Studi Komprehensif tentang Madzhab-Madzhab dalam Islam
Perspektif Kitab-Kitab Klasik, Ulama, dan Jurnal Ilmiah
Islami
Abstrak
Artikel ini mengkaji madzhab-madzhab dalam Islam
dari perspektif kitab-kitab klasik, pandangan para ulama, dan penelitian dalam
jurnal ilmiah Islam. Melalui pendekatan historis, normatif, dan komparatif,
artikel ini membahas pengertian, dasar-dasar, sejarah, prinsip-prinsip,
metodologi, dan kontribusi madzhab dalam pengembangan hukum Islam. Studi ini
menyoroti persamaan dan perbedaan di antara madzhab-madzhab fiqih utama
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dan madzhab akidah
(Asy’ariyah,
Maturidiyah)
serta relevansi madzhab dalam menjawab tantangan kontemporer seperti keuangan
syariah, lingkungan, dan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa madzhab
tidak hanya menjadi warisan intelektual Islam, tetapi juga berfungsi sebagai
alat penting untuk menjaga harmoni dan fleksibilitas hukum Islam di tengah
masyarakat yang terus berkembang. Artikel ini merekomendasikan peningkatan
literasi keislaman, dialog antar-madzhab, serta integrasi prinsip-prinsip
klasik dalam konteks modern sebagai langkah strategis untuk memelihara
relevansi madzhab dalam kehidupan umat Islam.
Kata Kunci: Madzhab Islam, Fiqih, Ushul Fiqh, Akidah,
Relevansi Kontemporer, Harmonisasi Hukum Islam.
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Madzhab merupakan
salah satu elemen penting dalam sejarah peradaban Islam yang membentuk cara
umat memahami, mempraktikkan, dan menginternalisasi ajaran agama. Istilah
"madzhab" berasal dari kata Arabذهب (dzahaba),
yang berarti "jalan" atau "cara". Dalam
konteks Islam, madzhab merujuk pada aliran atau metode tertentu dalam memahami
hukum syariat dan akidah Islam.¹ Keberadaan madzhab memainkan peran strategis dalam membentuk wawasan hukum,
spiritualitas, dan solidaritas umat Islam sepanjang sejarah.
Sejak masa awal
Islam, praktik ijtihad telah menjadi jalan utama bagi para sahabat Nabi
Muhammad Saw dalam menyelesaikan masalah yang tidak secara eksplisit disebutkan
dalam Al-Qur'an atau Hadis.² Perbedaan dalam penafsiran dan pendekatan
metodologis ini kemudian berkembang menjadi madzhab-madzhab besar seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hanbali, yang dikenal sebagai empat madzhab utama dalam fiqih.³ Selain itu,
dalam bidang akidah, madzhab-madzhab seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah turut
memainkan peran penting dalam membangun pemahaman yang kokoh tentang tauhid.
Dalam konteks
kontemporer, madzhab masih memiliki relevansi yang signifikan, terutama dalam
menjawab tantangan modernitas dan globalisasi. Namun, untuk memahami kontribusi dan posisi madzhab
secara komprehensif, diperlukan kajian mendalam yang didasarkan pada
sumber-sumber terpercaya, termasuk kitab-kitab klasik, pandangan para ulama,
dan penelitian ilmiah dalam jurnal-jurnal akademik. Pendekatan ini tidak hanya
memperkaya wawasan, tetapi juga memastikan bahwa pemahaman yang dihasilkan
didasarkan pada basis keilmuan yang kuat.⁴
1.2.
Tujuan Penulisan
Artikel ini bertujuan
untuk menyelami sejarah, prinsip, dan kontribusi madzhab dalam Islam dengan
mengacu pada sumber-sumber referensi yang kredibel. Kajian ini menggunakan
pendekatan holistik yang melibatkan analisis literatur klasik, pandangan para ulama, dan kajian ilmiah modern. Dengan
menyajikan pembahasan yang komprehensif, artikel ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman mendalam tentang peran madzhab dalam menjaga keberagaman
dan persatuan umat Islam.⁵
1.3.
Metodologi Kajian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan literatur, yaitu mengacu pada sumber-sumber utama
seperti kitab klasik, pandangan para ulama, dan artikel dalam jurnal ilmiah
Islami. Analisis dilakukan secara historis untuk memahami asal-usul madzhab, secara normatif untuk menilai
landasan syariatnya, dan secara komparatif untuk menyoroti perbedaan di antara
berbagai madzhab. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan perspektif yang
seimbang dan objektif.⁶
Catatan Kaki
[1]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (London: Frank Cass, 1932), 120.
[2]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 450.
[3]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.
[4]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.
[5]
Yasin Dutton, "The Origins of Islamic Law," Journal
of Islamic Studies 4, no. 1 (1993): 25–27.
[6]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
(Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 35.
2.
Pengertian dan Dasar-Dasar Madzhab
2.1.
Definisi Madzhab
Secara etimologis,
kata madzhab
berasal dari bahasa Arab ذهب (dzahaba),
yang berarti "jalan" atau "cara". Dalam
terminologi Islam, madzhab mengacu pada suatu metode
atau aliran pemikiran yang digunakan untuk memahami, menafsirkan, dan
menerapkan hukum-hukum syariat.¹ Penggunaan istilah ini meluas dalam ilmu fiqih dan akidah untuk merujuk pada
pandangan hukum yang dipegang oleh sekelompok ulama yang mengikuti
prinsip-prinsip tertentu.
Imam Al-Zarkasyi
mendefinisikan madzhab sebagai “pendapat yang
dirumuskan oleh seorang mujtahid berdasarkan metode ijtihad yang dilandasi
Al-Qur’an, Hadis, dan dalil-dalil syar’i lainnya.”² Dengan demikian,
madzhab bukan hanya sekadar pandangan individu, tetapi juga sistem pemikiran
yang memiliki landasan ilmiah
dan bertujuan untuk memecahkan persoalan hukum dan teologis.
2.2.
Dalil-Dalil Keberadaan Madzhab
2.2.1.
Dalil
dari Al-Qur’an dan Hadis
Keberadaan madzhab
secara implisit disinggung dalam Al-Qur'an melalui ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk bertanya kepada
para ulama. Salah satu ayat yang relevan adalah:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS.
An-Nahl [16] ayat 43).³
Ayat ini menunjukkan
bahwa umat Islam diperintahkan untuk merujuk kepada otoritas ilmiah (ulama)
dalam memahami hukum syariat.
Madzhab sebagai bentuk institusionalisasi pandangan ulama adalah manifestasi
dari perintah ini.
Dalam hadis, Rasulullah
Saw juga mengakui adanya perbedaan pendapat di antara para sahabat. Hadis
tentang keputusan ijtihad para sahabat dalam peristiwa Bani
Quraizhah menunjukkan bahwa perbedaan dalam memahami teks syariat
adalah sesuatu yang diterima selama dilakukan dengan metode yang sahih.⁴
2.2.2.
Dalil
dari Praktik Sahabat
Para sahabat Nabi
sering kali berbeda pendapat dalam memutuskan perkara yang tidak secara
eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Misalnya, perbedaan pandangan
antara Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud tentang warisan kakek bersama
saudara.⁵ Perbedaan ini menunjukkan awal mula tradisi ijtihad yang menjadi
landasan bagi perkembangan madzhab.
2.3.
Urgensi Berpegang pada Madzhab
Berpegang pada
madzhab memiliki urgensi yang signifikan, terutama dalam memandu umat memahami
hukum-hukum syariat. Dalam konteks ini, madzhab menyediakan:
1)
Kerangka Metodologis
Madzhab memberikan metode yang jelas dalam
menggali hukum syariat dari sumber-sumbernya. Tanpa madzhab, pemahaman terhadap
hukum Islam cenderung menjadi subjektif dan tidak terarah.⁶
2)
Stabilitas dan
Konsistensi
Berpegang pada madzhab memungkinkan umat untuk
memiliki panduan yang stabil dalam menjalankan ibadah dan kehidupan
sehari-hari. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa madzhab adalah jalan untuk
memastikan bahwa hukum syariat dapat dipraktikkan dengan benar di tengah-tengah
masyarakat.⁷
3)
Moderasi dalam
Perbedaan
Madzhab memungkinkan adanya perbedaan pendapat
yang sehat di kalangan umat Islam, tanpa menimbulkan perpecahan.⁸
Catatan Kaki
[1]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (London: Frank Cass, 1932), 120.
[2]
Imam Al-Zarkasyi, Al-Bahr Al-Muhith, vol. 1 (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 23.
[3]
Al-Qur’an, QS. An-Nahl: 43.
[4]
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-I’tisam
bil Kitab was Sunnah, no. 7352.
[5]
Ibn Qudamah, Al-Mughni, vol. 6 (Riyadh: Maktabah
Al-Riyadh Al-Hadithah, 1979), 196.
[6]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.
[7]
Imam Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul, ed.
Hamza bin Zuhair Hafidz (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 9.
[8]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
(Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 35.
3.
Sejarah Lahirnya Madzhab-Madzhab dalam Islam
3.1.
Periode Awal: Masa Rasulullah Saw dan Sahabat
Pada masa Rasulullah
Saw, sumber hukum utama adalah Al-Qur’an dan Hadis. Rasulullah Saw memberikan
panduan langsung kepada para sahabat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum. Namun, ketika tidak ada petunjuk langsung, beliau mengizinkan sahabat
untuk melakukan ijtihad dengan catatan bahwa ijtihad tersebut harus sesuai
dengan prinsip-prinsip syariat. Salah satu contoh adalah ketika Mu’adz bin
Jabal diutus ke Yaman dan diberi wewenang untuk berijtihad jika tidak menemukan
solusi dalam Al-Qur’an dan Hadis.¹
Setelah wafatnya
Rasulullah Saw, para sahabat melanjutkan tradisi ijtihad untuk menjawab
persoalan-persoalan baru. Perbedaan kemampuan, pemahaman, dan situasi geografis
menyebabkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Misalnya, Umar
bin Khattab dikenal lebih sering menggunakan kebijakan yang bersifat maslahat
(kepentingan umum), sedangkan Abdullah bin Mas’ud lebih mengedepankan
pendekatan tekstual.²
3.2.
Periode Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Pada masa tabi’in
(generasi setelah sahabat), umat Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah
seperti Irak, Syam, Mesir, dan Hijaz. Penyebaran ini menyebabkan berkembangnya
berbagai pandangan hukum berdasarkan tradisi lokal dan interaksi dengan budaya
setempat.³ Wilayah Hijaz, misalnya, lebih banyak berpegang pada tradisi Hadis
karena kedekatannya dengan Madinah, sedangkan Irak lebih banyak menggunakan
ra’yu (rasionalitas) karena minimnya akses langsung ke Hadis.
Pada periode ini
pula, muncul tokoh-tokoh seperti Sa’id bin al-Musayyib di Madinah dan Al-Hasan
al-Basri di Basra, yang menjadi rujukan utama dalam pengembangan hukum Islam.
Pendekatan mereka, yang mengintegrasikan Hadis, Al-Qur’an, dan ijtihad, menjadi
fondasi bagi berkembangnya madzhab-madzhab besar.⁴
3.3.
Periode Madzhab Klasik
3.3.1.
Lahirnya
Madzhab Fiqih
Empat madzhab besar dalam fiqih Islam lahir pada periode ini, yaitu:
1)
Madzhab Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah (w. 767 M) di
Kufah, Irak. Pendekatan madzhab ini dikenal sangat rasional, dengan menekankan
qiyas (analogi) dan istihsan (preferensi hukum) dalam ijtihad.⁵
2)
Madzhab Maliki
Didirikan oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M) di
Madinah. Pendekatannya sangat berakar pada tradisi amal ahl al-Madinah
(praktik masyarakat Madinah) dan Hadis. Kitab Al-Muwaththa’ karya Imam
Malik menjadi rujukan utama madzhab ini.⁶
3)
Madzhab Syafi’i
Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i
(w. 820 M). Beliau dikenal sebagai “Peletak Dasar Usul Fiqih” melalui karyanya Ar-Risalah.
Madzhab ini mengintegrasikan pendekatan tekstual dan rasional secara seimbang.⁷
4)
Madzhab Hanbali
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855 M).
Pendekatannya sangat konservatif, menekankan Hadis dan menolak penggunaan qiyas
kecuali dalam keadaan darurat.⁸
3.3.2.
Munculnya
Madzhab Akidah
Selain madzhab
fiqih, periode ini juga menyaksikan munculnya madzhab-madzhab akidah, seperti:
·
Asy’ariyah
yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 936 M). Madzhab ini
menggabungkan pendekatan tekstual dan rasional dalam memahami akidah.⁹
·
Maturidiyah,
yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), lebih menekankan
pendekatan rasional dengan tetap berlandaskan pada dalil naqli.¹⁰
3.4.
Periode Perkembangan dan Kodifikasi
Pada abad ke-10 dan
11, madzhab-madzhab ini semakin berkembang melalui proses kodifikasi hukum.
Para ulama menyusun kitab-kitab fiqih yang menjadi rujukan hingga kini. Proses
ini tidak hanya memperkuat madzhab secara metodologis, tetapi juga memberikan
stabilitas dalam pengamalan hukum Islam di berbagai wilayah.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-I’tisam
bil Kitab was Sunnah, no. 7352.
[2]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 450.
[3]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 47.
[4]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
(Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 21.
[5]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (London: Frank Cass, 1932), 120.
[6]
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 45.
[7]
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 28.
[8]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.
[9]
Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa
(Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.
[10]
Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah
Kholeif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 19.
[11]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.
4.
Prinsip-Prinsip dan Metodologi Madzhab
4.1.
Metodologi Ijtihad dalam Madzhab
4.1.1.
Sumber
Hukum dalam Madzhab
Setiap madzhab dalam
Islam memiliki prinsip dasar yang berakar pada sumber-sumber hukum Islam:
Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ (konsensus), dan Qiyas (analogi).¹ Imam Al-Syafi’i
dalam Ar-Risalah
menyusun hierarki sumber hukum yang menjadi rujukan utama, yaitu Al-Qur’an
sebagai pedoman tertinggi, diikuti oleh Hadis, kemudian Ijma’, dan Qiyas.²
Meskipun semua
madzhab sepakat pada hierarki ini, terdapat variasi dalam cara mereka
mengaplikasikan dan memprioritaskan sumber-sumber tersebut. Sebagai contoh:
·
Madzhab
Hanafi sering menggunakan istihsan (preferensi hukum) untuk
menemukan solusi yang lebih praktis dan maslahat.³
·
Madzhab
Maliki mengutamakan amal ahl al-Madinah (praktik
masyarakat Madinah) sebagai sumber hukum yang kuat.⁴
·
Madzhab
Syafi’i lebih tekstual dan mengedepankan kekuatan Hadis
dibandingkan tradisi lokal.⁵
·
Madzhab
Hanbali sangat ketat dalam menggunakan Hadis dan sering
menghindari Qiyas kecuali dalam kondisi tertentu.⁶
4.1.2.
Kriteria
untuk Berijtihad
Ijtihad, sebagai
upaya memahami hukum dari sumber-sumbernya, hanya dilakukan oleh ulama yang
memenuhi kriteria tertentu. Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasfa menjelaskan bahwa
seorang mujtahid harus memiliki keahlian dalam ilmu bahasa Arab, tafsir, ilmu
hadis, dan ushul fiqih.⁷ Selain itu, mujtahid harus mampu memahami kondisi
masyarakat agar hasil ijtihadnya relevan dan aplikatif.⁸
4.2.
Kaidah-Kaidah Fiqih dalam Madzhab
Madzhab-madzhab
Islam juga berpegang pada kaidah-kaidah fiqih (qawa’id fiqhiyyah) yang membantu
menyelesaikan permasalahan hukum dengan prinsip-prinsip umum. Beberapa kaidah
fiqih yang menjadi pedoman universal di semua madzhab adalah:⁹
1)
Al-Yaqin La Yazulu bi
Al-Syak
"Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh
keraguan." Kaidah ini digunakan dalam berbagai aspek, seperti hukum
thaharah dan transaksi keuangan.¹⁰
2)
Al-Masyaqqah Tajlibu
Al-Taisir
"Kesulitan mendatangkan kemudahan."
Prinsip ini memungkinkan adanya dispensasi (rukhshah) dalam kondisi darurat.¹¹
3)
Ad-Dharar Yuzal
"Kemudaratan harus dihilangkan."
Kaidah ini sering diterapkan dalam kasus yang melibatkan konflik kepentingan.¹²
4)
Al-Adat Muhakkamah
"Kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum."
Dalam kasus yang tidak ada dalil eksplisit, adat yang tidak bertentangan dengan
syariat dapat dijadikan pedoman.¹³
4.3.
Moderasi dalam Metodologi Madzhab
Madzhab-madzhab
Islam memiliki prinsip moderasi dalam menghadapi perbedaan pendapat. Moderasi
ini terlihat dalam:
·
Penerimaan
Perbedaan Pendapat
Semua madzhab sepakat bahwa perbedaan pendapat
(ikhtilaf) yang dilakukan dengan metode yang benar adalah rahmat bagi umat.¹⁴
Imam Syafi’i, misalnya, berkata, “Pendapat saya benar, tetapi mungkin
mengandung kesalahan; dan pendapat orang lain salah, tetapi mungkin mengandung
kebenaran.”¹⁵
·
Hikmah
di Balik Perbedaan
Perbedaan metodologi madzhab memberikan
fleksibilitas dalam pengamalan hukum Islam, sehingga sesuai dengan konteks
budaya dan sosial masyarakat setempat.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.
[2]
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 35.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
(Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 55.
[4]
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 13.
[5]
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, 45.
[6]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 27.
[7]
Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul, ed.
Hamza bin Zuhair Hafidz (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 89.
[8]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.
[9]
Ibn Nujaym, Al-Ashbah wa al-Naza’ir, ed.
Muhammad Mufrih (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 17.
[10]
Ibid., 18.
[11]
Ibid., 20.
[12]
Ibid., 22.
[13]
Ibid., 25.
[14]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 471.
[15]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah,
75.
[16]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.
5.
Penjelasan Komparatif antara Madzhab
5.1.
Persamaan dalam Madzhab-Madzhab Islam
Meskipun terdapat
perbedaan metodologi dan pandangan dalam madzhab-madzhab Islam, semuanya
memiliki kesamaan dalam fondasi dan tujuan utamanya. Beberapa persamaan penting
meliputi:
1)
Sumber Hukum Utama
Semua madzhab sepakat bahwa sumber hukum utama
dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an dianggap sebagai pedoman
utama, sementara Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penguat.¹ Ijma’ (konsensus)
dan Qiyas (analogi) juga diterima sebagai sumber hukum tambahan, meskipun
aplikasinya berbeda di antara madzhab.²
2)
Tujuan Hukum (Maqashid
al-Shari’ah)
Semua madzhab bersepakat bahwa tujuan hukum Islam
adalah menjaga lima prinsip utama: agama (hifzh al-din), jiwa (hifzh
al-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh al-nasl),
dan harta (hifzh al-mal).³ Perbedaan dalam penerapan hukum bertujuan
untuk mencapai maslahat yang sejalan dengan prinsip-prinsip ini.
3)
Ketaatan pada Prinsip
Ijtihad
Setiap madzhab mengakui pentingnya ijtihad
sebagai sarana untuk menemukan solusi hukum baru yang tidak disebutkan secara
eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun, ijtihad harus dilakukan oleh ulama
yang kompeten sesuai dengan syarat-syarat tertentu.⁴
5.2.
Perbedaan dalam Madzhab Fiqih
Setiap madzhab
memiliki metode dan pendekatan yang unik dalam memahami dan menerapkan hukum
syariat. Berikut adalah perbandingan di antara empat madzhab fiqih utama:
1)
Madzhab Hanafi
Ciri Khas: Mengedepankan rasionalitas
melalui penggunaan Qiyas dan Istihsan.⁵
Contoh Penerapan: Dalam kasus
wudhu, madzhab ini membolehkan menyentuh kulit istri tanpa membatalkan wudhu
karena memandang hal tersebut tidak menghilangkan kesucian.⁶
2)
Madzhab Maliki
Ciri Khas: Berpegang pada Amal
Ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah) sebagai sumber hukum yang kuat.⁷
Contoh Penerapan: Dalam masalah
shalat, madzhab Maliki membolehkan menahan tangis selama shalat jika disebabkan
oleh rasa takut kepada Allah, berdasarkan tradisi masyarakat Madinah.⁸
3)
Madzhab Syafi’i
Ciri Khas: Kombinasi antara
tekstual dan rasional, dengan prioritas pada kekuatan Hadis.⁹
Contoh Penerapan: Dalam
warisan, madzhab ini memberikan bagian tetap untuk kakek dalam situasi yang
melibatkan saudara-saudara, mengikuti panduan eksplisit dari Hadis.¹⁰
4)
Madzhab Hanbali
Ciri Khas: Pendekatan yang
sangat tekstual, menolak penggunaan Qiyas kecuali dalam situasi darurat.¹¹
Contoh Penerapan: Dalam masalah
puasa, madzhab Hanbali mewajibkan niat puasa dilakukan setiap malam, sesuai
dengan Hadis yang menyebutkan keharusan niat sebelum fajar.¹²
5.3.
Perbedaan dalam Madzhab Akidah
Dalam akidah,
madzhab-madzhab utama seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah memiliki beberapa
perbedaan dalam penafsiran prinsip-prinsip teologis:
1)
Sifat-Sifat Allah
Asy’ariyah: Mengambil
pendekatan tafwidh (menyerahkan makna kepada Allah) atau ta’wil (interpretasi
metaforis).¹³
Maturidiyah: Cenderung lebih
terbuka terhadap rasionalitas dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, seperti
istiwa’ (bersemayam).¹⁴
2)
Takdir dan Kehendak
Bebas
Asy’ariyah: Menekankan kehendak
mutlak Allah dalam menentukan takdir manusia.¹⁵
Maturidiyah: Mengakui peran
kehendak manusia dalam bertindak, tetapi tetap dalam kerangka kehendak Allah.¹⁶
5.4.
Hikmah dari Perbedaan Madzhab
1)
Fleksibilitas dalam
Praktik Hukum
Perbedaan pandangan madzhab memberikan umat Islam
pilihan yang fleksibel dalam menjalankan syariat berdasarkan konteks budaya dan
situasi lokal. Hal ini memperlihatkan universalitas hukum Islam.¹⁷
2)
Pengayaan Keilmuan
Islam
Perbedaan dalam metodologi dan pandangan hukum
telah memperkaya khazanah keilmuan Islam, memberikan landasan yang kokoh bagi
umat Islam untuk terus berkembang dalam ilmu pengetahuan.¹⁸
3)
Persatuan dalam
Keragaman
Madzhab-madzhab menunjukkan bahwa perbedaan pendapat
yang berdasarkan metode ilmiah tidak harus menjadi sumber perpecahan, melainkan
menjadi rahmat bagi umat Islam.¹⁹
Catatan Kaki
[1]
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 28.
[2]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Cairo: Dar al-Fikr
al-Arabi, 1958), 12.
[4]
Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul, ed.
Hamza bin Zuhair Hafidz (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 89.
[5]
A.J. Wensinck, The Muslim Creed: Its Genesis and Historical
Development (London: Frank Cass, 1932), 120.
[6]
Ibn Abidin, Radd al-Muhtar ala al-Durr al-Mukhtar
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1992), 1:123.
[7]
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 45.
[8]
Ibid., 56.
[9]
Al-Syafi’i, Al-Umm, ed. Rif’at Fawzi (Cairo:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1997), 1:78.
[10]
Ibid., 2:132.
[11]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.
[12]
Ibid., 12.
[13]
Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa
(Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.
[14]
Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah
Kholeif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 19.
[15]
Ibid., 45.
[16]
Al-Juwaini, Al-Irshad, 67.
[17]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.
[18]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.
[19]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 471.
6.
Kontribusi Ulama dan Literatur Klasik terhadap
Madzhab
6.1.
Peran Ulama dalam Pengembangan Madzhab
6.1.1.
Imam-Imam
Madzhab Fiqih
Para imam madzhab
fiqih memainkan peran sentral dalam membangun kerangka metodologi hukum Islam.
Keempat imam utama —Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi’i,
dan Ahmad bin Hanbal— tidak hanya menghasilkan pandangan hukum, tetapi juga
menginspirasi generasi ulama setelahnya.¹
1)
Abu Hanifah (w. 767 M)
Sebagai pendiri madzhab Hanafi, Abu Hanifah
dikenal karena pendekatannya yang sangat rasional. Ia mengembangkan metode
Qiyas (analogi) dan Istihsan (preferensi hukum) sebagai sarana untuk menangani
kasus-kasus baru.² Pengaruhnya meluas hingga menjadi madzhab resmi di berbagai
wilayah Kekhalifahan Abbasiyah.³
2)
Malik bin Anas (w. 795
M)
Malik bin Anas berkontribusi melalui Al-Muwaththa’,
yang berisi Hadis dan fatwa-fatwa sahabat serta tradisi masyarakat Madinah (Amal
Ahl al-Madinah). Karyanya menjadi referensi utama dalam madzhab Maliki dan
memperkuat tradisi lokal sebagai sumber hukum.⁴
3)
Muhammad bin Idris
al-Syafi’i (w. 820 M)
Imam Syafi’i dikenal sebagai “Bapak Ilmu Ushul
Fiqih.” Bukunya Ar-Risalah adalah karya pertama yang secara sistematis
membahas prinsip-prinsip dasar dalam hukum Islam, seperti Al-Qur’an, Hadis,
Ijma’, dan Qiyas.⁵
4)
Ahmad bin Hanbal (w.
855 M)
Pendiri madzhab Hanbali ini terkenal karena
keahliannya dalam ilmu Hadis. Ahmad bin Hanbal menyusun kitab Musnad Ahmad,
yang memuat ribuan Hadis sebagai landasan hukum madzhabnya.⁶
6.1.2.
Ulama
Akidah: Asy’ariyah dan Maturidiyah
Selain madzhab
fiqih, ulama seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) dan Abu Mansur
al-Maturidi (w. 944 M) memainkan peran penting dalam membangun fondasi teologi
Islam. Al-Asy’ari dan al-Maturidi menyusun kerangka akidah yang menjembatani
pendekatan tekstual dan rasional, sehingga dapat diterima oleh berbagai lapisan
umat Islam.⁷
6.2.
Kitab-Kitab Klasik sebagai Rujukan Utama
Kitab-kitab klasik
menjadi pilar penting dalam pembentukan dan pengembangan madzhab Islam.
Beberapa karya monumental yang terus menjadi rujukan hingga kini antara lain:
1)
Kitab-Kitab Madzhab
Hanafi
Al-Mabsuth karya Al-Sarakhsi adalah
salah satu kitab fiqih Hanafi yang paling lengkap, mencakup pembahasan tentang
ibadah, muamalah, dan hudud.⁸
Hidayah karya Al-Marghinani berisi
ringkasan hukum fiqih Hanafi yang disusun secara praktis.⁹
2)
Kitab-Kitab Madzhab
Maliki
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik adalah
koleksi Hadis dan pendapat sahabat yang menjadi fondasi hukum madzhab Maliki.¹⁰
Bidayat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd
adalah buku yang membahas perbandingan pendapat dalam madzhab Maliki dan
madzhab lainnya.¹¹
3)
Kitab-Kitab Madzhab
Syafi’i
Al-Umm karya Imam Syafi’i adalah kitab
induk yang membahas berbagai persoalan hukum Islam berdasarkan metode madzhab
Syafi’i.¹²
Ihya Ulum al-Din karya Al-Ghazali,
meskipun bersifat ensiklopedis, menjadi rujukan dalam memahami aspek spiritual
dan hukum.¹³
4)
Kitab-Kitab Madzhab
Hanbali
Musnad Ahmad adalah koleksi Hadis yang
disusun oleh Ahmad bin Hanbal dan menjadi rujukan utama dalam madzhab
Hanbali.¹⁴
Al-Mughni karya Ibn Qudamah adalah salah
satu karya paling komprehensif dalam madzhab Hanbali yang membahas hukum Islam
secara mendalam.¹⁵
6.3.
Peran Literatur Klasik dalam Kajian Kontemporer
Kitab-kitab klasik
tidak hanya menjadi rujukan hukum pada masa lalu, tetapi juga terus digunakan
dalam kajian Islam kontemporer. Beberapa jurnal ilmiah Islam mengintegrasikan
metode klasik ini untuk menjawab tantangan modern. Misalnya:
·
Kajian tentang aplikasi maqashid
al-shari’ah untuk isu-isu seperti keuangan syariah.¹⁶
·
Penelitian tentang peran
tradisi lokal dalam membangun harmoni sosial berbasis hukum Islam.¹⁷
Kitab-kitab klasik
memberikan dasar yang kokoh untuk membangun hukum Islam yang fleksibel namun
tetap berpegang pada prinsip-prinsip utama syariat.
Catatan Kaki
[1]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
(Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 55.
[3]
Ibid., 58.
[4]
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, ed. Muhammad Fuad
Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1992), 45.
[5]
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 28.
[6]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.
[7]
Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa
(Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.
[8]
Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, ed. Abu al-Wafa
al-Afghani (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1986), vol. 1.
[9]
Al-Marghinani, Al-Hidayah, ed. Abd al-Razzaq
al-Afghani (Cairo: Dar Al-Hadith, 2009), vol. 1.
[10]
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, 13.
[11]
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid
(Cairo: Dar Al-Hadith, 1997), vol. 1.
[12]
Al-Syafi’i, Al-Umm, ed. Rif’at Fawzi (Cairo:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1997), vol. 1.
[13]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Muhammad Abd
al-Wahhab (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 2005), vol. 1.
[14]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 2.
[15]
Ibn Qudamah, Al-Mughni, ed. Abdullah bin Abdul
Rahman al-Turki (Riyadh: Dar Alam Al-Kutub, 2007), vol. 1.
[16]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic
Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 23.
[17]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.
7.
Relevansi Madzhab dalam Kehidupan Umat Islam
7.1.
Madzhab sebagai Pilar Pemersatu Umat
Madzhab-madzhab
dalam Islam, meskipun memiliki perbedaan metodologi dan pandangan, telah
menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga kesatuan umat. Perbedaan
pendapat yang lahir dari metodologi masing-masing madzhab menunjukkan
fleksibilitas hukum Islam yang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai budaya
dan situasi sosial di seluruh dunia.¹ Imam Syafi’i pernah berkata, “Perbedaan
di antara ulama adalah rahmat bagi umat,”² yang menegaskan bahwa
keberagaman pandangan dalam madzhab dapat memperkaya pemahaman hukum dan
memelihara persatuan.
Madzhab juga
memberikan pedoman yang jelas dalam pengamalan hukum Islam, sehingga membantu
umat menghindari kekacauan dalam memahami syariat. Sebagai contoh, keberadaan
madzhab fiqih membantu umat dalam melaksanakan ibadah secara tertib dan sesuai
dengan konteks lokal tanpa kehilangan esensi hukum Islam.³
7.2.
Madzhab dalam Fatwa Kontemporer
Dalam dunia modern,
madzhab memainkan peran penting dalam pembentukan fatwa yang relevan dengan
tantangan zaman. Para ulama kontemporer sering kali merujuk kepada metodologi
klasik dari berbagai madzhab untuk menghasilkan fatwa yang solutif.⁴ Sebagai
contoh:
1)
Keuangan Syariah
Prinsip-prinsip yang diambil dari madzhab Hanafi
dan Maliki banyak digunakan dalam merumuskan kontrak keuangan syariah, seperti murabahah
dan ijarah.⁵
2)
Isu Lingkungan
Dalam isu lingkungan, konsep maslahah
(kepentingan umum) yang diajarkan oleh madzhab Syafi’i menjadi dasar bagi fatwa
yang mendorong pelestarian lingkungan.⁶
3)
Hak-Hak Perempuan
Metode madzhab Hanbali yang lebih tekstual
digunakan untuk mempertahankan prinsip-prinsip dasar, sementara metode rasional
dari madzhab Hanafi digunakan untuk mendorong reformasi yang sejalan dengan
syariat.⁷
7.3.
Pendidikan Madzhab di Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan madzhab
di lembaga-lembaga Islam memiliki peran penting dalam membentuk generasi yang
memahami syariat secara mendalam. Kurikulum yang berbasis madzhab memberikan
pemahaman yang sistematis tentang hukum Islam, sehingga menghasilkan lulusan
yang kompeten dalam menjawab persoalan hukum kontemporer.⁸
Beberapa institusi pendidikan
Islam, seperti Al-Azhar di Mesir, telah lama mengintegrasikan berbagai madzhab
dalam kurikulum mereka. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat pemahaman hukum
Islam, tetapi juga menanamkan sikap toleransi terhadap perbedaan.⁹
7.4.
Tantangan dan Relevansi Madzhab dalam Konteks
Modern
7.4.1.
Tantangan
Globalisasi
Dalam era
globalisasi, umat Islam dihadapkan pada tantangan harmonisasi antara hukum
Islam dan hukum internasional. Madzhab-madzhab Islam menyediakan landasan untuk
mencari solusi yang tetap berakar pada syariat, namun responsif terhadap
tuntutan global.¹⁰
7.4.2.
Peran
Madzhab dalam Multikulturalisme
Madzhab Islam juga
relevan dalam menjawab tantangan multikulturalisme, khususnya di negara-negara
dengan populasi Muslim minoritas. Keberagaman madzhab memungkinkan umat Islam
untuk tetap mengamalkan ajaran agama mereka tanpa konflik dengan nilai-nilai
lokal.¹¹
7.4.3.
Teknologi
dan Inovasi Hukum
Madzhab-madzhab
Islam memberikan fleksibilitas metodologi yang dapat digunakan untuk menjawab
isu-isu baru yang muncul dari kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan,
bioetika, dan fintech.¹²
7.5.
Moderasi Madzhab sebagai Solusi Persatuan
Moderasi dalam
madzhab adalah kunci untuk menjaga harmoni dalam perbedaan pendapat. Para ulama
telah lama menekankan pentingnya sikap moderat dalam menyikapi perbedaan.¹³
Moderasi ini tercermin dalam berbagai upaya:
1)
Dialog Antar-Madzhab
Beberapa konferensi internasional, seperti
Konferensi Al-Azhar, mendorong dialog antar-madzhab untuk memperkuat ukhuwah
Islamiyah.¹⁴
2)
Fatwa Bersama
Majelis ulama di berbagai negara, seperti Majelis
Ulama Indonesia (MUI), sering kali mengeluarkan fatwa yang mengintegrasikan
pandangan dari berbagai madzhab untuk memberikan solusi yang komprehensif.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.
[2]
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 45.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
(Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 75.
[4]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic
Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 23.
[5]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.
[6]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.
[7]
Ibid., 217.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Muhammad Abd
al-Wahhab (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 2005), vol. 1.
[9]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 1 (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999), 10.
[10]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law,
123.
[11]
Ibid., 129.
[12]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law,
57.
[13]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal
(Princeton: Princeton University Press, 1967), 471.
[14]
Al-Juwaini, Al-Irshad, ed. Muhammad Yusuf Musa
(Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1997), 33.
[15]
Fatwa MUI tentang Waqf Produktif (Jakarta: MUI,
2020), 14.
8.
Penutup
8.1.
Kesimpulan
Kajian tentang
madzhab-madzhab dalam Islam mengungkapkan betapa pentingnya peran madzhab dalam
menjaga keberlanjutan hukum Islam di tengah dinamika sejarah dan masyarakat.
Madzhab-madzhab Islam, baik dalam fiqih maupun akidah, bukan hanya sekadar
aliran pemikiran, tetapi juga sebuah kerangka kerja ilmiah yang dibangun atas
dasar Al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad para ulama.¹ Keberadaan madzhab membantu
umat memahami dan menerapkan syariat Islam secara fleksibel namun tetap
berpegang pada prinsip-prinsip syar’i.²
Perbedaan metodologi
di antara madzhab memberikan kekayaan intelektual yang memperkaya wawasan umat
Islam. Sebagai contoh, madzhab Hanafi yang mengutamakan istihsan
menunjukkan pentingnya inovasi hukum, sementara madzhab Maliki yang berpegang
pada tradisi masyarakat Madinah menunjukkan nilai autentisitas dalam hukum
Islam.³ Pendekatan moderat madzhab Syafi’i dan Hanbali juga menjadi contoh
bagaimana perbedaan pandangan dapat tetap berakar pada prinsip-prinsip
syariat.⁴
Selain itu, kajian
ini menegaskan bahwa madzhab tidak hanya relevan pada masa klasik, tetapi juga
memainkan peran signifikan dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti isu
keuangan syariah, lingkungan, dan teknologi.⁵ Oleh karena itu, keberadaan
madzhab dalam kehidupan umat Islam tidak hanya menjadi warisan intelektual,
tetapi juga solusi praktis untuk menjawab kebutuhan zaman.
8.2.
Rekomendasi
Untuk menjaga
relevansi madzhab dalam kehidupan umat Islam, beberapa langkah penting dapat
diambil:
1)
Peningkatan Literasi
Keislaman
Umat Islam perlu diberikan pemahaman mendalam
tentang sejarah, prinsip, dan metodologi madzhab. Hal ini dapat dilakukan
melalui pendidikan formal dan nonformal yang berbasis kitab-kitab klasik dan
kajian kontemporer.⁶
2)
Penguatan Dialog
Antar-Madzhab
Dialog yang konstruktif di antara penganut
madzhab yang berbeda harus terus didorong untuk memelihara ukhuwah Islamiyah.
Sebagaimana ditegaskan dalam berbagai konferensi internasional, dialog
antar-madzhab menjadi kunci untuk menghindari konflik sektarian.⁷
3)
Integrasi dengan Kajian
Kontemporer
Madzhab perlu terus dikaji dan diaplikasikan
dalam konteks modern melalui penelitian yang relevan. Misalnya, penelitian
dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam dapat mempertemukan prinsip-prinsip klasik
dengan kebutuhan zaman, seperti dalam bidang bioetika atau kecerdasan buatan.⁸
4)
Penyusunan Fatwa
Kolaboratif
Lembaga-lembaga fatwa seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan Dar Al-Ifta di Mesir perlu terus mengintegrasikan berbagai
pandangan madzhab dalam menghasilkan fatwa yang komprehensif dan relevan.⁹
Melalui
langkah-langkah ini, madzhab dapat terus menjadi landasan intelektual dan
spiritual umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman, sekaligus menjaga
harmoni dalam keberagaman.
Catatan Kaki
[1]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 87.
[2]
Al-Syafi’i, Ar-Risalah, ed. Ahmad Muhammad
Syakir (Cairo: Maktabah Dar Al-Turath, 1940), 45.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
(Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947), 75.
[4]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Muhammad Abd
al-Wahhab (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 2005), vol. 1.
[5]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic
Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 23.
[6]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 94.
[7]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet's Legacy (London: Oneworld, 2014), 213.
[8]
Fatwa Dar Al-Ifta, “Ethical Considerations in Organ Transplants,” Dar
Al-Ifta al-Misriyyah, accessed December 2023, https://www.dar-alifta.org/.
[9]
Majelis Ulama Indonesia, “Fatwa tentang Ekonomi Syariah,” MUI, 2021,
14.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2005). Ihya
Ulum al-Din (Vol. 1). Ed. Muhammad Abd al-Wahhab. Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Arabi.
Al-Juwaini. (1997). Al-Irshad.
Ed. Muhammad Yusuf Musa. Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah.
Al-Marghinani. (2009). Al-Hidayah
(Vol. 1). Ed. Abd al-Razzaq al-Afghani. Cairo: Dar Al-Hadith.
Al-Maturidi, Abu Mansur.
(1970). Kitab al-Tawhid. Ed. Fathallah Kholeif. Beirut: Dar
al-Mashriq.
Al-Sarakhsi. (1986). Al-Mabsuth
(Vol. 1). Ed. Abu al-Wafa al-Afghani. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
Al-Syafi’i, Muhammad bin
Idris. (1940). Ar-Risalah. Ed. Ahmad Muhammad Syakir. Cairo: Maktabah
Dar Al-Turath.
Al-Syafi’i, Muhammad bin
Idris. (1997). Al-Umm (Vol. 1). Ed. Rif’at Fawzi. Cairo: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah.
Auda, J. (2008). Maqasid
al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International
Institute of Islamic Thought (IIIT).
Brown, J. A. C. (2014). Misquoting
Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's Legacy.
London: Oneworld.
Hallaq, W. B. (1997). A
History of Islamic Legal Theories. Cambridge: Cambridge University Press.
Hallaq, W. B. (2005). The
Origins and Evolution of Islamic Law. Cambridge: Cambridge University
Press.
Ibn Khaldun. (1967). Muqaddimah.
Trans. Franz Rosenthal. Princeton: Princeton University Press.
Ibn Qudamah. (2007). Al-Mughni
(Vol. 1). Ed. Abdullah bin Abdul Rahman al-Turki. Riyadh: Dar Alam Al-Kutub.
Ibn Rusyd. (1997). Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Vol. 1). Cairo: Dar Al-Hadith.
Majelis Ulama Indonesia
(MUI). (2021). Fatwa tentang Ekonomi Syariah. Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia.
Malik bin Anas. (1992). Al-Muwaththa’.
Ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
Wensinck, A. J. (1932). The
Muslim Creed: Its Genesis and Historical Development. London: Frank Cass.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar