Imam para Nabi: Nabi Muhammad Saw
Abstrak
Artikel ini membahas kedudukan Nabi Muhammad Saw
sebagai Imam para Nabi meskipun beliau adalah nabi terakhir yang diutus.
Analisis dilakukan melalui pendekatan multidimensional, mencakup perspektif
tafsir klasik, pandangan ulama, rasionalitas ilmiah, dan perbandingan dengan
para nabi lainnya. Dari sudut pandang tafsir klasik, ayat-ayat Al-Qur'an
seperti QS. Al-Ahzab [33] ayat 40 dan QS. Al-Isra [17] ayat 1, serta peristiwa
Isra Mikraj, menunjukkan pengakuan para nabi atas keutamaan Nabi Muhammad Saw.
Penjelasan ulama seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Katsir, dan Al-Qurtubi
mempertegas keunggulan universalitas syariat Islam dan kesempurnaan akhlak
Rasulullah. Perspektif rasional menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw membawa
syariat yang relevan secara global dan abadi, melampaui batasan lokalitas dan
zaman seperti nabi-nabi sebelumnya. Melalui perbandingan dengan Nabi Musa AS
dan Nabi Isa AS, terlihat bahwa risalah Nabi Muhammad adalah penyempurna dari
ajaran-ajaran sebelumnya, menjadikannya pemimpin spiritual tertinggi. Artikel
ini menyimpulkan bahwa posisi Nabi Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi didukung
oleh dalil teologis, historis, dan rasional yang tidak terbantahkan.
Kata Kunci: Nabi Muhammad Saw, Imam para Nabi, Isra Mikraj,
universalitas risalah, syariat Islam, perbandingan nabi.
1.
Pendahuluan
1.1. Perumusan Masalah
Nabi Muhammad Saw
dikenal sebagai penutup para nabi (Khatamun Nabiyyin), sebagaimana
ditegaskan dalam QS. Al-Ahzab [33] ayat 40. Meskipun beliau diutus sebagai nabi
terakhir, Islam menyebut
beliau sebagai Sayyidul Anbiya (Pemimpin Para
Nabi). Posisi ini tampak paradoksal bagi sebagian orang, karena dalam hierarki
waktu, nabi-nabi sebelumnya telah datang lebih dahulu dan menyampaikan risalah
kepada umat masing-masing. Namun, keistimewaan Nabi Muhammad Saw tidak hanya
bersifat temporal, tetapi juga spiritual dan substansial, menjadikannya sosok
pemimpin yang tidak terbatas pada aspek waktu dan ruang.
Kedudukan ini
diperkuat oleh sejumlah dalil tekstual, termasuk peristiwa Isra Mikraj, di mana
Nabi Muhammad Saw memimpin shalat bersama para nabi. Imam Al-Qurtubi dalam
tafsirnya menjelaskan bahwa peristiwa ini merupakan bukti nyata pengakuan para nabi atas kedudukan Nabi Muhammad
sebagai imam mereka.¹ Dengan demikian, pertanyaan utama yang perlu dijawab
adalah bagaimana rasionalitas teologis, historis, dan ilmiah dari kedudukan
tersebut dapat dijelaskan secara menyeluruh.
1.2.
Pendekatan Jawaban
Untuk menjawab
pertanyaan ini, artikel ini akan menggabungkan tiga perspektif utama:
1)
Tafsir
Klasik:
Pendapat dari ulama besar seperti
At-Thabari, Al-Qurtubi, dan Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat Al-Qur'an yang
terkait dengan keistimewaan Nabi Muhammad Saw.
2)
Penjelasan
Ulama:
Pandangan dari berbagai tokoh Islam,
termasuk Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, tentang aspek keunggulan
syariat dan akhlak Nabi Muhammad Saw.
3)
Perspektif
Rasional dan Ilmiah:
Pendekatan logis yang menjelaskan
mengapa Nabi Muhammad Saw, meskipun datang paling akhir, layak menjadi pemimpin
seluruh nabi berdasarkan universalitas risalah dan perannya sebagai penyempurna
ajaran sebelumnya.
Pendekatan ini
bertujuan untuk memberikan jawaban yang mendalam dan berbasis pada
sumber-sumber kredibel, sehingga tidak hanya bersifat dogmatis tetapi juga
relevan dengan pemahaman kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed.
Ahmad Abdu Karim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), jilid 7, hlm. 342.
2.
Perspektif Tafsir
Klasik
Penjelasan tentang
kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi dapat ditemukan dalam
berbagai tafsir klasik yang menyoroti keutamaan beliau berdasarkan Al-Qur’an
dan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kenabian. Pendekatan ini membahas
beberapa aspek, mulai dari dalil-dalil tekstual hingga interpretasi mendalam
dari para mufassir klasik.
2.1.
Dalil Al-Qur'an yang Relevan
2.1.1.
QS. Al-Ahzab [33] ayat 40
Ayat ini berbunyi:
"Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi…" (QS. Al-Ahzab [33]
ayat 40).
Dalam tafsirnya,
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa gelar Khatamun Nabiyyin tidak hanya
menandakan akhir dari kenabian, tetapi juga keistimewaan yang menunjukkan penyempurnaan risalah kenabian. Posisi ini
membuat Nabi Muhammad Saw menjadi panutan tidak hanya bagi umatnya, tetapi juga
bagi para nabi lainnya.¹
2.1.2.
QS. Al-Isra [17] ayat 1
Ayat ini mengisahkan
peristiwa Isra Mikraj:
"Mahasuci
Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsha…" (QS. Al-Isra [17] ayat 1).
Tafsir Al-Qurtubi
menegaskan bahwa salah satu momen penting dalam Isra Mikraj adalah ketika Nabi
Muhammad Saw menjadi imam shalat bagi para nabi di Masjidil Aqsha. Hal ini
menggambarkan pengakuan para nabi terhadap posisi beliau sebagai pemimpin spiritual dan simbol
persatuan seluruh umat manusia di bawah risalah yang disempurnakan.²
2.2.
Pandangan Para Mufassir
2.2.1.
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir
menggarisbawahi keutamaan Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin para nabi
berdasarkan peristiwa Isra Mikraj. Beliau menafsirkan bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw mencerminkan
posisi beliau sebagai penyempurna
risalah sebelumnya, yang mengatasi batas-batas geografis dan temporal.³
2.2.2.
Tafsir At-Thabari
At-Thabari
menyebutkan bahwa gelar Sayyidul Anbiya (Pemimpin Para
Nabi) disematkan kepada Nabi Muhammad Saw karena universalitas ajaran beliau.
Nabi sebelumnya hanya diutus kepada kaumnya, sedangkan Nabi Muhammad diutus
kepada seluruh umat manusia. At-Thabari menekankan bahwa keutamaan ini
merupakan pemberian khusus dari Allah Swt yang tidak diberikan kepada nabi-nabi
lainnya.⁴
2.2.3.
Tafsir Al-Qurtubi
Al-Qurtubi
menambahkan bahwa pemimpin dalam sebuah jamaah dipilih berdasarkan kriteria
yang paling utama. Dalam kasus Isra Mikraj, kepemimpinan Nabi Muhammad Saw
mencerminkan kesempurnaan syariat, kemuliaan akhlak, dan kedekatan beliau
dengan Allah Swt.⁵
2.3.
Konteks Peristiwa Isra Mikraj
Peristiwa Isra
Mikraj memiliki makna mendalam dalam konteks peneguhan posisi Nabi Muhammad Saw
sebagai Imam para Nabi. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad
Saw menyebutkan bahwa beliau memimpin shalat bersama para nabi di Masjidil
Aqsha.⁶ Imam Al-Nawawi
menjelaskan bahwa hal ini menunjukkan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai
simbol penyatuan risalah para nabi dalam Islam, dengan Al-Qur’an sebagai kitab
penyempurna.⁷
Kesimpulan Perspektif Tafsir Klasik
Tafsir klasik
memberikan landasan teologis yang kokoh mengenai kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi. Ayat-ayat Al-Qur'an
yang relevan, diperkuat oleh pandangan para mufassir seperti Ibnu Katsir,
At-Thabari, dan Al-Qurtubi, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw bukan hanya
penutup kenabian secara kronologis, tetapi juga pemimpin spiritual yang diakui
oleh para nabi lainnya.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed. Sami
bin Muhammad Salamah (Riyadh: Dar Taybah, 1999), jilid 6, hlm. 480.
[2]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed.
Ahmad Abdu Karim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), jilid 10, hlm. 191.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, jilid 3,
hlm. 31.
[4]
Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an,
ed. Mahmud Shakir (Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 2001), jilid 22, hlm. 12.
[5]
Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, jilid
7, hlm. 342.
[6]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab Shalat,
hadis no. 349.
[7]
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, ed. Khalil
Ma'mun Syiha (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), jilid 2, hlm. 315.
3.
Penjelasan Ulama
Kedudukan Nabi
Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi tidak hanya disokong oleh ayat-ayat
Al-Qur’an dan peristiwa penting dalam sejarah kenabian, tetapi juga dijelaskan
secara mendalam oleh para ulama
klasik. Pendapat mereka berakar pada analisis terhadap sifat-sifat kenabian,
universalitas risalah, dan kemuliaan syariat Nabi Muhammad Saw.
3.1.
Kedudukan Syariat Nabi Muhammad Saw
3.1.1.
Universalitas Risalah
Imam An-Nawawi
menyatakan bahwa syariat Nabi Muhammad Saw memiliki sifat yang menyeluruh (syamil)
dan mencakup seluruh aspek kehidupan, baik individu maupun masyarakat. Risalah beliau
tidak hanya terbatas pada satu kaum atau zaman tertentu, melainkan ditujukan
untuk seluruh umat manusia
hingga akhir zaman.¹ Hal ini membedakannya dari nabi-nabi sebelumnya, yang
risalahnya bersifat lokal dan temporal.
3.1.2.
Penyempurna Ajaran Sebelumnya
Ibnu Hajar
Al-Asqalani menekankan bahwa Nabi Muhammad Saw diutus untuk menyempurnakan ajaran yang telah dibawa oleh
nabi-nabi sebelumnya. Dalam kitab Fath al-Bari, Ibnu Hajar mengutip
hadis Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya
perumpamaanku dan para nabi sebelumku adalah seperti seseorang yang membangun
sebuah rumah. Ia memperindah rumah itu kecuali ada satu bata yang kosong. Maka
akulah bata itu, dan aku adalah penutup para nabi."²
Hadis ini
mengilustrasikan bahwa Nabi Muhammad adalah pelengkap terakhir dari rangkaian
kenabian, menjadikannya pemimpin
seluruh nabi.
3.2.
Akhlak Nabi Muhammad Saw
3.2.1.
Kesempurnaan Akhlak
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya
Ulum al-Din menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai model tertinggi
dalam akhlak. Al-Qur’an sendiri
menyebut beliau sebagai pemilik khuluq azhim (akhlak yang agung)
dalam QS. Al-Qalam [68] ayat 4. Akhlak yang sempurna ini menjadi alasan utama
para nabi mengakui kepemimpinan beliau dalam peristiwa Isra Mikraj.³
3.2.2.
Teladan Universal
Ulama tafsir seperti
Al-Baidhawi menyoroti bahwa sifat-sifat Nabi Muhammad Saw, seperti keadilan,
kasih sayang, dan kebijaksanaan, tidak hanya memberikan contoh ideal bagi
umatnya tetapi juga memenuhi standar tertinggi dalam tradisi kenabian.⁴
3.3.
Peristiwa Isra Mikraj
3.3.1.
Simbol Kepemimpinan
Spiritual
Peristiwa Isra
Mikraj merupakan momen penting yang mengukuhkan kedudukan Nabi Muhammad Saw
sebagai Imam para Nabi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Rasulullah Saw memimpin shalat bersama para nabi di Masjidil Aqsha.⁵ Imam
As-Suyuthi dalam Al-Durr al-Manthur menjelaskan
bahwa peristiwa ini adalah pengakuan simbolis dari seluruh nabi terhadap
keistimewaan Nabi Muhammad sebagai pemimpin mereka.⁶
3.3.2.
Konteks Syariat yang
Menyeluruh
Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah dalam Zad al-Ma'ad menyatakan bahwa Isra
Mikraj juga menegaskan kesempurnaan syariat Islam yang mencakup aspek
spiritual, moral, dan hukum. Ini menjadikan syariat Nabi Muhammad Saw sebagai
standar universal bagi umat manusia.⁷
3.4.
Pandangan Konsensus Ulama
Ulama sepakat bahwa
Nabi Muhammad Saw memiliki keunggulan yang unik dibandingkan para nabi lainnya.
Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa keistimewaan Nabi Muhammad meliputi aspek
risalah yang menyeluruh dan kesempurnaan akhlak. Dalam pandangannya, hal ini
menjadikan beliau sebagai pemimpin tidak hanya bagi umatnya tetapi juga bagi
para nabi sebelumnya.⁸
Kesimpulan Perspektif Ulama
Penjelasan ulama
klasik memberikan kerangka pemahaman yang jelas tentang mengapa Nabi Muhammad
Saw dapat diposisikan sebagai Imam para Nabi. Hal ini didasarkan pada
keunggulan risalah beliau yang universal, kesempurnaan akhlak, serta pengakuan
simbolis dalam peristiwa Isra Mikraj. Konsensus ulama mendukung bahwa
keistimewaan ini bukan hanya anugerah Allah Swt tetapi juga pengakuan terhadap
keunggulan substansial Nabi Muhammad Saw.
Catatan Kaki
[1]
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, ed.
Khalil Ma'mun Syiha (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), jilid 2, hlm. 240.
[2]
Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari,
ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), jilid 6, hlm.
491.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), jilid 3, hlm. 80.
[4]
Abdullah bin Umar Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil
(Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1998), jilid 4, hlm. 202.
[5]
Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Iman, hadis
no. 162.
[6]
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Durr al-Manthur fi Tafsir al-Ma'tsur
(Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 5, hlm. 25.
[7]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zad al-Ma'ad fi Hady Khayr al-Ibad,
ed. Shuaib al-Arna'ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994), jilid 1, hlm. 160.
[8]
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Risalah (Kairo: Dar al-Hadith,
2006), hlm. 64.
4.
Perspektif Rasional
dan Ilmiah
Kedudukan Nabi
Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi dapat dianalisis melalui perspektif
rasional dan ilmiah. Pendekatan ini melibatkan penjelasan berdasarkan logika
hierarki kenabian, universalitas risalah, dan bukti historis yang menunjukkan
peran Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin dan penyempurna risalah sebelumnya.
4.1.
Logika Hierarki Kenabian
4.1.1.
Posisi Sebagai Penyempurna
Secara rasional,
hierarki kenabian dapat dipahami sebagai rangkaian misi bertahap yang
disempurnakan oleh Nabi Muhammad Saw. Perumpamaan ini dijelaskan dalam hadis
Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, di mana beliau
menggambarkan dirinya sebagai "batu bata terakhir" yang
melengkapi sebuah bangunan yang indah.¹ Dalam logika hierarki, penyempurna
seringkali menjadi pemimpin karena ia melengkapi dan mengintegrasikan misi-misi
sebelumnya.
4.1.2.
Kesatuan Risalah
Keberadaan Nabi
Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi dapat dijelaskan melalui konsep kesatuan
risalah. Nabi Muhammad tidak membawa ajaran yang benar-benar baru, melainkan
menyempurnakan ajaran monoteistik yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya.²
Dengan demikian, logis apabila Nabi Muhammad diposisikan sebagai pemimpin para
nabi karena syariat beliau melampaui batasan-batasan lokal dan temporal yang
ada dalam ajaran nabi-nabi sebelumnya.
4.2.
Universalitas Risalah
4.2.1.
Lingkup Risalah yang Global
Nabi Muhammad Saw
diutus untuk seluruh umat manusia dan jin, sebagaimana disebutkan dalam QS.
Saba [34] ayat 28:
"Dan
Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan…" (QS. Saba [34] ayat
28).
Ayat ini menegaskan
universalitas misi Nabi Muhammad, berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya yang
hanya diutus untuk kaumnya masing-masing.³ Penekanan pada lingkup global ini
menjelaskan mengapa beliau memiliki kedudukan istimewa dalam hierarki kenabian.
4.2.2.
Konteks Keilmuan dan
Peradaban
Nabi Muhammad diutus
pada masa ketika umat manusia telah mencapai tingkat kematangan intelektual dan
sosial tertentu. Karen Armstrong dalam bukunya Muhammad: A Biography of the Prophet
menjelaskan bahwa masa kehidupan Nabi Muhammad adalah periode transisi besar
dalam sejarah manusia, yang menjadikan risalahnya relevan dan dapat
diaplikasikan dalam berbagai konteks peradaban.⁴
4.3.
Filosofi Penyempurna
4.3.1.
Kesempurnaan Syariat
Dalam Islam, Nabi
Muhammad Saw membawa syariat yang sempurna dan menyeluruh, mencakup aspek
ibadah, sosial, ekonomi, dan politik. Syariat ini dirancang untuk menjadi
panduan hidup yang relevan sepanjang masa. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
menjelaskan bahwa syariat Nabi Muhammad adalah bentuk hukum dan nilai yang
tidak hanya berlaku pada zamannya tetapi juga menjawab kebutuhan manusia hingga
akhir zaman.⁵
4.3.2.
Kesesuaian dengan Prinsip
Ilmiah
Secara ilmiah,
konsep kesempurnaan syariat Nabi Muhammad dapat dianalisis dari sudut pandang
evolusi sistem sosial. Syariat Islam mencakup prinsip-prinsip dasar yang
fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti keadilan
sosial, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.⁶ Hal ini
menempatkan syariat Islam sebagai sistem yang unggul dibandingkan syariat
nabi-nabi sebelumnya, yang sering kali hanya relevan dalam konteks tertentu.
4.4.
Bukti Historis
4.4.1.
Peristiwa Isra Mikraj
Dalam perspektif
sejarah, peristiwa Isra Mikraj memberikan bukti simbolis atas kedudukan Nabi
Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi. Imam Al-Nawawi menjelaskan bahwa
kepemimpinan beliau dalam shalat bersama para nabi mencerminkan pengakuan terhadap
posisi beliau sebagai pemimpin spiritual universal.⁷
4.4.2.
Pengaruh Global Nabi
Muhammad
Michael Hart dalam
bukunya The 100:
A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan
Nabi Muhammad di posisi pertama karena dampak global dari ajaran beliau, yang
melampaui agama dan menjadi fondasi bagi peradaban besar.⁸
Kesimpulan Perspektif Rasional dan Ilmiah
Secara rasional dan
ilmiah, posisi Nabi Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi dapat dijelaskan
melalui logika hierarki, universalitas risalah, dan bukti-bukti historis.
Penyempurnaan ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, lingkup misi yang
global, serta kesempurnaan syariat beliau menjadikan posisi ini relevan dan
dapat dipahami baik dari sudut pandang teologis maupun rasional.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab al-Manaqib,
hadis no. 3535.
[2]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1984), hlm. 15.
[3]
Abdullah bin Umar Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil
(Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1998), jilid 4, hlm. 203.
[4]
Karen Armstrong, Muhammad: A Biography of the Prophet
(New York: HarperOne, 1992), hlm. 51.
[5]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zad al-Ma'ad fi Hady Khayr al-Ibad,
ed. Shuaib al-Arna'ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994), jilid 1, hlm. 159.
[6]
Wael Hallaq, Shari'a: Theory, Practice, Transformations
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), hlm. 35.
[7]
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, ed. Khalil
Ma'mun Syiha (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), jilid 2, hlm. 315.
[8]
Michael H. Hart, The 100: A Ranking of the Most Influential
Persons in History (New York: Kensington Publishing Corporation,
1978), hlm. 3.
5.
Perbandingan dengan
Para Nabi Lain
Untuk memahami
kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi, perlu dilakukan
perbandingan dengan para nabi lain. Perbandingan ini mencakup aspek risalah,
sifat kenabian, dan cakupan misi masing-masing nabi. Melalui analisis ini,
terlihat bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki keistimewaan yang melampaui nabi-nabi
sebelumnya.
5.1.
Karakteristik Risalah Para Nabi
5.1.1.
Nabi Musa AS: Fokus pada
Syariat Hukum
Nabi Musa AS diutus
kepada Bani Israil dengan risalah yang terkonsentrasi pada pembentukan sistem
hukum dan ketertiban sosial melalui Taurat.¹ Namun, syariat yang dibawa Nabi
Musa bersifat khusus untuk kaumnya dan tidak mencakup kebutuhan global atau
lintas zaman.
5.1.2.
Nabi Isa AS: Penekanan pada
Spiritualitas dan Kasih
Nabi Isa AS membawa
ajaran Injil yang menekankan kasih sayang, spiritualitas, dan pengampunan.²
Risalahnya menjadi pelengkap bagi ajaran Nabi Musa, tetapi tetap terbatas pada
kaumnya, yaitu Bani Israil, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "...dan
(dia, Isa) adalah seorang rasul kepada Bani Israil..." (QS.
Ali Imran [03] ayat 49).³
5.1.3.
Nabi Muhammad SAW:
Kesempurnaan dan Universalisme
Nabi Muhammad Saw
membawa risalah yang menyempurnakan semua ajaran sebelumnya. Al-Qur'an
menegaskan sifat universal Islam dalam QS. Al-Anbiya [21] ayat 107:
"Dan
tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam."
Risalah beliau
mencakup dimensi spiritual, hukum, dan sosial, menjadikannya relevan untuk
seluruh umat manusia hingga akhir zaman.⁴
5.2.
Sifat Kenabian
5.2.1.
Kesamaan dalam Keutamaan
Akhlak
Seluruh nabi
memiliki akhlak yang mulia, sesuai dengan tugas mereka sebagai pembawa risalah
Allah. Namun, Nabi Muhammad Saw disebut sebagai pemilik akhlak terbaik di
antara para nabi, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Qalam [68] ayat 4: "Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak yang
agung."⁵
5.2.2.
Ketinggian Kedudukan Nabi
Muhammad Saw
Dalam hadis riwayat
Muslim, Nabi Muhammad Saw bersabda: "Aku adalah pemimpin anak-anak Adam
pada hari kiamat, dan aku tidak sombong. Aku adalah yang pertama kali
dibangkitkan dari kubur, dan aku tidak sombong."⁶ Hadis ini menunjukkan
keutamaan Nabi Muhammad Saw dibandingkan nabi lainnya, terutama dalam hal
kedekatan dengan Allah dan peran beliau di akhirat.
5.3.
Cakupan Misi dan Syariat
5.3.1.
Syariat Nabi Sebelumnya:
Terbatas pada Kaum Tertentu
Risalah para nabi
sebelum Nabi Muhammad bersifat lokal. Misalnya, Nabi Musa AS diutus untuk
membebaskan Bani Israil dari penindasan Fir'aun, sedangkan Nabi Isa AS diutus
untuk memperbaiki moralitas kaum Yahudi.⁷
5.3.2.
Syariat Nabi Muhammad Saw:
Bersifat Universal
Nabi Muhammad diutus
dengan syariat yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Hal ini dijelaskan oleh
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang menegaskan bahwa syariat Islam memiliki
cakupan yang sempurna dan melampaui batasan geografis maupun temporal.⁸
5.4.
Pengakuan Para Nabi terhadap Kepemimpinan Nabi
Muhammad Saw
5.4.1.
Peristiwa Isra Mikraj
Dalam peristiwa Isra
Mikraj, Nabi Muhammad Saw menjadi imam shalat bagi para nabi di Masjidil Aqsha.
Imam An-Nawawi menafsirkan bahwa kepemimpinan beliau dalam shalat ini merupakan
bentuk pengakuan simbolis dari para nabi terhadap kedudukan beliau sebagai
pemimpin mereka.⁹
5.4.2.
Pengakuan dari Nabi Isa AS
Dalam QS. As-Saff [61]
ayat 6, Nabi Isa AS mengabarkan kedatangan Nabi Muhammad Saw:
"Dan
(ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: 'Wahai Bani Israil, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu... dan memberi kabar gembira dengan seorang
rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad.'"
Ayat ini menunjukkan
bahwa Nabi Isa AS mengakui kedatangan dan keistimewaan Nabi Muhammad Saw
sebagai penerus risalah terakhir.¹⁰
5.5.
Filosofi Pemimpin Penyempurna
Dalam logika sistem
hierarkis, pemimpin terakhir biasanya merupakan sosok yang menyempurnakan tugas
para pendahulunya. Nabi Muhammad Saw diutus dengan misi penyempurnaan,
sebagaimana disabdakan dalam hadis: "Aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia."¹¹ Dengan risalahnya yang universal, Nabi Muhammad
Saw menjadi pemimpin yang mengintegrasikan dan melengkapi ajaran semua nabi
sebelumnya.
Kesimpulan Perbandingan
Melalui analisis
terhadap risalah, sifat kenabian, dan cakupan misi para nabi, terlihat bahwa
Nabi Muhammad Saw memiliki keunggulan yang menjadikannya pantas diposisikan
sebagai Imam para Nabi. Risalahnya yang universal, syariat yang sempurna, dan
pengakuan para nabi lain memperkuat kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi
dalam hierarki kenabian.
Catatan Kaki
[1]
Abu Ja’far At-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an,
ed. Mahmud Shakir (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001), jilid 10, hlm. 211.
[2]
Abdullah bin Umar Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil
(Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1998), jilid 3, hlm. 184.
[3]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Manaqib,
hadis no. 3532.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed. Sami
bin Muhammad Salamah (Riyadh: Dar Taybah, 1999), jilid 5, hlm. 340.
[5]
QS. Al-Qalam [68] ayat 4.
[6]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Fadhail,
hadis no. 4223.
[7]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an
(Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), hlm. 121.
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, jilid 6,
hlm. 488.
[9]
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, ed. Khalil
Ma'mun Syiha (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), jilid 2, hlm. 315.
[10]
QS. As-Saff [61] ayat 6.
[11]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Ahmad Syakir
(Beirut: Dar al-Hadith, 1995), jilid 2, hlm. 381.
6.
Kesimpulan
Kesimpulan dari
pembahasan mengenai kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi dapat
dirumuskan melalui gabungan perspektif teologis, historis, dan rasional. Posisi
beliau sebagai nabi terakhir, Khatamun Nabiyyin, bukan sekadar
indikasi akhir dari rangkaian kenabian, tetapi juga merupakan bukti
penyempurnaan risalah dan pengakuan universal terhadap kedudukan beliau sebagai
pemimpin para nabi.
6.1.
Kedudukan Sebagai Penyempurna Risalah
Sebagai nabi
terakhir, Nabi Muhammad Saw diutus untuk menyempurnakan risalah yang dibawa
oleh para nabi sebelumnya. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:
"Hari
ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu" (QS.
Al-Ma’idah [05] ayat 3).¹ Penyempurnaan ini mencakup aspek teologi, hukum, dan
etika, menjadikan syariat Islam relevan untuk seluruh umat manusia sepanjang
masa. Ibnu Katsir menegaskan bahwa dengan datangnya Nabi Muhammad, tidak ada
lagi kebutuhan untuk risalah baru, karena semua kebutuhan manusia telah
tercakup dalam Islam.²
6.2.
Pengakuan Simbolis dalam Peristiwa Isra Mikraj
Kedudukan Nabi
Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi mendapatkan pengakuan simbolis dalam
peristiwa Isra Mikraj. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw memimpin shalat bersama para nabi di
Masjidil Aqsha.³ Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa peristiwa ini merupakan
pengakuan dari para nabi terhadap kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin
spiritual mereka.⁴
6.3.
Keunggulan dalam Akhlak dan Syariat
Al-Qur’an menyebut
Nabi Muhammad Saw sebagai pemilik khuluq azhim (akhlak yang agung)
dalam QS. Al-Qalam [68] ayat 4. Akhlak beliau tidak hanya menjadi teladan bagi
umatnya, tetapi juga menjadi tolok ukur universal bagi seluruh umat manusia.⁵
Selain itu, syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw tidak hanya mencakup
dimensi spiritual, tetapi juga memberikan panduan komprehensif dalam aspek
sosial, ekonomi, dan politik. Imam Ibnu Qayyim menekankan bahwa syariat Nabi
Muhammad adalah manifestasi hukum Allah yang paling sempurna.⁶
6.4.
Universalitas Risalah dan Relevansi Sepanjang
Masa
Berbeda dengan
nabi-nabi sebelumnya yang diutus kepada kaumnya masing-masing, Nabi Muhammad
Saw diutus untuk seluruh umat manusia dan jin.⁷ Al-Qur’an menegaskan sifat
universal Islam dalam QS. Al-Anbiya [21] ayat 107:
"Dan
tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam."⁸ Hal ini menempatkan Nabi Muhammad dalam posisi
kepemimpinan yang melampaui batasan waktu, ruang, dan bangsa.
6.5.
Perspektif Rasional dan Ilmiah
Secara rasional,
kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi dapat dijelaskan melalui
konsep hierarki. Seperti yang dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi
Muhammad Saw dianalogikan sebagai batu bata terakhir yang melengkapi bangunan
kenabian.⁹ Dalam perspektif ilmiah, syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad
bersifat fleksibel dan adaptif terhadap perubahan zaman, menjadikannya relevan
untuk kehidupan manusia hingga akhir zaman.¹⁰
6.6.
Konsensus Ulama
Para ulama sepakat
bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
nabi-nabi lainnya. Imam As-Suyuthi menegaskan bahwa keutamaan beliau mencakup
aspek spiritual, intelektual, dan universalitas risalah.¹¹ Selain itu,
hadis-hadis sahih menunjukkan pengakuan para nabi lain terhadap keutamaan Nabi
Muhammad Saw, baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat.
Kesimpulan Akhir
Kedudukan Nabi
Muhammad Saw sebagai Imam para Nabi tidak hanya didasarkan pada dalil tekstual,
tetapi juga pengakuan simbolis, keunggulan akhlak, dan universalitas risalah
beliau. Kombinasi dari penyempurnaan syariat, pengakuan dalam peristiwa Isra
Mikraj, dan konsensus ulama memperkuat posisi beliau sebagai pemimpin spiritual
seluruh nabi dan umat manusia. Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw tidak hanya
pantas disebut sebagai Imam para Nabi, tetapi juga sebagai rahmat terbesar bagi
seluruh alam semesta.
Catatan Kaki
[1]
QS. Al-Ma’idah [05] ayat 3.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, ed. Sami
bin Muhammad Salamah (Riyadh: Dar Taybah, 1999), jilid 3, hlm. 19.
[3]
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, hadis
no. 162.
[4]
Abu Abdullah Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ed.
Ahmad Abdu Karim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), jilid 10, hlm. 191.
[5]
QS. Al-Qalam [68] ayat 4.
[6]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Zad al-Ma'ad fi Hady Khayr al-Ibad,
ed. Shuaib al-Arna'ut (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994), jilid 1, hlm. 160.
[7]
QS. Saba [34] ayat 28.
[8]
QS. Al-Anbiya [21] ayat 107.
[9]
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Kitab al-Manaqib,
hadis no. 3535.
[10]
Wael Hallaq, Shari'a: Theory, Practice, Transformations
(Cambridge: Cambridge University Press, 2009), hlm. 35.
[11]
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Khasa'is al-Kubra (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985), jilid 1, hlm. 34.
Daftar Pustaka
Al-Baidhawi, A. U. (1998). Anwar at-Tanzil wa
Asrar at-Ta'wil (Vol. 3–4). Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi.
Al-Bukhari, M. I. (1379 H). Sahih Al-Bukhari.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Ghazali, A. H. (2002). Ihya Ulum al-Din
(Vol. 3). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Nawawi, Y. bin S. (1998). Sharh Sahih Muslim
(Vol. 2). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Qurtubi, A. A. (2006). Al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an (Vol. 7, 10). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Suyuthi, J. (1985). Al-Khasa’is al-Kubra
(Vol. 1). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Suyuthi, J. (1993). Al-Durr al-Manthur fi
Tafsir al-Ma'tsur (Vol. 5). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Thabari, A. J. (2001). Jami' al-Bayan fi
Ta'wil al-Qur'an (Vol. 10, 22). Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Armstrong, K. (1992). Muhammad: A Biography of
the Prophet. New York: HarperOne.
Hallaq, W. (2009). Shari'a: Theory, Practice,
Transformations. Cambridge: Cambridge University Press.
Hart, M. H. (1978). The 100: A Ranking of the
Most Influential Persons in History. New York: Kensington Publishing
Corporation.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, A. bin A. (1379 H). Fath
al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Ibnu Katsir, I. (1999). Tafsir Al-Qur'an
Al-Azhim (Vol. 3, 5, 6). Riyadh: Dar Taybah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, M. bin A. (1994). Zad
al-Ma'ad fi Hady Khayr al-Ibad (Vol. 1). Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Muslim, I. bin H. (1998). Sahih Muslim.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Rahman, F. (1984). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur'an.
Minneapolis: Bibliotheca Islamica.
Lampiran: Takhrij Hadits
Berikut adalah takhrij hadits
dari hadits-hadits yang dikutip dalam artikel ini, lengkap dengan sumber dan
status keabsahannya berdasarkan kitab-kitab hadits terpercaya:
1.
Hadits tentang Perumpamaan Bangunan dan Batu
Bata
·
Teks Hadits:
"Sesungguhnya perumpamaanku dan para nabi sebelumku adalah seperti
seseorang yang membangun sebuah rumah. Ia memperindah rumah itu kecuali ada
satu bata yang kosong. Maka akulah bata itu, dan aku adalah penutup para
nabi."
·
Referensi:
Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Manaqib, Bab
Khatamun-Nabiyyin, Hadits No. 3535.
Shahih Muslim, Kitab Al-Fadhail, Bab
Khatamun-Nabiyyin, Hadits No. 2286.
·
Takhrij:
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih
mereka. Status hadits ini adalah muttafaqun 'alaih (disepakati oleh
Bukhari dan Muslim), sehingga derajatnya sahih.
2.
Hadits tentang Kepemimpinan dalam Isra Mikraj
·
Teks Hadits:
"Kemudian aku diimami oleh para nabi (dalam shalat di Masjidil
Aqsha)."
·
Referensi:
Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Isra
dan Mikraj, Hadits No. 162.
·
Takhrij:
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim. Status
hadits ini sahih karena termasuk dalam kitab hadits yang telah diakui
otoritasnya dalam ilmu hadits.
3.
Hadits tentang Keutamaan Nabi Muhammad Saw di
Hari Kiamat
·
Teks Hadits:
"Aku adalah pemimpin anak-anak Adam pada hari kiamat, dan aku tidak
sombong. Aku adalah yang pertama kali dibangkitkan dari kubur, dan aku tidak
sombong."
·
Referensi:
Shahih Muslim, Kitab Al-Fadhail, Bab
Keutamaan Nabi Muhammad Saw, Hadits No. 4223.
·
Takhrij:
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim dengan
sanad yang sahih. Status hadits ini sahih tanpa keraguan.
4.
Hadits tentang Misi Nabi Muhammad untuk Menyempurnakan Akhlak
·
Teks Hadits:
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."
·
Referensi:
o Musnad Ahmad, Hadits No. 8952.
o Al-Muwatha’, Kitab Husnul Khuluq, Hadits No. 1605.
·
Takhrij: Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad dan juga terdapat
dalam Al-Muwatha' oleh Imam Malik. Sanadnya dinilai hasan oleh
beberapa ulama hadits, seperti Al-Arna'ut.
5.
Hadits tentang Nabi Isa AS Mengabarkan
Kedatangan Nabi Muhammad
·
Teks Hadits:
"Dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang
setelahku, yang namanya Ahmad."
·
Referensi:
QS. As-Saff [61] ayat 6 (bukan hadits
langsung, tetapi dinukil dalam Al-Qur'an dengan redaksi ini).
·
Takhrij:
Redaksi ini merujuk pada Al-Qur'an, bukan hadits Nabi Muhammad Saw, tetapi
sering digunakan sebagai landasan dalil oleh ulama tafsir.
6.
Hadits tentang Akhlak Nabi Muhammad Saw
·
Teks Hadits:
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak
yang agung."
·
Referensi:
QS. Al-Qalam [68] ayay 4 (bukan hadits
langsung, tetapi firman Allah yang sering dijadikan penguat dalil).
Kesimpulan Takhrij
Hadits-hadits yang dikutip
dalam artikel ini sebagian besar bersumber dari kitab Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, dan Musnad Ahmad, yang merupakan kitab-kitab hadits terpercaya. Derajat
hadits yang digunakan adalah sahih dan hasan, sehingga dapat dijadikan rujukan utama
dalam pembahasan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar