Ekosofi
Paradigma Filsafat untuk
Harmoni Manusia dan Alam
Abstrak
Artikel ini membahas konsep Ekosofi
sebagai paradigma filsafat
yang mengedepankan harmoni antara manusia dan alam. Ekosofi, yang pertama kali
dikembangkan oleh Arne Naess, menawarkan perspektif baru dalam filsafat
lingkungan dengan menekankan hubungan simbiosis antara manusia dan ekosistem.
Dalam artikel ini, dibahas asal-usul, perkembangan, serta konsep dasar Ekosofi,
termasuk dimensi etika
yang mendasarinya, tokoh-tokoh utama yang berkontribusi dalam pengembangan
pemikiran Ekosofi, dan penerapannya dalam konteks kehidupan modern. Ekosofi
bukan hanya teori, tetapi juga panduan praktis untuk menciptakan keberlanjutan
ekologis dan keadilan sosial. Artikel ini juga mengidentifikasi tantangan dan
kritik terhadap Ekosofi serta mengkaji masa depannya dalam mengarahkan filsafat
lingkungan menuju solusi lebih holistik di tengah krisis ekologis global.
Dengan fokus pada integrasi antara etika,
ekologi, dan teknologi,
artikel ini mengajak pembaca untuk mengadopsi prinsip-prinsip Ekosofi sebagai
bagian dari gerakan menuju dunia yang lebih berkelanjutan.
Kata kunci: Ekosofi, filsafat
lingkungan, harmoni manusia dan alam, keberlanjutan ekologis, etika
lingkungan, Arne Naess, krisis ekologis, prinsip keberlanjutan.
1.
Pendahuluan
Manusia dan alam telah lama
terlibat dalam hubungan yang kompleks, saling ketergantungan, dan kadang kala
konflik. Seiring dengan laju perkembangan teknologi dan industrialisasi,
eksploitasi terhadap alam semakin meningkat, memicu krisis lingkungan global
seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi
ekosistem. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak akan pendekatan
filosofis yang mampu memandu manusia dalam membangun hubungan harmonis dengan
alam. Salah satu pendekatan yang menonjol adalah Ekosofi, suatu
paradigma filosofis yang mengintegrasikan pemikiran ekologis dan etika
lingkungan.
Ekosofi, sebuah istilah yang
pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Norwegia Arne Naess pada tahun
1973, bukan hanya mencakup filsafat teoretis, tetapi juga panduan praktis untuk
hidup selaras dengan lingkungan.¹ Naess memandang Ekosofi sebagai refleksi
mendalam terhadap krisis ekologis yang dihadapi manusia, yang membutuhkan
perubahan paradigma dari pendekatan antroposentris ke pendekatan yang lebih
holistik dan biosentris.² Dalam pandangan ini, manusia dipandang sebagai bagian
integral dari ekosistem, bukan penguasa alam.
Artikel ini bertujuan untuk
menjelaskan konsep Ekosofi, menggali relevansinya dalam konteks modern, dan
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam penerapannya. Dengan menggunakan
sumber-sumber referensi yang kredibel, artikel ini akan menguraikan asal-usul
Ekosofi, prinsip-prinsip utamanya, kontribusi para pemikir besar, serta
implikasi praktisnya bagi keberlanjutan lingkungan dan masyarakat global.
Pembahasan ini diharapkan mampu memberikan wawasan filosofis yang mendalam
sekaligus menawarkan solusi strategis untuk mengatasi krisis lingkungan
kontemporer.
Dalam era modern, filsafat
lingkungan, termasuk Ekosofi, semakin relevan. Kerusakan lingkungan yang
masif menuntut pendekatan yang tidak hanya berbasis sains, tetapi juga etika.³
Pemikiran filosofis diperlukan untuk menjawab pertanyaan mendasar: Apa tanggung
jawab moral manusia terhadap alam? Bagaimana kita dapat hidup berdampingan
dengan alam tanpa merusaknya? Melalui refleksi ini, Ekosofi hadir sebagai
jawaban yang tidak hanya mempertimbangkan keberlanjutan ekologis, tetapi juga
keseimbangan moral dan spiritual manusia.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 3–4.
[2]
Ibid., 5–7.
[3]
J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A
Multicultural Survey of Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the
Australian Outback (Berkeley: University of California Press, 1994), 12–15.
2.
Asal-Usul
dan Perkembangan Ekosofi
Ekosofi berasal dari kata
Yunani oikos yang berarti “rumah” atau “lingkungan” dan sophia
yang berarti “kebijaksanaan.”¹ Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
filsuf Norwegia Arne Naess pada tahun 1973 untuk mendefinisikan
pendekatan filosofis terhadap ekologi mendalam (deep ecology).² Sebagai
respons terhadap krisis lingkungan yang semakin memburuk pada abad ke-20, Naess
mencetuskan gagasan bahwa solusi terhadap masalah ekologis tidak dapat dicapai
hanya melalui pendekatan teknis atau ilmiah. Sebaliknya, perubahan paradigma
moral dan filosofis yang mendasar diperlukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis
antara manusia dan alam.³
Naess mendasarkan konsep
Ekosofi pada pandangan biosentris yang menekankan bahwa semua bentuk kehidupan
memiliki nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia.⁴ Konsep ini
berbeda tajam dengan pendekatan antroposentris yang mendominasi pemikiran Barat
sejak Revolusi Industri. Dalam kerangka Ekosofi, Naess mengusulkan pengembangan
“ekologi mendalam” sebagai upaya untuk memahami keterkaitan semua elemen
dalam ekosistem, menolak pandangan dualistik antara manusia dan alam, dan
menekankan keberlanjutan ekologis sebagai prinsip moral utama.⁵
Perkembangan Ekosofi juga
dipengaruhi oleh tradisi filosofis Timur, seperti Taoisme dan Buddhisme,
yang sejak awal telah mengajarkan harmoni manusia dengan alam.⁶ Pemikiran
Taoisme tentang wu wei (bertindak sesuai dengan alur alam) dan prinsip
non-intervensi menjadi landasan penting bagi gagasan Ekosofi tentang
menghormati dan bekerja dengan, bukan melawan, alam.⁷
Di sisi lain, tradisi Barat
juga memberikan kontribusi signifikan. Pemikiran filsuf seperti Henry David
Thoreau dalam karyanya Walden (1854) dan Aldo Leopold dalam A
Sand County Almanac (1949) telah meletakkan dasar bagi etika
lingkungan yang sejalan dengan prinsip Ekosofi.⁸ Pemikiran ini memperluas
wacana tentang keberlanjutan ekologis dari diskusi ilmiah menjadi diskusi moral
dan spiritual, menciptakan fondasi intelektual yang lebih luas bagi
perkembangan Ekosofi.
Ekosofi kini telah berkembang
menjadi pendekatan multidisipliner yang mengintegrasikan filsafat, ekologi,
etika,
dan spiritualitas. Sebagai paradigma, Ekosofi tidak hanya berfungsi sebagai
kerangka berpikir tetapi juga sebagai panduan praktis untuk menciptakan
kebijakan lingkungan yang berkelanjutan.⁹ Transformasinya dari ide filsafat
teoretis menjadi gerakan global menunjukkan relevansinya dalam menjawab
tantangan lingkungan kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.
[2]
Ibid., 3.
[3]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University
of New York Press, 1995), 80–82.
[4]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range
Ecology Movements: A Summary,” Inquiry 16, no. 1 (1973): 95–100.
[5]
Ibid., 96.
[6]
J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A Multicultural
Survey of Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the Australian
Outback (Berkeley: University of California Press, 1994), 45–50.
[7]
Alan Watts, The Way of Zen (New York:
Pantheon Books, 1957), 91.
[8]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford:
Oxford University Press, 1949), 240–245.
[9]
Freya Mathews, The Ecological Self (London:
Routledge, 1991), 62–64.
3.
Konsep
Dasar Ekosofi
Ekosofi, sebagai paradigma
filosofis, menawarkan kerangka berpikir yang menggabungkan filsafat, ekologi,
dan etika
untuk membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam. Istilah ini mencakup
lebih dari sekadar kajian intelektual; Ekosofi menuntut perubahan cara hidup
yang mendalam dan berkelanjutan.¹ Arne Naess, pencetus konsep ini, menekankan
bahwa Ekosofi adalah refleksi pribadi tentang nilai-nilai fundamental yang
memandu manusia dalam memahami tempatnya dalam alam semesta.²
3.1. Definisi dan Prinsip Dasar
Ekosofi bukan hanya cabang filsafat, tetapi juga pandangan dunia yang holistik. Naess menjelaskan bahwa
Ekosofi memiliki inti yang bersifat biosentris, yaitu pengakuan atas nilai
intrinsik dari semua bentuk kehidupan, baik manusia maupun non-manusia.³ Konsep
ini menolak pandangan antroposentris yang memandang manusia sebagai pusat dan
penguasa alam, serta mengusulkan pendekatan ekologis yang inklusif.⁴
Prinsip-prinsip utama Ekosofi
meliputi:
1)
Kesetaraan Biosentris
(Biocentric Equality)
Semua makhluk hidup memiliki hak untuk berkembang
dan mempertahankan keberadaannya.⁵ Tidak ada hierarki moral antara manusia dan
makhluk lain; semua elemen ekosistem memiliki nilai yang sama pentingnya.
2)
Interkoneksi Ekologis
Ekosofi menekankan bahwa semua elemen alam saling
terhubung dalam jejaring kehidupan yang kompleks.⁶ Oleh karena itu, kerusakan
terhadap satu elemen akan memengaruhi keseimbangan keseluruhan ekosistem.
3)
Keberlanjutan sebagai
Tanggung Jawab Moral
Ekosofi mengajarkan pentingnya keberlanjutan
ekologis melalui pengurangan eksploitasi sumber daya alam, konservasi, dan
penghormatan terhadap batas-batas ekologis.⁷
3.2. Pendekatan Holistik terhadap Lingkungan
Ekosofi mendekati masalah
lingkungan dengan memadukan aspek ilmiah, etis, dan spiritual.⁸ Naess percaya
bahwa pendekatan reduksionis yang hanya mengandalkan teknologi tidak cukup
untuk menyelesaikan krisis ekologis.⁹ Sebaliknya, manusia perlu mengadopsi
pandangan holistik yang memperhitungkan keterkaitan antara faktor sosial,
budaya, dan ekologis.
3.3. Ekosofi dalam Praktik
Naess menggambarkan Ekosofi
sebagai filosofi hidup yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.¹⁰ Contoh
praktiknya meliputi:
·
Memprioritaskan konsumsi
yang berkelanjutan dan berbasis kebutuhan.
·
Melibatkan diri dalam
aksi-aksi konservasi lingkungan.
·
Mendorong kebijakan yang
mendukung keberlanjutan ekologis.
3.4. Hubungan dengan Tradisi Lain
Selain inspirasi dari
filsafat Barat, Ekosofi juga mendapat pengaruh dari tradisi filsafat Timur,
seperti Taoisme dan Buddhisme,
yang menekankan harmoni dan keselarasan dengan alam.¹¹ Prinsip-prinsip seperti wu
wei dalam Taoisme dan konsep interdependensi dalam Buddhisme
memiliki kesamaan dengan nilai-nilai inti Ekosofi.¹²
Dengan landasan filosofis
yang kuat, Ekosofi berfungsi sebagai panduan untuk memahami hubungan manusia
dengan alam secara lebih dalam. Konsep ini mengarahkan manusia untuk tidak
hanya melihat alam sebagai sumber daya, tetapi sebagai mitra yang setara dalam
perjalanan kehidupan.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of
an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–29.
[2]
Ibid., 30.
[3]
Ibid., 68.
[4]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New
York Press, 1995), 80–82.
[5]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A
Summary,” Inquiry
16, no. 1 (1973): 95–100.
[6]
Freya Mathews, The Ecological Self (London:
Routledge, 1991), 20–21.
[7]
J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A Multicultural Survey of
Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the Australian Outback
(Berkeley: University of California Press, 1994), 50–52.
[8]
Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory
Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 21–22.
[9]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle,
33–35.
[10]
Ibid., 60.
[11]
Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon
Books, 1957), 91.
[12]
David Loy, A Buddhist History of the West: Studies in Lack
(Albany: State University of New York Press, 2002), 123–125.
4.
Tokoh-Tokoh Utama dan Pemikiran Mereka
Konsep Ekosofi dikembangkan
melalui kontribusi pemikiran berbagai tokoh, baik dari tradisi Barat maupun
Timur, yang menekankan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Berikut adalah beberapa tokoh utama yang berperan dalam membentuk dan
mengembangkan paradigma ini:
4.1. Arne Naess
Sebagai pencetus istilah
Ekosofi, Arne Naess memainkan peran sentral dalam pembentukan konsep ini. Naess
memandang Ekosofi sebagai pendekatan holistik untuk memahami hubungan antara
manusia dan ekosistem. Ia mengembangkan konsep ekologi mendalam
(deep ecology), yang menekankan kesetaraan biosentris
dan pengakuan nilai intrinsik semua makhluk hidup.¹ Dalam artikelnya “The
Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements,” Naess mengkritik
pendekatan dangkal (shallow ecology) yang hanya
berfokus pada pemecahan masalah lingkungan secara teknis tanpa mempertimbangkan
transformasi nilai-nilai fundamental.²
Naess juga menekankan
pentingnya kesederhanaan sukarela
sebagai cara untuk mengurangi dampak manusia terhadap lingkungan.³ Dalam
pandangan ini, manusia perlu hidup dengan lebih sedikit, selaras dengan
kebutuhan dasar mereka, sambil menghormati batas-batas ekologis.⁴
4.2. Henry David Thoreau
Filsuf dan naturalis Amerika,
Henry David Thoreau, melalui karyanya Walden
(1854), memberikan kontribusi penting pada fondasi etika
lingkungan. Thoreau menekankan perlunya manusia hidup sederhana dan dekat
dengan alam untuk menemukan kebijaksanaan dan kebahagiaan sejati.⁵ Pemikiran
Thoreau tentang hubungan spiritual antara manusia dan alam memengaruhi banyak
pemikir lingkungan modern, termasuk Naess.⁶
4.3. Aldo Leopold
Sebagai pelopor etika
lingkungan, Aldo Leopold memperkenalkan konsep land
ethic dalam karyanya A Sand County Almanac
(1949). Leopold berpendapat bahwa manusia harus memperluas rasa tanggung jawab
moral mereka untuk mencakup seluruh komunitas ekologis, termasuk tanah, air,
dan semua makhluk hidup.⁷ Ia melihat manusia sebagai “anggota” komunitas
ekologis, bukan penguasanya, sehingga harus bertindak sebagai pelindung dan
penjaga keberlanjutan ekosistem.⁸
4.4. Rachel Carson
Melalui bukunya yang
revolusioner, Silent Spring (1962), Rachel
Carson membuka mata dunia terhadap bahaya penggunaan pestisida kimia terhadap
lingkungan.⁹ Ia menyerukan perubahan paradigma dalam cara manusia memandang
alam, dari eksploitasi menuju penghormatan dan perlindungan.¹⁰ Carson
memengaruhi perkembangan gerakan lingkungan modern dan memberikan landasan
penting bagi diskusi tentang tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.
4.5. Filsafat Timur
Ekosofi juga dipengaruhi oleh
tradisi filsafat Timur, seperti Taoisme
dan Buddhisme. Taoisme, melalui konsep wu
wei (bertindak sesuai dengan alur alam), menekankan harmoni dengan
alam sebagai jalan menuju kehidupan yang seimbang.¹¹ Sementara itu, Buddhisme
melalui ajaran tentang interdependensi dan ahimsa
(non-kekerasan) menekankan pentingnya menghormati semua makhluk hidup dan
menjaga keseimbangan ekologis.¹²
4.6. Freya Mathews
Sebagai salah satu tokoh
kontemporer, Freya Mathews mengembangkan konsep ecological self,
yang memperluas identitas manusia untuk mencakup hubungan mereka dengan alam.¹³
Ia berpendapat bahwa manusia hanya dapat mencapai keberlanjutan ekologis jika
mereka mengadopsi cara pandang yang menempatkan alam sebagai bagian integral
dari diri mereka.¹⁴
Tokoh-tokoh ini, dengan
kontribusi pemikiran mereka, telah memberikan dasar intelektual yang kuat bagi
Ekosofi, menjadikannya paradigma yang relevan dalam menjawab tantangan
lingkungan kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of
an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 3–4.
[2]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A
Summary,” Inquiry
16, no. 1 (1973): 95–100.
[3]
Ibid., 96.
[4]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New
York Press, 1995), 82–83.
[5]
Henry David Thoreau, Walden (Boston: Ticknor and Fields,
1854), 23–24.
[6]
Ibid., 35.
[7]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford:
Oxford University Press, 1949), 240–245.
[8]
Ibid., 260.
[9]
Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton
Mifflin, 1962), 6.
[10]
Ibid., 13.
[11]
Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon
Books, 1957), 91.
[12]
David Loy, A Buddhist History of the West: Studies in Lack
(Albany: State University of New York Press, 2002), 123–125.
[13]
Freya Mathews, The Ecological Self (London:
Routledge, 1991), 20–21.
[14]
Ibid., 62–64.
5.
Dimensi Etika dalam Ekosofi
Salah satu kontribusi utama
Ekosofi dalam diskursus lingkungan adalah pendekatannya terhadap etika.
Dimensi etika
dalam Ekosofi mengacu pada prinsip-prinsip moral yang membimbing hubungan
manusia dengan alam, dengan tujuan menciptakan keseimbangan yang harmonis. Etika
ini tidak hanya membahas kewajiban manusia terhadap alam, tetapi juga
memperluas konsep tanggung jawab moral untuk mencakup seluruh ekosistem.¹
5.1. Etika Biosentris
Dimensi etika
dalam Ekosofi berakar pada prinsip biosentrisme, yang menegaskan bahwa semua
makhluk hidup memiliki nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia.²
Dalam pandangan ini, manusia bukanlah pusat dari keberadaan, melainkan bagian
dari jaringan kehidupan yang lebih besar.³ Oleh karena itu, segala tindakan
manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap semua makhluk hidup dan
lingkungan mereka.
Arne Naess, pencetus Ekosofi,
menyatakan bahwa penghormatan terhadap alam bukanlah pilihan etis, melainkan
kewajiban moral yang melekat pada keberadaan manusia sebagai bagian dari
biosfer.⁴ Hal ini melibatkan pengakuan bahwa alam memiliki hak untuk berkembang
tanpa campur tangan destruktif manusia.⁵
5.2. Tanggung Jawab Intergenerasional
Etika
dalam Ekosofi juga menekankan pentingnya tanggung jawab intergenerasional,
yaitu kewajiban moral manusia untuk melindungi lingkungan bagi generasi
mendatang.⁶ Konsep ini didasarkan pada kesadaran bahwa kerusakan ekologi saat
ini akan berdampak panjang pada kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lainnya di masa depan.⁷
Sebagai bagian dari tanggung
jawab ini, Ekosofi mendorong praktik keberlanjutan yang mengurangi eksploitasi
sumber daya alam dan memprioritaskan konservasi ekosistem.⁸ Dengan demikian,
manusia dituntut untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih sederhana dan sesuai
dengan batas-batas ekologis.⁹
5.3. Etika Holistik
Dimensi etika
dalam Ekosofi tidak hanya mencakup individu, tetapi juga komunitas ekologi
secara keseluruhan.¹⁰ Aldo Leopold, melalui konsep land
ethic, menggarisbawahi pentingnya memperluas rasa tanggung
jawab moral untuk mencakup tanah, air, dan semua elemen lingkungan.¹¹ Dalam
kerangka ini, manusia dipandang sebagai bagian integral dari komunitas
ekologis, bukan penguasa yang bebas mengeksploitasi alam.
Etika holistik ini menuntut
manusia untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan individu, tetapi juga
keseimbangan keseluruhan ekosistem.¹² Hal ini menciptakan pendekatan yang
inklusif, di mana setiap keputusan manusia harus mempertimbangkan dampaknya
terhadap seluruh makhluk hidup dan lingkungan mereka.
5.4. Hubungan dengan Tradisi Etika Timur
Ekosofi juga terinspirasi
oleh tradisi etika Timur, seperti ajaran ahimsa
(non-kekerasan) dalam Buddhisme dan Hindu.¹³ Prinsip ini menegaskan pentingnya
menghindari kerusakan terhadap makhluk hidup lain, baik secara fisik maupun
ekologis.¹⁴ Selain itu, konsep Taoisme tentang wu wei
(bertindak sesuai dengan alur alam) memberikan pandangan etis yang menekankan
harmoni dan keselarasan dengan lingkungan alam.¹⁵
5.5. Aplikasi Etika Ekosofi dalam Kehidupan Modern
Ekosofi tidak hanya berbicara
dalam ranah teori, tetapi juga mendorong tindakan nyata. Dimensi etika
ini diterapkan dalam berbagai gerakan lingkungan modern, seperti kampanye untuk
energi terbarukan, pengelolaan limbah yang berkelanjutan, dan konservasi
keanekaragaman hayati.¹⁶ Selain itu, pengembangan kebijakan lingkungan yang
berorientasi pada keberlanjutan sering kali merujuk pada prinsip-prinsip etika
Ekosofi sebagai panduan.¹⁷
Melalui dimensi etika
yang mendalam, Ekosofi mengundang manusia untuk mengadopsi pendekatan hidup
yang menghormati alam dan mengutamakan keseimbangan ekologis. Ini adalah seruan
untuk tidak hanya bertindak sebagai pelindung lingkungan, tetapi juga sebagai
bagian dari alam itu sendiri.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of
an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.
[2]
Ibid., 32.
[3]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New
York Press, 1995), 80–81.
[4]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A
Summary,” Inquiry
16, no. 1 (1973): 95–96.
[5]
Ibid., 98.
[6]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
45.
[7]
J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A Multicultural Survey of
Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the Australian Outback
(Berkeley: University of California Press, 1994), 50.
[8]
Ibid., 51–52.
[9]
Freya Mathews, The Ecological Self (London:
Routledge, 1991), 22.
[10]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford:
Oxford University Press, 1949), 204–207.
[11]
Ibid., 210.
[12]
Ibid., 215.
[13]
Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory
Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 21–22.
[14]
David Loy, A Buddhist History of the West: Studies in Lack
(Albany: State University of New York Press, 2002), 123.
[15]
Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon
Books, 1957), 91–93.
[16]
Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton
Mifflin, 1962), 6.
[17]
J. Donald Hughes, An Environmental History of the World:
Humankind's Changing Role in the Community of Life (London:
Routledge, 2001), 118.
6.
Penerapan
Ekosofi dalam Kehidupan Modern
Ekosofi sebagai paradigma filsafat yang
menghubungkan manusia dan alam memiliki relevansi yang signifikan dalam
menghadapi tantangan ekologis modern. Pemikiran ini telah menginspirasi
berbagai pendekatan dan inisiatif praktis yang bertujuan untuk menciptakan
keberlanjutan ekologis dan harmoni antara manusia dan lingkungan. Berikut
adalah beberapa bentuk penerapan Ekosofi dalam kehidupan modern:
6.1. Perubahan Pola Konsumsi
Ekosofi mendorong individu
untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan, dengan
mengurangi konsumsi yang berlebihan dan menghindari pemborosan sumber daya.¹
Prinsip ini dikenal sebagai kesederhanaan sukarela (voluntary
simplicity), yang dianjurkan oleh Arne Naess sebagai cara untuk mengurangi
dampak manusia terhadap lingkungan.²
Langkah-langkah konkret
seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih produk yang ramah
lingkungan, dan mengutamakan konsumsi lokal telah menjadi bagian dari gerakan
global menuju keberlanjutan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Ekosofi.³
6.2. Praktik Keberlanjutan dalam Bisnis
Dalam dunia bisnis, prinsip
Ekosofi telah diterapkan melalui konsep ekonomi sirkular,
yang berfokus pada daur ulang, pengurangan limbah, dan perancangan ulang proses
produksi agar lebih efisien secara ekologis.⁴ Perusahaan seperti Patagonia dan
IKEA telah mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam operasi mereka
dengan menggunakan bahan daur ulang dan mendukung inisiatif konservasi.⁵
Ekosofi juga mendorong para
pemimpin bisnis untuk melihat keberlanjutan sebagai tanggung jawab moral, bukan
hanya sebagai strategi keuntungan jangka pendek.⁶
6.3. Kebijakan Lingkungan Berbasis Ekosofi
Di tingkat pemerintahan,
Ekosofi menginspirasi pembuatan kebijakan yang bertujuan melindungi ekosistem
dan mengurangi dampak perubahan iklim. Misalnya, pengembangan kota
hijau (green cities) seperti
Copenhagen dan Singapura mencerminkan upaya integrasi antara pembangunan urban
dan konservasi lingkungan.⁷
Selain itu, kebijakan tentang
energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan konservasi keanekaragaman hayati
merupakan langkah nyata dalam menerapkan prinsip-prinsip Ekosofi di tingkat
sistemik.⁸
6.4. Pendidikan Lingkungan
Ekosofi menekankan pentingnya
pendidikan lingkungan untuk membangun kesadaran tentang hubungan manusia dan
alam. Pendekatan ini tidak hanya mengajarkan fakta ilmiah, tetapi juga
menanamkan nilai-nilai etika
lingkungan dalam proses pembelajaran.⁹
Institusi pendidikan di
berbagai negara telah mengintegrasikan program berbasis Ekosofi, seperti kegiatan
menanam pohon, pengelolaan kebun sekolah, dan pembelajaran di luar ruangan,
untuk mendorong siswa memahami pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.¹⁰
6.5. Gerakan Sosial dan Advokasi Lingkungan
Ekosofi menjadi inspirasi
bagi gerakan sosial yang menyerukan perlindungan alam dan keadilan ekologis.
Gerakan seperti Fridays for Future, yang
dipelopori oleh Greta Thunberg, dan inisiatif lokal seperti konservasi hutan
hujan di Amazon mencerminkan penerapan nilai-nilai Ekosofi dalam aksi
kolektif.¹¹
Gerakan ini tidak hanya
menekankan pentingnya mengatasi perubahan iklim, tetapi juga menyerukan
tanggung jawab moral manusia terhadap semua makhluk hidup.¹²
6.6. Pemanfaatan Teknologi Hijau
Kemajuan teknologi modern
telah memungkinkan penerapan Ekosofi melalui pengembangan teknologi hijau,
seperti panel surya, mobil listrik, dan sistem pengelolaan air yang efisien.¹³
Teknologi ini mendukung transisi menuju sistem energi yang lebih ramah
lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.¹⁴
Namun, Ekosofi mengingatkan
bahwa teknologi harus digunakan dengan bijak, tanpa melupakan nilai-nilai moral
yang mengutamakan keseimbangan ekosistem.¹⁵
Kesimpulan: Relevansi Ekosofi dalam Dunia Modern
Penerapan Ekosofi dalam
kehidupan modern menunjukkan bagaimana filsafat ini dapat
menjadi panduan etis dan praktis untuk menciptakan harmoni antara manusia dan
alam. Melalui perubahan gaya hidup, kebijakan berkelanjutan, dan inovasi
teknologi, Ekosofi menawarkan solusi untuk tantangan lingkungan global
sekaligus memperkuat hubungan manusia dengan alam.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of
an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 52.
[2]
Ibid., 55.
[3]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New
York Press, 1995), 110.
[4]
J. Donald Hughes, An Environmental History of the World:
Humankind's Changing Role in the Community of Life (London:
Routledge, 2001), 192–194.
[5]
Andrew Savitz, The Triple Bottom Line: How Today's Best-Run
Companies Are Achieving Economic, Social, and Environmental Success
(San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 87.
[6]
Ibid., 89.
[7]
Peter Newman, Timothy Beatley, dan Heather Boyer, Resilient
Cities: Responding to Peak Oil and Climate Change (Washington,
D.C.: Island Press, 2009), 45–46.
[8]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
123–124.
[9]
David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and
the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994), 43.
[10]
Ibid., 48.
[11]
Greta Thunberg, No One Is Too Small to Make a Difference
(London: Penguin Books, 2019), 17–18.
[12]
Ibid., 25.
[13]
Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking
of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 258–260.
[14]
Ibid., 262.
[15]
Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory
Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 30.
7.
Tantangan
dan Kritik terhadap Ekosofi
Meskipun Ekosofi menawarkan
paradigma baru yang mengedepankan harmoni antara manusia dan alam, gagasan ini
tidak lepas dari tantangan dan kritik. Berbagai pihak mempertanyakan
kepraktisan, keefektifan, serta implikasi dari penerapan Ekosofi dalam konteks
sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks.
7.1. Kesulitan Implementasi dalam Skala Global
Salah satu kritik utama
terhadap Ekosofi adalah kesulitan untuk menerapkan prinsip-prinsipnya dalam
skala global. Pendekatan yang menekankan keseimbangan ekologis dan etika alam
sering kali bertentangan dengan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara
industri.¹ Sebagai contoh, upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan
bakar fosil sering dihalangi oleh lobi kuat dari perusahaan energi besar.²
Selain itu, disparitas
ekonomi antara negara maju dan berkembang memperumit implementasi Ekosofi,
karena negara-negara berkembang sering kali menghadapi tekanan untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi meskipun harus mengorbankan lingkungan.³
7.2. Kritik terhadap Konsep Kesetaraan Alam dan Manusia
Beberapa filsuf dan pemikir
lingkungan mengkritik gagasan Arne Naess tentang kesetaraan intrinsik antara
semua bentuk kehidupan.⁴ Mereka berpendapat bahwa konsep ini terlalu idealis
dan sulit untuk diterapkan dalam praktik, terutama ketika kebutuhan manusia
berbenturan dengan keberlanjutan ekologis.⁵ Misalnya, pertanyaan tentang apakah
manusia harus mengorbankan kebutuhan dasar mereka demi melestarikan spesies
tertentu menimbulkan dilema etis yang kompleks.⁶
7.3. Keterbatasan dalam Menjawab Masalah Sosial
Ekosofi cenderung fokus pada
hubungan manusia dan alam, tetapi sering kali dianggap kurang memberikan
perhatian pada isu-isu sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan
ketimpangan gender.⁷ Para kritikus menilai bahwa tanpa mempertimbangkan dimensi
sosial ini, Ekosofi dapat kehilangan relevansinya dalam menghadapi tantangan
dunia nyata yang saling terkait.⁸
7.4. Tantangan dalam Pendidikan dan Penyebaran Gagasan
Penyebaran nilai-nilai
Ekosofi menghadapi kendala dalam sistem pendidikan modern, yang sering kali
lebih berorientasi pada tujuan ekonomi daripada pembentukan kesadaran
ekologis.⁹ Para pendidik sering kali merasa sulit untuk menanamkan nilai-nilai
Ekosofi dalam kurikulum yang sudah padat dan pragmatis.¹⁰
7.5. Kritik dari Perspektif Teknologi dan Modernitas
Beberapa kritikus teknologi
menilai bahwa Ekosofi tidak sepenuhnya menghargai potensi teknologi modern
untuk menyelesaikan masalah lingkungan.¹¹ Mereka berpendapat bahwa solusi
ekologis tidak selalu memerlukan perubahan paradigma besar, tetapi bisa dicapai
melalui inovasi teknologi seperti energi terbarukan dan pertanian
berkelanjutan.¹²
Sebaliknya, para pendukung
Ekosofi mengingatkan bahwa teknologi tanpa nilai etis justru dapat memperburuk
kerusakan ekologis.¹³ Oleh karena itu, perdebatan antara pendekatan teknologi
dan filosofi ekologis tetap menjadi tantangan besar.
7.6. Politisasi dan Komodifikasi Lingkungan
Ekosofi juga menghadapi ancaman
dari politisasi dan komodifikasi lingkungan, di mana upaya pelestarian alam
sering kali diperalat untuk kepentingan ekonomi dan politik tertentu.¹⁴
Misalnya, proyek-proyek karbon offset yang dirancang untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca sering kali lebih menguntungkan perusahaan besar daripada
benar-benar melindungi lingkungan.¹⁵
Kesimpulan: Perlu Pendekatan Holistik
Tantangan dan kritik terhadap
Ekosofi menunjukkan bahwa paradigma ini tidak sempurna dan memerlukan
pengembangan lebih lanjut. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan
nilai-nilai Ekosofi dengan pertimbangan ekonomi, sosial, dan teknologi
diperlukan untuk menghadapi kompleksitas dunia modern. Dengan demikian, Ekosofi
tetap relevan sebagai landasan etis yang mendasari upaya menuju keberlanjutan
ekologis.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of
an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg
(Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 92.
[2]
J. Donald Hughes, An Environmental History of the World:
Humankind's Changing Role in the Community of Life (London:
Routledge, 2001), 205.
[3]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
143–145.
[4]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New
York Press, 1995), 78.
[5]
Ibid., 81.
[6]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 295–297.
[7]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980),
143–145.
[8]
Ibid., 147.
[9]
David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and
the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994), 89.
[10]
Ibid., 93.
[11]
Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking
of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 272.
[12]
Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory
Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 45.
[13]
Ibid., 47.
[14]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 36.
[15]
Ibid., 39.
8.
Ekosofi
dan Masa Depan Filsafat Lingkungan
Ekosofi, sebagai paradigma filsafat yang
mengedepankan harmoni antara manusia dan alam, memiliki potensi besar untuk
membentuk arah masa depan filsafat
lingkungan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai etika,
ekologi, dan spiritualitas, Ekosofi menawarkan landasan konseptual yang kuat
untuk menghadapi tantangan lingkungan global yang semakin mendesak. Namun, masa
depan Ekosofi akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk menjawab dinamika
perubahan zaman dan mengadaptasi prinsip-prinsipnya dalam konteks global yang
terus berkembang.
8.1. Ekosofi sebagai Landasan Keberlanjutan Global
Ekosofi menghadirkan
paradigma baru yang mengakui keterkaitan antara manusia dan seluruh komponen
ekosistem.¹ Prinsip-prinsip ini menekankan bahwa keberlanjutan tidak hanya
tentang menjaga keseimbangan ekologis, tetapi juga tentang menciptakan harmoni
yang berkelanjutan antara nilai-nilai budaya, spiritual, dan sosial.² Dalam
konteks ini, Ekosofi dapat berkontribusi pada pengembangan kebijakan lingkungan
global yang berlandaskan pada keadilan ekologis.³
Di masa depan, penerapan
nilai-nilai Ekosofi dapat menjadi panduan dalam merancang model pembangunan
yang lebih inklusif dan berkelanjutan.⁴ Misalnya, konsep keberlanjutan yang
dipadukan dengan pendekatan Ekosofi dapat mendorong negara-negara untuk
mengadopsi praktik ekonomi hijau yang tidak hanya memperhatikan pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga keseimbangan ekologis.⁵
8.2. Integrasi dengan Teknologi dan Inovasi
Masa depan Ekosofi juga akan
bergantung pada kemampuannya untuk bekerja berdampingan dengan kemajuan
teknologi.⁶ Meskipun kritik terhadap teknologi sering muncul dalam diskusi
Ekosofi,⁷ beberapa pemikir menyarankan bahwa teknologi modern dapat menjadi
alat untuk mencapai tujuan ekologis, asalkan digunakan dengan prinsip etika
yang jelas.⁸ Contohnya adalah penggunaan energi terbarukan dan teknologi
berbasis kecerdasan buatan untuk mengelola sumber daya alam secara lebih
efisien.⁹
Namun, penting bagi Ekosofi
untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengorbankan nilai-nilai inti
yang mendasarinya, seperti penghormatan terhadap alam dan kesadaran
spiritual.¹⁰ Oleh karena itu, masa depan filsafat
lingkungan akan memerlukan keseimbangan antara inovasi teknologi dan
prinsip etika
yang berkelanjutan.¹¹
8.3. Ekosofi sebagai Inspirasi Gerakan Sosial
Ekosofi memiliki potensi untuk
menginspirasi gerakan sosial yang lebih luas, khususnya dalam mendorong
kesadaran masyarakat tentang pentingnya hubungan manusia dengan alam.¹² Dalam
dekade mendatang, Ekosofi dapat menjadi dasar bagi gerakan-gerakan global yang
menuntut tanggung jawab lingkungan dari pemerintah dan korporasi.¹³
Gerakan seperti Fridays for
Future yang dipelopori oleh Greta Thunberg, misalnya, dapat memperluas cakupan
mereka dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Ekosofi, sehingga tuntutan
mereka tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi karbon, tetapi juga pada
transformasi nilai-nilai etika
dan budaya masyarakat.¹⁴
8.4. Kontribusi pada Pengembangan Filsafat Lingkungan
Sebagai cabang filsafat,
Ekosofi terus berkontribusi pada pengembangan teori-teori lingkungan yang lebih
komprehensif.¹⁵ Dengan mengintegrasikan pandangan transdisipliner dari berbagai
bidang, seperti biologi, ekologi, dan ilmu sosial, Ekosofi membantu filsafat
lingkungan untuk mengatasi persoalan-persoalan kompleks yang tidak bisa
diselesaikan hanya dengan pendekatan ilmiah.¹⁶
Ekosofi juga membuka ruang
untuk dialog antar budaya tentang bagaimana manusia memahami hubungan mereka
dengan alam.¹⁷ Dalam dunia yang semakin terhubung, dialog ini akan menjadi
kunci dalam membangun konsensus global tentang pentingnya menjaga keberlanjutan
ekologi.¹⁸
8.5. Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Meskipun memiliki potensi
besar, masa depan Ekosofi juga menghadapi tantangan, termasuk resistensi
terhadap perubahan paradigma yang ditawarkannya.¹⁹ Namun, dengan terus
mendorong pendidikan yang berbasis pada kesadaran ekologis dan etika,
Ekosofi dapat membantu menciptakan generasi baru yang lebih peduli terhadap
keberlanjutan lingkungan.²⁰
Kesimpulan: Pilar Masa Depan Keberlanjutan
Ekosofi, dengan visi
holistiknya, memiliki peran penting dalam membentuk masa depan filsafat
lingkungan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai etika,
teknologi,
dan gerakan sosial, Ekosofi dapat menjadi pilar utama dalam perjuangan menuju
dunia yang lebih berkelanjutan. Namun, keberhasilannya akan bergantung pada
kemampuan para pendukungnya untuk menjawab tantangan global secara adaptif dan
inklusif.
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of
an Ecosophy, diterjemahkan oleh David Rothenberg (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 98.
[2]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New
Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New
York Press, 1995), 85.
[3]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
150.
[4]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 162.
[5]
Ibid., 167.
[6]
Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory
Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 53.
[7]
Ibid., 54.
[8]
Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking
of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 280.
[9]
Ibid., 285.
[10]
David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and
the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994), 102.
[11]
Ibid., 105.
[12]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 52.
[13]
Ibid., 55.
[14]
Ibid., 59.
[15]
J. Donald Hughes, An Environmental History of the World:
Humankind's Changing Role in the Community of Life (London:
Routledge, 2001), 220.
[16]
Ibid., 225.
[17]
Bryan G. Norton, Sustainability, 178.
[18]
Ibid., 182.
[19]
Naomi Klein, This Changes Everything, 72.
[20]
David W. Orr, Earth in Mind, 115.
9.
Kesimpulan
Ekosofi, sebagai paradigma filsafat yang
holistik, mengintegrasikan dimensi etika,
ekologi, dan spiritualitas dalam upaya menciptakan harmoni antara manusia dan
alam. Dengan mengakui hubungan mendalam antara seluruh komponen ekosistem,
Ekosofi tidak hanya menawarkan solusi konseptual terhadap krisis lingkungan
global tetapi juga menginspirasi cara berpikir yang lebih inklusif dan
transformatif.¹
Sebagai kerangka berpikir,
Ekosofi memandang manusia bukan sebagai penguasa alam, tetapi sebagai bagian
integral dari jaringan kehidupan yang saling terkait.² Pendekatan ini menuntut
transformasi mendasar dalam cara manusia memahami dan berinteraksi dengan
lingkungan.³ Prinsip-prinsip yang ditekankan dalam Ekosofi, seperti
kesederhanaan, keberlanjutan, dan tanggung jawab etis terhadap alam, memberikan
landasan bagi pembangunan yang lebih berkeadilan.⁴
Meskipun dihadapkan pada
tantangan, seperti resistensi terhadap perubahan paradigma dan eksploitasi alam
yang terus berlanjut, Ekosofi tetap relevan sebagai panduan untuk menghadapi
masalah lingkungan modern.⁵ Pendekatannya yang adaptif memungkinkan Ekosofi
untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, termasuk mengintegrasikan
teknologi yang bertanggung jawab dan mendorong gerakan sosial yang lebih sadar
lingkungan.⁶
Lebih dari sekadar filsafat
lingkungan, Ekosofi membuka ruang bagi dialog antar budaya tentang
bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan alam.⁷ Dalam era globalisasi yang
semakin kompleks, dialog ini menjadi kunci untuk mencapai konsensus global
mengenai keberlanjutan ekologi.⁸ Dengan cara ini, Ekosofi berperan tidak hanya
sebagai paradigma filsafat
tetapi juga sebagai gerakan yang menginspirasi perubahan sosial, politik, dan
budaya menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.⁹
Kesimpulannya, Ekosofi adalah
landasan konseptual yang penting untuk menghadapi tantangan lingkungan masa
depan. Dengan visi holistik dan pendekatannya yang berakar pada harmoni manusia
dan alam, Ekosofi memiliki potensi untuk menjadi pilar utama dalam membangun
dunia yang berkelanjutan dan adil.¹⁰ Namun, keberhasilannya sangat bergantung
pada komitmen kolektif untuk menerapkan nilai-nilai yang ditawarkannya secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, diterjemahkan oleh David Rothenberg (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 28.
[2]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University
of New York Press, 1995), 15.
[3]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row,
1980), 56.
[4]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of
Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
102.
[5]
Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology
Movement: An Introductory Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995),
47.
[6]
Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and
the Remaking of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 310.
[7]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism
vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 88.
[8]
David W. Orr, Earth in Mind: On Education,
Environment, and the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994),
77.
[9]
J. Donald Hughes, An Environmental History of
the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life (London:
Routledge, 2001), 196.
[10]
Carolyn Merchant, The Death of Nature, 78.
[11]
Bryan G. Norton, Sustainability, 125.
Daftar Pustaka
Drengson, A., & Inoue, Y. (1995). The Deep
Ecology Movement: An Introductory Anthology. Berkeley: North Atlantic
Books.
Fox, W. (1995). Toward a Transpersonal Ecology:
Developing New Foundations for Environmentalism. Albany: State University
of New York Press.
Hughes, J. D. (2001). An Environmental History
of the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life. London:
Routledge.
Klein, N. (2014). This Changes Everything:
Capitalism vs. The Climate. New York: Simon & Schuster.
Merchant, C. (1980). The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution. San Francisco: Harper & Row.
Naess, A. (1989). Ecology, Community, and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Norton, B. G. (2005). Sustainability: A
Philosophy of Adaptive Ecosystem Management. Chicago: University of Chicago
Press.
Orr, D. W. (1994). Earth in Mind: On Education,
Environment, and the Human Prospect. Washington, D.C.: Island Press.
Yergin, D. (2011). The Quest: Energy, Security,
and the Remaking of the Modern World. New York: Penguin Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar