Jahmiyah
Akar Pemikiran, Doktrin,
dan Pengaruhnya dalam Sejarah Islam
Disclaimer
Sebagai penulis, saya
menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu
kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan
akademis semata.
Pembahasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung,
atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan
didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap
objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika
pemikiran dalam sejarah Islam.
Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan
keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus
Sunnah Wal Jamaah.
Abstrak
Artikel ini membahas secara
komprehensif tentang Jahmiyah, sebuah aliran teologis yang berakar dari
pemikiran Jahm bin Safwan, yang berkembang pada masa akhir Dinasti Umayyah dan
awal Dinasti Abbasiyah. Jahmiyah dikenal melalui doktrin-doktrin kontroversialnya,
seperti peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat), anggapan bahwa
Al-Quran adalah makhluk, determinisme mutlak dalam takdir, dan penolakan
ru’yatullah di akhirat. Pemikiran ini mencerminkan pengaruh filsafat Yunani
yang diintegrasikan ke dalam teologi Islam secara ekstrem.
Melalui analisis historis dan
teologis, artikel ini menguraikan latar belakang munculnya Jahmiyah,
doktrin-doktrin utamanya, metodologi pemikirannya, serta dampaknya terhadap
sejarah Islam. Respon dari ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, terutama dalam
peristiwa Mihnah, menunjukkan pentingnya menjaga kemurnian akidah Islam yang
berbasis pada Al-Quran dan Sunnah. Selain itu, polemik yang dipicu oleh
Jahmiyah memotivasi lahirnya karya-karya besar dalam teologi Islam, seperti
pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Asy’ari, dan Ibnu Taimiyah.
Artikel ini juga memberikan
pelajaran penting tentang bahaya penyimpangan akidah akibat penggunaan akal
yang berlebihan tanpa panduan wahyu. Selain itu, ia menyoroti pentingnya
pendidikan akidah yang kuat untuk menghadapi tantangan pemikiran di masa depan.
Kajian ini tidak hanya bertujuan untuk memahami Jahmiyah sebagai bagian dari
sejarah pemikiran Islam, tetapi juga untuk memperkuat akidah yang lurus dan
relevansi prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah di tengah tantangan
intelektual modern.
Kata Kunci: Jahmiyah, akidah
Islam, peniadaan sifat Allah, Mihnah, filsafat Yunani, Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, sejarah teologi Islam.
PEMBAHASAN
Jahmiyah: Akar Pemikiran, Doktrin, dan
Pengaruhnya dalam Sejarah Islam
1.
Pendahuluan
Sejarah Islam dipenuhi oleh
berbagai dinamika pemikiran teologis yang muncul sebagai respons terhadap
persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat Muslim. Salah satu aliran
teologis yang memiliki pengaruh signifikan, baik dalam hal penyebaran ide
maupun dampaknya terhadap diskursus akidah Islam, adalah Jahmiyah. Aliran ini
didirikan oleh Jahm bin Safwan (w. 746 M), seorang tokoh yang dikenal sebagai
pengikut ekstrim dalam penafsiran rasional terhadap konsep ketuhanan. Kehadiran
Jahmiyah tidak hanya mengundang dukungan dari sebagian kalangan, tetapi juga
kritik keras dari mayoritas ulama dan aliran lainnya.
Munculnya Jahmiyah dapat
dipahami dalam konteks sosial-politik pada masa akhir Dinasti Umayyah dan awal
Dinasti Abbasiyah, di mana pertemuan berbagai budaya, filsafat, dan agama
non-Islam memengaruhi cara pandang sebagian intelektual Muslim. Pemikiran
filsafat Yunani yang masuk melalui terjemahan karya-karya Hellenistik turut
memengaruhi corak pemikiran Jahmiyah, terutama dalam pendekatan rasional
terhadap teologi Islam. Jahm bin Safwan dikenal sebagai murid dari Ja'd bin
Dirham, yang juga menyebarkan ide-ide kontroversial seperti peniadaan
sifat-sifat Allah (nafyu sifat).¹
Doktrin-doktrin utama
Jahmiyah, seperti penolakan terhadap sifat-sifat Allah, konsep Al-Quran sebagai
makhluk, dan peniadaan kemungkinan melihat Allah di akhirat, menimbulkan
polemik panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Aliran ini menjadi salah satu
alasan utama terjadinya mihnah (inkuisisi teologis) pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah.² Dalam peristiwa ini,
para ulama dipaksa untuk menerima doktrin Jahmiyah tentang kemakhlukan
Al-Quran, yang kemudian menjadi sorotan besar dalam perjalanan intelektual
Islam.
Artikel ini bertujuan untuk
menggali secara mendalam akar pemikiran Jahmiyah, doktrin-doktrinnya, serta
pengaruhnya terhadap perkembangan sejarah Islam. Dengan menggunakan
sumber-sumber primer seperti kitab-kitab klasik dan kajian akademik modern,
pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif tentang
Jahmiyah sebagai salah satu aliran pemikiran yang membentuk dinamika akidah
Islam. Melalui pemahaman ini, pembaca dapat mengambil pelajaran penting tentang
pentingnya menjaga akidah yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah di tengah
beragamnya ideologi yang muncul sepanjang sejarah.³
Catatan Kaki:
[1]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed.
Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah,
ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 21.
[3]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 75.
2.
Latar
Belakang Sejarah Jahmiyah
2.1. Asal-usul Jahmiyah
Jahmiyah adalah aliran
pemikiran teologis yang didirikan oleh Jahm bin Safwan (w. 746 M), seorang
pemikir kontroversial yang hidup pada masa akhir Dinasti Umayyah. Ia berasal
dari Khurasan, sebuah wilayah yang menjadi pusat pertemuan berbagai budaya dan
pemikiran akibat interaksi antara Islam, filsafat Yunani, dan agama-agama lain
seperti Zoroastrianisme dan Kristen. Jahm bin Safwan dikenal sebagai seorang
ahli debat yang terlibat dalam diskusi-diskusi teologis dengan
kelompok-kelompok yang berbeda, seperti Khawarij dan Mu'tazilah.¹
Jahm bin Safwan adalah murid
Ja’d bin Dirham, yang diyakini sebagai tokoh pertama yang menyebarkan ide
penolakan sifat-sifat Allah (nafyu sifat).² Pemikiran Ja’d sangat
dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan filsafat Yunani, terutama dalam pendekatan
rasional terhadap konsep ketuhanan.³ Jahm melanjutkan dan mengembangkan ide-ide
gurunya, sehingga membentuk kerangka doktrin Jahmiyah yang dikenal dalam
sejarah Islam.
2.2. Perkembangan Jahmiyah
Pemikiran Jahmiyah berkembang
pada masa transisi antara Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ketika filsafat Yunani
mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.⁴ Jahmiyah menekankan pentingnya
penggunaan akal dalam memahami teologi, yang menyebabkan benturan dengan
ulama-ulama tradisionalis. Jahm bin Safwan sendiri terlibat dalam berbagai
polemik teologis dengan kelompok lain, yang sering berujung pada perselisihan
tajam.
Meskipun pemikiran Jahmiyah
tidak diterima secara luas, aliran ini memiliki dampak besar terhadap diskursus
teologi Islam. Pada masa Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah, pengaruh
doktrin Jahmiyah terlihat dalam peristiwa Mihnah (inkuisisi), di mana ulama
dipaksa untuk menerima pandangan bahwa Al-Quran adalah makhluk.⁵
Jahmiyah tidak bertahan lama
sebagai sebuah gerakan formal setelah eksekusi Jahm bin Safwan oleh Salim bin
Ahwaz, seorang gubernur Bani Umayyah di Marw.⁶ Namun, doktrin-doktrin utama
aliran ini terus memengaruhi diskusi teologis melalui kelompok-kelompok lain,
seperti Mu'tazilah, yang mengadopsi beberapa ide Jahmiyah, khususnya terkait
rasionalisme teologis.⁷
Catatan Kaki:
[1]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed.
Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa
Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 10.
[3]
Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:122.
[4]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 75.
[5]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed.
Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:56.
[6]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed.
Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 6:26.
[7]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1981), 18.
3.
Doktrin-Doktrin
Utama Jahmiyah
Jahmiyah merupakan aliran
teologis yang dikenal dengan sejumlah doktrin utamanya yang kontroversial dan
berlawanan dengan akidah mayoritas Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Doktrin-doktrin ini
mencerminkan pendekatan rasional Jahm bin Safwan dalam memahami teologi Islam,
yang sebagian besar dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan ide-ide gurunya, Ja’d
bin Dirham. Berikut adalah pembahasan mendalam tentang doktrin-doktrin utama
Jahmiyah:
3.1. Penolakan Sifat-Sifat Allah (Nafyu Sifat)
Salah satu doktrin inti
Jahmiyah adalah penolakan terhadap semua sifat Allah. Jahm bin Safwan
berpendapat bahwa menetapkan sifat-sifat Allah seperti yang disebutkan dalam
Al-Quran, seperti sifat kasih sayang (rahmah), kuasa (qudrah),
dan ilmu (‘ilm), akan membawa kepada tasybih (penyerupaan Allah
dengan makhluk). Oleh karena itu, Jahmiyah menafsirkan sifat-sifat tersebut
secara metaforis atau meniadakannya sama sekali.¹
Pendekatan ini dikritik keras
oleh ulama Ahlus Sunnah. Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Ar-Radd ‘Ala
al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah, menegaskan bahwa menafikan sifat Allah berarti
menolak ayat-ayat Al-Quran yang secara eksplisit menyebutkan sifat-sifat
tersebut.² Ibnu Taimiyah juga menganggap pandangan ini sebagai bentuk distorsi
terhadap ajaran Al-Quran dan Sunnah.³
3.2. Al-Quran adalah Makhluk
Jahmiyah juga dikenal dengan
doktrin bahwa Al-Quran adalah makhluk, bukan kalam Allah yang qadim. Pandangan
ini merupakan hasil logis dari keyakinan mereka bahwa Allah tidak memiliki
sifat. Jahmiyah berpendapat bahwa jika Al-Quran adalah kalam Allah, maka itu
adalah sifat yang menempel pada Zat-Nya, yang bertentangan dengan prinsip
mereka tentang penolakan sifat.⁴
Pandangan ini menjadi salah
satu isu sentral dalam peristiwa Mihnah (Inkuisisi) pada masa pemerintahan
Khalifah Al-Ma’mun. Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal menolak keras doktrin
ini dan mempertahankan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah yang tidak diciptakan
(ghayru makhluq).⁵
3.3. Konsep Takdir (Qadar)
Dalam hal takdir, Jahmiyah
mengadopsi pandangan determinisme mutlak. Mereka percaya bahwa manusia tidak
memiliki kehendak bebas dan segala perbuatannya telah ditentukan oleh Allah
secara mutlak tanpa campur tangan manusia.⁶ Menurut Jahmiyah, konsep kehendak
manusia akan mengurangi kekuasaan absolut Allah.⁷
Pandangan ini bertentangan
dengan Ahlus Sunnah, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas,
meskipun dalam batasan kekuasaan Allah. Ulama seperti Al-Baghdadi menyatakan
bahwa doktrin Jahmiyah tentang takdir menafikan tanggung jawab moral manusia.⁸
3.4. Peniadaan Ru’yatullah
Jahmiyah menolak keyakinan
bahwa Allah dapat dilihat di akhirat oleh orang-orang beriman. Menurut mereka,
melihat Allah akan membawa kepada tajsīm (pembendaan Allah), yang
bertentangan dengan keesaan dan kesucian-Nya.⁹
Ahlus Sunnah Wal Jamaah,
berdasarkan ayat-ayat seperti QS. Al-Qiyamah [75] ayat 22-23 dan hadis-hadis
sahih, meyakini bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah di akhirat tanpa
membayangkan bentuk-Nya. Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan
hadis tentang ru’yatullah sebagai bagian dari akidah yang sahih.¹⁰
Catatan Kaki:
[1]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed.
Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa
Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 13-15.
[3]
Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:85-86.
[4]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 76.
[5]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed.
Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:230.
[6]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1981), 19.
[7]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed.
Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:67.
[8]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, 91.
[9]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, 78.
[10]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab
al-Riqaq, Bab al-Ru’yah fi al-Jannah, Hadis no. 6088.
4.
Metodologi
dan Landasan Pemikiran
Jahmiyah, sebagai aliran
pemikiran teologis, memiliki pendekatan unik dalam memahami konsep ketuhanan
dan teologi Islam. Metodologi dan landasan pemikiran Jahmiyah mencerminkan
pengaruh yang signifikan dari filsafat Yunani serta interpretasi ekstrem
terhadap teks-teks Al-Quran dan Hadis. Pemikiran Jahm bin Safwan yang berkembang
di bawah pengaruh gurunya, Ja’d bin Dirham, sangat dipengaruhi oleh penggunaan
akal yang dominan dan tafsir metaforis terhadap konsep-konsep teologis.
4.1. Metodologi Pemikiran Jahmiyah
4.1.1.
Dominasi Akal atas Wahyu
Metodologi utama Jahmiyah
adalah mendahulukan akal dalam memahami teks-teks agama. Jahm bin Safwan
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan rasional, terutama
dalam isu-isu yang dianggap bertentangan dengan prinsip rasionalitas.¹
Misalnya, dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, Jahmiyah menolak
interpretasi literal ayat-ayat mutasyabihat dan menggantikannya dengan tafsir
metaforis atau peniadaan sifat tersebut sama sekali.²
Pendekatan ini menunjukkan
pengaruh filsafat Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme,
yang masuk ke dunia Islam melalui proses penerjemahan karya-karya filsafat pada
masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.³ Pemikiran ini berusaha menyelaraskan
konsep ketuhanan Islam dengan prinsip-prinsip metafisika Yunani, yang cenderung
mengabstraksikan sifat-sifat ketuhanan.
4.1.2.
Penolakan terhadap Tradisi
Teksualisme
Jahmiyah cenderung menolak
pendekatan tradisional yang mengutamakan teks secara literal. Mereka
menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah (seperti QS. Al-Fath
[48] ayat 10 dan QS. Taha [20] ayat 5) sebagai metafora yang tidak boleh
dipahami secara lahiriah, untuk menghindari tasybih (penyerupaan Allah
dengan makhluk).⁴
4.2. Landasan Pemikiran Jahmiyah
4.2.1.
Pengaruh dari Ja’d bin
Dirham
Sebagai murid Ja’d bin
Dirham, Jahm bin Safwan mewarisi pemikiran yang menolak sifat-sifat Allah dan
menafsirkan konsep-konsep teologis secara metaforis. Ja’d bin Dirham diduga
mendapatkan pengaruh dari ide-ide pemikir Yahudi dan Kristen, khususnya dalam
peniadaan sifat ketuhanan.⁵ Ja’d adalah orang pertama yang menyatakan bahwa
Allah tidak memiliki sifat, yang kemudian diperluas oleh Jahm ke dalam berbagai
isu teologis.⁶
4.2.2.
Integrasi Filsafat Yunani
Jahmiyah memanfaatkan
kerangka logika Yunani dalam membangun argumen teologis. Salah satu konsep yang
mereka adopsi adalah prinsip kesederhanaan absolut dalam esensi Allah (tanzih).
Menurut Jahmiyah, menetapkan sifat pada Allah akan menimbulkan keserupaan
dengan makhluk, yang bertentangan dengan doktrin keesaan Allah (tauhid).⁷
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Neoplatonis yang menekankan
transendensi mutlak Tuhan.
4.2.3.
Rasionalisme Ekstrem
Landasan pemikiran Jahmiyah
sangat menekankan bahwa wahyu harus tunduk pada akal. Jika ada ayat-ayat
Al-Quran yang dianggap bertentangan dengan akal, mereka akan menafsirkannya
secara metaforis atau bahkan meniadakannya.⁸ Hal ini membuat Jahmiyah sering berkonflik
dengan ulama tradisionalis yang mempertahankan pendekatan literal terhadap teks
agama.
4.3. Kritik Terhadap Metodologi Jahmiyah
Metodologi Jahmiyah mendapat
kritik tajam dari ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Imam Ahmad bin Hanbal
menyatakan bahwa mendahulukan akal atas wahyu akan menimbulkan distorsi dalam memahami
akidah Islam.⁹ Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa pendekatan Jahmiyah mengaburkan
kebenaran Al-Quran dan Sunnah dengan interpretasi-interpretasi yang
dipaksakan.¹⁰ Kritik ini menunjukkan bahwa penggunaan akal dalam agama harus
berada dalam kerangka yang dibatasi oleh wahyu.
Catatan Kaki:
[1]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed.
Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 89.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa
Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 12.
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society,
(London: Routledge, 1998), 85.
[4]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 75-76.
[5]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed.
Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 6:25.
[6]
Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:122.
[7]
George Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics
of Abd al-Jabbar, (Oxford: Oxford University Press, 1971), 37.
[8]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed.
Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:68.
[9]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa
Az-Zanadiqah, 14.
[10]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul
Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:45.
5.
Kritik
Terhadap Jahmiyah
Doktrin-doktrin Jahmiyah
mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama ulama Ahlus Sunnah Wal
Jamaah, serta dari aliran-aliran lain seperti Mu’tazilah, Khawarij, dan Syi’ah.
Kritik ini berkaitan dengan implikasi teologis yang dihasilkan oleh
doktrin-doktrin mereka, yang dianggap menyimpang dari pemahaman Al-Quran dan
Sunnah. Bagian ini membahas kritik terhadap Jahmiyah dari beberapa aspek utama.
5.1. Kritik dari Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jamaah
a. Penolakan
terhadap Sifat-Sifat Allah
Ahlus Sunnah Wal Jamaah
menolak keras doktrin nafyu sifat (peniadaan sifat Allah) yang diajarkan
oleh Jahmiyah. Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa meniadakan sifat Allah
adalah bentuk penyimpangan dari ajaran Al-Quran dan Sunnah, karena banyak ayat
yang secara eksplisit menyebut sifat-sifat Allah, seperti QS. Asy-Syura [42]
ayat 11 (“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”).¹ Penafsiran Jahmiyah terhadap sifat Allah
dianggap mengarah pada pengingkaran terhadap ayat-ayat mutasyabihat.²
Ibnu Taimiyah juga menentang
keras pandangan ini. Dalam Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql, ia menyatakan
bahwa metode Jahmiyah menghilangkan pemahaman yang benar tentang Allah dan
menggantikannya dengan ide yang terlalu abstrak sehingga menjauh dari keimanan
yang murni.³
b. Al-Quran sebagai
Makhluk
Doktrin bahwa Al-Quran adalah
makhluk menjadi salah satu isu paling kontroversial yang memicu peristiwa
Mihnah (Inkuisisi) pada masa Khalifah Al-Ma'mun. Imam Ahmad bin Hanbal adalah
salah satu tokoh utama yang menolak doktrin ini dan menegaskan bahwa Al-Quran
adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (ghayru makhluq). Ia
berpendapat bahwa menganggap Al-Quran sebagai makhluk merendahkan kedudukannya
sebagai wahyu Allah.⁴
Para ulama Ahlus Sunnah juga
mengkritik pandangan Jahmiyah ini karena dianggap membuka peluang bagi
penyimpangan lebih lanjut dalam pemahaman terhadap wahyu, seperti meragukan
keabadian dan otoritas Al-Quran.⁵
c. Konsep Takdir
(Qadar)
Jahmiyah yang mendukung
determinisme mutlak dianggap meniadakan kehendak bebas manusia, yang
bertentangan dengan banyak ayat Al-Quran, seperti QS. Al-Kahfi [18] ayat 29 (“Maka
barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin kafir, biarlah ia kafir”). Para ulama Ahlus Sunnah menegaskan bahwa
manusia memiliki kehendak bebas yang berjalan dalam koridor kehendak Allah.⁶
5.2. Kritik dari Aliran Lain
5.2.1.
Kritik Mu’tazilah
Meskipun Mu’tazilah juga
mendukung rasionalisme, mereka mengkritik Jahmiyah karena terlalu ekstrem dalam
peniadaan sifat-sifat Allah. Mu’tazilah mengakui adanya sifat-sifat Allah,
meskipun mereka menafsirkannya dalam konteks metaforis untuk menghindari tasybih.⁷
5.2.2.
Kritik Khawarij
Khawarij menolak pandangan
determinisme Jahmiyah dan menekankan bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab
atas perbuatannya. Menurut mereka, pandangan Jahmiyah yang mendukung takdir
mutlak bertentangan dengan prinsip keadilan ilahi.⁸
5.2.3.
Kritik Syi’ah
Aliran Syi’ah, terutama
kelompok Imamiyah, juga menolak doktrin Jahmiyah tentang sifat Allah dan
determinisme. Mereka berpendapat bahwa peniadaan sifat Allah oleh Jahmiyah
mengurangi pemahaman tentang keagungan-Nya.⁹
5.3. Dampak Negatif Pemikiran Jahmiyah
Kritik terhadap Jahmiyah
tidak hanya berfokus pada doktrin mereka, tetapi juga pada dampak sosial dan
politik yang diakibatkan oleh pemikiran mereka. Peristiwa Mihnah adalah salah
satu contoh nyata bagaimana doktrin Jahmiyah menciptakan konflik dalam
masyarakat Muslim. Para ulama tradisionalis yang menolak doktrin Jahmiyah
menjadi korban penganiayaan, yang pada akhirnya memicu ketegangan antara
rasionalis dan tradisionalis.¹⁰
5.4. Kritik Teologis dan Filosofis
Secara teologis, metode
Jahmiyah yang terlalu mengutamakan akal dianggap mengabaikan fungsi wahyu
sebagai sumber utama dalam akidah Islam. Pendekatan mereka dinilai membawa
konsekuensi logis yang merusak esensi keimanan, seperti peniadaan keabadian
Al-Quran dan kejelasan konsep ketuhanan. Filosofisnya, integrasi konsep
filsafat Yunani dalam pemikiran mereka dianggap melenceng dari prinsip tauhid
yang diajarkan dalam Islam.¹¹
Catatan Kaki:
[1]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa
Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 18.
[2]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed.
Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 90.
[3]
Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:112-114.
[4]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed.
Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:231.
[5]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed.
Ali Shiri, (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1988), 10:243.
[6]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 76.
[7]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981), 19.
[8]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed.
Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:68.
[9]
Muhammad Baqir As-Sadr, Durus fi Ilm al-Kalam,
ed. Sayyid Mahdi Bahr al-Ulum, (Qom: Muassasah al-Balagah, 1995), 52.
[10]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, 92.
[11]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul
Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:47.
6.
Pengaruh
Jahmiyah dalam Sejarah Islam
Jahmiyah, meskipun tidak
bertahan lama sebagai sebuah aliran formal setelah eksekusi Jahm bin Safwan,
meninggalkan jejak yang signifikan dalam sejarah pemikiran Islam.
Doktrin-doktrin yang diperkenalkan oleh Jahmiyah memengaruhi diskursus teologis
di kalangan umat Islam, baik secara langsung melalui penerapan pemikiran mereka
maupun secara tidak langsung melalui reaksi penolakan dari kelompok-kelompok
lain.
6.1. Peran Jahmiyah dalam Peristiwa Mihnah
Salah satu dampak paling
nyata dari pengaruh Jahmiyah adalah peristiwa Mihnah (Inkuisisi Teologis) yang
terjadi pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813–833 M) dari Dinasti Abbasiyah. Mihnah
bertujuan untuk memaksakan doktrin Jahmiyah bahwa Al-Quran adalah makhluk
kepada para ulama.¹ Para ulama yang menolak doktrin ini, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, mengalami tekanan berat, termasuk penganiayaan dan pemenjaraan.²
Peristiwa Mihnah menunjukkan
pengaruh besar doktrin Jahmiyah di lingkungan kekuasaan Abbasiyah, meskipun
hanya berlangsung selama beberapa dekade. Penolakan terhadap Mihnah menjadi
salah satu titik balik penting dalam sejarah teologi Islam, di mana doktrin
Ahlus Sunnah akhirnya menang atas pemikiran Jahmiyah dan Mu’tazilah.³
6.2. Pengaruh Pemikiran Jahmiyah pada Aliran Lain
Doktrin Jahmiyah, terutama
dalam hal peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat), memengaruhi aliran
Mu’tazilah.⁴ Meskipun Mu’tazilah tidak sepenuhnya menyetujui pendekatan
Jahmiyah, mereka mengadopsi beberapa gagasan rasionalistiknya, seperti
pendekatan metaforis terhadap ayat-ayat mutasyabihat.⁵
Sebaliknya, penolakan
terhadap Jahmiyah juga mendorong penguatan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah menulis karya-karya yang
membantah pemikiran Jahmiyah dan memperkuat akidah yang berbasis pada Al-Quran
dan Sunnah.⁶
6.3. Dampak Jahmiyah terhadap Diskursus Teologis
Pemikiran Jahmiyah memicu
diskusi mendalam tentang konsep tauhid, sifat-sifat Allah, kehendak bebas, dan
takdir. Meskipun doktrin Jahmiyah secara resmi ditolak oleh mayoritas ulama,
mereka menjadi katalisator bagi pengembangan pemikiran teologis dalam Islam.⁷
Sebagai contoh, debat tentang
sifat Allah memunculkan metodologi yang lebih sistematis di kalangan Ahlus
Sunnah, seperti pendekatan yang diambil oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.⁸
Begitu pula, pembahasan tentang takdir dan kehendak bebas terus berkembang
dalam diskusi teologi Islam hingga saat ini.
6.4. Pengaruh Sosial dan Politik
Secara sosial, Jahmiyah
menimbulkan ketegangan di masyarakat Muslim pada masa awal Islam, terutama
akibat pengaruh doktrin mereka di lingkungan kekuasaan. Secara politis,
peristiwa Mihnah memperlihatkan bagaimana teologi dapat digunakan sebagai alat
politik oleh penguasa untuk mengontrol masyarakat dan ulama.⁹
Namun, penolakan terhadap
Jahmiyah oleh mayoritas ulama menunjukkan pentingnya kebebasan intelektual
dalam Islam. Sikap tegas Imam Ahmad bin Hanbal terhadap Mihnah menginspirasi
generasi berikutnya dalam mempertahankan akidah Islam yang murni.¹⁰
6.5. Warisan Jahmiyah dalam Sejarah Islam
Meskipun Jahmiyah tidak
bertahan lama sebagai sebuah aliran, ide-ide mereka tetap menjadi bagian dari
sejarah pemikiran Islam. Jahmiyah menjadi pelajaran penting tentang bagaimana
penggunaan akal yang berlebihan tanpa panduan wahyu dapat menyebabkan
penyimpangan teologis.¹¹
Dalam jangka panjang,
Jahmiyah membantu membentuk garis pemisah yang jelas antara Ahlus Sunnah Wal
Jamaah dan kelompok-kelompok rasionalistik lainnya. Warisan intelektual ini
menjadi dasar bagi diskusi teologis yang terus berkembang dalam tradisi Islam.
Catatan Kaki:
[1]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa
Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 22.
[2]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed.
Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:229.
[3]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed.
Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 90.
[4]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 76.
[5]
George Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics
of Abd al-Jabbar, (Oxford: Oxford University Press, 1971), 38.
[6]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul
Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:45.
[7]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society,
(London: Routledge, 1998), 88.
[8]
Al-Baghdadi, Usul al-Din, ed. Abdullah Abdul
Mu’ti, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 33.
[9]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981), 21.
[10]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed. Bashar
Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:67.
[11]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed.
Ali Shiri, (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1988), 10:245.
7.
Pelajaran
dan Ibrah dari Pemikiran Jahmiyah
Sejarah muncul dan
berkembangnya Jahmiyah memberikan banyak pelajaran dan ibrah yang penting,
terutama dalam menjaga kemurnian akidah Islam dan memahami bagaimana dinamika
pemikiran teologis dapat memengaruhi umat. Dengan mengacu pada doktrin-doktrin
mereka, respon ulama, dan dampak sosial-politik yang ditimbulkannya, berikut
adalah pelajaran yang dapat diambil dari keberadaan Jahmiyah.
7.1. Pentingnya Berpegang pada Al-Quran dan Sunnah
Salah satu pelajaran terbesar
dari keberadaan Jahmiyah adalah pentingnya menjadikan Al-Quran dan Sunnah
sebagai landasan utama dalam akidah. Jahmiyah, dengan pendekatan rasionalisme
ekstremnya, sering kali menafsirkan ayat-ayat Al-Quran di luar konteks wahyu,
yang menyebabkan penyimpangan seperti peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu
sifat) dan anggapan bahwa Al-Quran adalah makhluk.¹
Ulama seperti Imam Ahmad bin
Hanbal menegaskan bahwa akal harus tunduk kepada wahyu dan bukan sebaliknya.²
Keberhasilan ulama Ahlus Sunnah dalam melawan doktrin Jahmiyah menunjukkan
bahwa kesetiaan kepada wahyu adalah kunci untuk menjaga kemurnian ajaran
Islam.³
7.2. Bahaya Penggunaan Akal yang Berlebihan dalam Akidah
Jahmiyah menjadi contoh nyata
tentang bagaimana penggunaan akal secara berlebihan tanpa panduan wahyu dapat
menimbulkan penyimpangan teologis. Pengaruh filsafat Yunani dalam pemikiran
Jahmiyah menunjukkan bahwa logika manusia memiliki keterbatasan dalam memahami
hakikat Allah.⁴
Ibnu Taimiyah, dalam Dar’u
Ta’arudil Aql wa Naql, menyebut bahwa setiap penggunaan akal dalam agama
harus dibatasi oleh wahyu untuk menghindari spekulasi yang menyimpang.⁵ Dalam
konteks modern, pelajaran ini relevan untuk menghadapi tantangan intelektual
yang sering kali mencoba mengutamakan rasionalitas di atas doktrin agama.
7.3. Pentingnya Ketegasan dalam Menjaga Akidah
Respon ulama terhadap
Jahmiyah, terutama perlawanan Imam Ahmad bin Hanbal dalam peristiwa Mihnah,
memberikan contoh ketegasan dalam mempertahankan akidah. Meskipun menghadapi
tekanan dan penganiayaan dari penguasa, Imam Ahmad tetap berpegang teguh pada
prinsip bahwa Al-Quran adalah kalam Allah yang tidak diciptakan (ghayru
makhluq).⁶
Sikap tegas seperti ini
mengajarkan pentingnya istiqamah dalam menghadapi ujian yang berkaitan dengan
keimanan. Ulama yang mengikuti jejak Imam Ahmad menunjukkan bahwa keteguhan
pada prinsip dapat mengalahkan tekanan dari kelompok yang mencoba menyimpangkan
ajaran Islam.⁷
7.4. Kesadaran Akan Dinamika Pemikiran Teologis
Keberadaan Jahmiyah juga
mengajarkan pentingnya memahami dinamika pemikiran teologis dalam sejarah
Islam. Doktrin Jahmiyah memicu perdebatan dan polemik yang mendorong ulama
untuk memperdalam kajian teologi Islam. Akibatnya, lahirlah karya-karya
monumental dalam bidang akidah, seperti karya Imam Asy’ari yang merumuskan
doktrin Ahlus Sunnah dengan lebih sistematis.⁸
Memahami sejarah pemikiran
teologis ini penting agar umat Islam dapat mengenali dan mengantisipasi
penyimpangan-penyimpangan serupa di masa depan.
7.5. Pentingnya Pendidikan Akidah Sejak Dini
Kemunculan Jahmiyah juga
menunjukkan perlunya pendidikan akidah yang kuat dan sistematis sejak dini.
Jahmiyah mampu menyebarkan pemikiran mereka di tengah masyarakat Muslim yang
kurang memiliki landasan akidah yang kokoh. Ulama seperti Imam Al-Ghazali menekankan
pentingnya mendidik generasi muda dengan pemahaman akidah yang benar agar tidak
mudah terpengaruh oleh ide-ide yang menyimpang.⁹
7.6. Pelajaran dalam Moderasi Pemikiran
Jahmiyah menjadi contoh
ekstrim dalam penggunaan akal dalam akidah, sementara Khawarij dan sebagian
kelompok lain menjadi contoh ekstrim dalam penafsiran literal tanpa menggunakan
akal sama sekali. Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengambil jalan moderasi dengan
menggabungkan akal dan wahyu secara seimbang.¹⁰
Moderasi ini mengajarkan
bahwa Islam adalah agama yang menghargai penggunaan akal, tetapi selalu dalam
batasan yang ditetapkan oleh wahyu. Pelajaran ini relevan untuk menghadapi
ideologi ekstrem di masa kini, baik yang bersifat rasionalistik maupun literalistik.
Kesimpulan
Keberadaan Jahmiyah dalam
sejarah Islam memberikan pelajaran penting tentang bahaya penyimpangan teologis
yang diakibatkan oleh penggunaan akal yang berlebihan tanpa panduan wahyu.
Dengan memahami doktrin dan pengaruh Jahmiyah, umat Islam dapat mengambil ibrah
untuk memperkuat akidah, mendidik generasi muda, dan menjaga keimanan yang
lurus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Sejarah ini juga menekankan pentingnya
sikap moderasi dalam menghadapi berbagai tantangan pemikiran di setiap zaman.
Catatan Kaki:
[1]
Ahmad bin Hanbal, Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa
Az-Zanadiqah, ed. Muhammad Zahran, (Cairo: Dar as-Salam, 2005), 12.
[2]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed.
Shu’ayb Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:230.
[3]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, ed.
Ali Shiri, (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1988), 10:245.
[4]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981), 18.
[5]
Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim, (Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah, 1981), 1:98.
[6]
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna al-Firaq, ed.
Muhammad Zahi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1993), 90.
[7]
Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, ed.
Bashar Awwad Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), 7:67.
[8]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 77.
[9]
Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, ed. Abdullah
Mahmud, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1:50.
[10]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul
Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:56.
8.
Penutup
Jahmiyah merupakan salah satu
aliran teologis yang meninggalkan jejak penting dalam sejarah pemikiran Islam.
Meskipun tidak bertahan lama sebagai gerakan formal, pengaruh ide-ide mereka,
terutama dalam hal peniadaan sifat-sifat Allah (nafyu sifat),
determinisme mutlak, dan keyakinan bahwa Al-Quran adalah makhluk, memicu
perdebatan teologis yang signifikan. Respon terhadap doktrin Jahmiyah, baik
dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah maupun kelompok lainnya, menunjukkan pentingnya
menjaga akidah yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.
Keberadaan Jahmiyah
memberikan pelajaran berharga tentang dinamika pemikiran Islam, bahaya
penyimpangan akibat penggunaan akal yang berlebihan tanpa panduan wahyu, dan
pentingnya ketegasan ulama dalam menghadapi tantangan pemikiran yang
menyimpang. Sikap tegas Imam Ahmad bin Hanbal dalam peristiwa Mihnah, misalnya,
menjadi teladan keberanian dalam mempertahankan akidah yang murni meskipun
berada di bawah tekanan penguasa.¹
Selain itu, polemik yang
ditimbulkan oleh Jahmiyah juga memacu perkembangan teologi Islam yang lebih
sistematis. Karya-karya ulama seperti Imam Asy’ari, Imam Maturidi, dan Ibnu
Taimiyah muncul sebagai respon terhadap penyimpangan yang diakibatkan oleh
pemikiran Jahmiyah dan aliran-aliran lain. Mereka berusaha menjelaskan akidah
Islam secara rasional namun tetap setia kepada Al-Quran dan Sunnah.²
Pelajaran lain yang dapat
diambil dari sejarah Jahmiyah adalah pentingnya pendidikan akidah yang kuat
bagi umat Islam. Penyebaran doktrin Jahmiyah di kalangan masyarakat menunjukkan
bahwa pemahaman akidah yang lemah dapat membuat seseorang mudah terpengaruh
oleh ide-ide yang menyimpang. Oleh karena itu, membangun fondasi akidah yang
kokoh berdasarkan wahyu sejak usia dini adalah langkah yang sangat penting
untuk mencegah penyimpangan serupa di masa depan.³
Penelitian tentang Jahmiyah
juga relevan dalam konteks modern, di mana umat Islam dihadapkan pada berbagai
tantangan intelektual dan ideologi yang sering kali bertentangan dengan
prinsip-prinsip agama. Sejarah Jahmiyah mengingatkan kita untuk tetap menjaga
keseimbangan antara akal dan wahyu serta untuk bersikap moderat dalam
menghadapi berbagai aliran pemikiran.⁴
Sebagai penutup, kajian
tentang Jahmiyah tidak hanya memberikan wawasan tentang salah satu bab penting
dalam sejarah Islam, tetapi juga menguatkan tekad untuk terus memegang teguh
akidah yang lurus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Semoga pembahasan ini
menjadi pelajaran berharga dalam memperkuat iman dan menjaga keutuhan umat
Islam di tengah tantangan zaman.⁵
Catatan Kaki:
[1]
Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, ed. Shu’ayb
Al-Arna’ut, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), 11:230.
[2]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, ed. Abdul
Rahman bin Qasim, (Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1995), 5:45.
[3]
Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, ed. Abdullah
Mahmud, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 1:50.
[4]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981), 21.
[5]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kailani, (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 77.
Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, A. (1993). Al-Farq Bayna al-Firaq
(M. Zahi, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Bukhari, M. I. (1981). Shahih al-Bukhari.
Cairo: Al-Maktabah al-Salafiyyah.
Al-Dhahabi, M. I. (1981). Siyar A’lam al-Nubala’
(S. Al-Arna’ut, Ed.). Beirut: Muassasah al-Risalah.
Al-Ghazali, A. H. (1986). Ihya Ulum ad-Din
(A. Mahmud, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Khatib al-Baghdadi, A. B. (2001). Tarikh
Baghdad (B. A. Ma’ruf, Ed.). Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.
Al-Shahrastani, M. A. (1992). Al-Milal wa al-Nihal
(M. S. Kailani, Ed.). Cairo: Maktabah al-Turath.
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society.
London: Routledge.
Ibnu Katsir, I. (1988). Al-Bidayah wa An-Nihayah
(A. Shiri, Ed.). Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
Ibnu Taimiyah, T. (1981). Dar’u Ta’arudil Aql wa
Naql (M. R. Salim, Ed.). Cairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah.
Ibnu Taimiyah, T. (1995). Majmu’ al-Fatawa
(A. R. bin Qasim, Ed.). Madinah: Maktabah al-Malik Fahd.
Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Hourani, G. (1971). Islamic Rationalism: The
Ethics of Abd al-Jabbar. Oxford: Oxford University Press.
Lampiran: Daftar Kitab yang Relevan untuk Menelusuri Pemikiran Jahmiyah
Berikut adalah daftar kitab yang relevan untuk menelusuri
pemikiran Jahmiyah beserta doktrin-doktrinnya. Setiap kitab dijelaskan
berdasarkan judul, nama penulis, masa hidupnya, dan relevansinya terhadap
kajian tentang Jahmiyah.
1.
Al-Farq Bayna al-Firaq
·
Penulis: Abu Mansur
al-Baghdadi (w. 1037 M)
·
Relevansi: Kitab ini
adalah salah satu referensi utama dalam kajian tentang berbagai aliran teologis
dalam Islam, termasuk Jahmiyah. Al-Baghdadi menjelaskan doktrin-doktrin
Jahmiyah dan memberikan kritik terhadap penyimpangan mereka dari akidah Islam.
2.
Ar-Radd ‘Ala al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah
·
Penulis: Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 855 M)
·
Relevansi: Kitab ini
ditulis sebagai respon terhadap doktrin Jahmiyah, terutama dalam isu
sifat-sifat Allah dan Al-Quran sebagai makhluk. Imam Ahmad membela akidah Ahlus
Sunnah Wal Jamaah dan memberikan argumen kuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
3.
Dar’u Ta’arudil Aql wa Naql
·
Penulis: Ibnu
Taimiyah (w. 1328 M)
·
Relevansi: Dalam kitab
ini, Ibnu Taimiyah membahas konflik antara akal dan wahyu, termasuk membantah
doktrin-doktrin yang dipengaruhi oleh filsafat, seperti yang dianut oleh
Jahmiyah. Kitab ini menjadi referensi penting dalam memahami bahaya penggunaan
akal secara berlebihan dalam akidah.
4.
Al-Milal wa An-Nihal
·
Penulis: Abu al-Fath
Asy-Syahrastani (w. 1153 M)
·
Relevansi: Kitab ini
menguraikan berbagai aliran pemikiran teologis dalam Islam, termasuk Jahmiyah,
secara sistematis. Asy-Syahrastani memberikan analisis tentang doktrin mereka
dan perbedaan mereka dengan kelompok lain.
5.
Siyar A’lam al-Nubala’
·
Penulis: Al-Dhahabi
(w. 1348 M)
·
Relevansi: Kitab ini
memuat biografi tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam, termasuk Jahm bin
Safwan dan para ulama yang melawan pemikirannya. Penulisannya membantu memahami
konteks sejarah munculnya Jahmiyah.
6.
Ihya Ulum ad-Din
·
Penulis: Imam
Al-Ghazali (w. 1111 M)
·
Relevansi: Meskipun
kitab ini bukan khusus membahas Jahmiyah, Al-Ghazali memberikan panduan akidah
yang kuat, yang relevan dalam memahami bahaya penyimpangan teologis seperti
yang dilakukan Jahmiyah.
7.
Kitab Al-Tawhid
·
Penulis: Muhammad
bin Abdul Wahhab (w. 1792 M)
·
Relevansi: Kitab ini
membahas konsep tauhid secara mendalam, dengan kritik terhadap paham yang
menafikan sifat-sifat Allah, seperti yang dilakukan Jahmiyah.
8.
Usul al-Din
·
Penulis: Al-Baghdadi
(w. 1037 M)
·
Relevansi: Selain Al-Farq
Bayna al-Firaq, kitab ini memperkuat pembahasan teologi Islam dengan
argumentasi rasional yang tetap berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah, relevan
untuk memahami kritik terhadap Jahmiyah.
9.
Tarikh Baghdad
·
Penulis: Al-Khatib
al-Baghdadi (w. 1071 M)
·
Relevansi: Kitab ini
memberikan wawasan historis tentang tokoh-tokoh penting pada masa Jahmiyah,
termasuk Jahm bin Safwan, serta dampak pemikirannya di masyarakat.
10.
Al-Bidayah wa An-Nihayah
·
Penulis: Ibnu Katsir
(w. 1373 M)
·
Relevansi: Sebagai
kitab sejarah, karya ini memuat kronologi peristiwa-peristiwa penting, termasuk
peristiwa Mihnah dan peran Jahmiyah dalam konflik teologis pada masa Abbasiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar