Selasa, 21 Januari 2025

Ekosofi: Paradigma Filsafat untuk Harmoni Manusia dan Alam

Ekosofi

Paradigma Filsafat untuk Harmoni Manusia dan Alam


Abstrak

Artikel ini membahas konsep Ekosofi sebagai paradigma filsafat yang mengedepankan harmoni antara manusia dan alam. Ekosofi, yang pertama kali dikembangkan oleh Arne Naess, menawarkan perspektif baru dalam filsafat lingkungan dengan menekankan hubungan simbiosis antara manusia dan ekosistem. Dalam artikel ini, dibahas asal-usul, perkembangan, serta konsep dasar Ekosofi, termasuk dimensi etika yang mendasarinya, tokoh-tokoh utama yang berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Ekosofi, dan penerapannya dalam konteks kehidupan modern. Ekosofi bukan hanya teori, tetapi juga panduan praktis untuk menciptakan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial. Artikel ini juga mengidentifikasi tantangan dan kritik terhadap Ekosofi serta mengkaji masa depannya dalam mengarahkan filsafat lingkungan menuju solusi lebih holistik di tengah krisis ekologis global. Dengan fokus pada integrasi antara etika, ekologi, dan teknologi, artikel ini mengajak pembaca untuk mengadopsi prinsip-prinsip Ekosofi sebagai bagian dari gerakan menuju dunia yang lebih berkelanjutan.

Kata kunci: Ekosofi, filsafat lingkungan, harmoni manusia dan alam, keberlanjutan ekologis, etika lingkungan, Arne Naess, krisis ekologis, prinsip keberlanjutan.


1.           Pendahuluan

Manusia dan alam telah lama terlibat dalam hubungan yang kompleks, saling ketergantungan, dan kadang kala konflik. Seiring dengan laju perkembangan teknologi dan industrialisasi, eksploitasi terhadap alam semakin meningkat, memicu krisis lingkungan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi ekosistem. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak akan pendekatan filosofis yang mampu memandu manusia dalam membangun hubungan harmonis dengan alam. Salah satu pendekatan yang menonjol adalah Ekosofi, suatu paradigma filosofis yang mengintegrasikan pemikiran ekologis dan etika lingkungan.

Ekosofi, sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Norwegia Arne Naess pada tahun 1973, bukan hanya mencakup filsafat teoretis, tetapi juga panduan praktis untuk hidup selaras dengan lingkungan.¹ Naess memandang Ekosofi sebagai refleksi mendalam terhadap krisis ekologis yang dihadapi manusia, yang membutuhkan perubahan paradigma dari pendekatan antroposentris ke pendekatan yang lebih holistik dan biosentris.² Dalam pandangan ini, manusia dipandang sebagai bagian integral dari ekosistem, bukan penguasa alam.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan konsep Ekosofi, menggali relevansinya dalam konteks modern, dan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam penerapannya. Dengan menggunakan sumber-sumber referensi yang kredibel, artikel ini akan menguraikan asal-usul Ekosofi, prinsip-prinsip utamanya, kontribusi para pemikir besar, serta implikasi praktisnya bagi keberlanjutan lingkungan dan masyarakat global. Pembahasan ini diharapkan mampu memberikan wawasan filosofis yang mendalam sekaligus menawarkan solusi strategis untuk mengatasi krisis lingkungan kontemporer.

Dalam era modern, filsafat lingkungan, termasuk Ekosofi, semakin relevan. Kerusakan lingkungan yang masif menuntut pendekatan yang tidak hanya berbasis sains, tetapi juga etika.³ Pemikiran filosofis diperlukan untuk menjawab pertanyaan mendasar: Apa tanggung jawab moral manusia terhadap alam? Bagaimana kita dapat hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya? Melalui refleksi ini, Ekosofi hadir sebagai jawaban yang tidak hanya mempertimbangkan keberlanjutan ekologis, tetapi juga keseimbangan moral dan spiritual manusia.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 3–4.

[2]                Ibid., 5–7.

[3]                J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A Multicultural Survey of Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the Australian Outback (Berkeley: University of California Press, 1994), 12–15.


2.           Asal-Usul dan Perkembangan Ekosofi

Ekosofi berasal dari kata Yunani oikos yang berarti “rumah” atau “lingkungan” dan sophia yang berarti “kebijaksanaan.”¹ Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Norwegia Arne Naess pada tahun 1973 untuk mendefinisikan pendekatan filosofis terhadap ekologi mendalam (deep ecology).² Sebagai respons terhadap krisis lingkungan yang semakin memburuk pada abad ke-20, Naess mencetuskan gagasan bahwa solusi terhadap masalah ekologis tidak dapat dicapai hanya melalui pendekatan teknis atau ilmiah. Sebaliknya, perubahan paradigma moral dan filosofis yang mendasar diperlukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.³

Naess mendasarkan konsep Ekosofi pada pandangan biosentris yang menekankan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia.⁴ Konsep ini berbeda tajam dengan pendekatan antroposentris yang mendominasi pemikiran Barat sejak Revolusi Industri. Dalam kerangka Ekosofi, Naess mengusulkan pengembangan “ekologi mendalam” sebagai upaya untuk memahami keterkaitan semua elemen dalam ekosistem, menolak pandangan dualistik antara manusia dan alam, dan menekankan keberlanjutan ekologis sebagai prinsip moral utama.⁵

Perkembangan Ekosofi juga dipengaruhi oleh tradisi filosofis Timur, seperti Taoisme dan Buddhisme, yang sejak awal telah mengajarkan harmoni manusia dengan alam.⁶ Pemikiran Taoisme tentang wu wei (bertindak sesuai dengan alur alam) dan prinsip non-intervensi menjadi landasan penting bagi gagasan Ekosofi tentang menghormati dan bekerja dengan, bukan melawan, alam.⁷

Di sisi lain, tradisi Barat juga memberikan kontribusi signifikan. Pemikiran filsuf seperti Henry David Thoreau dalam karyanya Walden (1854) dan Aldo Leopold dalam A Sand County Almanac (1949) telah meletakkan dasar bagi etika lingkungan yang sejalan dengan prinsip Ekosofi.⁸ Pemikiran ini memperluas wacana tentang keberlanjutan ekologis dari diskusi ilmiah menjadi diskusi moral dan spiritual, menciptakan fondasi intelektual yang lebih luas bagi perkembangan Ekosofi.

Ekosofi kini telah berkembang menjadi pendekatan multidisipliner yang mengintegrasikan filsafat, ekologi, etika, dan spiritualitas. Sebagai paradigma, Ekosofi tidak hanya berfungsi sebagai kerangka berpikir tetapi juga sebagai panduan praktis untuk menciptakan kebijakan lingkungan yang berkelanjutan.⁹ Transformasinya dari ide filsafat teoretis menjadi gerakan global menunjukkan relevansinya dalam menjawab tantangan lingkungan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.

[2]                Ibid., 3.

[3]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 80–82.

[4]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A Summary,” Inquiry 16, no. 1 (1973): 95–100.

[5]                Ibid., 96.

[6]                J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A Multicultural Survey of Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the Australian Outback (Berkeley: University of California Press, 1994), 45–50.

[7]                Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon Books, 1957), 91.

[8]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 240–245.

[9]                Freya Mathews, The Ecological Self (London: Routledge, 1991), 62–64.


3.           Konsep Dasar Ekosofi

Ekosofi, sebagai paradigma filosofis, menawarkan kerangka berpikir yang menggabungkan filsafat, ekologi, dan etika untuk membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam. Istilah ini mencakup lebih dari sekadar kajian intelektual; Ekosofi menuntut perubahan cara hidup yang mendalam dan berkelanjutan.¹ Arne Naess, pencetus konsep ini, menekankan bahwa Ekosofi adalah refleksi pribadi tentang nilai-nilai fundamental yang memandu manusia dalam memahami tempatnya dalam alam semesta.²

3.1.       Definisi dan Prinsip Dasar

Ekosofi bukan hanya cabang filsafat, tetapi juga pandangan dunia yang holistik. Naess menjelaskan bahwa Ekosofi memiliki inti yang bersifat biosentris, yaitu pengakuan atas nilai intrinsik dari semua bentuk kehidupan, baik manusia maupun non-manusia.³ Konsep ini menolak pandangan antroposentris yang memandang manusia sebagai pusat dan penguasa alam, serta mengusulkan pendekatan ekologis yang inklusif.⁴

Prinsip-prinsip utama Ekosofi meliputi:

1)                  Kesetaraan Biosentris (Biocentric Equality)

Semua makhluk hidup memiliki hak untuk berkembang dan mempertahankan keberadaannya.⁵ Tidak ada hierarki moral antara manusia dan makhluk lain; semua elemen ekosistem memiliki nilai yang sama pentingnya.

2)                  Interkoneksi Ekologis

Ekosofi menekankan bahwa semua elemen alam saling terhubung dalam jejaring kehidupan yang kompleks.⁶ Oleh karena itu, kerusakan terhadap satu elemen akan memengaruhi keseimbangan keseluruhan ekosistem.

3)                  Keberlanjutan sebagai Tanggung Jawab Moral

Ekosofi mengajarkan pentingnya keberlanjutan ekologis melalui pengurangan eksploitasi sumber daya alam, konservasi, dan penghormatan terhadap batas-batas ekologis.⁷

3.2.       Pendekatan Holistik terhadap Lingkungan

Ekosofi mendekati masalah lingkungan dengan memadukan aspek ilmiah, etis, dan spiritual.⁸ Naess percaya bahwa pendekatan reduksionis yang hanya mengandalkan teknologi tidak cukup untuk menyelesaikan krisis ekologis.⁹ Sebaliknya, manusia perlu mengadopsi pandangan holistik yang memperhitungkan keterkaitan antara faktor sosial, budaya, dan ekologis.

3.3.       Ekosofi dalam Praktik

Naess menggambarkan Ekosofi sebagai filosofi hidup yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.¹⁰ Contoh praktiknya meliputi:

·                     Memprioritaskan konsumsi yang berkelanjutan dan berbasis kebutuhan.

·                     Melibatkan diri dalam aksi-aksi konservasi lingkungan.

·                     Mendorong kebijakan yang mendukung keberlanjutan ekologis.

3.4.       Hubungan dengan Tradisi Lain

Selain inspirasi dari filsafat Barat, Ekosofi juga mendapat pengaruh dari tradisi filsafat Timur, seperti Taoisme dan Buddhisme, yang menekankan harmoni dan keselarasan dengan alam.¹¹ Prinsip-prinsip seperti wu wei dalam Taoisme dan konsep interdependensi dalam Buddhisme memiliki kesamaan dengan nilai-nilai inti Ekosofi.¹²

Dengan landasan filosofis yang kuat, Ekosofi berfungsi sebagai panduan untuk memahami hubungan manusia dengan alam secara lebih dalam. Konsep ini mengarahkan manusia untuk tidak hanya melihat alam sebagai sumber daya, tetapi sebagai mitra yang setara dalam perjalanan kehidupan.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–29.

[2]                Ibid., 30.

[3]                Ibid., 68.

[4]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 80–82.

[5]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A Summary,” Inquiry 16, no. 1 (1973): 95–100.

[6]                Freya Mathews, The Ecological Self (London: Routledge, 1991), 20–21.

[7]                J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A Multicultural Survey of Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the Australian Outback (Berkeley: University of California Press, 1994), 50–52.

[8]                Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 21–22.

[9]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle, 33–35.

[10]             Ibid., 60.

[11]             Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon Books, 1957), 91.

[12]             David Loy, A Buddhist History of the West: Studies in Lack (Albany: State University of New York Press, 2002), 123–125.


4.           Tokoh-Tokoh Utama dan Pemikiran Mereka

Konsep Ekosofi dikembangkan melalui kontribusi pemikiran berbagai tokoh, baik dari tradisi Barat maupun Timur, yang menekankan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dan alam. Berikut adalah beberapa tokoh utama yang berperan dalam membentuk dan mengembangkan paradigma ini:

4.1.       Arne Naess

Sebagai pencetus istilah Ekosofi, Arne Naess memainkan peran sentral dalam pembentukan konsep ini. Naess memandang Ekosofi sebagai pendekatan holistik untuk memahami hubungan antara manusia dan ekosistem. Ia mengembangkan konsep ekologi mendalam (deep ecology), yang menekankan kesetaraan biosentris dan pengakuan nilai intrinsik semua makhluk hidup.¹ Dalam artikelnya “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements,” Naess mengkritik pendekatan dangkal (shallow ecology) yang hanya berfokus pada pemecahan masalah lingkungan secara teknis tanpa mempertimbangkan transformasi nilai-nilai fundamental.²

Naess juga menekankan pentingnya kesederhanaan sukarela sebagai cara untuk mengurangi dampak manusia terhadap lingkungan.³ Dalam pandangan ini, manusia perlu hidup dengan lebih sedikit, selaras dengan kebutuhan dasar mereka, sambil menghormati batas-batas ekologis.⁴

4.2.       Henry David Thoreau

Filsuf dan naturalis Amerika, Henry David Thoreau, melalui karyanya Walden (1854), memberikan kontribusi penting pada fondasi etika lingkungan. Thoreau menekankan perlunya manusia hidup sederhana dan dekat dengan alam untuk menemukan kebijaksanaan dan kebahagiaan sejati.⁵ Pemikiran Thoreau tentang hubungan spiritual antara manusia dan alam memengaruhi banyak pemikir lingkungan modern, termasuk Naess.⁶

4.3.       Aldo Leopold

Sebagai pelopor etika lingkungan, Aldo Leopold memperkenalkan konsep land ethic dalam karyanya A Sand County Almanac (1949). Leopold berpendapat bahwa manusia harus memperluas rasa tanggung jawab moral mereka untuk mencakup seluruh komunitas ekologis, termasuk tanah, air, dan semua makhluk hidup.⁷ Ia melihat manusia sebagai “anggota” komunitas ekologis, bukan penguasanya, sehingga harus bertindak sebagai pelindung dan penjaga keberlanjutan ekosistem.⁸

4.4.       Rachel Carson

Melalui bukunya yang revolusioner, Silent Spring (1962), Rachel Carson membuka mata dunia terhadap bahaya penggunaan pestisida kimia terhadap lingkungan.⁹ Ia menyerukan perubahan paradigma dalam cara manusia memandang alam, dari eksploitasi menuju penghormatan dan perlindungan.¹⁰ Carson memengaruhi perkembangan gerakan lingkungan modern dan memberikan landasan penting bagi diskusi tentang tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.

4.5.       Filsafat Timur

Ekosofi juga dipengaruhi oleh tradisi filsafat Timur, seperti Taoisme dan Buddhisme. Taoisme, melalui konsep wu wei (bertindak sesuai dengan alur alam), menekankan harmoni dengan alam sebagai jalan menuju kehidupan yang seimbang.¹¹ Sementara itu, Buddhisme melalui ajaran tentang interdependensi dan ahimsa (non-kekerasan) menekankan pentingnya menghormati semua makhluk hidup dan menjaga keseimbangan ekologis.¹²

4.6.       Freya Mathews

Sebagai salah satu tokoh kontemporer, Freya Mathews mengembangkan konsep ecological self, yang memperluas identitas manusia untuk mencakup hubungan mereka dengan alam.¹³ Ia berpendapat bahwa manusia hanya dapat mencapai keberlanjutan ekologis jika mereka mengadopsi cara pandang yang menempatkan alam sebagai bagian integral dari diri mereka.¹⁴

Tokoh-tokoh ini, dengan kontribusi pemikiran mereka, telah memberikan dasar intelektual yang kuat bagi Ekosofi, menjadikannya paradigma yang relevan dalam menjawab tantangan lingkungan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 3–4.

[2]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A Summary,” Inquiry 16, no. 1 (1973): 95–100.

[3]                Ibid., 96.

[4]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 82–83.

[5]                Henry David Thoreau, Walden (Boston: Ticknor and Fields, 1854), 23–24.

[6]                Ibid., 35.

[7]                Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 240–245.

[8]                Ibid., 260.

[9]                Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962), 6.

[10]             Ibid., 13.

[11]             Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon Books, 1957), 91.

[12]             David Loy, A Buddhist History of the West: Studies in Lack (Albany: State University of New York Press, 2002), 123–125.

[13]             Freya Mathews, The Ecological Self (London: Routledge, 1991), 20–21.

[14]             Ibid., 62–64.


5.           Dimensi Etika dalam Ekosofi

Salah satu kontribusi utama Ekosofi dalam diskursus lingkungan adalah pendekatannya terhadap etika. Dimensi etika dalam Ekosofi mengacu pada prinsip-prinsip moral yang membimbing hubungan manusia dengan alam, dengan tujuan menciptakan keseimbangan yang harmonis. Etika ini tidak hanya membahas kewajiban manusia terhadap alam, tetapi juga memperluas konsep tanggung jawab moral untuk mencakup seluruh ekosistem.¹

5.1.       Etika Biosentris

Dimensi etika dalam Ekosofi berakar pada prinsip biosentrisme, yang menegaskan bahwa semua makhluk hidup memiliki nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia.² Dalam pandangan ini, manusia bukanlah pusat dari keberadaan, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar.³ Oleh karena itu, segala tindakan manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap semua makhluk hidup dan lingkungan mereka.

Arne Naess, pencetus Ekosofi, menyatakan bahwa penghormatan terhadap alam bukanlah pilihan etis, melainkan kewajiban moral yang melekat pada keberadaan manusia sebagai bagian dari biosfer.⁴ Hal ini melibatkan pengakuan bahwa alam memiliki hak untuk berkembang tanpa campur tangan destruktif manusia.⁵

5.2.       Tanggung Jawab Intergenerasional

Etika dalam Ekosofi juga menekankan pentingnya tanggung jawab intergenerasional, yaitu kewajiban moral manusia untuk melindungi lingkungan bagi generasi mendatang.⁶ Konsep ini didasarkan pada kesadaran bahwa kerusakan ekologi saat ini akan berdampak panjang pada kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di masa depan.⁷

Sebagai bagian dari tanggung jawab ini, Ekosofi mendorong praktik keberlanjutan yang mengurangi eksploitasi sumber daya alam dan memprioritaskan konservasi ekosistem.⁸ Dengan demikian, manusia dituntut untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih sederhana dan sesuai dengan batas-batas ekologis.⁹

5.3.       Etika Holistik

Dimensi etika dalam Ekosofi tidak hanya mencakup individu, tetapi juga komunitas ekologi secara keseluruhan.¹⁰ Aldo Leopold, melalui konsep land ethic, menggarisbawahi pentingnya memperluas rasa tanggung jawab moral untuk mencakup tanah, air, dan semua elemen lingkungan.¹¹ Dalam kerangka ini, manusia dipandang sebagai bagian integral dari komunitas ekologis, bukan penguasa yang bebas mengeksploitasi alam.

Etika holistik ini menuntut manusia untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan individu, tetapi juga keseimbangan keseluruhan ekosistem.¹² Hal ini menciptakan pendekatan yang inklusif, di mana setiap keputusan manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap seluruh makhluk hidup dan lingkungan mereka.

5.4.       Hubungan dengan Tradisi Etika Timur

Ekosofi juga terinspirasi oleh tradisi etika Timur, seperti ajaran ahimsa (non-kekerasan) dalam Buddhisme dan Hindu.¹³ Prinsip ini menegaskan pentingnya menghindari kerusakan terhadap makhluk hidup lain, baik secara fisik maupun ekologis.¹⁴ Selain itu, konsep Taoisme tentang wu wei (bertindak sesuai dengan alur alam) memberikan pandangan etis yang menekankan harmoni dan keselarasan dengan lingkungan alam.¹⁵

5.5.       Aplikasi Etika Ekosofi dalam Kehidupan Modern

Ekosofi tidak hanya berbicara dalam ranah teori, tetapi juga mendorong tindakan nyata. Dimensi etika ini diterapkan dalam berbagai gerakan lingkungan modern, seperti kampanye untuk energi terbarukan, pengelolaan limbah yang berkelanjutan, dan konservasi keanekaragaman hayati.¹⁶ Selain itu, pengembangan kebijakan lingkungan yang berorientasi pada keberlanjutan sering kali merujuk pada prinsip-prinsip etika Ekosofi sebagai panduan.¹⁷

Melalui dimensi etika yang mendalam, Ekosofi mengundang manusia untuk mengadopsi pendekatan hidup yang menghormati alam dan mengutamakan keseimbangan ekologis. Ini adalah seruan untuk tidak hanya bertindak sebagai pelindung lingkungan, tetapi juga sebagai bagian dari alam itu sendiri.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.

[2]                Ibid., 32.

[3]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 80–81.

[4]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A Summary,” Inquiry 16, no. 1 (1973): 95–96.

[5]                Ibid., 98.

[6]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 45.

[7]                J. Baird Callicott, Earth’s Insights: A Multicultural Survey of Ecological Ethics from the Mediterranean Basin to the Australian Outback (Berkeley: University of California Press, 1994), 50.

[8]                Ibid., 51–52.

[9]                Freya Mathews, The Ecological Self (London: Routledge, 1991), 22.

[10]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (Oxford: Oxford University Press, 1949), 204–207.

[11]             Ibid., 210.

[12]             Ibid., 215.

[13]             Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 21–22.

[14]             David Loy, A Buddhist History of the West: Studies in Lack (Albany: State University of New York Press, 2002), 123.

[15]             Alan Watts, The Way of Zen (New York: Pantheon Books, 1957), 91–93.

[16]             Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962), 6.

[17]             J. Donald Hughes, An Environmental History of the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life (London: Routledge, 2001), 118.


6.           Penerapan Ekosofi dalam Kehidupan Modern

Ekosofi sebagai paradigma filsafat yang menghubungkan manusia dan alam memiliki relevansi yang signifikan dalam menghadapi tantangan ekologis modern. Pemikiran ini telah menginspirasi berbagai pendekatan dan inisiatif praktis yang bertujuan untuk menciptakan keberlanjutan ekologis dan harmoni antara manusia dan lingkungan. Berikut adalah beberapa bentuk penerapan Ekosofi dalam kehidupan modern:

6.1.       Perubahan Pola Konsumsi

Ekosofi mendorong individu untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan, dengan mengurangi konsumsi yang berlebihan dan menghindari pemborosan sumber daya.¹ Prinsip ini dikenal sebagai kesederhanaan sukarela (voluntary simplicity), yang dianjurkan oleh Arne Naess sebagai cara untuk mengurangi dampak manusia terhadap lingkungan.²

Langkah-langkah konkret seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih produk yang ramah lingkungan, dan mengutamakan konsumsi lokal telah menjadi bagian dari gerakan global menuju keberlanjutan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Ekosofi.³

6.2.       Praktik Keberlanjutan dalam Bisnis

Dalam dunia bisnis, prinsip Ekosofi telah diterapkan melalui konsep ekonomi sirkular, yang berfokus pada daur ulang, pengurangan limbah, dan perancangan ulang proses produksi agar lebih efisien secara ekologis.⁴ Perusahaan seperti Patagonia dan IKEA telah mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam operasi mereka dengan menggunakan bahan daur ulang dan mendukung inisiatif konservasi.⁵

Ekosofi juga mendorong para pemimpin bisnis untuk melihat keberlanjutan sebagai tanggung jawab moral, bukan hanya sebagai strategi keuntungan jangka pendek.⁶

6.3.       Kebijakan Lingkungan Berbasis Ekosofi

Di tingkat pemerintahan, Ekosofi menginspirasi pembuatan kebijakan yang bertujuan melindungi ekosistem dan mengurangi dampak perubahan iklim. Misalnya, pengembangan kota hijau (green cities) seperti Copenhagen dan Singapura mencerminkan upaya integrasi antara pembangunan urban dan konservasi lingkungan.⁷

Selain itu, kebijakan tentang energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan konservasi keanekaragaman hayati merupakan langkah nyata dalam menerapkan prinsip-prinsip Ekosofi di tingkat sistemik.⁸

6.4.       Pendidikan Lingkungan

Ekosofi menekankan pentingnya pendidikan lingkungan untuk membangun kesadaran tentang hubungan manusia dan alam. Pendekatan ini tidak hanya mengajarkan fakta ilmiah, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika lingkungan dalam proses pembelajaran.⁹

Institusi pendidikan di berbagai negara telah mengintegrasikan program berbasis Ekosofi, seperti kegiatan menanam pohon, pengelolaan kebun sekolah, dan pembelajaran di luar ruangan, untuk mendorong siswa memahami pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.¹⁰

6.5.       Gerakan Sosial dan Advokasi Lingkungan

Ekosofi menjadi inspirasi bagi gerakan sosial yang menyerukan perlindungan alam dan keadilan ekologis. Gerakan seperti Fridays for Future, yang dipelopori oleh Greta Thunberg, dan inisiatif lokal seperti konservasi hutan hujan di Amazon mencerminkan penerapan nilai-nilai Ekosofi dalam aksi kolektif.¹¹

Gerakan ini tidak hanya menekankan pentingnya mengatasi perubahan iklim, tetapi juga menyerukan tanggung jawab moral manusia terhadap semua makhluk hidup.¹²

6.6.       Pemanfaatan Teknologi Hijau

Kemajuan teknologi modern telah memungkinkan penerapan Ekosofi melalui pengembangan teknologi hijau, seperti panel surya, mobil listrik, dan sistem pengelolaan air yang efisien.¹³ Teknologi ini mendukung transisi menuju sistem energi yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.¹⁴

Namun, Ekosofi mengingatkan bahwa teknologi harus digunakan dengan bijak, tanpa melupakan nilai-nilai moral yang mengutamakan keseimbangan ekosistem.¹⁵


Kesimpulan: Relevansi Ekosofi dalam Dunia Modern

Penerapan Ekosofi dalam kehidupan modern menunjukkan bagaimana filsafat ini dapat menjadi panduan etis dan praktis untuk menciptakan harmoni antara manusia dan alam. Melalui perubahan gaya hidup, kebijakan berkelanjutan, dan inovasi teknologi, Ekosofi menawarkan solusi untuk tantangan lingkungan global sekaligus memperkuat hubungan manusia dengan alam.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 52.

[2]                Ibid., 55.

[3]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 110.

[4]                J. Donald Hughes, An Environmental History of the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life (London: Routledge, 2001), 192–194.

[5]                Andrew Savitz, The Triple Bottom Line: How Today's Best-Run Companies Are Achieving Economic, Social, and Environmental Success (San Francisco: Jossey-Bass, 2006), 87.

[6]                Ibid., 89.

[7]                Peter Newman, Timothy Beatley, dan Heather Boyer, Resilient Cities: Responding to Peak Oil and Climate Change (Washington, D.C.: Island Press, 2009), 45–46.

[8]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 123–124.

[9]                David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994), 43.

[10]             Ibid., 48.

[11]             Greta Thunberg, No One Is Too Small to Make a Difference (London: Penguin Books, 2019), 17–18.

[12]             Ibid., 25.

[13]             Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 258–260.

[14]             Ibid., 262.

[15]             Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 30.


7.           Tantangan dan Kritik terhadap Ekosofi

Meskipun Ekosofi menawarkan paradigma baru yang mengedepankan harmoni antara manusia dan alam, gagasan ini tidak lepas dari tantangan dan kritik. Berbagai pihak mempertanyakan kepraktisan, keefektifan, serta implikasi dari penerapan Ekosofi dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks.

7.1.       Kesulitan Implementasi dalam Skala Global

Salah satu kritik utama terhadap Ekosofi adalah kesulitan untuk menerapkan prinsip-prinsipnya dalam skala global. Pendekatan yang menekankan keseimbangan ekologis dan etika alam sering kali bertentangan dengan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara industri.¹ Sebagai contoh, upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sering dihalangi oleh lobi kuat dari perusahaan energi besar.²

Selain itu, disparitas ekonomi antara negara maju dan berkembang memperumit implementasi Ekosofi, karena negara-negara berkembang sering kali menghadapi tekanan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi meskipun harus mengorbankan lingkungan.³

7.2.       Kritik terhadap Konsep Kesetaraan Alam dan Manusia

Beberapa filsuf dan pemikir lingkungan mengkritik gagasan Arne Naess tentang kesetaraan intrinsik antara semua bentuk kehidupan.⁴ Mereka berpendapat bahwa konsep ini terlalu idealis dan sulit untuk diterapkan dalam praktik, terutama ketika kebutuhan manusia berbenturan dengan keberlanjutan ekologis.⁵ Misalnya, pertanyaan tentang apakah manusia harus mengorbankan kebutuhan dasar mereka demi melestarikan spesies tertentu menimbulkan dilema etis yang kompleks.⁶

7.3.       Keterbatasan dalam Menjawab Masalah Sosial

Ekosofi cenderung fokus pada hubungan manusia dan alam, tetapi sering kali dianggap kurang memberikan perhatian pada isu-isu sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan gender.⁷ Para kritikus menilai bahwa tanpa mempertimbangkan dimensi sosial ini, Ekosofi dapat kehilangan relevansinya dalam menghadapi tantangan dunia nyata yang saling terkait.⁸

7.4.       Tantangan dalam Pendidikan dan Penyebaran Gagasan

Penyebaran nilai-nilai Ekosofi menghadapi kendala dalam sistem pendidikan modern, yang sering kali lebih berorientasi pada tujuan ekonomi daripada pembentukan kesadaran ekologis.⁹ Para pendidik sering kali merasa sulit untuk menanamkan nilai-nilai Ekosofi dalam kurikulum yang sudah padat dan pragmatis.¹⁰

7.5.       Kritik dari Perspektif Teknologi dan Modernitas

Beberapa kritikus teknologi menilai bahwa Ekosofi tidak sepenuhnya menghargai potensi teknologi modern untuk menyelesaikan masalah lingkungan.¹¹ Mereka berpendapat bahwa solusi ekologis tidak selalu memerlukan perubahan paradigma besar, tetapi bisa dicapai melalui inovasi teknologi seperti energi terbarukan dan pertanian berkelanjutan.¹²

Sebaliknya, para pendukung Ekosofi mengingatkan bahwa teknologi tanpa nilai etis justru dapat memperburuk kerusakan ekologis.¹³ Oleh karena itu, perdebatan antara pendekatan teknologi dan filosofi ekologis tetap menjadi tantangan besar.

7.6.       Politisasi dan Komodifikasi Lingkungan

Ekosofi juga menghadapi ancaman dari politisasi dan komodifikasi lingkungan, di mana upaya pelestarian alam sering kali diperalat untuk kepentingan ekonomi dan politik tertentu.¹⁴ Misalnya, proyek-proyek karbon offset yang dirancang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sering kali lebih menguntungkan perusahaan besar daripada benar-benar melindungi lingkungan.¹⁵


Kesimpulan: Perlu Pendekatan Holistik

Tantangan dan kritik terhadap Ekosofi menunjukkan bahwa paradigma ini tidak sempurna dan memerlukan pengembangan lebih lanjut. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan nilai-nilai Ekosofi dengan pertimbangan ekonomi, sosial, dan teknologi diperlukan untuk menghadapi kompleksitas dunia modern. Dengan demikian, Ekosofi tetap relevan sebagai landasan etis yang mendasari upaya menuju keberlanjutan ekologis.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan dan disunting oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 92.

[2]                J. Donald Hughes, An Environmental History of the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life (London: Routledge, 2001), 205.

[3]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 143–145.

[4]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 78.

[5]                Ibid., 81.

[6]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 295–297.

[7]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 143–145.

[8]                Ibid., 147.

[9]                David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994), 89.

[10]             Ibid., 93.

[11]             Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 272.

[12]             Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 45.

[13]             Ibid., 47.

[14]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 36.

[15]             Ibid., 39.


8.           Ekosofi dan Masa Depan Filsafat Lingkungan

Ekosofi, sebagai paradigma filsafat yang mengedepankan harmoni antara manusia dan alam, memiliki potensi besar untuk membentuk arah masa depan filsafat lingkungan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai etika, ekologi, dan spiritualitas, Ekosofi menawarkan landasan konseptual yang kuat untuk menghadapi tantangan lingkungan global yang semakin mendesak. Namun, masa depan Ekosofi akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk menjawab dinamika perubahan zaman dan mengadaptasi prinsip-prinsipnya dalam konteks global yang terus berkembang.

8.1.       Ekosofi sebagai Landasan Keberlanjutan Global

Ekosofi menghadirkan paradigma baru yang mengakui keterkaitan antara manusia dan seluruh komponen ekosistem.¹ Prinsip-prinsip ini menekankan bahwa keberlanjutan tidak hanya tentang menjaga keseimbangan ekologis, tetapi juga tentang menciptakan harmoni yang berkelanjutan antara nilai-nilai budaya, spiritual, dan sosial.² Dalam konteks ini, Ekosofi dapat berkontribusi pada pengembangan kebijakan lingkungan global yang berlandaskan pada keadilan ekologis.³

Di masa depan, penerapan nilai-nilai Ekosofi dapat menjadi panduan dalam merancang model pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.⁴ Misalnya, konsep keberlanjutan yang dipadukan dengan pendekatan Ekosofi dapat mendorong negara-negara untuk mengadopsi praktik ekonomi hijau yang tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keseimbangan ekologis.⁵

8.2.       Integrasi dengan Teknologi dan Inovasi

Masa depan Ekosofi juga akan bergantung pada kemampuannya untuk bekerja berdampingan dengan kemajuan teknologi.⁶ Meskipun kritik terhadap teknologi sering muncul dalam diskusi Ekosofi,⁷ beberapa pemikir menyarankan bahwa teknologi modern dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan ekologis, asalkan digunakan dengan prinsip etika yang jelas.⁸ Contohnya adalah penggunaan energi terbarukan dan teknologi berbasis kecerdasan buatan untuk mengelola sumber daya alam secara lebih efisien.⁹

Namun, penting bagi Ekosofi untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengorbankan nilai-nilai inti yang mendasarinya, seperti penghormatan terhadap alam dan kesadaran spiritual.¹⁰ Oleh karena itu, masa depan filsafat lingkungan akan memerlukan keseimbangan antara inovasi teknologi dan prinsip etika yang berkelanjutan.¹¹

8.3.       Ekosofi sebagai Inspirasi Gerakan Sosial

Ekosofi memiliki potensi untuk menginspirasi gerakan sosial yang lebih luas, khususnya dalam mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya hubungan manusia dengan alam.¹² Dalam dekade mendatang, Ekosofi dapat menjadi dasar bagi gerakan-gerakan global yang menuntut tanggung jawab lingkungan dari pemerintah dan korporasi.¹³

Gerakan seperti Fridays for Future yang dipelopori oleh Greta Thunberg, misalnya, dapat memperluas cakupan mereka dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Ekosofi, sehingga tuntutan mereka tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi karbon, tetapi juga pada transformasi nilai-nilai etika dan budaya masyarakat.¹⁴

8.4.       Kontribusi pada Pengembangan Filsafat Lingkungan

Sebagai cabang filsafat, Ekosofi terus berkontribusi pada pengembangan teori-teori lingkungan yang lebih komprehensif.¹⁵ Dengan mengintegrasikan pandangan transdisipliner dari berbagai bidang, seperti biologi, ekologi, dan ilmu sosial, Ekosofi membantu filsafat lingkungan untuk mengatasi persoalan-persoalan kompleks yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan ilmiah.¹⁶

Ekosofi juga membuka ruang untuk dialog antar budaya tentang bagaimana manusia memahami hubungan mereka dengan alam.¹⁷ Dalam dunia yang semakin terhubung, dialog ini akan menjadi kunci dalam membangun konsensus global tentang pentingnya menjaga keberlanjutan ekologi.¹⁸

8.5.       Tantangan dan Harapan di Masa Depan

Meskipun memiliki potensi besar, masa depan Ekosofi juga menghadapi tantangan, termasuk resistensi terhadap perubahan paradigma yang ditawarkannya.¹⁹ Namun, dengan terus mendorong pendidikan yang berbasis pada kesadaran ekologis dan etika, Ekosofi dapat membantu menciptakan generasi baru yang lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan.²⁰


Kesimpulan: Pilar Masa Depan Keberlanjutan

Ekosofi, dengan visi holistiknya, memiliki peran penting dalam membentuk masa depan filsafat lingkungan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai etika, teknologi, dan gerakan sosial, Ekosofi dapat menjadi pilar utama dalam perjuangan menuju dunia yang lebih berkelanjutan. Namun, keberhasilannya akan bergantung pada kemampuan para pendukungnya untuk menjawab tantangan global secara adaptif dan inklusif.


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 98.

[2]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 85.

[3]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 150.

[4]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 162.

[5]                Ibid., 167.

[6]                Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 53.

[7]                Ibid., 54.

[8]                Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 280.

[9]                Ibid., 285.

[10]             David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994), 102.

[11]             Ibid., 105.

[12]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 52.

[13]             Ibid., 55.

[14]             Ibid., 59.

[15]             J. Donald Hughes, An Environmental History of the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life (London: Routledge, 2001), 220.

[16]             Ibid., 225.

[17]             Bryan G. Norton, Sustainability, 178.

[18]             Ibid., 182.

[19]             Naomi Klein, This Changes Everything, 72.

[20]             David W. Orr, Earth in Mind, 115.


9.           Kesimpulan

Ekosofi, sebagai paradigma filsafat yang holistik, mengintegrasikan dimensi etika, ekologi, dan spiritualitas dalam upaya menciptakan harmoni antara manusia dan alam. Dengan mengakui hubungan mendalam antara seluruh komponen ekosistem, Ekosofi tidak hanya menawarkan solusi konseptual terhadap krisis lingkungan global tetapi juga menginspirasi cara berpikir yang lebih inklusif dan transformatif.¹

Sebagai kerangka berpikir, Ekosofi memandang manusia bukan sebagai penguasa alam, tetapi sebagai bagian integral dari jaringan kehidupan yang saling terkait.² Pendekatan ini menuntut transformasi mendasar dalam cara manusia memahami dan berinteraksi dengan lingkungan.³ Prinsip-prinsip yang ditekankan dalam Ekosofi, seperti kesederhanaan, keberlanjutan, dan tanggung jawab etis terhadap alam, memberikan landasan bagi pembangunan yang lebih berkeadilan.⁴

Meskipun dihadapkan pada tantangan, seperti resistensi terhadap perubahan paradigma dan eksploitasi alam yang terus berlanjut, Ekosofi tetap relevan sebagai panduan untuk menghadapi masalah lingkungan modern.⁵ Pendekatannya yang adaptif memungkinkan Ekosofi untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, termasuk mengintegrasikan teknologi yang bertanggung jawab dan mendorong gerakan sosial yang lebih sadar lingkungan.⁶

Lebih dari sekadar filsafat lingkungan, Ekosofi membuka ruang bagi dialog antar budaya tentang bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan alam.⁷ Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, dialog ini menjadi kunci untuk mencapai konsensus global mengenai keberlanjutan ekologi.⁸ Dengan cara ini, Ekosofi berperan tidak hanya sebagai paradigma filsafat tetapi juga sebagai gerakan yang menginspirasi perubahan sosial, politik, dan budaya menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.⁹

Kesimpulannya, Ekosofi adalah landasan konseptual yang penting untuk menghadapi tantangan lingkungan masa depan. Dengan visi holistik dan pendekatannya yang berakar pada harmoni manusia dan alam, Ekosofi memiliki potensi untuk menjadi pilar utama dalam membangun dunia yang berkelanjutan dan adil.¹⁰ Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen kolektif untuk menerapkan nilai-nilai yang ditawarkannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, diterjemahkan oleh David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28.

[2]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism (Albany: State University of New York Press, 1995), 15.

[3]                Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 56.

[4]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 102.

[5]                Alan Drengson dan Yuichi Inoue, The Deep Ecology Movement: An Introductory Anthology (Berkeley: North Atlantic Books, 1995), 47.

[6]                Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World (New York: Penguin Press, 2011), 310.

[7]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 88.

[8]                David W. Orr, Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect (Washington, D.C.: Island Press, 1994), 77.

[9]                J. Donald Hughes, An Environmental History of the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life (London: Routledge, 2001), 196.

[10]             Carolyn Merchant, The Death of Nature, 78.

[11]             Bryan G. Norton, Sustainability, 125.


Daftar Pustaka

Drengson, A., & Inoue, Y. (1995). The Deep Ecology Movement: An Introductory Anthology. Berkeley: North Atlantic Books.

Fox, W. (1995). Toward a Transpersonal Ecology: Developing New Foundations for Environmentalism. Albany: State University of New York Press.

Hughes, J. D. (2001). An Environmental History of the World: Humankind's Changing Role in the Community of Life. London: Routledge.

Klein, N. (2014). This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate. New York: Simon & Schuster.

Merchant, C. (1980). The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution. San Francisco: Harper & Row.

Naess, A. (1989). Ecology, Community, and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Norton, B. G. (2005). Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management. Chicago: University of Chicago Press.

Orr, D. W. (1994). Earth in Mind: On Education, Environment, and the Human Prospect. Washington, D.C.: Island Press.

Yergin, D. (2011). The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World. New York: Penguin Press.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar