Senin, 18 November 2024

Pengantar Filsafat Islam

Pengantar Filsafat Islam

Pendekatan Komprehensif dari Sumber-Sumber Klasik dan Modern


Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.

Pengantar Filsafat Umum.

Fungsi dan Tujuan Filsafat Islam, Sejarah Filsafat Islam, Tokoh-Tokoh Filsafat IslamAliran-Aliran Filsafat Islam, Konsep-Konsep Filsafat Islam.


Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Swt yang telah menganugerahkan akal kepada manusia sebagai instrumen untuk berpikir dan memahami hakikat kehidupan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, suri teladan utama yang mengajarkan umatnya untuk mencari ilmu sebagai jalan menuju kebijaksanaan.

Artikel "Pengantar Filsafat Islam" ini disusun untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai filsafat Islam, baik dari aspek sejarah, pemikiran tokoh-tokohnya, hingga relevansinya dalam kehidupan modern. Filsafat Islam, sebagaimana disiplin ilmu lainnya, memiliki peran penting dalam membentuk peradaban dan pemikiran umat Islam. Peradaban Islam pernah mencapai masa kejayaannya berkat sinergi antara ilmu agama dan filsafat, sebagaimana yang terlihat dalam pemikiran para filsuf Muslim klasik seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd

Kajian filsafat Islam sering kali dihadapkan pada tantangan besar, baik dari dalam umat Islam sendiri maupun dari luar. Tidak sedikit kalangan yang memandang filsafat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kritik terhadap filsafat dapat ditemukan dalam karya Al-Ghazali, seperti dalam "Tahafut al-Falasifah", di mana ia menyoroti tiga poin utama yang dianggap menyimpang dari prinsip Islam: kekekalan alam, ilmu Tuhan yang hanya mencakup universal, dan kebangkitan jasmani di akhirat.² Namun, kritik ini dijawab oleh Ibnu Rusyd dalam "Tahafut al-Tahafut", di mana ia membela filsafat sebagai bagian dari pemikiran yang rasional dan tidak bertentangan dengan Islam.³

Seiring perkembangan zaman, pemikiran filsafatIslam mengalami transformasi dan penyesuaian. Jika pada abad pertengahan filsafat Islam berkembang melalui sinergi dengan ilmu kedokteran, astronomi, dan logika, maka pada era modern dan kontemporer, filsafat Islam berusaha memberikan respons terhadap tantangan sekularisme, materialisme, dan perkembangan teknologi.⁴ Oleh karena itu, kajian filsafat Islam tidak boleh berhenti hanya pada aspek historis, tetapi harus terus dikembangkan agar tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.

Artikel ini disusun dengan menggunakan pendekatan historis dan analitis untuk menguraikan konsep-konsep utama dalam filsafat Islam, memberikan pemahaman tentang pemikiran para filsuf Muslim, serta mengkaji interaksi antara filsafat Islam dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Dalam penyusunan artikel ini, kami merujuk pada sumber-sumber primer dari karya-karya filsuf Muslim klasik serta referensi akademik modern agar dapat memberikan perspektif yang luas dan mendalam bagi para pembaca.

Kami berharap bahwa artikel ini dapat menjadi sumber rujukan yang bermanfaat bagi mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat umum yang ingin memahami filsafat Islam secara komprehensif. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan petunjuk dan keberkahan dalam setiap langkah pencarian ilmu.


Catatan Kaki

[1]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 12.

[2]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 8–11.

[3]                Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 26.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2007), 45–47.


PEMBAHASAN

Pengantar Filsafat Islam


1.           PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang

Filsafat Islam adalah salah satu disiplin ilmu yang memainkan peran penting dalam perkembangan intelektual Islam. Sejak masa klasik, filsafat Islam tidak hanya menjadi bagian dari diskursus keagamaan, tetapi juga menjadi fondasi bagi ilmu-ilmu lain, seperti teologi (kalam), hukum Islam (fiqh), dan ilmu pengetahuan (sains).¹ Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd telah berkontribusi dalam membangun sistem pemikiran yang tidak hanya bersandar pada wahyu, tetapi juga pada rasionalitas dan pengalaman empiris.²

Namun, filsafat Islam sering kali menjadi perdebatan di kalangan Muslim. Ada pandangan yang menganggap filsafat sebagai ilmu yang bertentangan dengan ajaran Islam karena pengaruhnya yang kuat dari filsafat Yunani.³ Di sisi lain, ada pula pandangan yang meyakini bahwa filsafat justru merupakan bagian dari tradisi keilmuan Islam yang menekankan akal sebagai sarana dalam memahami wahyu dan alam semesta.⁴

Di era modern, kajian filsafat Islam semakin mendapat tempat dalam wacana akademik, terutama dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer, seperti sekularisme, postmodernisme, dan globalisasi.⁵ Oleh karena itu, artikel ini disusun dengan tujuan untuk memberikan pengantar yang komprehensif tentang filsafat Islam, dengan pendekatan yang bersifat historis dan analitis, agar pembaca dapat memahami esensi dan peran filsafat dalam Islam.

1.2.       Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Islam

Filsafat, secara umum, berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti "cinta akan kebijaksanaan."⁶ Dalam tradisi Islam, filsafat berkembang sebagai disiplin yang mengintegrasikan pemikiran logis dan rasional dengan ajaran wahyu. Filsafat Islam dapat didefinisikan sebagai studi yang berusaha memahami hakikat keberadaan (ontology), sumber ilmu (epistemology), dan nilai moral (ethics) dengan pendekatan yang berlandaskan pada ajaran Islam.⁷

Berbeda dengan filsafat Barat yang berkembang dalam konteks sekular, filsafat Islam memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pemikiran filosofis dalam Islam tidak hanya bersumber dari akal semata, tetapi juga mempertimbangkan dimensi spiritual dan wahyu.⁸ Oleh karena itu, filsafat Islam memiliki peran yang unik dalam menyelaraskan antara akal dan iman.

Dalam kajian akademik, filsafat Islam sering kali disandingkan dengan ilmu kalam dan tasawuf. Ilmu kalam lebih fokus pada perdebatan teologis mengenai sifat-sifat Tuhan, sementara tasawuf menitikberatkan pada pengalaman mistik dan spiritualitas.⁹ Filsafat Islam, di sisi lain, menempati posisi yang lebih luas dengan mencakup kajian metafisika, epistemologi, etika, dan filsafat sosial-politik.

1.3.       Sumber-Sumber Filsafat Islam

Filsafat Islam tidak berkembang dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh berbagai sumber yang mencerminkan interaksi peradaban Islam dengan tradisi intelektual lainnya. Secara garis besar, sumber filsafat Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga:

1)                  Al-Qur’an dan Hadis sebagai Landasan Utama

Al-Qur’an dan Hadis merupakan fondasi utama dalam pemikiran Islam, termasuk dalam filsafat. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda kebesaran Allah.¹⁰ Dalam Hadis Nabi Muhammad Saw juga terdapat banyak anjuran untuk mencari ilmu dan merenungkan hakikat kehidupan.

2)                  Filsafat Yunani dan Pengaruh Helenistik

Pengaruh filsafat Yunani dalam Islam bermula sejak era Abbasiyah, ketika karya-karya filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab melalui proyek penerjemahan di Baitul Hikmah, Baghdad.¹¹ Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina mengembangkan pemikiran mereka dengan mengadaptasi konsep-konsep Aristotelian dan Neoplatonisme dalam konteks Islam.¹²

3)                  Tradisi Pemikiran Islam Klasik

Selain pengaruh Yunani, filsafat Islam juga berkembang dari pemikiran para ulama klasik yang mengkaji berbagai aspek teologi, hukum, dan tasawuf. Misalnya, Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah mengkritik pemikiran filsafat yang dianggap menyimpang dari akidah Islam, sementara Ibnu Rusyd dalam Tahafut al-Tahafut justru membela filsafat sebagai bagian dari Islam.¹³

Dengan memahami sumber-sumber filsafat Islam, kita dapat melihat bagaimana disiplin ini tidak hanya berkembang secara teoritis, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan intelektual Islam.


Kesimpulan

Kajian filsafat Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi keilmuan Islam. Meskipun sering mendapat kritik dari berbagai kalangan, filsafat Islam tetap relevan dalam menjawab berbagai pertanyaan mendasar tentang keberadaan, ilmu, dan etika dalam Islam. Dengan memahami dasar-dasar filsafat Islam, diharapkan pembaca dapat memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai pemikiran Islam dan peran akal dalam memahami ajaran agama.


Catatan Kaki

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 4.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 9.

[3]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 12–14.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 32.

[5]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 56.

[6]                Richard Sorabji, Aristotle Transformed: The Ancient Commentators and Their Influence (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 22.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, terj. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 17.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 29.

[9]                Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Din al-Razi (Leiden: Brill, 2006), 13.

[10]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:164).

[11]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 2001), 45.

[12]             Al-Farabi, The Political Regime, terj. Charles E. Butterworth (Ithaca: Cornell University Press, 2001), 51.

[13]             Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 33.


2.           SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM

Filsafat Islam merupakan bagian integral dari tradisi intelektual Islam yang berkembang sejak abad ke-8 hingga sekarang. Munculnya filsafat dalam peradaban Islam tidak terlepas dari interaksi dengan kebudayaan dan pemikiran Yunani, Persia, dan India, serta dari dorongan internal dalam Islam sendiri yang menekankan pencarian ilmu dan kebijaksanaan.¹

Sejarah filsafat Islam mencerminkan perjalanan pemikiran umat Islam dalam memahami realitas, baik dari segi teologi, epistemologi, maupun metafisika. Sejak gerakan penerjemahan besar-besaran di era Abbasiyah, filsafat Islam berkembang pesat dengan munculnya pemikir-pemikir besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd.² Perkembangan filsafat Islam juga mengalami pasang surut seiring dengan munculnya kritik dari kalangan teolog dan ulama yang menganggap filsafat sebagai ancaman terhadap doktrin agama.³

Berkembangnya filsafat Islam pada akhirnya melahirkan berbagai aliran pemikiran yang mempengaruhi tradisi intelektual Islam hingga saat ini. Dengan memahami sejarah filsafat Islam, kita dapat melihat bagaimana pemikiran Islam berkembang secara dinamis dalam menghadapi tantangan intelektual di berbagai zaman.

2.1.       Munculnya Filsafat Islam dalam Peradaban Islam

2.1.1.    Gerakan Penerjemahan dan Peran Baitul Hikmah

Munculnya filsafat Islam tidak terlepas dari gerakan penerjemahan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786–809 M) dan Al-Ma'mun (813–833 M). Pada masa ini, banyak karya-karya filsuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab melalui lembaga Baitul Hikmah di Baghdad.⁴

Penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ini tidak hanya sebatas alih bahasa, tetapi juga disertai dengan komentar dan pengembangan pemikiran yang sesuai dengan tradisi Islam. Hunayn ibn Ishaq (809–873 M) adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam penerjemahan teks-teks Yunani ke dalam bahasa Arab.⁵ Dengan adanya gerakan ini, para filsuf Muslim mulai merumuskan konsep-konsep filsafat yang khas dalam tradisi Islam.

2.1.2.    Hubungan antara Filsafat dan Teologi (Kalam)

Pada awal perkembangannya, filsafat Islam memiliki hubungan yang erat dengan ilmu kalam, yaitu disiplin ilmu yang membahas masalah-masalah teologis dengan pendekatan rasional. Perdebatan antara kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah menunjukkan bagaimana rasionalitas mulai digunakan dalam memahami konsep ketuhanan, keadilan, dan kebebasan manusia.⁶

Mu’tazilah adalah kelompok yang sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, sedangkan Asy’ariyah lebih menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu. Kedua aliran ini berkontribusi dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam yang mengarah pada perkembangan filsafat Islam.

2.2.       Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Islam dan Pemikirannya

2.2.1.    Al-Kindi (801–873 M): Filsuf Muslim Pertama

Al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama yang mengembangkan filsafat dalam Islam. Ia dikenal sebagai "Faylasuf al-‘Arab" (Filsuf Arab) dan berperan dalam memperkenalkan pemikiran Aristotelian dan Neoplatonisme dalam dunia Islam.⁷ Dalam karyanya, Al-Kindi berusaha menyelaraskan antara filsafat dan agama, dengan menekankan bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.

2.2.2.    Al-Farabi (872–950 M): Negara Ideal dalam Islam

Al-Farabi dikenal dengan konsepnya tentang negara utama (al-Madinah al-Fadhilah) yang terinspirasi dari Republik Plato. Menurutnya, pemimpin ideal adalah seorang filsuf yang memiliki kebijaksanaan dalam mengatur negara.⁸ Selain itu, ia juga membahas hubungan antara akal, jiwa, dan kebahagiaan dalam filsafat Islam.

2.2.3.    Ibnu Sina (980–1037 M): Filsafat dan Kedokteran

Ibnu Sina adalah salah satu filsuf terbesar dalam Islam yang memberikan kontribusi besar dalam metafisika dan epistemologi. Dalam karyanya Kitab al-Syifa', ia mengembangkan teori tentang wujud wajib (wajib al-wujud), yaitu konsep bahwa Tuhan adalah satu-satunya entitas yang keberadaannya niscaya.⁹

2.2.4.    Al-Ghazali (1058–1111 M): Kritik terhadap Filsafat

Al-Ghazali adalah seorang teolog dan sufi yang dikenal sebagai kritikus filsafat Islam. Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, ia mengkritik pemikiran para filsuf, khususnya dalam tiga aspek utama: kekekalan alam, ilmu Tuhan yang hanya mencakup hal-hal universal, dan kebangkitan jasmani di akhirat.¹⁰

2.2.5.    Ibnu Rusyd (1126–1198 M): Pembela Filsafat Islam

Ibnu Rusyd, atau Averroes, adalah filsuf Muslim yang paling dikenal di dunia Barat. Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut, ia membantah kritik Al-Ghazali dan membela filsafat sebagai bagian dari Islam.¹¹ Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu kebenaran.

2.3.       Perkembangan Filsafat Islam di Era Modern

Meskipun filsafat Islam mengalami kemunduran setelah abad ke-13, pemikirannya tetap bertahan di berbagai belahan dunia Muslim, terutama di Persia melalui aliran Hikmah Muta‘aliyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra.¹² Pada era modern, filsafat Islam kembali mendapat perhatian dalam konteks dialog antara Islam dan pemikiran Barat, terutama dalam menghadapi tantangan modernitas dan sekularisme.


Kesimpulan

Sejarah perkembangan filsafat Islam menunjukkan bahwa pemikiran filsafat memiliki peran penting dalam membentuk tradisi intelektual Islam. Dari gerakan penerjemahan di Baghdad hingga pemikiran para filsuf besar, filsafat Islam terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Pemahaman terhadap sejarah ini akan membantu kita dalam mengapresiasi warisan intelektual Islam dan relevansinya dalam dunia modern.


Catatan Kaki

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 5.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 11.

[3]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 14.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 2001), 47.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 38.

[6]                Richard Sorabji, Aristotle Transformed (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 22.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 27.

[8]                Al-Farabi, The Political Regime, terj. Charles Butterworth (Ithaca: Cornell University Press, 2001), 58.

[9]                Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New York: Brill, 2001), 32.

[10]             Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 42.

[11]             Charles E. Butterworth, The Philosophy of Averroes (Ibn Rushd) (Princeton: Princeton University Press, 2005), 79.

[12]             Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfar al-Arba‘ah), terj. Seyyed Hossein Nasr (Tehran: Imperial Academy of Philosophy, 1981), 23.


3.           CABANG-CABANG FILSAFAT ISLAM

Filsafat Islam adalah suatu disiplin yang tidak hanya terbatas pada metafisika, tetapi juga mencakup berbagai cabang ilmu yang berusaha memahami hakikat realitas, ilmu pengetahuan, dan etika. Para filsuf Muslim mengembangkan pemikiran mereka berdasarkan sintesis antara filsafat Yunani dan ajaran Islam, menghasilkan berbagai cabang filsafat yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan dunia.¹

Secara umum, filsafat Islam dapat dibagi menjadi beberapa cabang utama: (1) Metafisika Islam (Ontologi Islam), (2) Epistemologi Islam (Teori Pengetahuan), (3) Etika dan Filsafat Moral Islam, serta (4) Filsafat Politik Islam. Setiap cabang ini memiliki signifikansi tersendiri dalam menjelaskan hakikat Tuhan, alam semesta, manusia, serta hubungan sosial dan politik dalam Islam.²

3.1.       Metafisika Islam (Ontologi Islam)

3.1.1.    Konsep Wujud dan Ma‘qul

Metafisika (mā ba‘da al-thabī‘ah) dalam Islam dikenal dengan istilah "ilmu al-wujud" atau ilmu tentang keberadaan. Ibnu Sina mendefinisikan metafisika sebagai ilmu yang membahas eksistensi dan hakikat realitas.³ Dalam filsafat Islam, terdapat perbedaan fundamental antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi), yang merupakan konsep sentral dalam metafisika Islam.

Salah satu teori utama dalam metafisika Islam adalah konsep wajib al-wujud (keberadaan yang niscaya) dan mumkin al-wujud (keberadaan yang mungkin).⁴ Konsep ini dikembangkan oleh Ibnu Sina untuk menjelaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya entitas yang keberadaannya niscaya (necessary being), sementara makhluk lain adalah mungkin (contingent beings), yang keberadaannya bergantung pada Tuhan.

3.1.2.    Teori Emanasi dalam Islam

Teori emanasi (al-fayḍ) adalah teori metafisika yang banyak dianut oleh para filsuf Muslim, terutama Al-Farabi dan Ibnu Sina.⁵ Teori ini menjelaskan bagaimana alam semesta tercipta dari Tuhan dalam suatu proses yang bersifat bertahap. Pemikiran ini terpengaruh oleh filsafat Neoplatonisme, yang menyatakan bahwa dari Tuhan yang Esa, muncullah tingkatan keberadaan yang lebih rendah secara bertahap.

Meskipun teori ini mendapat kritik dari kalangan teolog, terutama oleh Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah, konsep ini tetap menjadi bagian integral dari metafisika Islam.⁶

3.2.       Epistemologi Islam (Teori Pengetahuan dalam Islam)

Epistemologi (naẓariyyat al-ma‘rifah) dalam filsafat Islam membahas sumber, metode, dan validitas pengetahuan. Para filsuf Muslim mengklasifikasikan pengetahuan menjadi beberapa tingkatan, berdasarkan sumber dan cara perolehannya.

3.2.1.    Sumber-Sumber Pengetahuan dalam Islam

Dalam filsafat Islam, sumber pengetahuan dapat dikategorikan menjadi tiga:

1)                  Akal (‘aql) – Akal digunakan sebagai instrumen utama dalam memperoleh ilmu. Menurut Al-Farabi, akal memiliki beberapa tingkatan, dari akal potensial hingga akal aktual.⁷

2)                  Wahyu (wahy) – Pengetahuan tertinggi dalam Islam diperoleh melalui wahyu yang diberikan kepada para nabi.⁸

3)                  Intuisi (dhawq) – Dalam pemikiran Sufi dan filsafat Isyraqiyyah (iluminasi), intuisi dan pengalaman mistik dianggap sebagai sumber pengetahuan tertinggi.⁹

3.2.2.    Teori Iluminasi (Isyraq)

Salah satu pendekatan epistemologi yang unik dalam filsafat Islam adalah teori iluminasi (al-isyraq), yang dikembangkan oleh Suhrawardi (1154–1191 M).¹⁰ Dalam teori ini, Suhrawardi berpendapat bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui pencerahan langsung dari cahaya ilahi, bukan semata-mata melalui akal.

3.3.       Etika dan Filsafat Moral Islam

3.3.1.    Konsep Akhlak dalam Filsafat Islam

Etika dalam Islam dikenal sebagai "‘ilm al-akhlaq", yang membahas konsep baik dan buruk serta cara mencapai kebahagiaan (sa‘adah). Ibnu Miskawayh dalam Tahdzib al-Akhlaq mengembangkan teori etika yang dipengaruhi oleh Aristoteles tetapi diselaraskan dengan nilai-nilai Islam.¹¹

3.3.2.    Etika Aristotelian vs. Etika Islam

Meskipun filsafat etika Islam banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, terdapat perbedaan signifikan antara keduanya. Dalam Islam, etika tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan duniawi, tetapi juga berhubungan dengan kehidupan akhirat.¹² Oleh karena itu, kebajikan dalam Islam bukan hanya tentang keseimbangan moral, tetapi juga tentang kepatuhan kepada Tuhan.

3.4.       Filsafat Politik Islam

Filsafat politik dalam Islam berkaitan dengan konsep negara dan kepemimpinan. Salah satu tokoh utama dalam filsafat politik Islam adalah Al-Farabi, yang mengembangkan konsep "Negara Utama" (al-Madinah al-Fadhilah).¹³

3.4.1.    Negara Ideal dalam Islam

Al-Farabi berpendapat bahwa negara yang ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang filsuf-raja, yang memiliki pengetahuan tentang hakikat kebenaran.¹⁴ Konsep ini memiliki kesamaan dengan teori "The Philosopher King" dalam Republic karya Plato.

3.4.2.    Relasi antara Agama dan Negara

Dalam pemikiran Ibnu Khaldun, negara harus didasarkan pada asas keadilan dan hukum syariah, karena tanpa itu, peradaban akan mengalami kemunduran.¹⁵ Pemikiran ini menunjukkan bahwa dalam Islam, politik tidak bisa dipisahkan dari agama.


Kesimpulan

Filsafat Islam memiliki cakupan yang luas, mencakup metafisika, epistemologi, etika, dan filsafat politik. Pemikiran para filsuf Muslim tidak hanya berkontribusi dalam pengembangan filsafat Islam, tetapi juga dalam membentuk berbagai disiplin ilmu yang masih relevan hingga saat ini. Kajian tentang cabang-cabang filsafat Islam memungkinkan kita untuk memahami bagaimana Islam memberikan pandangan yang holistik terhadap realitas kehidupan.


Catatan Kaki

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 22.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 35.

[3]                Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New York: Brill, 2001), 45.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 57.

[5]                Al-Farabi, The Perfect State, terj. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 29.

[6]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 18.

[7]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness (Beirut: Dar al-Mashriq, 1971), 41.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 92.

[9]                Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, terj. John Walbridge (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 76.

[10]             Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, terj. John Walbridge dan Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1999), 112.

[11]             Ibnu Miskawayh, Tahdzib al-Akhlaq, terj. Constantine K. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1968), 78.

[12]             Lenn E. Goodman, Islamic Humanism (Oxford: Oxford University Press, 2003), 93.

[13]             Al-Farabi, The Virtuous City, terj. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 53.

[14]             Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 132.

[15]             Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1958), 265.


4.           KONTROVERSI DAN KRITIK TERHADAP FILSAFAT ISLAM

Filsafat Islam, sejak awal perkembangannya, telah menjadi subjek perdebatan yang sengit di antara para ulama, teolog, dan filsuf Muslim. Sementara sebagian intelektual Muslim melihat filsafat sebagai sarana untuk memahami agama secara lebih mendalam, sebagian lainnya menganggapnya sebagai disiplin yang berbahaya dan bertentangan dengan akidah Islam.¹

Dalam sejarah Islam, kritik terhadap filsafat Islam berasal dari dua kelompok utama: (1) para teolog (mutakallimun), terutama dari kalangan Asy’ariyah dan Hanabilah, yang melihat filsafat sebagai ancaman bagi ajaran Islam, dan (2) para ulama fiqh yang menganggap filsafat sebagai ilmu yang berpotensi menyesatkan umat.² Puncak kritik terhadap filsafat Islam terjadi pada masa Al-Ghazali (1058–1111 M), yang dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), menolak banyak konsep filsafat yang dianggap bertentangan dengan Islam.³

Di sisi lain, kritik terhadap filsafat Islam juga datang dari filsuf Muslim sendiri, seperti Ibnu Rusyd (1126–1198 M), yang membela filsafat dalam Tahafut al-Tahafut dan menegaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan Islam, tetapi justru sejalan dengan ajaran wahyu.⁴

Bab ini akan membahas berbagai kritik terhadap filsafat Islam, bagaimana para filsuf meresponsnya, dan bagaimana perdebatan ini membentuk dinamika pemikiran dalam tradisi Islam.

4.1.       Kritik Ulama terhadap Filsafat Islam

4.1.1.    Al-Ghazali dan Kritiknya terhadap Filsafat

Salah satu tokoh yang paling vokal dalam menentang filsafat adalah Al-Ghazali, seorang teolog, sufi, dan ulama besar dari mazhab Asy’ariyah. Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf Muslim, terutama Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena tiga pandangan utama mereka yang dianggap bertentangan dengan Islam:

1)                  Kekekalan alam (Qidam al-‘Alam)

Para filsuf berpendapat bahwa alam bersifat kekal dan tidak diciptakan dari ketiadaan (ex nihilo), yang bertentangan dengan ajaran Islam tentang penciptaan.⁵

2)                  Ilmu Tuhan hanya mencakup hal-hal universal

Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal secara universal, bukan secara partikular, yang menurut Al-Ghazali melemahkan konsep ketuhanan dalam Islam.⁶

3)                  Penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akhirat

Para filsuf mengajarkan bahwa kebangkitan manusia setelah kematian bersifat spiritual, bukan fisik, yang bertentangan dengan ajaran Islam mengenai surga dan neraka.⁷

Menurut Al-Ghazali, pandangan-pandangan ini menyesatkan dan dapat menyebabkan kekafiran. Ia menegaskan bahwa filsafat hanya bisa diterima jika terbatas pada ilmu logika dan matematika, tetapi harus ditolak jika menyangkut teologi dan metafisika.⁸

4.1.2.    Ibnu Taimiyyah dan Kritik terhadap Rasionalisme Filsafat

Selain Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah (1263–1328 M) juga mengkritik filsafat Islam, terutama terhadap penggunaan akal dalam memahami ajaran Islam. Dalam karyanya Dar’ Ta‘arud al-‘Aql wa al-Naql (Penolakan Kontradiksi antara Akal dan Wahyu), Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dan tidak boleh digunakan untuk menafsirkan agama secara bebas.⁹

Menurut Ibnu Taimiyyah, banyak konsep filsafat Yunani, seperti teori emanasi dan konsep wujud, bertentangan dengan tauhid Islam. Oleh karena itu, ia menolak filsafat rasionalis dan lebih menekankan pendekatan literal dalam memahami wahyu.¹⁰

4.2.       Respon terhadap Kritik: Ibnu Rusyd dan Pembelaan terhadap Filsafat

4.2.1.    Ibnu Rusyd dan Tahafut al-Tahafut

Salah satu filsuf yang paling gigih membela filsafat adalah Ibnu Rusyd (Averroes). Dalam Tahafut al-Tahafut (Kekacauan atas Kekacauan), Ibnu Rusyd memberikan bantahan terhadap kritik Al-Ghazali dan menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara filsafat dan agama.¹¹

Menurut Ibnu Rusyd, akal dan wahyu adalah dua sumber kebenaran yang tidak bertentangan. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an sendiri menganjurkan manusia untuk berpikir secara rasional.¹² Oleh karena itu, filsafat harus digunakan untuk memahami wahyu dengan lebih mendalam.

4.2.2.    Hubungan antara Filsafat dan Syariah

Ibnu Rusyd juga berpendapat bahwa hukum Islam (syariah) sejalan dengan filsafat. Ia menegaskan bahwa syariat Islam tidak hanya bertumpu pada teks suci, tetapi juga harus ditafsirkan dengan pendekatan rasional.¹³ Pemikiran ini kemudian mempengaruhi filsafat Barat, terutama melalui Thomas Aquinas, yang mengadopsi banyak ide dari Ibnu Rusyd.¹⁴

4.3.       Relevansi Perdebatan Filsafat Islam dalam Konteks Modern

Meskipun perdebatan mengenai filsafat Islam telah berlangsung sejak abad pertengahan, relevansinya masih terasa hingga saat ini. Banyak pemikir Muslim modern, seperti Muhammad Iqbal dan Seyyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa filsafat Islam harus tetap dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman, seperti sekularisme dan sains modern.¹⁵

Di era globalisasi, filsafat Islam dapat berperan dalam membangun dialog antara Islam dan peradaban lain, serta dalam merumuskan konsep etika dan sains yang berbasis nilai-nilai Islam.


Kesimpulan

Kontroversi dan kritik terhadap filsafat Islam telah menjadi bagian dari sejarah intelektual Islam. Perdebatan antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd menunjukkan bagaimana filsafat Islam berkembang dalam dinamika antara akal dan wahyu.

Meskipun kritik terhadap filsafat Islam masih ada hingga saat ini, perannya dalam membentuk pemikiran Islam tetap signifikan. Dengan memahami perdebatan ini, kita dapat melihat bagaimana filsafat Islam tetap relevan dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 67.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 102.

[3]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 24.

[4]                Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 45.

[5]                Al-Farabi, The Perfect State, terj. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 33.

[6]                Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New York: Brill, 2001), 57.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 89.

[8]                Ibnu Taimiyyah, Dar’ Ta‘arud al-‘Aql wa al-Naql (Cairo: Maktabah Salafiyyah, 1997), 142.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 129.

[10]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 84.

[11]             Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 132.

[12]             Charles E. Butterworth, The Philosophy of Averroes (Ibn Rushd) (Princeton: Princeton University Press, 2005), 98.

[13]             Majid Fakhry, Averroes: His Life, Works and Influence (Oxford: Oneworld, 2001), 74.

[14]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), 125.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 167.


5.           RELEVANSI FILSAFAT ISLAM DALAM KONTEKS MODERN

Filsafat Islam, yang telah berkembang sejak masa klasik, tidak hanya memiliki nilai historis tetapi juga menawarkan wawasan yang tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman modern. Dunia kontemporer ditandai oleh kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan sosial-politik, serta krisis spiritualitas yang dihadapi oleh masyarakat global.¹

Dalam konteks ini, pemikiran filsafat Islam dapat memberikan kontribusi penting dalam (1) membangun integrasi antara ilmu dan agama, (2) menawarkan solusi etis dan spiritual bagi dunia modern, serta (3) menjawab tantangan filsafat Barat dan sekularisme. Oleh karena itu, memahami bagaimana filsafat Islam berinteraksi dengan dunia modern adalah sebuah kebutuhan akademik dan praktis bagi umat Islam saat ini.²

5.1.       Filsafat Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern

5.1.1.    Hubungan Filsafat Islam dengan Sains

Filsafat Islam selalu menekankan pentingnya pencarian ilmu sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab manusia. Ibnu Sina dan Al-Farabi, misalnya, telah mengembangkan metode ilmiah yang menjadi dasar bagi banyak disiplin ilmu modern, seperti kedokteran, fisika, dan astronomi.³

Menurut Seyyed Hossein Nasr, salah satu tantangan utama yang dihadapi dunia Islam saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai Islam. Ia mengkritik pendekatan sekularisasi ilmu yang mengabaikan dimensi spiritual dan menekankan bahwa ilmu harus dikembangkan dalam kerangka pandangan dunia tauhid.⁴

Salah satu contoh konkret dari integrasi filsafat Islam dengan ilmu modern adalah Islamic Science Movement, yang berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.⁵

5.1.2.    Kritik terhadap Materialisme dan Sekularisme

Filsafat Islam juga menawarkan kritik mendalam terhadap materialisme dan sekularisme, dua aspek dominan dalam filsafat modern Barat. Menurut Muhammad Iqbal, sekularisme telah menghilangkan dimensi spiritual dalam kehidupan manusia, sehingga melahirkan krisis makna dan nilai.⁶

Para pemikir Muslim modern menekankan bahwa keharmonisan antara wahyu dan akal harus menjadi dasar dalam membangun sistem ilmu yang holistik. Mereka menolak reduksi realitas menjadi sekadar fenomena material, sebagaimana yang terjadi dalam positivisme dan ateisme ilmiah.⁷

5.2.       Filsafat Islam dan Tantangan Globalisasi

5.2.1.    Etika dan Moralitas dalam Dunia Modern

Salah satu dampak dari globalisasi adalah krisis moralitas, yang ditandai dengan relativisme etika dan individualisme ekstrem. Filsafat Islam menawarkan konsep etika yang berbasis wahyu dan akal, sebagaimana dikembangkan oleh Ibnu Miskawayh dalam Tahdzib al-Akhlaq.⁸

Etika Islam menekankan bahwa kebajikan (fadhilah) bukan hanya ditentukan oleh rasionalitas manusia semata, tetapi juga harus berlandaskan wahyu. Dalam konteks modern, prinsip-prinsip etika Islam dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, politik, dan sains.

5.2.2.    Konsep Keadilan dan Demokrasi dalam Islam

Dalam dunia yang semakin plural dan demokratis, filsafat politik Islam tetap relevan dalam memberikan pandangan tentang keadilan, pemerintahan, dan hak asasi manusia. Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah, menekankan bahwa stabilitas sosial dan politik hanya dapat dicapai jika keadilan dijadikan sebagai prinsip utama dalam kepemimpinan.⁹

Di era modern, pemikiran filsafat politik Islam telah menjadi bahan kajian penting dalam diskusi tentang demokrasi dan hak asasi manusia dalam Islam. Para pemikir Muslim kontemporer berupaya merumuskan model demokrasi yang berbasis pada prinsip-prinsip Islam, yang berbeda dari model liberal Barat.¹⁰

5.3.       Filsafat Islam dalam Era Teknologi dan Digitalisasi

5.3.1.    Implikasi Etis dari Kecerdasan Buatan (AI) dan Revolusi Digital

Salah satu tantangan besar di abad ke-21 adalah perkembangan teknologi, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI) dan digitalisasi. Bagaimana filsafat Islam merespons perkembangan ini?

Dalam Islam, teknologi tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan etis dan moral. Filsafat Islam menawarkan kerangka etika teknologi yang berbasis pada maqashid syariah (tujuan syariah), di mana setiap inovasi harus mempertimbangkan manfaat dan dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungan.¹¹

Menurut Ziauddin Sardar, perkembangan teknologi harus dikaji dalam perspektif Islam agar tidak menjadi alat yang merusak nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.¹² Oleh karena itu, filsafat Islam dapat berperan dalam merumuskan pendekatan etis terhadap teknologi, termasuk dalam bidang bioetika, kecerdasan buatan, dan media digital.

5.3.2.    Pendidikan Filsafat Islam di Era Digital

Di era digital, pendidikan filsafat Islam menghadapi tantangan sekaligus peluang. Teknologi memungkinkan penyebaran pemikiran filsafat Islam ke seluruh dunia melalui platform daring. Namun, di sisi lain, muncul tantangan berupa distorsi pemikiran Islam dalam dunia maya, yang sering kali menyederhanakan ajaran Islam menjadi sekadar slogan ideologis tanpa pemahaman mendalam.¹³

Oleh karena itu, perlu ada penguatan kurikulum filsafat Islam dalam sistem pendidikan Islam, agar generasi muda memiliki pemahaman yang lebih luas dan kritis terhadap pemikiran Islam dalam berbagai konteks.


Kesimpulan

Filsafat Islam tetap memiliki relevansi yang kuat dalam menjawab tantangan dunia modern. Dari sains hingga etika, dari politik hingga teknologi, filsafat Islam menawarkan wawasan yang dapat memperkaya diskusi intelektual dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kontemporer.

Diperlukan usaha lebih lanjut untuk mengembangkan filsafat Islam dalam dialog dengan pemikiran modern, tanpa harus kehilangan esensinya sebagai bagian dari tradisi intelektual Islam yang berakar pada tauhid dan wahyu. Dengan pendekatan yang komprehensif, filsafat Islam dapat menjadi pilar bagi pembangunan peradaban Islam yang berlandaskan ilmu, keadilan, dan nilai-nilai spiritual.


Catatan Kaki

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 41.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 112.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 78.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2007), 52.

[5]                Ziauddin Sardar, Islam, Science and the Challenge of History (New York: Oxford University Press, 1999), 93.

[6]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 65.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 109.

[8]                Ibnu Miskawayh, Tahdzib al-Akhlaq, terj. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1968), 47.

[9]                Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1958), 212.

[10]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperOne, 2005), 154.

[11]             Ziauddin Sardar, Future: All That Matters (London: Hodder & Stoughton, 2013), 81.

[12]             Ibid., 87.

[13]             Nasr, Islamic Science, 119.


6.           PENUTUP

6.1.       Kesimpulan dan Refleksi

Filsafat Islam merupakan bagian integral dari tradisi intelektual Islam yang berkembang sejak abad ke-8 hingga era modern. Melalui pembahasan dalam artikel ini, telah diuraikan bagaimana filsafat Islam tidak hanya membahas masalah metafisika, epistemologi, dan etika, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam ilmu pengetahuan, politik, dan perkembangan sosial.¹

Filsafat Islam telah mengalami berbagai fase, mulai dari masa kejayaan dengan gerakan penerjemahan di era Abbasiyah, perkembangan pemikiran para filsuf besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra, hingga masa kritik yang dipelopori oleh Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah.² Meskipun mengalami pasang surut, filsafat Islam tetap bertahan dan terus berkembang hingga saat ini, beradaptasi dengan tantangan zaman modern, termasuk dalam menghadapi sekularisme, globalisasi, dan kemajuan teknologi.³

Salah satu kontribusi terbesar filsafat Islam adalah upayanya dalam menyelaraskan antara akal dan wahyu, yang menjadi dasar bagi pemikiran Islam yang rasional dan sistematis. Ibnu Rusyd, misalnya, menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan filsafat, karena keduanya berasal dari sumber kebenaran yang sama.⁴ Namun, kritik terhadap filsafat juga tidak dapat diabaikan, terutama dalam konteks perdebatan antara filsafat dan ilmu kalam, serta dalam kritik terhadap pengaruh filsafat Yunani dalam Islam.⁵

Dalam era modern, filsafat Islam semakin relevan dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer, mulai dari krisis spiritualitas akibat sekularisme, tantangan dalam etika sains dan teknologi, hingga perdebatan mengenai konsep keadilan dan demokrasi dalam Islam.⁶ Oleh karena itu, kajian terhadap filsafat Islam tidak boleh berhenti pada aspek historis semata, tetapi harus terus dikembangkan agar tetap relevan dengan realitas zaman.

6.2.       Urgensi Kajian Filsafat Islam di Era Kontemporer

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan filsafat Islam dengan pemikiran modern tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Muhammad Iqbal menekankan bahwa filsafat Islam harus tetap berakar pada wahyu, tetapi juga terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat modern.⁷

Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan filsafat Islam di era kontemporer adalah:

1)                  Pendidikan Filsafat Islam

Pendidikan filsafat Islam perlu diperkuat dalam kurikulum pendidikan Islam, agar generasi muda tidak hanya memahami aspek teologis agama, tetapi juga mampu berpikir secara kritis dan rasional. Dalam banyak universitas di dunia Muslim, kajian filsafat masih dianggap sebagai bidang yang kontroversial, padahal pemahaman filsafat yang baik dapat membantu dalam membangun tradisi intelektual yang kuat.⁸

2)                  Dialog antara Filsafat Islam dan Pemikiran Global

Filsafat Islam harus mampu berdialog dengan filsafat Barat dan pemikiran global, tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai filsafat yang berbasis pada tauhid. Banyak pemikir Muslim modern berupaya menjembatani antara filsafat Islam dan filsafat modern, seperti dalam kajian etika sains, bioetika, dan filsafat politik Islam.⁹

3)                  Filsafat Islam dan Tantangan Teknologi

Dunia saat ini mengalami revolusi teknologi yang cepat, termasuk dalam bidang kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan digitalisasi. Bagaimana filsafat Islam merespons perkembangan ini? Dalam Islam, teknologi harus dikembangkan dengan prinsip maslahat dan etika, sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.¹⁰ Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai bagaimana filsafat Islam dapat memberikan panduan etis dalam penggunaan teknologi modern.

6.3.       Penutup dan Harapan untuk Masa Depan

Artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang filsafat Islam, baik dari aspek sejarah, pemikiran tokoh-tokohnya, hingga relevansinya dalam kehidupan modern. Kajian terhadap filsafat Islam harus terus dikembangkan agar umat Islam memiliki wawasan yang luas dalam menghadapi tantangan zaman.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina, “Ilmu adalah cahaya yang akan membimbing manusia menuju kebenaran.”¹¹ Oleh karena itu, filsafat Islam harus tetap menjadi bagian dari tradisi intelektual Islam yang berkembang secara dinamis dan kontekstual.

Kami mengundang para pembaca untuk terus menggali, mengkritisi, dan mengembangkan filsafat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat bagi para akademisi, mahasiswa, dan siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang pemikiran Islam dalam perspektif filsafat.


Catatan Kaki

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 215.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 142.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2007), 74.

[4]                Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj. Simon Van den Bergh (London: E.J. Brill, 1954), 98.

[5]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 64.

[6]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1989), 112.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1981), 91.

[8]                Ziauddin Sardar, Islam, Science and the Challenge of History (New York: Oxford University Press, 1999), 157.

[9]                Khaled Abou El Fadl, Reasoning with God: Reclaiming Shari‘ah in the Modern Age (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2014), 187.

[10]             Ziauddin Sardar, Future: All That Matters (London: Hodder & Stoughton, 2013), 98.

[11]             Ibnu Sina, Kitab al-Syifa', terj. Gutas (New York: Brill, 2001), 231.


DAFTAR PUSTAKA

Abou El Fadl, K. (2014). Reasoning with God: Reclaiming Shari‘ah in the Modern Age. Rowman & Littlefield.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Brothers.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Ghazali, A. (2000). The incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Gutas, D. (2001). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbāsid society. Routledge.

Ibnu Khaldun. (1958). The Muqaddimah (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.

Ibnu Miskawayh. (1968). Tahdzib al-Akhlaq (C. K. Zurayk, Trans.). American University of Beirut.

Ibnu Rusyd. (1954). The incoherence of the incoherence (Tahafut al-Tahafut) (S. Van den Bergh, Trans.). E.J. Brill.

Ibnu Sina. (2001). Kitab al-Syifa’ (D. Gutas, Trans.). Brill.

Iqbal, M. (1989). The reconstruction of religious thought in Islam. Sh. Muhammad Ashraf.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy. Cambridge University Press.

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the foundation of Islamic political philosophy. University of Chicago Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the sacred. SUNY Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. SUNY Press.

Nasr, S. H. (2007). Islamic science: An illustrated study. World Wisdom.

Sardar, Z. (1999). Islam, science and the challenge of history. Oxford University Press.

Sardar, Z. (2013). Future: All that matters. Hodder & Stoughton.

Suhrawardi. (1999). The philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University Press.

Taimiyyah, I. (1997). Dar’ Ta‘arud al-‘Aql wa al-Naql. Maktabah Salafiyyah.

Walzer, R. (1985). Al-Farabi: The perfect state. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar