KAJIAN HADITS
Takhrij Hadits Dan
Penjelasan Isi Kandungannya
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 12 (Dua
Belas)
Bab : Bab 6 - Amar Makruf Nahi Munkar
Tema Hadits : HR Muslim dari
Abu Said tentang perintah mengubah kemunkaran sesuai kemampuan
Abstrak
Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar merupakan
salah satu pilar utama dalam menjaga moralitas dan tatanan sosial umat Islam.
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara komprehensif hadits tersebut
melalui pendekatan takhrij, syarah, dan analisis kandungan berdasarkan
kitab-kitab hadits induk, tafsir klasik, penjelasan ulama, dan jurnal ilmiah
Islami. Hasil kajian menunjukkan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah
kewajiban kolektif yang meneguhkan posisi umat Islam sebagai khairu ummah
(umat terbaik). Tiga tingkatan perubahan kemungkaran —dengan tangan, lisan, dan
hati— menunjukkan fleksibilitas ajaran Islam dalam menghadapi tantangan moral
dan sosial sesuai kapasitas individu. Artikel ini juga menekankan pentingnya
hikmah dan pertimbangan maslahat-mafsadat dalam pelaksanaan Amar ma’ruf nahi munkar,
sehingga relevansi hadits ini tetap kuat dalam konteks modern. Kajian ini
diakhiri dengan kesimpulan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah prinsip
integral yang tidak hanya memperkuat iman individu, tetapi juga menjadi
landasan etika kolektif umat Islam.
Kata Kunci: Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, Takhrij
Hadits, Syarah Hadits, Hikmah,
Relevansi Sosial, Umat Islam.
1.
Pendahuluan
Hadits merupakan
salah satu pilar utama dalam syariat Islam setelah Al-Quran. Ia berfungsi
sebagai penjelas, penguat, dan pelengkap wahyu Ilahi. Sebagaimana disepakati
oleh para ulama, hadits memiliki peran penting dalam memberikan panduan praktis
bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu hadits yang
memberikan penekanan kuat pada kewajiban moral dan sosial adalah perintah Amar ma’ruf nahi munkar. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw bersabda:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ
شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ
يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ
الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو
سَعِيْدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
Telah menceritakan
kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Waki']
dari [Sufyan]. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada
kami [Muhammad bin al-Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin
Ja'far] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] keduanya dari [Qais bin
Muslim] dari [Thariq bin Syihab] dan ini adalah hadits Abu Bakar, "Orang
pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah
Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, "Shalat Hari
Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh,
apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan." Kemudian [Abu
Said] berkata, Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang
pernah aku dengar dari Rasulullah Saw, bersabda: “Barang
siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak
mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Hadits ini
menunjukkan urgensi tindakan umat Islam dalam menjaga kemurnian nilai-nilai
agama, baik secara personal maupun kolektif. Perintah ini tidak hanya relevan di masa Rasulullah Saw,
tetapi juga dalam kehidupan modern, di mana tantangan moral dan sosial semakin
kompleks.
1.1. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
sebagai Pilar Sosial Islam
Secara bahasa, amar
ma’ruf nahi munkar berarti “memerintahkan kebaikan dan mencegah
keburukan.” Dalam konteks syariat, ia merupakan kewajiban kolektif (fardhu
kifayah) yang bertujuan menjaga keharmonisan masyarakat Islam. Ibn Katsir dalam Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim menegaskan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah
ciri khas umat Islam yang disebutkan dalam Al-Quran:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali ‘Imran [03] ayat
110).1
Ibn Taimiyyah juga
menekankan pentingnya Amar ma’ruf nahi munkar sebagai mekanisme kontrol sosial
dalam menjaga moralitas dan stabilitas umat. Ia menyebutkan bahwa hilangnya praktik ini akan membawa kehancuran
kepada masyarakat.2
1.2.
Pentingnya Hadits dalam Menegaskan Tugas Moral
Hadits yang
diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri dalam Shahih Muslim memberikan panduan
praktis tentang bagaimana seorang Muslim harus bertindak terhadap kemungkaran.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan
bahwa perubahan kemungkaran yang diajarkan oleh Rasulullah Saw memiliki tiga tingkatan: dengan tangan
(kekuatan atau otoritas), dengan lisan (nasihat), dan dengan hati (penolakan
batiniah). Setiap tingkatan ini sesuai dengan kemampuan individu dalam
menghadapi situasi tertentu.3
1.3.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Konsep Amar ma’ruf nahi munkar memiliki relevansi yang luar biasa dalam kehidupan modern. Dunia
saat ini menghadapi berbagai tantangan moral seperti degradasi nilai keluarga,
ketidakadilan sosial, dan meningkatnya materialisme.
Dalam konteks ini, hadits tersebut memberikan pedoman universal tentang
pentingnya kontribusi aktif individu dan masyarakat dalam menjaga kebaikan
bersama.
Sebagai Muslim,
penting untuk memahami hadits ini secara mendalam agar dapat mengamalkannya
sesuai dengan kondisi dan tantangan zaman. Artikel ini bertujuan untuk
menelusuri takhrij dan kandungan hadits tersebut secara komprehensif, merujuk
pada kitab-kitab hadits induk, penjelasan ulama, tafsir klasik, dan jurnal
ilmiah Islami.
Footnotes
[1]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azim, jilid 2 (Riyadh: Dar
al-Tayyibah, 1999), 134.
[2]
Ibn Taimiyyah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terjemahan Abdul Hakim (Jakarta: Gema Insani, 2000),
45.
[3]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), 22-24.
2.
Takhrij Hadits
2.1.
Rujukan Hadits dalam Kitab Induk
Hadits yang menjadi
fokus pembahasan ini diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri dan tercatat dalam beberapa kitab hadits induk, salah
satunya adalah Shahih Muslim. Dalam Shahih
Muslim, hadits ini tercantum pada Kitab Al-Iman, Bab Amar Ma’ruf
Nahi Munkar. Redaksi hadits tersebut berbunyi:
“Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak
mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu
adalah selemah-lemahnya iman.”1
Selain dalam Shahih
Muslim, hadits ini juga ditemukan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan
At-Tirmidzi, dan Musnad Ahmad. Perbedaan dalam
redaksi minor muncul pada ungkapan “fabiqalbihi wa dzalika adh’afu al-iman”
yang tetap konsisten dalam makna. Hal
ini menunjukkan kesepakatan para muhadditsin mengenai otentisitas hadits ini.
2.2.
Sanad Hadits
Sanad hadits ini melalui
perawi yang kredibel dan terpercaya. Berikut adalah jalur sanad hadits dalam Shahih
Muslim:
1)
Abu Bakr
bin Abi Syaibah – Seorang hafizh terpercaya yang dikenal luas
dalam ilmu hadits.2
2)
Waki’
bin Al-Jarrah – Dikenal sebagai ulama yang jujur dan kuat
hafalannya. Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib menyebutnya
tsiqah dan hafizh.3
3)
Sufyan
Ats-Tsauri – Imam besar dalam ilmu hadits dan fiqih, sering
dipuji oleh para ulama karena kapasitas keilmuannya.4
4)
Qais bin
Muslim – Seorang perawi tsiqah yang dikenal konsisten dalam
meriwayatkan hadits.5
5)
Abu
Sa'id Al-Khudri – Sahabat Rasulullah Saw yang meriwayatkan
banyak hadits dan dikenal akan kejujurannya.6
Sanad ini menunjukkan kesinambungan yang kuat (ittishal
sanad), sehingga hadits ini dinilai shahih oleh para ulama.
2.3.
Derajat Hadits
Hadits ini dinilai
shahih berdasarkan kriteria para muhadditsin. Imam Muslim mencantumkannya dalam
kitabnya, yang secara otomatis menunjukkan keabsahan hadits. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan
bahwa hadits ini adalah salah satu fondasi utama dalam pembahasan Amar ma’ruf nahi munkar, mengingat sanadnya yang muttashil dan perawinya tsiqah.7
Ibnu Hajar
Al-Asqalani juga menegaskan bahwa
derajat hadits ini tidak diragukan karena perawinya termasuk tokoh-tokoh yang
disepakati kredibilitasnya oleh mayoritas ulama jarh wa ta’dil.8
2.4.
Analisis Kritik Sanad
Analisis sanad
hadits ini menunjukkan tidak adanya kelemahan dalam rantai periwayatan. Para
perawi dikenal terpercaya (tsiqat), dan tidak ditemukan adanya
indikasi interupsi sanad (inqitha’). Keterlibatan para ulama
besar dalam periwayatannya juga
memperkuat keabsahan hadits ini. Dengan demikian, hadits ini menjadi landasan
utama dalam pembahasan konsep Amar ma’ruf nahi munkar.
Footnotes
[1]
Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, Kitab Al-Iman, Bab Amar
Ma’ruf Nahi Munkar (Riyadh: Darussalam, 2000), no. 49.
[2]
Abu Hatim Al-Razi, Al-Jarh wa Ta’dil, jilid 8 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 395.
[3]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib, jilid 2 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), 345.
[4]
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, jilid 7 (Beirut:
Muassasah Ar-Risalah, 1993), 229.
[5]
Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wa Ta’dil, jilid 7 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 150.
[6]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz As-Sahabah, jilid
4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 52.
[7]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1972), 21.
[8]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari,
jilid 1 (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 343.
3.
Syarah dan
Penjelasan Makna Hadits
3.1.
Konteks Historis Hadits
Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri
merupakan salah satu perintah universal Rasulullah Saw untuk menjaga stabilitas moral masyarakat Islam. Dalam
konteks sejarah, hadits ini muncul sebagai respons terhadap pentingnya umat
Islam mengambil tanggung jawab dalam menegakkan kebaikan dan menghapuskan
keburukan. Abu Sa'id Al-Khudri menyaksikan banyak perubahan sosial pasca
wafatnya Rasulullah Saw, termasuk penyimpangan dalam praktik keagamaan oleh
penguasa, seperti yang dilakukan oleh Marwan bin Al-Hakam, sebagaimana
diceritakan dalam riwayat ini. Oleh karena itu, hadits ini tidak hanya bersifat
normatif, tetapi juga kontekstual, mengingat kondisi sosial-politik umat Islam
pada saat itu.1
3.2.
Penjelasan Makna Hadits
Hadits ini
memberikan panduan tiga tingkatan dalam menangani kemungkaran, yang
masing-masing memiliki implikasi dan batasannya:
1)
Mengubah dengan Tangan
(Tindakan Fisik atau Kekuasaan)
Perintah pertama adalah mengubah kemungkaran
dengan tangan. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa
tindakan ini menjadi kewajiban bagi pemimpin atau otoritas yang memiliki
kekuasaan. Contohnya adalah seorang pemimpin negara yang dapat menggunakan
hukum untuk menegakkan keadilan dan melarang kemungkaran.2
Namun, bagi individu tanpa otoritas, tindakan ini terbatas pada ruang lingkup
yang tidak menyebabkan kerusakan atau ketidakadilan yang lebih besar.
2)
Mengubah dengan Lisan
(Nasihat dan Penyampaian Ilmu)
Tingkatan kedua adalah mencegah kemungkaran
dengan lisan, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim jika ia tidak mampu
melakukannya dengan tindakan. Ibn Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam menekankan pentingnya hikmah dalam menyampaikan nasihat.
Rasulullah Saw mengajarkan agar nasihat diberikan dengan penuh kelembutan dan
pengertian, sebagaimana dicontohkan kepada umatnya.3
3)
Mengubah dengan Hati
(Penolakan Batiniah)
Tingkatan terakhir adalah menolak kemungkaran
dengan hati, yang menjadi pilihan terakhir jika seseorang tidak memiliki
kemampuan untuk bertindak atau berbicara. Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul
Bari menyebutkan bahwa ini adalah bentuk iman yang paling rendah, tetapi
tetap menunjukkan bahwa hati seorang Muslim harus terikat pada prinsip
kebenaran.4
3.3.
Hikmah dan Aplikasi Hadits
Hadits ini memiliki
hikmah yang luas, baik dalam tataran individu maupun kolektif:
1)
Tanggung Jawab Sosial
Amar ma’ruf nahi munkar menegaskan bahwa umat
Islam bertanggung jawab menjaga moral masyarakat. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa keberadaan umat yang menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar merupakan syarat bagi keberlangsungan umat Islam yang kuat.5
2)
Relevansi dalam Konteks
Modern
Hadits ini tetap relevan dalam menghadapi isu-isu
kontemporer seperti ketidakadilan, korupsi, dan kerusakan lingkungan. Sebagai
contoh, gerakan masyarakat sipil yang menentang kemungkaran dalam bentuk
korupsi merupakan implementasi dari prinsip ini.
3)
Pendekatan Bertahap
Hadits ini mengajarkan pendekatan bertahap dalam
menyikapi kemungkaran, mulai dari tindakan, nasihat, hingga hati. Hal ini
mencerminkan fleksibilitas ajaran Islam yang mempertimbangkan kemampuan dan
situasi individu.
3.4.
Kelembutan dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar, Islam menekankan pentingnya kelembutan. Sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).6
Al-Qurtubi dalam Tafsir
Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini sebagai panduan untuk menyampaikan kebenaran tanpa kekerasan,
sehingga penerima dapat memahami dan menerimanya dengan baik.7
Footnotes
[1]
Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, Kitab Al-Iman, Bab Amar
Ma’ruf Nahi Munkar (Riyadh: Darussalam, 2000), no. 49.
[2]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1972), 22.
[3]
Ibn Rajab Al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (Riyadh:
Darussalam, 2001), 145.
[4]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari,
jilid 1 (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 343.
[5]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, jilid 1 (Cairo: Dar
al-Hadith, 2006), 113.
[6]
QS. An-Nahl [16] ayat 125.
[7]
Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2006), 221.
4.
Kandungan dan Tafsir
Hadits
4.1.
Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Al-Quran
Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar berakar kuat dalam ajaran Al-Quran. Konsep ini
ditegaskan dalam beberapa
ayat, seperti firman Allah:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (QS. Ali 'Imran [03] ayat 110).1
Ibn Katsir dalam Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim menjelaskan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah
ciri utama umat Islam yang membedakannya dari umat lainnya. Menurutnya,
perintah ini melibatkan kewajiban untuk menegakkan kebaikan sesuai syariat
Allah dan melarang segala
bentuk kemungkaran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.2
Ayat lain yang relevan adalah QS. Al-Hajj [22] ayat 41:
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.”
Ayat ini
menggarisbawahi bahwa tugas Amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian dari misi
kepemimpinan seorang Muslim, baik dalam kapasitas individu maupun kolektif.
Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini sebagai landasan untuk mewujudkan keadilan sosial dan melindungi masyarakat dari
kerusakan moral.3
4.2.
Perspektif Ulama terhadap Hadits
Hadits ini memiliki
kedudukan penting dalam Islam, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama hadits
dan fiqih. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan
bahwa hadits ini merupakan fondasi utama dalam membangun masyarakat yang
berbasis pada nilai-nilai kebaikan. Beliau menjelaskan bahwa kewajiban ini dibagi menjadi tiga tingkatan
sesuai kemampuan individu: tangan (kekuasaan), lisan (nasihat), dan hati
(penolakan batiniah). Ketiganya mencerminkan fleksibilitas Islam dalam
mengakomodasi situasi dan kondisi umat.4
Ibn Taimiyyah dalam Amar
Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar menyatakan bahwa tugas ini harus
dilakukan dengan hikmah dan kelembutan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah
Saw. Menurutnya, Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan yang
lebih besar daripada manfaatnya.5
4.3.
Analisis Kandungan Hadits
Hadits ini
mengandung beberapa pelajaran penting, baik secara teologis maupun sosial:
1)
Pilar Ketakwaan dalam
Islam
Amar ma’ruf nahi munkar adalah manifestasi nyata
dari ketakwaan seorang Muslim. Ia mencerminkan kepedulian terhadap kemaslahatan
umum dan penolakan terhadap kebatilan. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
menyebut Amar ma’ruf nahi munkar sebagai tugas suci yang menjaga agama dan
masyarakat dari kerusakan.6
2)
Tanggung Jawab Sosial
Kolektif
Hadits ini mengajarkan pentingnya peran kolektif
dalam membangun masyarakat yang harmonis. Hal ini ditegaskan oleh Al-Mawardi
dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, di mana ia menjelaskan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang harus dilakukan secara kolektif oleh
umat Islam untuk menjaga stabilitas dan moralitas masyarakat.7
3)
Tahapan Penerapan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
a.
Tindakan dengan tangan:
Dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas atau
kekuasaan, seperti pemimpin.
b.
Tindakan dengan lisan:
Melalui nasihat, ceramah, atau diskusi untuk
menyadarkan individu atau kelompok.
c.
Tindakan dengan hati:
Penolakan batiniah terhadap keburukan yang tidak
mampu diubah secara langsung. Ini dianggap sebagai tingkatan iman yang paling
lemah, tetapi tetap memiliki nilai spiritual yang signifikan.8
Tafsir dan Implikasi Sosial Hadits
Hadits ini memiliki
implikasi yang luas dalam kehidupan umat Islam:
1)
Membangun Kesadaran Moral
Amar ma’ruf nahi munkar mendorong setiap Muslim
untuk mengambil peran aktif dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Ini
relevan dalam menghadapi tantangan seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan
kerusakan lingkungan.
2)
Prinsip Kebijaksanaan dan
Kelembutan
Islam mengajarkan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan hikmah, sebagaimana firman Allah:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).9
Tafsir Al-Baghawi menyatakan bahwa hikmah dalam
ayat ini mencakup penggunaan metode yang sesuai dengan situasi, baik melalui
nasihat yang lembut maupun teguran tegas jika diperlukan.10
3)
Mencegah Kerusakan Lebih
Besar
Ibn Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in
menekankan bahwa Amar ma’ruf nahi munkar harus mempertimbangkan maslahat dan
mafsadat. Jika tindakan tersebut berpotensi menyebabkan kerusakan yang lebih
besar, maka meninggalkannya dapat menjadi pilihan yang lebih bijak.11
Footnotes
[1]
QS. Ali 'Imran [03] ayat 110.
[2]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2 (Riyadh: Dar
al-Tayyibah, 1999), 134.
[3]
Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2006), 211.
[4]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid 2 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1972), 22-24.
[5]
Ibn Taimiyyah, Amar Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar, terjemahan
Abdul Hakim (Jakarta: Gema Insani, 2000), 45.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2005), 303.
[7]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, jilid 1 (Cairo: Dar
al-Hadith, 2006), 113.
[8]
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 22.
[9]
QS. An-Nahl [16] ayat 125.
[10]
Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, jilid 3 (Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-Arabi, 1997), 231.
[11]
Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, jilid 2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 255.
5.
Kesimpulan
Hadits tentang Amar ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri
merupakan salah satu landasan fundamental dalam menjaga moralitas individu dan
masyarakat Islam. Dalam hadits ini, Rasulullah Saw memberikan panduan yang
komprehensif tentang cara seorang Muslim menghadapi kemungkaran, dengan tiga
tingkatan yang disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing: tangan (otoritas), lisan (nasihat), dan hati (penolakan batin).
Ketiga tingkatan ini mencerminkan keluwesan ajaran Islam dalam menghadapi
berbagai situasi dan kondisi.
5.1.
Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah inti dari ajaran Islam yang mendukung terciptanya masyarakat yang
harmonis dan berlandaskan nilai-nilai kebenaran. Sebagaimana ditegaskan dalam
QS. Ali 'Imran [03] ayat 110, umat Islam disebut sebagai "umat terbaik" karena peran aktif
mereka dalam menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan.1
Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat
ini merupakan panggilan universal bagi umat Islam untuk menjadi teladan moral
bagi seluruh umat manusia.2
5.2.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Tugas Kolektif
Hadits ini juga
menekankan bahwa tanggung jawab untuk menjaga tatanan sosial bukanlah beban
individu semata, melainkan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari kehancuran moral. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa tugas ini memerlukan kerjasama
antara individu dan institusi dalam menegakkan kebaikan di berbagai aspek
kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan budaya.3
5.3.
Prinsip Hikmah dalam Pelaksanaan
Islam mengajarkan
bahwa pelaksanaan Amar ma’ruf nahi munkar harus didasari oleh hikmah dan kasih
sayang. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nahl [16] ayat 125 yang menekankan
pentingnya menyeru manusia kepada kebaikan dengan hikmah, pelajaran yang baik,
dan cara yang bijaksana. Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini sebagai pedoman agar
dakwah dilakukan tanpa kekerasan dan dengan memahami situasi yang dihadapi oleh
objek dakwah.4
5.4.
Relevansi dalam Konteks Modern
Konsep ini memiliki
relevansi luar biasa dalam menghadapi tantangan zaman modern, seperti
ketidakadilan sosial, degradasi moral, dan krisis lingkungan. Ibn Taimiyyah
dalam Amar
Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Munkar menegaskan bahwa umat Islam harus terus
menjalankan tugas ini dengan memperhatikan prinsip-prinsip maslahat dan
mafsadat, sehingga tindakan yang dilakukan tidak menyebabkan kerusakan yang
lebih besar.5
Dengan kata lain, Amar ma’ruf nahi munkar adalah mekanisme yang dinamis dan
fleksibel, yang dapat diterapkan di berbagai konteks zaman.
5.5.
Nilai Spiritual dan Iman
Hadits ini juga
menegaskan bahwa iman seorang Muslim memiliki dimensi sosial yang tidak dapat
diabaikan. Bahkan pada tingkatan terendah, yaitu mencegah kemungkaran dengan
hati, hal ini tetap mencerminkan penolakan terhadap kebatilan. Ibn Hajar
Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa
tingkatan ini menunjukkan hubungan yang erat antara iman dan kepekaan moral
seorang Muslim terhadap lingkungan sosialnya.6
Penutup
Secara keseluruhan,
hadits ini memberikan arahan strategis dalam membangun tatanan masyarakat Islam
yang berlandaskan kebaikan dan keadilan. Umat Islam perlu memahami dan
mengamalkan hadits ini secara bijak, dengan menyesuaikan pendekatan Amar ma’ruf nahi munkar pada kondisi dan tantangan yang ada. Dengan demikian, umat Islam
tidak hanya menjaga integritas pribadi, tetapi juga turut berkontribusi dalam
menciptakan dunia yang lebih baik dan beradab.
Footnotes
[1]
QS. Ali 'Imran [03] ayat 110.
[2]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azim, jilid 2 (Riyadh: Dar
al-Tayyibah, 1999), 134.
[3]
Al-Mawardi, Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah, jilid 1 (Cairo: Dar
al-Hadith, 2006), 113.
[4]
Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006),
221.
[5]
Ibn Taimiyyah, Amar Ma’ruf wa Nahi
‘Anil Munkar, terjemahan Abdul Hakim
(Jakarta: Gema Insani, 2000), 45.
[6]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul
Bari bi Syarh Shahih Bukhari, jilid
1 (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1959), 343.
Daftar Pustaka
Al-Baghawi. (1997). Ma’alim at-Tanzil.
Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi.
Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulumuddin (Vol. 1).
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Mawardi. (2006). Al-Ahkam As-Sulthaniyyah
(Vol. 1). Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Qurtubi. (2006). Tafsir Al-Qurtubi (Vol.
10). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Ibn Hajar Al-Asqalani. (1959). Fathul Bari bi
Syarh Shahih Bukhari (Vol. 1). Cairo: Dar al-Ma’rifah.
Ibn Hajar Al-Asqalani. (1997). Taqrib At-Tahdzib
(Vol. 2). Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Katsir. (1999). Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
(Vol. 2). Riyadh: Dar al-Tayyibah.
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah. (2002). I’lam
al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
Ibn Rajab Al-Hanbali. (2001). Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam. Riyadh: Darussalam.
Ibn Taimiyyah. (2000). Amar Ma’ruf wa Nahi ‘Anil
Munkar (Trans. Abdul Hakim). Jakarta: Gema Insani.
Imam Muslim. (2000). Shahih Muslim (Vol. 1).
Riyadh: Darussalam.
Imam Nawawi. (1972). Syarh Shahih Muslim
(Vol. 2). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
QS. Ali 'Imran [03] ayat 110. Al-Qur'an.
QS. An-Nahl [16] ayat 125. Al-Qur'an.
QS. Al-Hajj [22] ayat 41. Al-Qur'an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar