Tafsir III
Metodologi dalam Ilmu
Tafsir
Alihkan ke; Tafsir I, dan TafsirII
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ilmu tafsir merupakan cabang ilmu yang sangat
penting dalam tradisi keilmuan Islam karena berfungsi sebagai alat utama untuk
memahami Al-Qur’an, sumber ajaran Islam yang paling otoritatif. Al-Qur’an
memuat petunjuk universal bagi umat manusia, namun kandungan maknanya sering
kali memerlukan penjelasan lebih mendalam agar dapat dipahami dan diterapkan
secara tepat. Oleh sebab itu, tafsir menjadi instrumen utama yang digunakan
oleh ulama untuk menjelaskan pesan-pesan Allah Swt. yang terkandung dalam kitab
suci tersebut.¹
Seiring perkembangan zaman, muncul tantangan baru
dalam memahami Al-Qur’an. Beragam latar belakang sosial, budaya, dan keilmuan
umat Islam dari masa ke masa menyebabkan adanya kebutuhan untuk menyusun metode
penafsiran yang relevan. Metodologi tafsir berkembang untuk mengakomodasi
kebutuhan tersebut dengan tetap menjaga otentisitas dan kemurnian teks
Al-Qur’an.² Tantangan ini semakin kompleks di era modern, di mana muncul
berbagai pendekatan baru, termasuk pengaruh hermeneutika Barat, yang memerlukan
kajian kritis agar sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman.³
1.2. Tujuan Kajian
Kajian tentang metodologi tafsir bertujuan untuk
memberikan pemahaman mendalam mengenai prinsip-prinsip, metode, dan pendekatan
yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dengan memahami metodologi tafsir,
para pengkaji dapat:
1)
Mengetahui berbagai metode tafsir yang telah dikembangkan oleh ulama
sepanjang sejarah Islam.
2)
Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan setiap metode tafsir dalam
konteks kontemporer.
3)
Mendorong pengembangan metode tafsir yang tidak hanya relevan dengan
zaman, tetapi juga tetap menjaga kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariat
Islam.
Melalui kajian ini, diharapkan umat Islam,
khususnya para pelajar dan akademisi, dapat memahami esensi metodologi tafsir
sebagai salah satu cabang ilmu yang dinamis. Hal ini menjadi penting agar
tafsir Al-Qur’an tidak hanya dipahami dalam konteks tradisional tetapi juga
mampu menjawab tantangan global yang semakin kompleks.⁴
Catatan Kaki
[1]
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Cairo: Dar al-Turath, 1957), 23.
[2]
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum
al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 75.
[3]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 19.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 45.
2.
Konsep
Dasar Metodologi dalam Ilmu Tafsir
2.1. Definisi Metodologi Tafsir
Secara umum, metodologi adalah ilmu yang membahas
tentang cara atau metode untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan
sistematis. Dalam konteks ilmu tafsir, metodologi tafsir diartikan sebagai
pendekatan ilmiah yang digunakan oleh seorang mufassir untuk memahami,
menafsirkan, dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan prinsip-prinsip
yang telah disepakati dalam tradisi Islam.¹
Menurut Az-Zarkashi, metodologi tafsir berperan
penting untuk menjaga agar penafsiran tidak menyimpang dari maksud teks
Al-Qur’an yang otentik. Ia menekankan bahwa metodologi tafsir harus merujuk
pada prinsip-prinsip syariat, mengutamakan pemahaman bahasa Arab, dan konsisten
dengan akidah Islam.²
2.2. Tujuan dan Fungsi Metodologi Tafsir
Metodologi tafsir bertujuan untuk menyediakan
kerangka kerja yang jelas bagi mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, sehingga
penafsiran yang dihasilkan dapat:
·
Mengungkap makna tekstual dan kontekstual Al-Qur’an.
Dengan menggunakan
metodologi yang tepat, tafsir tidak hanya terbatas pada pemahaman literal,
tetapi juga mencakup dimensi kontekstual yang relevan dengan situasi umat
Islam.³
·
Menjaga keotentikan dan integritas Al-Qur’an.
Metodologi
tafsir memastikan bahwa tafsir yang dihasilkan tidak bertentangan dengan sumber
utama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.⁴
·
Memberikan panduan praktis bagi umat Islam.
Tafsir
berfungsi sebagai panduan yang aplikatif dalam menjalankan syariat Islam,
menjawab persoalan-persoalan kontemporer dengan tetap berlandaskan wahyu.⁵
2.3. Kriteria Penafsiran yang Sahih
Para ulama menetapkan sejumlah kriteria agar suatu
penafsiran dianggap sahih, di antaranya:
1)
Bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Penafsiran
ayat Al-Qur’an sebaiknya didahulukan dengan merujuk pada ayat-ayat lain (tafsir
Al-Qur’an bil-Qur’an). Jika tidak ditemukan penjelasan dalam Al-Qur’an, maka
rujukan berikutnya adalah hadis Nabi Muhammad Saw.⁶
2)
Berdasarkan pemahaman para Sahabat.
Para Sahabat
memiliki kedekatan langsung dengan Nabi dan memahami wahyu dalam konteks
sejarahnya. Oleh karena itu, pandangan mereka menjadi rujukan penting dalam
ilmu tafsir.⁷
3)
Mematuhi kaidah bahasa Arab.
Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab yang tinggi nilai sastranya. Oleh sebab itu, seorang
mufassir wajib memahami ilmu Nahwu, Sharf, Balaghah, dan Ulumul Lughah
lainnya.⁸
4)
Tidak bertentangan dengan akidah Islam.
Setiap
tafsir harus mencerminkan keyakinan yang sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal
Jamaah dan tidak menyimpang dari nilai-nilai syariat.⁹
Dengan memenuhi kriteria ini, tafsir yang
dihasilkan akan mampu memberikan pemahaman yang benar, kontekstual, dan
aplikatif bagi umat Islam.
Catatan Kaki
[1]
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Penuntun
Menafsirkan Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 27.
[2]
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Cairo: Dar al-Turath, 1957), 23.
[3]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 15.
[4]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 92.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 47.
[6]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
(Riyadh: Darussalam, 1999), 11.
[7]
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
ed. Mahmud Shakir (Cairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 35.
[8]
Thahir bin Ashur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
(Tunis: Dar al-Tunisia, 1984), 15.
[9]
Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din (Cairo: Dar
al-Hadith, 2004), 96.
3.
Jenis-Jenis
Metode dalam Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir memiliki berbagai metode yang
dikembangkan oleh para ulama untuk memahami Al-Qur'an dengan benar. Setiap
metode memiliki ciri khas, keunggulan, dan batasannya masing-masing. Berikut
adalah penjelasan tentang jenis-jenis metode tafsir yang utama.
3.1. Tafsir Bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur adalah metode penafsiran yang
didasarkan pada riwayat-riwayat dari Al-Qur'an itu sendiri, hadis Nabi Muhammad
Saw., pendapat para Sahabat, dan Tabi’in.¹ Metode ini menekankan otentisitas
dengan merujuk langsung kepada sumber utama Islam.
Contoh tafsir bil-ma’tsur yang paling terkenal
adalah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya Imam Ath-Thabari. Dalam
karyanya, Ath-Thabari menyusun tafsir berdasarkan riwayat dari Nabi dan para
Sahabat, seperti Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas’ud.² Keunggulan metode
ini adalah keandalannya dalam menjaga keotentikan tafsir, tetapi kelemahannya
adalah ketergantungannya pada ketersediaan riwayat yang valid.
3.2. Tafsir Bil-Ra’yi
Tafsir bil-ra’yi adalah metode penafsiran yang
menggunakan ijtihad rasional mufassir dengan tetap berlandaskan kaidah bahasa
Arab dan prinsip-prinsip syariat.³ Metode ini biasanya digunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat yang tidak secara langsung dijelaskan dalam Al-Qur'an
atau hadis.
Salah satu contoh tafsir bil-ra’yi adalah Tafsir
al-Kashshaf karya Zamakhsyari. Tafsir ini menonjolkan aspek kebahasaan dan
retorika Al-Qur'an.⁴ Namun, metode ini sering mendapat kritik karena dapat
membuka ruang bagi penafsiran yang bersifat subjektif atau menyimpang jika
tidak diawasi dengan ketat.⁵
3.3. Tafsir Isyari (Sufi)
Tafsir isyari adalah metode yang berfokus pada
makna batin atau spiritual ayat-ayat Al-Qur'an, sebagaimana dipahami oleh para
ulama sufi.⁶ Metode ini menafsirkan Al-Qur'an melalui pendekatan isyarat yang
dianggap sesuai dengan pengalaman spiritual.
Contoh karya tafsir isyari adalah Ruh al-Bayan
karya Ismail Haqqi dan Tafsir al-Tustari karya Sahl al-Tustari.
Kelebihan metode ini adalah kemampuannya menghubungkan teks Al-Qur'an dengan
pengalaman spiritual individu, namun kelemahannya adalah sulitnya memastikan
validitas tafsir tersebut tanpa landasan tekstual yang kuat.⁷
3.4. Tafsir Ilmi (Saintifik)
Tafsir ilmi adalah metode yang berusaha memahami
ayat-ayat Al-Qur'an dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern. Metode ini
sering digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang berkaitan dengan
fenomena alam dan sains.⁸
Contoh penggunaan metode ini dapat ditemukan dalam
karya Harun Yahya dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, di mana
penulis mencoba menggali hubungan antara Al-Qur'an dan temuan ilmiah modern.
Metode ini memberikan perspektif baru dalam memahami Al-Qur'an, tetapi rentan
terhadap risiko penyesuaian ayat dengan teori ilmiah yang belum mapan.⁹
3.5. Tafsir Tematik (Maudhu’i)
Tafsir tematik adalah metode yang membahas suatu
tema atau topik tertentu dalam Al-Qur'an dengan menghimpun semua ayat yang
berkaitan, kemudian dianalisis secara mendalam.¹⁰
Metode ini melibatkan langkah-langkah sistematis,
seperti menentukan tema, mengidentifikasi ayat-ayat terkait, dan menganalisis
konteks ayat. Salah satu contoh penerapan metode ini adalah kajian tentang tema
keadilan sosial dalam Al-Qur'an. Kelebihan metode ini adalah kemampuannya
memberikan jawaban yang terfokus dan relevan terhadap persoalan kontemporer,
sementara kelemahannya adalah risiko mengabaikan konteks ayat secara
keseluruhan jika tidak dilakukan dengan hati-hati.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 85.
[2]
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
ed. Mahmud Shakir (Cairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 45.
[3]
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Penuntun
Menafsirkan Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 71.
[4]
Zamakhsyari, Tafsir al-Kashshaf (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1977), 12.
[5]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 31.
[6]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 128.
[7]
Sahl al-Tustari, Tafsir al-Tustari (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 5.
[8]
Harun Yahya, Miracles of the Quran
(Istanbul: Global Publishing, 2005), 23.
[9]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), 312.
[10]
Al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i
(Cairo: Dar al-Hadith, 1994), 14.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 65.
4.
Prinsip-Prinsip
Dasar dalam Menafsirkan Al-Qur'an
4.1. Berpegang pada Kaidah Bahasa Arab
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab dengan
tingkat keindahan sastra yang tinggi. Oleh karena itu, memahami kaidah bahasa
Arab, seperti ilmu Nahwu, Sharf, dan Balaghah, merupakan syarat utama dalam
menafsirkan Al-Qur'an.¹ Ilmu Nahwu membantu mufassir memahami struktur kalimat,
sementara Sharf membantu dalam memahami perubahan bentuk kata. Balaghah
berperan untuk mengungkap keindahan dan keunikan ekspresi dalam Al-Qur'an.
Sebagai contoh, penggunaan gaya bahasa istiarah (metafora) dalam ayat-ayat
Al-Qur'an sering kali memerlukan analisis linguistik mendalam agar maknanya
tersampaikan dengan benar.²
Imam Asy-Syafi’i dalam Risalah-nya
menekankan bahwa memahami teks Al-Qur'an tidak mungkin dilakukan tanpa
penguasaan mendalam terhadap bahasa Arab.³ Penafsiran yang mengabaikan kaidah
bahasa Arab berpotensi menghasilkan kesalahan serius, baik dalam makna maupun
konteks.⁴
4.2. Memahami Konteks Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat
merupakan elemen penting dalam tafsir. Memahami konteks historis ini membantu
mufassir menafsirkan ayat sesuai dengan kondisi saat wahyu diturunkan.⁵ Sebagai
contoh, ayat tentang perceraian dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 229-230
diturunkan dalam konteks kebiasaan masyarakat Arab yang sering mempermainkan
talak, sehingga penafsiran ayat tersebut memerlukan pemahaman terhadap situasi
sosial pada saat itu.⁶
Ibn Katsir menegaskan pentingnya asbabun nuzul
dalam tafsir untuk memastikan bahwa penafsiran tidak menyimpang dari maksud
sebenarnya. Ia mencatat bahwa mengetahui asbabun nuzul dapat membantu mufassir
membedakan antara hukum yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.⁷
4.3. Konsistensi dengan Aqidah dan Syariat
Penafsiran Al-Qur'an harus sejalan dengan
prinsip-prinsip akidah dan syariat Islam. Hal ini mencakup keyakinan terhadap
keesaan Allah, kebenaran wahyu, dan ajaran moral yang diajarkan oleh Islam.
Tafsir yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ini dianggap tidak
valid.⁸
Sebagai contoh, penafsiran ayat-ayat mutasyabihat
(ayat yang memiliki makna samar) tidak boleh dilakukan secara literal apabila
bertentangan dengan akidah Islam. Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya
pendekatan ta’wil yang selaras dengan keyakinan yang benar, terutama dalam
ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat Allah.⁹
4.4. Keselarasan dengan Ayat Lain (Tafsir Al-Qur’an
Bil-Qur’an)
Al-Qur'an adalah kitab yang saling menjelaskan
antara satu bagian dengan bagian lainnya. Oleh karena itu, mufassir harus
mengacu pada ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an untuk memahami makna sebuah ayat.¹⁰
Pendekatan ini dikenal sebagai tafsir Al-Qur’an bil-Qur’an.
Sebagai contoh, penafsiran Surah Al-Fatihah [01]
ayat 6 tentang "jalan yang lurus" diperjelas dalam Surah
An-Nisa [04] ayat69 yang menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalan para
nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Pendekatan ini memastikan penafsiran
tetap berada dalam kerangka Al-Qur'an yang koheren.¹¹
4.5. Merujuk pada Sunnah Nabi
Hadis Nabi Muhammad Saw. merupakan penjelas utama
bagi ayat-ayat Al-Qur'an. Sunnah berfungsi memberikan rincian terhadap
ayat-ayat yang bersifat umum, sehingga tidak mungkin menafsirkan Al-Qur'an
secara sempurna tanpa merujuk kepada hadis.¹² Sebagai contoh, perintah
mendirikan salat yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 43 dijelaskan
secara rinci tata caranya melalui sunnah Nabi.¹³
4.6. Memahami Konteks Universal dan Kekhususan
Setiap ayat Al-Qur'an memiliki konteks, baik yang
bersifat universal maupun khusus. Mufassir perlu memahami apakah ayat tersebut
berlaku secara umum untuk seluruh umat manusia atau hanya untuk kasus
tertentu.¹⁴ Sebagai contoh, ayat tentang pembagian warisan dalam Surah An-Nisa:
11 memiliki aturan yang universal, tetapi ayat tentang perang dalam Surah
At-Taubah [09] ayat 5 diturunkan untuk konteks tertentu dan tidak berlaku dalam
situasi damai.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 51.
[2]
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Turath, 1957), 27.
[3]
Imam Asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), 32.
[4]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta:
Lentera Hati, 2009), 125.
[5]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
(Riyadh: Darussalam, 1999), 45.
[6]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 19.
[7]
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
ed. Mahmud Shakir (Cairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 50.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din (Cairo: Dar
al-Hadith, 2004), 122.
[9]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 65.
[10]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), 23.
[11]
Al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i
(Cairo: Dar al-Hadith, 1994), 29.
[12]
Al-Suyuthi, Miftah al-Jannah (Cairo: Dar
al-Hidayah, 1987), 17.
[13]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari
(Riyadh: Darussalam, 1997), 1:20.
[14]
Abdullah bin Mas'ud, dalam Al-Muwafaqat fi Usul
al-Shariah karya Asy-Syatibi (Cairo: Dar al-Kutub, 1982), 34.
[15]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 55.
5.
Tantangan
dalam Metodologi Tafsir di Era Modern
Ilmu tafsir menghadapi berbagai tantangan di era
modern. Dinamika globalisasi, kemajuan teknologi, dan perkembangan pemikiran
kontemporer menuntut metode tafsir yang adaptif tanpa mengabaikan
prinsip-prinsip dasar agama. Berikut adalah beberapa tantangan utama dalam metodologi
tafsir di era modern.
5.1. Perkembangan Pemikiran Islam dan Pengaruh
Hermeneutika Barat
Salah satu tantangan terbesar dalam metodologi
tafsir adalah munculnya pengaruh hermeneutika Barat. Hermeneutika, yang awalnya
dikembangkan sebagai metode interpretasi teks Alkitab, mulai diaplikasikan oleh
sebagian pemikir Muslim untuk menafsirkan Al-Qur'an.¹ Metode ini menekankan
aspek kontekstualisasi teks dan sering kali mengesampingkan sifat ilahiah
wahyu.
Sebagai contoh, Fazlur Rahman mengembangkan
pendekatan "double movement" yang bertujuan untuk memahami
konteks historis ayat dan menghubungkannya dengan konteks kontemporer.²
Pendekatan ini memiliki kelebihan dalam menjawab persoalan modern, namun juga
mendapat kritik karena dianggap terlalu dekat dengan paradigma hermeneutika
Barat.³ Ulama tradisional, seperti Muhammad Al-Ghazali, memperingatkan bahwa
penggunaan hermeneutika yang tidak terkendali dapat menyebabkan distorsi makna
ayat.⁴
5.2. Pengaruh Konteks Sosial dan Budaya
Konteks sosial dan budaya yang terus berubah juga
memengaruhi cara umat Islam memahami Al-Qur'an. Misalnya, isu-isu seperti
kesetaraan gender, pluralisme agama, dan hak asasi manusia sering kali menjadi
subjek tafsir kontemporer.⁵ Sebagian mufassir mencoba menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur'an agar sesuai dengan nilai-nilai modern, namun pendekatan ini sering
kali menimbulkan kontroversi.
Sebagai contoh, ayat tentang poligami dalam Surah
An-Nisa: 3 sering diperdebatkan dalam konteks modern. Beberapa mufassir modern,
seperti Quraish Shihab, menekankan syarat keadilan dalam poligami sebagai upaya
untuk membatasi praktik tersebut.⁶ Pendekatan ini mendapat dukungan sebagian
pihak, tetapi juga dikritik oleh kelompok konservatif yang menganggapnya
terlalu modernis.
5.3. Kebutuhan Tafsir Multidisipliner
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut
pendekatan multidisipliner dalam tafsir. Ayat-ayat kauniyah yang berkaitan
dengan alam semesta, biologi, dan sains modern memerlukan penafsiran yang
melibatkan pengetahuan ilmiah. Namun, pendekatan ini menimbulkan tantangan
berupa risiko "scientific apologetics," yaitu menafsirkan ayat
untuk mendukung temuan ilmiah tertentu tanpa mempertimbangkan konteks ayat itu
sendiri.⁷
Sebagai contoh, ayat tentang "langit dan
bumi yang awalnya menyatu kemudian dipisahkan" dalam Surah Al-Anbiya [21]
ayat 30 sering dikaitkan dengan teori Big Bang.⁸ Meskipun pendekatan ini
membantu menjelaskan relevansi Al-Qur'an dengan sains, mufassir seperti Harun
Yahya sering mendapat kritik karena dianggap terlalu bergantung pada teori yang
masih berkembang.⁹
5.4. Munculnya Tafsir Populer yang Kurang Berdasarkan
Prinsip Ilmiah
Kemajuan teknologi informasi, seperti media sosial
dan platform digital, memungkinkan munculnya "tafsir populer"
yang sering kali disampaikan tanpa landasan ilmiah yang memadai. Tafsir ini
cenderung menyederhanakan pesan Al-Qur'an, sehingga berpotensi menyesatkan
audiens yang kurang kritis.¹⁰
Sebagai contoh, video pendek yang menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur'an dengan sudut pandang yang dangkal sering kali viral di
media sosial. Ulama seperti Yusuf Al-Qaradawi menekankan pentingnya membedakan
antara penjelasan Al-Qur'an untuk tujuan dakwah dan tafsir ilmiah yang
membutuhkan kajian mendalam.¹¹
5.5. Kesenjangan Antara Generasi Mufassir Tradisional
dan Modern
Tantangan lain adalah kesenjangan pemikiran antara
mufassir tradisional yang fokus pada metode klasik, seperti tafsir bil-ma’tsur,
dan mufassir modern yang lebih adaptif terhadap isu-isu kontemporer.¹²
Kesenjangan ini sering kali menciptakan polarisasi dalam komunitas Muslim, di
mana sebagian pihak cenderung menolak pendekatan modern, sementara pihak lain
menganggap metode klasik kurang relevan.
Sebagai solusi, ulama seperti M. Amin Abdullah
menyerukan pentingnya pendekatan integratif antara metode klasik dan modern
untuk menciptakan tafsir yang tetap otentik namun relevan dengan zaman.¹³
Catatan Kaki
[1]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 25.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
14.
[3]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an, 27.
[4]
Muhammad Al-Ghazali, Fiqh al-Sirah (Cairo:
Dar al-Qalam, 1990), 34.
[5]
Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman's Perspective (Oxford: Oxford University Press,
1999), 19.
[6]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an
(Jakarta: Lentera Hati, 1999), 87.
[7]
Harun Yahya, Miracles of the Quran
(Istanbul: Global Publishing, 2005), 12.
[8]
Maurice Bucaille, The Bible, The Qur'an, and
Science (Paris: Seghers, 1976), 109.
[9]
Harun Yahya, Miracles of the Quran, 14.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Qur'an al-Muyassar
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), 33.
[11]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Dakwah (Cairo: Dar
al-Shorouk, 1998), 50.
[12]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 99.
[13]
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 67.
6.
Studi
Kasus: Perbandingan Pendekatan Tafsir
6.1. Analisis Tafsir Bil-Ma’tsur vs. Tafsir Bil-Ra’yi
6.1.1.
Tafsir
Bil-Ma’tsur
Metode tafsir bil-ma’tsur didasarkan pada
riwayat-riwayat dari Al-Qur'an, hadis Nabi, serta pendapat Sahabat dan
Tabi’in.¹ Metode ini dianggap paling otoritatif karena berakar pada
sumber-sumber yang kredibel dan otentik. Sebagai contoh, dalam penafsiran Surah
Al-Fatihah [01] ayat 7 tentang “jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat,”
mufassir bil-ma’tsur seperti Ath-Thabari merujuk kepada hadis yang menyatakan
bahwa jalan tersebut merujuk kepada para nabi, shiddiqin, syuhada, dan
shalihin.²
Keunggulan utama metode ini adalah ketelitiannya
dalam menjaga keotentikan penafsiran. Namun, metode ini terkadang dianggap
kurang fleksibel dalam menjawab persoalan kontemporer yang tidak secara
langsung disebutkan dalam Al-Qur'an maupun hadis.³
6.1.2.
Tafsir
Bil-Ra’yi
Di sisi lain, tafsir bil-ra’yi mengandalkan
kemampuan ijtihad rasional mufassir dengan tetap berlandaskan kaidah bahasa
Arab dan prinsip-prinsip syariat.⁴ Metode ini memungkinkan pendekatan yang
lebih kreatif dalam menafsirkan ayat, terutama untuk masalah-masalah baru yang
tidak dibahas secara eksplisit dalam sumber utama.
Sebagai contoh, Zamakhsyari dalam Tafsir
al-Kashshaf menggunakan metode bil-ra’yi untuk menafsirkan Surah
Al-Baqarah: 2 tentang sifat "tidak ada keraguan dalam Al-Qur'an." Ia
menekankan pentingnya keimanan yang rasional dan penolakan terhadap keraguan
berdasarkan argumen logis.⁵ Namun, pendekatan ini sering kali dikritik karena
berpotensi membuka ruang bagi penafsiran subjektif yang dapat menyimpang dari
maksud asli teks.⁶
6.1.3.
Kesimpulan
Perbandingan
Metode bil-ma’tsur unggul dalam menjaga keaslian
makna, sementara metode bil-ra’yi lebih adaptif terhadap persoalan kontemporer.
Kombinasi keduanya dapat memberikan solusi yang holistik dalam tafsir, yaitu
dengan merujuk pada riwayat terlebih dahulu, lalu menggunakan ijtihad jika
tidak ditemukan jawaban yang memadai.⁷
6.2. Perbandingan Tafsir Tematik (Maudhu’i) dan Tafsir
Ilmi (Saintifik)
6.2.1.
Tafsir Tematik
(Maudhu’i)
Tafsir maudhu’i atau tematik bertujuan menghimpun
ayat-ayat yang membahas topik tertentu, kemudian menganalisisnya secara
mendalam. Metode ini sering digunakan untuk menjawab isu-isu spesifik, seperti
keadilan sosial atau hubungan antaragama.⁸ Sebagai contoh, dalam kajian tentang
keadilan dalam Al-Qur'an, mufassir akan mengumpulkan semua ayat yang berkaitan
dengan kata ‘adl (keadilan) dan menganalisisnya dalam konteks hukum,
sosial, dan spiritual.⁹
Keunggulan metode ini adalah fokus dan relevansi
terhadap masalah tertentu. Namun, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, metode
ini berisiko mengabaikan konteks keseluruhan dari ayat-ayat yang dihimpun.¹⁰
6.2.2.
Tafsir Ilmi
(Saintifik)
Metode ini berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an
yang berkaitan dengan fenomena alam melalui pendekatan ilmiah.¹¹ Sebagai
contoh, penafsiran Surah Al-Anbiya [21] ayat 30 tentang penciptaan alam semesta
sering dikaitkan dengan teori Big Bang.¹² Harun Yahya adalah salah satu
mufassir yang terkenal menggunakan pendekatan ini, yang bertujuan untuk
menunjukkan keselarasan antara Al-Qur'an dan ilmu pengetahuan modern.¹³
Kelebihan metode ini adalah kemampuannya menarik
minat generasi modern terhadap Al-Qur'an. Namun, kelemahannya terletak pada
risiko over-interpretation, yaitu memaksakan ayat untuk sesuai dengan teori
ilmiah yang masih belum mapan.¹⁴
6.2.3.
Kesimpulan
Perbandingan
Tafsir tematik lebih relevan untuk membahas isu-isu
sosial dan hukum, sementara tafsir saintifik efektif dalam menjelaskan
ayat-ayat yang berkaitan dengan alam dan sains. Kombinasi kedua pendekatan ini
dapat membantu menjawab berbagai persoalan kontemporer dengan tetap menjaga
relevansi dan keotentikan Al-Qur'an.
6.3. Evaluasi Tafsir Modern terhadap Ayat-Ayat Sosial
Pendekatan tafsir modern sering kali menekankan
pentingnya relevansi Al-Qur'an terhadap problematika sosial kontemporer,
seperti keadilan gender dan hak asasi manusia.¹⁵ Misalnya, dalam menafsirkan
Surah An-Nisa [04] ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, mufassir
modern seperti Amina Wadud menekankan pentingnya prinsip keadilan dan saling
menghormati dalam hubungan suami istri, bukan dominasi.¹⁶
Pendekatan ini berhasil menarik perhatian khalayak
modern, namun sering mendapat kritik dari ulama tradisional karena dianggap
terlalu progresif. Untuk itu, diperlukan keseimbangan antara mempertahankan
nilai-nilai dasar Islam dan menjawab tuntutan zaman.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 85.
[2]
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
ed. Mahmud Shakir (Cairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 34.
[3]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 19.
[4]
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Penuntun
Menafsirkan Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 71.
[5]
Zamakhsyari, Tafsir al-Kashshaf (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1977), 15.
[6]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an, 27.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 45.
[8]
Al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i
(Cairo: Dar al-Hadith, 1994), 29.
[9]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an
(Jakarta: Lentera Hati, 1999), 94.
[10]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an, 31.
[11]
Harun Yahya, Miracles of the Quran
(Istanbul: Global Publishing, 2005), 23.
[12]
Maurice Bucaille, The Bible, The Qur'an, and
Science (Paris: Seghers, 1976), 109.
[13]
Harun Yahya, Miracles of the Quran, 34.
[14]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 68.
[15]
Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman's Perspective (Oxford: Oxford University Press,
1999), 19.
[16]
Amina Wadud, Qur'an and Woman, 25.
[17]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Dakwah (Cairo: Dar
al-Shorouk, 1998), 77.
7.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
7.1. Kesimpulan
Metodologi dalam ilmu tafsir merupakan kunci untuk
memahami Al-Qur'an secara mendalam, baik dalam aspek tekstual maupun
kontekstual. Berbagai metode yang dikembangkan, seperti tafsir bil-ma’tsur,
bil-ra’yi, tematik, saintifik, dan isyari, memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing.¹ Penggunaan metodologi yang tepat memungkinkan Al-Qur'an
dipahami sesuai dengan konteks historisnya sekaligus relevan dengan situasi
modern.
Di era modern, tantangan seperti pengaruh hermeneutika
Barat, kebutuhan tafsir multidisipliner, dan meningkatnya tafsir populer tanpa
landasan ilmiah memerlukan perhatian serius.² Tafsir yang sahih harus tetap
berpegang pada prinsip-prinsip dasar, seperti rujukan kepada Al-Qur'an, Sunnah,
dan pemahaman para ulama terdahulu, sembari membuka ruang untuk ijtihad yang
bertanggung jawab.³ Dengan mengintegrasikan metode klasik dan modern, tafsir
dapat menjembatani kebutuhan umat Islam di masa kini tanpa kehilangan
otentisitasnya.⁴
7.2. Rekomendasi
1)
Pengembangan Metodologi Tafsir yang Integratif
Para
mufassir perlu mengembangkan pendekatan yang mengintegrasikan metode klasik,
seperti bil-ma’tsur, dengan metode modern yang adaptif terhadap persoalan
kontemporer.⁵ Pendekatan ini harus tetap berlandaskan kaidah bahasa Arab dan
prinsip syariat, sekaligus terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern untuk
menjawab persoalan umat di era global.⁶
2)
Penguatan Kompetensi Mufassir
Diperlukan
penguatan kompetensi mufassir, baik dalam penguasaan ilmu-ilmu klasik seperti
Nahwu, Sharf, dan Balaghah, maupun dalam pemahaman ilmu-ilmu sosial, sains, dan
teknologi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa mufassir mampu menjawab
persoalan kontemporer tanpa melanggar prinsip-prinsip keislaman.⁷
3)
Peningkatan Literasi Tafsir di Kalangan Umat Islam
Literasi
tafsir perlu ditingkatkan melalui pendidikan formal maupun nonformal agar
masyarakat tidak hanya mengandalkan tafsir populer yang kurang bertanggung
jawab. Upaya ini bisa dilakukan dengan menyediakan buku, artikel, dan kursus
tafsir yang berkualitas dan mudah diakses.⁸
4)
Penyusunan Tafsir Tematik untuk Isu-Isu Kontemporer
Diperlukan
tafsir tematik yang membahas isu-isu seperti hak asasi manusia, kesetaraan
gender, dan lingkungan hidup. Pendekatan ini akan membantu umat Islam memahami
Al-Qur'an dalam konteks persoalan global tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar
Islam.⁹
5)
Pengawasan dan Standarisasi Tafsir Digital
Dengan
berkembangnya platform digital, perlu ada pengawasan terhadap konten tafsir
yang disebarkan melalui media sosial. Standarisasi tafsir digital oleh lembaga
resmi dapat membantu mencegah penyebaran tafsir yang menyimpang atau tidak
bertanggung jawab.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 85.
[2]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 25.
[3]
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
ed. Mahmud Shakir (Cairo: Dar al-Ma’arif, 2001), 34.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 45.
[5]
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Penuntun
Menafsirkan Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 71.
[6]
Harun Yahya, Miracles of the Quran
(Istanbul: Global Publishing, 2005), 12.
[7]
Al-Zarkashi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an
(Cairo: Dar al-Turath, 1957), 27.
[8]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Dakwah (Cairo: Dar
al-Shorouk, 1998), 77.
[9]
Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman's Perspective (Oxford: Oxford University Press,
1999), 19.
[10]
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 67.
Daftar Pustaka
Books
Al-Bukhari, M. I. (1997). Sahih al-Bukhari.
Riyadh: Darussalam.
Al-Farmawi, M. (1994). Al-Bidayah fi Tafsir
al-Maudhu’i. Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Ghazali, M. (2004). Ihya Ulum ad-Din.
Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Qaradawi, Y. (1998). Fiqh Dakwah. Cairo:
Dar al-Shorouk.
Al-Qurtubi, A. (2005). Al-Jami' li Ahkam
al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Suyuthi, J. (1996). Al-Itqan fi Ulum
al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Suyuthi, J. (1987). Miftah al-Jannah.
Cairo: Dar al-Hidayah.
Al-Zarkashi, B. (1957). Al-Burhan fi Ulum
al-Qur’an (Ed. M. Abu al-Fadl Ibrahim). Cairo: Dar al-Turath.
Ath-Thabari, M. J. (2001). Jami’ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an (Ed. M. Shakir). Cairo: Dar al-Ma’arif.
Bucaille, M. (1976). The Bible, The Qur'an, and
Science. Paris: Seghers.
Rahman, F. (1980). Major Themes of the Quran.
Chicago: University of Chicago Press.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Shihab, M. Q. (1999). Membumikan Al-Qur'an.
Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2009). Tafsir al-Mishbah.
Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2013). Kaidah Tafsir: Penuntun
Menafsirkan Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Tustari, S. (2002). Tafsir al-Tustari.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Wadud, A. (1999). Qur'an and Woman: Rereading
the Sacred Text from a Woman's Perspective. Oxford: Oxford University
Press.
Yahya, H. (2005). Miracles of the Quran.
Istanbul: Global Publishing.
Zamakhsyari, A. (1977). Tafsir al-Kashshaf.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Journal Articles
Abdullah, S. (2006). Interpreting the Qur'an: Towards
a Contemporary Approach. London: Routledge.
Edited Volumes
Shafi'i, I. (1990). Ar-Risalah. Beirut: Dar
al-Fikr.
Lampiran: Daftar Tafsir Al-Qur'an Berdasarkan Metode
1.
Tafsir
Bil-Ma’tsur
1)
Tafsir Ath-Thabari (Jami’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an)
o
Penulis: Muhammad
bin Jarir Ath-Thabari
o
Daerah Asal: Amol,
Tabaristan (sekarang Iran)
o
Masa Hidup: 838–923 M
o
Madzhab: Syafi’i
(dalam fiqh) dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
2)
Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim)
o
Penulis: Ismail bin
Umar Al-Qurashi Ad-Dimasyqi (Ibnu Katsir)
o
Daerah Asal: Damaskus,
Suriah
o
Masa Hidup: 1301–1373
M
o
Madzhab: Syafi’i
3)
Tafsir As-Sa’di (Taysir
al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan)
o
Penulis:
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
o
Daerah Asal: Unaizah,
Najd (sekarang Arab Saudi)
o
Masa Hidup: 1889–1956
M
o
Madzhab: Hanbali
2.
Tafsir
Bil-Ra’yi
1)
Tafsir Al-Kashshaf
o
Penulis: Abu
al-Qasim Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari
o
Daerah Asal:
Zamakhshar, Khwarezm (sekarang Uzbekistan)
o
Masa Hidup: 1074–1144
M
o
Madzhab: Mu’tazilah
2)
Tafsir Al-Baidhawi (Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil)
o
Penulis: Abdullah
bin Umar Al-Baidhawi
o
Daerah Asal: Fars,
Persia (sekarang Iran)
o
Masa Hidup: 1226–1286
M
o
Madzhab: Syafi’i
3)
Tafsir Al-Jassas (Ahkam
al-Qur’an)
o
Penulis: Abu Bakar
Ahmad bin Ali Ar-Razi (Al-Jassas)
o
Daerah Asal: Baghdad,
Irak
o
Masa Hidup: 917–981 M
o
Madzhab: Hanafi
3.
Tafsir
Isyari (Sufi)
1)
Tafsir Al-Tustari
o
Penulis: Sahl bin
Abdullah At-Tustari
o
Daerah Asal: Tustar,
Persia (sekarang Iran)
o
Masa Hidup: 818–896 M
o
Madzhab: Sufi,
Sunni
2)
Tafsir Ruh al-Bayan
o
Penulis: Ismail
Haqqi Al-Burusawi
o
Daerah Asal: Bursa,
Turki
o
Masa Hidup: 1653–1725
M
o
Madzhab: Hanafi
4.
Tafsir
Ilmi (Saintifik)
1)
Tafsir Al-Jawahir
o
Penulis: Tantawi
Jauhari
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1862–1940
M
o
Madzhab: Syafi’i
2)
Tafsir Harun Yahya
o
Penulis: Harun
Yahya (Adnan Oktar)
o
Daerah Asal: Turki
o
Masa Hidup: 1956–
(kontemporer)
o
Madzhab: Tidak
spesifik; fokus pada saintifik
5.
Tafsir
Tematik (Maudhu’i)
1)
Tafsir Al-Maudhu’i Al-Qardhawi (Fi Zilal al-Qur'an Al-Maudhu’i)
o
Penulis: Yusuf
Al-Qaradawi
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1926–2022
M
o
Madzhab: Sunni
2)
Tafsir Al-Mishbah
o
Penulis: Muhammad
Quraish Shihab
o
Daerah Asal: Makassar,
Indonesia
o
Masa Hidup: 1944–
(kontemporer)
o
Madzhab: Sunni
6.
Tafsir
Multidisipliner
1)
Tafsir Fi Zilal al-Qur'an
o
Penulis: Sayyid
Qutb
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1906–1966
M
o
Madzhab: Sunni
2)
Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir
o
Penulis: Muhammad
Thahir bin Ashur
o
Daerah Asal: Tunisia
o
Masa Hidup: 1879–1973
M
o
Madzhab: Maliki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar