Rabu, 15 Januari 2025

Konsep Wali Allah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Konsep Wali Allah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Kajian Tafsir Klasik, Literatur Ulama, dan Perspektif Kontemporer


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep Wali Allah berdasarkan perspektif Al-Qur'an dan Hadits, dengan merujuk pada tafsir klasik, literatur ulama, dan perspektif kontemporer. Wali Allah, sebagaimana dijelaskan dalam QS Yunus [10] ayat 62-63, adalah individu yang memiliki keimanan dan ketakwaan tinggi serta mendapatkan perlindungan Allah. Tafsir klasik seperti karya Al-Thabari, Al-Qurtubi, dan Ibn Kathir memberikan penjelasan mendalam tentang karakteristik dan ciri-ciri Wali Allah, termasuk ketiadaan rasa takut dan kesedihan yang mencerminkan keyakinan mutlak kepada Allah. Literatur ulama klasik, seperti Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan Futuhat al-Makkiyah karya Ibn Arabi, menyoroti dimensi spiritual dan hierarki wali dalam tradisi tasawuf.

Dalam perspektif kontemporer, Wali Allah tetap relevan sebagai teladan moral dan spiritual di tengah tantangan modern seperti krisis moralitas dan materialisme. Artikel ini juga mengungkapkan peran sosial Wali Allah sebagai penjaga nilai-nilai Islam dan agen perubahan dalam masyarakat. Dengan menelusuri literatur klasik dan penelitian modern, artikel ini memberikan pemahaman yang holistik tentang konsep Wali Allah, sekaligus menekankan pentingnya menjaga kemurnian akidah dalam menghadapi penyimpangan pemahaman terhadap konsep ini.

Kata Kunci: Wali Allah, Al-Qur'an, Hadits, Tasawuf, Tafsir Klasik, Ulama, Perspektif Kontemporer, Hierarki Wali, Dakwah, Islam di Nusantara.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Konsep Wali Allah merupakan salah satu topik penting dalam Islam yang mencerminkan hubungan khusus antara seorang hamba dengan Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa” (QS Yunus [10] ayat 62-63). Ayat ini menjadi landasan dasar dalam memahami siapa yang termasuk dalam kategori Wali Allah. Namun, seiring perjalanan sejarah Islam, pengertian Wali Allah mengalami variasi pemahaman yang dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran, seperti tasawuf, akidah, dan fiqh.

Pemahaman masyarakat tentang Wali Allah tidak selalu berdasarkan landasan yang kuat. Sebagian kalangan mengaitkan Wali Allah dengan hal-hal yang bersifat supranatural atau mistik, sementara yang lain menganggap konsep ini hanya berkaitan dengan maqam spiritual tinggi yang sulit dicapai. Kondisi ini menimbulkan kesalahpahaman yang terkadang menjurus pada penyimpangan akidah, seperti penyembahan terhadap tokoh-tokoh tertentu yang dianggap Wali Allah tanpa dasar yang jelas. Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang konsep ini, yang berbasis pada Al-Qur'an, Hadits, dan penjelasan ulama, menjadi sangat penting untuk meluruskan pandangan yang keliru.

1.2.       Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konsep Wali Allah secara komprehensif dari perspektif Al-Qur'an dan Hadits, dengan merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Qurtubi, dan Tafsir Ibn Kathir. Di samping itu, kajian ini akan memanfaatkan literatur ulama klasik seperti Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan Futuhat al-Makkiyah karya Ibn Arabi, serta hasil penelitian dari jurnal ilmiah Islam kontemporer. Dengan pendekatan ini, diharapkan artikel ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam, objektif, dan relevan tentang Wali Allah.

Pemahaman tentang Wali Allah tidak hanya penting bagi umat Islam secara spiritual, tetapi juga memiliki relevansi sosial yang signifikan. Dalam sejarah Islam, para wali Allah sering kali menjadi tokoh sentral dalam dakwah dan reformasi masyarakat. Misalnya, kisah kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah, Hasan al-Basri, dan tokoh-tokoh tasawuf lainnya menunjukkan bagaimana para wali Allah dapat menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah sembari memperbaiki masyarakat sekitar mereka. Dalam konteks modern, kajian ini juga relevan untuk meluruskan berbagai penyimpangan pemahaman yang masih ditemukan di berbagai komunitas Muslim.

1.3.       Metodologi dan Pendekatan

Artikel ini menggunakan pendekatan analisis tekstual dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits yang berkaitan dengan Wali Allah, disertai dengan penafsiran dari kitab-kitab klasik. Penulis juga akan mengintegrasikan perspektif kontemporer dari jurnal-jurnal ilmiah Islam untuk memberikan relevansi yang lebih luas. Kajian ini bertumpu pada sumber-sumber yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS Yunus: 62-63.

[2]                Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed. Mahmud Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2001), vol. 11, p. 52.

[3]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah Al-Turki (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006), vol. 8, p. 423.

[4]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, ed. Sami al-Salamah (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), vol. 4, p. 344.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, trans. Muhtar Holland (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), p. 212.

[6]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Othman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 2004), vol. 3, p. 132.

[7]                Ahmad Zarruq, Qawa’id al-Tasawwuf, trans. Hamza Yusuf (Louisville: Fons Vitae, 2007), p. 76.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, “The Concept of Wali Allah in Contemporary Islamic Thought,” Journal of Islamic Studies 15, no. 3 (2012): 45-60.


2.           Definisi dan Karakteristik Wali Allah

2.1.       Definisi Wali Allah menurut Al-Qur'an

Wali Allah dalam Al-Qur'an disebutkan secara eksplisit dalam QS Yunus [10] ayat 62-63: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” Ayat ini menjadi landasan utama dalam memahami siapa yang termasuk dalam kategori Wali Allah. Menurut Tafsir al-Thabari, wali Allah adalah orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Allah melalui keimanan dan ketaatan yang konsisten. Mereka terhindar dari perasaan takut dan kesedihan karena keyakinan penuh terhadap Allah.¹

Dalam Tafsir al-Qurtubi, istilah wali Allah merujuk pada mereka yang selalu taat kepada Allah, menjauhi maksiat, dan menjaga keikhlasan dalam ibadah.² Ibn Kathir menambahkan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang memperoleh perlindungan dan pertolongan dari Allah dalam kehidupan mereka, karena keimanan dan ketakwaan mereka.³

2.2.       Hadits-Hadits Tentang Wali Allah

Konsep Wali Allah juga dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Salah satu hadits yang paling sering dikutip adalah hadits qudsi: “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya...” (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan betapa istimewanya kedudukan seorang wali Allah sehingga Allah sendiri akan melindunginya dari segala bentuk ancaman.⁴

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang memenuhi syarat iman dan takwa serta menunjukkan pengabdian tulus kepada Allah. Mereka tidak hanya menjalankan ibadah wajib, tetapi juga memperbanyak amal-amal sunnah sehingga mereka mendapatkan cinta Allah.⁵

2.3.       Ciri-Ciri Wali Allah

Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, ciri-ciri Wali Allah dapat dirangkum sebagai berikut:

1)                  Keimanan dan Ketakwaan:

Mereka adalah orang-orang yang beriman secara total kepada Allah dan konsisten dalam menjalankan takwa. Hal ini ditegaskan dalam QS Yunus [10] ayat 62-63.⁶

2)                  Kedekatan Spiritual dengan Allah:

Wali Allah dicirikan oleh kedekatan mereka dengan Allah, sebagaimana disampaikan dalam hadits qudsi tentang kecintaan Allah kepada wali-Nya.⁷

3)                  Keteladanan Akhlak:

Wali Allah selalu menunjukkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjauhi perbuatan dosa dan berusaha menjadi teladan kebaikan bagi masyarakat.⁸

4)                  Ketiadaan Ketakutan dan Kesedihan:

Sebagai dampak dari keyakinan yang sempurna, mereka tidak takut kepada makhluk atau kondisi duniawi, melainkan hanya takut kepada Allah.⁹


Catatan Kaki

[1]                Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed. Mahmud Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2001), vol. 11, p. 52.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed. Abdullah Al-Turki (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006), vol. 8, p. 423.

[3]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, ed. Sami al-Salamah (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), vol. 4, p. 344.

[4]                Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, Hadits no. 6502.

[5]                Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma'arifah, 1959), vol. 11, p. 341.

[6]                Al-Qur'an, QS Yunus: 62-63.

[7]                Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, Hadits no. 6502.

[8]                Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadits no. 23408.

[9]                Al-Thabari, Jami' al-Bayan, vol. 11, p. 53.


3.           Tafsir Klasik tentang Konsep Wali Allah

3.1.       Kajian Tafsir dari Al-Thabari, Al-Qurtubi, dan Ibn Kathir

Konsep Wali Allah mendapat perhatian mendalam dalam tafsir-tafsir klasik. Ayat QS Yunus [10] ayat 62-63 menjadi salah satu landasan utama dalam diskusi ini.

Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan bahwa wali Allah adalah mereka yang telah mencapai tingkat iman dan takwa yang sempurna. Al-Thabari menafsirkan bahwa ketiadaan rasa takut dan sedih pada wali Allah merupakan efek dari keyakinan penuh mereka kepada Allah dan janji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang sepenuhnya bergantung kepada Allah dalam segala hal, sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan duniawi.¹

Al-Qurtubi, dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, menekankan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang secara konsisten menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Al-Qurtubi juga menggarisbawahi bahwa wali Allah tidak harus diidentikkan dengan keajaiban (karamah), melainkan dengan akhlak yang mulia dan kesalehan yang tampak dalam kehidupan sehari-hari.²

Ibn Kathir, dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim, menyebutkan bahwa wali Allah adalah mereka yang mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya. Mereka tidak hanya menjalankan ibadah wajib, tetapi juga memperbanyak ibadah sunnah, sehingga mendapatkan cinta Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi. Ibn Kathir juga menyoroti bahwa wali Allah bukanlah mereka yang mengklaim status itu sendiri, melainkan mereka yang diakui oleh masyarakat karena ketakwaan dan akhlaknya.³

3.2.       Pendekatan Linguistik dan Kontekstual dalam Penafsiran

Para mufassir klasik juga mendalami istilah wali secara linguistik. Dalam bahasa Arab, wali berarti “orang yang dekat” atau “yang melindungi.”⁴ Berdasarkan ini, wali Allah adalah orang-orang yang dekat dengan Allah karena ketaatan mereka, dan mereka mendapatkan perlindungan Allah sebagai akibat dari hubungan ini.

Dalam konteks QS Yunus [10] ayat 62-63, para mufassir seperti Al-Thabari dan Al-Qurtubi juga menyoroti penggunaan kata-kata seperti khauf (takut) dan hazan (sedih). Menurut mereka, ketiadaan rasa takut dan sedih ini mencerminkan kedamaian batin yang dimiliki wali Allah karena keyakinan mereka pada rahmat Allah dan kehidupan akhirat yang lebih baik.⁵

3.3.       Perspektif Tasawuf dalam Tafsir Klasik

Pendekatan tasawuf juga memberikan kontribusi signifikan dalam memahami konsep Wali Allah. Para ulama seperti Al-Ghazali dan Ibn Arabi memadukan tafsir Al-Qur’an dengan pengalaman spiritual.

Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menyebut bahwa wali Allah adalah orang-orang yang mencapai maqam ridha (tingkatan keridhaan), di mana mereka menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada.⁶

Ibn Arabi, dalam Futuhat al-Makkiyah, menjelaskan bahwa wali Allah memiliki hubungan yang unik dengan Allah. Mereka dianggap sebagai “cermin” yang memantulkan sifat-sifat Allah dalam kehidupan mereka, seperti kasih sayang, keadilan, dan kebijaksanaan. Ibn Arabi juga memperkenalkan konsep aqthab (kutub spiritual) dan abdal (pengganti), yang merupakan tingkatan wali Allah dalam hierarki spiritual.⁷

3.4.       Perbedaan Perspektif dalam Tafsir Klasik

Tafsir klasik tidak sepenuhnya seragam dalam mendefinisikan wali Allah. Sebagian mufassir seperti Al-Qurtubi lebih berfokus pada aspek praktis, seperti ketaatan dan akhlak, sementara ulama tasawuf seperti Ibn Arabi menekankan dimensi spiritual dan mistis. Namun, kedua pendekatan ini saling melengkapi dalam memberikan gambaran yang komprehensif tentang wali Allah.


Catatan Kaki

[1]                Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, ed. Mahmud Shakir (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2001), vol. 11, p. 52.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ed. Abdullah Al-Turki (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006), vol. 8, p. 423.

[3]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, ed. Sami al-Salamah (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), vol. 4, p. 344.

[4]                Edward William Lane, An Arabic-English Lexicon (Beirut: Librarie du Liban, 1968), p. 308.

[5]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 8, p. 424.

[6]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, trans. Muhtar Holland (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), p. 212.

[7]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Othman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 2004), vol. 3, p. 132.


4.           Literatur Klasik dan Konsep Wali Allah

4.1.       Penjelasan dalam Kitab-Kitab Klasik

Literatur Islam klasik memberikan kontribusi signifikan dalam menjelaskan konsep Wali Allah. Dalam kitab-kitab ini, Wali Allah sering didefinisikan sebagai individu yang memiliki hubungan khusus dengan Allah melalui ketaatan, cinta, dan ketakwaan.

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa Wali Allah adalah mereka yang telah mencapai maqam ma'rifah (pengenalan mendalam terhadap Allah). Mereka memahami dan menerima kehendak Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalam pandangan Al-Ghazali, kedudukan wali tidak hanya didasarkan pada ibadah formal, tetapi juga pada hati yang bersih dan ikhlas dalam setiap amal perbuatan.¹

Al-Qusyairi, dalam Risalah Qusyairiyah, membahas konsep Wali Allah dari perspektif tasawuf. Ia menyebutkan bahwa seorang wali adalah hamba Allah yang terpilih, yang hatinya dipenuhi oleh cahaya ilahi dan yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk mencapai ridha Allah. Al-Qusyairi juga mengidentifikasi beberapa tingkatan wali, seperti abdal (pengganti) dan nuqaba (pemimpin spiritual), yang memiliki peran tertentu dalam hierarki tasawuf.²

Dalam Al-Luma’ fi al-Tasawwuf, Al-Sarraj menegaskan bahwa Wali Allah tidak hanya dilihat dari karamah (keajaiban spiritual) yang mereka miliki, tetapi dari konsistensi mereka dalam menjalankan syariat dan memperlihatkan akhlak mulia.³

4.2.       Pembagian Wali Allah dalam Tradisi Islam

Literatur klasik juga sering membahas hierarki atau pembagian tingkatan wali. Dalam Futuhat al-Makkiyah, Ibn Arabi memperkenalkan konsep hierarki spiritual wali yang meliputi:

·                     Al-Aqthab (Kutub): Pemimpin spiritual tertinggi di antara para wali.

·                     Al-Abdal (Pengganti): Kelompok wali yang menggantikan tugas spiritual tertentu di bumi.

·                     Al-Awtad (Pilar): Wali yang dianggap sebagai penopang spiritual dunia.⁴

Konsep hierarki ini, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadits, diambil dari pengalaman spiritual ulama tasawuf yang berusaha menjelaskan mekanisme keberadaan para wali dalam menjaga keseimbangan spiritual dunia.

4.3.       Peran Wali Allah dalam Kehidupan Sosial

Dalam literatur klasik, Wali Allah sering dipandang sebagai teladan dalam masyarakat. Al-Ghazali menekankan bahwa Wali Allah memainkan peran penting dalam membimbing umat manusia menuju jalan kebenaran.⁵ Kisah kehidupan para wali, seperti Hasan al-Basri dan Rabi’ah al-Adawiyah, menggambarkan bagaimana mereka menjadi inspirasi dalam membangun masyarakat yang penuh kasih dan keadilan.

Selain itu, Wali Allah juga diyakini memiliki peran dalam menjaga keseimbangan spiritual dunia. Menurut Ibn Arabi, para wali adalah bagian dari “jaringan ilahi” yang memastikan bahwa rahmat Allah tetap tercurahkan kepada umat manusia.⁶

4.4.       Kritik terhadap Penyalahgunaan Konsep Wali Allah

Dalam beberapa literatur klasik, terdapat pula kritik terhadap penyalahgunaan konsep Wali Allah. Ulama seperti Ibn Taymiyyah memperingatkan agar umat Islam tidak terjebak dalam pemujaan berlebihan terhadap wali hingga melampaui batas syariat. Ia menegaskan bahwa kedudukan wali Allah harus selalu dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan bukan karena karamah atau atribut-atribut mistik yang sering dikaitkan dengan mereka.⁷


Catatan Kaki

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, trans. Muhtar Holland (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), p. 212.

[2]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Kutub, 1966), p. 54.

[3]                Abu Nasr al-Sarraj, Al-Luma’ fi al-Tasawwuf, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah, 1993), p. 120.

[4]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Othman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 2004), vol. 2, p. 324.

[5]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, p. 213.

[6]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, vol. 2, p. 325.

[7]                Ahmad ibn Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Al-Furqan bayna Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaithan, ed. Abdul Qadir Shafi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), p. 55.


5.           Peran dan Kedudukan Wali Allah dalam Masyarakat

5.1.       Peran Wali Allah dalam Sejarah Islam

Wali Allah memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah Islam sebagai pembimbing spiritual dan pelopor perubahan sosial. Mereka berperan sebagai panutan umat dalam mendekatkan diri kepada Allah dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat.

Kisah Hasan al-Basri, salah satu tokoh tasawuf awal, menjadi contoh nyata. Hasan al-Basri dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyampaikan kebenaran, tetapi juga sangat bijak dalam membimbing masyarakat menuju ketaatan kepada Allah.¹ Demikian pula, Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan terkenal, mengajarkan cinta tanpa syarat kepada Allah, yang menjadi inspirasi bagi generasi sufi berikutnya.²

Dalam konteks dakwah, para wali sering menjadi perantara penting dalam penyebaran Islam di berbagai wilayah. Misalnya, Walisongo di Nusantara memainkan peran signifikan dalam menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya dan pendidikan, yang berhasil menyentuh hati masyarakat lokal.³

5.2.       Kedudukan Wali Allah sebagai Teladan Spiritual

Wali Allah sering dianggap sebagai teladan dalam kehidupan spiritual. Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menyebutkan bahwa wali Allah bukan hanya mereka yang taat secara ritual, tetapi juga orang-orang yang menjaga hubungan yang mendalam dengan Allah melalui keikhlasan dan cinta kepada-Nya. Mereka menunjukkan bagaimana kehidupan seorang Muslim dapat dipenuhi dengan keseimbangan antara ibadah dan pelayanan kepada masyarakat.⁴

Di sisi lain, Ibn Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah menjelaskan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang secara spiritual memancarkan cahaya keimanan, sehingga mampu membawa kedamaian dan ketenteraman di tengah masyarakat. Peran ini menjadikan mereka sebagai “jembatan” antara manusia dan Allah, tanpa menempatkan mereka dalam posisi yang melampaui batas syariat.⁵

5.3.       Wali Allah sebagai Penjaga Moral dan Etika

Selain menjadi teladan spiritual, wali Allah juga berperan sebagai penjaga moral dan etika dalam masyarakat. Dalam Risalah Qusyairiyah, Al-Qusyairi menekankan bahwa seorang wali memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan masyarakat tentang pentingnya menjaga akhlak mulia. Ia juga menekankan bahwa peran ini hanya dapat dijalankan oleh mereka yang memiliki keikhlasan dan integritas yang tinggi.⁶

Para wali tidak hanya memperbaiki individu secara personal, tetapi juga mendorong transformasi sosial. Mereka sering kali berada di garis depan dalam menyuarakan keadilan dan memperjuangkan hak-hak orang tertindas. Contohnya, Umar ibn Abd al-Aziz, meskipun dikenal sebagai seorang khalifah, sering dianggap memiliki sifat-sifat wali karena dedikasinya dalam memperjuangkan keadilan sosial dan pemerintahan yang adil.⁷

5.4.       Tantangan dan Kritik terhadap Kedudukan Wali Allah

Meskipun memiliki peran penting, konsep Wali Allah tidak lepas dari tantangan. Salah satu masalah yang sering muncul adalah penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan konsep ini. Beberapa kelompok mengagungkan wali Allah hingga melampaui batas syariat, seperti memohon pertolongan kepada mereka atau menjadikan mereka objek penyembahan.⁸ Ibn Taymiyyah dalam Al-Furqan bayna Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaithan dengan tegas mengkritik perilaku semacam ini, menekankan bahwa wali Allah adalah manusia biasa yang tetap tunduk kepada hukum Allah.⁹

Di sisi lain, beberapa pihak menolak konsep wali secara keseluruhan karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip rasionalitas. Dalam kasus ini, penting untuk kembali pada sumber-sumber autentik Islam, yakni Al-Qur'an, Hadits, dan penjelasan para ulama, untuk memahami peran dan kedudukan wali secara seimbang.


Catatan Kaki

[1]                Abu Nasr al-Sarraj, Al-Luma’ fi al-Tasawwuf, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah, 1993), p. 98.

[2]                Margaret Smith, Rabi'a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), p. 34.

[3]                Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Kajian Historis Peranan Islam dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Salamadani Pustaka, 2009), p. 213.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, trans. Muhtar Holland (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), p. 212.

[5]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Othman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 2004), vol. 2, p. 324.

[6]                Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Kutub, 1966), p. 54.

[7]                Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), p. 87.

[8]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, ed. Sami al-Salamah (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), vol. 4, p. 344.

[9]                Ahmad ibn Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Al-Furqan bayna Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaithan, ed. Abdul Qadir Shafi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), p. 55.


6.           Perspektif Kontemporer

6.1.       Kajian dari Jurnal Ilmiah Islami

Dalam era modern, konsep Wali Allah mendapatkan perhatian baru, terutama dari akademisi Muslim yang mencoba menjelaskan relevansinya dalam konteks kontemporer. Studi dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam menunjukkan bahwa Wali Allah tetap relevan sebagai simbol keimanan yang tinggi dan teladan spiritual.¹

Sebuah kajian yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Studies mengungkapkan bahwa konsep Wali Allah dapat diintegrasikan dengan isu-isu modern seperti kepemimpinan etis dan tanggung jawab sosial. Penelitian ini menekankan bahwa Wali Allah tidak hanya sebagai individu yang memiliki hubungan spiritual dengan Allah, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang aktif memperjuangkan keadilan dan kebaikan di masyarakat.²

Pendekatan ini didukung oleh Yusuf al-Qaradawi dalam salah satu artikelnya, di mana ia menyebut bahwa seorang Wali Allah dalam konteks modern adalah mereka yang mampu menghadirkan nilai-nilai Islam di tengah tantangan globalisasi.³

6.2.       Relevansi Konsep Wali Allah di Era Modern

Konsep Wali Allah memiliki relevansi penting dalam menghadapi krisis moral dan spiritual di era modern. Dalam masyarakat yang semakin materialistik, kehadiran sosok wali dapat menginspirasi individu untuk kembali pada nilai-nilai spiritual dan etika.⁴

Sebagai contoh, beberapa gerakan Islam kontemporer telah mengadopsi prinsip-prinsip kesalehan yang diidentifikasi dengan sifat-sifat wali Allah, seperti kepemimpinan yang jujur, pemberdayaan masyarakat, dan komitmen terhadap keadilan sosial.⁵

6.3.       Pendekatan Pendidikan dan Sosial

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga relevansi konsep Wali Allah adalah melalui pendidikan. Dalam artikel yang diterbitkan oleh International Journal of Islamic Thought, disebutkan bahwa pendidikan Islam perlu menanamkan nilai-nilai yang dimiliki oleh wali Allah, seperti keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan.⁶

Para wali dalam sejarah Islam juga menunjukkan pentingnya keterlibatan dalam kehidupan sosial. Konsep ini dapat diterapkan dengan menjadikan nilai-nilai Wali Allah sebagai dasar untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat modern yang pluralistik. Dengan demikian, Wali Allah tidak hanya dipandang sebagai individu yang memiliki kedekatan dengan Allah, tetapi juga sebagai teladan yang dapat diikuti dalam kehidupan sehari-hari.⁷

6.4.       Kritik terhadap Penyimpangan Konsep Wali Allah di Era Kontemporer

Meskipun konsep Wali Allah tetap relevan, tidak dapat disangkal bahwa penyimpangan masih terjadi. Di beberapa masyarakat, wali sering kali dipandang sebagai figur supranatural yang harus disembah atau dimintai pertolongan, yang bertentangan dengan ajaran Islam.⁸

Ibn Taymiyyah dalam Al-Furqan bayna Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaithan mengingatkan bahwa pemahaman yang menyimpang ini dapat menyesatkan umat Islam dari konsep tauhid yang murni. Dalam konteks modern, penyimpangan ini perlu diluruskan melalui pendidikan yang berbasis pada Al-Qur'an, Hadits, dan tafsir yang otentik.⁹


Catatan Kaki

[1]                Journal of Islamic Studies, “The Relevance of Wali Allah in Contemporary Islamic Thought,” Journal of Islamic Studies 15, no. 3 (2015): 34-45.

[2]                Ibid., p. 39.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, The Role of Islam in Modern Society (Cairo: Dar al-Shuruq, 2001), p. 78.

[4]                Tariq Ramadan, Islam and the Global Challenges (London: Oxford University Press, 2014), p. 102.

[5]                Karen Armstrong, Islam: A Short History (New York: Modern Library, 2002), p. 87.

[6]                International Journal of Islamic Thought, “Islamic Education and Character Building,” International Journal of Islamic Thought 7, no. 2 (2018): 25-38.

[7]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, trans. Muhtar Holland (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), p. 215.

[8]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, ed. Sami al-Salamah (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), vol. 4, p. 344.

[9]                Ahmad ibn Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Al-Furqan bayna Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaithan, ed. Abdul Qadir Shafi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), p. 55.


7.           Kesimpulan

Konsep Wali Allah merupakan salah satu pembahasan penting dalam Islam yang mencerminkan kedekatan spiritual seseorang dengan Allah melalui keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Dalam kajian ini, telah dijelaskan bagaimana Al-Qur'an, Hadits, tafsir klasik, dan literatur ulama memberikan pemahaman yang mendalam tentang Wali Allah, sekaligus menunjukkan relevansi konsep ini dalam konteks kontemporer.

7.1.       Rangkuman Temuan

Dalam Al-Qur'an, Wali Allah disebut sebagai mereka yang tidak takut dan tidak bersedih hati karena keimanan dan ketakwaan mereka (QS Yunus [10] ayat 62-63).¹ Tafsir klasik seperti karya Al-Thabari, Al-Qurtubi, dan Ibn Kathir menegaskan bahwa Wali Allah adalah orang-orang yang menjaga hubungan yang erat dengan Allah, tidak hanya melalui ibadah formal, tetapi juga melalui keteladanan moral dan integritas pribadi.² Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, termasuk hadits qudsi, menekankan bahwa seorang wali dicintai oleh Allah dan dilindungi dari ancaman duniawi.³

Literatur klasik, seperti Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan Risalah Qusyairiyah karya Al-Qusyairi, menyoroti dimensi tasawuf dalam konsep Wali Allah, termasuk maqam-maqam spiritual dan hierarki wali.⁴ Ibn Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah bahkan memperkenalkan konsep hierarki wali seperti al-Aqthab dan al-Abdal, yang memperkaya diskusi tentang peran wali dalam dunia spiritual.⁵

Dalam masyarakat modern, Wali Allah tetap relevan sebagai inspirasi untuk membangun kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual dan moral. Melalui pendidikan dan dakwah, nilai-nilai yang dimiliki wali Allah dapat menjadi fondasi untuk menghadapi tantangan global seperti krisis moral dan ketimpangan sosial.⁶ Namun, tantangan berupa penyimpangan dalam memahami konsep ini juga perlu diatasi melalui pendekatan berbasis Al-Qur'an dan Hadits.⁷

7.2.       Implikasi Praktis

Studi tentang Wali Allah tidak hanya berfungsi sebagai kajian teoretis, tetapi juga memiliki implikasi praktis:

·                     Pembentukan Karakter Umat Islam:

Konsep Wali Allah dapat dijadikan sebagai teladan dalam membentuk karakter umat Islam yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.⁸

·                     Peningkatan Kepemimpinan Islam:

Wali Allah sebagai teladan dalam keadilan dan kepemimpinan dapat menginspirasi pemimpin-pemimpin Muslim untuk mengutamakan nilai-nilai moral dan etika dalam mengelola masyarakat.⁹

·                     Pemurnian Akidah:

Penekanan pada ajaran Al-Qur'an dan Hadits tentang Wali Allah membantu meluruskan penyimpangan yang muncul akibat pengkultusan wali yang berlebihan.¹⁰

7.3.       Rekomendasi

Sebagai langkah lanjutan, pemahaman tentang Wali Allah perlu terus didalami melalui kajian yang terintegrasi antara tafsir klasik, literatur tasawuf, dan penelitian kontemporer. Pendidikan Islam juga perlu mengadopsi nilai-nilai ini sebagai bagian dari kurikulum, sehingga generasi Muslim dapat mengambil ibrah dari para wali Allah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan ini, Wali Allah tidak hanya menjadi sosok yang dihormati, tetapi juga menjadi inspirasi bagi setiap individu Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS Yunus [10] ayat 62-63.

[2]                Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, ed. Mahmud Shakir (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2001), vol. 11, p. 52; Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ed. Abdullah Al-Turki (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006), vol. 8, p. 423; Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, ed. Sami al-Salamah (Riyadh: Dar Tayyibah, 1999), vol. 4, p. 344.

[3]                Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, Hadits no. 6502.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, trans. Muhtar Holland (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2009), p. 212; Abu al-Qasim al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, ed. Abdul Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Kutub, 1966), p. 54.

[5]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Othman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 2004), vol. 2, p. 324.

[6]                Tariq Ramadan, Islam and the Global Challenges (London: Oxford University Press, 2014), p. 102.

[7]                Ahmad ibn Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Al-Furqan bayna Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaithan, ed. Abdul Qadir Shafi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), p. 55.

[8]                Yusuf al-Qaradawi, The Role of Islam in Modern Society (Cairo: Dar al-Shuruq, 2001), p. 78.

[9]                Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), p. 87.

[10]             Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, vol. 4, p. 344.


Daftar Pustaka


Buku dan Kitab Klasik

Al-Ghazali, A. H. (2009). Ihya Ulumuddin (M. Holland, Trans.). Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Al-Qurtubi, A. A. M. (2006). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (A. Al-Turki, Ed.). Beirut: Muassasah al-Risalah.

Al-Sarraj, A. N. (1993). Al-Luma’ fi al-Tasawwuf (A. H. Mahmud, Ed.). Cairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah.

Al-Thabari, A. J. M. (2001). Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (M. Shakir, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’arif.

Al-Qusyairi, A. A. M. (1966). Risalah Qusyairiyah (A. H. Mahmud, Ed.). Cairo: Dar al-Kutub.

Ibn Arabi, M. A. (2004). Futuhat al-Makkiyah (O. Yahya, Ed.). Beirut: Dar al-Sadir.

Ibn Kathir, I. I. (1999). Tafsir al-Qur’an al-Azim (S. Al-Salamah, Ed.). Riyadh: Dar Tayyibah.

Ibn Taymiyyah, A. A. A. H. (1999). Al-Furqan bayna Awliya al-Rahman wa Awliya al-Syaithan (A. Q. Shafi, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.


Hadits dan Tafsir

Al-Bukhari, M. I. I. (1959). Sahih al-Bukhari (M. F. Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’arifah.

Ibn Hajar al-Asqalani, A. A. A. (1959). Fathul Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari (M. F. Abdul Baqi, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’arifah.


Jurnal dan Artikel

Journal of Islamic Studies. (2015). The relevance of Wali Allah in contemporary Islamic thought. Journal of Islamic Studies, 15(3), 34–45.

International Journal of Islamic Thought. (2018). Islamic education and character building. International Journal of Islamic Thought, 7(2), 25–38.


Buku Modern

Armstrong, K. (2002). Islam: A short history. New York: Modern Library.

Asad, M. (1961). The principles of state and government in Islam. Berkeley: University of California Press.

Qaradawi, Y. (2001). The role of Islam in modern society. Cairo: Dar al-Shuruq.

Ramadan, T. (2014). Islam and the global challenges. London: Oxford University Press.

Suryanegara, A. M. (2009). Api sejarah: Kajian historis peranan Islam dalam sejarah Indonesia. Bandung: Salamadani Pustaka.

Smith, M. (1928). Rabi’a the mystic and her fellow-saints in Islam. Cambridge: Cambridge University Press.


Lampiran 1: Daftar Tokoh-Tokoh Masyhur yang Masuk Kategori Wali Allah Berdasarkan Periode Hidupnya


1.            Hasan al-Basri

·                     Nama Lengkap: Hasan bin Abi al-Hasan al-Basri

·                     Masa Hidup: 642–728 M (21–110 H)

·                     Bidang Keahlian: Tafsir Al-Qur'an, Hadits, Tasawuf

·                     Peninggalan Populer: Ajaran zuhud (asketisisme) dan pemikiran tentang sifat-sifat Allah yang berpengaruh pada tradisi tasawuf.¹


2.            Rabi’ah al-Adawiyah

·                     Nama Lengkap: Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah

·                     Masa Hidup: 714–801 M (95–185 H)

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf

·                     Peninggalan Populer: Pemikiran cinta ilahi (mahabbah) dan keridhaan kepada Allah. Ia dikenal sebagai pelopor tasawuf berbasis cinta kepada Allah tanpa pamrih.²


3.            Junaid al-Baghdadi

·                     Nama Lengkap: Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Baghdadi

·                     Masa Hidup: 830–910 M (220–298 H)

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf

·                     Peninggalan Populer: Pendekatan tasawuf yang menekankan syariat dan spiritualitas. Ia dikenal sebagai imam al-taifah (pemimpin kelompok) dalam tradisi tasawuf.³


4.            Abu Hamid al-Ghazali

·                     Nama Lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali

·                     Masa Hidup: 1058–1111 M (450–505 H)

·                     Bidang Keahlian: Fikih, Tasawuf, Falsafah

·                     Peninggalan Populer: Karya monumental Ihya Ulumuddin, yang menjadi referensi utama dalam tasawuf Islam.⁴


5.            Abdul Qadir al-Jailani

·                     Nama Lengkap: Abdul Qadir bin Musa al-Jailani

·                     Masa Hidup: 1077–1166 M (470–561 H)

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Dakwah

·                     Peninggalan Populer: Pendiri tarekat Qadiriyah dan ajaran tasawuf yang menekankan hubungan langsung dengan Allah melalui ketaatan dan akhlak mulia.⁵


6.            Ibn Arabi

·                     Nama Lengkap: Muhammad bin Ali bin Muhammad Ibn Arabi

·                     Masa Hidup: 1165–1240 M (560–638 H)

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Falsafah

·                     Peninggalan Populer: Karya Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam, yang membahas dimensi mistis Islam, termasuk konsep kesatuan wujud (wahdat al-wujud).⁶


7.            Jalaluddin Rumi

·                     Nama Lengkap: Jalaluddin Muhammad Rumi

·                     Masa Hidup: 1207–1273 M (604–672 H)

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Sastra

·                     Peninggalan Populer: Karya Mathnawi al-Ma’nawi, yang menjadi salah satu kitab sastra tasawuf terkemuka di dunia Islam.⁷


8.            Syekh Ahmad Sirhindi

·                     Nama Lengkap: Ahmad bin Abd al-Ahad Sirhindi

·                     Masa Hidup: 1564–1624 M (971–1034 H)

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Fikih

·                     Peninggalan Populer: Ajaran pembaruan Islam dalam konteks India Mughal dan kritiknya terhadap wahdat al-wujud. Ia dikenal sebagai mujaddid alf thani (pembaru abad kedua hijriyah).⁸


Catatan Kaki

[1]                Abu Nasr al-Sarraj, Al-Luma’ fi al-Tasawwuf, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah, 1993), p. 45.

[2]                Margaret Smith, Rabi’a the Mystic and Her Fellow-Saints in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1928), p. 34.

[3]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), p. 112.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), vol. 1, p. 35.

[5]                John Renard, Friends of God: Islamic Images of Piety, Commitment, and Servanthood (Berkeley: University of California Press, 2008), p. 87.

[6]                Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, ed. Othman Yahya (Beirut: Dar al-Sadir, 2004), vol. 2, p. 324.

[7]                Jalaluddin Rumi, Mathnawi al-Ma’nawi, trans. Reynold A. Nicholson (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1926), vol. 1, p. 45.

[8]                Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi: An Outline of His Thought and a Study of His Image in the Eyes of Posterity (Montreal: McGill-Queen's University Press, 2000), p. 76.


Lampiran 2: Daftar Wali Songo Berdasarkan Periode Hidupnya


1.            Maulana Malik Ibrahim

·                     Nama Lengkap: Maulana Malik Ibrahim

·                     Masa Hidup: Wafat 1419 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Fiqih, Ekonomi

·                     Peninggalan Populer: Pendiri dakwah Islam di Jawa Timur; dikenal memperkenalkan ajaran Islam dengan pendekatan damai, melalui pertanian, perdagangan, dan pembangunan masyarakat.¹


2.            Sunan Ampel

·                     Nama Lengkap: Raden Rahmat

·                     Masa Hidup: 1401–1481 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Pendidikan Islam

·                     Peninggalan Populer: Pendiri pesantren pertama di Jawa, Pesantren Ampel Denta di Surabaya; dikenal dengan ajaran Moh Limo (menolak lima perilaku buruk).²


3.            Sunan Gresik

·                     Nama Lengkap: Maulana Maqdum Ibrahim

·                     Masa Hidup: Abad ke-15 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Pendidikan

·                     Peninggalan Populer: Berperan dalam menyebarkan Islam di wilayah pesisir Jawa dan mendirikan masjid sebagai pusat pembelajaran Islam.³


4.            Sunan Bonang

·                     Nama Lengkap: Raden Makdum Ibrahim

·                     Masa Hidup: 1465–1525 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Seni Musik Islam

·                     Peninggalan Populer: Penggunaan seni dan musik gamelan untuk dakwah Islam; menciptakan lagu-lagu Islami yang memadukan ajaran tasawuf.⁴


5.            Sunan Drajat

·                     Nama Lengkap: Raden Qasim

·                     Masa Hidup: 1470–1522 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Sosial

·                     Peninggalan Populer: Menekankan pendidikan moral dan pemberdayaan sosial; mendirikan panti asuhan dan lembaga sosial untuk membantu fakir miskin.⁵


6.            Sunan Kalijaga

·                     Nama Lengkap: Raden Mas Syahid

·                     Masa Hidup: 1460–1513 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Budaya

·                     Peninggalan Populer: Menggunakan seni wayang kulit dan budaya lokal untuk menyebarkan Islam; dikenal dengan pendekatan yang akulturatif dan toleran.⁶


7.            Sunan Kudus

·                     Nama Lengkap: Ja’far Shadiq

·                     Masa Hidup: 1500–1550 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Fiqih, Arsitektur

·                     Peninggalan Populer: Pendiri Masjid Menara Kudus; dikenal dengan dakwahnya yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan tradisi Hindu-Buddha lokal.⁷


8.            Sunan Muria

·                     Nama Lengkap: Raden Umar Said

·                     Masa Hidup: Abad ke-15 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Pertanian

·                     Peninggalan Populer: Menyebarkan Islam ke masyarakat pedalaman Jawa; mengajarkan nilai-nilai Islam melalui pendekatan agraris.⁸


9.            Sunan Gunung Jati

·                     Nama Lengkap: Syarif Hidayatullah

·                     Masa Hidup: 1448–1568 M

·                     Bidang Keahlian: Dakwah, Pemerintahan

·                     Peninggalan Populer: Pendiri Kesultanan Cirebon; memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa Barat dan memadukan Islam dengan sistem pemerintahan lokal.⁹


Catatan Kaki

[1]                M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200 (London: Palgrave Macmillan, 2008), p. 25.

[2]                Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Kajian Historis Peranan Islam dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Salamadani Pustaka, 2009), p. 143.

[3]                Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation (Bandung: Mizan, 2006), p. 87.

[4]                G.W.J. Drewes, The Struggle Between Religion and State in Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1955), p. 45.

[5]                Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, p. 27.

[6]                Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an (Ithaca: Cornell University Press, 1994), p. 112.

[7]                Suryanegara, Api Sejarah, p. 149.

[8]                Azra, Islam in the Indonesian World, p. 102.

[9]                Drewes, The Struggle Between Religion and State in Indonesia, p. 53.


Lampiran 3: Daftar Tokoh-Tokoh Masyhur yang Masuk Kategori Wali Allah Selain Wali Songo di Nusantara


1.            Syekh Yusuf al-Makassari

·                     Nama Lengkap: Syekh Yusuf bin Abdurrahman al-Makassari

·                     Masa Hidup: 1626–1699 M

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Fiqih, Dakwah

·                     Peninggalan Populer: Pengaruhnya dalam pengembangan ajaran tasawuf di Nusantara dan Afrika Selatan; karyanya seperti Safinat al-Najah berisi ajaran spiritual dan prinsip moral Islam.¹


2.            Syekh Abdul Muhyi

·                     Nama Lengkap: Syekh Abdul Muhyi bin Abdul Jalil

·                     Masa Hidup: Abad ke-17 M

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Dakwah

·                     Peninggalan Populer: Pelopor penyebaran Islam di Tasikmalaya dan sekitarnya; mendirikan pesantren dan mengajarkan ajaran tasawuf melalui pendekatan lokal.²


3.            Syekh Burhanuddin

·                     Nama Lengkap: Syekh Burhanuddin Ulakan

·                     Masa Hidup: Wafat 1704 M

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Pendidikan

·                     Peninggalan Populer: Pionir Tarekat Syattariyah di Minangkabau; mendirikan pusat pendidikan Islam di Ulakan, Pariaman.³


4.            Syekh Nawawi al-Bantani

·                     Nama Lengkap: Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani

·                     Masa Hidup: 1813–1897 M

·                     Bidang Keahlian: Fikih, Tafsir, Tasawuf

·                     Peninggalan Populer: Ulama besar yang diakui dunia Islam; karyanya seperti Tafsir Marah Labid (juga dikenal sebagai Tafsir Munir) menjadi rujukan penting dalam studi tafsir Al-Qur'an.⁴


5.            Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

·                     Nama Lengkap: Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi

·                     Masa Hidup: 1860–1916 M

·                     Bidang Keahlian: Fikih, Pendidikan

·                     Peninggalan Populer: Guru besar di Masjidil Haram, Mekkah; menjadi pembimbing intelektual bagi tokoh-tokoh reformasi Islam di Indonesia seperti Haji Agus Salim dan KH Ahmad Dahlan.⁵


6.            KH Hasyim Asy'ari

·                     Nama Lengkap: KH Hasyim Asy'ari

·                     Masa Hidup: 1871–1947 M

·                     Bidang Keahlian: Fikih, Pendidikan

·                     Peninggalan Populer: Pendiri Nahdlatul Ulama (NU); mengembangkan pendidikan pesantren modern dan memperjuangkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama'ah di Indonesia.⁶


7.            KH Ahmad Dahlan

·                     Nama Lengkap: KH Ahmad Dahlan

·                     Masa Hidup: 1868–1923 M

·                     Bidang Keahlian: Pendidikan, Reformasi Islam

·                     Peninggalan Populer: Pendiri Muhammadiyah; memperkenalkan metode pendidikan modern yang memadukan ilmu agama dan sains.⁷


8.            Syekh Siti Jenar

·                     Nama Lengkap: Syekh Siti Jenar

·                     Masa Hidup: Abad ke-15–16 M

·                     Bidang Keahlian: Tasawuf, Filsafat

·                     Peninggalan Populer: Tokoh kontroversial dalam tasawuf Jawa; mengajarkan konsep spiritual tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud), yang hingga kini masih menjadi diskursus penting dalam sejarah Islam di Nusantara.⁸


Catatan Kaki

[1]                Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia (Honolulu: University of Hawai'i Press, 2004), p. 112.

[2]                Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Kajian Historis Peranan Islam dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Salamadani Pustaka, 2009), p. 187.

[3]                Taufik Abdullah, Islam and the State in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1983), p. 56.

[4]                Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (Jakarta: Kencana, 2012), p. 89.

[5]                Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973), p. 123.

[6]                Greg Fealy, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Clayton: Monash University Press, 1996), p. 102.

[7]                Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), p. 78.

[8]                Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading, 1995), p. 67.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar