Idealisme
Konsep, Sejarah, dan
Pengaruhnya dalam Pemikiran Filsafat
Alihkan ke: Materialisme;
dan Realisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
idealisme, salah satu aliran filsafat yang menempatkan ide atau kesadaran
sebagai inti realitas. Dimulai dengan pengertian dasar, artikel ini menjelaskan
berbagai jenis idealisme, seperti subjektif, objektif, dan transendental, serta
perkembangan historisnya dari pemikiran Plato hingga filsuf modern seperti
Immanuel Kant dan G.W.F. Hegel. Pengaruh idealisme dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk pendidikan, politik, etika, dan sains modern, juga diuraikan,
menunjukkan relevansi aliran ini dalam kehidupan kontemporer. Namun, idealisme
juga menghadapi kritik dari materialisme, realisme, dan positivisme, yang
menyoroti keterbatasan metafisik dan praktisnya. Meskipun demikian, idealisme
tetap menjadi sumber inspirasi intelektual dan moral, mendorong manusia untuk
mengejar nilai-nilai universal seperti kebenaran, keadilan, dan kebebasan.
Artikel ini menggarisbawahi pentingnya idealisme sebagai panduan untuk memahami
realitas sekaligus memperkaya kehidupan spiritual dan intelektual manusia.
Kata Kunci: Idealisme,
filsafat, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Plato, subjektif, objektif,
transendental, kritik, relevansi modern.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Idealisme merupakan salah satu aliran filsafat yang
paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia. Aliran ini menempatkan ide,
pikiran, atau kesadaran sebagai realitas utama, mengungguli materialitas atau
hal-hal yang bersifat fisik.¹ Idealisme telah menjadi kerangka kerja bagi
berbagai pemikiran besar, mulai dari metafisika hingga etika, seni, dan agama.
Filsuf besar seperti Plato, Immanuel Kant, dan G.W.F. Hegel adalah beberapa
nama yang identik dengan perkembangan idealisme, menjadikannya landasan
filsafat Barat klasik dan modern.²
Di dunia modern, pemikiran idealisme masih relevan,
terutama dalam membentuk pandangan tentang nilai, moralitas, dan tujuan
manusia. Pemikiran ini sering menjadi landasan teori pendidikan, etika, dan
pengembangan kepribadian yang mengedepankan kesempurnaan spiritual dan
intelektual.³ Sebagai contoh, Immanuel Kant melalui idealisme transendentalnya
menegaskan bahwa kategori pikiran manusia memengaruhi cara kita memahami dunia,
sebuah gagasan yang memengaruhi filsafat modern dan ilmu pengetahuan hingga
kini.⁴
Namun, idealisme juga menghadapi berbagai kritik,
terutama dari aliran materialisme dan realisme, yang menilai bahwa pendekatan
idealisme cenderung mengabaikan aspek material dari realitas.⁵ Meskipun
demikian, pemikiran idealisme tetap memiliki daya tarik universal, karena
menekankan peran manusia sebagai makhluk yang berakal dan bermoral dalam
memahami dunia.
1.2. Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam
mengenai idealisme dengan menguraikan konsep, sejarah, dan pengaruhnya dalam
berbagai bidang pemikiran. Pembahasan ini akan disertai dengan penjelasan dari
berbagai sudut pandang dan sumber referensi yang kredibel, sehingga pembaca
dapat memperoleh gambaran komprehensif tentang bagaimana idealisme telah
membentuk sejarah intelektual manusia. Selain itu, artikel ini juga mengupas
relevansi idealisme dalam konteks kehidupan modern, baik dalam pendidikan,
sosial, maupun pengembangan individu.
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 146.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 128–131.
[3]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 13.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 25.
[5]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
56–57.
2.
Pengertian
Idealisme
2.1. Definisi Umum
Idealisme, dalam konteks filsafat, adalah pandangan
yang menempatkan pikiran, ide, atau kesadaran sebagai dasar dan inti dari
realitas.¹ Istilah ini berasal dari kata Yunani idea, yang merujuk pada
"bentuk" atau "konsep" yang tidak bersifat
material.² Sebagai aliran filsafat, idealisme meyakini bahwa realitas
sesungguhnya bukanlah material, melainkan suatu dunia ide yang lebih tinggi
atau mutlak.
Menurut Plato, idealisme berkaitan dengan
gagasannya tentang Dunia Ide, di mana segala hal yang kita alami di dunia fisik
hanyalah bayangan atau refleksi dari ide-ide sempurna yang ada di dunia yang
lebih tinggi.³ Berbeda dengan Plato, filsuf modern seperti Immanuel Kant
memberikan pendekatan yang berbeda melalui idealisme transendentalnya, yang
menyatakan bahwa dunia yang kita alami ditentukan oleh struktur pikiran manusia
itu sendiri.⁴
Selain itu, filsuf George Berkeley menekankan
idealisme subjektif, di mana ia menyatakan bahwa keberadaan sesuatu bergantung
pada pengamat yang menyadarinya.⁵ Hal ini membuat idealisme menjadi salah satu
landasan utama dalam perdebatan metafisika, khususnya dalam menjawab pertanyaan
tentang sifat dasar realitas.
2.2. 2. Karakteristik Utama Idealisme
Idealisme memiliki beberapa karakteristik yang
menonjol:
·
Primasi Pikiran atau Ide:
Idealisme
memandang bahwa pikiran atau ide adalah elemen utama dalam memahami realitas,
dibandingkan dengan materialitas.⁶
·
Keterkaitan dengan Moralitas dan Nilai:
Idealisme
sering kali menghubungkan realitas dengan nilai-nilai moral dan etika yang
lebih tinggi, menjadikannya relevan dalam pembahasan filsafat praktis.⁷
·
Keyakinan pada Dunia Non-Material:
Aliran ini
percaya pada keberadaan dunia non-material atau spiritual yang lebih nyata
daripada dunia fisik yang kita rasakan.⁸
Melalui karakteristik ini, idealisme tidak hanya
menjadi dasar pemikiran metafisika tetapi juga memengaruhi bidang lain seperti
epistemologi, etika, dan estetika.
Catatan Kaki
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 1, Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 145.
[2]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our Worldview (New York:
Ballantine Books, 1991), 36.
[3]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–521d.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 40–42.
[5]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Oxford: Oxford
University Press, 1734), 33–34.
[6]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 56.
[7]
John Dewey, Ethics (New York: Holt, 1908),
22.
[8]
G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 78.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Idealisme
3.1. Idealisme dalam Filsafat Kuno
Sejarah idealisme dapat ditelusuri kembali ke
filsafat kuno, terutama dalam pemikiran Plato (427–347 SM). Plato mengajukan
gagasan tentang Dunia Ide sebagai realitas sejati, di mana ide-ide
sempurna dan abadi menjadi dasar dari segala hal yang ada.¹ Dalam dialog Republic,
Plato menggambarkan bahwa dunia material hanyalah bayangan dari dunia yang
lebih tinggi, yaitu Dunia Ide.² Perspektif ini menegaskan bahwa realitas yang
kita alami hanyalah pantulan dari kebenaran yang lebih tinggi, sehingga manusia
harus menggunakan akal budi untuk mengakses kebenaran tersebut.³
Di dunia Timur, konsep idealisme juga muncul dalam
ajaran-ajaran Vedanta dari filsafat India, terutama dalam pandangan Advaita
Vedanta yang menegaskan bahwa realitas sejati adalah kesatuan spiritual yang
melampaui dunia fisik.⁴ Dalam konteks ini, idealisme bukan hanya pandangan
filosofis, tetapi juga memiliki implikasi teologis dan mistis.
3.2. Idealisme pada Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan, idealisme diadaptasi oleh
para teolog dan filsuf skolastik, seperti Augustinus dari Hippo (354–430 M).
Augustinus menggabungkan filsafat Plato dengan teologi Kristen, memperkenalkan
pandangan bahwa Tuhan adalah sumber dari semua ide sempurna yang ada.⁵ Ia
menyatakan bahwa kebenaran bersifat mutlak dan hanya dapat ditemukan melalui
hubungan spiritual dengan Tuhan.⁶
Selanjutnya, pemikiran Thomas Aquinas (1225–1274)
juga memberikan kontribusi dalam mengembangkan idealisme teistik, dengan
menekankan keterpaduan antara iman dan akal. Aquinas menggunakan prinsip
idealisme untuk menjelaskan bahwa keberadaan dunia material memiliki dasar
dalam ide-ide yang bersumber dari Tuhan.⁷
3.3. Idealisme Modern dan Kontemporer
Pada masa modern, idealisme mendapatkan pembaruan
signifikan melalui pemikiran Immanuel Kant (1724–1804). Dalam karya
monumentalnya Critique of Pure Reason, Kant memperkenalkan idealisme
transendental, yang menegaskan bahwa struktur pikiran manusia menentukan
cara kita memahami dunia.⁸ Kant membedakan antara dunia sebagaimana yang tampak
kepada kita (fenomena) dan dunia sebagaimana adanya (noumena),
dengan menekankan bahwa pengalaman kita dibentuk oleh kategori-kategori
pikiran.⁹
Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh
G.W.F. Hegel (1770–1831) melalui idealisme absolut. Hegel memandang
sejarah sebagai proses dialektis di mana Ide Mutlak bergerak menuju kesadaran
diri melalui perkembangan manusia dan kebudayaan.¹⁰ Konsep Hegel tentang
realitas sebagai sistem total yang saling terkait memberikan landasan bagi
banyak perkembangan filsafat kontemporer.¹¹
Selain itu, George Berkeley (1685–1753)
memperkenalkan idealisme subjektif, yang menyatakan bahwa keberadaan
sesuatu bergantung pada persepsi manusia.¹² Hal ini mengundang kritik dari
materialisme tetapi tetap menjadi diskusi penting dalam metafisika.
Catatan Kaki
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 146.
[2]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.
[3]
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 109.
[4]
S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1
(New Delhi: Oxford University Press, 2009), 372.
[5]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 243.
[6]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 58–61.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I.45.3.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 25.
[9]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure
Reason (London: Routledge, 1999), 89.
[10]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 102–103.
[11]
Charles Taylor, Hegel and Modern Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 17.
[12]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Oxford: Oxford
University Press, 1734), 24.
4.
Jenis-Jenis
Idealisme
4.1. Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah aliran yang berpendapat
bahwa realitas hanya ada sejauh ia dialami oleh subjek yang sadar.¹ Aliran ini
dikenal melalui pemikiran George Berkeley (1685–1753), yang menyatakan bahwa
"esse est percipi" (to be is to be perceived).² Menurut
Berkeley, objek-objek fisik tidak memiliki eksistensi independen; keberadaan
mereka bergantung pada persepsi manusia dan pikiran Tuhan sebagai pengamat
universal.³ Dalam pandangan ini, dunia material hanyalah rangkaian persepsi
yang terjadi dalam kesadaran.
Kritik terhadap idealisme subjektif datang dari
filsuf seperti Samuel Johnson, yang menolak pandangan ini dengan mengacu pada
keberadaan objek yang nyata, terlepas dari persepsi.⁴ Namun, kontribusi
Berkeley tetap signifikan dalam memperdebatkan hubungan antara pikiran dan
realitas.
4.2. Idealisme Objektif
Idealisme objektif, berbeda dengan subjektif,
berpendapat bahwa ide-ide atau prinsip universal adalah dasar dari realitas.⁵
Filsuf utama dalam aliran ini adalah G.W.F. Hegel (1770–1831), yang
mengembangkan konsep Ide Mutlak. Hegel memandang bahwa sejarah dan dunia
adalah manifestasi dari proses dialektis, di mana Ide Mutlak mencapai kesadaran
diri melalui perkembangan manusia dan budaya.⁶
Dalam Phenomenology of Spirit, Hegel
menggambarkan bahwa realitas bukan sekadar hasil persepsi individu, tetapi
merupakan sistem total yang saling terkait.⁷ Idealisme objektif memberikan
pandangan bahwa ada realitas universal yang melampaui pengalaman individu,
tetapi masih terkait dengan kesadaran.
4.3. Idealisme Transendental
Idealisme transendental adalah konsep yang
dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724–1804). Kant berpendapat bahwa struktur
pikiran manusia menentukan cara kita memahami dunia, dengan menekankan perbedaan
antara dunia sebagaimana adanya (noumena) dan dunia sebagaimana yang
tampak kepada kita (fenomena).⁸ Menurut Kant, kategori pikiran seperti
ruang, waktu, dan kausalitas adalah kerangka bawaan yang memungkinkan manusia
mengorganisasi pengalaman.⁹
Idealisme transendental menjadi tonggak dalam
filsafat modern karena menjembatani perdebatan antara empirisme dan
rasionalisme.¹⁰ Dalam pandangan ini, realitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya
independen, tetapi juga bukan semata-mata hasil dari pengalaman subjektif.
4.4. Variasi Lain dalam Idealisme
Selain tiga jenis utama tersebut, terdapat variasi
lain dalam idealisme yang menggabungkan elemen-elemen dari berbagai aliran:
·
Neo-Idealisme:
Diperkenalkan
oleh filsuf Inggris seperti T.H. Green, yang menghubungkan idealisme dengan
etika dan pembangunan moral.¹¹
·
Idealisme Religius:
Pandangan
yang menekankan hubungan antara ide-ide metafisik dan iman keagamaan, seperti
yang terlihat dalam pemikiran Augustinus dan Thomas Aquinas.¹²
Catatan Kaki
[1]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Oxford: Oxford
University Press, 1734), 25.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume 5, Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), 178.
[3]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 85.
[4]
Samuel Johnson, dikutip dalam James Boswell, The
Life of Samuel Johnson (London: Penguin, 2008), 243.
[5]
Charles Taylor, Hegel and Modern Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 19.
[6]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 102.
[7]
Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the
Criticism of Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 47.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 56.
[9]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure
Reason (London: Routledge, 1999), 68.
[10]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 324.
[11]
T.H. Green, Prolegomena to Ethics (Oxford:
Oxford University Press, 1883), 72.
[12]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 243.
5.
Pengaruh
Idealisme
5.1. Dalam Filsafat
Idealisme telah memainkan peran penting dalam
perkembangan filsafat, terutama dalam membentuk pandangan tentang metafisika,
epistemologi, dan etika. Immanuel Kant, melalui idealisme transendentalnya,
memberikan landasan bagi filsafat modern dengan menegaskan bahwa pengalaman
manusia dipengaruhi oleh struktur pikiran.¹ Konsep Kant tentang kategori
pikiran seperti ruang dan waktu memberikan sumbangan besar dalam menjembatani
perdebatan antara empirisme dan rasionalisme.²
G.W.F. Hegel, melalui idealisme objektifnya,
memengaruhi filsafat sejarah dan pemikiran politik dengan gagasannya tentang
proses dialektis.³ Pemikiran Hegel memberikan kerangka kerja bagi pemahaman
tentang perkembangan sejarah sebagai manifestasi dari Ide Mutlak menuju
kesadaran diri.⁴ Bahkan, filsafat Hegel menjadi inspirasi bagi berbagai aliran,
seperti Marxisme dan eksistensialisme.⁵
5.2. Dalam Ilmu Pengetahuan
Pengaruh idealisme juga terasa dalam ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang fisika modern. Idealisme mendorong
pandangan bahwa realitas tidak sepenuhnya bersifat material, melainkan memiliki
dimensi konseptual yang hanya dapat dipahami melalui pikiran manusia.⁶
Misalnya, dalam fisika kuantum, interpretasi Copenhagen yang dikembangkan oleh
Niels Bohr menunjukkan bahwa realitas fisik bergantung pada pengamatan manusia,
sejalan dengan prinsip idealisme subjektif.⁷
Selain itu, idealisme memotivasi perkembangan teori
dalam psikologi dan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia sebagai
pusat analisis.⁸
5.3. Dalam Etika dan Estetika
Idealisme memiliki pengaruh besar dalam pembentukan
teori etika dan estetika. Filsuf seperti Kant dan Hegel menekankan pentingnya
prinsip moral universal dan kebebasan sebagai fondasi etika.⁹ Dalam estetika,
idealisme mendorong pandangan bahwa seni adalah ekspresi ide-ide yang lebih
tinggi, bukan sekadar reproduksi dunia material.¹⁰
Pandangan ini memengaruhi seniman dan penulis
seperti Johann Wolfgang von Goethe dan Friedrich Schiller, yang menganggap seni
sebagai sarana untuk mencapai pencerahan spiritual.¹¹
5.4. Dalam Agama dan Spiritualitas
Dalam agama, idealisme sering kali berfungsi
sebagai landasan filosofis untuk memahami konsep-konsep seperti Tuhan, jiwa,
dan dunia spiritual.¹² Pemikiran Augustinus dan Aquinas, misalnya, menggunakan
kerangka idealisme untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan sebagai pencipta
dengan ciptaan-Nya.¹³
Pemikiran ini juga terlihat dalam tradisi filsafat
Timur, seperti Advaita Vedanta, yang menegaskan bahwa realitas tertinggi adalah
spiritual dan bahwa dunia material hanyalah ilusi (maya).¹⁴
5.5. Dalam Politik dan Pendidikan
Dalam bidang politik, idealisme mendorong gagasan
tentang keadilan sosial dan hak asasi manusia.¹⁵ Pandangan Hegel tentang
kebebasan dan komunitas menjadi dasar bagi teori politik modern.¹⁶
Dalam pendidikan, idealisme menekankan pentingnya
pengembangan intelektual dan moral individu.¹⁷ Filsuf seperti John Dewey
mengadopsi prinsip idealisme untuk menciptakan sistem pendidikan yang
mengintegrasikan nilai-nilai etika dengan pembelajaran akademik.¹⁸
Catatan Kaki
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 45.
[2]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure
Reason (London: Routledge, 1999), 112.
[3]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 91.
[4]
Charles Taylor, Hegel and Modern Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 23.
[5]
Karl Marx, The German Ideology, ed. C.J.
Arthur (New York: International Publishers, 1970), 78.
[6]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy
(New York: Harper & Row, 1958), 59.
[7]
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: Wiley, 1958), 51.
[8]
Carl Jung, Modern Man in Search of a Soul
(New York: Harcourt, 1933), 12.
[9]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
35.
[10]
G.W.F. Hegel, Aesthetics: Lectures on Fine Art,
trans. T.M. Knox (Oxford: Clarendon Press, 1975), 122.
[11]
Friedrich Schiller, Letters on the Aesthetic
Education of Man, trans. Elizabeth M. Wilkinson and L.A. Willoughby
(Oxford: Oxford University Press, 1967), 34.
[12]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 243.
[13]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I.2.3.
[14]
S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1
(New Delhi: Oxford University Press, 2009), 342.
[15]
T.H. Green, Lectures on the Principles of
Political Obligation (London: Longmans, 1895), 28.
[16]
Charles Taylor, Hegel and Modern Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 47.
[17]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 13.
[18]
John Dewey, Experience and Education (New
York: Kappa Delta Pi, 1938), 22.
6.
Kritik
terhadap Idealisme
6.1. Argumen Materialisme
Materialisme merupakan salah satu kritik utama
terhadap idealisme. Materialisme berpendapat bahwa realitas dasar adalah
material atau fisik, bukan ide atau kesadaran.¹ Karl Marx dan Friedrich Engels,
melalui materialisme historis, mengkritik idealisme Hegelian sebagai terlalu
abstrak dan tidak memperhatikan kondisi material yang nyata.² Dalam The
German Ideology, Marx menyatakan bahwa kesadaran manusia dipengaruhi oleh
keadaan material, bukan sebaliknya.³
Para filsuf materialis juga menolak gagasan bahwa
dunia material bergantung pada kesadaran atau ide. Sebagai contoh, dalam
kritiknya terhadap idealisme subjektif George Berkeley, filsuf materialis
seperti Samuel Johnson menyatakan bahwa dunia material memiliki eksistensi
independen, terlepas dari persepsi manusia.⁴
6.2. Pandangan Realisme
Realisme, baik dalam bentuk klasik maupun modern,
menolak premis idealisme bahwa realitas sepenuhnya bergantung pada pikiran atau
ide.⁵ Filsuf realis seperti G.E. Moore dan Bertrand Russell mengkritik
idealisme karena dianggap mengaburkan keberadaan dunia objektif.⁶ Dalam Refutation
of Idealism, Moore menunjukkan bahwa pengalaman manusia tentang dunia luar
menunjukkan adanya realitas independen yang tidak bisa direduksi menjadi
kesadaran.⁷
Realisme juga menyoroti kesalahan epistemologis
dalam idealisme, yaitu kecenderungan untuk terlalu mengutamakan subjektivitas
dan mengabaikan bukti empiris.⁸ Kritik ini menjadi dasar bagi berkembangnya filsafat
analitik yang lebih menekankan kejelasan logis dan verifikasi empiris.
6.3. Pandangan Positivisme
Positivisme, yang dipelopori oleh Auguste Comte,
menolak spekulasi metafisik yang menjadi ciri khas idealisme.⁹ Positivisme
berfokus pada fakta empiris dan mengesampingkan ide-ide abstrak yang tidak
dapat diuji melalui metode ilmiah.¹⁰ Dalam pandangan positivis, idealisme
dianggap tidak relevan dalam memahami realitas, karena tidak memberikan
kontribusi konkret terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.¹¹
Kritik positivisme terhadap idealisme menjadi dasar
bagi filsuf seperti A.J. Ayer dan para pendukung positivisme logis, yang
menolak gagasan metafisika sebagai tidak bermakna secara logis.¹² Mereka
menegaskan bahwa pernyataan hanya valid jika dapat diverifikasi secara empiris
atau bersifat analitik.
6.4. Kritik dari Eksistensialisme
Eksistensialisme, yang diwakili oleh filsuf seperti
Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, mengkritik idealisme karena cenderung
mengabaikan pengalaman subjektif manusia yang konkret.¹³ Kierkegaard menuduh
idealisme Hegelian sebagai terlalu abstrak dan tidak memperhatikan individu
sebagai subjek yang unik dan penuh kontradiksi.¹⁴
Jean-Paul Sartre, dalam Being and Nothingness,
menolak gagasan tentang Ide Mutlak atau struktur universal yang menentukan
realitas.¹⁵ Sartre menegaskan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang
menciptakan maknanya sendiri, bukan bagian dari sistem metafisik yang lebih
besar.
6.5. Keterbatasan Praktis Idealisme
Beberapa kritikus menilai bahwa idealisme memiliki
keterbatasan praktis, terutama dalam penerapannya pada kehidupan sehari-hari.¹⁶
Idealisme sering dianggap terlalu teoretis dan tidak memberikan solusi konkret
untuk masalah dunia nyata.¹⁷ Misalnya, pendekatan idealisme terhadap keadilan
sosial dianggap kurang tanggap terhadap kebutuhan material yang mendesak,
seperti kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.¹⁸
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 86.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
56–57.
[3]
Ibid., 67.
[4]
James Boswell, The Life of Samuel Johnson
(London: Penguin, 2008), 243.
[5]
G.E. Moore, Some Main Problems of Philosophy
(London: Routledge, 1953), 78.
[6]
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 146.
[7]
G.E. Moore, "The Refutation of Idealism,"
Mind 12, no. 48 (1903): 433–453.
[8]
Ibid., 442.
[9]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of
Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: Chapman, 1853), 15.
[10]
Ibid., 16.
[11]
A.J. Ayer, Language, Truth, and Logic
(London: Penguin, 1936), 35.
[12]
Ibid., 36.
[13]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 78.
[14]
Ibid., 82.
[15]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 45.
[16]
John Dewey, Reconstruction in Philosophy
(Boston: Beacon Press, 1920), 62.
[17]
Ibid., 64.
[18]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies
(London: Routledge, 1945), 120.
7.
Relevansi
Idealisme dalam Kehidupan Modern
7.1. Dalam Pendidikan
Idealisme memberikan landasan penting dalam dunia
pendidikan, terutama dalam membentuk nilai-nilai moral dan intelektual peserta
didik.¹ Filsuf seperti Immanuel Kant dan John Dewey menekankan pentingnya
pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan keterampilan praktis
tetapi juga pada pengembangan karakter dan akal budi.² Menurut Kant, tujuan
pendidikan adalah membantu individu mencapai otonomi moral melalui penggunaan
akal secara bebas dan bertanggung jawab.³
Dalam praktik modern, idealisme masih relevan dalam
mendorong pendekatan holistik terhadap pendidikan, yang mengintegrasikan
nilai-nilai etis dan spiritual ke dalam kurikulum.⁴ Pendidikan berbasis
idealisme juga menekankan pentingnya belajar untuk memahami prinsip-prinsip
universal, seperti keadilan, kebebasan, dan kebenaran, yang dapat membantu
membangun masyarakat yang lebih baik.⁵
7.2. Dalam Politik dan Keadilan Sosial
Dalam bidang politik, idealisme tetap menjadi dasar
bagi perjuangan keadilan sosial dan hak asasi manusia. Pandangan idealis
tentang kebebasan dan martabat manusia, seperti yang dirumuskan oleh Hegel, memengaruhi
perkembangan teori politik modern, termasuk teori kontrak sosial dan
demokrasi.⁶
Dalam konteks global, idealisme memberikan kerangka
kerja untuk memperjuangkan nilai-nilai universal seperti perdamaian,
kesetaraan, dan keberlanjutan.⁷ Misalnya, PBB sebagai institusi internasional
sering kali didasarkan pada prinsip-prinsip idealisme yang menekankan
pentingnya kerja sama global untuk mencapai tujuan bersama.⁸
7.3. Dalam Etika dan Spiritualitas
Idealisme terus relevan dalam membentuk nilai-nilai
etika di dunia modern.⁹ Prinsip idealisme yang mengutamakan nilai-nilai
universal menjadi dasar bagi banyak tradisi etika, seperti deontologi Kantian,
yang menekankan kewajiban moral sebagai landasan tindakan manusia.¹⁰
Selain itu, idealisme spiritual, seperti yang
terlihat dalam tradisi keagamaan Timur dan Barat, memberikan pandangan bahwa
manusia memiliki tujuan yang melampaui aspek material kehidupan.¹¹ Dalam dunia
yang semakin materialistis, idealisme menawarkan perspektif alternatif yang
menekankan pentingnya makna, harmoni, dan hubungan spiritual.
7.4. Dalam Pengembangan Individu
Idealisme juga relevan dalam pengembangan individu,
terutama dalam membantu manusia mencapai potensi tertinggi mereka.¹² Filosofi
ini mendorong individu untuk mengejar tujuan-tujuan yang lebih tinggi, seperti
pengembangan intelektual, moral, dan spiritual, daripada sekadar mengejar
keuntungan material.¹³
Dalam kehidupan modern, idealisme menjadi panduan
bagi pengembangan diri yang berfokus pada pembentukan karakter, peningkatan
kreativitas, dan pencarian makna hidup.¹⁴ Hal ini menjadikan idealisme relevan
dalam berbagai bidang, termasuk psikologi positif dan terapi eksistensial.
7.5. Dalam Teknologi dan Sains Modern
Meskipun sering dipertentangkan dengan
materialisme, idealisme memberikan kontribusi penting dalam memahami teknologi
dan sains modern.¹⁵ Idealisme menunjukkan bahwa inovasi teknologi tidak hanya
sekadar alat, tetapi juga manifestasi dari ide-ide kreatif manusia.¹⁶ Dalam
fisika modern, misalnya, interpretasi kuantum menunjukkan bahwa realitas fisik
tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa mempertimbangkan kesadaran manusia,
sejalan dengan prinsip idealisme subjektif.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 22.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
45.
[3]
Ibid., 47.
[4]
T.H. Green, Prolegomena to Ethics (Oxford:
Oxford University Press, 1883), 68.
[5]
John Dewey, Experience and Education (New
York: Kappa Delta Pi, 1938), 34.
[6]
G.W.F. Hegel, Philosophy of Right, trans.
S.W. Dyde (New York: Dover Publications, 2005), 12.
[7]
Charles Taylor, Hegel and Modern Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 19.
[8]
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights (New York: United Nations, 1948).
[9]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 92.
[10]
Ibid., 94.
[11]
S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1
(New Delhi: Oxford University Press, 2009), 372.
[12]
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1980), 56.
[13]
Ibid., 58.
[14]
Abraham Maslow, Toward a Psychology of Being
(New York: Van Nostrand, 1968), 25.
[15]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy
(New York: Harper & Row, 1958), 59.
[16]
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: Wiley, 1958), 52.
[17]
Ibid., 54.
8.
Penutup
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat yang
telah membentuk pandangan manusia tentang realitas, pengetahuan, dan
nilai-nilai moral sepanjang sejarah. Dengan menempatkan ide atau kesadaran
sebagai inti dari realitas, idealisme menawarkan perspektif yang unik dalam
memahami dunia.¹ Dari pemikiran Plato tentang Dunia Ide hingga perkembangan
idealisme transendental oleh Immanuel Kant dan idealisme absolut oleh Hegel,
aliran ini telah menjadi landasan penting bagi berbagai cabang filsafat dan
ilmu pengetahuan.²
Relevansi idealisme dalam kehidupan modern tetap
kuat, khususnya dalam pendidikan, politik, etika, dan spiritualitas. Idealisme
mendorong manusia untuk mengejar tujuan yang lebih tinggi, baik dalam
pengembangan diri maupun dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan
harmonis.³ Namun, seperti aliran filsafat lainnya, idealisme juga menghadapi
berbagai kritik, terutama dari materialisme, realisme, dan positivisme, yang
menantang asumsi metafisik dan epistemologisnya.⁴
Meski demikian, kekuatan idealisme terletak pada
kemampuannya untuk memotivasi manusia berpikir melampaui kenyataan fisik dan
melihat dunia melalui prinsip-prinsip universal seperti keadilan, kebebasan,
dan kebenaran.⁵ Dalam era modern yang sering kali didominasi oleh materialisme
dan utilitarianisme, idealisme mengingatkan manusia tentang pentingnya
nilai-nilai spiritual dan moral dalam membangun peradaban.⁶
Sebagai kesimpulan, idealisme tidak hanya berfungsi
sebagai kerangka teori filosofis, tetapi juga sebagai panduan praktis untuk
menghadapi tantangan kehidupan modern. Aliran ini mengajarkan bahwa realitas
tidak hanya apa yang tampak di permukaan, tetapi juga mencakup dunia ide dan
nilai-nilai yang lebih tinggi. Dengan demikian, idealisme tetap menjadi sumber
inspirasi intelektual dan moral bagi umat manusia di berbagai bidang kehidupan.⁷
Catatan Kaki
[1]
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 146.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 128–131.
[3]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 13.
[4]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German
Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970),
56–57.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 25.
[6]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 102–103.
[7]
Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge:
Cambridge University Press, 1979), 47.
Daftar Pustaka
Berkeley, G. (1734). A
treatise concerning the principles of human knowledge (D. R. Wilkins,
Ed.). Oxford University Press.
Bohr, N. (1958). Atomic
physics and human knowledge. Wiley.
Boswell, J. (2008). The
life of Samuel Johnson. Penguin.
Comte, A. (1853). The
positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). Chapman.
Copleston, F. (1993). A
history of philosophy: Greece and Rome. Doubleday.
Dewey, J. (1916). Democracy
and education. Macmillan.
Dewey, J. (1938). Experience
and education. Kappa Delta Pi.
Green, T. H. (1883). Prolegomena
to ethics. Oxford University Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology
of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Hegel, G. W. F. (2005). Philosophy
of right (S. W. Dyde, Trans.). Dover Publications.
Hegel, G. W. F. (1975). Aesthetics:
Lectures on fine art (T. M. Knox, Trans.). Clarendon Press.
Heisenberg, W. (1958). Physics
and philosophy. Harper & Row.
Kant, I. (1929). Critique
of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). Palgrave Macmillan.
Kant, I. (1997). Groundwork
for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kant, I. (1997). Critique
of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1980). The
concept of anxiety (A. Hannay, Trans.). Penguin.
Marx, K., & Engels, F.
(1970). The German ideology (C. J. Arthur, Ed.). International
Publishers.
Maslow, A. H. (1968). Toward
a psychology of being. Van Nostrand.
Moore, G. E. (1953). Some
main problems of philosophy. Routledge.
Plato. (1992). Republic
(G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.
Popper, K. (1945). The
open society and its enemies. Routledge.
Radhakrishnan, S. (2009). Indian
philosophy, Volume 1. Oxford University Press.
Russell, B. (1912). The
problems of philosophy. Williams and Norgate.
Russell, B. (1945). A
history of western philosophy. Simon and Schuster.
Sartre, J.-P. (1992). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Schiller, F. (1967). Letters
on the aesthetic education of man (E. M. Wilkinson & L. A. Willoughby,
Trans.). Oxford University Press.
Taylor, C. (1979). Hegel
and modern society. Cambridge University Press.
United Nations. (1948). Universal
declaration of human rights. United Nations.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar