Rabu, 15 Januari 2025

Studi Komprehensif tentang Madzhab-Madzhab dalam Islam

Studi Komprehensif tentang Madzhab-Madzhab dalam Islam

Perspektif Kitab-Kitab Klasik, Ulama, dan Jurnal Ilmiah Islami


Abstrak

Artikel ini mengkaji madzhab-madzhab dalam Islam dari perspektif kitab-kitab klasik, pandangan para ulama, dan penelitian dalam jurnal ilmiah Islam. Melalui pendekatan historis, normatif, dan komparatif, artikel ini membahas pengertian, dasar-dasar, sejarah, prinsip-prinsip, metodologi, dan kontribusi madzhab dalam pengembangan hukum Islam. Studi ini menyoroti persamaan dan perbedaan di antara madzhab-madzhab fiqih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dan madzhab akidah (Asy’ariyah, Maturidiyah) serta relevansi madzhab dalam menjawab tantangan kontemporer seperti keuangan syariah, lingkungan, dan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa madzhab tidak hanya menjadi warisan intelektual Islam, tetapi juga berfungsi sebagai alat penting untuk menjaga harmoni dan fleksibilitas hukum Islam di tengah masyarakat yang terus berkembang. Artikel ini merekomendasikan peningkatan literasi keislaman, dialog antar-madzhab, serta integrasi prinsip-prinsip klasik dalam konteks modern sebagai langkah strategis untuk memelihara relevansi madzhab dalam kehidupan umat Islam.

Kata Kunci: Madzhab Islam, Fiqih, Ushul Fiqh, Akidah, Relevansi Kontemporer, Harmonisasi Hukum Islam.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Madzhab merupakan salah satu elemen penting dalam sejarah peradaban Islam yang membentuk cara umat memahami, mempraktikkan, dan menginternalisasi ajaran agama. Istilah "madzhab" berasal dari kata Arabذهب  (dzahaba), yang berarti "jalan" atau "cara". Dalam konteks Islam, madzhab merujuk pada aliran atau metode tertentu dalam memahami hukum syariat dan akidah Islam.¹ Keberadaan madzhab memainkan peran strategis dalam membentuk wawasan hukum, spiritualitas, dan solidaritas umat Islam sepanjang sejarah.

Sejak masa awal Islam, praktik ijtihad telah menjadi jalan utama bagi para sahabat Nabi Muhammad Saw dalam menyelesaikan masalah yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an atau Hadis.² Perbedaan dalam penafsiran dan pendekatan metodologis ini kemudian berkembang menjadi madzhab-madzhab besar seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, yang dikenal sebagai empat madzhab utama dalam fiqih.³ Selain itu, dalam bidang akidah, madzhab-madzhab seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah turut memainkan peran penting dalam membangun pemahaman yang kokoh tentang tauhid.

Dalam konteks kontemporer, madzhab masih memiliki relevansi yang signifikan, terutama dalam menjawab tantangan modernitas dan globalisasi. Namun, untuk memahami kontribusi dan posisi madzhab secara komprehensif, diperlukan kajian mendalam yang didasarkan pada sumber-sumber terpercaya, termasuk kitab-kitab klasik, pandangan para ulama, dan penelitian ilmiah dalam jurnal-jurnal akademik. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga memastikan bahwa pemahaman yang dihasilkan didasarkan pada basis keilmuan yang kuat.⁴

1.2.       Tujuan Penulisan

Artikel ini bertujuan untuk menyelami sejarah, prinsip, dan kontribusi madzhab dalam Islam dengan mengacu pada sumber-sumber referensi yang kredibel. Kajian ini menggunakan pendekatan holistik yang melibatkan analisis literatur klasik, pandangan para ulama, dan kajian ilmiah modern. Dengan menyajikan pembahasan yang komprehensif, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang peran madzhab dalam menjaga keberagaman dan persatuan umat Islam.⁵

1.3.       Metodologi Kajian

Penelitian ini menggunakan pendekatan literatur, yaitu mengacu pada sumber-sumber utama seperti kitab klasik, pandangan para ulama, dan artikel dalam jurnal ilmiah Islami. Analisis dilakukan secara historis untuk memahami asal-usul madzhab, secara normatif untuk menilai landasan syariatnya, dan secara komparatif untuk menyoroti perbedaan di antara berbagai madzhab. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan perspektif yang seimbang dan objektif.⁶


Catatan Kaki

[1]                A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass, 1932), 120.

[2]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 450.

[3]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.

[5]                Yasin Dutton, "The Origins of Islamic Law," Journal of Islamic Studies 4, no. 1 (1993): 25–27.

[6]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 35.


2.           Pengertian dan Dasar-Dasar Madzhab

2.1.       Definisi Madzhab

Secara etimologis, kata madzhab berasal dari bahasa Arab ذهب (dzahaba), yang berarti "jalan" atau "cara". Dalam terminologi Islam, madzhab mengacu pada suatu metode atau aliran pemikiran yang digunakan untuk memahami, menafsirkan, dan menerapkan hukum-hukum syariat.¹ Penggunaan istilah ini meluas dalam ilmu fiqih dan akidah untuk merujuk pada pandangan hukum yang dipegang oleh sekelompok ulama yang mengikuti prinsip-prinsip tertentu.

Imam Al-Zarkasyi mendefinisikan madzhab sebagai “pendapat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid berdasarkan metode ijtihad yang dilandasi Al-Qur’an, Hadis, dan dalil-dalil syar’i lainnya.”² Dengan demikian, madzhab bukan hanya sekadar pandangan individu, tetapi juga sistem pemikiran yang memiliki landasan ilmiah dan bertujuan untuk memecahkan persoalan hukum dan teologis.

2.2.       Dalil-Dalil Keberadaan Madzhab

2.2.1.    Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis

Keberadaan madzhab secara implisit disinggung dalam Al-Qur'an melalui ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ulama. Salah satu ayat yang relevan adalah:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16] ayat 43).³

Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk merujuk kepada otoritas ilmiah (ulama) dalam memahami hukum syariat. Madzhab sebagai bentuk institusionalisasi pandangan ulama adalah manifestasi dari perintah ini.

Dalam hadis, Rasulullah Saw juga mengakui adanya perbedaan pendapat di antara para sahabat. Hadis tentang keputusan ijtihad para sahabat dalam peristiwa Bani Quraizhah menunjukkan bahwa perbedaan dalam memahami teks syariat adalah sesuatu yang diterima selama dilakukan dengan metode yang sahih.⁴

2.2.2.      Dalil dari Praktik Sahabat

Para sahabat Nabi sering kali berbeda pendapat dalam memutuskan perkara yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Misalnya, perbedaan pandangan antara Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud tentang warisan kakek bersama saudara.⁵ Perbedaan ini menunjukkan awal mula tradisi ijtihad yang menjadi landasan bagi perkembangan madzhab.

2.3.       Urgensi Berpegang pada Madzhab

Berpegang pada madzhab memiliki urgensi yang signifikan, terutama dalam memandu umat memahami hukum-hukum syariat. Dalam konteks ini, madzhab menyediakan:

1)                  Kerangka Metodologis

Madzhab memberikan metode yang jelas dalam menggali hukum syariat dari sumber-sumbernya. Tanpa madzhab, pemahaman terhadap hukum Islam cenderung menjadi subjektif dan tidak terarah.⁶

2)                  Stabilitas dan Konsistensi

Berpegang pada madzhab memungkinkan umat untuk memiliki panduan yang stabil dalam menjalankan ibadah dan kehidupan sehari-hari. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa madzhab adalah jalan untuk memastikan bahwa hukum syariat dapat dipraktikkan dengan benar di tengah-tengah masyarakat.⁷

3)                  Moderasi dalam Perbedaan

Madzhab memungkinkan adanya perbedaan pendapat yang sehat di kalangan umat Islam, tanpa menimbulkan perpecahan.⁸


Catatan Kaki

[1]                A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass, 1932), 120.

[2]                Imam Al-Zarkasyi, Al-Bahr Al-Muhith, vol. 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 23.

[3]                Al-Qur’an, QS. An-Nahl: 43.

[4]                Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-I’tisam bil Kitab was Sunnah, no. 7352.

[5]                Ibn Qudamah, Al-Mughni, vol. 6 (Riyadh: Maktabah Al-Riyadh Al-Hadithah, 1979), 196.

[6]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.

[7]                Imam Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul, ed. Hamza bin Zuhair Hafidz (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 9.

[8]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 35.


3.           Sejarah Lahirnya Madzhab-Madzhab dalam Islam

3.1.       Periode Awal: Masa Rasulullah Saw dan Sahabat

Pada masa Rasulullah Saw, sumber hukum utama adalah Al-Qur’an dan Hadis. Rasulullah Saw memberikan panduan langsung kepada para sahabat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Namun, ketika tidak ada petunjuk langsung, beliau mengizinkan sahabat untuk melakukan ijtihad dengan catatan bahwa ijtihad tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Salah satu contoh adalah ketika Mu’adz bin Jabal diutus ke Yaman dan diberi wewenang untuk berijtihad jika tidak menemukan solusi dalam Al-Qur’an dan Hadis.¹

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, para sahabat melanjutkan tradisi ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan baru. Perbedaan kemampuan, pemahaman, dan situasi geografis menyebabkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Misalnya, Umar bin Khattab dikenal lebih sering menggunakan kebijakan yang bersifat maslahat (kepentingan umum), sedangkan Abdullah bin Mas’ud lebih mengedepankan pendekatan tekstual.²

3.2.       Periode Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in

Pada masa tabi’in (generasi setelah sahabat), umat Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah seperti Irak, Syam, Mesir, dan Hijaz. Penyebaran ini menyebabkan berkembangnya berbagai pandangan hukum berdasarkan tradisi lokal dan interaksi dengan budaya setempat.³ Wilayah Hijaz, misalnya, lebih banyak berpegang pada tradisi Hadis karena kedekatannya dengan Madinah, sedangkan Irak lebih banyak menggunakan ra’yu (rasionalitas) karena minimnya akses langsung ke Hadis.

Pada periode ini pula, muncul tokoh-tokoh seperti Sa’id bin al-Musayyib di Madinah dan Al-Hasan al-Basri di Basra, yang menjadi rujukan utama dalam pengembangan hukum Islam. Pendekatan mereka, yang mengintegrasikan Hadis, Al-Qur’an, dan ijtihad, menjadi fondasi bagi berkembangnya madzhab-madzhab besar.⁴

3.3.       Periode Madzhab Klasik

3.3.1.      Lahirnya Madzhab Fiqih

Empat madzhab besar dalam fiqih Islam lahir pada periode ini, yaitu:

1)                  Madzhab Hanafi

Didirikan oleh Imam Abu Hanifah (w. 767 M) di Kufah, Irak. Pendekatan madzhab ini dikenal sangat rasional, dengan menekankan qiyas (analogi) dan istihsan (preferensi hukum) dalam ijtihad.⁵

2)                  Madzhab Maliki

Didirikan oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M) di Madinah. Pendekatannya sangat berakar pada tradisi amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah) dan Hadis. Kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik menjadi rujukan utama madzhab ini.⁶

3)                  Madzhab Syafi’i

Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 820 M). Beliau dikenal sebagai “Peletak Dasar Usul Fiqih” melalui karyanya Ar-Risalah. Madzhab ini mengintegrasikan pendekatan tekstual dan rasional secara seimbang.⁷

4)                  Madzhab Hanbali

Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855 M). Pendekatannya sangat konservatif, menekankan Hadis dan menolak penggunaan qiyas kecuali dalam keadaan darurat.⁸

3.3.2.      Munculnya Madzhab Akidah

Selain madzhab fiqih, periode ini juga menyaksikan munculnya madzhab-madzhab akidah, seperti:

·                     Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 936 M). Madzhab ini menggabungkan pendekatan tekstual dan rasional dalam memahami akidah.⁹

·                     Maturidiyah, yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), lebih menekankan pendekatan rasional dengan tetap berlandaskan pada dalil naqli.¹⁰

3.4.       Periode Perkembangan dan Kodifikasi

Pada abad ke-10 dan 11, madzhab-madzhab ini semakin berkembang melalui proses kodifikasi hukum. Para ulama menyusun kitab-kitab fiqih yang menjadi rujukan hingga kini. Proses ini tidak hanya memperkuat madzhab secara metodologis, tetapi juga memberikan stabilitas dalam pengamalan hukum Islam di berbagai wilayah.¹¹


Catatan Kaki

[1]                Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-I’tisam bil Kitab was Sunnah, no. 7352.

[2]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 450.

[3]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 47.

[4]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 21.

[5]                A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass, 1932), 120.

[6]                Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 45.

[7]                Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 28.

[8]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.

[9]                Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa (Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.

[10]             Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 19.

[11]             Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.


4.           Prinsip-Prinsip dan Metodologi Madzhab

4.1.       Metodologi Ijtihad dalam Madzhab

4.1.1.      Sumber Hukum dalam Madzhab

Setiap madzhab dalam Islam memiliki prinsip dasar yang berakar pada sumber-sumber hukum Islam: Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ (konsensus), dan Qiyas (analogi).¹ Imam Al-Syafi’i dalam Ar-Risalah menyusun hierarki sumber hukum yang menjadi rujukan utama, yaitu Al-Qur’an sebagai pedoman tertinggi, diikuti oleh Hadis, kemudian Ijma’, dan Qiyas.²

Meskipun semua madzhab sepakat pada hierarki ini, terdapat variasi dalam cara mereka mengaplikasikan dan memprioritaskan sumber-sumber tersebut. Sebagai contoh:

·                     Madzhab Hanafi sering menggunakan istihsan (preferensi hukum) untuk menemukan solusi yang lebih praktis dan maslahat.³

·                     Madzhab Maliki mengutamakan amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah) sebagai sumber hukum yang kuat.⁴

·                     Madzhab Syafi’i lebih tekstual dan mengedepankan kekuatan Hadis dibandingkan tradisi lokal.⁵

·                     Madzhab Hanbali sangat ketat dalam menggunakan Hadis dan sering menghindari Qiyas kecuali dalam kondisi tertentu.⁶

4.1.2.      Kriteria untuk Berijtihad

Ijtihad, sebagai upaya memahami hukum dari sumber-sumbernya, hanya dilakukan oleh ulama yang memenuhi kriteria tertentu. Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasfa menjelaskan bahwa seorang mujtahid harus memiliki keahlian dalam ilmu bahasa Arab, tafsir, ilmu hadis, dan ushul fiqih.⁷ Selain itu, mujtahid harus mampu memahami kondisi masyarakat agar hasil ijtihadnya relevan dan aplikatif.⁸

4.2.       Kaidah-Kaidah Fiqih dalam Madzhab

Madzhab-madzhab Islam juga berpegang pada kaidah-kaidah fiqih (qawa’id fiqhiyyah) yang membantu menyelesaikan permasalahan hukum dengan prinsip-prinsip umum. Beberapa kaidah fiqih yang menjadi pedoman universal di semua madzhab adalah:⁹

1)                  Al-Yaqin La Yazulu bi Al-Syak

"Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan." Kaidah ini digunakan dalam berbagai aspek, seperti hukum thaharah dan transaksi keuangan.¹⁰

2)                  Al-Masyaqqah Tajlibu Al-Taisir

"Kesulitan mendatangkan kemudahan." Prinsip ini memungkinkan adanya dispensasi (rukhshah) dalam kondisi darurat.¹¹

3)                  Ad-Dharar Yuzal

"Kemudaratan harus dihilangkan." Kaidah ini sering diterapkan dalam kasus yang melibatkan konflik kepentingan.¹²

4)                  Al-Adat Muhakkamah

"Kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum." Dalam kasus yang tidak ada dalil eksplisit, adat yang tidak bertentangan dengan syariat dapat dijadikan pedoman.¹³

4.3.       Moderasi dalam Metodologi Madzhab

Madzhab-madzhab Islam memiliki prinsip moderasi dalam menghadapi perbedaan pendapat. Moderasi ini terlihat dalam:

·                     Penerimaan Perbedaan Pendapat

Semua madzhab sepakat bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang dilakukan dengan metode yang benar adalah rahmat bagi umat.¹⁴ Imam Syafi’i, misalnya, berkata, “Pendapat saya benar, tetapi mungkin mengandung kesalahan; dan pendapat orang lain salah, tetapi mungkin mengandung kebenaran.”¹⁵

·                     Hikmah di Balik Perbedaan

Perbedaan metodologi madzhab memberikan fleksibilitas dalam pengamalan hukum Islam, sehingga sesuai dengan konteks budaya dan sosial masyarakat setempat.¹⁶


Catatan Kaki

[1]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.

[2]                Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 35.

[3]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 55.

[4]                Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 13.

[5]                Al-Syafi’i, Ar-Risalah, 45.

[6]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 27.

[7]                Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul, ed. Hamza bin Zuhair Hafidz (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 89.

[8]                Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.

[9]                Ibn Nujaym, Al-Ashbah wa al-Naza’ir, ed. Muhammad Mufrih (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 17.

[10]             Ibid., 18.

[11]             Ibid., 20.

[12]             Ibid., 22.

[13]             Ibid., 25.

[14]             Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 471.

[15]             Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, 75.

[16]             Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.


5.           Penjelasan Komparatif antara Madzhab

5.1.       Persamaan dalam Madzhab-Madzhab Islam

Meskipun terdapat perbedaan metodologi dan pandangan dalam madzhab-madzhab Islam, semuanya memiliki kesamaan dalam fondasi dan tujuan utamanya. Beberapa persamaan penting meliputi:

1)                  Sumber Hukum Utama

Semua madzhab sepakat bahwa sumber hukum utama dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an dianggap sebagai pedoman utama, sementara Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penguat.¹ Ijma’ (konsensus) dan Qiyas (analogi) juga diterima sebagai sumber hukum tambahan, meskipun aplikasinya berbeda di antara madzhab.²

2)                  Tujuan Hukum (Maqashid al-Shari’ah)

Semua madzhab bersepakat bahwa tujuan hukum Islam adalah menjaga lima prinsip utama: agama (hifzh al-din), jiwa (hifzh al-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta (hifzh al-mal).³ Perbedaan dalam penerapan hukum bertujuan untuk mencapai maslahat yang sejalan dengan prinsip-prinsip ini.

3)                  Ketaatan pada Prinsip Ijtihad

Setiap madzhab mengakui pentingnya ijtihad sebagai sarana untuk menemukan solusi hukum baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun, ijtihad harus dilakukan oleh ulama yang kompeten sesuai dengan syarat-syarat tertentu.⁴

5.2.       Perbedaan dalam Madzhab Fiqih

Setiap madzhab memiliki metode dan pendekatan yang unik dalam memahami dan menerapkan hukum syariat. Berikut adalah perbandingan di antara empat madzhab fiqih utama:

1)                  Madzhab Hanafi

Ciri Khas: Mengedepankan rasionalitas melalui penggunaan Qiyas dan Istihsan.⁵

Contoh Penerapan: Dalam kasus wudhu, madzhab ini membolehkan menyentuh kulit istri tanpa membatalkan wudhu karena memandang hal tersebut tidak menghilangkan kesucian.⁶

2)                  Madzhab Maliki

Ciri Khas: Berpegang pada Amal Ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah) sebagai sumber hukum yang kuat.⁷

Contoh Penerapan: Dalam masalah shalat, madzhab Maliki membolehkan menahan tangis selama shalat jika disebabkan oleh rasa takut kepada Allah, berdasarkan tradisi masyarakat Madinah.⁸

3)                  Madzhab Syafi’i

Ciri Khas: Kombinasi antara tekstual dan rasional, dengan prioritas pada kekuatan Hadis.⁹

Contoh Penerapan: Dalam warisan, madzhab ini memberikan bagian tetap untuk kakek dalam situasi yang melibatkan saudara-saudara, mengikuti panduan eksplisit dari Hadis.¹⁰

4)                  Madzhab Hanbali

Ciri Khas: Pendekatan yang sangat tekstual, menolak penggunaan Qiyas kecuali dalam situasi darurat.¹¹

Contoh Penerapan: Dalam masalah puasa, madzhab Hanbali mewajibkan niat puasa dilakukan setiap malam, sesuai dengan Hadis yang menyebutkan keharusan niat sebelum fajar.¹²

5.3.       Perbedaan dalam Madzhab Akidah

Dalam akidah, madzhab-madzhab utama seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah memiliki beberapa perbedaan dalam penafsiran prinsip-prinsip teologis:

1)                  Sifat-Sifat Allah

Asy’ariyah: Mengambil pendekatan tafwidh (menyerahkan makna kepada Allah) atau ta’wil (interpretasi metaforis).¹³

Maturidiyah: Cenderung lebih terbuka terhadap rasionalitas dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, seperti istiwa’ (bersemayam).¹⁴

2)                  Takdir dan Kehendak Bebas

Asy’ariyah: Menekankan kehendak mutlak Allah dalam menentukan takdir manusia.¹⁵

Maturidiyah: Mengakui peran kehendak manusia dalam bertindak, tetapi tetap dalam kerangka kehendak Allah.¹⁶

5.4.       Hikmah dari Perbedaan Madzhab

1)                  Fleksibilitas dalam Praktik Hukum

Perbedaan pandangan madzhab memberikan umat Islam pilihan yang fleksibel dalam menjalankan syariat berdasarkan konteks budaya dan situasi lokal. Hal ini memperlihatkan universalitas hukum Islam.¹⁷

2)                  Pengayaan Keilmuan Islam

Perbedaan dalam metodologi dan pandangan hukum telah memperkaya khazanah keilmuan Islam, memberikan landasan yang kokoh bagi umat Islam untuk terus berkembang dalam ilmu pengetahuan.¹⁸

3)                  Persatuan dalam Keragaman

Madzhab-madzhab menunjukkan bahwa perbedaan pendapat yang berdasarkan metode ilmiah tidak harus menjadi sumber perpecahan, melainkan menjadi rahmat bagi umat Islam.¹⁹


Catatan Kaki

[1]                Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 28.

[2]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.

[3]                Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958), 12.

[4]                Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul, ed. Hamza bin Zuhair Hafidz (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 89.

[5]                A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development (London: Frank Cass, 1932), 120.

[6]                Ibn Abidin, Radd al-Muhtar ala al-Durr al-Mukhtar (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992), 1:123.

[7]                Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 45.

[8]                Ibid., 56.

[9]                Al-Syafi’i, Al-Umm, ed. Rif’at Fawzi (Cairo: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1997), 1:78.

[10]             Ibid., 2:132.

[11]             Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.

[12]             Ibid., 12.

[13]             Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa (Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.

[14]             Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 19.

[15]             Ibid., 45.

[16]             Al-Juwaini, Al-Irshad, 67.

[17]             Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.

[18]             Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.

[19]             Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 471.


6.           Kontribusi Ulama dan Literatur Klasik terhadap Madzhab

6.1.       Peran Ulama dalam Pengembangan Madzhab

6.1.1.      Imam-Imam Madzhab Fiqih

Para imam madzhab fiqih memainkan peran sentral dalam membangun kerangka metodologi hukum Islam. Keempat imam utama —Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal— tidak hanya menghasilkan pandangan hukum, tetapi juga menginspirasi generasi ulama setelahnya.¹

1)                  Abu Hanifah (w. 767 M)

Sebagai pendiri madzhab Hanafi, Abu Hanifah dikenal karena pendekatannya yang sangat rasional. Ia mengembangkan metode Qiyas (analogi) dan Istihsan (preferensi hukum) sebagai sarana untuk menangani kasus-kasus baru.² Pengaruhnya meluas hingga menjadi madzhab resmi di berbagai wilayah Kekhalifahan Abbasiyah.³

2)                  Malik bin Anas (w. 795 M)

Malik bin Anas berkontribusi melalui Al-Muwaththa’, yang berisi Hadis dan fatwa-fatwa sahabat serta tradisi masyarakat Madinah (Amal Ahl al-Madinah). Karyanya menjadi referensi utama dalam madzhab Maliki dan memperkuat tradisi lokal sebagai sumber hukum.⁴

3)                  Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 820 M)

Imam Syafi’i dikenal sebagai “Bapak Ilmu Ushul Fiqih.” Bukunya Ar-Risalah adalah karya pertama yang secara sistematis membahas prinsip-prinsip dasar dalam hukum Islam, seperti Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas.⁵

4)                  Ahmad bin Hanbal (w. 855 M)

Pendiri madzhab Hanbali ini terkenal karena keahliannya dalam ilmu Hadis. Ahmad bin Hanbal menyusun kitab Musnad Ahmad, yang memuat ribuan Hadis sebagai landasan hukum madzhabnya.⁶

6.1.2.      Ulama Akidah: Asy’ariyah dan Maturidiyah

Selain madzhab fiqih, ulama seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M) memainkan peran penting dalam membangun fondasi teologi Islam. Al-Asy’ari dan al-Maturidi menyusun kerangka akidah yang menjembatani pendekatan tekstual dan rasional, sehingga dapat diterima oleh berbagai lapisan umat Islam.⁷

6.2.       Kitab-Kitab Klasik sebagai Rujukan Utama

Kitab-kitab klasik menjadi pilar penting dalam pembentukan dan pengembangan madzhab Islam. Beberapa karya monumental yang terus menjadi rujukan hingga kini antara lain:

1)                  Kitab-Kitab Madzhab Hanafi

Al-Mabsuth karya Al-Sarakhsi adalah salah satu kitab fiqih Hanafi yang paling lengkap, mencakup pembahasan tentang ibadah, muamalah, dan hudud.⁸

Hidayah karya Al-Marghinani berisi ringkasan hukum fiqih Hanafi yang disusun secara praktis.⁹

2)                  Kitab-Kitab Madzhab Maliki

Al-Muwaththa’ karya Imam Malik adalah koleksi Hadis dan pendapat sahabat yang menjadi fondasi hukum madzhab Maliki.¹⁰

Bidayat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd adalah buku yang membahas perbandingan pendapat dalam madzhab Maliki dan madzhab lainnya.¹¹

3)                  Kitab-Kitab Madzhab Syafi’i

Al-Umm karya Imam Syafi’i adalah kitab induk yang membahas berbagai persoalan hukum Islam berdasarkan metode madzhab Syafi’i.¹²

Ihya Ulum al-Din karya Al-Ghazali, meskipun bersifat ensiklopedis, menjadi rujukan dalam memahami aspek spiritual dan hukum.¹³

4)                  Kitab-Kitab Madzhab Hanbali

Musnad Ahmad adalah koleksi Hadis yang disusun oleh Ahmad bin Hanbal dan menjadi rujukan utama dalam madzhab Hanbali.¹⁴

Al-Mughni karya Ibn Qudamah adalah salah satu karya paling komprehensif dalam madzhab Hanbali yang membahas hukum Islam secara mendalam.¹⁵

6.3.       Peran Literatur Klasik dalam Kajian Kontemporer

Kitab-kitab klasik tidak hanya menjadi rujukan hukum pada masa lalu, tetapi juga terus digunakan dalam kajian Islam kontemporer. Beberapa jurnal ilmiah Islam mengintegrasikan metode klasik ini untuk menjawab tantangan modern. Misalnya:

·                     Kajian tentang aplikasi maqashid al-shari’ah untuk isu-isu seperti keuangan syariah.¹⁶

·                     Penelitian tentang peran tradisi lokal dalam membangun harmoni sosial berbasis hukum Islam.¹⁷

Kitab-kitab klasik memberikan dasar yang kokoh untuk membangun hukum Islam yang fleksibel namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip utama syariat.


Catatan Kaki

[1]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.

[2]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 55.

[3]                Ibid., 58.

[4]                Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 45.

[5]                Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 28.

[6]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.

[7]                Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa (Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.

[8]                Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, ed. Abu al-Wafa al-Afghani (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1986), vol. 1.

[9]                Al-Marghinani, Al-Hidayah, ed. Abd al-Razzaq al-Afghani (Cairo: Dar Al-Hadith, 2009), vol. 1.

[10]             Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, 13.

[11]             Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Cairo: Dar Al-Hadith, 1997), vol. 1.

[12]             Al-Syafi’i, Al-Umm, ed. Rif’at Fawzi (Cairo: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1997), vol. 1.

[13]             Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Muhammad Abd al-Wahhab (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 2005), vol. 1.

[14]             Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 2.

[15]             Ibn Qudamah, Al-Mughni, ed. Abdullah bin Abdul Rahman al-Turki (Riyadh: Dar Alam Al-Kutub, 2007), vol. 1.

[16]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 23.

[17]             Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.


7.           Relevansi Madzhab dalam Kehidupan Umat Islam

7.1.       Madzhab sebagai Pilar Pemersatu Umat

Madzhab-madzhab dalam Islam, meskipun memiliki perbedaan metodologi dan pandangan, telah menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga kesatuan umat. Perbedaan pendapat yang lahir dari metodologi masing-masing madzhab menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai budaya dan situasi sosial di seluruh dunia.¹ Imam Syafi’i pernah berkata, “Perbedaan di antara ulama adalah rahmat bagi umat,”² yang menegaskan bahwa keberagaman pandangan dalam madzhab dapat memperkaya pemahaman hukum dan memelihara persatuan.

Madzhab juga memberikan pedoman yang jelas dalam pengamalan hukum Islam, sehingga membantu umat menghindari kekacauan dalam memahami syariat. Sebagai contoh, keberadaan madzhab fiqih membantu umat dalam melaksanakan ibadah secara tertib dan sesuai dengan konteks lokal tanpa kehilangan esensi hukum Islam.³

7.2.       Madzhab dalam Fatwa Kontemporer

Dalam dunia modern, madzhab memainkan peran penting dalam pembentukan fatwa yang relevan dengan tantangan zaman. Para ulama kontemporer sering kali merujuk kepada metodologi klasik dari berbagai madzhab untuk menghasilkan fatwa yang solutif.⁴ Sebagai contoh:

1)                  Keuangan Syariah

Prinsip-prinsip yang diambil dari madzhab Hanafi dan Maliki banyak digunakan dalam merumuskan kontrak keuangan syariah, seperti murabahah dan ijarah.⁵

2)                  Isu Lingkungan

Dalam isu lingkungan, konsep maslahah (kepentingan umum) yang diajarkan oleh madzhab Syafi’i menjadi dasar bagi fatwa yang mendorong pelestarian lingkungan.⁶

3)                  Hak-Hak Perempuan

Metode madzhab Hanbali yang lebih tekstual digunakan untuk mempertahankan prinsip-prinsip dasar, sementara metode rasional dari madzhab Hanafi digunakan untuk mendorong reformasi yang sejalan dengan syariat.⁷

7.3.       Pendidikan Madzhab di Lembaga Pendidikan Islam

Pendidikan madzhab di lembaga-lembaga Islam memiliki peran penting dalam membentuk generasi yang memahami syariat secara mendalam. Kurikulum yang berbasis madzhab memberikan pemahaman yang sistematis tentang hukum Islam, sehingga menghasilkan lulusan yang kompeten dalam menjawab persoalan hukum kontemporer.⁸

Beberapa institusi pendidikan Islam, seperti Al-Azhar di Mesir, telah lama mengintegrasikan berbagai madzhab dalam kurikulum mereka. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat pemahaman hukum Islam, tetapi juga menanamkan sikap toleransi terhadap perbedaan.⁹

7.4.       Tantangan dan Relevansi Madzhab dalam Konteks Modern

7.4.1.      Tantangan Globalisasi

Dalam era globalisasi, umat Islam dihadapkan pada tantangan harmonisasi antara hukum Islam dan hukum internasional. Madzhab-madzhab Islam menyediakan landasan untuk mencari solusi yang tetap berakar pada syariat, namun responsif terhadap tuntutan global.¹⁰

7.4.2.      Peran Madzhab dalam Multikulturalisme

Madzhab Islam juga relevan dalam menjawab tantangan multikulturalisme, khususnya di negara-negara dengan populasi Muslim minoritas. Keberagaman madzhab memungkinkan umat Islam untuk tetap mengamalkan ajaran agama mereka tanpa konflik dengan nilai-nilai lokal.¹¹

7.4.3.      Teknologi dan Inovasi Hukum

Madzhab-madzhab Islam memberikan fleksibilitas metodologi yang dapat digunakan untuk menjawab isu-isu baru yang muncul dari kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan, bioetika, dan fintech.¹²

7.5.       Moderasi Madzhab sebagai Solusi Persatuan

Moderasi dalam madzhab adalah kunci untuk menjaga harmoni dalam perbedaan pendapat. Para ulama telah lama menekankan pentingnya sikap moderat dalam menyikapi perbedaan.¹³ Moderasi ini tercermin dalam berbagai upaya:

1)                  Dialog Antar-Madzhab

Beberapa konferensi internasional, seperti Konferensi Al-Azhar, mendorong dialog antar-madzhab untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah.¹⁴

2)                  Fatwa Bersama

Majelis ulama di berbagai negara, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), sering kali mengeluarkan fatwa yang mengintegrasikan pandangan dari berbagai madzhab untuk memberikan solusi yang komprehensif.¹⁵


Catatan Kaki

[1]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.

[2]                Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 45.

[3]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 75.

[4]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 23.

[5]                Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.

[6]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.

[7]                Ibid., 217.

[8]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Muhammad Abd al-Wahhab (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 2005), vol. 1.

[9]                Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.

[10]             Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, 123.

[11]             Ibid., 129.

[12]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, 57.

[13]             Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 471.

[14]             Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa (Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.

[15]             Fatwa MUI tentang Waqf Produktif (Jakarta: MUI, 2020), 14.


8.           Penutup

8.1.       Kesimpulan

Kajian tentang madzhab-madzhab dalam Islam mengungkapkan betapa pentingnya peran madzhab dalam menjaga keberlanjutan hukum Islam di tengah dinamika sejarah dan masyarakat. Madzhab-madzhab Islam, baik dalam fiqih maupun akidah, bukan hanya sekadar aliran pemikiran, tetapi juga sebuah kerangka kerja ilmiah yang dibangun atas dasar Al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad para ulama.¹ Keberadaan madzhab membantu umat memahami dan menerapkan syariat Islam secara fleksibel namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip syar’i.²

Perbedaan metodologi di antara madzhab memberikan kekayaan intelektual yang memperkaya wawasan umat Islam. Sebagai contoh, madzhab Hanafi yang mengutamakan istihsan menunjukkan pentingnya inovasi hukum, sementara madzhab Maliki yang berpegang pada tradisi masyarakat Madinah menunjukkan nilai autentisitas dalam hukum Islam.³ Pendekatan moderat madzhab Syafi’i dan Hanbali juga menjadi contoh bagaimana perbedaan pandangan dapat tetap berakar pada prinsip-prinsip syariat.⁴

Selain itu, kajian ini menegaskan bahwa madzhab tidak hanya relevan pada masa klasik, tetapi juga memainkan peran signifikan dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti isu keuangan syariah, lingkungan, dan teknologi.⁵ Oleh karena itu, keberadaan madzhab dalam kehidupan umat Islam tidak hanya menjadi warisan intelektual, tetapi juga solusi praktis untuk menjawab kebutuhan zaman.

8.2.       Rekomendasi

Untuk menjaga relevansi madzhab dalam kehidupan umat Islam, beberapa langkah penting dapat diambil:

1)                  Peningkatan Literasi Keislaman

Umat Islam perlu diberikan pemahaman mendalam tentang sejarah, prinsip, dan metodologi madzhab. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal yang berbasis kitab-kitab klasik dan kajian kontemporer.⁶

2)                  Penguatan Dialog Antar-Madzhab

Dialog yang konstruktif di antara penganut madzhab yang berbeda harus terus didorong untuk memelihara ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana ditegaskan dalam berbagai konferensi internasional, dialog antar-madzhab menjadi kunci untuk menghindari konflik sektarian.⁷

3)                  Integrasi dengan Kajian Kontemporer

Madzhab perlu terus dikaji dan diaplikasikan dalam konteks modern melalui penelitian yang relevan. Misalnya, penelitian dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam dapat mempertemukan prinsip-prinsip klasik dengan kebutuhan zaman, seperti dalam bidang bioetika atau kecerdasan buatan.⁸

4)                  Penyusunan Fatwa Kolaboratif

Lembaga-lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dar Al-Ifta di Mesir perlu terus mengintegrasikan berbagai pandangan madzhab dalam menghasilkan fatwa yang komprehensif dan relevan.⁹

Melalui langkah-langkah ini, madzhab dapat terus menjadi landasan intelektual dan spiritual umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman, sekaligus menjaga harmoni dalam keberagaman.


Catatan Kaki

[1]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.

[2]                Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 45.

[3]                Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 75.

[4]                Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Muhammad Abd al-Wahhab (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 2005), vol. 1.

[5]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 23.

[6]                Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.

[7]                Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.

[8]                Fatwa Dar Al-Ifta, “Ethical Considerations in Organ Transplants,” Dar Al-Ifta al-Misriyyah, accessed December 2023, https://www.dar-alifta.org/.

[9]                Majelis Ulama Indonesia, “Fatwa tentang Ekonomi Syariah,” MUI, 2021, 14.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulum al-Din (Vol. 1). Ed. Muhammad Abd al-Wahhab. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi.

Al-Juwaini. (1997). Al-Irshad. Ed. Muhammad Yusuf Musa. Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah.

Al-Marghinani. (2009). Al-Hidayah (Vol. 1). Ed. Abd al-Razzaq al-Afghani. Cairo: Dar Al-Hadith.

Al-Maturidi, Abu Mansur. (1970). Kitab al-Tawhid. Ed. Fathallah Kholeif. Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Sarakhsi. (1986). Al-Mabsuth (Vol. 1). Ed. Abu al-Wafa al-Afghani. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. (1940). Ar-Risalah. Ed. Ahmad Muhammad Syakir. Cairo: Maktabah Dar Al-Turath.

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. (1997). Al-Umm (Vol. 1). Ed. Rif’at Fawzi. Cairo: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Brown, J. A. C. (2014). Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy. London: Oneworld.

Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal Theories. Cambridge: Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2005). The Origins and Evolution of Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press.

Ibn Khaldun. (1967). Muqaddimah. Trans. Franz Rosenthal. Princeton: Princeton University Press.

Ibn Qudamah. (2007). Al-Mughni (Vol. 1). Ed. Abdullah bin Abdul Rahman al-Turki. Riyadh: Dar Alam Al-Kutub.

Ibn Rusyd. (1997). Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Vol. 1). Cairo: Dar Al-Hadith.

Majelis Ulama Indonesia (MUI). (2021). Fatwa tentang Ekonomi Syariah. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.

Malik bin Anas. (1992). Al-Muwaththa’. Ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.

Wensinck, A. J. (1932). The Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development. London: Frank Cass.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar