Sejarah,
Konsep, dan Perkembangannya dalam Perspektif Komprehensif
Alihkan ke: Aliran dan Pemikiran Filsafat. Cara Berpikir dan Peran Filsafat dalam
Pembentukannya.
Abstrak
Filsafat
merupakan disiplin ilmu yang berupaya memahami realitas, pengetahuan,
moralitas, dan eksistensi manusia melalui pendekatan rasional dan kritis.
Artikel ini mengkaji pemikiran filsafat secara komprehensif, mencakup sejarah
perkembangannya dari era klasik hingga kontemporer, cabang-cabang utama
filsafat, serta metode yang digunakan dalam kajian filosofis. Pembahasan
diawali dengan perkembangan filsafat dari pemikiran Yunani Kuno, abad
pertengahan, hingga filsafat modern dan kontemporer. Selanjutnya, artikel ini
mengeksplorasi cabang-cabang utama filsafat, termasuk metafisika, epistemologi,
logika, etika, estetika, dan filsafat politik. Metode-metode dalam filsafat,
seperti metode deduktif dan induktif, fenomenologi, analisis filsafat bahasa,
serta hermeneutika, juga dibahas secara mendalam. Artikel ini juga menyoroti
hubungan filsafat dengan disiplin ilmu lain, seperti sains, agama, dan politik,
serta kontribusinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sistem sosial.
Dengan merujuk pada berbagai sumber akademik yang kredibel, artikel ini
menegaskan bahwa filsafat memiliki peran yang terus berkembang dalam memahami
dan menjawab berbagai persoalan fundamental dalam kehidupan manusia.
Kata Kunci: Filsafat,
Metafisika, Epistemologi, Logika, Etika, Estetika, Filsafat Politik, Metode Filsafat, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, Filsafat Kontemporer.
PEMBAHASAN
Pemikiran
Filsafat dalam Perspektif Komprehensif
1.
Pendahuluan
1.1.
Definisi Filsafat dan Urgensinya dalam Kajian
Keilmuan
Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia,
yang secara harfiah berarti "cinta terhadap kebijaksanaan" (love of
wisdom). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Pythagoras
(sekitar abad ke-6 SM) untuk menggambarkan pencarian kebenaran dan pemahaman
mendalam terhadap realitas.1 Secara umum, filsafat adalah disiplin
ilmu yang berupaya memahami hakikat keberadaan, pengetahuan, dan moralitas
melalui pendekatan rasional dan kritis. Bertrand Russell mendefinisikan
filsafat sebagai suatu upaya untuk memahami dunia dengan menggunakan pemikiran
yang sistematis dan tidak hanya bergantung pada dogma atau tradisi.2
Filsafat memiliki peran fundamental dalam
perkembangan peradaban manusia. Ia tidak hanya menjadi landasan bagi ilmu
pengetahuan, tetapi juga memberikan kerangka konseptual dalam memahami etika,
estetika, politik, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Misalnya, filsafat
alam Yunani Kuno memberikan dasar bagi ilmu fisika modern, sementara filsafat
etika Aristotelian masih menjadi rujukan dalam studi moral kontemporer.3
Oleh karena itu, filsafat berfungsi sebagai alat untuk menelaah prinsip-prinsip
dasar yang mendasari berbagai cabang ilmu.
1.2.
Ruang Lingkup Pemikiran Filsafat
Pemikiran filsafat mencakup berbagai cabang
kajian, di antaranya metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, dan
filsafat politik. Metafisika membahas hakikat realitas dan keberadaan,
epistemologi mengkaji teori pengetahuan, sedangkan logika berfokus pada
prinsip-prinsip berpikir yang benar. Etika mengeksplorasi prinsip moralitas,
estetika mengkaji keindahan dan seni, sementara filsafat politik membahas
konsep keadilan dan kekuasaan.4
Di samping itu, metode dalam filsafat juga
beragam, termasuk metode deduktif dan induktif dalam berpikir, pendekatan
fenomenologi, hingga analisis filsafat bahasa dan hermeneutika. Metode ini
digunakan untuk menggali konsep-konsep mendasar dan memberikan pemahaman lebih
luas mengenai berbagai fenomena yang terjadi di dunia.5
1.3.
Tujuan Pembahasan dalam Artikel Ini
Artikel ini bertujuan untuk menyajikan
pemahaman komprehensif tentang pemikiran filsafat, dengan mengulas sejarah
perkembangannya, cabang-cabang utama, serta kaitannya dengan ilmu lain. Dengan
merujuk pada berbagai sumber akademik yang kredibel, pembahasan ini diharapkan
dapat memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana filsafat telah membentuk
peradaban manusia serta relevansinya dalam kehidupan kontemporer.
Artikel ini juga akan membahas metode-metode
utama dalam filsafat serta bagaimana pemikiran filsafat berkontribusi terhadap
perkembangan sains, agama, dan politik. Dengan memahami filsafat secara lebih
luas, kita dapat mengembangkan cara berpikir yang lebih kritis dan rasional
dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.6
Footnotes
[1]
Richard H. Popkin dan Avrum Stroll, Philosophy
Made Simple (New York: Doubleday, 1993), 4.
[2]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1912), 7.
[3]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 19-22.
[4]
William F. Lawhead, The Voyage of Discovery: A Historical Introduction to Philosophy (Belmont:
Wadsworth, 2002), 15-18.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 21-22.
[6]
John Cottingham, Western Philosophy: An Anthology (Oxford:
Blackwell, 2008), 3-6.
2.
Sejarah
Perkembangan Pemikiran Filsafat
Pemikiran filsafat telah mengalami
perkembangan yang panjang, dimulai dari peradaban kuno hingga pemikiran
kontemporer. Sejarah filsafat secara umum dapat dibagi menjadi empat periode
utama: filsafat
klasik, filsafat abad pertengahan, filsafat
modern, dan filsafat kontemporer. Setiap
periode ini memiliki karakteristik tersendiri yang ditandai dengan munculnya
berbagai tokoh dan aliran pemikiran yang memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
2.1.
Filsafat Klasik: Fondasi Pemikiran Barat dan
Timur
Filsafat klasik umumnya mengacu pada
pemikiran filsuf-filsuf Yunani yang berkembang sekitar abad ke-6 SM hingga era
Romawi. Namun, pemikiran filsafat juga telah berkembang dalam berbagai
peradaban lainnya, seperti India dan Tiongkok.
2.1.1.
Filsafat Yunani Kuno:
Socrates, Plato, dan Aristoteles
Filsafat Barat diawali oleh filsuf-filsuf
pra-Socrates seperti Thales, Anaximander, dan Pythagoras yang lebih fokus pada
kosmologi dan prinsip dasar realitas.1 Namun, filsafat mencapai
puncaknya melalui pemikiran tiga filsuf besar: Socrates, Plato, dan Aristoteles.
·
Socrates (469–399
SM) menekankan pentingnya berpikir kritis dan introspeksi melalui
metode dialektis yang kemudian dikenal sebagai metode Socratic.2 Ia
percaya bahwa kebijaksanaan sejati berasal dari kesadaran akan ketidaktahuan
diri ("The
only true wisdom is in knowing you know nothing.").
·
Plato (427–347 SM),
murid Socrates, memperkenalkan teori dunia ide (Theory of Forms), di mana ia
membedakan antara dunia nyata (dunia material) dan dunia ide (realitas hakiki
yang hanya dapat diakses melalui akal).3
·
Aristoteles
(384–322 SM), murid Plato, mengembangkan sistem logika formal dan
memberikan dasar bagi berbagai disiplin ilmu seperti metafisika, etika, dan
politik.4
2.1.2.
Filsafat di Luar
Yunani: India dan Tiongkok
Sementara filsafat Yunani berkembang di
Barat, peradaban India dan Tiongkok juga memiliki pemikiran filosofis yang
mendalam.
·
Di India,
filsafat berkembang melalui tradisi Veda, Upanishad, dan ajaran Buddha. Pemikir
seperti Siddhartha Gautama (Buddha, abad ke-5 SM) menekankan
konsep pencerahan dan pembebasan dari penderitaan melalui pemahaman diri dan
disiplin moral.5
·
Di Tiongkok,
Konfusius (551–479 SM) memperkenalkan filsafat etika berbasis
harmoni sosial, sementara Laozi dan Zhuangzi
mengembangkan Daoisme yang menekankan keseimbangan alam dan spontanitas dalam
kehidupan.6
2.2.
Filsafat Abad Pertengahan: Sintesis antara
Agama dan Akal
Periode ini ditandai dengan perpaduan
filsafat dengan teologi, baik dalam Islam maupun Kristen.
2.2.1.
Filsafat dalam Islam:
Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali
Dalam dunia Islam, filsafat berkembang pesat
melalui penerjemahan dan interpretasi karya-karya Yunani.
·
Al-Farabi
(872–950 M) mengembangkan teori emanasi dan negara utama (al-Madinah
al-Fadilah), yang dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles.7
·
Ibnu
Sina (980–1037 M), atau Avicenna, mengembangkan teori tentang
jiwa dan ilmu kedokteran yang menjadi referensi utama di dunia Barat hingga
abad ke-17.8
·
Al-Ghazali
(1058–1111 M) mengkritik filsafat rasionalisme dan berusaha
mensintesiskan antara pemikiran Islam dan mistisisme (tasawuf).9
2.2.2.
Filsafat dalam
Kristen: Agustinus dan Thomas Aquinas
Di dunia Kristen, pemikiran filsafat banyak
dipengaruhi oleh doktrin gereja.
·
Santo
Agustinus (354–430 M) mengadaptasi filsafat Plato dalam ajaran
Kristen, menekankan konsep kehendak bebas dan keberdosaan manusia.10
·
Thomas
Aquinas (1225–1274 M) mencoba mengharmonikan filsafat
Aristoteles dengan ajaran Kristen, membangun argumen rasional tentang keberadaan
Tuhan dalam karyanya Summa Theologica.11
2.3.
Filsafat Modern: Revolusi dalam Pemikiran
Filsafat modern berkembang pada abad ke-17
hingga abad ke-19, ditandai dengan munculnya rasionalisme dan empirisme.
2.3.1.
Rasionalisme: Rene
Descartes
Rene Descartes (1596–1650)
dikenal sebagai bapak filsafat modern dengan semboyan Cogito,
ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada"). Ia
menekankan pentingnya akal dalam memperoleh kebenaran.12
2.3.2.
Empirisme: Locke,
Berkeley, dan Hume
Empirisme menekankan bahwa pengetahuan berasal
dari pengalaman, bukan rasio. Tokoh-tokohnya termasuk:
·
John
Locke (1632–1704), yang memperkenalkan konsep tabula
rasa (manusia lahir tanpa pengetahuan bawaan).13
·
David
Hume (1711–1776), yang mengkritik konsep sebab-akibat dan
menekankan skeptisisme.14
2.3.3.
Sintesis Kantian:
Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724–1804)
mencoba mendamaikan rasionalisme dan empirisme dengan mengembangkan
epistemologi kritis.15
2.4.
Filsafat Kontemporer: Pemikiran Pasca-Modern
Filsafat kontemporer berkembang dengan
berbagai aliran seperti eksistensialisme, positivisme, dan postmodernisme.
·
Eksistensialisme:
Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche menekankan kebebasan individu.16
·
Positivisme:
Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein menekankan analisis logis bahasa.17
·
Postmodernisme:
Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik konsep kebenaran objektif.18
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers (London:
Routledge, 1982), 12.
[2]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Cambridge:
Cambridge University Press, 1991), 28.
[3]
Julia Annas, Plato: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 15.
[4]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 41.
[5]
Richard King, Indian Philosophy: An Introduction (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1999), 7.
[6]
Fung Yu-lan, A Short History of Chinese Philosophy (New York:
Free Press, 1948), 33.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 102.
[8]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden:
Brill, 2001), 84.
[9]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, terj. Michael
E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 5-8.
[10]
Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), 67-70.
[11]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, terj. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.
[12]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, terj. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18-20.
[13]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 104-107.
[14]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 75-79.
[15]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 132-135.
[16]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22-25.
[17]
Bertrand Russell, The Philosophy of Logical Atomism (London:
Routledge, 1985), 3-7.
[18]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage, 1994), 48-52.
3.
Cabang-Cabang
Pemikiran Filsafat
Filsafat sebagai disiplin ilmu memiliki
berbagai cabang yang berfungsi untuk mengkaji aspek-aspek fundamental dalam
kehidupan dan realitas. Cabang-cabang utama filsafat mencakup metafisika,
epistemologi, logika, etika, estetika, dan filsafat politik.
Setiap cabang memiliki pendekatan dan metode yang unik dalam menjawab
pertanyaan mendasar tentang eksistensi, pengetahuan, moralitas, dan keadilan.
3.1.
Metafisika: Kajian tentang Hakikat Realitas dan
Eksistensi
Metafisika adalah cabang filsafat yang
membahas hakikat keberadaan (being), realitas, dan dunia yang
ada di luar pengalaman indrawi.1 Istilah ini pertama kali digunakan
oleh Aristoteles dalam karyanya Metaphysics, yang menyelidiki
prinsip-prinsip dasar realitas, seperti substansi, keberadaan, dan perubahan.2
Beberapa pertanyaan mendasar dalam
metafisika adalah:
·
Apakah realitas bersifat
material atau immaterial?
·
Apakah manusia memiliki
kehendak bebas, atau segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya (determinisme)?
·
Apa hubungan antara
keberadaan (being) dan esensi (essence)?
Salah satu teori metafisika yang terkenal
adalah dualismenya
René Descartes, yang membedakan antara substansi material (res
extensa) dan substansi non-material (res cogitans).3
Sebaliknya, materialisme Karl Marx menolak
keberadaan substansi non-material dan berpendapat bahwa realitas ditentukan
oleh materi dan kondisi sosial-ekonomi.4
3.2.
Epistemologi: Kajian tentang Teori Pengetahuan
dan Kebenaran
Epistemologi adalah studi tentang asal-usul,
sifat, batasan, dan validitas pengetahuan.5 Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos
(kajian).
Terdapat dua pendekatan utama dalam
epistemologi:
1)
Rasionalisme
– Pengetahuan diperoleh melalui akal (reason), seperti yang dikemukakan
oleh Plato
dan Descartes.6
2)
Empirisme
– Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indrawi, sebagaimana yang diajarkan
oleh John
Locke, George Berkeley, dan David Hume.7
Immanuel Kant mencoba menggabungkan kedua
pendekatan ini melalui sintesis kritis, dengan
menyatakan bahwa pengalaman sensorik diperlukan untuk memperoleh pengetahuan,
tetapi akal juga memiliki peran penting dalam menstrukturkan pengalaman
tersebut.8
3.3.
Logika: Kajian tentang Prinsip-Prinsip Berpikir
yang Benar
Logika adalah cabang filsafat yang
mempelajari aturan berpikir yang sahih dan sistematis.9 Aristoteles
dianggap sebagai bapak logika formal, dengan mengembangkan sistem silogisme,
di mana suatu kesimpulan diturunkan dari dua premis yang diberikan.10
Contoh silogisme Aristotelian:
1)
Semua manusia adalah fana.
2)
Socrates adalah manusia.
3)
Maka, Socrates adalah fana.
Dalam perkembangan lebih lanjut, logika
modern dikembangkan oleh Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Kurt Gödel,
yang memperkenalkan logika simbolik dan teori himpunan sebagai dasar bagi ilmu
komputer dan matematika modern.11
3.4.
Etika: Kajian tentang Moralitas dan Nilai-Nilai
dalam Kehidupan
Etika adalah studi tentang konsep moralitas,
baik dan buruk, serta kewajiban manusia.12 Beberapa teori etika
utama meliputi:
1)
Deontologi
– Moralitas ditentukan oleh kewajiban dan prinsip, seperti dalam etika Immanuel
Kant.13
2)
Utilitarianisme
– Moralitas didasarkan pada manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak,
seperti yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.14
3)
Etika
Aristotelian – Moralitas bergantung pada pengembangan karakter
dan kebajikan individu (virtue ethics).15
Etika juga memiliki cabang-cabang praktis
seperti bioetika, etika
bisnis, dan etika lingkungan, yang membahas
penerapan prinsip moral dalam berbagai aspek kehidupan.16
3.5.
Estetika: Kajian tentang Keindahan dan Seni
Estetika adalah cabang filsafat yang
membahas keindahan, seni, dan pengalaman estetis.17 Pertanyaan utama
dalam estetika adalah:
·
Apa yang membuat sesuatu
dianggap indah?
·
Apakah keindahan bersifat
subjektif atau objektif?
·
Bagaimana seni mempengaruhi
manusia dan masyarakat?
Plato menganggap seni sebagai tiruan
dari realitas, sedangkan Aristoteles melihat seni sebagai sarana
katarsis untuk mengekspresikan emosi manusia.18 Di
era modern, filsuf seperti Immanuel Kant dan Arthur
Schopenhauer menekankan peran imajinasi dan pengalaman
subjektif dalam memahami seni.19
3.6.
Filsafat Politik: Kajian tentang Pemerintahan
dan Hak-Hak Manusia
Filsafat politik membahas konsep-konsep
seperti keadilan, kekuasaan, hak asasi manusia, dan bentuk pemerintahan yang
ideal.20 Beberapa pemikir utama dalam filsafat politik antara lain:
·
Plato:
Konsep negara ideal dalam Republik.21
·
Thomas
Hobbes: Teori kontrak sosial yang menekankan perlunya kekuasaan
absolut untuk menghindari anarki.22
·
John
Locke: Konsep hak asasi manusia dan pemerintahan demokratis.23
·
Karl
Marx: Kritik terhadap kapitalisme dan gagasan sosialisme.24
Filsafat politik modern terus berkembang
dalam konteks globalisasi, hak digital, dan keadilan sosial, dengan pemikiran
dari tokoh seperti John Rawls dan Michel
Foucault.25
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, terj. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press,
1924), 12-15.
[2]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 40-45.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, terj. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25-28.
[4]
Karl Marx, Das Kapital, terj. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1992),
50-55.
[5]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1912), 30-33.
[6]
Plato, The Republic, terj. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992),
75-79.
[7]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 100-105.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul
Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 140-145.
[9]
Peter Smith, An Introduction to Formal Logic (Cambridge:
Cambridge University Press, 2003), 20-25.
[10]
Aristotle, Organon, terj. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University
Press, 1938), 55-60.
[11]
Bertrand Russell, Introduction to Mathematical Philosophy (London:
Routledge, 1919), 10-15.
[12]
Julia Driver, Ethics: The Fundamentals (Oxford:
Blackwell, 2006), 5-10.
[13]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, terj.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30-35.
[14]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 25-30.
[15]
Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 45-50.
[16]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2011), 75-80.
[17]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism (New York: Harcourt, Brace & World, 1958), 15-20.
[18]
Plato, The Republic, terj. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett,
1992), 85-90.
[19]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, terj.
E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), 110-115.
[20]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 200-205.
[21]
Plato, The Republic, 65-70.
[22]
Thomas Hobbes, Leviathan, terj. C.B. Macpherson (London: Penguin
Classics, 1985), 125-130.
[23]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 150-155.
[24]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, terj.
Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 55-60.
[25]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 220-225.
4.
Metode-Metode
dalam Filsafat
Metode dalam filsafat merupakan pendekatan sistematis
yang digunakan untuk menyelidiki, memahami, dan menganalisis realitas,
pengetahuan, dan konsep-konsep fundamental lainnya. Berbeda dengan metode
ilmiah yang berbasis eksperimen dan observasi, metode filsafat lebih banyak
menggunakan rasionalitas, refleksi, dan argumentasi logis. Beberapa metode
utama dalam filsafat meliputi metode deduktif dan induktif, fenomenologi,
analisis
filsafat bahasa, dan hermeneutika.
4.1.
Metode Deduktif dan Induktif dalam Berpikir
Filsafat
Metode deduktif dan induktif adalah dua
pendekatan utama dalam proses berpikir filosofis dan logika.
4.1.1.
Metode Deduktif
Metode deduktif adalah proses berpikir yang
dimulai dari prinsip atau premis umum untuk mencapai kesimpulan yang lebih
spesifik.1 Metode ini banyak digunakan dalam logika formal dan
dikembangkan oleh Aristoteles dalam sistem silogisme.2
Contoh silogisme Aristotelian:
1)
Semua manusia adalah fana.
2)
Socrates adalah manusia.
3)
Maka, Socrates adalah fana.
Metode ini juga digunakan dalam filsafat
rasionalisme, seperti yang dikembangkan oleh René Descartes dalam karya Meditations
on First Philosophy. Ia berusaha membangun sistem pengetahuan yang
pasti dengan menggunakan keraguan metodis dan prinsip cogito, ergo
sum ("Aku berpikir, maka aku ada").3
4.1.2.
Metode Induktif
Metode induktif adalah pendekatan yang
berangkat dari pengalaman atau observasi spesifik untuk menyusun prinsip atau
teori yang lebih umum.4 Metode ini lebih sering digunakan dalam
empirisme, seperti yang dikembangkan oleh Francis Bacon dan John Locke.5
Contoh metode induktif:
·
Pengamatan: Air
mendidih pada suhu 100°C di berbagai percobaan.
·
Generalisasi: Air
selalu mendidih pada suhu 100°C di bawah tekanan atmosfer normal.
Metode ini kemudian menjadi dasar bagi
pengembangan metode ilmiah modern, yang menekankan pengamatan, eksperimen, dan
pembuktian empiris dalam membangun pengetahuan.6
4.2.
Fenomenologi sebagai Metode Pemikiran
Kontemporer
Fenomenologi adalah metode filsafat yang
berfokus pada pengalaman subjektif individu dalam memahami realitas. Metode ini
dikembangkan oleh Edmund Husserl sebagai upaya
untuk menganalisis kesadaran secara sistematis tanpa mengandalkan asumsi
metafisik atau empiris.7
Konsep utama dalam fenomenologi adalah epoche
atau reduksi fenomenologis, yaitu menunda segala prasangka dan menerima
pengalaman sebagaimana adanya.8 Dalam praktiknya, fenomenologi telah
banyak digunakan dalam kajian psikologi, sosiologi, dan ilmu humaniora untuk
memahami pengalaman manusia secara lebih mendalam.
Tokoh lain yang mengembangkan metode ini
adalah Martin
Heidegger, yang memperluas fenomenologi ke dalam kajian
eksistensialisme dan hermeneutika.9
4.3.
Metode Analisis dalam Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat
yang mengkaji makna, struktur, dan penggunaan bahasa dalam berpikir. Metode
analisis ini berkembang pada abad ke-20 dengan tokoh utama seperti Ludwig
Wittgenstein, Bertrand Russell, dan J.L. Austin.10
4.3.1.
Positivisme Logis dan
Filsafat Analitik
Gerakan positivisme logis yang dipelopori
oleh Rudolf
Carnap dan Moritz Schlick menekankan bahwa pernyataan yang
bermakna harus dapat diverifikasi secara empiris atau analitis.11
Sementara itu, Ludwig
Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus
menyatakan bahwa bahasa adalah gambaran realitas, sehingga permasalahan
filsafat sering kali muncul karena kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa.12
Di sisi lain, filsuf seperti J.L.
Austin dan John Searle mengembangkan teori
tindak tutur, yang meneliti bagaimana kata-kata tidak hanya
menyatakan informasi, tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan tindakan.13
4.4.
Hermeneutika sebagai Metode Penafsiran Filsafat
Hermeneutika adalah metode filsafat yang
menekankan interpretasi teks dan makna dalam konteks historis dan budaya.
Istilah ini awalnya digunakan dalam studi teologi untuk menafsirkan kitab suci,
tetapi berkembang menjadi metode filsafat yang luas.
4.4.1.
Hermeneutika Klasik
Friedrich Schleiermacher
mengembangkan hermeneutika dengan tujuan memahami teks melalui rekonstruksi
psikologis dari pemikiran penulisnya.14
4.4.2.
Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gadamer, dalam
karyanya Truth
and Method, mengajukan konsep "lingkaran hermeneutika",
yang menyatakan bahwa pemahaman selalu dipengaruhi oleh prakonsepsi dan
pengalaman sebelumnya.15
Hermeneutika juga digunakan oleh Paul
Ricoeur, yang berusaha menghubungkan interpretasi teks dengan
teori fenomenologi dan strukturalisme.16
Kesimpulan
Berbagai metode dalam filsafat menunjukkan
bahwa filsafat tidak hanya bergantung pada spekulasi, tetapi juga memiliki
pendekatan yang sistematis dalam mencari kebenaran. Metode deduktif dan
induktif membentuk dasar pemikiran logis, fenomenologi memberikan pemahaman
pengalaman subjektif, analisis filsafat bahasa menelaah peran komunikasi dalam
berpikir, dan hermeneutika menawarkan wawasan dalam interpretasi teks dan
makna.
Metode-metode ini terus berkembang dan
diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, menunjukkan relevansi filsafat dalam
memahami dunia dan kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Aristotle, Organon, terj. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University
Press, 1938), 55-60.
[2]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 60-65.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, terj. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 20-25.
[4]
Francis Bacon, Novum Organum, terj. Peter Urbach dan John Gibson (Chicago: Open Court,
1994), 30-35.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 150-155.
[6]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 40-45.
[7]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, terj. W.R.
Boyce Gibson (New York: Macmillan, 1931), 35-40.
[8]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 55-60.
[9]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York:
Harper & Row, 1962), 75-80.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, terj.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 110-115.
[11]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London:
Victor Gollancz, 1936), 50-55.
[12]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, terj. D.F.
Pears dan B.F. McGuinness (London: Routledge, 1921), 85-90.
[13]
J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford:
Oxford University Press, 1962), 75-80.
[14]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, terj.
Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 35-40.
[15]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj. Joel Weinsheimer dan
Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 150-155.
[16]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth:
Texas Christian University Press, 1976), 45-50.
5.
Hubungan
Pemikiran Filsafat dengan Ilmu Lain
Filsafat memiliki hubungan yang erat dengan
berbagai disiplin ilmu. Sejak awal perkembangannya, filsafat telah menjadi
induk dari ilmu-ilmu lain dan memberikan kerangka konseptual bagi perkembangan
sains, agama, politik, dan bidang lainnya. Hubungan antara filsafat dan ilmu
lain dapat dilihat dalam berbagai aspek, di antaranya filsafat
dan sains, filsafat dan agama, serta filsafat
dan politik.
5.1.
Filsafat dan Sains: Peran Filsafat dalam
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sains dan filsafat memiliki keterkaitan
erat, karena filsafat sering kali berperan dalam membangun dasar epistemologis
bagi ilmu pengetahuan. Pemikiran filsafat membantu dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti:
·
Apa hakikat realitas yang
diteliti oleh sains?
·
Bagaimana metode ilmiah
dapat menjamin kebenaran suatu pengetahuan?
·
Apa batasan antara sains
dan spekulasi metafisik?
5.1.1.
Pengaruh Filsafat
terhadap Metode Ilmiah
Tokoh-tokoh filsafat seperti Francis
Bacon mengembangkan metode induktif yang menjadi dasar bagi
metode ilmiah modern.1 Sementara itu, Karl
Popper memperkenalkan konsep falsifikasi, yang menyatakan
bahwa teori ilmiah harus dapat diuji dan dibuktikan salah agar memiliki nilai
ilmiah.2
Dalam fisika modern, konsep relativitas
dan mekanika kuantum juga menimbulkan pertanyaan filosofis
tentang determinisme dan sifat realitas.3 Hal ini menunjukkan bahwa
sains dan filsafat saling melengkapi dalam membangun pemahaman yang lebih dalam
tentang dunia.
5.1.2.
Filsafat Ilmu:
Analisis terhadap Prinsip-Prinsip Ilmiah
Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang
mengkaji dasar-dasar, metode, dan implikasi ilmu pengetahuan.4 Thomas
Kuhn, dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions,
menyatakan bahwa perkembangan sains bukanlah proses linear, tetapi melalui
revolusi paradigma di mana teori-teori lama digantikan oleh teori baru yang
lebih sesuai dengan bukti empiris.5
5.2.
Filsafat dan Agama: Harmonisasi dan Perdebatan
dalam Sejarah Pemikiran
Hubungan antara filsafat dan agama telah
menjadi perdebatan panjang dalam sejarah pemikiran manusia. Beberapa filsuf
melihat filsafat sebagai alat untuk memperkuat keyakinan agama, sementara yang
lain menganggapnya sebagai sarana untuk mengkritisi dogma keagamaan.
5.2.1.
Filsafat dalam Tradisi
Keagamaan
Dalam Islam, pemikiran filsafat berkembang
pesat pada masa Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina,
yang mencoba mengharmonikan filsafat Aristotelian dengan ajaran Islam.6
Namun, Al-Ghazali
dalam Tahafut
al-Falasifah mengkritik filsafat Yunani dan menekankan pentingnya
wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi.7
Dalam tradisi Kristen, Thomas
Aquinas mengadaptasi filsafat Aristoteles untuk memperkuat
teologi Kristen dalam Summa Theologica.8
Sementara itu, Søren Kierkegaard, seorang
filsuf eksistensialis Kristen, menekankan pentingnya iman dalam menghadapi
absurditas kehidupan.9
5.2.2.
Perdebatan antara
Rasionalisme dan Keimanan
Perdebatan antara filsafat dan agama
mencapai puncaknya pada era modern, ketika filsuf seperti David
Hume dan Immanuel Kant mulai mempertanyakan bukti rasional
tentang keberadaan Tuhan.10 Kant, dalam Critique of Pure Reason,
berpendapat bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan secara rasional, tetapi
merupakan postulat moral yang diperlukan bagi etika.11
Di era kontemporer, filsafat agama terus
berkembang dengan mempertimbangkan berbagai argumen tentang eksistensi Tuhan,
seperti teori desain cerdas dan pandangan
ateisme ilmiah.12
5.3.
Filsafat dan Politik: Pengaruh Pemikiran
Filsafat dalam Sistem Pemerintahan
Filsafat politik merupakan cabang filsafat
yang mengkaji konsep keadilan, kekuasaan, hak asasi manusia, dan bentuk
pemerintahan yang ideal. Pemikiran filsafat memiliki pengaruh besar terhadap
pembentukan sistem politik di berbagai peradaban.
5.3.1.
Filsafat sebagai Dasar
Konsep Negara dan Keadilan
Sejak zaman kuno, filsuf seperti Plato
dan Aristoteles telah membahas bentuk negara yang ideal. Dalam Republic,
Plato menggambarkan negara yang dipimpin oleh filsuf-raja yang memiliki
kebijaksanaan tertinggi.13 Aristoteles, dalam Politics,
mengklasifikasikan berbagai bentuk pemerintahan dan menekankan pentingnya
keseimbangan dalam struktur politik.14
Pada masa modern, Thomas
Hobbes dalam Leviathan mengajukan teori kontrak
sosial, di mana masyarakat menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara
untuk menciptakan ketertiban.15 Teori ini kemudian dikembangkan oleh
John
Locke, yang menekankan hak asasi manusia dan pemerintahan
demokratis.16
5.3.2.
Filsafat dalam
Perkembangan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Pada abad ke-18, pemikiran filsafat
berkontribusi terhadap munculnya konsep demokrasi modern. Jean-Jacques
Rousseau menekankan pentingnya kehendak umum dalam The
Social Contract.17 Sementara itu, Karl
Marx mengkritik kapitalisme dan mengusulkan sistem sosialisme
sebagai alternatif yang lebih adil.18
Di era kontemporer, filsuf seperti John
Rawls, dalam A Theory of Justice, mengajukan
prinsip keadilan sosial yang menekankan keseimbangan antara kebebasan individu
dan pemerataan kesejahteraan.19
Kesimpulan
Filsafat memainkan peran sentral dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, agama, dan politik. Sebagai landasan berpikir
kritis, filsafat membantu dalam merumuskan metode ilmiah, mendukung atau
mengkritisi keyakinan agama, serta membentuk prinsip-prinsip etika dan keadilan
dalam sistem politik.
Dalam konteks modern, filsafat terus
memberikan kontribusi dalam memahami isu-isu global seperti bioetika, hak asasi
manusia, dan keadilan sosial. Dengan demikian, pemikiran filsafat tetap relevan
dalam membentuk peradaban dan cara manusia memahami dunia.
Footnotes
[1]
Francis Bacon, Novum Organum, terj. Peter Urbach dan John Gibson (Chicago: Open
Court, 1994), 40-45.
[2]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 75-80.
[3]
Albert Einstein, Relativity: The Special and the General Theory (Princeton:
Princeton University Press, 1956), 35-40.
[4]
Mario Bunge, Scientific Research: Strategy and Philosophy (Berlin:
Springer, 1967), 90-95.
[5]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 110-115.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 50-55.
[7]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, terj.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 95-100.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, terj. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.
[9]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, terj. Alastair Hannay (London:
Penguin Classics, 1985), 70-75.
[10]
David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion
(Indianapolis: Hackett, 1998), 85-90.
[11]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul
Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 200-205.
[12]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and
Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 150-155.
[13]
Plato, The Republic, terj. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett,
1992), 120-125.
[14]
Aristotle, Politics, terj. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett,
1998), 95-100.
[15]
Thomas Hobbes, Leviathan, terj. C.B. Macpherson (London: Penguin
Classics, 1985), 200-205.
[16]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 175-180.
[17]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, terj. Maurice
Cranston (London: Penguin Classics, 1968), 135-140.
[18]
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, terj.
Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 85-90.
[19]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 250-255.
6.
Kesimpulan
Kajian mengenai pemikiran filsafat
menunjukkan bahwa filsafat telah memainkan peran yang sangat penting dalam
perkembangan peradaban manusia. Dari filsafat klasik hingga filsafat
kontemporer, pemikiran filsafat telah menjadi dasar bagi berbagai disiplin
ilmu, memberikan kerangka konseptual dalam memahami realitas, pengetahuan,
moralitas, keindahan, dan sistem sosial.
Sejarah pemikiran filsafat memperlihatkan
bagaimana manusia sejak zaman kuno telah berusaha memahami alam semesta,
hakikat keberadaan, dan tujuan hidupnya. Plato dan Aristoteles membangun
dasar-dasar metafisika dan epistemologi yang masih relevan hingga saat ini.1
Pada masa abad pertengahan, para pemikir seperti Thomas
Aquinas dan Al-Ghazali berusaha menyelaraskan filsafat dengan
ajaran agama.2 Sementara itu, filsafat modern yang dipelopori oleh René
Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant membawa revolusi dalam
cara berpikir manusia tentang realitas dan pengetahuan.3
Selain itu, filsafat tidak hanya berhenti
pada spekulasi teoretis tetapi juga berkontribusi besar dalam membentuk ilmu
pengetahuan. Francis Bacon dan Karl Popper
mengembangkan metode ilmiah yang menjadi dasar bagi sains modern.4 Thomas
Kuhn, dalam analisisnya tentang revolusi sains, menunjukkan
bahwa perubahan paradigma dalam sains sangat dipengaruhi oleh cara manusia
memahami realitas, sesuatu yang telah lama menjadi fokus kajian filsafat.5
Dalam bidang etika dan politik, pemikiran
filsafat juga memiliki dampak yang signifikan. Etika Kantian, Utilitarianisme Bentham dan
Mill, serta Etika Aristotelian masih menjadi bahan diskusi
dalam kajian moral kontemporer.6 Sementara itu, konsep-konsep
filsafat politik yang dikembangkan oleh Plato, Hobbes, Locke, Rousseau, dan Marx
telah membentuk sistem pemerintahan modern dan menjadi dasar dalam perdebatan
tentang keadilan sosial dan hak asasi manusia.7
Hubungan antara filsafat dan agama tetap
menjadi perdebatan yang berkelanjutan. Beberapa filsuf, seperti Aquinas
dan Kierkegaard, menekankan bahwa filsafat dapat memperkuat
iman, sementara yang lain, seperti Hume dan Nietzsche,
mempertanyakan dasar rasional dari keyakinan agama.8
Di era kontemporer, filsafat menghadapi
tantangan baru, terutama dalam menghadapi perkembangan teknologi, globalisasi,
dan perubahan sosial. John Rawls dengan teori
keadilannya mencoba memberikan solusi terhadap persoalan ketimpangan sosial,9
sementara Michel Foucault dan Jacques Derrida
menantang konsep-konsep tradisional dalam filsafat melalui pendekatan
postmodernisme.10
Secara keseluruhan, filsafat tidak hanya
berfungsi sebagai kajian akademik yang abstrak, tetapi juga sebagai alat
berpikir yang membantu manusia memahami dan menghadapi realitas kehidupan.
Dengan pendekatan kritis dan rasionalnya, filsafat tetap relevan dalam menjawab
berbagai persoalan kontemporer, baik dalam sains, agama, politik, maupun
kehidupan sosial secara umum. Oleh karena itu, mempelajari filsafat bukan hanya
tentang memahami pemikiran para filsuf terdahulu, tetapi juga tentang bagaimana
kita menerapkan cara berpikir filosofis untuk menghadapi tantangan dunia
modern.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 65-70.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, terj. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3; Al-Ghazali, The
Incoherence of the Philosophers, terj. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2000), 75-80.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, terj. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25-30; John Locke, An
Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford:
Oxford University Press, 1975), 120-125; Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 190-195.
[4]
Francis Bacon, Novum Organum, terj. Peter Urbach dan John Gibson (Chicago: Open
Court, 1994), 60-65; Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 85-90.
[5]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 140-145.
[6]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford:
Clarendon Press, 1907), 90-95; Aristotle, Nicomachean Ethics, terj.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 85-90; Immanuel Kant, Groundwork
of the Metaphysics of Morals, terj. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1997), 150-155.
[7]
Plato, The Republic, terj. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992),
110-115; Thomas Hobbes, Leviathan, terj. C.B. Macpherson (London: Penguin Classics,
1985), 200-205; John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter
Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 175-180; Jean-Jacques
Rousseau, The Social Contract, terj. Maurice Cranston (London:
Penguin Classics, 1968), 135-140; Karl Marx dan Friedrich Engels, The
Communist Manifesto, terj. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002),
85-90.
[8]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, terj. Alastair Hannay (London:
Penguin Classics, 1985), 70-75; David Hume, Dialogues
Concerning Natural Religion (Indianapolis: Hackett, 1998), 85-90; Friedrich
Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. R.J. Hollingdale (London:
Penguin Classics, 1990), 55-60.
[9]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 250-255.
[10]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, terj. Alan
Sheridan (New York: Vintage, 1995), 85-90; Jacques Derrida, Of
Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 110-115.
Daftar Pustaka
Aquinas, T.
(1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province,
Trans.). New York: Benziger Bros.
Aristotle.
(1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Oxford University
Press.
Aristotle.
(1938). Organon (H. Tredennick, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.
Aristotle.
(1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett
Publishing.
Aristotle.
(1999). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett
Publishing.
Ayer, A. J.
(1936). Language, truth and logic. London: Victor Gollancz.
Bacon, F.
(1994). Novum Organum (P. Urbach & J. Gibson, Trans.). Chicago: Open
Court.
Barnes, J.
(1982). The Presocratic Philosophers. London: Routledge.
Barnes, J.
(2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford: Oxford University
Press.
Beardsley,
M. C. (1958). Aesthetics: Problems in the philosophy of criticism. New
York: Harcourt, Brace & World.
Bentham, J.
(1907). An introduction to the principles of morals and legislation.
Oxford: Clarendon Press.
Bunge, M.
(1967). Scientific research: Strategy and philosophy. Berlin: Springer.
Craig, W. L.
(2008). Reasonable faith: Christian truth and apologetics. Wheaton:
Crossway.
Cottingham,
J. (Ed.). (2008). Western philosophy: An anthology. Oxford: Blackwell.
Derrida, J.
(1976). Of Grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins
University Press.
Descartes,
R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Einstein, A.
(1956). Relativity: The special and the general theory. Princeton: Princeton
University Press.
Fakhry, M.
(2004). A history of Islamic philosophy. New York: Columbia University
Press.
Foucault, M.
(1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan,
Trans.). New York: Vintage.
Frege, G.
(1919). Introduction to mathematical philosophy. London: Routledge.
Fung, Y.
(1948). A short history of Chinese philosophy. New York: Free Press.
Gadamer, H.
G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall,
Trans.). London: Continuum.
Gutas, D.
(2001). Avicenna and the Aristotelian tradition. Leiden: Brill.
Heidegger,
M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New
York: Harper & Row.
Hobbes, T.
(1985). Leviathan (C. B. Macpherson, Trans.). London: Penguin Classics.
Hume, D.
(1998). Dialogues concerning natural religion. Indianapolis: Hackett.
Husserl, E.
(1931). Ideas: General introduction to pure phenomenology (W. R. B.
Gibson, Trans.). New York: Macmillan.
Kant, I. (1997).
Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Kant, I.
(1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Kierkegaard,
S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). London: Penguin
Classics.
King, R.
(1999). Indian philosophy: An introduction. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Kraut, R.
(2002). Aristotle: Political philosophy. Oxford: Oxford University
Press.
Kuhn, T.
(1962). The structure of scientific revolutions. Chicago: University of
Chicago Press.
Lawhead, W.
F. (2002). The voyage of discovery: A historical introduction to philosophy.
Belmont: Wadsworth.
Locke, J.
(1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.).
Oxford: Oxford University Press.
Locke, J.
(1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Marx, K.,
& Engels, F. (2002). The Communist Manifesto (S. Moore, Trans.).
London: Penguin Classics.
Moran, D.
(2000). Introduction to phenomenology. London: Routledge.
Nietzsche,
F. (1990). Beyond good and evil (R. J. Hollingdale, Trans.). London:
Penguin Classics.
Nozick, R.
(1974). Anarchy, state, and utopia. New York: Basic Books.
Plato.
(1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett
Publishing.
Popper, K.
(2002). The logic of scientific discovery. London: Routledge.
Rawls, J.
(1971). A theory of justice. Cambridge: Harvard University Press.
Ricoeur, P.
(1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning.
Fort Worth: Texas Christian University Press.
Rousseau, J.
J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). London: Penguin
Classics.
Russell, B.
(1912). The problems of philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Russell, B.
(1985). The philosophy of logical atomism. London: Routledge.
Sartre, J.
P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New
Haven: Yale University Press.
Schleiermacher,
F. (1998). Hermeneutics and criticism (A. Bowie, Trans.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Schopenhauer,
A. (1969). The world as will and representation (E. F. J. Payne,
Trans.). New York: Dover Publications.
Singer, P.
(2011). Practical ethics. Cambridge: Cambridge University Press.
Smith, P.
(2003). An introduction to formal logic. Cambridge: Cambridge University
Press.
Vlastos, G.
(1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cambridge: Cambridge
University Press.
Wittgenstein,
L. (1921). Tractatus Logico-Philosophicus (D. F. Pears & B. F.
McGuinness, Trans.). London: Routledge.
Wittgenstein,
L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.).
Oxford: Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar