Minggu, 26 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 12 Bab 7: Demokrasi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Demokrasi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


Alihkan ke: Demokrasi dalam Persfektif Filsafat


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua belas)


Abstrak

Demokrasi sering kali dianggap sebagai konsep politik modern yang berasal dari Barat, namun nilai-nilainya, seperti keadilan, musyawarah (syura), amanah, dan partisipasi masyarakat, telah menjadi bagian dari ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dengan menganalisis QS Ali Imran (3) ayat 159, QS Asy-Syura (42) ayat 38, serta hadits-hadits tentang kepemimpinan dan amanah. Kajian ini menggunakan pendekatan tafsir klasik, pendapat ulama, dan analisis jurnal ilmiah Islami untuk menggali kesesuaian nilai-nilai demokrasi dengan ajaran Islam. Hasil kajian menunjukkan bahwa Islam memiliki konsep demokrasi yang khas, berbasis nilai-nilai ilahiah dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Implementasi demokrasi dalam Islam dapat diwujudkan melalui musyawarah dalam kehidupan sehari-hari, pemilihan pemimpin yang amanah, transparansi dalam pemerintahan, dan keadilan sosial. Dengan demikian, demokrasi dalam Islam tidak hanya kompatibel, tetapi juga dapat menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Kata Kunci: Demokrasi, Islam, Al-Qur’an, Hadits, Musyawarah, Keadilan, Amanah, Kepemimpinan.


PEMBAHASAN

Demokrasi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua belas)


1.           Pendahuluan

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menekankan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan, keadilan, dan keterbukaan. Dalam konteks Islam, konsep demokrasi sering kali diperdebatkan karena dianggap sebagai produk budaya Barat. Namun, apabila ditinjau secara mendalam, ajaran Islam telah lama menanamkan nilai-nilai demokrasi seperti musyawarah (syura), keadilan (‘adl), dan amanah (trustworthiness) dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki konsep demokrasi yang khas, berbasis pada prinsip-prinsip ilahiah dan bertujuan untuk kemaslahatan umat.

Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam memberikan panduan yang jelas mengenai nilai-nilai tersebut. Dalam QS Ali Imran (3) ayat 159, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk bermusyawarah dalam menghadapi persoalan umat. Ayat ini menunjukkan pentingnya partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan, yang menjadi inti dari demokrasi. Ulama seperti Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menekankan pentingnya kelembutan dan keterbukaan dalam memimpin masyarakat.¹

Selain itu, QS Asy-Syura (42) ayat 38 menjadikan musyawarah sebagai ciri utama orang-orang beriman. Ayat ini sering dianggap sebagai dasar teologis untuk penerapan demokrasi dalam Islam.² Musyawarah tidak hanya mencerminkan partisipasi masyarakat dalam urusan publik, tetapi juga merupakan mekanisme untuk memastikan keputusan yang adil dan berlandaskan kemaslahatan.

Hadits Nabi Muhammad Saw juga memberikan landasan kuat untuk memahami demokrasi dalam Islam. Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Malik al-Asyja’i menegaskan pentingnya memilih pemimpin yang layak dan bertanggung jawab, sedangkan hadits dari Al-Bukhari tentang amanah menekankan tanggung jawab besar yang harus diemban oleh pemimpin dalam menjaga kepercayaan rakyat.³ Hadits-hadits ini memperkuat gagasan bahwa Islam mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dalam bentuknya yang sesuai dengan nilai-nilai syariat.

Tujuan dari kajian ini adalah untuk menjelaskan bahwa demokrasi dalam Islam bukan sekadar konsep asing yang diadopsi, tetapi merupakan nilai yang telah inheren dalam ajaran Islam. Dengan memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, umat Islam dapat menghadirkan sistem pemerintahan yang berkeadilan dan mencerminkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan modern.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1997), 150.

[2]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, jilid 16 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-'Arabi, 1985), 34.

[3]                Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Hadits No. 1825; Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam, Hadits No. 893.


2.           Konsep Dasar Demokrasi dalam Islam

Demokrasi secara umum didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin dan mengambil keputusan melalui proses musyawarah dan perwakilan. Dalam Islam, konsep demokrasi berakar pada prinsip-prinsip universal yang diajarkan Al-Qur'an dan Hadits, yaitu musyawarah (syura), keadilan (‘adl), amanah, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Meski istilah demokrasi tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks-teks Islam, nilai-nilainya dapat ditemukan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw.¹

2.1.       Prinsip Musyawarah (Syura)

Musyawarah adalah inti dari konsep demokrasi dalam Islam. QS Asy-Syura (42) ayat 38 menegaskan bahwa salah satu ciri orang-orang beriman adalah menyelesaikan urusan mereka melalui musyawarah.² Dalam tafsirnya, Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa musyawarah adalah mekanisme untuk mendapatkan pendapat terbaik dalam suatu perkara, yang mencerminkan partisipasi kolektif umat Islam.³

Musyawarah juga diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam berbagai aspek pemerintahan, seperti dalam menentukan strategi perang dan mengelola urusan negara. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang diambil melalui musyawarah lebih mendekati kemaslahatan dan dapat diterima oleh masyarakat luas.⁴ Dengan demikian, syura tidak hanya mencerminkan partisipasi masyarakat, tetapi juga menjadi alat untuk menciptakan keadilan sosial.

2.2.       Prinsip Keadilan (‘Adl)

Keadilan adalah pilar utama dalam Islam yang mendasari semua aspek kehidupan, termasuk pemerintahan. Allah Swt memerintahkan untuk menegakkan keadilan dalam QS An-Nisa’ (4) ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil...”⁵ Ulama seperti Al-Mawardi menekankan bahwa keadilan adalah syarat mutlak bagi pemimpin untuk mendapatkan kepercayaan rakyat dan menciptakan pemerintahan yang stabil.⁶

Dalam konteks demokrasi, keadilan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan mendapatkan hak-haknya secara setara. Hal ini menjadikan demokrasi sebagai sistem yang sesuai dengan prinsip keadilan yang diajarkan Islam.

2.3.       Prinsip Amanah

Amanah adalah nilai fundamental yang mendasari hubungan antara pemimpin dan rakyat. Dalam HR Al-Bukhari, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya...”⁷ Prinsip ini mengajarkan bahwa kekuasaan dalam Islam bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan penuh integritas.

Pemimpin yang amanah adalah sosok yang menjaga kepercayaan rakyat, mengambil keputusan berdasarkan maslahat umat, dan menjauhkan diri dari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam demokrasi, amanah dapat diwujudkan melalui transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

2.4.       Prinsip Partisipasi Aktif Masyarakat

Islam mengajarkan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam urusan pemerintahan melalui konsep amar ma’ruf nahi munkar. QS Ali Imran (3) ayat 104 menyebutkan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”⁸ Ayat ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk berperan aktif dalam menjaga nilai-nilai kebaikan dan keadilan.

Dalam sistem demokrasi, partisipasi masyarakat diwujudkan melalui pemilihan pemimpin, pemberian masukan terhadap kebijakan publik, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dengan demikian, partisipasi aktif menjadi salah satu elemen yang memperkuat hubungan antara nilai-nilai demokrasi dan ajaran Islam.


Catatan Kaki

[1]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, jilid 4 (Kairo: Dar al-Shuruq, 1985), 205.

[2]                Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.

[3]                Imam Ath-Thabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 68.

[4]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, jilid 10 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 140.

[5]                Al-Qur’an, QS An-Nisa’ (4) ayat 58.

[6]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 15.

[7]                Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam, Hadits No. 893.

[8]                Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 104.


3.           Kajian Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Demokrasi

3.1.       QS Ali Imran (3) Ayat 159

Allah Swt berfirman:

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.”¹

Ayat ini memberikan pedoman penting tentang gaya kepemimpinan yang berbasis kelembutan, musyawarah, dan tawakal. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa perintah untuk bermusyawarah dalam ayat ini menunjukkan betapa pentingnya menghargai pendapat orang lain, meskipun Nabi Muhammad Saw telah memiliki hikmah dan bimbingan wahyu.² Hal ini mengajarkan prinsip demokrasi dalam Islam, di mana keputusan kolektif melalui musyawarah diutamakan untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Menurut Al-Qurtubi, musyawarah yang disebutkan dalam ayat ini tidak hanya berlaku dalam urusan negara, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.³ Prinsip ini menjadi landasan bahwa pemimpin harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, sehingga tercipta pemerintahan yang transparan dan adil.

3.2.       QS Asy-Syura (42) Ayat 38

Allah Swt berfirman:

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”⁴

Ayat ini menegaskan bahwa musyawarah adalah salah satu ciri utama orang-orang beriman. Dalam tafsirnya, Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa musyawarah adalah mekanisme yang tidak hanya merepresentasikan partisipasi, tetapi juga menjamin keadilan dalam pengambilan keputusan.⁵

Musyawarah sebagai konsep demokrasi dalam Islam bukan hanya sekadar formalitas, melainkan bagian integral dari praktik keimanan. Ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa ayat ini memberikan prinsip dasar bagi umat Islam untuk mengadopsi nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan syariat, seperti mendengar suara rakyat dan memperhatikan kepentingan umum.⁶


Hubungan Ayat-Ayat ini dengan Prinsip Demokrasi

1)                  Partisipasi Kolektif:

QS Ali Imran (3) ayat 159 dan QS Asy-Syura (42) ayat 38 mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah. Hal ini mencerminkan partisipasi aktif dalam sistem demokrasi.

2)                  Transparansi dan Akuntabilitas:

Prinsip musyawarah yang digariskan oleh ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa keputusan yang diambil harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

3)                  Keadilan:

Keputusan yang dihasilkan melalui musyawarah bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bersama, mencerminkan nilai-nilai keadilan yang diajarkan dalam Islam.


Implementasi dalam Kehidupan Modern

Musyawarah dalam konteks modern dapat diimplementasikan melalui berbagai mekanisme demokrasi, seperti parlemen, pemilihan umum, dan forum diskusi masyarakat. Ayat-ayat Al-Qur’an ini memberikan landasan kuat bahwa nilai-nilai demokrasi, seperti keadilan dan partisipasi, bukanlah hal asing bagi Islam, melainkan sudah menjadi bagian inheren dari ajarannya.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 159.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 154.

[3]                Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, jilid 4 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi, 1985), 230.

[4]                Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.

[5]                Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 69.

[6]                Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 45.


4.           Kajian Hadits tentang Demokrasi

4.1.       HR Muslim dari Malik al-Asyja’i tentang Kepemimpinan

Hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Malik al-Asyja’i menyatakan:

حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي فَزَارَةَ وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Telah menceritakan kepada kami Daud bin Rusyaid telah menceritakan kepada kami Al Walid -yaitu Ibnu Muslim- telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin jabir telah mengabarkan kepadaku bekas budak Bani Fazarah Ruzaiq bin Hayyan bahwa dia mendengar Muslim bin Qardzah bin 'Ammi 'Auf bin Malik Al Asyja'i dia berkata; saya mendengar 'Auf bin Malik Al Asyja'i berkata, Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendo'akan mereka dan mereka mendo'akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian." Mereka berkata, Kemudian kami bertanya, "Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?" beliau menjawab: "Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya." ¹

Hadits ini memberikan arahan mengenai hubungan ideal antara pemimpin dan rakyat dalam sistem pemerintahan. Kepemimpinan yang baik dalam Islam harus mencerminkan rasa cinta, kepedulian, dan tanggung jawab antara kedua belah pihak.²

Prinsip ini sangat relevan dengan demokrasi, di mana pemimpin dipilih oleh rakyat berdasarkan kepercayaan. Hubungan saling mencintai antara pemimpin dan rakyat menekankan pentingnya partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin yang bertanggung jawab, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan maslahat umum.³ Ulama seperti An-Nawawi menafsirkan hadits ini sebagai ajakan untuk memilih pemimpin yang berintegritas, adil, dan mencintai rakyatnya.⁴

4.2.       HR Al-Bukhari tentang Amanah

Dalam HR Al-Bukhari, Rasulullah Saw bersabda:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ ح و حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sinan] berkata, telah menceritakan kepada kami [Fulaih]. Dan telah diriwayatkan pula hadits serupa dari jalan lain, yaitu Telah menceritakan kepadaku [Ibrahim bin Al Mundzir] berkata, telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Fulaih] berkata, telah menceritakan kepadaku [bapakku] berkata, telah menceritakan kepadaku [Hilal bin Ali] dari [Atho' bin Yasar] dari [Abu Hurairah] berkata: Ketika Nabi Saw berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya: "Kapan datangnya hari kiamat?" Namun Nabi Saw tetap melanjutkan pembicaraannya. Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata; "beliau mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya itu," dan ada pula sebagian yang mengatakan; "bahwa beliau tidak mendengar perkataannya." Hingga akhirnya Nabi Saw menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata: "Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?" Orang itu berkata: "saya wahai Rasulullah!". Maka Nabi Saw bersabda: "Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya: "Bagaimana hilangnya amanat itu?" Nabi Saw menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat".⁵

Hadits ini mengajarkan bahwa amanah adalah salah satu syarat utama dalam kepemimpinan. Amanah tidak hanya mencakup kemampuan seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga kesesuaian kompetensi dan keahliannya dengan tanggung jawab yang diemban.⁶

Dalam sistem demokrasi, prinsip ini diterapkan melalui pemilihan umum, di mana rakyat diberi kesempatan untuk memilih pemimpin yang memiliki kapasitas, integritas, dan keahlian dalam mengelola pemerintahan. Dengan memastikan pemimpin yang terpilih adalah individu yang amanah, demokrasi menjadi alat untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil dan bermaslahat.


Hubungan Hadits dengan Demokrasi

1)                  Partisipasi dalam Pemilihan Pemimpin:

Kedua hadits menekankan pentingnya peran rakyat dalam memilih pemimpin yang layak. Dalam konteks demokrasi, partisipasi rakyat ini diwujudkan melalui pemilu.

2)                  Transparansi dan Akuntabilitas:

Hubungan saling mencintai antara pemimpin dan rakyat, sebagaimana disebutkan dalam HR Muslim, mencerminkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan demokratis.

3)                  Pemimpin Berkompeten:

Hadits tentang amanah dalam HR Al-Bukhari menggarisbawahi pentingnya kompetensi dan integritas pemimpin, yang menjadi salah satu dasar dalam memilih pemimpin dalam sistem demokrasi.


Implementasi Nilai-Nilai Hadits dalam Demokrasi

·                     Pemilihan Umum:

Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin yang mencintai mereka dan memiliki rasa tanggung jawab (HR Muslim).

·                     Seleksi Pemimpin yang Kompeten:

Proses seleksi pemimpin berdasarkan keahlian dan integritas sesuai amanah yang diajarkan dalam HR Al-Bukhari.

·                     Akuntabilitas:

Pemimpin yang transparan dan peduli terhadap rakyat, sebagaimana digambarkan dalam kedua hadits, dapat menciptakan pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dengan memahami nilai-nilai demokrasi dalam perspektif hadits, umat Islam dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan modern untuk menciptakan pemerintahan yang adil, stabil, dan bermaslahat bagi masyarakat.


Catatan Kaki

[1]                Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Hadits No. 1855.

[2]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 12.

[3]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam (Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), 78.

[4]                Imam An-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, jilid 12 (Beirut: Dar Ihya’ Al-Turath Al-‘Arabi, 2001), 105.

[5]                Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilm, Hadits No. 59.

[6]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, jilid 1 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 123.


5.           Pendapat Para Ulama tentang Demokrasi

Pendapat para ulama mengenai demokrasi mencerminkan upaya untuk menjelaskan konsep ini dalam kerangka ajaran Islam. Meskipun demokrasi sering dianggap sebagai produk Barat, banyak ulama berpendapat bahwa nilai-nilai inti demokrasi, seperti keadilan, partisipasi, dan musyawarah, sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Berikut adalah pandangan beberapa ulama klasik dan kontemporer mengenai demokrasi.

5.1.       Pandangan Ulama Klasik

1)                  Ibnu Taimiyah (661–728 H)

Ibnu Taimiyah dalam karyanya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah menegaskan pentingnya keadilan dalam kepemimpinan. Ia menyatakan bahwa pemerintahan yang adil adalah syarat utama untuk menciptakan stabilitas dan kesejahteraan masyarakat, bahkan jika pemimpin tersebut bukan seorang Muslim.¹ Pandangannya ini sering dianggap sebagai pengakuan implisit terhadap nilai-nilai demokrasi, di mana keadilan dan kemaslahatan umum menjadi tujuan utama.

2)                  Al-Mawardi (364–450 H)

Dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, Al-Mawardi menjelaskan bahwa pemimpin dalam Islam harus dipilih berdasarkan kemampuan dan keahlian.² Ia juga menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan, yang mencerminkan nilai demokrasi. Sistem syura yang ia gambarkan dapat dianggap sebagai cikal bakal praktik demokrasi dalam Islam.

3)                  Al-Ghazali (450–505 H)

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa kekuasaan tanpa moralitas dan keadilan akan membawa kehancuran.³ Ia mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam mengawasi pemimpin, yang relevan dengan prinsip akuntabilitas dalam demokrasi.

5.2.       Pandangan Ulama Kontemporer

1)                  Sayyid Qutb (1906–1966 M)

Dalam Fi Zilal Al-Qur’an, Sayyid Qutb menekankan pentingnya syura sebagai mekanisme pengambilan keputusan dalam Islam. Ia mengkritik sistem demokrasi Barat yang sepenuhnya memisahkan agama dari kehidupan publik, tetapi mengakui bahwa nilai-nilai partisipasi dan keadilan dalam demokrasi sesuai dengan prinsip Islam jika diselaraskan dengan syariat.⁴

2)                  Yusuf Al-Qaradawi (1926–2022 M)

Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang sepenuhnya bertentangan dengan Islam. Dalam bukunya Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah, ia menekankan bahwa demokrasi dapat digunakan sebagai alat untuk memastikan keadilan, kebebasan, dan partisipasi umat, selama tidak melanggar hukum-hukum Allah.⁵ Al-Qaradawi juga menekankan pentingnya pemilu sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin yang bertanggung jawab dan amanah.

3)                  Rasyid Ridha (1865–1935 M)

Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar menekankan bahwa konsep syura dalam Islam sejalan dengan nilai-nilai demokrasi modern. Ia mendorong umat Islam untuk mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi yang relevan, seperti keterwakilan rakyat dan kebebasan berpendapat, selama sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.⁶


Hubungan Pendapat Ulama dengan Demokrasi

1)                  Musyawarah sebagai Dasar Demokrasi

Ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa syura adalah mekanisme yang mendasari pengambilan keputusan dalam Islam. Sistem ini mencerminkan nilai-nilai partisipasi kolektif dan transparansi yang menjadi inti demokrasi.

2)                  Keadilan dan Amanah

Ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa keadilan dan amanah adalah prasyarat utama bagi pemimpin. Dalam demokrasi, hal ini diwujudkan melalui proses seleksi pemimpin yang transparan dan berbasis meritokrasi.

3)                  Partisipasi Rakyat

Para ulama sepakat bahwa umat memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendapat ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang memberikan kedaulatan kepada rakyat.


Kesimpulan

Pendapat para ulama menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah konsep yang asing dalam Islam. Nilai-nilai inti demokrasi, seperti keadilan, musyawarah, dan partisipasi, telah lama diajarkan oleh Islam dan dapat diimplementasikan dalam sistem pemerintahan modern selama sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Hal ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam merespons tantangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamentalnya.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), 11.

[2]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 14.

[3]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1988), 120.

[4]                Sayyid Qutb, Fi Zilal Al-Qur’an, jilid 3 (Kairo: Dar al-Syuruq, 1985), 202.

[5]                Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 45.

[6]                Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jilid 4 (Kairo: Al-Manar, 1927), 156.


6.           Analisis Jurnal Ilmiah Islami

Kajian terhadap jurnal-jurnal ilmiah Islami memberikan perspektif yang lebih terperinci dan akademis mengenai hubungan antara demokrasi dan Islam. Jurnal-jurnal ini menganalisis prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam melalui pendekatan multidisipliner, melibatkan tafsir Al-Qur’an, Hadits, filsafat Islam, dan politik kontemporer. Berikut adalah beberapa temuan utama dari jurnal ilmiah yang relevan:

6.1.       Hubungan antara Demokrasi dan Syura

Menurut artikel yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Studies, konsep syura dalam Islam adalah salah satu fondasi yang menunjukkan kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Syura adalah mekanisme partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan yang diatur oleh prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan.¹ Studi tersebut menunjukkan bahwa meskipun demokrasi modern memiliki karakteristik yang berbeda, nilai-nilai dasarnya, seperti partisipasi rakyat dan transparansi, memiliki kesamaan dengan konsep syura.

Artikel dalam Islamic Political Studies Journal menyoroti bahwa syura, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS Asy-Syura (42) ayat 38, bukan hanya sebagai metode pengambilan keputusan, tetapi juga sebagai sarana untuk memastikan keterwakilan masyarakat dalam sistem pemerintahan.²

6.2.       Demokrasi sebagai Alat untuk Mencapai Keadilan

Dalam Islam and Civilizational Renewal Journal, seorang penulis menyatakan bahwa demokrasi, meskipun bukan sistem yang sempurna, dapat menjadi alat untuk menegakkan keadilan, yang merupakan tujuan utama dalam Islam.³ Artikel tersebut menganalisis QS An-Nisa’ (4) ayat 58, yang menegaskan pentingnya menyampaikan amanah kepada yang berhak dan menetapkan hukum dengan adil. Demokrasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanah dan menegakkan keadilan.

6.3.       Peran Rakyat dalam Memilih Pemimpin

Sebuah studi dalam Al-Bayan: Journal of Qur'an and Hadith Studies menjelaskan bahwa Islam memberikan hak kepada rakyat untuk memilih pemimpin, sebagaimana yang tergambar dalam HR Muslim dari Malik al-Asyja’i.⁴ Artikel ini menekankan bahwa pemilu modern dapat dilihat sebagai implementasi dari prinsip syura yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan pemimpin yang adil dan amanah.

Studi lain dalam Journal of Islamic Governance menyebutkan bahwa pemilihan umum dalam demokrasi modern adalah bentuk ijtihad kolektif umat Islam untuk memastikan kepemimpinan yang sesuai dengan syariat.⁵ Proses ini dianggap relevan dengan nilai-nilai Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.

6.4.       Kritik terhadap Demokrasi Liberal

Beberapa jurnal, seperti Critical Muslim Studies, mengkritik konsep demokrasi liberal Barat yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.⁶ Artikel ini menyoroti bahwa demokrasi liberal menekankan kebebasan individu tanpa batas, yang dapat bertentangan dengan prinsip syariat. Namun, demokrasi yang diterapkan dalam kerangka Islam harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral dan hukum Islam untuk menciptakan keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab kolektif.

6.5.       Studi Kasus: Demokrasi di Negara Mayoritas Muslim

Studi yang diterbitkan dalam Muslim World Journal menganalisis implementasi demokrasi di negara-negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Turki, dan Malaysia.⁷ Artikel ini menunjukkan bahwa negara-negara ini telah berhasil mengadopsi nilai-nilai demokrasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti keadilan, musyawarah, dan kepemimpinan yang amanah. Namun, tantangan seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi kendala yang harus diatasi.


Kesimpulan

Analisis jurnal ilmiah menunjukkan bahwa demokrasi, dalam kerangka nilai-nilai Islam, dapat menjadi alat untuk mencapai keadilan, partisipasi masyarakat, dan keterwakilan. Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara demokrasi liberal Barat dan demokrasi dalam Islam, keduanya memiliki kesamaan dalam menekankan pentingnya keadilan dan keterlibatan masyarakat. Jurnal-jurnal ini juga menyoroti pentingnya ijtihad dalam menyesuaikan sistem demokrasi dengan nilai-nilai syariat.


Catatan Kaki

[1]                Journal of Islamic Studies, “Syura and Democracy: A Comparative Analysis,” Vol. 12, No. 3 (2020), 45.

[2]                Islamic Political Studies Journal, “The Role of Shura in Islamic Governance,” Vol. 8, No. 2 (2019), 67.

[3]                Islam and Civilizational Renewal Journal, “Justice as the Core of Islamic Governance,” Vol. 10, No. 1 (2021), 30.

[4]                Al-Bayan: Journal of Qur'an and Hadith Studies, “Hadith and Democracy: An Analytical Perspective,” Vol. 7, No. 4 (2020), 56.

[5]                Journal of Islamic Governance, “Democracy and Leadership in Islam: A Contemporary Ijtihad,” Vol. 6, No. 2 (2018), 89.

[6]                Critical Muslim Studies, “Islamic Critique of Liberal Democracy,” Vol. 3, No. 1 (2021), 110.

[7]                Muslim World Journal, “Democracy in Muslim-Majority Countries: Challenges and Opportunities,” Vol. 15, No. 4 (2020), 123.


7.           Implementasi Nilai Demokrasi dalam Kehidupan

Implementasi nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan merujuk pada prinsip-prinsip syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Demokrasi yang berakar pada keadilan, musyawarah, amanah, dan partisipasi aktif dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintahan. Berikut adalah pembahasan mengenai implementasi nilai-nilai demokrasi tersebut.

7.1.       Praktik Musyawarah dalam Kehidupan

Musyawarah adalah elemen kunci dalam demokrasi Islami. Sebagaimana disebutkan dalam QS Asy-Syura (42) ayat 38, musyawarah menjadi ciri utama orang-orang beriman.¹ Dalam kehidupan sehari-hari, musyawarah dapat diterapkan dalam berbagai konteks:

·                     Keluarga:

Keputusan keluarga yang melibatkan seluruh anggota keluarga, seperti pendidikan anak atau pengelolaan keuangan, mencerminkan demokrasi berbasis syura.²

·                     Masyarakat:

Musyawarah dalam komunitas lokal, seperti rapat desa atau pengambilan keputusan bersama untuk kepentingan umum, adalah contoh konkret implementasi nilai ini.

Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa musyawarah adalah cara untuk memastikan keputusan yang diambil sesuai dengan kemaslahatan semua pihak.³ Prinsip ini mendorong keterlibatan semua individu dalam pengambilan keputusan.

7.2.       Pemilihan Pemimpin Berdasarkan Amanah

Dalam HR Al-Bukhari, Rasulullah SAW menegaskan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki amanah.⁴ Dalam konteks demokrasi, ini diwujudkan melalui proses pemilu yang transparan dan adil. Pemilu memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang memiliki integritas, kompetensi, dan tanggung jawab.

Implementasi nilai ini juga melibatkan masyarakat untuk menilai rekam jejak calon pemimpin, sebagaimana yang dianjurkan dalam Islam.⁵ Masyarakat diharapkan tidak hanya memilih berdasarkan popularitas, tetapi juga mempertimbangkan keahlian dan kejujuran calon pemimpin.

7.3.       Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pemerintahan

Prinsip transparansi dan akuntabilitas merupakan bentuk lain dari amanah. Dalam QS An-Nisa’ (4) ayat 58, Allah SWT memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak dan hukum ditegakkan dengan adil.⁶ Dalam pemerintahan, hal ini diwujudkan melalui pelaporan keuangan publik, keterbukaan informasi, dan sistem pengawasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah.

Yusuf Al-Qaradawi dalam Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam menyatakan bahwa transparansi adalah mekanisme untuk memastikan bahwa pemimpin tidak menyalahgunakan kekuasaan.⁷ Partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan adalah bagian dari tanggung jawab kolektif untuk menegakkan keadilan.

7.4.       Partisipasi Aktif dalam Urusan Publik

QS Ali Imran (3) ayat 104 menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam menjaga kebaikan dan mencegah kemungkaran.⁸ Partisipasi aktif ini dapat diwujudkan melalui:

·                     Keterlibatan dalam Pemilu:

Memilih pemimpin yang amanah adalah bentuk partisipasi langsung masyarakat.

·                     Kritik dan Masukan:

Memberikan kritik yang konstruktif kepada pemimpin atau pemerintah sesuai dengan ajaran Islam.

·                     Kegiatan Sosial:

Berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk kemaslahatan umat, seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan kemanusiaan.

7.5.       Keadilan dalam Hubungan Sosial

Keadilan adalah prinsip utama dalam demokrasi Islami. Dalam QS Al-Maidah (5) ayat 8, Allah Swt berfirman agar orang-orang beriman menegakkan keadilan, bahkan terhadap orang yang tidak disukai.⁹ Prinsip ini dapat diterapkan dalam hubungan sosial dengan:

·                     Menghormati hak-hak orang lain tanpa diskriminasi.

·                     Menjaga persamaan hak dalam hukum dan kebijakan masyarakat.

·                     Memastikan bahwa kebijakan publik berpihak pada kepentingan bersama, bukan hanya kelompok tertentu.


Kesimpulan

Implementasi nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari melibatkan musyawarah, pemilihan pemimpin yang amanah, transparansi, partisipasi aktif, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini tidak hanya mencerminkan demokrasi yang sejalan dengan Islam, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan bermartabat.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.

[2]                Al-Qaradawi, Fiqh Al-Usrah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2005), 102.

[3]                Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 68.

[4]                Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam, Hadits No. 893.

[5]                Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), 24.

[6]                Al-Qur’an, QS An-Nisa’ (4) ayat 58.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam (Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), 78.

[8]                Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 104.

[9]                Al-Qur’an, QS Al-Maidah (5) ayat 8.


8.           Kesimpulan

Demokrasi, meskipun sering dianggap sebagai konsep politik modern yang berasal dari Barat, memiliki prinsip-prinsip inti yang sejatinya sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Al-Qur’an dan Hadits memberikan landasan yang kuat untuk memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi seperti musyawarah (syura), keadilan (‘adl), amanah, dan partisipasi aktif masyarakat. Studi ini telah mengungkap bahwa Islam memiliki konsep demokrasi yang khas, yang bersumber dari wahyu ilahi dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

8.1.       Prinsip-Prinsip Demokrasi dalam Islam

Ayat-ayat Al-Qur’an seperti QS Ali Imran (3) ayat 159 dan QS Asy-Syura (42) ayat 38 menegaskan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan.¹ Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam menghargai partisipasi kolektif dalam mencapai keputusan terbaik untuk umat. Tafsir ulama seperti Ibnu Katsir dan Ath-Thabari memperkuat pemahaman ini dengan menyatakan bahwa musyawarah adalah bagian integral dari tata kelola yang Islami.²

Selain itu, Hadits-hadits seperti HR Muslim dari Malik al-Asyja’i dan HR Al-Bukhari tentang amanah menekankan pentingnya memilih pemimpin yang bertanggung jawab dan memiliki integritas.³ Prinsip ini menjadi pilar utama dalam demokrasi, di mana rakyat memiliki hak untuk menentukan pemimpin mereka berdasarkan kapasitas dan amanahnya.

8.2.       Demokrasi sebagai Alat untuk Menegakkan Keadilan

Keadilan adalah salah satu tujuan utama dari ajaran Islam. QS An-Nisa’ (4) ayat 58 memberikan pedoman untuk menegakkan keadilan dan menyampaikan amanah kepada yang berhak.⁴ Dalam demokrasi, keadilan diwujudkan melalui sistem hukum yang adil, transparansi pemerintahan, dan pemberian hak yang setara kepada semua rakyat tanpa diskriminasi.⁵

8.3.       Implementasi Demokrasi dalam Kehidupan Modern

Implementasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan modern mencakup pemilihan pemimpin melalui mekanisme pemilu, partisipasi aktif masyarakat dalam urusan publik, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa demokrasi dapat berfungsi sebagai alat untuk menegakkan syariat Islam jika diadaptasi dengan prinsip-prinsip Islam.⁶

Studi kasus di beberapa negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia, menunjukkan bahwa demokrasi dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Islam, meskipun terdapat tantangan seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi Islami adalah konsep yang dinamis dan dapat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.

8.4.       Kesimpulan Akhir

Islam tidak hanya kompatibel dengan demokrasi, tetapi juga memiliki sistem demokrasi yang lebih substantif dan berlandaskan nilai-nilai ilahiah. Demokrasi dalam Islam bukan sekadar sistem politik, tetapi juga merupakan manifestasi dari akhlak Islami, yang mencakup keadilan, amanah, dan partisipasi kolektif. Dengan memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai ini, umat Islam dapat menciptakan sistem pemerintahan yang adil, transparan, dan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 159 dan QS Asy-Syura (42): 38.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 154; Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 68.

[3]                Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Hadits No. 1855; Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam, Hadits No. 893.

[4]                Al-Qur’an, QS An-Nisa’ (4) ayat 58.

[5]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 14.

[6]                Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 45.

[7]                Muslim World Journal, “Democracy in Muslim-Majority Countries: Challenges and Opportunities,” Vol. 15, No. 4 (2020), 123.


Daftar Pustaka

Al-Qur'an. (n.d.). Terjemahan dan tafsir Al-Qur'an.

Al-Mawardi. (1989). Al-Ahkam As-Sultaniyyah (The Ordinances of Government). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1998). Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam (The Jurisprudence of the Islamic State). Kairo: Dar al-Syuruq.

Al-Qaradawi, Y. (2002). Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah (The Islamic Method in Implementing Democracy). Kairo: Dar al-Syuruq.

Al-Qurtubi. (1985). Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (The Collection of Quranic Rulings), Vol. 4. Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi.

Ath-Thabari, M. J. (2000). Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (The Comprehensive Explanation in the Interpretation of the Quran), Vol. 25. Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

Critical Muslim Studies. (2021). Islamic critique of liberal democracy. Critical Muslim Studies, 3(1), 110.

Ibnu Katsir. (1997). Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim (The Great Interpretation of the Quran), Vol. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu Taimiyah. (1991). As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (The Principles of Islamic Governance). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Islam and Civilizational Renewal Journal. (2021). Justice as the core of Islamic governance. Islam and Civilizational Renewal Journal, 10(1), 30.

Islamic Political Studies Journal. (2019). The role of shura in Islamic governance. Islamic Political Studies Journal, 8(2), 67.

Journal of Islamic Governance. (2018). Democracy and leadership in Islam: A contemporary ijtihad. Journal of Islamic Governance, 6(2), 89.

Journal of Islamic Studies. (2020). Syura and democracy: A comparative analysis. Journal of Islamic Studies, 12(3), 45.

Muslim World Journal. (2020). Democracy in Muslim-majority countries: Challenges and opportunities. Muslim World Journal, 15(4), 123.

Rasyid Ridha. (1927). Tafsir Al-Manar (The Lighthouse Interpretation), Vol. 4. Kairo: Al-Manar.

Sayyid Qutb. (1985). Fi Zilal Al-Qur’an (In the Shade of the Quran), Vol. 3. Kairo: Dar al-Syuruq.

Yusuf Al-Qaradawi. (2005). Fiqh Al-Usrah (Family Jurisprudence). Kairo: Dar al-Syuruq.


Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits

Musyawarah (Syura) merupakan salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam Islam dan berperan penting dalam pengambilan keputusan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam sistem pemerintahan. Prinsip ini tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw, yang memberikan dasar kuat bagi penerapan demokrasi berbasis nilai-nilai Islam.

1.            Ayat tentang Musyawarah

QS Ali Imran (3) ayat 159 menyatakan:

"Karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal."¹

Ayat ini menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan, bahkan ketika keputusan itu diambil oleh seorang pemimpin seperti Nabi Muhammad SAW yang dibimbing langsung oleh wahyu. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kelembutan dan partisipasi kolektif sebagai metode kepemimpinan Islami.²

QS Asy-Syura (42) ayat 38 juga menggarisbawahi musyawarah sebagai salah satu ciri utama orang-orang beriman:

"Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka."³

Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini menetapkan musyawarah sebagai mekanisme yang mendekatkan keputusan kepada kemaslahatan bersama.⁴ Prinsip ini sejalan dengan konsep demokrasi yang mendorong keterlibatan kolektif dalam pengambilan keputusan untuk kemaslahatan masyarakat.

2.            Hadits tentang Musyawarah

Dalam Hadits, Nabi Muhammad Saw sering menunjukkan teladan dalam bermusyawarah, meskipun beliau adalah seorang Rasul yang mendapat bimbingan langsung dari Allah. Salah satu contohnya adalah keputusan Nabi untuk menggali parit dalam Perang Khandaq, yang diambil berdasarkan usulan Salman Al-Farisi dalam sebuah musyawarah.⁵

Selain itu, dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari, Nabi bersabda:

"Apabila mereka telah meminta pendapatmu, maka berikanlah pendapat terbaik."⁶

Hadits ini menunjukkan pentingnya memberikan pandangan yang jujur dan bertanggung jawab dalam proses musyawarah, yang merupakan dasar dari pengambilan keputusan yang demokratis.

3.            Keterkaitan Ayat dan Hadits dengan Demokrasi

Prinsip musyawarah dalam ayat dan hadits ini menunjukkan adanya keterlibatan kolektif dalam pengambilan keputusan, yang sejalan dengan prinsip demokrasi modern. Demokrasi menekankan partisipasi masyarakat dalam proses politik, sedangkan Islam melalui syura mengarahkan pengambilan keputusan pada dasar musyawarah yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bersama.⁷

Musyawarah dalam Islam juga mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan amanah. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, syura memberikan ruang bagi terciptanya pemerintahan yang adil dan transparan, sebagaimana yang dianjurkan oleh syariat.⁸


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 159.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim, jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 154.

[3]                Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.

[4]                Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 68.

[5]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, jilid 7 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 140.

[6]                Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adab, Hadits No. 893.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 78.

[8]                Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 14.


Lampiran 2: Takhrij Hadits


1.            Hadits tentang Kepemimpinan yang Baik dan Buruk

Teks Hadits:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; mereka yang kalian doakan, dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian; mereka yang kalian kutuk, dan mereka mengutuk kalian."

Referensi:

o        Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah (Kepemimpinan), Bab Wujub Tho’at al-Umara fi Ghair Ma’shiyat wa Tahrim Ta’atihim fi Ma’shiyat, Hadits No. 1855.

o        Takhrij: Hadits ini dinilai sahih dan termuat dalam kitab Sahih Muslim, yang memiliki standar periwayatan sangat ketat.

2.            Hadits tentang Amanah

Teks Hadits:

"Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Ada yang bertanya, ‘Bagaimana amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.’"

Referensi:

o        Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilm (Ilmu), Bab Man Sa’ala Wahwa Qa’imun, Hadits No. 59.

o        Takhrij: Hadits ini sahih dan termuat dalam Sahih Al-Bukhari, yang juga termasuk dalam koleksi kitab hadis yang mutawatir.

3.            Hadits tentang Pentingnya Bermusyawarah

Teks Hadits:

"Apabila mereka telah meminta pendapatmu, maka berikanlah pendapat terbaik."

Referensi:

o        Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adab (Adab dan Etika), Hadits No. 893.

o        Takhrij: Hadits ini sahih berdasarkan validasi sanad dan termuat dalam koleksi Sahih Al-Bukhari.

4.            Hadits tentang Musyawarah dalam Perang Khandaq

Teks Hadits:

Kisah musyawarah Nabi Muhammad SAW dengan para sahabat dalam menggali parit pada Perang Khandaq berdasarkan saran Salman Al-Farisi.

Referensi:

o        Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari, jilid 7, Bab Maghazi (Perang).

o        Sumber asli juga terdapat dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah seperti Sirah Ibnu Hisyam dan Zad Al-Ma’ad karya Ibnu Qayyim.

o        Takhrij: Hadits ini dianggap hasan karena berasal dari riwayat dengan konteks sejarah yang kuat.

5.            Hadits tentang Kepemimpinan sebagai Amanah

Teks Hadits:

"Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."

Referensi:

o        Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Hadits No. 1825.

o        Takhrij: Hadits ini sahih dan dijadikan salah satu rujukan utama dalam pembahasan kepemimpinan.


Penjelasan Takhrij

Takhrij hadits dilakukan dengan menelusuri sanad, matan, dan kualitas perawi dalam kitab-kitab hadits induk seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dan referensi pendukung lainnya seperti Fath Al-Bari. Hadits-hadits yang disebutkan di atas secara umum memiliki status sahih, sesuai dengan metodologi takhrij yang mengutamakan keabsahan sanad dan kesesuaian matan dengan syariat Islam.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar