Rabu, 08 Januari 2025

Keraguan Sistematis: Pendekatan Filosofis René Descartes untuk Mencapai Kepastian

Keraguan Sistematis

Pendekatan Filosofis René Descartes untuk Mencapai Kepastian


Abstrak

Keraguan sistematis yang diperkenalkan oleh René Descartes merupakan pendekatan filosofis yang berusaha mencapai kepastian melalui proses meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Metode ini menekankan pentingnya skeptisisme rasional untuk membangun fondasi pengetahuan yang kokoh dan tak tergoyahkan, dengan prinsip dasar Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada"). Artikel ini membahas konsep dasar keraguan sistematis, tujuannya untuk mereformasi epistemologi, dan signifikansinya dalam ilmu pengetahuan. Selain itu, artikel ini mengulas kritik dari berbagai filsuf, seperti Spinoza, Hume, dan Heidegger, serta membandingkan pendekatan Descartes dengan tradisi filsafat lainnya, termasuk skeptisisme Yunani dan epistemologi Islam. Relevansi keraguan sistematis di era modern juga dieksplorasi, terutama dalam menghadapi tantangan informasi yang berlebihan, teknologi, dan pengambilan keputusan berbasis data. Artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun memiliki keterbatasan, keraguan sistematis tetap relevan sebagai landasan berpikir kritis di berbagai disiplin ilmu dan kehidupan sehari-hari.


Kata Kunci: René Descartes, keraguan sistematis, skeptisisme, Cogito ergo sum, epistemologi, filsafat modern, skeptisisme Yunani, metode ilmiah, relevansi modern.


1.           Pendahuluan

Keraguan adalah salah satu elemen yang paling mendasar dalam filsafat, digunakan sebagai alat untuk menggali kepastian dan membangun fondasi pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, keraguan telah menjadi alat analisis yang dipakai oleh berbagai tradisi pemikiran, termasuk oleh para filsuf Yunani kuno seperti Pyrrho dan Sextus Empiricus yang memelopori skeptisisme. Namun, pendekatan yang dilakukan oleh René Descartes di abad ke-17 berbeda secara mendasar karena ia menggunakan keraguan tidak untuk mempertahankan skeptisisme, tetapi untuk mencari kepastian yang absolut dan tidak dapat disangkal. Pendekatan ini kemudian dikenal sebagai keraguan sistematis (methodical doubt), yang menjadi inti dari filsafat modern Descartes.¹

René Descartes, seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuwan asal Prancis, hidup pada masa ketika ilmu pengetahuan mulai berkembang pesat, tetapi otoritas tradisional seperti gereja masih memegang kendali atas kebenaran ilmiah dan filosofis. Dalam konteks ini, Descartes merasa perlu untuk mencari dasar kebenaran yang independen dari otoritas eksternal atau dogma. Melalui karyanya Meditations on First Philosophy, ia mengemukakan metode keraguan sistematis sebagai langkah awal untuk merombak seluruh struktur pengetahuan yang telah diterima secara konvensional.²

Descartes mengidentifikasi bahwa banyak keyakinan manusia bersifat rapuh karena didasarkan pada pengalaman indrawi atau asumsi yang tidak dapat diuji. Misalnya, penglihatan dan pendengaran sering kali memberikan gambaran yang keliru tentang realitas.³ Oleh karena itu, ia berargumen bahwa satu-satunya cara untuk mencapai kepastian adalah dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan hingga ditemukan sebuah kebenaran yang tidak bisa diragukan sama sekali. Proses ini, menurut Descartes, adalah landasan bagi epistemologi dan ilmu pengetahuan yang kokoh.

Keraguan sistematis juga mencerminkan semangat zaman (zeitgeist) dari era Renaisans dan awal modernitas, ketika banyak pemikir mulai mempertanyakan otoritas tradisional dan mencari kebebasan intelektual. Pendekatan Descartes membuka jalan bagi munculnya metode ilmiah modern, yang berlandaskan pada observasi, eksperimen, dan analisis kritis.⁴ Oleh karena itu, keraguan sistematis bukan hanya penting dalam filsafat, tetapi juga berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Melalui pendekatan ini, Descartes tidak hanya menantang dogma filosofis yang sudah mapan, tetapi juga memberikan kerangka baru untuk berpikir kritis dan sistematis. Pendekatan ini menjadi awal dari filsafat modern dan tetap relevan hingga saat ini, baik dalam filsafat maupun dalam disiplin lain seperti ilmu pengetahuan, teknologi, dan bahkan kehidupan sehari-hari.⁵


Catatan Kaki

[1]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 145.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.

[3]                Ibid., 15.

[4]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 245.

[5]                Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 88.


2.           Biografi Singkat René Descartes

René Descartes lahir pada 31 Maret 1596 di La Haye en Touraine, sebuah kota kecil di Prancis yang kini dikenal sebagai Descartes untuk menghormatinya.¹ Descartes berasal dari keluarga bangsawan rendah yang memungkinkan dirinya menerima pendidikan yang baik sejak usia muda. Ia belajar di Collège Royal Henry-Le-Grand di La Flèche, sebuah sekolah Jesuit bergengsi, di mana ia memperoleh fondasi dalam ilmu humaniora, matematika, dan filsafat Aristotelian.² Pendidikan ini memberikan pengaruh besar dalam pembentukan pola pikirnya, meskipun pada akhirnya ia memilih untuk menentang sebagian besar prinsip-prinsip skolastik tradisional.

Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1614, Descartes melanjutkan studinya di Universitas Poitiers, di mana ia memperoleh gelar hukum pada tahun 1616. Namun, ia tidak tertarik untuk menjalani karier hukum seperti yang diharapkan keluarganya. Sebaliknya, Descartes mencari jawaban yang lebih mendalam tentang alam semesta dan hakikat pengetahuan.³

Pada tahun 1618, Descartes bergabung dengan militer Belanda di bawah Pangeran Maurice dari Nassau. Di sana, ia bertemu dengan Isaac Beeckman, seorang filsuf dan matematikawan yang memperkenalkannya pada metode mekanistik dalam memahami dunia. Hubungan ini menjadi titik balik dalam hidup Descartes, yang memicu ketertarikannya pada matematika dan fisika sebagai alat untuk menjelaskan fenomena alam.⁴

Perjalanan intelektual Descartes membawanya untuk mengembara ke berbagai negara Eropa, termasuk Jerman, Belanda, dan Italia. Pada 1628, ia pindah ke Belanda, di mana ia tinggal selama hampir dua dekade untuk fokus pada penelitian dan penulisan karya-karyanya. Selama periode ini, Descartes menghasilkan sejumlah karya monumental, termasuk Discourse on the Method (1637) dan Meditations on First Philosophy (1641).⁵

Descartes dikenal sebagai seorang filsuf yang sangat rasionalis, meyakini bahwa akal manusia mampu mengungkap kebenaran universal. Prinsip ini mendasari pendekatannya terhadap keraguan sistematis, di mana ia meragukan segala sesuatu kecuali satu hal yang pasti: keberadaan dirinya sebagai subjek berpikir, yang ia nyatakan dalam kalimat terkenalnya, "Cogito, ergo sum" ("Aku berpikir, maka aku ada").⁶

Namun, kehidupan Descartes juga dipenuhi tantangan. Karya-karyanya menuai kritik dari gereja dan beberapa filsuf sezaman. Selain itu, kesehatannya yang rapuh membuatnya sering berpindah-pindah untuk mencari lingkungan yang lebih kondusif bagi penelitian. Pada tahun 1649, ia menerima undangan dari Ratu Kristina dari Swedia untuk menjadi filsuf istana. Sayangnya, cuaca dingin dan gaya hidup yang ketat di istana menyebabkan kesehatannya memburuk, dan Descartes meninggal di Stockholm pada 11 Februari 1650.⁷

Warisan intelektual René Descartes tetap hidup hingga hari ini. Ia tidak hanya dianggap sebagai bapak filsafat modern, tetapi juga salah satu pendiri geometri analitik dan pelopor metode ilmiah yang menggabungkan pendekatan rasional dengan eksperimen.⁸


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 5.

[2]                Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 32.

[3]                Desmond M. Clarke, Descartes: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 67.

[4]                Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 41.

[5]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), viii.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.

[7]                Clarke, Descartes: A Biography, 312.

[8]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon Press, 2006), 389.


3.           Konsep Dasar Keraguan Sistematis

Keraguan sistematis, yang diperkenalkan oleh René Descartes, adalah metode filosofis yang bertujuan untuk mencapai kepastian melalui proses meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan.¹ Descartes menyadari bahwa banyak keyakinan manusia didasarkan pada asumsi yang tidak dapat diuji atau validitasnya bergantung pada otoritas eksternal. Oleh karena itu, ia merumuskan metode keraguan sebagai cara untuk menyingkirkan semua keyakinan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

3.1.       Prinsip Utama Keraguan Sistematis

Descartes memulai keraguan sistematis dengan mempertanyakan semua sumber pengetahuan, termasuk persepsi indrawi, akal budi, dan bahkan keyakinan matematis. Ia berpendapat bahwa indera sering kali menipu, seperti ilusi optik atau kesalahan persepsi, sehingga tidak dapat dijadikan dasar yang kokoh untuk pengetahuan.² Selain itu, Descartes meragukan kebenaran logika dan matematika dengan asumsi adanya "deceiver yang maha kuat" (evil genius) yang dapat memanipulasi pikiran manusia

Tujuan utama keraguan sistematis adalah menemukan dasar kebenaran yang tidak dapat diragukan. Descartes akhirnya menemukan satu hal yang pasti: keberadaan dirinya sebagai subjek berpikir. Hal ini dirangkum dalam pernyataan terkenalnya, "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada).⁴ Menurut Descartes, fakta bahwa seseorang meragukan sesuatu adalah bukti bahwa ia berpikir, dan karena berpikir membutuhkan eksistensi, keberadaan dirinya tidak dapat diragukan.

3.2.       Tahapan Keraguan Sistematis

Descartes menjelaskan keraguan sistematis dalam beberapa tahapan:

1)                  Meragukan Persepsi Indrawi:

Indra sering kali memberikan gambaran yang keliru, seperti mimpi yang terlihat nyata atau ilusi optik. Karena itu, pengetahuan yang didasarkan pada indra harus diragukan.⁵

2)                  Meragukan Keberadaan Dunia Luar:

Descartes mempertanyakan apakah dunia luar benar-benar ada, atau apakah itu hanyalah hasil dari manipulasi pikiran oleh evil genius.⁶

3)                  Meragukan Logika dan Matematika:

Bahkan prinsip-prinsip logika dan matematika, yang tampaknya pasti, dapat diragukan jika ada kekuatan yang lebih tinggi yang mampu menipu manusia.⁷

3.3.       Landasan Kebenaran: Cogito sebagai Kepastian Pertama

Setelah melalui proses keraguan sistematis, Descartes menemukan bahwa keberadaan dirinya sebagai subjek berpikir tidak dapat diragukan. Dalam Meditations on First Philosophy, ia menyatakan bahwa kepastian ini adalah dasar bagi seluruh sistem pengetahuannya.⁸ Dari sini, Descartes membangun kembali struktur pengetahuan, dimulai dari konsep tentang keberadaan Tuhan dan validitas dunia luar.

3.4.       Implikasi Keraguan Sistematis

Keraguan sistematis Descartes bukan hanya merupakan upaya epistemologis, tetapi juga menjadi landasan metodologi bagi ilmu pengetahuan modern. Dengan meragukan asumsi-asumsi lama dan mencari dasar pengetahuan yang dapat diuji secara rasional, Descartes memberikan kerangka berpikir yang kritis dan sistematis.⁹


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 118.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 14.

[3]                Ibid., 15.

[4]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 23.

[5]                Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 55.

[6]                Desmond M. Clarke, Descartes: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 201.

[7]                Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 89.

[8]                Descartes, Meditations on First Philosophy, 17.

[9]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 187.


4.           Tujuan dan Signifikansi Keraguan Sistematis

4.1.       Tujuan Keraguan Sistematis

René Descartes merancang keraguan sistematis sebagai metode untuk mencapai kepastian filosofis yang tak tergoyahkan.¹ Tujuan utama dari pendekatan ini adalah menemukan landasan pengetahuan yang kokoh dan tak terbantahkan, yang dapat menjadi dasar bagi seluruh sistem filsafat dan ilmu pengetahuan.² Descartes mengidentifikasi bahwa sebagian besar keyakinan manusia dibangun di atas asumsi yang rentan terhadap kesalahan, sehingga diperlukan proses "meruntuhkan" keyakinan tersebut untuk membangun kembali pengetahuan yang benar-benar valid.³

Menurut Descartes, keraguan sistematis berfungsi untuk membersihkan akumulasi keyakinan yang salah atau tidak didasarkan pada rasionalitas. Dengan meragukan segala sesuatu—termasuk persepsi indrawi, akal budi, dan bahkan prinsip logika—Descartes berusaha mencapai titik awal yang pasti.⁴ Dalam proses ini, ia menemukan bahwa satu-satunya kebenaran yang tidak dapat diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai subjek berpikir, yang dirumuskan dalam prinsip terkenal "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada).⁵

4.2.       Signifikansi Keraguan Sistematis

Keraguan sistematis memiliki dampak besar tidak hanya dalam filsafat, tetapi juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan cara berpikir kritis secara umum. Signifikansi utama dari pendekatan ini dapat dilihat dalam beberapa aspek berikut:

1)                  Fondasi bagi Epistemologi Modern

Keraguan sistematis memberikan dasar bagi epistemologi modern dengan menekankan pentingnya membangun pengetahuan yang valid berdasarkan prinsip-prinsip rasional.⁶ Dengan cara ini, Descartes mengalihkan fokus filsafat dari otoritas eksternal, seperti tradisi atau agama, menuju eksplorasi rasional dan individu.

2)                  Metode Ilmiah dan Skeptisisme Konstruktif

Descartes memberikan kontribusi penting pada metode ilmiah modern. Keraguan sistematis mengajarkan pentingnya skeptisisme konstruktif dalam memeriksa asumsi dan memastikan keabsahan klaim sebelum menerima kebenaran.⁷ Konsep ini menginspirasi ilmuwan untuk menguji hipotesis secara empiris dan tidak menerima informasi tanpa bukti yang cukup.

3)                  Reformasi Filsafat Tradisional

Pendekatan Descartes merombak filsafat tradisional yang sering kali berakar pada prinsip-prinsip metafisik Aristotelian. Ia mengusulkan metode baru yang lebih kritis dan sistematis, yang menjadi awal dari filsafat modern.⁸

4)                  Pencarian Kebenaran Universal

Melalui keraguan sistematis, Descartes menunjukkan bahwa pencarian kebenaran universal harus dimulai dari landasan yang dapat diterima secara rasional oleh semua orang. Hal ini menekankan pentingnya pendekatan yang objektif dan universal dalam filsafat.⁹

5)                  Relevansi dalam Kehidupan Modern

Konsep keraguan sistematis tetap relevan di era modern, terutama dalam menghadapi tantangan era informasi. Pendekatan ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan skeptis terhadap informasi yang beredar, terutama dalam konteks media digital.¹⁰


Kesimpulan

Tujuan dan signifikansi keraguan sistematis Descartes melampaui zamannya. Dengan pendekatan ini, ia tidak hanya membangun fondasi bagi filsafat modern, tetapi juga memberikan kerangka berpikir yang kritis, sistematis, dan relevan dalam berbagai disiplin ilmu. Pendekatan ini mengingatkan kita bahwa kebenaran harus dicapai melalui proses yang rasional dan reflektif, bukan sekadar menerima dogma atau asumsi yang tidak diuji.


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.

[3]                Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 55.

[4]                Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 67.

[5]                Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 19.

[6]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 187.

[7]                Desmond M. Clarke, Descartes: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 230.

[8]                Gary Hatfield, Routledge Philosophy Guidebook to Descartes and the Meditations (London: Routledge, 2003), 88.

[9]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 105.

[10]             Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 212.


5.           Kritik terhadap Keraguan Sistematis

Keraguan sistematis yang dikembangkan René Descartes telah menjadi tonggak dalam filsafat modern. Namun, pendekatan ini juga menuai kritik tajam dari berbagai filsuf, baik sezamannya maupun generasi setelahnya. Kritik ini berkisar pada asumsi-asumsi metodologis Descartes, implikasi epistemologisnya, hingga relevansi dan validitas konsep Cogito, ergo sum sebagai dasar pengetahuan.¹

5.1.       Kritik Ontologis: Realitas Dunia Luar

Salah satu kritik utama terhadap keraguan sistematis adalah asumsi bahwa dunia luar dapat diragukan secara radikal. Banyak filsuf, termasuk Spinoza, menentang gagasan bahwa keberadaan dunia luar dapat dipertanyakan.² Spinoza berargumen bahwa meragukan keberadaan dunia luar adalah langkah yang tidak realistis karena keberadaan manusia dan pikirannya hanya dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan dunia eksternal.³

5.2.       Kritik terhadap Evil Genius dan Solipsisme

Descartes menggunakan konsep evil genius (penipu jahat) sebagai cara untuk meragukan bahkan pengetahuan yang tampaknya paling pasti, seperti logika dan matematika. Namun, filsuf seperti Leibniz dan Kant menganggap langkah ini terlalu ekstrem dan tidak perlu.⁴ Kant, dalam karyanya Critique of Pure Reason, berargumen bahwa meskipun keraguan adalah alat yang penting, melampaui batas-batas logis dapat menyebabkan solipsisme, di mana hanya pikiran individu yang dianggap nyata.⁵

5.3.       Kritik terhadap Cogito, ergo sum

Pernyataan terkenal Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada) telah menjadi subjek perdebatan yang intens. David Hume, seorang filsuf empiris, menentang kesimpulan Descartes ini. Hume berpendapat bahwa "aku" yang dirujuk Descartes tidak dapat dibuktikan sebagai entitas tunggal yang konsisten. Sebaliknya, "aku" hanyalah kumpulan persepsi yang terus berubah.⁶ Dalam pandangan Hume, Descartes gagal membuktikan bahwa subjek yang berpikir itu memiliki identitas yang tetap dan nyata.⁷

5.4.       Kritik Metodologis: Lingkaran Cartesian

Beberapa filsuf menuduh Descartes jatuh ke dalam lingkaran logis dalam pembuktiannya. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menggunakan keberadaan Tuhan untuk membuktikan validitas akal manusia, tetapi ia juga bergantung pada akal untuk membuktikan keberadaan Tuhan.⁸ Kritik ini dikenal sebagai "lingkaran Cartesian" (Cartesian Circle), yang dianggap melemahkan dasar epistemologinya.⁹

5.5.       Kritik dari Perspektif Fenomenologi

Filsuf fenomenologi seperti Martin Heidegger dan Maurice Merleau-Ponty mengkritik keraguan sistematis karena terlalu mengutamakan subjek berpikir dan mengabaikan hubungan manusia dengan dunia. Heidegger, dalam Being and Time, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang secara inheren berada-dalam-dunia (being-in-the-world), sehingga memisahkan subjek dari dunia adalah langkah yang tidak masuk akal.¹⁰

5.6.       Relevansi Kritik dalam Era Modern

Di era informasi, kritik terhadap keraguan sistematis tetap relevan. Meskipun skeptisisme Descartes membantu mengembangkan pendekatan kritis, terlalu banyak keraguan dapat mengarah pada relativisme atau nihilisme. Oleh karena itu, filsuf modern menekankan perlunya keseimbangan antara keraguan dan penerimaan terhadap fakta yang dapat diuji.¹¹


Kesimpulan Kritik

Meskipun keraguan sistematis Descartes telah menjadi fondasi penting dalam filsafat modern, berbagai kritik menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak sempurna. Tantangan terhadap asumsi metodologis, epistemologis, dan ontologis Descartes membantu memperkaya diskusi filosofis dan mendorong pengembangan perspektif baru yang lebih inklusif dan realistis.


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 176.

[2]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 54.

[3]                Ibid., 58.

[4]                Gottfried Wilhelm Leibniz, New Essays on Human Understanding, ed. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 78.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A58–59.

[6]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 252.

[7]                Ibid., 256.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 24.

[9]                Richard A. Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 92.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 91.

[11]             Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 312.


6.           Implikasi Keraguan Sistematis dalam Ilmu Pengetahuan

Keraguan sistematis yang dikembangkan René Descartes tidak hanya berpengaruh dalam filsafat, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Metode ini memengaruhi cara berpikir ilmiah dengan menekankan pentingnya skeptisisme konstruktif, validasi empiris, dan pencarian dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan.¹

6.1.       Pengaruh terhadap Metode Ilmiah

Salah satu implikasi utama keraguan sistematis adalah pengaruhnya terhadap metode ilmiah. Descartes mendorong penggunaan akal budi yang sistematis dalam memeriksa asumsi-asumsi, memastikan bahwa setiap klaim pengetahuan didasarkan pada bukti yang dapat diverifikasi.² Dalam karyanya Discourse on the Method, ia menguraikan langkah-langkah sistematis yang mirip dengan metode ilmiah modern, termasuk analisis, sintesis, dan evaluasi ulang.³

Konsep ini memengaruhi tokoh-tokoh seperti Isaac Newton dan Francis Bacon, yang mengembangkan metode ilmiah berdasarkan prinsip-prinsip skeptisisme dan pengujian empiris.⁴ Dengan demikian, keraguan sistematis Descartes menjadi fondasi intelektual bagi kemajuan sains modern.

6.2.       Penghapusan Dogma dan Tradisi

Keraguan sistematis juga memainkan peran penting dalam meruntuhkan otoritas dogma dan tradisi yang mendominasi ilmu pengetahuan abad pertengahan. Sebelum Descartes, pengetahuan sering kali diterima tanpa pertanyaan berdasarkan otoritas gereja atau ajaran Aristotelian.⁵ Pendekatan Descartes mendorong ilmuwan untuk mempertanyakan keyakinan lama dan menggantinya dengan pengetahuan yang didasarkan pada observasi dan akal.⁶

Sebagai contoh, penghapusan keyakinan tradisional memungkinkan terobosan ilmiah dalam bidang astronomi oleh Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus, yang membantah pandangan geosentris tradisional.⁷

6.3.       Validasi Matematika sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan

Descartes juga menunjukkan pentingnya matematika sebagai alat untuk memahami fenomena alam. Dalam La Géométrie, ia mengembangkan geometri analitik yang menggabungkan aljabar dan geometri, memberikan dasar bagi fisika modern.⁸ Kerangka matematika ini memungkinkan pengukuran dan pemodelan fenomena alam secara lebih akurat, yang menjadi dasar bagi perkembangan ilmu fisika dan teknik.

Matematisasi ilmu pengetahuan ini diterapkan secara luas dalam karya Isaac Newton, terutama dalam hukum gerak dan gravitasi universal, yang menggunakan prinsip-prinsip matematika untuk menjelaskan fenomena fisik.⁹

6.4.       Mendorong Eksperimen dan Observasi Empiris

Keraguan sistematis Descartes juga menekankan pentingnya eksperimen dan observasi empiris untuk membuktikan hipotesis.⁹ Dengan menolak kebergantungan pada spekulasi metafisik, Descartes mendorong ilmuwan untuk mengandalkan bukti empiris sebagai dasar validasi pengetahuan.

Pendekatan ini tercermin dalam eksperimen-eksperimen penting oleh ilmuwan seperti Robert Boyle dalam kimia dan William Harvey dalam anatomi, yang menggunakan metode eksperimen untuk membuktikan teori-teori ilmiah.¹⁰

6.5.       Relevansi Keraguan Sistematis di Era Modern

Keraguan sistematis tetap relevan di era modern, terutama dalam menghadapi tantangan era informasi. Dalam dunia sains, skeptisisme Descartes mengingatkan pentingnya verifikasi dan pengujian sebelum menerima kebenaran.¹¹ Selain itu, pendekatan ini relevan dalam teknologi, khususnya dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI) dan big data, di mana evaluasi kritis terhadap asumsi dan model diperlukan untuk menghindari bias dan kesalahan.


Kesimpulan

Keraguan sistematis Descartes tidak hanya menciptakan fondasi bagi filsafat modern, tetapi juga mendorong transformasi besar dalam ilmu pengetahuan. Dengan menekankan pentingnya skeptisisme, validasi empiris, dan penggunaan matematika, pendekatan ini telah membantu membangun metode ilmiah modern yang kritis dan sistematis. Warisan Descartes dalam ilmu pengetahuan tetap relevan hingga saat ini, memberikan kerangka berpikir yang kokoh bagi kemajuan pengetahuan manusia.


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 20.

[3]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12.

[4]                Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001), 78.

[5]                Richard Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 45.

[6]                Ibid., 49.

[7]                Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1953), 10.

[8]                René Descartes, La Géométrie, trans. David Eugene Smith and Marcia L. Latham (New York: Dover Publications, 1954), 2.

[9]                Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University of California Press, 1999), 3.

[10]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 88.

[11]             Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 211.


7.           Perbandingan dengan Tradisi Filsafat Lain

Keraguan sistematis René Descartes adalah tonggak dalam filsafat modern, tetapi metode ini tidak muncul dalam kekosongan. Pendekatan ini memiliki kesamaan maupun perbedaan dengan berbagai tradisi filsafat lainnya, termasuk skeptisisme Yunani kuno, epistemologi Islam, dan kritik rasional Kantian. Perbandingan ini membantu memahami signifikansi dan batasan keraguan sistematis dalam konteks yang lebih luas.¹

7.1.       Perbandingan dengan Skeptisisme Yunani Kuno

Keraguan sistematis sering dibandingkan dengan skeptisisme Yunani kuno yang dipelopori oleh Pyrrho dan Sextus Empiricus. Skeptisisme kuno menekankan ketidakmungkinan mencapai pengetahuan yang pasti dan mengajarkan epoché (penangguhan penilaian) sebagai cara untuk mencapai ketenangan jiwa.²

Namun, tujuan skeptisisme Yunani berbeda dengan Descartes. Jika skeptisisme kuno memandang keraguan sebagai tujuan akhir, Descartes menggunakannya sebagai alat untuk mencapai kepastian.³ Dalam Outlines of Pyrrhonism, Sextus Empiricus menolak kemungkinan kepastian, sedangkan Descartes justru mencari fondasi pengetahuan yang tidak dapat diragukan melalui metode keraguannya.⁴

7.2.       Perbandingan dengan Filsafat Islam

Keraguan sistematis Descartes juga dapat dibandingkan dengan pendekatan filsafat Islam, khususnya karya Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah. Seperti Descartes, Al-Ghazali menggunakan keraguan untuk menilai keabsahan berbagai sumber pengetahuan.⁵ Dalam prosesnya, ia menemukan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan, dan kepastian tertinggi hanya dapat diperoleh melalui wahyu.⁶

Perbedaan utama antara keduanya terletak pada tujuan akhir. Descartes mencari dasar rasional untuk pengetahuan universal, sementara Al-Ghazali menekankan kepastian berbasis keyakinan spiritual.⁷ Meski begitu, pendekatan kritis Al-Ghazali terhadap otoritas tradisional mungkin telah memengaruhi metode Descartes, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan sarjana.⁸

7.3.       Perbandingan dengan Epistemologi Kantian

Immanuel Kant, dalam Critique of Pure Reason, melanjutkan tradisi skeptisisme rasional yang dimulai oleh Descartes, tetapi dengan fokus yang berbeda. Kant sepakat bahwa akal manusia memiliki batasan, tetapi ia menolak pendekatan dualistik Descartes yang memisahkan pikiran dan dunia.⁹ Kant memperkenalkan konsep "sintesis transendental," yang menyatakan bahwa pengalaman manusia adalah hasil interaksi antara indra dan kategori a priori dari akal.¹⁰

Jika Descartes memulai dari keraguan total, Kant memulai dari keyakinan bahwa beberapa bentuk pengetahuan (seperti matematika dan logika) sudah pasti, tetapi menempatkannya dalam kerangka yang lebih luas tentang keterbatasan akal manusia.¹¹

7.4.       Perbandingan dengan Fenomenologi Heidegger

Martin Heidegger, seorang filsuf fenomenologi, mengkritik pendekatan Descartes sebagai terlalu berfokus pada subjek yang terisolasi. Dalam Being and Time, Heidegger berargumen bahwa manusia tidak bisa dipahami sebagai subjek yang terpisah dari dunia, tetapi sebagai makhluk yang selalu berada-dalam-dunia (being-in-the-world).¹² Heidegger menolak keraguan Descartes karena mengabaikan konteks eksistensial manusia yang lebih luas.¹³

7.5.       Relevansi Perbandingan dalam Konteks Modern

Perbandingan ini menunjukkan bahwa keraguan sistematis adalah salah satu dari banyak pendekatan filosofis yang mencoba memahami hubungan antara pikiran dan realitas. Dalam dunia modern, di mana skeptisisme sering digunakan untuk menghadapi informasi yang berlebihan, metode Descartes tetap relevan, tetapi perlu dilengkapi dengan wawasan dari tradisi lain untuk menghindari reduksionisme atau relativisme ekstrem.¹⁴


Kesimpulan

Meskipun keraguan sistematis Descartes memiliki pengaruh besar, membandingkannya dengan tradisi lain seperti skeptisisme Yunani, filsafat Islam, dan epistemologi Kantian menunjukkan kekuatan dan keterbatasannya. Perbandingan ini menyoroti bahwa pencarian kebenaran adalah usaha yang terus berkembang, memerlukan perspektif yang beragam untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh.


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 125.

[2]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 7.

[3]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 187.

[4]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, 10.

[5]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 21.

[6]                Ibid., 24.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 103.

[8]                Stephen P. Menn, Cartesian Questions: Method and Metaphysics in the Meditations (Oxford: Oxford University Press, 1998), 89.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B33.

[10]             Ibid., B131.

[11]             Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 45.

[12]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 91.

[13]             Ibid., 94.

[14]             Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 312.


8.           Relevansi Keraguan Sistematis di Era Modern

Keraguan sistematis yang diperkenalkan René Descartes tetap relevan hingga era modern sebagai pendekatan filosofis dan metodologis dalam menghadapi tantangan baru, seperti kompleksitas informasi, perkembangan teknologi, dan dinamika sosial.¹ Dengan menekankan pentingnya skeptisisme konstruktif, metode ini menjadi alat penting untuk berpikir kritis dan mendasarkan keputusan pada kebenaran yang teruji.

8.1.       Era Informasi dan Skeptisisme Kritis

Di era modern, manusia menghadapi banjir informasi melalui media digital. Fenomena information overload membuat validasi fakta menjadi tantangan utama.² Keraguan sistematis mengajarkan pentingnya meragukan asumsi dan memverifikasi informasi sebelum menerimanya sebagai kebenaran.³ Misalnya, dalam menghadapi berita palsu (fake news), pendekatan skeptis Descartes mengingatkan kita untuk mencari bukti empiris dan logis sebelum mempercayai suatu klaim.⁴

8.2.       Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam ilmu pengetahuan modern, prinsip keraguan sistematis tetap menjadi dasar metode ilmiah. Ilmuwan menggunakan skeptisisme untuk menguji hipotesis dan memastikan bahwa teori-teori baru didasarkan pada bukti yang valid.⁵ Selain itu, dalam bidang teknologi, pendekatan ini membantu mengevaluasi risiko dan manfaat dari inovasi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan big data.⁶

Sebagai contoh, keraguan terhadap model algoritma yang berpotensi bias mendorong pengembangan teknologi yang lebih adil dan transparan.⁷ Dengan menerapkan prinsip Descartes, ilmuwan dan insinyur dapat memeriksa asumsi dasar di balik sistem teknologi dan memastikan bahwa solusi yang dihasilkan tidak menimbulkan masalah baru.

8.3.       Etika dan Keputusan Publik

Keraguan sistematis juga relevan dalam konteks etika dan kebijakan publik. Dalam dunia yang semakin kompleks, pengambilan keputusan sering kali melibatkan banyak ketidakpastian. Pendekatan Descartes mengingatkan para pemimpin dan pembuat kebijakan untuk meragukan informasi yang bias atau tidak terverifikasi, serta untuk membangun keputusan berdasarkan data yang dapat diuji.⁸

Sebagai contoh, dalam pengambilan keputusan tentang perubahan iklim, skeptisisme konstruktif memungkinkan para pemimpin untuk menyaring data yang tidak akurat dan membuat kebijakan berdasarkan bukti ilmiah yang valid.⁹

8.4.       Pendidikan dan Pemikiran Kritis

Penerapan keraguan sistematis dalam pendidikan membantu mengembangkan pemikiran kritis di kalangan siswa. Dengan mengajarkan prinsip skeptisisme, siswa diajak untuk meragukan asumsi, menguji hipotesis, dan membangun pengetahuan berdasarkan logika dan fakta.¹⁰

Di era digital, kemampuan berpikir kritis ini menjadi keterampilan penting untuk menghadapi informasi yang kompleks dan sering kali kontradiktif.¹¹

8.5.       Hubungan dengan Filsafat Kontemporer

Keraguan sistematis juga terus memengaruhi filsafat kontemporer, khususnya dalam debat tentang epistemologi, eksistensialisme, dan fenomenologi. Dalam karya-karya seperti Being and Time oleh Martin Heidegger, skeptisisme Descartes diinterpretasikan ulang untuk mengeksplorasi hubungan manusia dengan dunia.¹²

Selain itu, filsafat analitik menggunakan prinsip Descartes untuk membangun argumen yang logis dan sistematis, terutama dalam diskusi tentang keberadaan, kebenaran, dan etika.¹³


Kesimpulan

Keraguan sistematis René Descartes tetap relevan di era modern karena prinsip-prinsipnya dapat diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, etika, dan pendidikan. Dengan menekankan pentingnya skeptisisme konstruktif, pendekatan ini membantu individu dan masyarakat menghadapi tantangan era informasi dan memastikan bahwa keputusan didasarkan pada pengetahuan yang valid dan logis.


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.

[2]                Clay Shirky, Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations (New York: Penguin, 2008), 84.

[3]                Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 212.

[4]                Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 15.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 88.

[6]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 121.

[7]                Cathy O'Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown Publishing Group, 2016), 78.

[8]                Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 64.

[9]                Naomi Oreskes and Erik M. Conway, Merchants of Doubt: How a Handful of Scientists Obscured the Truth on Issues from Tobacco Smoke to Global Warming (New York: Bloomsbury Press, 2010), 101.

[10]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 77.

[11]             Howard Rheingold, Net Smart: How to Thrive Online (Cambridge: MIT Press, 2012), 89.

[12]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 115.

[13]             Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 20.


9.           Kesimpulan

Keraguan sistematis René Descartes adalah tonggak penting dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan, membuka jalan bagi filsafat modern dan metode ilmiah yang kritis.¹ Dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, Descartes menciptakan sebuah kerangka kerja untuk menemukan kebenaran yang kokoh dan tidak dapat digoyahkan, yang diwakili oleh prinsip terkenal Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada").²

Melalui keraguan sistematis, Descartes menantang asumsi tradisional yang didasarkan pada otoritas eksternal, seperti tradisi skolastik dan dogma agama, serta menawarkan pendekatan baru yang berbasis pada akal budi dan bukti rasional.³ Pendekatan ini tidak hanya menjadi dasar bagi epistemologi modern, tetapi juga menjadi pijakan bagi pengembangan metode ilmiah, yang mengedepankan pengujian empiris dan validasi logis.⁴

Namun, seperti yang telah dibahas dalam berbagai bagian artikel ini, keraguan sistematis Descartes juga memiliki keterbatasan. Kritik terhadap pendekatan ini menunjukkan bahwa terlalu mengutamakan keraguan dapat menyebabkan solipsisme, atau pandangan bahwa hanya pikiran individu yang nyata.⁵ Selain itu, beberapa filsuf seperti Spinoza, Hume, dan Heidegger telah menawarkan perspektif alternatif yang memperkaya pemahaman kita tentang hubungan antara pikiran, dunia, dan realitas.⁶

Di era modern, keraguan sistematis tetap relevan, terutama dalam menghadapi tantangan informasi yang berlebihan, berita palsu, dan bias teknologi.⁷ Dengan menanamkan nilai skeptisisme konstruktif, metode ini membantu individu untuk berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan membuat keputusan yang didasarkan pada kebenaran yang dapat diuji.⁸ Selain itu, relevansi keraguan sistematis juga tercermin dalam pendidikan, teknologi, dan kebijakan publik, di mana pentingnya skeptisisme rasional semakin diakui.⁹

Kesimpulannya, keraguan sistematis Descartes adalah pendekatan yang tidak hanya bersejarah, tetapi juga sangat relevan di masa kini. Prinsip-prinsipnya yang berbasis pada skeptisisme rasional memberikan landasan bagi pencarian pengetahuan yang lebih kokoh, baik dalam filsafat, ilmu pengetahuan, maupun kehidupan sehari-hari.¹⁰ Warisan Descartes mengingatkan kita bahwa untuk mencapai kebenaran, kita harus berani meragukan dan secara kritis menguji setiap klaim, namun dengan tetap menjaga keseimbangan antara skeptisisme dan konstruktivitas.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.

[3]                Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 55.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 88.

[5]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 252.

[6]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 54; Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 91.

[7]                Clay Shirky, Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations (New York: Penguin, 2008), 84.

[8]                Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 212.

[9]                Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 64.

[10]             Roger Scruton, Modern Philosophy: An Introduction and Survey (London: Penguin, 1994), 152.

[11]             Susan Haack, Evidence Matters: Science, Proof, and Truth in the Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 91.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali. (2000). The Incoherence of the Philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.

Descartes, R. (1954). La Géométrie (D. E. Smith & M. L. Latham, Trans.). New York, NY: Dover Publications.

Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Descartes, R. (2006). Discourse on the Method (I. Maclean, Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.

Floridi, L. (2014). The Fourth Revolution: How the Infosphere Is Reshaping Human Reality. Oxford, UK: Oxford University Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York, NY: Continuum.

Galilei, G. (1953). Dialogue Concerning the Two Chief World Systems (S. Drake, Trans.). Berkeley, CA: University of California Press.

Garber, D. (2000). Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An Intellectual Biography. Oxford, UK: Clarendon Press.

Haack, S. (2003). Defending Science—Within Reason: Between Scientism and Cynicism. Amherst, NY: Prometheus Books.

Haack, S. (2014). Evidence Matters: Science, Proof, and Truth in the Law. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.

Hume, D. (1888). A Treatise of Human Nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Leaman, O. (1999). A Brief Introduction to Islamic Philosophy. Cambridge, UK: Polity Press.

Menn, S. P. (1998). Cartesian Questions: Method and Metaphysics in the Meditations. Oxford, UK: Oxford University Press.

Newton, I. (1999). The Principia: Mathematical Principles of Natural Philosophy (I. B. Cohen & A. Whitman, Trans.). Berkeley, CA: University of California Press.

O’Neil, C. (2016). Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy. New York, NY: Crown Publishing Group.

Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants of Doubt: How a Handful of Scientists Obscured the Truth on Issues from Tobacco Smoke to Global Warming. New York, NY: Bloomsbury Press.

Popkin, R. H. (2003). The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle. Oxford, UK: Oxford University Press.

Quine, W. V. O. (1960). Word and Object. Cambridge, MA: MIT Press.

Scruton, R. (1994). Modern Philosophy: An Introduction and Survey. London, UK: Penguin.

Scruton, R. (2001). Kant: A Very Short Introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.

Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Shirky, C. (2008). Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations. New York, NY: Penguin.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London, UK: Penguin Classics.

Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2008). Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. New Haven, CT: Yale University Press.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making. Strasbourg, France: Council of Europe.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar