Sabtu, 18 Januari 2025

Kutub al-Sittah: Fondasi Hadits dalam Khazanah Islam

Kutub al-Sittah

Fondasi Hadits dalam Khazanah Islam


Alihkan ke: Ulumul Hadits


Abstrak

Kutub al-Sittah merupakan koleksi enam kitab hadits utama yang menjadi landasan utama dalam khazanah keilmuan Islam. Keenam kitab tersebut, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah, mencerminkan upaya maksimal ulama abad ke-3 Hijriah dalam menjaga keotentikan sunnah Nabi Muhammad Saw. Artikel ini membahas secara komprehensif tentang definisi, komponen, metodologi penyusunan, serta kontribusi Kutub al-Sittah dalam pengembangan ilmu hadits dan hukum Islam. Melalui analisis terhadap sumber klasik seperti Muqaddimah Ibn al-Salah dan Fath al-Bari, serta kajian kontemporer, artikel ini mengeksplorasi relevansi Kutub al-Sittah dalam menjawab tantangan modern, termasuk digitalisasi, kritik akademis, dan peran interdisipliner dalam penelitian hadits. Dengan tetap mempertahankan metodologi ilmiah, artikel ini menegaskan bahwa Kutub al-Sittah tidak hanya menjadi sumber otoritatif dalam hukum Islam, tetapi juga merupakan warisan intelektual yang terus relevan hingga era modern.

Kata Kunci: Kutub al-Sittah, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Hadits, Ilmu Hadits, Kritik Sanad, Kritik Matan, Warisan Islam, Digitalisasi Hadits, Kajian Kontemporer.


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi Kutub al-Sittah

Kutub al-Sittah adalah istilah yang merujuk kepada enam kitab hadits utama yang diakui oleh mayoritas umat Islam sebagai rujukan otoritatif dalam bidang hadits. Keenam kitab ini adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Para ulama sepakat bahwa Kutub al-Sittah memiliki posisi penting dalam pembentukan landasan hukum Islam, karena mencakup hadits-hadits yang diseleksi berdasarkan kriteria yang sangat ketat oleh masing-masing penyusunnya.1 Kutub ini menjadi fondasi bagi berbagai disiplin ilmu dalam Islam, seperti fikih, tafsir, dan akidah.2

1.2.       Sejarah Awal Pengumpulan Hadits

Pengumpulan hadits sebagai sebuah disiplin ilmiah dimulai sejak generasi tabi’in, setelah wafatnya Rasulullah Saw. pada tahun 11 H/632 M. Pada masa itu, hadits masih tersebar secara lisan dan belum dikodifikasi dalam bentuk kitab.3 Inisiatif kodifikasi secara sistematis dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H), yang memerintahkan penyusunan hadits untuk mencegah hilangnya warisan Nabi akibat wafatnya para sahabat dan ulama.4 Imam Malik bin Anas (w. 179 H) menjadi salah satu pionir dalam pengumpulan hadits melalui karyanya al-Muwaththa’, yang tidak hanya memuat hadits tetapi juga fatwa sahabat dan tabi’in.5

Munculnya Kutub al-Sittah pada abad ke-3 Hijriah menandai puncak dari proses kodifikasi hadits. Pada periode ini, para ulama hadits mulai mengembangkan metode ilmiah yang ketat untuk menyaring hadits-hadits shahih dari yang dha’if, baik melalui penelitian sanad maupun kritik terhadap matan.6 Di antara ulama terkemuka yang berkontribusi pada fase ini adalah Imam Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H), yang menyusun kitab-kitab shahih berdasarkan standar seleksi yang sangat tinggi.7

1.3.       Posisi Kutub al-Sittah dalam Khazanah Islam

Kutub al-Sittah bukan hanya menjadi rujukan utama dalam hukum Islam, tetapi juga menjadi bukti konkret dari keseriusan umat Islam dalam menjaga orisinalitas hadits Nabi. Posisi kitab-kitab ini tidak hanya diakui oleh ulama klasik, tetapi juga menjadi rujukan utama dalam kajian akademik modern.8 Melalui Kutub al-Sittah, umat Islam memiliki sumber otentik untuk memahami ajaran Rasulullah secara utuh, termasuk dalam aspek ibadah, muamalah, akhlak, dan politik.


Catatan Kaki

[1]                Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 14.

[2]                M.M. Al-A'zami, The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 74.

[3]                Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazr fi Tawdih Nukhbat al-Fikr, ed. Nizar al-Basyuni (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 2004), 20.

[4]                Muhammad Ibn Sa‘d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra, ed. E. Sachau (Leiden: Brill, 1905), 129.

[5]                Imam Malik, al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 1.

[6]                Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 91.

[7]                Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 20-25.

[8]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 112.


2.           Kutub al-Sittah - Ringkasan dan Kedudukan

2.1.       Pengertian dan Komponen Kutub al-Sittah

Kutub al-Sittah, yang secara harfiah berarti "Enam Kitab", adalah kumpulan enam kitab hadits utama yang disusun oleh para ulama besar pada abad ke-3 Hijriah. Keenam kitab ini adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Kutub al-Sittah dikenal sebagai rujukan primer dalam kajian hadits karena mencakup hadits-hadits yang dianggap sahih atau mendekati standar kesahihan berdasarkan penelitian sanad dan matan oleh para penyusunnya.1

Keenam kitab ini memiliki fokus dan metode penyusunan yang berbeda. Misalnya, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim hanya mencantumkan hadits-hadits yang memenuhi kriteria shahih yang sangat ketat. Sementara itu, kitab-kitab Sunan seperti Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi lebih menitikberatkan pada hadits-hadits yang relevan dengan fiqh dan hukum Islam, meskipun terdapat hadits hasan dan dha'if di dalamnya.2

2.2.       Perbedaan Kutub al-Sittah dan Kutub Tis'ah

Sebagian ulama menambahkan tiga kitab hadits lainnya ke dalam daftar rujukan utama, sehingga dikenal istilah Kutub Tis'ah (Sembilan Kitab). Tiga kitab tambahan tersebut adalah Musnad Ahmad, Sunan ad-Darimi, dan Muwaththa’ Imam Malik. Berbeda dengan Kutub al-Sittah yang berfokus pada sistematisasi hukum dan kesahihan hadits, kitab-kitab tambahan ini lebih menekankan pada keanekaragaman konten hadits dan rekonstruksi historis periwayatan hadits.3

2.3.       Metodologi Penyusunan Hadits dalam Kutub al-Sittah

Setiap kitab dalam Kutub al-Sittah disusun dengan pendekatan yang unik:

1)                  Shahih Bukhari:

Imam al-Bukhari hanya mencantumkan hadits yang sanadnya muttashil, rawinya terpercaya (tsiqah), dan tidak terdapat cacat (‘illah). Beliau juga mengelompokkan hadits berdasarkan bab tematik untuk memudahkan pembaca dalam memahami kandungan fiqh.4

2)                  Shahih Muslim:

Imam Muslim menekankan pada keutuhan sanad dengan menampilkan riwayat dari berbagai jalur yang mendukung satu hadits. Susunan kitabnya bersifat lebih sistematis dibandingkan Shahih Bukhari.5

3)                  Sunan Abu Dawud:

Fokus pada hadits-hadits hukum yang relevan dengan fiqh, meskipun ada beberapa hadits yang statusnya dha'if tetapi disebutkan karena relevansinya dengan isu tertentu.6

4)                  Sunan at-Tirmidzi:

Imam at-Tirmidzi memberikan komentar tingkat kesahihan hadits, seperti shahih, hasan, atau dha'if, dan sering kali menyebutkan pendapat para ulama tentang hadits tersebut.7

5)                  Sunan an-Nasa’i:

Imam an-Nasa’i dikenal dengan selektivitas tinggi dalam memilih hadits, sehingga Sunan an-Nasa’i dianggap salah satu kitab Sunan yang paling sahih setelah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.8

6)                  Sunan Ibn Majah:

Kitab ini melengkapi Kutub al-Sittah dengan mencantumkan hadits-hadits tambahan yang tidak ditemukan di kitab lainnya, meskipun terdapat kritik terhadap sebagian haditsnya yang dha'if.9

2.4.       Kedudukan Kutub al-Sittah dalam Khazanah Islam

Kutub al-Sittah memiliki posisi istimewa dalam ilmu hadits, karena menjadi dasar utama dalam studi hukum Islam dan kajian keislaman lainnya. Sebagian ulama, seperti Ibn Hajar al-Asqalani, menganggap bahwa hadits-hadits yang termuat dalam Kutub al-Sittah mencakup mayoritas warisan Nabi Muhammad Saw. yang dapat dijadikan rujukan hukum.10

Namun, para ulama juga mengingatkan bahwa kedudukan kitab-kitab ini harus dipahami dengan sikap kritis. Hadits-hadits yang terkandung di dalamnya tetap harus melalui proses verifikasi lebih lanjut, khususnya yang ditemukan dalam kitab-kitab Sunan yang memuat hadits dha'if.11 Kendati demikian, kontribusi Kutub al-Sittah dalam menjaga orisinalitas ajaran Islam tidak diragukan lagi, menjadikannya fondasi utama dalam khazanah Islam hingga hari ini.12


Catatan Kaki

[1]                Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 12.

[2]                Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 53.

[3]                Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 129.

[4]                Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Al-Jami' al-Sahih, ed. Mustafa Deeb al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), 3.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1991), 7.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 1.

[7]                Muhammad ibn Isa at-Tirmidhi, Sunan at-Tirmidhi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 15.

[8]                Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1993), 12.

[9]                Muhammad ibn Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ed. Muhammad Fu'ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1980), 2.

[10]             Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 5.

[11]             Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 212.

[12]             M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 77.


3.           Shahih Bukhari dan Shahih Muslim - Dua Shahih Terkuat

3.1.       Biografi Imam Bukhari dan Imam Muslim

Imam al-Bukhari, nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Isma'il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah al-Bukhari (w. 256 H), adalah salah satu ulama hadits terkemuka yang berasal dari Bukhara (sekarang Uzbekistan). Ia dikenal sebagai figur yang memiliki ketelitian luar biasa dalam memilih hadits yang memenuhi standar kesahihan tertinggi. Karya monumentalnya, Al-Jami' al-Sahih, disusun setelah penelitian selama 16 tahun dengan mengumpulkan hadits dari berbagai wilayah Islam.1 Imam Muslim, atau Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri al-Naisaburi (w. 261 H), berasal dari Nishapur (sekarang Iran). Beliau adalah murid dari Imam Bukhari dan memiliki metode yang sangat sistematis dalam menyusun kitab Shahih Muslim. Ia menekankan kesederhanaan dan keteraturan sehingga kitabnya mudah dipahami oleh para penuntut ilmu.2

3.2.       Kriteria Shahih yang Digunakan

Baik Imam al-Bukhari maupun Imam Muslim menetapkan kriteria ketat untuk hadits-hadits yang dimuat dalam kitab mereka, meskipun Imam al-Bukhari diketahui menetapkan syarat yang lebih tinggi.

1)                  Kriteria Imam al-Bukhari:

o    Sanad harus bersambung (ittishal al-sanad).

o    Para perawi harus memiliki reputasi adil (‘adalah) dan terpercaya (tsiqah).

o    Tidak ada cacat tersembunyi (‘illah) dalam sanad atau matan.

o    Hadits harus memiliki riwayat lain yang mendukung.3

2)                  Kriteria Imam Muslim:

o    Sanad harus bersambung.

o    Para perawi harus terpercaya (tsiqah), meskipun syarat ketelitian tidak seketat Shahih Bukhari.

o    Penekanan lebih pada pengelompokan hadits berdasarkan jalur sanad yang beragam untuk menunjukkan konsistensi riwayat.4

3.3.       Keistimewaan dan Kekurangan

1)                  Shahih Bukhari:

Keistimewaan:

o    Bab-bab tematik yang mencakup berbagai aspek kehidupan Islam.

o    Ketelitian seleksi hadits membuat kitab ini dianggap sebagai kitab paling shahih setelah Al-Qur’an.5

Kekurangan:

o    Penyusunan hadits yang kadang tidak sistematis karena lebih mengikuti logika tematik Imam al-Bukhari.

2)                  Shahih Muslim:

Keistimewaan:

o    Penyusunan hadits berdasarkan tema yang lebih rapi, membuatnya mudah dipelajari oleh pelajar hadits.6

o    Imam Muslim sering mencantumkan berbagai jalur sanad untuk memperkuat keabsahan hadits.

Kekurangan:

o    Beberapa ulama menyebutkan bahwa Imam Muslim tidak selektif dalam memilih sanad seperti Imam al-Bukhari.7

3.4.       Penerimaan Ulama Terhadap Kedua Kitab

Kedua kitab ini mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi di kalangan ulama hadits. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dikenal sebagai dua kitab hadits shahih paling otoritatif, bahkan disebut dengan istilah As-Sahihain (Dua Kitab Shahih). Ibn Hajar al-Asqalani menyebut Shahih Bukhari sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an, sementara Shahih Muslim berada di posisi kedua.8 Al-Nawawi juga menegaskan bahwa konsensus ulama menetapkan keduanya sebagai rujukan utama dalam hukum Islam dan kajian hadits.9

Namun, ada pula diskusi akademis mengenai perbandingan kualitas keduanya. Beberapa ulama, seperti al-Daraquthni, mencatat bahwa terdapat hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim namun tidak memenuhi standar ketat Shahih Bukhari. Meskipun demikian, kedua kitab ini tetap menjadi pilar utama dalam kodifikasi hadits Islam.10

3.5.       Signifikansi Kedua Kitab dalam Studi Islam

Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak hanya berfungsi sebagai koleksi hadits otoritatif tetapi juga menjadi rujukan metodologis bagi generasi berikutnya. Standar kritik sanad dan matan yang digunakan oleh kedua imam menjadi landasan bagi perkembangan ilmu jarh wa ta’dil. Selain itu, kitab-kitab ini juga menjadi acuan utama dalam memahami ajaran Islam yang komprehensif, mencakup ibadah, akhlak, dan hukum Islam.11


Catatan Kaki

[1]                Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 1.

[2]                Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1995), 1.

[3]                Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 8.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 113.

[5]                Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Al-Jami' al-Sahih, ed. Mustafa Deeb al-Bugha (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), 3.

[6]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1991), 7.

[7]                Al-Daraquthni, Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadith al-Nabawiyyah, ed. Mu‘tasim Billah al-Baghdadi (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2008), 4.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 2.

[9]                Al-Nawawi, Tahdhib al-Asma wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 1:49.

[10]             Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 54.

[11]             Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 102.


4.           Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibn Majah

4.1.       Latar Belakang Penulis dan Tujuan Kitab

Keempat kitab Sunan dalam Kutub al-Sittah disusun oleh para ulama besar pada abad ke-3 Hijriah yang memiliki kontribusi signifikan dalam kodifikasi hadits. Setiap kitab memiliki tujuan dan karakteristik unik, meskipun semuanya difokuskan pada hadits-hadits yang relevan dengan hukum Islam (fiqh).

1)                  Abu Dawud (w. 275 H):

Nama lengkapnya adalah Sulaiman ibn al-Ash’ath al-Sijistani. Ia menyusun Sunan Abu Dawud untuk mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan langsung dengan hukum Islam. Tujuannya adalah menyediakan rujukan hukum yang komprehensif, meskipun ia mencantumkan beberapa hadits dha'if dengan tujuan dokumentasi.1

2)                  At-Tirmidzi (w. 279 H):

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Isa al-Tirmidzi. Karyanya, Sunan at-Tirmidzi (juga dikenal sebagai al-Jami’), mencakup hadits-hadits hukum dan memberikan penilaian terhadap tingkat kesahihan hadits. Selain itu, ia sering mencantumkan pendapat para ulama tentang suatu hadits untuk memberikan konteks yang lebih luas.2

3)                  An-Nasa’i (w. 303 H):

Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasa’i. Sunan an-Nasa’i sering dianggap sebagai salah satu kitab Sunan yang paling shahih karena selektivitas tinggi dalam pemilihan hadits. An-Nasa’i berusaha untuk menampilkan hadits-hadits yang relevan dengan fiqh dengan penekanan pada sanad yang kuat.3

4)                  Ibn Majah (w. 273 H):

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Yazid Ibn Majah. Kitabnya, Sunan Ibn Majah, melengkapi koleksi Kutub al-Sittah dengan mencantumkan banyak hadits tambahan yang tidak ditemukan di kitab-kitab lainnya. Namun, kitab ini mengandung lebih banyak hadits dha'if dibandingkan dengan kitab Sunan lainnya.4

4.2.       Karakteristik dan Fokus Pembahasan

1)                  Sunan Abu Dawud:

Kitab ini memuat sekitar 4.800 hadits yang dikelompokkan berdasarkan bab-bab fiqh. Abu Dawud mencantumkan hadits shahih, hasan, dan dha'if, tetapi ia sering memberikan komentar untuk membedakan tingkat kesahihan hadits tersebut.5

2)                  Sunan at-Tirmidzi:

Kitab ini mencakup sekitar 3.956 hadits. Salah satu ciri khasnya adalah penyusunan bab yang diakhiri dengan komentar tentang status hadits, seperti shahih, hasan, atau dha'if, serta pandangan para ulama tentang hadits tersebut. Sunan at-Tirmidzi juga memberikan informasi tentang perbedaan pendapat dalam fiqh, sehingga sering disebut sebagai al-Jami’.6

3)                  Sunan an-Nasa’i:

Sunan an-Nasa’i terdiri dari sekitar 5.762 hadits. An-Nasa’i sangat selektif dalam memilih hadits dan sering memberikan komentar kritis terhadap sanad yang dianggap lemah. Kitab ini juga memiliki versi ringkas yang dikenal sebagai Sunan al-Sughra atau al-Mujtaba, yang berisi hadits-hadits pilihan dengan tingkat keotentikan lebih tinggi.7

4)                  Sunan Ibn Majah:

Kitab ini memuat sekitar 4.341 hadits dan sering dianggap sebagai pelengkap Kutub al-Sittah karena mencantumkan hadits-hadits yang tidak ditemukan di kitab lain. Meskipun kitab ini dihormati, beberapa ulama mengkritik jumlah hadits dha'if yang cukup banyak, termasuk beberapa hadits maudhu’ (palsu).8

4.3.       Keistimewaan dan Kelemahan Masing-masing Kitab

1)                  Sunan Abu Dawud:

o    Keistimewaan: Menjadi rujukan utama bagi para fuqaha karena fokus pada hadits hukum.

o    Kelemahan: Mencantumkan beberapa hadits yang dha'if tanpa penjelasan rinci, meskipun sering memberi catatan tambahan.9

2)                  Sunan at-Tirmidzi:

o    Keistimewaan: Penjelasan tingkat kesahihan hadits dan diskusi pendapat ulama membuatnya menjadi kitab yang kaya wawasan.

o    Kelemahan: Tidak semua hadits disertai komentar tingkat kesahihan, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.10

3)                  Sunan an-Nasa’i:

o    Keistimewaan: Sangat selektif dalam memilih hadits, membuat kitab ini sering dianggap lebih shahih dibandingkan Sunan lainnya.

o    Kelemahan: Beberapa bab kurang lengkap dibandingkan kitab Sunan lainnya.11

4)                  Sunan Ibn Majah:

o    Keistimewaan: Memuat hadits tambahan yang tidak terdapat di kitab lain, menjadikannya pelengkap penting dalam Kutub al-Sittah.

o    Kelemahan: Memuat jumlah hadits dha'if yang relatif lebih banyak dibandingkan kitab Sunan lainnya.12

4.4.       Peran Keempat Kitab dalam Studi Islam

Keempat kitab ini menjadi rujukan utama dalam hukum Islam karena fokusnya pada hadits-hadits yang relevan dengan fiqh. Mereka melengkapi dua kitab shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dalam menyediakan sumber hukum Islam yang komprehensif. Dalam konteks kajian hadits, kitab-kitab Sunan ini membantu memahami perbedaan pendapat dalam fiqh, khususnya dalam mazhab-mazhab Islam.13


Catatan Kaki

[1]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, ed. Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 1.

[2]                Muhammad ibn Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 12.

[3]                Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1993), 5.

[4]                Muhammad ibn Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ed. Muhammad Fu'ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1980), 1.

[5]                Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 55.

[6]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 88.

[7]                Al-Nawawi, Tahdhib al-Asma wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 58.

[8]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 134.

[9]                Al-Daraquthni, Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadith al-Nabawiyyah, ed. Mu‘tasim Billah al-Baghdadi (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2008), 3.

[10]             Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 9.

[11]             Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 78.

[12]             Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, ed. Abdul Qadir Arnawut (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 11: 250.

[13]             Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1995), 1.


5.           Kutub al-Sittah dalam Perspektif Ulumul Hadits

5.1.       Klasifikasi Hadits dalam Kutub al-Sittah

Kutub al-Sittah merupakan representasi utama dalam klasifikasi hadits berdasarkan tingkat kesahihannya. Dalam kitab-kitab ini, hadits-hadits dikategorikan menjadi shahih, hasan, dan dha'if, dengan penekanan utama pada hadits shahih dan hasan.

1)                  Hadits Shahih:

Hadits yang sanadnya bersambung (muttashil), rawinya adil dan dhabith, matannya tidak cacat (ma‘lum), dan bebas dari kejanggalan (syudzudz).1

2)                  Hadits Hasan:

Memiliki persyaratan seperti hadits shahih tetapi dengan tingkat kekuatan hafalan rawinya yang sedikit lebih rendah.

3)                  Hadits Dha'if:

Hadits yang tidak memenuhi salah satu atau lebih syarat hadits shahih atau hasan.2

Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim hanya memuat hadits shahih, sedangkan kitab Sunan (Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibn Majah) mencakup hadits-hadits shahih, hasan, dan dha'if dengan catatan atau komentar dari penyusun kitab.3

5.2.       Peran Kutub al-Sittah dalam Kodifikasi Hadits

Kodifikasi hadits yang ditemukan dalam Kutub al-Sittah menjadi tonggak penting dalam sejarah Ulumul Hadits. Peran utama kitab-kitab ini adalah menetapkan standar kritis terhadap hadits melalui metodologi ilmiah yang terus digunakan hingga kini. Beberapa kontribusi utama Kutub al-Sittah dalam ilmu hadits meliputi:

1)                  Penerapan Prinsip Jarh wa Ta’dil:

Dalam Kutub al-Sittah, para penyusun kitab menggunakan ilmu jarh wa ta’dil untuk menilai kredibilitas para rawi. Prinsip ini berfungsi untuk memastikan sanad hadits bebas dari rawi yang memiliki cacat karakter atau kelemahan hafalan.4

2)                  Pembangunan Metodologi Kritik Sanad:

Imam Bukhari dan Muslim dikenal dengan penerapan syarat yang sangat ketat dalam sanad. Misalnya, Imam Bukhari mensyaratkan bahwa setiap rawi dalam sanad harus memiliki pertemuan langsung (liqa’) dengan rawi sebelumnya, sedangkan Imam Muslim tidak selalu mensyaratkan hal ini tetapi tetap menjaga kesinambungan sanad.5

3)                  Kritik Matan:

Kutub al-Sittah juga menunjukkan penerapan kritik terhadap matan hadits, meskipun lebih banyak menekankan pada sanad. Sebagai contoh, Imam Tirmidzi sering memberikan komentar tentang kandungan matan dan relevansinya dengan pandangan para fuqaha.6

5.3.       Studi Banding dengan Kitab Hadits Lainnya

Kutub al-Sittah sering dibandingkan dengan kitab-kitab hadits lainnya seperti Musnad Ahmad, Sunan ad-Darimi, dan Muwaththa’ Imam Malik. Beberapa perbedaan penting antara Kutub al-Sittah dan kitab-kitab lainnya adalah:

1)                  Fokus pada Kualitas:

Kutub al-Sittah lebih menekankan pada kualitas hadits, sedangkan kitab seperti Musnad Ahmad lebih fokus pada kuantitas dengan mencantumkan hampir semua riwayat yang sampai kepadanya, termasuk yang dha'if.7

2)                  Sistematisasi Tematik:

Kutub al-Sittah disusun berdasarkan tema atau bab yang relevan dengan hukum Islam, sedangkan Muwaththa’ misalnya, mencampurkan hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in dalam satu bab.8

5.4.       Relevansi Kutub al-Sittah dalam Kajian Kontemporer

Dalam kajian kontemporer, Kutub al-Sittah tetap menjadi rujukan utama bagi para ulama, akademisi, dan mahasiswa ilmu hadits. Beberapa aspek relevansinya meliputi:

1)                  Sumber Otoritatif dalam Hukum Islam:

Kutub al-Sittah menjadi dasar penetapan hukum Islam di berbagai mazhab, karena mencakup hadits-hadits yang relevan dengan berbagai bidang seperti ibadah, muamalah, dan akhlak.9

2)                  Standar Penelitian Modern:

Metode kritik sanad dan matan yang digunakan dalam Kutub al-Sittah telah menjadi model dalam penelitian hadits modern. Kajian akademis juga sering menggunakan Kutub al-Sittah sebagai bahan utama dalam studi perbandingan antara tradisi Islam klasik dan modern.10

3)                  Peningkatan Pemahaman Ilmiah:

Dengan meningkatnya akses ke edisi kritis dan terjemahan Kutub al-Sittah, umat Islam di seluruh dunia memiliki kesempatan untuk memahami warisan intelektual Islam secara lebih mendalam.11

5.5.       Signifikansi dalam Konservasi Sunnah

Kutub al-Sittah memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga keaslian sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan dokumentasi yang sistematis dan selektif, kitab-kitab ini tidak hanya mengabadikan ajaran Nabi tetapi juga melestarikan metode ilmiah yang menjadi model bagi generasi berikutnya.12


Catatan Kaki

[1]                Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 8.

[2]                Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1986), 3.

[3]                Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 45.

[4]                Al-Daraquthni, Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadith al-Nabawiyyah, ed. Mu‘tasim Billah al-Baghdadi (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 2008), 18.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1991), 7.

[6]                Muhammad ibn Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 12.

[7]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu’ayb al-Arna’ut (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999), 1.

[8]                Malik ibn Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 10.

[9]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 78.

[10]             M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 132.

[11]             Mustafa Azami, The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 88.

[12]             Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 1:23.


6.           Kontemporer - Penelitian dan Kajian Terbaru Tentang Kutub al-Sittah

6.1.       Kajian Modern Tentang Kutub al-Sittah

Kajian kontemporer terhadap Kutub al-Sittah berfokus pada eksplorasi metodologi, verifikasi hadits, dan penerapannya dalam konteks modern. Seiring perkembangan teknologi dan globalisasi, Kutub al-Sittah kini menjadi subjek penelitian yang lebih luas, tidak hanya di dunia Muslim tetapi juga di kalangan akademisi Barat.

1)                  Digitalisasi dan Akses Global:

Dalam beberapa dekade terakhir, Kutub al-Sittah telah didigitalisasi melalui proyek seperti Al-Maktabah al-Syamilah dan berbagai aplikasi lainnya. Hal ini mempermudah akses terhadap teks hadits dan membantu mempopulerkan penelitian berbasis teks menggunakan alat bantu digital.1

2)                  Kajian Kritis atas Metodologi:

Beberapa akademisi modern, seperti Jonathan A.C. Brown, mengeksplorasi relevansi metode kritik sanad yang diterapkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Penelitian mereka menyoroti keunggulan metode ilmiah klasik dan bagaimana pendekatan ini dapat diaplikasikan pada masalah kontemporer, seperti validasi informasi dalam dunia digital.2

3)                  Kajian Historis:

Peneliti kontemporer sering mengkaji konteks historis di balik penulisan Kutub al-Sittah. Mereka meneliti bagaimana dinamika politik, sosial, dan budaya pada abad ke-3 Hijriah memengaruhi penyusunan kitab-kitab ini. Misalnya, Fazlur Rahman menyoroti bahwa munculnya Kutub al-Sittah bertepatan dengan konsolidasi hukum Islam di bawah kekhalifahan Abbasiyah.3

6.2.       Relevansi Kutub al-Sittah di Era Modern

Kutub al-Sittah tetap relevan dalam menjawab tantangan dakwah dan modernisasi Islam. Dalam dunia yang semakin kompleks, kitab-kitab ini berfungsi sebagai fondasi untuk memahami sunnah secara otoritatif.

1)                  Panduan Hukum Islam di Dunia Kontemporer:

Kutub al-Sittah menjadi sumber utama bagi para ulama dan fuqaha dalam merumuskan fatwa yang relevan dengan masalah modern, seperti keuangan syariah, teknologi, dan bioetika. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam hadits-hadits ini membantu menciptakan solusi berbasis syariat untuk persoalan global.4

2)                  Pendidikan Islam:

Dalam kurikulum pendidikan Islam, Kutub al-Sittah menjadi bahan ajar utama dalam mata pelajaran ulumul hadits. Digitalisasi teks ini memudahkan para pelajar untuk memahami isi kitab secara lebih mendalam, bahkan dalam lingkungan akademik non-Arab.5

3)                  Peran dalam Dialog Antaragama:

Dalam diskusi antaragama, Kutub al-Sittah sering dirujuk untuk menjelaskan perspektif Islam tentang isu-isu universal seperti keadilan, perdamaian, dan hak asasi manusia. Hadits-hadits dalam kitab ini membantu membangun narasi positif tentang Islam di panggung global.6

6.3.       Kontroversi dan Kritik Akademis

Meski dihormati sebagai karya monumental, Kutub al-Sittah tidak lepas dari kontroversi, terutama dalam kajian akademis modern. Beberapa kritik utama mencakup:

1)                  Validitas Hadits Dha’if di Kitab Sunan:

Kritik utama terhadap kitab Sunan seperti Sunan Ibn Majah adalah keberadaan hadits-hadits dha’if bahkan beberapa yang dianggap maudhu’ (palsu). Penelitian kontemporer menekankan perlunya metode verifikasi ulang terhadap hadits-hadits ini menggunakan alat analisis modern.7

2)                  Persepsi Orientalis:

Beberapa orientalis, seperti Ignaz Goldziher, meragukan keaslian sebagian besar hadits dalam Kutub al-Sittah. Pandangan ini telah banyak dikritik oleh ulama Muslim, seperti Mustafa Azami, yang menunjukkan bahwa kritik tersebut seringkali didasarkan pada asumsi tanpa mempertimbangkan metodologi kritik sanad yang canggih dalam tradisi Islam.8

3)                  Interpretasi Kontekstual Hadits:

Kajian modern sering membahas pentingnya memahami hadits dalam konteks waktu dan tempat pewahyuannya. Pendekatan ini bertujuan untuk mencegah penggunaan hadits secara literal yang dapat menimbulkan misinterpretasi dalam konteks sosial modern.9

6.4.       Arah Masa Depan Penelitian Kutub al-Sittah

Di masa depan, penelitian tentang Kutub al-Sittah diperkirakan akan semakin berfokus pada penggunaan teknologi dan interdisipliner. Beberapa peluang pengembangan meliputi:

1)                  Analisis Data Besar (Big Data):

Penelitian berbasis data besar memungkinkan para akademisi untuk menganalisis pola sanad dan matan hadits di Kutub al-Sittah, termasuk mengidentifikasi hubungan antara perawi.10

2)                  Kajian Interdisipliner:

Integrasi ilmu sosial, sejarah, dan linguistik dengan ulumul hadits memberikan perspektif baru tentang peran Kutub al-Sittah dalam peradaban Islam.11

3)                  Edisi Kritikal dan Komentar Baru:

Dengan meningkatnya minat terhadap Kutub al-Sittah, edisi-edisi baru dengan komentar yang lebih relevan diharapkan dapat menjembatani antara tradisi klasik dan kebutuhan modern.12


Catatan Kaki

[1]                Al-Maktabah al-Syamilah, Digital Archive of Hadith Texts (Riyadh: Islamic Library, 2010).

[2]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 45.

[3]                Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 67.

[4]                Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 120.

[5]                Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London: Routledge, 2006), 94.

[6]                Asma Afsaruddin, Contemporary Issues in Islam (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), 128.

[7]                Muhammad ibn Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, ed. Muhammad Fu'ad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1980), 3.

[8]                Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 60.

[9]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 42.

[10]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (London: IIIT, 2008), 89.

[11]             Abdullah al-Judai, Tahrir Ulum al-Hadith (Riyadh: Dar al-Fadilah, 2005), 34.

[12]             Ahmad ibn Shu’ayb an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, ed. Abdul Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1993), 10.


7.           Penutup

Kutub al-Sittah, sebagai koleksi enam kitab hadits utama, adalah pilar penting dalam khazanah Islam. Kehadirannya tidak hanya memperkaya ilmu hadits, tetapi juga memberikan landasan kokoh bagi berbagai disiplin ilmu Islam, termasuk fikih, akidah, dan tasawuf. Keenam kitab ini —Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah— mewakili upaya maksimal ulama klasik dalam menjaga kemurnian ajaran Nabi Muhammad Saw. melalui metode ilmiah yang ketat.1

7.1.       Kontribusi Utama Kutub al-Sittah

1)                  Sumber Otoritatif dalam Studi Islam:

Kutub al-Sittah telah menjadi rujukan utama dalam menetapkan hukum syariat dan memahami sunnah. Dalam tradisi Islam, kitab-kitab ini dipandang sebagai warisan intelektual yang melampaui batas waktu, memungkinkan umat Islam untuk terus merujuk kepada ajaran Nabi secara autentik.2

2)                  Standar Kritik Hadits yang Tinggi:

Metode kritik sanad dan matan yang diterapkan oleh para penyusun Kutub al-Sittah telah menjadi model dalam kajian hadits klasik maupun kontemporer. Standar yang diterapkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, misalnya, sering disebut sebagai puncak pencapaian dalam ilmu hadits.3

3)                  Pelestarian Tradisi Ilmu Hadits:

Kutub al-Sittah tidak hanya berfungsi sebagai koleksi hadits, tetapi juga sebagai sarana pelestarian tradisi ilmu hadits yang menggabungkan keilmuan, spiritualitas, dan komitmen terhadap kebenaran. Upaya para ulama dalam mengkodifikasi hadits telah membentuk dasar intelektual Islam yang tetap relevan hingga saat ini.4

7.2.       Tantangan dan Relevansi di Era Modern

Meski dihormati sebagai karya monumental, Kutub al-Sittah tetap menghadapi tantangan, terutama dalam konteks dunia modern. Misinterpretasi terhadap hadits tertentu, kritik dari orientalis, dan kebutuhan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan isu-isu kontemporer menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan pendekatan yang hati-hati dan ilmiah.5 Digitalisasi kitab-kitab ini telah membuka jalan baru untuk penelitian lebih lanjut, memungkinkan akses yang lebih luas dan mendalam terhadap teks-teks hadits.6

Sebagai respons terhadap tantangan ini, ulama kontemporer terus menekankan pentingnya memahami hadits dalam konteksnya dan menggunakan pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan ilmu sosial, sejarah, dan linguistik. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pesan universal Islam tetap relevan di tengah dinamika dunia yang berubah.7

7.3.       Penutup Utama

Kutub al-Sittah adalah warisan intelektual yang tidak hanya memperkaya tradisi ilmu hadits tetapi juga memberikan arah bagi umat Islam dalam memahami sunnah Nabi. Dengan menjaga keselarasan antara prinsip-prinsip ajaran Islam dan tuntutan zaman, Kutub al-Sittah terus menjadi panduan otoritatif dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Hajar al-Asqalani, hadits-hadits dalam kitab ini adalah "penyampai petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya," yang memungkinkan mereka untuk menjalani kehidupan yang berlandaskan iman dan ilmu.8

Ke depannya, penelitian dan kajian terhadap Kutub al-Sittah harus terus diperkuat, tidak hanya untuk melestarikan sunnah tetapi juga untuk memanfaatkannya dalam menjawab tantangan zaman. Dengan pendekatan ilmiah dan objektif, warisan Kutub al-Sittah akan terus menjadi mercusuar bagi umat Islam di seluruh dunia.


Catatan Kaki

[1]                Ibn Salah al-Shahrazuri, Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith, ed. Nur al-Din Itr (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 8.

[2]                Mustafa as-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1996), 85.

[3]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 112.

[4]                M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 99.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 51.

[6]                Al-Maktabah al-Syamilah, Digital Archive of Hadith Texts (Riyadh: Islamic Library, 2010).

[7]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (London: IIIT, 2008), 94.

[8]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1993), 1: 34.


Daftar Pustaka

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. London: IIIT.

Azami, M. M. (1977). Studies in Hadith Methodology and Literature. Indianapolis: American Trust Publications.

Azami, M. M. (2003). The History of the Qur'anic Text from Revelation to Compilation. Leicester: UK Islamic Academy.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World. Oxford: Oneworld Publications.

Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Ibn Hajar al-Asqalani. (1986). Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari. Cairo: Dar al-Ma'arif.

Ibn Hajar al-Asqalani. (1993). Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari. Cairo: Dar al-Ma’arif.

Ibn Salah al-Shahrazuri. (1986). Muqaddimah Ibn al-Salah fi Ulum al-Hadith (Nur al-Din Itr, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Malik ibn Anas. (1981). Al-Muwaththa’ (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Mustafa as-Siba’i. (1996). Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami. Beirut: Al-Maktab al-Islami.

Muslim ibn al-Hajjaj. (1991). Sahih Muslim (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi.

Al-Maktabah al-Syamilah. (2010). Digital Archive of Hadith Texts. Riyadh: Islamic Library.

Al-Nawawi. (1995). Sharh Sahih Muslim (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi.

Al-Nawawi. (1998). Tahdhib al-Asma wa al-Lughat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Tirmidhi, M. ibn I. (1987). Sunan at-Tirmidhi (Ahmad Muhammad Syakir, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr.

Abu Dawud, S. ibn al-A. (1997). Sunan Abu Dawud (Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid, Ed.). Cairo: Dar al-Hadith.

An-Nasa’i, A. ibn S. (1993). Sunan an-Nasa’i (Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ed.). Beirut: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah.

Ibn Majah, M. ibn Y. (1980). Sunan Ibn Majah (Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah.

Saeed, A. (2006). Islamic Thought: An Introduction. London: Routledge.

Afsaruddin, A. (2015). Contemporary Issues in Islam. Edinburgh: Edinburgh University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar