Sabtu, 11 Januari 2025

Jahmiyah: Akar Pemikiran, Doktrin, dan Pengaruhnya dalam Sejarah Islam

Jahmiyah

Akar Pemikiran, Doktrin, dan Pengaruhnya dalam Sejarah Islam


Disclaimer

Sebagai penulis, saya menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan akademis semata.

Pembahasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung, atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam sejarah Islam.

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Jahmiyah, sebuah aliran teologis yang berakar dari pemikiran Jahm bin Safwan, yang berkembang pada masa akhir Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah. Jahmiyah dikenal melalui doktrin-doktrin kontroversialnya, seperti peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat), anggapan bahwa Al-Quran adalah makhluk, determinisme mutlak dalam takdir, dan penolakan ru’yatullah di akhirat. Pemikiran ini mencerminkan pengaruh filsafat Yunani yang diintegrasikan ke dalam teologi Islam secara ekstrem.

Melalui analisis historis dan teologis, artikel ini menguraikan latar belakang munculnya Jahmiyah, doktrin-doktrin utamanya, metodologi pemikirannya, serta dampaknya terhadap sejarah Islam. Respon dari ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, terutama dalam peristiwa Mihnah, menunjukkan pentingnya menjaga kemurnian akidah Islam yang berbasis pada Al-Quran dan Sunnah. Selain itu, polemik yang dipicu oleh Jahmiyah memotivasi lahirnya karya-karya besar dalam teologi Islam, seperti pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Asy’ari, dan Ibnu Taimiyah.

Artikel ini juga memberikan pelajaran penting tentang bahaya penyimpangan akidah akibat penggunaan akal yang berlebihan tanpa panduan wahyu. Selain itu, ia menyoroti pentingnya pendidikan akidah yang kuat untuk menghadapi tantangan pemikiran di masa depan. Kajian ini tidak hanya bertujuan untuk memahami Jahmiyah sebagai bagian dari sejarah pemikiran Islam, tetapi juga untuk memperkuat akidah yang lurus dan relevansi prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah di tengah tantangan intelektual modern.

Kata Kunci: Jahmiyah, akidah Islam, peniadaan sifat Allah, Mihnah, filsafat Yunani, Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sejarah teologi Islam.


PEMBAHASAN

Jahmiyah: Akar Pemikiran, Doktrin, dan Pengaruhnya dalam Sejarah Islam


1.           Pendahuluan

Sejarah Islam dipenuhi oleh berbagai dinamika pemikiran teologis yang muncul sebagai respons terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat Muslim. Salah satu aliran teologis yang memiliki pengaruh signifikan, baik dalam hal penyebaran ide maupun dampaknya terhadap diskursus akidah Islam, adalah Jahmiyah. Aliran ini didirikan oleh Jahm bin Safwan (w. 746 M), seorang tokoh yang dikenal sebagai pengikut ekstrim dalam penafsiran rasional terhadap konsep ketuhanan. Kehadiran Jahmiyah tidak hanya mengundang dukungan dari sebagian kalangan, tetapi juga kritik keras dari mayoritas ulama dan aliran lainnya.

Munculnya Jahmiyah dapat dipahami dalam konteks sosial-politik pada masa akhir Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah, di mana pertemuan berbagai budaya, filsafat, dan agama non-Islam memengaruhi cara pandang sebagian intelektual Muslim. Pemikiran filsafat Yunani yang masuk melalui terjemahan karya-karya Hellenistik turut memengaruhi corak pemikiran Jahmiyah, terutama dalam pendekatan rasional terhadap teologi Islam. Jahm bin Safwan dikenal sebagai murid dari Ja'd bin Dirham, yang juga menyebarkan ide-ide kontroversial seperti peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat).¹

Doktrin-doktrin utama Jahmiyah, seperti penolakan terhadap sifat-sifat Allah, konsep Al-Quran sebagai makhluk, dan peniadaan kemungkinan melihat Allah di akhirat, menimbulkan polemik panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Aliran ini menjadi salah satu alasan utama terjadinya mihnah (inkuisisi teologis) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah.² Dalam peristiwa ini, para ulama dipaksa untuk menerima doktrin Jahmiyah tentang kemakhlukan Al-Quran, yang kemudian menjadi sorotan besar dalam perjalanan intelektual Islam.

Artikel ini bertujuan untuk menggali secara mendalam akar pemikiran Jahmiyah, doktrin-doktrinnya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan sejarah Islam. Dengan menggunakan sumber-sumber primer seperti kitab-kitab klasik dan kajian akademik modern, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif tentang Jahmiyah sebagai salah satu aliran pemikiran yang membentuk dinamika akidah Islam. Melalui pemahaman ini, pembaca dapat mengambil pelajaran penting tentang pentingnya menjaga akidah yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah di tengah beragamnya ideologi yang muncul sepanjang sejarah.³


Catatan Kaki:

[1]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed. Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.

[2]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 21.

[3]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 75.


2.           Latar Belakang Sejarah Jahmiyah

2.1.       Asal-usul Jahmiyah

Jahmiyah adalah aliran pemikiran teologis yang didirikan oleh Jahm bin Safwan (w. 746 M), seorang pemikir kontroversial yang hidup pada masa akhir Dinasti Umayyah. Ia berasal dari Khurasan, sebuah wilayah yang menjadi pusat pertemuan berbagai budaya dan pemikiran akibat interaksi antara Islam, filsafat Yunani, dan agama-agama lain seperti Zoroastrianisme dan Kristen. Jahm bin Safwan dikenal sebagai seorang ahli debat yang terlibat dalam diskusi-diskusi teologis dengan kelompok-kelompok yang berbeda, seperti Khawarij dan Mu'tazilah.¹

Jahm bin Safwan adalah murid Ja’d bin Dirham, yang diyakini sebagai tokoh pertama yang menyebarkan ide penolakan sifat-sifat Allah (nafyu sifat).² Pemikiran Ja’d sangat dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan filsafat Yunani, terutama dalam pendekatan rasional terhadap konsep ketuhanan.³ Jahm melanjutkan dan mengembangkan ide-ide gurunya, sehingga membentuk kerangka doktrin Jahmiyah yang dikenal dalam sejarah Islam.

2.2.       Perkembangan Jahmiyah

Pemikiran Jahmiyah berkembang pada masa transisi antara Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ketika filsafat Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.⁴ Jahmiyah menekankan pentingnya penggunaan akal dalam memahami teologi, yang menyebabkan benturan dengan ulama-ulama tradisionalis. Jahm bin Safwan sendiri terlibat dalam berbagai polemik teologis dengan kelompok lain, yang sering berujung pada perselisihan tajam.

Meskipun pemikiran Jahmiyah tidak diterima secara luas, aliran ini memiliki dampak besar terhadap diskursus teologi Islam. Pada masa Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah, pengaruh doktrin Jahmiyah terlihat dalam peristiwa Mihnah (inkuisisi), di mana ulama dipaksa untuk menerima pandangan bahwa Al-Quran adalah makhluk.⁵

Jahmiyah tidak bertahan lama sebagai sebuah gerakan formal setelah eksekusi Jahm bin Safwan oleh Salim bin Ahwaz, seorang gubernur Bani Umayyah di Marw.⁶ Namun, doktrin-doktrin utama aliran ini terus memengaruhi diskusi teologis melalui kelompok-kelompok lain, seperti Mu'tazilah, yang mengadopsi beberapa ide Jahmiyah, khususnya terkait rasionalisme teologis.⁷


Catatan Kaki:

[1]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed. Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.

[2]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 10.

[3]                Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:122.

[4]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 75.

[5]                Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed. Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:56.

[6]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 6:26.

[7]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 18.


3.           Doktrin-Doktrin Utama Jahmiyah

Jahmiyah merupakan aliran teologis yang dikenal dengan sejumlah doktrin utamanya yang kontroversial dan berlawanan dengan akidah mayoritas Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Doktrin-doktrin ini mencerminkan pendekatan rasional Jahm bin Safwan dalam memahami teologi Islam, yang sebagian besar dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan ide-ide gurunya, Ja’d bin Dirham. Berikut adalah pembahasan mendalam tentang doktrin-doktrin utama Jahmiyah:

3.1.       Penolakan Sifat-Sifat Allah (Nafyu Sifat)

Salah satu doktrin inti Jahmiyah adalah penolakan terhadap semua sifat Allah. Jahm bin Safwan berpendapat bahwa menetapkan sifat-sifat Allah seperti yang disebutkan dalam Al-Quran, seperti sifat kasih sayang (rahmah), kuasa (qudrah), dan ilmu (‘ilm), akan membawa kepada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Oleh karena itu, Jahmiyah menafsirkan sifat-sifat tersebut secara metaforis atau meniadakannya sama sekali.¹

Pendekatan ini dikritik keras oleh ulama Ahlus Sunnah. Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, menegaskan bahwa menafikan sifat Allah berarti menolak ayat-ayat Al-Quran yang secara eksplisit menyebutkan sifat-sifat tersebut.² Ibnu Taimiyah juga menganggap pandangan ini sebagai bentuk distorsi terhadap ajaran Al-Quran dan Sunnah.³

3.2.       Al-Quran adalah Makhluk

Jahmiyah juga dikenal dengan doktrin bahwa Al-Quran adalah makhluk, bukan kalam Allah yang qadim. Pandangan ini merupakan hasil logis dari keyakinan mereka bahwa Allah tidak memiliki sifat. Jahmiyah berpendapat bahwa jika Al-Quran adalah kalam Allah, maka itu adalah sifat yang menempel pada Zat-Nya, yang bertentangan dengan prinsip mereka tentang penolakan sifat.⁴

Pandangan ini menjadi salah satu isu sentral dalam peristiwa Mihnah (Inkuisisi) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal menolak keras doktrin ini dan mempertahankan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (ghayru makhluq).⁵

3.3.       Konsep Takdir (Qadar)

Dalam hal takdir, Jahmiyah mengadopsi pandangan determinisme mutlak. Mereka percaya bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dan segala perbuatannya telah ditentukan oleh Allah secara mutlak tanpa campur tangan manusia.⁶ Menurut Jahmiyah, konsep kehendak manusia akan mengurangi kekuasaan absolut Allah.⁷

Pandangan ini bertentangan dengan Ahlus Sunnah, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, meskipun dalam batasan kekuasaan Allah. Ulama seperti Al-Baghdadi menyatakan bahwa doktrin Jahmiyah tentang takdir menafikan tanggung jawab moral manusia.⁸

3.4.       Peniadaan Ru’yatullah

Jahmiyah menolak keyakinan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat oleh orang-orang beriman. Menurut mereka, melihat Allah akan membawa kepada tajsÄ«m (pembendaan Allah), yang bertentangan dengan keesaan dan kesucian-Nya.⁹

Ahlus Sunnah Wal Jamaah, berdasarkan ayat-ayat seperti QS. Al-Qiyamah [75] ayat 22-23 dan hadis-hadis sahih, meyakini bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah di akhirat tanpa membayangkan bentuk-Nya. Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis tentang ru’yatullah sebagai bagian dari akidah yang sahih.¹⁰


Catatan Kaki:

[1]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed. Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.

[2]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 13-15.

[3]                Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:85-86.

[4]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 76.

[5]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:230.

[6]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 19.

[7]                Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed. Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:67.

[8]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, 91.

[9]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, 78.

[10]             Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, Bab al-Ru’yah fi al-Jannah, Hadis no. 6088.


4.           Metodologi dan Landasan Pemikiran

Jahmiyah, sebagai aliran pemikiran teologis, memiliki pendekatan unik dalam memahami konsep ketuhanan dan teologi Islam. Metodologi dan landasan pemikiran Jahmiyah mencerminkan pengaruh yang signifikan dari filsafat Yunani serta interpretasi ekstrem terhadap teks-teks Al-Quran dan Hadis. Pemikiran Jahm bin Safwan yang berkembang di bawah pengaruh gurunya, Ja’d bin Dirham, sangat dipengaruhi oleh penggunaan akal yang dominan dan tafsir metaforis terhadap konsep-konsep teologis.

4.1.       Metodologi Pemikiran Jahmiyah

4.1.1.    Dominasi Akal atas Wahyu

Metodologi utama Jahmiyah adalah mendahulukan akal dalam memahami teks-teks agama. Jahm bin Safwan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan rasional, terutama dalam isu-isu yang dianggap bertentangan dengan prinsip rasionalitas.¹ Misalnya, dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, Jahmiyah menolak interpretasi literal ayat-ayat mutasyabihat dan menggantikannya dengan tafsir metaforis atau peniadaan sifat tersebut sama sekali.²

Pendekatan ini menunjukkan pengaruh filsafat Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme, yang masuk ke dunia Islam melalui proses penerjemahan karya-karya filsafat pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.³ Pemikiran ini berusaha menyelaraskan konsep ketuhanan Islam dengan prinsip-prinsip metafisika Yunani, yang cenderung mengabstraksikan sifat-sifat ketuhanan.

4.1.2.    Penolakan terhadap Tradisi Teksualisme

Jahmiyah cenderung menolak pendekatan tradisional yang mengutamakan teks secara literal. Mereka menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah (seperti QS. Al-Fath [48] ayat 10 dan QS. Taha [20] ayat 5) sebagai metafora yang tidak boleh dipahami secara lahiriah, untuk menghindari tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).⁴

4.2.       Landasan Pemikiran Jahmiyah

4.2.1.    Pengaruh dari Ja’d bin Dirham

Sebagai murid Ja’d bin Dirham, Jahm bin Safwan mewarisi pemikiran yang menolak sifat-sifat Allah dan menafsirkan konsep-konsep teologis secara metaforis. Ja’d bin Dirham diduga mendapatkan pengaruh dari ide-ide pemikir Yahudi dan Kristen, khususnya dalam peniadaan sifat ketuhanan.⁵ Ja’d adalah orang pertama yang menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, yang kemudian diperluas oleh Jahm ke dalam berbagai isu teologis.⁶

4.2.2.    Integrasi Filsafat Yunani

Jahmiyah memanfaatkan kerangka logika Yunani dalam membangun argumen teologis. Salah satu konsep yang mereka adopsi adalah prinsip kesederhanaan absolut dalam esensi Allah (tanzih). Menurut Jahmiyah, menetapkan sifat pada Allah akan menimbulkan keserupaan dengan makhluk, yang bertentangan dengan doktrin keesaan Allah (tauhid).⁷ Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Neoplatonis yang menekankan transendensi mutlak Tuhan.

4.2.3.    Rasionalisme Ekstrem

Landasan pemikiran Jahmiyah sangat menekankan bahwa wahyu harus tunduk pada akal. Jika ada ayat-ayat Al-Quran yang dianggap bertentangan dengan akal, mereka akan menafsirkannya secara metaforis atau bahkan meniadakannya.⁸ Hal ini membuat Jahmiyah sering berkonflik dengan ulama tradisionalis yang mempertahankan pendekatan literal terhadap teks agama.

4.3.       Kritik Terhadap Metodologi Jahmiyah

Metodologi Jahmiyah mendapat kritik tajam dari ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa mendahulukan akal atas wahyu akan menimbulkan distorsi dalam memahami akidah Islam.⁹ Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa pendekatan Jahmiyah mengaburkan kebenaran Al-Quran dan Sunnah dengan interpretasi-interpretasi yang dipaksakan.¹⁰ Kritik ini menunjukkan bahwa penggunaan akal dalam agama harus berada dalam kerangka yang dibatasi oleh wahyu.


Catatan Kaki:

[1]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed. Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.

[2]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 12.

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society, (London: Routledge, 1998), 85.

[4]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 75-76.

[5]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 6:25.

[6]                Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:122.

[7]                George Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd al-Jabbar, (Oxford: Oxford University Press, 1971), 37.

[8]                Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed. Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:68.

[9]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, 14.

[10]             Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:45.


5.           Kritik Terhadap Jahmiyah

Doktrin-doktrin Jahmiyah mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, serta dari aliran-aliran lain seperti Mu’tazilah, Khawarij, dan Syi’ah. Kritik ini berkaitan dengan implikasi teologis yang dihasilkan oleh doktrin-doktrin mereka, yang dianggap menyimpang dari pemahaman Al-Quran dan Sunnah. Bagian ini membahas kritik terhadap Jahmiyah dari beberapa aspek utama.

5.1.       Kritik dari Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jamaah

a. Penolakan terhadap Sifat-Sifat Allah

Ahlus Sunnah Wal Jamaah menolak keras doktrin nafyu sifat (peniadaan sifat Allah) yang diajarkan oleh Jahmiyah. Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa meniadakan sifat Allah adalah bentuk penyimpangan dari ajaran Al-Quran dan Sunnah, karena banyak ayat yang secara eksplisit menyebut sifat-sifat Allah, seperti QS. Asy-Syura [42] ayat 11 (“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”).¹ Penafsiran Jahmiyah terhadap sifat Allah dianggap mengarah pada pengingkaran terhadap ayat-ayat mutasyabihat.²

Ibnu Taimiyah juga menentang keras pandangan ini. Dalam Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, ia menyatakan bahwa metode Jahmiyah menghilangkan pemahaman yang benar tentang Allah dan menggantikannya dengan ide yang terlalu abstrak sehingga menjauh dari keimanan yang murni.³

b. Al-Quran sebagai Makhluk

Doktrin bahwa Al-Quran adalah makhluk menjadi salah satu isu paling kontroversial yang memicu peristiwa Mihnah (Inkuisisi) pada masa Khalifah Al-Ma'mun. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu tokoh utama yang menolak doktrin ini dan menegaskan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (ghayru makhluq). Ia berpendapat bahwa menganggap Al-Quran sebagai makhluk merendahkan kedudukannya sebagai wahyu Allah.⁴

Para ulama Ahlus Sunnah juga mengkritik pandangan Jahmiyah ini karena dianggap membuka peluang bagi penyimpangan lebih lanjut dalam pemahaman terhadap wahyu, seperti meragukan keabadian dan otoritas Al-Quran.⁵

c. Konsep Takdir (Qadar)

Jahmiyah yang mendukung determinisme mutlak dianggap meniadakan kehendak bebas manusia, yang bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran, seperti QS. Al-Kahfi [18] ayat 29 (“Maka barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir”). Para ulama Ahlus Sunnah menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang berjalan dalam koridor kehendak Allah.⁶

5.2.       Kritik dari Aliran Lain

5.2.1.    Kritik Mu’tazilah

Meskipun Mu’tazilah juga mendukung rasionalisme, mereka mengkritik Jahmiyah karena terlalu ekstrem dalam peniadaan sifat-sifat Allah. Mu’tazilah mengakui adanya sifat-sifat Allah, meskipun mereka menafsirkannya dalam konteks metaforis untuk menghindari tasybih.⁷

5.2.2.    Kritik Khawarij

Khawarij menolak pandangan determinisme Jahmiyah dan menekankan bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatannya. Menurut mereka, pandangan Jahmiyah yang mendukung takdir mutlak bertentangan dengan prinsip keadilan ilahi.⁸

5.2.3.    Kritik Syi’ah

Aliran Syi’ah, terutama kelompok Imamiyah, juga menolak doktrin Jahmiyah tentang sifat Allah dan determinisme. Mereka berpendapat bahwa peniadaan sifat Allah oleh Jahmiyah mengurangi pemahaman tentang keagungan-Nya.⁹

5.3.       Dampak Negatif Pemikiran Jahmiyah

Kritik terhadap Jahmiyah tidak hanya berfokus pada doktrin mereka, tetapi juga pada dampak sosial dan politik yang diakibatkan oleh pemikiran mereka. Peristiwa Mihnah adalah salah satu contoh nyata bagaimana doktrin Jahmiyah menciptakan konflik dalam masyarakat Muslim. Para ulama tradisionalis yang menolak doktrin Jahmiyah menjadi korban penganiayaan, yang pada akhirnya memicu ketegangan antara rasionalis dan tradisionalis.¹⁰

5.4.       Kritik Teologis dan Filosofis

Secara teologis, metode Jahmiyah yang terlalu mengutamakan akal dianggap mengabaikan fungsi wahyu sebagai sumber utama dalam akidah Islam. Pendekatan mereka dinilai membawa konsekuensi logis yang merusak esensi keimanan, seperti peniadaan keabadian Al-Quran dan kejelasan konsep ketuhanan. Filosofisnya, integrasi konsep filsafat Yunani dalam pemikiran mereka dianggap melenceng dari prinsip tauhid yang diajarkan dalam Islam.¹¹


Catatan Kaki:

[1]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 18.

[2]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed. Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 90.

[3]                Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:112-114.

[4]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:231.

[5]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed. Ali Shiri, (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1988), 10:243.

[6]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 76.

[7]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 19.

[8]                Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed. Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:68.

[9]                Muhammad Baqir As-Sadr, Durus fi Ilm al-Kalam, ed. Sayyid Mahdi Bahr al-Ulum, (Qom: Muassasah al-Balagah, 1995), 52.

[10]             Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, 92.

[11]             Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:47.


6.           Pengaruh Jahmiyah dalam Sejarah Islam

Jahmiyah, meskipun tidak bertahan lama sebagai sebuah aliran formal setelah eksekusi Jahm bin Safwan, meninggalkan jejak yang signifikan dalam sejarah pemikiran Islam. Doktrin-doktrin yang diperkenalkan oleh Jahmiyah memengaruhi diskursus teologis di kalangan umat Islam, baik secara langsung melalui penerapan pemikiran mereka maupun secara tidak langsung melalui reaksi penolakan dari kelompok-kelompok lain.

6.1.       Peran Jahmiyah dalam Peristiwa Mihnah

Salah satu dampak paling nyata dari pengaruh Jahmiyah adalah peristiwa Mihnah (Inkuisisi Teologis) yang terjadi pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M) dari Dinasti Abbasiyah. Mihnah bertujuan untuk memaksakan doktrin Jahmiyah bahwa Al-Quran adalah makhluk kepada para ulama.¹ Para ulama yang menolak doktrin ini, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, mengalami tekanan berat, termasuk penganiayaan dan pemenjaraan.²

Peristiwa Mihnah menunjukkan pengaruh besar doktrin Jahmiyah di lingkungan kekuasaan Abbasiyah, meskipun hanya berlangsung selama beberapa dekade. Penolakan terhadap Mihnah menjadi salah satu titik balik penting dalam sejarah teologi Islam, di mana doktrin Ahlus Sunnah akhirnya menang atas pemikiran Jahmiyah dan Mu’tazilah.³

6.2.       Pengaruh Pemikiran Jahmiyah pada Aliran Lain

Doktrin Jahmiyah, terutama dalam hal peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat), memengaruhi aliran Mu’tazilah.⁴ Meskipun Mu’tazilah tidak sepenuhnya menyetujui pendekatan Jahmiyah, mereka mengadopsi beberapa gagasan rasionalistiknya, seperti pendekatan metaforis terhadap ayat-ayat mutasyabihat.⁵

Sebaliknya, penolakan terhadap Jahmiyah juga mendorong penguatan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah menulis karya-karya yang membantah pemikiran Jahmiyah dan memperkuat akidah yang berbasis pada Al-Quran dan Sunnah.⁶

6.3.       Dampak Jahmiyah terhadap Diskursus Teologis

Pemikiran Jahmiyah memicu diskusi mendalam tentang konsep tauhid, sifat-sifat Allah, kehendak bebas, dan takdir. Meskipun doktrin Jahmiyah secara resmi ditolak oleh mayoritas ulama, mereka menjadi katalisator bagi pengembangan pemikiran teologis dalam Islam.⁷

Sebagai contoh, debat tentang sifat Allah memunculkan metodologi yang lebih sistematis di kalangan Ahlus Sunnah, seperti pendekatan yang diambil oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.⁸ Begitu pula, pembahasan tentang takdir dan kehendak bebas terus berkembang dalam diskusi teologi Islam hingga saat ini.

6.4.       Pengaruh Sosial dan Politik

Secara sosial, Jahmiyah menimbulkan ketegangan di masyarakat Muslim pada masa awal Islam, terutama akibat pengaruh doktrin mereka di lingkungan kekuasaan. Secara politis, peristiwa Mihnah memperlihatkan bagaimana teologi dapat digunakan sebagai alat politik oleh penguasa untuk mengontrol masyarakat dan ulama.⁹

Namun, penolakan terhadap Jahmiyah oleh mayoritas ulama menunjukkan pentingnya kebebasan intelektual dalam Islam. Sikap tegas Imam Ahmad bin Hanbal terhadap Mihnah menginspirasi generasi berikutnya dalam mempertahankan akidah Islam yang murni.¹⁰

6.5.       Warisan Jahmiyah dalam Sejarah Islam

Meskipun Jahmiyah tidak bertahan lama sebagai sebuah aliran, ide-ide mereka tetap menjadi bagian dari sejarah pemikiran Islam. Jahmiyah menjadi pelajaran penting tentang bagaimana penggunaan akal yang berlebihan tanpa panduan wahyu dapat menyebabkan penyimpangan teologis.¹¹

Dalam jangka panjang, Jahmiyah membantu membentuk garis pemisah yang jelas antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan kelompok-kelompok rasionalistik lainnya. Warisan intelektual ini menjadi dasar bagi diskusi teologis yang terus berkembang dalam tradisi Islam.


Catatan Kaki:

[1]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 22.

[2]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:229.

[3]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed. Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 90.

[4]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 76.

[5]                George Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of Abd al-Jabbar, (Oxford: Oxford University Press, 1971), 38.

[6]                Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:45.

[7]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society, (London: Routledge, 1998), 88.

[8]                Al-Baghdadi, Usul al-Din, ed. Abdullah Abdul Mu’ti, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 33.

[9]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 21.

[10]             Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed. Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:67.

[11]             Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed. Ali Shiri, (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1988), 10:245.


7.           Pelajaran dan Ibrah dari Pemikiran Jahmiyah

Sejarah muncul dan berkembangnya Jahmiyah memberikan banyak pelajaran dan ibrah yang penting, terutama dalam menjaga kemurnian akidah Islam dan memahami bagaimana dinamika pemikiran teologis dapat memengaruhi umat. Dengan mengacu pada doktrin-doktrin mereka, respon ulama, dan dampak sosial-politik yang ditimbulkannya, berikut adalah pelajaran yang dapat diambil dari keberadaan Jahmiyah.

7.1.       Pentingnya Berpegang pada Al-Quran dan Sunnah

Salah satu pelajaran terbesar dari keberadaan Jahmiyah adalah pentingnya menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai landasan utama dalam akidah. Jahmiyah, dengan pendekatan rasionalisme ekstremnya, sering kali menafsirkan ayat-ayat Al-Quran di luar konteks wahyu, yang menyebabkan penyimpangan seperti peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat) dan anggapan bahwa Al-Quran adalah makhluk.¹

Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa akal harus tunduk kepada wahyu dan bukan sebaliknya.² Keberhasilan ulama Ahlus Sunnah dalam melawan doktrin Jahmiyah menunjukkan bahwa kesetiaan kepada wahyu adalah kunci untuk menjaga kemurnian ajaran Islam.³

7.2.       Bahaya Penggunaan Akal yang Berlebihan dalam Akidah

Jahmiyah menjadi contoh nyata tentang bagaimana penggunaan akal secara berlebihan tanpa panduan wahyu dapat menimbulkan penyimpangan teologis. Pengaruh filsafat Yunani dalam pemikiran Jahmiyah menunjukkan bahwa logika manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakikat Allah.⁴

Ibnu Taimiyah, dalam Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, menyebut bahwa setiap penggunaan akal dalam agama harus dibatasi oleh wahyu untuk menghindari spekulasi yang menyimpang.⁵ Dalam konteks modern, pelajaran ini relevan untuk menghadapi tantangan intelektual yang sering kali mencoba mengutamakan rasionalitas di atas doktrin agama.

7.3.       Pentingnya Ketegasan dalam Menjaga Akidah

Respon ulama terhadap Jahmiyah, terutama perlawanan Imam Ahmad bin Hanbal dalam peristiwa Mihnah, memberikan contoh ketegasan dalam mempertahankan akidah. Meskipun menghadapi tekanan dan penganiayaan dari penguasa, Imam Ahmad tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa Al-Quran adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (ghayru makhluq).⁶

Sikap tegas seperti ini mengajarkan pentingnya istiqamah dalam menghadapi ujian yang berkaitan dengan keimanan. Ulama yang mengikuti jejak Imam Ahmad menunjukkan bahwa keteguhan pada prinsip dapat mengalahkan tekanan dari kelompok yang mencoba menyimpangkan ajaran Islam.⁷

7.4.       Kesadaran Akan Dinamika Pemikiran Teologis

Keberadaan Jahmiyah juga mengajarkan pentingnya memahami dinamika pemikiran teologis dalam sejarah Islam. Doktrin Jahmiyah memicu perdebatan dan polemik yang mendorong ulama untuk memperdalam kajian teologi Islam. Akibatnya, lahirlah karya-karya monumental dalam bidang akidah, seperti karya Imam Asy’ari yang merumuskan doktrin Ahlus Sunnah dengan lebih sistematis.⁸

Memahami sejarah pemikiran teologis ini penting agar umat Islam dapat mengenali dan mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan serupa di masa depan.

7.5.       Pentingnya Pendidikan Akidah Sejak Dini

Kemunculan Jahmiyah juga menunjukkan perlunya pendidikan akidah yang kuat dan sistematis sejak dini. Jahmiyah mampu menyebarkan pemikiran mereka di tengah masyarakat Muslim yang kurang memiliki landasan akidah yang kokoh. Ulama seperti Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya mendidik generasi muda dengan pemahaman akidah yang benar agar tidak mudah terpengaruh oleh ide-ide yang menyimpang.⁹

7.6.       Pelajaran dalam Moderasi Pemikiran

Jahmiyah menjadi contoh ekstrim dalam penggunaan akal dalam akidah, sementara Khawarij dan sebagian kelompok lain menjadi contoh ekstrim dalam penafsiran literal tanpa menggunakan akal sama sekali. Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengambil jalan moderasi dengan menggabungkan akal dan wahyu secara seimbang.¹⁰

Moderasi ini mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang menghargai penggunaan akal, tetapi selalu dalam batasan yang ditetapkan oleh wahyu. Pelajaran ini relevan untuk menghadapi ideologi ekstrem di masa kini, baik yang bersifat rasionalistik maupun literalistik.


Kesimpulan

Keberadaan Jahmiyah dalam sejarah Islam memberikan pelajaran penting tentang bahaya penyimpangan teologis yang diakibatkan oleh penggunaan akal yang berlebihan tanpa panduan wahyu. Dengan memahami doktrin dan pengaruh Jahmiyah, umat Islam dapat mengambil ibrah untuk memperkuat akidah, mendidik generasi muda, dan menjaga keimanan yang lurus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Sejarah ini juga menekankan pentingnya sikap moderasi dalam menghadapi berbagai tantangan pemikiran di setiap zaman.


Catatan Kaki:

[1]                Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 12.

[2]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:230.

[3]                Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed. Ali Shiri, (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1988), 10:245.

[4]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 18.

[5]                Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:98.

[6]                Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed. Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 90.

[7]                Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed. Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:67.

[8]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 77.

[9]                Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, ed. Abdullah Mahmud, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1:50.

[10]             Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:56.


8.           Penutup

Jahmiyah merupakan salah satu aliran teologis yang meninggalkan jejak penting dalam sejarah pemikiran Islam. Meskipun tidak bertahan lama sebagai gerakan formal, pengaruh ide-ide mereka, terutama dalam hal peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat), determinisme mutlak, dan keyakinan bahwa Al-Quran adalah makhluk, memicu perdebatan teologis yang signifikan. Respon terhadap doktrin Jahmiyah, baik dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah maupun kelompok lainnya, menunjukkan pentingnya menjaga akidah yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.

Keberadaan Jahmiyah memberikan pelajaran berharga tentang dinamika pemikiran Islam, bahaya penyimpangan akibat penggunaan akal yang berlebihan tanpa panduan wahyu, dan pentingnya ketegasan ulama dalam menghadapi tantangan pemikiran yang menyimpang. Sikap tegas Imam Ahmad bin Hanbal dalam peristiwa Mihnah, misalnya, menjadi teladan keberanian dalam mempertahankan akidah yang murni meskipun berada di bawah tekanan penguasa.¹

Selain itu, polemik yang ditimbulkan oleh Jahmiyah juga memacu perkembangan teologi Islam yang lebih sistematis. Karya-karya ulama seperti Imam Asy’ari, Imam Maturidi, dan Ibnu Taimiyah muncul sebagai respon terhadap penyimpangan yang diakibatkan oleh pemikiran Jahmiyah dan aliran-aliran lain. Mereka berusaha menjelaskan akidah Islam secara rasional namun tetap setia kepada Al-Quran dan Sunnah.²

Pelajaran lain yang dapat diambil dari sejarah Jahmiyah adalah pentingnya pendidikan akidah yang kuat bagi umat Islam. Penyebaran doktrin Jahmiyah di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa pemahaman akidah yang lemah dapat membuat seseorang mudah terpengaruh oleh ide-ide yang menyimpang. Oleh karena itu, membangun fondasi akidah yang kokoh berdasarkan wahyu sejak usia dini adalah langkah yang sangat penting untuk mencegah penyimpangan serupa di masa depan.³

Penelitian tentang Jahmiyah juga relevan dalam konteks modern, di mana umat Islam dihadapkan pada berbagai tantangan intelektual dan ideologi yang sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Sejarah Jahmiyah mengingatkan kita untuk tetap menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu serta untuk bersikap moderat dalam menghadapi berbagai aliran pemikiran.⁴

Sebagai penutup, kajian tentang Jahmiyah tidak hanya memberikan wawasan tentang salah satu bab penting dalam sejarah Islam, tetapi juga menguatkan tekad untuk terus memegang teguh akidah yang lurus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran berharga dalam memperkuat iman dan menjaga keutuhan umat Islam di tengah tantangan zaman.⁵


Catatan Kaki:

[1]                Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:230.

[2]                Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:45.

[3]                Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, ed. Abdullah Mahmud, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1:50.

[4]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 21.

[5]                Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 77.


Daftar Pustaka

Al-Baghdadi, A. (1993). Al-Farq Bayna al-Firaq (M. Zahi, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Bukhari, M. I. (1981). Shahih al-Bukhari. Cairo: Al-Maktabah al-Salafiyyah.

Al-Dhahabi, M. I. (1981). Siyar A’lam al-Nubala’ (S. Al-Arna’ut, Ed.). Beirut: Muassasah al-Risalah.

Al-Ghazali, A. H. (1986). Ihya Ulum ad-Din (A. Mahmud, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Khatib al-Baghdadi, A. B. (2001). Tarikh Baghdad (B. A. Ma’ruf, Ed.). Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.

Al-Shahrastani, M. A. (1992). Al-Milal wa al-Nihal (M. S. Kailani, Ed.). Cairo: Maktabah al-Turath.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society. London: Routledge.

Ibnu Katsir, I. (1988). Al-Bidayah wa An-Nihayah (A. Shiri, Ed.). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.

Ibnu Taimiyah, T. (1981). Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql (M. R. Salim, Ed.). Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah.

Ibnu Taimiyah, T. (1995). Majmu’ al-Fatawa (A. R. bin Qasim, Ed.). Madinah: Maktabah al-Malik Fahd.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Hourani, G. (1971). Islamic Rationalism: The Ethics of Abd al-Jabbar. Oxford: Oxford University Press.


Lampiran: Daftar Kitab yang Relevan untuk Menelusuri Pemikiran Jahmiyah

Berikut adalah daftar kitab yang relevan untuk menelusuri pemikiran Jahmiyah beserta doktrin-doktrinnya. Setiap kitab dijelaskan berdasarkan judul, nama penulis, masa hidupnya, dan relevansinya terhadap kajian tentang Jahmiyah.


1.                  Al-Farq Bayna al-Firaq

·                     Penulis: Abu Mansur al-Baghdadi (w. 1037 M)

·                     Relevansi: Kitab ini adalah salah satu referensi utama dalam kajian tentang berbagai aliran teologis dalam Islam, termasuk Jahmiyah. Al-Baghdadi menjelaskan doktrin-doktrin Jahmiyah dan memberikan kritik terhadap penyimpangan mereka dari akidah Islam.


2.                  Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah

·                     Penulis: Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855 M)

·                     Relevansi: Kitab ini ditulis sebagai respon terhadap doktrin Jahmiyah, terutama dalam isu sifat-sifat Allah dan Al-Quran sebagai makhluk. Imam Ahmad membela akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan memberikan argumen kuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.


3.                  Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql

·                     Penulis: Ibnu Taimiyah (w. 1328 M)

·                     Relevansi: Dalam kitab ini, Ibnu Taimiyah membahas konflik antara akal dan wahyu, termasuk membantah doktrin-doktrin yang dipengaruhi oleh filsafat, seperti yang dianut oleh Jahmiyah. Kitab ini menjadi referensi penting dalam memahami bahaya penggunaan akal secara berlebihan dalam akidah.


4.                  Al-Milal wa An-Nihal

·                     Penulis: Abu al-Fath Asy-Syahrastani (w. 1153 M)

·                     Relevansi: Kitab ini menguraikan berbagai aliran pemikiran teologis dalam Islam, termasuk Jahmiyah, secara sistematis. Asy-Syahrastani memberikan analisis tentang doktrin mereka dan perbedaan mereka dengan kelompok lain.


5.                  Siyar A’lam al-Nubala’

·                     Penulis: Al-Dhahabi (w. 1348 M)

·                     Relevansi: Kitab ini memuat biografi tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam, termasuk Jahm bin Safwan dan para ulama yang melawan pemikirannya. Penulisannya membantu memahami konteks sejarah munculnya Jahmiyah.


6.                  Ihya Ulum ad-Din

·                     Penulis: Imam Al-Ghazali (w. 1111 M)

·                     Relevansi: Meskipun kitab ini bukan khusus membahas Jahmiyah, Al-Ghazali memberikan panduan akidah yang kuat, yang relevan dalam memahami bahaya penyimpangan teologis seperti yang dilakukan Jahmiyah.


7.                  Kitab Al-Tawhid

·                     Penulis: Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1792 M)

·                     Relevansi: Kitab ini membahas konsep tauhid secara mendalam, dengan kritik terhadap paham yang menafikan sifat-sifat Allah, seperti yang dilakukan Jahmiyah.


8.                  Usul al-Din

·                     Penulis: Al-Baghdadi (w. 1037 M)

·                     Relevansi: Selain Al-Farq Bayna al-Firaq, kitab ini memperkuat pembahasan teologi Islam dengan argumentasi rasional yang tetap berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah, relevan untuk memahami kritik terhadap Jahmiyah.


9.                  Tarikh Baghdad

·                     Penulis: Al-Khatib al-Baghdadi (w. 1071 M)

·                     Relevansi: Kitab ini memberikan wawasan historis tentang tokoh-tokoh penting pada masa Jahmiyah, termasuk Jahm bin Safwan, serta dampak pemikirannya di masyarakat.


10.              Al-Bidayah wa An-Nihayah

·                     Penulis: Ibnu Katsir (w. 1373 M)

·                     Relevansi: Sebagai kitab sejarah, karya ini memuat kronologi peristiwa-peristiwa penting, termasuk peristiwa Mihnah dan peran Jahmiyah dalam konflik teologis pada masa Abbasiyah.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar