Modernisme
Sejarah, Prinsip, dan
Implikasinya dalam Peradaban Global
Alihkan ke: Posmodernisme
Abstrak
Modernisme adalah salah satu gerakan intelektual
paling signifikan yang muncul sejak abad ke-17, membawa transformasi mendasar
dalam cara manusia memahami dunia, dirinya sendiri, dan masyarakatnya. Artikel
ini menguraikan sejarah modernisme dari era pra-modern hingga puncaknya pada
abad ke-19 dan ke-20, serta mengeksplorasi prinsip-prinsip utamanya seperti
rasionalitas, individualisme, kemajuan, dan sekularisasi. Dalam berbagai bidang
seperti seni, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan politik, modernisme
telah memainkan peran kunci dalam membentuk peradaban global. Namun, modernisme
juga menghadapi kritik, termasuk eksploitasi lingkungan, alienasi sosial, dan
kehilangan spiritualitas. Studi kasus tentang modernisme dalam Islam
menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip modernisme diterapkan dan ditantang dalam
konteks keagamaan. Dengan implikasinya terhadap globalisasi, transformasi
sosial, dan identitas budaya, modernisme tetap relevan namun memerlukan
pendekatan yang lebih seimbang untuk mengatasi tantangan kontemporer. Artikel
ini menyimpulkan bahwa meskipun tidak sempurna, modernisme memberikan pelajaran
penting untuk membangun peradaban yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Modernisme, sejarah, prinsip, globalisasi, Islam,
kritik, implikasi, rasionalitas, individualisme, kemajuan.
1.
Pendahuluan
Modernisme adalah salah satu gerakan intelektual
paling berpengaruh yang muncul pada abad ke-17 hingga ke-19, membawa perubahan
mendasar dalam cara manusia memahami dunia, dirinya sendiri, dan masyarakatnya.
Istilah "modernisme" sering digunakan untuk menggambarkan
suatu paradigma pemikiran yang menekankan rasionalitas, kemajuan, dan kebebasan
individu sebagai prinsip utama dalam membangun peradaban. Dalam konteks ini,
modernisme telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan politik. Namun, modernisme juga menghadirkan
berbagai tantangan, termasuk krisis spiritualitas dan alienasi manusia dalam
masyarakat modern.
Secara terminologi, modernisme dapat dimaknai
sebagai "proyek untuk membangun peradaban berbasis akal budi dan ilmu
pengetahuan," sebagaimana dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam The
Consequences of Modernity.¹ Modernisme juga erat kaitannya dengan penolakan
terhadap tradisi dan otoritas dogmatis, yang sering dianggap menghambat
kemajuan manusia.² Dalam sejarahnya, modernisme berkembang sebagai respons
terhadap tantangan besar yang dihadapi dunia pra-modern, seperti stagnasi
pemikiran yang diakibatkan oleh dominasi agama dalam semua aspek kehidupan.³
Modernisme muncul bersamaan dengan era pencerahan (Enlightenment),
yang memperkenalkan gagasan bahwa manusia, melalui rasionalitas, dapat
menciptakan dunia yang lebih baik. Filosofi modernisme menjadi dasar bagi
berbagai revolusi di Eropa, termasuk Revolusi Ilmiah dan Revolusi Industri,
yang mengubah wajah peradaban manusia secara radikal.⁴ Dalam konteks global,
modernisme membawa perubahan besar dalam pola kehidupan masyarakat, termasuk
munculnya demokrasi, sistem ekonomi kapitalis, dan globalisasi.⁵
Meskipun demikian, modernisme tidak lepas dari
kritik. Banyak pemikir, seperti Max Weber dan Jürgen Habermas, mengkritik
modernisme karena membawa "rasionalitas instrumental," yaitu
kecenderungan untuk menilai sesuatu berdasarkan efisiensi dan manfaat semata
tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etis atau spiritual.⁶ Kritik-kritik semacam
ini telah melahirkan gerakan pascamodernisme, yang mempertanyakan klaim
universalitas modernisme dan menyerukan pendekatan yang lebih pluralistik dalam
memahami dunia.⁷
Sebagai pengantar, artikel ini bertujuan untuk
menguraikan sejarah, prinsip, dan implikasi modernisme dalam berbagai bidang
kehidupan. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan wawasan komprehensif
tentang dampak modernisme dalam membentuk peradaban global, sekaligus
mengeksplorasi kritik-kritik yang relevan terhadapnya.
Catatan Kaki
[1]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity
(Stanford, CA: Stanford University Press, 1990), 45.
[2]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W.W. Norton, 1996), 21.
[3]
Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda
of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 67.
[4]
Roy Porter, The Enlightenment (London:
Palgrave Macmillan, 2001), 15–20.
[5]
Marshall Berman, All That Is Solid Melts Into
Air: The Experience of Modernity (New York: Verso, 1983), 17–19.
[6]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 1992), 85.
[7]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity, trans. Frederick Lawrence (Cambridge: Polity Press, 1987),
119–121.
2.
Sejarah
dan Latar Belakang Modernisme
Modernisme muncul
sebagai respons terhadap tantangan-tantangan dunia pra-modern, yang dicirikan
oleh dominasi tradisionalisme dan dogmatisme dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Perkembangannya tidak hanya
dipicu oleh perubahan dalam bidang filsafat, tetapi juga oleh transformasi
besar dalam sains, teknologi, dan struktur sosial. Sejarah modernisme dapat
dirunut dari era pra-modern hingga pergeseran besar yang terjadi pada abad
ke-17 dan seterusnya.
2.1. Era Pra-Modernisme
Sebelum modernisme,
masyarakat didominasi oleh paradigma pra-modern yang sangat bergantung pada
tradisi, otoritas agama, dan struktur hierarkis. Dalam dunia pra-modern, gereja
sering kali memegang kekuasaan absolut dalam menetapkan kebenaran, yang menyebabkan
stagnasi dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan.¹ Keyakinan ini mulai dipertanyakan dengan munculnya humanisme
pada era Renaissance, yang mengedepankan potensi manusia untuk berpikir secara
mandiri.²
Renaissance membuka
jalan bagi gerakan intelektual yang menolak dogma-dogma agama yang tak
tergoyahkan dan mulai mengakui pentingnya rasionalitas dalam memahami dunia. Tokoh seperti Desiderius
Erasmus dan Thomas More memelopori kritik terhadap otoritas gereja dan
menawarkan pandangan dunia yang lebih berbasis pada pengalaman manusia.³
2.2. Abad Pencerahan (Enlightenment)
Modernisme menemukan
pijakan kuatnya selama era Pencerahan, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga
ke-18. Gerakan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia, melalui akal budi
dan ilmu pengetahuan, dapat mencapai kemajuan yang tak terbatas. Tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, John Locke, dan
Voltaire menyatakan bahwa kebebasan individu, hak asasi manusia, dan toleransi
adalah nilai-nilai yang harus diperjuangkan untuk membangun masyarakat yang
lebih adil.⁴
Menurut Immanuel
Kant, Pencerahan adalah “keluar dari masa kanak-kanak yang disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk berpikir
sendiri tanpa arahan dari orang lain.”⁵ Pandangan ini menekankan pentingnya
emansipasi intelektual dari belenggu tradisi dan dogma, yang kemudian menjadi inti dari modernisme.
Revolusi Ilmiah yang
dipelopori oleh ilmuwan seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, dan Francis
Bacon juga memainkan peran penting dalam membangun fondasi modernisme.
Penemuan-penemuan ilmiah pada masa ini tidak hanya merevolusi cara pandang
manusia terhadap alam semesta, tetapi juga memperkenalkan metode empiris
sebagai pendekatan utama dalam memperoleh pengetahuan.⁶
2.3. Perkembangan Modernisme di Abad ke-19 dan ke-20
Pada abad ke-19,
modernisme semakin berkembang dengan munculnya Revolusi Industri, yang membawa perubahan besar dalam struktur
sosial dan ekonomi masyarakat. Proses industrialisasi mendorong urbanisasi,
menciptakan kelas pekerja baru, dan mempercepat kemajuan teknologi. Namun,
perkembangan ini juga menghadirkan tantangan, seperti eksploitasi tenaga kerja,
kemiskinan di perkotaan, dan ketimpangan sosial.⁷
Di sisi lain,
modernisme di abad ke-19 juga menyaksikan perkembangan berbagai aliran
pemikiran baru, termasuk Darwinisme, Marxisme, dan psikologi modern. Pemikiran-pemikiran
ini memperluas horizon intelektual manusia, sekaligus menggeser pandangan dunia
yang sebelumnya didasarkan pada teologi
menuju penjelasan yang lebih berbasis pada ilmu pengetahuan dan empirisme.⁸
Pada abad ke-20,
modernisme mencapai puncaknya dengan berbagai gerakan seni dan budaya yang
menolak norma-norma tradisional. Dalam seni, muncul aliran seperti
impresionisme, ekspresionisme, dan kubisme, yang menantang estetika klasik.
Dalam filsafat, eksistensialisme yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre dan
Friedrich Nietzsche mengkritik nilai-nilai tradisional dan mendorong otonomi
individu sebagai landasan etika.⁹
Modernisme, dengan
segala kompleksitasnya, telah menjadi tonggak penting dalam sejarah peradaban manusia. Namun, dampak dan
implikasinya terus menjadi perdebatan hingga saat ini, baik dalam konteks
sosial, budaya, maupun politik global.
Catatan Kaki
[1]
Peter Burke, The Renaissance Sense of the Past
(London: Edward Arnold, 1969), 34.
[2]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources
(New York: Columbia University Press, 1979), 15.
[3]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 42.
[4]
Roy Porter, The Enlightenment (London: Palgrave
Macmillan, 2001), 26–29.
[5]
Immanuel Kant, “What Is Enlightenment?,” in Foundations of the Metaphysics of Morals,
trans. Lewis White Beck (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1959), 3–4.
[6]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science
and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon Press,
2006), 112–115.
[7]
Eric Hobsbawm, The Age of Capital: 1848–1875 (New
York: Vintage, 1996), 145–150.
[8]
Charles Darwin, On the Origin of Species (London:
John Murray, 1859), 65.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism
(London: Methuen, 1948), 18–21.
3.
Prinsip-Prinsip
Modernisme
Modernisme
didasarkan pada serangkaian prinsip mendasar yang menandai pergeseran cara pandang manusia terhadap dunia dan dirinya
sendiri. Prinsip-prinsip ini mencerminkan usaha modernisme untuk membebaskan
manusia dari belenggu tradisionalisme dan dogmatisme, sekaligus menempatkan
rasionalitas, kebebasan individu, dan kemajuan sebagai inti peradaban.
3.1. Rasionalitas dan Keilmuan
Salah satu prinsip
utama modernisme adalah rasionalitas, yaitu keyakinan bahwa akal budi manusia adalah alat utama untuk memahami dunia
dan memecahkan masalah.¹ Modernisme menempatkan pengetahuan ilmiah di atas
dogma agama atau tradisi, sebagaimana dikemukakan oleh Francis Bacon, yang
menekankan pentingnya metode empiris dalam memperoleh pengetahuan.²
Revolusi Ilmiah pada
abad ke-17 menjadi landasan bagi modernisme, di mana tokoh seperti Galileo
Galilei dan Isaac Newton menunjukkan bagaimana hukum-hukum alam dapat dipahami melalui pendekatan rasional dan
eksperimental.³ Prinsip ini memperkuat pandangan bahwa pengetahuan yang valid
harus berdasarkan bukti, bukan kepercayaan atau mitos.
3.2. Individualisme dan Otonomi Pribadi
Modernisme
mengedepankan nilai-nilai individualisme, yang menekankan kebebasan dan otonomi
pribadi dalam menentukan jalan hidup. Menurut John Locke, hak individu untuk
berpikir, berbicara, dan memilih merupakan dasar dari masyarakat yang adil dan demokratis.⁴ Prinsip ini menjadi elemen
penting dalam membangun sistem politik modern yang berbasis pada kebebasan dan
hak asasi manusia.
Dalam modernisme,
individu dipandang sebagai subjek yang memiliki kemampuan untuk membuat
keputusan rasional dan menentukan masa depannya sendiri.⁵ Hal ini berlawanan dengan masyarakat tradisional, di mana
individu sering kali tunduk pada otoritas kolektif, seperti gereja atau
monarki.
3.3. Kemajuan (Progress)
Prinsip kemajuan
adalah keyakinan bahwa manusia, melalui inovasi dan usaha kolektif, dapat menciptakan
dunia yang lebih baik. Gagasan ini muncul dari optimisme era Pencerahan yang
percaya bahwa sejarah adalah proses linier menuju perbaikan.⁶
Modernisme memandang
kemajuan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan reformasi sosial.
Misalnya, Revolusi Industri di abad ke-19 menunjukkan bagaimana kemajuan
teknologi dapat meningkatkan produksi dan mengubah struktur sosial secara
besar-besaran.⁷ Namun, prinsip ini juga mengandung risiko, seperti eksploitasi
sumber daya alam dan ketimpangan sosial.
3.4. Sekularisasi dalam Kehidupan Bermasyarakat
Modernisme juga
menekankan sekularisasi, yaitu pemisahan antara institusi agama dan kehidupan
publik.⁸ Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang netral secara
agama, di mana hukum dan kebijakan publik didasarkan pada rasionalitas universal, bukan pada kepercayaan
teologis tertentu.
Sekularisasi
modernisme sering dikaitkan dengan kritik terhadap otoritas gereja selama Abad Pertengahan, yang dianggap menghambat kebebasan
intelektual. Tokoh seperti Voltaire dan Rousseau mendukung gagasan bahwa agama
harus menjadi urusan pribadi, sementara negara berfungsi berdasarkan
prinsip-prinsip rasional dan ilmiah.⁹
Prinsip-prinsip ini
menjadikan modernisme sebagai paradigma yang kuat dalam membentuk dunia modern.
Meskipun menghadirkan banyak manfaat, modernisme
juga menimbulkan tantangan, seperti munculnya alienasi sosial dan krisis
identitas, yang terus menjadi bahan diskusi hingga saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity
(Chicago: University of Chicago Press, 1990), 23.
[2]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach
and John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), 45.
[3]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science
and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon Press,
2006), 89.
[4]
John Locke, Two Treatises of Government, ed.
Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 269–272.
[5]
Marshall Berman, All That Is Solid Melts Into Air: The
Experience of Modernity (New York: Verso, 1983), 37–40.
[6]
Roy Porter, The Enlightenment (London: Palgrave
Macmillan, 2001), 67.
[7]
Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: 1789–1848
(New York: Vintage, 1996), 123–125.
[8]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2007), 34–38.
[9]
Voltaire, Philosophical Letters, ed. Leonard
Tancock (London: Penguin, 1980), 72–73.
4.
Modernisme
dalam Berbagai Bidang
Modernisme tidak
hanya menjadi kerangka pemikiran filosofis, tetapi juga berdampak signifikan
pada berbagai aspek kehidupan manusia. Pengaruhnya dapat dilihat dalam seni dan
budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat, serta politik dan sosial.
Tiap bidang menunjukkan bagaimana modernisme telah mengubah cara manusia
memahami dan berinteraksi dengan dunia.
4.1. Seni dan Budaya
Modernisme dalam
seni dan budaya ditandai oleh penolakan terhadap norma-norma tradisional dan
eksplorasi bentuk ekspresi baru. Aliran seperti impresionisme, kubisme, dan ekspresionisme mencerminkan
pergeseran fokus dari representasi realitas objektif menuju ekspresi
subjektivitas dan pengalaman pribadi.¹ Misalnya, karya Pablo Picasso dalam Les
Demoiselles d'Avignon menolak perspektif klasik, menggantikannya
dengan fragmentasi bentuk yang mencerminkan kompleksitas dunia modern.²
Sastra modernis juga
mengalami revolusi dengan munculnya tokoh-tokoh seperti James Joyce dan Virginia Woolf, yang mengeksplorasi alur
narasi non-linear dan monolog internal.³ Gagasan-gagasan ini menekankan
pentingnya pengalaman individual sebagai inti dari seni.
4.2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Modernisme
memberikan dasar bagi revolusi ilmiah dan teknologi yang mendefinisikan dunia
modern. Paradigma ilmiah modern didasarkan pada rasionalitas, metode empiris,
dan pengujian hipotesis.⁴ Isaac Newton, misalnya, dengan hukum-hukumnya tentang
gerak dan gravitasi, memberikan kerangka
kerja yang memungkinkan manusia memahami dan mengendalikan alam.⁵
Pada abad ke-19 dan
ke-20, inovasi teknologi seperti mesin uap, listrik, dan telepon menunjukkan
bagaimana prinsip-prinsip modernisme diterapkan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas hidup manusia.⁶
Namun, kemajuan teknologi juga menghadirkan tantangan, seperti industrialisasi
yang menyebabkan eksploitasi tenaga kerja dan kerusakan lingkungan.⁷
4.3. Filsafat dan Pemikiran
Dalam filsafat,
modernisme menandai pergeseran dari metafisika tradisional menuju fokus pada epistemologi dan
subjektivitas. René Descartes, dengan prinsip "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada), membuka
jalan bagi pemikiran modern yang menempatkan manusia sebagai pusat
pengetahuan.⁸
Pada abad ke-20,
eksistensialisme yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger
menekankan pentingnya kebebasan individu dan tanggung jawab dalam menciptakan
makna hidup.⁹ Filsafat modernisme juga melahirkan positivisme logis, yang
menolak metafisika dan hanya menerima pernyataan yang dapat diverifikasi secara
empiris.¹⁰
4.4. Politik dan Sosial
Modernisme memainkan
peran penting dalam membentuk sistem politik modern, termasuk demokrasi,
kapitalisme, dan sosialisme. Prinsip kebebasan individu yang diusung modernisme
menjadi dasar dari konstitusi-konstitusi modern, seperti Declaration
of the Rights of Man and of the Citizen di Prancis.¹¹
Revolusi industri
juga membawa perubahan sosial yang signifikan, menciptakan kelas pekerja baru
dan memunculkan gagasan sosialisme sebagai respons terhadap ketimpangan
ekonomi.¹² Namun, modernisme dalam politik tidak selalu membawa hasil positif.
Di satu sisi, ia mendorong pembentukan negara-negara demokratis, tetapi di sisi
lain, ia juga berkontribusi pada imperialisme dan kolonialisme, yang sering
kali mengeksploitasi masyarakat lokal.¹³
Modernisme dalam
berbagai bidang menunjukkan bahwa paradigma ini tidak hanya mengubah cara
berpikir manusia tetapi juga memengaruhi struktur sosial, politik, dan budaya
dunia. Transformasi yang dibawa modernisme terus dirasakan hingga hari ini,
meskipun tantangan-tantangan baru, seperti globalisasi dan pascamodernisme,
mulai mempersoalkan warisan modernisme.
Catatan Kaki
[1]
Clement Greenberg, Art and Culture: Critical Essays
(Boston: Beacon Press, 1961), 87.
[2]
John Golding, Cubism: A History and an Analysis, 1907-1914
(Cambridge, MA: Belknap Press, 1988), 45–47.
[3]
James Joyce, A Portrait of the Artist as a Young Man
(New York: Viking Press, 1916), xvii.
[4]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 53.
[5]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture
(Oxford: Clarendon Press, 2006), 89–92.
[6]
Eric Hobsbawm, The Age of Capital: 1848–1875 (New
York: Vintage, 1996), 112–114.
[7]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 33–36.
[8]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism is a Humanism,
trans. Philip Mairet (New Haven, CT: Yale University Press, 2007), 45–47.
[10]
Alfred Jules Ayer, Language, Truth, and Logic (New
York: Dover Publications, 1952), 31.
[11]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History
(New York: W.W. Norton, 2007), 65.
[12]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans.
Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 12–14.
[13]
Edward Said, Culture and Imperialism (New York:
Vintage, 1994), 97–100.
5.
Kritik
terhadap Modernisme
Meskipun modernisme
telah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan peradaban manusia, gerakan
ini juga menjadi subjek berbagai kritik. Para pengkritik modernisme menunjukkan
bahwa prinsip-prinsipnya, seperti rasionalitas, individualisme, dan kemajuan,
sering kali menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Kritik-kritik ini
berasal dari berbagai perspektif, termasuk filsafat, sosiologi, ekologi, dan
teologi, yang bersama-sama mempertanyakan asumsi dasar modernisme dan implikasinya
terhadap kehidupan manusia.
5.1. Dekonstruksi oleh Pascamodernisme
Pascamodernisme
adalah salah satu gerakan intelektual yang paling tajam dalam mengkritik
modernisme. Menurut Jean-François Lyotard, modernisme terlalu percaya pada
"narasi besar" (grand narratives) seperti kemajuan, sains, dan
rasionalitas, yang sering kali menutupi pluralitas pandangan dan pengalaman
manusia.¹ Pascamodernisme menolak klaim universalitas modernisme, dan
sebaliknya, menekankan relativitas serta pentingnya perbedaan dalam memahami
realitas.²
Filsuf Jacques
Derrida juga menunjukkan bahwa bahasa, yang sering dianggap sebagai alat
rasional dalam modernisme, justru penuh dengan ambiguitas.³ Dengan pendekatan
dekonstruksi, Derrida membongkar teks-teks modernis untuk menunjukkan bias-bias
tersembunyi yang sering kali mencerminkan dominasi kekuasaan tertentu.
5.2. Eksploitasi Lingkungan
Modernisme, dengan
fokusnya pada kemajuan teknologi dan industrialisasi, telah menyebabkan
eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan. Lynn White Jr. berpendapat bahwa
modernisme mendorong pandangan antroposentris yang memandang alam semata-mata
sebagai objek untuk dieksploitasi demi kebutuhan manusia.⁴ Akibatnya, krisis lingkungan
seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi menjadi isu global yang
mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi.
Pandangan ini
didukung oleh Naomi Klein, yang menyatakan bahwa model kapitalisme modernis
berkontribusi secara signifikan terhadap kerusakan lingkungan dengan
menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keseimbangan ekologi.⁵
5.3. Alienasi dan Dehumanisasi
Karl Marx adalah
salah satu pengkritik modernisme yang paling awal, khususnya terhadap dampak
industrialisasi pada kehidupan manusia. Menurut Marx, modernisme menciptakan
alienasi, di mana pekerja kehilangan hubungan dengan produk kerja mereka karena
proses produksi yang terfragmentasi.⁶ Alienasi ini tidak hanya bersifat
material, tetapi juga spiritual, karena manusia modern sering kali merasa
terasing dari dirinya sendiri, komunitasnya, dan alam.⁷
Max Weber juga
menyoroti masalah rasionalitas modernisme yang cenderung melahirkan "rasionalitas
instrumental," yaitu kecenderungan untuk menilai sesuatu berdasarkan
efisiensi dan utilitas, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika.⁸
Weber menyebut fenomena ini sebagai "sangkar besi" (iron
cage), yang menggambarkan bagaimana manusia modern terjebak dalam sistem
birokrasi yang membatasi kebebasan individu.⁹
5.4. Hilangnya Spiritualitas
Modernisme, dengan
sekularisasinya, sering kali dikritik karena mengikis nilai-nilai spiritual
dalam kehidupan manusia. Charles Taylor berpendapat bahwa sekularisasi
modernisme menciptakan "kerangka iman yang sempit" (narrowing
framework of belief), yang meminggirkan pengalaman religius dan
transendensi.¹⁰ Dalam masyarakat modern, agama sering kali dianggap sebagai
urusan pribadi yang tidak relevan dengan kehidupan publik, sehingga kehilangan
peran sosialnya.
Kritik ini juga
disuarakan oleh para pemikir tradisionalis, seperti René Guénon, yang
menyatakan bahwa modernisme telah menggantikan kebijaksanaan tradisional dengan
ilmu pengetahuan yang bersifat materialistis.¹¹ Bagi Guénon, modernisme adalah
penyimpangan dari harmoni kosmik yang seharusnya menjadi dasar kehidupan
manusia.
5.5. Ketimpangan Sosial dan Imperialisme
Modernisme sering
kali dikaitkan dengan kapitalisme global, yang meskipun membawa kemajuan
ekonomi, juga menciptakan ketimpangan sosial yang besar. Edward Said
menunjukkan bahwa modernisme di Barat sering kali disertai dengan praktik
imperialisme, yang mengeksploitasi masyarakat dan sumber daya di dunia
kolonial.¹² Dalam konteks ini, modernisme tidak hanya menjadi alat pembebasan,
tetapi juga dominasi.
Kritik-kritik
terhadap modernisme menunjukkan bahwa gerakan ini, meskipun membawa manfaat
besar, juga memiliki kelemahan yang signifikan. Kritik-kritik ini mengundang
refleksi tentang bagaimana manusia dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip
modernisme dengan nilai-nilai tradisional dan spiritual untuk menciptakan
peradaban yang lebih seimbang.
Catatan Kaki
[1]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984), 31.
[2]
Ihab Hassan, The Postmodern Turn: Essays in Postmodern
Theory and Culture (Columbus: Ohio State University Press, 1987),
22.
[3]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri
Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 11–14.
[4]
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
[5]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 56.
[6]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 72–73.
[7]
Erich Fromm, Marx's Concept of Man (New York:
Frederick Ungar Publishing, 1961), 43.
[8]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 1992), 87.
[9]
Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther
Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 1401–1403.
[10]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2007), 293.
[11]
René Guénon, The Crisis of the Modern World,
trans. Marco Pallis and Richard Nicholson (London: Luzac, 1942), 12.
[12]
Edward Said, Orientalism (New York: Vintage,
1978), 78.
6.
Implikasi
Modernisme dalam Peradaban Global
Modernisme telah
membawa transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dari ilmu
pengetahuan dan teknologi hingga seni, politik, dan budaya. Namun, dampaknya
tidak hanya positif; modernisme juga melahirkan tantangan yang memengaruhi
dinamika peradaban global. Implikasi modernisme ini mencakup proses
globalisasi, perubahan struktur sosial dan ekonomi, serta tantangan terhadap
identitas budaya lokal.
6.1. Globalisasi sebagai Produk Modernisme
Salah satu implikasi
modernisme yang paling signifikan adalah munculnya globalisasi. Proses ini
ditandai dengan integrasi ekonomi, teknologi, dan budaya di tingkat global,
yang sebagian besar didorong oleh prinsip-prinsip modernisme seperti kemajuan
teknologi dan kapitalisme.¹ Menurut Anthony Giddens, globalisasi adalah “konsekuensi
modernitas,” di mana dunia menjadi semakin saling terhubung akibat
perkembangan komunikasi dan transportasi.²
Namun, globalisasi
yang berakar pada modernisme sering kali dikritik karena menciptakan
ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang.³ Negara-negara maju, yang
lebih dahulu mengadopsi prinsip modernisme, memanfaatkan globalisasi untuk
mendominasi pasar global, sementara negara berkembang sering kali menjadi
korban eksploitasi ekonomi.⁴
6.2. Transformasi Struktur Sosial dan Ekonomi
Modernisme telah
mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat secara mendalam. Revolusi
Industri, sebagai manifestasi modernisme, menciptakan kelas pekerja baru yang memainkan
peran penting dalam sistem kapitalis.⁵ Namun, sistem ini juga memunculkan
ketimpangan sosial yang signifikan, dengan distribusi kekayaan yang sangat
tidak merata.⁶
Dalam konteks
sosial, modernisme mendorong urbanisasi besar-besaran, yang mengubah pola
kehidupan masyarakat dari agraris ke perkotaan.⁷ Meskipun urbanisasi membawa
berbagai kemudahan, seperti akses ke pendidikan dan layanan kesehatan, proses
ini juga sering menyebabkan masalah sosial, termasuk kemiskinan perkotaan dan
kehilangan komunitas tradisional.⁸
6.3. Tantangan terhadap Identitas Budaya Lokal
Modernisme, dengan
fokusnya pada universalitas, sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap
identitas budaya lokal. Edward Said berpendapat bahwa modernisme di Barat
sering kali disertai dengan imperialisme budaya, yang memaksakan nilai-nilai
Barat kepada masyarakat non-Barat.⁹
Di banyak negara
berkembang, modernisme menciptakan dilema antara mempertahankan tradisi lokal
dan mengadopsi nilai-nilai modern.¹⁰ Misalnya, di dunia Islam, banyak
intelektual yang berusaha mencari jalan tengah antara prinsip-prinsip
modernisme dan ajaran agama, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.¹¹
6.4. Dampak pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Modernisme telah
mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membawa kemajuan
besar dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, transportasi, dan komunikasi.¹²
Namun, implikasi ini juga menghadirkan tantangan, seperti ketergantungan pada
teknologi, eksploitasi sumber daya alam, dan ancaman terhadap keamanan siber.¹³
Selain itu, kemajuan
teknologi sering kali memperkuat kesenjangan digital antara negara maju dan
berkembang, menciptakan "kesenjangan teknologi" yang
memengaruhi akses terhadap informasi dan peluang ekonomi.¹⁴
6.5. Relevansi Modernisme di Era Kontemporer
Di era kontemporer,
modernisme tetap relevan, tetapi semakin banyak dipertanyakan dalam konteks
pascamodernisme. Gerakan-gerakan sosial yang menuntut inklusivitas,
keberlanjutan, dan keadilan global menunjukkan bahwa prinsip-prinsip modernisme
perlu ditinjau kembali untuk menghadapi tantangan abad ke-21.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of
Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996),
19.
[2]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity
(Stanford, CA: Stanford University Press, 1990), 64.
[3]
David Held et al., Global Transformations: Politics, Economics,
and Culture (Stanford, CA: Stanford University Press, 1999), 88.
[4]
Samir Amin, Capitalism in the Age of Globalization: The
Management of Contemporary Society (London: Zed Books, 1997), 32.
[5]
Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: 1789–1848
(New York: Vintage, 1996), 115.
[6]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century,
trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Belknap Press, 2014), 51.
[7]
Mike Davis, Planet of Slums (London: Verso,
2006), 22.
[8]
Saskia Sassen, The Global City: New York, London, Tokyo
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2001), 34.
[9]
Edward Said, Culture and Imperialism (New York:
Vintage, 1994), 87–89.
[10]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New
York: Basic Books, 1973), 239.
[11]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 149.
[12]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science
and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon Press,
2006), 87.
[13]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 56.
[14]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Oxford: Blackwell, 1996), 23.
[15]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity
Press, 2000), 45.
7.
Studi
Kasus: Modernisme dalam Konteks Islam
Modernisme dalam
Islam merupakan salah satu upaya untuk menjembatani tradisi keagamaan dengan
tantangan dunia modern. Gerakan ini bertujuan untuk mereformasi pemikiran Islam
agar relevan dengan nilai-nilai modernisme, seperti rasionalitas, kemajuan, dan
kebebasan. Namun, modernisme dalam Islam juga menghadapi tantangan besar,
termasuk resistensi dari kalangan tradisionalis dan perdebatan internal di
kalangan umat Muslim.
7.1. Asal-Usul Modernisme dalam Islam
Modernisme Islam
muncul pada abad ke-19 sebagai respons terhadap kolonialisme Barat dan
kemunduran dunia Islam.¹ Gerakan ini dipelopori oleh para intelektual seperti
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Rida, yang berupaya
membangkitkan kembali kejayaan Islam melalui pendekatan yang rasional dan
progresif.²
Jamaluddin
al-Afghani, misalnya, menyerukan pentingnya solidaritas pan-Islamisme untuk
melawan dominasi kolonialisme.³ Sementara itu, Muhammad Abduh menekankan
reformasi pendidikan dan interpretasi ulang ajaran Islam berdasarkan prinsip
rasionalitas untuk menciptakan masyarakat yang maju dan adil.⁴
7.2. Prinsip-Prinsip Modernisme dalam Islam
Modernisme Islam
menekankan beberapa prinsip utama, termasuk:
·
Rasionalitas:
Modernis Muslim percaya bahwa Islam
tidak bertentangan dengan sains dan rasionalitas. Muhammad Iqbal, seorang
pemikir modernis Muslim terkemuka, menegaskan bahwa Islam adalah agama yang
mendukung kebebasan berpikir dan inovasi.⁵
·
Ijtihad:
Para modernis mendorong ijtihad (upaya
intelektual untuk memahami hukum Islam) sebagai sarana untuk menyesuaikan
ajaran agama dengan kebutuhan zaman.⁶ Hal ini berbeda dengan pendekatan taqlid
(mengikuti pendapat ulama masa lalu) yang lebih dominan dalam tradisionalisme.
·
Reformasi
Sosial:
Modernisme Islam menekankan pentingnya
keadilan sosial, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan sebagai bagian dari
ajaran Islam yang relevan dengan dunia modern.⁷
7.3. Perdebatan Antara Modernisme dan Tradisionalisme
Modernisme Islam
sering menghadapi resistensi dari kalangan tradisionalis yang menganggap
reformasi sebagai ancaman terhadap keaslian ajaran Islam. Para tradisionalis
menuduh modernis terlalu terpengaruh oleh pemikiran Barat dan mengabaikan
otoritas ulama klasik.⁸
Namun, modernis
membela pendekatan mereka dengan menyatakan bahwa reformasi diperlukan untuk
menjaga relevansi Islam dalam menghadapi tantangan modern, seperti
kolonialisme, sekularisme, dan kapitalisme global.⁹ Perdebatan ini menciptakan
dinamika intelektual yang terus berlangsung hingga saat ini.
7.4. Modernisme Islam di Dunia Kontemporer
Di era kontemporer,
modernisme Islam tetap relevan dalam diskursus global. Pemikir seperti Fazlur
Rahman dan Amina Wadud melanjutkan upaya untuk menafsirkan ulang ajaran Islam
dalam konteks modern, termasuk isu-isu seperti hak asasi manusia, demokrasi,
dan kesetaraan gender.¹⁰
Di Indonesia,
gerakan modernisme diwakili oleh organisasi seperti Muhammadiyah, yang berfokus
pada reformasi pendidikan dan kesehatan berbasis nilai-nilai Islam.¹¹ Sementara
itu, di dunia Arab, gerakan reformis menghadapi tantangan lebih besar akibat
dominasi politik otoriter dan fundamentalisme agama.¹²
7.5. Tantangan dan Masa Depan Modernisme Islam
Modernisme Islam
menghadapi tantangan besar, termasuk resistensi dari tradisionalis dan
fundamentalis, serta dilema dalam menyeimbangkan nilai-nilai agama dengan
tuntutan modernitas. Namun, modernisme tetap menawarkan potensi besar untuk
menciptakan masyarakat Muslim yang lebih inklusif, progresif, dan relevan
dengan dunia global.
Catatan Kaki
[1]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 103.
[2]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 17.
[3]
Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political
and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani"
(Berkeley: University of California Press, 1968), 45–47.
[4]
Muhammad Abduh, The Theology of Unity, trans. Ishaq
Musa’ad and Kenneth Cragg (London: Allen & Unwin, 1966), 53–54.
[5]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Ashraf Press, 1930), 8–10.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press,
1982), 19.
[7]
Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of
a Modern Debate (New Haven, CT: Yale University Press, 1992),
85–87.
[8]
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and
Modernity's Moral Predicament (New York: Columbia University Press,
2013), 29.
[9]
John L. Esposito, Islam and Democracy (New York:
Oxford University Press, 1996), 21.
[10]
Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text
from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press,
1999), 45.
[11]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan
(Jakarta: LP3ES, 1987), 66–68.
[12]
Hamid Dabashi, Post-Orientalism: Knowledge and Power in Time
of Terror (New Brunswick: Transaction Publishers, 2009), 112.
8.
Penutup
Modernisme merupakan
salah satu gerakan intelektual paling berpengaruh dalam sejarah peradaban
manusia. Berawal dari abad Pencerahan dan Revolusi Ilmiah, modernisme membawa
perubahan besar dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, politik, dan budaya. Prinsip-prinsip utama modernisme—seperti
rasionalitas, kemajuan, dan kebebasan individu—telah membantu menciptakan dunia
yang lebih terhubung, produktif, dan berorientasi pada inovasi.¹ Namun, seperti
halnya gerakan besar lainnya, modernisme juga menghadapi kritik dan tantangan
yang terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu.
8.1. Refleksi atas Warisan Modernisme
Modernisme telah
memberikan sumbangan yang tak ternilai dalam membebaskan manusia dari dogma
tradisionalisme dan mendorong lahirnya revolusi sosial dan intelektual.²
Kemajuan teknologi dan globalisasi, yang sebagian besar didorong oleh
nilai-nilai modernisme, telah memungkinkan umat manusia mencapai tingkat
kesejahteraan yang belum pernah terjadi sebelumnya.³
Namun, modernisme
juga membawa dampak negatif yang signifikan, seperti eksploitasi lingkungan,
alienasi sosial, dan ketimpangan ekonomi.⁴ Max Weber menggambarkan dampak ini
sebagai "sangkar besi" rasionalitas modern, di mana manusia terjebak
dalam sistem yang mengutamakan efisiensi dan utilitas di atas nilai-nilai moral
dan spiritual.⁵
8.2. Tantangan Masa Depan
Di era kontemporer,
modernisme menghadapi tantangan baru dari pascamodernisme, yang mengkritik
klaim universalitas dan homogenitas modernisme. Pascamodernisme mendorong
pendekatan yang lebih inklusif, pluralistik, dan berbasis lokal dalam
menghadapi isu-isu global.⁶
Selain itu, krisis
lingkungan global memaksa manusia untuk mempertimbangkan ulang paradigma
modernisme yang sering kali menempatkan kemajuan material di atas keseimbangan
ekologis.⁷ Pendekatan berkelanjutan yang mengintegrasikan nilai-nilai
modernisme dengan etika lingkungan menjadi kebutuhan mendesak di abad ke-21.⁸
8.3. Mencari Keseimbangan antara Tradisi dan Modernisme
Modernisme tidak
harus dilihat sebagai antitesis dari tradisi, melainkan sebagai peluang untuk
memperbarui tradisi agar tetap relevan.⁹ Dalam konteks Islam, misalnya, gerakan
modernisme telah menunjukkan bahwa ajaran agama dapat diinterpretasikan ulang
untuk menjawab tantangan zaman, tanpa meninggalkan esensi spiritualnya.¹⁰
Dalam masyarakat
global, tantangan utama adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara
inovasi dan pelestarian, antara rasionalitas dan spiritualitas, serta antara
kemajuan material dan keadilan sosial.¹¹
8.4. Kesimpulan
Modernisme, meskipun
tidak sempurna, tetap menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah manusia.
Dampaknya terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan transformasi sosial tidak
dapat disangkal. Namun, refleksi kritis terhadap kelemahan modernisme adalah
langkah penting untuk membangun peradaban yang lebih seimbang, berkelanjutan,
dan inklusif.¹²
Dengan memahami
sejarah, prinsip, dan kritik terhadap modernisme, kita dapat belajar dari masa
lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana nilai-nilai
kemajuan, keadilan, dan harmoni dapat berjalan berdampingan.
Catatan Kaki
[1]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity
(Stanford, CA: Stanford University Press, 1990), 5.
[2]
Roy Porter, The Enlightenment (London: Palgrave
Macmillan, 2001), 12.
[3]
Marshall Berman, All That Is Solid Melts Into Air: The
Experience of Modernity (New York: Verso, 1983), 33–35.
[4]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 45.
[5]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 1992), 181.
[6]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984), 46.
[7]
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science
155, no. 3767 (1967): 1203–1207.
[8]
Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and
Peace (Cambridge, MA: South End Press, 2005), 28–29.
[9]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2007), 21.
[10]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 149.
[11]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity
Press, 2000), 67.
[12]
Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity
(Chicago: University of Chicago Press, 1990), 23.
Daftar Pustaka
Appadurai, A. (1996). Modernity at large:
Cultural dimensions of globalization. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Ahmed, L. (1992). Women and gender in Islam:
Historical roots of a modern debate. New Haven, CT: Yale University Press.
Amin, S. (1997). Capitalism in the age of
globalization: The management of contemporary society. London: Zed Books.
Ayer, A. J. (1952). Language, truth, and logic.
New York: Dover Publications.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity.
Cambridge: Polity Press.
Berman, M. (1983). All that is solid melts into
air: The experience of modernity. New York: Verso.
Castells, M. (1996). The rise of the network
society. Oxford: Blackwell.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Esposito, J. L. (1996). Islam and democracy.
New York: Oxford University Press.
Fromm, E. (1961). Marx's concept of man. New
York: Frederick Ungar Publishing.
Gaukroger, S. (2006). The emergence of a
scientific culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685.
Oxford: Clarendon Press.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. New York: Basic Books.
Giddens, A. (1990). The consequences of
modernity. Stanford, CA: Stanford University Press.
Guénon, R. (1942). The crisis of the modern
world (M. Pallis & R. Nicholson, Trans.). London: Luzac.
Hallaq, W. B. (2013). The impossible state:
Islam, politics, and modernity's moral predicament. New York: Columbia
University Press.
Hourani, A. (1983). Arabic thought in the
liberal age: 1798–1939. Cambridge: Cambridge University Press.
Joyce, J. (1916). A portrait of the artist as a
young man. New York: Viking Press.
Kant, I. (1959). Foundations of the metaphysics
of morals (L. W. Beck, Trans.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. the climate. New York: Simon & Schuster.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Kurzman, C. (2002). Modernist Islam, 1840–1940:
A sourcebook. Oxford: Oxford University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.).
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). London: Penguin Classics.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Cambridge, MA: Belknap Press.
Porter, R. (2001). The enlightenment.
London: Palgrave Macmillan.
Said, E. W. (1994). Culture and imperialism.
New York: Vintage.
Sartre, J.-P. (1948). Existentialism and
humanism. London: Methuen.
Sassen, S. (2001). The global city: New York,
London, Tokyo. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Shiva, V. (2005). Earth democracy: Justice,
sustainability, and peace. Cambridge, MA: South End Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Toulmin, S. (1990). Cosmopolis: The hidden
agenda of modernity. Chicago: University of Chicago Press.
Wadud, A. (1999). Qur'an and woman: Rereading
the sacred text from a woman's perspective. New York: Oxford University
Press.
Weber, M. (1978). Economy and society (G.
Roth & C. Wittich, Eds.). Berkeley: University of California Press.
Weber, M. (1992). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). London: Routledge.
White, L. Jr. (1967). The historical roots of our
ecological crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar