Minggu, 19 Januari 2025

Modernisme: Sejarah, Prinsip, dan Implikasinya dalam Peradaban Global

Modernisme

Sejarah, Prinsip, dan Implikasinya dalam Peradaban Global


Alihkan ke: Posmodernisme


Abstrak

Modernisme adalah salah satu gerakan intelektual paling signifikan yang muncul sejak abad ke-17, membawa transformasi mendasar dalam cara manusia memahami dunia, dirinya sendiri, dan masyarakatnya. Artikel ini menguraikan sejarah modernisme dari era pra-modern hingga puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20, serta mengeksplorasi prinsip-prinsip utamanya seperti rasionalitas, individualisme, kemajuan, dan sekularisasi. Dalam berbagai bidang seperti seni, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan politik, modernisme telah memainkan peran kunci dalam membentuk peradaban global. Namun, modernisme juga menghadapi kritik, termasuk eksploitasi lingkungan, alienasi sosial, dan kehilangan spiritualitas. Studi kasus tentang modernisme dalam Islam menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip modernisme diterapkan dan ditantang dalam konteks keagamaan. Dengan implikasinya terhadap globalisasi, transformasi sosial, dan identitas budaya, modernisme tetap relevan namun memerlukan pendekatan yang lebih seimbang untuk mengatasi tantangan kontemporer. Artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun tidak sempurna, modernisme memberikan pelajaran penting untuk membangun peradaban yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Kata Kunci: Modernisme, sejarah, prinsip, globalisasi, Islam, kritik, implikasi, rasionalitas, individualisme, kemajuan.


1.           Pendahuluan

Modernisme adalah salah satu gerakan intelektual paling berpengaruh yang muncul pada abad ke-17 hingga ke-19, membawa perubahan mendasar dalam cara manusia memahami dunia, dirinya sendiri, dan masyarakatnya. Istilah "modernisme" sering digunakan untuk menggambarkan suatu paradigma pemikiran yang menekankan rasionalitas, kemajuan, dan kebebasan individu sebagai prinsip utama dalam membangun peradaban. Dalam konteks ini, modernisme telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan politik. Namun, modernisme juga menghadirkan berbagai tantangan, termasuk krisis spiritualitas dan alienasi manusia dalam masyarakat modern.

Secara terminologi, modernisme dapat dimaknai sebagai "proyek untuk membangun peradaban berbasis akal budi dan ilmu pengetahuan," sebagaimana dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam The Consequences of Modernity.¹ Modernisme juga erat kaitannya dengan penolakan terhadap tradisi dan otoritas dogmatis, yang sering dianggap menghambat kemajuan manusia.² Dalam sejarahnya, modernisme berkembang sebagai respons terhadap tantangan besar yang dihadapi dunia pra-modern, seperti stagnasi pemikiran yang diakibatkan oleh dominasi agama dalam semua aspek kehidupan.³

Modernisme muncul bersamaan dengan era pencerahan (Enlightenment), yang memperkenalkan gagasan bahwa manusia, melalui rasionalitas, dapat menciptakan dunia yang lebih baik. Filosofi modernisme menjadi dasar bagi berbagai revolusi di Eropa, termasuk Revolusi Ilmiah dan Revolusi Industri, yang mengubah wajah peradaban manusia secara radikal.⁴ Dalam konteks global, modernisme membawa perubahan besar dalam pola kehidupan masyarakat, termasuk munculnya demokrasi, sistem ekonomi kapitalis, dan globalisasi.⁵

Meskipun demikian, modernisme tidak lepas dari kritik. Banyak pemikir, seperti Max Weber dan Jürgen Habermas, mengkritik modernisme karena membawa "rasionalitas instrumental," yaitu kecenderungan untuk menilai sesuatu berdasarkan efisiensi dan manfaat semata tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etis atau spiritual.⁶ Kritik-kritik semacam ini telah melahirkan gerakan pascamodernisme, yang mempertanyakan klaim universalitas modernisme dan menyerukan pendekatan yang lebih pluralistik dalam memahami dunia.⁷

Sebagai pengantar, artikel ini bertujuan untuk menguraikan sejarah, prinsip, dan implikasi modernisme dalam berbagai bidang kehidupan. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan wawasan komprehensif tentang dampak modernisme dalam membentuk peradaban global, sekaligus mengeksplorasi kritik-kritik yang relevan terhadapnya.


Catatan Kaki

[1]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford, CA: Stanford University Press, 1990), 45.

[2]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: W.W. Norton, 1996), 21.

[3]                Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 67.

[4]                Roy Porter, The Enlightenment (London: Palgrave Macmillan, 2001), 15–20.

[5]                Marshall Berman, All That Is Solid Melts Into Air: The Experience of Modernity (New York: Verso, 1983), 17–19.

[6]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 1992), 85.

[7]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, trans. Frederick Lawrence (Cambridge: Polity Press, 1987), 119–121.


2.           Sejarah dan Latar Belakang Modernisme

Modernisme muncul sebagai respons terhadap tantangan-tantangan dunia pra-modern, yang dicirikan oleh dominasi tradisionalisme dan dogmatisme dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Perkembangannya tidak hanya dipicu oleh perubahan dalam bidang filsafat, tetapi juga oleh transformasi besar dalam sains, teknologi, dan struktur sosial. Sejarah modernisme dapat dirunut dari era pra-modern hingga pergeseran besar yang terjadi pada abad ke-17 dan seterusnya.

2.1.       Era Pra-Modernisme

Sebelum modernisme, masyarakat didominasi oleh paradigma pra-modern yang sangat bergantung pada tradisi, otoritas agama, dan struktur hierarkis. Dalam dunia pra-modern, gereja sering kali memegang kekuasaan absolut dalam menetapkan kebenaran, yang menyebabkan stagnasi dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan.¹ Keyakinan ini mulai dipertanyakan dengan munculnya humanisme pada era Renaissance, yang mengedepankan potensi manusia untuk berpikir secara mandiri.²

Renaissance membuka jalan bagi gerakan intelektual yang menolak dogma-dogma agama yang tak tergoyahkan dan mulai mengakui pentingnya rasionalitas dalam memahami dunia. Tokoh seperti Desiderius Erasmus dan Thomas More memelopori kritik terhadap otoritas gereja dan menawarkan pandangan dunia yang lebih berbasis pada pengalaman manusia.³

2.2.       Abad Pencerahan (Enlightenment)

Modernisme menemukan pijakan kuatnya selama era Pencerahan, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga ke-18. Gerakan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia, melalui akal budi dan ilmu pengetahuan, dapat mencapai kemajuan yang tak terbatas. Tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, John Locke, dan Voltaire menyatakan bahwa kebebasan individu, hak asasi manusia, dan toleransi adalah nilai-nilai yang harus diperjuangkan untuk membangun masyarakat yang lebih adil.⁴

Menurut Immanuel Kant, Pencerahan adalah “keluar dari masa kanak-kanak yang disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk berpikir sendiri tanpa arahan dari orang lain.”⁵ Pandangan ini menekankan pentingnya emansipasi intelektual dari belenggu tradisi dan dogma, yang kemudian menjadi inti dari modernisme.

Revolusi Ilmiah yang dipelopori oleh ilmuwan seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, dan Francis Bacon juga memainkan peran penting dalam membangun fondasi modernisme. Penemuan-penemuan ilmiah pada masa ini tidak hanya merevolusi cara pandang manusia terhadap alam semesta, tetapi juga memperkenalkan metode empiris sebagai pendekatan utama dalam memperoleh pengetahuan.⁶

2.3.       Perkembangan Modernisme di Abad ke-19 dan ke-20

Pada abad ke-19, modernisme semakin berkembang dengan munculnya Revolusi Industri, yang membawa perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Proses industrialisasi mendorong urbanisasi, menciptakan kelas pekerja baru, dan mempercepat kemajuan teknologi. Namun, perkembangan ini juga menghadirkan tantangan, seperti eksploitasi tenaga kerja, kemiskinan di perkotaan, dan ketimpangan sosial.⁷

Di sisi lain, modernisme di abad ke-19 juga menyaksikan perkembangan berbagai aliran pemikiran baru, termasuk Darwinisme, Marxisme, dan psikologi modern. Pemikiran-pemikiran ini memperluas horizon intelektual manusia, sekaligus menggeser pandangan dunia yang sebelumnya didasarkan pada teologi menuju penjelasan yang lebih berbasis pada ilmu pengetahuan dan empirisme.⁸

Pada abad ke-20, modernisme mencapai puncaknya dengan berbagai gerakan seni dan budaya yang menolak norma-norma tradisional. Dalam seni, muncul aliran seperti impresionisme, ekspresionisme, dan kubisme, yang menantang estetika klasik. Dalam filsafat, eksistensialisme yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche mengkritik nilai-nilai tradisional dan mendorong otonomi individu sebagai landasan etika.⁹


Modernisme, dengan segala kompleksitasnya, telah menjadi tonggak penting dalam sejarah peradaban manusia. Namun, dampak dan implikasinya terus menjadi perdebatan hingga saat ini, baik dalam konteks sosial, budaya, maupun politik global.


Catatan Kaki

[1]                Peter Burke, The Renaissance Sense of the Past (London: Edward Arnold, 1969), 34.

[2]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 15.

[3]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 42.

[4]                Roy Porter, The Enlightenment (London: Palgrave Macmillan, 2001), 26–29.

[5]                Immanuel Kant, “What Is Enlightenment?,” in Foundations of the Metaphysics of Morals, trans. Lewis White Beck (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1959), 3–4.

[6]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon Press, 2006), 112–115.

[7]                Eric Hobsbawm, The Age of Capital: 1848–1875 (New York: Vintage, 1996), 145–150.

[8]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 65.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism (London: Methuen, 1948), 18–21.


3.           Prinsip-Prinsip Modernisme

Modernisme didasarkan pada serangkaian prinsip mendasar yang menandai pergeseran cara pandang manusia terhadap dunia dan dirinya sendiri. Prinsip-prinsip ini mencerminkan usaha modernisme untuk membebaskan manusia dari belenggu tradisionalisme dan dogmatisme, sekaligus menempatkan rasionalitas, kebebasan individu, dan kemajuan sebagai inti peradaban.

3.1.       Rasionalitas dan Keilmuan

Salah satu prinsip utama modernisme adalah rasionalitas, yaitu keyakinan bahwa akal budi manusia adalah alat utama untuk memahami dunia dan memecahkan masalah.¹ Modernisme menempatkan pengetahuan ilmiah di atas dogma agama atau tradisi, sebagaimana dikemukakan oleh Francis Bacon, yang menekankan pentingnya metode empiris dalam memperoleh pengetahuan.²

Revolusi Ilmiah pada abad ke-17 menjadi landasan bagi modernisme, di mana tokoh seperti Galileo Galilei dan Isaac Newton menunjukkan bagaimana hukum-hukum alam dapat dipahami melalui pendekatan rasional dan eksperimental.³ Prinsip ini memperkuat pandangan bahwa pengetahuan yang valid harus berdasarkan bukti, bukan kepercayaan atau mitos.

3.2.       Individualisme dan Otonomi Pribadi

Modernisme mengedepankan nilai-nilai individualisme, yang menekankan kebebasan dan otonomi pribadi dalam menentukan jalan hidup. Menurut John Locke, hak individu untuk berpikir, berbicara, dan memilih merupakan dasar dari masyarakat yang adil dan demokratis.⁴ Prinsip ini menjadi elemen penting dalam membangun sistem politik modern yang berbasis pada kebebasan dan hak asasi manusia.

Dalam modernisme, individu dipandang sebagai subjek yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan rasional dan menentukan masa depannya sendiri.⁵ Hal ini berlawanan dengan masyarakat tradisional, di mana individu sering kali tunduk pada otoritas kolektif, seperti gereja atau monarki.

3.3.       Kemajuan (Progress)

Prinsip kemajuan adalah keyakinan bahwa manusia, melalui inovasi dan usaha kolektif, dapat menciptakan dunia yang lebih baik. Gagasan ini muncul dari optimisme era Pencerahan yang percaya bahwa sejarah adalah proses linier menuju perbaikan.⁶

Modernisme memandang kemajuan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan reformasi sosial. Misalnya, Revolusi Industri di abad ke-19 menunjukkan bagaimana kemajuan teknologi dapat meningkatkan produksi dan mengubah struktur sosial secara besar-besaran.⁷ Namun, prinsip ini juga mengandung risiko, seperti eksploitasi sumber daya alam dan ketimpangan sosial.

3.4.       Sekularisasi dalam Kehidupan Bermasyarakat

Modernisme juga menekankan sekularisasi, yaitu pemisahan antara institusi agama dan kehidupan publik.⁸ Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang netral secara agama, di mana hukum dan kebijakan publik didasarkan pada rasionalitas universal, bukan pada kepercayaan teologis tertentu.

Sekularisasi modernisme sering dikaitkan dengan kritik terhadap otoritas gereja selama Abad Pertengahan, yang dianggap menghambat kebebasan intelektual. Tokoh seperti Voltaire dan Rousseau mendukung gagasan bahwa agama harus menjadi urusan pribadi, sementara negara berfungsi berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan ilmiah.⁹


Prinsip-prinsip ini menjadikan modernisme sebagai paradigma yang kuat dalam membentuk dunia modern. Meskipun menghadirkan banyak manfaat, modernisme juga menimbulkan tantangan, seperti munculnya alienasi sosial dan krisis identitas, yang terus menjadi bahan diskusi hingga saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 23.

[2]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach and John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), 45.

[3]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon Press, 2006), 89.

[4]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 269–272.

[5]                Marshall Berman, All That Is Solid Melts Into Air: The Experience of Modernity (New York: Verso, 1983), 37–40.

[6]                Roy Porter, The Enlightenment (London: Palgrave Macmillan, 2001), 67.

[7]                Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: 1789–1848 (New York: Vintage, 1996), 123–125.

[8]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 34–38.

[9]                Voltaire, Philosophical Letters, ed. Leonard Tancock (London: Penguin, 1980), 72–73.


4.           Modernisme dalam Berbagai Bidang

Modernisme tidak hanya menjadi kerangka pemikiran filosofis, tetapi juga berdampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan manusia. Pengaruhnya dapat dilihat dalam seni dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat, serta politik dan sosial. Tiap bidang menunjukkan bagaimana modernisme telah mengubah cara manusia memahami dan berinteraksi dengan dunia.

4.1.       Seni dan Budaya

Modernisme dalam seni dan budaya ditandai oleh penolakan terhadap norma-norma tradisional dan eksplorasi bentuk ekspresi baru. Aliran seperti impresionisme, kubisme, dan ekspresionisme mencerminkan pergeseran fokus dari representasi realitas objektif menuju ekspresi subjektivitas dan pengalaman pribadi.¹ Misalnya, karya Pablo Picasso dalam Les Demoiselles d'Avignon menolak perspektif klasik, menggantikannya dengan fragmentasi bentuk yang mencerminkan kompleksitas dunia modern.²

Sastra modernis juga mengalami revolusi dengan munculnya tokoh-tokoh seperti James Joyce dan Virginia Woolf, yang mengeksplorasi alur narasi non-linear dan monolog internal.³ Gagasan-gagasan ini menekankan pentingnya pengalaman individual sebagai inti dari seni.

4.2.       Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Modernisme memberikan dasar bagi revolusi ilmiah dan teknologi yang mendefinisikan dunia modern. Paradigma ilmiah modern didasarkan pada rasionalitas, metode empiris, dan pengujian hipotesis.⁴ Isaac Newton, misalnya, dengan hukum-hukumnya tentang gerak dan gravitasi, memberikan kerangka kerja yang memungkinkan manusia memahami dan mengendalikan alam.⁵

Pada abad ke-19 dan ke-20, inovasi teknologi seperti mesin uap, listrik, dan telepon menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip modernisme diterapkan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas hidup manusia.⁶ Namun, kemajuan teknologi juga menghadirkan tantangan, seperti industrialisasi yang menyebabkan eksploitasi tenaga kerja dan kerusakan lingkungan.⁷

4.3.       Filsafat dan Pemikiran

Dalam filsafat, modernisme menandai pergeseran dari metafisika tradisional menuju fokus pada epistemologi dan subjektivitas. René Descartes, dengan prinsip "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada), membuka jalan bagi pemikiran modern yang menempatkan manusia sebagai pusat pengetahuan.⁸

Pada abad ke-20, eksistensialisme yang dipelopori oleh Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger menekankan pentingnya kebebasan individu dan tanggung jawab dalam menciptakan makna hidup.⁹ Filsafat modernisme juga melahirkan positivisme logis, yang menolak metafisika dan hanya menerima pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris.¹⁰

4.4.       Politik dan Sosial

Modernisme memainkan peran penting dalam membentuk sistem politik modern, termasuk demokrasi, kapitalisme, dan sosialisme. Prinsip kebebasan individu yang diusung modernisme menjadi dasar dari konstitusi-konstitusi modern, seperti Declaration of the Rights of Man and of the Citizen di Prancis.¹¹

Revolusi industri juga membawa perubahan sosial yang signifikan, menciptakan kelas pekerja baru dan memunculkan gagasan sosialisme sebagai respons terhadap ketimpangan ekonomi.¹² Namun, modernisme dalam politik tidak selalu membawa hasil positif. Di satu sisi, ia mendorong pembentukan negara-negara demokratis, tetapi di sisi lain, ia juga berkontribusi pada imperialisme dan kolonialisme, yang sering kali mengeksploitasi masyarakat lokal.¹³


Modernisme dalam berbagai bidang menunjukkan bahwa paradigma ini tidak hanya mengubah cara berpikir manusia tetapi juga memengaruhi struktur sosial, politik, dan budaya dunia. Transformasi yang dibawa modernisme terus dirasakan hingga hari ini, meskipun tantangan-tantangan baru, seperti globalisasi dan pascamodernisme, mulai mempersoalkan warisan modernisme.


Catatan Kaki

[1]                Clement Greenberg, Art and Culture: Critical Essays (Boston: Beacon Press, 1961), 87.

[2]                John Golding, Cubism: A History and an Analysis, 1907-1914 (Cambridge, MA: Belknap Press, 1988), 45–47.

[3]                James Joyce, A Portrait of the Artist as a Young Man (New York: Viking Press, 1916), xvii.

[4]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 53.

[5]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture (Oxford: Clarendon Press, 2006), 89–92.

[6]                Eric Hobsbawm, The Age of Capital: 1848–1875 (New York: Vintage, 1996), 112–114.

[7]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 33–36.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven, CT: Yale University Press, 2007), 45–47.

[10]             Alfred Jules Ayer, Language, Truth, and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 31.

[11]             Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W.W. Norton, 2007), 65.

[12]             Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (London: Penguin Classics, 2002), 12–14.

[13]             Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage, 1994), 97–100.


5.           Kritik terhadap Modernisme

Meskipun modernisme telah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan peradaban manusia, gerakan ini juga menjadi subjek berbagai kritik. Para pengkritik modernisme menunjukkan bahwa prinsip-prinsipnya, seperti rasionalitas, individualisme, dan kemajuan, sering kali menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Kritik-kritik ini berasal dari berbagai perspektif, termasuk filsafat, sosiologi, ekologi, dan teologi, yang bersama-sama mempertanyakan asumsi dasar modernisme dan implikasinya terhadap kehidupan manusia.

5.1.       Dekonstruksi oleh Pascamodernisme

Pascamodernisme adalah salah satu gerakan intelektual yang paling tajam dalam mengkritik modernisme. Menurut Jean-François Lyotard, modernisme terlalu percaya pada "narasi besar" (grand narratives) seperti kemajuan, sains, dan rasionalitas, yang sering kali menutupi pluralitas pandangan dan pengalaman manusia.¹ Pascamodernisme menolak klaim universalitas modernisme, dan sebaliknya, menekankan relativitas serta pentingnya perbedaan dalam memahami realitas.²

Filsuf Jacques Derrida juga menunjukkan bahwa bahasa, yang sering dianggap sebagai alat rasional dalam modernisme, justru penuh dengan ambiguitas.³ Dengan pendekatan dekonstruksi, Derrida membongkar teks-teks modernis untuk menunjukkan bias-bias tersembunyi yang sering kali mencerminkan dominasi kekuasaan tertentu.

5.2.       Eksploitasi Lingkungan

Modernisme, dengan fokusnya pada kemajuan teknologi dan industrialisasi, telah menyebabkan eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan. Lynn White Jr. berpendapat bahwa modernisme mendorong pandangan antroposentris yang memandang alam semata-mata sebagai objek untuk dieksploitasi demi kebutuhan manusia.⁴ Akibatnya, krisis lingkungan seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi menjadi isu global yang mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi.

Pandangan ini didukung oleh Naomi Klein, yang menyatakan bahwa model kapitalisme modernis berkontribusi secara signifikan terhadap kerusakan lingkungan dengan menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keseimbangan ekologi.⁵

5.3.       Alienasi dan Dehumanisasi

Karl Marx adalah salah satu pengkritik modernisme yang paling awal, khususnya terhadap dampak industrialisasi pada kehidupan manusia. Menurut Marx, modernisme menciptakan alienasi, di mana pekerja kehilangan hubungan dengan produk kerja mereka karena proses produksi yang terfragmentasi.⁶ Alienasi ini tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual, karena manusia modern sering kali merasa terasing dari dirinya sendiri, komunitasnya, dan alam.⁷

Max Weber juga menyoroti masalah rasionalitas modernisme yang cenderung melahirkan "rasionalitas instrumental," yaitu kecenderungan untuk menilai sesuatu berdasarkan efisiensi dan utilitas, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika.⁸ Weber menyebut fenomena ini sebagai "sangkar besi" (iron cage), yang menggambarkan bagaimana manusia modern terjebak dalam sistem birokrasi yang membatasi kebebasan individu.⁹

5.4.       Hilangnya Spiritualitas

Modernisme, dengan sekularisasinya, sering kali dikritik karena mengikis nilai-nilai spiritual dalam kehidupan manusia. Charles Taylor berpendapat bahwa sekularisasi modernisme menciptakan "kerangka iman yang sempit" (narrowing framework of belief), yang meminggirkan pengalaman religius dan transendensi.¹⁰ Dalam masyarakat modern, agama sering kali dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak relevan dengan kehidupan publik, sehingga kehilangan peran sosialnya.

Kritik ini juga disuarakan oleh para pemikir tradisionalis, seperti René Guénon, yang menyatakan bahwa modernisme telah menggantikan kebijaksanaan tradisional dengan ilmu pengetahuan yang bersifat materialistis.¹¹ Bagi Guénon, modernisme adalah penyimpangan dari harmoni kosmik yang seharusnya menjadi dasar kehidupan manusia.

5.5.       Ketimpangan Sosial dan Imperialisme

Modernisme sering kali dikaitkan dengan kapitalisme global, yang meskipun membawa kemajuan ekonomi, juga menciptakan ketimpangan sosial yang besar. Edward Said menunjukkan bahwa modernisme di Barat sering kali disertai dengan praktik imperialisme, yang mengeksploitasi masyarakat dan sumber daya di dunia kolonial.¹² Dalam konteks ini, modernisme tidak hanya menjadi alat pembebasan, tetapi juga dominasi.


Kritik-kritik terhadap modernisme menunjukkan bahwa gerakan ini, meskipun membawa manfaat besar, juga memiliki kelemahan yang signifikan. Kritik-kritik ini mengundang refleksi tentang bagaimana manusia dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip modernisme dengan nilai-nilai tradisional dan spiritual untuk menciptakan peradaban yang lebih seimbang.


Catatan Kaki

[1]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 31.

[2]                Ihab Hassan, The Postmodern Turn: Essays in Postmodern Theory and Culture (Columbus: Ohio State University Press, 1987), 22.

[3]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 11–14.

[4]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[5]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 56.

[6]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 72–73.

[7]                Erich Fromm, Marx's Concept of Man (New York: Frederick Ungar Publishing, 1961), 43.

[8]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 1992), 87.

[9]                Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 1401–1403.

[10]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 293.

[11]             René Guénon, The Crisis of the Modern World, trans. Marco Pallis and Richard Nicholson (London: Luzac, 1942), 12.

[12]             Edward Said, Orientalism (New York: Vintage, 1978), 78.


6.           Implikasi Modernisme dalam Peradaban Global

Modernisme telah membawa transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dari ilmu pengetahuan dan teknologi hingga seni, politik, dan budaya. Namun, dampaknya tidak hanya positif; modernisme juga melahirkan tantangan yang memengaruhi dinamika peradaban global. Implikasi modernisme ini mencakup proses globalisasi, perubahan struktur sosial dan ekonomi, serta tantangan terhadap identitas budaya lokal.

6.1.       Globalisasi sebagai Produk Modernisme

Salah satu implikasi modernisme yang paling signifikan adalah munculnya globalisasi. Proses ini ditandai dengan integrasi ekonomi, teknologi, dan budaya di tingkat global, yang sebagian besar didorong oleh prinsip-prinsip modernisme seperti kemajuan teknologi dan kapitalisme.¹ Menurut Anthony Giddens, globalisasi adalah “konsekuensi modernitas,” di mana dunia menjadi semakin saling terhubung akibat perkembangan komunikasi dan transportasi.²

Namun, globalisasi yang berakar pada modernisme sering kali dikritik karena menciptakan ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang.³ Negara-negara maju, yang lebih dahulu mengadopsi prinsip modernisme, memanfaatkan globalisasi untuk mendominasi pasar global, sementara negara berkembang sering kali menjadi korban eksploitasi ekonomi.⁴

6.2.       Transformasi Struktur Sosial dan Ekonomi

Modernisme telah mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat secara mendalam. Revolusi Industri, sebagai manifestasi modernisme, menciptakan kelas pekerja baru yang memainkan peran penting dalam sistem kapitalis.⁵ Namun, sistem ini juga memunculkan ketimpangan sosial yang signifikan, dengan distribusi kekayaan yang sangat tidak merata.⁶

Dalam konteks sosial, modernisme mendorong urbanisasi besar-besaran, yang mengubah pola kehidupan masyarakat dari agraris ke perkotaan.⁷ Meskipun urbanisasi membawa berbagai kemudahan, seperti akses ke pendidikan dan layanan kesehatan, proses ini juga sering menyebabkan masalah sosial, termasuk kemiskinan perkotaan dan kehilangan komunitas tradisional.⁸

6.3.       Tantangan terhadap Identitas Budaya Lokal

Modernisme, dengan fokusnya pada universalitas, sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap identitas budaya lokal. Edward Said berpendapat bahwa modernisme di Barat sering kali disertai dengan imperialisme budaya, yang memaksakan nilai-nilai Barat kepada masyarakat non-Barat.⁹

Di banyak negara berkembang, modernisme menciptakan dilema antara mempertahankan tradisi lokal dan mengadopsi nilai-nilai modern.¹⁰ Misalnya, di dunia Islam, banyak intelektual yang berusaha mencari jalan tengah antara prinsip-prinsip modernisme dan ajaran agama, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.¹¹

6.4.       Dampak pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Modernisme telah mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membawa kemajuan besar dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, transportasi, dan komunikasi.¹² Namun, implikasi ini juga menghadirkan tantangan, seperti ketergantungan pada teknologi, eksploitasi sumber daya alam, dan ancaman terhadap keamanan siber.¹³

Selain itu, kemajuan teknologi sering kali memperkuat kesenjangan digital antara negara maju dan berkembang, menciptakan "kesenjangan teknologi" yang memengaruhi akses terhadap informasi dan peluang ekonomi.¹⁴

6.5.       Relevansi Modernisme di Era Kontemporer

Di era kontemporer, modernisme tetap relevan, tetapi semakin banyak dipertanyakan dalam konteks pascamodernisme. Gerakan-gerakan sosial yang menuntut inklusivitas, keberlanjutan, dan keadilan global menunjukkan bahwa prinsip-prinsip modernisme perlu ditinjau kembali untuk menghadapi tantangan abad ke-21.¹⁵


Catatan Kaki

[1]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 19.

[2]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford, CA: Stanford University Press, 1990), 64.

[3]                David Held et al., Global Transformations: Politics, Economics, and Culture (Stanford, CA: Stanford University Press, 1999), 88.

[4]                Samir Amin, Capitalism in the Age of Globalization: The Management of Contemporary Society (London: Zed Books, 1997), 32.

[5]                Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: 1789–1848 (New York: Vintage, 1996), 115.

[6]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Belknap Press, 2014), 51.

[7]                Mike Davis, Planet of Slums (London: Verso, 2006), 22.

[8]                Saskia Sassen, The Global City: New York, London, Tokyo (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2001), 34.

[9]                Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Vintage, 1994), 87–89.

[10]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 239.

[11]             Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 149.

[12]             Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Clarendon Press, 2006), 87.

[13]             Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 56.

[14]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 23.

[15]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 45.


7.           Studi Kasus: Modernisme dalam Konteks Islam

Modernisme dalam Islam merupakan salah satu upaya untuk menjembatani tradisi keagamaan dengan tantangan dunia modern. Gerakan ini bertujuan untuk mereformasi pemikiran Islam agar relevan dengan nilai-nilai modernisme, seperti rasionalitas, kemajuan, dan kebebasan. Namun, modernisme dalam Islam juga menghadapi tantangan besar, termasuk resistensi dari kalangan tradisionalis dan perdebatan internal di kalangan umat Muslim.

7.1.       Asal-Usul Modernisme dalam Islam

Modernisme Islam muncul pada abad ke-19 sebagai respons terhadap kolonialisme Barat dan kemunduran dunia Islam.¹ Gerakan ini dipelopori oleh para intelektual seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Rida, yang berupaya membangkitkan kembali kejayaan Islam melalui pendekatan yang rasional dan progresif.²

Jamaluddin al-Afghani, misalnya, menyerukan pentingnya solidaritas pan-Islamisme untuk melawan dominasi kolonialisme.³ Sementara itu, Muhammad Abduh menekankan reformasi pendidikan dan interpretasi ulang ajaran Islam berdasarkan prinsip rasionalitas untuk menciptakan masyarakat yang maju dan adil.⁴

7.2.       Prinsip-Prinsip Modernisme dalam Islam

Modernisme Islam menekankan beberapa prinsip utama, termasuk:

·                     Rasionalitas:

Modernis Muslim percaya bahwa Islam tidak bertentangan dengan sains dan rasionalitas. Muhammad Iqbal, seorang pemikir modernis Muslim terkemuka, menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mendukung kebebasan berpikir dan inovasi.⁵

·                     Ijtihad:

Para modernis mendorong ijtihad (upaya intelektual untuk memahami hukum Islam) sebagai sarana untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kebutuhan zaman.⁶ Hal ini berbeda dengan pendekatan taqlid (mengikuti pendapat ulama masa lalu) yang lebih dominan dalam tradisionalisme.

·                     Reformasi Sosial:

Modernisme Islam menekankan pentingnya keadilan sosial, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan sebagai bagian dari ajaran Islam yang relevan dengan dunia modern.⁷

7.3.       Perdebatan Antara Modernisme dan Tradisionalisme

Modernisme Islam sering menghadapi resistensi dari kalangan tradisionalis yang menganggap reformasi sebagai ancaman terhadap keaslian ajaran Islam. Para tradisionalis menuduh modernis terlalu terpengaruh oleh pemikiran Barat dan mengabaikan otoritas ulama klasik.⁸

Namun, modernis membela pendekatan mereka dengan menyatakan bahwa reformasi diperlukan untuk menjaga relevansi Islam dalam menghadapi tantangan modern, seperti kolonialisme, sekularisme, dan kapitalisme global.⁹ Perdebatan ini menciptakan dinamika intelektual yang terus berlangsung hingga saat ini.

7.4.       Modernisme Islam di Dunia Kontemporer

Di era kontemporer, modernisme Islam tetap relevan dalam diskursus global. Pemikir seperti Fazlur Rahman dan Amina Wadud melanjutkan upaya untuk menafsirkan ulang ajaran Islam dalam konteks modern, termasuk isu-isu seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan kesetaraan gender.¹⁰

Di Indonesia, gerakan modernisme diwakili oleh organisasi seperti Muhammadiyah, yang berfokus pada reformasi pendidikan dan kesehatan berbasis nilai-nilai Islam.¹¹ Sementara itu, di dunia Arab, gerakan reformis menghadapi tantangan lebih besar akibat dominasi politik otoriter dan fundamentalisme agama.¹²

7.5.       Tantangan dan Masa Depan Modernisme Islam

Modernisme Islam menghadapi tantangan besar, termasuk resistensi dari tradisionalis dan fundamentalis, serta dilema dalam menyeimbangkan nilai-nilai agama dengan tuntutan modernitas. Namun, modernisme tetap menawarkan potensi besar untuk menciptakan masyarakat Muslim yang lebih inklusif, progresif, dan relevan dengan dunia global.


Catatan Kaki

[1]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 103.

[2]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 2002), 17.

[3]                Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal ad-Din "al-Afghani" (Berkeley: University of California Press, 1968), 45–47.

[4]                Muhammad Abduh, The Theology of Unity, trans. Ishaq Musa’ad and Kenneth Cragg (London: Allen & Unwin, 1966), 53–54.

[5]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Ashraf Press, 1930), 8–10.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 19.

[7]                Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), 85–87.

[8]                Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity's Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 29.

[9]                John L. Esposito, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press, 1996), 21.

[10]             Amina Wadud, Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 45.

[11]             Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1987), 66–68.

[12]             Hamid Dabashi, Post-Orientalism: Knowledge and Power in Time of Terror (New Brunswick: Transaction Publishers, 2009), 112.


8.           Penutup

Modernisme merupakan salah satu gerakan intelektual paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia. Berawal dari abad Pencerahan dan Revolusi Ilmiah, modernisme membawa perubahan besar dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, politik, dan budaya. Prinsip-prinsip utama modernisme—seperti rasionalitas, kemajuan, dan kebebasan individu—telah membantu menciptakan dunia yang lebih terhubung, produktif, dan berorientasi pada inovasi.¹ Namun, seperti halnya gerakan besar lainnya, modernisme juga menghadapi kritik dan tantangan yang terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu.

8.1.       Refleksi atas Warisan Modernisme

Modernisme telah memberikan sumbangan yang tak ternilai dalam membebaskan manusia dari dogma tradisionalisme dan mendorong lahirnya revolusi sosial dan intelektual.² Kemajuan teknologi dan globalisasi, yang sebagian besar didorong oleh nilai-nilai modernisme, telah memungkinkan umat manusia mencapai tingkat kesejahteraan yang belum pernah terjadi sebelumnya.³

Namun, modernisme juga membawa dampak negatif yang signifikan, seperti eksploitasi lingkungan, alienasi sosial, dan ketimpangan ekonomi.⁴ Max Weber menggambarkan dampak ini sebagai "sangkar besi" rasionalitas modern, di mana manusia terjebak dalam sistem yang mengutamakan efisiensi dan utilitas di atas nilai-nilai moral dan spiritual.⁵

8.2.       Tantangan Masa Depan

Di era kontemporer, modernisme menghadapi tantangan baru dari pascamodernisme, yang mengkritik klaim universalitas dan homogenitas modernisme. Pascamodernisme mendorong pendekatan yang lebih inklusif, pluralistik, dan berbasis lokal dalam menghadapi isu-isu global.⁶

Selain itu, krisis lingkungan global memaksa manusia untuk mempertimbangkan ulang paradigma modernisme yang sering kali menempatkan kemajuan material di atas keseimbangan ekologis.⁷ Pendekatan berkelanjutan yang mengintegrasikan nilai-nilai modernisme dengan etika lingkungan menjadi kebutuhan mendesak di abad ke-21.⁸

8.3.       Mencari Keseimbangan antara Tradisi dan Modernisme

Modernisme tidak harus dilihat sebagai antitesis dari tradisi, melainkan sebagai peluang untuk memperbarui tradisi agar tetap relevan.⁹ Dalam konteks Islam, misalnya, gerakan modernisme telah menunjukkan bahwa ajaran agama dapat diinterpretasikan ulang untuk menjawab tantangan zaman, tanpa meninggalkan esensi spiritualnya.¹⁰

Dalam masyarakat global, tantangan utama adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara inovasi dan pelestarian, antara rasionalitas dan spiritualitas, serta antara kemajuan material dan keadilan sosial.¹¹

8.4.       Kesimpulan

Modernisme, meskipun tidak sempurna, tetap menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah manusia. Dampaknya terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan transformasi sosial tidak dapat disangkal. Namun, refleksi kritis terhadap kelemahan modernisme adalah langkah penting untuk membangun peradaban yang lebih seimbang, berkelanjutan, dan inklusif.¹²

Dengan memahami sejarah, prinsip, dan kritik terhadap modernisme, kita dapat belajar dari masa lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana nilai-nilai kemajuan, keadilan, dan harmoni dapat berjalan berdampingan.


Catatan Kaki

[1]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford, CA: Stanford University Press, 1990), 5.

[2]                Roy Porter, The Enlightenment (London: Palgrave Macmillan, 2001), 12.

[3]                Marshall Berman, All That Is Solid Melts Into Air: The Experience of Modernity (New York: Verso, 1983), 33–35.

[4]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 45.

[5]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Routledge, 1992), 181.

[6]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 46.

[7]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[8]                Vandana Shiva, Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace (Cambridge, MA: South End Press, 2005), 28–29.

[9]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 21.

[10]             Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 149.

[11]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 67.

[12]             Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 23.


Daftar Pustaka

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Ahmed, L. (1992). Women and gender in Islam: Historical roots of a modern debate. New Haven, CT: Yale University Press.

Amin, S. (1997). Capitalism in the age of globalization: The management of contemporary society. London: Zed Books.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth, and logic. New York: Dover Publications.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge: Polity Press.

Berman, M. (1983). All that is solid melts into air: The experience of modernity. New York: Verso.

Castells, M. (1996). The rise of the network society. Oxford: Blackwell.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Esposito, J. L. (1996). Islam and democracy. New York: Oxford University Press.

Fromm, E. (1961). Marx's concept of man. New York: Frederick Ungar Publishing.

Gaukroger, S. (2006). The emergence of a scientific culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685. Oxford: Clarendon Press.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Stanford, CA: Stanford University Press.

Guénon, R. (1942). The crisis of the modern world (M. Pallis & R. Nicholson, Trans.). London: Luzac.

Hallaq, W. B. (2013). The impossible state: Islam, politics, and modernity's moral predicament. New York: Columbia University Press.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age: 1798–1939. Cambridge: Cambridge University Press.

Joyce, J. (1916). A portrait of the artist as a young man. New York: Viking Press.

Kant, I. (1959). Foundations of the metaphysics of morals (L. W. Beck, Trans.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. New York: Simon & Schuster.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Kurzman, C. (2002). Modernist Islam, 1840–1940: A sourcebook. Oxford: Oxford University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). London: Penguin Classics.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Cambridge, MA: Belknap Press.

Porter, R. (2001). The enlightenment. London: Palgrave Macmillan.

Said, E. W. (1994). Culture and imperialism. New York: Vintage.

Sartre, J.-P. (1948). Existentialism and humanism. London: Methuen.

Sassen, S. (2001). The global city: New York, London, Tokyo. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Shiva, V. (2005). Earth democracy: Justice, sustainability, and peace. Cambridge, MA: South End Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Toulmin, S. (1990). Cosmopolis: The hidden agenda of modernity. Chicago: University of Chicago Press.

Wadud, A. (1999). Qur'an and woman: Rereading the sacred text from a woman's perspective. New York: Oxford University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Eds.). Berkeley: University of California Press.

Weber, M. (1992). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). London: Routledge.

White, L. Jr. (1967). The historical roots of our ecological crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar