Keraguan Sistematis
Pendekatan Filosofis René
Descartes untuk Mencapai Kepastian
Abstrak
Keraguan sistematis yang diperkenalkan oleh René
Descartes merupakan pendekatan filosofis yang berusaha mencapai kepastian
melalui proses meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Metode ini
menekankan pentingnya skeptisisme rasional untuk membangun fondasi pengetahuan
yang kokoh dan tak tergoyahkan, dengan prinsip dasar Cogito, ergo sum
("Aku berpikir, maka aku ada"). Artikel ini membahas konsep dasar keraguan
sistematis, tujuannya untuk mereformasi epistemologi, dan signifikansinya dalam
ilmu pengetahuan. Selain itu, artikel ini mengulas kritik dari berbagai filsuf,
seperti Spinoza, Hume, dan Heidegger, serta membandingkan pendekatan Descartes
dengan tradisi filsafat lainnya, termasuk skeptisisme Yunani dan epistemologi Islam. Relevansi keraguan sistematis di era modern juga dieksplorasi, terutama
dalam menghadapi tantangan informasi yang berlebihan, teknologi, dan
pengambilan keputusan berbasis data. Artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun
memiliki keterbatasan, keraguan sistematis tetap relevan sebagai landasan
berpikir kritis di berbagai disiplin ilmu dan kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: René
Descartes, keraguan sistematis, skeptisisme,
Cogito
ergo sum, epistemologi,
filsafat modern, skeptisisme Yunani, metode ilmiah, relevansi modern.
1.
Pendahuluan
Keraguan adalah salah satu elemen yang paling
mendasar dalam filsafat, digunakan sebagai alat untuk menggali kepastian dan
membangun fondasi pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, keraguan telah menjadi
alat analisis yang dipakai oleh berbagai tradisi pemikiran, termasuk oleh para
filsuf Yunani kuno seperti Pyrrho dan Sextus Empiricus yang memelopori
skeptisisme. Namun, pendekatan yang dilakukan oleh René Descartes di abad ke-17
berbeda secara mendasar karena ia menggunakan keraguan tidak untuk
mempertahankan skeptisisme, tetapi untuk mencari kepastian yang absolut dan
tidak dapat disangkal. Pendekatan ini kemudian dikenal sebagai keraguan
sistematis (methodical doubt), yang menjadi inti dari filsafat
modern Descartes.¹
René Descartes, seorang filsuf, matematikawan, dan
ilmuwan asal Prancis, hidup pada masa ketika ilmu pengetahuan mulai berkembang
pesat, tetapi otoritas tradisional seperti gereja masih memegang kendali atas
kebenaran ilmiah dan filosofis. Dalam konteks ini, Descartes merasa perlu untuk
mencari dasar kebenaran yang independen dari otoritas eksternal atau dogma.
Melalui karyanya Meditations on First Philosophy, ia mengemukakan metode
keraguan sistematis sebagai langkah awal untuk merombak seluruh struktur
pengetahuan yang telah diterima secara konvensional.²
Descartes mengidentifikasi bahwa banyak keyakinan
manusia bersifat rapuh karena didasarkan pada pengalaman indrawi atau asumsi yang
tidak dapat diuji. Misalnya, penglihatan dan pendengaran sering kali memberikan
gambaran yang keliru tentang realitas.³ Oleh karena itu, ia berargumen bahwa
satu-satunya cara untuk mencapai kepastian adalah dengan meragukan segala
sesuatu yang dapat diragukan hingga ditemukan sebuah kebenaran yang tidak bisa
diragukan sama sekali. Proses ini, menurut Descartes, adalah landasan bagi
epistemologi dan ilmu pengetahuan yang kokoh.
Keraguan sistematis juga mencerminkan semangat
zaman (zeitgeist) dari era Renaisans dan awal modernitas, ketika banyak
pemikir mulai mempertanyakan otoritas tradisional dan mencari kebebasan
intelektual. Pendekatan Descartes membuka jalan bagi munculnya metode ilmiah
modern, yang berlandaskan pada observasi, eksperimen, dan analisis kritis.⁴
Oleh karena itu, keraguan sistematis bukan hanya penting dalam filsafat, tetapi
juga berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melalui pendekatan ini, Descartes tidak hanya
menantang dogma filosofis yang sudah mapan, tetapi juga memberikan kerangka
baru untuk berpikir kritis dan sistematis. Pendekatan ini menjadi awal dari
filsafat modern dan tetap relevan hingga saat ini, baik dalam filsafat maupun
dalam disiplin lain seperti ilmu pengetahuan, teknologi, dan bahkan kehidupan
sehari-hari.⁵
Catatan Kaki
[1]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism:
From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 145.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.
[3]
Ibid., 15.
[4]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 245.
[5]
Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading
Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 88.
2.
Biografi
Singkat René Descartes
René Descartes lahir pada 31 Maret 1596 di La Haye
en Touraine, sebuah kota kecil di Prancis yang kini dikenal sebagai Descartes
untuk menghormatinya.¹ Descartes berasal dari keluarga bangsawan rendah yang
memungkinkan dirinya menerima pendidikan yang baik sejak usia muda. Ia belajar
di Collège Royal Henry-Le-Grand di La Flèche, sebuah sekolah Jesuit bergengsi,
di mana ia memperoleh fondasi dalam ilmu humaniora, matematika, dan filsafat
Aristotelian.² Pendidikan ini memberikan pengaruh besar dalam pembentukan pola
pikirnya, meskipun pada akhirnya ia memilih untuk menentang sebagian besar
prinsip-prinsip skolastik tradisional.
Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun
1614, Descartes melanjutkan studinya di Universitas Poitiers, di mana ia
memperoleh gelar hukum pada tahun 1616. Namun, ia tidak tertarik untuk
menjalani karier hukum seperti yang diharapkan keluarganya. Sebaliknya,
Descartes mencari jawaban yang lebih mendalam tentang alam semesta dan hakikat
pengetahuan.³
Pada tahun 1618, Descartes bergabung dengan militer
Belanda di bawah Pangeran Maurice dari Nassau. Di sana, ia bertemu dengan Isaac
Beeckman, seorang filsuf dan matematikawan yang memperkenalkannya pada metode
mekanistik dalam memahami dunia. Hubungan ini menjadi titik balik dalam hidup
Descartes, yang memicu ketertarikannya pada matematika dan fisika sebagai alat
untuk menjelaskan fenomena alam.⁴
Perjalanan intelektual Descartes membawanya untuk
mengembara ke berbagai negara Eropa, termasuk Jerman, Belanda, dan Italia. Pada
1628, ia pindah ke Belanda, di mana ia tinggal selama hampir dua dekade untuk
fokus pada penelitian dan penulisan karya-karyanya. Selama periode ini,
Descartes menghasilkan sejumlah karya monumental, termasuk Discourse on the
Method (1637) dan Meditations on First Philosophy (1641).⁵
Descartes dikenal sebagai seorang filsuf yang
sangat rasionalis, meyakini bahwa akal manusia mampu mengungkap kebenaran
universal. Prinsip ini mendasari pendekatannya terhadap keraguan sistematis, di
mana ia meragukan segala sesuatu kecuali satu hal yang pasti: keberadaan
dirinya sebagai subjek berpikir, yang ia nyatakan dalam kalimat terkenalnya, "Cogito,
ergo sum" ("Aku berpikir, maka aku ada").⁶
Namun, kehidupan Descartes juga dipenuhi tantangan.
Karya-karyanya menuai kritik dari gereja dan beberapa filsuf sezaman. Selain
itu, kesehatannya yang rapuh membuatnya sering berpindah-pindah untuk mencari
lingkungan yang lebih kondusif bagi penelitian. Pada tahun 1649, ia menerima
undangan dari Ratu Kristina dari Swedia untuk menjadi filsuf istana. Sayangnya,
cuaca dingin dan gaya hidup yang ketat di istana menyebabkan kesehatannya
memburuk, dan Descartes meninggal di Stockholm pada 11 Februari 1650.⁷
Warisan intelektual René Descartes tetap hidup
hingga hari ini. Ia tidak hanya dianggap sebagai bapak filsafat modern, tetapi
juga salah satu pendiri geometri analitik dan pelopor metode ilmiah yang
menggabungkan pendekatan rasional dengan eksperimen.⁸
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 5.
[2]
Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics
(Ithaca: Cornell University Press, 1999), 32.
[3]
Desmond M. Clarke, Descartes: A Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 67.
[4]
Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading
Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 41.
[5]
René Descartes, Discourse on the Method,
trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), viii.
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.
[7]
Clarke, Descartes: A Biography, 312.
[8]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific
Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 389.
3.
Konsep
Dasar Keraguan Sistematis
Keraguan sistematis,
yang diperkenalkan oleh René Descartes, adalah metode filosofis yang bertujuan
untuk mencapai kepastian melalui proses meragukan segala sesuatu yang dapat
diragukan.¹ Descartes menyadari bahwa
banyak keyakinan manusia didasarkan pada asumsi yang tidak dapat diuji atau
validitasnya bergantung pada otoritas eksternal. Oleh karena itu, ia merumuskan
metode keraguan sebagai cara untuk menyingkirkan semua keyakinan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
3.1.
Prinsip Utama Keraguan Sistematis
Descartes memulai
keraguan sistematis dengan mempertanyakan semua sumber pengetahuan, termasuk
persepsi indrawi, akal budi, dan bahkan keyakinan matematis. Ia berpendapat
bahwa indera sering kali menipu, seperti ilusi optik atau kesalahan persepsi,
sehingga tidak dapat dijadikan dasar yang kokoh untuk pengetahuan.² Selain itu,
Descartes meragukan kebenaran logika dan matematika dengan asumsi adanya "deceiver yang maha kuat" (evil genius) yang dapat
memanipulasi pikiran manusia.³
Tujuan utama
keraguan sistematis adalah menemukan dasar kebenaran yang tidak dapat
diragukan. Descartes akhirnya menemukan satu hal yang pasti: keberadaan dirinya
sebagai subjek berpikir. Hal ini dirangkum dalam pernyataan terkenalnya, "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada).⁴ Menurut Descartes, fakta bahwa seseorang meragukan
sesuatu adalah bukti bahwa ia berpikir, dan karena berpikir membutuhkan
eksistensi, keberadaan dirinya tidak dapat diragukan.
3.2.
Tahapan Keraguan Sistematis
Descartes
menjelaskan keraguan sistematis dalam
beberapa tahapan:
1)
Meragukan
Persepsi Indrawi:
Indra sering kali memberikan gambaran
yang keliru, seperti mimpi yang terlihat nyata atau ilusi optik. Karena itu,
pengetahuan yang didasarkan pada indra harus diragukan.⁵
2)
Meragukan
Keberadaan Dunia Luar:
Descartes mempertanyakan apakah dunia
luar benar-benar ada, atau apakah itu hanyalah hasil dari manipulasi pikiran
oleh evil genius.⁶
3)
Meragukan
Logika dan Matematika:
Bahkan prinsip-prinsip logika dan
matematika, yang tampaknya pasti, dapat diragukan jika ada kekuatan yang lebih
tinggi yang mampu menipu manusia.⁷
3.3.
Landasan Kebenaran: Cogito sebagai Kepastian
Pertama
Setelah melalui
proses keraguan sistematis, Descartes menemukan bahwa keberadaan dirinya
sebagai subjek berpikir tidak dapat diragukan. Dalam Meditations
on First Philosophy, ia menyatakan bahwa kepastian ini adalah dasar
bagi seluruh sistem pengetahuannya.⁸ Dari sini, Descartes membangun kembali
struktur pengetahuan, dimulai dari konsep tentang keberadaan Tuhan dan
validitas dunia luar.
3.4.
Implikasi Keraguan Sistematis
Keraguan sistematis
Descartes bukan hanya merupakan upaya epistemologis, tetapi juga menjadi
landasan metodologi bagi ilmu pengetahuan modern. Dengan meragukan
asumsi-asumsi lama dan mencari dasar pengetahuan yang dapat diuji secara
rasional, Descartes memberikan kerangka berpikir yang kritis dan sistematis.⁹
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography
(Oxford: Clarendon Press, 1995), 118.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 14.
[3]
Ibid., 15.
[4]
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian
Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 23.
[5]
Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian
Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 55.
[6]
Desmond M. Clarke, Descartes: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 201.
[7]
Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics
(Ithaca: Cornell University Press, 1999), 89.
[8]
Descartes, Meditations on First Philosophy,
17.
[9]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 187.
4.
Tujuan
dan Signifikansi Keraguan Sistematis
4.1.
Tujuan Keraguan Sistematis
René Descartes
merancang keraguan sistematis sebagai metode untuk mencapai kepastian filosofis
yang tak tergoyahkan.¹ Tujuan utama dari pendekatan ini adalah menemukan landasan
pengetahuan yang kokoh dan tak terbantahkan, yang dapat menjadi dasar bagi
seluruh sistem filsafat dan ilmu pengetahuan.² Descartes mengidentifikasi bahwa
sebagian besar keyakinan manusia dibangun di atas asumsi yang rentan terhadap
kesalahan, sehingga diperlukan proses "meruntuhkan" keyakinan
tersebut untuk membangun kembali pengetahuan yang benar-benar valid.³
Menurut Descartes,
keraguan sistematis berfungsi untuk membersihkan akumulasi keyakinan yang salah
atau tidak didasarkan pada rasionalitas. Dengan meragukan segala
sesuatu—termasuk persepsi indrawi, akal budi, dan bahkan prinsip logika—Descartes berusaha mencapai titik
awal yang pasti.⁴ Dalam proses ini, ia menemukan bahwa satu-satunya kebenaran
yang tidak dapat diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai subjek berpikir,
yang dirumuskan dalam prinsip terkenal "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada).⁵
4.2.
Signifikansi Keraguan Sistematis
Keraguan sistematis
memiliki dampak besar tidak hanya dalam filsafat, tetapi juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan cara
berpikir kritis secara umum. Signifikansi utama dari pendekatan ini dapat
dilihat dalam beberapa aspek berikut:
1)
Fondasi bagi
Epistemologi Modern
Keraguan sistematis memberikan dasar bagi
epistemologi modern dengan menekankan pentingnya membangun pengetahuan yang
valid berdasarkan prinsip-prinsip rasional.⁶ Dengan cara ini, Descartes
mengalihkan fokus filsafat dari otoritas eksternal, seperti tradisi atau agama,
menuju eksplorasi rasional dan individu.
2)
Metode Ilmiah dan
Skeptisisme Konstruktif
Descartes memberikan kontribusi penting pada
metode ilmiah modern. Keraguan sistematis mengajarkan pentingnya skeptisisme
konstruktif dalam memeriksa asumsi dan memastikan keabsahan klaim sebelum
menerima kebenaran.⁷ Konsep ini menginspirasi ilmuwan untuk menguji hipotesis
secara empiris dan tidak menerima informasi tanpa bukti yang cukup.
3)
Reformasi Filsafat
Tradisional
Pendekatan Descartes merombak filsafat
tradisional yang sering kali berakar pada prinsip-prinsip metafisik
Aristotelian. Ia mengusulkan metode baru yang lebih kritis dan sistematis, yang
menjadi awal dari filsafat modern.⁸
4)
Pencarian Kebenaran
Universal
Melalui keraguan sistematis, Descartes
menunjukkan bahwa pencarian kebenaran universal harus dimulai dari landasan
yang dapat diterima secara rasional oleh semua orang. Hal ini menekankan
pentingnya pendekatan yang objektif dan universal dalam filsafat.⁹
5)
Relevansi dalam
Kehidupan Modern
Konsep keraguan sistematis tetap relevan di era
modern, terutama dalam menghadapi tantangan era informasi. Pendekatan ini
mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan skeptis terhadap informasi yang
beredar, terutama dalam konteks media digital.¹⁰
Kesimpulan
Tujuan dan
signifikansi keraguan sistematis Descartes melampaui zamannya. Dengan
pendekatan ini, ia tidak hanya membangun fondasi bagi filsafat modern, tetapi
juga memberikan kerangka berpikir yang kritis, sistematis, dan relevan dalam
berbagai disiplin ilmu. Pendekatan ini mengingatkan kita bahwa kebenaran harus
dicapai melalui proses yang rasional dan reflektif, bukan sekadar menerima
dogma atau asumsi yang tidak diuji.
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography
(Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.
[3]
Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian
Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 55.
[4]
Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics
(Ithaca: Cornell University Press, 1999), 67.
[5]
Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian
Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 19.
[6]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 187.
[7]
Desmond M. Clarke, Descartes: A Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 230.
[8]
Gary Hatfield, Routledge Philosophy Guidebook to Descartes and
the Meditations (London: Routledge, 2003), 88.
[9]
John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 105.
[10]
Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between
Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 212.
5.
Kritik
terhadap Keraguan Sistematis
Keraguan sistematis
yang dikembangkan René Descartes telah menjadi tonggak dalam filsafat modern. Namun, pendekatan ini juga
menuai kritik tajam dari berbagai filsuf, baik sezamannya maupun generasi
setelahnya. Kritik ini berkisar pada asumsi-asumsi metodologis Descartes,
implikasi epistemologisnya, hingga relevansi dan validitas konsep Cogito, ergo sum sebagai dasar pengetahuan.¹
5.1.
Kritik Ontologis: Realitas Dunia Luar
Salah satu kritik
utama terhadap keraguan sistematis adalah asumsi bahwa dunia luar dapat
diragukan secara radikal. Banyak filsuf, termasuk Spinoza, menentang gagasan
bahwa keberadaan dunia luar dapat dipertanyakan.² Spinoza berargumen bahwa
meragukan keberadaan dunia luar adalah
langkah yang tidak realistis karena keberadaan manusia dan pikirannya hanya
dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan dunia eksternal.³
5.2.
Kritik terhadap Evil Genius dan
Solipsisme
Descartes
menggunakan konsep evil genius (penipu jahat) sebagai
cara untuk meragukan bahkan pengetahuan yang tampaknya paling pasti, seperti
logika dan matematika. Namun, filsuf
seperti Leibniz dan Kant menganggap langkah ini terlalu ekstrem dan tidak
perlu.⁴ Kant, dalam karyanya Critique of Pure Reason, berargumen
bahwa meskipun keraguan adalah alat yang
penting, melampaui batas-batas logis dapat menyebabkan solipsisme, di mana
hanya pikiran individu yang dianggap nyata.⁵
5.3.
Kritik terhadap Cogito, ergo sum
Pernyataan terkenal Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada) telah menjadi subjek
perdebatan yang intens. David Hume, seorang filsuf empiris, menentang
kesimpulan Descartes ini. Hume berpendapat bahwa "aku" yang
dirujuk Descartes tidak dapat dibuktikan sebagai entitas tunggal yang
konsisten. Sebaliknya, "aku" hanyalah kumpulan persepsi yang
terus berubah.⁶ Dalam pandangan Hume, Descartes gagal membuktikan bahwa subjek
yang berpikir itu memiliki identitas yang tetap dan nyata.⁷
5.4.
Kritik Metodologis: Lingkaran Cartesian
Beberapa filsuf
menuduh Descartes jatuh ke dalam lingkaran logis dalam pembuktiannya. Dalam Meditations
on First Philosophy, Descartes menggunakan keberadaan Tuhan untuk
membuktikan validitas akal manusia,
tetapi ia juga bergantung pada akal untuk membuktikan keberadaan Tuhan.⁸ Kritik
ini dikenal sebagai "lingkaran Cartesian" (Cartesian
Circle), yang dianggap melemahkan dasar epistemologinya.⁹
5.5.
Kritik dari Perspektif Fenomenologi
Filsuf fenomenologi
seperti Martin Heidegger dan Maurice Merleau-Ponty mengkritik keraguan sistematis karena terlalu mengutamakan subjek
berpikir dan mengabaikan hubungan manusia dengan dunia. Heidegger, dalam Being
and Time, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang secara
inheren berada-dalam-dunia (being-in-the-world), sehingga
memisahkan subjek dari dunia adalah langkah yang tidak masuk akal.¹⁰
5.6.
Relevansi Kritik dalam Era Modern
Di era informasi,
kritik terhadap keraguan sistematis tetap relevan. Meskipun skeptisisme
Descartes membantu mengembangkan pendekatan kritis, terlalu banyak keraguan
dapat mengarah pada relativisme atau nihilisme. Oleh karena itu, filsuf modern
menekankan perlunya keseimbangan antara keraguan dan penerimaan terhadap fakta
yang dapat diuji.¹¹
Kesimpulan Kritik
Meskipun keraguan
sistematis Descartes telah menjadi fondasi penting dalam filsafat modern,
berbagai kritik menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak sempurna. Tantangan
terhadap asumsi metodologis, epistemologis, dan ontologis Descartes membantu
memperkaya diskusi filosofis dan mendorong pengembangan perspektif baru yang
lebih inklusif dan realistis.
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography
(Oxford: Clarendon Press, 1995), 176.
[2]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), 54.
[3]
Ibid., 58.
[4]
Gottfried Wilhelm Leibniz, New Essays on Human Understanding,
ed. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), 78.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A58–59.
[6]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.
A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 252.
[7]
Ibid., 256.
[8]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 24.
[9]
Richard A. Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 92.
[10]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 91.
[11]
Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between
Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 312.
6.
Implikasi
Keraguan Sistematis dalam Ilmu Pengetahuan
Keraguan sistematis
yang dikembangkan René Descartes tidak hanya berpengaruh dalam filsafat, tetapi
juga memberikan kontribusi signifikan terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan modern. Metode ini memengaruhi cara berpikir
ilmiah dengan menekankan pentingnya skeptisisme konstruktif, validasi empiris,
dan pencarian dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan.¹
6.1.
Pengaruh terhadap Metode Ilmiah
Salah satu implikasi
utama keraguan sistematis adalah pengaruhnya terhadap metode ilmiah. Descartes
mendorong penggunaan akal budi yang sistematis dalam memeriksa asumsi-asumsi,
memastikan bahwa setiap klaim pengetahuan
didasarkan pada bukti yang dapat diverifikasi.² Dalam karyanya Discourse
on the Method, ia menguraikan langkah-langkah sistematis yang mirip
dengan metode ilmiah modern, termasuk analisis, sintesis, dan evaluasi ulang.³
Konsep ini memengaruhi tokoh-tokoh seperti Isaac Newton dan Francis Bacon,
yang mengembangkan metode ilmiah berdasarkan prinsip-prinsip skeptisisme dan
pengujian empiris.⁴ Dengan demikian, keraguan sistematis Descartes menjadi
fondasi intelektual bagi kemajuan sains modern.
6.2.
Penghapusan Dogma dan Tradisi
Keraguan sistematis
juga memainkan peran penting dalam meruntuhkan otoritas dogma dan tradisi yang
mendominasi ilmu pengetahuan abad pertengahan. Sebelum Descartes, pengetahuan
sering kali diterima tanpa pertanyaan berdasarkan otoritas gereja atau ajaran
Aristotelian.⁵ Pendekatan Descartes
mendorong ilmuwan untuk mempertanyakan keyakinan lama dan menggantinya dengan
pengetahuan yang didasarkan pada observasi dan akal.⁶
Sebagai contoh,
penghapusan keyakinan tradisional memungkinkan terobosan ilmiah dalam bidang astronomi oleh Galileo Galilei
dan Nicolaus Copernicus, yang membantah pandangan geosentris tradisional.⁷
6.3.
Validasi Matematika sebagai Bahasa Ilmu
Pengetahuan
Descartes juga
menunjukkan pentingnya matematika sebagai alat untuk memahami fenomena alam.
Dalam La
Géométrie, ia mengembangkan geometri analitik yang menggabungkan
aljabar dan geometri, memberikan dasar
bagi fisika modern.⁸ Kerangka matematika ini memungkinkan pengukuran dan
pemodelan fenomena alam secara lebih akurat, yang menjadi dasar bagi
perkembangan ilmu fisika dan teknik.
Matematisasi ilmu
pengetahuan ini diterapkan secara luas dalam karya Isaac Newton, terutama dalam hukum gerak dan gravitasi
universal, yang menggunakan prinsip-prinsip matematika untuk menjelaskan
fenomena fisik.⁹
6.4.
Mendorong Eksperimen dan Observasi Empiris
Keraguan sistematis
Descartes juga menekankan pentingnya eksperimen dan observasi empiris untuk
membuktikan hipotesis.⁹ Dengan menolak kebergantungan pada spekulasi metafisik,
Descartes mendorong ilmuwan untuk mengandalkan bukti empiris sebagai dasar
validasi pengetahuan.
Pendekatan ini
tercermin dalam eksperimen-eksperimen penting oleh ilmuwan seperti Robert Boyle
dalam kimia dan William Harvey dalam anatomi, yang menggunakan metode
eksperimen untuk membuktikan teori-teori ilmiah.¹⁰
6.5.
Relevansi Keraguan Sistematis di Era Modern
Keraguan sistematis
tetap relevan di era modern, terutama dalam menghadapi tantangan era informasi.
Dalam dunia sains, skeptisisme Descartes mengingatkan pentingnya verifikasi dan
pengujian sebelum menerima kebenaran.¹¹ Selain itu, pendekatan ini relevan
dalam teknologi, khususnya dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI) dan big
data, di mana evaluasi kritis terhadap asumsi dan model diperlukan untuk
menghindari bias dan kesalahan.
Kesimpulan
Keraguan sistematis
Descartes tidak hanya menciptakan fondasi bagi filsafat modern, tetapi juga
mendorong transformasi besar dalam ilmu pengetahuan. Dengan menekankan
pentingnya skeptisisme, validasi empiris, dan penggunaan matematika, pendekatan ini telah membantu membangun
metode ilmiah modern yang kritis dan sistematis. Warisan Descartes dalam ilmu pengetahuan tetap relevan hingga saat ini, memberikan kerangka berpikir yang
kokoh bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography
(Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 20.
[3]
René Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian
Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12.
[4]
Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European
Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton
University Press, 2001), 78.
[5]
Richard Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms
and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 45.
[6]
Ibid., 49.
[7]
Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems,
trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1953), 10.
[8]
René Descartes, La Géométrie, trans. David Eugene
Smith and Marcia L. Latham (New York: Dover Publications, 1954), 2.
[9]
Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of
Natural Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman
(Berkeley: University of California Press, 1999), 3.
[10]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 88.
[11]
Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between
Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 211.
7.
Perbandingan
dengan Tradisi Filsafat Lain
Keraguan sistematis
René Descartes adalah tonggak dalam filsafat modern, tetapi metode ini tidak
muncul dalam kekosongan. Pendekatan ini memiliki kesamaan maupun perbedaan
dengan berbagai tradisi filsafat lainnya, termasuk skeptisisme Yunani kuno,
epistemologi Islam, dan kritik rasional Kantian. Perbandingan ini membantu
memahami signifikansi dan batasan keraguan sistematis dalam konteks yang lebih
luas.¹
7.1.
Perbandingan dengan Skeptisisme Yunani Kuno
Keraguan sistematis
sering dibandingkan dengan skeptisisme Yunani kuno yang dipelopori oleh Pyrrho
dan Sextus Empiricus. Skeptisisme kuno menekankan ketidakmungkinan mencapai
pengetahuan yang pasti dan mengajarkan
epoché
(penangguhan penilaian) sebagai cara untuk mencapai ketenangan jiwa.²
Namun, tujuan
skeptisisme Yunani berbeda dengan Descartes. Jika skeptisisme kuno memandang
keraguan sebagai tujuan akhir, Descartes menggunakannya sebagai alat untuk
mencapai kepastian.³ Dalam Outlines of Pyrrhonism, Sextus Empiricus menolak kemungkinan kepastian,
sedangkan Descartes justru mencari fondasi pengetahuan yang tidak dapat
diragukan melalui metode keraguannya.⁴
7.2.
Perbandingan dengan Filsafat Islam
Keraguan sistematis
Descartes juga dapat dibandingkan dengan pendekatan filsafat Islam, khususnya
karya Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah. Seperti
Descartes, Al-Ghazali menggunakan keraguan untuk menilai keabsahan berbagai sumber pengetahuan.⁵ Dalam
prosesnya, ia menemukan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan, dan kepastian
tertinggi hanya dapat diperoleh melalui wahyu.⁶
Perbedaan utama
antara keduanya terletak pada tujuan akhir. Descartes mencari dasar rasional
untuk pengetahuan universal, sementara Al-Ghazali menekankan kepastian berbasis
keyakinan spiritual.⁷ Meski begitu, pendekatan kritis Al-Ghazali terhadap
otoritas tradisional mungkin telah memengaruhi metode Descartes, meskipun hal
ini masih menjadi perdebatan di kalangan sarjana.⁸
7.3.
Perbandingan dengan Epistemologi Kantian
Immanuel Kant, dalam
Critique
of Pure Reason, melanjutkan tradisi skeptisisme rasional yang
dimulai oleh Descartes, tetapi dengan fokus yang berbeda. Kant sepakat bahwa
akal manusia memiliki batasan, tetapi ia menolak pendekatan dualistik Descartes yang memisahkan pikiran dan
dunia.⁹ Kant memperkenalkan konsep "sintesis transendental,"
yang menyatakan bahwa pengalaman manusia adalah hasil interaksi antara indra
dan kategori a priori dari akal.¹⁰
Jika Descartes
memulai dari keraguan total, Kant memulai dari keyakinan bahwa beberapa bentuk
pengetahuan (seperti matematika dan logika) sudah pasti, tetapi menempatkannya dalam kerangka yang lebih luas
tentang keterbatasan akal manusia.¹¹
7.4.
Perbandingan dengan Fenomenologi Heidegger
Martin Heidegger,
seorang filsuf fenomenologi, mengkritik pendekatan Descartes sebagai terlalu
berfokus pada subjek yang terisolasi. Dalam Being and Time, Heidegger berargumen bahwa manusia tidak bisa dipahami
sebagai subjek yang terpisah dari dunia, tetapi sebagai makhluk yang selalu
berada-dalam-dunia (being-in-the-world).¹² Heidegger
menolak keraguan Descartes karena mengabaikan konteks eksistensial manusia yang
lebih luas.¹³
7.5.
Relevansi Perbandingan dalam Konteks Modern
Perbandingan ini
menunjukkan bahwa keraguan sistematis adalah salah satu dari banyak pendekatan
filosofis yang mencoba memahami hubungan antara pikiran dan realitas. Dalam
dunia modern, di mana skeptisisme sering
digunakan untuk menghadapi informasi yang berlebihan, metode Descartes tetap
relevan, tetapi perlu dilengkapi dengan wawasan dari tradisi lain untuk
menghindari reduksionisme atau relativisme ekstrem.¹⁴
Kesimpulan
Meskipun keraguan
sistematis Descartes memiliki pengaruh besar, membandingkannya dengan tradisi
lain seperti skeptisisme Yunani, filsafat Islam, dan epistemologi Kantian
menunjukkan kekuatan dan keterbatasannya. Perbandingan ini menyoroti bahwa
pencarian kebenaran adalah usaha yang terus berkembang, memerlukan perspektif
yang beragam untuk mencapai pemahaman
yang lebih utuh.
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography
(Oxford: Clarendon Press, 1995), 125.
[2]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G.
Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 7.
[3]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to
Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 187.
[4]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, 10.
[5]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 21.
[6]
Ibid., 24.
[7]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 103.
[8]
Stephen P. Menn, Cartesian Questions: Method and Metaphysics in
the Meditations (Oxford: Oxford University Press, 1998), 89.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans.
Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
B33.
[10]
Ibid., B131.
[11]
Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 45.
[12]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 91.
[13]
Ibid., 94.
[14]
Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between
Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 312.
8.
Relevansi
Keraguan Sistematis di Era Modern
Keraguan sistematis
yang diperkenalkan René Descartes tetap relevan hingga era modern sebagai
pendekatan filosofis dan metodologis dalam menghadapi tantangan baru, seperti
kompleksitas informasi, perkembangan teknologi, dan dinamika sosial.¹ Dengan menekankan
pentingnya skeptisisme konstruktif,
metode ini menjadi alat penting untuk berpikir kritis dan mendasarkan keputusan
pada kebenaran yang teruji.
8.1.
Era Informasi dan Skeptisisme Kritis
Di era modern,
manusia menghadapi banjir informasi melalui media digital. Fenomena information
overload membuat
validasi fakta menjadi tantangan utama.² Keraguan sistematis mengajarkan
pentingnya meragukan asumsi dan memverifikasi informasi sebelum menerimanya
sebagai kebenaran.³ Misalnya, dalam menghadapi berita palsu (fake
news), pendekatan skeptis Descartes mengingatkan kita untuk mencari
bukti empiris dan logis sebelum mempercayai suatu klaim.⁴
8.2.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dalam ilmu
pengetahuan modern, prinsip keraguan sistematis tetap menjadi dasar metode ilmiah.
Ilmuwan menggunakan skeptisisme untuk menguji hipotesis dan memastikan bahwa teori-teori baru didasarkan pada
bukti yang valid.⁵ Selain itu, dalam bidang teknologi, pendekatan ini membantu
mengevaluasi risiko dan manfaat dari inovasi seperti kecerdasan buatan (artificial
intelligence) dan big data.⁶
Sebagai contoh,
keraguan terhadap model algoritma yang berpotensi bias mendorong pengembangan teknologi yang lebih adil dan
transparan.⁷ Dengan menerapkan prinsip Descartes, ilmuwan dan insinyur dapat
memeriksa asumsi dasar di balik sistem teknologi dan memastikan bahwa solusi
yang dihasilkan tidak menimbulkan masalah baru.
8.3.
Etika dan Keputusan Publik
Keraguan sistematis
juga relevan dalam konteks etika dan kebijakan publik. Dalam dunia yang semakin kompleks, pengambilan
keputusan sering kali melibatkan banyak ketidakpastian. Pendekatan Descartes
mengingatkan para pemimpin dan pembuat kebijakan untuk meragukan informasi yang
bias atau tidak terverifikasi, serta untuk membangun keputusan berdasarkan data
yang dapat diuji.⁸
Sebagai contoh,
dalam pengambilan keputusan tentang perubahan iklim, skeptisisme konstruktif
memungkinkan para pemimpin untuk menyaring
data yang tidak akurat dan membuat kebijakan berdasarkan bukti ilmiah yang
valid.⁹
8.4.
Pendidikan dan Pemikiran Kritis
Penerapan keraguan
sistematis dalam pendidikan membantu mengembangkan
pemikiran kritis di kalangan siswa. Dengan mengajarkan prinsip skeptisisme,
siswa diajak untuk meragukan asumsi, menguji hipotesis, dan membangun pengetahuan
berdasarkan logika dan fakta.¹⁰
Di era digital, kemampuan berpikir kritis ini menjadi
keterampilan penting untuk menghadapi informasi yang kompleks dan sering kali
kontradiktif.¹¹
8.5.
Hubungan dengan Filsafat Kontemporer
Keraguan sistematis
juga terus memengaruhi filsafat kontemporer, khususnya dalam debat tentang
epistemologi, eksistensialisme, dan fenomenologi. Dalam karya-karya seperti Being and Time oleh Martin
Heidegger, skeptisisme Descartes diinterpretasikan ulang untuk mengeksplorasi
hubungan manusia dengan dunia.¹²
Selain itu, filsafat
analitik menggunakan prinsip Descartes untuk membangun argumen yang logis dan
sistematis, terutama dalam diskusi tentang keberadaan, kebenaran, dan etika.¹³
Kesimpulan
Keraguan sistematis
René Descartes tetap relevan di era modern karena prinsip-prinsipnya dapat
diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, etika,
dan pendidikan. Dengan menekankan pentingnya skeptisisme konstruktif,
pendekatan ini membantu individu dan masyarakat menghadapi tantangan era
informasi dan memastikan bahwa keputusan didasarkan pada pengetahuan yang valid
dan logis.
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography
(Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.
[2]
Clay Shirky, Here Comes Everybody: The Power of Organizing
Without Organizations (New York: Penguin, 2008), 84.
[3]
Susan Haack, Defending Science—Within Reason: Between
Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 212.
[4]
Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an
Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 15.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 88.
[6]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere Is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014),
121.
[7]
Cathy O'Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data
Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown
Publishing Group, 2016), 78.
[8]
Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health,
Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 64.
[9]
Naomi Oreskes and Erik M. Conway, Merchants of Doubt: How a Handful of Scientists
Obscured the Truth on Issues from Tobacco Smoke to Global Warming
(New York: Bloomsbury Press, 2010), 101.
[10]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 77.
[11]
Howard Rheingold, Net Smart: How to Thrive Online
(Cambridge: MIT Press, 2012), 89.
[12]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 115.
[13]
Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT
Press, 1960), 20.
9.
Kesimpulan
Keraguan sistematis René Descartes adalah tonggak
penting dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan, membuka jalan bagi
filsafat modern dan metode ilmiah yang kritis.¹ Dengan meragukan segala sesuatu
yang dapat diragukan, Descartes menciptakan sebuah kerangka kerja untuk
menemukan kebenaran yang kokoh dan tidak dapat digoyahkan, yang diwakili oleh
prinsip terkenal Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada").²
Melalui keraguan sistematis, Descartes menantang
asumsi tradisional yang didasarkan pada otoritas eksternal, seperti tradisi
skolastik dan dogma agama, serta menawarkan pendekatan baru yang berbasis pada
akal budi dan bukti rasional.³ Pendekatan ini tidak hanya menjadi dasar bagi
epistemologi modern, tetapi juga menjadi pijakan bagi pengembangan metode ilmiah,
yang mengedepankan pengujian empiris dan validasi logis.⁴
Namun, seperti yang telah dibahas dalam berbagai
bagian artikel ini, keraguan sistematis Descartes juga memiliki keterbatasan.
Kritik terhadap pendekatan ini menunjukkan bahwa terlalu mengutamakan keraguan
dapat menyebabkan solipsisme, atau pandangan bahwa hanya pikiran individu yang
nyata.⁵ Selain itu, beberapa filsuf seperti Spinoza, Hume, dan Heidegger telah
menawarkan perspektif alternatif yang memperkaya pemahaman kita tentang
hubungan antara pikiran, dunia, dan realitas.⁶
Di era modern, keraguan sistematis tetap relevan,
terutama dalam menghadapi tantangan informasi yang berlebihan, berita palsu,
dan bias teknologi.⁷ Dengan menanamkan nilai skeptisisme konstruktif, metode
ini membantu individu untuk berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan
membuat keputusan yang didasarkan pada kebenaran yang dapat diuji.⁸ Selain itu,
relevansi keraguan sistematis juga tercermin dalam pendidikan, teknologi, dan
kebijakan publik, di mana pentingnya skeptisisme rasional semakin diakui.⁹
Kesimpulannya, keraguan sistematis Descartes adalah
pendekatan yang tidak hanya bersejarah, tetapi juga sangat relevan di masa
kini. Prinsip-prinsipnya yang berbasis pada skeptisisme rasional memberikan
landasan bagi pencarian pengetahuan yang lebih kokoh, baik dalam filsafat, ilmu pengetahuan, maupun kehidupan sehari-hari.¹⁰ Warisan Descartes mengingatkan
kita bahwa untuk mencapai kebenaran, kita harus berani meragukan dan secara
kritis menguji setiap klaim, namun dengan tetap menjaga keseimbangan antara
skeptisisme dan konstruktivitas.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual
Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 144.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12.
[3]
Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading
Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 55.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 88.
[5]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed.
L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 252.
[6]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), 54; Martin Heidegger, Being and Time,
trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
91.
[7]
Clay Shirky, Here Comes Everybody: The Power of
Organizing Without Organizations (New York: Penguin, 2008), 84.
[8]
Susan Haack, Defending Science—Within Reason:
Between Scientism and Cynicism (Amherst, NY: Prometheus Books, 2003), 212.
[9]
Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge:
Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale
University Press, 2008), 64.
[10]
Roger Scruton, Modern Philosophy: An
Introduction and Survey (London: Penguin, 1994), 152.
[11]
Susan Haack, Evidence Matters: Science, Proof,
and Truth in the Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 91.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2000). The Incoherence of the
Philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University
Press.
Descartes, R. (1954). La Géométrie (D. E.
Smith & M. L. Latham, Trans.). New York, NY: Dover Publications.
Descartes, R. (1996). Meditations on First
Philosophy (J. Cottingham, Ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Descartes, R. (2006). Discourse on the Method
(I. Maclean, Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Floridi, L. (2014). The Fourth Revolution: How
the Infosphere Is Reshaping Human Reality. Oxford, UK: Oxford University
Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). New York, NY: Continuum.
Galilei, G. (1953). Dialogue Concerning the Two
Chief World Systems (S. Drake, Trans.). Berkeley, CA: University of
California Press.
Garber, D. (2000). Descartes Embodied: Reading
Cartesian Philosophy through Cartesian Science. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Gaukroger, S. (1995). Descartes: An Intellectual
Biography. Oxford, UK: Clarendon Press.
Haack, S. (2003). Defending Science—Within
Reason: Between Scientism and Cynicism. Amherst, NY: Prometheus Books.
Haack, S. (2014). Evidence Matters: Science,
Proof, and Truth in the Law. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Hume, D. (1888). A Treatise of Human Nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific
Revolutions. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Leaman, O. (1999). A Brief Introduction to
Islamic Philosophy. Cambridge, UK: Polity Press.
Menn, S. P. (1998). Cartesian Questions: Method
and Metaphysics in the Meditations. Oxford, UK: Oxford University Press.
Newton, I. (1999). The Principia: Mathematical
Principles of Natural Philosophy (I. B. Cohen & A. Whitman, Trans.).
Berkeley, CA: University of California Press.
O’Neil, C. (2016). Weapons of Math Destruction:
How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy. New York, NY:
Crown Publishing Group.
Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants
of Doubt: How a Handful of Scientists Obscured the Truth on Issues from Tobacco
Smoke to Global Warming. New York, NY: Bloomsbury Press.
Popkin, R. H. (2003). The History of Scepticism:
From Savonarola to Bayle. Oxford, UK: Oxford University Press.
Quine, W. V. O. (1960). Word and Object.
Cambridge, MA: MIT Press.
Scruton, R. (1994). Modern Philosophy: An
Introduction and Survey. London, UK: Penguin.
Scruton, R. (2001). Kant: A Very Short
Introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.
Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism
(R. G. Bury, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Shirky, C. (2008). Here Comes Everybody: The
Power of Organizing Without Organizations. New York, NY: Penguin.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). London, UK: Penguin Classics.
Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2008). Nudge:
Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. New Haven, CT:
Yale University Press.
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information
Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making.
Strasbourg, France: Council of Europe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar