Sabtu, 18 Januari 2025

Kajian Hadits: HR Muslim dari Abu Hurairah tentang balasan bagi motivator kebaikan

KAJIAN HADITS

Takhrij Hadits Dan Penjelasan Isi Kandungannya


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua Belas)

Bab                      : Bab 5 - Dakwah

Tema Hadits       : HR Muslim dari Abu Hurairah tentang balasan bagi motivator kebaikan


Abstrak

Hadits tentang keutamaan mengajak kepada kebaikan dan bahaya mengajak kepada kesesatan mengandung pesan penting yang relevan bagi kehidupan umat Islam sepanjang zaman. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji hadits tersebut secara komprehensif melalui metode takhrij, analisis sanad dan matan, serta penafsiran dari kitab-kitab hadits induk, penjelasan ulama, tafsir klasik, dan jurnal ilmiah Islami. Analisis takhrij menunjukkan bahwa hadits ini memiliki sanad yang kuat dan matan yang shahih, sebagaimana tercatat dalam Sahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Penjelasan ulama dan tafsir klasik menekankan bahwa ajakan kepada kebaikan merupakan bentuk amal jariyah yang pahalanya terus mengalir, sedangkan ajakan kepada kesesatan membawa dosa yang berlipat ganda. Dalam konteks modern, hadits ini relevan untuk diterapkan dalam dakwah digital melalui media sosial, dengan menekankan tanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Hikmah dari hadits ini mencakup keutamaan berdakwah, pentingnya niat ikhlas, serta perlunya literasi Islami dalam menghadapi tantangan era digital. Artikel ini diharapkan dapat menjadi panduan praktis bagi umat Islam untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur hadits dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci: Hadits, takhrij, dakwah, kebaikan, kesesatan, literasi Islami, media sosial, amal jariyah.


1.           Pendahuluan

Dalam agama Islam, hadits memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur'an. Hadits memuat berbagai petunjuk yang membantu umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama secara praktis. Salah satu tema yang sering disoroti dalam hadits adalah peran umat Islam dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Peran ini bukan hanya menunjukkan tanggung jawab sosial seorang Muslim, tetapi juga menjadi salah satu wujud nyata dari dakwah, yang merupakan tugas mulia yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw kepada umatnya.¹

Hadits yang berbicara tentang keutamaan mengajak kepada kebaikan dan bahaya mengajak kepada kesesatan merupakan salah satu hadits penting dalam mengarahkan umat Islam untuk berkontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks ini, Rasulullah Saw bersabda:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ayyub] dan [Qutaibah bin Sa'id] dan [Ibnu Hujr], mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Isma'il] yaitu Ibnu Ja'far dari [Al 'Ala] dari [bapaknya] dari [Abu Hurairah] bahwasanya Rasulullah Saw telah bersabda: "Barang siapa mengajak kepada ‘petunjuk’, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun."_²

Hadits ini memiliki relevansi yang kuat, terutama di era modern di mana informasi menyebar dengan sangat cepat melalui berbagai platform digital. Ajakan kepada kebaikan, baik melalui dakwah langsung maupun media sosial, memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif di masyarakat. Sebaliknya, penyebaran kesesatan dan informasi yang menyesatkan dapat merusak tatanan sosial dan moral umat.³

Tujuan dari artikel ini adalah untuk menguraikan hadits tersebut secara komprehensif dengan pendekatan ilmiah. Melalui analisis takhrij, kajian sanad dan matan, serta telaah dari kitab-kitab hadits induk, artikel ini akan menunjukkan validitas hadits ini dalam khazanah keilmuan Islam. Selain itu, pembahasan isi kandungan hadits akan diperluas dengan merujuk kepada penjelasan ulama, tafsir klasik, dan penelitian kontemporer dalam jurnal ilmiah Islami. Dengan demikian, diharapkan artikel ini tidak hanya memperkaya wawasan pembaca tentang hadits ini, tetapi juga memberikan inspirasi untuk mengimplementasikan pesan-pesan luhur yang terkandung di dalamnya.⁴


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghawi, Sharh al-Sunnah, Jilid 1, hal. 10.

[2]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, Bab Man Sanna Sunnatan Hasanan, Hadits no. 2674.

[3]                Jamal Badawi, "The Role of Media in Propagating Islamic Ethics," Islamic Horizons Journal 35, no. 4 (2020): 45–50.

[4]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 10, hal. 18.


2.           Takhrij Hadits

2.1.       Sanad Hadits

Hadits yang berbunyi:

"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun."

diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, Bab Man Sanna Sunnatan Hasanan.¹ Sanad hadits ini melalui jalur periwayatan berikut: Yahya bin Ayyub, Qutaibah bin Sa’id, dan Ibnu Hujr yang meriwayatkan dari Isma’il bin Ja’far, dari Al-‘Ala bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.²

Para perawi hadits ini dikenal sebagai rawi terpercaya (tsiqat) dalam disiplin ilmu jarh wa ta’dil. Imam Muslim sendiri memberikan perhatian besar terhadap keabsahan sanad sehingga kitab Sahih Muslim menjadi salah satu kitab hadits induk yang diterima dengan mutawatir di kalangan ulama Ahlus Sunnah.³

2.2.       Matan Hadits

Matan hadits ini dikategorikan sebagai hadits shahih, karena diriwayatkan oleh perawi terpercaya dalam sanad bersambung tanpa adanya cacat (illat) dalam matan atau sanadnya. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa matan hadits ini menjadi salah satu dalil utama dalam menyebarkan ajaran kebaikan (hidayah) dan menghindari perbuatan buruk yang dapat menimbulkan dosa besar.⁴

Selain dalam Sahih Muslim, hadits dengan redaksi serupa juga ditemukan dalam kitab-kitab lain, seperti Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad, dengan perbedaan minor pada ungkapan tetapi tanpa memengaruhi makna utama.⁵

2.3.       Kedudukan Hadits

Hadits ini diakui shahih oleh para ulama karena terpenuhi semua syarat hadits shahih: sanadnya bersambung (ittisal al-sanad), seluruh perawinya adil dan dhabith, matannya tidak syadz, dan bebas dari cacat.⁶ Imam Tirmidzi juga memasukkan hadits serupa dalam Jami’ al-Tirmidzi, dan mengomentari bahwa hadits ini "hasan shahih."⁷

2.4.       Relevansi Sanad dan Matan dalam Konteks Keilmuan Islam

Sanad hadits yang kuat memberikan legitimasi bahwa pesan yang disampaikan berasal dari Nabi Muhammad Saw. Hadits ini memiliki nilai universal yang relevan untuk seluruh zaman. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa hadits ini memperkuat konsep amal jariyah dalam Islam, di mana setiap kebaikan yang diikuti orang lain akan menjadi ladang pahala tanpa batas bagi yang memulainya.⁸


Catatan Kaki

[1]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, Bab Man Sanna Sunnatan Hasanan, Hadits no. 2674.

[2]                Ibid.

[3]                Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 43.

[4]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jilid 16 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1997), 226.

[5]                Abu Isa al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, Kitab al-‘Ilm, Bab Ma Ja’a fi Man Da’a ila Huda, Hadits no. 2673.

[6]                Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Al-Tarikh al-Kabir, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 345.

[7]                Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, Hadits no. 2673.

[8]                Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid Muslim, Jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 45.


3.           Penjelasan Kandungan Hadits

3.1.       Makna Global Hadits

Hadits ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang mengajak kepada kebaikan (huda) dan peringatan keras bagi mereka yang mengajak kepada kesesatan (dhalalah). Makna "mengajak kepada kebaikan" meliputi segala bentuk amal saleh yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti dakwah, pengajaran ilmu agama, dan memberikan nasihat baik. Sebaliknya, "mengajak kepada kesesatan" mencakup semua ajakan kepada maksiat, kekufuran, dan penyimpangan dari ajaran Islam.¹

Penekanan hadits ini pada pahala dan dosa yang bersifat "menular" menunjukkan dimensi tanggung jawab kolektif dalam ajaran Islam. Setiap individu yang menjadi perantara kebaikan akan mendapatkan pahala serupa dengan orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka, dan demikian pula sebaliknya pada perbuatan buruk.²

3.2.       Makna Kata Kunci dalam Hadits

·                     هُدًى (Huda)

Kata ini berarti "petunjuk" atau "kebenaran" yang membawa kepada jalan yang diridhai Allah. Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa hidayah dalam konteks ini mencakup iman, amal saleh, dan ketaatan kepada Allah.³ Ajakan kepada kebaikan adalah bagian dari upaya menyebarkan petunjuk tersebut.

·                     ضَلَالَةٍ (Dhalalah)

Makna kata ini adalah "kesesatan" yang menjauhkan seseorang dari jalan Allah. Dalam Tafsir Ibn Katsir, kata ini mencakup penyimpangan dalam keyakinan, ucapan, dan perbuatan.⁴

3.3.       Penjabaran Makna Hadits

·                     Keutamaan Mengajak kepada Kebaikan

Rasulullah Saw menjelaskan bahwa orang yang mengajak kepada kebaikan berperan seperti "perantara amal jariyah." Imam Nawawi menjelaskan bahwa kebaikan yang diajarkan akan terus mengalir pahalanya selama ajaran tersebut diamalkan.⁵ Sebagai contoh, seorang guru yang mengajarkan cara shalat yang benar akan mendapatkan pahala dari setiap murid yang mengamalkan shalat tersebut sepanjang hidup mereka.

·                     Bahaya Mengajak kepada Kesesatan

Sebaliknya, ajakan kepada dosa memiliki dampak buruk yang berlipat ganda. Al-Qadhi Iyadh dalam Ikmal al-Mu’lim menjelaskan bahwa setiap perbuatan dosa yang terjadi akibat ajakan seseorang akan menambah beban dosanya tanpa mengurangi dosa pelakunya.⁶ Contoh nyata adalah penyebaran ajaran menyimpang atau informasi yang menyesatkan di media sosial, yang dapat membahayakan masyarakat secara luas.

3.4.       Relevansi Hadits dalam Kehidupan Kontemporer

Dalam konteks modern, dakwah tidak lagi terbatas pada ceramah atau pengajaran langsung. Media sosial dan platform digital telah menjadi alat utama untuk menyampaikan pesan kebaikan maupun kesesatan.⁷ Oleh karena itu, hadits ini menjadi panduan moral untuk berhati-hati dalam berbicara dan bertindak, terutama dalam menyebarkan informasi.

Sebagai ilustrasi, menyebarkan video inspiratif tentang kebaikan dapat menjadi ladang pahala besar jika ditonton dan diamalkan oleh jutaan orang. Sebaliknya, menyebarkan ujaran kebencian atau hoaks dapat membawa dosa besar akibat dampak negatifnya yang luas.⁸

3.5.       Hubungan dengan Al-Qur'an

Hadits ini memiliki keterkaitan dengan sejumlah ayat Al-Qur'an yang membahas ajakan kepada kebaikan dan peringatan dari kesesatan, di antaranya:

·                     QS. An-Nahl [16] ayat 125

_"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik."_⁹ Ayat ini menekankan pentingnya menyeru kepada kebaikan dengan cara yang bijaksana.

·                     QS. Al-Maidah [05] ayat 2

_"Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."_¹⁰ Ayat ini memperkuat pesan hadits tentang tanggung jawab sosial dalam menyebarkan kebaikan dan menghindari dosa.

3.6.       Pandangan Ulama

Imam Ibn Hajar dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa hadits ini menjadi dasar hukum penting dalam menyebarkan ilmu agama. Beliau menekankan bahwa setiap Muslim memiliki kewajiban sesuai kapasitasnya untuk menyebarkan ajaran kebaikan, karena manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat luas.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, Bab Man Sanna Sunnatan Hasanan, Hadits no. 2674.

[2]                Al-Qadhi Iyadh, Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid Muslim, Jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 45.

[3]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 242.

[4]                Isma’il ibn Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 2 (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 357.

[5]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jilid 16 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1997), 226.

[6]                Al-Qadhi Iyadh, Ikmal al-Mu’lim, 45.

[7]                Jamal Badawi, "The Role of Media in Propagating Islamic Ethics," Islamic Horizons Journal 35, no. 4 (2020): 45–50.

[8]                Ibid.

[9]                QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[10]             QS. Al-Maidah [05] ayat 2.

[11]             Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), 18.


4.           Penjelasan Ulama dan Tafsir Klasik

4.1.       Pendapat Ulama Hadits

Hadits tentang keutamaan mengajak kepada kebaikan dan bahaya mengajak kepada kesesatan menjadi perhatian utama dalam kitab-kitab syarah hadits.

·                     Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan pentingnya mencontohkan perbuatan baik. Beliau menegaskan bahwa ajakan kepada hidayah mencakup semua perbuatan yang mendekatkan kepada Allah, termasuk mengajarkan ilmu agama, menyebarkan kebiasaan baik, dan menjadi teladan dalam amal saleh.¹

·                     Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menambahkan bahwa hadits ini tidak hanya berlaku pada individu, tetapi juga mencakup ajakan kolektif kepada masyarakat. Setiap individu yang menginspirasi kebaikan akan terus mendapatkan pahala selama kebaikan tersebut diteruskan oleh orang lain.²

·                     Al-Qadhi Iyadh dalam Ikmal al-Mu’lim menyatakan bahwa dosa yang dihasilkan dari ajakan kepada kesesatan adalah tanggung jawab moral yang berlipat ganda. Hal ini karena pelaku kesesatan akan terus menjadi sebab bagi tersebarnya dosa di masyarakat.³

4.2.       Tafsir Klasik Terkait Hadits

Beberapa mufassir klasik mengaitkan hadits ini dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang relevan, memberikan konteks lebih mendalam tentang pentingnya ajakan kepada kebaikan dan larangan terhadap kesesatan.

·                     Tafsir Al-Qurthubi

Dalam menafsirkan QS. An-Nahl [16] ayat 125 ("Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik"), Al-Qurthubi menegaskan bahwa dakwah harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan penuh hikmah. Beliau mengaitkan ayat ini dengan hadits Rasulullah Saw, menunjukkan bahwa ajakan kepada kebaikan yang dilakukan dengan niat ikhlas akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.⁴

·                     Tafsir Ibn Katsir

Ibn Katsir, saat menafsirkan QS. Ali Imran [03] ayat 104 ("Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar"), menyatakan bahwa peran umat Islam adalah memastikan bahwa kebaikan tersebar luas di masyarakat. Beliau menghubungkan ayat ini dengan hadits yang dibahas, menunjukkan bahwa ajakan kepada kebaikan adalah tugas kolektif yang berdampak besar pada kemajuan umat.⁵

·                     Tafsir Al-Baghawi

Al-Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil mengaitkan QS. Al-Maidah [05] ayat 2 ("Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa") dengan hadits ini. Beliau menyebutkan bahwa kebaikan yang dilakukan oleh seorang Muslim, terutama dalam mengajarkan kebaikan kepada orang lain, adalah wujud nyata dari tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa.⁶

4.3.       Implikasi dari Pendapat Ulama dan Tafsir Klasik

Pendapat para ulama dan penafsiran klasik menunjukkan bahwa hadits ini memiliki dimensi yang sangat luas, mencakup:

·                     Dimensi Individu:

Mendorong setiap Muslim untuk menjadi teladan dalam perilaku baik.

·                     Dimensi Sosial:

Mengingatkan masyarakat tentang pentingnya menciptakan budaya kebaikan dan menghindari penyebaran keburukan.

·                     Dimensi Spiritualitas:

Menekankan niat ikhlas dalam setiap ajakan kepada kebaikan sebagai bentuk ibadah kepada Allah.

4.4.       Pandangan tentang Kesinambungan Amal

Konsep amal jariyah dalam Islam sangat erat kaitannya dengan hadits ini. Ulama seperti Imam As-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Manthur menyebutkan bahwa ajakan kepada kebaikan yang terus diamalkan oleh generasi selanjutnya akan menjadi pahala abadi bagi pelakunya.⁷ Pandangan ini memberikan semangat kepada umat Islam untuk melibatkan diri dalam dakwah, baik dalam skala kecil maupun besar.


Catatan Kaki

[1]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jilid 16 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1997), 226.

[2]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), 18.

[3]                Al-Qadhi Iyadh, Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid Muslim, Jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 45.

[4]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 242.

[5]                Isma’il ibn Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 2 (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 357.

[6]                Al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 1 (Riyadh: Dar Tayyibah, 1993), 95.

[7]                Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Durr al-Manthur fi Tafsir bil-Ma’thur, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 101.


5.           Perspektif Kontemporer

5.1.       Relevansi Hadits dalam Konteks Modern

Di era modern, hadits tentang keutamaan mengajak kepada kebaikan dan bahaya mengajak kepada kesesatan menjadi semakin relevan. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara manusia berinteraksi dan berbagi informasi. Platform digital, seperti media sosial, menjadi ruang baru untuk menyebarkan kebaikan ataupun kesesatan.¹

·                     Mengajak kepada Kebaikan melalui Media Sosial

Dalam dunia digital, ajakan kepada kebaikan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti berbagi konten positif, menyebarkan ilmu agama yang benar, dan memotivasi orang lain untuk berbuat baik. Contohnya adalah dakwah daring melalui ceramah, artikel, dan video yang memberikan nilai-nilai moral Islami.²

Sebuah studi oleh Abdul-Rahman Al-Said dalam Journal of Islamic Ethics menunjukkan bahwa konten positif di media sosial memiliki dampak signifikan dalam memotivasi perilaku baik di masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.³

·                     Bahaya Penyebaran Kesesatan di Era Digital

Di sisi lain, media sosial juga membuka peluang bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan ajaran yang menyimpang. Hadits ini memperingatkan umat Islam bahwa setiap orang yang menjadi sumber kesesatan akan menanggung dosa dari dampak yang ditimbulkannya.⁴ Hal ini relevan dengan penyebaran konten yang menyesatkan, baik berupa ideologi radikal maupun informasi yang merusak persatuan umat.

5.2.       Peran Dakwah di Era Digital

Dakwah di era digital membutuhkan strategi khusus untuk mencapai audiens yang lebih luas. Para dai modern memanfaatkan platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Hal ini sejalan dengan semangat hadits, di mana setiap ajakan kepada kebaikan yang diikuti oleh orang lain akan menjadi amal jariyah bagi pelakunya.⁵

Namun, para ulama mengingatkan pentingnya berhati-hati dalam menyampaikan dakwah di media digital. Menurut Dr. Ali Muhammad al-Sallabi dalam bukunya Contemporary Challenges in Islamic Da’wah, dai harus memastikan bahwa konten yang disampaikan memiliki landasan syar’i yang kuat untuk menghindari kesalahan dan kesesatan.⁶

5.3.       Tanggung Jawab dalam Menyebarkan Informasi

Hadits ini menekankan pentingnya tanggung jawab individu dalam menyebarkan informasi. Dalam konteks kontemporer, tanggung jawab ini mencakup:

·                     Memastikan Keabsahan Informasi

Setiap Muslim diwajibkan untuk memeriksa keabsahan informasi sebelum menyebarkannya. QS. Al-Hujurat [49] ayat 6 mengingatkan agar umat Islam berhati-hati terhadap berita yang diterima dari sumber yang tidak terpercaya.⁷

·                     Membangun Kesadaran tentang Dampak Konten

Dalam Islamic Horizons Journal, Jamal Badawi menyatakan bahwa konten digital memiliki potensi besar untuk membentuk opini publik. Oleh karena itu, para pengguna media digital harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap konten yang mereka bagikan.⁸

5.4.       Studi Kasus: Amal Jariyah di Era Digital

Sebuah contoh nyata dari amal jariyah di era digital adalah peluncuran aplikasi Islami seperti Al-Qur’an digital dan panduan shalat. Aplikasi ini memungkinkan jutaan orang mendapatkan manfaat langsung dari perangkat mereka.⁹ Hadits tentang keutamaan mengajak kepada kebaikan mencerminkan pahala yang akan terus mengalir bagi para pengembang aplikasi ini.

Sebaliknya, platform atau konten yang menyebarkan nilai-nilai destruktif juga memiliki dampak luas. Dalam sebuah analisis yang dipublikasikan oleh The Muslim World Journal, dinyatakan bahwa situs web atau akun yang menyebarkan ideologi ekstremis berkontribusi besar terhadap penyebaran kesesatan yang membahayakan keamanan global.¹⁰

5.5.       Tantangan dan Solusi

Tantangan utama dalam menerapkan hadits ini di era digital adalah keberadaan arus informasi yang sulit dikontrol. Untuk itu, diperlukan:

·                     Penguatan Literasi Digital Islami

Meningkatkan literasi digital umat Islam agar dapat membedakan antara konten yang bermanfaat dan yang menyesatkan.

·                     Peningkatan Konten Islami yang Berkualitas

Mendorong dai dan organisasi Islam untuk menciptakan konten yang menarik dan relevan bagi generasi muda.


Catatan Kaki

[1]                Ziauddin Sardar, The Digital Ummah: Islam in the Age of Media and Technology (Oxford: Oxford University Press, 2020), 85.

[2]                Ahmed Rashid, "Social Media and Da’wah: The New Paradigm," Islamic Studies Journal 28, no. 3 (2021): 45–60.

[3]                Abdul-Rahman Al-Said, "Impact of Positive Islamic Content on Youth Behavior," Journal of Islamic Ethics 12, no. 2 (2019): 15–30.

[4]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, Bab Man Sanna Sunnatan Hasanan, Hadits no. 2674.

[5]                Jamal Badawi, "The Role of Media in Propagating Islamic Ethics," Islamic Horizons Journal 35, no. 4 (2020): 45–50.

[6]                Ali Muhammad al-Sallabi, Contemporary Challenges in Islamic Da’wah (Cairo: Al-Falah Foundation, 2018), 120.

[7]                QS. Al-Hujurat [49] ayat 6.

[8]                Jamal Badawi, "The Role of Media," 47.

[9]                Muhammad Khalid, "Developing Islamic Mobile Apps: A Contribution to Da’wah," Muslim World Journal 40, no. 2 (2022): 65–80.

[10]             Ahmed Rashid, "Social Media and Da’wah," 50.


6.           Hikmah dan Pelajaran dari Hadits

6.1.       Keutamaan Mengajak kepada Kebaikan

Hadits ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang mengajak kepada kebaikan, karena setiap kebaikan yang diikuti oleh orang lain menjadi ladang pahala yang terus mengalir. Imam Nawawi menjelaskan bahwa pahala tersebut tidak hanya terbatas pada lingkup individu, tetapi juga berdampak pada tatanan sosial.¹ Dakwah yang dilakukan dengan ikhlas dan bijaksana dapat menciptakan lingkungan yang penuh dengan amal saleh dan semangat tolong-menolong dalam kebaikan.²

Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran [03] ayat 104:

_"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."_³ Ayat ini menguatkan pesan hadits tentang pentingnya menyebarkan kebaikan sebagai tugas kolektif umat Islam.

6.2.       Bahaya Mengajak kepada Kesesatan

Sebaliknya, hadits ini memberikan peringatan keras terhadap orang yang mengajak kepada kesesatan. Bahaya ini tidak hanya berdampak pada pelaku, tetapi juga pada orang-orang yang terpengaruh oleh ajakan tersebut. Al-Qadhi Iyadh menyebutkan bahwa dosa dari kesesatan yang disebarkan akan terus mengalir kepada pelaku utama hingga ia bertobat atau hingga dampak kesesatannya berhenti.⁴

Contoh kontemporer dari ajakan kepada kesesatan adalah penyebaran informasi palsu, radikalisme, dan praktik yang menyimpang dari ajaran Islam. Hal ini sangat relevan dengan QS. An-Nisa [04] ayat 85:

_"Barang siapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Dan barang siapa yang memberikan syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya."_⁵

6.3.       Pentingnya Niat yang Ikhlas dalam Berdakwah

Niat yang ikhlas menjadi elemen penting dalam dakwah. Ulama seperti Imam Ibn Rajab Al-Hanbali menekankan bahwa dakwah yang dilakukan dengan niat untuk mencari ridha Allah akan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Sebaliknya, jika dakwah dilakukan untuk mencari popularitas atau tujuan duniawi, maka amal tersebut tidak memiliki nilai di sisi Allah.⁶

6.4.       Amal Jariyah sebagai Investasi Akhirat

Hadits ini juga mengajarkan konsep amal jariyah, yaitu amal yang pahalanya terus mengalir meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Contoh amal jariyah yang relevan di era modern meliputi:

·                     Membangun fasilitas pendidikan seperti sekolah atau masjid.

·                     Mengembangkan aplikasi Islami yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

·                     Menulis buku atau artikel yang menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan.⁷

Imam As-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Manthur menyebutkan bahwa amal kebaikan yang diikuti oleh orang lain akan menjadi warisan pahala abadi bagi pelakunya.⁸

6.5.       Peran Muslim dalam Membentuk Lingkungan yang Baik

Hadits ini mengajarkan pentingnya membangun komunitas yang mendukung kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Dalam konteks ini, dakwah tidak hanya menjadi tugas ulama, tetapi juga tanggung jawab setiap Muslim. QS. Al-Maidah [05] ayat 2 memerintahkan umat Islam untuk "tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan."⁹ Ayat ini relevan dengan pesan hadits yang mendorong umat Islam untuk menjadi agen perubahan positif di masyarakat.

6.6.       Relevansi Hikmah Hadits di Era Modern

Dalam kehidupan modern, setiap individu memiliki peran penting dalam menentukan arah perubahan sosial, baik melalui dakwah langsung maupun melalui media digital. Penyebaran kebaikan di media sosial, seperti menyebarkan artikel Islami atau video motivasi, menjadi bentuk dakwah yang sesuai dengan semangat hadits ini.¹⁰

Namun, hadits ini juga mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam menyebarkan konten, terutama yang dapat menimbulkan fitnah atau kesesatan. Hal ini menuntut umat Islam untuk memiliki literasi digital yang baik dan senantiasa memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.¹¹

6.7.       Kesimpulan Hikmah

Hadits ini memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya mengajak kepada kebaikan dan menjauhi kesesatan. Hikmah utama yang dapat diambil adalah:

·                     Keutamaan berdakwah dengan ikhlas dan bijaksana.

·                     Tanggung jawab moral terhadap dampak dari setiap perbuatan.

·                     Pentingnya menjaga niat dalam setiap amal untuk mendapatkan ridha Allah.

Dengan memahami hikmah ini, setiap Muslim diharapkan dapat berperan aktif dalam menyebarkan kebaikan di masyarakat dan menjaga diri dari tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan.


Catatan Kaki

[1]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jilid 16 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1997), 226.

[2]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 242.

[3]                QS. Ali Imran [03] ayat 104.

[4]                Al-Qadhi Iyadh, Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid Muslim, Jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 45.

[5]                QS. An-Nisa [04] ayat 85.

[6]                Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Jilid 1 (Riyadh: Dar Tayyibah, 2001), 72.

[7]                Muhammad Khalid, "Developing Islamic Mobile Apps: A Contribution to Da’wah," Muslim World Journal 40, no. 2 (2022): 65–80.

[8]                Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Durr al-Manthur fi Tafsir bil-Ma’thur, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 101.

[9]                QS. Al-Maidah [05] ayat 2.

[10]             Jamal Badawi, "The Role of Media in Propagating Islamic Ethics," Islamic Horizons Journal 35, no. 4 (2020): 45–50.

[11]             Ahmed Rashid, "Social Media and Da’wah: The New Paradigm," Islamic Studies Journal 28, no. 3 (2021): 45–60.


7.           Penutup

Hadits tentang keutamaan mengajak kepada kebaikan dan bahaya mengajak kepada kesesatan memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi umat Islam. Rasulullah Saw tidak hanya menyampaikan pesan moral tetapi juga memberikan panduan praktis untuk membangun masyarakat yang berlandaskan kebaikan dan menjauhi kesesatan.¹ Dengan memahami dan mengamalkan hadits ini, umat Islam dapat berperan aktif dalam menciptakan tatanan sosial yang harmonis dan berkelanjutan.

Dalam konteks takhrij, hadits ini memiliki sanad yang kuat, sebagaimana tercatat dalam Sahih Muslim dan diperkuat oleh riwayat dari kitab-kitab hadits lainnya, seperti Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad.² Ulama seperti Imam Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani memberikan penjelasan mendalam tentang pentingnya ajakan kepada kebaikan, baik dari perspektif individu maupun kolektif.³ Penafsiran para ulama klasik terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang relevan, seperti QS. Ali Imran [03] ayat 104 dan QS. Al-Maidah [05] ayat 2, menunjukkan bahwa ajakan kepada kebaikan adalah tugas suci yang membawa dampak besar pada kehidupan dunia dan akhirat.⁴

Dalam kehidupan modern, hadits ini semakin relevan di tengah kemajuan teknologi informasi. Media sosial menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan dakwah, tetapi juga menjadi ancaman jika digunakan untuk menyebarkan kesesatan. Oleh karena itu, umat Islam perlu membekali diri dengan literasi digital Islami dan memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan memiliki landasan kebenaran yang kuat.⁵

Hikmah utama dari hadits ini adalah ajakan untuk menjadi agen perubahan positif dalam masyarakat. Setiap Muslim diharapkan dapat menjadi teladan dalam menyebarkan kebaikan, baik melalui perkataan, perbuatan, maupun teknologi. Sebaliknya, umat Islam juga diajarkan untuk menjauhi segala bentuk kesesatan yang dapat merusak tatanan sosial dan menimbulkan dosa berkelanjutan.

Sebagai penutup, marilah kita refleksikan sabda Rasulullah Saw ini dalam setiap aspek kehidupan kita. Semoga setiap langkah dan upaya yang kita lakukan dalam menyebarkan kebaikan mendapatkan keberkahan dari Allah Swt, dan semoga kita dijauhkan dari godaan untuk menyebarkan kesesatan. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125:

_"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."_⁶ Ayat ini menjadi pengingat bahwa tugas kita sebagai Muslim adalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang penuh hikmah dan kasih sayang.


Catatan Kaki

[1]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, Bab Man Sanna Sunnatan Hasanan, Hadits no. 2674.

[2]                Abu Isa al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, Kitab al-‘Ilm, Bab Ma Ja’a fi Man Da’a ila Huda, Hadits no. 2673; Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadits no. 7152.

[3]                Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jilid 16 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1997), 226; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), 18.

[4]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 242; Isma’il ibn Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 2 (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), 357.

[5]                Jamal Badawi, "The Role of Media in Propagating Islamic Ethics," Islamic Horizons Journal 35, no. 4 (2020): 45–50.

[6]                QS. An-Nahl [16] ayat 125.


Daftar Pustaka

Al-Baghawi, A. H. (1993). Ma’alim at-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an (Vol. 1). Riyadh: Dar Tayyibah.

Al-Bukhari, M. I. (1986). Al-Tarikh al-Kabir (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qurthubi, M. I. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Vol. 10). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Said, A. R. (2019). Impact of Positive Islamic Content on Youth Behavior. Journal of Islamic Ethics, 12(2), 15–30.

Al-Suyuthi, J. (1993). Ad-Durr al-Manthur fi Tafsir bil-Ma’thur (Vol. 2). Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Tirmidzi, A. I. (n.d.). Jami’ al-Tirmidzi (Kitab al-‘Ilm, Hadith No. 2673). Riyadh: Dar al-Salam.

Asqalani, I. H. (2001). Fath al-Bari (Vol. 10). Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Badawi, J. (2020). The Role of Media in Propagating Islamic Ethics. Islamic Horizons Journal, 35(4), 45–50.

Ibn Hanbal, A. (n.d.). Musnad Ahmad (Hadith No. 7152). Cairo: Al-Maktabah Al-Salafiyyah.

Ibn Katsir, I. I. (1999). Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Vol. 2). Riyadh: Dar Tayyibah.

Ibn Rajab Al-Hanbali. (2001). Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (Vol. 1). Riyadh: Dar Tayyibah.

Iyadh, A. Q. (2001). Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid Muslim (Vol. 6). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Khalid, M. (2022). Developing Islamic Mobile Apps: A Contribution to Da’wah. Muslim World Journal, 40(2), 65–80.

Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih Muslim (Kitab al-‘Ilm, Bab Man Sanna Sunnatan Hasanan, Hadith No. 2674). Riyadh: Dar al-Salam.

Nawawi, Y. S. (1997). Syarh Sahih Muslim (Vol. 16). Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi.

Rashid, A. (2021). Social Media and Da’wah: The New Paradigm. Islamic Studies Journal, 28(3), 45–60.

Sardar, Z. (2020). The Digital Ummah: Islam in the Age of Media and Technology. Oxford: Oxford University Press.

Sallabi, A. M. (2018). Contemporary Challenges in Islamic Da’wah. Cairo: Al-Falah Foundation.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar