Demokrasi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
12 (Dua belas)
Abstrak
Demokrasi sering kali dianggap sebagai konsep
politik modern yang berasal dari Barat, namun nilai-nilainya, seperti keadilan,
musyawarah (syura), amanah, dan partisipasi masyarakat, telah menjadi
bagian dari ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dengan menganalisis
QS Ali Imran (3) ayat 159, QS Asy-Syura (42) ayat 38, serta hadits-hadits
tentang kepemimpinan dan amanah. Kajian ini menggunakan pendekatan tafsir
klasik, pendapat ulama, dan analisis jurnal ilmiah Islami untuk menggali
kesesuaian nilai-nilai demokrasi dengan ajaran Islam. Hasil kajian menunjukkan
bahwa Islam memiliki konsep demokrasi yang khas, berbasis nilai-nilai ilahiah
dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Implementasi demokrasi dalam Islam
dapat diwujudkan melalui musyawarah dalam kehidupan sehari-hari, pemilihan
pemimpin yang amanah, transparansi dalam pemerintahan, dan keadilan sosial.
Dengan demikian, demokrasi dalam Islam tidak hanya kompatibel, tetapi juga
dapat menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kata Kunci: Demokrasi, Islam, Al-Qur’an, Hadits, Musyawarah,
Keadilan, Amanah, Kepemimpinan.
PEMBAHASAN
Demokrasi dalam Perspektif
Al-Qur’an dan Hadits
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
12 (Dua belas)
1.
Pendahuluan
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang
menekankan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan, keadilan, dan
keterbukaan. Dalam konteks Islam, konsep demokrasi sering kali diperdebatkan
karena dianggap sebagai produk budaya Barat. Namun, apabila ditinjau secara
mendalam, ajaran Islam telah lama menanamkan nilai-nilai demokrasi seperti
musyawarah (syura), keadilan (‘adl), dan amanah (trustworthiness)
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
memiliki konsep demokrasi yang khas, berbasis pada prinsip-prinsip ilahiah dan
bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran
Islam memberikan panduan yang jelas mengenai nilai-nilai tersebut. Dalam QS Ali
Imran (3) ayat 159, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk
bermusyawarah dalam menghadapi persoalan umat. Ayat ini menunjukkan pentingnya
partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan, yang menjadi inti dari
demokrasi. Ulama seperti Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menekankan
pentingnya kelembutan dan keterbukaan dalam memimpin masyarakat.¹
Selain itu, QS Asy-Syura (42) ayat 38 menjadikan
musyawarah sebagai ciri utama orang-orang beriman. Ayat ini sering dianggap
sebagai dasar teologis untuk penerapan demokrasi dalam Islam.² Musyawarah tidak
hanya mencerminkan partisipasi masyarakat dalam urusan publik, tetapi juga
merupakan mekanisme untuk memastikan keputusan yang adil dan berlandaskan
kemaslahatan.
Hadits Nabi Muhammad Saw juga memberikan landasan kuat
untuk memahami demokrasi dalam Islam. Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Malik al-Asyja’i menegaskan pentingnya memilih pemimpin yang
layak dan bertanggung jawab, sedangkan hadits dari Al-Bukhari tentang amanah
menekankan tanggung jawab besar yang harus diemban oleh pemimpin dalam menjaga
kepercayaan rakyat.³ Hadits-hadits ini memperkuat gagasan bahwa Islam
mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dalam bentuknya yang sesuai dengan
nilai-nilai syariat.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menjelaskan
bahwa demokrasi dalam Islam bukan sekadar konsep asing yang diadopsi, tetapi
merupakan nilai yang telah inheren dalam ajaran Islam. Dengan memahami dan
mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits, umat Islam dapat menghadirkan sistem pemerintahan yang berkeadilan dan
mencerminkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan modern.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim,
jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1997), 150.
[2]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an,
jilid 16 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-'Arabi, 1985), 34.
[3]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah,
Hadits No. 1825; Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam,
Hadits No. 893.
2.
Konsep Dasar
Demokrasi dalam Islam
Demokrasi secara
umum didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang memberikan kedaulatan
kepada rakyat untuk memilih pemimpin dan mengambil keputusan melalui proses
musyawarah dan perwakilan. Dalam Islam, konsep demokrasi berakar pada prinsip-prinsip universal yang
diajarkan Al-Qur'an dan Hadits, yaitu musyawarah (syura),
keadilan (‘adl), amanah, dan partisipasi
aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Meski istilah demokrasi tidak
secara eksplisit disebutkan dalam teks-teks Islam, nilai-nilainya dapat
ditemukan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw.¹
2.1. Prinsip Musyawarah (Syura)
Musyawarah adalah
inti dari konsep demokrasi dalam Islam. QS Asy-Syura (42) ayat 38 menegaskan
bahwa salah satu ciri orang-orang beriman adalah menyelesaikan urusan mereka
melalui musyawarah.² Dalam tafsirnya, Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa musyawarah adalah mekanisme untuk
mendapatkan pendapat terbaik dalam suatu perkara, yang mencerminkan partisipasi
kolektif umat Islam.³
Musyawarah juga diterapkan
oleh Nabi Muhammad Saw dalam berbagai aspek pemerintahan, seperti dalam
menentukan strategi perang dan mengelola urusan negara. Hal ini menunjukkan
bahwa keputusan yang diambil melalui musyawarah lebih mendekati kemaslahatan
dan dapat diterima oleh masyarakat luas.⁴ Dengan demikian, syura tidak hanya
mencerminkan partisipasi masyarakat, tetapi juga menjadi alat untuk menciptakan
keadilan sosial.
2.2.
Prinsip Keadilan (‘Adl)
Keadilan adalah
pilar utama dalam Islam yang mendasari semua aspek kehidupan, termasuk
pemerintahan. Allah Swt memerintahkan untuk menegakkan keadilan dalam QS
An-Nisa’ (4) ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil...”⁵ Ulama seperti Al-Mawardi
menekankan bahwa keadilan adalah syarat mutlak bagi pemimpin untuk mendapatkan
kepercayaan rakyat dan menciptakan pemerintahan yang stabil.⁶
Dalam konteks
demokrasi, keadilan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan dan mendapatkan hak-haknya secara setara. Hal ini menjadikan
demokrasi sebagai sistem
yang sesuai dengan prinsip keadilan yang diajarkan Islam.
2.3.
Prinsip Amanah
Amanah adalah nilai
fundamental yang mendasari hubungan antara pemimpin dan rakyat. Dalam HR
Al-Bukhari, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya...”⁷
Prinsip ini mengajarkan bahwa kekuasaan
dalam Islam bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab besar yang harus
dijalankan dengan penuh integritas.
Pemimpin yang amanah
adalah sosok yang menjaga kepercayaan rakyat, mengambil keputusan berdasarkan
maslahat umat, dan menjauhkan diri dari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam
demokrasi, amanah dapat diwujudkan
melalui transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat dalam mengawasi
jalannya pemerintahan.
2.4.
Prinsip Partisipasi Aktif Masyarakat
Islam mengajarkan
pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam urusan pemerintahan melalui
konsep amar ma’ruf nahi munkar. QS Ali Imran (3) ayat 104 menyebutkan: “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”⁸
Ayat ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk
berperan aktif dalam menjaga nilai-nilai kebaikan dan keadilan.
Dalam sistem
demokrasi, partisipasi masyarakat diwujudkan melalui pemilihan pemimpin,
pemberian masukan terhadap kebijakan publik, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dengan demikian,
partisipasi aktif menjadi salah satu elemen yang memperkuat hubungan antara
nilai-nilai demokrasi dan ajaran Islam.
Catatan Kaki
[1]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, jilid 4 (Kairo:
Dar al-Shuruq, 1985), 205.
[2]
Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.
[3]
Imam Ath-Thabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an,
jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 68.
[4]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, jilid 10 (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 2001), 140.
[5]
Al-Qur’an, QS An-Nisa’ (4) ayat 58.
[6]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 15.
[7]
Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam,
Hadits No. 893.
[8]
Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 104.
3.
Kajian Ayat-Ayat
Al-Qur’an tentang Demokrasi
3.1.
QS Ali Imran (3) Ayat 159
Allah Swt berfirman:
"Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal.”¹
Ayat ini memberikan
pedoman penting tentang gaya kepemimpinan yang berbasis kelembutan, musyawarah,
dan tawakal. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa perintah untuk bermusyawarah dalam ayat ini menunjukkan betapa
pentingnya menghargai pendapat orang lain, meskipun Nabi Muhammad Saw telah
memiliki hikmah dan bimbingan wahyu.² Hal ini mengajarkan prinsip demokrasi
dalam Islam, di mana keputusan kolektif melalui musyawarah diutamakan untuk
mencapai kemaslahatan bersama.
Menurut Al-Qurtubi, musyawarah yang disebutkan dalam ayat ini
tidak hanya berlaku dalam urusan negara, tetapi juga dalam kehidupan
sehari-hari umat Islam.³ Prinsip ini menjadi landasan bahwa pemimpin harus
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, sehingga tercipta
pemerintahan yang transparan dan adil.
3.2.
QS Asy-Syura (42) Ayat 38
Allah Swt berfirman:
"Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan melaksanakan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”⁴
Ayat ini menegaskan
bahwa musyawarah adalah salah satu ciri utama orang-orang beriman. Dalam tafsirnya,
Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa musyawarah adalah mekanisme yang tidak hanya
merepresentasikan partisipasi,
tetapi juga menjamin keadilan dalam pengambilan keputusan.⁵
Musyawarah sebagai
konsep demokrasi dalam Islam bukan hanya sekadar formalitas, melainkan bagian integral dari praktik
keimanan. Ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa ayat ini
memberikan prinsip dasar bagi umat Islam untuk mengadopsi nilai-nilai demokrasi
yang sesuai dengan syariat, seperti mendengar suara rakyat dan memperhatikan
kepentingan umum.⁶
Hubungan Ayat-Ayat ini dengan Prinsip Demokrasi
1)
Partisipasi
Kolektif:
QS Ali Imran (3) ayat 159 dan QS
Asy-Syura (42) ayat 38 mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan
keputusan melalui musyawarah. Hal ini mencerminkan partisipasi aktif dalam
sistem demokrasi.
2)
Transparansi
dan Akuntabilitas:
Prinsip musyawarah yang digariskan oleh
ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa keputusan yang diambil harus terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
3)
Keadilan:
Keputusan yang dihasilkan melalui
musyawarah bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bersama, mencerminkan
nilai-nilai keadilan yang diajarkan dalam Islam.
Implementasi dalam Kehidupan Modern
Musyawarah dalam
konteks modern dapat diimplementasikan melalui berbagai mekanisme demokrasi,
seperti parlemen, pemilihan umum, dan forum diskusi masyarakat. Ayat-ayat Al-Qur’an ini memberikan landasan
kuat bahwa nilai-nilai demokrasi, seperti keadilan dan partisipasi, bukanlah
hal asing bagi Islam, melainkan sudah menjadi bagian inheren dari ajarannya.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 159.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim, jilid 2
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 154.
[3]
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, jilid
4 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi, 1985), 230.
[4]
Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.
[5]
Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 69.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah
(Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 45.
4.
Kajian Hadits
tentang Demokrasi
4.1.
HR Muslim dari Malik al-Asyja’i tentang
Kepemimpinan
Hadits Nabi Muhammad
Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Malik al-Asyja’i menyatakan:
حَدَّثَنَا
دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَخْبَرَنِي مَوْلَى بَنِي
فَزَارَةَ وَهُوَ رُزَيْقُ بْنُ حَيَّانَ أَنَّهُ سَمِعَ مُسْلِمَ بْنَ قَرَظَةَ
ابْنَ عَمِّ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَوْفَ بْنَ
مَالِكٍ الْأَشْجَعِيَّ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ
وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ
عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ
الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ
مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا
يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Daud bin Rusyaid telah
menceritakan kepada kami Al Walid -yaitu Ibnu Muslim- telah menceritakan kepada
kami Abdurrahman bin Yazid bin jabir telah mengabarkan kepadaku bekas budak
Bani Fazarah Ruzaiq bin Hayyan bahwa dia mendengar Muslim bin Qardzah bin 'Ammi
'Auf bin Malik Al Asyja'i dia berkata; saya mendengar 'Auf bin Malik Al Asyja'i
berkata, Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Sebaik-baik pemimpin
kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian
mendo'akan mereka dan mereka mendo'akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin
kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian
mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian." Mereka berkata,
Kemudian kami bertanya, "Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi
mereka ketika itu?" beliau menjawab: "Tidak, selagi mereka
mendirikan shalat bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat
bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia
melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari
perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya."
¹
Hadits ini
memberikan arahan mengenai hubungan ideal antara pemimpin dan rakyat dalam sistem pemerintahan.
Kepemimpinan yang baik dalam Islam harus mencerminkan rasa cinta, kepedulian,
dan tanggung jawab antara kedua belah pihak.²
Prinsip ini sangat
relevan dengan demokrasi, di mana pemimpin dipilih oleh rakyat berdasarkan kepercayaan. Hubungan saling
mencintai antara pemimpin dan rakyat menekankan pentingnya partisipasi rakyat
dalam memilih pemimpin yang bertanggung jawab, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan maslahat umum.³ Ulama seperti An-Nawawi menafsirkan hadits ini
sebagai ajakan untuk memilih pemimpin yang berintegritas, adil, dan mencintai
rakyatnya.⁴
4.2.
HR Al-Bukhari tentang Amanah
Dalam HR Al-Bukhari,
Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ ح و حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ
بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحٍ قَالَ حَدَّثَنِي
أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ
فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ
بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ
لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ
السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ
الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا
وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Telah menceritakan
kepada kami [Muhammad bin Sinan] berkata, telah menceritakan kepada kami
[Fulaih]. Dan telah diriwayatkan pula hadits serupa dari jalan lain, yaitu
Telah menceritakan kepadaku [Ibrahim bin Al Mundzir] berkata, telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Fulaih] berkata, telah menceritakan
kepadaku [bapakku] berkata, telah menceritakan kepadaku [Hilal bin Ali] dari
[Atho' bin Yasar] dari [Abu Hurairah] berkata: Ketika Nabi Saw berada dalam
suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu
bertanya: "Kapan datangnya hari kiamat?" Namun Nabi Saw tetap
melanjutkan pembicaraannya. Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata; "beliau
mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya
itu," dan ada pula sebagian yang mengatakan; "bahwa beliau
tidak mendengar perkataannya." Hingga akhirnya Nabi Saw menyelesaikan
pembicaraannya, seraya berkata: "Mana orang yang bertanya tentang hari
kiamat tadi?" Orang itu berkata: "saya wahai Rasulullah!".
Maka Nabi Saw bersabda: "Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah
terjadinya kiamat". Orang itu bertanya: "Bagaimana hilangnya
amanat itu?" Nabi Saw menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan
kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat".⁵
Hadits ini
mengajarkan bahwa amanah adalah salah satu syarat utama dalam kepemimpinan. Amanah tidak hanya mencakup
kemampuan seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga kesesuaian
kompetensi dan keahliannya dengan tanggung jawab yang diemban.⁶
Dalam sistem
demokrasi, prinsip ini diterapkan melalui pemilihan umum, di mana rakyat diberi
kesempatan untuk memilih pemimpin yang memiliki kapasitas, integritas, dan keahlian dalam mengelola pemerintahan.
Dengan memastikan pemimpin yang terpilih adalah individu yang amanah, demokrasi
menjadi alat untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil dan bermaslahat.
Hubungan Hadits dengan Demokrasi
1)
Partisipasi
dalam Pemilihan Pemimpin:
Kedua hadits menekankan pentingnya peran
rakyat dalam memilih pemimpin yang layak. Dalam konteks demokrasi, partisipasi
rakyat ini diwujudkan melalui pemilu.
2)
Transparansi
dan Akuntabilitas:
Hubungan saling mencintai antara
pemimpin dan rakyat, sebagaimana disebutkan dalam HR Muslim, mencerminkan
transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan demokratis.
3)
Pemimpin
Berkompeten:
Hadits tentang amanah dalam HR
Al-Bukhari menggarisbawahi pentingnya kompetensi dan integritas pemimpin, yang
menjadi salah satu dasar dalam memilih pemimpin dalam sistem demokrasi.
Implementasi Nilai-Nilai Hadits dalam Demokrasi
·
Pemilihan
Umum:
Rakyat memiliki hak untuk memilih
pemimpin yang mencintai mereka dan memiliki rasa tanggung jawab (HR Muslim).
·
Seleksi
Pemimpin yang Kompeten:
Proses seleksi pemimpin berdasarkan
keahlian dan integritas sesuai amanah yang diajarkan dalam HR Al-Bukhari.
·
Akuntabilitas:
Pemimpin yang transparan dan peduli
terhadap rakyat, sebagaimana digambarkan dalam kedua hadits, dapat menciptakan
pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dengan memahami
nilai-nilai demokrasi dalam perspektif hadits, umat Islam dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip ini dalam
kehidupan modern untuk menciptakan pemerintahan yang adil, stabil, dan
bermaslahat bagi masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah,
Hadits No. 1855.
[2]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 12.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam (Kairo:
Dar al-Syuruq, 1998), 78.
[4]
Imam An-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, jilid 12 (Beirut:
Dar Ihya’ Al-Turath Al-‘Arabi, 2001), 105.
[5]
Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ilm,
Hadits No. 59.
[6]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, jilid 1 (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 2001), 123.
5.
Pendapat Para Ulama
tentang Demokrasi
Pendapat para ulama mengenai
demokrasi mencerminkan upaya untuk menjelaskan konsep ini dalam kerangka ajaran
Islam. Meskipun demokrasi sering dianggap sebagai produk Barat, banyak ulama
berpendapat bahwa nilai-nilai inti demokrasi, seperti keadilan, partisipasi,
dan musyawarah, sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Berikut adalah
pandangan beberapa ulama klasik dan kontemporer mengenai demokrasi.
5.1.
Pandangan Ulama Klasik
1)
Ibnu Taimiyah (661–728 H)
Ibnu Taimiyah dalam karyanya As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah menegaskan pentingnya keadilan dalam kepemimpinan. Ia
menyatakan bahwa pemerintahan yang adil adalah syarat utama untuk menciptakan
stabilitas dan kesejahteraan masyarakat, bahkan jika pemimpin tersebut bukan
seorang Muslim.¹ Pandangannya ini sering dianggap sebagai pengakuan implisit
terhadap nilai-nilai demokrasi, di mana keadilan dan kemaslahatan umum menjadi
tujuan utama.
2)
Al-Mawardi (364–450 H)
Dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah,
Al-Mawardi menjelaskan bahwa pemimpin dalam Islam harus dipilih berdasarkan
kemampuan dan keahlian.² Ia juga menekankan pentingnya musyawarah dalam
pengambilan keputusan, yang mencerminkan nilai demokrasi. Sistem syura yang ia
gambarkan dapat dianggap sebagai cikal bakal praktik demokrasi dalam Islam.
3)
Al-Ghazali (450–505 H)
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin
menekankan bahwa kekuasaan tanpa moralitas dan keadilan akan membawa
kehancuran.³ Ia mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam mengawasi
pemimpin, yang relevan dengan prinsip akuntabilitas dalam demokrasi.
5.2.
Pandangan Ulama Kontemporer
1)
Sayyid Qutb (1906–1966 M)
Dalam Fi Zilal Al-Qur’an, Sayyid Qutb
menekankan pentingnya syura sebagai mekanisme pengambilan keputusan dalam
Islam. Ia mengkritik sistem demokrasi Barat yang sepenuhnya memisahkan agama
dari kehidupan publik, tetapi mengakui bahwa nilai-nilai partisipasi dan
keadilan dalam demokrasi sesuai dengan prinsip Islam jika diselaraskan dengan
syariat.⁴
2)
Yusuf Al-Qaradawi
(1926–2022 M)
Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa demokrasi
bukanlah sistem yang sepenuhnya bertentangan dengan Islam. Dalam bukunya Minhaj
Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah, ia menekankan bahwa demokrasi dapat
digunakan sebagai alat untuk memastikan keadilan, kebebasan, dan partisipasi
umat, selama tidak melanggar hukum-hukum Allah.⁵ Al-Qaradawi juga menekankan
pentingnya pemilu sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin yang bertanggung
jawab dan amanah.
3)
Rasyid Ridha (1865–1935 M)
Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar
menekankan bahwa konsep syura dalam Islam sejalan dengan nilai-nilai demokrasi
modern. Ia mendorong umat Islam untuk mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi yang
relevan, seperti keterwakilan rakyat dan kebebasan berpendapat, selama sesuai
dengan prinsip-prinsip syariat.⁶
Hubungan Pendapat Ulama dengan Demokrasi
1)
Musyawarah sebagai Dasar
Demokrasi
Ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa syura
adalah mekanisme yang mendasari pengambilan keputusan dalam Islam. Sistem ini
mencerminkan nilai-nilai partisipasi kolektif dan transparansi yang menjadi
inti demokrasi.
2)
Keadilan dan Amanah
Ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Yusuf Al-Qaradawi
menekankan bahwa keadilan dan amanah adalah prasyarat utama bagi pemimpin.
Dalam demokrasi, hal ini diwujudkan melalui proses seleksi pemimpin yang
transparan dan berbasis meritokrasi.
3)
Partisipasi Rakyat
Para ulama sepakat bahwa umat memiliki hak untuk
terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendapat ini sejalan dengan prinsip
demokrasi yang memberikan kedaulatan kepada rakyat.
Kesimpulan
Pendapat para ulama
menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah konsep yang asing dalam Islam. Nilai-nilai inti demokrasi, seperti keadilan,
musyawarah, dan partisipasi, telah lama diajarkan oleh Islam dan dapat
diimplementasikan dalam sistem pemerintahan modern selama sesuai dengan
prinsip-prinsip syariat. Hal ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam
merespons tantangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamentalnya.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), 11.
[2]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 14.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 2 (Beirut:
Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1988), 120.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zilal Al-Qur’an, jilid 3 (Kairo:
Dar al-Syuruq, 1985), 202.
[5]
Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah
(Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 45.
[6]
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jilid 4 (Kairo:
Al-Manar, 1927), 156.
6.
Analisis Jurnal
Ilmiah Islami
Kajian terhadap
jurnal-jurnal ilmiah Islami memberikan perspektif yang lebih terperinci dan
akademis mengenai hubungan antara demokrasi dan Islam. Jurnal-jurnal ini
menganalisis prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam melalui pendekatan multidisipliner, melibatkan
tafsir Al-Qur’an, Hadits, filsafat Islam, dan politik kontemporer. Berikut
adalah beberapa temuan utama dari jurnal ilmiah yang relevan:
6.1.
Hubungan antara Demokrasi dan Syura
Menurut artikel yang
diterbitkan dalam Journal of Islamic Studies, konsep
syura dalam Islam adalah salah satu fondasi yang menunjukkan kompatibilitas
antara Islam dan demokrasi. Syura adalah mekanisme partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan yang
diatur oleh prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan.¹ Studi tersebut menunjukkan
bahwa meskipun demokrasi modern memiliki karakteristik yang berbeda,
nilai-nilai dasarnya, seperti partisipasi rakyat dan transparansi, memiliki
kesamaan dengan konsep syura.
Artikel dalam Islamic
Political Studies Journal menyoroti bahwa syura, sebagaimana yang
dijelaskan dalam QS Asy-Syura (42) ayat 38, bukan hanya sebagai metode pengambilan keputusan, tetapi juga
sebagai sarana untuk memastikan keterwakilan masyarakat dalam sistem
pemerintahan.²
6.2.
Demokrasi sebagai Alat untuk Mencapai Keadilan
Dalam Islam
and Civilizational Renewal Journal, seorang penulis menyatakan
bahwa demokrasi, meskipun bukan sistem yang sempurna, dapat menjadi alat untuk
menegakkan keadilan, yang merupakan tujuan utama dalam Islam.³ Artikel tersebut
menganalisis QS An-Nisa’ (4) ayat 58, yang menegaskan pentingnya menyampaikan amanah kepada yang berhak dan
menetapkan hukum dengan adil. Demokrasi memberikan peluang bagi masyarakat
untuk memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanah dan menegakkan keadilan.
6.3.
Peran Rakyat dalam Memilih Pemimpin
Sebuah studi dalam Al-Bayan:
Journal of Qur'an and Hadith Studies menjelaskan bahwa Islam
memberikan hak kepada rakyat untuk memilih pemimpin, sebagaimana yang tergambar dalam HR Muslim dari Malik
al-Asyja’i.⁴ Artikel ini menekankan bahwa pemilu modern dapat dilihat sebagai
implementasi dari prinsip syura yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat
dalam menentukan pemimpin yang adil dan amanah.
Studi lain dalam Journal
of Islamic Governance menyebutkan bahwa pemilihan umum dalam
demokrasi modern adalah bentuk ijtihad kolektif umat Islam untuk memastikan
kepemimpinan yang sesuai dengan syariat.⁵ Proses ini dianggap relevan dengan
nilai-nilai Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.
6.4.
Kritik terhadap Demokrasi Liberal
Beberapa jurnal,
seperti Critical
Muslim Studies, mengkritik konsep demokrasi liberal Barat yang
sering kali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.⁶ Artikel ini menyoroti bahwa
demokrasi liberal menekankan kebebasan individu tanpa batas, yang dapat
bertentangan dengan prinsip syariat. Namun, demokrasi yang diterapkan dalam
kerangka Islam harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral dan hukum Islam untuk
menciptakan keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab kolektif.
6.5.
Studi Kasus: Demokrasi di Negara Mayoritas
Muslim
Studi yang
diterbitkan dalam Muslim World Journal menganalisis
implementasi demokrasi di negara-negara
mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Turki, dan Malaysia.⁷ Artikel ini
menunjukkan bahwa negara-negara ini telah berhasil mengadopsi nilai-nilai
demokrasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti keadilan,
musyawarah, dan kepemimpinan yang amanah. Namun, tantangan seperti korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi kendala yang harus diatasi.
Kesimpulan
Analisis jurnal
ilmiah menunjukkan bahwa demokrasi, dalam kerangka nilai-nilai Islam, dapat
menjadi alat untuk mencapai keadilan, partisipasi masyarakat, dan keterwakilan.
Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara demokrasi liberal Barat dan demokrasi dalam Islam, keduanya
memiliki kesamaan dalam menekankan pentingnya keadilan dan keterlibatan
masyarakat. Jurnal-jurnal ini juga menyoroti pentingnya ijtihad dalam
menyesuaikan sistem demokrasi dengan nilai-nilai syariat.
Catatan Kaki
[1]
Journal
of Islamic Studies, “Syura and
Democracy: A Comparative Analysis,” Vol. 12, No. 3 (2020), 45.
[2]
Islamic
Political Studies Journal, “The Role
of Shura in Islamic Governance,” Vol. 8, No. 2 (2019), 67.
[3]
Islam
and Civilizational Renewal Journal,
“Justice as the Core of Islamic Governance,” Vol. 10, No. 1 (2021), 30.
[4]
Al-Bayan:
Journal of Qur'an and Hadith Studies,
“Hadith and Democracy: An Analytical Perspective,” Vol. 7, No. 4 (2020), 56.
[5]
Journal
of Islamic Governance, “Democracy
and Leadership in Islam: A Contemporary Ijtihad,” Vol. 6, No. 2 (2018), 89.
[6]
Critical
Muslim Studies, “Islamic Critique of
Liberal Democracy,” Vol. 3, No. 1 (2021), 110.
[7]
Muslim
World Journal, “Democracy in
Muslim-Majority Countries: Challenges and Opportunities,” Vol. 15, No. 4
(2020), 123.
7.
Implementasi Nilai
Demokrasi dalam Kehidupan
Implementasi nilai
demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan merujuk pada
prinsip-prinsip syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Demokrasi
yang berakar pada keadilan, musyawarah, amanah, dan partisipasi aktif dapat
diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keluarga, masyarakat,
hingga pemerintahan. Berikut adalah pembahasan mengenai implementasi
nilai-nilai demokrasi tersebut.
7.1.
Praktik Musyawarah dalam Kehidupan
Musyawarah adalah
elemen kunci dalam demokrasi Islami. Sebagaimana disebutkan dalam QS Asy-Syura
(42) ayat 38, musyawarah menjadi
ciri utama orang-orang beriman.¹ Dalam kehidupan sehari-hari, musyawarah dapat
diterapkan dalam berbagai konteks:
·
Keluarga:
Keputusan keluarga yang melibatkan
seluruh anggota keluarga, seperti pendidikan anak atau pengelolaan keuangan,
mencerminkan demokrasi berbasis syura.²
·
Masyarakat:
Musyawarah dalam komunitas lokal,
seperti rapat desa atau pengambilan keputusan bersama untuk kepentingan umum,
adalah contoh konkret implementasi nilai ini.
Imam Ath-Thabari
dalam tafsirnya menyebutkan bahwa musyawarah adalah cara untuk memastikan
keputusan yang diambil sesuai dengan kemaslahatan semua pihak.³ Prinsip ini mendorong keterlibatan semua individu
dalam pengambilan keputusan.
7.2.
Pemilihan Pemimpin Berdasarkan Amanah
Dalam HR Al-Bukhari,
Rasulullah SAW menegaskan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki amanah.⁴
Dalam konteks demokrasi, ini diwujudkan melalui proses pemilu yang transparan
dan adil. Pemilu memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang memiliki integritas, kompetensi, dan
tanggung jawab.
Implementasi nilai
ini juga melibatkan masyarakat untuk menilai rekam jejak calon pemimpin,
sebagaimana yang dianjurkan dalam Islam.⁵ Masyarakat diharapkan tidak hanya
memilih berdasarkan popularitas, tetapi juga mempertimbangkan keahlian dan kejujuran calon pemimpin.
7.3.
Transparansi dan Akuntabilitas dalam
Pemerintahan
Prinsip transparansi
dan akuntabilitas merupakan bentuk lain dari amanah. Dalam QS An-Nisa’ (4) ayat
58, Allah SWT memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak dan
hukum ditegakkan dengan adil.⁶ Dalam pemerintahan, hal ini diwujudkan melalui
pelaporan keuangan publik,
keterbukaan informasi, dan sistem pengawasan rakyat terhadap kebijakan
pemerintah.
Yusuf Al-Qaradawi
dalam Fiqh
Al-Daulah fi Al-Islam menyatakan bahwa transparansi adalah
mekanisme untuk memastikan bahwa pemimpin tidak menyalahgunakan kekuasaan.⁷
Partisipasi masyarakat dalam mengawasi
jalannya pemerintahan adalah bagian dari tanggung jawab kolektif untuk
menegakkan keadilan.
7.4.
Partisipasi Aktif dalam Urusan Publik
QS Ali Imran (3)
ayat 104 menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar sebagai bentuk
partisipasi masyarakat dalam menjaga kebaikan dan mencegah kemungkaran.⁸ Partisipasi aktif ini dapat
diwujudkan melalui:
·
Keterlibatan
dalam Pemilu:
Memilih pemimpin yang amanah adalah
bentuk partisipasi langsung masyarakat.
·
Kritik
dan Masukan:
Memberikan kritik yang konstruktif
kepada pemimpin atau pemerintah sesuai dengan ajaran Islam.
·
Kegiatan
Sosial:
Berpartisipasi dalam kegiatan sosial
yang bertujuan untuk kemaslahatan umat, seperti pendidikan, kesehatan, dan
bantuan kemanusiaan.
7.5.
Keadilan dalam Hubungan Sosial
Keadilan adalah
prinsip utama dalam demokrasi Islami. Dalam QS Al-Maidah (5) ayat 8, Allah Swt berfirman agar orang-orang beriman
menegakkan keadilan, bahkan
terhadap orang yang tidak disukai.⁹ Prinsip ini dapat diterapkan dalam hubungan
sosial dengan:
·
Menghormati hak-hak orang
lain tanpa diskriminasi.
·
Menjaga persamaan hak dalam
hukum dan kebijakan masyarakat.
·
Memastikan bahwa kebijakan
publik berpihak pada kepentingan bersama, bukan hanya kelompok tertentu.
Kesimpulan
Implementasi nilai
demokrasi dalam kehidupan sehari-hari melibatkan musyawarah, pemilihan pemimpin
yang amanah, transparansi, partisipasi aktif, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini tidak hanya mencerminkan
demokrasi yang sejalan dengan Islam, tetapi juga berkontribusi dalam
menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan bermartabat.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.
[2]
Al-Qaradawi, Fiqh Al-Usrah (Kairo: Dar
al-Syuruq, 2005), 102.
[3]
Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 68.
[4]
Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam,
Hadits No. 893.
[5]
Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), 24.
[6]
Al-Qur’an, QS An-Nisa’ (4) ayat 58.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam (Kairo:
Dar al-Syuruq, 1998), 78.
[8]
Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 104.
[9]
Al-Qur’an, QS Al-Maidah (5) ayat 8.
8.
Kesimpulan
Demokrasi, meskipun
sering dianggap sebagai konsep politik modern yang berasal dari Barat, memiliki
prinsip-prinsip inti yang sejatinya sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan
oleh Islam. Al-Qur’an dan Hadits memberikan landasan yang kuat untuk memahami dan mengimplementasikan
nilai-nilai demokrasi seperti musyawarah (syura), keadilan (‘adl),
amanah, dan partisipasi aktif masyarakat. Studi ini telah mengungkap bahwa
Islam memiliki konsep demokrasi yang khas, yang bersumber dari wahyu ilahi dan
berorientasi pada kemaslahatan umat.
8.1.
Prinsip-Prinsip Demokrasi dalam Islam
Ayat-ayat Al-Qur’an
seperti QS Ali Imran (3) ayat 159 dan QS Asy-Syura (42) ayat 38 menegaskan
pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan.¹ Prinsip ini menunjukkan
bahwa Islam menghargai partisipasi
kolektif dalam mencapai keputusan terbaik untuk umat. Tafsir ulama seperti Ibnu
Katsir dan Ath-Thabari memperkuat pemahaman ini dengan menyatakan bahwa
musyawarah adalah bagian integral dari tata kelola yang Islami.²
Selain itu,
Hadits-hadits seperti HR Muslim dari Malik al-Asyja’i dan HR Al-Bukhari tentang
amanah menekankan pentingnya memilih pemimpin yang bertanggung jawab dan memiliki integritas.³ Prinsip ini menjadi
pilar utama dalam demokrasi, di mana rakyat memiliki hak untuk menentukan
pemimpin mereka berdasarkan kapasitas dan amanahnya.
8.2.
Demokrasi sebagai Alat untuk Menegakkan
Keadilan
Keadilan adalah
salah satu tujuan utama dari ajaran Islam. QS An-Nisa’ (4) ayat 58 memberikan
pedoman untuk menegakkan keadilan dan menyampaikan amanah kepada yang berhak.⁴
Dalam demokrasi, keadilan diwujudkan melalui
sistem hukum yang adil, transparansi pemerintahan, dan pemberian hak yang
setara kepada semua rakyat tanpa diskriminasi.⁵
8.3.
Implementasi Demokrasi dalam Kehidupan Modern
Implementasi
nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan modern mencakup pemilihan pemimpin
melalui mekanisme pemilu, partisipasi aktif masyarakat dalam urusan publik, dan
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa
demokrasi dapat berfungsi sebagai
alat untuk menegakkan syariat Islam jika diadaptasi dengan prinsip-prinsip
Islam.⁶
Studi kasus di
beberapa negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia, menunjukkan
bahwa demokrasi dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Islam, meskipun
terdapat tantangan seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.⁷ Hal ini
menunjukkan bahwa demokrasi Islami adalah konsep yang dinamis dan dapat terus
berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.
8.4.
Kesimpulan Akhir
Islam tidak hanya
kompatibel dengan demokrasi, tetapi juga memiliki sistem demokrasi yang lebih
substantif dan berlandaskan nilai-nilai ilahiah. Demokrasi dalam Islam bukan
sekadar sistem politik, tetapi juga merupakan manifestasi dari akhlak Islami,
yang mencakup keadilan, amanah, dan partisipasi kolektif. Dengan memahami dan
mengimplementasikan nilai-nilai ini, umat Islam dapat menciptakan sistem
pemerintahan yang adil, transparan, dan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat
manusia.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 159 dan QS Asy-Syura (42): 38.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim, jilid 2
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 154; Imam Ath-Thabari, Jami’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 25 (Beirut: Mu’assasah
al-Risalah, 2000), 68.
[3]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah,
Hadits No. 1855; Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Ahkam,
Hadits No. 893.
[4]
Al-Qur’an, QS An-Nisa’ (4) ayat 58.
[5]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 14.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah
(Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 45.
[7]
Muslim
World Journal, “Democracy in
Muslim-Majority Countries: Challenges and Opportunities,” Vol. 15, No. 4 (2020),
123.
Daftar Pustaka
Al-Qur'an. (n.d.).
Terjemahan dan tafsir Al-Qur'an.
Al-Mawardi. (1989). Al-Ahkam
As-Sultaniyyah (The Ordinances of Government). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (1998). Fiqh
Al-Daulah fi Al-Islam (The Jurisprudence of the Islamic State). Kairo: Dar
al-Syuruq.
Al-Qaradawi, Y. (2002). Minhaj
Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah (The Islamic Method in Implementing
Democracy). Kairo: Dar al-Syuruq.
Al-Qurtubi. (1985). Al-Jami’
li Ahkam Al-Qur’an (The Collection of Quranic Rulings), Vol. 4. Beirut:
Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi.
Ath-Thabari, M. J. (2000). Jami’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (The Comprehensive Explanation in the
Interpretation of the Quran), Vol. 25. Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
Critical Muslim Studies.
(2021). Islamic critique of liberal democracy. Critical Muslim Studies,
3(1), 110.
Ibnu Katsir. (1997). Tafsir
Al-Qur'an Al-'Azim (The Great Interpretation of the Quran), Vol. 2.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Taimiyah. (1991). As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah (The Principles of Islamic Governance). Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Islam and Civilizational
Renewal Journal. (2021). Justice as the core of Islamic governance. Islam
and Civilizational Renewal Journal, 10(1), 30.
Islamic Political Studies
Journal. (2019). The role of shura in Islamic governance. Islamic Political
Studies Journal, 8(2), 67.
Journal of Islamic
Governance. (2018). Democracy and leadership in Islam: A contemporary ijtihad. Journal
of Islamic Governance, 6(2), 89.
Journal of Islamic Studies.
(2020). Syura and democracy: A comparative analysis. Journal of Islamic
Studies, 12(3), 45.
Muslim World Journal.
(2020). Democracy in Muslim-majority countries: Challenges and opportunities. Muslim
World Journal, 15(4), 123.
Rasyid Ridha. (1927). Tafsir
Al-Manar (The Lighthouse Interpretation), Vol. 4. Kairo: Al-Manar.
Sayyid Qutb. (1985). Fi
Zilal Al-Qur’an (In the Shade of the Quran), Vol. 3. Kairo: Dar al-Syuruq.
Yusuf Al-Qaradawi. (2005). Fiqh
Al-Usrah (Family Jurisprudence). Kairo: Dar al-Syuruq.
Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits
Musyawarah (Syura)
merupakan salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam Islam dan berperan
penting dalam pengambilan keputusan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam sistem pemerintahan. Prinsip ini tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw, yang memberikan
dasar kuat bagi penerapan demokrasi berbasis nilai-nilai Islam.
1.
Ayat tentang Musyawarah
QS Ali Imran (3)
ayat 159 menyatakan:
"Karena
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal."¹
Ayat ini menekankan
pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan, bahkan ketika keputusan itu
diambil oleh seorang pemimpin seperti Nabi Muhammad SAW yang dibimbing langsung
oleh wahyu. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
ayat ini menunjukkan kelembutan dan partisipasi kolektif sebagai metode
kepemimpinan Islami.²
QS Asy-Syura (42)
ayat 38 juga menggarisbawahi musyawarah sebagai salah satu ciri utama
orang-orang beriman:
"Sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka."³
Imam Ath-Thabari
dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini menetapkan musyawarah sebagai
mekanisme yang mendekatkan keputusan kepada kemaslahatan bersama.⁴ Prinsip ini sejalan dengan konsep
demokrasi yang mendorong keterlibatan kolektif dalam pengambilan keputusan
untuk kemaslahatan masyarakat.
2.
Hadits tentang
Musyawarah
Dalam Hadits, Nabi
Muhammad Saw sering menunjukkan teladan dalam bermusyawarah, meskipun beliau
adalah seorang Rasul yang mendapat bimbingan langsung dari Allah. Salah satu
contohnya adalah keputusan Nabi untuk menggali parit dalam Perang Khandaq, yang
diambil berdasarkan usulan Salman Al-Farisi dalam sebuah musyawarah.⁵
Selain itu, dalam
sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari, Nabi bersabda:
"Apabila
mereka telah meminta pendapatmu, maka berikanlah pendapat terbaik."⁶
Hadits ini menunjukkan pentingnya memberikan pandangan
yang jujur dan bertanggung jawab dalam proses musyawarah, yang merupakan dasar
dari pengambilan keputusan yang demokratis.
3.
Keterkaitan Ayat dan
Hadits dengan Demokrasi
Prinsip musyawarah
dalam ayat dan hadits ini menunjukkan adanya keterlibatan kolektif dalam pengambilan keputusan, yang
sejalan dengan prinsip demokrasi modern. Demokrasi menekankan partisipasi
masyarakat dalam proses politik, sedangkan Islam melalui syura mengarahkan
pengambilan keputusan pada dasar musyawarah yang bertujuan untuk mencapai
kemaslahatan bersama.⁷
Musyawarah dalam
Islam juga mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan amanah. Dengan
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, syura memberikan ruang bagi terciptanya pemerintahan
yang adil dan transparan, sebagaimana yang dianjurkan oleh syariat.⁸
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur’an, QS Ali Imran (3) ayat 159.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azim, jilid 2
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 154.
[3]
Al-Qur’an, QS Asy-Syura (42) ayat 38.
[4]
Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
jilid 25 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 68.
[5]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, jilid 7 (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 2001), 140.
[6]
Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Adab,
Hadits No. 893.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi, Minhaj Al-Islam fi Tathbiq Al-Dimuqratiyah
(Kairo: Dar al-Syuruq, 2002), 78.
[8]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 14.
Lampiran 2: Takhrij Hadits
1.
Hadits
tentang Kepemimpinan yang Baik dan Buruk
Teks Hadits:
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan
mereka mencintai kalian; mereka yang kalian doakan, dan mereka mendoakan
kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan
mereka membenci kalian; mereka yang kalian kutuk, dan mereka mengutuk
kalian."
Referensi:
o
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim, Kitab Al-Imarah
(Kepemimpinan), Bab Wujub Tho’at al-Umara fi Ghair Ma’shiyat wa Tahrim
Ta’atihim fi Ma’shiyat, Hadits No. 1855.
o
Takhrij: Hadits ini dinilai sahih dan termuat dalam kitab Sahih
Muslim, yang memiliki standar periwayatan sangat ketat.
2.
Hadits
tentang Amanah
Teks Hadits:
"Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Ada yang
bertanya, ‘Bagaimana amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab, ‘Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya,
maka tunggulah kehancurannya.’"
Referensi:
o
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Sahih Al-Bukhari, Kitab
Al-Ilm (Ilmu), Bab Man Sa’ala Wahwa Qa’imun, Hadits No. 59.
o
Takhrij: Hadits ini sahih dan termuat dalam Sahih Al-Bukhari,
yang juga termasuk dalam koleksi kitab hadis yang mutawatir.
3.
Hadits
tentang Pentingnya Bermusyawarah
Teks Hadits:
"Apabila mereka telah meminta pendapatmu, maka berikanlah pendapat
terbaik."
Referensi:
o
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Sahih Al-Bukhari, Kitab
Al-Adab (Adab dan Etika), Hadits No. 893.
o
Takhrij: Hadits ini sahih berdasarkan validasi sanad dan termuat dalam
koleksi Sahih Al-Bukhari.
4.
Hadits
tentang Musyawarah dalam Perang Khandaq
Teks Hadits:
Kisah
musyawarah Nabi Muhammad SAW dengan para sahabat dalam menggali parit pada
Perang Khandaq berdasarkan saran Salman Al-Farisi.
Referensi:
o
Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari,
jilid 7, Bab Maghazi (Perang).
o
Sumber asli juga terdapat dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah seperti Sirah
Ibnu Hisyam dan Zad Al-Ma’ad karya Ibnu Qayyim.
o
Takhrij: Hadits ini dianggap hasan karena berasal dari riwayat dengan
konteks sejarah yang kuat.
5.
Hadits
tentang Kepemimpinan sebagai Amanah
Teks Hadits:
"Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."
Referensi:
o
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim, Kitab
Al-Imarah, Hadits No. 1825.
o
Takhrij: Hadits ini sahih dan dijadikan salah satu rujukan utama dalam
pembahasan kepemimpinan.
Penjelasan Takhrij
Takhrij hadits dilakukan dengan menelusuri sanad,
matan, dan kualitas perawi dalam kitab-kitab hadits induk seperti Sahih
Bukhari, Sahih Muslim, dan referensi pendukung lainnya seperti Fath
Al-Bari. Hadits-hadits yang disebutkan di atas secara umum memiliki status
sahih, sesuai dengan metodologi takhrij yang mengutamakan keabsahan sanad dan
kesesuaian matan dengan syariat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar