Kutub al-Sittah
Fondasi Hadits dalam Khazanah Islam
Alihkan ke: Ulumul Hadits
Abstrak
Kutub al-Sittah merupakan koleksi enam kitab hadits
utama yang menjadi landasan utama dalam khazanah keilmuan Islam. Keenam kitab
tersebut, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah,
mencerminkan upaya maksimal ulama abad ke-3 Hijriah dalam menjaga keotentikan
sunnah Nabi Muhammad Saw. Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
definisi, komponen, metodologi penyusunan, serta kontribusi Kutub al-Sittah
dalam pengembangan ilmu hadits dan hukum Islam. Melalui analisis terhadap
sumber klasik seperti Muqaddimah Ibn al-Salah dan Fath al-Bari,
serta kajian kontemporer, artikel ini mengeksplorasi relevansi Kutub al-Sittah
dalam menjawab tantangan modern, termasuk digitalisasi, kritik akademis, dan
peran interdisipliner dalam penelitian hadits. Dengan tetap mempertahankan
metodologi ilmiah, artikel ini menegaskan bahwa Kutub al-Sittah tidak hanya
menjadi sumber otoritatif dalam hukum Islam, tetapi juga merupakan warisan
intelektual yang terus relevan hingga era modern.
Kata Kunci: Kutub al-Sittah, Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Hadits,
Ilmu Hadits, Kritik Sanad, Kritik Matan, Warisan Islam, Digitalisasi Hadits,
Kajian Kontemporer.
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi Kutub al-Sittah
Kutub al-Sittah adalah istilah yang merujuk kepada
enam kitab hadits utama yang diakui oleh mayoritas umat Islam sebagai rujukan
otoritatif dalam bidang hadits. Keenam kitab ini adalah Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan
an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Para ulama sepakat bahwa Kutub
al-Sittah memiliki posisi penting dalam pembentukan landasan hukum Islam,
karena mencakup hadits-hadits yang diseleksi berdasarkan kriteria yang sangat
ketat oleh masing-masing penyusunnya.1 Kutub ini menjadi fondasi
bagi berbagai disiplin ilmu dalam Islam, seperti fikih, tafsir, dan akidah.2
1.2. Sejarah Awal Pengumpulan Hadits
Pengumpulan hadits sebagai sebuah disiplin ilmiah
dimulai sejak generasi tabi’in, setelah wafatnya Rasulullah Saw. pada tahun 11
H/632 M. Pada masa itu, hadits masih tersebar secara lisan dan belum
dikodifikasi dalam bentuk kitab.3 Inisiatif kodifikasi secara
sistematis dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101
H), yang memerintahkan penyusunan hadits untuk mencegah hilangnya warisan Nabi
akibat wafatnya para sahabat dan ulama.4 Imam Malik bin Anas (w. 179
H) menjadi salah satu pionir dalam pengumpulan hadits melalui karyanya al-Muwaththa’,
yang tidak hanya memuat hadits tetapi juga fatwa sahabat dan tabi’in.5
Munculnya Kutub al-Sittah pada abad ke-3 Hijriah
menandai puncak dari proses kodifikasi hadits. Pada periode ini, para ulama
hadits mulai mengembangkan metode ilmiah yang ketat untuk menyaring
hadits-hadits shahih dari yang dha’if, baik melalui penelitian sanad maupun
kritik terhadap matan.6 Di antara ulama terkemuka yang berkontribusi
pada fase ini adalah Imam Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H), yang
menyusun kitab-kitab shahih berdasarkan standar seleksi yang sangat tinggi.7
1.3. Posisi Kutub al-Sittah dalam Khazanah Islam
Kutub al-Sittah bukan hanya menjadi rujukan utama
dalam hukum Islam, tetapi juga menjadi bukti konkret dari keseriusan umat Islam
dalam menjaga orisinalitas hadits Nabi. Posisi kitab-kitab ini tidak hanya
diakui oleh ulama klasik, tetapi juga menjadi rujukan utama dalam kajian akademik
modern.8 Melalui Kutub al-Sittah, umat Islam memiliki sumber otentik
untuk memahami ajaran Rasulullah secara utuh, termasuk dalam aspek ibadah,
muamalah, akhlak, dan politik.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith
Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications,
1977), 14.
[2]
M.M. Al-A'zami, The History of the Qur'anic Text
from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 74.
[3]
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazr fi Tawdih
Nukhbat al-Fikr, ed. Nizar al-Basyuni (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2004), 20.
[4]
Muhammad Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra,
ed. E. Sachau (Leiden: Brill, 1905), 129.
[5]
Imam Malik, al-Muwaththa’, ed. Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 1.
[6]
Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 91.
[7]
Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah
fi Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 20-25.
[8]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy
in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009),
112.
2.
Kutub al-Sittah - Ringkasan dan Kedudukan
2.1. Pengertian dan Komponen Kutub al-Sittah
Kutub al-Sittah,
yang secara harfiah berarti "Enam Kitab", adalah kumpulan enam
kitab hadits utama yang disusun oleh
para ulama besar pada abad ke-3 Hijriah. Keenam kitab ini adalah Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan
an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Kutub al-Sittah
dikenal sebagai rujukan primer dalam kajian hadits karena mencakup
hadits-hadits yang dianggap sahih atau mendekati standar kesahihan berdasarkan
penelitian sanad dan matan oleh para penyusunnya.1
Keenam kitab ini
memiliki fokus dan metode penyusunan yang berbeda. Misalnya, Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim hanya mencantumkan
hadits-hadits yang memenuhi kriteria shahih yang sangat ketat. Sementara itu,
kitab-kitab Sunan seperti
Sunan
Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi lebih
menitikberatkan pada hadits-hadits yang relevan dengan fiqh dan hukum Islam,
meskipun terdapat hadits hasan dan dha'if di dalamnya.2
2.2. Perbedaan Kutub al-Sittah dan Kutub Tis'ah
Sebagian ulama
menambahkan tiga kitab hadits lainnya ke dalam daftar rujukan utama, sehingga dikenal istilah Kutub
Tis'ah (Sembilan Kitab). Tiga kitab tambahan tersebut adalah Musnad
Ahmad, Sunan ad-Darimi, dan Muwaththa’
Imam Malik. Berbeda dengan Kutub al-Sittah yang berfokus pada
sistematisasi hukum dan kesahihan hadits, kitab-kitab tambahan ini lebih
menekankan pada keanekaragaman konten hadits dan rekonstruksi historis
periwayatan hadits.3
2.3. Metodologi Penyusunan Hadits dalam Kutub al-Sittah
Setiap kitab dalam
Kutub al-Sittah disusun dengan pendekatan yang unik:
1)
Shahih
Bukhari:
Imam al-Bukhari hanya mencantumkan
hadits yang sanadnya muttashil, rawinya terpercaya (tsiqah), dan tidak terdapat cacat (‘illah).
Beliau juga mengelompokkan hadits berdasarkan bab tematik untuk memudahkan
pembaca dalam memahami kandungan fiqh.4
2)
Shahih
Muslim:
Imam Muslim menekankan pada keutuhan
sanad dengan menampilkan riwayat dari berbagai jalur yang mendukung satu
hadits. Susunan kitabnya bersifat lebih sistematis dibandingkan Shahih
Bukhari.5
3)
Sunan
Abu Dawud:
Fokus pada hadits-hadits hukum yang
relevan dengan fiqh, meskipun ada beberapa hadits yang statusnya dha'if tetapi
disebutkan karena relevansinya dengan isu tertentu.6
4)
Sunan
at-Tirmidzi:
Imam at-Tirmidzi memberikan komentar
tingkat kesahihan hadits, seperti shahih, hasan, atau dha'if, dan sering kali
menyebutkan pendapat para ulama tentang hadits tersebut.7
5)
Sunan
an-Nasa’i:
Imam an-Nasa’i dikenal dengan
selektivitas tinggi dalam memilih hadits, sehingga Sunan an-Nasa’i dianggap salah satu
kitab Sunan yang paling sahih setelah Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim.8
6)
Sunan
Ibn Majah:
Kitab ini melengkapi Kutub al-Sittah
dengan mencantumkan hadits-hadits tambahan yang tidak ditemukan di kitab
lainnya, meskipun terdapat kritik terhadap sebagian haditsnya yang dha'if.9
2.4. Kedudukan Kutub al-Sittah dalam Khazanah Islam
Kutub al-Sittah
memiliki posisi istimewa dalam ilmu hadits, karena menjadi dasar utama dalam
studi hukum Islam dan kajian keislaman lainnya. Sebagian ulama, seperti Ibn
Hajar al-Asqalani, menganggap bahwa hadits-hadits yang termuat dalam Kutub
al-Sittah mencakup mayoritas warisan Nabi Muhammad Saw. yang dapat dijadikan
rujukan hukum.10
Namun, para ulama
juga mengingatkan bahwa kedudukan kitab-kitab ini harus dipahami dengan sikap kritis. Hadits-hadits yang
terkandung di dalamnya tetap harus melalui proses verifikasi lebih lanjut,
khususnya yang ditemukan dalam kitab-kitab Sunan yang memuat hadits dha'if.11
Kendati demikian, kontribusi Kutub al-Sittah dalam menjaga orisinalitas ajaran
Islam tidak diragukan lagi, menjadikannya fondasi utama dalam khazanah Islam
hingga hari ini.12
Catatan Kaki
[1]
Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 12.
[2]
Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 53.
[3]
Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami
(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 129.
[4]
Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Al-Jami' al-Sahih, ed. Mustafa Deeb
al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), 3.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1991), 7.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyi
al-Din Abdul Hamid (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 1.
[7]
Muhammad ibn Isa at-Tirmidhi, Sunan at-Tirmidhi, ed. Ahmad
Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 15.
[8]
Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah
Abu Ghuddah (Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1993), 12.
[9]
Muhammad ibn Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ed. Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1980), 2.
[10]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 5.
[11]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 212.
[12]
M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 77.
3.
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim - Dua Shahih
Terkuat
3.1. Biografi Imam Bukhari dan Imam Muslim
Imam al-Bukhari,
nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Isma'il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah
al-Bukhari (w. 256 H), adalah salah satu ulama hadits terkemuka yang berasal dari Bukhara (sekarang Uzbekistan). Ia
dikenal sebagai figur yang memiliki ketelitian luar biasa dalam memilih hadits
yang memenuhi standar kesahihan tertinggi. Karya monumentalnya, Al-Jami'
al-Sahih, disusun setelah penelitian selama 16 tahun dengan
mengumpulkan hadits dari berbagai wilayah Islam.1 Imam Muslim, atau
Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri al-Naisaburi (w. 261 H), berasal dari Nishapur
(sekarang Iran). Beliau adalah murid dari Imam Bukhari dan memiliki metode yang
sangat sistematis dalam menyusun kitab Shahih Muslim. Ia menekankan
kesederhanaan dan keteraturan sehingga
kitabnya mudah dipahami oleh para penuntut ilmu.2
3.2. Kriteria Shahih yang Digunakan
Baik Imam al-Bukhari
maupun Imam Muslim menetapkan kriteria ketat untuk hadits-hadits yang dimuat
dalam kitab mereka, meskipun Imam al-Bukhari diketahui menetapkan syarat yang lebih tinggi.
1)
Kriteria
Imam al-Bukhari:
o Sanad harus bersambung (ittishal al-sanad).
o Para perawi harus memiliki reputasi adil (‘adalah)
dan terpercaya (tsiqah).
o Tidak ada cacat tersembunyi (‘illah) dalam sanad atau matan.
o
Hadits harus memiliki
riwayat lain yang mendukung.3
2)
Kriteria
Imam Muslim:
o Sanad harus bersambung.
o Para perawi harus terpercaya (tsiqah), meskipun syarat ketelitian
tidak seketat Shahih Bukhari.
o Penekanan lebih pada pengelompokan hadits berdasarkan jalur
sanad yang beragam untuk menunjukkan konsistensi riwayat.4
3.3. Keistimewaan dan Kekurangan
1)
Shahih
Bukhari:
Keistimewaan:
o Bab-bab tematik yang mencakup berbagai aspek kehidupan Islam.
o Ketelitian seleksi hadits membuat kitab ini dianggap sebagai
kitab paling shahih setelah Al-Qur’an.5
Kekurangan:
o Penyusunan hadits yang kadang tidak sistematis karena lebih
mengikuti logika tematik Imam al-Bukhari.
2)
Shahih
Muslim:
Keistimewaan:
o Penyusunan hadits berdasarkan tema yang lebih rapi, membuatnya
mudah dipelajari oleh pelajar hadits.6
o Imam Muslim sering mencantumkan berbagai jalur sanad untuk
memperkuat keabsahan hadits.
Kekurangan:
o Beberapa ulama menyebutkan bahwa Imam Muslim tidak selektif
dalam memilih sanad seperti Imam al-Bukhari.7
3.4. Penerimaan Ulama Terhadap Kedua Kitab
Kedua kitab ini
mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi di kalangan ulama hadits. Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim dikenal sebagai dua
kitab hadits shahih paling otoritatif, bahkan disebut dengan istilah As-Sahihain
(Dua Kitab Shahih). Ibn Hajar al-Asqalani menyebut Shahih Bukhari sebagai kitab yang
paling shahih setelah Al-Qur’an, sementara Shahih Muslim berada di posisi
kedua.8 Al-Nawawi juga menegaskan bahwa konsensus ulama menetapkan
keduanya sebagai rujukan utama dalam hukum Islam dan kajian hadits.9
Namun, ada pula
diskusi akademis mengenai perbandingan kualitas keduanya. Beberapa ulama, seperti al-Daraquthni, mencatat bahwa
terdapat hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim namun tidak memenuhi
standar ketat Shahih Bukhari. Meskipun demikian,
kedua kitab ini tetap menjadi pilar utama dalam kodifikasi hadits Islam.10
3.5. Signifikansi Kedua Kitab dalam Studi Islam
Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim tidak hanya berfungsi
sebagai koleksi hadits otoritatif tetapi juga menjadi rujukan metodologis bagi
generasi berikutnya. Standar kritik sanad dan matan yang digunakan oleh kedua
imam menjadi landasan bagi
perkembangan ilmu jarh wa ta’dil. Selain itu,
kitab-kitab ini juga menjadi acuan utama dalam memahami ajaran Islam yang
komprehensif, mencakup ibadah, akhlak, dan hukum Islam.11
Catatan Kaki
[1]
Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 1.
[2]
Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, ed. Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1995), 1.
[3]
Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 8.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 113.
[5]
Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Al-Jami' al-Sahih, ed. Mustafa Deeb
al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), 3.
[6]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1991), 7.
[7]
Al-Daraquthni, Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadith al-Nabawiyyah,
ed. Mu‘tasim Billah al-Baghdadi (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2008), 4.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 2.
[9]
Al-Nawawi, Tahdhib al-Asma wa al-Lughat
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 1:49.
[10]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 54.
[11]
Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami
(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 102.
4.
Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan
Ibn Majah
4.1. Latar Belakang Penulis dan Tujuan Kitab
Keempat kitab Sunan
dalam Kutub al-Sittah disusun oleh para ulama besar pada abad ke-3 Hijriah yang
memiliki kontribusi signifikan dalam kodifikasi hadits. Setiap kitab memiliki tujuan dan karakteristik unik,
meskipun semuanya difokuskan pada hadits-hadits yang relevan dengan hukum Islam
(fiqh).
1)
Abu
Dawud (w. 275 H):
Nama lengkapnya adalah Sulaiman ibn
al-Ash’ath al-Sijistani. Ia menyusun Sunan Abu Dawud untuk mengumpulkan
hadits-hadits yang berkaitan langsung dengan hukum Islam. Tujuannya adalah
menyediakan rujukan hukum yang komprehensif, meskipun ia mencantumkan beberapa
hadits dha'if dengan tujuan dokumentasi.1
2)
At-Tirmidzi
(w. 279 H):
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Isa
al-Tirmidzi. Karyanya, Sunan at-Tirmidzi (juga dikenal
sebagai al-Jami’),
mencakup hadits-hadits hukum dan memberikan penilaian terhadap tingkat
kesahihan hadits. Selain itu, ia sering mencantumkan pendapat para ulama
tentang suatu hadits untuk memberikan konteks yang lebih luas.2
3)
An-Nasa’i
(w. 303 H):
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Shu’ayb
an-Nasa’i. Sunan
an-Nasa’i sering dianggap sebagai salah satu kitab Sunan yang
paling shahih karena selektivitas tinggi dalam pemilihan hadits. An-Nasa’i
berusaha untuk menampilkan hadits-hadits yang relevan dengan fiqh dengan
penekanan pada sanad yang kuat.3
4)
Ibn
Majah (w. 273 H):
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn
Yazid Ibn Majah. Kitabnya, Sunan Ibn Majah, melengkapi koleksi
Kutub al-Sittah dengan mencantumkan banyak hadits tambahan yang tidak ditemukan
di kitab-kitab lainnya. Namun, kitab ini mengandung lebih banyak hadits dha'if
dibandingkan dengan kitab Sunan lainnya.4
4.2. Karakteristik dan Fokus Pembahasan
1)
Sunan
Abu Dawud:
Kitab ini memuat sekitar 4.800 hadits
yang dikelompokkan berdasarkan bab-bab fiqh. Abu Dawud mencantumkan hadits
shahih, hasan, dan dha'if, tetapi ia sering memberikan komentar untuk
membedakan tingkat kesahihan hadits tersebut.5
2)
Sunan
at-Tirmidzi:
Kitab ini mencakup sekitar 3.956 hadits.
Salah satu ciri khasnya adalah penyusunan bab yang diakhiri dengan komentar
tentang status hadits, seperti shahih, hasan, atau dha'if, serta pandangan para
ulama tentang hadits tersebut. Sunan at-Tirmidzi juga memberikan
informasi tentang perbedaan pendapat dalam fiqh, sehingga sering disebut
sebagai al-Jami’.6
3)
Sunan
an-Nasa’i:
Sunan an-Nasa’i terdiri dari
sekitar 5.762 hadits. An-Nasa’i sangat selektif dalam memilih hadits dan sering
memberikan komentar kritis terhadap sanad yang dianggap lemah. Kitab ini juga
memiliki versi ringkas yang dikenal sebagai Sunan al-Sughra atau al-Mujtaba,
yang berisi hadits-hadits pilihan dengan tingkat keotentikan lebih tinggi.7
4)
Sunan
Ibn Majah:
Kitab ini memuat sekitar 4.341 hadits
dan sering dianggap sebagai pelengkap Kutub al-Sittah karena mencantumkan
hadits-hadits yang tidak ditemukan di kitab lain. Meskipun kitab ini dihormati,
beberapa ulama mengkritik jumlah hadits dha'if yang cukup banyak, termasuk
beberapa hadits maudhu’ (palsu).8
4.3. Keistimewaan dan Kelemahan Masing-masing Kitab
1)
Sunan
Abu Dawud:
o Keistimewaan: Menjadi rujukan utama
bagi para fuqaha karena fokus pada hadits hukum.
o Kelemahan: Mencantumkan beberapa
hadits yang dha'if tanpa penjelasan rinci, meskipun sering memberi catatan
tambahan.9
2)
Sunan
at-Tirmidzi:
o Keistimewaan: Penjelasan tingkat
kesahihan hadits dan diskusi pendapat ulama membuatnya menjadi kitab yang kaya
wawasan.
o Kelemahan: Tidak semua hadits
disertai komentar tingkat kesahihan, sehingga memerlukan penelitian lebih
lanjut.10
3)
Sunan
an-Nasa’i:
o Keistimewaan: Sangat selektif dalam
memilih hadits, membuat kitab ini sering dianggap lebih shahih dibandingkan
Sunan lainnya.
o Kelemahan: Beberapa bab kurang
lengkap dibandingkan kitab Sunan lainnya.11
4)
Sunan
Ibn Majah:
o Keistimewaan: Memuat hadits
tambahan yang tidak terdapat di kitab lain, menjadikannya pelengkap penting
dalam Kutub al-Sittah.
o Kelemahan: Memuat jumlah hadits
dha'if yang relatif lebih banyak dibandingkan kitab Sunan lainnya.12
4.4. Peran Keempat Kitab dalam Studi Islam
Keempat kitab ini
menjadi rujukan utama dalam hukum Islam karena fokusnya pada hadits-hadits yang
relevan dengan fiqh. Mereka melengkapi dua kitab shahih (Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim) dalam menyediakan sumber hukum Islam yang komprehensif. Dalam
konteks kajian hadits, kitab-kitab Sunan ini membantu memahami perbedaan
pendapat dalam fiqh, khususnya dalam mazhab-mazhab Islam.13
Catatan Kaki
[1]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyi
al-Din Abdul Hamid (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 1.
[2]
Muhammad ibn Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, ed. Ahmad
Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 12.
[3]
Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah
Abu Ghuddah (Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1993), 5.
[4]
Muhammad ibn Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ed. Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1980), 1.
[5]
Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 55.
[6]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 88.
[7]
Al-Nawawi, Tahdhib al-Asma wa al-Lughat
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 58.
[8]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 134.
[9]
Al-Daraquthni, Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadith al-Nabawiyyah,
ed. Mu‘tasim Billah al-Baghdadi (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2008), 3.
[10]
Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 9.
[11]
Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami
(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 78.
[12]
Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, ed. Abdul
Qadir Arnawut (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 11: 250.
[13]
Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, ed. Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1995), 1.
5.
Kutub al-Sittah dalam Perspektif Ulumul Hadits
5.1. Klasifikasi Hadits dalam Kutub al-Sittah
Kutub al-Sittah
merupakan representasi utama dalam klasifikasi hadits berdasarkan tingkat
kesahihannya. Dalam kitab-kitab ini, hadits-hadits dikategorikan menjadi shahih, hasan,
dan dha'if,
dengan penekanan utama pada hadits shahih dan hasan.
1)
Hadits
Shahih:
Hadits yang sanadnya bersambung (muttashil),
rawinya adil dan dhabith, matannya tidak cacat (ma‘lum), dan bebas dari kejanggalan
(syudzudz).1
2)
Hadits
Hasan:
Memiliki persyaratan seperti hadits
shahih tetapi dengan tingkat kekuatan hafalan rawinya yang sedikit lebih
rendah.
3)
Hadits
Dha'if:
Hadits yang tidak memenuhi salah satu
atau lebih syarat hadits shahih atau hasan.2
Kitab Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim hanya memuat hadits
shahih, sedangkan kitab Sunan (Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibn Majah) mencakup hadits-hadits shahih, hasan, dan
dha'if dengan catatan atau komentar dari penyusun kitab.3
5.2. Peran Kutub al-Sittah dalam Kodifikasi Hadits
Kodifikasi hadits
yang ditemukan dalam Kutub al-Sittah menjadi tonggak penting dalam sejarah
Ulumul Hadits. Peran utama kitab-kitab ini adalah menetapkan standar kritis terhadap hadits melalui metodologi
ilmiah yang terus digunakan hingga kini. Beberapa kontribusi utama Kutub
al-Sittah dalam ilmu hadits meliputi:
1)
Penerapan Prinsip Jarh
wa Ta’dil:
Dalam Kutub al-Sittah, para penyusun kitab
menggunakan ilmu jarh wa ta’dil untuk menilai kredibilitas para rawi.
Prinsip ini berfungsi untuk memastikan sanad hadits bebas dari rawi yang
memiliki cacat karakter atau kelemahan hafalan.4
2)
Pembangunan Metodologi
Kritik Sanad:
Imam Bukhari dan Muslim dikenal dengan penerapan
syarat yang sangat ketat dalam sanad. Misalnya, Imam Bukhari mensyaratkan bahwa
setiap rawi dalam sanad harus memiliki pertemuan langsung (liqa’)
dengan rawi sebelumnya, sedangkan Imam Muslim tidak selalu mensyaratkan hal ini
tetapi tetap menjaga kesinambungan sanad.5
3)
Kritik Matan:
Kutub al-Sittah juga menunjukkan penerapan kritik
terhadap matan hadits, meskipun lebih banyak menekankan pada sanad. Sebagai
contoh, Imam Tirmidzi sering memberikan komentar tentang kandungan matan dan
relevansinya dengan pandangan para fuqaha.6
5.3. Studi Banding dengan Kitab Hadits Lainnya
Kutub al-Sittah
sering dibandingkan dengan kitab-kitab hadits lainnya seperti Musnad
Ahmad, Sunan ad-Darimi, dan Muwaththa’
Imam Malik. Beberapa perbedaan penting antara Kutub al-Sittah dan
kitab-kitab lainnya adalah:
1)
Fokus
pada Kualitas:
Kutub al-Sittah lebih menekankan pada
kualitas hadits, sedangkan kitab seperti Musnad Ahmad lebih fokus pada
kuantitas dengan mencantumkan hampir semua riwayat yang sampai kepadanya,
termasuk yang dha'if.7
2)
Sistematisasi
Tematik:
Kutub al-Sittah disusun berdasarkan tema
atau bab yang relevan dengan hukum Islam, sedangkan Muwaththa’ misalnya, mencampurkan
hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in dalam satu bab.8
5.4. Relevansi Kutub al-Sittah dalam Kajian Kontemporer
Dalam kajian
kontemporer, Kutub al-Sittah tetap menjadi rujukan utama bagi para ulama, akademisi, dan mahasiswa ilmu hadits.
Beberapa aspek relevansinya meliputi:
1)
Sumber Otoritatif dalam
Hukum Islam:
Kutub al-Sittah menjadi dasar penetapan hukum
Islam di berbagai mazhab, karena mencakup hadits-hadits yang relevan dengan
berbagai bidang seperti ibadah, muamalah, dan akhlak.9
2)
Standar Penelitian
Modern:
Metode kritik sanad dan matan yang digunakan dalam
Kutub al-Sittah telah menjadi model dalam penelitian hadits modern. Kajian
akademis juga sering menggunakan Kutub al-Sittah sebagai bahan utama dalam
studi perbandingan antara tradisi Islam klasik dan modern.10
3)
Peningkatan Pemahaman
Ilmiah:
Dengan meningkatnya akses ke edisi kritis dan
terjemahan Kutub al-Sittah, umat Islam di seluruh dunia memiliki kesempatan
untuk memahami warisan intelektual Islam secara lebih mendalam.11
5.5. Signifikansi dalam Konservasi Sunnah
Kutub al-Sittah
memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga keaslian sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan dokumentasi yang
sistematis dan selektif, kitab-kitab ini tidak hanya mengabadikan ajaran Nabi
tetapi juga melestarikan metode ilmiah yang menjadi model bagi generasi
berikutnya.12
Catatan Kaki
[1]
Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 8.
[2]
Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 3.
[3]
Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami
(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 45.
[4]
Al-Daraquthni, Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadith al-Nabawiyyah,
ed. Mu‘tasim Billah al-Baghdadi (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2008), 18.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1991), 7.
[6]
Muhammad ibn Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, ed. Ahmad
Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 12.
[7]
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu’ayb
al-Arna’ut (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999), 1.
[8]
Malik ibn Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fu’ad
Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 10.
[9]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 78.
[10]
M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 132.
[11]
Mustafa Azami, The History of the Qur'anic Text from
Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003),
88.
[12]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 1:23.
6.
Kontemporer - Penelitian dan Kajian Terbaru
Tentang Kutub al-Sittah
6.1. Kajian Modern Tentang Kutub al-Sittah
Kajian kontemporer
terhadap Kutub al-Sittah berfokus pada eksplorasi metodologi, verifikasi hadits, dan penerapannya dalam
konteks modern. Seiring perkembangan teknologi dan globalisasi, Kutub al-Sittah
kini menjadi subjek penelitian yang lebih luas, tidak hanya di dunia Muslim
tetapi juga di kalangan akademisi Barat.
1)
Digitalisasi dan Akses
Global:
Dalam beberapa dekade terakhir, Kutub al-Sittah
telah didigitalisasi melalui proyek seperti Al-Maktabah al-Syamilah
dan berbagai aplikasi lainnya. Hal ini mempermudah akses terhadap teks hadits
dan membantu mempopulerkan penelitian berbasis teks menggunakan alat bantu
digital.1
2)
Kajian Kritis atas
Metodologi:
Beberapa akademisi modern, seperti Jonathan A.C.
Brown, mengeksplorasi relevansi metode kritik sanad yang diterapkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim. Penelitian mereka menyoroti keunggulan metode ilmiah klasik
dan bagaimana pendekatan ini dapat diaplikasikan pada masalah kontemporer,
seperti validasi informasi dalam dunia digital.2
3)
Kajian Historis:
Peneliti kontemporer sering mengkaji konteks
historis di balik penulisan Kutub al-Sittah. Mereka meneliti bagaimana dinamika
politik, sosial, dan budaya pada abad ke-3 Hijriah memengaruhi penyusunan
kitab-kitab ini. Misalnya, Fazlur Rahman menyoroti bahwa munculnya Kutub
al-Sittah bertepatan dengan konsolidasi hukum Islam di bawah kekhalifahan
Abbasiyah.3
6.2. Relevansi Kutub al-Sittah di Era Modern
Kutub al-Sittah
tetap relevan dalam menjawab tantangan dakwah dan modernisasi Islam. Dalam dunia yang semakin kompleks,
kitab-kitab ini berfungsi sebagai fondasi untuk memahami sunnah secara
otoritatif.
1)
Panduan Hukum Islam di
Dunia Kontemporer:
Kutub al-Sittah menjadi sumber utama bagi para
ulama dan fuqaha dalam merumuskan fatwa yang relevan dengan masalah modern,
seperti keuangan syariah, teknologi, dan bioetika. Prinsip-prinsip yang terkandung
dalam hadits-hadits ini membantu menciptakan solusi berbasis syariat untuk
persoalan global.4
2)
Pendidikan Islam:
Dalam kurikulum pendidikan Islam, Kutub al-Sittah
menjadi bahan ajar utama dalam mata pelajaran ulumul hadits. Digitalisasi teks
ini memudahkan para pelajar untuk memahami isi kitab secara lebih mendalam,
bahkan dalam lingkungan akademik non-Arab.5
3)
Peran dalam Dialog
Antaragama:
Dalam diskusi antaragama, Kutub al-Sittah sering
dirujuk untuk menjelaskan perspektif Islam tentang isu-isu universal seperti
keadilan, perdamaian, dan hak asasi manusia. Hadits-hadits dalam kitab ini
membantu membangun narasi positif tentang Islam di panggung global.6
6.3. Kontroversi dan Kritik Akademis
Meski dihormati
sebagai karya monumental, Kutub al-Sittah tidak lepas dari kontroversi, terutama dalam kajian akademis
modern. Beberapa kritik utama mencakup:
1)
Validitas Hadits Dha’if
di Kitab Sunan:
Kritik utama terhadap kitab Sunan seperti Sunan
Ibn Majah adalah keberadaan hadits-hadits dha’if bahkan beberapa yang
dianggap maudhu’ (palsu). Penelitian kontemporer menekankan perlunya metode
verifikasi ulang terhadap hadits-hadits ini menggunakan alat analisis modern.7
2)
Persepsi Orientalis:
Beberapa orientalis, seperti Ignaz Goldziher,
meragukan keaslian sebagian besar hadits dalam Kutub al-Sittah. Pandangan ini
telah banyak dikritik oleh ulama Muslim, seperti Mustafa Azami, yang
menunjukkan bahwa kritik tersebut seringkali didasarkan pada asumsi tanpa
mempertimbangkan metodologi kritik sanad yang canggih dalam tradisi Islam.8
3)
Interpretasi
Kontekstual Hadits:
Kajian modern sering membahas pentingnya memahami
hadits dalam konteks waktu dan tempat pewahyuannya. Pendekatan ini bertujuan
untuk mencegah penggunaan hadits secara literal yang dapat menimbulkan
misinterpretasi dalam konteks sosial modern.9
6.4. Arah Masa Depan Penelitian Kutub al-Sittah
Di masa depan,
penelitian tentang Kutub al-Sittah diperkirakan akan semakin berfokus pada
penggunaan teknologi dan interdisipliner. Beberapa peluang pengembangan meliputi:
1)
Analisis Data Besar
(Big Data):
Penelitian berbasis data besar memungkinkan para
akademisi untuk menganalisis pola sanad dan matan hadits di Kutub al-Sittah,
termasuk mengidentifikasi hubungan antara perawi.10
2)
Kajian Interdisipliner:
Integrasi ilmu sosial, sejarah, dan linguistik
dengan ulumul hadits memberikan perspektif baru tentang peran Kutub al-Sittah
dalam peradaban Islam.11
3)
Edisi Kritikal dan
Komentar Baru:
Dengan meningkatnya minat terhadap Kutub
al-Sittah, edisi-edisi baru dengan komentar yang lebih relevan diharapkan dapat
menjembatani antara tradisi klasik dan kebutuhan modern.12
Catatan Kaki
[1]
Al-Maktabah al-Syamilah, Digital Archive of Hadith Texts
(Riyadh: Islamic Library, 2010).
[2]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 45.
[3]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), 67.
[4]
Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami
(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 120.
[5]
Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction
(London: Routledge, 2006), 94.
[6]
Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 128.
[7]
Muhammad ibn Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ed. Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1980), 3.
[8]
Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 60.
[9]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 42.
[10]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law
(London: IIIT, 2008), 89.
[11]
Abdullah al-Judai, Tahrir Ulum al-Hadith (Riyadh: Dar
al-Fadilah, 2005), 34.
[12]
Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah
Abu Ghuddah (Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1993), 10.
7.
Penutup
Kutub al-Sittah,
sebagai koleksi enam kitab hadits utama, adalah pilar penting dalam khazanah
Islam. Kehadirannya tidak hanya memperkaya ilmu hadits, tetapi juga memberikan landasan kokoh bagi berbagai
disiplin ilmu Islam, termasuk fikih, akidah, dan tasawuf. Keenam kitab ini —Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan
an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah— mewakili upaya
maksimal ulama klasik dalam menjaga kemurnian ajaran Nabi Muhammad Saw. melalui
metode ilmiah yang ketat.1
7.1. Kontribusi Utama Kutub al-Sittah
1)
Sumber Otoritatif dalam
Studi Islam:
Kutub al-Sittah telah menjadi rujukan utama dalam
menetapkan hukum syariat dan memahami sunnah. Dalam tradisi Islam, kitab-kitab
ini dipandang sebagai warisan intelektual yang melampaui batas waktu,
memungkinkan umat Islam untuk terus merujuk kepada ajaran Nabi secara autentik.2
2)
Standar Kritik Hadits
yang Tinggi:
Metode kritik sanad dan matan yang diterapkan
oleh para penyusun Kutub al-Sittah telah menjadi model dalam kajian hadits
klasik maupun kontemporer. Standar yang diterapkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim, misalnya, sering disebut sebagai puncak pencapaian dalam ilmu hadits.3
3)
Pelestarian Tradisi
Ilmu Hadits:
Kutub al-Sittah tidak hanya berfungsi sebagai
koleksi hadits, tetapi juga sebagai sarana pelestarian tradisi ilmu hadits yang
menggabungkan keilmuan, spiritualitas, dan komitmen terhadap kebenaran. Upaya
para ulama dalam mengkodifikasi hadits telah membentuk dasar intelektual Islam
yang tetap relevan hingga saat ini.4
7.2. Tantangan dan Relevansi di Era Modern
Meski dihormati
sebagai karya monumental, Kutub al-Sittah tetap menghadapi tantangan, terutama
dalam konteks dunia modern. Misinterpretasi terhadap hadits tertentu, kritik dari orientalis, dan kebutuhan
untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan isu-isu kontemporer menjadi tantangan
yang harus dihadapi dengan pendekatan yang hati-hati dan ilmiah.5
Digitalisasi kitab-kitab ini telah membuka jalan baru untuk penelitian lebih
lanjut, memungkinkan akses yang lebih luas dan mendalam terhadap teks-teks
hadits.6
Sebagai respons
terhadap tantangan ini, ulama kontemporer terus menekankan pentingnya memahami
hadits dalam konteksnya dan menggunakan pendekatan interdisipliner yang
mengintegrasikan ilmu sosial, sejarah, dan linguistik. Hal ini penting untuk
memastikan bahwa pesan universal Islam tetap relevan di tengah dinamika dunia
yang berubah.7
7.3. Penutup Utama
Kutub al-Sittah
adalah warisan intelektual yang tidak hanya memperkaya tradisi ilmu hadits
tetapi juga memberikan arah bagi umat Islam dalam memahami sunnah Nabi. Dengan
menjaga keselarasan antara prinsip-prinsip ajaran Islam dan tuntutan zaman,
Kutub al-Sittah terus menjadi panduan otoritatif
dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Hajar
al-Asqalani, hadits-hadits dalam kitab ini adalah "penyampai petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya,"
yang memungkinkan mereka untuk menjalani kehidupan yang berlandaskan iman dan
ilmu.8
Ke depannya,
penelitian dan kajian terhadap Kutub al-Sittah harus terus diperkuat, tidak
hanya untuk melestarikan sunnah tetapi juga untuk memanfaatkannya dalam
menjawab tantangan zaman. Dengan pendekatan ilmiah dan objektif, warisan Kutub
al-Sittah akan terus menjadi mercusuar bagi umat Islam di seluruh dunia.
Catatan Kaki
[1]
Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith,
ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 8.
[2]
Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami
(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 85.
[3]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 112.
[4]
M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature
(Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 99.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 51.
[6]
Al-Maktabah al-Syamilah, Digital Archive of Hadith Texts
(Riyadh: Islamic Library, 2010).
[7]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law
(London: IIIT, 2008), 94.
[8]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 1: 34.
Daftar Pustaka
Auda, J. (2008). Maqasid
al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. London: IIIT.
Azami, M. M. (1977). Studies
in Hadith Methodology and Literature. Indianapolis: American Trust
Publications.
Azami, M. M. (2003). The
History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation. Leicester: UK
Islamic Academy.
Brown, J. A. C. (2009). Hadith:
Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World. Oxford: Oneworld
Publications.
Fazlur Rahman. (1979). Islam.
Chicago: University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago:
University of Chicago Press.
Ibn Hajar al-Asqalani.
(1986). Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari. Cairo: Dar al-Ma'arif.
Ibn Hajar al-Asqalani.
(1993). Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari. Cairo: Dar al-Ma’arif.
Ibn Salah al-Shahrazuri.
(1986). Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Nur al-Din Itr,
Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
Malik ibn Anas. (1981). Al-Muwaththa’
(Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
Mustafa as-Siba’i. (1996). Al-Sunnah
wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Al-Maktab al-Islami.
Muslim ibn al-Hajjaj.
(1991). Sahih Muslim (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar
Ihya’ al-Turath al-Arabi.
Al-Maktabah al-Syamilah.
(2010). Digital Archive of Hadith Texts. Riyadh: Islamic Library.
Al-Nawawi. (1995). Sharh
Sahih Muslim (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ al-Turath
al-Arabi.
Al-Nawawi. (1998). Tahdhib
al-Asma wa al-Lughat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Tirmidhi, M. ibn I. (1987).
Sunan at-Tirmidhi (Ahmad Muhammad Syakir, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.
Abu Dawud, S. ibn al-A.
(1997). Sunan Abu Dawud (Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid, Ed.).
Cairo: Dar al-Hadith.
An-Nasa’i, A. ibn S.
(1993). Sunan an-Nasa’i (Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ed.). Beirut:
Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah.
Ibn Majah, M. ibn Y.
(1980). Sunan Ibn Majah (Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar
Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah.
Saeed, A. (2006). Islamic
Thought: An Introduction. London: Routledge.
Afsaruddin, A. (2015). Contemporary
Issues in Islam. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar