Senin, 13 Januari 2025

Circular Reasoning: Konsep, Contoh, dan Dampaknya dalam Penalaran Logis

Circular Reasoning

Konsep, Contoh, dan Dampaknya dalam Penalaran Logis


Abstrak

Circular reasoning, atau penalaran melingkar, adalah kesalahan logis yang terjadi ketika argumen menggunakan kesimpulan untuk mendukung premisnya tanpa bukti independen. Artikel ini membahas konsep circular reasoning secara mendalam, termasuk bentuk dan strukturnya, serta berbagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, diskusi agama, politik, pemasaran, dan sains. Dampaknya yang signifikan, seperti memperkuat keyakinan yang salah, menurunkan kualitas diskusi publik, dan menghambat pengembangan pengetahuan, juga dianalisis secara komprehensif. Selain itu, artikel ini mengeksplorasi hubungan antara circular reasoning dan etika berpikir, serta menawarkan langkah-langkah praktis untuk mengenali dan menghindari kesalahan logis ini. Studi kasus yang disajikan memperjelas relevansi circular reasoning dalam berbagai konteks, sementara solusi yang ditawarkan menekankan pentingnya berpikir kritis dan logis dalam menyusun argumen yang valid. Dengan menghindari circular reasoning, individu dapat memperkuat integritas intelektual dan berkontribusi pada diskusi yang lebih rasional dan produktif.

Kata Kunci; Circular reasoning, logical fallacy, critical thinking, logika, etika berpikir, argumentasi, penalaran logis.


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi Circular Reasoning

Circular reasoning, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penalaran melingkar, adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya secara implisit atau eksplisit mengandaikan kebenaran dari premisnya. Dalam penalaran ini, bukannya memberikan bukti independen untuk mendukung kesimpulan, argumen kembali ke premis awal yang sama. Circular reasoning dianggap cacat karena gagal memberikan landasan logis yang valid untuk mendukung klaim tertentu.¹ Sebagai contoh sederhana, argumen seperti "Saya benar karena saya tidak pernah salah" mencerminkan struktur melingkar karena kesimpulan dan premisnya saling mendukung tanpa bukti eksternal.

1.2.       Pentingnya Memahami Circular Reasoning

Dalam dunia modern yang sarat dengan arus informasi dan debat publik, memahami jenis kesalahan logis ini menjadi krusial. Circular reasoning sering muncul dalam diskusi filosofis, politik, agama, bahkan dalam sains.² Dalam konteks diskusi publik, argumen yang melibatkan circular reasoning dapat memperkuat keyakinan yang salah dan menyesatkan audiens.³ Oleh karena itu, kemampuan untuk mengenali dan menghindari jenis penalaran ini penting untuk meningkatkan kualitas debat dan pengambilan keputusan yang logis.

Circular reasoning tidak hanya menjadi isu akademis, tetapi juga memiliki implikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam iklan dan pemasaran, perusahaan sering kali menggunakan teknik ini untuk memperkuat klaim produk mereka, seperti menyatakan "Produk ini terbaik karena sangat populer." Dalam konteks ini, circular reasoning tidak hanya menggambarkan logika yang lemah tetapi juga menciptakan persepsi keliru di benak konsumen.⁴

Sebagai salah satu jenis logical fallacy, circular reasoning menyoroti pentingnya berpikir kritis dan analitis. Tanpa pemahaman yang baik tentang struktur argumen yang valid, seseorang dapat terjebak dalam logika melingkar yang tidak produktif dan membahayakan keakuratan kesimpulan yang diambil.⁵


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 155.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 45.

[3]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 67.

[4]                Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 23.

[5]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 103.


2.           Pengertian Circular Reasoning

2.1.       Definisi Formal Circular Reasoning

Circular reasoning, atau petitio principii dalam istilah Latin, adalah kesalahan logis di mana kesimpulan dari suatu argumen digunakan untuk mendukung premisnya, atau sebaliknya, premis digunakan untuk membuktikan kesimpulan tanpa bukti tambahan yang valid. Dalam struktur argumen ini, tidak ada kemajuan logis karena argumen hanya berputar di sekitar pernyataan yang sama.¹ Circular reasoning tidak selalu mudah dikenali, terutama ketika argumen disusun dengan cara yang kompleks atau disembunyikan dalam bahasa yang berbelit-belit.²

Misalnya, dalam pernyataan "Buku ini terpercaya karena ditulis oleh seorang ahli, dan kita tahu dia seorang ahli karena ia menulis buku ini," argumen tersebut membentuk lingkaran logis tanpa memberikan bukti eksternal yang dapat diverifikasi.³ Dalam logika formal, circular reasoning melanggar prinsip non-circularity, yang menekankan bahwa argumen yang valid harus memberikan alasan independen untuk mendukung kesimpulannya.⁴

2.2.       Karakteristik Circular Reasoning

Circular reasoning memiliki beberapa ciri utama yang membedakannya dari jenis kesalahan logis lainnya:

1)                  Premis dan Kesimpulan yang Saling Mendukung:

Premis tidak memberikan bukti independen, melainkan hanya mengulang ide yang terkandung dalam kesimpulan.

2)                  Ketergantungan pada Keyakinan yang Tidak Diuji:

Circular reasoning sering kali terjadi ketika argumen didasarkan pada keyakinan yang diterima begitu saja tanpa pengujian kritis.⁵

3)                  Kesulitan dalam Validasi Eksternal:

Tidak ada bukti eksternal yang dapat digunakan untuk memverifikasi kebenaran klaim yang dibuat.⁶

Circular reasoning sering kali digunakan secara tidak sengaja, terutama oleh mereka yang tidak memahami struktur argumen logis. Namun, dalam beberapa kasus, teknik ini digunakan secara sadar untuk mengelabui audiens atau memperkuat klaim tertentu tanpa dasar yang valid.⁷

2.3.       Circular Reasoning dalam Sejarah Pemikiran

Konsep circular reasoning telah lama diakui sebagai kesalahan logis dalam tradisi filsafat Barat. Aristoteles, dalam karya Prior Analytics, membahas pentingnya memastikan bahwa argumen logis tidak bergantung pada asumsi yang tidak diuji.⁸ Pada masa modern, filsuf seperti David Hume juga mengkritik circular reasoning, terutama dalam konteks argumen agama yang menggunakan klaim teologis untuk membuktikan premisnya sendiri.⁹

Circular reasoning tetap relevan dalam analisis logika modern karena kesalahan ini sering ditemukan dalam diskusi ilmiah, debat politik, dan bahkan pengambilan keputusan sehari-hari. Mempelajari dan memahami karakteristiknya memungkinkan seseorang untuk menghindari jebakan logis ini dan meningkatkan kualitas penalaran.


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 156.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 46.

[3]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 68.

[4]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 105.

[5]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 87.

[6]                John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 79.

[7]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 92.

[8]                Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 42.

[9]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 57.


3.           Bentuk dan Struktur Circular Reasoning

3.1.       Struktur Dasar Circular Reasoning

Circular reasoning adalah bentuk argumen logis di mana kesimpulan dari argumen digunakan sebagai bukti untuk mendukung premisnya, sehingga menciptakan siklus yang tidak memberikan informasi baru atau validasi eksternal. Struktur dasarnya dapat dinyatakan sebagai berikut:

1)                  Premis: X benar karena Y.

2)                  Kesimpulan: Y benar karena X.

Dalam skema ini, argumen tidak maju secara logis karena tidak ada hubungan sebab-akibat yang independen antara premis dan kesimpulan.¹

Misalnya, pernyataan "Hukum moral kita benar karena berasal dari Tuhan, dan kita tahu Tuhan ada karena hukum moral kita mengharuskannya," menunjukkan siklus yang tidak menghasilkan validasi eksternal.² Dalam logika formal, jenis argumen ini dianggap cacat karena melanggar prinsip dasar validasi logis: bahwa bukti harus bersifat independen dan tidak dapat digunakan untuk mendukung dirinya sendiri.³

3.2.       Variasi Circular Reasoning

Circular reasoning dapat mengambil bentuk eksplisit atau implisit tergantung pada cara argumen disajikan.

3.2.1.    Circular Reasoning Eksplisit

Dalam bentuk eksplisit, hubungan melingkar antara premis dan kesimpulan terlihat jelas, bahkan bagi pembaca atau pendengar yang tidak terlatih dalam logika formal.⁴ Sebagai contoh:

o        "Produk ini adalah yang terbaik karena sangat populer, dan sangat populer karena merupakan yang terbaik."

o        Dalam kasus ini, premis dan kesimpulan saling mendukung tanpa ada bukti tambahan yang valid.⁵

3.2.2.    Circular Reasoning Implisit

Circular reasoning implisit lebih sulit dikenali karena hubungan antara premis dan kesimpulan sering kali disamarkan atau diungkapkan secara tidak langsung.⁶ Argumen jenis ini sering menggunakan terminologi berbeda untuk premis dan kesimpulan agar tampak seolah-olah terpisah. Misalnya:

o        "Kami percaya bahwa perusahaan ini dapat dipercaya karena mereka memiliki reputasi baik. Kami tahu mereka memiliki reputasi baik karena mereka dapat dipercaya."⁷

o        Variasi implisit ini sering digunakan dalam iklan, politik, dan debat publik untuk memengaruhi audiens yang tidak kritis terhadap struktur logis argumen.⁸

3.3.       Analisis Bentuk Circular Reasoning dalam Logika Formal

Dalam logika formal, circular reasoning sering kali dikategorikan sebagai fallacy of presumption, yaitu jenis kesalahan logis yang didasarkan pada asumsi yang tidak diuji.⁹ Circular reasoning melibatkan pengulangan asumsi awal dengan cara yang berbeda, yang berarti argumen tidak pernah benar-benar diverifikasi.¹⁰

Para ahli logika seperti Douglas Walton menyarankan bahwa circular reasoning juga dapat dianalisis melalui konsep "burden of proof." Dalam sebuah argumen, pihak yang menggunakan circular reasoning gagal memenuhi beban pembuktian dengan menghadirkan bukti independen yang mendukung klaim mereka.¹¹

3.4.       Kesimpulan Sementara tentang Bentuk dan Struktur

Circular reasoning dapat disusun secara eksplisit atau implisit, tetapi keduanya memiliki dampak yang sama: argumen tidak memberikan alasan yang sah untuk mendukung kesimpulan. Pengakuan terhadap variasi bentuk ini penting untuk membantu mengidentifikasi circular reasoning, terutama dalam konteks di mana kesalahan logis ini sering digunakan untuk memanipulasi opini atau memperkuat keyakinan tanpa dasar yang valid.


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 157.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 49.

[3]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 107.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 94.

[5]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 69.

[6]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 89.

[7]                John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 81.

[8]                Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 25.

[9]                Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 45.

[10]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 59.

[11]             Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 32.


4.           Contoh Circular Reasoning

Circular reasoning dapat ditemukan dalam berbagai konteks kehidupan, mulai dari diskusi sehari-hari hingga argumen dalam filsafat, agama, dan politik. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari berbagai bidang yang menggambarkan bagaimana circular reasoning digunakan secara eksplisit maupun implisit.

4.1.       Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari

1)                  Argumen tentang Keandalan Sumber Informasi

Pernyataan: "Berita ini benar karena disampaikan oleh media terpercaya, dan kita tahu media ini terpercaya karena selalu menyampaikan berita yang benar."

Analisis: Dalam argumen ini, kepercayaan pada media didasarkan pada klaim bahwa berita yang disampaikan benar, tanpa memberikan bukti independen tentang kebenaran berita tersebut.¹

Dampak: Kesalahan logis ini dapat memperkuat bias terhadap sumber informasi tertentu, sekaligus menghalangi evaluasi kritis terhadap keakuratan informasi.²

2)                  Justifikasi dalam Hubungan Personal

Pernyataan: "Dia adalah teman baikku karena dia selalu mendukungku, dan dia mendukungku karena dia teman baikku."

Analisis: Pernyataan ini tidak memberikan alasan objektif untuk mendukung klaim bahwa orang tersebut adalah teman baik, melainkan hanya mengulang asumsi awal.³

4.2.       Contoh dalam Diskusi Filosofis

1)                  Argumen Ontologis tentang Keberadaan Tuhan

Pernyataan: "Tuhan ada karena kitab suci mengatakan demikian, dan kitab suci benar karena itu adalah firman Tuhan."

Analisis: Argumen ini menggunakan kitab suci untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sementara kebenaran kitab suci itu sendiri bergantung pada asumsi bahwa Tuhan ada.⁴

Relevansi: Contoh ini sering muncul dalam diskusi teologis, di mana bukti eksternal untuk mendukung klaim sering kali diabaikan.⁵

2)                  Circular Reasoning dalam Epistemologi

Pernyataan: "Pikiran kita dapat dipercaya karena itu adalah alat yang kita gunakan untuk memahami realitas, dan kita tahu realitas itu benar karena pikiran kita memahaminya."

Analisis: Dalam konteks epistemologi, argumen ini gagal memberikan validasi independen terhadap kemampuan pikiran untuk memahami realitas.⁶

4.3.       Contoh dalam Politik dan Retorika Publik

1)                  Klaim Legitimasi Kekuasaan

Pernyataan: "Pemerintah ini sah karena dipilih oleh rakyat, dan rakyat memilih pemerintah ini karena itu sah."

Analisis: Argumen ini mengandaikan kebenaran klaim tanpa memberikan bukti terpisah untuk mendukung legitimasi pemerintah.⁷

2)                  Kampanye Politik

Pernyataan: "Kandidat ini terbaik karena dia mendapatkan dukungan terbanyak, dan dia mendapatkan dukungan terbanyak karena dia adalah kandidat terbaik."

Analisis: Argumen ini melingkar karena tidak ada alasan logis untuk mendukung klaim bahwa kandidat tersebut memang terbaik selain popularitasnya yang diasumsikan sebagai ukuran kualitas.⁸


4.4.       Contoh dalam Iklan dan Pemasaran

1)                  Klaim Produk

Pernyataan: "Produk ini berkualitas tinggi karena banyak orang membelinya, dan banyak orang membelinya karena produk ini berkualitas tinggi."

Analisis: Circular reasoning ini sering digunakan dalam iklan untuk menciptakan persepsi bahwa popularitas adalah bukti kualitas.⁹

2)                  Brand Loyalty

Pernyataan: "Merek ini yang terbaik karena selalu dipilih konsumen, dan konsumen memilihnya karena ini adalah merek terbaik."

Analisis: Tanpa memberikan bukti eksternal seperti data perbandingan kualitas, argumen ini hanya mengulangi klaim awal dalam lingkaran.¹⁰


Kesimpulan Sementara tentang Contoh Circular Reasoning

Circular reasoning sering digunakan baik secara sadar maupun tidak sadar dalam berbagai bidang. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa circular reasoning bukan hanya kesalahan logis akademik, tetapi juga memiliki dampak praktis dalam kehidupan sehari-hari, politik, dan pemasaran. Mengenali circular reasoning membantu kita untuk lebih kritis terhadap argumen dan membuat keputusan yang lebih rasional.


Catatan Kaki

[1]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 70.

[2]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 91.

[3]                John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 83.

[4]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 61.

[5]                Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 35.

[6]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 109.

[7]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 96.

[8]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 159.

[9]                Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 27.

[10]             Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 51.


5.           Penyebab Terjadinya Circular Reasoning

Circular reasoning sering kali terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kesalahan logis ini dapat timbul karena berbagai faktor yang melibatkan keterbatasan logika individu, bias kognitif, dan pola pikir tertentu. Berikut adalah beberapa penyebab utama yang melatarbelakangi terjadinya circular reasoning:

5.1.       Kurangnya Pemahaman tentang Logika Formal

Banyak orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip logika formal sehingga mereka tidak menyadari bahwa argumen yang mereka buat bersifat melingkar.¹ Circular reasoning sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memisahkan premis dari kesimpulan atau oleh kurangnya alat analisis logis yang memadai.² Misalnya, dalam diskusi sehari-hari, seseorang mungkin menggunakan circular reasoning karena terbiasa menghubungkan dua ide yang serupa tanpa mengevaluasi keabsahan hubungan tersebut.³

5.2.       Bias Kognitif dan Keyakinan yang Mendalam

Bias kognitif, seperti confirmation bias, dapat mendorong seseorang untuk menerima argumen circular reasoning tanpa mempertanyakannya.⁴ Confirmation bias terjadi ketika individu mencari informasi yang mendukung keyakinan mereka, meskipun informasi tersebut tidak valid secara logis.⁵ Keyakinan yang mendalam, seperti keyakinan agama atau ideologi politik, sering kali memperkuat circular reasoning karena individu merasa tidak perlu mempertanyakan asumsi dasar yang mendukung keyakinan mereka.⁶

Sebagai contoh: "Ideologi ini benar karena itu adalah satu-satunya yang masuk akal, dan itu masuk akal karena ideologi ini benar." Pernyataan seperti ini sering digunakan untuk memperkuat kepercayaan tanpa bukti eksternal.⁷

5.3.       Kesalahan dalam Merumuskan Premis

Kesalahan dalam merumuskan premis adalah penyebab lain yang signifikan. Circular reasoning terjadi ketika premis dirumuskan sedemikian rupa sehingga kesimpulan sudah terkandung dalam premis itu sendiri.⁸ Dalam banyak kasus, kesalahan ini tidak disengaja tetapi terjadi karena individu tidak memisahkan antara apa yang perlu dibuktikan dengan apa yang diasumsikan sebagai benar.⁹

Misalnya, argumen "Hukum ini adil karena dibuat oleh pemerintah yang sah, dan pemerintah ini sah karena membuat hukum yang adil" menunjukkan bahwa premis dan kesimpulan saling tumpang tindih.¹⁰

5.4.       Ketergantungan pada Bukti yang Tidak Diuji

Circular reasoning juga dapat terjadi karena ketergantungan pada bukti yang tidak diuji atau diverifikasi secara independen.¹¹ Banyak argumen circular reasoning muncul dari keyakinan yang diterima begitu saja tanpa analisis kritis terhadap bukti pendukungnya.¹² Dalam diskusi ilmiah, ini bisa terjadi ketika penelitian menggunakan asumsi yang tidak diuji untuk mendukung hipotesis yang sama dengan asumsi tersebut.¹³

5.5.       Penggunaan Bahasa yang Berbelit-belit

Dalam beberapa kasus, circular reasoning terjadi karena penyajian argumen yang kompleks atau berbelit-belit. Penggunaan terminologi yang berbeda untuk menyatakan premis dan kesimpulan yang sama dapat membuat circular reasoning sulit dikenali.¹⁴ Teknik ini sering ditemukan dalam retorika politik dan iklan, di mana bahasa digunakan untuk menciptakan ilusi validitas logis.¹⁵

Sebagai contoh: "Kami adalah perusahaan terbaik karena pelanggan kami puas, dan pelanggan kami puas karena kami adalah perusahaan terbaik." Pernyataan ini menggunakan struktur yang melingkar, tetapi kompleksitas bahasanya dapat menyulitkan audiens untuk menyadarinya.¹⁶


Kesimpulan Sementara tentang Penyebab Circular Reasoning

Circular reasoning dapat terjadi karena berbagai faktor, mulai dari kurangnya pemahaman logika hingga pengaruh bias kognitif dan pola pikir tertentu. Memahami penyebab ini penting untuk membantu individu mengenali dan menghindari circular reasoning dalam argumen mereka sendiri maupun argumen orang lain. Pemahaman yang lebih baik tentang logika formal dan evaluasi kritis terhadap bukti dapat membantu mengurangi kecenderungan menggunakan circular reasoning.


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 160.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 52.

[3]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 92.

[4]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 71.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 97.

[6]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 62.

[7]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 110.

[8]                John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 84.

[9]                Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 28.

[10]             Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 36.

[11]             Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 162.

[12]             Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 46.

[13]             Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 489.

[14]             Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 39.

[15]             Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 30.

[16]             Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 99.


6.           Dampak Circular Reasoning

Circular reasoning, meskipun sering kali tidak disadari, memiliki dampak yang signifikan dalam berbagai konteks kehidupan, baik dalam diskusi sehari-hari, debat ilmiah, maupun pengambilan keputusan. Dampak ini dapat bersifat negatif, menghalangi penalaran yang logis, atau menciptakan ilusi validitas pada argumen yang sebenarnya cacat. Berikut adalah beberapa dampak utama dari circular reasoning:

6.1.       Menghambat Pengembangan Pengetahuan

Circular reasoning menghalangi proses berpikir kritis dan logis yang diperlukan untuk memperluas pengetahuan. Dalam diskusi ilmiah, circular reasoning dapat membuat argumen menjadi stagnan, karena tidak ada kemajuan logis yang dihasilkan dari argumen yang berputar pada asumsi awal.¹ Sebagai contoh, jika seorang ilmuwan menggunakan hasil hipotesis untuk membuktikan hipotesis itu sendiri, maka tidak ada landasan yang benar-benar dapat diuji.² Hal ini dapat menghambat inovasi dan penemuan baru karena argumen tidak memberikan bukti yang dapat diverifikasi.³

6.2.       Memperkuat Keyakinan yang Salah

Circular reasoning sering digunakan untuk memperkuat keyakinan yang tidak didasarkan pada bukti independen. Dalam konteks ini, argumen melingkar menciptakan ilusi validitas yang dapat memperkuat dogma atau ideologi tertentu tanpa memberikan dasar yang logis.⁴ Sebagai contoh: "Ideologi ini benar karena selalu berhasil, dan selalu berhasil karena benar." Argumen semacam ini dapat menyesatkan individu atau kelompok, membuat mereka mempertahankan keyakinan yang salah tanpa analisis kritis.⁵

6.3.       Menurunkan Kualitas Diskusi Publik

Circular reasoning sering ditemukan dalam debat politik dan sosial, di mana argumen melingkar digunakan untuk memengaruhi opini publik.⁶ Misalnya, dalam kampanye politik, seorang kandidat dapat mengklaim: "Saya adalah pemimpin terbaik karena saya selalu mendapatkan dukungan rakyat, dan rakyat mendukung saya karena saya pemimpin terbaik." Dalam hal ini, circular reasoning menciptakan kesan seolah-olah argumen tersebut valid, padahal hanya mengulang klaim tanpa bukti independen.⁷ Dampak jangka panjangnya adalah menurunnya kualitas diskusi publik karena argumen yang tidak rasional mendapatkan perhatian yang tidak semestinya.⁸

6.4.       Menyulitkan Evaluasi Logis dalam Kehidupan Sehari-Hari

Circular reasoning dapat menyebabkan individu atau kelompok kesulitan untuk mengevaluasi argumen secara logis. Hal ini terutama berlaku dalam konteks iklan dan pemasaran, di mana circular reasoning digunakan untuk menciptakan ilusi keunggulan produk.⁹ Misalnya: "Produk ini terbaik karena paling banyak terjual, dan paling banyak terjual karena terbaik." Circular reasoning semacam ini tidak hanya membingungkan konsumen, tetapi juga mendorong keputusan berdasarkan asumsi yang salah.¹⁰

6.5.       Menghambat Pemecahan Masalah yang Efektif

Dalam konteks pengambilan keputusan, circular reasoning dapat menghambat proses pemecahan masalah yang efektif karena tidak memberikan solusi yang berbasis data atau logika.¹¹ Ketika argumen melingkar digunakan untuk mempertahankan status quo, proses inovasi atau perubahan menjadi terhambat. Sebagai contoh, sebuah organisasi mungkin mengatakan: "Kami tidak perlu mengubah sistem ini karena sudah berjalan dengan baik, dan sistem ini berjalan dengan baik karena tidak perlu diubah." Argumen seperti ini menciptakan lingkaran yang menghalangi perbaikan atau pembaruan.¹²

6.6.       Ilusi Validitas dalam Retorika

Circular reasoning sering digunakan dalam retorika untuk menciptakan kesan bahwa argumen tersebut valid, meskipun sebenarnya tidak demikian. Dalam konteks ini, circular reasoning dapat digunakan sebagai alat manipulasi untuk membingungkan audiens.¹³ Misalnya, dalam diskusi agama, seseorang mungkin mengatakan: "Kepercayaan ini benar karena tradisi mendukungnya, dan tradisi itu benar karena berasal dari kepercayaan ini."¹⁴ Ilusi validitas semacam ini membuat individu sulit membedakan antara argumen yang logis dan manipulatif.¹⁵


Kesimpulan Sementara tentang Dampak Circular Reasoning

Circular reasoning memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama dalam memperkuat argumen yang tidak valid, menghambat pengembangan pengetahuan, dan menurunkan kualitas diskusi. Pemahaman yang lebih baik tentang logika dan kemampuan untuk mengenali circular reasoning dapat membantu individu membuat keputusan yang lebih rasional dan mendukung diskusi yang lebih konstruktif.


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 163.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 55.

[3]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 94.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 100.

[5]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 73.

[6]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 112.

[7]                John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 85.

[8]                Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 37.

[9]                Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 31.

[10]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 64.

[11]             Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 48.

[12]             Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 39.

[13]             Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 103.

[14]             Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 96.

[15]             Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 491.


7.           Circular Reasoning dan Etika dalam Berpikir

Circular reasoning tidak hanya menjadi permasalahan logis, tetapi juga menyentuh aspek etika dalam berpikir dan berargumen. Etika dalam berpikir mengacu pada kewajiban moral untuk memastikan bahwa argumen yang disampaikan didasarkan pada dasar yang valid, logis, dan adil. Circular reasoning melanggar prinsip ini karena cenderung menyesatkan audiens, memperkuat keyakinan yang tidak berdasar, dan mengabaikan pentingnya verifikasi independen. Berikut adalah analisis hubungan antara circular reasoning dan etika dalam berpikir.

7.1.       Circular Reasoning sebagai Pelanggaran terhadap Transparansi Argumen

Etika dalam berpikir menuntut transparansi dalam menyusun argumen, di mana premis dan kesimpulan harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Circular reasoning, dengan sifatnya yang melingkar, menyembunyikan hubungan logis yang sebenarnya tidak ada.¹ Hal ini sering kali dilakukan secara tidak sadar, tetapi dalam beberapa kasus, circular reasoning digunakan secara sengaja untuk menutupi kelemahan dalam argumen.² Misalnya, dalam konteks iklan, argumen seperti "Produk ini terbaik karena dipilih oleh banyak orang, dan banyak orang memilihnya karena ini produk terbaik" menciptakan ilusi validitas tanpa bukti yang sebenarnya.³

7.2.       Penggunaan Circular Reasoning untuk Manipulasi

Circular reasoning sering digunakan untuk memanipulasi audiens, terutama dalam konteks politik, agama, atau pemasaran. Dalam hal ini, pelaku circular reasoning melanggar etika berpikir karena argumen mereka tidak didasarkan pada kebenaran, tetapi pada upaya untuk mendapatkan dukungan atau persetujuan melalui cara yang tidak adil.⁴ Misalnya, seorang politisi mungkin mengatakan: "Kebijakan ini adalah yang terbaik karena didukung oleh mayoritas rakyat, dan mayoritas rakyat mendukungnya karena ini kebijakan terbaik." Pernyataan ini bukan hanya melingkar tetapi juga bertujuan untuk menghindari kritik substantif terhadap kebijakan tersebut.⁵

Manipulasi semacam ini dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang tidak rasional, terutama ketika audiens tidak memiliki keterampilan berpikir kritis untuk mengenali kesalahan logis ini.⁶

7.3.       Kewajiban Moral untuk Menghindari Circular Reasoning

Dalam konteks etika berpikir, setiap individu memiliki kewajiban moral untuk menghindari penggunaan circular reasoning, baik secara sadar maupun tidak sadar. Menurut pandangan filsuf Immanuel Kant, tindakan moral harus didasarkan pada prinsip universal yang dapat diterapkan tanpa kontradiksi.⁷ Circular reasoning melanggar prinsip ini karena gagal memberikan landasan universal yang dapat diverifikasi secara independen.⁸

Etika berpikir juga mencakup tanggung jawab untuk memastikan bahwa argumen yang disampaikan dapat diuji kebenarannya secara objektif. Douglas Walton menegaskan bahwa pemikir yang etis harus menghindari membangun argumen berdasarkan asumsi yang tidak diuji, karena hal ini merugikan audiens dan merendahkan standar intelektual dalam diskusi.⁹

7.4.       Circular Reasoning dan Penghormatan terhadap Akal Sehat

Etika berpikir melibatkan penghormatan terhadap akal sehat dan kemampuan intelektual audiens. Circular reasoning merendahkan akal sehat dengan memanfaatkan argumen yang tampak masuk akal tetapi sebenarnya kosong secara logis.¹⁰ Hal ini melanggar prinsip penghormatan terhadap audiens sebagai individu yang mampu berpikir secara rasional.¹¹ Dalam konteks pendidikan, misalnya, circular reasoning dalam penyampaian materi dapat menghambat perkembangan intelektual siswa dan memperkuat pola pikir yang tidak kritis.¹²

7.5.       Membangun Etika Berpikir yang Kritis dan Rasional

Menghindari circular reasoning adalah bagian penting dari membangun etika berpikir yang kritis dan rasional. Ini melibatkan:

·                     Pengakuan atas Kelemahan dalam Argumen:

Seseorang harus bersedia mengakui jika argumen mereka tidak memiliki dasar yang valid daripada mencoba menyembunyikannya melalui circular reasoning.¹³

·                     Pencarian Bukti yang Independen:

Bukti eksternal yang dapat diverifikasi harus menjadi dasar argumen, bukan sekadar pengulangan klaim yang sama.¹⁴

·                     Komitmen terhadap Kejujuran Intelektual:

Circular reasoning sering kali mencerminkan kurangnya kejujuran intelektual. Oleh karena itu, komitmen terhadap kebenaran harus menjadi prinsip utama dalam berpikir.¹⁵


Kesimpulan Sementara tentang Circular Reasoning dan Etika Berpikir

Circular reasoning bertentangan dengan prinsip dasar etika berpikir karena mengabaikan tanggung jawab moral untuk menyusun argumen yang logis dan jujur. Memahami dampak etis dari circular reasoning mendorong individu untuk lebih kritis dan bertanggung jawab dalam menyampaikan argumen. Etika berpikir yang kuat menciptakan lingkungan diskusi yang lebih sehat dan konstruktif, di mana kebenaran dan logika menjadi prioritas utama.


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 165.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 57.

[3]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 95.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 104.

[5]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 75.

[6]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 114.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, ed. and trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 31.

[8]                Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 40.

[9]                Ibid., 41.

[10]             Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 32.

[11]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1985), 89.

[12]             Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 105.

[13]             John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 86.

[14]             Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 97.

[15]             Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 493.


8.           Cara Menghindari Circular Reasoning

Menghindari circular reasoning memerlukan pemahaman yang baik tentang logika formal, kemampuan untuk mengevaluasi argumen secara kritis, serta komitmen terhadap kejujuran intelektual. Circular reasoning sering terjadi tanpa disadari, tetapi dengan teknik tertentu, kesalahan logis ini dapat diidentifikasi dan dihindari. Berikut adalah beberapa langkah utama untuk mencegah penggunaan circular reasoning:

8.1.       Memeriksa Hubungan antara Premis dan Kesimpulan

Langkah pertama untuk menghindari circular reasoning adalah memastikan bahwa premis memberikan alasan yang independen untuk mendukung kesimpulan.¹ Dalam argumen yang valid, premis dan kesimpulan harus saling terkait tetapi tidak saling mendukung secara melingkar.² Misalnya, dalam argumen "Hukum ini sah karena pemerintah membuatnya, dan pemerintah sah karena membuat hukum ini," premis dan kesimpulan saling menguatkan tanpa ada bukti independen.³ Untuk menghindari ini, tanyakan: "Apakah kesimpulan saya hanya mengulang premis saya dengan cara lain?"⁴

8.2.       Memastikan Premis dapat Diverifikasi Secara Independen

Premis yang digunakan dalam argumen harus dapat diverifikasi tanpa mengacu pada kesimpulan.⁵ Verifikasi independen adalah elemen kunci untuk membangun argumen yang kuat. Misalnya, dalam diskusi ilmiah, hipotesis harus diuji dengan data atau bukti yang berasal dari sumber eksternal, bukan dengan asumsi yang mendukung hipotesis itu sendiri.⁶ Douglas Walton menekankan pentingnya menggunakan bukti eksternal untuk memastikan bahwa premis memiliki dasar yang sah.⁷

8.3.       Menggunakan Metode Evaluasi Logis

Teknik evaluasi logis, seperti diagram argumen atau analisis premis-kesimpulan, dapat membantu mengidentifikasi circular reasoning.⁸ Diagram argumen memungkinkan seseorang untuk memetakan hubungan antara premis dan kesimpulan, sehingga lebih mudah melihat apakah hubungan tersebut melingkar.⁹ Trudy Govier menyarankan bahwa pemetaan visual ini sangat efektif untuk mendeteksi kesalahan logis dalam argumen yang kompleks.¹⁰

8.4.       Menghindari Asumsi yang Tidak Diuji

Circular reasoning sering kali muncul dari asumsi yang tidak diuji.¹¹ Untuk menghindarinya, evaluasi setiap asumsi yang mendasari argumen Anda.¹² Pertanyakan keabsahan asumsi tersebut dengan bertanya, "Apakah ini dapat dibuktikan tanpa mengacu pada kesimpulan?"¹³ Misalnya, dalam argumen "Buku ini benar karena ditulis oleh seorang ahli," penting untuk mengevaluasi apa yang mendefinisikan keahlian dan apakah itu dapat diverifikasi secara independen dari klaim yang dibuat dalam buku tersebut.¹⁴

8.5.       Meningkatkan Pemahaman tentang Logika Formal

Peningkatan pemahaman tentang prinsip-prinsip logika formal dapat membantu seseorang menghindari circular reasoning.¹⁵ Belajar mengenali pola-pola kesalahan logis, seperti petitio principii, memungkinkan individu untuk membangun argumen yang lebih kuat dan logis.¹⁶ Buku seperti Introduction to Logic karya Irving Copi dapat menjadi sumber yang berharga untuk mempelajari dasar-dasar logika formal.¹⁷

8.6.       Meminta Umpan Balik dari Pihak Ketiga

Diskusi dengan orang lain yang memiliki kemampuan berpikir kritis dapat membantu mengidentifikasi circular reasoning yang mungkin terlewatkan.¹⁸ Pihak ketiga sering kali dapat memberikan perspektif baru dan mengungkap hubungan melingkar antara premis dan kesimpulan yang sulit dilihat oleh penulis argumen itu sendiri.¹⁹

8.7.       Komitmen terhadap Kejujuran Intelektual

Akhirnya, menghindari circular reasoning memerlukan komitmen terhadap kejujuran intelektual.²⁰ Kejujuran intelektual berarti bersedia mengakui kelemahan dalam argumen dan mencari bukti yang valid daripada mencoba menyembunyikannya dalam argumen yang melingkar.²¹ Hal ini penting untuk membangun diskusi yang konstruktif dan berbasis pada kebenaran.²²


Kesimpulan Sementara tentang Cara Menghindari Circular Reasoning

Circular reasoning dapat dihindari dengan memeriksa hubungan premis dan kesimpulan, memastikan verifikasi independen, dan menggunakan metode evaluasi logis. Langkah-langkah ini, dikombinasikan dengan komitmen terhadap kejujuran intelektual, membantu individu menyusun argumen yang lebih valid dan berdampak. Dengan mengembangkan kebiasaan berpikir kritis, circular reasoning dapat diminimalkan dalam diskusi sehari-hari, debat ilmiah, maupun pengambilan keputusan.


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 167.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 59.

[3]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 96.

[4]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 77.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 106.

[6]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 66.

[7]                Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 43.

[8]                John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 87.

[9]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 98.

[10]             Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 108.

[11]             Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 168.

[12]             Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 61.

[13]             Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 99.

[14]             Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 34.

[15]             Aristotle, Prior Analytics, trans. Robin Smith (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1989), 50.

[16]             Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 45.

[17]             Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 169.

[18]             Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 109.

[19]             Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 47.

[20]             Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 79.

[21]             Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 116.

[22]             Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 100.


9.           Studi Kasus dan Analisis

Circular reasoning sering ditemukan dalam berbagai konteks kehidupan, seperti diskusi agama, politik, dan pemasaran. Studi kasus berikut menganalisis bagaimana circular reasoning muncul dalam situasi-situasi ini dan dampaknya terhadap logika serta pengambilan keputusan.

9.1.       Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Diskusi Agama

Kasus: Dalam beberapa argumen teologis, circular reasoning digunakan untuk membuktikan kebenaran kitab suci dengan mengacu pada klaim kitab itu sendiri. Contoh umum adalah:

·                     Argumen: "Kitab suci ini benar karena diilhami oleh Tuhan, dan kita tahu Tuhan ada karena kitab suci ini mengatakan demikian."

·                     Analisis: Dalam argumen ini, klaim tentang keberadaan Tuhan bergantung sepenuhnya pada validitas kitab suci, yang pada gilirannya didasarkan pada asumsi bahwa Tuhan mengilhami kitab tersebut.¹ Tidak ada bukti eksternal yang dapat diverifikasi secara independen untuk mendukung klaim tersebut, sehingga argumen ini menjadi lingkaran logis.²

·                     Dampak: Circular reasoning seperti ini dapat memperkuat keyakinan agama tanpa memberikan bukti objektif, yang sering kali menjadi penghalang bagi dialog interreligius yang produktif.³

9.2.       Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Politik

Kasus: Dalam kampanye politik, circular reasoning sering digunakan untuk memengaruhi opini publik. Contoh:

·                     Argumen: "Kandidat ini adalah pemimpin terbaik karena mendapatkan dukungan terbesar, dan mendapatkan dukungan terbesar karena dia adalah pemimpin terbaik."

·                     Analisis: Dalam argumen ini, popularitas kandidat dianggap sebagai bukti kualitas kepemimpinan tanpa memberikan bukti konkret tentang kemampuan kandidat.⁴ Popularitas, dalam konteks ini, digunakan sebagai indikator yang sah, meskipun tidak memberikan hubungan kausal yang valid.⁵

·                     Dampak: Circular reasoning semacam ini menciptakan ilusi validitas yang dapat menyesatkan pemilih dan mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif seperti kebijakan dan rekam jejak.⁶

9.3.       Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Pemasaran

Kasus: Iklan produk sering kali menggunakan circular reasoning untuk menciptakan persepsi kualitas. Contoh:

·                     Argumen: "Produk ini adalah pilihan terbaik karena paling populer, dan paling populer karena pilihan terbaik."

·                     Analisis: Dalam argumen ini, popularitas produk digunakan sebagai alasan untuk mengklaim kualitas tanpa menyediakan bukti objektif tentang kualitas produk itu sendiri.⁷ Circular reasoning ini sering kali diperkuat oleh iklan yang menampilkan testimoni konsumen, yang secara tidak langsung mengulangi klaim awal.⁸

·                     Dampak: Konsumen yang tidak kritis terhadap struktur logis argumen ini dapat terpengaruh untuk membuat keputusan pembelian berdasarkan ilusi validitas, bukan evaluasi faktual.⁹

9.4.       Studi Kasus: Circular Reasoning dalam Sains

Kasus: Dalam beberapa argumen ilmiah, circular reasoning muncul ketika asumsi dasar digunakan untuk membuktikan kesimpulan yang mendukung asumsi tersebut. Contoh:

·                     Argumen: "Teori ini benar karena data mendukungnya, dan data ini valid karena didasarkan pada teori tersebut."

·                     Analisis: Circular reasoning dalam konteks ini dapat terjadi ketika metodologi yang digunakan untuk mengumpulkan data didasarkan pada teori yang sama yang ingin dibuktikan.¹⁰ Meskipun ini jarang terjadi dalam penelitian ilmiah yang dirancang dengan baik, circular reasoning tetap dapat muncul dalam interpretasi data yang bias.¹¹

·                     Dampak: Circular reasoning dalam sains dapat melemahkan kredibilitas penelitian dan menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada validasi independen.¹²


Kesimpulan dari Studi Kasus

Circular reasoning muncul dalam berbagai konteks, dari diskusi agama hingga sains, karena argumen sering kali disusun tanpa memisahkan bukti independen dari klaim yang ingin dibuktikan. Dalam semua kasus ini, circular reasoning menciptakan ilusi validitas yang dapat memengaruhi keputusan dan keyakinan. Dengan mengenali pola-pola circular reasoning, individu dapat menghindari jebakan logis ini dan membuat argumen serta keputusan yang lebih kuat dan valid.


Catatan Kaki

[1]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 60.

[2]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 67.

[3]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 80.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 110.

[5]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 170.

[6]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 101.

[7]                Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 35.

[8]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 118.

[9]                Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 48.

[10]             Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 111.

[11]             Gerald J. Massey, "The Fallacy Behind Fallacies," Midwest Studies in Philosophy 6, no. 1 (1981): 495.

[12]             Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 62.


10.       Kesimpulan

Circular reasoning, atau penalaran melingkar, adalah salah satu bentuk kesalahan logis yang sering kali tidak disadari, tetapi memiliki dampak signifikan dalam berbagai konteks kehidupan. Sebagai argumen yang menggunakan kesimpulan untuk mendukung premis atau sebaliknya, circular reasoning melanggar prinsip dasar logika yang mengharuskan premis memberikan bukti independen terhadap kesimpulan.¹

10.1.    Pentingnya Memahami Circular Reasoning

Pemahaman tentang circular reasoning sangat penting karena kesalahan logis ini sering ditemukan dalam diskusi sehari-hari, debat publik, dan bahkan dalam argumen ilmiah.² Circular reasoning, meskipun tampak masuk akal pada pandangan pertama, tidak memberikan kontribusi yang sah terhadap validitas suatu argumen.³ Dalam banyak kasus, hal ini mengarah pada stagnasi logis dan penguatan keyakinan yang tidak berdasar.⁴ Dengan mengenali pola-pola circular reasoning, individu dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan logis mereka.⁵

10.2.    Dampak Circular Reasoning

Circular reasoning memiliki dampak negatif yang signifikan. Dalam diskusi agama, circular reasoning dapat memperkuat keyakinan yang tidak diverifikasi, yang sering kali menghambat dialog interreligius yang produktif.⁶ Dalam politik, circular reasoning menciptakan ilusi validitas yang dapat memengaruhi opini publik secara tidak adil.⁷ Dalam sains, kesalahan ini dapat menghambat pengembangan teori-teori baru karena kurangnya bukti independen untuk mendukung hipotesis.⁸ Circular reasoning juga merugikan konsumen dalam konteks pemasaran dengan menciptakan persepsi kualitas yang tidak didukung oleh data objektif.⁹

10.3.    Cara Menghindari Circular Reasoning

Untuk menghindari circular reasoning, penting untuk memeriksa hubungan antara premis dan kesimpulan, memastikan bahwa premis dapat diverifikasi secara independen, dan menggunakan metode evaluasi logis seperti diagram argumen.¹⁰ Selain itu, kejujuran intelektual memainkan peran penting dalam memastikan bahwa argumen tidak hanya bertujuan untuk memengaruhi audiens tetapi juga didasarkan pada kebenaran yang dapat diverifikasi.¹¹

10.4.    Circular Reasoning dan Etika Berpikir

Circular reasoning melibatkan aspek etika dalam berpikir, karena penggunaan kesalahan logis ini sering kali melibatkan manipulasi atau penyembunyian fakta.¹² Komitmen terhadap kejujuran intelektual dan transparansi dalam menyusun argumen adalah elemen kunci untuk memastikan bahwa diskusi didasarkan pada kebenaran, bukan hanya pada retorika yang tampak masuk akal tetapi sebenarnya kosong secara logis.¹³

10.5.    Ajakan untuk Berpikir Kritis

Circular reasoning dapat diatasi dengan komitmen terhadap berpikir kritis dan logis. Masyarakat yang sadar akan pentingnya logika formal dan mampu mengenali kesalahan logis seperti circular reasoning akan lebih mampu membuat keputusan yang rasional dan mendukung diskusi yang lebih produktif.¹⁴ Dengan memahami dampak dan cara menghindari circular reasoning, kita dapat menciptakan budaya diskusi yang lebih sehat, baik di ranah publik maupun akademik.


Kesimpulan Akhir

Circular reasoning adalah kesalahan logis yang tampaknya sederhana tetapi memiliki dampak luas. Memahami, mengenali, dan menghindari circular reasoning tidak hanya meningkatkan kualitas argumen tetapi juga memperkuat integritas intelektual individu. Sebagai salah satu pilar utama dalam berpikir logis, kemampuan untuk menghindari circular reasoning adalah bagian penting dari pendidikan kritis dan rasional yang bertujuan untuk mendorong dialog yang berbasis pada kebenaran dan validitas logis.


Catatan Kaki

[1]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 172.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 63.

[3]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 115.

[4]                Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 102.

[5]                Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 81.

[6]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard Popkin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 69.

[7]                Antony Flew, Thinking About Thinking: Or, Do I Sincerely Want to Be Right? (London: Fontana Press, 1975), 120.

[8]                Mark S. Aldenderfer dan Roger K. Blashfield, Cluster Analysis, 11th ed. (Newbury Park: Sage, 2007), 36.

[9]                Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (New York: Routledge, 2013), 49.

[10]             John Nolt, Logics, 3rd ed. (New York: Wadsworth Publishing, 2011), 88.

[11]             Nicholas Rescher, Cognitive Harmony (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2006), 104.

[12]             Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing, 2010), 116.

[13]             Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Routledge, 2014), 173.

[14]             Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (New York: Pearson, 2011), 83.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1989). Prior analytics (R. Smith, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company.

Copi, I. M., & Cohen, C. (2014). Introduction to logic (14th ed.). New York, NY: Routledge.

Flew, A. (1975). Thinking about thinking: Or, do I sincerely want to be right? London, UK: Fontana Press.

Govier, T. (2010). A practical study of argument (7th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Publishing.

Hume, D. (1998). Dialogues concerning natural religion (R. Popkin, Ed.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company.

Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Ed. & Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Massey, G. J. (1981). The fallacy behind fallacies. Midwest Studies in Philosophy, 6(1), 489–496. https://doi.org/10.1111/j.1475-4975.1981.tb00495.x

Nosich, G. M. (2011). Learning to think things through: A guide to critical thinking across the curriculum (4th ed.). New York, NY: Pearson.

Nolt, J. (2011). Logics (3rd ed.). New York, NY: Wadsworth Publishing.

Rescher, N. (2006). Cognitive harmony. Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press.

Walton, D. (2008). Informal logic: A pragmatic approach (2nd ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Walton, D. (2013). Argumentation schemes for presumptive reasoning. New York, NY: Routledge.

Aldenderfer, M. S., & Blashfield, R. K. (2007). Cluster analysis (11th ed.). Newbury Park, CA: Sage.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar