Jumat, 10 Januari 2025

Idealisme: Konsep, Sejarah, dan Pengaruhnya dalam Pemikiran Filsafat

Idealisme

Konsep, Sejarah, dan Pengaruhnya dalam Pemikiran Filsafat


Alihkan ke: Materialisme; dan Realisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang idealisme, salah satu aliran filsafat yang menempatkan ide atau kesadaran sebagai inti realitas. Dimulai dengan pengertian dasar, artikel ini menjelaskan berbagai jenis idealisme, seperti subjektif, objektif, dan transendental, serta perkembangan historisnya dari pemikiran Plato hingga filsuf modern seperti Immanuel Kant dan G.W.F. Hegel. Pengaruh idealisme dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, politik, etika, dan sains modern, juga diuraikan, menunjukkan relevansi aliran ini dalam kehidupan kontemporer. Namun, idealisme juga menghadapi kritik dari materialisme, realisme, dan positivisme, yang menyoroti keterbatasan metafisik dan praktisnya. Meskipun demikian, idealisme tetap menjadi sumber inspirasi intelektual dan moral, mendorong manusia untuk mengejar nilai-nilai universal seperti kebenaran, keadilan, dan kebebasan. Artikel ini menggarisbawahi pentingnya idealisme sebagai panduan untuk memahami realitas sekaligus memperkaya kehidupan spiritual dan intelektual manusia.

Kata Kunci: Idealisme, filsafat, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Plato, subjektif, objektif, transendental, kritik, relevansi modern.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Idealisme merupakan salah satu aliran filsafat yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia. Aliran ini menempatkan ide, pikiran, atau kesadaran sebagai realitas utama, mengungguli materialitas atau hal-hal yang bersifat fisik.¹ Idealisme telah menjadi kerangka kerja bagi berbagai pemikiran besar, mulai dari metafisika hingga etika, seni, dan agama. Filsuf besar seperti Plato, Immanuel Kant, dan G.W.F. Hegel adalah beberapa nama yang identik dengan perkembangan idealisme, menjadikannya landasan filsafat Barat klasik dan modern.²

Di dunia modern, pemikiran idealisme masih relevan, terutama dalam membentuk pandangan tentang nilai, moralitas, dan tujuan manusia. Pemikiran ini sering menjadi landasan teori pendidikan, etika, dan pengembangan kepribadian yang mengedepankan kesempurnaan spiritual dan intelektual.³ Sebagai contoh, Immanuel Kant melalui idealisme transendentalnya menegaskan bahwa kategori pikiran manusia memengaruhi cara kita memahami dunia, sebuah gagasan yang memengaruhi filsafat modern dan ilmu pengetahuan hingga kini.⁴

Namun, idealisme juga menghadapi berbagai kritik, terutama dari aliran materialisme dan realisme, yang menilai bahwa pendekatan idealisme cenderung mengabaikan aspek material dari realitas.⁵ Meskipun demikian, pemikiran idealisme tetap memiliki daya tarik universal, karena menekankan peran manusia sebagai makhluk yang berakal dan bermoral dalam memahami dunia.

1.2.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam mengenai idealisme dengan menguraikan konsep, sejarah, dan pengaruhnya dalam berbagai bidang pemikiran. Pembahasan ini akan disertai dengan penjelasan dari berbagai sudut pandang dan sumber referensi yang kredibel, sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran komprehensif tentang bagaimana idealisme telah membentuk sejarah intelektual manusia. Selain itu, artikel ini juga mengupas relevansi idealisme dalam konteks kehidupan modern, baik dalam pendidikan, sosial, maupun pengembangan individu.


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 146.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 128–131.

[3]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 13.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 25.

[5]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 56–57.


2.           Pengertian Idealisme

2.1.       Definisi Umum

Idealisme, dalam konteks filsafat, adalah pandangan yang menempatkan pikiran, ide, atau kesadaran sebagai dasar dan inti dari realitas.¹ Istilah ini berasal dari kata Yunani idea, yang merujuk pada "bentuk" atau "konsep" yang tidak bersifat material.² Sebagai aliran filsafat, idealisme meyakini bahwa realitas sesungguhnya bukanlah material, melainkan suatu dunia ide yang lebih tinggi atau mutlak.

Menurut Plato, idealisme berkaitan dengan gagasannya tentang Dunia Ide, di mana segala hal yang kita alami di dunia fisik hanyalah bayangan atau refleksi dari ide-ide sempurna yang ada di dunia yang lebih tinggi.³ Berbeda dengan Plato, filsuf modern seperti Immanuel Kant memberikan pendekatan yang berbeda melalui idealisme transendentalnya, yang menyatakan bahwa dunia yang kita alami ditentukan oleh struktur pikiran manusia itu sendiri.⁴

Selain itu, filsuf George Berkeley menekankan idealisme subjektif, di mana ia menyatakan bahwa keberadaan sesuatu bergantung pada pengamat yang menyadarinya.⁵ Hal ini membuat idealisme menjadi salah satu landasan utama dalam perdebatan metafisika, khususnya dalam menjawab pertanyaan tentang sifat dasar realitas.


2.2.       2. Karakteristik Utama Idealisme

Idealisme memiliki beberapa karakteristik yang menonjol:

·                     Primasi Pikiran atau Ide:

Idealisme memandang bahwa pikiran atau ide adalah elemen utama dalam memahami realitas, dibandingkan dengan materialitas.⁶

·                     Keterkaitan dengan Moralitas dan Nilai:

Idealisme sering kali menghubungkan realitas dengan nilai-nilai moral dan etika yang lebih tinggi, menjadikannya relevan dalam pembahasan filsafat praktis.⁷

·                     Keyakinan pada Dunia Non-Material:

Aliran ini percaya pada keberadaan dunia non-material atau spiritual yang lebih nyata daripada dunia fisik yang kita rasakan.⁸

Melalui karakteristik ini, idealisme tidak hanya menjadi dasar pemikiran metafisika tetapi juga memengaruhi bidang lain seperti epistemologi, etika, dan estetika.


Catatan Kaki

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 1, Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 145.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our Worldview (New York: Ballantine Books, 1991), 36.

[3]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–521d.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 40–42.

[5]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Oxford: Oxford University Press, 1734), 33–34.

[6]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 56.

[7]                John Dewey, Ethics (New York: Holt, 1908), 22.

[8]                G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 78.


3.           Sejarah dan Perkembangan Idealisme

3.1.       Idealisme dalam Filsafat Kuno

Sejarah idealisme dapat ditelusuri kembali ke filsafat kuno, terutama dalam pemikiran Plato (427–347 SM). Plato mengajukan gagasan tentang Dunia Ide sebagai realitas sejati, di mana ide-ide sempurna dan abadi menjadi dasar dari segala hal yang ada.¹ Dalam dialog Republic, Plato menggambarkan bahwa dunia material hanyalah bayangan dari dunia yang lebih tinggi, yaitu Dunia Ide.² Perspektif ini menegaskan bahwa realitas yang kita alami hanyalah pantulan dari kebenaran yang lebih tinggi, sehingga manusia harus menggunakan akal budi untuk mengakses kebenaran tersebut.³

Di dunia Timur, konsep idealisme juga muncul dalam ajaran-ajaran Vedanta dari filsafat India, terutama dalam pandangan Advaita Vedanta yang menegaskan bahwa realitas sejati adalah kesatuan spiritual yang melampaui dunia fisik.⁴ Dalam konteks ini, idealisme bukan hanya pandangan filosofis, tetapi juga memiliki implikasi teologis dan mistis.

3.2.       Idealisme pada Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, idealisme diadaptasi oleh para teolog dan filsuf skolastik, seperti Augustinus dari Hippo (354–430 M). Augustinus menggabungkan filsafat Plato dengan teologi Kristen, memperkenalkan pandangan bahwa Tuhan adalah sumber dari semua ide sempurna yang ada.⁵ Ia menyatakan bahwa kebenaran bersifat mutlak dan hanya dapat ditemukan melalui hubungan spiritual dengan Tuhan.⁶

Selanjutnya, pemikiran Thomas Aquinas (1225–1274) juga memberikan kontribusi dalam mengembangkan idealisme teistik, dengan menekankan keterpaduan antara iman dan akal. Aquinas menggunakan prinsip idealisme untuk menjelaskan bahwa keberadaan dunia material memiliki dasar dalam ide-ide yang bersumber dari Tuhan.⁷

3.3.       Idealisme Modern dan Kontemporer

Pada masa modern, idealisme mendapatkan pembaruan signifikan melalui pemikiran Immanuel Kant (1724–1804). Dalam karya monumentalnya Critique of Pure Reason, Kant memperkenalkan idealisme transendental, yang menegaskan bahwa struktur pikiran manusia menentukan cara kita memahami dunia.⁸ Kant membedakan antara dunia sebagaimana yang tampak kepada kita (fenomena) dan dunia sebagaimana adanya (noumena), dengan menekankan bahwa pengalaman kita dibentuk oleh kategori-kategori pikiran.⁹

Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh G.W.F. Hegel (1770–1831) melalui idealisme absolut. Hegel memandang sejarah sebagai proses dialektis di mana Ide Mutlak bergerak menuju kesadaran diri melalui perkembangan manusia dan kebudayaan.¹⁰ Konsep Hegel tentang realitas sebagai sistem total yang saling terkait memberikan landasan bagi banyak perkembangan filsafat kontemporer.¹¹

Selain itu, George Berkeley (1685–1753) memperkenalkan idealisme subjektif, yang menyatakan bahwa keberadaan sesuatu bergantung pada persepsi manusia.¹² Hal ini mengundang kritik dari materialisme tetapi tetap menjadi diskusi penting dalam metafisika.


Catatan Kaki

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 146.

[2]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 514a–520a.

[3]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 109.

[4]                S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1 (New Delhi: Oxford University Press, 2009), 372.

[5]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 243.

[6]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 58–61.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.45.3.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 25.

[9]                Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 89.

[10]             G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 102–103.

[11]             Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 17.

[12]             George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Oxford: Oxford University Press, 1734), 24.


4.           Jenis-Jenis Idealisme

4.1.       Idealisme Subjektif

Idealisme subjektif adalah aliran yang berpendapat bahwa realitas hanya ada sejauh ia dialami oleh subjek yang sadar.¹ Aliran ini dikenal melalui pemikiran George Berkeley (1685–1753), yang menyatakan bahwa "esse est percipi" (to be is to be perceived).² Menurut Berkeley, objek-objek fisik tidak memiliki eksistensi independen; keberadaan mereka bergantung pada persepsi manusia dan pikiran Tuhan sebagai pengamat universal.³ Dalam pandangan ini, dunia material hanyalah rangkaian persepsi yang terjadi dalam kesadaran.

Kritik terhadap idealisme subjektif datang dari filsuf seperti Samuel Johnson, yang menolak pandangan ini dengan mengacu pada keberadaan objek yang nyata, terlepas dari persepsi.⁴ Namun, kontribusi Berkeley tetap signifikan dalam memperdebatkan hubungan antara pikiran dan realitas.

4.2.       Idealisme Objektif

Idealisme objektif, berbeda dengan subjektif, berpendapat bahwa ide-ide atau prinsip universal adalah dasar dari realitas.⁵ Filsuf utama dalam aliran ini adalah G.W.F. Hegel (1770–1831), yang mengembangkan konsep Ide Mutlak. Hegel memandang bahwa sejarah dan dunia adalah manifestasi dari proses dialektis, di mana Ide Mutlak mencapai kesadaran diri melalui perkembangan manusia dan budaya.⁶

Dalam Phenomenology of Spirit, Hegel menggambarkan bahwa realitas bukan sekadar hasil persepsi individu, tetapi merupakan sistem total yang saling terkait.⁷ Idealisme objektif memberikan pandangan bahwa ada realitas universal yang melampaui pengalaman individu, tetapi masih terkait dengan kesadaran.

4.3.       Idealisme Transendental

Idealisme transendental adalah konsep yang dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724–1804). Kant berpendapat bahwa struktur pikiran manusia menentukan cara kita memahami dunia, dengan menekankan perbedaan antara dunia sebagaimana adanya (noumena) dan dunia sebagaimana yang tampak kepada kita (fenomena).⁸ Menurut Kant, kategori pikiran seperti ruang, waktu, dan kausalitas adalah kerangka bawaan yang memungkinkan manusia mengorganisasi pengalaman.⁹

Idealisme transendental menjadi tonggak dalam filsafat modern karena menjembatani perdebatan antara empirisme dan rasionalisme.¹⁰ Dalam pandangan ini, realitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya independen, tetapi juga bukan semata-mata hasil dari pengalaman subjektif.

4.4.       Variasi Lain dalam Idealisme

Selain tiga jenis utama tersebut, terdapat variasi lain dalam idealisme yang menggabungkan elemen-elemen dari berbagai aliran:

·                     Neo-Idealisme:

Diperkenalkan oleh filsuf Inggris seperti T.H. Green, yang menghubungkan idealisme dengan etika dan pembangunan moral.¹¹

·                     Idealisme Religius:

Pandangan yang menekankan hubungan antara ide-ide metafisik dan iman keagamaan, seperti yang terlihat dalam pemikiran Augustinus dan Thomas Aquinas.¹²


Catatan Kaki

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Oxford: Oxford University Press, 1734), 25.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume 5, Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), 178.

[3]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 85.

[4]                Samuel Johnson, dikutip dalam James Boswell, The Life of Samuel Johnson (London: Penguin, 2008), 243.

[5]                Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 19.

[6]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 102.

[7]                Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 47.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 56.

[9]                Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 68.

[10]             Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 324.

[11]             T.H. Green, Prolegomena to Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1883), 72.

[12]             Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 243.


5.           Pengaruh Idealisme

5.1.       Dalam Filsafat

Idealisme telah memainkan peran penting dalam perkembangan filsafat, terutama dalam membentuk pandangan tentang metafisika, epistemologi, dan etika. Immanuel Kant, melalui idealisme transendentalnya, memberikan landasan bagi filsafat modern dengan menegaskan bahwa pengalaman manusia dipengaruhi oleh struktur pikiran.¹ Konsep Kant tentang kategori pikiran seperti ruang dan waktu memberikan sumbangan besar dalam menjembatani perdebatan antara empirisme dan rasionalisme.²

G.W.F. Hegel, melalui idealisme objektifnya, memengaruhi filsafat sejarah dan pemikiran politik dengan gagasannya tentang proses dialektis.³ Pemikiran Hegel memberikan kerangka kerja bagi pemahaman tentang perkembangan sejarah sebagai manifestasi dari Ide Mutlak menuju kesadaran diri.⁴ Bahkan, filsafat Hegel menjadi inspirasi bagi berbagai aliran, seperti Marxisme dan eksistensialisme.⁵

5.2.       Dalam Ilmu Pengetahuan

Pengaruh idealisme juga terasa dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang fisika modern. Idealisme mendorong pandangan bahwa realitas tidak sepenuhnya bersifat material, melainkan memiliki dimensi konseptual yang hanya dapat dipahami melalui pikiran manusia.⁶ Misalnya, dalam fisika kuantum, interpretasi Copenhagen yang dikembangkan oleh Niels Bohr menunjukkan bahwa realitas fisik bergantung pada pengamatan manusia, sejalan dengan prinsip idealisme subjektif.⁷

Selain itu, idealisme memotivasi perkembangan teori dalam psikologi dan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia sebagai pusat analisis.⁸

5.3.       Dalam Etika dan Estetika

Idealisme memiliki pengaruh besar dalam pembentukan teori etika dan estetika. Filsuf seperti Kant dan Hegel menekankan pentingnya prinsip moral universal dan kebebasan sebagai fondasi etika.⁹ Dalam estetika, idealisme mendorong pandangan bahwa seni adalah ekspresi ide-ide yang lebih tinggi, bukan sekadar reproduksi dunia material.¹⁰

Pandangan ini memengaruhi seniman dan penulis seperti Johann Wolfgang von Goethe dan Friedrich Schiller, yang menganggap seni sebagai sarana untuk mencapai pencerahan spiritual.¹¹

5.4.       Dalam Agama dan Spiritualitas

Dalam agama, idealisme sering kali berfungsi sebagai landasan filosofis untuk memahami konsep-konsep seperti Tuhan, jiwa, dan dunia spiritual.¹² Pemikiran Augustinus dan Aquinas, misalnya, menggunakan kerangka idealisme untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan sebagai pencipta dengan ciptaan-Nya.¹³

Pemikiran ini juga terlihat dalam tradisi filsafat Timur, seperti Advaita Vedanta, yang menegaskan bahwa realitas tertinggi adalah spiritual dan bahwa dunia material hanyalah ilusi (maya).¹⁴

5.5.       Dalam Politik dan Pendidikan

Dalam bidang politik, idealisme mendorong gagasan tentang keadilan sosial dan hak asasi manusia.¹⁵ Pandangan Hegel tentang kebebasan dan komunitas menjadi dasar bagi teori politik modern.¹⁶

Dalam pendidikan, idealisme menekankan pentingnya pengembangan intelektual dan moral individu.¹⁷ Filsuf seperti John Dewey mengadopsi prinsip idealisme untuk menciptakan sistem pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai etika dengan pembelajaran akademik.¹⁸


Catatan Kaki

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 45.

[2]                Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 112.

[3]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 91.

[4]                Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 23.

[5]                Karl Marx, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 78.

[6]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 59.

[7]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 51.

[8]                Carl Jung, Modern Man in Search of a Soul (New York: Harcourt, 1933), 12.

[9]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 35.

[10]             G.W.F. Hegel, Aesthetics: Lectures on Fine Art, trans. T.M. Knox (Oxford: Clarendon Press, 1975), 122.

[11]             Friedrich Schiller, Letters on the Aesthetic Education of Man, trans. Elizabeth M. Wilkinson and L.A. Willoughby (Oxford: Oxford University Press, 1967), 34.

[12]             Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 243.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.2.3.

[14]             S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1 (New Delhi: Oxford University Press, 2009), 342.

[15]             T.H. Green, Lectures on the Principles of Political Obligation (London: Longmans, 1895), 28.

[16]             Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 47.

[17]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 13.

[18]             John Dewey, Experience and Education (New York: Kappa Delta Pi, 1938), 22.


6.           Kritik terhadap Idealisme

6.1.       Argumen Materialisme

Materialisme merupakan salah satu kritik utama terhadap idealisme. Materialisme berpendapat bahwa realitas dasar adalah material atau fisik, bukan ide atau kesadaran.¹ Karl Marx dan Friedrich Engels, melalui materialisme historis, mengkritik idealisme Hegelian sebagai terlalu abstrak dan tidak memperhatikan kondisi material yang nyata.² Dalam The German Ideology, Marx menyatakan bahwa kesadaran manusia dipengaruhi oleh keadaan material, bukan sebaliknya.³

Para filsuf materialis juga menolak gagasan bahwa dunia material bergantung pada kesadaran atau ide. Sebagai contoh, dalam kritiknya terhadap idealisme subjektif George Berkeley, filsuf materialis seperti Samuel Johnson menyatakan bahwa dunia material memiliki eksistensi independen, terlepas dari persepsi manusia.⁴

6.2.       Pandangan Realisme

Realisme, baik dalam bentuk klasik maupun modern, menolak premis idealisme bahwa realitas sepenuhnya bergantung pada pikiran atau ide.⁵ Filsuf realis seperti G.E. Moore dan Bertrand Russell mengkritik idealisme karena dianggap mengaburkan keberadaan dunia objektif.⁶ Dalam Refutation of Idealism, Moore menunjukkan bahwa pengalaman manusia tentang dunia luar menunjukkan adanya realitas independen yang tidak bisa direduksi menjadi kesadaran.⁷

Realisme juga menyoroti kesalahan epistemologis dalam idealisme, yaitu kecenderungan untuk terlalu mengutamakan subjektivitas dan mengabaikan bukti empiris.⁸ Kritik ini menjadi dasar bagi berkembangnya filsafat analitik yang lebih menekankan kejelasan logis dan verifikasi empiris.

6.3.       Pandangan Positivisme

Positivisme, yang dipelopori oleh Auguste Comte, menolak spekulasi metafisik yang menjadi ciri khas idealisme.⁹ Positivisme berfokus pada fakta empiris dan mengesampingkan ide-ide abstrak yang tidak dapat diuji melalui metode ilmiah.¹⁰ Dalam pandangan positivis, idealisme dianggap tidak relevan dalam memahami realitas, karena tidak memberikan kontribusi konkret terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.¹¹

Kritik positivisme terhadap idealisme menjadi dasar bagi filsuf seperti A.J. Ayer dan para pendukung positivisme logis, yang menolak gagasan metafisika sebagai tidak bermakna secara logis.¹² Mereka menegaskan bahwa pernyataan hanya valid jika dapat diverifikasi secara empiris atau bersifat analitik.

6.4.       Kritik dari Eksistensialisme

Eksistensialisme, yang diwakili oleh filsuf seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, mengkritik idealisme karena cenderung mengabaikan pengalaman subjektif manusia yang konkret.¹³ Kierkegaard menuduh idealisme Hegelian sebagai terlalu abstrak dan tidak memperhatikan individu sebagai subjek yang unik dan penuh kontradiksi.¹⁴

Jean-Paul Sartre, dalam Being and Nothingness, menolak gagasan tentang Ide Mutlak atau struktur universal yang menentukan realitas.¹⁵ Sartre menegaskan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang menciptakan maknanya sendiri, bukan bagian dari sistem metafisik yang lebih besar.

6.5.       Keterbatasan Praktis Idealisme

Beberapa kritikus menilai bahwa idealisme memiliki keterbatasan praktis, terutama dalam penerapannya pada kehidupan sehari-hari.¹⁶ Idealisme sering dianggap terlalu teoretis dan tidak memberikan solusi konkret untuk masalah dunia nyata.¹⁷ Misalnya, pendekatan idealisme terhadap keadilan sosial dianggap kurang tanggap terhadap kebutuhan material yang mendesak, seperti kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.¹⁸


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 86.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 56–57.

[3]                Ibid., 67.

[4]                James Boswell, The Life of Samuel Johnson (London: Penguin, 2008), 243.

[5]                G.E. Moore, Some Main Problems of Philosophy (London: Routledge, 1953), 78.

[6]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 146.

[7]                G.E. Moore, "The Refutation of Idealism," Mind 12, no. 48 (1903): 433–453.

[8]                Ibid., 442.

[9]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: Chapman, 1853), 15.

[10]             Ibid., 16.

[11]             A.J. Ayer, Language, Truth, and Logic (London: Penguin, 1936), 35.

[12]             Ibid., 36.

[13]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 78.

[14]             Ibid., 82.

[15]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 45.

[16]             John Dewey, Reconstruction in Philosophy (Boston: Beacon Press, 1920), 62.

[17]             Ibid., 64.

[18]             Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (London: Routledge, 1945), 120.


7.           Relevansi Idealisme dalam Kehidupan Modern

7.1.       Dalam Pendidikan

Idealisme memberikan landasan penting dalam dunia pendidikan, terutama dalam membentuk nilai-nilai moral dan intelektual peserta didik.¹ Filsuf seperti Immanuel Kant dan John Dewey menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan keterampilan praktis tetapi juga pada pengembangan karakter dan akal budi.² Menurut Kant, tujuan pendidikan adalah membantu individu mencapai otonomi moral melalui penggunaan akal secara bebas dan bertanggung jawab.³

Dalam praktik modern, idealisme masih relevan dalam mendorong pendekatan holistik terhadap pendidikan, yang mengintegrasikan nilai-nilai etis dan spiritual ke dalam kurikulum.⁴ Pendidikan berbasis idealisme juga menekankan pentingnya belajar untuk memahami prinsip-prinsip universal, seperti keadilan, kebebasan, dan kebenaran, yang dapat membantu membangun masyarakat yang lebih baik.⁵

7.2.       Dalam Politik dan Keadilan Sosial

Dalam bidang politik, idealisme tetap menjadi dasar bagi perjuangan keadilan sosial dan hak asasi manusia. Pandangan idealis tentang kebebasan dan martabat manusia, seperti yang dirumuskan oleh Hegel, memengaruhi perkembangan teori politik modern, termasuk teori kontrak sosial dan demokrasi.⁶

Dalam konteks global, idealisme memberikan kerangka kerja untuk memperjuangkan nilai-nilai universal seperti perdamaian, kesetaraan, dan keberlanjutan.⁷ Misalnya, PBB sebagai institusi internasional sering kali didasarkan pada prinsip-prinsip idealisme yang menekankan pentingnya kerja sama global untuk mencapai tujuan bersama.⁸

7.3.       Dalam Etika dan Spiritualitas

Idealisme terus relevan dalam membentuk nilai-nilai etika di dunia modern.⁹ Prinsip idealisme yang mengutamakan nilai-nilai universal menjadi dasar bagi banyak tradisi etika, seperti deontologi Kantian, yang menekankan kewajiban moral sebagai landasan tindakan manusia.¹⁰

Selain itu, idealisme spiritual, seperti yang terlihat dalam tradisi keagamaan Timur dan Barat, memberikan pandangan bahwa manusia memiliki tujuan yang melampaui aspek material kehidupan.¹¹ Dalam dunia yang semakin materialistis, idealisme menawarkan perspektif alternatif yang menekankan pentingnya makna, harmoni, dan hubungan spiritual.

7.4.       Dalam Pengembangan Individu

Idealisme juga relevan dalam pengembangan individu, terutama dalam membantu manusia mencapai potensi tertinggi mereka.¹² Filosofi ini mendorong individu untuk mengejar tujuan-tujuan yang lebih tinggi, seperti pengembangan intelektual, moral, dan spiritual, daripada sekadar mengejar keuntungan material.¹³

Dalam kehidupan modern, idealisme menjadi panduan bagi pengembangan diri yang berfokus pada pembentukan karakter, peningkatan kreativitas, dan pencarian makna hidup.¹⁴ Hal ini menjadikan idealisme relevan dalam berbagai bidang, termasuk psikologi positif dan terapi eksistensial.

7.5.       Dalam Teknologi dan Sains Modern

Meskipun sering dipertentangkan dengan materialisme, idealisme memberikan kontribusi penting dalam memahami teknologi dan sains modern.¹⁵ Idealisme menunjukkan bahwa inovasi teknologi tidak hanya sekadar alat, tetapi juga manifestasi dari ide-ide kreatif manusia.¹⁶ Dalam fisika modern, misalnya, interpretasi kuantum menunjukkan bahwa realitas fisik tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa mempertimbangkan kesadaran manusia, sejalan dengan prinsip idealisme subjektif.¹⁷


Catatan Kaki

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 22.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 45.

[3]                Ibid., 47.

[4]                T.H. Green, Prolegomena to Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1883), 68.

[5]                John Dewey, Experience and Education (New York: Kappa Delta Pi, 1938), 34.

[6]                G.W.F. Hegel, Philosophy of Right, trans. S.W. Dyde (New York: Dover Publications, 2005), 12.

[7]                Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 19.

[8]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights (New York: United Nations, 1948).

[9]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 92.

[10]             Ibid., 94.

[11]             S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1 (New Delhi: Oxford University Press, 2009), 372.

[12]             Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1980), 56.

[13]             Ibid., 58.

[14]             Abraham Maslow, Toward a Psychology of Being (New York: Van Nostrand, 1968), 25.

[15]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy (New York: Harper & Row, 1958), 59.

[16]             Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 52.

[17]             Ibid., 54.


8.           Penutup

Idealisme adalah salah satu aliran filsafat yang telah membentuk pandangan manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai moral sepanjang sejarah. Dengan menempatkan ide atau kesadaran sebagai inti dari realitas, idealisme menawarkan perspektif yang unik dalam memahami dunia.¹ Dari pemikiran Plato tentang Dunia Ide hingga perkembangan idealisme transendental oleh Immanuel Kant dan idealisme absolut oleh Hegel, aliran ini telah menjadi landasan penting bagi berbagai cabang filsafat dan ilmu pengetahuan.²

Relevansi idealisme dalam kehidupan modern tetap kuat, khususnya dalam pendidikan, politik, etika, dan spiritualitas. Idealisme mendorong manusia untuk mengejar tujuan yang lebih tinggi, baik dalam pengembangan diri maupun dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.³ Namun, seperti aliran filsafat lainnya, idealisme juga menghadapi berbagai kritik, terutama dari materialisme, realisme, dan positivisme, yang menantang asumsi metafisik dan epistemologisnya.⁴

Meski demikian, kekuatan idealisme terletak pada kemampuannya untuk memotivasi manusia berpikir melampaui kenyataan fisik dan melihat dunia melalui prinsip-prinsip universal seperti keadilan, kebebasan, dan kebenaran.⁵ Dalam era modern yang sering kali didominasi oleh materialisme dan utilitarianisme, idealisme mengingatkan manusia tentang pentingnya nilai-nilai spiritual dan moral dalam membangun peradaban.⁶

Sebagai kesimpulan, idealisme tidak hanya berfungsi sebagai kerangka teori filosofis, tetapi juga sebagai panduan praktis untuk menghadapi tantangan kehidupan modern. Aliran ini mengajarkan bahwa realitas tidak hanya apa yang tampak di permukaan, tetapi juga mencakup dunia ide dan nilai-nilai yang lebih tinggi. Dengan demikian, idealisme tetap menjadi sumber inspirasi intelektual dan moral bagi umat manusia di berbagai bidang kehidupan.⁷


Catatan Kaki

[1]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1945), 146.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 128–131.

[3]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 13.

[4]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, ed. C.J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 56–57.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: Palgrave Macmillan, 1929), 25.

[6]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 102–103.

[7]                Charles Taylor, Hegel and Modern Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 47.


Daftar Pustaka

Berkeley, G. (1734). A treatise concerning the principles of human knowledge (D. R. Wilkins, Ed.). Oxford University Press.

Bohr, N. (1958). Atomic physics and human knowledge. Wiley.

Boswell, J. (2008). The life of Samuel Johnson. Penguin.

Comte, A. (1853). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). Chapman.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Greece and Rome. Doubleday.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and education. Kappa Delta Pi.

Green, T. H. (1883). Prolegomena to ethics. Oxford University Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Hegel, G. W. F. (2005). Philosophy of right (S. W. Dyde, Trans.). Dover Publications.

Hegel, G. W. F. (1975). Aesthetics: Lectures on fine art (T. M. Knox, Trans.). Clarendon Press.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy. Harper & Row.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). Palgrave Macmillan.

Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1980). The concept of anxiety (A. Hannay, Trans.). Penguin.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Ed.). International Publishers.

Maslow, A. H. (1968). Toward a psychology of being. Van Nostrand.

Moore, G. E. (1953). Some main problems of philosophy. Routledge.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Popper, K. (1945). The open society and its enemies. Routledge.

Radhakrishnan, S. (2009). Indian philosophy, Volume 1. Oxford University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Williams and Norgate.

Russell, B. (1945). A history of western philosophy. Simon and Schuster.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Schiller, F. (1967). Letters on the aesthetic education of man (E. M. Wilkinson & L. A. Willoughby, Trans.). Oxford University Press.

Taylor, C. (1979). Hegel and modern society. Cambridge University Press.

United Nations. (1948). Universal declaration of human rights. United Nations.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar