Circular Reasoning
Konsep, Contoh, dan
Dampaknya dalam Penalaran Logis
Abstrak
Circular reasoning, atau penalaran melingkar,
adalah kesalahan logis yang terjadi ketika argumen menggunakan kesimpulan untuk
mendukung premisnya tanpa bukti independen. Artikel ini membahas konsep
circular reasoning secara mendalam, termasuk bentuk dan strukturnya, serta
berbagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, diskusi agama, politik, pemasaran,
dan sains. Dampaknya yang signifikan, seperti memperkuat keyakinan yang salah,
menurunkan kualitas diskusi publik, dan menghambat pengembangan pengetahuan,
juga dianalisis secara komprehensif. Selain itu, artikel ini mengeksplorasi
hubungan antara circular reasoning dan etika berpikir, serta menawarkan
langkah-langkah praktis untuk mengenali dan menghindari kesalahan logis ini.
Studi kasus yang disajikan memperjelas relevansi circular reasoning dalam
berbagai konteks, sementara solusi yang ditawarkan menekankan pentingnya
berpikir kritis dan logis dalam menyusun argumen yang valid. Dengan menghindari
circular reasoning, individu dapat memperkuat integritas intelektual dan
berkontribusi pada diskusi yang lebih rasional dan produktif.
Kata Kunci; Circular reasoning, logical fallacy, critical
thinking, logika, etika berpikir, argumentasi, penalaran logis.
1.
Pendahuluan
1.1.
Definisi Circular
Reasoning
Circular reasoning, atau dalam bahasa Indonesia
dikenal sebagai penalaran melingkar, adalah jenis argumen logis yang
kesimpulannya secara implisit atau eksplisit mengandaikan kebenaran dari
premisnya. Dalam penalaran ini, bukannya memberikan bukti independen untuk
mendukung kesimpulan, argumen kembali ke premis awal yang sama. Circular
reasoning dianggap cacat karena gagal memberikan landasan logis yang valid untuk
mendukung klaim tertentu.¹ Sebagai contoh sederhana, argumen seperti "Saya
benar karena saya tidak pernah salah" mencerminkan struktur melingkar
karena kesimpulan dan premisnya saling mendukung tanpa bukti eksternal.
1.2. Pentingnya Memahami Circular Reasoning
Dalam dunia modern yang sarat dengan arus informasi
dan debat publik, memahami jenis kesalahan logis ini menjadi krusial. Circular
reasoning sering muncul dalam diskusi filosofis, politik, agama, bahkan dalam
sains.² Dalam konteks diskusi publik, argumen yang melibatkan circular
reasoning dapat memperkuat keyakinan yang salah dan menyesatkan audiens.³ Oleh
karena itu, kemampuan untuk mengenali dan menghindari jenis penalaran ini
penting untuk meningkatkan kualitas debat dan pengambilan keputusan yang logis.
Circular reasoning tidak hanya menjadi isu
akademis, tetapi juga memiliki implikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, dalam iklan dan pemasaran, perusahaan sering kali menggunakan teknik
ini untuk memperkuat klaim produk mereka, seperti menyatakan "Produk
ini terbaik karena sangat populer." Dalam konteks ini, circular
reasoning tidak hanya menggambarkan logika yang lemah tetapi juga menciptakan
persepsi keliru di benak konsumen.⁴
Sebagai salah satu jenis logical fallacy, circular
reasoning menyoroti pentingnya berpikir kritis dan analitis. Tanpa pemahaman
yang baik tentang struktur argumen yang valid, seseorang dapat terjebak dalam
logika melingkar yang tidak produktif dan membahayakan keakuratan kesimpulan
yang diambil.⁵
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 155.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 45.
[3]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 67.
[4]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 23.
[5]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely
Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 103.
2.
Pengertian
Circular Reasoning
2.1. Definisi Formal Circular Reasoning
Circular reasoning, atau petitio principii
dalam istilah Latin, adalah kesalahan logis di mana kesimpulan dari suatu argumen
digunakan untuk mendukung premisnya, atau sebaliknya, premis digunakan untuk
membuktikan kesimpulan tanpa bukti tambahan yang valid. Dalam struktur argumen
ini, tidak ada kemajuan logis karena argumen hanya berputar di sekitar
pernyataan yang sama.¹ Circular reasoning tidak selalu mudah dikenali, terutama
ketika argumen disusun dengan cara yang kompleks atau disembunyikan dalam
bahasa yang berbelit-belit.²
Misalnya, dalam pernyataan "Buku ini
terpercaya karena ditulis oleh seorang ahli, dan kita tahu dia seorang ahli
karena ia menulis buku ini," argumen tersebut membentuk lingkaran
logis tanpa memberikan bukti eksternal yang dapat diverifikasi.³ Dalam logika
formal, circular reasoning melanggar prinsip non-circularity, yang menekankan
bahwa argumen yang valid harus memberikan alasan independen untuk mendukung
kesimpulannya.⁴
2.2. Karakteristik Circular Reasoning
Circular reasoning memiliki beberapa ciri utama
yang membedakannya dari jenis kesalahan logis lainnya:
1)
Premis dan Kesimpulan yang Saling Mendukung:
Premis tidak
memberikan bukti independen, melainkan hanya mengulang ide yang terkandung
dalam kesimpulan.
2)
Ketergantungan pada Keyakinan yang Tidak Diuji:
Circular
reasoning sering kali terjadi ketika argumen didasarkan pada keyakinan yang
diterima begitu saja tanpa pengujian kritis.⁵
3)
Kesulitan dalam Validasi Eksternal:
Tidak ada
bukti eksternal yang dapat digunakan untuk memverifikasi kebenaran klaim yang
dibuat.⁶
Circular reasoning sering kali digunakan secara
tidak sengaja, terutama oleh mereka yang tidak memahami struktur argumen logis.
Namun, dalam beberapa kasus, teknik ini digunakan secara sadar untuk mengelabui
audiens atau memperkuat klaim tertentu tanpa dasar yang valid.⁷
2.3. Circular Reasoning dalam Sejarah Pemikiran
Konsep circular reasoning telah lama diakui sebagai
kesalahan logis dalam tradisi filsafat Barat. Aristoteles, dalam karya Prior
Analytics, membahas pentingnya memastikan bahwa argumen logis tidak
bergantung pada asumsi yang tidak diuji.⁸ Pada masa modern, filsuf seperti
David Hume juga mengkritik circular reasoning, terutama dalam konteks argumen
agama yang menggunakan klaim teologis untuk membuktikan premisnya sendiri.⁹
Circular reasoning tetap relevan dalam analisis
logika modern karena kesalahan ini sering ditemukan dalam diskusi ilmiah, debat
politik, dan bahkan pengambilan keputusan sehari-hari. Mempelajari dan memahami
karakteristiknya memungkinkan seseorang untuk menghindari jebakan logis ini dan
meningkatkan kualitas penalaran.
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 156.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 46.
[3]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 68.
[4]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 105.
[5]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 87.
[6]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 79.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 92.
[8]
Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin
Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 42.
[9]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 57.
3.
Bentuk
dan Struktur Circular Reasoning
3.1. Struktur Dasar Circular Reasoning
Circular reasoning adalah bentuk argumen logis di
mana kesimpulan dari argumen digunakan sebagai bukti untuk mendukung premisnya,
sehingga menciptakan siklus yang tidak memberikan informasi baru atau validasi
eksternal. Struktur dasarnya dapat dinyatakan sebagai berikut:
1)
Premis: X benar karena Y.
2)
Kesimpulan: Y benar karena X.
Dalam skema ini, argumen tidak maju secara logis karena tidak ada
hubungan sebab-akibat yang independen antara premis dan kesimpulan.¹
Misalnya, pernyataan "Hukum moral kita
benar karena berasal dari Tuhan, dan kita tahu Tuhan ada karena hukum moral
kita mengharuskannya," menunjukkan siklus yang tidak menghasilkan
validasi eksternal.² Dalam logika formal, jenis argumen ini dianggap cacat
karena melanggar prinsip dasar validasi logis: bahwa bukti harus bersifat
independen dan tidak dapat digunakan untuk mendukung dirinya sendiri.³
3.2. Variasi Circular
Reasoning
Circular reasoning dapat mengambil bentuk eksplisit
atau implisit tergantung pada cara argumen disajikan.
3.2.1.
Circular Reasoning
Eksplisit
Dalam bentuk eksplisit, hubungan melingkar antara
premis dan kesimpulan terlihat jelas, bahkan bagi pembaca atau pendengar yang
tidak terlatih dalam logika formal.⁴ Sebagai contoh:
o
"Produk ini adalah yang terbaik karena sangat populer, dan
sangat populer karena merupakan yang terbaik."
o
Dalam kasus ini, premis dan kesimpulan saling mendukung tanpa ada bukti
tambahan yang valid.⁵
3.2.2.
Circular Reasoning Implisit
Circular reasoning implisit lebih sulit dikenali
karena hubungan antara premis dan kesimpulan sering kali disamarkan atau
diungkapkan secara tidak langsung.⁶ Argumen jenis ini sering menggunakan
terminologi berbeda untuk premis dan kesimpulan agar tampak seolah-olah
terpisah. Misalnya:
o
"Kami percaya bahwa perusahaan ini dapat dipercaya karena mereka
memiliki reputasi baik. Kami tahu mereka memiliki reputasi baik karena mereka
dapat dipercaya."⁷
o
Variasi implisit ini sering digunakan dalam iklan, politik, dan debat
publik untuk memengaruhi audiens yang tidak kritis terhadap struktur logis
argumen.⁸
3.3. Analisis Bentuk Circular Reasoning dalam Logika
Formal
Dalam logika formal, circular reasoning sering kali
dikategorikan sebagai fallacy of presumption, yaitu jenis kesalahan
logis yang didasarkan pada asumsi yang tidak diuji.⁹ Circular reasoning
melibatkan pengulangan asumsi awal dengan cara yang berbeda, yang berarti
argumen tidak pernah benar-benar diverifikasi.¹⁰
Para ahli logika seperti Douglas Walton menyarankan
bahwa circular reasoning juga dapat dianalisis melalui konsep "burden
of proof." Dalam sebuah argumen, pihak yang menggunakan circular
reasoning gagal memenuhi beban pembuktian dengan menghadirkan bukti independen
yang mendukung klaim mereka.¹¹
3.4. Kesimpulan Sementara tentang Bentuk dan Struktur
Circular reasoning dapat disusun secara eksplisit
atau implisit, tetapi keduanya memiliki dampak yang sama: argumen tidak
memberikan alasan yang sah untuk mendukung kesimpulan. Pengakuan terhadap
variasi bentuk ini penting untuk membantu mengidentifikasi circular reasoning, terutama
dalam konteks di mana kesalahan logis ini sering digunakan untuk memanipulasi
opini atau memperkuat keyakinan tanpa dasar yang valid.
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 157.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 49.
[3]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 107.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 94.
[5]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 69.
[6]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 89.
[7]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 81.
[8]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 25.
[9]
Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin
Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 45.
[10]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 59.
[11]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 32.
4.
Contoh
Circular Reasoning
Circular reasoning dapat ditemukan dalam berbagai
konteks kehidupan, mulai dari diskusi sehari-hari hingga argumen dalam
filsafat, agama, dan politik. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari berbagai
bidang yang menggambarkan bagaimana circular reasoning digunakan secara
eksplisit maupun implisit.
4.1. Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari
1)
Argumen tentang Keandalan Sumber Informasi
Pernyataan: "Berita
ini benar karena disampaikan oleh media terpercaya, dan kita tahu media ini
terpercaya karena selalu menyampaikan berita yang benar."
Analisis: Dalam
argumen ini, kepercayaan pada media didasarkan pada klaim bahwa berita yang
disampaikan benar, tanpa memberikan bukti independen tentang kebenaran berita
tersebut.¹
Dampak: Kesalahan
logis ini dapat memperkuat bias terhadap sumber informasi tertentu, sekaligus
menghalangi evaluasi kritis terhadap keakuratan informasi.²
2)
Justifikasi dalam Hubungan Personal
Pernyataan: "Dia
adalah teman baikku karena dia selalu mendukungku, dan dia mendukungku karena
dia teman baikku."
Analisis: Pernyataan
ini tidak memberikan alasan objektif untuk mendukung klaim bahwa orang tersebut
adalah teman baik, melainkan hanya mengulang asumsi awal.³
4.2. Contoh dalam Diskusi Filosofis
1)
Argumen Ontologis tentang Keberadaan Tuhan
Pernyataan: "Tuhan
ada karena kitab suci mengatakan demikian, dan kitab suci benar karena itu
adalah firman Tuhan."
Analisis: Argumen
ini menggunakan kitab suci untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sementara
kebenaran kitab suci itu sendiri bergantung pada asumsi bahwa Tuhan ada.⁴
Relevansi: Contoh ini
sering muncul dalam diskusi teologis, di mana bukti eksternal untuk mendukung
klaim sering kali diabaikan.⁵
2)
Circular Reasoning dalam Epistemologi
Pernyataan: "Pikiran
kita dapat dipercaya karena itu adalah alat yang kita gunakan untuk memahami
realitas, dan kita tahu realitas itu benar karena pikiran kita memahaminya."
Analisis: Dalam
konteks epistemologi, argumen ini gagal memberikan validasi independen terhadap
kemampuan pikiran untuk memahami realitas.⁶
4.3. Contoh dalam Politik dan Retorika Publik
1)
Klaim Legitimasi Kekuasaan
Pernyataan: "Pemerintah
ini sah karena dipilih oleh rakyat, dan rakyat memilih pemerintah ini karena
itu sah."
Analisis: Argumen
ini mengandaikan kebenaran klaim tanpa memberikan bukti terpisah untuk
mendukung legitimasi pemerintah.⁷
2)
Kampanye Politik
Pernyataan: "Kandidat
ini terbaik karena dia mendapatkan dukungan terbanyak, dan dia mendapatkan
dukungan terbanyak karena dia adalah kandidat terbaik."
Analisis: Argumen
ini melingkar karena tidak ada alasan logis untuk mendukung klaim bahwa
kandidat tersebut memang terbaik selain popularitasnya yang diasumsikan sebagai
ukuran kualitas.⁸
4.4. Contoh dalam Iklan dan Pemasaran
1)
Klaim Produk
Pernyataan: "Produk
ini berkualitas tinggi karena banyak orang membelinya, dan banyak orang
membelinya karena produk ini berkualitas tinggi."
Analisis: Circular
reasoning ini sering digunakan dalam iklan untuk menciptakan persepsi bahwa popularitas
adalah bukti kualitas.⁹
2)
Brand Loyalty
Pernyataan: "Merek
ini yang terbaik karena selalu dipilih konsumen, dan konsumen memilihnya karena
ini adalah merek terbaik."
Analisis: Tanpa
memberikan bukti eksternal seperti data perbandingan kualitas, argumen ini
hanya mengulangi klaim awal dalam lingkaran.¹⁰
Kesimpulan Sementara tentang Contoh Circular Reasoning
Circular reasoning sering digunakan baik secara
sadar maupun tidak sadar dalam berbagai bidang. Contoh-contoh ini menunjukkan
bahwa circular reasoning bukan hanya kesalahan logis akademik, tetapi juga
memiliki dampak praktis dalam kehidupan sehari-hari, politik, dan pemasaran.
Mengenali circular reasoning membantu kita untuk lebih kritis terhadap argumen
dan membuat keputusan yang lebih rasional.
Catatan Kaki
[1]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 70.
[2]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 91.
[3]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 83.
[4]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 61.
[5]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 35.
[6]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 109.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 96.
[8]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 159.
[9]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 27.
[10]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 51.
5.
Penyebab
Terjadinya Circular Reasoning
Circular reasoning sering kali terjadi baik secara
sengaja maupun tidak sengaja. Kesalahan logis ini dapat timbul karena berbagai
faktor yang melibatkan keterbatasan logika individu, bias kognitif, dan pola
pikir tertentu. Berikut adalah beberapa penyebab utama yang melatarbelakangi
terjadinya circular reasoning:
5.1. Kurangnya Pemahaman tentang Logika Formal
Banyak orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam
tentang prinsip-prinsip logika formal sehingga mereka tidak menyadari bahwa
argumen yang mereka buat bersifat melingkar.¹ Circular reasoning sering kali
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memisahkan premis dari kesimpulan atau
oleh kurangnya alat analisis logis yang memadai.² Misalnya, dalam diskusi
sehari-hari, seseorang mungkin menggunakan circular reasoning karena terbiasa
menghubungkan dua ide yang serupa tanpa mengevaluasi keabsahan hubungan
tersebut.³
5.2. Bias Kognitif dan Keyakinan yang Mendalam
Bias kognitif, seperti confirmation bias,
dapat mendorong seseorang untuk menerima argumen circular reasoning tanpa
mempertanyakannya.⁴ Confirmation bias terjadi ketika individu mencari
informasi yang mendukung keyakinan mereka, meskipun informasi tersebut tidak
valid secara logis.⁵ Keyakinan yang mendalam, seperti keyakinan agama atau
ideologi politik, sering kali memperkuat circular reasoning karena individu
merasa tidak perlu mempertanyakan asumsi dasar yang mendukung keyakinan
mereka.⁶
Sebagai contoh: "Ideologi ini benar karena
itu adalah satu-satunya yang masuk akal, dan itu masuk akal karena ideologi ini
benar." Pernyataan seperti ini sering digunakan untuk memperkuat
kepercayaan tanpa bukti eksternal.⁷
5.3. Kesalahan dalam Merumuskan Premis
Kesalahan dalam merumuskan premis adalah penyebab
lain yang signifikan. Circular reasoning terjadi ketika premis dirumuskan
sedemikian rupa sehingga kesimpulan sudah terkandung dalam premis itu sendiri.⁸
Dalam banyak kasus, kesalahan ini tidak disengaja tetapi terjadi karena
individu tidak memisahkan antara apa yang perlu dibuktikan dengan apa yang
diasumsikan sebagai benar.⁹
Misalnya, argumen "Hukum ini adil karena
dibuat oleh pemerintah yang sah, dan pemerintah ini sah karena membuat hukum
yang adil" menunjukkan bahwa premis dan kesimpulan saling tumpang
tindih.¹⁰
5.4. Ketergantungan pada Bukti yang Tidak Diuji
Circular reasoning juga dapat terjadi karena
ketergantungan pada bukti yang tidak diuji atau diverifikasi secara
independen.¹¹ Banyak argumen circular reasoning muncul dari keyakinan yang
diterima begitu saja tanpa analisis kritis terhadap bukti pendukungnya.¹² Dalam
diskusi ilmiah, ini bisa terjadi ketika penelitian menggunakan asumsi yang
tidak diuji untuk mendukung hipotesis yang sama dengan asumsi tersebut.¹³
5.5. Penggunaan Bahasa yang Berbelit-belit
Dalam beberapa kasus, circular reasoning terjadi
karena penyajian argumen yang kompleks atau berbelit-belit. Penggunaan
terminologi yang berbeda untuk menyatakan premis dan kesimpulan yang sama dapat
membuat circular reasoning sulit dikenali.¹⁴ Teknik ini sering ditemukan dalam
retorika politik dan iklan, di mana bahasa digunakan untuk menciptakan ilusi
validitas logis.¹⁵
Sebagai contoh: "Kami adalah perusahaan
terbaik karena pelanggan kami puas, dan pelanggan kami puas karena kami adalah
perusahaan terbaik." Pernyataan ini menggunakan struktur yang
melingkar, tetapi kompleksitas bahasanya dapat menyulitkan audiens untuk
menyadarinya.¹⁶
Kesimpulan Sementara tentang Penyebab Circular Reasoning
Circular reasoning dapat terjadi karena berbagai
faktor, mulai dari kurangnya pemahaman logika hingga pengaruh bias kognitif dan
pola pikir tertentu. Memahami penyebab ini penting untuk membantu individu
mengenali dan menghindari circular reasoning dalam argumen mereka sendiri
maupun argumen orang lain. Pemahaman yang lebih baik tentang logika formal dan
evaluasi kritis terhadap bukti dapat membantu mengurangi kecenderungan
menggunakan circular reasoning.
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 160.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 52.
[3]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 92.
[4]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 71.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 97.
[6]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 62.
[7]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 110.
[8]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 84.
[9]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 28.
[10]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 36.
[11]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 162.
[12]
Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin
Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 46.
[13]
Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind
Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 489.
[14]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 39.
[15]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 30.
[16]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 99.
6.
Dampak
Circular Reasoning
Circular reasoning, meskipun sering kali tidak
disadari, memiliki dampak yang signifikan dalam berbagai konteks kehidupan,
baik dalam diskusi sehari-hari, debat ilmiah, maupun pengambilan keputusan.
Dampak ini dapat bersifat negatif, menghalangi penalaran yang logis, atau
menciptakan ilusi validitas pada argumen yang sebenarnya cacat. Berikut adalah
beberapa dampak utama dari circular reasoning:
6.1. Menghambat Pengembangan Pengetahuan
Circular reasoning menghalangi proses berpikir
kritis dan logis yang diperlukan untuk memperluas pengetahuan. Dalam diskusi
ilmiah, circular reasoning dapat membuat argumen menjadi stagnan, karena tidak
ada kemajuan logis yang dihasilkan dari argumen yang berputar pada asumsi
awal.¹ Sebagai contoh, jika seorang ilmuwan menggunakan hasil hipotesis untuk
membuktikan hipotesis itu sendiri, maka tidak ada landasan yang benar-benar
dapat diuji.² Hal ini dapat menghambat inovasi dan penemuan baru karena argumen
tidak memberikan bukti yang dapat diverifikasi.³
6.2. Memperkuat Keyakinan yang Salah
Circular reasoning sering digunakan untuk
memperkuat keyakinan yang tidak didasarkan pada bukti independen. Dalam konteks
ini, argumen melingkar menciptakan ilusi validitas yang dapat memperkuat dogma
atau ideologi tertentu tanpa memberikan dasar yang logis.⁴ Sebagai contoh:
"Ideologi ini benar karena selalu berhasil, dan selalu berhasil karena
benar." Argumen semacam ini dapat menyesatkan individu atau kelompok,
membuat mereka mempertahankan keyakinan yang salah tanpa analisis kritis.⁵
6.3. Menurunkan Kualitas Diskusi Publik
Circular reasoning sering ditemukan dalam debat politik
dan sosial, di mana argumen melingkar digunakan untuk memengaruhi opini
publik.⁶ Misalnya, dalam kampanye politik, seorang kandidat dapat mengklaim:
"Saya adalah pemimpin terbaik karena saya selalu mendapatkan dukungan
rakyat, dan rakyat mendukung saya karena saya pemimpin terbaik." Dalam
hal ini, circular reasoning menciptakan kesan seolah-olah argumen tersebut
valid, padahal hanya mengulang klaim tanpa bukti independen.⁷ Dampak jangka
panjangnya adalah menurunnya kualitas diskusi publik karena argumen yang tidak
rasional mendapatkan perhatian yang tidak semestinya.⁸
6.4. Menyulitkan Evaluasi Logis dalam Kehidupan
Sehari-Hari
Circular reasoning dapat menyebabkan individu atau
kelompok kesulitan untuk mengevaluasi argumen secara logis. Hal ini terutama
berlaku dalam konteks iklan dan pemasaran, di mana circular reasoning digunakan
untuk menciptakan ilusi keunggulan produk.⁹ Misalnya: "Produk ini
terbaik karena paling banyak terjual, dan paling banyak terjual karena terbaik."
Circular reasoning semacam ini tidak hanya membingungkan konsumen, tetapi juga
mendorong keputusan berdasarkan asumsi yang salah.¹⁰
6.5. Menghambat Pemecahan Masalah yang Efektif
Dalam konteks pengambilan keputusan, circular
reasoning dapat menghambat proses pemecahan masalah yang efektif karena tidak
memberikan solusi yang berbasis data atau logika.¹¹ Ketika argumen melingkar
digunakan untuk mempertahankan status quo, proses inovasi atau perubahan
menjadi terhambat. Sebagai contoh, sebuah organisasi mungkin mengatakan: "Kami
tidak perlu mengubah sistem ini karena sudah berjalan dengan baik, dan sistem
ini berjalan dengan baik karena tidak perlu diubah." Argumen seperti
ini menciptakan lingkaran yang menghalangi perbaikan atau pembaruan.¹²
6.6. Ilusi Validitas dalam Retorika
Circular reasoning sering digunakan dalam retorika
untuk menciptakan kesan bahwa argumen tersebut valid, meskipun sebenarnya tidak
demikian. Dalam konteks ini, circular reasoning dapat digunakan sebagai alat
manipulasi untuk membingungkan audiens.¹³ Misalnya, dalam diskusi agama,
seseorang mungkin mengatakan: "Kepercayaan ini benar karena tradisi
mendukungnya, dan tradisi itu benar karena berasal dari kepercayaan ini."¹⁴
Ilusi validitas semacam ini membuat individu sulit membedakan antara argumen
yang logis dan manipulatif.¹⁵
Kesimpulan Sementara tentang Dampak Circular Reasoning
Circular reasoning memiliki dampak negatif yang
signifikan, terutama dalam memperkuat argumen yang tidak valid, menghambat
pengembangan pengetahuan, dan menurunkan kualitas diskusi. Pemahaman yang lebih
baik tentang logika dan kemampuan untuk mengenali circular reasoning dapat
membantu individu membuat keputusan yang lebih rasional dan mendukung diskusi
yang lebih konstruktif.
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic,
14th ed. (New York: Routledge, 2014), 163.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 55.
[3]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 94.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 100.
[5]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 73.
[6]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 112.
[7]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 85.
[8]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 37.
[9]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 31.
[10]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 64.
[11]
Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin
Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 48.
[12]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 39.
[13]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 103.
[14]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 96.
[15]
Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind
Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 491.
7.
Circular
Reasoning dan Etika dalam Berpikir
Circular reasoning tidak hanya menjadi permasalahan
logis, tetapi juga menyentuh aspek etika dalam berpikir dan berargumen. Etika
dalam berpikir mengacu pada kewajiban moral untuk memastikan bahwa argumen yang
disampaikan didasarkan pada dasar yang valid, logis, dan adil. Circular
reasoning melanggar prinsip ini karena cenderung menyesatkan audiens,
memperkuat keyakinan yang tidak berdasar, dan mengabaikan pentingnya verifikasi
independen. Berikut adalah analisis hubungan antara circular reasoning dan
etika dalam berpikir.
7.1. Circular Reasoning sebagai Pelanggaran terhadap
Transparansi Argumen
Etika dalam berpikir menuntut transparansi dalam
menyusun argumen, di mana premis dan kesimpulan harus jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Circular reasoning, dengan sifatnya yang melingkar,
menyembunyikan hubungan logis yang sebenarnya tidak ada.¹ Hal ini sering kali
dilakukan secara tidak sadar, tetapi dalam beberapa kasus, circular reasoning
digunakan secara sengaja untuk menutupi kelemahan dalam argumen.² Misalnya,
dalam konteks iklan, argumen seperti "Produk ini terbaik karena dipilih
oleh banyak orang, dan banyak orang memilihnya karena ini produk terbaik"
menciptakan ilusi validitas tanpa bukti yang sebenarnya.³
7.2. Penggunaan Circular Reasoning untuk Manipulasi
Circular reasoning sering digunakan untuk
memanipulasi audiens, terutama dalam konteks politik, agama, atau pemasaran.
Dalam hal ini, pelaku circular reasoning melanggar etika berpikir karena
argumen mereka tidak didasarkan pada kebenaran, tetapi pada upaya untuk
mendapatkan dukungan atau persetujuan melalui cara yang tidak adil.⁴ Misalnya,
seorang politisi mungkin mengatakan: "Kebijakan ini adalah yang terbaik
karena didukung oleh mayoritas rakyat, dan mayoritas rakyat mendukungnya karena
ini kebijakan terbaik." Pernyataan ini bukan hanya melingkar tetapi
juga bertujuan untuk menghindari kritik substantif terhadap kebijakan
tersebut.⁵
Manipulasi semacam ini dapat menyebabkan
pengambilan keputusan yang tidak rasional, terutama ketika audiens tidak
memiliki keterampilan berpikir kritis untuk mengenali kesalahan logis ini.⁶
7.3. Kewajiban Moral untuk Menghindari Circular Reasoning
Dalam konteks etika berpikir, setiap individu
memiliki kewajiban moral untuk menghindari penggunaan circular reasoning, baik
secara sadar maupun tidak sadar. Menurut pandangan filsuf Immanuel Kant,
tindakan moral harus didasarkan pada prinsip universal yang dapat diterapkan
tanpa kontradiksi.⁷ Circular reasoning melanggar prinsip ini karena gagal
memberikan landasan universal yang dapat diverifikasi secara independen.⁸
Etika berpikir juga mencakup tanggung jawab untuk
memastikan bahwa argumen yang disampaikan dapat diuji kebenarannya secara
objektif. Douglas Walton menegaskan bahwa pemikir yang etis harus menghindari
membangun argumen berdasarkan asumsi yang tidak diuji, karena hal ini merugikan
audiens dan merendahkan standar intelektual dalam diskusi.⁹
7.4. Circular Reasoning dan Penghormatan terhadap Akal
Sehat
Etika berpikir melibatkan penghormatan terhadap
akal sehat dan kemampuan intelektual audiens. Circular reasoning merendahkan
akal sehat dengan memanfaatkan argumen yang tampak masuk akal tetapi sebenarnya
kosong secara logis.¹⁰ Hal ini melanggar prinsip penghormatan terhadap audiens
sebagai individu yang mampu berpikir secara rasional.¹¹ Dalam konteks
pendidikan, misalnya, circular reasoning dalam penyampaian materi dapat
menghambat perkembangan intelektual siswa dan memperkuat pola pikir yang tidak
kritis.¹²
7.5. Membangun Etika Berpikir yang Kritis dan Rasional
Menghindari circular reasoning adalah bagian
penting dari membangun etika berpikir yang kritis dan rasional. Ini melibatkan:
·
Pengakuan atas Kelemahan dalam Argumen:
Seseorang
harus bersedia mengakui jika argumen mereka tidak memiliki dasar yang valid
daripada mencoba menyembunyikannya melalui circular reasoning.¹³
·
Pencarian Bukti yang Independen:
Bukti
eksternal yang dapat diverifikasi harus menjadi dasar argumen, bukan sekadar
pengulangan klaim yang sama.¹⁴
·
Komitmen terhadap Kejujuran Intelektual:
Circular
reasoning sering kali mencerminkan kurangnya kejujuran intelektual. Oleh karena
itu, komitmen terhadap kebenaran harus menjadi prinsip utama dalam berpikir.¹⁵
Kesimpulan Sementara tentang Circular Reasoning dan Etika Berpikir
Circular reasoning bertentangan dengan prinsip
dasar etika berpikir karena mengabaikan tanggung jawab moral untuk menyusun
argumen yang logis dan jujur. Memahami dampak etis dari circular reasoning
mendorong individu untuk lebih kritis dan bertanggung jawab dalam menyampaikan
argumen. Etika berpikir yang kuat menciptakan lingkungan diskusi yang lebih
sehat dan konstruktif, di mana kebenaran dan logika menjadi prioritas utama.
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 165.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 57.
[3]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 95.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 104.
[5]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 75.
[6]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 114.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, ed. and trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), 31.
[8]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 40.
[9]
Ibid., 41.
[10]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 32.
[11]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1985), 89.
[12]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 105.
[13]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 86.
[14]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 97.
[15]
Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind
Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 493.
8.
Cara
Menghindari Circular Reasoning
Menghindari circular reasoning memerlukan pemahaman
yang baik tentang logika formal, kemampuan untuk mengevaluasi argumen secara
kritis, serta komitmen terhadap kejujuran intelektual. Circular reasoning
sering terjadi tanpa disadari, tetapi dengan teknik tertentu, kesalahan logis
ini dapat diidentifikasi dan dihindari. Berikut adalah beberapa langkah utama
untuk mencegah penggunaan circular reasoning:
8.1. Memeriksa Hubungan antara Premis dan Kesimpulan
Langkah pertama untuk menghindari circular
reasoning adalah memastikan bahwa premis memberikan alasan yang independen
untuk mendukung kesimpulan.¹ Dalam argumen yang valid, premis dan kesimpulan
harus saling terkait tetapi tidak saling mendukung secara melingkar.² Misalnya,
dalam argumen "Hukum ini sah karena pemerintah membuatnya, dan
pemerintah sah karena membuat hukum ini," premis dan kesimpulan saling
menguatkan tanpa ada bukti independen.³ Untuk menghindari ini, tanyakan: "Apakah
kesimpulan saya hanya mengulang premis saya dengan cara lain?"⁴
8.2. Memastikan Premis dapat Diverifikasi Secara
Independen
Premis yang digunakan dalam argumen harus dapat
diverifikasi tanpa mengacu pada kesimpulan.⁵ Verifikasi independen adalah
elemen kunci untuk membangun argumen yang kuat. Misalnya, dalam diskusi ilmiah,
hipotesis harus diuji dengan data atau bukti yang berasal dari sumber
eksternal, bukan dengan asumsi yang mendukung hipotesis itu sendiri.⁶ Douglas
Walton menekankan pentingnya menggunakan bukti eksternal untuk memastikan bahwa
premis memiliki dasar yang sah.⁷
8.3. Menggunakan Metode Evaluasi Logis
Teknik evaluasi logis, seperti diagram argumen atau
analisis premis-kesimpulan, dapat membantu mengidentifikasi circular
reasoning.⁸ Diagram argumen memungkinkan seseorang untuk memetakan hubungan
antara premis dan kesimpulan, sehingga lebih mudah melihat apakah hubungan
tersebut melingkar.⁹ Trudy Govier menyarankan bahwa pemetaan visual ini sangat
efektif untuk mendeteksi kesalahan logis dalam argumen yang kompleks.¹⁰
8.4. Menghindari Asumsi yang Tidak Diuji
Circular reasoning sering kali muncul dari asumsi
yang tidak diuji.¹¹ Untuk menghindarinya, evaluasi setiap asumsi yang mendasari
argumen Anda.¹² Pertanyakan keabsahan asumsi tersebut dengan bertanya, "Apakah
ini dapat dibuktikan tanpa mengacu pada kesimpulan?"¹³ Misalnya, dalam
argumen "Buku ini benar karena ditulis oleh seorang ahli,"
penting untuk mengevaluasi apa yang mendefinisikan keahlian dan apakah itu
dapat diverifikasi secara independen dari klaim yang dibuat dalam buku
tersebut.¹⁴
8.5. Meningkatkan Pemahaman tentang Logika Formal
Peningkatan pemahaman tentang prinsip-prinsip
logika formal dapat membantu seseorang menghindari circular reasoning.¹⁵
Belajar mengenali pola-pola kesalahan logis, seperti petitio principii,
memungkinkan individu untuk membangun argumen yang lebih kuat dan logis.¹⁶ Buku
seperti Introduction to Logic karya Irving Copi dapat menjadi sumber
yang berharga untuk mempelajari dasar-dasar logika formal.¹⁷
8.6. Meminta Umpan Balik dari Pihak Ketiga
Diskusi dengan orang lain yang memiliki kemampuan
berpikir kritis dapat membantu mengidentifikasi circular reasoning yang mungkin
terlewatkan.¹⁸ Pihak ketiga sering kali dapat memberikan perspektif baru dan
mengungkap hubungan melingkar antara premis dan kesimpulan yang sulit dilihat
oleh penulis argumen itu sendiri.¹⁹
8.7. Komitmen terhadap Kejujuran Intelektual
Akhirnya, menghindari circular reasoning memerlukan
komitmen terhadap kejujuran intelektual.²⁰ Kejujuran intelektual berarti
bersedia mengakui kelemahan dalam argumen dan mencari bukti yang valid daripada
mencoba menyembunyikannya dalam argumen yang melingkar.²¹ Hal ini penting untuk
membangun diskusi yang konstruktif dan berbasis pada kebenaran.²²
Kesimpulan Sementara tentang Cara Menghindari Circular Reasoning
Circular reasoning dapat dihindari dengan memeriksa
hubungan premis dan kesimpulan, memastikan verifikasi independen, dan
menggunakan metode evaluasi logis. Langkah-langkah ini, dikombinasikan dengan
komitmen terhadap kejujuran intelektual, membantu individu menyusun argumen
yang lebih valid dan berdampak. Dengan mengembangkan kebiasaan berpikir kritis,
circular reasoning dapat diminimalkan dalam diskusi sehari-hari, debat ilmiah,
maupun pengambilan keputusan.
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 167.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 59.
[3]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 96.
[4]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 77.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 106.
[6]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 66.
[7]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 43.
[8]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 87.
[9]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 98.
[10]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 108.
[11]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 168.
[12]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 61.
[13]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 99.
[14]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 34.
[15]
Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin
Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 50.
[16]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 45.
[17]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 169.
[18]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 109.
[19]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 47.
[20]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 79.
[21]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 116.
[22]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 100.
9.
Studi
Kasus dan Analisis
Circular reasoning sering ditemukan dalam berbagai
konteks kehidupan, seperti diskusi agama, politik, dan pemasaran. Studi kasus
berikut menganalisis bagaimana circular reasoning muncul dalam situasi-situasi
ini dan dampaknya terhadap logika serta pengambilan keputusan.
9.1. Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Diskusi Agama
Kasus: Dalam beberapa argumen teologis, circular reasoning digunakan untuk
membuktikan kebenaran kitab suci dengan mengacu pada klaim kitab itu sendiri.
Contoh umum adalah:
·
Argumen: "Kitab
suci ini benar karena diilhami oleh Tuhan, dan kita tahu Tuhan ada karena kitab
suci ini mengatakan demikian."
·
Analisis: Dalam
argumen ini, klaim tentang keberadaan Tuhan bergantung sepenuhnya pada
validitas kitab suci, yang pada gilirannya didasarkan pada asumsi bahwa Tuhan
mengilhami kitab tersebut.¹ Tidak ada bukti eksternal yang dapat diverifikasi
secara independen untuk mendukung klaim tersebut, sehingga argumen ini menjadi
lingkaran logis.²
·
Dampak: Circular
reasoning seperti ini dapat memperkuat keyakinan agama tanpa memberikan bukti
objektif, yang sering kali menjadi penghalang bagi dialog interreligius yang
produktif.³
9.2. Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Politik
Kasus: Dalam kampanye politik, circular reasoning sering digunakan untuk memengaruhi
opini publik. Contoh:
·
Argumen: "Kandidat
ini adalah pemimpin terbaik karena mendapatkan dukungan terbesar, dan
mendapatkan dukungan terbesar karena dia adalah pemimpin terbaik."
·
Analisis: Dalam
argumen ini, popularitas kandidat dianggap sebagai bukti kualitas kepemimpinan
tanpa memberikan bukti konkret tentang kemampuan kandidat.⁴ Popularitas, dalam
konteks ini, digunakan sebagai indikator yang sah, meskipun tidak memberikan
hubungan kausal yang valid.⁵
·
Dampak: Circular
reasoning semacam ini menciptakan ilusi validitas yang dapat menyesatkan
pemilih dan mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif seperti kebijakan dan
rekam jejak.⁶
9.3. Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Pemasaran
Kasus: Iklan produk sering kali menggunakan circular reasoning untuk
menciptakan persepsi kualitas. Contoh:
·
Argumen: "Produk
ini adalah pilihan terbaik karena paling populer, dan paling populer karena
pilihan terbaik."
·
Analisis: Dalam
argumen ini, popularitas produk digunakan sebagai alasan untuk mengklaim
kualitas tanpa menyediakan bukti objektif tentang kualitas produk itu sendiri.⁷
Circular reasoning ini sering kali diperkuat oleh iklan yang menampilkan
testimoni konsumen, yang secara tidak langsung mengulangi klaim awal.⁸
·
Dampak: Konsumen
yang tidak kritis terhadap struktur logis argumen ini dapat terpengaruh untuk
membuat keputusan pembelian berdasarkan ilusi validitas, bukan evaluasi
faktual.⁹
9.4. Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Sains
Kasus: Dalam beberapa argumen ilmiah, circular reasoning muncul ketika asumsi
dasar digunakan untuk membuktikan kesimpulan yang mendukung asumsi tersebut.
Contoh:
·
Argumen: "Teori
ini benar karena data mendukungnya, dan data ini valid karena didasarkan pada
teori tersebut."
·
Analisis: Circular
reasoning dalam konteks ini dapat terjadi ketika metodologi yang digunakan
untuk mengumpulkan data didasarkan pada teori yang sama yang ingin
dibuktikan.¹⁰ Meskipun ini jarang terjadi dalam penelitian ilmiah yang
dirancang dengan baik, circular reasoning tetap dapat muncul dalam interpretasi
data yang bias.¹¹
·
Dampak: Circular
reasoning dalam sains dapat melemahkan kredibilitas penelitian dan menghalangi
perkembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada validasi independen.¹²
Kesimpulan dari Studi Kasus
Circular reasoning muncul dalam berbagai konteks,
dari diskusi agama hingga sains, karena argumen sering kali disusun tanpa
memisahkan bukti independen dari klaim yang ingin dibuktikan. Dalam semua kasus
ini, circular reasoning menciptakan ilusi validitas yang dapat memengaruhi
keputusan dan keyakinan. Dengan mengenali pola-pola circular reasoning,
individu dapat menghindari jebakan logis ini dan membuat argumen serta
keputusan yang lebih kuat dan valid.
Catatan Kaki
[1]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 60.
[2]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 67.
[3]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 80.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 110.
[5]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 170.
[6]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 101.
[7]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 35.
[8]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 118.
[9]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 48.
[10]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 111.
[11]
Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind
Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 495.
[12]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 62.
10. Kesimpulan
Circular reasoning, atau penalaran melingkar,
adalah salah satu bentuk kesalahan logis yang sering kali tidak disadari,
tetapi memiliki dampak signifikan dalam berbagai konteks kehidupan. Sebagai
argumen yang menggunakan kesimpulan untuk mendukung premis atau sebaliknya,
circular reasoning melanggar prinsip dasar logika yang mengharuskan premis
memberikan bukti independen terhadap kesimpulan.¹
10.1. Pentingnya Memahami Circular Reasoning
Pemahaman tentang circular reasoning sangat penting
karena kesalahan logis ini sering ditemukan dalam diskusi sehari-hari, debat
publik, dan bahkan dalam argumen ilmiah.² Circular reasoning, meskipun tampak
masuk akal pada pandangan pertama, tidak memberikan kontribusi yang sah
terhadap validitas suatu argumen.³ Dalam banyak kasus, hal ini mengarah pada stagnasi
logis dan penguatan keyakinan yang tidak berdasar.⁴ Dengan mengenali pola-pola
circular reasoning, individu dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
logis mereka.⁵
10.2. Dampak Circular Reasoning
Circular reasoning memiliki dampak negatif yang
signifikan. Dalam diskusi agama, circular reasoning dapat memperkuat keyakinan
yang tidak diverifikasi, yang sering kali menghambat dialog interreligius yang
produktif.⁶ Dalam politik, circular reasoning menciptakan ilusi validitas yang
dapat memengaruhi opini publik secara tidak adil.⁷ Dalam sains, kesalahan ini
dapat menghambat pengembangan teori-teori baru karena kurangnya bukti
independen untuk mendukung hipotesis.⁸ Circular reasoning juga merugikan
konsumen dalam konteks pemasaran dengan menciptakan persepsi kualitas yang
tidak didukung oleh data objektif.⁹
10.3. Cara Menghindari Circular Reasoning
Untuk menghindari circular reasoning, penting untuk
memeriksa hubungan antara premis dan kesimpulan, memastikan bahwa premis dapat
diverifikasi secara independen, dan menggunakan metode evaluasi logis seperti
diagram argumen.¹⁰ Selain itu, kejujuran intelektual memainkan peran penting
dalam memastikan bahwa argumen tidak hanya bertujuan untuk memengaruhi audiens
tetapi juga didasarkan pada kebenaran yang dapat diverifikasi.¹¹
10.4. Circular Reasoning dan Etika Berpikir
Circular reasoning melibatkan aspek etika dalam
berpikir, karena penggunaan kesalahan logis ini sering kali melibatkan
manipulasi atau penyembunyian fakta.¹² Komitmen terhadap kejujuran intelektual
dan transparansi dalam menyusun argumen adalah elemen kunci untuk memastikan
bahwa diskusi didasarkan pada kebenaran, bukan hanya pada retorika yang tampak
masuk akal tetapi sebenarnya kosong secara logis.¹³
10.5. Ajakan untuk Berpikir Kritis
Circular reasoning dapat diatasi dengan komitmen
terhadap berpikir kritis dan logis. Masyarakat yang sadar akan pentingnya
logika formal dan mampu mengenali kesalahan logis seperti circular reasoning
akan lebih mampu membuat keputusan yang rasional dan mendukung diskusi yang
lebih produktif.¹⁴ Dengan memahami dampak dan cara menghindari circular
reasoning, kita dapat menciptakan budaya diskusi yang lebih sehat, baik di
ranah publik maupun akademik.
Kesimpulan Akhir
Circular reasoning adalah kesalahan logis yang
tampaknya sederhana tetapi memiliki dampak luas. Memahami, mengenali, dan
menghindari circular reasoning tidak hanya meningkatkan kualitas argumen tetapi
juga memperkuat integritas intelektual individu. Sebagai salah satu pilar utama
dalam berpikir logis, kemampuan untuk menghindari circular reasoning adalah
bagian penting dari pendidikan kritis dan rasional yang bertujuan untuk
mendorong dialog yang berbasis pada kebenaran dan validitas logis.
Catatan Kaki
[1]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic,
14th ed. (New York: Routledge, 2014), 172.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 63.
[3]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 115.
[4]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 102.
[5]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 81.
[6]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1998), 69.
[7]
Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I
Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 120.
[8]
Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster
Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 36.
[9]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 49.
[10]
John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York:
Wadsworth Publishing, 2011), 88.
[11]
Nicholas Rescher, Cognitive Harmony
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 104.
[12]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 116.
[13]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 173.
[14]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things
Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New
York: Pearson, 2011), 83.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1989). Prior analytics (R.
Smith, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company.
Copi, I. M., & Cohen, C. (2014). Introduction
to logic (14th ed.). New York, NY: Routledge.
Flew, A. (1975). Thinking about thinking: Or, do
I sincerely want to be right? London, UK: Fontana Press.
Govier, T. (2010). A practical study of argument
(7th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Publishing.
Hume, D. (1998). Dialogues concerning natural
religion (R. Popkin, Ed.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company.
Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Ed. & Trans.). Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Massey, G. J. (1981). The fallacy behind fallacies.
Midwest Studies in Philosophy, 6(1), 489–496. https://doi.org/10.1111/j.1475-4975.1981.tb00495.x
Nosich, G. M. (2011). Learning to think things
through: A guide to critical thinking across the curriculum (4th ed.). New
York, NY: Pearson.
Nolt, J. (2011). Logics (3rd ed.). New York,
NY: Wadsworth Publishing.
Rescher, N. (2006). Cognitive harmony.
Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press.
Walton, D. (2008). Informal logic: A pragmatic
approach (2nd ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Walton, D. (2013). Argumentation schemes for presumptive
reasoning. New York, NY: Routledge.
Aldenderfer, M. S., & Blashfield, R. K. (2007).
Cluster analysis (11th ed.). Newbury Park, CA: Sage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar