Filsafat Feminisme
Sejarah, Pemikiran, dan Implikasinya di Era Kontemporer
Abstrak
Artikel ini mengkaji feminisme sebagai salah satu cabang
filsafat yang berperan penting dalam menganalisis dan memperjuangkan
kesetaraan gender, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Dengan pendekatan
historis, artikel ini membahas evolusi feminisme dari gelombang pertama hingga
era kontemporer, menyoroti perubahan fokus dan strategi perjuangan dalam
merespons tantangan zaman. Pemikiran dan cabang-cabang feminisme, seperti
feminisme liberal, radikal, Marxis, postmodern, dan interseksional, dianalisis
secara kritis untuk memahami kontribusi dan kompleksitasnya.
Selain itu, artikel ini mengeksplorasi kritik
internal dan eksternal terhadap feminisme, baik dari perspektif ideologis
maupun budaya, serta tantangan yang dihadapi feminisme dalam era globalisasi,
teknologi digital, dan perubahan iklim. Kontribusi feminisme terhadap kajian filsafat meliputi epistemologi,
etika,
dan filsafat
politik, memberikan perspektif baru yang kritis terhadap asumsi
tradisional. Di era kontemporer, feminisme tetap relevan dengan memperjuangkan
keadilan gender melalui advokasi digital, reformasi hukum, dan pendekatan
lintas budaya. Artikel ini menyimpulkan bahwa feminisme memiliki peran penting
dalam membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Feminisme, filsafat,
kesetaraan gender, interseksionalitas, kritik patriarki, feminisme global,
ecofeminisme, feminisme digital.
1.
Pendahuluan
Filsafat adalah
disiplin ilmu yang mengkaji pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi,
pengetahuan, moralitas, dan masyarakat. Sebagai cabang ilmu, filsafat berperan
dalam menganalisis dan memberikan dasar rasional terhadap berbagai konsep yang
memengaruhi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, feminisme muncul sebagai
salah satu cabang
filsafat sosial yang berfokus pada analisis kesetaraan gender, keadilan
sosial, dan perjuangan melawan diskriminasi berbasis gender.¹
Feminisme, secara umum, didefinisikan sebagai
gerakan sosial, politik, dan intelektual yang bertujuan untuk menghapuskan
ketidakadilan gender dan menciptakan masyarakat yang setara.² Namun, dalam
ranah filsafat,
feminisme memiliki dimensi lebih mendalam, termasuk bagaimana ide-ide gender
memengaruhi struktur sosial, epistemologi,
dan etika.³
Feminisme tidak hanya membahas kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan,
tetapi juga menantang norma-norma sosial, budaya,
dan politik yang telah mengakar dan sering kali memihak pada patriarki.⁴
Relevansi feminisme dalam filsafat dan
masyarakat kontemporer tidak dapat diabaikan. Dengan tantangan global seperti
kesenjangan gender dalam pendidikan, kekerasan berbasis gender, dan bias
algoritma teknologi, feminisme memberikan kerangka analisis yang kuat untuk
memahami dan mengatasi masalah ini.⁵ Feminisme juga melahirkan
pendekatan-pendekatan baru dalam filsafat, seperti
epistemologi feminis yang mengeksplorasi bias gender dalam produksi
pengetahuan.⁶
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan
komprehensif tentang feminisme dari perspektif filsafat, mencakup sejarah
perkembangan, berbagai cabang pemikiran, hingga implikasinya dalam dunia
modern. Dengan menggunakan referensi-referensi kredibel, pembahasan ini
diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas tentang pentingnya
feminisme sebagai cabang
filsafat sosial.
Catatan Kaki
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome to the Renaissance (London: Continuum, 1999), 23.
[2]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to
Center (Boston: South End Press, 1984), 1.
[3]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
6–7.
[4]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 2.
[5]
UN Women, “Gender Equality and Women’s
Empowerment,” United Nations, accessed January 20, 2025, https://www.unwomen.org/en.
[6]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?:
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
12.
2.
Pengertian
dan Esensi Feminisme
Feminisme secara umum didefinisikan sebagai gerakan
sosial, politik, dan intelektual yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan
gender dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi berbasis gender.¹ Dalam filsafat,
feminisme tidak hanya dipandang sebagai gerakan politik, tetapi juga sebagai
kerangka teoritis yang menganalisis struktur kekuasaan patriarki serta
memeriksa bagaimana norma-norma gender memengaruhi kehidupan sosial, budaya,
dan politik.²
Simone de Beauvoir, salah satu tokoh utama
feminisme filosofis, mendefinisikan feminisme sebagai upaya mendekonstruksi
pandangan tradisional tentang perempuan yang selama ini dianggap sebagai "yang
lain" (the Other) dalam masyarakat patriarkal.³ Dalam karyanya The
Second Sex, de Beauvoir menekankan bahwa perempuan sering kali
didefinisikan dalam oposisi terhadap laki-laki, sehingga menjadi objek, bukan
subjek. Ia menegaskan bahwa "Seseorang tidak dilahirkan sebagai
perempuan, melainkan menjadi perempuan," yang mengacu pada konstruksi
sosial atas peran dan identitas gender.⁴
Feminisme juga berfungsi sebagai kritik terhadap
sistem pengetahuan yang dianggap bias gender. Sandra Harding, seorang tokoh
epistemologi feminis, mengemukakan bahwa sebagian besar pengetahuan dalam
sejarah peradaban manusia dikembangkan dalam kerangka patriarki yang
mengeksklusi pengalaman perempuan.⁵ Oleh karena itu, feminisme tidak hanya
berupaya menciptakan kesetaraan gender, tetapi juga menantang asumsi-asumsi
epistemologis yang membentuk dunia ilmu pengetahuan.⁶
Prinsip dasar feminisme meliputi kesetaraan,
keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Feminisme juga
menekankan pentingnya pengakuan terhadap keberagaman pengalaman perempuan,
termasuk berdasarkan ras, kelas sosial, orientasi seksual, dan latar belakang
budaya.⁷ Hal ini terlihat jelas dalam cabang feminisme interseksional, yang
menyoroti bagaimana identitas-identitas ini saling berpotongan untuk
menciptakan bentuk-bentuk penindasan yang unik.⁸
Esensi feminisme adalah menciptakan masyarakat yang
inklusif dan adil, di mana semua individu memiliki peluang yang sama tanpa
hambatan struktural berdasarkan gender. Dalam filsafat,
feminisme telah menjadi alat penting untuk mengkaji ulang norma-norma sosial
dan membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang keadilan, kebebasan, dan
penghormatan terhadap keberagaman.
Catatan Kaki
[1]
bell hooks, Feminism Is for Everybody:
Passionate Politics (London: Pluto Press, 2000), 1.
[2]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of
Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 3.
[3]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
5.
[4]
Ibid., 283.
[5]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?:
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
6.
[6]
Elizabeth Anderson, “Feminist Epistemology and
Philosophy of Science,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, last
modified October 1, 2022, https://plato.stanford.edu/entries/feminism-epistemology/.
[7]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins:
Intersectionality, Identity Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford
Law Review 43, no. 6 (1991): 1241.
[8]
Ibid., 1245.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Feminisme
Sejarah feminisme
mencerminkan perjuangan panjang perempuan untuk memperoleh kesetaraan, keadilan, dan pengakuan hak
asasi manusia. Perkembangannya sering dibagi ke dalam empat gelombang,
masing-masing memiliki fokus dan karakteristik yang berbeda.
3.1. Gelombang Pertama: Perjuangan
Hak-Hak Dasar (Abad ke-19 – Awal Abad ke-20)
Gelombang pertama
feminisme muncul pada abad ke-19, dipicu oleh Revolusi Prancis dan gerakan
abolisionis. Fokus utama feminisme pada periode ini adalah memperjuangkan hak-hak sipil dan politik
perempuan, termasuk hak untuk memilih (suffrage).¹ Tokoh-tokoh seperti Mary
Wollstonecraft melalui karyanya A Vindication of the Rights of Woman
(1792) menyerukan pentingnya pendidikan bagi perempuan agar mereka dapat
berpartisipasi aktif dalam masyarakat.²
Perjuangan ini
mencapai puncaknya dengan keberhasilan pengesahan Nineteenth Amendment di Amerika
Serikat pada tahun 1920, yang memberikan perempuan hak untuk memilih.³ Meskipun
gelombang pertama lebih banyak berpusat
di Eropa dan Amerika Utara, perjuangan perempuan untuk hak-hak dasar ini juga
mulai menyebar ke negara-negara lain, meskipun dengan tantangan yang
berbeda-beda sesuai konteks budaya lokal.⁴
3.2.
Gelombang Kedua: Kritik terhadap Patriarki
(1960-an – 1980-an)
Gelombang kedua
feminisme berfokus pada persoalan yang melampaui hak-hak formal, seperti ketidaksetaraan dalam dunia kerja,
hak atas tubuh, dan kritik terhadap struktur patriarki.⁵ Tokoh seperti Betty
Friedan dalam The Feminine Mystique (1963)
mengkritik peran tradisional perempuan sebagai ibu rumah tangga yang sering
kali membatasi potensi mereka.⁶
Gerakan ini juga
menyoroti pentingnya hak reproduksi, termasuk akses terhadap kontrasepsi dan
aborsi, serta mengadvokasi perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender.⁷
Feminisme radikal pada periode ini menekankan perlunya perubahan mendalam dalam
struktur sosial untuk menghapuskan dominasi laki-laki.⁸
3.3.
Gelombang Ketiga: Interseksionalitas dan
Inklusivitas (1990-an)
Gelombang ketiga
feminisme membawa pendekatan yang lebih inklusif, dengan memperhatikan
pengalaman perempuan berdasarkan ras, kelas, orientasi seksual, dan identitas lainnya. Istilah interseksionalitas
yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw menyoroti bagaimana
identitas-identitas tersebut saling berpotongan untuk menciptakan bentuk
penindasan yang kompleks.⁹
Feminisme pada
periode ini menolak generalisasi pengalaman perempuan dan mengkritik kecenderungan feminisme gelombang
sebelumnya yang dianggap terlalu berfokus pada perempuan kulit putih dari kelas
menengah.¹⁰ Gerakan ini juga terlibat dalam kampanye melawan standar kecantikan
yang menindas dan stereotip gender.
3.4.
Gelombang Keempat: Feminisme Digital dan Global
(2010-an – Sekarang)
Gelombang keempat
feminisme ditandai dengan penggunaan teknologi digital untuk menyebarkan kesadaran dan advokasi.¹¹
Gerakan seperti #MeToo menjadi simbol perjuangan melawan kekerasan seksual,
yang tidak hanya berfokus
pada individu tetapi juga pada reformasi institusional.¹²
Feminisme global
juga semakin menonjol pada periode ini, dengan fokus pada isu-isu seperti
perdagangan manusia, pendidikan untuk anak perempuan, dan akses ke layanan
kesehatan di negara-negara berkembang.¹³ Feminisme kontemporer terus
beradaptasi dengan tantangan zaman, termasuk persoalan kesenjangan gender dalam
teknologi dan perubahan iklim.
Catatan Kaki
[1]
Karen Offen, “Defining Feminism: A Comparative Historical Approach,” Signs
14, no. 1 (1988): 120.
[2]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman
(New York: Penguin Classics, 2004), 20.
[3]
Elizabeth Cady Stanton et al., eds., History of Woman Suffrage, Vol. 6
(New York: Fowler & Wells, 1922), 8.
[4]
Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of
a Modern Debate (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), 150.
[5]
Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W.W.
Norton, 1963), 5.
[6]
Ibid., 22.
[7]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed
Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 65.
[8]
Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist
Revolution (New York: Morrow, 1970), 12.
[9]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University
of Chicago Legal Forum 1989, no. 1: 140.
[10]
Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory,
Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 44.
[11]
Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 5.
[12]
Tarana Burke, “#MeToo: A Movement, Not a Moment,” TEDWomen,
November 2018, https://www.ted.com.
[13]
Malala Yousafzai, I Am Malala: The Girl Who Stood Up for
Education and Was Shot by the Taliban (New York: Little, Brown and
Company, 2013), 50.
4.
Pemikiran
dan Cabang-Cabang Feminisme
Feminisme sebagai
sebuah gerakan dan kerangka pemikiran memiliki berbagai cabang yang berfokus
pada aspek-aspek berbeda dari ketidakadilan gender. Setiap cabang feminisme
lahir dari konteks sosial, politik, dan budaya tertentu, dengan pendekatan dan
pemikiran yang saling melengkapi serta mengkritisi. Berikut adalah pemikiran
utama dalam feminisme dan cabang-cabangnya.
4.1.
Feminisme Liberal
Feminisme liberal
berakar pada prinsip-prinsip pencerahan dan individualisme, menekankan
pentingnya kesetaraan hukum dan akses perempuan terhadap hak-hak sipil serta
politik.¹ Tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill
mendukung gagasan bahwa perempuan harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, dan
peluang ekonomi.² Pendekatan ini percaya bahwa perubahan dapat dicapai melalui
reformasi hukum dan kebijakan publik tanpa perlu merombak tatanan sosial secara
radikal.³
4.2.
Feminisme Radikal
Berbeda dengan
feminisme liberal, feminisme radikal mengidentifikasi patriarki sebagai akar
dari semua bentuk penindasan.⁴ Feminisme radikal menyerukan perubahan mendasar
dalam struktur sosial yang dianggap menopang ketidakadilan gender. Shulamith
Firestone, dalam The Dialectic of Sex, menekankan
bahwa pembebasan perempuan hanya dapat dicapai dengan menghapuskan hierarki gender dan reproduksi biologis
sebagai dasar ketimpangan.⁵ Pendekatan ini sering memprioritaskan isu-isu
seperti kekerasan seksual, pornografi, dan peran domestik perempuan.⁶
4.3.
Feminisme Marxis dan Sosialis
Feminisme Marxis dan
Sosialis menghubungkan
penindasan perempuan dengan struktur kapitalisme dan eksploitasi kelas.⁷
Menurut Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The Origin of the Family, Private Property, and
the State, keluarga patriarkal berfungsi untuk melanggengkan
kepemilikan pribadi dan melayani kebutuhan ekonomi kapitalisme.⁸ Feminisme ini
menyerukan penghapusan kapitalisme sebagai langkah penting untuk mengakhiri
penindasan gender, dengan fokus pada redistribusi kekayaan dan sumber daya.⁹
4.4.
Feminisme Postmodern dan Interseksional
Feminisme postmodern
menolak pandangan universal tentang pengalaman perempuan, menekankan bahwa
identitas gender adalah konstruksi sosial yang bervariasi di berbagai konteks
budaya dan sejarah.¹⁰ Judith Butler, dalam Gender Trouble, mengkritik gagasan
bahwa gender adalah sesuatu yang tetap, dengan berargumen bahwa gender adalah
hasil dari performativitas sosial.¹¹
Feminisme
interseksional, seperti yang dirumuskan oleh Kimberlé Crenshaw, menyoroti
bagaimana identitas ras, kelas, orientasi seksual, dan faktor lain saling
berpotongan untuk menciptakan pengalaman penindasan yang kompleks.¹² Cabang ini
berusaha menciptakan pemahaman yang lebih inklusif terhadap perjuangan
perempuan di seluruh dunia.
4.5.
Feminisme Ekologis (Ecofeminisme)
Ecofeminisme
mengaitkan penindasan terhadap perempuan dengan eksploitasi terhadap alam.¹³
Tokoh-tokoh seperti Vandana Shiva menekankan pentingnya mengadopsi pendekatan
yang berkelanjutan dan berbasis pada nilai-nilai tradisional perempuan, seperti
merawat dan melindungi lingkungan.¹⁴ Cabang ini juga menentang praktik-praktik
ekonomi global yang merusak lingkungan dan meminggirkan komunitas perempuan.
4.6.
Feminisme Global
Feminisme global menyoroti ketidakadilan yang dialami
perempuan di negara-negara berkembang, seperti perdagangan manusia, kurangnya
akses terhadap pendidikan, dan kesehatan reproduksi.¹⁵ Gerakan ini menekankan
pentingnya solidaritas lintas budaya dan advokasi untuk keadilan gender yang
bersifat global.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman
(New York: Penguin Classics, 2004), 26.
[2]
John Stuart Mill, The Subjection of Women (London:
Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1869), 13.
[3]
Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature
(Totowa, NJ: Rowman & Littlefield, 1983), 45.
[4]
Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex: The Case for Feminist
Revolution (New York: Bantam Books, 1970), 8.
[5]
Ibid., 10.
[6]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 85.
[7]
Nancy Holmstrom, ed., The Socialist Feminist Project: A Contemporary
Reader in Theory and Politics (New York: Monthly Review Press,
2002), 12.
[8]
Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property, and
the State (New York: International Publishers, 1972), 42.
[9]
Sheila Rowbotham, Women, Resistance and Revolution
(New York: Pantheon Books, 1974), 78.
[10]
Linda Nicholson, ed., The Second Wave: A Reader in Feminist Theory
(New York: Routledge, 1997), 52.
[11]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 24.
[12]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence Against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6
(1991): 1241.
[13]
Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (Halifax, NS: Fernwood
Publications, 1993), 18.
[14]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development
(London: Zed Books, 1988), 23.
[15]
Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory,
Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003),
51.
[16]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Anchor Books, 1999), 192.
5.
Kritik
dan Tantangan terhadap Feminisme
Feminisme, sebagai
gerakan dan kerangka pemikiran, telah mengalami berbagai kritik dan tantangan,
baik dari pihak internal maupun eksternal. Kritik-kritik ini mencerminkan
perdebatan konseptual dan ideologis yang sering kali memperkaya, tetapi juga menantang perkembangan feminisme sebagai sebuah
disiplin.
5.1.
Kritik Internal dalam Feminisme
Perbedaan ideologi
antara berbagai cabang feminisme sering kali menjadi sumber perdebatan.
Feminisme liberal, misalnya, dikritik oleh feminisme radikal karena dianggap terlalu fokus pada reformasi
institusional tanpa menyentuh akar patriarki yang lebih dalam.¹ Feminisme
Marxis juga menuduh feminisme
liberal mengabaikan hubungan antara kelas sosial dan penindasan gender.²
Sebaliknya,
feminisme radikal kerap mendapat kritik karena dianggap terlalu esensialis,
melihat perempuan sebagai kategori homogen dan mengabaikan keberagaman
pengalaman perempuan berdasarkan ras, kelas, dan orientasi seksual.³ Feminisme
interseksional lahir sebagai respons terhadap kritik ini, tetapi juga
menghadapi tantangan untuk mengintegrasikan isu-isu kompleks dalam kerangka
advokasi praktis.⁴
5.2.
Kritik dari Perspektif Agama dan Budaya
Feminisme sering
kali dituduh bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dan agama. Beberapa
kritik dari kalangan agama menolak gagasan feminis yang dianggap mengancam
struktur keluarga tradisional dan peran perempuan sebagai ibu.⁵ Dalam konteks
masyarakat Islam, feminisme diperdebatkan karena dianggap berasal dari Barat
dan tidak selalu relevan dengan norma-norma syariah.⁶
Namun, feminis
Muslim seperti Amina Wadud dan Fatima Mernissi berpendapat bahwa feminisme
dapat diterapkan dalam konteks Islam untuk mendekonstruksi interpretasi patriarkal terhadap teks-teks
suci.⁷ Perdebatan ini menunjukkan adanya ketegangan antara feminisme global dan
lokal yang harus dikelola dengan hati-hati.
5.3.
Kritik dari Perspektif Konservatif
Dari perspektif
konservatif, feminisme sering dianggap merusak tatanan sosial dan mengabaikan
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.⁸ Penulis seperti Christina Hoff Sommers mengkritik
feminisme kontemporer karena terlalu fokus pada masalah-masalah gender yang
dianggap "dibesar-besarkan,"
seperti kesenjangan upah, sambil mengabaikan isu-isu yang lebih universal.⁹
Kritik ini menyoroti
bagaimana beberapa kelompok konservatif melihat feminisme sebagai ideologi yang
mendikte cara hidup, alih-alih menawarkan kebebasan pilihan bagi perempuan.¹⁰
5.4.
Tantangan dalam Menghadapi Isu Kontemporer
Feminisme juga
menghadapi tantangan besar dalam merespons isu-isu kontemporer seperti globalisasi,
teknologi digital, dan perubahan iklim.¹¹ Isu globalisasi sering kali
menciptakan ketimpangan baru bagi perempuan di negara berkembang, yang harus
menghadapi eksploitasi dalam industri global.¹² Feminisme digital, di sisi
lain, harus bergulat dengan serangan daring dan pelecehan berbasis gender di
media sosial.¹³
Dalam konteks
perubahan iklim, ecofeminisme menyerukan perlunya pendekatan berbasis keadilan
gender, tetapi tantangannya adalah bagaimana memastikan suara perempuan dari
komunitas yang paling terdampak didengar di tingkat global.¹⁴
5.5.
Upaya Mengatasi Kritik dan Tantangan
Meskipun berbagai
kritik dan tantangan ini signifikan, feminisme telah menunjukkan kemampuan
untuk beradaptasi dan berkembang. Dialog antara berbagai cabang feminisme dan
inklusivitas terhadap perspektif lokal menjadi kunci dalam menjawab kritik
internal. Sementara itu, pendekatan lintas budaya dan advokasi berbasis hak
asasi manusia menjadi langkah penting dalam menjawab kritik dari perspektif
agama, budaya,
dan konservatif.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Nancy Holmstrom, ed., The Socialist Feminist Project: A Contemporary
Reader in Theory and Politics (New York: Monthly Review Press,
2002), 18.
[2]
Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards
a More Progressive Union,” Capital & Class 3, no. 2
(1979): 3.
[3]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center
(Boston: South End Press, 1984), 2.
[4]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University
of Chicago Legal Forum 1989, no. 1: 140.
[5]
Elizabeth Fox-Genovese, Feminism Is Not the Story of My Life: How
Today's Feminist Elite Has Lost Touch with the Real Concerns of Women
(New York: Doubleday, 1996), 12.
[6]
Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences
(Oxford: Oneworld Publications, 2009), 22.
[7]
Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text
from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press,
1999), 15.
[8]
Christina Hoff Sommers, Who Stole Feminism?: How Women Have Betrayed
Women (New York: Simon & Schuster, 1994), 23.
[9]
Ibid., 45.
[10]
Phyllis Schlafly, Feminist Fantasies (Dallas: Spence
Publishing Company, 2003), 10.
[11]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 29.
[12]
Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory,
Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003),
51.
[13]
Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 6.
[14]
Maria Mies and Vandana Shiva, Ecofeminism (Halifax, NS: Fernwood
Publications, 1993), 18.
[15]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Anchor Books, 1999), 220.
6.
Feminisme
dalam Perspektif Global
Feminisme dalam
perspektif global melampaui batas-batas geografis, sosial, dan budaya untuk
menganalisis bagaimana dinamika gender dipengaruhi oleh konteks lokal dan
global. Feminisme global menyoroti isu-isu yang tidak hanya dialami perempuan
di negara maju tetapi juga menyentuh pengalaman perempuan di negara berkembang,
termasuk ketimpangan ekonomi, eksploitasi tenaga kerja, kekerasan berbasis
gender, dan hak asasi manusia.
6.1.
Feminisme di Dunia Barat
Feminisme di dunia
Barat telah lama menjadi pusat dari gerakan dan teori feminis. Sejak gelombang
pertama, feminisme Barat berfokus pada hak-hak politik dan hukum, termasuk hak
suara dan hak atas pendidikan.¹ Namun, feminisme Barat telah menghadapi kritik
karena kecenderungannya untuk mengabaikan pengalaman perempuan dari berbagai
latar belakang ras dan kelas.² Tokoh-tokoh seperti bell hooks dan Audre Lorde
mengkritik feminisme arus utama yang terlalu didominasi oleh perempuan kulit
putih dari kelas menengah, menuntut pendekatan yang lebih inklusif.³
Saat ini, feminisme
di Barat juga terlibat dalam perjuangan melawan ketimpangan di tempat kerja,
hak-hak reproduksi, dan representasi perempuan dalam politik dan media.
Kampanye digital seperti #MeToo mencerminkan bagaimana feminisme Barat telah
beradaptasi dengan era teknologi untuk melawan kekerasan seksual secara
global.⁴
6.2.
Feminisme di Asia
Di Asia, feminisme
berkembang dengan menghadapi tantangan unik seperti patriarki yang dipengaruhi
oleh tradisi budaya, agama, dan struktur sosial yang kompleks.⁵ Di India,
feminisme telah berfokus pada isu-isu seperti perkawinan paksa, kekerasan
berbasis gender, dan diskriminasi kasta.⁶ Aktivis seperti Vandana Shiva juga
memimpin gerakan ecofeminisme, yang menghubungkan perjuangan perempuan dengan
perlindungan lingkungan.⁷
Di negara-negara
seperti Korea Selatan dan Jepang, feminisme modern berhadapan dengan tekanan
sosial yang kuat untuk mempertahankan peran tradisional perempuan. Gerakan
seperti "Escape the Corset" di Korea Selatan menjadi simbol
perlawanan terhadap standar kecantikan yang menindas.⁸
6.3.
Feminisme di Afrika
Feminisme di Afrika
menekankan pentingnya melibatkan konteks lokal, seperti pengaruh kolonialisme,
tradisi adat, dan eksploitasi ekonomi.⁹ Feminisme Afrika sering kali mengkritik
pendekatan feminisme Barat yang dianggap tidak relevan dengan pengalaman
perempuan Afrika.¹⁰
Gerakan feminis
seperti African
Feminism dan Womanism berfokus pada isu-isu
seperti mutilasi genital perempuan (FGM), pernikahan anak, dan hak atas
pendidikan.¹¹ Tokoh seperti Chimamanda Ngozi Adichie, melalui karya seperti We
Should All Be Feminists, telah membantu memperkenalkan perspektif
feminisme Afrika ke panggung global.¹²
6.4.
Feminisme di Dunia Islam
Feminisme di dunia
Islam berada pada persimpangan antara ajaran agama dan kebutuhan akan keadilan
gender. Feminis Muslim seperti Amina Wadud dan Leila Ahmed berpendapat bahwa
feminisme dapat ditemukan dalam ajaran Islam melalui reinterpretasi teks-teks
suci.¹³ Gerakan ini sering disebut Islamic Feminism dan berupaya
mendobrak dominasi interpretasi patriarkal terhadap Al-Qur'an dan Hadis.¹⁴
Namun, feminisme di
dunia Islam juga menghadapi kritik internal, baik dari kaum tradisionalis yang
melihat feminisme sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama, maupun dari
feminis sekuler yang menganggap gerakan ini terlalu terikat pada tradisi
agama.¹⁵
6.5.
Feminisme dan Globalisasi
Globalisasi telah
menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi feminisme. Di satu sisi,
globalisasi memungkinkan penyebaran ide-ide feminisme melalui media sosial,
organisasi internasional, dan kerja sama lintas budaya.¹⁶ Di sisi lain,
globalisasi juga memperburuk ketimpangan ekonomi yang sering kali memengaruhi
perempuan di negara berkembang, terutama dalam sektor tenaga kerja murah dan
perdagangan manusia.¹⁷
Organisasi seperti
UN Women memainkan peran penting dalam mempromosikan kesetaraan gender di
tingkat global, tetapi tantangan tetap ada, terutama dalam menghadapi
resistensi budaya dan politik lokal.¹⁸
6.6.
Keberlanjutan Feminisme Global
Feminisme global
menekankan pentingnya solidaritas lintas budaya untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan tanpa mengabaikan perbedaan konteks lokal.¹⁹ Pendekatan ini
membutuhkan sensitivitas budaya dan kolaborasi antara gerakan feminis di
seluruh dunia untuk memastikan perjuangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Karen Offen, “Defining Feminism: A Comparative Historical Approach,” Signs
14, no. 1 (1988): 124.
[2]
Chandra Talpade Mohanty, Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
Colonial Discourses (Durham, NC: Duke University Press, 2003), 52.
[3]
bell hooks, Feminist Theory: From Margin to Center
(Boston: South End Press, 1984), 3.
[4]
Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism (Oxford:
Oxford University Press, 2018), 15.
[5]
Margot Badran, Feminism in Islam: Secular and Religious
Convergences (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 32.
[6]
Leela Fernandes, India's New Middle Class: Democratic Politics
in an Era of Economic Reform (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 2006), 128.
[7]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 21.
[8]
Ju Hui Judy Han, “Feminist Politics in Neoliberal Times,” Gender,
Place & Culture 24, no. 5 (2017): 651.
[9]
Oyeronke Oyewumi, The Invention of Women: Making an African Sense
of Western Gender Discourses (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1997), 18.
[10]
Ibid., 22.
[11]
Aili Mari Tripp, Women and Politics in Uganda
(Madison: University of Wisconsin Press, 2000), 5.
[12]
Chimamanda Ngozi Adichie, We Should All Be Feminists (New
York: Anchor Books, 2014), 10.
[13]
Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text
from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press,
1999), 22.
[14]
Leila Ahmed, Women and Gender in Islam (New
Haven, CT: Yale University Press, 1992), 58.
[15]
Margot Badran, Feminism in Islam, 41.
[16]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Anchor Books, 1999), 192.
[17]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale:
Women in the International Division of Labour (London: Zed Books,
1986), 78.
[18]
UN Women, “Gender Equality and Women’s Empowerment,” accessed January
20, 2025, https://www.unwomen.org/en.
[19]
Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory,
Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke University Press, 2003),
62.
7.
Kontribusi
Feminisme terhadap Kajian Filsafat
Feminisme telah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap berbagai cabang
filsafat, mulai dari epistemologi,
etika,
hingga filsafat
politik. Feminisme tidak hanya memperluas cakupan kajian filsafat tetapi
juga memperkenalkan perspektif baru yang kritis terhadap asumsi-asumsi
tradisional yang bias gender. Berikut adalah kontribusi utama feminisme
terhadap kajian filsafat.
7.1.
Epistemologi Feminisme: Kritik terhadap
Pengetahuan yang Bias Gender
Epistemologi feminis
mengkaji bagaimana bias gender memengaruhi proses produksi pengetahuan. Sandra
Harding memperkenalkan konsep standpoint theory, yang menyatakan
bahwa pengalaman perempuan, terutama mereka yang berada dalam posisi marjinal,
memberikan perspektif unik dalam memahami realitas sosial.¹ Harding mengkritik
epistemologi tradisional yang sering kali mengabaikan pengalaman perempuan dan
dianggap "netral gender."²
Feminisme juga
memperkenalkan istilah situated knowledge, yang
menunjukkan bahwa semua pengetahuan dipengaruhi oleh konteks sosial dan posisi
individu.³ Dengan demikian, feminisme memberikan kerangka untuk memahami bahwa
pengetahuan bukanlah sesuatu yang universal dan bebas nilai, melainkan
dipengaruhi oleh struktur kekuasaan.⁴
7.2.
Etika Feminisme: Etika Perawatan dan Hubungan
Dalam etika,
feminisme menawarkan pendekatan baru yang berpusat pada hubungan dan empati,
yang dikenal sebagai ethics of care. Carol Gilligan,
dalam In a
Different Voice, mengkritik model etika tradisional seperti
utilitarianisme dan deontologi yang dianggap terlalu abstrak dan tidak
memperhatikan konteks hubungan manusia.⁵
Etika feminis
menekankan pentingnya perawatan, tanggung jawab, dan hubungan interpersonal
sebagai dasar moralitas.⁶ Pendekatan ini telah diterapkan dalam berbagai
bidang, seperti kebijakan publik, pendidikan, dan profesi kesehatan, untuk
menciptakan sistem yang lebih manusiawi dan inklusif.⁷
7.3.
Filsafat Politik Feminisme: Kritik terhadap
Struktur Kekuasaan
Feminisme telah
merevolusi filsafat
politik dengan mengkritik struktur kekuasaan patriarkal dalam masyarakat.
Iris Marion Young, dalam Justice and the Politics of Difference,
menunjukkan bahwa ketidakadilan tidak hanya terjadi karena distribusi sumber
daya yang tidak merata, tetapi juga karena marginalisasi dan dominasi sistemik
yang dialami oleh kelompok tertentu, termasuk perempuan.⁸
Feminisme politik
juga menyoroti bagaimana hukum dan institusi sering kali memperkuat norma-norma
gender yang diskriminatif. Judith Butler, dalam Gender Trouble, berargumen bahwa
kategori gender adalah konstruksi sosial yang digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan.⁹ Dengan demikian, feminisme membuka ruang untuk mendekonstruksi
konsep-konsep politik tradisional dan menciptakan teori yang lebih inklusif.
7.4.
Kritik terhadap Filsafat Tradisional
Feminisme juga
memberikan kritik tajam terhadap filsafat tradisional yang sering kali bersifat
androcentris, atau berpusat pada laki-laki. Simone de Beauvoir, dalam The
Second Sex, mengkritik filsafat eksistensialis yang mengabaikan
pengalaman perempuan sebagai subjek otonom.¹⁰ Feminisme menantang anggapan
bahwa filsafat
dapat bersifat netral, dengan menunjukkan bahwa banyak teori klasik
mencerminkan pandangan dunia yang patriarkal.¹¹
7.5.
Kontribusi dalam Kajian Interdisipliner
Feminisme telah
memperkaya kajian interdisipliner dengan menjembatani filsafat dengan
bidang lain, seperti sosiologi, studi budaya, dan teori kritis. Feminisme
interseksional, seperti yang dirumuskan oleh Kimberlé Crenshaw, memberikan
kerangka analisis untuk memahami bagaimana identitas-identitas yang saling
berpotongan menciptakan pengalaman unik dari penindasan dan privilese.¹²
Catatan Kaki
[1]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from
Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 120.
[2]
Ibid., 142.
[3]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism
and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988):
581.
[4]
Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature
(Totowa, NJ: Rowman & Littlefield, 1983), 56.
[5]
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1982), 22.
[6]
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and
Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12.
[7]
Ibid., 44.
[8]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 37.
[9]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 25.
[10]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance
Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 11.
[11]
Elizabeth Spelman, Inessential Woman: Problems of Exclusion in
Feminist Thought (Boston: Beacon Press, 1988), 18.
[12]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University
of Chicago Legal Forum 1989, no. 1: 140.
8.
Implikasi dan Relevansi Feminisme di Era
Kontemporer
Feminisme tetap
relevan dan memberikan implikasi yang signifikan di era kontemporer, terutama
dalam merespons tantangan global seperti kesenjangan gender, teknologi,
perubahan iklim, dan advokasi untuk keadilan sosial. Dengan memanfaatkan
pendekatan multidisipliner, feminisme terus berkembang sebagai kerangka
analisis dan gerakan sosial untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan
inklusif.
8.1.
Perjuangan Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender
tetap menjadi isu inti feminisme di era modern. Data dari World Economic Forum
menunjukkan bahwa, pada tahun 2023, kesenjangan gender global masih membutuhkan
lebih dari 130 tahun untuk sepenuhnya tertutup jika tidak ada upaya
signifikan.¹ Feminisme memainkan peran kunci dalam mengadvokasi kebijakan
inklusif, seperti kesetaraan upah, akses terhadap pendidikan, dan hak
reproduksi.²
Gerakan seperti
#MeToo juga telah mengungkap realitas pelecehan seksual secara global,
memberikan dorongan untuk reformasi hukum dan budaya kerja yang lebih aman.³
Advokasi feminisme terhadap keadilan gender mencakup ruang publik dan domestik,
dengan penekanan pada pentingnya membongkar norma-norma sosial yang mendukung
ketidakadilan gender.⁴
8.2.
Feminisme Digital
Di era teknologi,
feminisme digital menjadi salah satu cara utama untuk menyebarkan kesadaran dan
mengorganisasi gerakan.⁵ Media sosial digunakan untuk kampanye seperti #TimesUp
dan #HeForShe, yang menghubungkan individu dan komunitas lintas batas negara.⁶
Namun, feminisme digital juga menghadapi tantangan, termasuk pelecehan daring
yang sering menargetkan perempuan dan aktivis feminis.⁷
Teknologi juga
menjadi bidang baru perjuangan feminis, terutama dalam mengatasi bias algoritma
yang mencerminkan diskriminasi gender. Penelitian menunjukkan bahwa algoritma
kecerdasan buatan sering kali memperkuat stereotip gender, menciptakan
tantangan baru dalam mencapai kesetaraan.⁸
8.3.
Feminisme dan Perubahan Iklim
Feminisme telah
menyoroti hubungan antara gender dan kerentanan terhadap perubahan iklim.
Ecofeminisme, misalnya, mengaitkan eksploitasi lingkungan dengan penindasan
terhadap perempuan, terutama di komunitas miskin yang sangat bergantung pada
sumber daya alam.⁹
Organisasi seperti
UN Women telah menekankan bahwa perempuan sering kali lebih rentan terhadap
dampak perubahan iklim, tetapi mereka juga memiliki peran penting dalam
mitigasi dan adaptasi.¹⁰ Dalam konteks ini, feminisme menyerukan pendekatan
berbasis keadilan iklim yang memperhitungkan perspektif gender.
8.4.
Feminisme di Dunia Kerja dan Ekonomi
Feminisme
kontemporer juga relevan dalam isu-isu ekonomi, termasuk perjuangan melawan
ketidakadilan dalam pasar kerja global.¹¹ Perempuan masih menghadapi diskriminasi
di tempat kerja, seperti kesenjangan upah dan kurangnya representasi dalam
posisi kepemimpinan.¹²
Selain itu,
feminisme mendukung sistem kerja yang lebih fleksibel, termasuk kebijakan cuti
melahirkan dan dukungan untuk pekerjaan domestik yang sering kali tidak
dihargai secara ekonomi.¹³ Feminisme ekonomi juga menyoroti ketidakadilan dalam
sistem ekonomi global yang sering mengeksploitasi perempuan di negara
berkembang.¹⁴
8.5.
Relevansi di Bidang Pendidikan dan Representasi
Dalam pendidikan,
feminisme mendorong revisi kurikulum untuk menghilangkan bias gender dan
memasukkan kontribusi perempuan yang sering kali diabaikan dalam sejarah dan
ilmu pengetahuan.¹⁵ Selain itu, feminisme berjuang untuk meningkatkan
representasi perempuan di bidang-bidang seperti STEM (sains, teknologi, teknik,
dan matematika), yang masih didominasi laki-laki.¹⁶
Di media dan budaya
populer, feminisme menantang representasi perempuan yang stereotipikal,
mendukung narasi yang lebih inklusif dan beragam.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2023,
accessed January 20, 2025, https://www.weforum.org/reports.
[2]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed
Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 56.
[3]
Tarana Burke, “#MeToo: A Movement, Not a Moment,” TEDWomen,
November 2018, https://www.ted.com.
[4]
bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics
(London: Pluto Press, 2000), 32.
[5]
Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal Feminism
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 44.
[6]
Emma Watson, “HeForShe: Gender Equality Is Your Issue Too,” speech,
United Nations, September 20, 2014, https://www.unwomen.org/en.
[7]
Jessica Ringrose et al., “Teen Girls, Sexual Double Standards and
Sexting: Gendered Value in Digital Image Exchange,” Feminist Theory 14, no. 3 (2013):
305.
[8]
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines
Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 98.
[9]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development
(London: Zed Books, 1988), 22.
[10]
UN Women, “Women, Gender Equality and Climate Change,” accessed January
20, 2025, https://www.unwomen.org/en.
[11]
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale:
Women in the International Division of Labour (London: Zed Books,
1986), 102.
[12]
Claudia Goldin, “A Grand Gender Convergence: Its Last Chapter,” American
Economic Review 104, no. 4 (2014): 1091.
[13]
Sylvia Walby, The Future of Feminism (Cambridge:
Polity Press, 2011), 88.
[14]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York:
Anchor Books, 1999), 210.
[15]
Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of
a Modern Debate (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), 45.
[16]
UNESCO, Cracking the Code: Girls' and Women's Education
in STEM, accessed January 20, 2025, https://www.unesco.org.
[17]
Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema,” Screen
16, no. 3 (1975): 6.
9.
Kesimpulan
Feminisme, sebagai sebuah gerakan sosial dan
kerangka filsafat,
telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan kesetaraan gender,
keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebagai salah satu cabang
filsafat, feminisme tidak hanya mengkritik struktur patriarkal yang
mendominasi masyarakat, tetapi juga menawarkan pendekatan baru dalam berbagai
bidang seperti epistemologi,
etika,
dan filsafat
politik.¹
Sejarah feminisme menunjukkan evolusi pemikiran
yang dinamis, mulai dari perjuangan hak-hak dasar pada gelombang pertama hingga
pendekatan interseksional yang menyoroti kompleksitas identitas perempuan pada gelombang ketiga dan keempat.² Feminisme juga menunjukkan
kemampuan untuk beradaptasi dengan tantangan zaman, seperti memanfaatkan
teknologi digital untuk memperluas advokasi dan memperjuangkan keadilan gender
di tingkat global.³
Namun, feminisme juga menghadapi kritik dan
tantangan yang signifikan, baik dari dalam maupun luar gerakan. Perbedaan
ideologi antara berbagai cabang feminisme menunjukkan bahwa tidak ada
pendekatan tunggal dalam memperjuangkan keadilan gender.⁴ Kritik dari
perspektif budaya, agama, dan konservatif menantang feminisme untuk
menyesuaikan pendekatannya dengan konteks lokal tanpa mengorbankan prinsip
universal kesetaraan dan keadilan.⁵
Di era kontemporer, feminisme telah memberikan
dampak yang luas, mulai dari menyoroti ketidakadilan gender dalam teknologi dan
perubahan iklim hingga menantang norma-norma tradisional di dunia kerja dan
pendidikan.⁶ Feminisme telah membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan, baik melalui
advokasi politik, reformasi hukum, maupun representasi di media dan budaya
populer.⁷
Kesimpulannya, feminisme tetap relevan dan esensial
dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Sebagai bagian dari
kajian filsafat,
feminisme mengajarkan pentingnya berpikir kritis terhadap norma-norma yang
dianggap "alami" dan menginspirasi perubahan yang berkelanjutan.
Dengan terus mengintegrasikan perspektif lintas budaya dan mendengarkan suara
dari kelompok yang terpinggirkan, feminisme memiliki potensi untuk menjadi
kekuatan yang transformasional di masa depan.⁸
Catatan Kaki
[1]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?:
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
145.
[2]
Karen Offen, “Defining Feminism: A Comparative
Historical Approach,” Signs 14, no. 1 (1988): 120.
[3]
Catherine Rottenberg, The Rise of Neoliberal
Feminism (Oxford: Oxford University Press, 2018), 56.
[4]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the
Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum 1989,
no. 1: 140.
[5]
Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press,
1999), 22.
[6]
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression:
How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 98.
[7]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From
State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 65.
[8]
Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without
Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham, NC: Duke
University Press, 2003), 72.
Daftar Pustaka
Ahmed, L. (1992). Women and gender in Islam:
Historical roots of a modern debate. New Haven, CT: Yale University Press.
Badran, M. (2009). Feminism in Islam: Secular
and religious convergences. Oxford: Oneworld Publications.
Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C.
Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). New York: Vintage Books.
Burke, T. (2018, November). #MeToo: A movement,
not a moment [TED Talk]. TEDWomen. Retrieved from https://www.ted.com
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. New York: Routledge.
Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the
intersection of race and sex. University of Chicago Legal Forum,
1989(1), 139–167.
Fraser, N. (2013). Fortunes of feminism: From
state-managed capitalism to neoliberal crisis. London: Verso.
Gilligan, C. (1982). In a different voice:
Psychological theory and women’s development. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Harding, S. (1991). Whose science? Whose
knowledge?: Thinking from women’s lives. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Held, V. (2006). The ethics of care: Personal,
political, and global. Oxford: Oxford University Press.
hooks, b. (1984). Feminist theory: From margin
to center. Boston: South End Press.
hooks, b. (2000). Feminism is for everybody:
Passionate politics. London: Pluto Press.
Jaggar, A. M. (1983). Feminist politics and
human nature. Totowa, NJ: Rowman & Littlefield.
Mohanty, C. T. (2003). Feminism without borders:
Decolonizing theory, practicing solidarity. Durham, NC: Duke University
Press.
Mulvey, L. (1975). Visual pleasure and narrative
cinema. Screen, 16(3), 6–18.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression:
How search engines reinforce racism. New York: NYU Press.
Offen, K. (1988). Defining feminism: A comparative
historical approach. Signs: Journal of Women in Culture and Society,
14(1), 119–157.
Rottenberg, C. (2018). The rise of neoliberal
feminism. Oxford: Oxford University Press.
Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology,
and development. London: Zed Books.
Tripp, A. M. (2000). Women and politics in
Uganda. Madison, WI: University of Wisconsin Press.
UN Women. (n.d.). Gender equality and women’s
empowerment. Retrieved January 20, 2025, from https://www.unwomen.org/en
UNESCO. (n.d.). Cracking the code: Girls’ and
women’s education in STEM. Retrieved January 20, 2025, from https://www.unesco.org
Watson, E. (2014, September 20). HeForShe:
Gender equality is your issue too [Speech]. United Nations. Retrieved from https://www.unwomen.org/en
World Economic Forum. (2023). Global gender gap
report 2023. Retrieved January 20, 2025, from https://www.weforum.org/reports
Tidak ada komentar:
Posting Komentar