Kamis, 28 November 2024

Filsafat Feminisme: Sejarah, Pemikiran, dan Implikasinya di Era Kontemporer

Filsafat Feminisme

Sejarah, Pemikiran, dan Implikasinya di Era Kontemporer


Abstrak

Artikel ini mengkaji feminisme sebagai salah satu cabang filsafat yang berperan penting dalam menganalisis dan memperjuangkan kesetaraan gender, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Dengan pendekatan historis, artikel ini membahas evolusi feminisme dari gelombang pertama hingga era kontemporer, menyoroti perubahan fokus dan strategi perjuangan dalam merespons tantangan zaman. Pemikiran dan cabang-cabang feminisme, seperti feminisme liberal, radikal, Marxis, postmodern, dan interseksional, dianalisis secara kritis untuk memahami kontribusi dan kompleksitasnya.

Selain itu, artikel ini mengeksplorasi kritik internal dan eksternal terhadap feminisme, baik dari perspektif ideologis maupun budaya, serta tantangan yang dihadapi feminisme dalam era globalisasi, teknologi digital, dan perubahan iklim. Kontribusi feminisme terhadap kajian filsafat meliputi epistemologi, etika, dan filsafat politik, memberikan perspektif baru yang kritis terhadap asumsi tradisional. Di era kontemporer, feminisme tetap relevan dengan memperjuangkan keadilan gender melalui advokasi digital, reformasi hukum, dan pendekatan lintas budaya. Artikel ini menyimpulkan bahwa feminisme memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Feminisme, filsafat, kesetaraan gender, interseksionalitas, kritik patriarki, feminisme global, ecofeminisme, feminisme digital.


1.           Pendahuluan

Filsafat adalah disiplin ilmu yang mengkaji pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi, pengetahuan, moralitas, dan masyarakat. Sebagai cabang ilmu, filsafat berperan dalam menganalisis dan memberikan dasar rasional terhadap berbagai konsep yang memengaruhi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, feminisme muncul sebagai salah satu cabang filsafat sosial yang berfokus pada analisis kesetaraan gender, keadilan sosial, dan perjuangan melawan diskriminasi berbasis gender.¹

Feminisme, secara umum, didefinisikan sebagai gerakan sosial, politik, dan intelektual yang bertujuan untuk menghapuskan ketidakadilan gender dan menciptakan masyarakat yang setara.² Namun, dalam ranah filsafat, feminisme memiliki dimensi lebih mendalam, termasuk bagaimana ide-ide gender memengaruhi struktur sosial, epistemologi, dan etika.³ Feminisme tidak hanya membahas kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga menantang norma-norma sosial, budaya, dan politik yang telah mengakar dan sering kali memihak pada patriarki.⁴

Relevansi feminisme dalam filsafat dan masyarakat kontemporer tidak dapat diabaikan. Dengan tantangan global seperti kesenjangan gender dalam pendidikan, kekerasan berbasis gender, dan bias algoritma teknologi, feminisme memberikan kerangka analisis yang kuat untuk memahami dan mengatasi masalah ini.⁵ Feminisme juga melahirkan pendekatan-pendekatan baru dalam filsafat, seperti epistemologi feminis yang mengeksplorasi bias gender dalam produksi pengetahuan.⁶

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan komprehensif tentang feminisme dari perspektif filsafat, mencakup sejarah perkembangan, berbagai cabang pemikiran, hingga implikasinya dalam dunia modern. Dengan menggunakan referensi-referensi kredibel, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas tentang pentingnya feminisme sebagai cabang filsafat sosial.


Catatan Kaki

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome to the Renaissance (London: Continuum, 1999), 23.

[2]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center (Boston: South End Press, 1984), 1.

[3]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 6–7.

[4]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 2.

[5]                UN Women, “Gender Equality and Women’s Empowerment,” United Nations, accessed January 20, 2025, https://www.unwomen.org/en.

[6]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 12.


2.           Pengertian dan Esensi Feminisme

Feminisme secara umum didefinisikan sebagai gerakan sosial, politik, dan intelektual yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi berbasis gender.¹ Dalam filsafat, feminisme tidak hanya dipandang sebagai gerakan politik, tetapi juga sebagai kerangka teoritis yang menganalisis struktur kekuasaan patriarki serta memeriksa bagaimana norma-norma gender memengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan politik.²

Simone de Beauvoir, salah satu tokoh utama feminisme filosofis, mendefinisikan feminisme sebagai upaya mendekonstruksi pandangan tradisional tentang perempuan yang selama ini dianggap sebagai "yang lain" (the Other) dalam masyarakat patriarkal.³ Dalam karyanya The Second Sex, de Beauvoir menekankan bahwa perempuan sering kali didefinisikan dalam oposisi terhadap laki-laki, sehingga menjadi objek, bukan subjek. Ia menegaskan bahwa "Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan," yang mengacu pada konstruksi sosial atas peran dan identitas gender.⁴

Feminisme juga berfungsi sebagai kritik terhadap sistem pengetahuan yang dianggap bias gender. Sandra Harding, seorang tokoh epistemologi feminis, mengemukakan bahwa sebagian besar pengetahuan dalam sejarah peradaban manusia dikembangkan dalam kerangka patriarki yang mengeksklusi pengalaman perempuan.⁵ Oleh karena itu, feminisme tidak hanya berupaya menciptakan kesetaraan gender, tetapi juga menantang asumsi-asumsi epistemologis yang membentuk dunia ilmu pengetahuan.⁶

Prinsip dasar feminisme meliputi kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Feminisme juga menekankan pentingnya pengakuan terhadap keberagaman pengalaman perempuan, termasuk berdasarkan ras, kelas sosial, orientasi seksual, dan latar belakang budaya.⁷ Hal ini terlihat jelas dalam cabang feminisme interseksional, yang menyoroti bagaimana identitas-identitas ini saling berpotongan untuk menciptakan bentuk-bentuk penindasan yang unik.⁸

Esensi feminisme adalah menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil, di mana semua individu memiliki peluang yang sama tanpa hambatan struktural berdasarkan gender. Dalam filsafat, feminisme telah menjadi alat penting untuk mengkaji ulang norma-norma sosial dan membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap keberagaman.


Catatan Kaki

[1]                bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics (London: Pluto Press, 2000), 1.

[2]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 3.

[3]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 5.

[4]                Ibid., 283.

[5]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 6.

[6]                Elizabeth Anderson, “Feminist Epistemology and Philosophy of Science,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, last modified October 1, 2022, https://plato.stanford.edu/entries/feminism-epistemology/.

[7]                Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241.

[8]                Ibid., 1245.


3.           Sejarah dan Perkembangan Feminisme

Sejarah feminisme mencerminkan perjuangan panjang perempuan untuk memperoleh kesetaraan, keadilan, dan pengakuan hak asasi manusia. Perkembangannya sering dibagi ke dalam empat gelombang, masing-masing memiliki fokus dan karakteristik yang berbeda.

3.1.       Gelombang Pertama: Perjuangan Hak-Hak Dasar (Abad ke-19 – Awal Abad ke-20)

Gelombang pertama feminisme muncul pada abad ke-19, dipicu oleh Revolusi Prancis dan gerakan abolisionis. Fokus utama feminisme pada periode ini adalah memperjuangkan hak-hak sipil dan politik perempuan, termasuk hak untuk memilih (suffrage).¹ Tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft melalui karyanya A Vindication of the Rights of Woman (1792) menyerukan pentingnya pendidikan bagi perempuan agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat.²

Perjuangan ini mencapai puncaknya dengan keberhasilan pengesahan Nineteenth Amendment di Amerika Serikat pada tahun 1920, yang memberikan perempuan hak untuk memilih.³ Meskipun gelombang pertama lebih banyak berpusat di Eropa dan Amerika Utara, perjuangan perempuan untuk hak-hak dasar ini juga mulai menyebar ke negara-negara lain, meskipun dengan tantangan yang berbeda-beda sesuai konteks budaya lokal.⁴

3.2.       Gelombang Kedua: Kritik terhadap Patriarki (1960-an – 1980-an)

Gelombang kedua feminisme berfokus pada persoalan yang melampaui hak-hak formal, seperti ketidaksetaraan dalam dunia kerja, hak atas tubuh, dan kritik terhadap struktur patriarki.⁵ Tokoh seperti Betty Friedan dalam The Feminine Mystique (1963) mengkritik peran tradisional perempuan sebagai ibu rumah tangga yang sering kali membatasi potensi mereka.⁶

Gerakan ini juga menyoroti pentingnya hak reproduksi, termasuk akses terhadap kontrasepsi dan aborsi, serta mengadvokasi perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender.⁷ Feminisme radikal pada periode ini menekankan perlunya perubahan mendalam dalam struktur sosial untuk menghapuskan dominasi laki-laki.⁸

3.3.       Gelombang Ketiga: Interseksionalitas dan Inklusivitas (1990-an)

Gelombang ketiga feminisme membawa pendekatan yang lebih inklusif, dengan memperhatikan pengalaman perempuan berdasarkan ras, kelas, orientasi seksual, dan identitas lainnya. Istilah interseksionalitas yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw menyoroti bagaimana identitas-identitas tersebut saling berpotongan untuk menciptakan bentuk penindasan yang kompleks.⁹

Feminisme pada periode ini menolak generalisasi pengalaman perempuan dan mengkritik kecenderungan feminisme gelombang sebelumnya yang dianggap terlalu berfokus pada perempuan kulit putih dari kelas menengah.¹⁰ Gerakan ini juga terlibat dalam kampanye melawan standar kecantikan yang menindas dan stereotip gender.

3.4.       Gelombang Keempat: Feminisme Digital dan Global (2010-an – Sekarang)

Gelombang keempat feminisme ditandai dengan penggunaan teknologi digital untuk menyebarkan kesadaran dan advokasi.¹¹ Gerakan seperti #MeToo menjadi simbol perjuangan melawan kekerasan seksual, yang tidak hanya berfokus pada individu tetapi juga pada reformasi institusional.¹²

Feminisme global juga semakin menonjol pada periode ini, dengan fokus pada isu-isu seperti perdagangan manusia, pendidikan untuk anak perempuan, dan akses ke layanan kesehatan di negara-negara berkembang.¹³ Feminisme kontemporer terus beradaptasi dengan tantangan zaman, termasuk persoalan kesenjangan gender dalam teknologi dan perubahan iklim.


Catatan Kaki

[1]                Karen Offen, “Defining Feminism: A Comparative Historical Approach,” Signs 14, no. 1 (1988): 120.

[2]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (New York: Penguin Classics, 2004), 20.

[3]                Elizabeth Cady Stanton et al., eds., History of Woman Suffrage, Vol. 6 (New York: Fowler & Wells, 1922), 8.

[4]                Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), 150.

[5]                Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W.W. Norton, 1963), 5.

[6]                Ibid., 22.

[7]                Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 65.

[8]                Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution (New York: Morrow, 1970), 12.

[9]                Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum 1989, no. 1: 140.

[10]             Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 44.

[11]             Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism (Oxford: Oxford University Press, 2018), 5.

[12]             Tarana Burke, “#MeToo: A Movement, Not a Moment,” TEDWomen, November 2018, https://www.ted.com.

[13]             Malala Yousafzai, I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban (New York: Little, Brown and Company, 2013), 50.


4.           Pemikiran dan Cabang-Cabang Feminisme

Feminisme sebagai sebuah gerakan dan kerangka pemikiran memiliki berbagai cabang yang berfokus pada aspek-aspek berbeda dari ketidakadilan gender. Setiap cabang feminisme lahir dari konteks sosial, politik, dan budaya tertentu, dengan pendekatan dan pemikiran yang saling melengkapi serta mengkritisi. Berikut adalah pemikiran utama dalam feminisme dan cabang-cabangnya.

4.1.       Feminisme Liberal

Feminisme liberal berakar pada prinsip-prinsip pencerahan dan individualisme, menekankan pentingnya kesetaraan hukum dan akses perempuan terhadap hak-hak sipil serta politik.¹ Tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill mendukung gagasan bahwa perempuan harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, dan peluang ekonomi.² Pendekatan ini percaya bahwa perubahan dapat dicapai melalui reformasi hukum dan kebijakan publik tanpa perlu merombak tatanan sosial secara radikal.³

4.2.       Feminisme Radikal

Berbeda dengan feminisme liberal, feminisme radikal mengidentifikasi patriarki sebagai akar dari semua bentuk penindasan.⁴ Feminisme radikal menyerukan perubahan mendasar dalam struktur sosial yang dianggap menopang ketidakadilan gender. Shulamith Firestone, dalam The Dialectic of Sex, menekankan bahwa pembebasan perempuan hanya dapat dicapai dengan menghapuskan hierarki gender dan reproduksi biologis sebagai dasar ketimpangan.⁵ Pendekatan ini sering memprioritaskan isu-isu seperti kekerasan seksual, pornografi, dan peran domestik perempuan.⁶

4.3.       Feminisme Marxis dan Sosialis

Feminisme Marxis dan Sosialis menghubungkan penindasan perempuan dengan struktur kapitalisme dan eksploitasi kelas.⁷ Menurut Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The Origin of the Family, Private Property, and the State, keluarga patriarkal berfungsi untuk melanggengkan kepemilikan pribadi dan melayani kebutuhan ekonomi kapitalisme.⁸ Feminisme ini menyerukan penghapusan kapitalisme sebagai langkah penting untuk mengakhiri penindasan gender, dengan fokus pada redistribusi kekayaan dan sumber daya.⁹

4.4.       Feminisme Postmodern dan Interseksional

Feminisme postmodern menolak pandangan universal tentang pengalaman perempuan, menekankan bahwa identitas gender adalah konstruksi sosial yang bervariasi di berbagai konteks budaya dan sejarah.¹⁰ Judith Butler, dalam Gender Trouble, mengkritik gagasan bahwa gender adalah sesuatu yang tetap, dengan berargumen bahwa gender adalah hasil dari performativitas sosial.¹¹

Feminisme interseksional, seperti yang dirumuskan oleh Kimberlé Crenshaw, menyoroti bagaimana identitas ras, kelas, orientasi seksual, dan faktor lain saling berpotongan untuk menciptakan pengalaman penindasan yang kompleks.¹² Cabang ini berusaha menciptakan pemahaman yang lebih inklusif terhadap perjuangan perempuan di seluruh dunia.

4.5.       Feminisme Ekologis (Ecofeminisme)

Ecofeminisme mengaitkan penindasan terhadap perempuan dengan eksploitasi terhadap alam.¹³ Tokoh-tokoh seperti Vandana Shiva menekankan pentingnya mengadopsi pendekatan yang berkelanjutan dan berbasis pada nilai-nilai tradisional perempuan, seperti merawat dan melindungi lingkungan.¹⁴ Cabang ini juga menentang praktik-praktik ekonomi global yang merusak lingkungan dan meminggirkan komunitas perempuan.

4.6.       Feminisme Global

Feminisme global menyoroti ketidakadilan yang dialami perempuan di negara-negara berkembang, seperti perdagangan manusia, kurangnya akses terhadap pendidikan, dan kesehatan reproduksi.¹⁵ Gerakan ini menekankan pentingnya solidaritas lintas budaya dan advokasi untuk keadilan gender yang bersifat global.¹⁶


Catatan Kaki

[1]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (New York: Penguin Classics, 2004), 26.

[2]                John Stuart Mill, The Subjection of Women (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1869), 13.

[3]                Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature (Totowa, NJ: Rowman & Littlefield, 1983), 45.

[4]                Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution (New York: Bantam Books, 1970), 8.

[5]                Ibid., 10.

[6]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 85.

[7]                Nancy Holmstrom, ed., The Socialist Feminist Project: A Contemporary Reader in Theory and Politics (New York: Monthly Review Press, 2002), 12.

[8]                Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property, and the State (New York: International Publishers, 1972), 42.

[9]                Sheila Rowbotham, Women, Resistance and Revolution (New York: Pantheon Books, 1974), 78.

[10]             Linda Nicholson, ed., The Second Wave: A Reader in Feminist Theory (New York: Routledge, 1997), 52.

[11]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24.

[12]             Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241.

[13]             Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (Halifax, NS: Fernwood Publications, 1993), 18.

[14]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development (London: Zed Books, 1988), 23.

[15]             Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 51.

[16]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 192.


5.           Kritik dan Tantangan terhadap Feminisme

Feminisme, sebagai gerakan dan kerangka pemikiran, telah mengalami berbagai kritik dan tantangan, baik dari pihak internal maupun eksternal. Kritik-kritik ini mencerminkan perdebatan konseptual dan ideologis yang sering kali memperkaya, tetapi juga menantang perkembangan feminisme sebagai sebuah disiplin.

5.1.       Kritik Internal dalam Feminisme

Perbedaan ideologi antara berbagai cabang feminisme sering kali menjadi sumber perdebatan. Feminisme liberal, misalnya, dikritik oleh feminisme radikal karena dianggap terlalu fokus pada reformasi institusional tanpa menyentuh akar patriarki yang lebih dalam.¹ Feminisme Marxis juga menuduh feminisme liberal mengabaikan hubungan antara kelas sosial dan penindasan gender.²

Sebaliknya, feminisme radikal kerap mendapat kritik karena dianggap terlalu esensialis, melihat perempuan sebagai kategori homogen dan mengabaikan keberagaman pengalaman perempuan berdasarkan ras, kelas, dan orientasi seksual.³ Feminisme interseksional lahir sebagai respons terhadap kritik ini, tetapi juga menghadapi tantangan untuk mengintegrasikan isu-isu kompleks dalam kerangka advokasi praktis.⁴

5.2.       Kritik dari Perspektif Agama dan Budaya

Feminisme sering kali dituduh bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dan agama. Beberapa kritik dari kalangan agama menolak gagasan feminis yang dianggap mengancam struktur keluarga tradisional dan peran perempuan sebagai ibu.⁵ Dalam konteks masyarakat Islam, feminisme diperdebatkan karena dianggap berasal dari Barat dan tidak selalu relevan dengan norma-norma syariah.⁶

Namun, feminis Muslim seperti Amina Wadud dan Fatima Mernissi berpendapat bahwa feminisme dapat diterapkan dalam konteks Islam untuk mendekonstruksi interpretasi patriarkal terhadap teks-teks suci.⁷ Perdebatan ini menunjukkan adanya ketegangan antara feminisme global dan lokal yang harus dikelola dengan hati-hati.

5.3.       Kritik dari Perspektif Konservatif

Dari perspektif konservatif, feminisme sering dianggap merusak tatanan sosial dan mengabaikan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.⁸ Penulis seperti Christina Hoff Sommers mengkritik feminisme kontemporer karena terlalu fokus pada masalah-masalah gender yang dianggap "dibesar-besarkan," seperti kesenjangan upah, sambil mengabaikan isu-isu yang lebih universal.⁹

Kritik ini menyoroti bagaimana beberapa kelompok konservatif melihat feminisme sebagai ideologi yang mendikte cara hidup, alih-alih menawarkan kebebasan pilihan bagi perempuan.¹⁰

5.4.       Tantangan dalam Menghadapi Isu Kontemporer

Feminisme juga menghadapi tantangan besar dalam merespons isu-isu kontemporer seperti globalisasi, teknologi digital, dan perubahan iklim.¹¹ Isu globalisasi sering kali menciptakan ketimpangan baru bagi perempuan di negara berkembang, yang harus menghadapi eksploitasi dalam industri global.¹² Feminisme digital, di sisi lain, harus bergulat dengan serangan daring dan pelecehan berbasis gender di media sosial.¹³

Dalam konteks perubahan iklim, ecofeminisme menyerukan perlunya pendekatan berbasis keadilan gender, tetapi tantangannya adalah bagaimana memastikan suara perempuan dari komunitas yang paling terdampak didengar di tingkat global.¹⁴

5.5.       Upaya Mengatasi Kritik dan Tantangan

Meskipun berbagai kritik dan tantangan ini signifikan, feminisme telah menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dan berkembang. Dialog antara berbagai cabang feminisme dan inklusivitas terhadap perspektif lokal menjadi kunci dalam menjawab kritik internal. Sementara itu, pendekatan lintas budaya dan advokasi berbasis hak asasi manusia menjadi langkah penting dalam menjawab kritik dari perspektif agama, budaya, dan konservatif.¹⁵


Catatan Kaki

[1]                Nancy Holmstrom, ed., The Socialist Feminist Project: A Contemporary Reader in Theory and Politics (New York: Monthly Review Press, 2002), 18.

[2]                Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union,” Capital & Class 3, no. 2 (1979): 3.

[3]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center (Boston: South End Press, 1984), 2.

[4]                Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum 1989, no. 1: 140.

[5]                Elizabeth Fox-Genovese, Feminism Is Not the Story of My Life: How Today's Feminist Elite Has Lost Touch with the Real Concerns of Women (New York: Doubleday, 1996), 12.

[6]                Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 22.

[7]                Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 15.

[8]                Christina Hoff Sommers, Who Stole Feminism?: How Women Have Betrayed Women (New York: Simon & Schuster, 1994), 23.

[9]                Ibid., 45.

[10]             Phyllis Schlafly, Feminist Fantasies (Dallas: Spence Publishing Company, 2003), 10.

[11]             Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 29.

[12]             Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 51.

[13]             Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism (Oxford: Oxford University Press, 2018), 6.

[14]             Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (Halifax, NS: Fernwood Publications, 1993), 18.

[15]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 220.


6.           Feminisme dalam Perspektif Global

Feminisme dalam perspektif global melampaui batas-batas geografis, sosial, dan budaya untuk menganalisis bagaimana dinamika gender dipengaruhi oleh konteks lokal dan global. Feminisme global menyoroti isu-isu yang tidak hanya dialami perempuan di negara maju tetapi juga menyentuh pengalaman perempuan di negara berkembang, termasuk ketimpangan ekonomi, eksploitasi tenaga kerja, kekerasan berbasis gender, dan hak asasi manusia.

6.1.       Feminisme di Dunia Barat

Feminisme di dunia Barat telah lama menjadi pusat dari gerakan dan teori feminis. Sejak gelombang pertama, feminisme Barat berfokus pada hak-hak politik dan hukum, termasuk hak suara dan hak atas pendidikan.¹ Namun, feminisme Barat telah menghadapi kritik karena kecenderungannya untuk mengabaikan pengalaman perempuan dari berbagai latar belakang ras dan kelas.² Tokoh-tokoh seperti bell hooks dan Audre Lorde mengkritik feminisme arus utama yang terlalu didominasi oleh perempuan kulit putih dari kelas menengah, menuntut pendekatan yang lebih inklusif.³

Saat ini, feminisme di Barat juga terlibat dalam perjuangan melawan ketimpangan di tempat kerja, hak-hak reproduksi, dan representasi perempuan dalam politik dan media. Kampanye digital seperti #MeToo mencerminkan bagaimana feminisme Barat telah beradaptasi dengan era teknologi untuk melawan kekerasan seksual secara global.⁴

6.2.       Feminisme di Asia

Di Asia, feminisme berkembang dengan menghadapi tantangan unik seperti patriarki yang dipengaruhi oleh tradisi budaya, agama, dan struktur sosial yang kompleks.⁵ Di India, feminisme telah berfokus pada isu-isu seperti perkawinan paksa, kekerasan berbasis gender, dan diskriminasi kasta.⁶ Aktivis seperti Vandana Shiva juga memimpin gerakan ecofeminisme, yang menghubungkan perjuangan perempuan dengan perlindungan lingkungan.⁷

Di negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang, feminisme modern berhadapan dengan tekanan sosial yang kuat untuk mempertahankan peran tradisional perempuan. Gerakan seperti "Escape the Corset" di Korea Selatan menjadi simbol perlawanan terhadap standar kecantikan yang menindas.⁸

6.3.       Feminisme di Afrika

Feminisme di Afrika menekankan pentingnya melibatkan konteks lokal, seperti pengaruh kolonialisme, tradisi adat, dan eksploitasi ekonomi.⁹ Feminisme Afrika sering kali mengkritik pendekatan feminisme Barat yang dianggap tidak relevan dengan pengalaman perempuan Afrika.¹⁰

Gerakan feminis seperti African Feminism dan Womanism berfokus pada isu-isu seperti mutilasi genital perempuan (FGM), pernikahan anak, dan hak atas pendidikan.¹¹ Tokoh seperti Chimamanda Ngozi Adichie, melalui karya seperti We Should All Be Feminists, telah membantu memperkenalkan perspektif feminisme Afrika ke panggung global.¹²

6.4.       Feminisme di Dunia Islam

Feminisme di dunia Islam berada pada persimpangan antara ajaran agama dan kebutuhan akan keadilan gender. Feminis Muslim seperti Amina Wadud dan Leila Ahmed berpendapat bahwa feminisme dapat ditemukan dalam ajaran Islam melalui reinterpretasi teks-teks suci.¹³ Gerakan ini sering disebut Islamic Feminism dan berupaya mendobrak dominasi interpretasi patriarkal terhadap Al-Qur'an dan Hadis.¹⁴

Namun, feminisme di dunia Islam juga menghadapi kritik internal, baik dari kaum tradisionalis yang melihat feminisme sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama, maupun dari feminis sekuler yang menganggap gerakan ini terlalu terikat pada tradisi agama.¹⁵

6.5.       Feminisme dan Globalisasi

Globalisasi telah menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi feminisme. Di satu sisi, globalisasi memungkinkan penyebaran ide-ide feminisme melalui media sosial, organisasi internasional, dan kerja sama lintas budaya.¹⁶ Di sisi lain, globalisasi juga memperburuk ketimpangan ekonomi yang sering kali memengaruhi perempuan di negara berkembang, terutama dalam sektor tenaga kerja murah dan perdagangan manusia.¹⁷

Organisasi seperti UN Women memainkan peran penting dalam mempromosikan kesetaraan gender di tingkat global, tetapi tantangan tetap ada, terutama dalam menghadapi resistensi budaya dan politik lokal.¹⁸

6.6.       Keberlanjutan Feminisme Global

Feminisme global menekankan pentingnya solidaritas lintas budaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan tanpa mengabaikan perbedaan konteks lokal.¹⁹ Pendekatan ini membutuhkan sensitivitas budaya dan kolaborasi antara gerakan feminis di seluruh dunia untuk memastikan perjuangan yang inklusif dan berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                Karen Offen, “Defining Feminism: A Comparative Historical Approach,” Signs 14, no. 1 (1988): 124.

[2]                Chandra Talpade Mohanty, Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 52.

[3]                bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center (Boston: South End Press, 1984), 3.

[4]                Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism (Oxford: Oxford University Press, 2018), 15.

[5]                Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 32.

[6]                Leela Fernandes, India's New Middle Class: Democratic Politics in an Era of Economic Reform (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2006), 128.

[7]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 21.

[8]                Ju Hui Judy Han, “Feminist Politics in Neoliberal Times,” Gender, Place & Culture 24, no. 5 (2017): 651.

[9]                Oyeronke Oyewumi, The Invention of Women: Making an African Sense of Western Gender Discourses (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 18.

[10]             Ibid., 22.

[11]             Aili Mari Tripp, Women and Politics in Uganda (Madison: University of Wisconsin Press, 2000), 5.

[12]             Chimamanda Ngozi Adichie, We Should All Be Feminists (New York: Anchor Books, 2014), 10.

[13]             Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 22.

[14]             Leila Ahmed, Women and Gender in Islam (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), 58.

[15]             Margot Badran, Feminism in Islam, 41.

[16]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 192.

[17]             Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour (London: Zed Books, 1986), 78.

[18]             UN Women, “Gender Equality and Women’s Empowerment,” accessed January 20, 2025, https://www.unwomen.org/en.

[19]             Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 62.


7.           Kontribusi Feminisme terhadap Kajian Filsafat

Feminisme telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap berbagai cabang filsafat, mulai dari epistemologi, etika, hingga filsafat politik. Feminisme tidak hanya memperluas cakupan kajian filsafat tetapi juga memperkenalkan perspektif baru yang kritis terhadap asumsi-asumsi tradisional yang bias gender. Berikut adalah kontribusi utama feminisme terhadap kajian filsafat.

7.1.       Epistemologi Feminisme: Kritik terhadap Pengetahuan yang Bias Gender

Epistemologi feminis mengkaji bagaimana bias gender memengaruhi proses produksi pengetahuan. Sandra Harding memperkenalkan konsep standpoint theory, yang menyatakan bahwa pengalaman perempuan, terutama mereka yang berada dalam posisi marjinal, memberikan perspektif unik dalam memahami realitas sosial.¹ Harding mengkritik epistemologi tradisional yang sering kali mengabaikan pengalaman perempuan dan dianggap "netral gender."²

Feminisme juga memperkenalkan istilah situated knowledge, yang menunjukkan bahwa semua pengetahuan dipengaruhi oleh konteks sosial dan posisi individu.³ Dengan demikian, feminisme memberikan kerangka untuk memahami bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang universal dan bebas nilai, melainkan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan.⁴

7.2.       Etika Feminisme: Etika Perawatan dan Hubungan

Dalam etika, feminisme menawarkan pendekatan baru yang berpusat pada hubungan dan empati, yang dikenal sebagai ethics of care. Carol Gilligan, dalam In a Different Voice, mengkritik model etika tradisional seperti utilitarianisme dan deontologi yang dianggap terlalu abstrak dan tidak memperhatikan konteks hubungan manusia.⁵

Etika feminis menekankan pentingnya perawatan, tanggung jawab, dan hubungan interpersonal sebagai dasar moralitas.⁶ Pendekatan ini telah diterapkan dalam berbagai bidang, seperti kebijakan publik, pendidikan, dan profesi kesehatan, untuk menciptakan sistem yang lebih manusiawi dan inklusif.⁷

7.3.       Filsafat Politik Feminisme: Kritik terhadap Struktur Kekuasaan

Feminisme telah merevolusi filsafat politik dengan mengkritik struktur kekuasaan patriarkal dalam masyarakat. Iris Marion Young, dalam Justice and the Politics of Difference, menunjukkan bahwa ketidakadilan tidak hanya terjadi karena distribusi sumber daya yang tidak merata, tetapi juga karena marginalisasi dan dominasi sistemik yang dialami oleh kelompok tertentu, termasuk perempuan.⁸

Feminisme politik juga menyoroti bagaimana hukum dan institusi sering kali memperkuat norma-norma gender yang diskriminatif. Judith Butler, dalam Gender Trouble, berargumen bahwa kategori gender adalah konstruksi sosial yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.⁹ Dengan demikian, feminisme membuka ruang untuk mendekonstruksi konsep-konsep politik tradisional dan menciptakan teori yang lebih inklusif.

7.4.       Kritik terhadap Filsafat Tradisional

Feminisme juga memberikan kritik tajam terhadap filsafat tradisional yang sering kali bersifat androcentris, atau berpusat pada laki-laki. Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex, mengkritik filsafat eksistensialis yang mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subjek otonom.¹⁰ Feminisme menantang anggapan bahwa filsafat dapat bersifat netral, dengan menunjukkan bahwa banyak teori klasik mencerminkan pandangan dunia yang patriarkal.¹¹

7.5.       Kontribusi dalam Kajian Interdisipliner

Feminisme telah memperkaya kajian interdisipliner dengan menjembatani filsafat dengan bidang lain, seperti sosiologi, studi budaya, dan teori kritis. Feminisme interseksional, seperti yang dirumuskan oleh Kimberlé Crenshaw, memberikan kerangka analisis untuk memahami bagaimana identitas-identitas yang saling berpotongan menciptakan pengalaman unik dari penindasan dan privilese.¹²


Catatan Kaki

[1]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 120.

[2]                Ibid., 142.

[3]                Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 581.

[4]                Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature (Totowa, NJ: Rowman & Littlefield, 1983), 56.

[5]                Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 22.

[6]                Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12.

[7]                Ibid., 44.

[8]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 37.

[9]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25.

[10]             Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 11.

[11]             Elizabeth Spelman, Inessential Woman: Problems of Exclusion in Feminist Thought (Boston: Beacon Press, 1988), 18.

[12]             Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum 1989, no. 1: 140.


8.           Implikasi dan Relevansi Feminisme di Era Kontemporer

Feminisme tetap relevan dan memberikan implikasi yang signifikan di era kontemporer, terutama dalam merespons tantangan global seperti kesenjangan gender, teknologi, perubahan iklim, dan advokasi untuk keadilan sosial. Dengan memanfaatkan pendekatan multidisipliner, feminisme terus berkembang sebagai kerangka analisis dan gerakan sosial untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

8.1.       Perjuangan Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender tetap menjadi isu inti feminisme di era modern. Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa, pada tahun 2023, kesenjangan gender global masih membutuhkan lebih dari 130 tahun untuk sepenuhnya tertutup jika tidak ada upaya signifikan.¹ Feminisme memainkan peran kunci dalam mengadvokasi kebijakan inklusif, seperti kesetaraan upah, akses terhadap pendidikan, dan hak reproduksi.²

Gerakan seperti #MeToo juga telah mengungkap realitas pelecehan seksual secara global, memberikan dorongan untuk reformasi hukum dan budaya kerja yang lebih aman.³ Advokasi feminisme terhadap keadilan gender mencakup ruang publik dan domestik, dengan penekanan pada pentingnya membongkar norma-norma sosial yang mendukung ketidakadilan gender.⁴

8.2.       Feminisme Digital

Di era teknologi, feminisme digital menjadi salah satu cara utama untuk menyebarkan kesadaran dan mengorganisasi gerakan.⁵ Media sosial digunakan untuk kampanye seperti #TimesUp dan #HeForShe, yang menghubungkan individu dan komunitas lintas batas negara.⁶ Namun, feminisme digital juga menghadapi tantangan, termasuk pelecehan daring yang sering menargetkan perempuan dan aktivis feminis.⁷

Teknologi juga menjadi bidang baru perjuangan feminis, terutama dalam mengatasi bias algoritma yang mencerminkan diskriminasi gender. Penelitian menunjukkan bahwa algoritma kecerdasan buatan sering kali memperkuat stereotip gender, menciptakan tantangan baru dalam mencapai kesetaraan.⁸

8.3.       Feminisme dan Perubahan Iklim

Feminisme telah menyoroti hubungan antara gender dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Ecofeminisme, misalnya, mengaitkan eksploitasi lingkungan dengan penindasan terhadap perempuan, terutama di komunitas miskin yang sangat bergantung pada sumber daya alam.⁹

Organisasi seperti UN Women telah menekankan bahwa perempuan sering kali lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, tetapi mereka juga memiliki peran penting dalam mitigasi dan adaptasi.¹⁰ Dalam konteks ini, feminisme menyerukan pendekatan berbasis keadilan iklim yang memperhitungkan perspektif gender.

8.4.       Feminisme di Dunia Kerja dan Ekonomi

Feminisme kontemporer juga relevan dalam isu-isu ekonomi, termasuk perjuangan melawan ketidakadilan dalam pasar kerja global.¹¹ Perempuan masih menghadapi diskriminasi di tempat kerja, seperti kesenjangan upah dan kurangnya representasi dalam posisi kepemimpinan.¹²

Selain itu, feminisme mendukung sistem kerja yang lebih fleksibel, termasuk kebijakan cuti melahirkan dan dukungan untuk pekerjaan domestik yang sering kali tidak dihargai secara ekonomi.¹³ Feminisme ekonomi juga menyoroti ketidakadilan dalam sistem ekonomi global yang sering mengeksploitasi perempuan di negara berkembang.¹⁴

8.5.       Relevansi di Bidang Pendidikan dan Representasi

Dalam pendidikan, feminisme mendorong revisi kurikulum untuk menghilangkan bias gender dan memasukkan kontribusi perempuan yang sering kali diabaikan dalam sejarah dan ilmu pengetahuan.¹⁵ Selain itu, feminisme berjuang untuk meningkatkan representasi perempuan di bidang-bidang seperti STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), yang masih didominasi laki-laki.¹⁶

Di media dan budaya populer, feminisme menantang representasi perempuan yang stereotipikal, mendukung narasi yang lebih inklusif dan beragam.¹⁷


Catatan Kaki

[1]                World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2023, accessed January 20, 2025, https://www.weforum.org/reports.

[2]                Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 56.

[3]                Tarana Burke, “#MeToo: A Movement, Not a Moment,” TEDWomen, November 2018, https://www.ted.com.

[4]                bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics (London: Pluto Press, 2000), 32.

[5]                Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism (Oxford: Oxford University Press, 2018), 44.

[6]                Emma Watson, “HeForShe: Gender Equality Is Your Issue Too,” speech, United Nations, September 20, 2014, https://www.unwomen.org/en.

[7]                Jessica Ringrose et al., “Teen Girls, Sexual Double Standards and Sexting: Gendered Value in Digital Image Exchange,” Feminist Theory 14, no. 3 (2013): 305.

[8]                Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 98.

[9]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1988), 22.

[10]             UN Women, “Women, Gender Equality and Climate Change,” accessed January 20, 2025, https://www.unwomen.org/en.

[11]             Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour (London: Zed Books, 1986), 102.

[12]             Claudia Goldin, “A Grand Gender Convergence: Its Last Chapter,” American Economic Review 104, no. 4 (2014): 1091.

[13]             Sylvia Walby, The Future of Feminism (Cambridge: Polity Press, 2011), 88.

[14]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 210.

[15]             Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), 45.

[16]             UNESCO, Cracking the Code: Girls' and Women's Education in STEM, accessed January 20, 2025, https://www.unesco.org.

[17]             Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Screen 16, no. 3 (1975): 6.


9.           Kesimpulan

Feminisme, sebagai sebuah gerakan sosial dan kerangka filsafat, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan kesetaraan gender, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebagai salah satu cabang filsafat, feminisme tidak hanya mengkritik struktur patriarkal yang mendominasi masyarakat, tetapi juga menawarkan pendekatan baru dalam berbagai bidang seperti epistemologi, etika, dan filsafat politik

Sejarah feminisme menunjukkan evolusi pemikiran yang dinamis, mulai dari perjuangan hak-hak dasar pada gelombang pertama hingga pendekatan interseksional yang menyoroti kompleksitas identitas perempuan pada gelombang ketiga dan keempat.² Feminisme juga menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dengan tantangan zaman, seperti memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas advokasi dan memperjuangkan keadilan gender di tingkat global.³

Namun, feminisme juga menghadapi kritik dan tantangan yang signifikan, baik dari dalam maupun luar gerakan. Perbedaan ideologi antara berbagai cabang feminisme menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan tunggal dalam memperjuangkan keadilan gender.⁴ Kritik dari perspektif budaya, agama, dan konservatif menantang feminisme untuk menyesuaikan pendekatannya dengan konteks lokal tanpa mengorbankan prinsip universal kesetaraan dan keadilan.⁵

Di era kontemporer, feminisme telah memberikan dampak yang luas, mulai dari menyoroti ketidakadilan gender dalam teknologi dan perubahan iklim hingga menantang norma-norma tradisional di dunia kerja dan pendidikan.⁶ Feminisme telah membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan, baik melalui advokasi politik, reformasi hukum, maupun representasi di media dan budaya populer.⁷

Kesimpulannya, feminisme tetap relevan dan esensial dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Sebagai bagian dari kajian filsafat, feminisme mengajarkan pentingnya berpikir kritis terhadap norma-norma yang dianggap "alami" dan menginspirasi perubahan yang berkelanjutan. Dengan terus mengintegrasikan perspektif lintas budaya dan mendengarkan suara dari kelompok yang terpinggirkan, feminisme memiliki potensi untuk menjadi kekuatan yang transformasional di masa depan.⁸


Catatan Kaki

[1]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 145.

[2]                Karen Offen, “Defining Feminism: A Comparative Historical Approach,” Signs 14, no. 1 (1988): 120.

[3]                Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism (Oxford: Oxford University Press, 2018), 56.

[4]                Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum 1989, no. 1: 140.

[5]                Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 22.

[6]                Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 98.

[7]                Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 65.

[8]                Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 72.


Daftar Pustaka

Ahmed, L. (1992). Women and gender in Islam: Historical roots of a modern debate. New Haven, CT: Yale University Press.

Badran, M. (2009). Feminism in Islam: Secular and religious convergences. Oxford: Oneworld Publications.

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). New York: Vintage Books.

Burke, T. (2018, November). #MeToo: A movement, not a moment [TED Talk]. TEDWomen. Retrieved from https://www.ted.com

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. New York: Routledge.

Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the intersection of race and sex. University of Chicago Legal Forum, 1989(1), 139–167.

Fraser, N. (2013). Fortunes of feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. London: Verso.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge?: Thinking from women’s lives. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Held, V. (2006). The ethics of care: Personal, political, and global. Oxford: Oxford University Press.

hooks, b. (1984). Feminist theory: From margin to center. Boston: South End Press.

hooks, b. (2000). Feminism is for everybody: Passionate politics. London: Pluto Press.

Jaggar, A. M. (1983). Feminist politics and human nature. Totowa, NJ: Rowman & Littlefield.

Mohanty, C. T. (2003). Feminism without borders: Decolonizing theory, practicing solidarity. Durham, NC: Duke University Press.

Mulvey, L. (1975). Visual pleasure and narrative cinema. Screen, 16(3), 6–18.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. New York: NYU Press.

Offen, K. (1988). Defining feminism: A comparative historical approach. Signs: Journal of Women in Culture and Society, 14(1), 119–157.

Rottenberg, C. (2018). The rise of neoliberal feminism. Oxford: Oxford University Press.

Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology, and development. London: Zed Books.

Tripp, A. M. (2000). Women and politics in Uganda. Madison, WI: University of Wisconsin Press.

UN Women. (n.d.). Gender equality and women’s empowerment. Retrieved January 20, 2025, from https://www.unwomen.org/en

UNESCO. (n.d.). Cracking the code: Girls’ and women’s education in STEM. Retrieved January 20, 2025, from https://www.unesco.org

Watson, E. (2014, September 20). HeForShe: Gender equality is your issue too [Speech]. United Nations. Retrieved from https://www.unwomen.org/en

World Economic Forum. (2023). Global gender gap report 2023. Retrieved January 20, 2025, from https://www.weforum.org/reports


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar