Sabtu, 18 Januari 2025

Kajian Hadits: HR Muslim dari Abu Said tentang perintah mengubah kemunkaran sesuai kemampuan

KAJIAN HADITS

Takhrij Hadits Dan Penjelasan Isi Kandungannya


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua Belas)

Bab                      : Bab 6 - Amar Makruf Nahi Munkar

Tema Hadits       : HR Muslim dari Abu Said tentang perintah mengubah kemunkaran sesuai kemampuan


Abstrak

Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu pilar utama dalam menjaga moralitas dan tatanan sosial umat Islam. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara komprehensif hadits tersebut melalui pendekatan takhrij, syarah, dan analisis kandungan berdasarkan kitab-kitab hadits induk, tafsir klasik, penjelasan ulama, dan jurnal ilmiah Islami. Hasil kajian menunjukkan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif yang meneguhkan posisi umat Islam sebagai khairu ummah (umat terbaik). Tiga tingkatan perubahan kemungkaran —dengan tangan, lisan, dan hati— menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menghadapi tantangan moral dan sosial sesuai kapasitas individu. Artikel ini juga menekankan pentingnya hikmah dan pertimbangan maslahat-mafsadat dalam pelaksanaan Amar ma’ruf nahi munkar, sehingga relevansi hadits ini tetap kuat dalam konteks modern. Kajian ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah prinsip integral yang tidak hanya memperkuat iman individu, tetapi juga menjadi landasan etika kolektif umat Islam.

Kata Kunci: Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Takhrij Hadits, Syarah Hadits, Hikmah, Relevansi Sosial, Umat Islam.


1.           Pendahuluan

Hadits merupakan salah satu pilar utama dalam syariat Islam setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas, penguat, dan pelengkap wahyu Ilahi. Sebagaimana disepakati oleh para ulama, hadits memiliki peran penting dalam memberikan panduan praktis bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu hadits yang memberikan penekanan kuat pada kewajiban moral dan sosial adalah perintah Amar ma’ruf nahi munkar. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Waki'] dari [Sufyan]. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin al-Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja'far] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] keduanya dari [Qais bin Muslim] dari [Thariq bin Syihab] dan ini adalah hadits Abu Bakar, "Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, "Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan." Kemudian [Abu Said] berkata, Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw, bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Hadits ini menunjukkan urgensi tindakan umat Islam dalam menjaga kemurnian nilai-nilai agama, baik secara personal maupun kolektif. Perintah ini tidak hanya relevan di masa Rasulullah Saw, tetapi juga dalam kehidupan modern, di mana tantangan moral dan sosial semakin kompleks.

1.1.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Pilar Sosial Islam

Secara bahasa, amar ma’ruf nahi munkar berarti “memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan.” Dalam konteks syariat, ia merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang bertujuan menjaga keharmonisan masyarakat Islam. Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim menegaskan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam yang disebutkan dalam Al-Quran:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali ‘Imran [03] ayat 110).1

Ibn Taimiyyah juga menekankan pentingnya Amar ma’ruf nahi munkar sebagai mekanisme kontrol sosial dalam menjaga moralitas dan stabilitas umat. Ia menyebutkan bahwa hilangnya praktik ini akan membawa kehancuran kepada masyarakat.2

1.2.       Pentingnya Hadits dalam Menegaskan Tugas Moral

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri dalam Shahih Muslim memberikan panduan praktis tentang bagaimana seorang Muslim harus bertindak terhadap kemungkaran. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa perubahan kemungkaran yang diajarkan oleh Rasulullah Saw memiliki tiga tingkatan: dengan tangan (kekuatan atau otoritas), dengan lisan (nasihat), dan dengan hati (penolakan batiniah). Setiap tingkatan ini sesuai dengan kemampuan individu dalam menghadapi situasi tertentu.3

1.3.       Relevansi dalam Kehidupan Modern

Konsep Amar ma’ruf nahi munkar memiliki relevansi yang luar biasa dalam kehidupan modern. Dunia saat ini menghadapi berbagai tantangan moral seperti degradasi nilai keluarga, ketidakadilan sosial, dan meningkatnya materialisme. Dalam konteks ini, hadits tersebut memberikan pedoman universal tentang pentingnya kontribusi aktif individu dan masyarakat dalam menjaga kebaikan bersama.

Sebagai Muslim, penting untuk memahami hadits ini secara mendalam agar dapat mengamalkannya sesuai dengan kondisi dan tantangan zaman. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri takhrij dan kandungan hadits tersebut secara komprehensif, merujuk pada kitab-kitab hadits induk, penjelasan ulama, tafsir klasik, dan jurnal ilmiah Islami.


Footnotes

[1]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2 (Riyadh: Dar al-Tayyibah, 1999), 134.

[2]                Ibn Taimiyyah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terjemahan Abdul Hakim (Jakarta: Gema Insani, 2000), 45.

[3]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), 22-24.


2.           Takhrij Hadits

2.1.       Rujukan Hadits dalam Kitab Induk

Hadits yang menjadi fokus pembahasan ini diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri dan tercatat dalam beberapa kitab hadits induk, salah satunya adalah Shahih Muslim. Dalam Shahih Muslim, hadits ini tercantum pada Kitab Al-Iman, Bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Redaksi hadits tersebut berbunyi:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”1

Selain dalam Shahih Muslim, hadits ini juga ditemukan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Musnad Ahmad. Perbedaan dalam redaksi minor muncul pada ungkapan “fabiqalbihi wa dzalika adh’afu al-iman” yang tetap konsisten dalam makna. Hal ini menunjukkan kesepakatan para muhadditsin mengenai otentisitas hadits ini.

2.2.       Sanad Hadits

Sanad hadits ini melalui perawi yang kredibel dan terpercaya. Berikut adalah jalur sanad hadits dalam Shahih Muslim:

1)                  Abu Bakr bin Abi Syaibah – Seorang hafizh terpercaya yang dikenal luas dalam ilmu hadits.2

2)                  Waki’ bin Al-Jarrah – Dikenal sebagai ulama yang jujur dan kuat hafalannya. Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib menyebutnya tsiqah dan hafizh.3

3)                  Sufyan Ats-Tsauri – Imam besar dalam ilmu hadits dan fiqih, sering dipuji oleh para ulama karena kapasitas keilmuannya.4

4)                  Qais bin Muslim – Seorang perawi tsiqah yang dikenal konsisten dalam meriwayatkan hadits.5

5)                  Abu Sa'id Al-Khudri – Sahabat Rasulullah Saw yang meriwayatkan banyak hadits dan dikenal akan kejujurannya.6

Sanad ini menunjukkan kesinambungan yang kuat (ittishal sanad), sehingga hadits ini dinilai shahih oleh para ulama.

2.3.       Derajat Hadits

Hadits ini dinilai shahih berdasarkan kriteria para muhadditsin. Imam Muslim mencantumkannya dalam kitabnya, yang secara otomatis menunjukkan keabsahan hadits. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa hadits ini adalah salah satu fondasi utama dalam pembahasan Amar ma’ruf nahi munkar, mengingat sanadnya yang muttashil dan perawinya tsiqah.7

Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menegaskan bahwa derajat hadits ini tidak diragukan karena perawinya termasuk tokoh-tokoh yang disepakati kredibilitasnya oleh mayoritas ulama jarh wa ta’dil.8

2.4.       Analisis Kritik Sanad

Analisis sanad hadits ini menunjukkan tidak adanya kelemahan dalam rantai periwayatan. Para perawi dikenal terpercaya (tsiqat), dan tidak ditemukan adanya indikasi interupsi sanad (inqitha’). Keterlibatan para ulama besar dalam periwayatannya juga memperkuat keabsahan hadits ini. Dengan demikian, hadits ini menjadi landasan utama dalam pembahasan konsep Amar ma’ruf nahi munkar.


Footnotes

[1]                Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, Kitab Al-Iman, Bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Riyadh: Darussalam, 2000), no. 49.

[2]                Abu Hatim Al-Razi, Al-Jarh wa Ta’dil, jilid 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 395.

[3]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib, jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 345.

[4]                Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, jilid 7 (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1993), 229.

[5]                Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa Ta’dil, jilid 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 150.

[6]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz As-Sahabah, jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 52.

[7]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), 21.

[8]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari, jilid 1 (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 343.


3.           Syarah dan Penjelasan Makna Hadits

3.1.       Konteks Historis Hadits

Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri merupakan salah satu perintah universal Rasulullah Saw untuk menjaga stabilitas moral masyarakat Islam. Dalam konteks sejarah, hadits ini muncul sebagai respons terhadap pentingnya umat Islam mengambil tanggung jawab dalam menegakkan kebaikan dan menghapuskan keburukan. Abu Sa'id Al-Khudri menyaksikan banyak perubahan sosial pasca wafatnya Rasulullah Saw, termasuk penyimpangan dalam praktik keagamaan oleh penguasa, seperti yang dilakukan oleh Marwan bin Al-Hakam, sebagaimana diceritakan dalam riwayat ini. Oleh karena itu, hadits ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga kontekstual, mengingat kondisi sosial-politik umat Islam pada saat itu.1

3.2.       Penjelasan Makna Hadits

Hadits ini memberikan panduan tiga tingkatan dalam menangani kemungkaran, yang masing-masing memiliki implikasi dan batasannya:

1)                  Mengubah dengan Tangan (Tindakan Fisik atau Kekuasaan)

Perintah pertama adalah mengubah kemungkaran dengan tangan. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa tindakan ini menjadi kewajiban bagi pemimpin atau otoritas yang memiliki kekuasaan. Contohnya adalah seorang pemimpin negara yang dapat menggunakan hukum untuk menegakkan keadilan dan melarang kemungkaran.2 Namun, bagi individu tanpa otoritas, tindakan ini terbatas pada ruang lingkup yang tidak menyebabkan kerusakan atau ketidakadilan yang lebih besar.

2)                  Mengubah dengan Lisan (Nasihat dan Penyampaian Ilmu)

Tingkatan kedua adalah mencegah kemungkaran dengan lisan, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim jika ia tidak mampu melakukannya dengan tindakan. Ibn Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam menekankan pentingnya hikmah dalam menyampaikan nasihat. Rasulullah Saw mengajarkan agar nasihat diberikan dengan penuh kelembutan dan pengertian, sebagaimana dicontohkan kepada umatnya.3

3)                  Mengubah dengan Hati (Penolakan Batiniah)

Tingkatan terakhir adalah menolak kemungkaran dengan hati, yang menjadi pilihan terakhir jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk bertindak atau berbicara. Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa ini adalah bentuk iman yang paling rendah, tetapi tetap menunjukkan bahwa hati seorang Muslim harus terikat pada prinsip kebenaran.4

3.3.       Hikmah dan Aplikasi Hadits

Hadits ini memiliki hikmah yang luas, baik dalam tataran individu maupun kolektif:

1)                  Tanggung Jawab Sosial

Amar ma’ruf nahi munkar menegaskan bahwa umat Islam bertanggung jawab menjaga moral masyarakat. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa keberadaan umat yang menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar merupakan syarat bagi keberlangsungan umat Islam yang kuat.5

2)                  Relevansi dalam Konteks Modern

Hadits ini tetap relevan dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti ketidakadilan, korupsi, dan kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, gerakan masyarakat sipil yang menentang kemungkaran dalam bentuk korupsi merupakan implementasi dari prinsip ini.

3)                  Pendekatan Bertahap

Hadits ini mengajarkan pendekatan bertahap dalam menyikapi kemungkaran, mulai dari tindakan, nasihat, hingga hati. Hal ini mencerminkan fleksibilitas ajaran Islam yang mempertimbangkan kemampuan dan situasi individu.

3.4.       Kelembutan dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Dalam menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar, Islam menekankan pentingnya kelembutan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).6

Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini sebagai panduan untuk menyampaikan kebenaran tanpa kekerasan, sehingga penerima dapat memahami dan menerimanya dengan baik.7


Footnotes

[1]                Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, Kitab Al-Iman, Bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Riyadh: Darussalam, 2000), no. 49.

[2]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), 22.

[3]                Ibn Rajab Al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (Riyadh: Darussalam, 2001), 145.

[4]                Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari, jilid 1 (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 343.

[5]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, jilid 1 (Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 113.

[6]                QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[7]                Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 221.


4.           Kandungan dan Tafsir Hadits

4.1.       Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Al-Quran

Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar berakar kuat dalam ajaran Al-Quran. Konsep ini ditegaskan dalam beberapa ayat, seperti firman Allah:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali 'Imran [03] ayat 110).1

Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim menjelaskan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah ciri utama umat Islam yang membedakannya dari umat lainnya. Menurutnya, perintah ini melibatkan kewajiban untuk menegakkan kebaikan sesuai syariat Allah dan melarang segala bentuk kemungkaran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.2

Ayat lain yang relevan adalah QS. Al-Hajj [22] ayat 41:

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”

Ayat ini menggarisbawahi bahwa tugas Amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian dari misi kepemimpinan seorang Muslim, baik dalam kapasitas individu maupun kolektif. Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini sebagai landasan untuk mewujudkan keadilan sosial dan melindungi masyarakat dari kerusakan moral.3

4.2.       Perspektif Ulama terhadap Hadits

Hadits ini memiliki kedudukan penting dalam Islam, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama hadits dan fiqih. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa hadits ini merupakan fondasi utama dalam membangun masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai kebaikan. Beliau menjelaskan bahwa kewajiban ini dibagi menjadi tiga tingkatan sesuai kemampuan individu: tangan (kekuasaan), lisan (nasihat), dan hati (penolakan batiniah). Ketiganya mencerminkan fleksibilitas Islam dalam mengakomodasi situasi dan kondisi umat.4

Ibn Taimiyyah dalam Amar Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar menyatakan bahwa tugas ini harus dilakukan dengan hikmah dan kelembutan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Menurutnya, Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada manfaatnya.5

4.3.       Analisis Kandungan Hadits

Hadits ini mengandung beberapa pelajaran penting, baik secara teologis maupun sosial:

1)                  Pilar Ketakwaan dalam Islam

Amar ma’ruf nahi munkar adalah manifestasi nyata dari ketakwaan seorang Muslim. Ia mencerminkan kepedulian terhadap kemaslahatan umum dan penolakan terhadap kebatilan. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut Amar ma’ruf nahi munkar sebagai tugas suci yang menjaga agama dan masyarakat dari kerusakan.6

2)                  Tanggung Jawab Sosial Kolektif

Hadits ini mengajarkan pentingnya peran kolektif dalam membangun masyarakat yang harmonis. Hal ini ditegaskan oleh Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, di mana ia menjelaskan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang harus dilakukan secara kolektif oleh umat Islam untuk menjaga stabilitas dan moralitas masyarakat.7

3)                  Tahapan Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

a.         Tindakan dengan tangan:

Dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas atau kekuasaan, seperti pemimpin.

b.        Tindakan dengan lisan:

Melalui nasihat, ceramah, atau diskusi untuk menyadarkan individu atau kelompok.

c.         Tindakan dengan hati:

Penolakan batiniah terhadap keburukan yang tidak mampu diubah secara langsung. Ini dianggap sebagai tingkatan iman yang paling lemah, tetapi tetap memiliki nilai spiritual yang signifikan.8

Tafsir dan Implikasi Sosial Hadits

Hadits ini memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan umat Islam:

1)                  Membangun Kesadaran Moral

Amar ma’ruf nahi munkar mendorong setiap Muslim untuk mengambil peran aktif dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Ini relevan dalam menghadapi tantangan seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan.

2)                  Prinsip Kebijaksanaan dan Kelembutan

Islam mengajarkan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan hikmah, sebagaimana firman Allah:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).9

Tafsir Al-Baghawi menyatakan bahwa hikmah dalam ayat ini mencakup penggunaan metode yang sesuai dengan situasi, baik melalui nasihat yang lembut maupun teguran tegas jika diperlukan.10

3)                  Mencegah Kerusakan Lebih Besar

Ibn Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in menekankan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadat. Jika tindakan tersebut berpotensi menyebabkan kerusakan yang lebih besar, maka meninggalkannya dapat menjadi pilihan yang lebih bijak.11


Footnotes

[1]                QS. Ali 'Imran [03] ayat 110.

[2]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2 (Riyadh: Dar al-Tayyibah, 1999), 134.

[3]                Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 211.

[4]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), 22-24.

[5]                Ibn Taimiyyah, Amar Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar, terjemahan Abdul Hakim (Jakarta: Gema Insani, 2000), 45.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 303.

[7]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, jilid 1 (Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 113.

[8]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 22.

[9]                QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[10]             Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, jilid 3 (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1997), 231.

[11]             Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 255.


5.           Kesimpulan

Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri merupakan salah satu landasan fundamental dalam menjaga moralitas individu dan masyarakat Islam. Dalam hadits ini, Rasulullah Saw memberikan panduan yang komprehensif tentang cara seorang Muslim menghadapi kemungkaran, dengan tiga tingkatan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing: tangan (otoritas), lisan (nasihat), dan hati (penolakan batin). Ketiga tingkatan ini mencerminkan keluwesan ajaran Islam dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi.

5.1.       Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar adalah inti dari ajaran Islam yang mendukung terciptanya masyarakat yang harmonis dan berlandaskan nilai-nilai kebenaran. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali 'Imran [03] ayat 110, umat Islam disebut sebagai "umat terbaik" karena peran aktif mereka dalam menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan.1 Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan panggilan universal bagi umat Islam untuk menjadi teladan moral bagi seluruh umat manusia.2

5.2.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Tugas Kolektif

Hadits ini juga menekankan bahwa tanggung jawab untuk menjaga tatanan sosial bukanlah beban individu semata, melainkan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kehancuran moral. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa tugas ini memerlukan kerjasama antara individu dan institusi dalam menegakkan kebaikan di berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan budaya.3

5.3.       Prinsip Hikmah dalam Pelaksanaan

Islam mengajarkan bahwa pelaksanaan Amar ma’ruf nahi munkar harus didasari oleh hikmah dan kasih sayang. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nahl [16] ayat 125 yang menekankan pentingnya menyeru manusia kepada kebaikan dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan cara yang bijaksana. Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini sebagai pedoman agar dakwah dilakukan tanpa kekerasan dan dengan memahami situasi yang dihadapi oleh objek dakwah.4

5.4.       Relevansi dalam Konteks Modern

Konsep ini memiliki relevansi luar biasa dalam menghadapi tantangan zaman modern, seperti ketidakadilan sosial, degradasi moral, dan krisis lingkungan. Ibn Taimiyyah dalam Amar Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar menegaskan bahwa umat Islam harus terus menjalankan tugas ini dengan memperhatikan prinsip-prinsip maslahat dan mafsadat, sehingga tindakan yang dilakukan tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar.5 Dengan kata lain, Amar ma’ruf nahi munkar adalah mekanisme yang dinamis dan fleksibel, yang dapat diterapkan di berbagai konteks zaman.

5.5.       Nilai Spiritual dan Iman

Hadits ini juga menegaskan bahwa iman seorang Muslim memiliki dimensi sosial yang tidak dapat diabaikan. Bahkan pada tingkatan terendah, yaitu mencegah kemungkaran dengan hati, hal ini tetap mencerminkan penolakan terhadap kebatilan. Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa tingkatan ini menunjukkan hubungan yang erat antara iman dan kepekaan moral seorang Muslim terhadap lingkungan sosialnya.6

Penutup

Secara keseluruhan, hadits ini memberikan arahan strategis dalam membangun tatanan masyarakat Islam yang berlandaskan kebaikan dan keadilan. Umat Islam perlu memahami dan mengamalkan hadits ini secara bijak, dengan menyesuaikan pendekatan Amar ma’ruf nahi munkar pada kondisi dan tantangan yang ada. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya menjaga integritas pribadi, tetapi juga turut berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih baik dan beradab.


Footnotes

[1]                QS. Ali 'Imran [03] ayat 110.

[2]                Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2 (Riyadh: Dar al-Tayyibah, 1999), 134.

[3]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, jilid 1 (Cairo: Dar al-Hadith, 2006), 113.

[4]                Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 221.

[5]                Ibn Taimiyyah, Amar Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar, terjemahan Abdul Hakim (Jakarta: Gema Insani, 2000), 45.

[6]                Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari, jilid 1 (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 343.


Daftar Pustaka

Al-Baghawi. (1997). Ma’alim at-Tanzil. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi.

Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulumuddin (Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Mawardi. (2006). Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Vol. 1). Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Qurtubi. (2006). Tafsir Al-Qurtubi (Vol. 10). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Hajar Al-Asqalani. (1959). Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari (Vol. 1). Cairo: Dar al-Ma’rifah.

Ibn Hajar Al-Asqalani. (1997). Taqrib At-Tahdzib (Vol. 2). Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Katsir. (1999). Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Vol. 2). Riyadh: Dar al-Tayyibah.

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah. (2002). I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ibn Rajab Al-Hanbali. (2001). Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Riyadh: Darussalam.

Ibn Taimiyyah. (2000). Amar Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar (Trans. Abdul Hakim). Jakarta: Gema Insani.

Imam Muslim. (2000). Shahih Muslim (Vol. 1). Riyadh: Darussalam.

Imam Nawawi. (1972). Syarh Shahih Muslim (Vol. 2). Beirut: Dar al-Ma’rifah.

QS. Ali 'Imran [03] ayat 110. Al-Qur'an.

QS. An-Nahl [16] ayat 125. Al-Qur'an.

QS. Al-Hajj [22] ayat 41. Al-Qur'an.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar