tidak hanya terasa pada zamannya, tetapi terus mewarnai diskursus keislaman hingga hari ini. Gagasan-gagasannya tentang rasionalitas, pembaruan hukum, pendidikan, serta etika sosial-politik telah membentuk fondasi bagi perkembangan Islam reformis di dunia Muslim kontemporer.

8.1.       Pengaruh terhadap Generasi Intelektual Sesudahnya

Pemikiran Abduh memberi dampak besar pada generasi penerusnya, baik yang langsung berinteraksi dengannya maupun yang hanya terinspirasi dari karya-karyanya. Di Mesir, murid dan penerus intelektual terdekatnya adalah Rasyid Ridha, yang tidak hanya melanjutkan proyek tafsir al-Manār, tetapi juga memperluas jangkauan pemikiran Abduh ke dalam isu-isu sosial-politik yang lebih tajam, seperti khilafah, hukum pidana Islam, dan modernisasi negara Muslim. Meskipun Ridha pada masa-masa akhir cenderung lebih konservatif, ia tetap memegang prinsip dasar yang diwariskan Abduh, yaitu pentingnya ijtihad dan pembaruan hukum Islam.1

Di dunia yang lebih luas, gagasan Abduh berpengaruh terhadap tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman di Pakistan dan Amerika Serikat, yang mengembangkan metodologi “hermeneutika kontekstual” dalam memahami Al-Qur’an, serta Muhammad Iqbal di anak benua India, yang menegaskan pentingnya ijtihad dan dinamika spiritual dalam kehidupan umat Islam modern. Rahman secara eksplisit menyatakan bahwa proyek intelektualnya merupakan kelanjutan dari reformasi yang dimulai oleh Abduh, khususnya dalam menekankan pentingnya maqāṣid al-sharī‘ah dan pemikiran etis dalam Islam.2

8.2.       Pengaruh terhadap Institusi dan Gerakan Sosial

Pengaruh Abduh juga bersifat institusional. Reformasinya di al-Azhar menjadi titik tolak penting bagi perubahan sistem pendidikan Islam di Mesir, walau sempat mengalami resistensi. Ia mendorong integrasi antara ilmu agama dan ilmu modern, serta pembaruan kurikulum agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Beberapa institusi pendidikan Islam di berbagai negara—seperti Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia—secara ideologis terinspirasi oleh semangat integrasi keilmuan yang diperjuangkan Abduh.3

Selain itu, pemikiran Abduh turut menginspirasi munculnya gerakan-gerakan Islam reformis seperti Muhammadiyah di Indonesia. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, membaca karya-karya Abduh dan Ridha yang terbit dalam al-Manār, serta menyerap semangat purifikasi tauhid, rasionalisasi ajaran Islam, dan pentingnya pendidikan modern sebagai sarana pemberdayaan umat.4 Gerakan seperti ini membuktikan bahwa gagasan Abduh tidak bersifat lokal, tetapi kosmopolit dalam pengaruhnya.

8.3.       Kritik dan Pembacaan Kritis terhadap Pemikirannya

Meski begitu, tidak sedikit kritik yang diarahkan terhadap pemikiran Abduh. Beberapa kalangan tradisionalis menuduhnya terlalu condong pada modernisme Barat dan terlalu berani merombak otoritas klasik dalam Islam. Di sisi lain, sebagian intelektual kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd menilai bahwa Abduh belum cukup radikal dalam menggugat fondasi epistemologi klasik, karena masih mengandalkan pendekatan apologetik terhadap teks-teks suci.5

Namun, kritik tersebut menunjukkan bahwa pemikiran Abduh telah membuka ruang perdebatan yang luas dalam khazanah intelektual Islam. Ia tidak menawarkan sistem tertutup, melainkan membuka pintu bagi reinterpretasi, dialog, dan pengembangan gagasan sesuai dengan konteks zaman. Dalam hal ini, warisan Abduh bukan sekadar kumpulan teori, tetapi metode berpikir yang hidup—yang mengajarkan umat untuk terus berijtihad dan menyikapi dinamika zaman dengan kecerdasan etis dan spiritual.


Dengan demikian, warisan intelektual Muhammad Abduh terletak pada kontribusinya dalam membentuk paradigma baru pemikiran Islam modern: Islam yang rasional, kontekstual, inklusif, dan terbuka terhadap perubahan. Ia adalah pionir dalam menjembatani antara tradisi dan modernitas, antara wahyu dan akal, serta antara keimanan dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Jilid 1 (Kairo: al-Manār, 1900), pengantar editor.

[2]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 3–5.

[3]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 149–153.

[4]                Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam (Persis), 1923 to 1957 (Leiden: Brill, 2001), 57–59.

[5]                Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur'an: Towards a Humanistic Hermeneutics (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 45–47.


9.           Analisis Filosofis: Abduh sebagai Tokoh Filsafat Islam Modern

Muhammad Abduh bukan hanya dikenal sebagai reformis keagamaan dan pemimpin sosial, tetapi juga sebagai pemikir filosofis yang berupaya membentuk paradigma baru dalam pemikiran Islam modern. Meskipun ia tidak menyusun sistem filsafat formal sebagaimana para filsuf klasik seperti al-Farabi atau Ibn Sina, pendekatannya terhadap masalah-masalah teologi, epistemologi, etika, dan masyarakat menunjukkan karakteristik yang kuat sebagai pemikir filsafat Islam dalam konteks modernitas. Ia mengembangkan sintesis antara nilai-nilai Islam dan rasionalitas modern, dengan menjadikan akal (‘aql) dan ijtihad sebagai prinsip dasar dalam menafsirkan realitas keagamaan dan sosial.

9.1.       Teologi Rasional dan Epistemologi Islam

Dalam karya utamanya Risālat al-Tawḥīd, Abduh mengemukakan pendekatan teologi rasional (kalām ‘aqlī), yang berupaya menjelaskan prinsip-prinsip keimanan melalui argumen logis dan rasional. Ia menolak teologi skolastik yang penuh spekulasi metafisik dan mempertahankan bahwa ajaran tauhid harus dipahami secara rasional karena Allah memberi manusia akal sebagai alat untuk mengenal-Nya dan menafsirkan wahyu-Nya.1 Dalam kerangka epistemologi Islam, Abduh memperluas sumber pengetahuan tidak hanya pada teks wahyu, tetapi juga pada akal dan pengalaman empiris. Dengan demikian, ia memadukan bayānī (tekstual), burhānī (rasional-logis), dan ‘irfānī (intuitif) dalam suatu model pengetahuan yang dinamis dan terbuka.2

Abduh menyatakan bahwa wahyu dan akal tidak saling bertentangan karena berasal dari sumber yang sama: Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, konflik antara sains dan agama adalah akibat dari kesalahan manusia dalam menafsirkan keduanya, bukan pertentangan inheren antara iman dan rasio. Gagasan ini sejajar dengan prinsip filsafat modern Islam yang menolak dikotomi antara ilmu pengetahuan dan keimanan, serta memperjuangkan integrasi ilmu-ilmu agama dan dunia.3

9.2.       Etika, Moralitas, dan Kebebasan

Dalam bidang etika, Abduh memandang bahwa Islam mengandung prinsip-prinsip moral universal yang bersumber dari akal sehat. Ia menolak ide bahwa moralitas hanya bersumber dari wahyu, dan menegaskan bahwa akal manusia mampu membedakan antara yang baik dan buruk tanpa selalu menunggu perintah tekstual. Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya tanggung jawab moral dan kebebasan individu, sebagai pilar etika sosial yang dapat menopang keadilan dan kemajuan umat.4

Pandangan ini menempatkan Abduh dalam tradisi etika rasional Islam, yang mengembangkan moralitas berdasarkan prinsip-prinsip objektif dan kemaslahatan publik. Ia tidak menolak hukum-hukum syariat, namun menolak pendekatan rigid terhadapnya. Bagi Abduh, hukum Islam harus berfungsi untuk melindungi dan merealisasikan nilai-nilai moral, bukan sekadar mempertahankan bentuk formal yang sudah usang.

9.3.       Filsafat Sosial dan Perubahan Historis

Abduh juga dapat dikaji dalam kerangka filsafat sosial karena ia menawarkan teori tentang hubungan antara individu, masyarakat, dan negara berdasarkan asas moral dan rasionalitas. Ia menolak struktur sosial-politik yang otoriter dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan. Dengan mengembangkan prinsip syūrā, keadilan, dan pendidikan sebagai instrumen pembebasan sosial, Abduh menampilkan pendekatan filosofis terhadap transformasi masyarakat Muslim modern.5

Dalam perspektif historis, pemikiran Abduh bersifat evolusioner. Ia tidak mengidealisasi masa lalu Islam secara romantik, melainkan melihat sejarah sebagai proses dinamis yang menuntut keterbukaan terhadap perubahan. Ia menolak fatalisme historis dan menggagas bahwa kemajuan hanya dapat diraih melalui pemurnian akidah, rasionalisasi hukum, dan pembaruan institusi sosial. Pandangan ini menempatkan Abduh dalam barisan pemikir modernis progresif yang menyatukan kesadaran historis dan etika perbaikan sebagai inti filsafat Islam modern.6


Kesimpulan Analitis

Muhammad Abduh dapat diposisikan sebagai filosof praktis dalam tradisi Islam modern, yang memperjuangkan rekonstruksi pemikiran Islam melalui pendekatan rasional, kontekstual, dan etis. Ia tidak menciptakan sistem metafisika baru, tetapi membangun kerangka filsafat sosial-keagamaan yang berdampak besar dalam membentuk kesadaran modern umat Islam. Dengan memadukan wahyu, akal, dan realitas sosial, Abduh telah membuka jalan bagi berkembangnya tradisi filsafat Islam yang lebih responsif terhadap problematika zaman kontemporer.


Footnotes

[1]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 17–20.

[2]                Nabil Shehadeh, Islamic Reform and Arab Nationalism: Expanding the Crescent from the Mediterranean to the Euphrates (Amman: Dar al-Kitab, 1993), 112–114.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 14–18.

[4]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 144–146.

[5]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 163–165.

[6]                Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 257–259.


10.       Kesimpulan

Pemikiran Muhammad Abduh merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah pembaruan Islam modern. Sebagai ulama, reformis, dan pemikir rasionalis, Abduh berhasil menyusun suatu kerangka pemikiran keislaman yang berupaya menjawab tantangan zaman modern tanpa harus melepaskan akar tradisi Islam. Melalui pendekatan rasional, kontekstual, dan etis, Abduh menawarkan paradigma baru dalam memahami ajaran Islam secara dinamis dan relevan terhadap perkembangan masyarakat modern.

Pemikiran rasionalisme Abduh didasarkan pada keyakinan bahwa akal (‘aql) merupakan anugerah Tuhan yang setara dengan wahyu dalam fungsinya sebagai alat pemahaman. Baginya, tidak ada pertentangan inheren antara agama dan rasionalitas; yang terjadi justru adalah kesalahan umat dalam menafsirkan wahyu secara dogmatis tanpa melibatkan daya pikir kritis.1 Oleh karena itu, ia dengan tegas mengkritik budaya taqlid dan menyerukan penghidupan kembali ijtihad sebagai metode utama untuk memahami teks-teks keagamaan secara kontekstual.2

Melalui tafsir al-Manār, Abduh menunjukkan model penafsiran Al-Qur’an yang progresif, dengan menekankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan tujuan syariat (maqāṣid al-sharī‘ah). Ia menafsirkan konsep-konsep seperti doa, mukjizat, dan takdir secara rasional, serta memandang tauhid bukan hanya sebagai prinsip teologis, melainkan juga sebagai asas etika sosial dan pembebasan dari ketertundukan kepada selain Tuhan.3

Dalam bidang pendidikan dan sosial, Abduh menekankan pentingnya reformasi sistem pendidikan Islam agar mampu melahirkan generasi berpikir kritis dan memiliki kepekaan sosial. Ia mendukung pendidikan perempuan dan menolak diskriminasi gender atas nama agama, serta melihat pendidikan sebagai sarana pembebasan moral dan sosial umat.4 Pandangan hukumnya pun sangat responsif terhadap perkembangan zaman, dengan menekankan fleksibilitas syariat dalam menghadapi kebutuhan masyarakat modern.

Secara filosofis, Abduh menempati posisi strategis sebagai jembatan antara pemikiran klasik dan modern. Ia membentuk dasar bagi filsafat Islam modern, dengan mengintegrasikan wahyu, akal, dan realitas sosial ke dalam suatu kerangka pemikiran yang terbuka dan progresif. Dalam pendekatannya terhadap teologi, hukum, etika, dan politik, Abduh mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas, keadilan, dan kebebasan sebagai nilai-nilai utama dalam transformasi umat Islam.5

Warisan intelektual Abduh terus menginspirasi berbagai gerakan Islam reformis di dunia Muslim, termasuk di Indonesia melalui tokoh-tokoh seperti Ahmad Dahlan dan organisasi modernis seperti Muhammadiyah. Gagasannya juga membentuk dasar metodologi pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Rasyid Ridha, Fazlur Rahman, dan Muhammad Iqbal.6

Dengan demikian, kontribusi Muhammad Abduh tidak hanya bersifat historis, tetapi juga konseptual dan metodologis. Ia telah membuka jalan bagi pemikiran Islam yang rasional, terbuka terhadap perubahan, dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, pemikiran Abduh tetap menjadi sumber inspirasi penting bagi siapa pun yang mencari format keislaman yang berakar pada wahyu, berpijak pada akal, dan berpandangan jauh ke depan.


Footnotes

[1]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd, ed. and trans. Ishaq Musa al-Husayni (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 21–23.

[2]                Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh (London: Oxford University Press, 1933), 123–126.

[3]                Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Jilid 1 (Kairo: al-Manār, 1900), 1–10; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 142–145.

[4]                Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform,” Islamic Studies 19, no. 3 (1980): 250–252.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 14–18.

[6]                Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam (Persis), 1923 to 1957 (Leiden: Brill, 2001), 57–59.


Daftar Pustaka

Abduh, M. (1966). Risālat al-Tawḥīd (I. M. al-Husayni, Ed. & Trans.). Beirut: Dar al-Fikr.

Abduh, M., & Ridha, R. (1900). Tafsir al-Manār (Vol. 1). Kairo: al-Manār.

Adams, C. C. (1933). Islam and modernism in Egypt: A study of the modern reform movement inaugurated by Muhammad Abduh. London: Oxford University Press.

Federspiel, H. M. (2001). Islam and ideology in the emerging Indonesian state: The Persatuan Islam (Persis), 1923 to 1957. Leiden: Brill.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age: 1798–1939 (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kedourie, E. (1966). Afghani and Abduh: An essay on religious unbelief and political activism in modern Islam. London: Frank Cass.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Shehadeh, N. (1993). Islamic reform and Arab nationalism: Expanding the crescent from the Mediterranean to the Euphrates. Amman: Dar al-Kitab.

Zayd, N. H. A. (2004). Rethinking the Qur’an: Towards a humanistic hermeneutics. Amsterdam: Humanistics University Press.

Haddad, Y. Y. (1980). Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic reform. Islamic Studies, 19(3), 247–259.

Hasan, R. (2002). The role of ijtihad in reforming Muslim thought. The Muslim World, 92(3–4), 469–487. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2002.tb03750.x


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar