Jumat, 10 Januari 2025

Realisme: Sebuah Pendekatan dalam Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Realisme

Sebuah Pendekatan dalam Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


Alihkan ke: Idealisme


Abstrak

Realisme adalah salah satu pendekatan utama dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang menekankan keberadaan realitas objektif yang independen dari pikiran manusia. Artikel ini membahas konsep, sejarah, dan perkembangan realisme dari pemikiran klasik hingga kontemporer, mencakup cabang-cabang seperti realisme metafisik, epistemologis, ilmiah, seni, dan politik. Selain itu, artikel ini membandingkan realisme dengan aliran lain seperti idealisme, relativisme, dan konstruktivisme, serta mengidentifikasi kritik dan tantangan yang dihadapinya. Aplikasi realisme dalam kehidupan nyata juga dieksplorasi, termasuk perannya dalam pengambilan keputusan politik, pengembangan ilmu pengetahuan, seni, dan dinamika sosial. Kesimpulannya, realisme adalah pendekatan yang dinamis dan relevan, menyediakan kerangka kerja untuk memahami dunia secara mendalam dan aplikatif, meskipun tetap menghadapi kritik yang menuntut refleksi dan inovasi.

Kata Kunci: Realisme, filsafat, ilmu pengetahuan, metafisika, epistemologi, realisme ilmiah, seni, politik, kritik terhadap realisme, aplikasi realisme.


1.           Pendahuluan

Realisme adalah salah satu pendekatan utama yang telah memengaruhi berbagai bidang keilmuan, termasuk filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan politik. Secara umum, realisme menekankan keberadaan realitas yang independen dari pikiran manusia, menyatakan bahwa dunia luar memiliki keberadaan yang objektif dan dapat dipahami melalui pengalaman dan rasionalitas manusia.¹ Pendekatan ini telah menjadi landasan penting dalam memahami hubungan antara subjek dan objek, serta dalam membangun teori-teori yang menggambarkan dunia sebagaimana adanya.

Dalam filsafat, realisme memiliki sejarah yang panjang, dimulai dari pemikiran Plato dan Aristoteles, yang menekankan keberadaan "ide" atau "substansi" sebagai realitas objektif.² Namun, perkembangan realisme tidak berhenti di situ. Pada abad pertengahan, Thomas Aquinas memadukan realisme Aristotelian dengan teologi Kristen, memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hubungan antara Tuhan dan dunia material.³ Dalam era modern, realisme berkembang dalam berbagai cabang seperti metafisika, epistemologi, dan ontologi, memberikan pandangan yang beragam tentang sifat realitas dan bagaimana manusia dapat memahaminya.

Selain dalam filsafat, realisme juga memainkan peran kunci dalam ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, realisme ilmiah berpendapat bahwa teori-teori ilmiah, meskipun bersifat sementara, bertujuan untuk merepresentasikan dunia sebagaimana adanya, termasuk entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti atom atau gelombang elektromagnetik.⁴ Pandangan ini sering dikaitkan dengan filsuf seperti Roy Bhaskar, yang memperkenalkan critical realism sebagai pendekatan untuk memahami hubungan antara struktur sosial dan fenomena empiris.⁵

Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengeksplorasi realisme secara menyeluruh, mencakup pengertian, sejarah, cabang-cabang, hingga aplikasi praktisnya dalam berbagai bidang kehidupan. Melalui pembahasan ini, pembaca diharapkan dapat memahami relevansi realisme sebagai kerangka berpikir yang mendalam dan aplikatif.


Catatan Kaki

[1]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 8.

[2]                Plato, Republic, ed. and trans. Robin Waterfield (Oxford: Oxford University Press, 1998), Book VII; Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), Book XII.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q12.a4.

[4]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 15.

[5]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 1975), 24.


2.           Pengertian Realisme

Realisme adalah pendekatan filsafat yang menekankan bahwa realitas memiliki keberadaan independen dari persepsi manusia. Dalam pandangan ini, dunia luar tetap ada dan dapat diakses melalui pengalaman manusia, terlepas dari apakah ia sedang diamati atau tidak.¹ Realisme sering diposisikan sebagai kebalikan dari idealisme, yang menyatakan bahwa realitas sepenuhnya bergantung pada pikiran atau persepsi subjek.

Dalam filsafat, istilah realisme memiliki berbagai interpretasi yang bergantung pada konteksnya. Secara umum, realisme dapat dibedakan menjadi tiga kategori utama: realisme metafisik, realisme epistemologis, dan realisme ilmiah.² Realisme metafisik berfokus pada klaim bahwa entitas-entitas tertentu memiliki keberadaan independen dari pikiran atau bahasa manusia.³ Realisme epistemologis, di sisi lain, berargumen bahwa pengetahuan manusia tentang dunia dapat dianggap akurat jika sesuai dengan realitas objektif.⁴ Adapun realisme ilmiah mengklaim bahwa teori-teori ilmiah bertujuan untuk menggambarkan dunia sebagaimana adanya, termasuk entitas-entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti partikel subatomik.⁵

Pengertian realisme juga meluas ke bidang-bidang lain, seperti seni dan politik. Dalam seni, realisme merujuk pada upaya untuk merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara akurat, tanpa idealisasi atau romantisisme yang berlebihan.⁶ Dalam politik, realisme mengacu pada pandangan bahwa hubungan antarnegara didasarkan pada kepentingan nasional dan kekuasaan, bukan pada norma-norma moral atau idealisme.⁷

Dengan cakupan yang begitu luas, realisme bukan hanya sebuah konsep abstrak tetapi juga kerangka berpikir yang memiliki aplikasi praktis dalam memahami dunia. Penekanan pada realitas objektif menjadikan realisme sebagai fondasi yang kuat dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan politik.


Catatan Kaki

[1]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 9.

[2]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 2001), 24.

[3]                William Alston, "A Realist Conception of Truth," in Truth, ed. Simon Blackburn and Keith Simmons (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45–47.

[4]                Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 55.

[5]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 18–21.

[6]                Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin Books, 1971), 7–10.

[7]                Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 3.


3.           Sejarah dan Perkembangan Realisme

Realisme memiliki sejarah yang panjang dan beragam, mencerminkan evolusi pemikiran manusia tentang realitas dan hubungan antara subjek dan objek. Dari akar-akar filsafat Yunani kuno hingga penerapannya dalam filsafat modern dan kontemporer, realisme telah menjadi salah satu pendekatan utama dalam menjelaskan dunia.

3.1.       Realisme dalam Filsafat Klasik

Pemikiran realisme dapat ditelusuri kembali ke Plato dan Aristoteles, meskipun pendekatan keduanya berbeda secara signifikan. Plato mengusulkan bahwa realitas sejati terletak pada "dunia ide," yang bersifat abadi dan sempurna.¹ Sebaliknya, Aristoteles menekankan pentingnya dunia material sebagai dasar keberadaan, dengan menyatakan bahwa substansi-substansi fisik memiliki realitas objektif yang dapat dipahami melalui pengamatan dan analisis.² Pemikiran Aristoteles menjadi landasan bagi perkembangan realisme metafisik yang menekankan keberadaan independen dari entitas fisik.

3.2.       Realisme dalam Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan, realisme berkembang dalam konteks pemikiran skolastik yang dipimpin oleh tokoh seperti Thomas Aquinas. Aquinas mengadaptasi realisme Aristotelian ke dalam teologi Kristen, dengan menyatakan bahwa dunia material merupakan refleksi dari kehendak Tuhan.³ Pemikiran ini mendukung gagasan bahwa dunia nyata dapat dijelaskan melalui rasionalitas manusia dan wahyu ilahi. Pada masa ini, perdebatan tentang "universalia" (konsep-konsep umum) menjadi pusat diskusi filsafat, dengan kaum realis berpendapat bahwa universalia memiliki keberadaan independen.⁴

3.3.       Realisme dalam Era Modern

Realisme mengalami transformasi signifikan selama era modern, ketika filsuf seperti RenĂ© Descartes, John Locke, dan David Hume mulai mengeksplorasi hubungan antara pikiran dan dunia luar. John Locke, misalnya, mengusulkan teori realisme empiris, di mana persepsi manusia dianggap sebagai cerminan dari realitas objektif.⁵ Sementara itu, Immanuel Kant memperkenalkan pandangan kritis tentang realisme, menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada fenomena yang dapat diamati, sedangkan "dunia nyata" (noumena) tetap di luar jangkauan pemahaman manusia.⁶

3.4.       Realisme dalam Filsafat Kontemporer

Pada abad ke-20, realisme berkembang menjadi beberapa cabang yang lebih spesifik, seperti realisme ilmiah dan realisme kritis. Realisme ilmiah berpendapat bahwa teori-teori ilmiah bertujuan untuk merepresentasikan dunia sebagaimana adanya, termasuk entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti partikel subatomik.⁷ Di sisi lain, realisme kritis, yang dipelopori oleh Roy Bhaskar, menggabungkan pendekatan ilmiah dengan analisis sosial untuk memahami struktur-struktur mendasar yang membentuk fenomena empiris.⁸


Kesimpulan

Sejarah dan perkembangan realisme menunjukkan bahwa pendekatan ini telah beradaptasi dengan kebutuhan intelektual setiap zaman, menawarkan kerangka kerja untuk memahami dunia secara mendalam. Dari filsafat Yunani hingga filsafat kontemporer, realisme tetap relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang realitas.


Catatan Kaki

[1]                Plato, Republic, ed. and trans. Robin Waterfield (Oxford: Oxford University Press, 1998), Book VII.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), Book XII.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q12.a4.

[4]                John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 89–92.

[5]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1929), A235/B294.

[7]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 15–18.

[8]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 1975), 24–28.


4.           Cabang-Cabang Realisme

Realisme adalah pendekatan yang melintasi berbagai bidang pemikiran, menghasilkan beragam cabang dengan fokus dan aplikasi yang berbeda. Setiap cabang realisme memberikan perspektif unik dalam memahami realitas, baik dalam filsafat, politik, seni, maupun ilmu pengetahuan.

4.1.       Realisme Metafisik

Realisme metafisik menyatakan bahwa entitas-entitas tertentu, seperti objek fisik, memiliki keberadaan yang independen dari pikiran atau bahasa manusia.¹ Dalam filsafat klasik, Aristoteles merupakan pelopor realisme metafisik, yang menganggap bahwa substansi-substansi material adalah elemen dasar dari realitas.² Realisme metafisik juga melibatkan klaim bahwa konsep-konsep umum (universalia) memiliki keberadaan yang independen, yang menjadi inti dari perdebatan panjang antara realisme dan nominalisme dalam filsafat abad pertengahan.³

4.2.       Realisme Epistemologis

Realisme epistemologis berfokus pada hubungan antara pikiran manusia dan realitas objektif. Menurut pandangan ini, pengetahuan manusia tentang dunia adalah representasi yang akurat dari realitas luar, sejauh metode pengamatan dan penalaran diterapkan dengan benar.⁴ Filsuf seperti John Locke menekankan bahwa pengalaman indrawi adalah sumber utama pengetahuan, sementara David Hume mengajukan kritik terhadap asumsi realisme epistemologis, khususnya dalam hal kausalitas.⁵

4.3.       Realisme Ilmiah

Realisme ilmiah mengklaim bahwa teori-teori ilmiah bertujuan untuk menggambarkan realitas sebagaimana adanya, termasuk entitas-entitas yang tidak dapat diamati secara langsung seperti atom, gelombang elektromagnetik, atau partikel subatomik.⁶ Pandangan ini sering dikaitkan dengan filsuf seperti Stathis Psillos dan Hilary Putnam, yang menyatakan bahwa keberhasilan prediktif dari teori-teori ilmiah menunjukkan bahwa teori tersebut merepresentasikan aspek-aspek dunia yang benar.⁷ Namun, realisme ilmiah sering menjadi subjek kritik, terutama dari aliran anti-realis seperti konstruktivisme sosial dan instrumentalisme.⁸

4.4.       Realisme dalam Seni

Dalam seni, realisme merujuk pada usaha untuk merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara akurat, tanpa idealisasi atau penyimpangan emosional.⁹ Aliran realisme berkembang pesat pada abad ke-19, dengan tokoh seperti Gustave Courbet dalam seni rupa dan Fyodor Dostoevsky dalam sastra, yang fokus pada realitas sosial, politik, dan ekonomi.¹⁰ Realisme dalam seni sering kali bertujuan untuk mengeksplorasi isu-isu sosial secara kritis, menawarkan pandangan mendalam tentang kondisi manusia.

4.5.       Realisme dalam Politik

Realisme politik berakar pada pemikiran klasik, seperti karya Thucydides dan Machiavelli, yang menekankan bahwa kekuasaan dan kepentingan nasional adalah pendorong utama dalam hubungan antarnegara.¹¹ Dalam realisme modern, Hans Morgenthau mengembangkan teori yang menyatakan bahwa perilaku negara didasarkan pada rasionalitas dan kalkulasi kekuasaan.¹² Realisme struktural, yang dipopulerkan oleh Kenneth Waltz, menambahkan dimensi sistemik, dengan fokus pada struktur internasional sebagai faktor penentu utama dalam politik global.¹³


Kesimpulan

Cabang-cabang realisme mencerminkan fleksibilitas pendekatan ini dalam memahami berbagai aspek dunia. Dari metafisika hingga seni dan politik, realisme memberikan kerangka kerja yang luas untuk menjelaskan realitas dengan cara yang relevan dan aplikatif dalam berbagai disiplin ilmu.


Catatan Kaki

[1]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 2001), 25.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), Book XII.

[3]                John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 92–95.

[4]                Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 40–45.

[5]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.

[6]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 18–20.

[7]                Hilary Putnam, Philosophy of Logic (New York: Harper & Row, 1971), 68–70.

[8]                Larry Laudan, Progress and Its Problems: Towards a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 123–127.

[9]                Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin Books, 1971), 5–7.

[10]             Fyodor Dostoevsky, Crime and Punishment, trans. Constance Garnett (New York: Macmillan, 1914), Preface.

[11]             Thucydides, The History of the Peloponnesian War, trans. Richard Crawley (London: J. M. Dent, 1910), Book I.

[12]             Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 3–5.

[13]             Kenneth Waltz, Theory of International Politics (New York: McGraw-Hill, 1979), 79–82.


5.           Realisme vs Aliran Lain

Realisme tidak hanya menjadi salah satu pendekatan utama dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, tetapi juga sering dibandingkan dan dipertentangkan dengan berbagai aliran lain, seperti idealisme, relativisme, dan konstruktivisme. Perdebatan ini mencerminkan perbedaan mendasar dalam cara pandang terhadap realitas, pengetahuan, dan hubungan antara subjek dan objek.

5.1.       Realisme vs Idealisme

Realisme dan idealisme sering dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan. Realisme menegaskan bahwa dunia memiliki keberadaan independen dari pikiran manusia, sedangkan idealisme berpendapat bahwa realitas adalah konstruksi atau hasil dari aktivitas mental.¹

Tokoh utama idealisme, seperti George Berkeley, menolak gagasan bahwa objek memiliki eksistensi terpisah dari persepsi manusia.² Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley menyatakan bahwa "esse est percipi" (ada adalah untuk dipersepsi), yang berarti bahwa sesuatu hanya ada sejauh ia diamati.³ Sebaliknya, realisme, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dan John Locke, berargumen bahwa realitas bersifat objektif, terlepas dari pengamatan manusia.⁴ Perdebatan ini berfokus pada pertanyaan mendasar: apakah realitas bergantung pada subjek atau eksis secara mandiri?

5.2.       Realisme vs Relativisme

Relativisme berpendapat bahwa kebenaran dan pengetahuan bersifat relatif terhadap konteks budaya, bahasa, atau individu tertentu.⁵ Pandangan ini sering bertentangan dengan realisme, yang menegaskan bahwa kebenaran adalah objektif dan independen dari perspektif subyektif.⁶

Relativisme, yang dipopulerkan oleh filsuf seperti Richard Rorty, mengkritik realisme sebagai terlalu dogmatis dan tidak menghargai keragaman interpretasi realitas.⁷ Namun, realis seperti Hilary Putnam membalas dengan menyatakan bahwa tanpa klaim tentang realitas objektif, tidak ada dasar yang stabil untuk memahami dunia.⁸ Perdebatan ini terus menjadi isu sentral dalam filsafat kontemporer.

5.3.       Realisme vs Konstruktivisme

Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan manusia adalah hasil dari konstruksi sosial atau budaya, bukan cerminan langsung dari realitas objektif.⁹ Dalam sains, konstruktivisme memandang teori-teori ilmiah sebagai hasil dari interaksi sosial dan norma budaya, bukan representasi murni dari dunia.¹⁰

Realistis ilmiah, seperti Stathis Psillos, menolak pandangan ini dengan berargumen bahwa keberhasilan teori-teori ilmiah dalam memprediksi fenomena menunjukkan bahwa teori tersebut memiliki dasar dalam realitas objektif.¹¹ Meskipun demikian, konstruktivisme menawarkan wawasan penting tentang bagaimana konteks sosial dan budaya memengaruhi produksi pengetahuan.

5.4.       Perdebatan Kontemporer

Dalam filsafat kontemporer, perdebatan antara realisme dan aliran-aliran lain sering kali menyentuh isu-isu yang lebih kompleks, seperti status entitas teoretis dalam sains atau peran bahasa dalam membentuk realitas.¹² Filsuf seperti Roy Bhaskar mencoba menjembatani perbedaan ini dengan memperkenalkan critical realism, yang menggabungkan elemen-elemen dari realisme dan konstruktivisme untuk memberikan penjelasan yang lebih holistik.¹³


Kesimpulan

Realisme memiliki posisi unik dalam lanskap filsafat, sering kali menjadi tolok ukur bagi pendekatan lain dalam memahami realitas. Perdebatan dengan idealisme, relativisme, dan konstruktivisme mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh realisme dalam mempertahankan klaimnya tentang realitas objektif. Namun, perdebatan ini juga memperkaya pemahaman kita tentang hubungan kompleks antara manusia dan dunia.


Catatan Kaki

[1]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 2001), 27.

[2]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Dublin: E. Rhames, 1710), sec. 3.

[3]                Ibid.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 178.

[6]                Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 45–50.

[7]                Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature, 180.

[8]                Putnam, Reason, Truth, and History, 52.

[9]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 2.

[10]             Karin Knorr-Cetina, The Manufacture of Knowledge: An Essay on the Constructivist and Contextual Nature of Science (Oxford: Pergamon Press, 1981), 5–7.

[11]             Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 22–25.

[12]             Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 60–62.

[13]             Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 1975), 34–36.


6. Aplikasi Realisme dalam Kehidupan Nyata

Realisme tidak hanya berdiri sebagai konsep teoretis tetapi juga memiliki berbagai aplikasi dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini memberikan kerangka kerja praktis untuk memahami, menganalisis, dan menyelesaikan tantangan dalam berbagai bidang, termasuk politik, ilmu pengetahuan, seni, dan dinamika sosial. Dengan berfokus pada realitas objektif, realisme menawarkan cara berpikir yang relevan dan aplikatif dalam menghadapi dunia yang kompleks.

6.1.       Realisme dalam Pengambilan Keputusan Politik

Dalam bidang politik, realisme menjadi landasan bagi strategi hubungan internasional. Pendekatan ini berfokus pada kepentingan nasional dan keseimbangan kekuasaan, bukan pada idealisme atau moralitas.¹ Misalnya, realisme politik yang dipopulerkan oleh Hans Morgenthau menyatakan bahwa negara bertindak berdasarkan prinsip "kekuasaan demi kelangsungan hidup."² Contoh konkret aplikasi realisme terlihat dalam kebijakan luar negeri negara-negara besar, yang sering kali memprioritaskan kepentingan nasional di atas altruisme.³ Dalam konteks modern, teori realisme struktural yang dikemukakan Kenneth Waltz menjelaskan bagaimana sistem internasional yang anarki membentuk perilaku negara-negara dalam mencapai stabilitas.⁴

6.2.       Realisme dalam Ilmu Pengetahuan

Realisme ilmiah memainkan peran penting dalam pengembangan teknologi dan pemahaman ilmiah. Pendekatan ini berpendapat bahwa teori-teori ilmiah yang berhasil tidak hanya merupakan alat prediktif, tetapi juga representasi yang mendekati kebenaran dari dunia nyata.⁵ Contohnya adalah kemajuan dalam fisika partikel, di mana teori tentang keberadaan quark dan gluon, meskipun tidak dapat diamati secara langsung, telah terbukti akurat dalam eksperimen dan aplikasi teknologi.⁶ Selain itu, realisme ilmiah mendorong keberlanjutan eksplorasi ilmiah dengan keyakinan bahwa ada kebenaran objektif yang dapat ditemukan melalui penelitian.⁷

6.3.       Realisme dalam Seni dan Budaya

Dalam seni, realisme digunakan untuk merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara autentik, sering kali untuk mengkritik ketidakadilan sosial atau mencerminkan realitas sosial tertentu. Aliran seni realisme abad ke-19, seperti karya-karya Gustave Courbet, bertujuan untuk merepresentasikan kehidupan kelas pekerja dan petani yang sebelumnya jarang dilihat dalam seni tinggi.⁸ Dalam sastra, novel-novel realisme karya penulis seperti Leo Tolstoy dan Charles Dickens menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia dengan fokus pada konflik sosial dan moral.⁹ Pendekatan ini memberikan wawasan yang kaya tentang kehidupan manusia, menjadikannya alat penting untuk perubahan sosial dan kesadaran budaya.

6.4.       Realisme dalam Dinamika Sosial

Realisme juga diterapkan dalam memahami dinamika sosial, khususnya dalam studi tentang struktur sosial dan ekonomi. Pendekatan critical realism, yang diperkenalkan oleh Roy Bhaskar, digunakan untuk menganalisis bagaimana struktur-struktur mendasar dalam masyarakat, seperti kelas atau institusi ekonomi, memengaruhi perilaku individu.¹⁰ Dengan memahami realitas objektif dari struktur-struktur ini, kebijakan sosial dapat dirancang untuk menangani ketidakadilan dan ketimpangan secara efektif.¹¹


Kesimpulan

Aplikasi realisme dalam kehidupan nyata menunjukkan relevansinya dalam berbagai konteks praktis. Dari politik hingga seni, realisme memberikan kerangka kerja untuk memahami dan berinteraksi dengan dunia secara objektif. Dengan demikian, realisme tidak hanya menjadi dasar teoritis tetapi juga alat untuk memecahkan tantangan nyata dalam kehidupan manusia.


Catatan Kaki

[1]                Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 4.

[2]                Ibid., 5–7.

[3]                Kenneth Waltz, Theory of International Politics (New York: McGraw-Hill, 1979), 88–90.

[4]                Ibid., 91–95.

[5]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 22.

[6]                James T. Cushing, Philosophical Concepts in Physics: The Historical Relation Between Philosophy and Scientific Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 120.

[7]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 1975), 36–38.

[8]                Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin Books, 1971), 12–15.

[9]                Leo Tolstoy, War and Peace, trans. Louise and Aylmer Maude (Oxford: Oxford University Press, 2010), Introduction.

[10]             Roy Bhaskar, The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the Contemporary Human Sciences (London: Routledge, 1979), 57.

[11]             Ibid., 58–60.


6.           Aplikasi Realisme dalam Kehidupan Nyata

Realisme tidak hanya berdiri sebagai konsep teoretis tetapi juga memiliki berbagai aplikasi dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini memberikan kerangka kerja praktis untuk memahami, menganalisis, dan menyelesaikan tantangan dalam berbagai bidang, termasuk politik, ilmu pengetahuan, seni, dan dinamika sosial. Dengan berfokus pada realitas objektif, realisme menawarkan cara berpikir yang relevan dan aplikatif dalam menghadapi dunia yang kompleks.

6.1.       Realisme dalam Pengambilan Keputusan Politik

Dalam bidang politik, realisme menjadi landasan bagi strategi hubungan internasional. Pendekatan ini berfokus pada kepentingan nasional dan keseimbangan kekuasaan, bukan pada idealisme atau moralitas.¹ Misalnya, realisme politik yang dipopulerkan oleh Hans Morgenthau menyatakan bahwa negara bertindak berdasarkan prinsip "kekuasaan demi kelangsungan hidup."² Contoh konkret aplikasi realisme terlihat dalam kebijakan luar negeri negara-negara besar, yang sering kali memprioritaskan kepentingan nasional di atas altruisme.³ Dalam konteks modern, teori realisme struktural yang dikemukakan Kenneth Waltz menjelaskan bagaimana sistem internasional yang anarki membentuk perilaku negara-negara dalam mencapai stabilitas.⁴

6.2.       Realisme dalam Ilmu Pengetahuan

Realisme ilmiah memainkan peran penting dalam pengembangan teknologi dan pemahaman ilmiah. Pendekatan ini berpendapat bahwa teori-teori ilmiah yang berhasil tidak hanya merupakan alat prediktif, tetapi juga representasi yang mendekati kebenaran dari dunia nyata.⁵ Contohnya adalah kemajuan dalam fisika partikel, di mana teori tentang keberadaan quark dan gluon, meskipun tidak dapat diamati secara langsung, telah terbukti akurat dalam eksperimen dan aplikasi teknologi.⁶ Selain itu, realisme ilmiah mendorong keberlanjutan eksplorasi ilmiah dengan keyakinan bahwa ada kebenaran objektif yang dapat ditemukan melalui penelitian.⁷

6.3.       Realisme dalam Seni dan Budaya

Dalam seni, realisme digunakan untuk merepresentasikan kehidupan sehari-hari secara autentik, sering kali untuk mengkritik ketidakadilan sosial atau mencerminkan realitas sosial tertentu. Aliran seni realisme abad ke-19, seperti karya-karya Gustave Courbet, bertujuan untuk merepresentasikan kehidupan kelas pekerja dan petani yang sebelumnya jarang dilihat dalam seni tinggi.⁸ Dalam sastra, novel-novel realisme karya penulis seperti Leo Tolstoy dan Charles Dickens menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia dengan fokus pada konflik sosial dan moral.⁹ Pendekatan ini memberikan wawasan yang kaya tentang kehidupan manusia, menjadikannya alat penting untuk perubahan sosial dan kesadaran budaya.

6.4.       Realisme dalam Dinamika Sosial

Realisme juga diterapkan dalam memahami dinamika sosial, khususnya dalam studi tentang struktur sosial dan ekonomi. Pendekatan critical realism, yang diperkenalkan oleh Roy Bhaskar, digunakan untuk menganalisis bagaimana struktur-struktur mendasar dalam masyarakat, seperti kelas atau institusi ekonomi, memengaruhi perilaku individu.¹⁰ Dengan memahami realitas objektif dari struktur-struktur ini, kebijakan sosial dapat dirancang untuk menangani ketidakadilan dan ketimpangan secara efektif.¹¹


Kesimpulan

Aplikasi realisme dalam kehidupan nyata menunjukkan relevansinya dalam berbagai konteks praktis. Dari politik hingga seni, realisme memberikan kerangka kerja untuk memahami dan berinteraksi dengan dunia secara objektif. Dengan demikian, realisme tidak hanya menjadi dasar teoritis tetapi juga alat untuk memecahkan tantangan nyata dalam kehidupan manusia.


Catatan Kaki

[1]                Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1948), 4.

[2]                Ibid., 5–7.

[3]                Kenneth Waltz, Theory of International Politics (New York: McGraw-Hill, 1979), 88–90.

[4]                Ibid., 91–95.

[5]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 22.

[6]                James T. Cushing, Philosophical Concepts in Physics: The Historical Relation Between Philosophy and Scientific Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 120.

[7]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 1975), 36–38.

[8]                Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin Books, 1971), 12–15.

[9]                Leo Tolstoy, War and Peace, trans. Louise and Aylmer Maude (Oxford: Oxford University Press, 2010), Introduction.

[10]             Roy Bhaskar, The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the Contemporary Human Sciences (London: Routledge, 1979), 57.

[11]             Ibid., 58–60.


7.           Kritik dan Tantangan Terhadap Realisme

Meskipun realisme memiliki pengaruh besar dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan bidang lainnya, pendekatan ini tidak luput dari kritik. Berbagai aliran filsafat, seperti idealisme, relativisme, konstruktivisme, dan postmodernisme, telah mengajukan tantangan mendasar terhadap asumsi dan klaim realisme. Kritik ini mencerminkan kompleksitas dalam memahami hubungan antara manusia dan realitas.

7.1.       Kritik dari Idealisme

Idelaisme, terutama dalam tradisi George Berkeley, menolak klaim bahwa realitas objektif dapat eksis secara independen dari persepsi manusia.¹ Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, Berkeley menyatakan bahwa semua yang ada tergantung pada persepsi (esse est percipi).² Pandangan ini bertentangan dengan realisme yang mengasumsikan keberadaan realitas independen, dengan menyatakan bahwa keberadaan objektif tidak mungkin diverifikasi tanpa persepsi subjek. Kritik ini menimbulkan pertanyaan filosofis mendalam tentang sifat hubungan antara subjek dan objek.

7.2.       Tantangan dari Relativisme

Relativisme, terutama seperti yang diajukan oleh Richard Rorty, menekankan bahwa kebenaran adalah produk dari konteks budaya atau bahasa tertentu, bukan cerminan dari realitas objektif.³ Dalam Philosophy and the Mirror of Nature, Rorty mengkritik realisme sebagai "cermin" yang tidak dapat mewakili realitas dengan sempurna.⁴ Relativisme menantang klaim realisme tentang kebenaran universal, dengan menyatakan bahwa pengetahuan selalu bergantung pada perspektif tertentu.⁵

7.3.       Kritik dari Konstruktivisme

Konstruktivisme sosial, seperti yang diajukan oleh Karin Knorr-Cetina, berpendapat bahwa fakta-fakta ilmiah bukanlah representasi objektif dari dunia, melainkan hasil dari proses sosial dan negosiasi di dalam komunitas ilmiah.⁶ Dalam pandangan ini, realisme gagal memperhitungkan peran konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan.⁷ Kritik ini terutama relevan dalam konteks sains, di mana peran eksperimen dan interpretasi sering kali melibatkan unsur subjektivitas.

7.4.       Kritik dari Postmodernisme

Postmodernisme, yang sering diasosiasikan dengan tokoh seperti Jean-François Lyotard, mengkritik klaim realisme sebagai upaya untuk mendominasi narasi kebenaran.⁸ Dalam The Postmodern Condition, Lyotard menekankan bahwa tidak ada "kebenaran besar" yang dapat mewakili semua realitas, melainkan hanya narasi-narasi kecil yang bersifat parsial dan lokal.⁹ Kritik ini menantang klaim universalitas yang sering diasosiasikan dengan realisme, terutama dalam konteks politik dan budaya.

7.5.       Tantangan dalam Ilmu Pengetahuan

Dalam ilmu pengetahuan, kritik terhadap realisme sering kali datang dari aliran instrumentalisme, yang menyatakan bahwa teori ilmiah tidak perlu merepresentasikan realitas tetapi cukup berfungsi sebagai alat untuk memprediksi fenomena.¹⁰ Larry Laudan, misalnya, menunjukkan bahwa banyak teori ilmiah yang dianggap benar pada masanya telah terbukti salah di kemudian hari, sehingga menggoyahkan klaim realisme tentang keberadaan objektif dari entitas teoretis.¹¹


Kesimpulan

Kritik dan tantangan terhadap realisme menunjukkan bahwa pendekatan ini, meskipun kuat, tidak bebas dari keterbatasan. Kritik dari idealisme, relativisme, konstruktivisme, dan postmodernisme mengungkapkan kompleksitas dalam memahami realitas dan hubungan manusia dengannya. Perdebatan ini tidak hanya memperkaya wacana filsafat tetapi juga mendorong realisme untuk terus merefleksikan dan memperbarui asumsi-asumsinya.


Catatan Kaki

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. David R. Wilkins (Dublin: E. Rhames, 1710), sec. 3.

[2]                Ibid.

[3]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 178.

[4]                Ibid., 180–183.

[5]                Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 50–55.

[6]                Karin Knorr-Cetina, The Manufacture of Knowledge: An Essay on the Constructivist and Contextual Nature of Science (Oxford: Pergamon Press, 1981), 10–12.

[7]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 24.

[8]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii.

[9]                Ibid., xxiv.

[10]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–14.

[11]             Larry Laudan, Progress and Its Problems: Towards a Theory of Scientific Growth (Berkeley: University of California Press, 1977), 123–125.


8.           Kesimpulan

Realisme adalah salah satu pendekatan yang paling penting dan berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, menawarkan kerangka kerja untuk memahami realitas objektif yang independen dari pikiran manusia. Dengan sejarah panjang yang mencakup pemikiran filsuf klasik seperti Aristoteles hingga perkembangan kontemporer seperti realisme ilmiah dan critical realism, realisme telah memainkan peran sentral dalam membentuk cara manusia memandang dunia dan tempat mereka di dalamnya.¹

Sebagai pendekatan, realisme memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang. Dalam filsafat, realisme metafisik dan epistemologis menyediakan dasar untuk memahami hubungan antara subjek dan objek, serta antara pikiran dan realitas.² Dalam ilmu pengetahuan, realisme ilmiah mendukung keyakinan bahwa teori-teori ilmiah, meskipun bersifat sementara, memberikan gambaran yang mendekati kebenaran tentang dunia nyata.³ Dalam politik, realisme menawarkan pandangan pragmatis tentang hubungan antarnegara, menekankan pentingnya kekuasaan dan kepentingan nasional.⁴ Sementara itu, dalam seni dan budaya, aliran realisme menghadirkan representasi autentik dari kehidupan sehari-hari, yang sering kali digunakan untuk mengeksplorasi isu-isu sosial dan politik.⁵

Namun, seperti pendekatan lainnya, realisme tidak bebas dari kritik dan tantangan. Idealisme, relativisme, konstruktivisme, dan postmodernisme telah menunjukkan bahwa klaim realisme tentang realitas objektif tidak selalu mudah untuk diverifikasi atau diterima secara universal.⁶ Kritik ini telah mendorong perkembangan pendekatan baru seperti critical realism, yang mencoba menjembatani kesenjangan antara realitas objektif dan perspektif subyektif.⁷

Dalam konteks kehidupan nyata, realisme tetap relevan sebagai kerangka berpikir yang memungkinkan manusia untuk menghadapi kompleksitas dunia modern. Dengan memberikan dasar untuk pengambilan keputusan politik, pengembangan ilmu pengetahuan, dan eksplorasi seni, realisme menunjukkan fleksibilitas dan aplikabilitasnya di berbagai bidang.⁸

Kesimpulannya, realisme adalah pendekatan yang dinamis dan komprehensif, yang terus beradaptasi dengan tantangan intelektual dan praktis dari zaman ke zaman. Dengan sejarah yang kaya dan relevansi yang luas, realisme tidak hanya menyediakan dasar filosofis untuk memahami dunia tetapi juga alat praktis untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata.


Catatan Kaki

[1]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 2001), 27.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), II.xxi.

[3]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 18–20.

[4]                Kenneth Waltz, Theory of International Politics (New York: McGraw-Hill, 1979), 89.

[5]                Linda Nochlin, Realism (Harmondsworth: Penguin Books, 1971), 10.

[6]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 180–183.

[7]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Routledge, 1975), 36–38.

[8]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 5.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1984). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In J. Barnes (Ed.), The complete works of Aristotle (Book XII). Princeton University Press.

Berkeley, G. (1710). A treatise concerning the principles of human knowledge (D. R. Wilkins, Ed.). E. Rhames.

Bhaskar, R. (1975). A realist theory of science. Routledge.

Bhaskar, R. (1979). The possibility of naturalism: A philosophical critique of the contemporary human sciences. Routledge.

Cushing, J. T. (1998). Philosophical concepts in physics: The historical relation between philosophy and scientific theories. Cambridge University Press.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening. Cambridge University Press.

Hacking, I. (1999). The social construction of what? Harvard University Press.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). St. Martin’s Press.

Knorr-Cetina, K. (1981). The manufacture of knowledge: An essay on the constructivist and contextual nature of science. Pergamon Press.

Laudan, L. (1977). Progress and its problems: Towards a theory of scientific growth. University of California Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press.

Loux, M. J. (2001). Metaphysics: A contemporary introduction. Routledge.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An historical and philosophical introduction. Routledge.

Morgenthau, H. J. (1948). Politics among nations: The struggle for power and peace. Alfred A. Knopf.

Nochlin, L. (1971). Realism. Penguin Books.

Plato. (1998). Republic (R. Waterfield, Ed. & Trans.). Oxford University Press.

Psillos, S. (1999). Scientific realism: How science tracks truth. Routledge.

Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history. Cambridge University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Tolstoy, L. (2010). War and peace (L. Maude & A. Maude, Trans.). Oxford University Press.

Waltz, K. (1979). Theory of international politics. McGraw-Hill.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar