Realisme
Sebuah Pendekatan dalam
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Alihkan ke: Idealisme
Abstrak
Realisme adalah salah satu pendekatan utama dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan yang menekankan keberadaan realitas objektif yang
independen dari pikiran manusia. Artikel ini membahas konsep, sejarah, dan
perkembangan realisme dari pemikiran klasik hingga kontemporer, mencakup
cabang-cabang seperti realisme metafisik, epistemologis, ilmiah, seni, dan
politik. Selain itu, artikel ini membandingkan realisme dengan aliran lain
seperti idealisme, relativisme, dan konstruktivisme, serta mengidentifikasi kritik
dan tantangan yang dihadapinya. Aplikasi realisme dalam kehidupan nyata juga
dieksplorasi, termasuk perannya dalam pengambilan keputusan politik,
pengembangan ilmu pengetahuan, seni, dan dinamika sosial. Kesimpulannya,
realisme adalah pendekatan yang dinamis dan relevan, menyediakan kerangka kerja
untuk memahami dunia secara mendalam dan aplikatif, meskipun tetap menghadapi
kritik yang menuntut refleksi dan inovasi.
Kata Kunci: Realisme, filsafat, ilmu pengetahuan, metafisika,
epistemologi, realisme ilmiah, seni, politik, kritik terhadap realisme,
aplikasi realisme.
1.
Pendahuluan
Realisme adalah salah satu pendekatan utama yang
telah memengaruhi berbagai bidang keilmuan, termasuk filsafat, ilmu
pengetahuan, seni, dan politik. Secara umum, realisme menekankan keberadaan
realitas yang independen dari pikiran manusia, menyatakan bahwa dunia luar
memiliki keberadaan yang objektif dan dapat dipahami melalui pengalaman dan
rasionalitas manusia.¹ Pendekatan ini telah menjadi landasan penting dalam
memahami hubungan antara subjek dan objek, serta dalam membangun teori-teori
yang menggambarkan dunia sebagaimana adanya.
Dalam filsafat, realisme memiliki sejarah yang
panjang, dimulai dari pemikiran Plato dan Aristoteles, yang menekankan
keberadaan "ide" atau "substansi" sebagai
realitas objektif.² Namun, perkembangan realisme tidak berhenti di situ. Pada
abad pertengahan, Thomas Aquinas memadukan realisme Aristotelian dengan teologi
Kristen, memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hubungan antara Tuhan
dan dunia material.³ Dalam era modern, realisme berkembang dalam berbagai
cabang seperti metafisika, epistemologi, dan ontologi, memberikan pandangan
yang beragam tentang sifat realitas dan bagaimana manusia dapat memahaminya.
Selain dalam filsafat, realisme juga memainkan
peran kunci dalam ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, realisme ilmiah
berpendapat bahwa teori-teori ilmiah, meskipun bersifat sementara, bertujuan
untuk merepresentasikan dunia sebagaimana adanya, termasuk entitas yang tidak
dapat diamati secara langsung seperti atom atau gelombang elektromagnetik.⁴
Pandangan ini sering dikaitkan dengan filsuf seperti Roy Bhaskar, yang
memperkenalkan critical realism sebagai pendekatan untuk memahami
hubungan antara struktur sosial dan fenomena empiris.⁵
Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengeksplorasi
realisme secara menyeluruh, mencakup pengertian, sejarah, cabang-cabang, hingga
aplikasi praktisnya dalam berbagai bidang kehidupan. Melalui pembahasan ini,
pembaca diharapkan dapat memahami relevansi realisme sebagai kerangka berpikir
yang mendalam dan aplikatif.
Catatan Kaki
[1]
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and
Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1983), 8.
[2]
Plato, Republic, ed. and trans. Robin
Waterfield (Oxford: Oxford University Press, 1998), Book VII; Aristotle, Metaphysics,
trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan
Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), Book XII.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q12.a4.
[4]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 15.
[5]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 1975), 24.
2.
Pengertian
Realisme
Realisme adalah pendekatan filsafat yang menekankan
bahwa realitas memiliki keberadaan independen dari persepsi manusia. Dalam
pandangan ini, dunia luar tetap ada dan dapat diakses melalui pengalaman
manusia, terlepas dari apakah ia sedang diamati atau tidak.¹ Realisme sering
diposisikan sebagai kebalikan dari idealisme, yang menyatakan bahwa realitas
sepenuhnya bergantung pada pikiran atau persepsi subjek.
Dalam filsafat, istilah realisme memiliki berbagai
interpretasi yang bergantung pada konteksnya. Secara umum, realisme dapat
dibedakan menjadi tiga kategori utama: realisme metafisik, realisme
epistemologis, dan realisme ilmiah.² Realisme metafisik berfokus pada
klaim bahwa entitas-entitas tertentu memiliki keberadaan independen dari
pikiran atau bahasa manusia.³ Realisme epistemologis, di sisi lain,
berargumen bahwa pengetahuan manusia tentang dunia dapat dianggap akurat jika
sesuai dengan realitas objektif.⁴ Adapun realisme ilmiah mengklaim bahwa
teori-teori ilmiah bertujuan untuk menggambarkan dunia sebagaimana adanya,
termasuk entitas-entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti
partikel subatomik.⁵
Pengertian realisme juga meluas ke bidang-bidang
lain, seperti seni dan politik. Dalam seni, realisme merujuk pada upaya untuk
merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara akurat, tanpa idealisasi atau
romantisisme yang berlebihan.⁶ Dalam politik, realisme mengacu pada pandangan
bahwa hubungan antarnegara didasarkan pada kepentingan nasional dan kekuasaan, bukan
pada norma-norma moral atau idealisme.⁷
Dengan cakupan yang begitu luas, realisme bukan
hanya sebuah konsep abstrak tetapi juga kerangka berpikir yang memiliki
aplikasi praktis dalam memahami dunia. Penekanan pada realitas objektif
menjadikan realisme sebagai fondasi yang kuat dalam berbagai bidang, termasuk
filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan politik.
Catatan Kaki
[1]
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and
Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1983), 9.
[2]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary
Introduction (New York: Routledge, 2001), 24.
[3]
William Alston, "A Realist Conception of
Truth," in Truth, ed. Simon Blackburn and Keith Simmons (Oxford:
Oxford University Press, 1999), 45–47.
[4]
Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 55.
[5]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 18–21.
[6]
Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth:
Penguin Books, 1971), 7–10.
[7]
Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The
Struggle for Power and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 3.
3.
Sejarah dan Perkembangan Realisme
Realisme memiliki
sejarah yang panjang dan beragam, mencerminkan evolusi pemikiran manusia tentang realitas dan hubungan antara
subjek dan objek. Dari akar-akar filsafat Yunani kuno hingga penerapannya dalam
filsafat modern dan
kontemporer, realisme telah menjadi salah satu pendekatan utama dalam
menjelaskan dunia.
3.1.
Realisme dalam Filsafat Klasik
Pemikiran realisme
dapat ditelusuri kembali ke Plato dan Aristoteles, meskipun pendekatan keduanya
berbeda secara signifikan. Plato mengusulkan bahwa realitas sejati terletak
pada "dunia ide," yang bersifat abadi dan sempurna.¹
Sebaliknya, Aristoteles menekankan pentingnya dunia material sebagai dasar
keberadaan, dengan menyatakan bahwa substansi-substansi fisik memiliki realitas
objektif yang dapat dipahami melalui pengamatan dan analisis.² Pemikiran
Aristoteles menjadi landasan bagi perkembangan realisme metafisik yang
menekankan keberadaan independen dari entitas fisik.
3.2.
Realisme dalam Abad Pertengahan
Pada abad
pertengahan, realisme berkembang dalam konteks pemikiran skolastik yang
dipimpin oleh tokoh seperti Thomas Aquinas. Aquinas mengadaptasi realisme
Aristotelian ke dalam teologi Kristen, dengan menyatakan bahwa dunia material
merupakan refleksi dari kehendak Tuhan.³ Pemikiran ini mendukung gagasan bahwa dunia nyata dapat dijelaskan melalui
rasionalitas manusia dan wahyu ilahi. Pada masa ini, perdebatan tentang "universalia" (konsep-konsep umum)
menjadi pusat diskusi filsafat, dengan kaum realis berpendapat bahwa
universalia memiliki keberadaan independen.⁴
3.3.
Realisme dalam Era Modern
Realisme mengalami
transformasi signifikan selama era modern, ketika filsuf seperti René
Descartes, John Locke, dan David Hume mulai mengeksplorasi hubungan antara
pikiran dan dunia luar. John Locke, misalnya, mengusulkan teori realisme
empiris, di mana persepsi manusia dianggap sebagai cerminan dari realitas
objektif.⁵ Sementara itu, Immanuel Kant memperkenalkan pandangan kritis tentang
realisme, menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada fenomena yang
dapat diamati, sedangkan "dunia nyata" (noumena) tetap di luar
jangkauan pemahaman manusia.⁶
3.4.
Realisme dalam Filsafat Kontemporer
Pada abad ke-20,
realisme berkembang menjadi beberapa cabang yang lebih spesifik, seperti
realisme ilmiah dan realisme kritis. Realisme ilmiah berpendapat bahwa
teori-teori ilmiah bertujuan untuk merepresentasikan dunia sebagaimana adanya,
termasuk entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti partikel
subatomik.⁷ Di sisi lain, realisme kritis, yang dipelopori oleh Roy Bhaskar,
menggabungkan pendekatan ilmiah dengan analisis sosial untuk memahami
struktur-struktur mendasar yang membentuk fenomena empiris.⁸
Kesimpulan
Sejarah dan
perkembangan realisme menunjukkan bahwa pendekatan ini telah beradaptasi dengan
kebutuhan intelektual setiap zaman, menawarkan kerangka kerja untuk memahami
dunia secara mendalam. Dari filsafat Yunani hingga filsafat kontemporer,
realisme tetap relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang
realitas.
Catatan Kaki
[1]
Plato, Republic, ed. and trans. Robin
Waterfield (Oxford: Oxford University Press, 1998), Book VII.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton:
Princeton University Press, 1984), Book XII.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of
the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q12.a4.
[4]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and
Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 89–92.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1929), A235/B294.
[7]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth
(London: Routledge, 1999), 15–18.
[8]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 1975), 24–28.
4.
Cabang-Cabang Realisme
Realisme adalah
pendekatan yang melintasi berbagai bidang pemikiran, menghasilkan beragam cabang
dengan fokus dan aplikasi yang berbeda. Setiap cabang realisme memberikan
perspektif unik dalam memahami realitas, baik dalam filsafat, politik, seni,
maupun ilmu pengetahuan.
4.1.
Realisme Metafisik
Realisme metafisik menyatakan
bahwa entitas-entitas tertentu, seperti objek fisik, memiliki keberadaan yang
independen dari pikiran atau bahasa manusia.¹ Dalam filsafat klasik,
Aristoteles merupakan pelopor realisme metafisik, yang menganggap bahwa
substansi-substansi material adalah elemen dasar dari realitas.² Realisme
metafisik juga melibatkan klaim bahwa konsep-konsep umum (universalia)
memiliki keberadaan yang independen, yang menjadi inti dari perdebatan panjang
antara realisme dan nominalisme dalam filsafat abad pertengahan.³
4.2.
Realisme Epistemologis
Realisme
epistemologis berfokus pada hubungan antara pikiran manusia dan realitas
objektif. Menurut pandangan ini, pengetahuan manusia tentang dunia adalah
representasi yang akurat dari realitas luar, sejauh metode pengamatan dan
penalaran diterapkan dengan benar.⁴ Filsuf seperti John Locke menekankan bahwa
pengalaman indrawi adalah sumber utama pengetahuan, sementara David Hume
mengajukan kritik terhadap asumsi realisme epistemologis, khususnya dalam hal
kausalitas.⁵
4.3.
Realisme Ilmiah
Realisme ilmiah
mengklaim bahwa teori-teori ilmiah bertujuan untuk menggambarkan realitas
sebagaimana adanya, termasuk entitas-entitas yang tidak dapat diamati secara langsung
seperti atom, gelombang elektromagnetik, atau partikel subatomik.⁶ Pandangan
ini sering dikaitkan dengan filsuf seperti Stathis Psillos dan Hilary Putnam,
yang menyatakan bahwa keberhasilan prediktif dari teori-teori ilmiah
menunjukkan bahwa teori tersebut merepresentasikan aspek-aspek dunia yang
benar.⁷ Namun, realisme ilmiah sering menjadi subjek kritik, terutama dari
aliran anti-realis seperti konstruktivisme sosial dan instrumentalisme.⁸
4.4.
Realisme dalam Seni
Dalam seni, realisme
merujuk pada usaha untuk merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara akurat,
tanpa idealisasi atau penyimpangan emosional.⁹ Aliran realisme berkembang pesat
pada abad ke-19, dengan tokoh seperti Gustave Courbet dalam seni rupa dan Fyodor
Dostoevsky dalam sastra, yang fokus pada realitas sosial, politik, dan
ekonomi.¹⁰ Realisme dalam seni sering kali bertujuan untuk mengeksplorasi
isu-isu sosial secara kritis, menawarkan pandangan mendalam tentang kondisi
manusia.
4.5.
Realisme dalam Politik
Realisme politik
berakar pada pemikiran klasik, seperti karya Thucydides dan Machiavelli, yang
menekankan bahwa kekuasaan dan kepentingan nasional adalah pendorong utama
dalam hubungan antarnegara.¹¹ Dalam realisme modern, Hans Morgenthau
mengembangkan teori yang menyatakan bahwa perilaku negara didasarkan pada
rasionalitas dan kalkulasi kekuasaan.¹² Realisme struktural, yang dipopulerkan
oleh Kenneth Waltz, menambahkan dimensi sistemik, dengan fokus pada struktur
internasional sebagai faktor penentu utama dalam politik global.¹³
Kesimpulan
Cabang-cabang
realisme mencerminkan fleksibilitas pendekatan ini dalam memahami berbagai
aspek dunia. Dari metafisika hingga seni dan politik, realisme memberikan
kerangka kerja yang luas untuk menjelaskan realitas dengan cara yang relevan
dan aplikatif dalam berbagai disiplin ilmu.
Catatan Kaki
[1]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction
(New York: Routledge, 2001), 25.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The
Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton:
Princeton University Press, 1984), Book XII.
[3]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and
Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 92–95.
[4]
Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 40–45.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.
[6]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth
(London: Routledge, 1999), 18–20.
[7]
Hilary Putnam, Philosophy of Logic (New York:
Harper & Row, 1971), 68–70.
[8]
Larry Laudan, Progress and Its Problems: Towards a Theory of
Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977),
123–127.
[9]
Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin
Books, 1971), 5–7.
[10]
Fyodor Dostoevsky, Crime and Punishment, trans.
Constance Garnett (New York: Macmillan, 1914), Preface.
[11]
Thucydides, The History of the Peloponnesian War,
trans. Richard Crawley (London: J. M. Dent, 1910), Book I.
[12]
Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power
and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 3–5.
[13]
Kenneth Waltz, Theory of International Politics
(New York: McGraw-Hill, 1979), 79–82.
5.
Realisme vs Aliran Lain
Realisme tidak hanya
menjadi salah satu pendekatan utama dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, tetapi
juga sering dibandingkan dan dipertentangkan dengan berbagai aliran lain,
seperti idealisme, relativisme, dan konstruktivisme. Perdebatan ini
mencerminkan perbedaan mendasar dalam cara pandang terhadap realitas,
pengetahuan, dan hubungan antara subjek dan objek.
5.1.
Realisme vs Idealisme
Realisme dan
idealisme sering dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan. Realisme
menegaskan bahwa dunia memiliki keberadaan independen dari pikiran manusia,
sedangkan idealisme berpendapat bahwa realitas adalah konstruksi atau hasil
dari aktivitas mental.¹
Tokoh utama
idealisme, seperti George Berkeley, menolak gagasan bahwa objek memiliki
eksistensi terpisah dari persepsi manusia.² Dalam karyanya A
Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley
menyatakan bahwa "esse est percipi" (ada adalah untuk dipersepsi),
yang berarti bahwa sesuatu hanya ada sejauh ia diamati.³ Sebaliknya, realisme,
seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dan John Locke, berargumen bahwa
realitas bersifat objektif, terlepas dari pengamatan manusia.⁴ Perdebatan ini
berfokus pada pertanyaan mendasar: apakah realitas bergantung pada subjek atau
eksis secara mandiri?
5.2.
Realisme vs Relativisme
Relativisme
berpendapat bahwa kebenaran dan pengetahuan bersifat relatif terhadap konteks
budaya, bahasa, atau individu tertentu.⁵ Pandangan ini sering bertentangan
dengan realisme, yang menegaskan bahwa kebenaran adalah objektif dan independen
dari perspektif subyektif.⁶
Relativisme, yang
dipopulerkan oleh filsuf seperti Richard Rorty, mengkritik realisme sebagai
terlalu dogmatis dan tidak menghargai keragaman interpretasi realitas.⁷ Namun,
realis seperti Hilary Putnam membalas dengan menyatakan bahwa tanpa klaim
tentang realitas objektif, tidak ada dasar yang stabil untuk memahami dunia.⁸
Perdebatan ini terus menjadi isu sentral dalam filsafat kontemporer.
5.3.
Realisme vs Konstruktivisme
Konstruktivisme
menyatakan bahwa pengetahuan manusia adalah hasil dari konstruksi sosial atau
budaya, bukan cerminan langsung dari realitas objektif.⁹ Dalam sains,
konstruktivisme memandang teori-teori ilmiah sebagai hasil dari interaksi
sosial dan norma budaya, bukan representasi murni dari dunia.¹⁰
Realistis ilmiah,
seperti Stathis Psillos, menolak pandangan ini dengan berargumen bahwa
keberhasilan teori-teori ilmiah dalam memprediksi fenomena menunjukkan bahwa
teori tersebut memiliki dasar dalam realitas objektif.¹¹ Meskipun demikian,
konstruktivisme menawarkan wawasan penting tentang bagaimana konteks sosial dan
budaya memengaruhi produksi pengetahuan.
5.4.
Perdebatan Kontemporer
Dalam filsafat
kontemporer, perdebatan antara realisme dan aliran-aliran lain sering kali
menyentuh isu-isu yang lebih kompleks, seperti status entitas teoretis dalam
sains atau peran bahasa dalam membentuk realitas.¹² Filsuf seperti Roy Bhaskar
mencoba menjembatani perbedaan ini dengan memperkenalkan critical
realism, yang menggabungkan elemen-elemen dari realisme dan
konstruktivisme untuk memberikan penjelasan yang lebih holistik.¹³
Kesimpulan
Realisme memiliki
posisi unik dalam lanskap filsafat, sering kali menjadi tolok ukur bagi
pendekatan lain dalam memahami realitas. Perdebatan dengan idealisme,
relativisme, dan konstruktivisme mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh
realisme dalam mempertahankan klaimnya tentang realitas objektif. Namun,
perdebatan ini juga memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara
manusia dan dunia.
Catatan Kaki
[1]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction
(New York: Routledge, 2001), 27.
[2]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. David R. Wilkins (Dublin: E. Rhames, 1710), sec. 3.
[3]
Ibid.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 178.
[6]
Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 45–50.
[7]
Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature,
180.
[8]
Putnam, Reason, Truth, and History, 52.
[9]
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 2.
[10]
Karin Knorr-Cetina, The Manufacture of Knowledge: An Essay on the
Constructivist and Contextual Nature of Science (Oxford: Pergamon
Press, 1981), 5–7.
[11]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth
(London: Routledge, 1999), 22–25.
[12]
Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 60–62.
[13]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 1975), 34–36.
6. Aplikasi Realisme dalam Kehidupan Nyata
Realisme tidak hanya
berdiri sebagai konsep teoretis tetapi juga memiliki berbagai aplikasi dalam
kehidupan nyata. Pendekatan ini memberikan kerangka kerja praktis untuk
memahami, menganalisis, dan menyelesaikan tantangan dalam berbagai bidang,
termasuk politik, ilmu pengetahuan, seni, dan dinamika sosial. Dengan berfokus
pada realitas objektif, realisme menawarkan cara berpikir yang relevan dan
aplikatif dalam menghadapi dunia yang kompleks.
6.1.
Realisme dalam Pengambilan Keputusan Politik
Dalam bidang
politik, realisme menjadi landasan bagi strategi hubungan internasional.
Pendekatan ini berfokus pada kepentingan nasional dan keseimbangan kekuasaan,
bukan pada idealisme atau moralitas.¹ Misalnya, realisme politik yang
dipopulerkan oleh Hans Morgenthau menyatakan bahwa negara bertindak berdasarkan
prinsip "kekuasaan demi kelangsungan hidup."² Contoh konkret
aplikasi realisme terlihat dalam kebijakan luar negeri negara-negara besar,
yang sering kali memprioritaskan kepentingan nasional di atas altruisme.³ Dalam
konteks modern, teori realisme struktural yang dikemukakan Kenneth Waltz
menjelaskan bagaimana sistem internasional yang anarki membentuk perilaku negara-negara
dalam mencapai stabilitas.⁴
6.2.
Realisme dalam Ilmu Pengetahuan
Realisme ilmiah
memainkan peran penting dalam pengembangan teknologi dan pemahaman ilmiah.
Pendekatan ini berpendapat bahwa teori-teori ilmiah yang berhasil tidak hanya
merupakan alat prediktif, tetapi juga representasi yang mendekati kebenaran
dari dunia nyata.⁵ Contohnya adalah kemajuan dalam fisika partikel, di mana
teori tentang keberadaan quark dan gluon, meskipun tidak dapat diamati secara
langsung, telah terbukti akurat dalam eksperimen dan aplikasi teknologi.⁶
Selain itu, realisme ilmiah mendorong keberlanjutan eksplorasi ilmiah dengan
keyakinan bahwa ada kebenaran objektif yang dapat ditemukan melalui
penelitian.⁷
6.3.
Realisme dalam Seni dan Budaya
Dalam seni, realisme
digunakan untuk merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara autentik, sering
kali untuk mengkritik ketidakadilan sosial atau mencerminkan realitas sosial
tertentu. Aliran seni realisme abad ke-19, seperti karya-karya Gustave Courbet,
bertujuan untuk merepresentasikan kehidupan kelas pekerja dan petani yang
sebelumnya jarang dilihat dalam seni tinggi.⁸ Dalam sastra, novel-novel
realisme karya penulis seperti Leo Tolstoy dan Charles Dickens menggambarkan
kompleksitas kehidupan manusia dengan fokus pada konflik sosial dan moral.⁹
Pendekatan ini memberikan wawasan yang kaya tentang kehidupan manusia,
menjadikannya alat penting untuk perubahan sosial dan kesadaran budaya.
6.4.
Realisme dalam Dinamika Sosial
Realisme juga
diterapkan dalam memahami dinamika sosial, khususnya dalam studi tentang
struktur sosial dan ekonomi. Pendekatan critical realism, yang
diperkenalkan oleh Roy Bhaskar, digunakan untuk menganalisis bagaimana
struktur-struktur mendasar dalam masyarakat, seperti kelas atau institusi
ekonomi, memengaruhi perilaku individu.¹⁰ Dengan memahami realitas objektif
dari struktur-struktur ini, kebijakan sosial dapat dirancang untuk menangani
ketidakadilan dan ketimpangan secara efektif.¹¹
Kesimpulan
Aplikasi realisme
dalam kehidupan nyata menunjukkan relevansinya dalam berbagai konteks praktis.
Dari politik hingga seni, realisme memberikan kerangka kerja untuk memahami dan
berinteraksi dengan dunia secara objektif. Dengan demikian, realisme tidak
hanya menjadi dasar teoritis tetapi juga alat untuk memecahkan tantangan nyata
dalam kehidupan manusia.
Catatan Kaki
[1]
Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power
and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 4.
[2]
Ibid., 5–7.
[3]
Kenneth Waltz, Theory of International Politics
(New York: McGraw-Hill, 1979), 88–90.
[4]
Ibid., 91–95.
[5]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth
(London: Routledge, 1999), 22.
[6]
James T. Cushing, Philosophical Concepts in Physics: The
Historical Relation Between Philosophy and Scientific Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 120.
[7]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 1975), 36–38.
[8]
Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin
Books, 1971), 12–15.
[9]
Leo Tolstoy, War and Peace, trans. Louise and
Aylmer Maude (Oxford: Oxford University Press, 2010), Introduction.
[10]
Roy Bhaskar, The Possibility of Naturalism: A Philosophical
Critique of the Contemporary Human Sciences (London: Routledge,
1979), 57.
[11]
Ibid., 58–60.
6.
Aplikasi Realisme dalam Kehidupan Nyata
Realisme tidak hanya
berdiri sebagai konsep teoretis tetapi juga memiliki berbagai aplikasi dalam
kehidupan nyata. Pendekatan ini memberikan kerangka kerja praktis untuk
memahami, menganalisis, dan menyelesaikan tantangan dalam berbagai bidang,
termasuk politik, ilmu pengetahuan, seni, dan dinamika sosial. Dengan berfokus
pada realitas objektif, realisme menawarkan cara berpikir yang relevan dan
aplikatif dalam menghadapi dunia yang kompleks.
6.1.
Realisme dalam Pengambilan Keputusan Politik
Dalam bidang
politik, realisme menjadi landasan bagi strategi hubungan internasional.
Pendekatan ini berfokus pada kepentingan nasional dan keseimbangan kekuasaan,
bukan pada idealisme atau moralitas.¹ Misalnya, realisme politik yang dipopulerkan
oleh Hans Morgenthau menyatakan bahwa negara bertindak berdasarkan prinsip
"kekuasaan demi kelangsungan hidup."² Contoh konkret aplikasi
realisme terlihat dalam kebijakan luar negeri negara-negara besar, yang sering
kali memprioritaskan kepentingan nasional di atas altruisme.³ Dalam konteks
modern, teori realisme struktural yang dikemukakan Kenneth Waltz menjelaskan
bagaimana sistem internasional yang anarki membentuk perilaku negara-negara
dalam mencapai stabilitas.⁴
6.2.
Realisme dalam Ilmu Pengetahuan
Realisme ilmiah
memainkan peran penting dalam pengembangan teknologi dan pemahaman ilmiah.
Pendekatan ini berpendapat bahwa teori-teori ilmiah yang berhasil tidak hanya
merupakan alat prediktif, tetapi juga representasi yang mendekati kebenaran
dari dunia nyata.⁵ Contohnya adalah kemajuan dalam fisika partikel, di mana
teori tentang keberadaan quark dan gluon, meskipun tidak dapat diamati secara
langsung, telah terbukti akurat dalam eksperimen dan aplikasi teknologi.⁶
Selain itu, realisme ilmiah mendorong keberlanjutan eksplorasi ilmiah dengan
keyakinan bahwa ada kebenaran objektif yang dapat ditemukan melalui
penelitian.⁷
6.3.
Realisme dalam Seni dan Budaya
Dalam seni, realisme
digunakan untuk merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara autentik, sering
kali untuk mengkritik ketidakadilan sosial atau mencerminkan realitas sosial
tertentu. Aliran seni realisme abad ke-19, seperti karya-karya Gustave Courbet,
bertujuan untuk merepresentasikan kehidupan kelas pekerja dan petani yang
sebelumnya jarang dilihat dalam seni tinggi.⁸ Dalam sastra, novel-novel
realisme karya penulis seperti Leo Tolstoy dan Charles Dickens menggambarkan
kompleksitas kehidupan manusia dengan fokus pada konflik sosial dan moral.⁹
Pendekatan ini memberikan wawasan yang kaya tentang kehidupan manusia,
menjadikannya alat penting untuk perubahan sosial dan kesadaran budaya.
6.4.
Realisme dalam Dinamika Sosial
Realisme juga
diterapkan dalam memahami dinamika sosial, khususnya dalam studi tentang
struktur sosial dan ekonomi. Pendekatan critical realism, yang
diperkenalkan oleh Roy Bhaskar, digunakan untuk menganalisis bagaimana
struktur-struktur mendasar dalam masyarakat, seperti kelas atau institusi
ekonomi, memengaruhi perilaku individu.¹⁰ Dengan memahami realitas objektif
dari struktur-struktur ini, kebijakan sosial dapat dirancang untuk menangani
ketidakadilan dan ketimpangan secara efektif.¹¹
Kesimpulan
Aplikasi realisme
dalam kehidupan nyata menunjukkan relevansinya dalam berbagai konteks praktis.
Dari politik hingga seni, realisme memberikan kerangka kerja untuk memahami dan
berinteraksi dengan dunia secara objektif. Dengan demikian, realisme tidak
hanya menjadi dasar teoritis tetapi juga alat untuk memecahkan tantangan nyata
dalam kehidupan manusia.
Catatan Kaki
[1]
Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power
and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 4.
[2]
Ibid., 5–7.
[3]
Kenneth Waltz, Theory of International Politics
(New York: McGraw-Hill, 1979), 88–90.
[4]
Ibid., 91–95.
[5]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth
(London: Routledge, 1999), 22.
[6]
James T. Cushing, Philosophical Concepts in Physics: The
Historical Relation Between Philosophy and Scientific Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 120.
[7]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 1975), 36–38.
[8]
Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin
Books, 1971), 12–15.
[9]
Leo Tolstoy, War and Peace, trans. Louise and
Aylmer Maude (Oxford: Oxford University Press, 2010), Introduction.
[10]
Roy Bhaskar, The Possibility of Naturalism: A Philosophical
Critique of the Contemporary Human Sciences (London: Routledge,
1979), 57.
[11]
Ibid., 58–60.
7.
Kritik dan Tantangan Terhadap Realisme
Meskipun realisme
memiliki pengaruh besar dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan bidang lainnya,
pendekatan ini tidak luput dari kritik. Berbagai aliran filsafat, seperti
idealisme, relativisme, konstruktivisme, dan postmodernisme, telah mengajukan
tantangan mendasar terhadap asumsi dan klaim realisme. Kritik ini mencerminkan
kompleksitas dalam memahami hubungan antara manusia dan realitas.
7.1.
Kritik dari Idealisme
Idelaisme, terutama
dalam tradisi George Berkeley, menolak klaim bahwa realitas objektif dapat
eksis secara independen dari persepsi manusia.¹ Dalam karyanya A
Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley
menyatakan bahwa semua yang ada tergantung pada persepsi (esse est
percipi).² Pandangan ini bertentangan dengan realisme yang mengasumsikan
keberadaan realitas independen, dengan menyatakan bahwa keberadaan objektif
tidak mungkin diverifikasi tanpa persepsi subjek. Kritik ini menimbulkan
pertanyaan filosofis mendalam tentang sifat hubungan antara subjek dan objek.
7.2.
Tantangan dari Relativisme
Relativisme,
terutama seperti yang diajukan oleh Richard Rorty, menekankan bahwa kebenaran
adalah produk dari konteks budaya atau bahasa tertentu, bukan cerminan dari
realitas objektif.³ Dalam Philosophy and the Mirror of Nature,
Rorty mengkritik realisme sebagai "cermin" yang tidak dapat mewakili
realitas dengan sempurna.⁴ Relativisme menantang klaim realisme tentang
kebenaran universal, dengan menyatakan bahwa pengetahuan selalu bergantung pada
perspektif tertentu.⁵
7.3.
Kritik dari Konstruktivisme
Konstruktivisme
sosial, seperti yang diajukan oleh Karin Knorr-Cetina, berpendapat bahwa
fakta-fakta ilmiah bukanlah representasi objektif dari dunia, melainkan hasil
dari proses sosial dan negosiasi di dalam komunitas ilmiah.⁶ Dalam pandangan
ini, realisme gagal memperhitungkan peran konstruksi sosial dalam pembentukan
pengetahuan.⁷ Kritik ini terutama relevan dalam konteks sains, di mana peran
eksperimen dan interpretasi sering kali melibatkan unsur subjektivitas.
7.4.
Kritik dari Postmodernisme
Postmodernisme, yang
sering diasosiasikan dengan tokoh seperti Jean-François Lyotard, mengkritik
klaim realisme sebagai upaya untuk mendominasi narasi kebenaran.⁸ Dalam The
Postmodern Condition, Lyotard menekankan bahwa tidak ada "kebenaran
besar" yang dapat mewakili semua realitas, melainkan hanya
narasi-narasi kecil yang bersifat parsial dan lokal.⁹ Kritik ini menantang
klaim universalitas yang sering diasosiasikan dengan realisme, terutama dalam
konteks politik dan budaya.
7.5.
Tantangan dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam ilmu
pengetahuan, kritik terhadap realisme sering kali datang dari aliran
instrumentalisme, yang menyatakan bahwa teori ilmiah tidak perlu
merepresentasikan realitas tetapi cukup berfungsi sebagai alat untuk
memprediksi fenomena.¹⁰ Larry Laudan, misalnya, menunjukkan bahwa banyak teori
ilmiah yang dianggap benar pada masanya telah terbukti salah di kemudian hari, sehingga
menggoyahkan klaim realisme tentang keberadaan objektif dari entitas
teoretis.¹¹
Kesimpulan
Kritik dan tantangan
terhadap realisme menunjukkan bahwa pendekatan ini, meskipun kuat, tidak bebas
dari keterbatasan. Kritik dari idealisme, relativisme, konstruktivisme, dan
postmodernisme mengungkapkan kompleksitas dalam memahami realitas dan hubungan
manusia dengannya. Perdebatan ini tidak hanya memperkaya wacana filsafat tetapi
juga mendorong realisme untuk terus merefleksikan dan memperbarui
asumsi-asumsinya.
Catatan Kaki
[1]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. David R. Wilkins (Dublin: E. Rhames, 1710), sec. 3.
[2]
Ibid.
[3]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 178.
[4]
Ibid., 180–183.
[5]
Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 50–55.
[6]
Karin Knorr-Cetina, The Manufacture of Knowledge: An Essay on the
Constructivist and Contextual Nature of Science (Oxford: Pergamon
Press, 1981), 10–12.
[7]
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 24.
[8]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984), xxiii.
[9]
Ibid., xxiv.
[10]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford:
Clarendon Press, 1980), 12–14.
[11]
Larry Laudan, Progress and Its Problems: Towards a Theory of
Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977),
123–125.
8.
Kesimpulan
Realisme adalah salah satu pendekatan yang paling
penting dan berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, menawarkan kerangka kerja untuk memahami realitas objektif yang
independen dari pikiran manusia. Dengan sejarah panjang yang mencakup pemikiran
filsuf klasik seperti Aristoteles hingga perkembangan kontemporer seperti
realisme ilmiah dan critical realism, realisme telah memainkan peran
sentral dalam membentuk cara manusia memandang dunia dan tempat mereka di
dalamnya.¹
Sebagai pendekatan, realisme memberikan kontribusi
signifikan dalam berbagai bidang. Dalam filsafat, realisme metafisik dan
epistemologis menyediakan dasar untuk memahami hubungan antara subjek dan
objek, serta antara pikiran dan realitas.² Dalam ilmu pengetahuan, realisme
ilmiah mendukung keyakinan bahwa teori-teori ilmiah, meskipun bersifat sementara, memberikan gambaran yang mendekati
kebenaran tentang dunia nyata.³ Dalam politik, realisme menawarkan pandangan
pragmatis tentang hubungan antarnegara, menekankan pentingnya kekuasaan dan
kepentingan nasional.⁴ Sementara itu, dalam seni dan budaya, aliran realisme
menghadirkan representasi autentik dari kehidupan sehari-hari, yang sering kali
digunakan untuk mengeksplorasi isu-isu sosial dan politik.⁵
Namun, seperti pendekatan lainnya, realisme tidak
bebas dari kritik dan tantangan. Idealisme, relativisme, konstruktivisme, dan
postmodernisme telah menunjukkan bahwa klaim realisme tentang realitas objektif
tidak selalu mudah untuk diverifikasi atau diterima secara universal.⁶ Kritik
ini telah mendorong perkembangan pendekatan baru seperti critical realism,
yang mencoba menjembatani kesenjangan antara realitas objektif dan perspektif
subyektif.⁷
Dalam konteks kehidupan nyata, realisme tetap
relevan sebagai kerangka berpikir yang memungkinkan manusia untuk menghadapi
kompleksitas dunia modern. Dengan memberikan dasar untuk pengambilan keputusan
politik, pengembangan ilmu pengetahuan, dan eksplorasi seni, realisme
menunjukkan fleksibilitas dan aplikabilitasnya di berbagai bidang.⁸
Kesimpulannya, realisme adalah pendekatan yang
dinamis dan komprehensif, yang terus beradaptasi dengan tantangan intelektual
dan praktis dari zaman ke zaman. Dengan sejarah yang kaya dan relevansi yang
luas, realisme tidak hanya
menyediakan dasar filosofis untuk memahami dunia tetapi juga alat praktis untuk
menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata.
Catatan Kaki
[1]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary
Introduction (New York: Routledge, 2001), 27.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press,
1975), II.xxi.
[3]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science
Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 18–20.
[4]
Kenneth Waltz, Theory of International Politics
(New York: McGraw-Hill, 1979), 89.
[5]
Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth:
Penguin Books, 1971), 10.
[6]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 180–183.
[7]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science
(London: Routledge, 1975), 36–38.
[8]
Ian Hacking, The Social Construction of What?
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 5.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1984). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). In J. Barnes (Ed.), The complete works of Aristotle (Book XII).
Princeton University Press.
Berkeley, G. (1710). A treatise concerning the
principles of human knowledge (D. R. Wilkins, Ed.). E. Rhames.
Bhaskar, R. (1975). A realist theory of science.
Routledge.
Bhaskar, R. (1979). The possibility of
naturalism: A philosophical critique of the contemporary human sciences. Routledge.
Cushing, J. T. (1998). Philosophical concepts in
physics: The historical relation between philosophy and scientific theories.
Cambridge University Press.
Hacking, I. (1983). Representing and intervening.
Cambridge University Press.
Hacking, I. (1999). The social construction of
what? Harvard University Press.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). St. Martin’s Press.
Knorr-Cetina, K. (1981). The manufacture of
knowledge: An essay on the constructivist and contextual nature of science.
Pergamon Press.
Laudan, L. (1977). Progress and its problems:
Towards a theory of scientific growth. University of California Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press.
Loux, M. J. (2001). Metaphysics: A contemporary
introduction. Routledge.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An
historical and philosophical introduction. Routledge.
Morgenthau, H. J. (1948). Politics among
nations: The struggle for power and peace. Alfred A. Knopf.
Nochlin, L. (1971). Realism. Penguin Books.
Plato. (1998). Republic (R. Waterfield, Ed.
& Trans.). Oxford University Press.
Psillos, S. (1999). Scientific realism: How
science tracks truth. Routledge.
Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history.
Cambridge University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Tolstoy, L. (2010). War and peace (L. Maude
& A. Maude, Trans.). Oxford University Press.
Waltz, K. (1979). Theory of international
politics. McGraw-Hill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar