Karakteristik Pribadi
Sifat, Perilaku,
dan Nilai yang Mencerminkan Kepribadian Individu
Alihkan ke: Karakteristi
Pribadi Edisi 1
Abstrak
Karakteristik pribadi
merupakan aspek mendasar yang membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku
individu dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini menyajikan kajian
komprehensif mengenai karakteristik pribadi dengan mengintegrasikan perspektif
psikologi, sosiologi, dan agama. Dimulai dengan pengertian karakteristik
pribadi, artikel ini membahas dimensi-dimensi utama, faktor-faktor yang
memengaruhi, serta teori-teori relevan seperti Big Five Personality Traits,
teori psikoanalisis Freud, dan konsep akhlaqul karimah dalam Islam.
Pemahaman mendalam terhadap karakteristik pribadi memiliki signifikansi penting
dalam pengembangan diri, hubungan interpersonal, dan kepemimpinan. Selain itu,
strategi seperti introspeksi diri, pengelolaan emosi, dan pendidikan karakter
disoroti sebagai langkah praktis untuk mengembangkan karakteristik positif.
Studi kasus tokoh inspiratif seperti Mahatma Gandhi, Rasulullah Muhammad Saw,
dan Nelson Mandela menegaskan bahwa karakteristik pribadi unggul dapat
menciptakan perubahan besar dalam kehidupan individu dan masyarakat. Dengan
demikian, artikel ini diharapkan memberikan kontribusi signifikan dalam
meningkatkan pemahaman dan pengembangan karakteristik pribadi yang positif.
Kata Kunci: Karakteristik
Pribadi, Psikologi, Sosiologi, Pendidikan Karakter, Kepemimpinan, Akhlaqul
Karimah, Pengembangan Diri, Big Five Personality Traits, Kecerdasan Emosional.
1.
Pendahuluan
Dalam era modern yang penuh tantangan, kajian
tentang karakteristik pribadi menjadi semakin penting. Karakteristik
pribadi, yang mencakup sifat, temperamen, dan perilaku individu, memainkan
peran utama dalam membentuk identitas seseorang dan menentukan kualitas
hubungan interpersonal maupun keberhasilan sosial. Pemahaman terhadap
karakteristik pribadi bukan hanya relevan di ranah individu, tetapi juga
menjadi landasan untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis dan beradab.
Secara terminologis, karakteristik pribadi
dapat diartikan sebagai kumpulan sifat dan kualitas yang mencerminkan
kepribadian seseorang dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam Islam,
karakteristik pribadi yang mulia sering dikaitkan dengan istilah akhlak
atau moralitas yang luhur. Nabi Muhammad Saw. menegaskan pentingnya akhlak
dalam sabdanya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia."1 Pemahaman ini menunjukkan bahwa karakteristik
pribadi yang unggul merupakan salah satu tujuan utama dalam kehidupan manusia.
Sementara itu, dalam perspektif psikologi modern,
karakteristik pribadi sering kali dijelaskan melalui teori kepribadian. Salah
satu pendekatan populer adalah Big Five Personality Traits, yang
mengidentifikasi lima dimensi utama kepribadian: keterbukaan terhadap
pengalaman, ketelitian, ekstroversi, keramahan, dan stabilitas emosi2.
Pendekatan ini menyoroti bagaimana faktor genetik dan lingkungan berkontribusi
dalam membentuk karakter individu.
Adanya kajian lintas disiplin ini menunjukkan bahwa
karakteristik pribadi memiliki kompleksitas tersendiri yang melibatkan aspek
teologis, psikologis, dan sosial. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
memberikan kajian komprehensif yang tidak hanya menggali karakteristik pribadi
dari sudut pandang Islam, tetapi juga menghubungkannya dengan pandangan
psikologi dan ilmu sosial lainnya.
Tujuan utama dari artikel ini adalah:
1)
Menguraikan definisi dan ruang lingkup karakteristik pribadi berdasarkan
perspektif agama dan sains.
2)
Mengidentifikasi faktor pembentuk karakteristik pribadi, baik internal
maupun eksternal.
3)
Menjelaskan strategi untuk mengembangkan karakteristik pribadi positif
berdasarkan pendekatan agama dan psikologi modern.
4)
Memberikan wawasan tentang tantangan era modern dalam membentuk karakter
individu.
Kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi
individu, keluarga, dan lembaga pendidikan dalam membangun kepribadian yang
unggul dan berkontribusi positif di masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Nabi Muhammad Saw., Hadis Riwayat Ahmad, no. 8952.
[2]
John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The
Big Five trait taxonomy: History, measurement, and theoretical perspectives.
In L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook of Personality: Theory and
Research (Vol. 2, pp. 102-138). New York: Guilford Press.
2.
Definisi
dan Ruang Lingkup
2.1. Definisi Karakteristik Pribadi
Karakteristik pribadi dapat dipahami sebagai
serangkaian sifat, perilaku, dan nilai yang mencerminkan kepribadian individu
dalam konteks tertentu. Definisi ini memiliki variasi bergantung pada sudut
pandang yang digunakan, baik dari perspektif agama maupun ilmu pengetahuan
modern.
Dalam terminologi agama Islam, karakteristik
pribadi sering dikaitkan dengan akhlak. Akhlak didefinisikan sebagai
sifat-sifat batiniah yang menjadi dasar perilaku seseorang. Imam Al-Ghazali
dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa akhlak adalah “sifat yang
tertanam dalam jiwa, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
memerlukan pertimbangan atau pemikiran lebih lanjut”1. Definisi
ini menunjukkan bahwa karakteristik pribadi mencakup dimensi internal yang
memengaruhi tindakan eksternal.
Dalam konteks psikologi, karakteristik pribadi
dijelaskan melalui konsep kepribadian (personality). Menurut Gordon
Allport, kepribadian adalah “organisasi dinamis dari sistem psikofisis dalam
individu yang menentukan pola unik dari perilaku, pemikiran, dan perasaan
mereka”2. Sementara itu, teori Big Five Personality Traits
mengklasifikasikan karakteristik pribadi ke dalam lima dimensi utama:
keterbukaan terhadap pengalaman, ketelitian, ekstroversi, keramahan, dan
stabilitas emosi3. Definisi ini menggarisbawahi aspek biologis dan
lingkungan sebagai faktor penting pembentuk karakteristik pribadi.
2.2. Ruang Lingkup Kajian Karakteristik Pribadi
Kajian tentang karakteristik pribadi mencakup
berbagai dimensi, baik internal maupun eksternal, yang saling memengaruhi.
Berikut adalah ruang lingkup utama dalam kajian ini:
1)
Dimensi Internal:
o
Sifat dan Temperamen: Sifat
bawaan individu yang mencerminkan kecenderungan alami mereka. Dalam Islam,
konsep fitrah menjadi landasan bahwa setiap manusia diciptakan dengan
potensi kebaikan4.
o
Kecerdasan Emosional: Kemampuan
mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri serta orang lain. Menurut Daniel
Goleman, kecerdasan emosional memiliki pengaruh besar terhadap kesuksesan
pribadi dan sosial5.
2)
Dimensi Eksternal:
o
Perilaku dan Interaksi Sosial: Bagaimana individu berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain
dalam berbagai situasi. Rasulullah Saw. dikenal sebagai teladan dalam interaksi
sosial, di mana beliau menunjukkan sifat lemah lembut, kasih sayang, dan
penghormatan terhadap semua golongan6.
o
Lingkungan Sosial dan Budaya: Faktor eksternal seperti keluarga, pendidikan, dan masyarakat yang
turut membentuk karakteristik pribadi seseorang7.
2.3. Relevansi Kajian Ruang Lingkup Karakteristik
Pribadi
Pemahaman terhadap definisi dan ruang lingkup
karakteristik pribadi memberikan wawasan yang menyeluruh tentang bagaimana
individu dapat berkembang secara holistik. Perspektif ini membantu dalam
membangun kepribadian yang tidak hanya unggul secara individual, tetapi juga
mampu berkontribusi dalam masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 3, Bab
Akhlak.
[2]
Allport, G. W. (1937). Personality: A
Psychological Interpretation. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
[3]
John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The
Big Five trait taxonomy: History, measurement, and theoretical perspectives.
In L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook of Personality: Theory and
Research (Vol. 2, pp. 102-138). New York: Guilford Press.
[4]
QS. Ar-Rum [30]:30.
[5]
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why
It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books.
[6]
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq
Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah).
[7]
Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human
Development: Experiments by Nature and Design. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
3.
Pendekatan
Teoretis
Kajian tentang karakteristik pribadi melibatkan berbagai
perspektif yang saling melengkapi. Pendekatan teoretis dalam artikel ini
mencakup tiga sudut pandang utama: agama, psikologi, dan sosial-budaya.
Pendekatan ini memberikan kerangka analisis yang komprehensif untuk memahami
pembentukan, pengembangan, dan implikasi karakteristik pribadi.
3.1. Pendekatan Agama
Agama memiliki peran penting dalam membentuk
karakteristik pribadi individu. Dalam Islam, karakteristik pribadi yang baik
sering dikaitkan dengan akhlak mulia dan keimanan yang kokoh. Rasulullah Saw. disebut
dalam Al-Qur'an sebagai uswah hasanah (teladan yang baik) bagi umat
manusia1. Dalam praktiknya, sifat-sifat seperti kejujuran, amanah,
kesabaran, dan rasa syukur menjadi fondasi karakteristik pribadi yang ideal.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa pembentukan
karakter yang baik harus dimulai dari pengendalian nafsu dan penanaman
kebiasaan positif yang konsisten2. Pendekatan ini menekankan
pentingnya pendidikan akhlak melalui ibadah, seperti shalat, puasa, dan dzikir,
yang secara spiritual memperkuat karakter pribadi.
Pendekatan agama juga menyoroti pentingnya fitrah
manusia sebagai landasan pembentukan karakter. Fitrah, sebagaimana disebutkan
dalam QS. Ar-Rum [30] ayat 30, mengacu pada potensi bawaan manusia untuk
mengenal kebaikan dan menyembah Allah3.
3.2. Pendekatan Psikologi
Dalam psikologi, karakteristik pribadi dipelajari
melalui teori-teori kepribadian yang beragam. Salah satu teori yang paling
banyak digunakan adalah Big Five Personality Traits, yang
mengidentifikasi lima dimensi utama kepribadian: keterbukaan terhadap
pengalaman, ketelitian, ekstroversi, keramahan, dan stabilitas emosi4.
Teori ini menjelaskan bagaimana karakteristik pribadi dapat dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan, serta bagaimana sifat-sifat tersebut dapat diukur
secara empiris.
Pendekatan psikologi juga mencakup teori-teori
perkembangan, seperti teori Hierarki Kebutuhan Maslow, yang menempatkan
aktualisasi diri sebagai puncak perkembangan karakter manusia5.
Maslow menjelaskan bahwa individu dengan karakteristik pribadi yang matang
memiliki kemampuan untuk berpikir rasional, menghargai orang lain, dan
menjalani hidup yang bermakna.
Selain itu, teori kecerdasan emosional
(Emotional Intelligence) yang dikembangkan oleh Daniel Goleman juga
relevan. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan mengenali, memahami, dan
mengelola emosi diri serta orang lain. Hal ini sangat penting dalam membentuk
hubungan interpersonal yang sehat dan produktif6.
3.3. Pendekatan Sosial-Budaya
Karakteristik pribadi juga sangat dipengaruhi oleh
konteks sosial dan budaya. Teori Ekologi Bronfenbrenner menyoroti
bagaimana interaksi individu dengan lingkungan mikro (keluarga, teman) hingga
lingkungan makro (masyarakat, budaya) berkontribusi pada pembentukan
karakteristik pribadi7.
Budaya memberikan nilai-nilai yang menjadi pedoman
bagi individu untuk bertindak. Misalnya, masyarakat dengan budaya kolektivisme
cenderung menekankan pentingnya kerjasama dan empati dalam membentuk
karakteristik pribadi yang pro-sosial8. Sebaliknya, budaya
individualisme cenderung mendorong kemandirian dan kreativitas.
Kesimpulan Pendekatan Teoretis
Pendekatan agama, psikologi, dan sosial-budaya
memberikan wawasan yang saling melengkapi dalam memahami karakteristik pribadi.
Pendekatan agama menekankan pada aspek spiritual dan moral, pendekatan
psikologi menggali dimensi internal dan eksternal individu, sementara
pendekatan sosial-budaya memberikan konteks lingkungan yang memengaruhi
pembentukan karakter. Integrasi ketiga pendekatan ini menghasilkan pemahaman
yang holistik dan aplikatif.
Catatan Kaki
[1]
QS. Al-Ahzab [33] ayat 21.
[2]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 3, Bab
Akhlak.
[3]
QS. Ar-Rum [30]:30.
[4]
John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The
Big Five trait taxonomy: History, measurement, and theoretical perspectives.
In L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook of Personality: Theory and
Research (Vol. 2, pp. 102-138). New York: Guilford Press.
[5]
Maslow, A. H. (1943). A theory of human
motivation. Psychological Review, 50(4), 370-396.
[6]
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why
It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books.
[7]
Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human
Development: Experiments by Nature and Design. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
[8]
Hofstede, G. (2001). Culture's Consequences:
Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
4.
Karakteristik
Pribadi dalam Islam
Dalam Islam, pembentukan karakteristik pribadi
merupakan bagian integral dari ajaran agama yang bertujuan menciptakan individu
yang berakhlak mulia. Al-Qur'an dan Hadis menekankan pentingnya akhlak sebagai
landasan kehidupan manusia. Rasulullah Saw. menyatakan: “Sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”1. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa misi utama Islam adalah membangun karakteristik pribadi yang
luhur.
4.1. Karakteristik Pribadi Ideal dalam Islam
Karakteristik pribadi yang diidealkan dalam Islam
mencakup sifat-sifat yang terpuji, baik dalam hubungan dengan Allah (habl min
Allah) maupun sesama manusia (habl min an-nas). Beberapa karakteristik utama
yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis antara lain:
1)
Kejujuran (Shidq)
Kejujuran
adalah sifat yang sangat ditekankan dalam Islam. Al-Qur'an memerintahkan agar
setiap Muslim berbicara dengan benar dan adil:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab [33] ayat 70)2.
Nabi
Muhammad Saw. sendiri dikenal dengan julukan Al-Amin (yang terpercaya),
yang mencerminkan sifat kejujurannya dalam setiap aspek kehidupan3.
2)
Amanah (Dapat Dipercaya)
Amanah
adalah kualitas yang menunjukkan tanggung jawab seseorang dalam menjalankan
tugas atau kepercayaan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya” (QS.
An-Nisa [4] ayat 58)4.
Amanah tidak
hanya mencakup materi tetapi juga janji, tugas, dan tanggung jawab sosial.
3)
Kesabaran (Shabr)
Kesabaran
adalah pilar penting dalam membangun karakteristik pribadi yang kokoh. Dalam
Al-Qur'an, Allah memuji orang-orang yang sabar:
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 153)5.
Kesabaran
mencakup ketabahan dalam menghadapi cobaan, konsistensi dalam kebaikan, dan pengendalian
diri dari hawa nafsu.
4)
Rendah Hati (Tawadhu)
Tawadhu
adalah sifat yang melambangkan kerendahan hati seseorang di hadapan Allah dan
manusia. Dalam sebuah Hadis, Rasulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan
meninggikannya”6.
Karakteristik
ini mencegah kesombongan dan mendorong sikap menghargai orang lain.
5)
Syukur (Gratitude)
Sikap syukur
merupakan wujud pengakuan atas nikmat Allah. Al-Qur'an menegaskan bahwa syukur
membawa keberkahan:
“Jika kamu bersyukur, Aku pasti akan menambah nikmat untukmu” (QS. Ibrahim [14] ayat 7)7.
4.2. Teladan Karakteristik Pribadi Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. adalah contoh nyata dari
karakteristik pribadi yang sempurna. Allah memuji karakter beliau dalam
Al-Qur'an:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi
pekerti yang agung” (QS.
Al-Qalam [68] ayat 4)8.
Karakter Rasulullah mencakup sifat-sifat berikut:
·
Lemah Lembut: Rasulullah
Saw. dikenal memiliki sifat lemah lembut, bahkan terhadap musuhnya (QS. Ali
Imran [3] ayat 159).
·
Keberanian dan Ketegasan: Beliau selalu berada di garis depan dalam mempertahankan kebenaran.
·
Kasih Sayang Universal: Rasulullah Saw. menunjukkan kasih sayang yang tulus kepada keluarga,
sahabat, dan umat manusia.
4.3. Relevansi Karakteristik Pribadi dalam Kehidupan
Sehari-Hari
Karakteristik pribadi dalam Islam memiliki aplikasi
praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran membangun kepercayaan dalam
hubungan interpersonal, amanah menciptakan masyarakat yang bertanggung jawab, dan
kesabaran membantu individu menghadapi tantangan hidup. Sifat-sifat ini, jika
diterapkan secara konsisten, dapat membangun individu yang tangguh secara
spiritual dan sosial, sekaligus menciptakan komunitas yang harmonis.
Catatan Kaki
[1]
Nabi Muhammad Saw., Hadis Riwayat Ahmad, no. 8952.
[2]
QS. Al-Ahzab [33] ayat 70.
[3]
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq
Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah).
[4]
QS. An-Nisa [4] ayat 58.
[5]
QS. Al-Baqarah [2] ayat 153.
[6]
Hadis Riwayat Muslim, no. 2588.
[7]
QS. Ibrahim [14] ayat 7.
[8]
QS. Al-Qalam [68] ayat 4.
5.
Faktor-Faktor
Pembentuk Karakteristik Pribadi
Karakteristik pribadi seseorang tidak terbentuk
secara spontan, melainkan melalui proses kompleks yang melibatkan faktor
internal dan eksternal. Faktor-faktor ini bekerja secara sinergis, memengaruhi
pola pikir, emosi, dan perilaku individu. Dengan memahami faktor-faktor ini,
kita dapat mengidentifikasi cara-cara untuk mengembangkan karakteristik pribadi
yang positif.
5.1. Faktor Internal
1)
Fitrah dan Potensi Bawaan
Dalam Islam,
manusia dilahirkan dengan fitrah atau potensi bawaan untuk mengenal kebaikan.
Allah berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu” (QS. Ar-Rum [30] ayat 30)1.
Fitrah ini
memberikan fondasi bagi pengembangan sifat-sifat mulia, meskipun individu tetap
memerlukan bimbingan dan pendidikan untuk mewujudkan potensinya secara optimal.
2)
Kecenderungan Genetik
Ilmu
psikologi modern menunjukkan bahwa genetik memainkan peran dalam pembentukan
karakteristik pribadi. Misalnya, sifat dasar seperti temperamen, tingkat
keberanian, atau kecenderungan emosional sebagian dipengaruhi oleh faktor
genetik2. Namun, pengaruh genetik ini tidak bersifat deterministik,
karena lingkungan dapat mengubah atau memperkuat pengaruh tersebut.
3)
Struktur Kepribadian
Menurut
Sigmund Freud, kepribadian terbentuk dari tiga komponen utama: id
(dorongan dasar), ego (rasionalitas), dan superego (nilai moral)3.
Interaksi antara ketiga elemen ini menentukan bagaimana individu bertindak
dalam situasi tertentu. Misalnya, ego membantu seseorang menyeimbangkan antara
dorongan id yang impulsif dan tuntutan superego yang idealis.
5.2. Faktor Eksternal
1)
Keluarga
Keluarga
adalah lingkungan pertama dan utama yang membentuk karakteristik pribadi
seseorang. Rasulullah Saw. bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”4.
Orang tua
berperan dalam menanamkan nilai-nilai moral, membentuk kebiasaan, dan
memberikan teladan yang baik.
2)
Pendidikan
Pendidikan
formal maupun informal memegang peranan penting dalam pembentukan karakter.
Dalam Islam, pendidikan diarahkan untuk mencetak individu yang berakhlak mulia
dan berilmu. Al-Ghazali menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk
mendekatkan individu kepada Allah sekaligus membentuk karakter yang berguna
bagi masyarakat5. Dalam konteks modern, pendidikan karakter menjadi
bagian penting dari kurikulum di sekolah-sekolah6.
3)
Lingkungan Sosial dan Budaya
Lingkungan
sosial, termasuk teman sebaya, tempat tinggal, dan budaya, memiliki pengaruh
besar terhadap pengembangan karakter. Bronfenbrenner dalam Teori Ekologi
Perkembangan menjelaskan bahwa lingkungan mikro (keluarga, teman) hingga
makro (kebijakan, budaya) berkontribusi dalam membentuk perilaku dan sikap
individu7. Dalam budaya kolektivisme, misalnya, individu cenderung
mengembangkan sifat-sifat seperti empati dan kerja sama, sementara budaya
individualisme menonjolkan kemandirian dan kreativitas8.
4)
Pengalaman Hidup
Pengalaman,
baik positif maupun negatif, membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia
dan memengaruhi pengembangan karakteristik pribadinya. Contohnya, individu yang
menghadapi kesulitan dengan ketabahan sering kali mengembangkan sifat tangguh
dan optimis9.
5.3. Interaksi Faktor Internal dan Eksternal
Karakteristik pribadi terbentuk melalui interaksi
antara faktor internal (fitrah, genetik, dan struktur kepribadian) dan faktor
eksternal (keluarga, pendidikan, lingkungan, dan pengalaman). Sebagai contoh,
seorang anak yang memiliki kecenderungan genetik untuk ekstroversi dapat
mengembangkan sifat tersebut lebih optimal jika didukung oleh lingkungan
keluarga yang hangat dan mendukung.
Dalam perspektif Islam, keseimbangan antara potensi
bawaan dan pengaruh lingkungan menjadi kunci dalam membangun karakteristik
pribadi yang baik. Oleh karena itu, pengasuhan yang baik, pendidikan yang
berkualitas, dan pengalaman hidup yang bermakna menjadi pilar utama dalam
pembentukan individu yang berkarakter.
Catatan Kaki
[1]
QS. Ar-Rum [30] ayat 30.
[2]
Plomin, R., DeFries, J. C., Knopik, V. S., &
Neiderhiser, J. M. (2013). Behavioral Genetics (6th ed.). Worth
Publishers.
[3]
Freud, S. (1923). The Ego and the Id.
Standard Edition.
[4]
Nabi Muhammad Saw., Hadis Riwayat Muslim, no. 2658.
[5]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1, Bab
Pendidikan Anak.
[6]
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How
Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
[7]
Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human
Development: Experiments by Nature and Design. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
[8]
Hofstede, G. (2001). Culture's Consequences:
Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
[9]
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character
Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford University
Press.
6.
Cara
Mengembangkan Karakteristik Pribadi Positif
Pengembangan karakteristik pribadi yang positif
memerlukan usaha yang sistematis dan berkelanjutan. Dalam perspektif Islam,
pengembangan ini berakar pada penguatan iman dan amal saleh, sedangkan dalam
psikologi modern, pendekatan berbasis pengelolaan diri dan pengembangan emosi
memainkan peran utama. Berikut adalah strategi yang dapat diterapkan
berdasarkan pendekatan agama dan sains.
6.1. Dalam Perspektif Agama
1)
Memperkuat Iman melalui Ibadah
Ibadah
merupakan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki
karakter. Al-Qur'an menyatakan bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan
mungkar (QS. Al-Ankabut [29] ayat 45)1. Shalat yang dilakukan dengan
khusyuk akan melatih kesabaran, ketenangan, dan rasa syukur.
Selain itu,
ibadah puasa mendidik manusia untuk mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan
ketakwaan (QS. Al-Baqarah [2] ayat 183)2.
2)
Pendidikan Akhlak
Pendidikan
akhlak merupakan pilar penting dalam membentuk karakteristik pribadi. Imam
Al-Ghazali menekankan pentingnya pembiasaan sifat-sifat baik sejak kecil, seperti
kejujuran, amanah, dan tanggung jawab3. Hal ini dapat dilakukan
melalui teladan orang tua, lingkungan keluarga yang kondusif, dan pendidikan
berbasis nilai-nilai Islam.
3)
Dzikir dan Muhasabah
Dzikir
mengingatkan individu akan kebesaran Allah dan membangun ketenangan jiwa (QS.
Ar-Ra’d [13] ayat 28)4. Muhasabah, atau evaluasi diri, membantu
individu mengidentifikasi kelemahan dan memperbaikinya. Umar bin Khattab pernah
berkata:
“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah dirimu sebelum
kamu ditimbang”5.
Dengan
introspeksi rutin, seseorang dapat meningkatkan kesadaran diri dan membangun
sifat-sifat yang lebih baik.
6.2. Dalam Perspektif Psikologi
1)
Pengembangan Kecerdasan Emosional
Daniel
Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence menjelaskan bahwa
kecerdasan emosional mencakup kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola
emosi diri serta orang lain6. Pengembangan kecerdasan emosional
dapat dilakukan melalui latihan seperti:
o
Mengenali emosi diri (self-awareness).
o
Mengelola stres melalui teknik relaksasi atau mindfulness7.
o
Meningkatkan empati dengan memahami perspektif orang lain.
2)
Latihan Pengembangan Diri (Self-Improvement)
Pengembangan
diri melibatkan kebiasaan belajar yang terus-menerus untuk meningkatkan
kualitas pribadi. Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective
People menekankan pentingnya proaktif, memiliki visi hidup, dan terus
memperbarui keterampilan8. Membaca buku, mengikuti pelatihan, atau
mencari mentor dapat menjadi bagian dari strategi pengembangan diri.
3)
Pengelolaan Pikiran Positif (Positive Thinking)
Menurut
Martin Seligman dalam Positive Psychology, individu yang fokus pada
kekuatan dan potensi diri cenderung lebih sukses dan bahagia9.
Latihan seperti mencatat hal-hal yang disyukuri setiap hari atau visualisasi
tujuan hidup dapat membantu membentuk pola pikir positif.
6.3. Dalam Perspektif Sosial
1)
Penerapan Nilai-Nilai dalam Interaksi Sosial
Interaksi
sosial yang sehat dapat membentuk karakter positif, seperti empati, keramahan,
dan rasa hormat. Rasulullah Saw. menjadi teladan dalam berinteraksi, di mana
beliau selalu memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan keadilan (QS.
Ali Imran [3] ayat 159)10.
Penguatan
hubungan sosial dapat dilakukan melalui:
o
Partisipasi dalam kegiatan sosial atau komunitas.
o
Menjalin hubungan harmonis dengan keluarga dan teman.
2)
Memberikan dan Menerima Umpan Balik
Dalam teori
komunikasi, umpan balik yang konstruktif membantu individu memahami persepsi
orang lain terhadap dirinya dan mengidentifikasi area perbaikan11.
Membuka diri terhadap kritik membangun akan mendorong pertumbuhan pribadi yang
lebih baik.
3)
Membangun Kebiasaan Berbagi dan Memberi
Bersedekah
atau berbagi kepada sesama tidak hanya bermanfaat bagi penerima tetapi juga
memperkuat karakter pribadi pemberi. Rasulullah Saw. bersabda:
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”12.
Membiasakan
diri untuk berbagi akan membentuk sifat dermawan, empati, dan kasih sayang.
Kesimpulan
Pengembangan karakteristik pribadi positif adalah
proses berkelanjutan yang membutuhkan usaha di berbagai aspek kehidupan.
Pendekatan agama memberikan dasar moral dan spiritual yang kuat, sementara
pendekatan psikologi modern menawarkan metode praktis untuk mengelola emosi dan
membangun kebiasaan positif. Dengan mengintegrasikan kedua pendekatan ini,
individu dapat membangun karakteristik pribadi yang unggul dan bermanfaat bagi
diri sendiri maupun masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
QS. Al-Ankabut [29] ayat 45.
[2]
QS. Al-Baqarah [2] ayat 183.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1, Bab
Pendidikan Akhlak.
[4]
QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28.
[5]
Umar bin Khattab, Shahih Al-Bukhari, Kitab
Riqaq.
[6]
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why
It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books.
[7]
Kabat-Zinn, J. (1990). Full Catastrophe Living:
Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness.
New York: Bantam Books.
[8]
Covey, S. R. (1989). The 7 Habits of Highly
Effective People. New York: Free Press.
[9]
Seligman, M. E. P. (2004). Authentic Happiness.
New York: Free Press.
[10]
QS. Ali Imran [3] ayat 159.
[11]
Schramm, W. (1954). The Process and Effects of
Communication. Urbana: University of Illinois Press.
[12]
Nabi Muhammad Saw., Hadis Riwayat Bukhari, no.
1427.
7.
Tantangan
dalam Membentuk Karakteristik Pribadi
Membentuk karakteristik pribadi yang positif tidak
terlepas dari berbagai tantangan, terutama di era modern. Faktor-faktor
internal dan eksternal yang kompleks sering kali menjadi hambatan dalam proses
pembentukan kepribadian yang ideal. Tantangan ini melibatkan perubahan budaya,
kemajuan teknologi, dan konflik nilai yang dapat memengaruhi individu secara
mendalam.
7.1. Tantangan di Era Modern
1)
Pengaruh Materialisme dan Hedonisme
Budaya
materialisme dan hedonisme yang semakin meluas menjadi tantangan besar dalam
membangun karakter pribadi. Materialisme mengarahkan individu untuk mengejar
kepuasan duniawi secara berlebihan, sehingga mengabaikan nilai-nilai spiritual
dan moral1. Hedonisme, di sisi lain, mendorong perilaku yang
berorientasi pada kesenangan sesaat, yang dapat mengikis sifat tanggung jawab
dan pengendalian diri.
Al-Qur'an
mengingatkan bahaya kecenderungan terhadap kehidupan duniawi:
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda
gurau, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak” (QS. Al-Hadid [57] ayat 20)2.
2)
Pengaruh Media Sosial
Media
sosial, meskipun memberikan banyak manfaat, juga menjadi tantangan dalam pembentukan
karakter. Platform digital sering kali memunculkan perilaku negatif seperti
narsisme, cyberbullying, dan ketergantungan terhadap validasi sosial3.
Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat
menurunkan harga diri dan meningkatkan stres4.
3)
Individualisme dan Krisis Nilai Sosial
Budaya
individualisme yang berkembang di masyarakat modern cenderung mengurangi rasa
empati dan solidaritas sosial5. Individu lebih fokus pada pencapaian
pribadi dibandingkan kepentingan kolektif. Hal ini bertentangan dengan
nilai-nilai Islam yang menekankan kerja sama dan kebersamaan (QS. Al-Maidah [5]
ayat 2)6.
7.2. Konflik Nilai Tradisional dan Modern
1)
Benturan Antara Nilai Lokal dan Global
Globalisasi
telah memperluas akses terhadap berbagai budaya, namun sering kali
mengakibatkan benturan nilai antara tradisi lokal dan pengaruh budaya asing7.
Misalnya, nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong dan rasa hormat
kepada orang tua mulai tergerus oleh gaya hidup modern yang lebih individualistis.
Dalam Islam, penghormatan kepada orang tua adalah salah satu nilai utama (QS.
Luqman [31] ayat 14)8.
2)
Tekanan Sosial Ekonomi
Tantangan
ekonomi, seperti pengangguran atau kesenjangan sosial, dapat memengaruhi
pembentukan karakter. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan dasar sering kali
memaksa individu mengesampingkan nilai-nilai moral demi bertahan hidup9.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Kefakiran itu mendekatkan kepada kekufuran”10.
Pernyataan
ini mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi yang sulit dapat menjadi ujian berat
bagi karakter individu.
7.3. Ketidakstabilan Psikologis dan Kesehatan Mental
1)
Stres dan Depresi
Ketidakstabilan
psikologis, seperti stres dan depresi, menjadi tantangan besar dalam membangun
karakter yang tangguh. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan psikologis dapat
menurunkan kemampuan individu untuk mengelola emosi dan membuat keputusan yang
bijaksana11. Dalam Islam, kesabaran dan doa diajarkan sebagai cara
untuk menghadapi tekanan hidup (QS. Al-Baqarah [2] ayat 153)12.
2)
Kurangnya Dukungan Sosial
Individu
yang tidak memiliki dukungan sosial yang kuat, baik dari keluarga maupun
lingkungan, cenderung kesulitan dalam membangun karakter yang stabil13.
Oleh karena itu, penting untuk menciptakan komunitas yang mendukung pengembangan
pribadi.
Kesimpulan
Tantangan dalam membentuk karakteristik pribadi di
era modern sangat beragam, mulai dari pengaruh budaya materialisme, media
sosial, hingga konflik nilai antara tradisi dan modernitas. Untuk menghadapi
tantangan ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk penguatan
spiritual, pengelolaan emosi, dan dukungan sosial yang baik. Islam memberikan
panduan moral yang kuat, sementara ilmu modern menawarkan strategi praktis
untuk membantu individu mengatasi hambatan tersebut.
Catatan Kaki
[1]
Kasser, T., & Kanner, A. D. (2004). Psychology
and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World.
American Psychological Association.
[2]
QS. Al-Hadid [57]:20.
[3]
Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected
Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy–and Completely
Unprepared for Adulthood. Atria Books.
[4]
Andreassen, C. S., & Pallesen, S. (2014).
Social network site addiction—An overview. Current Addiction Reports,
1(2), 84-90.
[5]
Hofstede, G. (2001). Culture's Consequences:
Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
[6]
QS. Al-Maidah [5] ayat 2.
[7]
Appadurai, A. (1996). Modernity at Large:
Cultural Dimensions of Globalization. University of Minnesota Press.
[8]
QS. Luqman [31] ayat 14.
[9]
Sen, A. (1999). Development as Freedom.
Oxford University Press.
[10]
Nabi Muhammad Saw., Hadis Riwayat Al-Baihaqi, Shu'ab
al-Iman, no. 1955.
[11]
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress,
Appraisal, and Coping. Springer Publishing.
[12]
QS. Al-Baqarah [2] ayat 153.
[13]
Uchino, B. N. (2004). Social Support and
Physical Health: Understanding the Health Consequences of Relationships.
Yale University Press.
8.
Studi
Kasus dan Praktik Nyata
Untuk memahami bagaimana karakteristik pribadi yang
positif dapat dibentuk dan diaplikasikan, penting untuk menganalisis studi
kasus dan praktik nyata dari kehidupan individu atau institusi yang berhasil
mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Studi kasus ini mencakup contoh tokoh
inspiratif dalam Islam, tokoh modern, dan program pengembangan karakter yang
berhasil diterapkan di institusi pendidikan.
8.1. Studi Kasus Tokoh Inspiratif dalam Islam
1)
Rasulullah Muhammad Saw.
Rasulullah
Saw. adalah teladan utama dalam pembentukan karakteristik pribadi yang
sempurna. Beliau dikenal memiliki sifat-sifat mulia seperti kejujuran (shidq),
amanah, kesabaran (shabr), dan kasih sayang yang universal. Misalnya,
dalam perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah menunjukkan sifat amanah dan kejujuran
meskipun syarat perjanjian tersebut tampak berat bagi kaum Muslim1.
Al-Qur'an
memuji karakter Rasulullah:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam [68] ayat 4)2.
Praktik ini menunjukkan
bahwa karakter pribadi yang unggul dibangun melalui komitmen terhadap prinsip
moral, bahkan dalam situasi yang menantang.
2)
Umar bin Khattab
Umar bin
Khattab adalah contoh pemimpin yang memiliki karakteristik pribadi yang kuat,
seperti keadilan, keberanian, dan ketegasan. Dalam masa kepemimpinannya, Umar
memastikan distribusi keadilan kepada semua kalangan tanpa pandang bulu. Salah
satu kisah terkenal adalah ketika Umar menegur Gubernur Mesir karena
ketidakadilan terhadap seorang rakyat kecil3. Hal ini menunjukkan
bagaimana karakter pribadi yang adil dapat membawa perubahan sosial yang besar.
8.2. Studi Kasus Tokoh Modern
1)
Nelson Mandela
Nelson
Mandela adalah contoh karakteristik pribadi modern yang mengedepankan
kesabaran, ketabahan, dan kepemimpinan. Selama 27 tahun di penjara, Mandela
tetap menjaga prinsip perjuangannya untuk menghapuskan apartheid di Afrika
Selatan. Setelah dibebaskan, ia tidak membalas dendam, melainkan mempromosikan
rekonsiliasi nasional4. Sikap Mandela menunjukkan pentingnya pengendalian
diri dan visi untuk mencapai perubahan yang lebih besar.
2)
Malala Yousafzai
Sebagai
aktivis pendidikan perempuan, Malala Yousafzai menunjukkan keberanian dan
keteguhan meskipun menghadapi ancaman dari kelompok ekstremis. Keinginannya
untuk memperjuangkan hak pendidikan perempuan mencerminkan nilai-nilai tanggung
jawab dan empati terhadap sesama5.
8.3. Praktik Nyata dalam Institusi Pendidikan
1)
Program Pendidikan Karakter di Sekolah
Banyak
institusi pendidikan yang berhasil menerapkan program pengembangan karakter,
seperti Character Counts! di Amerika Serikat. Program ini menanamkan
nilai-nilai inti seperti kejujuran, tanggung jawab, dan rasa hormat melalui
kegiatan kurikulum dan ekstrakurikuler6. Penelitian menunjukkan
bahwa siswa yang mengikuti program ini cenderung memiliki perilaku yang lebih
etis dan sikap yang positif terhadap teman sebaya7.
2)
Pesantren di Indonesia
Pesantren
merupakan contoh nyata praktik pendidikan karakter berbasis nilai Islam. Santri
dilatih untuk menginternalisasi nilai-nilai akhlak melalui pembelajaran agama,
disiplin dalam kehidupan sehari-hari, dan hubungan sosial yang penuh hormat8.
Sistem pendidikan ini telah melahirkan banyak tokoh masyarakat yang memiliki
karakter unggul.
8.4. Praktik Pengembangan Karakter di Komunitas
1)
Program Relawan Sosial
Kegiatan
sukarela di komunitas sering kali menjadi sarana efektif untuk membentuk
karakteristik pribadi seperti empati, tanggung jawab sosial, dan kepedulian.
Contoh nyata adalah program Habitat for Humanity, di mana relawan
membangun rumah untuk keluarga yang membutuhkan9. Kegiatan ini
membantu individu memahami nilai berbagi dan kepedulian sosial.
2)
Gerakan Lingkungan Hidup
Kampanye
lingkungan seperti Fridays for Future yang dipimpin oleh Greta Thunberg
mengajarkan nilai tanggung jawab terhadap lingkungan. Gerakan ini mendorong
individu untuk menjadi lebih sadar akan dampak perilaku mereka terhadap planet
ini10.
Kesimpulan
Studi kasus dan praktik nyata menunjukkan bahwa
karakteristik pribadi yang positif dapat dibentuk melalui keteladanan individu,
pendidikan formal dan informal, serta partisipasi aktif dalam kegiatan sosial.
Baik dalam konteks agama maupun modern, keberhasilan pengembangan karakter
memerlukan komitmen terhadap prinsip moral, pengelolaan diri, dan dedikasi
untuk memberikan dampak positif pada lingkungan sekitar.
Catatan Kaki
[1]
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq
Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah).
[2]
QS. Al-Qalam [68] ayat 4.
[3]
Ibn Sa’d, Kitab Al-Tabaqat Al-Kubra, Bab
Kisah Umar bin Khattab.
[4]
Mandela, N. (1994). Long Walk to Freedom: The
Autobiography of Nelson Mandela. Little, Brown and Company.
[5]
Yousafzai, M., & Lamb, C. (2013). I Am
Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban.
Little, Brown and Company.
[6]
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How
Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
[7]
Berkowitz, M. W., & Bier, M. C. (2005). What
works in character education: A research-driven guide for educators. Character
Education Partnership.
[8]
Azra, A. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi di Tengah Tantangan Globalisasi. Jakarta: Kencana.
[9]
Habitat for Humanity. (n.d.). Mission and
Vision. Retrieved from habitat.org.
[10]
Fridays for Future. (n.d.). Our Movement.
Retrieved from fridaysforfuture.org.
9.
Kesimpulan
Kajian tentang karakteristik pribadi menunjukkan
bahwa pembentukan kepribadian yang positif adalah proses kompleks yang
melibatkan interaksi antara faktor internal dan eksternal. Dalam Islam,
karakteristik pribadi yang ideal berakar pada nilai-nilai akhlak mulia yang
ditanamkan melalui iman dan amal. Sementara itu, psikologi modern menawarkan pendekatan
yang terukur untuk memahami dan mengembangkan aspek-aspek kepribadian manusia.
Integrasi keduanya menghasilkan pandangan yang holistik dan aplikatif.
9.1. Karakteristik Pribadi: Pilar Utama Kehidupan yang
Bermakna
Karakteristik pribadi yang baik adalah pilar
penting dalam membangun individu yang berkontribusi positif bagi masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, manusia diciptakan sebagai khalifah di
muka bumi dengan tanggung jawab moral untuk memelihara keseimbangan sosial dan
ekologis (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30)1. Hal ini menegaskan bahwa
pembentukan karakter bukan hanya kebutuhan pribadi, tetapi juga kewajiban
sosial dan spiritual.
Pendekatan agama menyoroti pentingnya pembentukan
karakter melalui iman, ibadah, dan pendidikan akhlak. Sifat-sifat seperti
kejujuran, amanah, dan kesabaran menjadi inti dari karakteristik pribadi yang
ideal. Rasulullah Saw. telah memberikan teladan sempurna dalam mempraktikkan
nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari2.
9.2. Faktor dan Tantangan dalam Pembentukan Karakter
Karakteristik pribadi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik internal seperti fitrah dan genetik, maupun eksternal seperti
keluarga, lingkungan sosial, dan budaya. Namun, tantangan modern seperti
materialisme, individualisme, dan pengaruh media sosial sering kali menghambat
proses ini3. Oleh karena itu, penguatan karakter harus disertai
dengan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan ini melalui pendekatan
spiritual dan psikologis.
9.3. Langkah Nyata untuk Mengembangkan Karakteristik
Positif
Pengembangan karakteristik pribadi positif
memerlukan langkah konkret yang melibatkan pendidikan, introspeksi, dan
interaksi sosial. Pendidikan karakter yang terintegrasi dengan nilai-nilai
agama dan moral memberikan fondasi kuat bagi individu. Selain itu, introspeksi
rutin dan praktik muhasabah membantu individu mengenali kelemahan dan
memperbaiki diri4.
Kegiatan sosial seperti program relawan dan gerakan
berbasis komunitas juga berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai empati
dan tanggung jawab5. Praktik nyata ini menunjukkan bahwa
pengembangan karakter bukan hanya teori, tetapi juga bisa diwujudkan dalam
tindakan sehari-hari.
9.4. Rekomendasi untuk Masa Depan
Untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis dan
berkepribadian unggul, perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
1)
Penguatan Pendidikan Karakter:
Pendidikan
formal dan nonformal harus menanamkan nilai-nilai moral yang relevan dengan
tantangan era modern6.
2)
Peningkatan Kesadaran Spiritual:
Menghidupkan
kembali praktik keagamaan seperti shalat, dzikir, dan muhasabah untuk
memperkuat fondasi spiritual7.
3)
Pengelolaan Teknologi dan Media Sosial:
Membangun
kesadaran tentang penggunaan media sosial secara sehat untuk mengurangi dampak
negatifnya8.
4)
Pemberdayaan Komunitas:
Mengintegrasikan
nilai-nilai moral dalam program-program sosial dan lingkungan untuk menciptakan
perubahan positif di masyarakat.
Penutup
Karakteristik pribadi yang unggul tidak hanya
penting bagi individu tetapi juga berdampak pada kesejahteraan sosial secara
keseluruhan. Sebagaimana Islam menekankan nilai-nilai akhlak, pendekatan modern
menawarkan strategi praktis untuk implementasi di kehidupan sehari-hari. Dengan
komitmen dan usaha berkelanjutan, individu dapat mengembangkan karakter yang
kokoh, berkontribusi untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, dan memenuhi
peran mereka sebagai khalifah di muka bumi.
Catatan Kaki
[1]
QS. Al-Baqarah [2] ayat 30.
[2]
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq
Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah).
[3]
Kasser, T., & Kanner, A. D. (2004). Psychology
and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World.
American Psychological Association.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1, Bab
Muhasabah.
[5]
Habitat for Humanity. (n.d.). Mission and
Vision. Retrieved from habitat.org.
[6]
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How
Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
[7]
QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28.
[8]
Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected
Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy–and Completely
Unprepared for Adulthood. Atria Books.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2001). Ihya’ Ulumuddin (Vol.
1–3). Beirut: Dar Al-Minhaj.
Andreassen, C. S., & Pallesen, S. (2014).
Social network site addiction—An overview. Current Addiction Reports, 1(2),
84–90. https://doi.org/10.1007/s40429-014-0011-1
Appadurai, A. (1996). Modernity at large:
Cultural dimensions of globalization. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Berkowitz, M. W., & Bier, M. C. (2005). What
works in character education: A research-driven guide for educators. Character
Education Partnership. Retrieved from https://www.character.org
Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human
development: Experiments by nature and design. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Covey, S. R. (1989). The 7 habits of highly
effective people. New York: Free Press.
Freud, S. (1923). The ego and the id.
Standard Edition.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why
it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
Habitat for Humanity. (n.d.). Mission and vision.
Retrieved from https://www.habitat.org
Hofstede, G. (2001). Culture's consequences:
Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Ibn Sa’d. (n.d.). Kitab Al-Tabaqat Al-Kubra.
Beirut: Dar Sader.
Kasser, T., & Kanner, A. D. (2004). Psychology
and consumer culture: The struggle for a good life in a materialistic world.
Washington, DC: American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/10658-000
Lickona, T. (1991). Educating for character: How
our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.
Mandela, N. (1994). Long walk to freedom: The
autobiography of Nelson Mandela. New York: Little, Brown and Company.
Plomin, R., DeFries, J. C., Knopik, V. S., &
Neiderhiser, J. M. (2013). Behavioral genetics (6th ed.). Worth
Publishers.
Qur’an.
Seligman, M. E. P. (2004). Authentic happiness.
New York: Free Press.
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. (2002). Ar-Raheeq
Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah). Riyadh: Maktabah Darus Salam.
Sen, A. (1999). Development as freedom. New
York: Oxford University Press.
Twenge, J. M. (2017). iGen: Why today’s super-connected
kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happy–and completely
unprepared for adulthood. New York: Atria Books.
Uchino, B. N. (2004). Social support and
physical health: Understanding the health consequences of relationships.
New Haven, CT: Yale University Press.
Yousafzai, M., & Lamb, C. (2013). I am
Malala: The girl who stood up for education and was shot by the Taliban.
New York: Little, Brown and Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar