Pengantar Filsafat Islam
Pendekatan Komprehensif dari Sumber-Sumber Klasik dan Modern
Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.
Fungsi dan Tujuan Filsafat Islam, Sejarah Filsafat Islam, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam, Aliran-Aliran Filsafat Islam, Konsep-Konsep Filsafat Islam.
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Swt yang telah
menganugerahkan akal kepada manusia sebagai instrumen untuk berpikir dan
memahami hakikat kehidupan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw, suri teladan utama yang mengajarkan umatnya untuk
mencari ilmu sebagai jalan menuju kebijaksanaan.
Artikel "Pengantar Filsafat Islam"
ini disusun untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai filsafat Islam,
baik dari aspek sejarah, pemikiran tokoh-tokohnya, hingga relevansinya dalam
kehidupan modern. Filsafat Islam, sebagaimana disiplin ilmu lainnya, memiliki
peran penting dalam membentuk peradaban dan pemikiran umat Islam. Peradaban
Islam pernah mencapai masa kejayaannya berkat sinergi antara ilmu agama dan
filsafat, sebagaimana yang terlihat dalam pemikiran para filsuf Muslim klasik
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.¹
Kajian filsafat Islam sering kali dihadapkan pada
tantangan besar, baik dari dalam umat Islam sendiri maupun dari luar. Tidak
sedikit kalangan yang memandang filsafat sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Kritik terhadap filsafat dapat ditemukan dalam karya Al-Ghazali,
seperti dalam "Tahafut al-Falasifah", di mana ia menyoroti tiga
poin utama yang dianggap menyimpang dari prinsip Islam: kekekalan alam, ilmu
Tuhan yang hanya mencakup universal, dan kebangkitan jasmani di akhirat.²
Namun, kritik ini dijawab oleh Ibnu Rusyd dalam "Tahafut
al-Tahafut", di mana ia membela filsafat sebagai bagian dari pemikiran
yang rasional dan tidak bertentangan dengan Islam.³
Seiring perkembangan zaman, pemikiran filsafatIslam mengalami transformasi dan penyesuaian. Jika pada abad pertengahan
filsafat Islam berkembang melalui sinergi dengan ilmu kedokteran, astronomi,
dan logika, maka pada era modern dan kontemporer, filsafat Islam berusaha
memberikan respons terhadap tantangan sekularisme, materialisme, dan
perkembangan teknologi.⁴ Oleh karena itu, kajian filsafat Islam tidak boleh
berhenti hanya pada aspek historis, tetapi harus terus dikembangkan agar tetap
relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Artikel ini disusun dengan menggunakan pendekatan
historis dan analitis untuk menguraikan konsep-konsep utama dalam filsafat Islam, memberikan pemahaman tentang pemikiran para filsuf Muslim, serta
mengkaji interaksi antara filsafat Islam dengan cabang-cabang ilmu lainnya.
Dalam penyusunan artikel ini, kami merujuk pada sumber-sumber primer dari karya-karya
filsuf Muslim klasik serta referensi akademik modern agar dapat memberikan
perspektif yang luas dan mendalam bagi para pembaca.
Kami berharap bahwa artikel ini dapat menjadi sumber rujukan yang bermanfaat bagi mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat umum yang ingin memahami filsafat Islam secara komprehensif. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan petunjuk dan keberkahan dalam setiap langkah pencarian ilmu.
Catatan
Kaki
[1]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 12.
[2]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj.
Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 8–11.
[3]
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon
Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 26.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An
Illustrated Study (London: World Wisdom, 2007), 45–47.
PEMBAHASAN
Pengantar Filsafat Islam
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Filsafat Islam
adalah salah satu disiplin ilmu yang memainkan peran penting dalam perkembangan
intelektual Islam. Sejak masa klasik, filsafat Islam tidak hanya menjadi bagian dari diskursus keagamaan,
tetapi juga menjadi fondasi bagi ilmu-ilmu lain, seperti teologi (kalam),
hukum Islam (fiqh), dan ilmu pengetahuan (sains).¹ Para filsuf
Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd
telah berkontribusi dalam membangun sistem pemikiran yang tidak hanya bersandar
pada wahyu, tetapi juga pada rasionalitas dan pengalaman empiris.²
Namun, filsafat Islam sering kali menjadi perdebatan di kalangan Muslim. Ada pandangan yang
menganggap filsafat sebagai ilmu yang bertentangan dengan ajaran Islam karena
pengaruhnya yang kuat dari filsafat Yunani.³ Di sisi lain, ada pula pandangan yang meyakini bahwa filsafat
justru merupakan bagian dari tradisi keilmuan Islam yang menekankan akal
sebagai sarana dalam memahami wahyu dan alam semesta.⁴
Di era modern,
kajian filsafat Islam semakin mendapat tempat dalam wacana akademik, terutama
dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer, seperti sekularisme, postmodernisme, dan globalisasi.⁵ Oleh karena itu,
artikel ini disusun dengan tujuan untuk memberikan pengantar yang komprehensif
tentang filsafat Islam, dengan pendekatan yang bersifat historis dan analitis,
agar pembaca dapat memahami esensi dan peran filsafat dalam Islam.
1.2.
Definisi dan Ruang
Lingkup Filsafat Islam
Filsafat,
secara umum, berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti "cinta
akan kebijaksanaan."⁶ Dalam tradisi Islam, filsafat berkembang sebagai
disiplin yang mengintegrasikan pemikiran logis dan rasional dengan ajaran wahyu. Filsafat Islam dapat didefinisikan sebagai studi yang berusaha memahami
hakikat keberadaan (ontology), sumber ilmu (epistemology),
dan nilai moral (ethics) dengan pendekatan yang
berlandaskan pada ajaran Islam.⁷
Berbeda dengan
filsafat Barat yang berkembang dalam konteks sekular, filsafat Islam memiliki dasar
yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pemikiran filosofis dalam Islam tidak hanya bersumber dari akal semata, tetapi
juga mempertimbangkan dimensi spiritual dan wahyu.⁸ Oleh karena itu, filsafat Islam memiliki peran yang unik dalam menyelaraskan antara akal dan iman.
Dalam kajian
akademik, filsafat Islam sering kali disandingkan dengan ilmu
kalam dan tasawuf.
Ilmu kalam lebih fokus pada perdebatan teologis mengenai sifat-sifat Tuhan, sementara tasawuf menitikberatkan
pada pengalaman mistik dan spiritualitas.⁹ Filsafat Islam, di sisi lain,
menempati posisi yang lebih luas dengan mencakup kajian metafisika,
epistemologi, etika, dan filsafat sosial-politik.
1.3.
Sumber-Sumber
Filsafat Islam
Filsafat Islam tidak
berkembang dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh berbagai sumber yang mencerminkan interaksi peradaban Islam
dengan tradisi intelektual lainnya. Secara garis besar, sumber filsafat Islam
dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
1)
Al-Qur’an dan Hadis
sebagai Landasan Utama
Al-Qur’an dan Hadis merupakan fondasi utama dalam
pemikiran Islam, termasuk dalam filsafat. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengajak
manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal dalam memahami
tanda-tanda kebesaran Allah.¹⁰ Dalam Hadis Nabi Muhammad Saw juga terdapat
banyak anjuran untuk mencari ilmu dan merenungkan hakikat kehidupan.
2)
Filsafat Yunani dan
Pengaruh Helenistik
Pengaruh filsafat Yunani dalam Islam bermula
sejak era Abbasiyah, ketika karya-karya filsuf Yunani seperti Plato dan
Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab melalui proyek penerjemahan di Baitul Hikmah, Baghdad.¹¹ Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina
mengembangkan pemikiran mereka dengan mengadaptasi konsep-konsep Aristotelian
dan Neoplatonisme dalam konteks Islam.¹²
3)
Tradisi Pemikiran Islam
Klasik
Selain pengaruh Yunani, filsafat Islam juga
berkembang dari pemikiran para ulama klasik yang mengkaji berbagai aspek
teologi, hukum, dan tasawuf. Misalnya, Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah mengkritik pemikiran filsafat yang dianggap menyimpang dari
akidah Islam, sementara Ibnu Rusyd dalam Tahafut
al-Tahafut justru membela filsafat sebagai bagian dari Islam.¹³
Dengan memahami
sumber-sumber filsafat Islam, kita dapat melihat bagaimana disiplin ini tidak
hanya berkembang secara teoritis, tetapi juga memiliki implikasi yang luas
dalam berbagai aspek kehidupan intelektual Islam.
Kesimpulan
Kajian filsafat Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi keilmuan Islam.
Meskipun sering mendapat kritik dari berbagai kalangan, filsafat Islam tetap
relevan dalam menjawab berbagai pertanyaan mendasar tentang keberadaan, ilmu,
dan etika dalam Islam. Dengan memahami dasar-dasar filsafat Islam, diharapkan pembaca dapat memperoleh wawasan yang
lebih luas mengenai pemikiran Islam dan peran akal dalam memahami ajaran agama.
Catatan Kaki
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 4.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 9.
[3]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 12–14.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 32.
[5]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 56.
[6]
Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators
and Their Influence (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 22.
[7]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy,
terj. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 17.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science
(Albany: SUNY Press, 1993), 29.
[9]
Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Din al-Razi
(Leiden: Brill, 2006), 13.
[10]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:164).
[11]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(London: Routledge, 2001), 45.
[12]
Al-Farabi, The Political Regime, terj. Charles
E. Butterworth (Ithaca: Cornell University Press, 2001), 51.
[13]
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van
den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 33.
2.
SEJARAH
PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM
Filsafat Islam
merupakan bagian integral dari tradisi intelektual Islam yang berkembang sejak
abad ke-8 hingga sekarang. Munculnya filsafat dalam peradaban Islam tidak terlepas dari interaksi dengan kebudayaan
dan pemikiran Yunani, Persia, dan India, serta dari dorongan internal dalam
Islam sendiri yang menekankan pencarian ilmu dan kebijaksanaan.¹
Sejarah filsafat Islam mencerminkan perjalanan pemikiran umat Islam dalam memahami realitas, baik dari segi teologi,
epistemologi, maupun metafisika. Sejak gerakan penerjemahan besar-besaran di
era Abbasiyah, filsafat Islam berkembang pesat dengan munculnya pemikir-pemikir
besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan
Ibnu Rusyd.² Perkembangan filsafat Islam juga mengalami pasang
surut seiring dengan munculnya kritik dari kalangan teolog dan ulama yang
menganggap filsafat sebagai ancaman terhadap doktrin agama.³
Berkembangnya
filsafat Islam pada akhirnya melahirkan berbagai aliran pemikiran yang
mempengaruhi tradisi intelektual Islam hingga saat ini. Dengan memahami sejarah filsafat Islam, kita dapat melihat
bagaimana pemikiran Islam berkembang secara dinamis dalam menghadapi tantangan
intelektual di berbagai zaman.
2.1.
Munculnya Filsafat
Islam dalam Peradaban Islam
2.1.1.
Gerakan Penerjemahan
dan Peran Baitul Hikmah
Munculnya filsafat Islam tidak terlepas dari gerakan penerjemahan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, khususnya
pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786–809 M) dan Al-Ma'mun
(813–833 M). Pada masa ini, banyak karya-karya filsuf Yunani,
seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
melalui lembaga Baitul Hikmah di Baghdad.⁴
Penerjemahan
karya-karya filsafat Yunani ini tidak hanya sebatas alih bahasa, tetapi juga
disertai dengan komentar dan pengembangan pemikiran yang sesuai dengan tradisi
Islam. Hunayn
ibn Ishaq (809–873 M) adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam penerjemahan
teks-teks Yunani ke dalam bahasa Arab.⁵ Dengan adanya gerakan ini, para filsuf
Muslim mulai merumuskan konsep-konsep filsafat yang khas dalam tradisi Islam.
2.1.2.
Hubungan antara Filsafat
dan Teologi (Kalam)
Pada awal
perkembangannya, filsafat Islam memiliki hubungan yang erat dengan ilmu
kalam, yaitu disiplin ilmu yang membahas
masalah-masalah teologis dengan pendekatan rasional. Perdebatan antara kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah
menunjukkan bagaimana rasionalitas mulai digunakan dalam memahami konsep
ketuhanan, keadilan, dan kebebasan manusia.⁶
Mu’tazilah adalah
kelompok yang sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, sedangkan
Asy’ariyah lebih menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu. Kedua aliran
ini berkontribusi dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam yang mengarah
pada perkembangan filsafat Islam.
2.2.
Tokoh-Tokoh Utama
dalam Filsafat Islam dan Pemikirannya
2.2.1.
Al-Kindi (801–873
M): Filsuf Muslim Pertama
Al-Kindi adalah
filsuf Muslim pertama yang mengembangkan filsafat dalam Islam. Ia dikenal
sebagai "Faylasuf al-‘Arab" (Filsuf Arab)
dan berperan dalam memperkenalkan pemikiran Aristotelian dan Neoplatonisme
dalam dunia Islam.⁷ Dalam karyanya, Al-Kindi berusaha menyelaraskan antara filsafat dan agama, dengan menekankan bahwa
akal dan wahyu tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.
2.2.2.
Al-Farabi (872–950
M): Negara Ideal dalam Islam
Al-Farabi dikenal
dengan konsepnya tentang negara utama (al-Madinah al-Fadhilah)
yang terinspirasi dari Republik Plato. Menurutnya,
pemimpin ideal adalah seorang filsuf yang memiliki kebijaksanaan dalam mengatur negara.⁸ Selain itu, ia juga
membahas hubungan antara akal, jiwa, dan kebahagiaan dalam filsafat Islam.
2.2.3.
Ibnu Sina (980–1037
M): Filsafat dan Kedokteran
Ibnu Sina adalah
salah satu filsuf terbesar dalam Islam yang memberikan kontribusi besar dalam
metafisika dan epistemologi. Dalam karyanya Kitab al-Syifa', ia mengembangkan
teori tentang wujud
wajib (wajib
al-wujud), yaitu konsep bahwa Tuhan adalah satu-satunya
entitas yang keberadaannya niscaya.⁹
2.2.4.
Al-Ghazali
(1058–1111 M): Kritik terhadap Filsafat
Al-Ghazali adalah
seorang teolog dan sufi yang dikenal sebagai kritikus filsafat Islam. Dalam
karyanya Tahafut al-Falasifah,
ia mengkritik pemikiran para filsuf, khususnya
dalam tiga aspek utama: kekekalan alam, ilmu Tuhan yang hanya mencakup hal-hal
universal, dan kebangkitan jasmani di akhirat.¹⁰
2.2.5.
Ibnu Rusyd
(1126–1198 M): Pembela Filsafat Islam
Ibnu Rusyd, atau
Averroes, adalah filsuf Muslim yang paling dikenal di dunia Barat. Dalam
karyanya Tahafut
al-Tahafut, ia membantah kritik Al-Ghazali dan membela filsafat
sebagai bagian dari Islam.¹¹ Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak ada
pertentangan antara filsafat dan agama, karena keduanya berasal dari sumber
yang sama, yaitu kebenaran.
2.3.
Perkembangan
Filsafat Islam di Era Modern
Meskipun filsafat Islam mengalami kemunduran setelah abad ke-13, pemikirannya tetap bertahan di berbagai belahan dunia Muslim,
terutama di Persia melalui aliran Hikmah Muta‘aliyah yang
dikembangkan oleh Mulla Sadra.¹² Pada era modern,
filsafat Islam kembali mendapat perhatian dalam konteks dialog antara Islam dan
pemikiran Barat, terutama dalam menghadapi tantangan modernitas dan
sekularisme.
Kesimpulan
Sejarah perkembangan
filsafat Islam menunjukkan bahwa pemikiran filsafat memiliki peran penting
dalam membentuk tradisi intelektual Islam. Dari gerakan penerjemahan di Baghdad hingga pemikiran para filsuf besar, filsafat Islam terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Pemahaman
terhadap sejarah ini akan membantu kita dalam mengapresiasi warisan intelektual
Islam dan relevansinya dalam dunia modern.
Catatan Kaki
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 5.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 11.
[3]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 14.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 2001), 47.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 38.
[6]
Richard Sorabji, Aristotle Transformed (Ithaca:
Cornell University Press, 1990), 22.
[7]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
(London: Kegan Paul International, 1993), 27.
[8]
Al-Farabi, The Political Regime, terj. Charles
Butterworth (Ithaca: Cornell University Press, 2001), 58.
[9]
Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New
York: Brill, 2001), 32.
[10]
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van
den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 42.
[11]
Charles E. Butterworth, The Philosophy of
Averroes (Ibn Rushd) (Princeton: Princeton University Press, 2005), 79.
[12]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the
Four Journeys of the Intellect (al-Asfar al-Arba‘ah), terj. Seyyed
Hossein Nasr (Tehran: Imperial Academy of Philosophy, 1981), 23.
3.
CABANG-CABANG
FILSAFAT ISLAM
Filsafat Islam
adalah suatu disiplin yang tidak hanya terbatas pada metafisika, tetapi juga
mencakup berbagai cabang ilmu yang berusaha memahami hakikat realitas, ilmu pengetahuan, dan etika. Para filsuf Muslim mengembangkan pemikiran mereka berdasarkan sintesis antara
filsafat Yunani dan ajaran Islam, menghasilkan berbagai cabang filsafat yang
memiliki pengaruh besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan dunia.¹
Secara umum,
filsafat Islam dapat dibagi menjadi beberapa cabang utama: (1)
Metafisika Islam (Ontologi Islam), (2) Epistemologi Islam (Teori Pengetahuan),
(3) Etika dan Filsafat Moral Islam, serta (4) Filsafat Politik Islam.
Setiap cabang ini memiliki signifikansi tersendiri dalam menjelaskan hakikat Tuhan, alam semesta, manusia, serta
hubungan sosial dan politik dalam Islam.²
3.1.
Metafisika Islam
(Ontologi Islam)
3.1.1.
Konsep Wujud dan
Ma‘qul
Metafisika (mā ba‘da
al-thabī‘ah) dalam Islam dikenal dengan istilah "ilmu al-wujud" atau ilmu tentang keberadaan. Ibnu Sina
mendefinisikan metafisika sebagai ilmu yang
membahas eksistensi dan hakikat realitas.³
Dalam filsafat Islam, terdapat perbedaan fundamental antara wujud
(eksistensi) dan mahiyah (esensi), yang
merupakan konsep sentral dalam metafisika Islam.
Salah satu teori
utama dalam metafisika Islam adalah konsep wajib al-wujud (keberadaan yang niscaya)
dan mumkin al-wujud (keberadaan yang mungkin).⁴ Konsep ini dikembangkan oleh Ibnu Sina untuk
menjelaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya entitas yang keberadaannya niscaya
(necessary
being), sementara
makhluk lain adalah mungkin (contingent beings), yang
keberadaannya bergantung pada Tuhan.
3.1.2.
Teori Emanasi dalam
Islam
Teori emanasi
(al-fayḍ)
adalah teori metafisika yang banyak dianut oleh para filsuf Muslim, terutama Al-Farabi
dan Ibnu Sina.⁵ Teori ini menjelaskan bagaimana alam semesta
tercipta dari Tuhan dalam suatu proses yang bersifat bertahap. Pemikiran ini
terpengaruh oleh filsafat Neoplatonisme,
yang menyatakan bahwa
dari Tuhan yang Esa, muncullah tingkatan keberadaan yang lebih rendah secara
bertahap.
Meskipun teori ini
mendapat kritik dari kalangan teolog, terutama oleh Al-Ghazali
dalam Tahafut al-Falasifah, konsep
ini tetap menjadi bagian
integral dari metafisika Islam.⁶
3.2.
Epistemologi Islam
(Teori Pengetahuan dalam Islam)
Epistemologi (naẓariyyat
al-ma‘rifah) dalam filsafat Islam membahas sumber,
metode, dan validitas pengetahuan. Para filsuf Muslim
mengklasifikasikan pengetahuan menjadi beberapa tingkatan, berdasarkan sumber
dan cara perolehannya.
3.2.1.
Sumber-Sumber
Pengetahuan dalam Islam
Dalam filsafat Islam,
sumber pengetahuan dapat dikategorikan menjadi tiga:
1)
Akal (‘aql)
– Akal digunakan sebagai instrumen utama dalam memperoleh ilmu. Menurut
Al-Farabi, akal memiliki beberapa tingkatan, dari akal potensial hingga akal
aktual.⁷
2)
Wahyu (wahy)
– Pengetahuan tertinggi dalam Islam diperoleh melalui wahyu yang diberikan
kepada para nabi.⁸
3)
Intuisi
(dhawq)
– Dalam pemikiran Sufi dan filsafat Isyraqiyyah (iluminasi), intuisi
dan pengalaman mistik dianggap sebagai sumber pengetahuan tertinggi.⁹
3.2.2.
Teori Iluminasi (Isyraq)
Salah satu
pendekatan epistemologi yang unik dalam filsafat Islam adalah teori iluminasi (al-isyraq), yang dikembangkan oleh Suhrawardi
(1154–1191 M).¹⁰ Dalam teori ini, Suhrawardi berpendapat bahwa
pengetahuan sejati diperoleh melalui pencerahan langsung dari cahaya ilahi,
bukan semata-mata melalui akal.
3.3.
Etika dan Filsafat
Moral Islam
3.3.1.
Konsep Akhlak dalam
Filsafat Islam
Etika dalam Islam
dikenal sebagai "‘ilm al-akhlaq",
yang membahas konsep baik dan buruk serta cara mencapai kebahagiaan (sa‘adah).
Ibnu Miskawayh dalam Tahdzib al-Akhlaq mengembangkan
teori etika yang dipengaruhi oleh Aristoteles tetapi diselaraskan dengan
nilai-nilai Islam.¹¹
3.3.2.
Etika Aristotelian
vs. Etika Islam
Meskipun filsafat etika Islam banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, terdapat perbedaan signifikan
antara keduanya. Dalam Islam, etika tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan
duniawi, tetapi juga berhubungan dengan kehidupan akhirat.¹² Oleh karena itu, kebajikan
dalam Islam bukan hanya tentang keseimbangan moral, tetapi juga tentang
kepatuhan kepada Tuhan.
3.4.
Filsafat Politik
Islam
Filsafat politik
dalam Islam berkaitan dengan konsep negara dan kepemimpinan. Salah satu tokoh
utama dalam filsafat politik Islam adalah Al-Farabi, yang mengembangkan
konsep "Negara
Utama" (al-Madinah al-Fadhilah).¹³
3.4.1.
Negara Ideal dalam
Islam
Al-Farabi
berpendapat bahwa negara yang ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang
filsuf-raja, yang memiliki pengetahuan tentang hakikat kebenaran.¹⁴ Konsep ini
memiliki kesamaan dengan teori "The Philosopher King"
dalam Republic
karya Plato.
3.4.2.
Relasi antara Agama
dan Negara
Dalam pemikiran Ibnu Khaldun, negara harus didasarkan pada asas keadilan dan hukum syariah,
karena tanpa itu, peradaban akan mengalami kemunduran.¹⁵ Pemikiran ini
menunjukkan bahwa dalam Islam, politik tidak bisa dipisahkan dari agama.
Kesimpulan
Filsafat Islam
memiliki cakupan yang luas, mencakup metafisika, epistemologi, etika, dan
filsafat politik. Pemikiran para filsuf Muslim tidak hanya berkontribusi dalam
pengembangan filsafat Islam, tetapi juga dalam membentuk berbagai disiplin ilmu
yang masih relevan hingga saat ini. Kajian tentang cabang-cabang filsafat Islam
memungkinkan kita untuk memahami bagaimana Islam memberikan pandangan yang
holistik terhadap realitas kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 22.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 35.
[3]
Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New
York: Brill, 2001), 45.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 57.
[5]
Al-Farabi, The Perfect State, terj. Richard
Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 29.
[6]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 18.
[7]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1971), 41.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany:
SUNY Press, 1981), 92.
[9]
Suhrawardi, The Philosophy of Illumination,
terj. John Walbridge (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 76.
[10]
Suhrawardi, The Philosophy of Illumination,
terj. John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University
Press, 1999), 112.
[11]
Ibnu Miskawayh, Tahdzib al-Akhlaq, terj.
Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1968), 78.
[12]
Lenn E. Goodman, Islamic Humanism (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 93.
[13]
Al-Farabi, The Virtuous City, terj. Richard
Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 53.
[14]
Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of
Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001),
132.
[15]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz
Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1958), 265.
4.
KONTROVERSI
DAN KRITIK TERHADAP FILSAFAT ISLAM
Filsafat Islam,
sejak awal perkembangannya, telah menjadi subjek perdebatan yang sengit di
antara para ulama, teolog, dan filsuf Muslim. Sementara sebagian intelektual
Muslim melihat filsafat sebagai sarana untuk memahami agama secara lebih
mendalam, sebagian lainnya menganggapnya sebagai disiplin yang berbahaya dan
bertentangan dengan akidah Islam.¹
Dalam sejarah Islam,
kritik terhadap filsafat Islam berasal dari dua kelompok utama: (1) para
teolog (mutakallimun), terutama dari kalangan Asy’ariyah dan Hanabilah,
yang melihat filsafat sebagai ancaman bagi ajaran Islam, dan (2) para
ulama fiqh yang menganggap filsafat sebagai ilmu yang berpotensi menyesatkan
umat.² Puncak kritik terhadap filsafat Islam terjadi pada masa Al-Ghazali
(1058–1111 M), yang dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kekacauan
Para Filsuf), menolak banyak konsep filsafat yang dianggap bertentangan dengan
Islam.³
Di sisi lain, kritik
terhadap filsafat Islam juga datang dari filsuf Muslim sendiri, seperti Ibnu Rusyd (1126–1198 M), yang membela filsafat dalam Tahafut
al-Tahafut dan menegaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan
Islam, tetapi justru sejalan dengan ajaran wahyu.⁴
Bab ini akan
membahas berbagai kritik terhadap filsafat Islam, bagaimana para filsuf
meresponsnya, dan bagaimana perdebatan ini membentuk dinamika pemikiran dalam
tradisi Islam.
4.1.
Kritik Ulama
terhadap Filsafat Islam
4.1.1.
Al-Ghazali dan
Kritiknya terhadap Filsafat
Salah satu tokoh
yang paling vokal dalam menentang filsafat adalah Al-Ghazali,
seorang teolog, sufi, dan ulama besar dari mazhab Asy’ariyah. Dalam karyanya Tahafut
al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf Muslim, terutama Al-Farabi
dan Ibnu Sina, karena tiga pandangan utama mereka yang dianggap
bertentangan dengan Islam:
1)
Kekekalan
alam (Qidam al-‘Alam)
Para filsuf berpendapat bahwa alam
bersifat kekal dan tidak diciptakan dari ketiadaan (ex nihilo), yang bertentangan
dengan ajaran Islam tentang penciptaan.⁵
2)
Ilmu
Tuhan hanya mencakup hal-hal universal
Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan hanya
mengetahui hal-hal secara universal, bukan secara partikular, yang menurut
Al-Ghazali melemahkan konsep ketuhanan dalam Islam.⁶
3)
Penolakan
terhadap kebangkitan jasmani di akhirat
Para filsuf mengajarkan bahwa
kebangkitan manusia setelah kematian bersifat spiritual, bukan fisik, yang
bertentangan dengan ajaran Islam mengenai surga dan neraka.⁷
Menurut Al-Ghazali,
pandangan-pandangan ini menyesatkan dan dapat menyebabkan kekafiran. Ia
menegaskan bahwa filsafat hanya bisa diterima jika terbatas pada ilmu logika
dan matematika, tetapi harus ditolak jika menyangkut teologi dan metafisika.⁸
4.1.2.
Ibnu Taimiyyah dan
Kritik terhadap Rasionalisme Filsafat
Selain Al-Ghazali, Ibnu
Taimiyyah (1263–1328 M) juga mengkritik filsafat Islam,
terutama terhadap penggunaan akal dalam memahami ajaran Islam. Dalam karyanya Dar’
Ta‘arud al-‘Aql wa al-Naql (Penolakan Kontradiksi antara Akal dan
Wahyu), Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dan
tidak boleh digunakan untuk menafsirkan agama secara bebas.⁹
Menurut Ibnu
Taimiyyah, banyak konsep filsafat Yunani, seperti teori
emanasi dan konsep
wujud, bertentangan dengan tauhid Islam. Oleh karena
itu, ia menolak filsafat rasionalis dan lebih menekankan pendekatan literal
dalam memahami wahyu.¹⁰
4.2.
Respon terhadap
Kritik: Ibnu Rusyd dan Pembelaan terhadap Filsafat
4.2.1.
Ibnu Rusyd dan Tahafut
al-Tahafut
Salah satu filsuf
yang paling gigih membela filsafat adalah Ibnu Rusyd (Averroes). Dalam Tahafut
al-Tahafut (Kekacauan atas Kekacauan), Ibnu Rusyd memberikan
bantahan terhadap kritik Al-Ghazali dan menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi
antara filsafat dan agama.¹¹
Menurut Ibnu Rusyd,
akal dan wahyu adalah dua sumber kebenaran yang tidak bertentangan. Ia
berpendapat bahwa Al-Qur’an sendiri menganjurkan manusia untuk
berpikir secara rasional.¹² Oleh karena itu, filsafat harus
digunakan untuk memahami wahyu dengan lebih mendalam.
4.2.2.
Hubungan antara
Filsafat dan Syariah
Ibnu Rusyd juga
berpendapat bahwa hukum Islam (syariah) sejalan dengan filsafat.
Ia menegaskan bahwa syariat Islam tidak hanya bertumpu pada teks suci, tetapi juga
harus ditafsirkan dengan pendekatan rasional.¹³ Pemikiran ini kemudian
mempengaruhi filsafat Barat, terutama melalui Thomas Aquinas, yang mengadopsi
banyak ide dari Ibnu Rusyd.¹⁴
4.3.
Relevansi Perdebatan
Filsafat Islam dalam Konteks Modern
Meskipun perdebatan
mengenai filsafat Islam telah berlangsung sejak abad pertengahan, relevansinya
masih terasa hingga saat ini. Banyak pemikir Muslim modern, seperti Muhammad Iqbal dan Seyyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa filsafat Islam
harus tetap dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman, seperti sekularisme
dan sains modern.¹⁵
Di era globalisasi,
filsafat Islam dapat berperan dalam membangun dialog antara Islam dan peradaban
lain, serta dalam merumuskan konsep etika
dan sains yang berbasis nilai-nilai Islam.
Kesimpulan
Kontroversi dan
kritik terhadap filsafat Islam telah menjadi bagian dari sejarah intelektual
Islam. Perdebatan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd
menunjukkan bagaimana filsafat Islam berkembang dalam dinamika antara akal dan
wahyu.
Meskipun kritik
terhadap filsafat Islam masih ada hingga saat ini, perannya dalam membentuk
pemikiran Islam tetap signifikan. Dengan memahami perdebatan ini, kita dapat
melihat bagaimana filsafat Islam tetap relevan dalam menjawab berbagai
persoalan kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 67.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 102.
[3]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 24.
[4]
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van
den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 45.
[5]
Al-Farabi, The Perfect State, terj. Richard
Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 33.
[6]
Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New
York: Brill, 2001), 57.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 89.
[8]
Ibnu Taimiyyah, Dar’ Ta‘arud al-‘Aql wa al-Naql
(Cairo: Maktabah Salafiyyah, 1997), 142.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany:
SUNY Press, 1981), 129.
[10]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 84.
[11]
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon
Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 132.
[12]
Charles E. Butterworth, The Philosophy of
Averroes (Ibn Rushd) (Princeton: Princeton University Press, 2005), 98.
[13]
Majid Fakhry, Averroes: His Life, Works and
Influence (Oxford: Oneworld, 2001), 74.
[14]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, terj.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
125.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred
Science (Albany: SUNY Press, 1993), 167.
5.
RELEVANSI
FILSAFAT ISLAM DALAM KONTEKS MODERN
Filsafat Islam, yang
telah berkembang sejak masa klasik, tidak hanya memiliki nilai historis tetapi
juga menawarkan wawasan yang tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman
modern. Dunia kontemporer ditandai oleh kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan sosial-politik, serta krisis spiritualitas yang
dihadapi oleh masyarakat global.¹
Dalam konteks ini,
pemikiran filsafat Islam dapat memberikan kontribusi penting dalam (1)
membangun integrasi antara ilmu dan agama, (2) menawarkan solusi etis dan
spiritual bagi dunia modern, serta (3) menjawab tantangan filsafat Barat dan
sekularisme. Oleh karena itu, memahami bagaimana filsafat Islam
berinteraksi dengan dunia modern adalah sebuah kebutuhan akademik dan praktis
bagi umat Islam saat ini.²
5.1.
Filsafat Islam dan
Ilmu Pengetahuan Modern
5.1.1.
Hubungan Filsafat
Islam dengan Sains
Filsafat Islam
selalu menekankan pentingnya pencarian ilmu sebagai bagian dari ibadah dan
tanggung jawab manusia. Ibnu Sina dan Al-Farabi, misalnya, telah
mengembangkan metode ilmiah yang menjadi dasar bagi banyak disiplin ilmu
modern, seperti kedokteran, fisika, dan astronomi.³
Menurut Seyyed Hossein Nasr, salah satu tantangan utama yang dihadapi dunia
Islam saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan ilmu
pengetahuan modern dengan nilai-nilai Islam. Ia mengkritik
pendekatan sekularisasi ilmu yang mengabaikan dimensi spiritual dan menekankan
bahwa ilmu harus dikembangkan dalam kerangka pandangan dunia tauhid.⁴
Salah satu contoh
konkret dari integrasi filsafat Islam dengan ilmu modern adalah Islamic
Science Movement, yang berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan
berdasarkan prinsip-prinsip Islam.⁵
5.1.2.
Kritik terhadap
Materialisme dan Sekularisme
Filsafat Islam juga
menawarkan kritik mendalam terhadap materialisme dan sekularisme,
dua aspek dominan dalam filsafat modern Barat. Menurut Muhammad Iqbal, sekularisme telah menghilangkan dimensi spiritual dalam
kehidupan manusia, sehingga melahirkan krisis makna dan nilai.⁶
Para pemikir Muslim
modern menekankan bahwa keharmonisan antara wahyu dan akal
harus menjadi dasar dalam membangun sistem ilmu yang holistik. Mereka menolak
reduksi realitas menjadi sekadar fenomena material, sebagaimana yang terjadi
dalam positivisme dan ateisme ilmiah.⁷
5.2.
Filsafat Islam dan
Tantangan Globalisasi
5.2.1.
Etika dan Moralitas
dalam Dunia Modern
Salah satu dampak
dari globalisasi adalah krisis moralitas, yang ditandai
dengan relativisme etika dan individualisme ekstrem. Filsafat
Islam menawarkan konsep etika yang berbasis wahyu dan akal,
sebagaimana dikembangkan oleh Ibnu Miskawayh dalam Tahdzib
al-Akhlaq.⁸
Etika Islam
menekankan bahwa kebajikan (fadhilah) bukan hanya ditentukan
oleh rasionalitas manusia semata, tetapi juga harus berlandaskan wahyu. Dalam
konteks modern, prinsip-prinsip etika Islam dapat diaplikasikan dalam berbagai
bidang, termasuk ekonomi, politik, dan sains.
5.2.2.
Konsep Keadilan dan
Demokrasi dalam Islam
Dalam dunia yang
semakin plural dan demokratis, filsafat politik Islam tetap relevan dalam
memberikan pandangan tentang keadilan, pemerintahan, dan
hak asasi manusia. Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah,
menekankan bahwa stabilitas sosial dan politik hanya dapat dicapai jika
keadilan dijadikan sebagai prinsip utama dalam kepemimpinan.⁹
Di era modern,
pemikiran filsafat politik Islam telah menjadi bahan kajian penting dalam
diskusi tentang demokrasi dan hak asasi manusia dalam Islam.
Para pemikir Muslim kontemporer berupaya merumuskan model
demokrasi yang berbasis pada prinsip-prinsip Islam, yang
berbeda dari model liberal Barat.¹⁰
5.3.
Filsafat Islam dalam
Era Teknologi dan Digitalisasi
5.3.1.
Implikasi Etis dari
Kecerdasan Buatan (AI) dan Revolusi Digital
Salah satu tantangan
besar di abad ke-21 adalah perkembangan teknologi, khususnya dalam bidang kecerdasan
buatan (AI) dan digitalisasi. Bagaimana filsafat Islam merespons perkembangan
ini?
Dalam Islam,
teknologi tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan etis dan moral. Filsafat Islam menawarkan kerangka etika teknologi yang berbasis pada
maqashid syariah (tujuan syariah), di mana setiap inovasi harus
mempertimbangkan manfaat dan dampaknya terhadap kehidupan
manusia dan lingkungan.¹¹
Menurut Ziauddin
Sardar, perkembangan teknologi harus dikaji dalam perspektif
Islam agar tidak menjadi alat yang merusak nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.¹² Oleh karena itu, filsafat Islam dapat berperan dalam merumuskan pendekatan
etis terhadap teknologi, termasuk dalam bidang bioetika,
kecerdasan buatan, dan media digital.
5.3.2.
Pendidikan Filsafat
Islam di Era Digital
Di era digital,
pendidikan filsafat Islam menghadapi tantangan sekaligus peluang. Teknologi
memungkinkan penyebaran pemikiran filsafat Islam ke seluruh dunia melalui
platform daring. Namun, di sisi lain, muncul tantangan berupa distorsi
pemikiran Islam dalam dunia maya, yang sering kali
menyederhanakan ajaran Islam menjadi sekadar slogan ideologis tanpa pemahaman
mendalam.¹³
Oleh karena itu,
perlu ada penguatan kurikulum filsafat Islam
dalam sistem pendidikan Islam, agar generasi muda memiliki pemahaman yang lebih
luas dan kritis terhadap pemikiran Islam dalam berbagai konteks.
Kesimpulan
Filsafat Islam tetap
memiliki relevansi yang kuat dalam menjawab tantangan dunia modern. Dari sains
hingga etika, dari politik hingga teknologi, filsafat Islam
menawarkan wawasan yang dapat memperkaya diskusi intelektual dan memberikan
solusi terhadap berbagai persoalan kontemporer.
Diperlukan usaha
lebih lanjut untuk mengembangkan filsafat Islam dalam dialog
dengan pemikiran modern, tanpa harus kehilangan esensinya
sebagai bagian dari tradisi intelektual Islam yang berakar pada tauhid dan
wahyu. Dengan pendekatan yang komprehensif, filsafat Islam dapat menjadi pilar
bagi pembangunan peradaban Islam yang berlandaskan ilmu, keadilan, dan
nilai-nilai spiritual.
Catatan Kaki
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany:
SUNY Press, 1981), 41.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 112.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 78.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(London: World Wisdom, 2007), 52.
[5]
Ziauddin Sardar, Islam, Science and the Challenge of History
(New York: Oxford University Press, 1999), 93.
[6]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 65.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science
(Albany: SUNY Press, 1993), 109.
[8]
Ibnu Miskawayh, Tahdzib al-Akhlaq, terj. Zurayk
(Beirut: American University of Beirut, 1968), 47.
[9]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1958), 212.
[10]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (New York: HarperOne, 2005), 154.
[11]
Ziauddin Sardar, Future: All That Matters (London:
Hodder & Stoughton, 2013), 81.
[12]
Ibid., 87.
[13]
Nasr, Islamic Science, 119.
6.
PENUTUP
6.1.
Kesimpulan dan
Refleksi
Filsafat Islam merupakan bagian integral dari
tradisi intelektual Islam yang berkembang sejak abad ke-8 hingga era modern.
Melalui pembahasan dalam artikel ini, telah diuraikan bagaimana filsafat Islam
tidak hanya membahas masalah metafisika, epistemologi, dan etika, tetapi juga
memiliki implikasi yang luas
dalam ilmu pengetahuan, politik, dan perkembangan sosial.¹
Filsafat Islam telah mengalami berbagai fase, mulai
dari masa kejayaan dengan gerakan penerjemahan di era Abbasiyah, perkembangan
pemikiran para filsuf besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra, hingga masa kritik yang dipelopori oleh Al-Ghazali
dan Ibnu Taimiyyah.² Meskipun mengalami pasang surut, filsafat Islam tetap
bertahan dan terus berkembang hingga saat ini, beradaptasi dengan tantangan zaman modern, termasuk dalam menghadapi sekularisme, globalisasi, dan kemajuan
teknologi.³
Salah satu kontribusi terbesar filsafat Islam
adalah upayanya dalam menyelaraskan antara akal dan wahyu, yang menjadi
dasar bagi pemikiran Islam yang rasional dan sistematis. Ibnu Rusyd, misalnya,
menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan filsafat, karena
keduanya berasal dari sumber kebenaran yang sama.⁴ Namun, kritik terhadap
filsafat juga tidak dapat
diabaikan, terutama dalam konteks perdebatan antara filsafat dan ilmu kalam,
serta dalam kritik terhadap pengaruh filsafat Yunani dalam Islam.⁵
Dalam era modern, filsafat Islam semakin relevan
dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer, mulai dari krisis spiritualitas
akibat sekularisme, tantangan dalam etika sains dan teknologi, hingga
perdebatan mengenai konsep keadilan dan demokrasi dalam Islam.⁶ Oleh karena
itu, kajian terhadap filsafat Islam tidak boleh berhenti pada aspek historis
semata, tetapi harus terus dikembangkan agar tetap relevan dengan realitas
zaman.
6.2.
Urgensi Kajian
Filsafat Islam di Era Kontemporer
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat
Islam saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan filsafat Islam dengan
pemikiran modern tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Muhammad Iqbal menekankan bahwa filsafat Islam harus tetap
berakar pada wahyu, tetapi juga terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat modern.⁷
Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan
dalam mengembangkan filsafat Islam di era kontemporer adalah:
1)
Pendidikan Filsafat Islam
Pendidikan
filsafat Islam perlu diperkuat dalam kurikulum pendidikan Islam, agar generasi
muda tidak hanya memahami aspek teologis agama, tetapi juga mampu berpikir
secara kritis dan rasional. Dalam banyak universitas di dunia Muslim, kajian
filsafat masih dianggap sebagai bidang yang kontroversial, padahal pemahaman
filsafat yang baik dapat membantu dalam membangun tradisi intelektual yang
kuat.⁸
2)
Dialog antara Filsafat Islam dan Pemikiran Global
Filsafat Islam harus mampu berdialog dengan filsafat Barat dan pemikiran global, tanpa
harus kehilangan identitasnya sebagai filsafat yang berbasis pada tauhid.
Banyak pemikir Muslim modern berupaya menjembatani antara filsafat Islam dan
filsafat modern, seperti dalam kajian etika sains, bioetika, dan filsafat
politik Islam.⁹
3)
Filsafat Islam dan Tantangan Teknologi
Dunia saat
ini mengalami revolusi teknologi yang cepat, termasuk dalam bidang kecerdasan
buatan (AI), bioteknologi, dan digitalisasi. Bagaimana filsafat Islam
merespons perkembangan ini? Dalam Islam, teknologi harus dikembangkan
dengan prinsip maslahat dan etika, sehingga tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan.¹⁰ Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih
mendalam mengenai bagaimana filsafat Islam dapat memberikan panduan etis dalam
penggunaan teknologi modern.
6.3.
Penutup dan Harapan
untuk Masa Depan
Artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang filsafat Islam, baik dari aspek sejarah, pemikiran
tokoh-tokohnya, hingga relevansinya dalam kehidupan modern. Kajian terhadap
filsafat Islam harus terus
dikembangkan agar umat Islam memiliki wawasan yang luas dalam menghadapi
tantangan zaman.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina, “Ilmu
adalah cahaya yang akan membimbing manusia menuju kebenaran.”¹¹ Oleh karena
itu, filsafat Islam harus tetap menjadi
bagian dari tradisi intelektual Islam yang berkembang secara dinamis dan
kontekstual.
Kami mengundang para pembaca untuk terus menggali,
mengkritisi, dan mengembangkan filsafat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat
bagi para akademisi, mahasiswa, dan siapa saja yang ingin memahami lebih dalam
tentang pemikiran Islam dalam perspektif filsafat.
Catatan Kaki
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 215.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 142.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An
Illustrated Study (London: World Wisdom, 2007), 74.
[4]
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon
Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 98.
[5]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj.
Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 64.
[6]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 112.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1981), 91.
[8]
Ziauddin Sardar, Islam, Science and the
Challenge of History (New York: Oxford University Press, 1999), 157.
[9]
Khaled Abou El Fadl, Reasoning with God:
Reclaiming Shari‘ah in the Modern Age (Lanham, MD: Rowman &
Littlefield, 2014), 187.
[10]
Ziauddin Sardar, Future: All That Matters
(London: Hodder & Stoughton, 2013), 98.
[11]
Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New
York: Brill, 2001), 231.
DAFTAR PUSTAKA
Abou El Fadl, K. (2014). Reasoning with God:
Reclaiming Shari‘ah in the Modern Age. Rowman & Littlefield.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Brothers.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Ghazali, A. (2000). The incoherence of the
philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. Marmura, Trans.). Brigham Young
University Press.
Gutas, D. (2001). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbāsid society.
Routledge.
Ibnu Khaldun. (1958). The Muqaddimah (F. Rosenthal,
Trans.). Princeton University Press.
Ibnu Miskawayh. (1968). Tahdzib al-Akhlaq
(C. K. Zurayk, Trans.). American University of Beirut.
Ibnu Rusyd. (1954). The incoherence of the
incoherence (Tahafut al-Tahafut) (S. Van den Bergh, Trans.). E.J. Brill.
Ibnu Sina. (2001). Kitab al-Syifa’ (D.
Gutas, Trans.). Brill.
Iqbal, M. (1989). The reconstruction of
religious thought in Islam. Sh. Muhammad Ashraf.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy. Cambridge University Press.
Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of
Islamic political philosophy. University of Chicago Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the sacred.
SUNY Press.
Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred
science. SUNY Press.
Nasr, S. H. (2007). Islamic science: An
illustrated study. World Wisdom.
Sardar, Z. (1999). Islam, science and the
challenge of history. Oxford University Press.
Sardar, Z. (2013). Future: All that matters.
Hodder & Stoughton.
Suhrawardi. (1999). The philosophy of
illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University
Press.
Taimiyyah, I. (1997). Dar’ Ta‘arud al-‘Aql wa
al-Naql. Maktabah Salafiyyah.
Walzer, R. (1985). Al-Farabi: The perfect state.
Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar